Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | i
Seri Bunga Rampai
Oleh: Hispisi (Himpunan Sarjana Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia)
Editor:
Ari Wahyudi
Oksiana Jatiningsih
Penerbit
Unesa University Press
ii | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
Seri Bunga Rampai
Kontribusi Pendidikan Ilmu Sosial dalam Membangun Keindonesiaan
Oleh: Hispisi (Himpunan Sarjana Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia)
Diterbitkan Oleh
UNESA UNIVERSITY PRESS
Anggota IKAPI No. 060/JTI/97
Anggota APPTI No. 133/KTA/APPTI/X/2015
Kampus Unesa Ketintang
Gedung C-15 Surabaya
Telp. 031 – 8288598; 8280009 ext. 109
Fax. 031 – 8288598
Email : [email protected]
vii,231 hal., Illus, 15,5 x 23
ISBN: 978-602-449-418-6
copyright © 2020 Unesa University Press
All right reserved
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang dilarang
mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi
buku ini dengan cara apapun baik cetak, fotoprint,
microfilm, dan sebagainya, tanpa izin tertulis dari
penerbit
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | iii
KATA PENGANTAR
Ketua Himpunan Sarjana Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia
(HISPISI)
Ilmu dan pendidikan merupakan dua hal yang tidak terpisahkan.
Di satu sisi, ilmu harus ditransfer kepada generasi berikutnya memalui
pendidikan, agar mereka mampu menjelaskan berbagai fenomena yang
ada. Ilmu sosial akan memberikan narasi yang menjelaskan hubungan
kausalitas dari berbagai fenomena yang ada melalui teori-teori yang
dihasilkan oleh para ilmuwan. Dengan berbekal ilmu, khususnya ilmu
sosial, seseorang diharapkan mampu menjelaskan realitas sosial dan
sekaligus mampu memprediksi apa yang akan terjadi. Di sisi lain,
pendidikan juga menjadi sarana untuk membantu seseorang
mengembangkan dan sekaligus melakukan perubahan cara berpikir,
sikap, dan perilaku. Dengan bahan ilmu sosial, Pendidikan ilmu sosial
diharapkan mampu merubah seseorang menjadi semakin bijak dalam
bersikap dan bertindak.
Dalam konteks ini, kerjasama antara ilmu sosial dan pendidikan
ilmu sosial sangat dibutuhkan dalam pembangunan bangsa Indonesia
ke depan. Ilmu sosial akan terus mensuplai bahan yang dibutuhkan
oleh pendidikan ilmu sosial, dan sekaligus menginformasikan
perkembangan teori sebagai hasil abstraksi dan refleksi atas realitas
sosial. Sedangkan pendidikan ilmu sosial yang membentuk karakter
sesorang melalui suatu proses pemahaman dan penyadaran atas apa
akibat yang terjadi jika suatu sikap dan tindakan dilakukan.
Dalam konteks Indonesia, pendidikan ilmu sosial diharapkan
mampu memahamkan dan menyadarkan bahwa bangsa Indonesia
adalah bangsa yang multikultur, dengan sumber daya alam yang kaya
dan melimpah sebagai modal kemajuan. Meskipun demikian, jika
karakter bangsa ini tidak baik, modal tersebut bisa menjadi sumber
kehancuran. Perilaku korup yang dilakukan oleh para elit bisa menjadi
iv | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
penghambat pembangunan dan kemajuan bangsa. Ketidakpahaman dan
ketidaksadaran rakyat atas sistem demokrasi ternyata bisa menjadi
penyebab perilaku korupsi.
Sebagai bangsa yang majemuk dengan multikulturnya,
diperlukan sikap toleran dan menempatkan kesederajatan dalam
perbedaan. Jika sikap tersebut tidak dimiliki, kemajemukan dan
multikultur akan menjadi sumber konflik sosial maupun politik. Di sisi
lain, kekayaan alam yang melimpah jika tidak dikelola dengan baik
juga akan menjadi bumerang bagi penghuninya. Eksploitasi yang
berlebihan terhadap alam, akan menyebabkan alam menjadi semakin
“garang” terhadap kita. Diperlukan kearifan dalam mengelola
lingkungan, sehingga kelestarian fungsinya dalam mendukung
kehidupan bisa terus terpelihara dan terjaga. Oleh karena itu,
pendidikan ilmu sosial menjadi hal yang perlu digandeng dalam
pembangunan bangsa, untuk membangun karakter wisdom.
Buku ini hadir sebagai bagian dari kepedulian para ilmuwan
sosial dan para pendidik ilmu sosial atas kondisi bangsa. Buku ini
menyadarkan bahwa masih banyak masalah sosial yang harus
ditangani, agar pembangunan bangsa tidak terhambat oleh berbagai
konflik sosial dan karakter buruk. Pembangunan infrastruktur yang
bersifat fisik, memang diperlukan, tetapi jika sampai terjadi konflik
sosial, semua akan rusak dan sia-sia. Semoga kehadiran buku ini
memberi manfaat bagi pembacanya.
Terima kasih.
Surabaya; Januari 2020
Ketua Hispisi
Ttd
Prof. Dr. Warsono,M.S.
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | v
DAFTAR ISI
Halaman judul i
Halaman Pancir ii
Kata Pengantar Ketua HISPISI iii
Daftar Isi v
Bagian 1.
MEMBANGUN INDONESIA DI INDONESIA
DINAMIKA KONTESTATIF DARI NATION KE
NATION STATE – Musta’in Mashud – Dosen Departemen
Sosiologi Unair (1-27)
Bagian 2.
PENANAMAN NILAI KARAKTER PEDULI
LINGKUNGAN DI ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0
MELALUI MODEL ECO-EDUTAINMENT DALAM
PEMBELAJARAN IPS DI SMP KOTA SEMARANG - Apik Budi Santoso; Dewi Liesnoor Setyowati; Wasino - Dosen
Fakultas Ilmu Sosial UNNES. (28-46)
Bagian 3.
HAMBATAN DAN PELUANG PENGEMBANGAN
JURNAL ILMIAH: Pengalaman di Fakultas Ilmu Sosial
UNNES - Tsabit Azinar Ahmad - Jurusan Sejarah. (47-55)
Bagian 4.
PEMETAAN KETERSERAPAN ALUMNI JURUSAN
GEOGRAFI FIS UNNES DI DUNIA INDUSTRI
MELALUI METODE TRACER STUDY- Tjaturahono Budi
Sanjoto1, Saptono Putro
1, Juhadi
1 Jurusan Geografi, Fakultas
Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang. (56-68)
vi | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
Bagian 5.
IMPLEMENTASI NILAI TOLERANSI MELALUI
PENDIDIKAN IPS DALAM MEMPERKUAT JATI
DIRI BANGSA - Ricu Sidiq, Flores Tanjung, Najuah - Dosen
Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosia, Universitas Negeri
Medan. (69-78)
Bagian 6.
URGENSI MODEL PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
DALAM KEBUTUHAN PENGUATAN JATIDIRI
BANGSA - Apeles L. Lonto dan Wenly R.J. Lolong - Dosen
Jurusan PPKn FIS Unima. (79-93)
Bagian 7.
PENGEMBANGAN MATERI STUDI MASYARAKAT
INDONESIA YANG BERWAWASAN KEINDONESIAN
– Lukitaningsih - Department of History Education, Universitas
Negeri Medan. (94-111)
Bagian 8.
MEMPERKUAT IDENTITAS KE INDONESIAAN
MELALUI PEMBELAJARAN ANTROPOLOGI
DALAM KURIKULUM IPS – Rosramadhana - Dosen Prodi
Pendidikan Antropologi FIS Unimed (112-121)
Bagian 9.
PERAN PENDIDIKAN ILMU SOSIAL DALAM
PEMBANGUNAN BANGSA –Warsono - Guru Besar Prodi
PPKn FISH Unesa (122-137)
Bagian 10.
MERAJUT KE-INDONESIAAN: MENYELAMI
PIKIRAN FOUNDING FATHERS ASAL
MINANGKABAU TENTANG INTEGRASI BANGSA - Siti Fatimah, Uun Lionar - Fakultas Ilmu Sosial, Universitas
Negeri Padang. (138-163)
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | vii
Bagian 11.
PENDIDIKAN ANTI KORUPSI AKAR MASALAH
DAN SOLUSI – Warsono - Dosen PMPKn FISH Universitas
Negeri Surabaya. (164-179)
Bagian 12.
ISLAMIC HISTORY DALAM KONTEKS SOSIO-
KULTURAL INDONESIA - Muhammad Turhan Yani -
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum Universitas Negeri
Surabaya. (180-186)
Bagian 13.
INDIGENISASI ILMU-ILMU SOSIAL DI INDONESIA:
LANGKAH YANG MASIH TERSEOK - Ajat Sudrajat –
Guru Besar Universitas Negeri Yogyakarta (187-208)
Bagian 14.
FILSAFAT ILMU SOSIAL INDONESIA: ARTI
PENTING, KARAKTERISTIK DAN PROSPEK
PENGEMBANGANNYA - Heri Santoso – Dosen Filsafat
Ilmu Sosial – Universitas Gadjah Mada (209-222)
Bagian 15.
PENDIDIKAN GEOGRAFI DAN TANTANGAN ABAD 21 Dr. Muhammad Zid, M.Si dan Fauzi Ramadhoan AR, S.Pd. MA –
Universitas Negeri Jakarta (223-230)
Catatan Akhir 231
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 1
==(1)==
MEMBANGUN INDONESIA :
DINAMIKA-KONTESTATIF DARI NATION KE
NATION STATE
Musta’in Mashud
Dosen Departemen Sosiologi FISIP-Universitas Airlangga
A. Potensi
Berdasarkan data Worldometers, jumlah penduduk saat ini adalah 269
juta jiwa atau 3,49% dari total populasi dunia. Indonesia berada di peringkat
keempat negara berpenduduk terbanyak di dunia setelah Tiongkok (1,42
miliar jiwa), India (1,37 miliar jiwa), dan Amerika Serikat (328 juta jiwa).
Sebanyak 56% atau 150 juta jiwa dari penduduk Indonesia adalah masyarakat
urban. Jumlah penduduk Indonesia terus tumbuh dari 261,1 juta jiwa pada
2016 menjadi 263,9 juta jiwa pada 2017. Pada 2018, jumlah penduduk
Indonesia mencapai 266,7 juta jiwa.
Wilayah Indonesia membentang luas sepanjang 3.977 mil antara
Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Luas daratannya mencapai 1,9 juta
kilo meter persegi. Sedangkan luas lautan atau perairannya mencapai 3,3 juta
kilo meter persegi. Menurut CIA world Factbook, Indonesia memiliki luas
wilayah 1,904,569 km2 dengan jumlah pulau sebanyak 17,508 pulau. Oleh
karena itu, Indenesia mempunyai predikat sebagai negara maritim yang
memiliki garis pantai 95.181 km dan menjadikannya sebagai negara yang
memiliki garis pantai terpanjang di dunia setelah Kanada sudah lama melekat
kepada Indonesia.
Bila melihat peta terlihat pulau yang paling ujung utara dari wilayah
negara Indonesia, yakni Pulau Miangas, Sulawesi Utara. Sedangkan yang
paling ujung selatan adalah pulau Ndana, Nusa Tenggara Timur. Sementara
di ujung Timur ada Pulau Liki, Papua dan yang paling ujung Barat ditempati
oleh Pulau Benggala.
Selain itu, Indonesia memiliki lebih dari 300 kelompok etnik atau
suku bangsa, lebih tepatnya terdapat 1.340 suku bangsa di Tanah Air (BPS,
2010). Suku Jawa adalah kelompok terbesar di Indonesia dengan jumlah yang
2 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
mencapai 41% dari total populasi. Berdasarkan data sensus Badan Pusat
Statistik (BPS) tahun 2010, terdapat 1.331 suku di Indonesia berdasarkan
provinsi yang tersebar dari Sabang hingga Merauke. Sayangnya, hingga berita
ini diturunkan jumlah suku di Indonesia 2019 belum diketahui secara pasti.
Distribusi 742 bahasa di seluruh Indonesia rupanya berbanding
terbalik antara jumlah bahasa dengan jumlah penduduk. Pulau Jawa dengan
jumlah penduduk 123 juta orang memiliki tidak lebih dari 20 bahasa.
Sebaliknya, Papua barat yang penduduknya berjumlah 2 juta orang saja
memiliki jumlah bahasa mencapai 271 bahasa
Keragaman bangsa Indonesia, juga terlihat dari agama yang ada.
Selain agama-agama besar seperti Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha,
juga terdapat aliran-aliran kepercayaan yang tersebar ke sluruh pelosok tnah
air, Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) mencatat setidaknya
ada 187 organisasi penghayat kepercayaan di Indonesia. Dari angka itu
dilaporkan sedikitnya 12 juta orang di Indonesia adalah penghayat
kepercayaan. Terdapat sekitar 12 juta jumlah penganut aliran kepercayaan,
meski belum valid.
Anugerah kemajemukan ini ditambah dengan potensi alamnya yang
luar biasa. Daratannya dipenuhi dengan hutan-hutan penopang paru-paru
dunia, di bawahnya terkandung kekayaan mineral yang banyak. Lautannya
mengandung potensi ekonomi biru tiada tara, di bawahnya tersimpan bukan
hanya ikan, tetapi cadangan migas dan mineral yang berlimpah. Indonesia
terletak di posisi geopolitik strategis karena diapit dua samudera besar, Hindia
dan Pasifik, dengan perairan yang menjadi lalu lintas 40 persen perdagangan
dunia (Iskandar, 2017). Indonesia juga mempunyai beberapa selat sibuk yang
menjadi urat nadi perdagangan dunia seperti Selat Malaka, Lombok, dan
Sunda. Kedudukan Indonesia sangat penting dalam kancah keamanan maritim
Asia Pasifik dan choke point jalur perdagangan dan pelayaran dunia.
Indonesia adalah negara demokrasi terbesar ketiga setelah Amerika
dan India dan negeri Muslim terbesar di dunia. Secara kuantitatif, jumlah
populasi Muslim Indonesia bahkan lebih besar dari gabungan jumlah umat
Islam di negara-negara Arab. Sekitar 207 juta Muslim lahir dan tinggal di
Indonesia, menyumbang hampir seperempat total populasi Muslim dunia
sebesar 1,57 miliar jiwa. Secara kualitatif, Islam dapat bersanding dengan
demokrasi dan bersimbiosis dengan nasionalisme (Iskandar, 2017)..
Tesis muram benturan peradaban (clash of civilization) antara
demokrasi Barat dan penentangnya, terutama Islam, tidak berlaku karena di
Indonesia Islam berjalan seiring dengan demokrasi, stabilitas politik, dan
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 3
pertumbuhan ekonomi. Saat ini hingga satu generasi ke depan, Indonesia
memperoleh bonus demografi dengan banyaknya penduduk usia produktif
yang menggerakkan perekonomian dari sisi produksi dan konsumsi. Ekonomi
Indonesia saat ini berada di peringkat ke-16 dunia dan diprediksi menjadi The
Next Economic Superpowers pada 2030. Pada saat itu, PDB Indonesia
diperkirakan menembus US$9,3 triliun, peringkat ketujuh terbesar di dunia
(McKinsey Global Institute, 2012: 1-2).
B. Dari Nation ke Nation State
Sejak kejatuhan Orde Baru kehidupan masyarakat Indonesia tampak
lebih dinamis. Dinamika sosial bangsa Indonesia sejak bergulirnya reformasi
1997 memang mengalami peningkatan yang cukup tinggi seiring dengan
dibukanya era keterbukaan dan demokratisasi. Ada kecenderungan kuat
masyarakat tengah mengalami euforia politik yang luar biasa sehingga acap
lepas kontrol. Era kebebasan yang dirasakan masyarakat sejak reformasi
seolah merupakan peluang bagi masyarakat yang pernah menjadi korban (dan
dikorbankan) oleh kekuatan sistem orde baru yang hegemonik, respressif dan
eksploitatif. Ironisnya, semangat reformasi yang banyak dipahami masyarakat
sebagai era kebebasan dan karena itu merupakan kesempatan
memperjuangkan dan atau menegakkan hak-hak rakyat yang tersikat selama
pemerintahan Orde Baru tidak bisa dengan segera terealisasi sebagai akibat
belum fungsionalnya institusi-institusi ekonomi dan hukum. Maka yang
terjadi kemudian adalah sikap tidak sabar dan tindakan anarkis: main hakim
sendiri yang seringkali menggunakan cara-cara kekerasan secara massal.
Di tengah optimisme terhadap potensi dan masa depan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), kita masih dihadapkan pada persoalan
nation-building Indonesia. Sebagaimana mayoritas nation-state di dunia,
Indonesia terbentuk dari berbagai suku bangsa yang berikrar menjadi satu
bangsa dalam sebuah teritori yang batas-batasnya diwarisi dari administrasi
pemerintahan kolonial. Dalam negara multibangsa (multinational state),
nasionalisme adalah proyek ideologis membangun rasa sebangsa yang
basisnya adalah teritorial kewargaan (civic nationalism), bukan sentimen etnis
berdasar klaim kesamaan asal-usul nenek moyang yang jauh dan kabur
(ethnic nationalism).
Hampir semua nation-state modern merupakan entitas legal teritorial
yang memayungi banyak suku bangsa dan bersifat multinasional. Dalam
pidato anugerah doktor honoris causa di Universitas Airlangga 2018, Iskandar
menyatakan bahwa hanya 9 persen dari seluruh negara-bangsa modern yang
memiliki kebangsaan tunggal, 29,5 persen di antaranya tak memiliki
mayoritas nasional (Rourke, 1986: 77). Sementara itu, Ra’anan (1990: 6-7)
4 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
menyatakan lebih dari 90 persen negara modern tidak terbentuk dari
kebangsaan tunggal (nation-state). Terkadang nation lebih besar ketimbang
state (multistate nationalities), tetapi kebanyakan state lebih besar daripada
nation (multinational state).
Orang-orang Quebec yang diklaim sebagai “orang Perancis” yang
ada di Kanada, orang-orang Palestina yang tersebar di Israel, Lebanon,
Jordania, dan Mesir, dan bangsa Kurdi yang terberai di Iran, Irak, dan Turkia
dalah contoh bangsa yang tersebar di banyak negara (multistate nationalities).
Contoh paling aktual adalah Rohingnya, suku bangsa yang kehilangan induk
negaranya dan terlunta-terlunta sebagai pencari suaka di banyak negara. Ada
juga varian bangsa yang terpecah ke dalam dua negara dan sama-sama
menjadi mayoritas seperti Korea Utara dan Korea Selatan serta Sudan dan
Sudan Selatan. Mayoritas nation-state modern adalah multinational state
seperti Indonesia. Dalam negara-bangsa majemuk seperti ini, tantangan
utamanya adalah membangun integrasi nasional berbasis kewargaan (civic
nationalism) tanpa menindas keragamaan ekspresi suku bangsa sebagai
naungan budaya dan afiliasi kulturalnya. Prinsipnya adalah kesetaraan non-
diskrimintif (Iskandar, 2018).
Dominasi etnis dominan dan diskriminasi terhadap etnis lain rentan
mengundang etnonasionalisme yaitu gerakan suatu kelompok etnis yang
mengupayakan self-rule, baik dengan cara kekerasan untuk menuntut negara
nasional terpisah (sovereign statehood) maupun dalam bentuk terbatas self-
rule seperti wewenang otonom dalam kebijakan pendidikan dan pemakaian
bahasa, aturan hukum yang terpisah, perpajakan, dan kontrol atas kekuatan
polisi lokal (Snyder, 2000: 203).
Konflik etnonasionalis telah melahirkan banyak negara baru. Dari
tahun 1945 -1973, 81 negara baru lahir dari klaim atas hak bangsa
menentukan nasib sendiri (the right of nation to self-determination) (Holton,
1998: 105). Setelah Perang Dingin, dunia menyaksikan pecahnya imperium-
imperium besar ke dalam kepingan negara-negara kecil berdaulat.
Ketika Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) didirikan pada 1945,
keanggotaan PBB mencakup 51 negara. Pada 1960, keanggotaannya
meningkat menjadi 100 negara, dan pada 1984 ketika Brunei Darussalam
bergabung, keanggotaannya telah mencapai 159 negara. Namibia dan
Liechtenstein bergabung pada 1990. Dalam dua setengah tahun sejak awal
1991 hingga pertengahan 1993, bertambah 25 negara —termasuk Estonia,
Latvia, Lithuania, Azerbaijan, Kyrgyztan, Tajikistan, Uzbekistan, Jorjia dan
Andorra. Pada musim semi tahun 1993, bekas republik Yugoslavia,
Makedonia, diizinkan bergabung dengan syarat Yunani dan anggota baru
tersebut menentukan nama bagi negara baru itu (Iskandar, 2018).
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 5
Kini keanggotaan PBB mencakup 193 negara. Tiga negara terakhir
anggota PBB adalah Timor Leste, Montenegro, dan Sudah Selatan. Tiga-
tiganya hasil referendum. Timor Leste adalah bekas Provinsi Indonesia, resmi
diterima sebagai anggota PBB pada September 2002. Montenegro, yang
mendeklarasikan diri merdeka dari Serbia pada 3 Juni 2006, diterima sebagai
anggota PBB pada 28 Juni 2006. Sudan Selatan menjadi negara merdeka pada
9 Juli 2011 setelah konflik bersaudara puluhan tahun dan hasil referendum
menunjukkan sekitar 99% pemilih menginginkan pisah dari Republik Sudan.
Sejauh ini, Indonesia relatif berhasil mencegah Balkanisasi dari
serangkaian konflik etnis yang menderanya. Namun, sebagai negara
majemuk, sentimen etnis di Indonesia tidak pernah “tidur” dan bisa bangun
dan meledak begitu bertemu faktor lain, terutama ketimpangan sosial dan
ekonomi. Kesalahan Orde Baru adalah mamaksakan proses integrasi nasional
dari atas melalui ideologisasi Pancasila dan mobilisasi kekuatan militer yang
represif. Sebagai sebuah bangsa, Indonesia masih dalam proses menjadi
(process to be) meskipun proyek kebangsaan sudah dicanangkan sejak tahun
1928. Bangsa yang bhineka, bangsa yang majemuk, yang heterogen dan
plural. Bahasa dan Tanah Air memang sudah bisa dipersatukan, tetapi
tampaknya belum untuk menjadi bangsa yang satu (Iskandar, 2017).
Nasionalisme sebagai proyek menciptakan rasa sebangsa dari
komunitas yang beragam pada dasarmya tidak pernah selesai didefinisikan
sekali untuk selamanya (once and for all). Pergolakan berbasis etnis mewakili
sebagian besar kekecewaan bangsa (nation) terhadap negara (state) terkait
ketimpangan distribusi kesejahteraan serta dominasi kebudayaan kelompok
etnis oleh kelompok lainnya. Di berbagai negara poskolonial, peran negara
penting sebagai lokomotif pembangunan untuk memajukan kesejahteraan.
Namun, di tengah arus global neoliberalisme yang membunyikan lonceng
kematian nation-state (Ohmae, 1990; 1996), negara semakin kehilangan
peran dan fungsinya karena seluruh sendi-sendi kehidupan sosial telah
dikuasai dan didikte oleh kekuatan pasar. Ekonomi, politik, hukum, seni, dan
budaya telah ‘diperalat’ pasar untuk memuluskan kepentingannya. Bahkan
agama yang sejatinya adalah wilayah sakral telah dimanipulasi untuk
memperbesar surplus di industri kostum, fesyen, dan hiburan.
Pluralitas Masyarakat Indonesia
Sebagaimana dikemukakan di depan bahwa latar sosial demografis
bangsa Indonesia sangatlah beragam, baik sosial, budaya, geografis, agama,
aliran kepercayaan maupun sistem ekonominya. Meski berlatar beragam,
namun telah bersepakat menjadi kesatuan dalam bingkai persatuan Indonesia
(NKRI): Bhineka Tunggal Ika dengan bingkai Pancasila. Kalimat Bhineka
6 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
Tunggal Ika ini berasal dari Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma
mangrwa yang merupakan kutipan dari sebuah kakawin Jawa Kuna yaitu
kakawin Sutasoma, karangan Mpu Tantular semasa kerajaan Majapahit
sekitar abad ke-14. Statemen ini sungguh sangat istimewa karena
mengajarkan toleransi antara umat Hindu Siwa dengan umat Budha. Dengan
kalimat sederhana inilah Indonesia yang plural dapat hidup dan bertahan
hingga sekarang.
Masyarakat plural (majemuk) adalah suatu masyarakat yang terdiri
atas dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembaruan
satu sama lain di dalam satu kesatuan politik. Sistem nilai yang dianut kurang
memiliki loyalitas terhadap masyarakat sebagai keseluruhan, kurang memiliki
homoginitas kebudayaan atau bahkan kurang memiliki dasar-dasar untuk
saling memahami satu sama lain (Furnivall, 1939; Nasikun, 1995).
Karakterisktik masyarakat plural menurut Pierre L. Van den Berghe
mempunyai ciri (i) terjadi segmentasi ke dalam bentuk-bentuk kelompok sub
kebudayaan yang berbeda satu dengan yang lain; (ii) Memiliki struktur sosial
yang terbagi-bagi kedalam lembaga-lembaga yang bersifat non
komplomenter; (iii) Kurang mengembangkan konsensus diantar para anggota-
anggotanya terhadap nilai-nilai yang bersifat dasar; (iv) Secara relatif
seringkali mengalami konflik diantara kelompok yang satu dengan kelompok
yang lain; (v) Secara relatif, integrasi sosial tumbuh diatas paksaan (coercion)
dan saling ketergantungan di dalam bidang ekonom; dan (vi) Adanya
dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok lain (Nasikun, 1995:33)
Sebagai masyarakat majemuk, potensi konflik relatif tinggi. Konflik
dapat mengambil bentuk yang lunak, subtle, sampai kepada bentuk-bentuk
yang keras dan terbuka: ketidaksukaan (dislikeness); ketidaksepakatan
(discord), ketidaksetujuan (disagreement), perseteruan (rivalry),
persaingan (competition), permusuban (hostility), oposisi (opposition),
kontak fisik (physical contact), dan sebagainya. Karena itu, perlu dibangun
dan kembangkan toleransi. Perbedaan dan kebhenikaan selain terlihat secara
horizontal (kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan etnis, agama, adat,dan
perbedaan kedaerahan, dst); juga secara vertikal seperti terlihat dari strata
sosial yang kian tidak saja semakin terdifferensi, tetapi juga terpolarisasi.
Konflik menjadi semakin problematik terlebih jika munculnya secara
akumulatif: ekonomi politik, rasial, sentimen agama, primordialisme,
etnosentrims: horiontal-vertikal. Konflik berbasis ekonomi akan segera
mengait dengan ekonomi, politik, identitas karena menyangkut eksistensi.
Pada dasarnya, konflik adalah hubungan yang memiliki sasaran dan
tujuan yang tidak sejalan dalam hubungan antara dua pihak atau lebih. Lebih
lanjut, konflik meliputi berbagai sikap dan tindakan yang menyebabkan
kerusakan secara fisik, mental, sosial, atau lingkungan sekitar (Mitchel,2005).
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 7
Konflik dapat terjadi karena factor eksternal (asing) dan internal. Konflik
internal terjadi dengan menggunakan sumber daya di dalam negeri (manusia
dan dana), dan ini pun terbagi menjadi dua kelompok, yaitu konflik vertikal
yang tercermin dari konflik antara pemerintah dengan masyarakat sipilnya
dan konflik horizontal yang terjadi di antara kelompok sipil sendiri. Gambar
berikut menunjukkan bagaimana tahapan konflik dari awal sampai akhir:
Sumber: Louis Kriesberg, “De-escalation Stage.” Beyond Intractability. Eds.
Guy Burgess and Heidi Burgess. Conflict Information Consortium,
University of Colorado, Boulder, September 2003 http://
www.beyondintractability.org/essay/de-escalation-stage.
Model di atas, menurut Yosua Praditya Suratman, Sekretariat Dewan
Analis Strategis menunjukan bahwa pada tahap latent conflict menandakan
setiap daerah/wilayah memiliki potensi konflik sama dengan daerah lainnya.
Namun yang membedakan adalah konflik tersebut muncul dengan latar
belakang yang berbeda. Pada tahap conflict emergence menjelaskan bahwa
konflik akan muncul apabila sudah terjadi perbedaan pendapat dan opini pada
sebagain kelompok atau individu. Kemudian, masuk pada tahap conflict
escalation menunjukan gesekan antar individu terjadi semakin meningkat
yang akhirnya menuju pada jalan buntu (stalemate). Tahap ini merupakan
tahapan yang paling tinggi dimana kelompok memutuskan untuk bertikai
dibandingkan mencari alternatif lain. Akan tetapi, dinamika konflik pasti akan
menurun dengan ditandai oleh penurunan eskalasi konflik melalui berbagai
negosiasi yang dilakukan oleh pihak yang bertikai. Tahap dispute settlement
menjadi bagian awal penyiapan upaya perdamaian. Akhirnya, upaya terakhir
yang harus dilakukan adalah tahap peace building untuk memulihkan
hubungan masingmasing pihak yang berseteru. Tujuannya adalah untuk
menghindari konflik serupa antar kelompok atau individu yang sama terulang
kembali.
8 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
Lebih lanjut, Suratman (tanpa tahun) mengemukakan bahwa
bergesernya ancaman konvensional kedalam bentuk ancaman non-
konvensional merupakan ancaman besar bagi Indonesia. Ancaman non-
konvensional berupa perang proxy sudah dan tengah dijalankan di Indonesia
kedalam beberapa bentuk, termasuk didalamnya adalah konflik internal.
Jumlah konflik internal, baik horizontal maupun vertikal yang semakin
meningkat sejak era reformasi dapat saja terjadi karena memang ada
pengaruh dan kepentingan asing. Perang proxy cenderung lebih dipilih oleh
kelompok kepentingan karena biayanya yang murah dibandingkan perang
konvensional, akan tetapi dampak dan daya hancurnya sangat signifikan.
Memang menjadi sulit apabila pemerintah mencoba melihat apakah konflik
terjadi secara alamiah atau ada unsur kesengajaan (by designed). Untuk itu
perlu melakukan pemetaan konflik internal yang telah dan sedang terjadi di
berbagai bidang, khususnya di luar bidang militer. Pemetaan ini akhirnya
akan menuntun pemerintah, terlebih aparat keamanan dalam menelusuri aktor
dan kelompok-kelompok kepentingan. Konflik internal saat ini memang
dilatarbelakangi oleh berbagai aspek, yaitu ideologi, politik, ekonomi, dan
sosial-budaya, yang berpotensi menjadi perang proxy di Indonesia. Akhirnya,
perang proxy akan tetap dipilih oleh aktornya mengingat sumber daya yang
digunakan (manusia dan alam) adalah milik negara yang dituju. Posisi
Indonesia yang strategis, serta besarnya kekayaan sumber daya alam yang
dimiliki, membuat Indonesia akan selalu berada di bawah bayang-bayang
ancaman perang proxy.
Perang proxy probabilitas terjadi semakin tinggi mengingat kondisi
masyarakat Indonesia yang sangat majemuk dan bersistem sosial kompleks.
Parekh, sebagaimana dikutip oleh Azra (2007), membagi masyarakat
multikultural atas lima model, yaitu:
Multikulturalisme isolasionis, mengacu pada masyarakat di mana berbagai
kelompok kultural menjalankan hidup secara otonom dan terlibat dalam
interaksi yang hanya minimal satu sama lain;
Multikulturalisme akomodatif, yaitu masyarakat yang memiliki kultur
dominan yang membuat penyesuaian dan akomodasi-akomodasi tertentu
bagi kebutuhan kultur kaum minoritas. Masyarakat ini merumuskan dan
menerapkan undang-undang, hukum, dan ketentuan-ketentuan yang
sensitif secara kultural, dan memberikan kebebasan kepada kaum
minoritas untuk mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan
meraka. Begitupun sebaliknya, kaum minoritas tidak menantang kultur
dominan. Multikulturalisme ini diterapkan di beberapa negara Eropa;
Multikulturalisme otonomis, masyarakat plural di mana kelompok-
kelompok kutural utama berusaha mewujudkan kesetaraan (equality)
dengan budaya dominan dan menginginkan kehidupan otonom dalam
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 9
kerangka politik yang secara kolektif bisa diterima. Perhatian pokok-
pokok kultural ini adalah untuk mempertahankan cara hidup mereka, yang
memiliki hak yang sama dengan kelompok dominan; mereka menantang
kelompok dominan dan berusaha menciptakan suatu masyarakat di mana
semua kelompok bisa eksis sebagai mitra sejajar;
Multikulturalisme kritikal atau interaktif, yakni masyarakat plural di mana
kelompok-kelompok kultural tidak terlalu terfokus (concern) dengan
kehidupan kultural otonom; tetapi lebih membentuk penciptaan kolektif
yang mencerminkan dan menegaskan perspektif-perspektif distingtif
mereka; dan
Multikulturalisme kosmopolitan, berusaha menghapus batas-batas kultural
sama sekali untuk menciptakan sebuah masyarakat di mana setiap individu
tidak lagi terikat kepada budaya tertentu dan, sebaliknya, secara bebas
terlibat dalam percobaan-percobaan interkultural dan sekaligus
mengembangkan kehidupan kultural masing-masing.
Menurut Azra, yang relevan untuk indonesia adalah model yang
kedua, multikulturalisme akomodatif, yaitu masyarakat yang memiliki kultur
dominan yang membuat penyesuaian dan akomodasi-akomodasi tertentu bagi
kebutuhan kultur kaum minoritas (Azra. 2007: 14-15).
Sejak satu dasawarsa terakhir, banyak terjadi intoleransi agama
(religious intolerance) yang disertai dengan munculnya radikalisme serta
fundamentalisme. Tujuaan (akibat) intoleransi ini adalah berupa peniadaan
atau pengurangan pengakuan, penikmatan, atau pelaksanaan hak asasi
manusia dan kebebasan-kebebasan mendasar atas dasar kesetaraan
pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan mendasar atas dasar
kesetaraan.
Kasus-kasus intoleransi agama di Indonesia pada umumnya
didominasi oleh kekerasan dan penyerangan, penyebaran kebencian,
pembatasan berpikir dan berkeyakinan, penyesatan dan pelaporan kelompok
yang diduga sesat, pembatasan aktifitas/ritual keagamaan, pemaksaan
keyakinan, dan konflik tempat ibadah. Sejak era Reformasi aksi-aksi
kekerasan atas nama agama terus meningkat, dibandingkan dengan beberapa
dasawarsa sebelumnya. Kasus-kasus pengeboman, pengrusakan tempat
ibadah, pembubaran acara keagamaan dari kelompok yang dianggap sesat,
sampai pada sweeping tempat-tempat hiburan dan warung makan yang buka
pada bulan Ramadhan, merupakan beberapa contoh yang menjadi
pemandangan yang biasa akhir-akhir ini.
10 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
Beberapa Konflik SARA yang pernah terjadi di Indonesia
Konflik Antar Agama di Situbondo pada tanggal 10 Oktober 1996.
Peristiwa ini terjadi dan dilatarbelakangi oleh sebab tidak puasnya
kasus hukum yang menimpa salah satu orang penghina agama Islam.
Karena tidak puas itu konflik terjadi, dimana pada saat itu dari
pihak penista agama disembunyikan dalam gereja. Sehingga
masyarakat mulai bergerak mencari cara masuk beberapa gereja,
Sekolah Kristen, Sekolah Katolik, juga toko milik para orang
Tionghoa di Situbondo.
Kerusuhan Poso Islam dan Nasrani juga sebuah contoh konflik antar
agama yang dampaknya sangat serius. Konflik sosial di antara umat
Islam dan Nasrani ini sampai berlarut panjang dan terbagi oleh tiga
bagian sebab kurang penanganan konflik tersebut. Ketiga waktu
kerusuhan poso tersebut Poso I terjadi antar tanggal 25 sampai 29
Desember 1998, Poso II terjadi antar tanggal 17 samapai 21 April
2000, sementara pada Poso III terjadi antar tanggal 16 Mei sampai
15 Juni 2000.
Konflik Agama di Ambon terjadi paling tragis meletup pada 19 Januari
1999. Konflik dan pertikaian yang melanda masyarakat Ambon-Lease
sejak Januari 1999, telah berkembang menjadi aksi kekerasan brutal yang
merenggut ribuan jiwa dan menghancurkan semua tatanan kehidupan
bermasyarakat. Konflik tersebut kemudian meluas dan menjadi kerusuhan
hebat antara umat Islam dan Kristen yang berujung pada banyaknya
orang meregang nyawa. Kedua kubu berbeda agama ini saling serang dan
bakar membakar bangunan serta sarana ibadah.
Tragedi Sampit, Suku Dayak vs Madura. Tragedi Sampit adalah konflik
berdarah antar suku yang paling membekas dan bikin geger bangsa
Indonesia pada tahun 2001 silam. Konflik yang melibatkan suku Dayak
dengan orang Madura ini dipicu banyak faktor, di antaranya kasus orang
Dayak yang didiuga tewas dibunuh warga Madura hingga kasus
pemerkosaan gadis Dayak.
Konflik Antar Agama Lampung Selatan yang terjadi pada tahun
2012, antar masyarakat desa Balinuraga dengan mayoritas umat
bergama Budha dan Masyarakat Desa Agom yang mayoritas agama
Islam. Konflik itu tidak hanya didasari pengaruh perkara kecil,
yakni gadis dari Desa Agom yang diganggugu oleh pemuda Desa
Balinuraga.
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 11
Konflik Tolikora Islam dan Nasrani di Tolikora Papua, terjadi pada
17 Juli 2015. Konflik yang dimulai dengan adanya insiden ngawur
pembakaran masjid dari para jemaat Gereja Injil itu diawali saat
masyarakat muslim hendak melakukan ibadah sholat Idul Fitri.
Karena konflik ini menyebabkan dua orang tewas dan sekitar 96
rumah warga muslim di bakar. Beruntung upaya rekonsiliasi
tersebut bisa segera dilaksanakan sehingga korban apapun tidak
bertambah lagi
Intoleransi agama juga diwarnai dengan munculnya fundamentalisme
Islam atau gerakan-gerakan Islam transnasional, yang menyatakan diri
sebagai antidemokrasi, dan mengusung ideologi intoleran seperti khilafah dan
takfiri. Ironisnya, sebagian besar umat Islam di Indonesia yang tertarik
terhadap kelompok Islam trans-nasional ini adalah dari kalangan akademisi.
C. Media Sosial (Social Media)
Kemajuan teknologi komunikasi dan social media selain bermanfaat
untuk mempermudah komunikasi yang konstruktif dan produktif; dalam
banyak hal juga bias sebaliknya, distortif dan kontraproduktif. Misalnya,
media Sosial dapat memainkan peranan baru dalam politik, baik dalam skala
lokal, nasional maupun internasional. Sosial media yang awalnya digunakan
untuk menyuarakan aspirasi masyarakat kini juga dapat dimanfaatkan untuk
melakukan protes-protes politik, pemberontakan, dan melahirkan sejumlah
revolusi di berbagai negara di Timur Tengah yang dikenal dengan Arab
Spring.
Sosial media menjadi alat politik karena dianggap sebagai kanal
media yang murah, dapat menjangkau publik yang lebih luas dan ditargetkan,
serta tanpa hambatan batas geografis. Penggunaan sosial media
memungkinkan tidak hanya untuk mengkomunikasikan, berbagi atau
menangkap informasi, menganalisis dinamika sosio-politik dan
mengantisipasi tren ekonomikeuangan, tetapi juga untuk menggambarkan
kejadian, realitas model, mempengaruhi persepsi situasi tertentu, masalah
spesifik atau orang, dan mempengaruhi pilihan dan perilaku.
Aylin Manduric dalam tulisannya "Social Media as a Tool for
Information Warfare" menyebutkan sosial media sebagai senjata katakata
yang mempengaruhi hati dan pikiran audiens yang ditargetkan, dan senjata
pemusnah massal yang bisa berdampak pada target di dunia fisik. Aplikasi
media sosial bisa menjadi alat untuk konflik saat mereka jatuh ke tangan yang
salah.
12 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
Dalam konteks perang modern, sosial media juga dapat digunakan
sebagai senjata dalam Cyber Warfare, Information Conflict/Warfare, Hybrid
Warfare atau Netwar. Niekerk dan Maharaj menunjukkan bagaimana sosial
media berperan dalam konflik informasi, seperti terlihat pada gambar 1.
Sumber: Brett Van Niekerk, Manoj Maharaj, Social Media and Information Conflict,
International Journal of Communication 7, 2013, hal. 1175
Meskipun media sosial bukan satu-satunya faktor penting dalam
memicu konflik sosial, namun harus diakui peranannya akan menjadi
semakin penting karena factor massal dan random-nya. Artinya, informasi
apapun akan dengan mudah dan sangat cepat menyebar ke seluruh strata
sosial masyarakat; dan ironisnya tidak semua masyarakat mampu menfilter
kebenaran informasi. Faktor konteks dan kesiapan masyarakat menerima
informasi menjadi penting. Kerusuhan dan pemberontakan tidak dapat dihasut
melalui media sosial kecuali iklim politik dan sosial kondusif untuk kejadian
semacam itu. Media sosial dapat dianggap sebagai alat untuk mendukung atau
memfasilitasi konflik berbasis informasi, dan mungkin tidak akan cukup
untuk menciptakan koknflik atau kerusuhan sosial dengan sendirinya.
Artinya, kekuatan sosial media, tanpa didukung kekuatan di dunia nyata
(ofline) tidak akan bermakna apa-apa.
Buzzer buzzer merupakan akun-akun di media sosial yang tidak
mempunyai reputasi untuk dipertaruhkan. Buzzer biasanya merupakan
kelompok orang yang tidak jelas siapa identitasnya, kemudian biasanya
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 13
memiliki motif ideologis atau motif ekonomi di belakangnya, dan kemudian
menyebarkan informasi. Buzzer inilah yang dengan akun tak jelas acap
menjadi penyebar informasi provokatif dan tidak benar (hoaks). Sebaliknya,
bila ada akun yang memiliki nama yang jelas dan latar belakang yang jelas, ia
menyebutnya dengan influencer. Keduanya sama-sama memproduksi
informasi, tetapi berbeda tujuannya.
D. Upaya Memperkokoh Kebhinekaan
Founding Father bangsa ini menyadari bahwa keragaman yang ada
dalam masyarakat merupakan realitas yang harus dijaga eksistensinya dalam
bingkai persatuan dan kesatuan bangsa. Keragaman merupakan suatu
kewajaran sejauh disadari dan dihayati keberadaannya sebagai sesuatu yang
harus disikapi dengan toleransi. Kemajemukan ini tumbuh dan berkembang
ratusan tahun lamanya sebagai warisan dari nenek moyang bangsa Indonesia.
Hefner (dalam Mahfud, 2009: 83) memaparkan bahwa: pluralisme kultural di
Asia Tenggara, khususnya Indonesia, Malaysia, dan Singapura sangatlah
mencolok, terdapat hanya beberapa wilayah lain di dunia yang memiliki
pluralisme kultural seperti itu. Karena itulah dalam teori politik Barat
dasawarsa 1930-an dan 1940-an, wilayah ini, khususnya Indonesia dipandang
sebagai “lokus klasik” bagi konsep masyarakat majemuk/plural (plural
society) yang diperkenalkan ke dunia. Pandangan Hefner yang mengatakan
bahwa Indonesia merupakan “lokus klasik” (tempat terbaik/ rujukan) bagi
konsep masyarakat (Lestari, 2015)
Pluralisme merupakan tantangan khususnya bagi agama-agama. Dari
sinilah arti penting pencarian titik temu (konvergensi) agama-agama.
Terdapat beberapa pertimbangan sebagai kerangka acuan akan arti
pentingnya pencarian konvergensi agama-agama. Pertama, secara praktis
pluralisme agama belum sepenuhnya dipahami umat beragama, sehingga
yang tampil ke permukaan justru sikap eksklusifisme beragama, yang merasa
ajaran yang paling benar hanyalah agama yang dipeluknya. Agama-agama
lain dituduh sesat, maka wajib dikikis atau pemeluknya ditobatkan, karena
baik agama maupun pemeluknya terkutuk dalam pandangan Tuhan. Di sinilah
akar konflik dimulai, meski pluralimse agama memang belum sepenuhnya
menjamin kerukunan hidup beragama. Kedua, di tengah-tengah pluralism
agama ini, hanyalah pemeluk agama tertentu (yang bersikap eksklusif) justru
masih cenderung memonopoli kebenaran agama (claim of truth) dan lahan
keselamatan (claim of salvation). Pahadal secara sosiologis, claim of truth
dan claim of salvation itu, selain membuat berbagai konflik sosial politik,
juga membawa berbagai macam perang antaragama (Sukidi, 1999)
14 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
Pluralisme dan pluralitas merupakan dua term yang sering digunakan
secara bergantian tanpa ada penjelasan apakah dua kata tersebut memiliki arti
sama atau berbeda. Adakalanya pluralisme dan pluralitas diartikan sama,
yakni sebuah keadaan yang bersifat plural, jamak atau banyak. Pluralisme
sebenarnya bukan hanya sekedar keadaan yang bersifat plural atau sekedar
pengakuan bahwa heterogenitas itu ada dalam realitas. Sejatinya pluralisme
merupakan sikap mengakui, menghargai, menghormati, memelihara,
mengembangkan dan memperkaya keadaan yang bersifat plural tersebut.
Dalam konteks agama-agama, pluralisme mengacu kepada teori bahwa semua
agama, meskipun dengan jalan yang berbeda-beda, menuju kepada satu
tujuan yang sama, Yang Absolut, Yang Terakhir, yakni Tuhan
(Kuntowibisono, 2003). Locke mendasarkan pemikirannya bukan pada
wahyu dan keimanan, tetapi logika dan argumentasi hukum kodrat dan
rasionya.
Dalam pandangan pluralisme, kebenaran tidak hanya didasarkan
kriteria logika tetapi juga kriteria kebenaran lainnya. Pandangan Leibniz dan
Russel ini menolak kriteria kebenaran monisme (Fannani, 2003: 9). Oleh
karena itu, prinsip-prinsip pluralisme dinilai dapat menjawab permasalahan
dengan banyak alternative penyelesaian. Pluralisme agama diartikan sebagai
pandangan dan sikap bahwa hakikat agama tidak hanya satu tetapi banyak
dan beragam. Dengan demikian, pluralisme agama dapat diartikan sebagai
suatu teori yang merujuk pada hubungan antara berbagai tradisi agama,
perbedaan dan klaim-klaim kompetisinya. Armstrong (2001:27)
mengilustrasikan bahwa agama-agama besar di dunia memiliki konsepsi yang
beragam tentang Tuhan. Pemahaman tentang pluralisme dapat membantu
umat beragama dalam membangun dialog menuju keharmonisan dan
kerukunan berdasarkan nilai ketuhanan.
Mengerti dan memahami pluralitas berarti menerima pentingnya
kerukunan. Kerukunan adalah suatu kondisi damai, yang memungkinkan
semua elemen masyarakat bersikap saling menghargai dan saling
menghormati antara satu dengan yang lain. Konsep kerukunan ini merupakan
acuan untuk meminimalisir terjadinya konflik yang meretakkan sendi-sendi
keharmonisan dalam kehidupan masyarakat yang plural. Kerukunan umat
beragama di Indonesia mencakup tiga dimensi, yakni: kerukunan inter-umat
beragama, kerukunan antarumat beragama, dan kerukunan umat beragama
dengan pemerintah. Ketiga dimensi inilah yang menjadi fokus perhatian
pemerintah dan setiap umat beragama, untuk membangun kerukunan dan
keharmonisan. Dalam mewujudkan trilogy kerukunan, diterbitkan regulasi
dan perundangundangan, serta intensifikasi dialog untuk menyelesaikan
masalah-masalah hubungan umat beragama (Mawardi, 1981: 9). Toleransi
beragama hanya bisa berjalan dengan baik apabila ada mutual trust di antara
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 15
komunitas umat beragama Berkembangnya kekuatan civil society adalah
angin segar yang menjanjikan keharmonisan itu hadir dan menghiasi
perjalanan sejarah bangsa, yang oleh banyak pihak dinilai paling santun dan
toleran ini.
Secara teoritis fenomena untuk menciptakan harmoni dalam
keragaman dalam bingkai kerukunan hidup antar umat beragama, dapat
dilihat dari perspektif teori konstruksi perdamaian yang meliputi beberapa
unsur antara lain: effective channels of communication, effective system of
arbitration, integrative climate (Bridging social capital), critical mass of
peace enhancing leadership dan just structure
Tanpa mengurangi kontribusi agama dalam kehidupan sosial
terutama bila ditinjau dari fungsi integratif, ada faktor-faktor lain selain
agama yang ikut perpengaruh terhadap integrasi sosial. Faktor-faktor tersebut,
bila ditinjau dari teori perdamaian, menurut Luc (2006) meliputi beberapa hal
antara lain: an effective channels of communication, consultatition
andnegotitation, peace-enhancing structure and institutions, an integrative
political-psychological climate, a critical mass of peace building leadership,
and a supportive international environment.
Muhammad Iqbal menggambarkan kontruksi perdamaian tersebut sebagai
berikut:
Pilar
Channels of
Communica-
tion
Arbritration
System/Instituti
on
Integrative
climate (social
capital)
Peace
leadeship
Just
Structure
Aktor
Lembaga
Forum
Pertemuan
Warga, system
informasi,
asosiasi media
FORMAL:
Pengadilan,
peraturan
organisasi,
perangkat dan
penegak hukum
INFORMAL:
Lembaga adat,
institusi,
otoritas
keagamaan, dll
Organisasi
Sosial/Asosiasi
lintas (Bridging),
identitas
kelompok,
seperti kelompok
hoby, asosiasi,
sport, bismis,
ronda, dst
Tokoh
agama, adat,
LSM, pelaku
akr rumput,
politisi,
pemerintah,
pengusaha
Sistem
politik,
hukum,
birokrasi
(good
government
) dll
Peran Diskusi, klarifikasi, rumor,
control, penyelesaian konflik
dengan jalan NON-kekerasan
Membangun
TRUST,
membendung
politik identitas
Promosi jalan
non-
kekerasan,
de-mpbilisasi
ekstrimisme
Menciptaka
n keadilan
sebagai
dasar
perdamaian
Sumber: Materi Short-course CRCRS-Kemang RI, 14 Nov – 14 Desember, 2011
16 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
Mewujudkan budaya perdamaian dapat dilakukan melalui: pertama,
pendekatan budaya, kearifan lokal dan ikatan kekeluargaan yang sangat kuat di
kalangan masyarakat bawah; kedua, memiliki prinsip bahwa kekerasan tidak
bisa direspon dengan kekerasan; ketiga, menghormati dan menjaga eksistensi
agama lain dan budaya setempat; keempat, berpandangan bahwa semua agama
adalah ciptaan Tuhan. Karena itu menganggap dan menilai agama lain salah
atau sesat adalah sebuah kekeliruan (Muhaimin AG, 2004: 51).
Kerangka Berpikir Harmoni Kehidupan:
Konstruksi Perdamaian dalam relasi interaksi antar umat beragama
Ismail Suardi Wekke menulis dalam Kolaborasi Penelitiannya
dengan Korea Institute of South East Asia Studies (KISEAS), Korea Selatan
dalam Research Fellow Universiti Sultan Zainal Abidin (UniSZA):
“Agama sejatinya adalah berdasarkan praktik lingkungan dan
dijadikan sebagai bagian dari sosial (Durkheim, 2002). Dengan
demikian, lingkungan sosial jugalah yang menentukan
bagaimana agama itu menjadi instrumen yang menggerakkan
masyarakat. Sementara di Tibet, agama menjadi alat untuk
menjaga kelangsungan lingkungan. Kesadaran ini diturunkan
oleh generasi sebelumnya dengan menekankan kepada sikap
etik keagamaan terhadap penjagaan lingkungan (Ramble,
2008). Begitu juga di Nepal, lingkungan dapat terjaga dan
dijadikan sebagai sandaran hidup bagi masyarakat karena
adanya faktor agama yang senantiasa mendukung kampanye
pelestarian lingkungan (Stevens, 1997).
Channels of communication
Institution
Integrative climate
Peace leadership
Just structure
Harmoni Kehidupan Antar Umat Beragama
Dialog
Antar
anggota
Masyarakat
/antar
Umatber
agama
Pluralitas
Ke
wargaan
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 17
Dengan dukungan politik, maka secara bersama-sama, agama
juga dapat dijadikan sebagai alat untuk melanggengkan
legitimasi (West, 2006). Praktik di Papua Nugini menunjukkan
bahwa dengan kombinasi antara agama dan politik kemudian
menjadi kesatuan untuk memberikan arahan dan penekanan
terhadap agenda pemerintahan. Dalam lingkungan yang
terbatas, agama dapat pula menjadi bagian untuk menjadi
pertimbangan utama dalam pengelolaan kelas pembelajaran
bahasa (Wekke, dan Lubis, 2008).
Spirit persaudaraan dalam konteks keluarga disebut dengan
Satu Tungku Tiga Batu. Ketika sebuah tungku digunakan untuk
memasak, paling tidak memerlukan tiga batu. Lambang tiga
batu itulah menjadi metafora keragaman keyakinan. Sehingga
bagi sebuah keluarga, tidak ada masalah perbedaan agama
bahkan tiga agama sekalipun, tiga agama itu Islam, Protestan,
dan Katolik. Agama justru dijadikan alat untuk lebih bersatu
dan guyub untuk bersama-sama menopang keberlangsungan
masyarakat. Dengan perayaan agama akan menjadi sarana
dalam bertemunya kesempatan untuk saling mengunjungi,
menyapa, bertemu, dan berbagi. “Merayakan bersama” sebuah
momentum keagamaan untuk dijadikan waktu untuk membantu
keluarga yang lain. Perayaan idul fithri kesempatan bagi
masyarakat Protestan dan Katolik untuk membantu saudaranya
memasak sebagai persiapan menyambut hari raya. Sementara
bagi warga muslim ketika Natal juga menjadi kesempatan bagi
mereka untuk turut membantu memasak dan mempersiapkan
hidangan dalam menyambut tamu atau perayaan misa
sepanjang Desember.
Sementara di Kepulauan Raja Ampat dikenal Satu Rumah
Empat Pintu. Di samping Islam, Katolik, dan Protestan,
animisme juga diberikan penghormatan yang sama sebagai
bagian dari keluarga. Paling tidak dalam sebuah rumah
mereka memiliki keragaman agama antara satu dengan yang
lainnya bahkan sampai empat agama yang berbeda. Ini
menunjukkan bahwa mereka menempatkan toleransi sebagai
pilar kehidupan. Jikalau ada pilihan agama yang berbeda
dengan penghuni rumah, maka ini tidak dijadikan sebagai
sebuah alat untuk memecahkan ikatan kekeluarga. Ungkapan
“sa pu keluarga” yang berarti saya punya keluarga menjadi
dasar ikatan sosial dalam masyarakat. Sehingga agama apapun
itu, bukanlah hambatan dalam meruntukan persaudaraan yang
18 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
sudah terbangun sejak awal. Sementara agama dapat saja
berbeda dan mengalami pengubahan kapan saja
Menjelang MTQ tingkat Provinsi Papua Barat 2014, Imam
Masjid Al-Bitrul, Kiyai H. Saleh Jauhar mengalami pemukulan
dari pemuda mabuk ketika akan mengisi jadwal siaran di RRI
Kota Sorong. Saat itu masih gelap karena siaran dilaksanakan
di waktu shubuh. Kiyai Saleh tidak dapat mengenali pelaku.
Justru keluarga oknum yang beragama Protestan itulah yang
menyerahkan pelaku langsung ke kantor polisi. Sementara
pemuda gereja di Pasar Baru menjaga masjid al-Jihad sebagai
bentuk kehati-hatian karena merebaknya isu akan adanya
saling serang antar dua kelompok berbeda agama. Sementara
remaja masjid menjaga gereja Pantekosta yang berada di
Sorong Pusat. Dengan hitungan menit, Ketua Majelis Ulama
Indonesia Kota Sorong dan beberapa pastor dan pendeta sudah
bertemu kemudian mereka bersama-sama berkeliling ke
beberapa masjid dan gereja untuk menyampaikan kejadian
sebenarnya. Kurun waktu dua jam, isu yang beredar dapat
diredam dan tidak terjadi pertengkaran apapun juga yang
memang tidak diinginkan. Akhirnya MTQ berjalan dengan
sukses dan tanpa menemui kendala apapun juga. Karena Kota
Sorong merupakan tempat transit bagi seluruh kafilah yang
menuju Raja Ampat dengan menggunakan kapal fery. Jikalau
saja terjadi masalah di Kota Sorong, maka pelaksanaan MTQ
dapat saja gagal.
Sama halnya dengan perayaaan Natal, saat itu semua
penduduk Aimas berusaha untuk memeriahkan acara jamuan
makan yang dilaksanakan tokoh masyarakat Stepanus Malak.
Sementara di Malanu, Kota Sorong, Lamberthus Jitmau juga
melaksanakan syukuran Natal dengan menjamu masyarakat. Di
kedua tempat tersebut, masing-masing dimeriahkan dengan
penduduk untuk memberikan selamat Natal kepada empunya
acara. Tidak ada kekahawatiran akan soal makanan yang tidak
sesuai dengan kaidah Islam karena tukang masak yang
mempersiapkan hidangan justru berasal dari kalangan muslim.
Demikian pula alat-alat makan yang digunakan sepanjang
acara semuanya berasal dari perusahaan catering yang
dijalankan muslim. Sebelum dan setelah Natal, tetangga muslim
senantiasa membantu persiapan acara dan bahkan
membersihkan tempat acara sesuai perhelatan. Mereka juga
mengirimkan bingkisan kepada tetangga yang merayakan Natal
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 19
sebagaimana ketika umat Islam merayakan idul fithri dan idul
adha senantiasa mendapatkan kiriman bingkisan dari tetangga
Protestan dan Katolik.
Tulisan Wikke di atas menunjukkan sekaligus membuktikan bahwa
masyarakat kita sudah tidak menerima dan mengakui (internalized) sebagai
masyarakat majemuk. Semua lapisan masyarakan telah menyadari, mengakui
dan menerima kemajemukan sebagai suatu yang alami (natural) dan
sunnatullah. Itulah sebabnya, sejak lama, khususnya 28 Oktober 1928 bangsa
ini sudah tertransformasi menjadi Negara bangsa (nation state) : Negara
Kesatuan dan Persatuan Indonesia yang mengindikasikan adanya pengakuan
keragaman dan perbedaan-perbedaan di dalamnya namun tetap satu, yakni
bangsa Indonesia
Rasa kebangsaan (nasionalisme) penting bagi eksistensi suatu bangsa.
Nasionalisme Indonesia dari tahun ke tahun menunjukkan menurunan.
Beberapa tahun silam, Harian Kompas (15 Agustus 2005) pernah melakukan
jajak pendapat mengenai rasa kebanggaan masyarakat Indonesia terhadap
kehidupan berbangsa. Hasilnya sungguh mengejutkan, rasa kebanggaan
sebagai bangsa Indonesia mengalami penurunan yang signifikan. Jika pada
tahun 2003 rasa kebanggaan sebagai bangsa Indonesia di kalangan
masyarakat masih cukup tinggi (94,1 %), pada 2004 menjadi 88,6 % dan pada
2005 turun lagi mejadi 76,5%.
Mengutip Dodi Nandika (2016), kaum muda Indonesia dewasa ini
seolah kehilangan pegangan karena dihantam badai gelombang kapitalisme
global. Arus globalisasi ini terus-menerus menghantam sehingga mengikis
identitas nasional.
Rasa kebangsaan juga dikhawatirkan akan semakin memudar karena
faktor-faktor internal seperti kesenjangan (disparitas) sosial-ekonomi,
kesenjangan antar-wilayah, munculnya nasionalisme-etnik seperti yang terjadi di
negara-negara bekas Soviet dan Yugoslavia, konflik rasial, konflik-konflik
horizontal, menguatnya ideologi-ideologi tandingan terhadap Pancasila,
radikalisme agama, gagalnya transisi demokrasi secara damai, dan
ktidakmampuan para pemimpin dalam mengelola konflik dan kepentingan.
Krisis karakter bangsa itu berpengaruh terhadap kehidupan berbangsa dan
bernegara kita. Akibat krisis karakter bangsa ini, berbagai tatanan kehidupan
berbangsa dan bernegara kita mengalami situasi yang memprihatinkan.
Kehidupan publik menurut Yudi Latif (2009: 80) akhirnya hanya merefleksikan
nilai-nilai buruk, dan kurang mengaktualisasikan nilai luhur masyarakat
Toleransi adalah nilai dan tradisi yang niscaya dalam sebuah
masyarakat yang majemuk dan multikultur. Menurut saya, semua agama dan
budaya, mengajarkan toleransi, apalagi dalam masyarakat majemuk dan
20 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
multikultur seperti Indonesia. Tanpa toleransi, masyarakat akan selalu berada
dalam suasana konfliktual yang destruktif, saling bermusuhan, penuh arogansi
dan tidak stabil. Toleransilah yang bisa membuat perbedaan menjadi kekuatan,
mentransformasikan keragaman menjadi keharmonisan. Toleransi
memungkinkan masyarakat plural bergerak maju secara dinamis dalam situasi
sosial yang damai dan stabil.
Seperti dikemukakan KH Abdurahman Wahid (1991), yang sering disebut
Bapak Toleransi dan Pluralisme Indonesia, tegaknya pluralisme masyarakat
bukan hanya terletak pada pola hidup berdampingan secara damai (peaceful
coexistence), karena hal demikian masih sangat rentan terhadap munculnya
kesalahpahaman antar-kelompok masyarakat yang pada saat tertentu bisa
menimbulkan disintegrasi. Lebih dari itu penghargaan terhadap pluralisme berarti
adanya kesadaran untuk saling mengenal dan berdialog secara tulus sehingga
kelompok yang satu dengan yang lain bisa saling memberi dan menerima (take
and give). Kesadaran semacam inilah yang disebut toleransi plus. Gus Dur
menyatakan bahwa ia akan menerima dan menyampaikan kebenaran yang datang
dari manapun, apakah itu datang dari Injil, Bhagawad Gita, atau yang lain.
E. Mengapa Fundamentalis (Islam)?
Kendatipun fundamentalisme ada pada semua agama,
fundamentalisme Islam terbukti memainkan peran politik terpenting sejak
abad ke-18. Hal ini merujuk pada sejarah kehadiran Islam di mana
keberadaannya sebagai agama dan negara tak bisa dipisahkan. Banyak
pengamat menyebut bahwa ruang bagi sekulerisme dalam Islam tidak sebesar
pada agama-agama besar lain di dunia (Barber, 1995: 206). Sebagai alternatif
terhadap nation-state dan nasionalisme, kelompok fundamentalis
mengumumkan pernyataan kembali kepada nizâm Islam (Khilâfah
Islâmiyyah).
Gerakan ini, menurut Juergensmeyer (1993: 46) menjadi ancaman
serius bagi stabilitas nation-state di berbagai kawasan, di Timur Tengah,
Afrika, Asia Selatan, Asia Tengah dan Asia Tenggara. Gerakan ini memiliki
lima karakteristik umum: menolak nasionalisme sekuler; menganggap
nasionalisme sekuler sebagai Barat dan neokolonial; penolakannya bersifat
fundamental, seringkali sengit dan keras; membalut perjuangannya dengan
retorika-retorika agama, ideologi dan kepemimpinan; dan menawarkan
alternatif religius bagi negara-bangsa sekuler
Menguatnya gerakan nizâm Islam di Timur Tengah dan Afrika
menyumbang spiral kekerasan dan konflik berdarah sejak meletus Arab
Spring (al-rabî’ al-‘Araby) pada 2010. Jutaan nyawa melayang, terusir, dan
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 21
sengsara akibat perang saudara di Tunisia, Mesir, Libya, Yaman, Irak, Sudan,
dan Somalia. Kelompok jihadis seperti ISIS (Islamic State of Iraq and Syria)
dan Jabhat an-Nushrahmemainkan peran penting dalam sejumlah tragedi
berdarah di negeri-negeri Muslim. Mereka adalah penjelmaan politik dari
madzhab “kebenaran tunggal” yang merekrut sejumlah pengikut militan di
berbagai tempat, termasuk Tanah Air. Islam sebagaimana tampak di Timur
Tengah dan Afrika ternyata tidak cukup menjadi faktor pemersatu (Iskandar,
2017).
Beberapa negara Afrika yang penduduknya hampir 100% Muslim
justru dilanda konflik yang parah. Negeri-negeri Timur Tengah yang sedang
diamuk perang juga mayoritas beragama Islam. Dalam kasus Arab Spring,
ketiadaan konsensus ideologis berubah menjadi bara api begitu sekelompok
orang berjuang menegakkan agenda Islam dalam corak yang keras, menuntut
formalisasi syariat Islam, atau mendirikan negara Islam. Pergolakan politik
yang ditimbulkan oleh gerakan fundamentalisme agama tidak sekadar
menciptakan rintangan bagi perdamaian dunia, tetapi menyumbang secara
aktif terjadinya kekacauan dunia yang sarat kekerasan. Menurut Tibi (1998:
113), gejala fundamentalisme agama adalah ekspresi ideologis dari
“kembalinya anarki.”
Islam dan nasionalisme pernah menjadi substansi yang paling serius
diperdebatkan dalam rangka penetapan dasar negara menjelang Indonesia
merdeka. Kendatipun Islam merupakan agama bagi golongan terbesar
penduduk Indonesia, para pendiri bangsa tidak merujuk kepada sumber-
sumber ajaran dan sejarah Islam untuk wawasan mereka tentang negara-
bangsa (Madjid, 2003: 84). Di tengah pertentangan antara kubu Islam dan
netral agama, sebuah rumusan kompromi yang dikenal dengan “Piagam
Jakarta 22 Juni 1945” menambahkan tujuh kata dalam dasar negara sehingga
berbunyi: Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi
pemeluk-pemeluknya; Kemanusiaan yang adil dan beradab; Persatuan
Indonesia; Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan; dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia (Yamin, 1959: 153-54).
Sehari setelah Proklamasi, atas keberatan dari penduduk Indonesia
Timur dan demi menjaga keutuhan bangsa, para pendiri bangsa setuju
menghapuskan tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Sebagai gantinya, atas
kepeloporan KH Wahid Hasyim, Piagam Jakarta diganti dengan rumusan
Ketuhanan Yang Maha Esa, di mana penambahan kata Esa menggarisbawahi
prinsip tauhid yang tidak terdapat pada agama lain. Dengan demikian,
Indonesia tidak menjadi negara Islam, tetapi negara monoteis (Feillard, 1999:
39).
22 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
Konvergensi antara Islam dan nasionalisme dalam NKRI merupakan
capaian dari upaya sintesis yang tidak mudah (uneasy synthesis) (Binder,
1979).Pancasila dan NKRI adalah jalan tengah simbiotik di antara dua arus
pandangan, yaitu pandangan yang ingin memisahkan agama dan negara
(sekularistik) dan pandangan yang ingin menyatukan keduanya dengan jargon
al-Islâm dîn wa dawlah. Para founding fathers telah meletakkan legacy bagi
tercapainya konsensus nasional.
Sintesis Islam-nasionalisme di Indonesia dipermudah oleh
karakteristik Islam Indonesia yang toleran dan pluralistik. Islam memang
agama terbesar yang paling banyak dipeluk oleh bangsa Indonesia, tetapi
ekspresi Islam Indonesia sangat beragam. Islam disebarkan di Indonesia
bukan melalui perang dan kampanye militer, tetapi melalui proses pembauran
dengan agama dan budaya yang sudah terlebih dulu ada di Nusantara.
Islamisasi di Indonesia tidak membabat secara radikal pengaruh-
pengaruh kepercayaan animisme, Hinduisme, dan Budhisme yang telah
berakar kuat di Jawa, Bali, dan pulau-pulau lainnya. Islam Indonesia,
terutama yang disebarkan oleh Wali Sanga, cukup toleran terhadap
kecenderungan-kecenderungan sinkretik sembari secara perlahan
menyusupkan pesan Islam ke dalam praktek kepercayaan kuno mereka.
Islamisasi yang dilakukan Wali Songo adalah substansialisasi Islam, yakni
tidak memerangi bentuk tetapi menyusupkan isi. Sintesis kreatif ini secara
baik ditunjukkan oleh model dakwah Sunan Kalijaga, yang menjelma dalam
istilah-istilah kejawen tetapi sebenarnya berisi Islam, seperti Sekaten, Dalang,
Jimat Kalimosodo, dan lain sebagainya (Syeirazi, 2013: 143) .
Survei yang dirilis Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC)
pada Juni 2017 menunjukkan, 79,3 persen responden menganggap NKRI
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 adalah terbaik bagi rakyat Indonesia.
Hanya 9,2 persen yang mendukung Khilafah seperti perjuangan ISIS dan HTI (https://nasional.tempo.co/ read/news/2017/ 06/04/ 078881411/ survei-smrc-
mayoritas-masyarakat-tolak-isis-hti-dan-khilafah). Kebangkitan Islam di
Indonesia secara umum tidak menjelma sebagai fundamentalisme Islam,
melainkan Islam yang oleh Nakamura (1993: 24-5) disebut sebagai “Islam
yang modern dan cantik”.
Kelangsungan dan kejayaan NKRI akan sangat ditentukan oleh
kemampuannya menghadapi tiga tantangan sebagaimana diuraikan di atas
yaitu etnonasionalisme dan masalah kebhinekaan, fundamentalisme agama
yang berniat mendirikan Khilafah transnasional, dan fundamentalisme pasar
yang melahirkan frustrasi dan ketimpangan. NKRI akan eksis dan berjaya
kalau sanggup mengelola kebhinekaan dan mentransformasi kan nasionalisme
etnis (ethnic nationalism) menuju nasionalisme kewargaan (civic
nationalism). Masyarakat majemuk (plural society) yang terfragmentasi
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 23
harus ditransformasikan menjadi masyarakat multikultur (multicultural
society) yang mengakui dan menghargai kehadiran beragam kelompok dalam
kesatuan masyarakat luas, menerima perbedaan sosio-kultural mereka, serta
memberdayakan dan mendorong kontribusi mereka melalui penerapan
budaya inklusif dalam masyarakat luas (Rosado, 1996:2). Tugas negara
adalah menjamin politik pengakuan (the politics of recognition) terhadap
keberagaman masyarakat dan pengakuan terhadap kelompok minoritas
(Kymlicka, 1995).
F. Pendidikan Tinggi dan Pembentukan Karakter bangsa
Menurut Ketua Mata Kuliah Wajib Universitas Airlangga (MKWU-
UA), Santoso (2017), paling tidak terdapat tiga (3) tahapan membangun
karakter positif anak bangsa yangseharusnya menjadi tanggungjawab institusi
pendidikan, yakni (i) sebagai pembangun kembali karakter bangsa (character
builder). (ii) Sebagai pemberdaya karakter (character enabler). Pembangunan
kembali karakter bangsa tentunya tidak akan cukup, jika tidak dilakukan
pemberdayaan secara terus menerus. Bentuk praktisnya adalah kemauandan
hasrat yang kuat untuk menjadi role model dari pengembangan karakter
bangsa yang positif. (iii) Sebagai perekayasa karakter (character engineer).
Peran yang terakhir ini menuntut untuk terus menerus melakukan
pembelajaran. Harus diakui bahwa pengembangan karakter positif bangsa,
bagaimanapun juga, menuntut adanya modifikasi dan rekayasa yang tepat
disesuaikan dengan perkembangan jaman.
Sebagai sistem nilai, maka nilai-nilai utama karakter bangsa yang
hendak dibentuk di Universitas Airlangga (UA) harus memiliki nilai praksis
dalam kehidupan kampus dan mewarnai perilaku kehidupan sehari-hari. Agar
nilai-nilai tersebut terimplementasi, maka perlu ada strategi pembentukan
karakter bangsa tidak hanya dalam kegiatan intra kurikuler, melainkan juga
ekstra kurikuler.
Mengacu pada Undang Undang Pendidikan Nasional Bab 1, Pasal 1
yang menjelaskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembanghkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulian, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara. Mengacu pada isi UU tersebut, pada hakikatnya mahasiswa adalah
insan akademik yang sedang mengembangkan kepribadian (aspek kognitif,
afektif, dan perilaku) melalui beragam kegiatan yang dapat diikutinya sebagai
mahasiswa (Zainuddin, dkk, 2009: 26-27).
24 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
Kegiatan pendidikan karakter dalam grandscenario pendidikan di UA
bersifat berkelanjutan sesuai dengan tahap-tahapnya. Kegiatan ini
diselenggarakan tidak hanya pada saat mahasiswa baru, tetapi terus berlanjut
sampai pada semester akhir. Ranah pertama, Kegiatan ini bersifat
ekstrakurikuler tapi diselenggarakan intrakampus, agar pencapaian
keberhasilan mudah dipantau.
Kegiatan pendidikan karakter yang bertujuan untuk menguatkan
wawasan kebangsaan bagi mahasiswa ini bersinergi dengan kegiatan lainnya,
yang selama ini sudah diselenggarakan di lingkungan UA, antara lain, 1)
Penguatan kebersamaan mahasiswa dalam kehidupan di kampus melalui
kegiatan PPKMB, 2) Peningkatan kualitas karakter diri melalui kegiatan
Emotional Spritual Quession (ESQ), 3) Pembiasaan kehidupan berkarakter
unggul melalui Satuan Kredit Prestasi (SKP), dimana setiap mahasiswa UA
memiliki kewajiban untuk terlibat dalam salah satu kegiatan kemahasiswa
yang diselenggarakan oleh Universitas Airlangga.
Ranah kedua dalam strategi implementasi pendidikan karakter adalah
melalui pengintegrasian nilai-nilai karakter dalam proses pembelajaran
kurikuler, utamanya melalui pembelajaran Mata Kuliah Wajib Universitas
(MKWU). Pembelajaran MKWU memang merupakan program yang sama
bagi setiap perguruan tinggi, yang berbeda hanyalah metode pelaksanaannya.
MKWU di Universitas Airlangga masih mempertahankan content perkuliahan
dalam dua arus utama, yakni (i) Mata kuliah Pengembangan Kepribadian
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 25
(MPK) yang terdiri dari Pendidikan Agama, Pendidikan Bahasa, dan
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) dan (ii) Mata kuliah
Berkehidupan Bersama (MBB) yakni Ilmu Sosial dan budaya Dasar (ISBD)
dan Ilmu Alamiah Dasar (IAD). Misalnya dilakukan melalui penguataan
kesadaran keragaman melalui study excursy mata kuliah pengembangan
kepribadian (MPK) yang berada dalam pengelolaan Mata Kuliah Wajib
Universitas (MKWU).
Daftar Pustaka
▪ Azra, Azyumardi, Merawat Kemajemukan Merawat Indonesia,
Yogyakarta, Impulse 2007.
▪ Barber, Benjamin (1995), Jihad Vs. Mc World. New York and Canada:
Times Books & Random House.
▪ Binder, Leonard (1979), The Ideological Revolution in the Middle East.
New York: Robert E. Krieger Publishing Co.
▪ Feillard, Andrée (1999), NU vis-à-vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk, dan
Makna. Yogyakarta: LKíS.
▪ Furnivall, J.S. Netherlands India. Cambridge: Cambridge University
Press, 1939
▪ Holton, Robert J. (1998), Globalization and Nation-State. London:
Macmillan Press Ltd.
▪ Iskandar, Muhaimin (2017), “Memperkokoh Politik Kebhinekaan”,
Pidato Pengukuhan Doktor Honoris Causa pada bidang Sosiologi Politik
Fakultas Ilmu Sosial dan ilmu Politik Universitas Airlangga, 2017.
▪ Juergensmeyer, Mark (1993), The New Cold War? Religious Nationalism
Confronts the Secular State. Barkeley and Los Angeles: University of
California Press.
▪ _________(1995), “The New Religious State”, Comparative Politics,
Vol. 27, No. 4, (July).
▪ Lestari, Gina, BHINNEKHA TUNGGAL IKA: KHASANAH
MULTIKULTURAL INDONESIA DI TENGAH KEHIDUPAN SARA
Program Studi Ketahanan Nasional Universitas Gadjah Mada, Jurnal
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 28, Nomor 1, Pebruari
2015 Yogyakarta
▪ Mahfud, C. (2005). Pendidikan Multikultural.Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
▪ Madjid, Nurcholish. 1992. Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah
Kritis tentang
26 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
▪ Masalah keimanan, kemanusiaan dan Kemoderanan. Jakarta: Yayasan
wakaf Paramadina
▪ Nasikun, Sistem Sosial Indonesia, Jakarta: Rajawali Perss, 1995.
▪ Madjid, Nurcholish, Indonesia Kita. Jakarta: Universitas Paramadina.
2003.
▪ Mitchell, Christopher; “Conflict, Social Change, and Conflict Resolution:
An Enquiry”, Berghof Conflict Research, 2005, hlm 7, dalam http://
citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/download?doi=10.1.
1.116.2268&rep=rep1&type=pdf
▪ Ohmae, Kenichi (1990), The Borderless World; Power and Strategy in
the Interlinked Economy. London: Harper Business.
▪ _________ (1996), The End of the Nation-State; The Rise of Regional
Economies. Hammersmith, London: HarperCollinsPublisher.
▪ Ohmae, Kenichi (1990), The Borderless World; Power and Strategy in
the Interlinked Economy. London: Harper Business.
▪ Rosado, Caleb (1996), “Toward a Definition of Multiculturalism,”
Published Paper at http://rosado.net/pdf/Def_of_Multiculturalism.pdf
▪ Rourke, John T. (1986), International Politics on World Stage. Monterey,
California: Brooks/Cole Publishing Company.
▪ Santoso, Listiyono dan Moses, “Pendidikan Karakter Sebagai Strategi
Penguatan wawasan Kebangsaan mahasiswa”, Makalah. Tanpa tahun
▪ Snyder, Jack (2000), From Voting to Violence: Democratization and
Nationalist Conflict. New York, London: W.W. Norton & Company.
▪ Simatupang, T.B. (1991), Membuktikan Ketidakbenaran Suatu Mitos:
Menelusuri Makna Pengalaman Seorang Prajurit Generasi Pembebas
bagi Masa Depan Masyarakat, Bangsa, dan Negara. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan.
▪ Suparlan, Supardi, Sukubangsa dan Hubungan Antar-Sukubangsa,
Jakarta; Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian, 2005
▪ Rosado, Caleb (1996), “Toward a Definition of Multiculturalism,”
Published Paper at http://rosado.net/pdf/Def_of_Multiculturalism.pdf
▪ Simatupang, T.B. (1991), Membuktikan Ketidakbenaran Suatu Mitos:
Menelusuri Makna Pengalaman Seorang Prajurit Generasi Pembebas
bagi Masa Depan Masyarakat, Bangsa, dan Negara. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan.
▪ Sukidi, “Dari Pluraisme Agama Menuju Konvergensi Agama-agama”,
KOMPAS, 17 Oktober 1998.
▪ Wahid, Abdurrahman, “Intelektual di Tengah Eksklusifisme”, Prisma,
No. 3, Maret 1991
▪ Wekke, Ismail Suardi, Agama, Persaudaraan dan Ikatan Emosional:
Harmoni Sosial Minoritas Muslim Papua Barat. Sekolah Tinggi Agama
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 27
Islam Negeri (STAIN) Sorong Research Fellow Universiti Sultan Zainal
Abidin (UniSZA), Malaysia
▪ Yamin, M. (1959), Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945,
Jilid I. Jakarta: Jajasan Prapanca.
Yosua Praditya Suratman, Yosua Praditya, Taxonomi of Internal Conflict that
Leads Into Proxy War in Indonesia; Sekretariat Dewan Analis Strategis
28 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
==(2)==
PENANAMAN NILAI KARAKTER PEDULI
LINGKUNGAN DI ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0
MELALUI MODEL ECO-EDUTAINMENT DALAM
PEMBELAJARAN IPS DI SMP KOTA SEMARANG
Apik Budi Santoso; Dewi Liesnoor Setyowati; Wasino
(Dosen Fakultas Ilmu Sosial UNNES)
ABSTRAK
Pendidikan di lingkungan sekolah dapat dijadikan sebagai tempat yang
baik untuk penanaman dan pembentukan karakter peserta didiknya.
Penanaman karakter dalam pendidikan dapat menjadi dasar yang kuat bagi
penanaman karakter peduli lingkungan yang terarah dan terkontrol. Karakter
peduli lingkungan dapat ditanamkan melalui program-program yang ada
disekolah atau bahkan dalam proses pembelajaran di sekolah. Terutama
dalam pembelajaran IPS yang merupakan salah satu mata pelajaran yang
relevan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik dalam memahami
masalah-masalah kehidupan, baik secara konseptual maupun secara empirik.
Ditambah dengan kondisi global saat ini semakin memprihatinkan yang
disebabkan karena ulah manusia yang mengeksploitasi sumber daya alam dan
lingkungan tanpa batas serta kurangnya rasa peduli terhadap lingkungan.
Selain itu, memasuki revolusi industri 4.0 yang mana pada era ini terjadi
kemajuan teknologi memberikan pengaruh pada hampir semua bidang
kehidupan manusia, yakni dengan adanya efektifitas dan efisiensi yang
ditawarkan oleh teknologi-teknologi pada era revolusi industri 4.0 membawa
dampak negatif dan merusak tatanan kehidupan lainnya. Salah satu dampak
revolusi industri 4.0 adalah dalam bidang industri. Prinsip industrialisasi
menyebabkan adanya masalah baru, yakni adanya polusi limbah yang
dihasilkan karena efek samping pabrik, mesin, dan bahan kimia yang
digunakan dalam proses industri. Limbah ini menyebabkan masalah baru
karena mencemari lingkungan. Sehingga, dengan adanya pembelajaran IPS di
SMP yang berorientasi pada pemecahan masalah lingkungan mampu
memberikan pendidikan dalam bentuk penanaman nilai karakter peduli
lingkungan. Adapun implementasi ini dilakukan melalui model pembelajaran
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 29
Eco-edutainment yang merupakan salah satu konsep belajar, aktif dengan
menggunakan alam sebagai media dan sumber belajar.
Hasil penelitian serta penerapan metode pembelajaran yang peneliti
lakukan di beberapa SMP di Kota Semarang, pelaksanaan pembelajaran yang
berwawasan lingkungan menyenangkan (Eco-edutainment) dilakukan dengan
beberapa cara dan metode. Diantaranya ialah dengan menggunakan metode
diskusi dengan media gambar dan puzzle, serta dengan menggunakan metode
field trip dengan menggunakan media air di sekitar lingkungan sekolah
sebagai objek yang diteliti. Penanaman nilai kepedulian terhadap lingkungan
yang dimaksudkan pada pembelajaran IPS ini ialah dengan cara mengajak
peserta didik untuk mengenali lingkungan di sekitar mereka, terutama
lingkungan yang terkena pencemaran. Baik itu pencemaran air, tanah,
maupun pencemaran udara. Beberapa nilai karakter peduli lingkungan yang
dapat diterapkan dalam pembelajaran IPS melalui model eco-edutainment
adalah pemahaman terkait konsep peduli lingkungan yang diintegrasikan
pada materi yang akan disampaikan saat pembelajaran berlangsung.
Kata Kunci: Karakter Peduli Lingkungan, Pembelajaran IPS,
Eco-edutainment, Revolusi Industri 4.0
A. Pendahuluan
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, selain itu bertujuan untuk
mengembangkan ptensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab (UU RI No.20 Tahun 2003 Pasal
3). Pendidikan karakter yang menurut Aqib (2011: 38) diartikan
sebagai bantuan sosial terhadap individu supaya dapat bertumbuh
dalam menghayati kebebasannya dalam hidup bersama dengan orang
lain. Pendidikan dalam hal ini memiliki dua tujuan yaitu membantu
peserta didik menjadi pintar dan membantunya menjadi lebih baik dan
melalui pendidikan menjadikan peserta didik sebagai bentuk dari
pembangunan karakter bangsaini.
30 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
Pendidikan di lingkungan sekolah dapat dijadikan sebagai tempat
yang baik untuk penanaman dan pembentukan karakter peserta
didiknya. Segala peristiwa yang terjadi di lingkungan sekolah dapat
diintegrasikan sebagai program penanaman karakter dalam kegiatan
belajar mengajar di kelas dengan dilakukan pendekatan terintegrasi
dengan berbagai mata pelajaran. Penanaman karakter dalam instansi
sekolah melalui pendidikan merupakan suatu upaya untuk membentuk
generasi yang mampu menempatkan dirinya dalam berbagai situasi.
Penanaman karakter melalui pendidikan di sekolah sangat penting,
terutama dalam membentuk karakter maupun perilaku individu yang
mencakup potensi kognitif, afektif, psikomotorik dan fungsi sosial
dalam berinteraksi dengan lingkungan.
Kondisi global saat ini semakin memprihatinkan. Hal ini
disebabkan karena ulah manusia yang mengeksploitasi sumber daya
alam dan linkungan tanpa batas serta kurangnya rasa peduli terhadap
lingkungan. Selain itu, memasuki revolusi industri 4.0 yang mana pada
era ini terjadi kemajuan teknologi baru yang terintegrasi antara dunia
digital, fisik, dan biologis. Kemajuan teknologi tersebut memberikan
dampak atau pengaruh pada hampi semua bidang kehidupan manusia.
Kemajuan-kemajuan teknologi sangat membantu aktivitas sehari-hari
manusia, dimana era yang menjunjung otomatisasi dan digitalisasi
yang sangat membantu kewajiban industri atau perusahaan dan
meningkatkan proses produksinya dengan pengerjaannya yang lebih
efisien dan efektif.
Dibalik semua kecanggihan dan manfaat dari revolusi industri
4.0 juga membawa dampak buruk bagi kehidupan. Efektifitas dan
efisiensi yang ditawarkan oleh teknologi-teknologi pada era revolusi
industri 4.0 juga turut membawa dampak yang arahnya negatif dan
merusak tatanan kehidupan lainnya. Salah satu dampak revolusi
industri 4.0 adalah dalam bidang industri. Prinsip industrialisasi dalam
hal ini menyebabkan adanya masalah baru, yakni adanya polusi limbah
yang dihasilkan karena efek samping pabrik, mesin, dan bahan kimia
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 31
yang digunakan dalam proses industri. Limbah ini menyebabkan
masalah baru karena mencemari lingkungan.
Berkaitan dengan perilaku manusia terhadap sumber daya alam
dan lingkungan yang cederung tidak peduli dan merusak, maka
prioritas utamanya adalah mengubah perilaku dalam upaya mengatasi
krisis lingkungan. Nilai karakter peduli lingkungan adalah salah satu
dari 18 karakter yang ditetapkan oleh Pusat Kurikulum Keenterian
Pendidikan dan Kebudayaan yang dimulai pada Tahun 2011, seluruh
tingkat pendidikan di Indonesia harus menyisipkan pendidikan karakter
tersebut. Karakter peduli lingkungan ini dideskripsikan sebagai sika
dan tindakan yang selalu beriupaya mencegah kerusakan pada
lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya
untuk memperbaiki kerusakan alam yang terjadi (Listyarti, 2014: 7).
Bumi adalah satu-satunya tempat habitat manusia untuk hidup,
manusia merupakan makhluk yang dibekali akal diharapkan mampu
menjaga keberlangsungan hidup dan menyelamatkan bumi dari
kerusakan. Karakter peduli lingkungan merupakan salah satu karakter
yang wajib diimplimentasikan di setiap jenjang pendidikan.
Uno, H. B dan Mohammad, N. (2012: 36) menyatakan bahwa
penanaman, pemahaman dan kesadaran tentang pentingnya menjaga
kelestarian lingkungan sangat baik apabila diterapkan melalui
pendidikan. Penanaman karakter dalam pendidikan dapat menjadi
dasar yang kuat bagi penanaman karakter peduli lingkungan yang
terarah dan terkontrol. Karakter peduli lingkungan dapat ditanamkan
melalui program-program yang ada disekolah atau bahkan dalam
proses pembelajaran di sekolah. Terutama dalam pembelajaran IPS
yang merupakan salah satu mata pelajaran yang relevan untuk
meningkatkan kemampuan peserta didik dalam memahami masalah-
masalah kehidupan, baik secara konseptual maupun secara empirik. Di
SMP pendidikan IPS merupakan mata pelajaran terpadu yang
mengintegrasikan aspek Sejarah, Geografi, Sosiologi, Antroplogi, dan
Ekonomi sehingga peserta didik memiliki peluang yang luas untuk
menguasai berbagai kompetensi dasar yang diperlukan dalam
32 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
memahami, mengidentifikasi, dan menemukan solusi pemecahan
masalah-masalah kehidupan (sosial). Oleh karena itu, tidak berlebihan
apabila pendidikan IPS harus dipertahankan dan dilaksanakan secara
konsisten dan konsekuen karena memiliki kontribusi yang signifikan
terhadap pengembangan sumber daya manusia yang bermutu, sehingga
disini peserta didik akan dilatih untuk lebih kritis dalam pembelajaran.
Implementasi pembelajaran IPS di SMP yang berorientasi pada
pemecahan masalah lingkungan serta penanaman nilai karakter peduli
lingkungan dapat dilakukan melalui model pembelajaran Eco-
edutainment yang merupakan salah satu konsep belajar, aktif dengan
menggunakan alam sebagai media dam bahan pembelajaran untuk
belajar. Pembelajaran yang tidak hanya dilakukan di dalam kelas tetapi
banyak menggunakan alam atau lingkungan sebagai sumber belajar.
Melalui model pembelajaran Eco-edutainment berupaya untuk
mendidik siswa supaya memahami dan mempraktikkan langsung cara
–cara penanganan masalah-masalah lingkungan, seperti pencemaran
tanah, pencemaran udara, dan pencemaran air.
Penerapan model pembelajaran Eco-edutainment ini mempunyai
target pencapaian, dimana dalam ranah kognitif siswa mampu
mengetahui dan memahmai berbagai permasalahan lingkungan hidup
dan kependudukan serta dampak-dampaknya yang mengancam
keberlanjutan kehidupan di bumi. Ranah afektif, siswa dapat
menumbuhkan dalam dirinya kesadaran, sikap, dan perilaku, serta
membangkitkan keinginan berpartisipasi aktif di dalam pemecahan
permasalahan lingkungan hidup dan kependudukan.Ranah psikomtorik,
siswa memiliki keterampilan yang efektif dan aplikatif di dalam upaya
pencegahan dan penanggulangan terhadap berbagai permasalahan
lingkungan hidup dan kependudukan. Melalui model pembelajaran
Eco-edutainment di sekolah yang berbasis pendidikan alam ini
diharapkan dapat melahirkan peserta didik yang mempunyai pribadi
unggul dan berkarakter peduli lingkungan.
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan diatas, maka
rumusan masalah dalam penelitian ini adalah 1) bagaimana
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 33
pelaksanaan pembelajaran IPS berwawasan lingkungandi Kota
Semarang? 2) bagaimana penanaman nilai karakter peduli lingkungan
melalui model Eco-edutainment dalam pembelajaran IPS di SMP Kota
Semarangpada era revolusi industri 4.0? Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pelaksaan pembelajaran pembelajaran IPS berwawasan
lingkungan di Kota Semarang serta menanamkan nilai karakter peduli
lingkungan melalui model Eco-edutainment dalam pembelajaran IPS di
SMP Kota Semarang.
B. Metode Penelitian
Jenis dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Dalam penelitian
kualitatif dilakukan upaya penafsiran atau pemaknaan suatu peristiwa,
interaksi, atau perilaku manusia dalam suatu waktu tertentu dengan
perspektif peneliti sendiri serta dilakukan dalam situasi yang wajar
(natural setting). Bogdan dan Taylor (1992 :21-22) menjelaskan bahwa
penelitian Kualitatif adalah salah saru prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa ucapan atau tulisan dan perilaku
orang-orang yang diamati. Penelitian di lakukan SMP 20, SMP 14,
SMP 38, SMP 28, SMP 32 dan SMP 16 Kota Semarang.
Fokus Penelitian
Berdasarkan pada latar belakang serta rumusan masalah dan
pendekatan penelitian kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini,
maka fokus penelitian ini adalah: 1) pelaksanaan pembelajaran IPS
berwawasan lingkungan di Kota Semarang. 2) penanaman nilai
karakter peduli lingkungan melalui model Eco-edutainment dalam
pembelajaran IPS di SMP Kota Semarang pada era revolusi industri
4.0.
Data dan Sumber Penelitian
Data atau informasi yang paling penting untuk dikumpulkan dan
dikaji dalam penelitian ini sebagian besar berupa data kualitatif.
34 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
Informasi tersebut akan digali dari beragam sumber data. Sumber data
penelitian ini ada dua yaitu primer dan sekunder.
Data Primer
Data primer dalam penelitian ini meliputi data pokok mengenai
pembelajaran IPS di SMP Kota Semarang mulai dari perencanaan,
pelaksanaan hingga evaluasi. Data tersebut diperoleh melalui
wawancara, angket serta observasi di sekolah pada guru IPS dan siswa.
Untuk mendukung keakuratan data maka peneliti juga mengambil data
primer sesuai kebutuhan penelitian dengan menggunakan teknik
catatan lapangan.
Data Sekunder
Data sekunder dalam penelitian ini berupa kurikulum, Silabus,
RPP, media pembelajaran yang digunakan guru, serta hasil belajar IPS
siswa dan juga kajian dari berbagai literatur ilmiah yang telah
dipublikasikan. Data ini diperoleh malalui teknik dokumentasi. Data
tersebut dimanfaatkan oleh peneliti dari pihak terkait dalam bentuk
data olahan yang dapat digunakan untuk mendukung data primer dalam
penelitian.
Teknik pengumpulan data
Keberadaan data dalam suatu penelitian memegang peranan yang
penting karena dipergunakan untuk menbuktikan suatu kebenaran
terhadap peristiwa atau kejadian yang diamati. Penelitiaan ini
mengunakan orang (peneliti) sebagai instrumen utama dalam
melaksanakan kegiataan pengumpulan data. Karena untuk memperoleh
data dari informan yang benar-benar menguasai dan berhubungan
langsung dengan permasalahan yang akan diamati selama proses
penelitian berlangsung. Teknik pengumpulan data yang peneliti
gunakan adalah wawancara dan interview, observasi, dokumentasi dan
catatan lapangan.
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 35
Wawancara dan Interview
Wawancara dilakukan kepada guru IPS dan juga Siswa SMP di
kota Semarang serta kepada kepada sekolAH tempat sekolah diteliti,
dan guru-guru mata pelajaran IPS di SMP 20, SMP 14, SMP 38, SMP
28, SMP 32 dan SMP 16 Kota Semarang.
Observasi
Observasi non-partisipan ini akan dilakukan dengan tujuan untuk
mengetahui berbagai aktivitas yang berlangsung terutama pada saat
pelaksanaan pembelajaran IPS serta penanaman nilai karakter peduli
lingkungan melalui model Eco-edutainment dalam pembelajaran IPS.
Dokumentasi
Dalam kajian penelitian ini dokumen yang sangat di butuhkan
antara lain kurikulum pembelajaran IPS, Silabus IPS, RPP IPS, yang
berwawasan lingkungan data hasil evaluasi pembelajaran IPS dan
sumber-sumber lain yang mendukung untuk memperkuat informasi
mengenai pelaksanaan Pembelajaran IPS dan penanaman nilai karakter
peduli lingkungan melalui model Eco-edutainment dalam pembelajaran
IPS.
Catatan Lapangan
Catatan lapangan ini digunakan untuk memperoleh data terkait
seperti apa/bagaimana pembelajaran IPS berlangsung, sarana dan
prasarana pembelajaran yang dipergunakan dan berbagai aktivitas yang
berlangsung dalam pembelajaran IPS maupun diluar pembelajaran IPS
yang dimana data tersebut menunjang dan dibutuhkan dalam penelitian
ini.
Focus Grup Discussion
Pelaksanaan Focus Grup Discussion (FGD) dilakukan untuk
mendapatkan data yang lebih akurat serta tidak melebar. Selain
mencari data, melalui FGD juga bertujuan mendapatkan masukan dari
para guru mengenai proses pembelajaran IPS yang menyenangkan
36 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
mulai dari perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasi dalam
pembelajaran serta bagaimana penanaman nilai karakter peduli
lingkungan melalui model Eco-edutainment dalam pembelajaran IPS.
FGD dilakukan dengan mempertemukan pihak-pihak yang terkait
dengan pembelajaran IPS SMP di Kota Semarang. Pihak tersebut
antara lain, antara guru IPS SMP Kota Semarang, forum MGMP IPS
Kota Semarang, serta pakar dalam bidang IPS.
Teknik Keabsahan Data
Penelitiaan yang dilakukan, apabila peneliti melaksanakan
pemeriksaan terhadap keabsahan data secara cermat dengan teknik
yang tepat maka jelas bahwa hasil upaya penelitiannya dapat
dipertanggungjawabkan. Keabsahan data dalam penelitian
menggunakan teknik triangulasi data. Triangulasi data yang digunakan
yaitu (1)Triangulasi data (data triangulasi), (2)Triangulasi peneliti
(investigatortriangulasi), (3)Triangulasi metodologi (methodologic
triangulation), (4)Triangulasi teoritis (theoretical triangulation).
TeknikAnalisis Data
Analisis data kualitatif dalam Miles (1992: 74) terdiri dari tiga
alur kegiatan yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan
kesimpulan. Langkah-langkah yang di lakukan setelah pengumpulan
data dalam penelitian sebagai berikut: Pertama: Reduksi data: Reduksi
data merupakan proses pemilihan, pemusatan perhatian pada
penyederhanaan, pengabstrakan, dan tranformasi data kasar yang
muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Sebagai salah satu
bentuk dari analisis, maka proses mempertegas, memperpendek, dan
juga mengatur data merupakan sesuatau hal yang sangat penting untuk
dilaksanakan. Pada tahap ini, langkah-langkah analisis setelah
pengumpulan data selesai, maka peneliti mulai melakukan penyajian
dengan mereduksi data terlebih dahulu. Kedua: Penyajian data.
Sebagaimana dengan reduksi data, penyajian data tidak lepas dari
analisis. Analisis tetap merupakan suatu bagian yang tidak terpisah dari
penyajian data. Analisis tetap dilakukan selama dan sesudah penyajian
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 37
data selesai. Penyajian data dalam penelitian kualitatif ini berupa
kutipan-kutipan langsung dari kata-kata terwawancara. Ketiga:
Penarikan kesimpulan. Proses kesimpulan ini, peneliti menganalisa
antara hasil penelitian dengan dokumen yang berasal dari buku literatur
yang digunakan sebagai landasan teori. Setelah itu mengambil
kesimpulan awal, apabila dianggap kurang mantap oleh peneliti karena
ada kekurangan atau ada persoalan baru, maka akan melakukan reduksi
atau melihat hasil reduksi lagi dan melihat hasil penyajian data. Setelah
selesai dilanjutkan dengan mengambil data baru, begitu seterusnya
hingga penelitian selesai dengan mengambil data baru, begitu
seterusnya hingga selesai dengan menarik kesimpulan akhir.
C. Pembahasan
Pelaksanaan Pembelajaran Berwawasan Lingkungan
Pembelajaran merupakan suatu proses yang didalamnya terdapat
interaksi antara guru dan peserta didik dalam bentuk komunikasi yang
bersifat timbal balik untuk mencapai suatu tujuan pembelajaran. Proses
pembelajaran ini diarahkan untuk mencapai tujuan dari pendidikan
yang telah ditetapkan. Dalam proses pembelajaran, guru dan peserta
didik merupakan dua komponen yang tidak dapat dipisahkan. Antara
ke duanya harus memiliki hubungan timbal balik yang serasi agar
tujuan pembelajaran dapat tercapai secara optimal.
Selama ini masih terdapat adanya permasalah yang terjadi dalam
proses pembelajaran. Diantara permasalahan tersebut ialah kurang
adanya dukungan pada peserta didik untuk mengembangkan
kemampuan dalam berpikir, yang ada ialah anak diarahkan untuk
menghafal informasi dan dipaksa untuk mengingat banyak informasi.
Hal ini tentu akan membuat sang anak menjadi jenuh dan juga tertekan
pada saat pembelajaran berlangsung. Metode mengajar dengan cara
seperti ini tidak sepenuhnya salah, namun melihat karakteristik anak
yang berbeda-beda menjadikan metode ini tidak tepat digunakan dalam
proses pembelajaran.
38 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
Salah satu mata pelajaran yang sering menggunakan metode
hafalan selama ini ialah mata pelajaran IPS. Banyaknya materi serta
informasi yang harus diserap oleh peserta didik menjadikan guru
menggunakan metode menghafal sebagai solusinya. Padahal jika guru
mampu membuat metode belajar yang tepat dan menyenangkan maka
kondisi belajar peserta didik akan lebih efektif dan tercapai tujuannya.
Pembelajaran yang menyenangkan tidak harus menggunakan media
dan alat yang sulit didapatkan, namun pembelajaran yang
menyenangkan ialah pembelajaran yang mampu membuat peserta didik
merasa nyaman dan senang serta inti dari tujuan pembelajaran dapat
tercapai secara maksimal.
Sesuai dengan hasil penelitian serta penerapan metode
pembelajaran yang peneliti lakukan di beberapa SMP di Kota
Semarang, pelaksanaan pembelajaran yang menyenangkan dapat
dilakukan dengan beberapa cara dan metode. Diantaranya ialah dengan
menggunakan metode diskusi dengan media gambar dan puzzle, serta
dengan menggunakan metode field trip dengan menggunakan media air
di sekitar lingkungan sekolah sebagai objek yang diteliti. Pelaksanaan
pembelajaran yang peneliti lakukan ini ialah pelaksanaan pembelajaran
dengan modeleco-edutainment. Metode Eco-edutainment sendiri
merupakan metode pembelajaran yang menyenangkan serta
berwawasan lingkungan. Pembelajaran IPS yang terkesan monoton
selama ini mampu dirubah menjadi pembelajaran yang menyenangkan
serta dapat menanamkan nilai kepedulian terhadap lingkungan. Nilai
peduli lingkungan ini sangatlah penting diterapkan pada diri peserta
didik sebagai bagian dari pencapaian pembelajaran IPS.
Penanaman nilai kepedulian terhadap lingkungan yang
dimaksudkan pada pembelajaran IPS ini ialah dengan cara mengajak
peserta didik untuk mengenali lingkungan di sekitar mereka, terutama
lingkungan yang terkena pencemaran. Baik itu pencemaran air, tanah,
maupun pencemaran udara. Materi pencemaran lingkungan ini
dimasukkan ke dalam materi interaksi antar Negara ASEAN karena
sesuai dengan materi ajar di kelas 8. Meskipun yang dibahas ialah
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 39
mengenai lingkungan di sekitar tempat tinggal peserta didik, namun
guru harus mampu mengaitkannya dengan kerja sama ASEAN yang
mana adanya pencemaran di negara Indonesia mampu mempengaruhi
kerjasama ASEAN. Berikut penjelasan mengenai pelaksanaan
pembelajaran berwawasan lingkungan menggunakan model eco-
edutainment yang diterapkan di enam SMP di Kota Semarang.
1) Metode Diskusi Menggunakan Media Gambar (Studi Kasus
Pencemaran Tanah)
Metode diskusi merupakan metode pembelajaran yang
menghadapkan siswa pada suatu permasalahan. Metode diskusi ini
merupakan salah satu cara penyajian pembelajaran dimana peserta
didik dihadapkan pada suatu permasalahan, yang dapat berupa
pernyataan ataupun pertanyaan yang bersifat problematis untuk dibahas
dan dipecahkan bersama. Metode ini sering dipakai dalam proses
pembelajaran dikarenakan mudah dalam penerapannya. Selain itu,
metode ini juga mampu meningkatkan kreatifitas berpikir peserta didik
dalam memecahkan suatu permasalahan yang sedang dihadapinya.
Media gambar merupakan suatu bentuk visual yang hanya bisa
dilihat tetapi tidak mempunyai unsur suara ataupun audio. Dalam
penerapannya, peserta didik ditugaskan untuk menuangkan hasil
diskusinya dalam bentuk gambar yang sudah ditentukan temanya. Dari
hasil gambar tersebut menunjukkan bentuk permasalahan yang mereka
hadapi serta bagaimana solusi penyelesaian dari masalah yang ada.
Tema permasalahan yang diberikan kepada peserta didik ialah
mengenai pencemaran tanah yang meliputi aspek sosial, budaya,
ekonomi dan politik.
Dengan memberikan permasalahan kepada peserta didik tentang
pencemaran tanah yang berada di lingkungan mereka, hal ini mampu
memberikan rangsangan kepada peserta didik untuk dapat mencintai
lingkungan mereka. Ketika peserta didik mampu mencintai lingkungan,
maka akan tertanam nilai-nilai kepedulian dalam diri mereka. Nilai
kepedulian sangatlah penting dimiliki oleh peserta didik karena hal itu
mampu menciptakan rasa cinta terhadap negara mereka tinggal.
40 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
Dengan kata lain rasa nasionalisme akan tumbuh dalam diri peserta
didik yang akhirnya mampu menciptakan kesejahteraan dan rasa saling
jaga.
Adapun teknis pelaksanaan metode diskusi dengan menggunakan
media gambar ialah sebagaimana pembelajaran pada biasanya. Yakni
guru memasuki ruangan dengan mengucapkan salam dan membuka
pelajaran seperti biasa serta melakukan pretest. Setelah itu guru
menampilkan video mengenai pencemaran tanah dan siswa diminta
untuk mengamatinya. Kemudian guru memberikan penjelasan singkat
mengenai video yang telah ditampilkan dan mengaitkannya dengan
materi ASEAN. Setelah itu guru membagi peserta didik ke dalam
empat kelompok yang masing-masing kelompoknya melakukan diskusi
mengenai dampak serta solusi dari pencemaran tanah yang kemudian
hasil diskusinya dituangkan dalam bentuk gambar. Empat kelompok
tersebut membahas mengenai dampak pencemaran tanah dari aspek
ekonomi, sosial, budaya, dan politik. Setelah diskusi selesai, siswa
melakukan presentasi singkat dan kemudian guru melakukan review.
Setelah semua proses pembelajaran selesai, peserta didik diminta untuk
mengerjakan posttest dan kemudian guru mengakhiri pembelajaran.
Metode pembelajaran ini menjadi menyenangkan karena siswa
diminta untuk menggambar setelah melakukan diskusi. Metode
menggambar ini menjadikan siswa merasa senang karena mereka dapat
menuangkan pikiran-pikiran mereka ke dalam bentuk gambar dan
membuat mereka dapat meningkatkan kreatifitas mereka.
2) Metode Diskusi dengan Media Puzzle (Studi Kasus Pencemaran
Udara)
Media puzzle dalam pembelajaran hampir sering digunakan
untuk anak-anak dalam rangka merangsang kemampuan berpikir
mereka saat masih kecil. Istilah puzzle berasal dari bahasa inggris yang
berarti teka-teki atau bongkar pasang. Dengan kata lain, media puzzle
diartikan sebagai media pembelajaran yang dimainkan dengan cara
membongkar pasang. Fungsi dari penggunaan media ini ialah untuk
melatih konsentrasi, ketelitian, dan kesabaran pada diri peserta didik
dalam memecahkan suatu permasalahan yang sedang dihadapi. Selain
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 41
itu, media puzzle ini juga berfungsi untuk melatih daya ingat dan
berpikir sistematis.
Media puzzle ini cukup efektif diterapkan di kalangan peserta
didik pada jenjang SMP karena kondisi mental anak SMP yang masih
labil dan masih suka menyelesaikan permasalahan yang dapat diatasi
dengan mudah. Media ini juga efektif dalam pembelajaran IPS untuk
memberikan kesan pembelajaran yang lebih variatif. Penerapan media
ini menunjukkan bahwa mampu memberikan suasana yang
menyenangkan pada peserta didik dan mampu memberikan
pemahaman materi secara lebih baik. Gambar dalam puzzle meliputi
pencemaran udara yang disebabkan oleh polusi kendaraan bermotor,
kebakaran hutan, asap pabrik, serta bau sampah yang mengganggu
kenyamanan penduduk di sekitar lokasi pencemaran.
Adapun teknis pelaksanaan metode ini hampir sama dengan
metode sebelumnya yakni diskusi yang mana peserta didik diberikan
puzzle dan kertas solusi yang kemudian harus mereka selesaikan
dengan melakukan diskusi bersama dengan kelompoknya. Sebelum
dan setelah siswa melakukan diskusi juga guru memberikan pemaparan
dan review mengenai materi yang sedang dipelajari. Kegiatan pretest
dan posttest juga dilakukan untuk mengetahui perkembangan dari
peserta didik.
3) Metode Field Trip dengan Media Air (Studi Kasus Pencemaran
Air)
Metode field trip merupakan metode pembelajaran yang
dilaksanakan dengan mengajak siswa ke suatu tempat atau objek
tertentu yang berada di luar sekolah untuk melakukan penyelidikan
atau pembelajaran mengenai suatu peristiwa atau objek yang sedang
diamati. Metode yang digunakan peneliti di sini diterapkan pada SMP
N 14 dan SMP N 28 Kota Semarang. Penerapan metode ini ialah
dengan mengajak peserta didik ke luar sekolah untuk mengetahui
kondisi lingkungan yang ada di sekitar sekolah mereka. Objek yang
diteliti ialah pencemaran air yang terdapat di sekitar sekolah.
Pelaksanaan metode field trip ini ialah menugaskan peserta didik
untuk meneliti kondisi air di lingkungan sekolah yang meliputi air
42 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
mineral, air sumur, serta air selokan yang tercemar limbah. Dalam
penelitiannya, peserta didik diberikan alat berupa pH indikator yang
tujuannya untuk mengukur tingkat keasaman dan kebasaan pada air
yang mereka teliti. Selain itu, peserta didik juga ditugasi untuk
melakukan wawancara terhadap warga di sekitar sekolah. Hasil dari
pengamatan yang mereka lakukan dengan mengukur tingkat keasaman
air disesuaikan dengan hasil wawancara yang telah dilakukan.
Teknis pelaksanaannya ialah dengan melakukan kegiatan
pembelajaran seperti biasa di dalam kelas dan melakukan pretest
terlebih dahulu. Kemudian guru melakukan pendahuluan dengan
menjelaskan sedikit materi tentang pembelajaran yang akan dilakukan.
Setelah itu peserta didik dibagi ke dalam empat kelompok dan
ditugaskan untuk melakukan penelitian di luar kelas dengan tetap
didampingi oleh guru.
Penelitian yang dilakukan peserta didik bersifat menyenangkan
karena dapat membuat peserta didik menjadi fresh sebab dapat keluar
kelas. Apabila pembelajaran selalu dilakukan di dalam kelas, maka
mereka akan merasa bosan. Pengukuran terhadap air menggunakan pH
indikator yang sebelumnya belum pernah mereka ketahui juga
membuat mereka menjadi penasaran yang pada akhirnya membuat
mereka tidak merasa tertekan saat melakukan pembelajaran. Kegiatan
selanjutnya setelah mereka melakukan wawancara dan pengukuran
serta diskusi singkat ialah menyusun laporan yang selanjutnya dari
laporan tersebut mereka presentasikan di kelas. Setelah semua
presentasi selesai dilakukan, guru memberikan sedikit review singkat
mengenai materi pelajaran dan kemudian melakukan posttest untuk
mengetahui seberapa besar metode ini mampu memberikan
pemahaman kepada peserta didik.
Penanaman Nilai Karakter Peduli Lingkungan Melalui Model
Eco-Edutainment dalam Pembelajaran IPS di SMP Kota Semarang
Pada Era Revolusi Industri 4.0
Penanaman karakter peduli lingkungan dalam pembelajaran
dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk membangun
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 43
ketrampilan yang dapat meningkatkan kemampuan memecahkan
masalah. Beberapa ketrampilan yang dibutuhkan tersebut diantaranya
ialah 1) berkomunikasi : mendengarkan, berbicara didepan umum,
menulis secara persuasive, 2) investigasi : merancang survei, studi
pustaka, melakukan wawancara, dan menganalisis data, 3) ketrampilan
bekerja dalam kelompok (group process) : kepemimpinan, kerjasama,
dan pengambilan keputusan. Maka diperlukan model dan metode
pembelajaran yang dapat mengasah ketrampilan tersebut.
Dalam pembelajaran IPS, guru dapat menggunakan metode
pembelajaran yang sesuai dengan tema pelajaran IPS. Model
pembelajaran IPS eco-edutainment dapat diterapkan dengan beberapa
metode pembelajaran yang sudah dijelaskan diatas tadi seperti
pembelajaran Field trip, jigsaw dan lain-lain. Metode-metode tersebut
sebagai metode yang mampu memperkenalkan ligkungan sekitar
peserta didik sebagai media maupun sumber belajar mata pelajaran IPS
khususnya yang terkait dengan lingkungan sekaligus sebagai jalan
memperkenalkan arti tentang pentingnya kelestarian lingkungan,
menjadikan peserta didik lebih memahami objek-objek yang dihadapi
karena pembelajaran yang kontekstual. Di Kota Semarang beberapa
SMP sudah melakukan model pembelajaran eco-edutainment tersebut
yakni di SMPN 20, SMPN 14, SMPN 38, SMPN 28, SMPN 32 dan
SMPN 16 Kota Semarang. Sekolah-sekolah tersebut menerapkan
model pembelajaran eco-edutainment dengan berorientasi pada
permasalahan lingkungan yang dihadapi masing-masing sekolah
seperti pencemaran air, pencemaran tanah dan pencemaran udara.
Dengan pembelajaran eco-edutainment yang menyenangkan dan
berwawasan lingkungan bisa menjadi jembatan bagi peserta didik
untuk memahami apa yang ada didalam buku dengan kenyataan yang
ada di lapangan. Pembelajaran yang kontekstual akan memberikan
peningkatan kapasitas pencapaian belajar melalui objek yang dipelajari
didalam maupun diluar kelasserta dapat menumbuhkan nilai karakter
peduli lingkungan.
Beberapa nilai karakter peduli lingkungan yang dapat diterapkan
dalam pembelajaran IPS melalui model eco-edutainment adalah
44 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
pemahaman terkait konsep peduli lingkungan yang diintegrasikan pada
materi yang akan disampaikan saat pembelajaran berlangsung.
Contohnya saat pembelajaran eco-edutainment dengan metode field-
trip peserta didik akan diajak keluar kelas dan belajar langsung di
lingkungan sekitar sekolah, permasalahan yang diangkat disini adalah
pencemaran air. Sebelum peserta didik keluar kelas mereka akan diberi
pemahaman terlebih dahulu mengenai pencemaran air, ciri-cirinya,
dampaknya, dan cara-cara untuk menanggulangi pencemaran tersebut.
Setelah itu baru keluar kelas menuju lokasi pencemaran seperti di
sungai atau saluran air dekat sekolah. Disini peran guru akan sangat
penting untuk memberikan penanaman nilai kepada siswa karena disini
guru dapat memberikan penjelasan langsung kepada siswa tentang
pencemaran air tersebut. Kemudian siswa akan diberi tugas untuk
mengamati tentang pencemaran air itu bagaimana dan diberi tugas
untuk membuat semcam laporan observasi. Dalam observasi tersebut
siswa dituntut untuk mengetahui atau mempelajari secara langsung
tentang pencemaran air, maka dengan keadaan pembelajaran yang
menyenangkan tersebut siswa menjadi lebih empati terhadap
permasalahan lingkungan dan secara langsung ia mengetahui
bagaimana adanya dampak pencemaran lingkungan alam sehingga
kesadaran dalam diri peserta akan tertanam.
Arti terpenting dalam pembelajaran ini adalah ada pada upaya
pemahaman bahwa ada hubungan antara manusia dengan unsur fisik
alam dan tentu pemahaman mengenai bahwa peserta didik merupakan
bagian dari masyarakat modern yang mampu mengambil keputusan
yang luas yang bisa berakibat di keesokan hari atau di masa
mendatang. Sebagaimana contoh orang membuang sampah di sungai
hari ini maka di keesokan hari permasalahan pencemaran sungai
tersebut akan muncul. Maka pengambilan keputusan pada hari ini
sangat berpengaruh di masa mendatang, baik berakibat kecil maupun
besar. Sehingga pemahaman kepada peserta didik tentang pengaruh
hubungan antara manusia dengan lingkungan fisik (alam) dan
keputusan-keputusan yang diambil menjadi pokok pembelajaran yang
harus bisa ditanamkan oleh guru kepada siswa.
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 45
Di zaman modern sekarang pada era revolusi industri 4.0 ini
tentu permasalahan lingkungan sangat terasa sekali mulai dari sampah
yang semakin banyak, pemanasan global, pencemaran lingkungan dan
sebagainya. Maka untuk menjaga lingkungan hidup tetap baik di masa
mendatang diperlukan usaha untuk menjaganya terutama bagi generasi
muda. Penanaman karakter peduli lingkungan tentu menjadi hal
penting untuk kehidupan saat ini, jikalau generasi saat ini tidak di
ajarkan tentang arti peduli lingkungan maka kehidupan dimasa
mendatang akan terancam. Sehubungan dengan hal itu model
pembelajaran IPS eco-edutainment ini sangat cocok digunakan untuk
mananamkan nilai-nilai peduli lingkungan kepada peserta didik, karena
pada dasarnya mata pelajaran IPS yang memiliki
paradigmamembosankan di mata peserta didik akan hilang, karena
model pembelajaran ini yang menyenangkan dan berwawasan
lingkungan.
D. Simpulan
Dari hasil pelaksanaan kegiatan penelitian tentang Penanaman
Nilai Karakter Peduli Lingkungan di Era Revolusi Industri 4.0 melalui
model Eco-Edutainment dalam Pembelajaran IPS di SMP Kota
Semarang.dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1) Ada banyak model pembelajaran yang bisa di terapkan dalam Era
Revolusi Industri 4.0 salah satunya ialah model pembelajaran Eco-
edutainment atau pembelajaran yang menyenangkan dan berbasis
lingkungan. Yang cocok diterapkan dalam pembelajaran IPS
karena pembelajaran IPS merupakan salah satu mata pelajaran
yeng kaitanya erat dengan lingkungan masyarakat dalam proses
pembelajarannya.
2) Model pembelajaran Eco-edutainment dapat di implementasikan
dalam pembealajaran melalui metode diskusi menggunakan media
gambar; detode Diskusi dengan media puzzle, metode field trip
yang membuat peserta didik lebih tertarik dalam pembelajaran.
46 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
3) Model pembelajaran Eco-edutainment dapat menumbuhkan
karakter peduli lingkungan pada peserta didik untuk dapat
diterapkan dan dimanfaatkan di masyarakat luas.
Daftar Pustaka
Aqib, Zainal. 2011. Pendidikan Karakter Membangun Perilaku Positif
Anak Bangsa. Bandung: Yrama Widya.
Bongdan, Robert dan Steven Taylor. 1992. Pengantar Metode
Kualitatif. Surabaya: Usaha Nasional.
Listryarti, Retno. 2014. Pendidikan Karakter dalam Metode Aktif
Inovatif, dan Kreatif. Jakarta: Esensi.
Sanjaya, Wina. 2016. Strategi Pembe-lajaran; Berorientasi Standar
Proses Pendidikan. Jakarta: Prenamedia.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional.
Uno, H. B dan Mohammad, N. 2012. Belajar dengan Pendekatan
PAILKEM (Pembelajaran Aktif, Inovatif, Lingkungan, Kreatif,
Efektif, Menarik). Jakarta: Bumi Aksara.
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 47
==(3)==
HAMBATAN DAN PELUANG PENGEMBANGAN
JURNAL ILMIAH: Pengalaman di Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Semarang
Tsabit Azinar Ahmad
Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial,
Universitas Negeri Semarang
Anggota Redaksi Paramita Historical Studies Journal
Email: [email protected]
ABSTRAK
Performa Indonesia dalam penulisan ilmiah di kancah internasional masih
belum memuaskan. Dalam data yang dirilis oleh scimagojr.com, sebuah situs
yang melakukan pemeringkatan terhadap karya ilmiah di dunia, Indonesia
masih menempati posisi ke-55 dunia di tahun 2018. Di tingkat Asia,
Indonesia berada pada peringkat 11, masih tertinggal dengan Singapura,
Malaysia, dan Thailand. Pada 2018, dokumen yang diunggah dari Indonesia
hanya sejumlah 54.146. Angka ini masih sangat tertinggal dibandingkan
dengan Thailand yang ada di peringkat 9 dengan dokumen sejumlah 139.682,
Malaysia di peringkat 8 (214.883 dokumen), dan Singapura di peringkat 6
(241.361 dokumen). Apabila dilihat dari aspek sitasi, ternyata, peringkat sitasi
Indonesia juga masih tergolong rendah dengan sitasi sejumlah 380.569.
sementara itu H Indeks masih sejumlah 175. Oleh karena itu, tulisan ini
bertujuan untuk menganalisis hambatan dan juga peluang dalam
pengembangan jurnal-jurnal ilmu sosial.
A. Pendahuluan
Pada tahun 2012, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi mengeluarkan
surat edaran Nomor 152/R/T/2012 tanggal 27 Januari 2012 tentang
publikasi karya ilmiah. Dalam edaran tersebut seluruh lulusan
disyaratkan untuk menghasilkan makalah yang terbit dalam jurnal
48 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
ilmiah. Hal ini dilatarbelakangi pada saat ini jumlah karya ilmiah dari
perguruan tinggi Indonesia secara total masih rendah jika dibandingkan
dengan negara lain. Salah satu negara yang menajdi tolak ukur adalah
Malaysia.
Performa Indonesia dalam penulisan ilmiah di kancah
internasional masih belum memuaskan. Dalam data yang dirilis oleh
scimagojr.com, sebuah situs yang melakukan pemeringkatan terhadap
karya ilmiah di dunia, Indonesia masih menempati posisi ke-55 dunia
di tahun 2018. Di tingkat Asia, Indonesia berada pada peringkat 11,
masih tertinggal dengan Singapura, Malaysia, dan Thailand. Pada
2018, dokumen yang diunggah dari Indonesia hanya sejumlah 54.146.
Angka ini masih sangat tertinggal dibandingkan dengan Thailand yang
ada di peringkat 9 dengan dokumen sejumlah 139.682, Malaysia di
peringkat 8 (214.883 dokumen), dan Singapura di peringkat 6 (241.361
dokumen). Apabila dilihat dari aspek sitasi, ternyata, peringkat sitasi
Indonesia juga masih tergolong rendah dengan sitasi sejumlah 380.569.
sementara itu H Indeks masih sejumlah 175. Angka ini masih rendah
bila dibandingkan dengan Thailand, Malaysia dan Singapura.
Masih belum optimalnya performa Indonesia dalam penulisan
ilmiah menjadi pekerjaan rumah yang segera dituntaskan.
Menindaklanjuti hal tersebutdi tahun 2017, Kementerian Riset
Teknologi, dan Pendidikan Tinggi mengembangkan Science and
Technology Index (Sinta) yang mencoba merekam jejak digital karya
ilmiah yang dihasilkan oleh penulis di berbagai lembaga. Salah satu
lembaga yang masuk dalam kategori Sinta adalah perguruan tinggi,
termasuk di dalamnya adalah Universitas Negeri Semarang (UNNES).
Dalam database Sinta sebagaimana tercatata dalam
sinta2.ristekdikti.go.id, UNNES ternyata masih belum mampu masuk
dalam 20 besar. Saat ini UNNES masih menempati posisi ke 22,
dengan Sinta score sejumlah 5.193. dibandingkan dengan LPTK lain,
unnes masih berada di bawah Universitas Pendidikan Indonesia dan
Universitas Negeri Yogyakarta.
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 49
Gambar 1. Posisi UNNES dalam database Sinta
Dari data di atas, ternyata sebagian besar naskah tidak berasal dari
Fakultas Ilmu Sosial. Kelangkaan naskah dari FIS tentu saja menjadi
persoalan tersendiri karena sebenarnya FIS selama ini selalu produktif
dalam melakukan penulisan ilmiah. Hal ini tentu saja memunculkan
permasalahan yang perlu segera diselesaikan. Salah satu upaya untuk
menyelesaikan permasalahan tersebut adalah dengan melakukan
analisis dan evaluasi terhadap sitasi karya ilmiah di Fakultas Ilmu
Sosial UNNES. Hal ini karena berdasarkan observasi awal, selama ini
manajemen sitasi yang dilakukan oleh sivitas akademika masih
menemukan beberapa kendala. Oleh karena itu, melalui kajian ini
diharapkan dapat dianalisis permasalahan dalam penyusunan karya
ilmiah dan pengelolaan publikasinya.
B. Urgensi Publikasi Ilmiah
Booth, Colomb, dan Williams (2003: 12-13), dalam buku mereka
yang berjudul The Craft of Research, memberikan setidaknya tiga
alasan mengapa menulis itu perlu. Pertama, Menulis untuk mengingat.
Para peneliti dan umumnya kita menulis informasi yang kita terima
agar mudah mengingatnya. Para peneliti dapat merencanakan dan
50 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
melaksanakan penelitian mereka dengan dengan bantuan tulisan—
mulai dari mendaftar sumber-sumber informasi, merakit ringkasan
penelitian, mencatat perubahan-perubahan yang mereka peroleh di
laboratorium. Sebagian kita mungkin dapat mengingat informasi yang
kita terima tanpa harus mencatatnya, tetapi sebagian besar kita sangat
mudah untuk menjadi pelupa. Itu pula mungkin alasan yang dipakai
para pencontek—membuat contekan untuk “membantu” mereka
mengingat jawaban soal ujian. Soal membantu ingatan, atau melawan
lupa seperti tertulis di bagian terdahulu, bahkan bukan tujuan para
mahasiswa atau para fresh(wo-)man di dunia akademik. Feminis besar
Simone de Beauvoir pun punya maksud yang sama ketika menulis.
Katanya, dalam Prime of Life, “I too must write in order to snatch that
vision from obliteration by time—[seperti Sartre, kekasihnya] aku pun
harus menulis untuk menangkap vision itu sebelum telanjur musnah
oleh waktu.”
Kedua, menulis untuk memahami—secara lebih baik. Alasan
kedua untuk menulis adalah untuk memahami sesuatu dengan lebih
baik. Seringkali kita menerima informasi secara sepotong-sepotong.
Akibatnya informasi yang kita terima ini sukar dipahami. Dengan men-
display informasi ini dalam bentuk tertulis, informasi yang sepotong-
sepotong ini dapat kita tampilkan dalam jalinan yang logis. Tidak
hanya itu, menulis membantu kita untuk berpikir. Menulis tidak saja
membantu kita memahami informasi tersebut. Lebih jauh lagi, melalui
tulisan kita dapat meramalkan lebih jauh kemungkinan-kemungkinan
yang muncul dari jalinan informasi yang kita susun.
Ketiga, Menulis untuk memperoleh pandangan—yang tegas. Alasan
mendasar dalam menulis adalah untuk mencurahkan isi kepala kita ke atas
kertas, yang darinya kita dapat melihat dengan jelas bagaimana
sesungguhnya pandangan kita tentang sesuatu. Kebanyakan kita
menganggap bahwa gagasan dan pemikiran kita tampak sangat sistematis
dan logis saat masih ada di benak kita. Tetapi segera setelah ide-ide itu
kita tuangkan dalam bentuk tulisan, segera akan tampak kontradiksi-
kontradiksi dan jalinan-jalinannya tang tidak logis. Tulisan membersihkan
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 51
sampah-sampah yang tidak perlu dalam gagasan kita. Dengan kata lain
tulisan memperjelas gagasan dan pikiran kita tentang sesuatu.
Tiga tujuan di atas menunjukkan dengan sangat jelas bahwa
menulis sangatlah penting untuk menunjang aktivitas belajar. Selain
tiga hal di atas aktivitas kepenulisan, sebagaimana penelitian pada
umumnya, juga memiliki sejumlah tujuan lain yang mungkin, misalnya
”mengungkap penyebab suatu masalah”, ”menguji hipotesis”,
”memverifikasi atau menggali ulang temuan orang lain”, “memahami
motivasi orang dalam bertindak”, ”meningkatkan kualitas hidup” dan
lain sebagainya (George, 2008: 4). Dengan demkikian, aktivitas
kepenulisan, sebagaimana aktivitas penelitian, menempati posisi yang
sangat penting dalam kehidupan kita.
Dalam proses penulisan karya ilmiah, salah satu bagian yang
menunjukkan etika akademik dan kejujuran ilmiah adalah dengan
memasukkan sitasi. Dengan demikian, sitasi menjadi bagian penting
dalam dunia akademik. Pentingnya melakukan sitasi diungkapkan oleh
Surachman (2014) yang menyatakan bahwa sitasi atau sitiran berfungsi
untuk memberikan informasi secara meyakinkan kepada pembaca.
Sekalin itu, menurut Judy Hunter dalam tulisannya berjudul the
Importance of Citation mengungkapkan bahwa sitasi bagi peneliti
adalah seperti mata uang. Artinya semakin banyak sitasi yang
dilakukan, maka kredit terhadap kontribusi keilmuan penulis semakin
tinggi. Melakukan kutipan juga menghargai hak-hak penulis yang
pertama kali mengemukakan ide. Selain itu sitasi memudahkan
seseorang utnuk mengecek kebenaran suatu tulisan (Surachman, 2014).
C. Hambatan dan Peluang Pengembangan Jurnal Ilmiah
Pengembangan publikasi ilmiah menjadi salah satu indikator
ketercapaian tri dharma perguruan tinggi. Akan tetapi, porsi terbitan
dari ilmu-ilmu sosial, terutama dari kalangan LPTK masih belum
memuaskan. Dari database Sinta, belum banyak jurnal sosial yang
dikelola oleh LPTK yang masuk dalam peringkat 1 dan 2. Hal ini tentu
52 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
saja menjadi permasalahan yang perlu segera diselesaikan. Karena itu,
perlu diidentifikasi beberapa kendala dan bagaimana upaya menyikapi
permasalahan tersebut.
Tidak dapat dipungkiri bahwa pengelolaan suatu terbitan ilmiah
sering kali menghadapi kendala. Berdasarkan dari pengalaman
pengelolaan jurnal, seringkali dijumpai kendala dalam aspek
manajerial. Untuk menganalisis hambatan ini, penulis menggunakan
pendekatan 5 M, yakni man, machine, method, money, dan material.
Berdasarkan pengalaman dari pengelolaan beberapa jurnal di Fakultas
Ilmu Sosial, hambatan-hambatan yang ditemui adalah sebagai berikut.
Tabel 1. Identifikasi permasalahan dalam pengelolaan Jurnal di
lingkungan Fakultas Ilmu Sosial
No Aspek Hambatan
1 Man a. Kuantitas peneglola jurnal masih terbatas
dan belum memadai
b. Kemampuan manajerial pengelola jurnal
masih belum optimal dalam mengelola
terbitan.
c. Kolaborasi pengelolaan lintas perguruan
tinggi masih belum terealisasi.
d. Belum optimalnya peran para editor dan
reviewer (mitra bebestari)
2 Machine a. Penggunaan email masih dominan
dibanding sistem jurnal elektronik.
b. Pengelola belum terbiasa dalam
pengelolaan jurnal elektronik, seperti
OJS.
c. Server jurnal yang dimiliki oleh
perguruan belum besar dan kadang
bermasalah, sehingga website tidak bsia
diakses.
3 Method a. Kelengkapan administratif dalam jurnal
ilmiah, seperti focus and scope, etika
publikasi, dan tampilan website belum
lengkap.
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 53
b. Belum memiliki SOP penerbitan, dan jika
sudah ada, penerapan standar operasional
terkadang masih belum konsisten.
c. Belum adanya panduan penulisan yang
jelas bagi penulis, sehingga format
tulisan masih bleum seragam.
4 Money a. Anggaran dalam pengelolaan jurnal
belum dialokasikan dengan maksimal.
b. Tuntutan jurnal sebagai media untuk
meningkatkan income generate.
5 Material a. Budaya publikasi ilmiah belum
melembaga di sebagian kalangan dosen
ilmu-ilmu sosial.
b. Kualitas naskah yang masih belum
maksimal.
c. Kebijakan “scopus” mengakibatkan
penulis cenderung untuk tidak
mempedulikan jurnal nasional.
Permasalahan yang ditemui dalam pengelolaan publikasi ilmiah
tersebut perlu segera diatasi. Ada beberapa langkah yang perlu
dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut. Beberapa strategi
yang disarankan adalah sebagai berikut.
Tabel 2. Strategi Pengelolaan Jurnal Ilmiah
No Aspek Hambatan
1 Man a. Penguatan kompetensi pengelola
publikasi ilmiah berbasis kolaborasi
dalam pengelolaan jurnal ilmiah.
b. Penyediaan staff yang memiliki tugas
khusus dalam bidang administrasi jurnal.
2 Machine a. Optimalisasi pengelolaan jurnal berbasis
sistem informasi, seperti OJS.
b. Penguatan server jurnal agar sistem
berjalan dengan optimal.
d. Pembiasaan pemanfaatan sistem online
bagi pengelola.
54 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
e. Pemanfaatan mesin pengecekan bahasa
dan plagiasi untuk meningkatkan kualitas
publikasi.
3 Method a. Pengembangan kelengkapan pada website
jurnal.
b. Pengembangan SOP penerbitan yang
operasional.
4 Money a. Memberikan alokasi anggaran untuk
pengelolaan jurnal.
b. Memberikan pengecualian terhadap jurnal
ilmiah sebagai bagian dari sumber income
generate.
5 Material a. Mengembangkan template untuk
memudahkan penulis dalam menyamakan
tata tulis jurnal.
b. Menyelenggarakan kegiatan manuscript
clinic secara berkala bagi calon penulis.
Selain hal di atas, hal yang tidak kalah penting untuk
diperhatikan adalah pengembalian marwah jurnal nasional agar tidak
dikesampingkan oleh penulis. Upaya ini dilakukan dengan menjaga
kualitas pengelolaan dan naskah. Melalui kegiatan kolaborasi
pengelolaan terbitan ilmiah, harapannya seluruh pihak berperan dalam
menopang pengelolaan dan kualitas terbitan tersebut.
D. Simpulan
Pengelolaan berkala ilmiah menjadi bagian penting pengembangan
keilmuan dan kemanusiaan. Akan tetapi ada beberapa kendala terkait
proses peralihan jurnal yang berorientasi pada terbitan elektronik.
Kegagapan dalam pengelolaan berkala ilmiah menjadi hambatan
utama, selain kualitas naskah yang masih perlu dibenahi. Untuk itu,
perlu pembiasaan dalam pengelolaan jurnal secara profesional agar
kualitas manajerial dan naskah bisa terjaga. Di satu sisi, kolaborasi
pengelolaan jurnal perlu mendapat perhatian agar permasalahan dapat
dipecahkan secara bersama-sama.
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 55
Daftar Pustaka
Booth, W. C., Colomb, G. G., & Williams, J. M. 2003. The Craft of
Research. The University of Chicago Press: Chicago and
London.
George, M. W. 2008. The Elements of Library Research: What Every
Students Needs to Know. Princeton and Oxford: Princeton
University Press.
Surachman, Arif. 2014. “Manajemen Sitiran bagi Pustakawan.”
Makalah disampaikan pada Seminar Literasi Informasi bagi
Pustakawan, Gadjah Mada Library Fair, 25 Februari 2014.
56 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
==(4)==
PEMETAAN KETERSERAPAN ALUMNI JURUSAN
GEOGRAFI FIS UNNES DI DUNIA INDUSTRI
MELALUI METODE TRACER STUDY
Tjaturahono Budi Sanjoto1, Saptono Putro
1, Juhadi
1
Jurusan Geografi, Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Semarang
Email : [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasikan profil lulusan Jurusan
Geografi FIS UNNES tahun 2014-2018 dan Relevansi kurikulum di 3 Prodi
di Jurusan Geografi FIS UNNES dengan kebutuhan pasar kerja. Metode
penelitian Tracer Study ini dilakukan secara deskriptif dengan pendekatan
survei. Subjek penelitian adalah lulusan pada 3 Prodi. Hasil pengumpulan
data dengan teknik online dan dokumentasi untuk memperoleh balikan dari
alumni. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis statistik univariat
kemudian dideskripsikan sebagai gambaran profil dari lulusan. Berdasarkan
hasil penelitian diperoleh responden sebesar 91 orang Alumni Mahasiswa
dari tiga prodi, yaitu: 38 alumni S1 Pendidikan Geografi S1, 52 alumni S1
Geografi dan 1 alumni prodi D3 Survei dan Pemetaan Wilayah. Analisis data
menghasilkan 4 kategori, yaitu: (1) kategori masa tunggu kerja mahasiswa
dapat yang berdasarkan analisis data dominasi masa tunggu kerja alumni
mahasiswa Jurusan Geografi, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri
Semarang adalah < 5 bulan. (2) pendapatan alumni mahasiswa Jurusan
Geografi, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang dengan
persentase tertinggi dalam tingkat pendapatan alumni adalah < 1.000.000-
3.000.000. (3) kesesuaian pekerjaan alumni mahasiswa Jurusan Geografi,
Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang didominasi oleh 67 orang
mahasiswa bekerja sesuai dengan kualifikasi pendidikan (4) kategori lanjut
studi alumni didominasi alumni yang tidak melanjutkan studi berjumlah 72
orang.
Kata Kunci: alumni, dunia industri, keterserapan, pemetaan, tracer study
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 57
ABSTRACK
This study aims to identify the profile of graduates of the Geography
Department of FIS UNNES in 2014-2018 and the relevance of the curriculum
in 3 study programs in the Geography Department of FIS UNNES with the
needs of the job market. The Tracer Study research method was conducted
descriptively with a survey approach. Research subjects are graduates in 3
study programs. Results of data collection using online techniques and
documentation to obtain feedback from alumni. The data analysis technique
used is univariate statistical analysis then described as a profile picture of
graduates. Based on the research results obtained by respondents of 91
Student Alumni from three study programs, namely: 38 alumni of S1
Geography Education, 52 alumni of Geography S1 and 1 alumni of D3
Survey and Mapping Study Area. Data analysis resulted in 4 categories,
namely: (1) the category of waiting periods for students working based on
data analysis of the dominance of the waiting hours for alumni of the
Department of Geography, Faculty of Social Sciences, Semarang State
University was <5 months. (2) Alumni income of the Department of
Geography students, Faculty of Social Sciences, Semarang State University
with the highest percentage in the level of alumni income is <1,000,000-
3,000,000. (3) job suitability of alumni of the Department of Geography,
Faculty of Social Sciences, Semarang State University is dominated by 67
students working in accordance with educational qualifications (4) advanced
categories of alumni study dominated by alumni who did not continue their
studies totaling 72 people.
Keywords: alumni, industrial world, absorption, mapping, tracer study.
A. Pendahuluan
Tracer Study merupakan salah satu metode yang digunakan oleh
beberapa perguruan tinggi untuk memperoleh umpan balik dari alumni.
Umpan balik ini dibutuhkan Jurusan Geografi dalam usahanya untuk
perbaikan serta pengembangan kualitas dan sistem pendidikan bahkan
bermanfaat pula bagi perguruan tinggi untuk memetakan dunia usaha
dan industri berdasarkan kompetensi.
Tracer Study perlu dilakukan secara melembaga rutin 2 tahunan,
terstruktur dan dengan metodologi yang tepat guna memperoleh hasil
yang terukur, akurat dan diketahui progres yang diharapkan. Dalam
58 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
setiap penyelenggaraannya, Tracer Study Jurusan Geografi FIS
UNNES mengalami perkembangan, baik dari sistem, sumber daya,
metode pelaksanaan dan juga hasil yang diperoleh. Hasil yang
diperoleh, pada tahun 2017 telah mencapai perolehan data hingga 74%.
Tujuan Tracer Study untuk mengetahui hasil pendidikan dalam bentuk
transisi dari dunia pendidikan tinggi ke dunia usaha dan industri,
evaluasi proses pembelajaran, dan input pendidikan berupa penggalian
lebih lanjut terhadap informasi lulusan.
Tracer Study Jurusan Geografi FIS UNNES akan dilaksanakan
lagi pada tahun 2019. Target adalah alumni 3 Program Studi, yakni:
Pendidikan Geografi, Geografi, dan Survei Pemetaan Wilayah yang
lulus pada tahun 2014. Seluruh alumni 2014 diharapkan dapat ikut
berpartisipasi. Tracer study adalah penelitian mengenai situasi alumni
khususnya dalam hal pencarian kerja, situasi kerja, dan pemanfaatan
pemerolehan kompetensi selama kuliah di Jurusan Geografi FIS
UNNES. Di negara-negara maju, studi pelacakan jejak alumni adalah
studi utama yang telah dilaksanakan secara sistematis, institusional,
dan terus menerus. Maka tidak heran jika perguruan tinggi di negara
maju diakui relevansi keberadaannya karena mereka terus-menerus
melakukan evaluasi diri antara lain melalui tracer study. Manfaat tracer
study tidaklah terbatas pada perguruan tinggi saja, tetapi lebih jauh
lagi dapat memberikan informasi penting mengenai hubungan (link)
antara dunia pendidikan tinggi dengan dunia kerja. Tracer study dapat
menyajikan informasi mendalam dan rinci mengenai kecocokan/match
kerja baik horisontal (antar berbagai bidang ilmu) maupun vertikal
(antar berbagai level/strata pendidikan). Dengan demikian, tracer study
dapat ikut membantu mengatasi permasalahan kesenjangan kesempatan
kerja dan upaya perbaikannya.
Bagi universitas, informasi mengenai kompetensi yang relevan
bagi dunia kerja dapat membantu upaya perbaikan kurikulum dan
sistem pembelajaran. Di sisi lain, dunia industri dan dunia kerja dapat
“melongok” ke dalam instistusi pendidikan tinggi melalui tracer study,
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 59
dan dengan demikian dapat menyiapkan diri dengan menyediakan
pelatihan-pelatihan yang lebih relevan bagi sarjana pencari kerja baru.
B. Metode Penelitian
Metode penelitian Tracer Study ini dilakukan secara deskriptif
dengan pendekatan survei. Tahapannya terdiri dari penyusunan
instrumen penelitian, menyebarluaskan dan menginfokan kuesioner
melalui media sosial, mengecek dan menginfokan ulang dalam
pengisian kuisioner yang telah disebarkan agar responden semakin
bertambah, download data, analisis data berdasarkan menganalisis
masa tunggu lulusan untuk mendapatkan pekerjaan, tingkat
pendapatan, kesesuaian pekerjaan dengan kualifikasi pendidikan,
melanjutkan studi yang dicerminkan dari pasca kelulusan dan
pembuatan laporan. Responden penelitian ini adalah alumni pada tiga
program studi di Jurusan Geografi sehingga populasi dalam penelitian
ini merupakan alumni dari Jurusan Geografi yang lulus pada tahun
2014 ke atas, dimana seluruh populasi dijadikan sebagai sampel
penelitian. Peubah yang diamati dan diukur dalam penelitian adalah
keterserapan alumni Jurusan Geografi yang lulus tahun 2014 ke atas di
dunia kerja industri, dimana informasi yang diperoleh terkait dengan 4
kategori yaitu: (1) kategori masa tunggu kerja mahasiswa. (2)
pendapatan alumni (3) kesesuaian pekerjaan alumni mahasiswa (4)
lanjut studi alumni.
C. Hasil Penelitian dan Pembahasan
Strategi untuk mendapatkan data dilakukan dengan membuat angket
google form kemudian langkah selanjutnya adalah melakukan
penyebaran angket tracer studi melalui media sosial (Facebook,
Instagram, WhatshApp). Berdasarkan penyebaran angket tersebut,
responden yang diperoleh sebesar 91 orang Alumni Mahasiswa Jurusan
Geografi mulai lulus pada tahun 2014-sekarang dari tiga prodi dengan
60 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
rincian, yaitu: 38 orang alumni prodi S1 Pendidikan Geografi S1, 52
orang alumni S1 prodi Geografi dan 1 orang alumni prodi D3 Survei
dan Pemetaan Wilayah yang mengisi angket yang sudah ditentukan
sebelumnya.
Masa Tunggu Mendapatkan Pekerjaan
Berdasarkan Rekapitulasi perolehan data Tracer Studi Alumni
Jurusan Geografi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang
Tahun 2019 dapat digunakan untuk analisis data kompetensi alumni .
Penggunaan analisis univariat digunakan untuk menganalisis masa
tunggu 91 orang alumni Jurusan Geografi, Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Semarang untuk mendapatkan pekerjaan.
Berdasarkan hasil analisis berbantu IBM SPSS Versi.20 diperoleh hasil
sebagai berikut :
Tabel 4.1. Kategori_Masa_Tunggu_Kerja Alumni Mahasiswa Jurusan
Geografi Universitas Negeri Semarang
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid
Tidak di isi 13 14.3 14.3 14.3
< 5 Bulan 52 57.1 57.1 71.4
5 Bulan-12 Bulan 20 22.0 22.0 93.4
> 12 Bulan 6 6.6 6.6 100.0
Total 91 100.0 100.0
Sumber: Data Primer Penelitian Tahun 2019
Berdasarkan tabel 4.1 dapat dideskripsikan bahwa kategori masa
tunggu kerja mahasiswa dapat terbagi menjadi 4 kategori dengan
dominasi masa tunggu kerja alumni mahasiswa Jurusan Geografi,
Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang adalah < 5 Bulan,
selanjutnya kategori Tidak diisi sebanyak 13 Mahasiswa, < 5 Bulan
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 61
sebanyak 52 Mahasiswa, 5 Bulan-12 Bulan sebanyak 20 Mahasiswa
dan > 12 Bulan sebanyak 6 Mahasiswa.
Rekapitulasi Pendapatan Alumni Mahasiswa Jurusan Geografi
Penggunaan analisis univariat selanjutnya digunakan untuk
menganalisis tingkat pendapatan alumni Jurusan Geografi, Fakultas
Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang setelah mendapatkan
pekerjaan. Berdasarkan hasil analisis berbantu IBM SPSS Versi.20
diperoleh hasil sebagai berikut:
Tabel 4.2. Tingkat_Pendapatan Alumni Mahasiswa Jurusan Geografi
Universitas Negeri Semarang
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid
Tidak diisi 21 23.1 23.1 23.1
< 1.000.000-3.000.000 26 28.6 28.6 51.6
> 3.000.000-5.000.000 20 22.0 22.0 73.6
> 5.000.000-
10.000.000 24 26.4 26.4 100.0
Total 91 100.0 100.0
Sumber: Data Primer Penelitian Tahun 2019
Berdasarkan tabel 4.2 tingkat pendapatan alumni mahasiswa
Jurusan Geografi, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang
dibagi menjadi 4 jenis. Persentase tertinggi dalam tingkat pendapatan
alumni adalah < 1.000.000-3.000.000 dengan persentase 28,6% atau
sebanyak 26 orang. tertinggi kedua dengan rentang gaji sebesar
>5.000.000-10.000.000 sebesar 26,4% (24 orang), Ketiga adalah
>3.000.000-5.000.000 sebanyak 20% (20 orang) dan pendapatan
dengan persentase terendah adalah yang memiliki rentang gaji tidak
diisi sebesar 23,1% saja (21 orang).
62 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
Rekapitulasi Kesesuaian Pekerjaan Alumni Mahasiswa Geografi
Penggunaan analisis univariat selanjutnya juga digunakan untuk
menganalisis kesesuaian pekerjaan alumni Jurusan Geografi, Fakultas
Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang sesuai dengan kualifikasi
pendidikan yang sudah berhasil ditempuh. Berdasarkan hasil analisis
berbantu IBM SPSS Versi.20 diperoleh hasil sebagai berikut:
Tabel 4.3. Kesesuaian Pekerjaan Alumni Mahasiswa Jurusan Geografi
Universitas Negeri Semarang
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid
Sesuai 67 62.0 73.6 73.6
Tidak Sesuai 21 19.4 23.1 96.7
Tidak Bekerja 3 2.8 3.3 100.0
Total 91 84.3 100.0
Missing System 17 15.7
Total 108 100.0
Sumber: Data Primer Penelitian Tahun 2019
Berdasarkan tabel 4.3 kesesuaian pekerjaan alumni mahasiswa
Jurusan Geografi, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang
didominasi oleh 67 orang mahasiswa bekerja sesuai dengan kualifikasi
pendidikan, selanjutnya 21 orang mahasiswa tidak bekerja tidak sesuai
dengan bidangnya dan 3 orang mahasiswa tidak bekerja. Mendukung
tabel diatas maka tabel 4.4 akan menguatkan rincian alumni mahasiswa
yang bekerja berdasarkan prodi di jurusan geografi. Berdasarkan tabel
dapat dideskripsikan bahwa alumni mahasiswa prodi pendidikan
geografi yang bekerja berjumlah 38 orang, alumni mahasiswa prodi
geografi berjumlah 52 orang dan 1 alumni mahasiswa prodi Survei dan
Pemetaan Wilayah seperti dibawah ini :
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 63
Tabel 4.4. Rincian Alumni Mahasiswa Bekerja Berdasarkan Prodi Jurusan
Geografi Universitas Negeri Semarang
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid
Pendidikan Geografi 38 35.2 41.8 41.8
Geografi 52 48.1 57.1 98.9
Survei dan Pemetaan
Wilayah 1 .9 1.1 100.0
Total 91 84.3 100.0
Missing System 17 15.7
Total 108 100.0
Sumber: Data Primer Penelitian Tahun 2019
Rekapitulasi Lanjut Studi Alumni Mahasiswa Jurusan Geografi
Penggunaan analisis univariat juga digunakan untuk menganalisis
alumni Jurusan Geografi, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri
Semarang yang melanjutkan studi pendidikan. Berdasarkan hasil
analisis berbantu IBM SPSS Versi.20 diperoleh hasil sebagai berikut:
Tabel 4.5. Rekapitulasi Lanjut_Studi Alumni Mahasiswa Jurusan Geografi
Univeritas Negeri Semarang
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid
Tidak Lanjut 72 79.1 79.1 79.1
Lanjut 19 20.9 20.9 100.0
Total 91 100.0 100.0
Sumber: Data Primer Penelitian Tahun 2019
64 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
Berdasarkan tabel 4.5 alumni mahasiswa Jurusan Geografi,
Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang terdapat beberapa
orang yang melanjutkan studi dan tidak melanjutkan. Alumni yang
melanjutkan studi masih sedikit yaitu 19 orang sedangkan yang tidak
melanjutkan studi berjumlah lebih besar yaitu: 72 orang. Deskripsi
tentang rincian alumni mahasiswa yang melanjutkan studi berdasarkan
prodi dijurusan geografi dapat dilihat di tabel 4.6. yang menghasilkan
11 orang alumni mahasiswa prodi pendidikan geografi dan prodi
geografi sebanyak 8 orang.
Tabel 4.6. Rekapitulasi Lanjut_Studi Alumni Mahasiswa Jurusan Geografi
Univeritas Negeri Semarang
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid
72 79.1 79.1 79.1
Pendidikan Geografi 11 12.1 12.1 91.2
Geografi 8 8.8 8.8 100.0
Total 91 100.0 100.0
Sumber: Data Primer Penelitian Tahun 2019
Gambaran umum data yang diperoleh dan dianalisis maka dapat
dinyatakan bahwa lulusan yang dijadikan responden memiliki kondisi
dan sifat yang heterogen, baik dari jenis kelamin, umur asal daerah,
masa kelulusan, rentang waktu mendapatkan pekerjaan, perolehan gaji,
kesesuaian mendapatkan pekerjaan berdasarkan kualifikasi pendidikan
dan potensi untuk melanjutkan kuliah ke jenjang berikutnya. Perbedaan
yang terjadi berdasarkan analisis data tersebut dapat digunakan sebagai
dasar pembuatan garis besar strategi dan kebijakan Jurusan Geografi,
Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang untuk meningkatkan
kompetensi lulusan serta menyiapkan calon lulusan agar lebih baik
daripada sebelumnya. Mengetahui masa tunggu kerja mahasiswa yang
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 65
didominasi oleh kategori 5 bulan merupakan sebuah prestasi lembaga
yang perlu dipertahankan karena pada masa kini untuk mencari
pekerjaan bukanlah suatu hal yang mudah, meskipun demikian masih
ada alumni mahasiswa jurusan geografi yang masih belum
mendapatkan pekerjaan serta ada yang membutuhkan waktu lebih dari
lima bulan untuk mendapatkannya. Strategi yang perlu dilakukan
adalah peningkatan mutu akademik dengan cara (1) Perekrutan dosen
yang ahli dalam bidangnya serta memiliki tanggung jawab secara
akademik dan moral. Perekrutan ini penting karena menurut Asmawi
(2005) Tanpa ada upaya meningkatkan kualitas dosen maka
perubahan-perubahan mendasar pada kurikulum dan metode belajar
mengajar akan timpang bahkan bisa menjadi kurang efektif. (2)
memilih dan mengembangkan kurikulum yang dihubungkan dengan
skill yang akan dibutuhkan dalam dunia kerja. Hal tersebut
dilatarbelakangi oleh pendapat Abdullah (1999) sebagian besar orang
tua ingin anaknya dapat bekerja sesuai kualifikasi pendidikan atau
pengalaman yang dimiliki. Begitu pula peserta didik berharap sekali
dapat mandiri dan memiliki perekonomian yang bagus dengan modal
ilmu pengetahuannya. (3) mengembangkan sarana dan prasarana baik
secara offline dan online yang bertujuan sebagai wahana
mengembangkan ilmu, keahlian mahasiswa dan alumni dengan akses
yang mudah (4) Pembudayaan dan penguasaan komunikasi dengan
menggunakan Bahasa asing terutama Inggris yang mempunyai potensi
besar dimasa kini dan mendatang. Berdasarkan Handayani (2016)
menegaskan pentingnya penguasaan bahasa inggris karena dalam
hampir semua teknologi masa kini menggunakan bahasa inggris.
Berdasarkan hal tersebut penguasaan Bahasa tersebut penting agar
kinerja yang dilakukan lebih efektif dan efisien bahkan kelebihan
berbahasa tersebut akan diprioritaskan untuk direkrut sebagai pegawai.
Strategi selain peningkatan mutu akademik juga dapat melakukan
kerjasama erat dengan lembaga-lembaga pendidikan dan non
pendidikan agar rekrutmen tenaga kerja dapat dilakukan lebih cepat
bahkan bisa mendapatkan prioritas secara khusus dalam memenuhi
66 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
kuota tenaga kerja yang dibutuhkan. Menurut Asmawi (2005) cara
kerjasama dengan cara melibatkan unsur mahasiswa, alumni dan
perusahaan-perusahaan yang mewakili dunia usaha dalam memberikan
masukan yang berguna untuk menghasilkan lulusan perguruan tinggi
yang diharapkan mampu berkiprah di era globalisasi, (5) meningkatkan
penguasaan dibidang Ilmu Teknologi (IT) agar dapat mendukung dan
meningkatkan kinerja saat sudah mendapat pekerjaan, Zulhimma
(2015) menguatkan bahwa membekali mahasiswa dengan penguasaan
teknologi informasi yang baik adalah karena kebutuhan akan
keterampilan tersebut masih sangat tinggi.
Perbedaan dalam pendapatan alumni yang persentase tertinggi
didominasi dengan pendapatan <1.000.000-3.000.000 masih perlu
ditingkatkan karena mengingat dimasa kini dan mendatang kebutuhan
dan tuntutan hidup akan semakin meningkat. Kebijakan yang dapat
dilakukan Jurusan Geografi, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri
Semarang untuk mengatasi hal tersebut adalah mengembangkan
kurikulum kewirausahaan dan mewajibkan calon lulusan untuk
mengikutinya sehingga ketika lulus nanti alumni tidak
menggantungkan diri pada satu pendapatan saja, sedangkan bagi
alumni kewirausahaan dapat di. Manfaat kewirausahaan dijelaskan
oleh Menurut Alma (2008) seperti membuka peluang besar untuk
menampung tenaga kerja, sehingga mengurangi pengangguran serta
sebagai generator pembangunan lingkungan, bidang produksi,
distribusi, pemeliharaan lingkungan, kesejahteraan, dan sebagainya.
Berdasarkan pendapat diatas maka diharapkan ilmu kewirausahaan
perlu dikuasai agar manfaatnya dapat dirasakan baik sebelum lulus
maupun setelah lulus dari perguruan tinggi.
Analisis kesesuaian pekerjaan alumni Jurusan Geografi, Fakultas
Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang yang didominasi oleh 67
orang mahasiswa bekerja sesuai dengan kualifikasi pendidikan
sehingga dengan perolehan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa
program, strategi dan kebijakan yang telah dilakukan di jurusan
tersebut sudah baik sehingga perlu peningkatan dalam berbagai segi
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 67
berdasarkan evaluasi yang sudah seharusnya dilakukan berdasarkan
pertimbangan pimpinan, dosen, lembaga-lembaga yang bekerjasama,
alumni maupun dari pihak mahasiswa itu sendiri. Selanjutnya analisis
data alumni Jurusan Geografi Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang
berdasarkan lanjutkan studi jumlahnya masih sedikit yaitu 19 orang
sedangkan yang tidak melanjutkan studi berjumlah lebih besar yaitu:
72 orang. Faktor utama yang menyebabkan alumni tidak bisa
melanjutkan studi lanjut adalah faktor biaya dan faktor peluang kerja
yang tidak jelas. Berdasarkan faktor tersebut maka dapat dilakukan
sosialisasi berisi informasi yang rinci tentang peluang beasiswa baik
dalam negeri maupun luar negeri yang bisa didapatkan, kiat-kiat
mendapatkan beasiswa beserta mendeskripsikan kesempatan kerja
yang bisa dimasuki ketika lulus dari studi lanjutan tersebut.
D. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian tracer studi ini dapat disimpulkan bahwa :
1. Masa tunggu mendapatkan pekerjaan alumni mahasiswa Jurusan
Geografi, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang
didominasi masa tunggu kerja < 5 Bulan dengan persentase 57,1 %
dan terendah pada masa tunggu > 12 Bulan dengan persentase 6,6%.
2. Tingkat pendapatan alumni mahasiswa Jurusan Geografi, Fakultas
Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang tertinggi adalah <
1.000.000-3.000.000 sebanyak 26 atau 28,6% dan pendapatan
dengan persentase terendah adalah yang memiliki rentang gaji tidak
diisi sebesar 21 orang atau 23,1%.
3. Kesesuaian Pekerjaan alumni mahasiswa Jurusan Geografi, Fakultas
Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang didominasi oleh 67 orang
mahasiswa yang bekerja sesuai dengan kualifikasi pendidikan atau
sebesar 62.0%.
4. Rekapitulasi alumni mahasiswa Jurusan Geografi, Fakultas Ilmu
Sosial Universitas Negeri Semarang yang lanjut studi sebesar 19
68 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
orang atau 20,9 % dengan rincian 11 atau 12.1% orang alumni
mahasiswa prodi pendidikan geografi dan prodi geografi sebanyak 8
orang atau 8,8 %
Daftar Pustaka
Abdullah Idi.1999. Pengembangan Kurikulum, Teori dan Praktek,
Jakarta: Gaya Media Pratama.
Alma, B.2008. Kewirausahaan. Bandung: Alfabeta
Asmawi, M.R. 2005. Strategi Meningkatkan Lulusan Bermutu di
Perguruan Tinggi. Makara, Sosial Humaniora, Vol. 9, No. 2,: 66-
7.
Handayani, S.2016. Pentingnya Kemampuan Berbahasa Inggris
Sebagai Dalam Menyongsong ASEAN Community 2015. Jurnal
Profesi Pendidik. Vol 3,No. 1: 102-106.
Zulhimma. 2015. Tracer Study Alumni dalam Meningkatkan Mutu
Akademik di Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN
Dangsidimpuan. Tazkir Vol. 01, No. 2.
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 69
==(5)==
IMPLEMENTASI NILAI TOLERANSI MELALUI
PENDIDIKAN IPS DALAM MEMPERKUAT JATI
DIRI BANGSA
Ricu Sidiq, Flores Tanjung, Najuah
Dosen Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosia, Universitas
Negeri Medan
ABSTRAK
Kondisi masyarakat Indonesia yang beragam budaya, ras, suku, bahasa dan
agama tidak jarang menimbulkan konflik atau perpecahan. Hal ini terjadi
karena kurangnya kesadaran masarakat menerima sebuah perbedaan sebagai
bentuk rahmat Tuhan Yang Maha Esa bukan sebagai alasan terjadinya
perpecahan. Ironisnya, fenomena konflik yang dilatarbelakangi oleh
perbedaan kerap terjadi dikalangan pelajar, terlihat dari sering terjadinya
perkelahian dan tawuran antar pelajar. Hal ini menjadi indikator kurangnya
pemahaman nilai toleransi dalam diri peserta didik, padahal toleransi
membawa kehidupan yang damai dengan menghargai perbedaan yang ada.
Untuk itu peranan pendidikan IPS begitu diperlukan guna menanamkan nilai-
nilai toleransi pada peserta didik, sesuai dengan tujuannya untuk membantu
peserta didik dalam mengembangkan pengetahuan, keterampilan, sikap, dan
nilai yang diperlukan dalam menjalani kehidupan di dalam masyarakat.
Pendidikan IPS mampu memberikan penanaman nilai-nilai toleransi kepada
peserta didiknya. Jati diri bangsa diperkenalkan sebagai wawasan kebangsaan
dan mencari tahu siapa bangsa ini sesungguhnya. Perbedaan dapat dijadikan
sebagai penyatu anak bangsa. Dengan bertoleransi maka jati diri bangsa
Indonesia kuat.
Kata Kunci : Nilai Toleransi, Pendidikan IPS, Jati Diri Bangsa
70 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
A. Pendahuluan
Indonesia merupakan sebuah bangsa besar dengan komposisi
penduduk yang beranekaragam dari Sabang sampai Merauke.
Keanekaragaman yang dimiliki Indonesia meliputi suku, ras, budaya,
bahasa, agama serta dari pulau-pulau yang berbeda. Perbedaan pada
dasarnya dapat menciptakan kedamaian maupun perpecahan,
tergantung bagaimana setiap individu menyikapinya. Perbedaan
bukanlah sumber perpecahan dan konflik melainkan suatu kekayaan
dan merupakan rahmat Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa
Indonesia.
Konflik yang didasari perbedaan tidak hanya terjadi di dalam
lingkungan masyakarakat, namun juga sering terjadi pada pelajar. Saat
ini tidak jarang ditemukan perkelahian dan tawuran yang terjadi
diantara pelajar. Perbedaan semakin terlihat dan dijadikan alasan untuk
memicu konflik di antara pelajar, terlihat dari adanya perasaan lebih
unggul dibandingkan orang lain yang banyak terdapat dalam diri
pelajar. Fenomena ini membuktikan masih kurangnya pendewasaan
sehingga tidak ada sikap toleransi antar sesama dikalangan pelajar.
Menanggapi permasalahan di atas, perlu diterapkan
pembelajaran sikap dan pemberian nilai-nilai toleransi guna menyikapi
perbedaan yang ada pada diri bangsa Indonesia. Toleransi dapat
menjadi solusi agar setiap individu lebih mengenal dan mengakui
perbedaan, hingga selanjutnya mampu menghormati perbedaan satu
sama lain. Melalui toleransi, perbedaan bukanlah suatu hal yang
dihindari melainkan harus diakui dengan saling menghormati dan
menghargai. Dengan demikian proses ke Indonesiaan akan tetap
berjalan sampai sekarang tanpa menghilangkan jati diri bangsa.
Jati diri merupakan gambaran diri sebuah bangsa. Indonesia
dengan keberagamannya dikenal sebagai bangsa yang kaya disamping
kekayaan sumber daya alamnya. Identitas bangsa Indonesa yang positif
dapat dikembangkan dan dimantapkan sehingga tercapainya
keberlangsungan kehidupan yang damai dan sejahtera sesuai dengan
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 71
semboyan “Bhineka Tunggal Ika” yang selama ini melekat pada diri
bangsa Indonesia. Kehidupan damai dan sejahtera tentunya dapat
tercapai dengan penanaman nilai-nilai toleransi yang kuat diantara
masyarakat Indonesia
Nilai toleransi dapat ditemukan di dalam dunia pendidikan,
yaitu pada pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Pendidikan IPS
merupakan bagian dari kurikulum pendidikan yang memberikan
pembelajaran kepada peserta didik ilmu pengetahuan, keterampilan dan
nilai-nilai kehidupan yang dibutuhkan setiap individu dalam berbangsa
dan bernegara. Pendidikan IPS memberikan jawaban atas semua
permasalahan yang menyangkut permasalahan sosial di masyarakat
dengan mengimplentasikan nilai toleransi yang ada pada Pendidikan
IPS sehingga dapat memperkuat jati diri bangsa.
B. Pembahasan
Nilai Toleransi
Istilah toleransi berasal dari bahasa Latin yaitu tolerantia yang
berarti kelonggaran, kelembutan hati, keringanan dan kesabaran
(Hornby, 1995). Sedangkan dalam bahasa Inggris “tolerence” berarti
sikap membiarkan, mengakui dan menghormati keyakinan orang lain
tanpa memerluka persetujuan (David, 1959). Menurut Kamus Umum
Bahasa Indonesia (W.J.S Poerdarminta, 2000) toleransi ialah sifat atau
sikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan)
pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakukan dan lain
sebagainya yang berbeda dengan pendiriannya sendiri.
Mengutip pendapat Walzer dalam Misrawi (2010) toleransi
harus mampu membentuk kemungkinan-kemungkinan sikap, antara
lain: (1) sikap untuk menerima perbedaan; (2) mengubah
penyeragaman menjadi keragaman; (3) mengakui hak orang lain, (4)
menghargai eksistensi orang lain; (5) Mendukung secara antusias
terhadap perbedaan budaa dan keragaman ciptaan Tuhan Yang Maha
72 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
Esa. Secara sederhana dikemukakan bahwa toleransi adalah sikap
menerima dan tindakan menghargai setiap perbedaan yang ada. Usman
dan Widyanto (Vol. 2 No 1, 2019) menyebutkan bahwa keberadaan
toleransi sebagai nilai dasar yang saat ini sangat dibutuhkan untuk
membangun dan memperkokoh kohesi sosial dalam masyarakat yang
multikutur seperti Indonesia. Oleh karena itu, dengan adanya nilai-nilai
toleransi masyarakat diharapkan mampu hidup berdampingan dengan
damai diantara perbedaaan tanpa ada perilaku diskriminasi.
Pendidikan IPS
Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosia (PIPS) pada hakekatnya
merupakan program pendidikan yang mengkaji persoalan kehidupan
manusia dalam interaksinya dengan lingkungan fisik maupun dengan
lingkungan sosialnya. Pendidikan IPS terdiri dari dua kata yaitu
pendidikan dan IPS. Pendidikan mengandung pengertian suatu
perbuatan yang disengaja untuk menjadikan manusia memiliki kualitas
yang baik. Sedangkan IPS merujuk pada kajian yang memusatkan
perhatiannya pada aktivitas kehidupan manusia (Supriatna, 2009).
Pendidikan IPS adalah disiplin ilmu-ilmu sosial ataupun integrasi dari
berbagai cabang ilmu sosial seperti sosiologi, sejarah, geografi dan
antropologi yang disajikan berdasarkan prinsip pendidikan untuk
mengkaji masalah-masalah sosial.
Pendidikan IPS bertujuan sebagai mata pelajaran yang
mengajarkan bagaimana menjadi warga negar yang baik serta mampu
menyesuaikan diri diberbagai lingkungan sehingga menjadi individu
yang memiliki kemampuan bersosialisai yang baik (Hidayat, dkk.
2017). Sebagaimana uraian Depdiknas (2003) mengenai tujuan
pembelajaran pengetahuan sosial yaitu:
1. Tujuan pembelajaran pengetahuan sosial adalah a) memperoleh
pengetahuan; b mengembangkan kemampuan berpikir; c) melatih
kemampuan belajar mandiri; d) mengembangkan kebiasaan dan
keterampilan yang bermakna, serta; e) melatih menggunakan pola-
pola kehidupan di masyarakat.
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 73
2. Tujuan pengetahuan sosial adalah mempersiapkan anak untuk
menjadi warga negara yang baik, mengajarkan anak tentang cara
berpikir dan menyampaikan warisan kebudayaan kepada anak.
3. Mengembangkan kemampuan dan keterampilan agar siswa mampu
hidup selaras, serasi, dan seimbang di lingkungannya.
Hasan (1996) mengelompokan tujuan umum pembelajaran IPS
kedalam 3 kategori, sebagai berikut:
1. Pengembangan kemampuan intelektual siswa dalam memahami
disiplin ilmu sosial, kemampuan berpikir dalam disiplin ilmu sosial,
kemampuan berpikir dalam disiplin ilmu-ilmu sosial, serta
kemampuan prosesual dalam mencari informasi, mengolah
informasi dan mengkomunikasikan hasil temuan yang terkait
disiplin ilmu sosial.
2. Pengembangan kemampuan dan rasa tanggung jawab sosial sebagai
anggota masyarakat, warga negara serta warga dunia dalam
berkomunikasi dan berinteraksi dengan baik dan benar.
3. Pengembangan kepribadian siswa berkenaan dengan pengembangan
sikap yang positif, nilai, norma dan moral yang menjadi panutan
siswa.
Berdasarkan tujuan diatas, disimpulkan bahwa pendidikan IPS
bertanggungjawab membantu peserta didik dalam mengembangkan
pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai yang diperlukan dalam
menjalani kehidupan di dalam masyarakat. Pembelajaran IPS yang
powerful menurut NCSS memiliki karakteristik antara lain meaningfull
atau bermakna, Integrative atau terintegrasi, value based atau berbasis
nilai, challenging atau menantang dan activating atau mengaktifkan.
Salah satu dari prinsip belajar mengajar dalam IPS yang berkekuatan
tersebut adalah berbasis nilai (Rufaida, 2017).
Pendidikan IPS memuat didalamnya banyak nilai-nilai
toleransi, nilai bagaimana menjalin hubungan sosial dengan orang lain
yang dengan latar belakang yang berbeda. Nilai-nilai yang memberikan
pengajaran bahwa semua orang memiliki hak yang sama dan bebas
74 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
dalam menjalani hidup asal dalam kaidah-kaidah yang berlaku dan
diyakini. Pendidikan IPS memiliki tugas mengembangkan potensi
peserta didik agar peka terhadap masalah sosial yang terjadi di
masyarakat, memiliki sikap mental positif untuk perbaikan segala
ketimpangan, dan terampil mengatasi masalah yang terjadi di
masyarakat (Maryani, dkk. 2009).
Implementasi Nilai Toleransi Melalui Pendidikan IPS dalam
Memperkuat Jati Diri Bangsa
Era revolusi industri 4.0 saat ini menuntut semua kalangan
bangsa untuk mepersiapkan anak bangsanya dalam menghadapi
persaingan, disrupsi, dan ancaman disintegrasi global. Perubahan-
perubahan tersebut menunjukkan arti pentingnya nilai jati diri bangsa.
Penanaman nilai toleransi sangat diperlukan dalam memperkuat jati
diri bangsa pada peserta didik.
Indonesia dengan keanekaragamannya dan latar belakang yang
berbeda diperlukan pengantisipasian dan pengawasan terhadap bintik-
bintik permasalahan di dalam anak bangsa. Perbedaan sangat mudah
memicu konflik dan perpecahan. Sehingga diperlukan suatu cara untuk
mengatasi konflik, salah satunya dapat dilakukan dengan
mengimplentasikan nilai toleransi melalui pendidikan IPS dalam
memperkuat jati diri bangsa. Meskipun semua mata pelajaran
mempunyai tanggung jawab yang sama untuk membimbing peserta
didik, tetapi pendidikan IPS memiliki porsi serta peranan yang cukup
besar dalam mendidik siswa menjadi anggota masyarakat yang sadar
akan nilai-nilai sosial dan mengembangkan sikap toleransi.
Nilai toleransi menjadi salah satu bentuk saling menghormati
sesama dan tidak memaksakan kehendak. Manusia yang menggangap
dirinya lebih tinggi, baik, dan benar kecederungan akan menimbulkan
sikap yang anti toleran. Sikap primordial yang menganggap budaya
lebih baik dari lainnya menjadi cikal untuk terjadinya perselisihan
(Widiyanto, 2017). Nilai toleransi yang dimiliki dalam pendidikan IPS
dapat dilihat dalam cakupan dimensi-dimensi yang dimilikinya dimana
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 75
Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan suatu kajian pengetahuan
yang mencakup empat dimensi yaitu: (1) Dimensi Pengetahuan
(Knowledge) meliputi fakta, konsep, generalisasi yang dipahami oleh
peserta didik; (2) Dimensi Keterampilan (Skill) meliputi Keterampilan
meneliti, Keterampilan berpikir, dan Keterampilan sosial; (3) Dimensi
Nilai dan Sikap (Values And Attiudes), dimensi nilai dan sikap ini
mencakup nilai-nilai antara lain nilai substansif dan nilai prosedural;
dan (4) Dimensi Tindakan (Action). Keempat dimensi IPS memiliki
karakteristik yang berbeda satu sama lain, namun keempat dimensi ini
saling melengkapi dan saling berkaitan satu sama lain (Nurjannah,
2017). Pada dimensi ketiga, dimensi nilai dan sikap mengandung
pemahaman akan nilai toleransi yang dapat dipelajari dan diamalkan
oleh peserta didik dalam kehidupan sehari-hari.
Tujuan dan tugas yang terkandung dalam pendidikan IPS perlu
di implementasikan oleh peserta didik sebagai anak bangsa. Guru mata
pelajaran pendidikan IPS memiliki tanggungjawab menyampaikan dan
menanamkan nilai-nilai toleransi yang terdapat pada pendidikan IPS
kepada peserta didik demi tercapainya jati diri bangsa yang kuat.
Upaya untuk meningkatkan kualitas pembelajaran IPS perlu
diperhatikan oleh elemen-elemen / pihak-pihak terkait di bidang
pendidikan, khususnya oleh guru sebagai pengembang kurikulum dan
ujung tombak pelaksanaan pendidikan di lapanngan, dituntut mampu
atau memiliki kecakapan dasar professional yang dapat diandalkan
sebagai tenaga pendidikan dan mampu mengembangkan pembelajaran
dimulai dari merencanakan, mengolah sampai menilai guna perbaikan
atau peningkatan mutu pembelajaran sesuai yang diharapkan.
(Maslihah, 2011)
Ketercapaian tujuan PIPS dipengaruhi oleh kemampuan guru
dalam mengembangkan media, sumber, alat dan strategi belajar serta
menguasai materi yang dikembangkan berdasarkan pada kehidupan riil
di sekitar kehidupan sehari-hari siswa. Dengan tercapainya ujuan
pembelajaran IPS diharapkan peserta didik dapat menumbuhkan rasa
saling toleransi.
76 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
Hidup di tengah-tengah keberagaman dengan damai merupakan
keinginan setiap orang. Pendidikan IPS mampu memberikan
penanaman nilai-nilai toleransi kepada peserta didiknya. Jati diri
bangsa diperkenalkan sebagai wawasan kebangsaan dan mencari tahu
siapa bangsa ini sesungguhnya. Perbedaan dapat dijadikan sebagai
penyatu anak bangsa. Dengan bertoleransi maka jati diri bangsa
Indonesia kuat.
C. Penutup
Perbedaan merupakan anugerah dan rahmat dari Tuhan Yang
Maha Esa bagi bangsa Indonesia. Perbedaan dapat membawa hal
positif dan hal negatif. Penyebab konflik antar individu dikarenakan
tidak adanya nilai toleransi pada individunya. Nilai toleransi dapat
memberikan pemahaman akan pengharggaan dan kebebasan pada
setiap individu.
Pendidikan IPS terdiri dari cabang-cabang ilmu sosial seperti
sejarah, budaya dan politik serta ekonomi. Pendidikan IPS merupakan
wadah yang dapat menyediakan pembelajaran nilai toleransi.
Pendidikan IPS memiliki tujuan membantu peserta didik dalam hal
pengetahuan, kemampuan, dan nilai-nilai yang sangat penting dalam
kehidupan berbangsa bernegera. Pengimplementasian nilai-nilai
toleransi melalui pendidikan IPS diharapkan mampu memperkuat jati
diri bangsa.
Daftar Pustaka
David g. Gularnic. 1959. Webster’s World Dictionary of American
Languange. Clevelen and New York : The World Publishing
Company.
Deepdiknas. 2003. Kurikulum 2004 Standarr Kompetensi Mata
Pelajaran Pengetahuan Sosial SMP dan Mts. Jakarta:Depdiknas.
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 77
Hasan, H. 1996. Pendidikan Ilmu-ilmu Sosial. Bandung : Jurusan
Sejarah IKIP.
Hidayat, dkk. 2017. Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial Terpadu.
Medan : Akasha Sakti.
Hornby AS. 1995. Oxford Advanced Learner’s Dictionary. Oxford ;
University Printing House. pp 67.
Maryani, Enok & Helius Syamsuddin. (2019). Pengembangan
Program Pembelajaran IPS untuk Meningkatkan Kompetensi
Keterampilan Sosial. Jurnal Penelitian. Vol. 9, No. 1. Edisi April
2019.
Maslihah, S. (2011). Studi Tentang Hubungan Dukungan Sosial,
Penyesuaian Sosial Di Lingkungan Sekolah Dan Prestasi
Akademik Siswa Smpit Assyfa Boarding School Subang Jawa
Barat. Jurnal Psikologi Undip, 10(2), 103–114.
Misrawi, Zuhairi. 2010. Pandangan Muslim Moderat, Toleransi,
Terorisme dan Oase Perdamaian. Jakarta : PT. Kompas Media
Nusantara.
Nurjannah. (2017). Pengembangan Pembelajaran IPS Berwawasan
Kebangsaan Sebagai Mata Kuliah Jati Diri di Fakultas Ilmu
Sosial Unimed. Jurnal Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial. Vol. 9, No.
2. Edisi Desember 2017.
Rufaida, Hasna. (2017). Menumbuhkan Sikap Multikultural Melalui
Internalisasi Nilai-Nilai Multikultural dalam Pembelajaran IPS.
Jurnal Sosio Didakika. Vol. 4, No. 1. Edisi Juni 2017.
Supriatna, N. dkk. 2009. Pendidikan IPS di SD. Bandung : UPI Press.
Usman, Muhammad & Widyanto, Anton. 2019. Internalisasi Nilai-
nilai Toleransi dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam di
SMA Negeri 1 Lhokseumawe, Aceh, Indonesia. Dayah, Jurnal of
Islamic Education. Vol 2, No, 1. 36-52.
78 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
W.J.S Poerwadarminta. 2000. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta
: Balai Pustaka.
Widiyanto, Delfiyan. (2017). Pembelajaran Toleransi dan Keragaman
dalam Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan di Sekolah
Dasar. Prosidding Konferensi Nasional Kewarganegaraan III.
Edisi November 2017.
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 79
==(6)==
URGENSI MODEL PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
DALAM KEBUTUHAN PENGUATAN JATIDIRI
BANGSA
Apeles L. Lonto dan Wenly R.J. Lolong
(Dosen Jurusan PPKn FIS Unima, email:
Dosen Prodi Ilmu Hukum FIS Unima,
email: [email protected])
A. Pendahuluan
Kebutuhan mengeksiskan Indonesia menjadi hal yang utama
dalam kehidupan kenegaraan saat ini. Kehidupan kemasyarakatan
Indonesia saat ini menunjukkan adanya masalah yang merujuk kepada
persoalan latar identitas kesukuan, agama dan budaya. Dalam
kontestasi pemilihan umum baik legislatif, kepala daerah bahkan
kepala negara tidak jarang isu-isu terkait diatas sengaja dimunculkan
yang ironisnya justru digunakan untuk meraih dukungan publik.
Keperbedaan dalam hal ini sengaja ditonjolkan demi tujuan-tujuan
praktis untuk kepentingan individu maupun golongan yang dalam
kenyataan membahayakan kepentingan negara.
Padahal sejarah perjalanan kebangsaan Indonesia dalam
kenyataan justru menunjukkan munculnya rasa persatuan dan
perjuangan gigih seluruh anak bangsa untuk menuju kemerdekaan.
Mulyana menyebut latar kolonialisme di Indonesia telah memunculkan
kesadaran nasionalisme, yakni sebuah gerakan yang berkeinginan
untuk membentuk negara bangsa atas dasar kesamaan latar belakang.
80 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
Gerakan tersebut terwujudkan di Indonesia dengan lahirnya Negara
Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus
1945 (Mulyana, 2008).
Kamal menyebut bahwa berbagai konflik dalam kenyataan begitu
mewarnai perjalanan bangsa Indonesia sebagai sebuah negara terutama
sejak berakhirnya rezim orde baru dengan konsep sentralistis dan
monokulturalnya yang dibungkus dengan kestabilan demi
pembangunan. Pergantian rezim orde baru dengan era reformasi sering
membuat era keterbukaan dari era keterkungkungan itu menjadi
kebablasan sehingga terjadi demokrasi yang kebablasan tanpa kendali
sebut saja demons- trasi yang anarkis, kerusuhan dll. Demikian juga
halnya dengan berbagai konflik berskala besar seperti konflik di
Ambon, Sambas, Sampit dan Poso dan sebagainya (Kamal, 2013).
Tidak saja konflik dalam kenyataan perjalanannya keIndonesiaan
saat ini mendapat tantangan luar biasa ketika disana-sini terjadi
peristiwa terorisme di dalam negeri. Seiring dengan itu, perkembangan
paham radikal terkait negara agama semakin mengemuka. Paham
radikal ini dalam kenyataan tidak menerima keberagaman sebagai
potensi negara, namun dianggap justru mengancam entitas kelompok.
KeIndonesiaan menjadi terancam dalam hal ini.
Retnasari menyebut kasus-kasus intoleransi dalam kenyataan
turut menambah runyam kehidupan keIndonesiaan saat ini. Ruang
kebencian bahkan dibuka di media internet. Kelangsungan negara
terancam pada elemen generasi muda. Dari jajak pendapat penelitian
yang dilakukan LIPI terungkap bahwa sekitar 25 % siswa mengatakan,
Pancasila tidak lagi relevan, 84 % setuju penerapan syariat Islam, 52,3
% setuju kekerasan agama, dan 14,2 % siswa mendukung aksi
pengeboman (Retnasari, 2018).
Fakta ini jelas bukan hal yang menggembirakan untuk kebutuhan
melanggengkan Indonesia sebagai sebuah negara. KeIndonesiaan yang
berlandaskan Pancasila sebagai landasan falsafah kebangsaan
Indonesia sejatinya berdiri diatas konsep keberagaman budaya.
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 81
Keragaman yang sejak dulu selalu dianggap sebagai potensi bagi
terwujudnya negara yang sejahtera, saat ini malah berbalik dianggap
sebagai ancaman bagi sekelompok orang yang justru merupakan anak
bangsa sendiri. Ancaman terhadap negara muncul dari dalam seiring
dengan berkembangnya paham-paham radikal yang intoleran terhadap
keragaman dalam negara. Masa depan negara dalam hal ini berada
dalam kondisi yang cukup membahayakan. Jatidiri kebangsaan
Indonesia dalam hal ini menjadi hal yang dipertaruhkan kedepannya.
Padahal di tengah tantangan tersebut diatas, pemerintahan negara
ini pun masih terus menghadapi ancaman separatis dalam negeri.
Kasus penembakan warga sipil juga beberapa peristiwa kerusuhan
yang terjadi di wilayah Papua dalam kenyataan diduga didalangi oleh
kelompok kriminal bersenjata yang menginginkan pemisahan Papua
dari Indonesia. Apa yang terjadi ini semakin mempertegas terhadap
adanya tantangan luar biasa terhadap eksistensi kenegaraan maupun
kebangsaan Indonesia.
Pada titik ini maka benarlah kemudian yang dikatakan Bunyamin
yang menyebut pluralitas masyarakat Indonesia justru menjadi
fenomena yang paradoks. Dalam pandangan Bunyamin keberagaman
dapat berpotensi positif sekaligus negatif. Pada satu sisi, keberagaman
tersebut merupakan kekayaan kultural yang mengekspresikan
kebesaran sebagai sebuah bangsa. Pada sisi lain, keberagaman akan
menjadi potensi yang dapat menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan
dan peradaban jika tidak terwadahi dalam sistem penyelenggaraan
kehidupan berbangsa dan bernegara (Bunyamin, 2016).
Dalam kacamata filsafat pendidikan maka keseluruhan tantangan
persoalan diatas sesungguhnya merupakan persoalan nilai dalam diri
manusia Indonesia. Proposisi ini terbangun dari kesadaran bahwa
manusia menjadi sumber permasalahan yang ada diatas. Sementara
manusia dalam konteks ini merujuk pada manusia Indonesia. Nilai-
nilai yang ada dalam diri manusia Indonesia inilah yang menjadi
sumber persoalan.
82 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
Merujuk pada Fakhuriddin yang menyebut pendidikan sebagai
suatu ikhtiar untuk merubah manusia kearah yang lebih baik
Sementara inti dari perubahan diri manusia yang dimaksud adalah
perubahan nilai (Fakhruddin, 2014). Dalam hal ini maka harus
dikatakan bahwa penyelesaian terhadap persoalan negara diatas tidak
bisa tidak harus terfokus kepada penyelesaian kemanusiaan itu sendiri.
Terhadap tantangan persoalan yang demikian pilihan
pemerintahan negara pada umumnya memilih jalan penegakan hukum.
Faktanya penegakan hukum tidak pernah mampu memberikan hasil
yang maksimal jika tidak ditunjang dari faktor-faktor lainnya seperti
pendidikan. Pada konteks ini memang harus disadari akan adanya
hubungan antara hukum dan elemen sosial dalam kebutuhan
perekayasaan keadaan masyarakat (Lolong, 2017). Penegakan hukum
jelas bukan merupakan satu-satunya pilihan yang dapat dijadikan solusi
utama bagi penyelesaian masalah kebangsaan Indonesia.
Pendidikan diajukan sebagai jalan keluar kenegaraan Indonesia.
Artinya bahwa dalam konteks ini dapat dikatakan bahwa tantangan
masa depan bangsa dan negara menjadi bergantung terhadap
bagaimana konsep dan model pendidikan dalam negara yang
mendukung untuk tujuan dimaksud. Padahal tantangannya justru
berada disini. Konsep dan model pendidikan dalam negara modern
Indonesia jelas perlu direkonseptualisasi dalam kebutuhan menghadapi
tantangan persoalan masa kini yang jelas berbeda dengan Indonesia di
masa lalu.
Kehidupan masa kini Indonesia jelas diperhadapkan dengan
tantangan hadirnya ideologi-ideologi yang mengancam pelestarian
negara. Negara berada dalam keadaan yang kritis dengan merujuk pada
kondisi semakin masifnya penyebaran paham intoleran dan radikal
dimana dalam kenyataannya mengancam eksistensi Indonesia sebagai
negara yang majemuk. Pertanyaannya kemudian ialah model
pendidikan bagaimanakah yang dianggap mampu menghadirkan
ketetapan pola pikir dan pola tindak pada individu warga negara bahwa
Indonesia ini terbangun diatas kondisi sosial yang majemuk?
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 83
Pada konteks inilah maka dihadirkan model pendidikan
multikulturalisme sebagai tawaran solusi terhadap tantangan
permasalahan Indonesia saat ini. Pendidikan multikulturalisme ini
diperkirakan mampu menghadirkan perubahan terhadap paradigma
sempit terkait fakta kemajemukan negara ini.
B. Kehadiran Model Pendidikan Multikulturalisme
Multikulturalisme diartikan Umar sebagai paham atau aliran
yang membahas tentang kemajemukan budaya. Paham atau aliran ini
kemudian berupaya untuk mengembangkan seluruh potensi manusia
yang menghargai pluralitas dan heterogenitas sebagai konsekuensi
keragaman budaya, etnis, suku, dan agama (Umar, 2012). Selanjutnya
Badrudin mengutip Suparlan menyebut multikulturalisme berakar kata
dari istilah multikultural. Gagasan pendidikan multikultural dibahas
dan diwacanakan pertama kali di Amerika dan negara-negara Eropa
Barat pada tahun 1960-an oleh gerakan yang menuntut diperhatikannya
hak-hak sipil (civil right movement). Tujuan utama dari gerakan ini
adalah untuk mengurangi praktik driskriminasi di tempat-tempat
publik, di rumah, di tempat-tempat kerja, dan di lembaga-lembaga
pendidikan, yang dilakukan oleh kelompok mayoritas terhadap
kelompok minoritas. Selama itu, di Amerika dan negara-negara Eropa
Barat hanya dikenal adanya satu kebudayaan, yaitu kebudayaan kulit
putih yang Kristen. Golongan-golongan lainnya yang ada dalam
masyarakat-masyarakat tersebut dikelompokkan sebagai minoritas
dengan pembatasan hak-hak mereka (Badrudin, 2017).
Suparlan juga menyebut multikulturalisme sebagai konsep yang
mampu menjawab tantangan perubahan zaman dengan alasan
multikulturalisme merupakan sebuah ideologi yang mengagungkan
perbedaaan budaya, atau sebuah keyakinan yang mengakui dan
mendorong terwujudnya pluralisme budaya sebagai corak kehidupan
masyarakat (Rahim, 2017). Parekh mengklasifikasikan model
84 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
multikulturalisme kedalam lima kategori yakni pertama,
multikulturalisme isolasionis, yaitu masyarakat yang berbagai
kelompok kulturalnya menjalankan hidup secara otonom dan terlibat
dalam interaksi minimal satu sama lain. Kedua, multikulturalisme
akomodatif yang didefinisikan sebagai masyarakat yang memiliki
kultur dominan yang membuat penyesuaian dan akomodasi-akomodasi
tertentu bagi kebutuhan kultur kaum minoritas. Masyarakat ini
merumuskan dan menerapkan undang-undang, hukum, dan ketentuan-
ketentuan yang sensitif secara kultural, dan memberikan kebebasan
kepada kaum minoritas untuk mempertahankan dan mengembangkan
kebudayaan mereka. Begitupun sebaliknya, kaum minoritas tidak
menantang kultur dominan. Multikulturalisme ini diterapkan di
beberapa negara Eropa. Ketiga, multikulturalisme otonomis,
dikonsepkan sebagai masyarakat plural yang kelompok-kelompok
kultural utamanya berusaha mewujudkan kesetaraan (equality) dengan
budaya dominan dan menginginkan kehidupan otonom dalam kerangka
politik yang secara kolektif bisa diterima. Perhatian pokok kultural ini
adalah untuk mempertahankan cara hidup mereka, yang memiliki hak
yang sama dengan kelompok dominan; mereka menantang kelompok
dominan dan berusaha menciptakan suatu masyarakat yang semua
kelompoknya bisa eksis sebagai mitra sejajar. Keempat,
multikulturalisme kritikal/interaktif, yaitu masyarakat plural yang
kelompok-kelompok kulturalnya tidak terlalu terfokus (concerned)
dengan kehidupan kultural otonom, tetapi lebih membentuk penciptaan
kolektif yang mencerminkan dan menegaskan perspektif-perspektif
khas mereka. Kelima, multikulturalisme kosmopolitan, diartikan
sebagai masyarakat plural yang berusaha menghapus batas-batas
kultural sama sekali untuk menciptakan sebuah masyarakat tempat
setiap individu tidak lagi terikat kepada budaya tertentu, sebaliknya
secara bebas terlibat dalam percobaan-percobaan interkultural dan
sekaligus mengembangkan kehidupan kultural masing-masing
(Irhandayaningsih, 2012).
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 85
Gagasan multikulturalisme dinilai sebagai gerakan yang
mengakomodir kesetaraan dalam perbedaan dan dipandang sebuah
konsep yang mampu meredam konflik vertikal dan horizontal dalam
masyarakat yang heterogen di mana tuntutan akan pengakuan atas
eksistensi dan keunikan budaya kelompok etnis sangat lumrah terjadi.
Masyarakat multikultural dirancang mampu memberikan ruang yang
luas bagi berbagai identitas kelompok untuk melaksanakan kehidupan
secara otonom. Dengan demikian, multikul- turalisme, diharapkan
mampu menciptakan suatu sistem budaya (culture system), dan tatanan
sosial yang mapan dalam kehidupan masyarakat yang akan menjadi
pilar kedamaian (Kamal, 2013).
Dalam konteks KeIndonesiaan maka konsep paham
multikulturalis pada prinsipnya sangat lekat dengan Indonesia.
Azyumardi Azra menyebut bahwa kerangka konseptual tentang
masyarakat multikulturalisme sesungguhnya tidak terlalu baru di
Indonesia, sebab prinsip negara Indonesia adalah sebagai negara
”Bhinneka Tunggal Ika” yang mencerminkan bahwa meskipun
Indonesia adalah negara yang terdiri dari berbagai suku bangsa, etnis
dan agama, tetapi terintegrasi dalam ikatan keikaan, kesatuan” (Rahim,
2017).
Muhaemin el-Ma’hady, menjelaskan pendidikan multikultural
dapat didefinisikan sebagai pendidikan mengenai keragaman
kebudayaan dalam merespon perubahan demografis dan kultural dari
suatu masyarakat tertentu. Pendidikan multikultural dapat disebut
sebagai model pendidikan keragaman kebudayaan dalam merespon
perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu
atau bahkan dunia secara keseluruhan. Pendapat lainnya merujuk pada
pandangan James Banks yang memberikan batasan pemahaman bahwa
pendidikan multikultural sebagai pendidikan untuk people of colour
(Rahim, 2017).
Faktanya memang harus diakui bahwa terdapat korelasi yang
begitu erat antara kenyataan keunikan budaya antara satu kelompok
masyarakat dengan kelompok masyarakat lainnya. Keragaman tersebut
86 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
secara pokok berhubungan erat dengan pola pikir, tingkah laku dan
karakter pribadi yang menjadi sebuah tradisi pada masing-masing
kelompok masyarakat Dalam kenyataan tradisi yang terbentuk akan
berlainan dari satu suku/daerah dengan suku/daerah yang lain. Pada
tataran inilah oleh beliau pergumulan antar budaya memberikan
peluang konflik manakala tidak terjadi saling memahami dan
menghormati satu sama lain. Proses untuk meminimalisir konflik inilah
memerlukan upaya pendidikan yang berwawasan multikultural dalam
rangka pemberdayaan masyarakat yang majemuk dan heterogen agar
saling memahami dan menghormati serta membentuk karakter yang
terbuka terhadap perbedaan (Ibrahim, 2013).
Tilaar dalam uraianya menjelaskan bahwa Pendidikan
multikultural memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1) tujuannya membentuk” manusia budaya” dan menciptakan
masyarakat berbudaya (berperadaban)”;
2) materinya mengajarkan nilai-nilai luhur kemanusian, nilai-nilai
bangsa, dan nilai-nilai kelompok etnis (cultural);
3) metodenya demokratis, yang menghargai aspekaspek perbedaan dan
keberagaman budaya bangsa dan kelompok etnis (multikulturalis);
dan
4) evaluasinya ditentukan pada penilaian terhadap tingkah laku anak
didik yang meliputi persepsi, apresiasi, dan tindakan terhadap
budaya lainnya (H.A.R. Tilaar, 2004).
Sementara itu dari aspek tujuan maka Judith H. Kazt menyebut
terdapat empat tujuan pendidikan multikultural yakni:
1) Memberikan pengalaman belajar kepada peserta didik guna
mengenalkan secara kritis kemampuan evaluasi untuk melawan isu-
isu seperti realisme, demokrasi, partisipatory, dan exime.
2) Mengembangkan keterampilan peserta didik untuk klarifikasi nilai,
termasuk kajian untuk mentransmisikan nilai-nilai yang laten dan
manifes.
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 87
3) Menguji dinamika keberagaman budaya dan implikasinya kepada
strategi pembelajaran guru.
4) mengkaji variasi kebahasaan dan keberagaman gaya belajar peserta
didik sebagai dasar bagi pengembangan strategi pembelajaran yang
sesuai (Rahim, 2017).
Mengacu pada batasan-batasan pengertian pendidikan
multikulturalisme diatas maka terdapat harapan besar dalam konteks
ini terhadap hadirnya perubahan perubahan pola pikir dan pola tindak
dalam masyarakat yang berkaitan dengan eksistensi negara. Model
pendidikan multikultural yang mengedepankan adanya persepsi,
apresiasi, dan tindakan terhadap budaya lainnya jelas akan
menghadirkan individu-individu warga negara yang memiliki
idealisme keIndonesiaan yang bersih dari paham-paham intoleran
terhadap keberagaman. Hal ini menjadi harapan Indonesia dimasa
depan. Negara ini jelas membutuhkan generasi yang mampu
melestarikan keberagaman dalam negara, dengan kesadaran utama
bahwa negara ini berdiri diatas kondisi keberagaman sejak awalnya.
Rahmawati Rahim menyebut terhadap gejolak dan realitas
kekinian bangsa Indonesia yang mengancam paradigma ke-Bhineka
Tungga Ikaan, diperlukan terobosan pemikiran mengenai konsep
pendidikan yang mampu memberdayakan manusia dan masyarakat
dengan perbedaan yang dimiliki. Konsep pendidikan Indonesia
haruslah mampu memenuhi kebutuhan mendesak bangsa Indonesia
saat ini untuk merekonstruksi kembali “kebudayaan nasional
Indonesia” yang terdiri dari keragaman etnis dan budaya tersebut.
Pendidikan multikultural dalam hal ini diajukan sebagai pilihan penting
mengingat pendidikan multikultural melihat masyarakat secara luas
dari keperbedaan yang dimiliki. Paradigma pendidikan multikultural
mancakup subjek-subjek mengenai ketidakadilan, kemiskinan,
penindasan dan keterbelakangan kelompok-kelompok minoritas dalam
berbagai bidang sosial, budaya, ekonomi, pendidikan dan lain-lain
(Rahim, 2017).
88 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
C. Mengintegrasikan Pendidikan Multikultural Dalam Sistem
Pendidikan Nasional
Mengutip Suyato maka Sudrajat mengurai bahwa pendidikan
menjadi elemen yang sangat penting dari kehidupan seseorang karena
merupakan aspek strategis bagi suatu negara yang terkait langsung
dengan penyediaan sumber daya manusia (SDM) berkualitas sebagai
penggerak utama pembangunan dalam perwujudan nation and
character building. Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan
berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak
asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajuan bangsa.
Dalam lingkup kehidupan Nasional Pendidikan saat ini maka ditandai
oleh kondisi yang bersifat multikultural. Sementara praktik pendidikan
di Indonesia selama ini cenderung menekankan pada aspek kompetisi,
sehingga melahirkan individu-individu yang bersifat individualis
bahkan egois (Sudrajat, 2015).
Pendidikan multikultural yang materinya menurut Tilaar fokus
kepada menghadirkan pengajaran-pengajaran terhadap nilai-nilai luhur
kemanusian, nilai-nilai bangsa, dan nilai-nilai kelompok etnis
(cultural), jelas merupakan sebuah kebutuhan utama dalam konteks
sistem pendidikan nasional. Tantangannya kemudian ialah bagaimana
mengintegrasikan model pendidikan ini kedalam sistem pendidikan
nasional.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional mengkonsepkan pendidikan sebagai “usaha agar
manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses
pembelajaran dan/atau cara lain yang dikenal dan diakui oleh
masyarakat.” Sementara definisi baku dimuat dalam Pasal 1 ayat 1 dari
Undang-Undang ini, yang lengkapnya menjelaskan bahwa “pendidikan
merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 89
negara.” Selanjutnya untuk pendidikan nasional sendiri diartikan
sebagai “pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-
nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap
tuntutan perubahan zaman” (UU RI No. 20 Tahun 2003).
Pendidikan multikultural berjalan dalam kesesuaian dan
keharmonisan dengan konteks batasan pengertian pendidikan nasional
diatas. Pendidikan multikultural dalam kehadirnya memprioritaskan
kesadaran akan keragaman kebudayaan manusia yang dalam konteks
Indonesia merujuk pada keragaman budaya Indonesia. Proses integrasi
pendidikan multikultural dalam kehidupan pendidikan nasional
menjadi hal yang utama disini.
Palipung dalam penelitiannya mengungkap metode
pengintegrasian pendidikan multikultural dalam kurikulum pendidikan
yang berjalan disekolah. Menurutnya pendidikan multikultural dapat
dimasukkan lewat kegiatan pengembangan diri peserta didik juga
sekaligus dalam mata pelajaran. Untuk konteks pengintegrasian ini
maka dibutuhkan daya dukung seperti iklim sekolah, kurikulum
sekolah, sarana prasarana, peran guru, program dan kegiatan sekolah,
maupun peserta didik (Palipung, 2016).
Secara teknis dalam konteks pembelajaran maka Allisson
Cumming mengemukakan beberapa pendekatan yang digunakan
sebagai metode proses pengintegrasian pendidikan multikultural.
Pendekatan dimaksud ialah meliputi pendekatan kontribusi (the
contributions approach), pendekatan pengayaan (the additive
approach), pendekatan transformatif (the transformative approach),
pendekatan pembuatan keputusan dan aksi sosial (the decision making
and social approach) (Cumming-McCann, 2003).
Pendekatan kontribusi berfokus pada hadirnya aktivitas bersama
antara peserta didik. Peserta didik diharapkan mampu menjalin
komunikasi dan berpartisipasi untuk saling memahami budaya, etnik
dan agama dari peserta didik yang lain. Pendekatan berikutnya yakni
90 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
pendekatan pengayaan pada intinya berupaya fokus terhadap
tumbuhnya kemampuan menemukan titik positif dari masing-masing
budaya, etnik dan agama. Titik pertautan antar budaya, etnik dan
agama menjadi hal yang penting. Selanjutnya, pendekatan
transformatif mengedepankan kemampuan peserta didik dalam melihat
segenap aspek dalam budaya, etnik dan agama dalam sikap yang kritis.
Sementara itu pendekatan pembuatan keputusan dan aksi sosial
berfokus kepada hadirnya aksi nyata di masyarakat yang berdampak
pada terjadinya perubahan secara sosial kemasyarakatan. Dalam
pendekatan ini pserta didik dituntut mengkaji isu sosial dan melakukan
tindakan dari hasil kajian terhadap isu sosial dimaksud.
Pendidikan multikultural pada hakekatnya mengedepankan
proses pengintegrasian nilai. Pada konteks ini maka ukuran nilai yang
akan diintegrasikan ini menjadi sangat penting. Lonto menyebut bahwa
pengintegrasian nilai oleh guru dalam kurikulum menjadi sebuah hal
yang mutlak dalam pendidikan karakter (Lonto, 2015). Persoalannya
kemudian ialah nilai-nilai apakah yang akan diintegrasikan dalam
kurikulum. Pilihan nilai inilai yang justru menjadi hal yang paling
penting disini.
Terdapat pilihan nilai yang pokok untuk diperhatikan disini yakni
pertama, kesadaran bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang
majemuk dan yang kedua ialah bahwa negara ini didirikan atas
kesepahaman dan kesepakatan bersama untuk menjadikan Pancasila
sebagai dasar negara, sebagai ideologi negara sekaligus juga yang
terpenting ialah sebagai sumber dari segala sumber hukum Indonesia.
Dalam konsep kedua nilai inilah pilihan nilai yang akan diintegrasikan
itu dapat berjalan. Pendidikan multikultural Indonesia pada intinya
harus mengandung dua nilai pokok tersebut sebagai jatidiri kebangsaan
Indonesia.
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 91
D. Penutup
Kemajemukan bangsa dan Pancasila sebagai dasar negara
merupakan dua nilai pokok yang sejatinya harus dapat dihadirkan
dalam diri setiap warga negara Indonesia. Penguatan terhadap dua nilai
pokok ini menjadi tantangan masa kini di tengah ancaman terhadap
eksistensi negara. Dua nilai prinsip tersebut sebagai jatidiri
kebangsaan Indonesia secara operasional menjadi syarat mutlak
terhadap terjaminnya masa depan negara.
Pergeseran nilai terhadap kesadaran akan keberagaman yang
dahulunya secara ideal diposisikan sebagai potensi dan sumber daya
negara dalam kenyataan berubah ke arah yang negatif. Dimana
keberagaman justru dijadikan isu-isu politis dalam tujuan untuk
eksistensi kepentingan kelompok yang dalam hal ini jelas sangat
membahayakan kepentingan negara. Pertaruhan terhadap masa depan
negara inilah yang menyebabkan model pendidikan multikultural
menjadi pilihan penting untuk diintegrasikan dalam konsep pendidikan
nasional masa kini. Model pendidikan multikultural seperti diatas bila
nantinya terintegrasi secara baik dalam konsep kurikulum pendidikan
nasional diharapkan mampu menghadirkan individu-individu wargan
negara yang memiliki kepribadian baik dan menunjung tinggi nilai-
nilai penghargaan yang tinggi terhadap keberagaman dalam negara.
Daftar Pustaka
Bunyamin. (2016). Pendidikan Multikultural Menuju Masyarakat
Bermartabat. Jurnal Pendidikan Islam, 7(2), 1–20. Retrieved from
https://journal.uhamka.ac.id/index.php/jpi/article/view/175
Cumming-McCann, A. (2003). Multicultural Education: Connecting
Theory to Practice. Focus on Basics, 6(February), 9–12. Retrieved
from
http://www.ncsall.net/fileadmin/resources/fob/2003/fob_6b.pdf
92 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
Fakhruddin, A. (2014). Urgensi Pendidikan Nilai Untuk Memecahkan
Problematika Nilai Dalam Konteks Pendidikan Persekolahan.
Pendidikan Agama Islam Ta’lim, 12(1), 79–96. Retrieved from
http://jurnal.upi.edu/file/07_-_Urgensi_Pendidikan_Nilai_-
_Agus_F.pdf
H.A.R. Tilaar. (2004). Multikulturalisme: Tantangan-Tantangan
Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional.
Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.
Irhandayaningsih, A. (2012). Kajian Filosofis Terhadap
Multikulturalisme Indonesia. Humanika, 15(9). Retrieved from
https://ejournal.undip.ac.id/index.php/humanika/article/view/3988
/3664
Kamal, M. (2013). Pendidikan Multikultural Bagi Masyarakat
Indonesia Yang Majemuk. AL-Ta Lim, 20(3), 451.
https://doi.org/10.15548/jt.v20i3.42
Lolong, W. R. (2017). Penegasan Konstruksi hukum Sebagai Fakta
Sosial: Telaah Relasional Dalam Mengoptimalkan Kerja
Penegakan Hukum. In Meneguhkan Ilmu-Ilmu Sosial
Keindonesiaan (pp. 80–92). Yogyakarta: Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Yogyakarta. Retrieved from
http://fis.uny.ac.id/sites/fis.uny.ac.id/files/FINAL PROSIDING
MISK FIS MEI 2017 %282%29_0.pdf#page=89
Lonto, A. L. (2015). Pengembangan Model Pendidikan Karakter
Berbasis Nilai Sosio-Kultural pada Siswa SMA di Minahasa.
MIMBAR, Jurnal Sosial Dan Pembangunan, 31(2), 319.
https://doi.org/10.29313/mimbar.v31i2.1416
Mulyana, A. (2008). Hubungan Etnis Dalam Pendidikan Sejarah di
Indonesia. In The International Seminar on Ethnics and
Education. Kuala Lumpur: , The Faculty of Education & Institute
Research of Ethnicity Universiti Kebangsaan Malaysia. Retrieved
from
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 93
http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/JUR._PEND._SEJARAH/1966
08081991031-AGUS_MULYANA/Artikel_Malaysia.pdf
Palipung, N. (2016). Implementasi Pendidikan Multikultural di
Sekolah Insklusi SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Tamansiswa
Yogyakarta, V, 558–566. Retrieved from
http://jurnal.upi.edu/file/07_-_Urgensi_Pendidikan_Nilai_-
_Agus_F.pdf
Rahim, R. (2017). Signifikansi Pendidikan Multikultural Terhadap
Kelompok Minoritas. Analisis: Jurnal Studi Keislaman, 12(1),
161–182. https://doi.org/10.42042/ANALISIS.V12I1.634
Retnasari, L. (2018). Strategi Pendidikan Multikultural Sebagai Upaya
Mencegah Radikalisme di Era Globalisasi. In Mengembangkan
Kompetensi Pendidik dalam Menghadapi Era Disrupsi (pp. 4–5).
Surakarta: Universitas Muhamadiyah Surakarta. Retrieved from
https://publikasiilmiah.ums.ac.id/handle/11617/10564
Sudrajat. (2015). Pendidikan Multikultural Untuk Meningkatkan
Kualitas Pembelajaran Ips Di Sekolah Dasar. Jipsindo, 1(1), 1–19.
https://doi.org/10.21831/jipsindo.v1i1.2874
Umar, A. K. (2012). Pendidikan Agama Berbasis Multikultural. At-
Ta’dib, 7(2), 2012.
94 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
==(7)==
PENGEMBANGAN MATERI STUDI MASYARAKAT
INDONESIA
YANG BERWAWASAN KEINDONESIAN
Lukitaningsih,
Department of History Education, Universitas Negeri Medan .
Jl. Willem Iskandar Psr V Medan Etate, Medan, 20221,
Indonesia
ABSTRAK
Pembelajaran studi masyarakat Indonesia berbasis wawasan keIndonesian
memiliki peranan yang penting untuk membentuk karakter mahasiswa agar
menjadi lebih baik. Tantangan yang di alami mahasiswa dan dosen dalam
pembelajaran studi masyakat Indonesia bagaimana membangun karakter
keindonesiaan kepada mahasiswa yang terintergrasi melalui matakuliah studi
masyakat Indonesia sehingga senantiasa memberikan yang terbaik. Penelitian
ini bertujuan untuk mendeskripsikan pembelajaran studi masyarakat
Indonesia dalam menghadapi era industri 4.0, dan mendeskripsikan implikasi
pada matakuliah studi masyakat Indonesia berwawasan keindonesia.
Pembelajaran studi masyakat Indonesia berbasis karakter budaya dan sosial
keindonesiaan merupakan proses pengembangan dan pembentukan
kecakapan mendasar yang tidak hanya menekankan pada ranah intelektual,
melainkan pula pada ranah emosional maupun spiritual yang berpengaruh
terhadap perilaku sosial budaya Indonesia kepada mahasiswa. Penelitian ini
menggunakan metode penelitian library research (penelitian/studi pustaka)
dan field research (penelitian lapangan) dengan pendekatan kualitatif
deskriptif serta menggunakan teknis analisis isi (content analisys) berupa
empat langkah yaitu: pengumpulan data, reduksi data, display data dan
pengambilan kesimpulan. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 95
adalah observasi, wawancara, studi dokumentasi dan studi pustaka. Data yang
diperlukan dalam penelitian ini berupa data teoritik dan data empirik. Sumber
data teoritik diambil dari referensi buku-buku dan referensi lainya yang sesuai
dengan kajian penelitian. Data empirik diambil dari hasil kegiatan observasi
dan wawancara yang dilakukan peneliti dengan beberapa responden. Objek
penelitian ini adalah mahasiswa dan dosen muda studi masyakat Indonesia.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa 1) pelaksanaan pembelajaran studi
masyakat Indonesia berbasis karakter budaya keIndoesiaan dilakukan dengan
berbagai strategi, metode, model dan pendekatan yang dilakukan secara
terpadu, penanaman karakter juga dilakukan secara intensif baik dalam KBM.
2) pembelajaran studi masyakat Indonesia berbasis karakter, mahasiswa tidak
hanya diberi pemahaman teoritis saja, namun lebih jauh dan yang lebih utama
adalah dapat mengubah dan membentuk karakter perilaku mahasiswa agar
menjadi lebih baik dalam lingkungan kampus ataupun masyaraka. Dalam
mata kuliah studi masyakat Indonesia berbasis karakter ada beberapa faktor
pendukung seperti keteladanan dosen dan kesadaran diri, namun disisi lain
ada faktor penghambat seperti lingkungan dan perkembangan IPTEK.3)
pembelajaran studi masyakat Indonesia berbasis karakter lebih menekankan
kepada perilaku-perilaku aktual tentang bagaimana mahasiswa dapat disebut
berkepribadian baik atau tidak baik berdasarkan budaya, peraturan kampus
dan masyarakat.
Kata kunci: Pembelajaran studi masyarakat Indonesia, wawasan
keIndonesiaan
A. Pendahuluan
Tujuan pendidikan pada umumnya, untuk mempersiapkan
mahasiswa menghadapi masa depannya. Mahasiswa diharapkan
mampu memecahkan dan mengatasi masalah kehidupan yang
dihadapinya dengan cara yang baik, tepat, dan cepat
(Dimyanti,2013:24). Untuk itu mahasiswa perlu memiliki kecakapan
hidup. Kecakapan hidup adalah kecakapan yang dimiliki seseorang
untuk berani menghadapi masalah hidup dan kehidupan dengan wajar
tanpa merasa tertekan, kemudian secara proaktif dan kreatif mencari
serta menemukan solusinya. Ada empat jenis kecakapan hidup, yaitu:1)
96 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
kecakapan personal yang mencakup kecakapan mengenal diri dan
kecakapan berpikir rasional, 2) kecakapan sosial mencakup kecakapan
komunikasi dengan empati dan kecakapan bekerjasama, 3) kecakapan
akademik, dan 4) kecakapan vokasional (Eggen & Kauchak, 1988:45-
46). Untuk menjawab tantangan di atas Universitas Negeri Medan,
dalam meningkatkan kualitas mahasiswanya dilaksanakan kurikulum
2013 (KKNI-2013)
Kurikulum (KKNI)2013 dikembangkan untuk menyiapkan
mahasiswa memiliki kemampuan berkomunikasi, kemampuan berpikir
kritis dan analisis, kemampuan berkarakter, menciptakan dan
mengatasi suatu permasalahan, serta memiliki rasa tanggung jawab
terhadap lingkungan kampus, dan masyarakat. Oleh karena itu
pembelajaran di luar kelas harus mampu meningkatkan interpersonal
dan intraper sonal mahasiswa. Pembelajaran studi masyarakat
Indonesia harus mampu meng arahkan mahasiswa aktif dalam mencari,
mengolah, mengkonstruksi dan menggu nakan pengetahuannya dalam
memecahkan sebuah permasalah sosial budaya dan lingkungan di
sekitarnya. Bahan ajar dengan pendekatan pembelajaran yang tepat
akan mendukung tujuan pembelajaran studi masyarakat Indonesia.
Tercapai tidaknya suatu tujuan pembelajaran ditentukan oleh banyak
faktor. Selain dosen faktor yang penting adalah sumber belajar seperti
buku, nateri, bahan ajar dan sebagainya. Perangkat pembelajaran pada
mata kuliah studi masyarakat Indonesia yang digunakan oleh
mahasiswa pendidikan sejarah adalah buku, tetapi buku yang ada
kurang menguraikan dan menganalisis tentang studi masyarakat yang
ada di Sumatera Utara. Masyarakat Sumatera Utara yang pluralisme,
multikultural sangat baik untuk dijadikan sebagai sumber belajar dan
bahan kajian serta analisis bagi mahasiswa untuk memahami identitas,
integritas, struktur sosial, perubahan sosial, pluralisme dan
multikultural serta budaya yang ada di Sumatera Utara.
Dengan adanya perangkat pembelajaran yang baik seperti buku,
nateri, media, dan lainnya, proses pembelajaran akan berjalan dengan
efektif, menarik dan bermakna sehingga tujuan pembelajaran akan
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 97
mudah tercapai. Buku yang tersedia digunakan oleh mahasiswa
maupun dosen lebih bersifat umum materinya atau lebih bersifat
generalisasi ke Indonesiaan, sehingga bila dianalisis isi materi buku
yang ada kurang mendukung terhadap tuntutan KKNI 2013, sehingga
perlu adanya revisi terhadap isi buku Studi Masyarakat Indonesia yang
berbasis berwawasan keindonesiaani.
Berdasarkan permasalahan diatas, maka dalam pembelajaran
studi masya rakat Indonesia sangat penting untuk dilakukan perbaikan
agar isi buku sesuai dengan tuntutan KKNI-13 dengan 6 tugas antara
lain : mahasiswa melakukan kritikal Jurnal, kritikal buku, mini riset,
projet ditambah dengan tugas harian. Salah satu solusinya adalah, perlu
dikembangkan bahan ajar berupa nateri yang berbasis berwawasan
keindonesiaani untuk digunakan dalam proses belajar mengajar pada
matakuliah studi masyarakat Indonesia yang kreatif, praktis dan
relevan dengan pembelajaran yang akan diselenggarakan. Melalui
pengembangan nateri, mahasiswa akan memahami konsep yang
mereka pelajari melalui pengalaman langsung, serta membantu mereka
dalam menyelesaikan 6 tugas KKNI. Hal ini dimaksudkan untuk
memberikan sajian materi studi masyarakat Indonesia lebih menarik
sehingga pembelajaran menjadi bermakna. Selain itu juga dapat
meningkatkan kualitas proses pembelajaran dan dapat mencapai tujuan
pembelajaran yang telah dirumuskan. Penelitian ini dilakukan dengan
tujuan : pertama menghasilkan Nateri studi masyarakat Indonesia yang
telah dikembangkan berbasis berwawasan keindonesiaani yang
memenuhi kriteria dalam pembelajaran. Kedua mendeskripsikan
efektifitas nateri studi masyarakat Indonesia berbasis berwawasan
keindonesiaani yang melibatkan kecerdasan intrapersonal dan
interpersonal. Ketiga mendeskripsikan hasil belajar mahasiswa yang
menggunakan pengembangan nateri studi masyarakat Indonesia
berbasis berwawasan keindonesiaani yang melibatkan kecerdasan
intrapersonal dan interpersonal.
98 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
B. Teori
Pengembangan Borg dan Gall
Menurut Borg dan Gall (1983:772) penelitian pendidikan
pengembangan adalah proses yang digunakan untuk mengembangkan
dan memvalidasi produk pendidikan. Langkah-langkah dari proses ini
biasanya disebut sebagai siklus R&D, yang terdiri dari mempelajai
temuan penelitian yangberkaitan dengan produk yang akan
dikembangkan, mengembangkan produk berdasarkan temuan ini,
bidang pengujian dalam pengaturan dimana iaakan digunakan
akhirnya, dan merevisinya untuk memperbaiki kekurangan yang
ditemukan dalam tahap mengajukan pengujian.
Sedang penelitian pengembangan menurut Dick and Carey
memiliki 10 tahapan sebagai berikut :
1). Analisis kebutuhan untuk mengidentifikasi tujuan, Pada tahap
awal, peneliti perlu melakukan analisis kebutuhan untuk
menentukan tujuan program atau produk yang akan
dikembangkan. Kegiatan analisis kebutuhan ini peneliti
mengidentifikasi kebutuhan prioritas yang segera perlu dipenuhi.
Analisis kinerja biasanya dilakukan untuk mengkaji problem dan
akar problem yang dilakukan dengan cara wawancara, observasi
dan diskusi kelompok kecil.
2). Analisis pembelajaran, melakukan analisis pembelajaran,
mencakup ketrampilan, proses, pro sedur, dan tugas belajar untuk
mencapai tujuan pembelajaran.
3). Analisis konteks, mencakup kemampuan, sikap dan karakteristik
awal pembelajaran dalam latar pembelajaran.
4). Merumuskan tujuan performansi, merumuskan tujuan unjuk kerja
dilakukan dengan cara menjabarkan tujuan umum ke dalam tujuan
yang lebih spesifik yang berupa rumusan tujuan unjuk kerja atau
operasional.
5). Mengembangkan instrumen, mengembangkan instrumen
assesment, yang secara langsung berkaitan dengan tujuan khusus.
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 99
6). Mengembangkan strategi pembelajaran, yang secara dirancang
berkaitan dengan produk atau desain yang ingin dikembangkan.
7). Mengembangkan dan memilih bahan pembelajaran,
mengembangkan dan memilih bahan pembelajaran
8). Merancang dan melakukan evaluasi, Ada tiga fase mendasar dalam
melaksanakan evaluasi yaitu: a) Uji coba one to one, b) uji coba
kelompok kecil, c) uji coba lapangan, yaitu uji coba ini melibatkan
subjek dalam kelas yang lebih besar yang melibatkan 2 sekolah.
9). Melakukan revisi pembelajaran, revisi ini dilakukan terhadap
proses (pembelajaran), prosedur, program atau produk dikaitkan
dengan langkah-langkah sebelumnya.
10). Merancang dan melakukan evaluasi sumatif, dilakukan dengan
tujuan untuk menentukan tingkat efektivitas produk, program atau
proses keseluruhan dibandingkan dengan produk lain.
Wawasan keIndonesiaan
Paham keIndonesiaan bagi bangsa merupakan suatau paham
yang menyatukan berbagai suku bangsa dan berbagai keturunan bangsa
asing dalam satu wadah kesatuan negara Indonesia. Dalam konsep ini
berarti tujuan adalah formal yaitu kesatuan dalam arti kesatuan rakyat
yang menjadi warga negara Indonesia ber bhineka tunggal ika, dan ber-
pancasila, maka nasionalisme Indonesia ditanamkan melalui nilai-nilai
Pancasila
Wawasan KeIndonesiaan diartikan sebagai cara memandang
atau pandangan, terhadap wilayah Indonesia, Indonesia diartikan
sebagai tempat, wilayah, bangsa, budaya, bahasa Indonesia..Jadi
semangat dan wawasan keIndonesiaan penting untuk ditumbuh-
kembangkan sebagai manifestasi dari rasa cinta tanah air, cinta budaya,
cinta bahasa Indonesia yang pada gilirannya membangkitkan kesadaran
kita akan arti nilai rasa kesatuan dan persatuan. Wawasan meliputi
mawas ke dalam an mawas ke luar. Mawas ke dalam artinya
memandang kepada diri bangsa Indonesia sendiri yang memiliki
wilayah tanah air yang luas, jumlah penduduk yang banyak,
keanekaragaman budaya, yang harus diletakkan dalam satu pandangan
100 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
Indonseia. Mawas ke luar yaitu memandang terhadap lingkungaan di
sekitar dan dunia internasional.
Masyarakat Indonesia harus memiliki integritas dan kredibilitas
yang kuat di era industri 4.0.supaya menjadi masyarakat yang
bermartabat, dan memliki sikap nasionalaisme, patriotisme,
menghargai bangsa, keberagaman dan kebhinekaan di Indonesia.
Pembelajaran studi masyarakat Indonesia berwawasan
keIndonesiaan
Ilmu studi masyarakat Indonesiai merupakan ilmu yang
mempelajari masyarakat, perilaku masyarakat, perilaku sosial manusia
dengan mengamati perilaku kelompok yang dibangunnya. Sebagai
sebuah ilmu, studi masyarakat Indonesiai merupakan pengetahuan
kemasyarakatan yang tersusun dari hasil-hasil pemikiran ilmiah dan
dapat di kontrol secara kritis oleh orang lain atau umum. Masyarakat
adalah sekelompok individu yang mempunyai hubungan, memiliki
kepentingan bersama, dan memiliki budaya.
Pembelajaran studi masyarakat Indonesiai adalah pembelajaran yang
memberikan pengalaman yang bermakna bagi mahasiswa, kreatif dan
konsep studi masyarakat Indonesiai dapat diaplikatif dalam kehidupan
sehari—hari. Dalam proses pembelajaran dosen harus mampu
menyajikan berbagai pengalaman belajar belajaryang sesuai dengan
karakter mahasiswa serta mengkombinasikan dan mengkonstruksi
model pembelajaran yang telah ada sehingga dapat diterapkan dalam
proses pembelajaran.
Menurut Dewey, proses pendidikan harus dilangsungkan
dengan berpangkal pada pengalaman anak sendiri/mahasiswa sendiri.
Tidak semua pengalaman itu bermanfaat, oleh karena itu pendidikan
(sekolah, kampus) harus menjadi tempat yang menyediakan bahan
ajar,sumber belajar terhadap pengalaman-pengalaman yang bermanfaat
yang dapat dialami oleh mahasiswa/siswa pada masa depannya
(Dewey, 2002).
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 101
Pentingnya belajar lewat pengalaman (learning by doing) yang
berarti bekerja, karena dengan bekarja memberikan pengalaman, dan
pengalaman menuntun proses berpikir seseorang/mahasiswa sehingga
mahasiswa tersebutdapat bertindak benar dan bijaksana. Pengalaman
juga mempengaruhi budi pekerti seseorang. Ada pengalaman yang
positif dan pengalaman yang negatif, pengalaman yang positif adalah
pengalaman yang benar, dan berguna serta diterapkan dalam hidup,
sedangkan pengalaman negatif adalah pengalaman yang merugikan
atau menghambat kehidupan dan tidak dipakai lagi (Dewey, 2002).
Oleh sebab itu dalam pembelajaran studi masyarakat Indonesiai perlu
mengkaitkan antara topik bahasan dengan pengalaman sehari-hari,
karakteristik, latarbelakang dari mahasiswa.
Pembelajaran studi masyarakat Indonesiai yang berwawasan
keindonesiaan melihat bagaimana keberagaman suku, etnis, agama
yang ada di Indonesia khusus di kota Medan terbingkai dalam kebhine
kaan, Melihat keberagaman masyarakat juga tidak bisa dipandang dari
logika kebenaran berpikir, Indikator kebenaran dalam logika Studi
masyarakat Indonesiai tidak bisa diukur dari jumlah keter capaian
tetapi dapat dilihat dari bagaimana masyarakat itu hidup bersama
dalam keberaga man dengan membangun karakter atau perilku-
perilaku yang saling menghargai, toleransi dalam keindonesiaan. Hal
ini yang harus ditanamkan pada pembelajaran sosilogi baik di
perguruan tinggi, sekolah dasar, sekolah menengah, sehingga dengan
masuk dan berkembang nya teknologi karakter berbudaya dan bersosial
yang berwawasan keindonesiaan tetap bertahan di diri mahasiswa
maupun siswa.
Desain pembelajaran studi masyarakat Indonesiai yang berwawasan
keindonesian harus diperkuat dengan pemahaman dosen dan
mahasiswa, guru dan siswa terhadap keberagaman masyarakat,
kebhinekaan dan ideologi yang dibangun atas pemikiran yang multi
kompleks. Pembelajaran studi masyarakat Indonesiai tentang
masyarakat yang pluralisme/beragam sudah ada pengetahuan awal
mahasis wa, yang didapat dari belajar melalui pengalaman, dengan
102 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
dilibatkan dalam interaksi sosial, sehingga mahasiswa memahami arti
dari keberaga man/pluralisme yang ada di Indonesia khususnya di
Sumatera Utara.
C. Metode
Jenis penelitian ini adalah penelitian dan pengembangan
(Research and Development) yang menghasilkan produk. Produk yang
dihasilkan dalam penelitian pengembangan ini adalah materi studi
masyarakat Indonesia berbasis berwawasan keindonesiaani. Populasi
dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswa yang mengambil mata
kuliah studi masyarakat Indonesia (SMI) berjumlah 70 orang (tiga
kelas).Sedangkan sampel pada penelitian ini 1 kelas, satu kelas sebagai
kelas experimen dan 2 kelas sebagai kelas uji coba nateri lapangan,
pemilihan berdasarkan pada teknik purposive sampling. Desain
penelitian digunakan model pengembangan Dick & Carey. Di mana
model tersebut terdiri dari 10 (sepuluh) langkah atau tahapan yaitu
analisis kebutuhan dan identifiasi tujuan umum, melakukan analisis
pembelajaran, menganalisis sikap dan karakteristik awal peserta didik,
merumuskan tujuan khusus, mengembangkan instrument assesment
mengembangkan strategi pembelajaran, mengembangkan dan memilih
bahan pembelajaran, merancang dan melakukan evaluasi formatif,
melakukan revisi pembelajaran, merancang dan melakukan evaluasi
sumatif. Namun tahapan pada penlitian ini dilakukan sedikit modifikasi
yang diadaptasi ke dalam prosedur pengembangan Borg and Gall.
Penelitian pengembangan menjadi 3 tahapan, yaitu : 1) identifikasi
masalah, 2) perancangan, 3) penyebaran. Peneliti berusaha untuk
menyesuaikan model pengembangan Dick & Carey dengan prosedur
pengembangan Borg and Gall. Pada tahap evaluasi produk, peneliti
hanya melakukan evaluasi formatif dari model pengembangan Dick &
Carey dapat dilihat pada bagan C.1.
Teknik pengumpulan data pada penelitian dilakukan dengan
tes, untuk mengukur aspek/ranah kognitif mahasiswa. Tes yang
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 103
digunakan berupa tes pilihan berganda dengan jumlah butir soal 10
soal, dan teknik non tes untuk penilaian atau evaluasi hasil belajar
mahasiswa dilakukan dengan menyebarkan angket, observasi,
wawancara, dan memeriksa dokumen.Teknik analisa data dalam
penelitian in dibedakan menjadi 2 macam, yaitu:1) analisa data
validitas nateri studi masyarakat Indonesia, dan 2) analisis data hasil
belajar mahasiswa.
Bagan C.1 Model Pengembangan Dick & Carey
Identifikasi Masalah
Perancangan
Penyebaran
Analisis data validitas nateri, digunakan untuk menjawab
pertanyaan “apakah nateri studi masyarakat Indonesia yang
dikembangkan sesuai dengan berwawasan keindonesiaani? Kriteria
penilaian untuk setiap deskriptor pada lembar angket validasi adalah
Mengembangankan
instrumen
assesment
Mengembangkan
strategi pembelajaran
Mengembangkan &
memilih bahan ajar
Validasi Ahli Uji Produk
revisi valid
Analisis validasi praktisi &
hasil belajar mahasiswa
Produk nateri studi masyarakat Indonesia berbasis
berwawasan keindonesiaani di Sumatera Utara
pengumpulan
informasi
&pengamatan kelas
Analisis
kebutuhan
Analisis pendidik
Merumuskan
tujuan
Analisis karakter
peserta didik
104 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
sebagai berikut : Skor 1= sangat kurang baik/ sangat tidak setuju, skor
2= kurang baik/kurang setuju, skor 3 = baik/setuju, skor 4 = sangat
baik/sangat setuju.Kemudian skor yang didapat dianalisis menggunkan
persentase skor dengan menggunkan rumus :
Persentase skor = jumlah skor yang diperoleh x100%
Jumlah skor keseluruhan (Sudjana, 2009:133)
Klasifikasi angka dalam bentuk persen selanjutnya ditafsirkan dengan
kalimat yang bersifat kualitatif yang tercantum dalam tabel dibawah ini.
Tabel 1. Kriteria persentase penilaian Nateri
Tingkat Pencapaian Tingkat Validitas
85,01% - 100% Sangat valid, atau dapat digunakan tanpa revisi
70,01% - 85% Cukup valid, ataudapat digunakan namun perlu direvisi
kecil
50,01 % - 70,0 % Kurang valid, disarankan tidak dipergunakan karena
perlu direvisi besar
01,00% -50,00% Tidak valid, atau tidak boleh dipergunakan
Sumber: Akbar, (2015:41)
Analisis data hasil belajar, digunakan untuk menjawab
pertanyaan “ bagaimana efektifitas peng embangan nateri studi
masyarakat Indonesia berbasis berwawasan keindonesiaani yang telah
dikembangkan terhadap hasil belajar mahasiswa. Skor yang diperoleh
mahasiswa melalui tes hasil belajar digunakan untuk menentukan
ketuntasan individual dan ketuntasan klasikal mahasiswa. Ketuntasan
individu atu ketuntasan mahasiswaditentukan dengan rumus:
KB = T x100%
T1
Keterangan : KB = ketuntasan belajar, T = jumlah skor yang dicapai
mahasiswa terhadap seluruh butir soal, T1 = jumlah skor total seluruh
butir soal. (Trianto, 2010:241).
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 105
Sebagai standar ketuntasan belajar digunakan patokan yang
ditetapkan oleh Dikti dalam kurikulum KKNI, yaitu mahasiswa
dikatakan tuntas belajarnya jika proposi jawaban benar mahasiswa,
atau persen ketuntasan belajarnya > 70 %
Untuk mengetahui ketuntasan belajar secara klasikal digunakan
rumus :
Jumlah mahasiswa yang tuntas
PKK = --------------------------------------- X 100%
Jumlah mahasiswa keseluruhan
Keterangan : PKK =Persentase ketuntasan klasikal (Trianto,
2010:241)
Suatu kelas dikatakan tuntas belajar jika dikelas tersebut
terdapat 80% mahasiswa telah mencapai ketuntasan individual. Hasil
analisis ketuntasan individual dan ketuntasan klasikal selanjutnya
digunakan untuk mendeskripsikan kualitas nateri studi masyarakat
Indonesia berbasis berwawasan keindonesiaani. Setalah ketuntasan
mahasiswa dalam belajar secara individual dan klasikal tercapai, maka
nateri yang dikembangkan sudah efektif dan layak digunakan.
D. Pembahasan
Tahap pengumpulan informasi dan pengamatan kelas, tentang
permasalahan berkaitan buku SMI (studi masyarakat Indonesia)
informasi didapat dengan cara wawancara beberapa dosen yang
mengajar dan mahasiswa yang mengambil mata kuliah SMI di jurusan
pendidikan sejarah, lalu peneliti membuat laporan untuk dianalisis
berdasarkan analisis kebutuhan yang data diambil dari observasi di
kelas terhadap kesesuaian tuntutat kurikulum 2013 dengan buku yang
digunakan. Kemudian menganalisis setiap pokok bahasan dengan cara
mengidentifikasi pokok bahasan utama yang diajarkan, mengumpulkan
106 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
dan memilih yang relevan dan menyusun kembali secara sistematis.
Lalu dilakukan analisis pendidik, karakter peserta didik dan
merumuskan tujuan.
Tahap kedua perancangan a) mengembangkan instrument
assesment kepada mahasiswa yang dikerjakan pada saat telah selesai
mempelajari nateri ini. Yang dikembangkan ranah kognitif dan sikap
atau afektif dan psikomotor mahasiswa juga dinilai meliputi c4, c5,
c6.nateri ini digunakan untuk 3 kali pertemuan. Setiap pertemuan
diberikan tugas dalam bentuk diskusi kelompok atau mandiri, dan
memberikan nilai dalam bentuk pretesdan postes. b)mengembangkan
strategi pembelajaran, c) mengem bangkan dan memilih bahan
pembelajaran nateri.
Tahap ketiga penyebaran, nateri yang sudah
dirancangdivalidasiterlebih dahulu oleh tim ahli, kemudian setelah
dinyatakan validtim ahli selanjutnya divalidasi oleh praktisi. Semua
validator tersebut memberikan penilaian dengan cara memberikan skor
nilai pada setiap butir aspek instrumen penilaian. Kegiatan tahap
dimulai dari validasi terdiri dari ; a) kelayakan bahasa, b) kelayakan
materi, c) kelayakan penyajian,hasil analisis pakar terhadap nateri.
Berikut uji produk dan analisis praktisi (dosen) bertujuan
untuk mengetahui efektifitas produk nateri studi masyarakat Indonesia.
Pelaksanaan uji produk dilakukan secara tersistem yaitu dimulai dari
uji coba perorangan, uji coba kelompok kecil dan uji coba lapangan.
Disini akan di paparkan hasil dari setiap analisisdan uji coba dari
penelitian ini
Tabel 1. Hasil analisis ahli tata bahasa
No Indikator Deskriptor Pertemuan
I II III
1 Keakuratan Keakuratan
struktur kalimat
2 3 3
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 107
Keefektifan
kalimat
3 3 4
2 kejelasan informasi Pemahaman
terhadap pesan
3 3 3
3 Kesesuaian dengan
kaidah bahasa
Indonesia yang baik
dan benar
Ketepatan tata
bahasa
2 3 3
Ketepatan ejaan 2 2 3
4 Kesesuaian
perkembangan
mahasiswa
Kesesuaian tingkat
perkembangan
intelektual
mahasiswa
3 3 4
Kesesuaian tingkat
perkembangan
sosial emosional
3 3 4
Jumlah skor 18 20 24
Persentasi 64% 71% 86 %
Berdasarkan hasil penilaian ahli tata bahasa pada pertemuan
pertama didapat jumlah persentase 64%, dan berada pada kualifikasi
kurang valid, hal ini berarti pada bidang kebahasaan masih perlu
diperbaiki. Pada pertemuan kedua di peroleh skor 20dengan persentase
71%atau berada dalam kualifikasi cukup valid, namunmasih ada
beberapa hal yang harus diperbaiki, dan pada pertemuan ketiga
persentasi 86% dengan skor 24 dan berada dalam kualifikasi sangat valid
Tabel 2. Hasil analisis ahli materi
No Indikator Deskriptor Pertemuan
1 2 3
1 Kesesuaian
materi
Kelengkapan
materi
2 3 3
108 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
Keluasan
materi
3 3 3
Kedalaman
materi
2 3 3
2 Keakuratan
Materi
Keakuratan
konsep
2 3 4
Keakuratan
istilah
3 4 4
3 Kemutahiran
materi
Kesesuaian
materi secara
ilmiah
3 3 4
Gambar dan
ilutrasi
3 3 3
kemutahiran 2 3 3
4 Muatan materi
berwawasan
keindonesiaani
Kelengkapan
materi
berwawasan
keindonesiaani
3 3 4
Keluasan
materi
berdasarkan
budaya lokal
2 3 4
Kedalaman
materi
berdasarkan
budaya lokal
2 3 3
Jumlah 27 34 38
Persentase 61,36% 77,27% 86,36%
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 109
Berdasarkan tabel diatas, dapat diketahui bahwa pada validasi
pertama mendapatkan jumlah skor sebanyak 27 dengan persentase
sebesar 61,36%, yaitu berada dalam kualifikasi kurang valid sehingga
isi materi dari nateri perlu diperbaiki dan dikembangkan atau direvisi.
pada pertemuan kedua persetase sebesar 77,27%, yaitu berada dalam
kualifikasi cukup valid, dan pada peremuan ketiga skor 38 dengan
persentase 86,36%berada dalam kualifikasi sangat valid dan tidak perlu
lagi direvisi.
Tabel 3. Hasil analisis ahli penyajian
No Indikator Deskriptor Pertemuan
1 11 111
1 Teknik
penyajian
Konsistensi
sistematika penyajian
3 3 4
Keruntutan sajian 3 4 4
2 Pendukung
penyajian
Pendahuluan 3 3 4
Pengantar bab 3 3 4
Rangkuman 3 3 4
Daftar pustaka 3 3 3
3 Soft skill Interpersonal 3 3 4
Intrapersonal 3 4 4
Mendorong berpikir
kritis, kreatif, dan
inovatif
3 4 4
4 Koherensi
dan kerun
tutan alur
pikir
Ketertautan antar bab,
sub bab dan alinea
3 3 4
Keutuhan dan
keterpaduan makna
dalam bab
3 3 4
110 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
Jumlah skor 33 36 43
Persentase
75%
82%
98%
Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa skor validasi ahli dalam
bidang penyajian pada materi yang dikembangkan pada pertemuan
pertama dengan persentase 75% yang artinya berada dalam kualifikasi
cukup valid, tetapi masih ada beberapa hal yang perlu diperbaki.
Selanjutnya pada pertemuan kedua diperoleh skor sebanyak 36 dengan
persentase 82% yang artinya masih berada dalam kualifikasi cukup
valid, dan pada pertemuan ketiga peresntase naik nilainya 98% berada
dalam kualifikasi sangat valid sehigga tidak lagi direvisi.
E. SIMPULAN
Mengemas pembelajaran studi masyarakat Indonesia
memerlukan suatu upaya tersendiri sehingga mahasiswa dapat
memiliki wawasan keindonesiaan terhadap kondisi masyarakat
Indonesia yang pluralisme, berragam budaya, suku, etnis, sehingga
terbangun rasa toleransi, keber samaan dalam berinteraksi sosial baik
dilingkungannya maupun masyarakat Indonesia. Menumbuhkan
perilaku-perilaku dan karakter yang mencerminkan akar budaya
Indonesia yang diterapkan dalam berinteraksi, menanamkan nilai-nilai
pancasila, nasionalisme, patriotisme yang menggambarkan karakter
mahasiswa/siswa berwawasan keindonesiaan.
Mahasiswa diharapkan dapat melakukan kerja atas beberapa
pengalaman yang bermakna dan menyadari bahwa mereka adalah
bagian dari dunia sosial untuk ikut memberikan kontribusi untuk
menyebarkan nilai-nilai pancasila, patriotisme, perilaku-perilaku
budaya Indonesia melalui teknologi digital baik dalam bentuk tulisan
maupun ucapan, sehingga mencerminkan karakter budaya yang
berwawasan Keindonesiaan.
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 111
Sesungguhnya apa yang dialami mahasiswa dalam kehidupan
sosialnya adalah bagian dari pengalamannya. Menghadirkan
pengalaman kehidupannya sehari-hari melalui pembelaja ran studi
masyarakat Indonesia memberi arti bagi mahasiswa itu untuk
menginternalisasikan pembelajaran studi masyarakat Indonesia dalam
kehidupan mereka menghadapi era industri 4.0, dengan tetap
mempertahan kan nilai-nilia, perilaku dan karakter yang bercirikan
wawasan keindonesiaan.
Daftar Pustaka
Budiningsih, Asri. 2008. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka
Cipta.
Dimyati, dkk (2013). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka
Cipta.
Fudyartanta, K. 2010. Membangun Kepribadian dan Watak Bangsa Indonesia
yang Harmonis dan Intergal. Yogyakarta: Pustaka Belajar
Tegeh,dkk. 2014. Model Penelitian Pengembangan. Yogyakarta: Graha
Ilmu.
Trianto. 2010. Mendesian Model pembelajaran Inovatif-Progresif.
Jakarta : Kencana
Akbar, Ali Sa’adun. 2015. Instrumen Perangkat Pembelajaran.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Sujana, Nana. 2009. Penialaian hasil Proses Belajar Mengajar.
Bandung: Remaja Rosdakarya
Borg, Walter R, & Gall, Meredith D. 1983. Educational Research an
information(4 thed). New York: Longman Inc.
112 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
==(8)==
MEMPERKUAT IDENTITAS KE INDONESIAAN
MELALUI PEMBELAJARAN ANTROPOLOGI
DALAM KURIKULUM IPS
Rosramadhana
Dosen Prodi Pendidikan Antropologi FIS Unimed,
email:[email protected]
A. Pendahuluan
Fenomena pendidikan saat ini menjadi urgensi, untuk
menyikapi seluruh kejadian yang terjadi di Indonesia baik yang
mengenai manusia, agama, kebudayaan, moral, karakter dan indentitas
yang belakangan hangat diperbincangkan menjadi sebuah fakta yang
terkuak dalam sajian berita di media saat ini. IPS satu keilmuan yang
memberikan pencerahan akan berbagai fenomena yang terjadi di
masyarakat. Bangsa ini adalah bangsa yang majemuk, seperti dua sisi
mata uang. Kemajemukan ini dapat menjadi kebanggaan, namun juga
dapat menjadi pemicu konflik dan disintegrasi. Oleh karena itu kita
harus menjaganya dan bukan hanya sebagai penonton. Merawat
keberagaman tidak bisa dengan ucapan namun harus ada orang yang
mepunyai andil dan berperan aktif dan mampu menemukan solusi.
Pendekatan sosial cultural menjadi icon dalam menjawab persoalan
yang muncul dan peka menyikapi situasi yang terjadi dalam
masyarakat. Manfaat pembelajaran IPS adalah respon terhadap
masalah prilaku masyarakat yang menjadi keunikan.
Indentity culture bangsa kita jangan sampai hilang direnggut
oleh hal-hal yang tidak mendidik yang cenderung menghilangkan ke-
Indonesiaan kita. Dalam pandangan saat ini fenomena terorisme itu
juga muncul sebagai buah dari hilangnya indentitas seseorang,
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 113
hilangnya nasionalisme, sehingga membuat pencucian otak oleh
oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab terhadap masa depan
Indonesia. Anak-anak dengan mudah dicuci otaknya oleh orang-orang
jahat dengan iming-imingan sejumlah uang untuk melakukan tindakan
keji seperti menaruh bom disuatu tempat, menjadi agen peredaran
narkoba dan lain sebagainya. Hari ini anak-anak juga sudah mulai
kehilangan identitasnya sebagai anak Indonesia ketika mereka tidak
tahu lagi apa isi Pancasila, bagaimana Indonesia yang multikultur dan
tidak tahu asal usul kebudayaan mereka. Budaya asli mulai tercemar
oleh westernisasi yang menyebabkan budaya Indonesia hampir pupus
da terancam hilang.
Disinilah peran guru dalam pembelajaran IPS khususnya
Antropologi sebagai jembatan sekaligus wadah bagi bangsa Indonesia
untuk menanamkan kepada anak Indonesia bahwa kita adalah
Indonesia, negara nultikultur, yang berintegritas dan harus memahami
secara hikmat makna toleransi . Pemahaman tentang Antropologi harus
ditanamkan kepada anak mulai dari tingkat SD sampai SMA, itu
"mutlak" adanya. Antropologi yang sempat hilang karena pergantian
Kurikulum harus kembali mewarnai lembaran pendidikan di Indonesia.
Mata pelajaran ini fokus memperkenalkan dan mewariskan kebudayaan
dan menjadi landasan pemersatu, dan mengimplementasikan toleransi
sebagai kekuatan dan menguatkan kita sebagai bangsa yang berdaulat.
Antropologi merupakan salah satu ilmu sosial yang kurang
diketahui padahal eksistensi Antropologi jelas dalam dinamika
masyarakat yang berbudaya. Namun semakin lama semakin redup
karena tidak ikut andilnya pembelajaran Antropologi pada kurikulum
saat ini yang memasukkan Antropologi sebagai ilmu sosial.
Antropologi hanya masuk kedalam sekolah yang menyediakan jurusan
bahasa, Sekolah dasar hingga sekolah menengah pertama belum ada
pembelajaran Antropologi. Namun sebagian mengatakan bahwa
Antropologi sama dengan Sosiologi, padahal kedua ilmu ini berbeda.
Kemudian apa pentingnya Antropologi, banyak yang menganggap
Antropologi melulu membahas soal baju adat, rumah adat, ritual
114 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
adat,bahasa daerah dan lain lain. Tetapi sesungguhnya Antropologi
lebih dari itu. Sistem pendidikan sekarang lagi gencarnya
meningkatkan pendidikan berkarakter, hal ini berhubungan dengan
kepribadian anak Didik. Dalam hal ini mengapa Antropologi hanya
sedikit masuk dalam andil pendidikan. Sangat disayangkan, padahal
pendidikan berkarakter dan berkepribadian yang baik sangat kental
dengan pembelajaran Antropologi. Benar saja, moral anak bangsa
semakin hari semakin bobrok, hal ini dibuktikan dengan banyak
terjadinya kenakalan remaja bahkan sekarang sebagian merambah pada
dunia anak-anak. Selain itu tata Krama dan sopan santun anak-anak
dan remaja semakin menurun saja. Hal ini terjadi salah satunya karena
anak- anak sekarang kurang mengindahkan tradisi dari yang telah ada
sebelumnya. Berkembangnya zaman mengakibatkan memudarnya
tradisi yang dahulunya sangat di agungkan.
Anak- anak itu ibaratkan sebuah kertas putih, dimana kita pasti
gampang untuk mencoret coretnya dengan apa yang kita mau.
Memberikan pemahaman atas budaya dan tradisi yang ada jauh lebih
mudah ditanamkan. Sehingga dengan masuk andilnya pelajaran
Antropologi di sekolah memudahkan pemerintah dalam sistem
pendidikan untuk membangun karakter ramah dan anak-anak di
Indonesia.
B. Identitas sebagai Jati diri Ke Indonesiaan
Indonesia merupakan negara yang memiliki keberagaman yang
paling beragam di dunia. Indonesia terdiri dari berbagai macam
suku,agama dan ras. Ada beberapa ahli yang berpendapat bahwa
negara heterogen merupakan negara yang sulit untuk dibangun. Ada
pula yang beranggabansebaliknya bahwa negara homogenlah yang
merupakan negara sulit dibangun. Indonesia merupakan negara
heterogen bukanlah negara yang sulit dibangun jika kelompok-
kelompok masyarakatnya dapat memahami dan menghargai perbedaan
satu sama lain. Memang,perbedaan-perbedaan ini mempengaruhi pola
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 115
pikir sehigga terkadang antar satu masyarakat dengan masyarakat lain
sering terlibat konflik.
Konflik yang terjadi di Indonesia yang berhubungan dengan
SARA. Konflik etnis yang terjadi di Kalimantan antara etnis Dayak
dengan Madura yang menim bulkan banyak korban luka-luka bahkan
korban jiwa. Konflik agama yang terjadi di daerah Tanjung Balai
antara umat Muslin dengan Budha. Sehingga banyak terjadi kerusuhan
dimana-mana hingga pembakaran rumah ibadah. Dan konflik ras yang
dikenal dengan kejadian “Mei Kelabu”. Kerusuhan ini terjadi antara
pribumi dan non pribumi (China) karena dianggap adanya diskriminasi
perlakuan pemerintah yang diterima oleh kalangan pribumi. Konflik ini
banyak menghasilkan korban jiwa dan luka-luka. Kejadian belakangan
ini juga terdapat konflik karena adanya pihak yang dianggap
menistakan Al-Quran. Semua konflik ini merupakan konflik antar
kelompok. Konflik terjadi karena adanya pola pikir yag berbeda. Untuk
meminimalisir masalah ini,masyarakat tidak perlu menyamakan semua
pola pikir. Masyarakat hanya perlu mengerti dan menghargai pola pikir
dari setiap kelompok lain dan menjunjung tinggi toleransi.
Setiap pola pikir kelompok dapat diketahui dari pembelajaran
Antropologi. Ilmu antropologi ini belum banyak diketahui oleh
masyarakat awam. Padahal ilmu antropologi sangat penting untuk
dipelajari bahkan dari jenjang sekolah dasar. Ilmu ini mempelajari
bagaimana manusia dengan segala pola pikirnya dan kebudayaan yang
dihasilkan dari pola pikir tersebut. Sehingga dengan pelajaran
Antropologi anak bangsa dapat mengerti dan menghargai setiap
perbeda. Ilmu Antropologi sangat penting untuk dipelajari dari tingkat
sekolah dasar karena banyak anak-anak yang terdoktrin dari
lingkungan maupun orangtua agar tidak bergaul dengan kelompok lain
slain kelompoknya. Hal ini membuat anak tersebut tumbuh menjadi
anak yang etnosentris yang hanya memandang kelompoknya lebih baik
dari kelompok lain. Jika hal ini dibiarkan begitu saja maka yakinlah
banyak konflik-konflik yang lahir nantinya. Doktrin umum juga
banyak terjadi,contohnya masyarakat jawa memiliki pandangan yang
negatif (takut) kepada masyarakat Batak karena masyarakat Batak
116 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
dianggab sangat kasar dan tidak sesuai dengan tata krama masyarakat
Jawa. Hal ini tentu membangun sterorype negatif masyarakat Jawa
terhadap Batak. Dalam pelajaran antropologi,anak-anak dapat
mengetahui alasan mengapa orang batak memiliki sifat kasar,bukan
karena orang Batak tidak menyukai kelompok diluar kelompoknya tapi
sifat itu terbentuk dari lingkungan tempat tinggalnya.
Konflik juga dapat terjadi karena adanya kesalahpahaman bahasa
yang digunakan. Banyak kata-kata yang sama dalam pengucapan dan
tulisan namun memiliki makna yang berbeda. Contohnya “godok-
godok” bagi masyarakat Jawa Medan merupakan kue pisang yang
digoreng. Namun “godok-godok” bagi masyarakat Minangkabau
Padang kata itu bermakna sesuatu yang tabu bahkan pantang utuk
diucapkan. Dengan mempelajari antropologi kita mampu mengontrol
dan menempatkan diri dengan siapa kita berhadapan sehingga konflik
pun tidak muncul.
Konflik yang selama ini terjadi seringkali dilatar belangi ketidak
pahaman individu memperlakukan orang lain karena kurangnya
pendekatan budaya yang berbeda dengannya. Padahal setiap suku
bangsa di Indonesia ini memilki kearifan lokal, nilai nilai leluhur,
norma dan aturan yang seharusnya sudah cukup kuat untuk menjadikan
bangsa Indonesia menjadi bangsa yang memiliki peradaban yang
tinggi. Setiap budaya suku bangsa jika mampu memelihara kearifan
luhur dan nilai-nilai bangsa yang mengatur masyarakatnya maka suatu
bangsa itu akan manpu untuk hidup damai dan bermartamat. Jika suatu
bangsa dan komponen didalamnya mau menghargai dan mencintai
perbedaan didalam negara itu pasti tidak akan ada negara lain yang
mengusik bahkan merebut budaya dalam negara itu.
Indonesia dikenal memiliki budaya lokal yang beragam yang jika
dimanfaatkan akan menjadi modal bagi pembangunan nasional.
Namun, di era seperti sekarang ini, budaya tersebut mulai tergerus oleh
globalisasi dan mulai kurang diminati. Oleh sebab itu, salah satu cara
untuk membangkitkan semangat pelestarian budaya, perlu diadakan
seminar nasional yang membahas tentang pendidikan, metode
pembelajaran, kajian gender, pariwisata, etnomedicine, folklore, dan
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 117
pendidikan karakter yang semuanya berbasis budaya lokal dan kearifan
lokal yang masih digemari hingga saat ini.
Upaya dalam melestarikan budaya lokal kita bisa ikut
bersumbangsih dalam membendung arus globalisasi mengerus nilai-
nilai luhur yang terkandung dalam setiap budaya lokal. Melalui
seminar ini diharapkan mampu menjadi sarana yang sangat efektif
untuk saling bertukar informasi/ide, maupun temuan mutakhir
mengenai berbagai bidang keilmuan yang bersifat lokal. Hal ini
diharapkan menjadi kontribusi dalam berbagai bidang baik pendidikan
berbasis budaya lokal, inventarisasi budaya-budaya lokal untuk
pengembangan nilai-nilai kearifan lokal khususnya di Sumatera Utara.
Niai kebinekaan menjadi dasar fundamental dan konsep budaya
lokal harus diperkenalkan sebagai upaya kepedulian terhadap
perkembangan kebudayaan di Indonesia, khususnya Sumatera Utara.
Pembahasan terkait budaya lokal akan dibahas sesuai dengan
perkembangan era revolusi industri 4.0. Hal ini berkaitan pula pada
dampak yang dihasilkan dari era disrupsi ini terhadap budaya lokal.
Kebudayaan lokal tentunya harus eksis sebab menjadi modal penting
yang dapat berkontribusi pada pembangunan nasional dalam upaya
memperkuat identitas bangsa. Indonesia merupakan negara yang sangat
beragam. Keanekaragaman tersebut dikenal sebagai masyarakat
majemuk. Hal ini sebenarnya terjermin dari semboyan “Bhinneka
tunggal ika” yang artinya berbeda-beda tetapi tetap satu. Kemajemukan
yang ada terdiri atas keragaman suku bangsa, budaya, ras, bahasa dan
lain sebagainya. Dengan adanya kemajemukan tersebut menjadikan
Suku Bangsa Indonesia menjadi negara yang multikultur yang
memiliki nilai toleransi dan saling menghargai perbedaan karena
dengan adanya perbedaan itu mampu mewarnai kehidupan.
Penerapan yang baik dari sebuah kebudayaan akan menghasilkan
kepribadian yang baik juga. akan tetapi banyak hal yang tidak bisa
dihindari adalah dengan masuknya budaya-budaya asing yang dapat
menggeser kebudayaan yang dimiliki sehingga pada akhirnya kita
selaku bangsa Indonesia kehilangan identitas. Fenomena yang hangat
diperbincangkan saat ini bahwa generasi bangsa yang mengaku bangsa
118 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
Indonesia tidak lagi mengenali budayanya sendiri sehingga nilai-nilai
yang telah diwariskan secara turun-temurun oleh nenek moyang kita
akan hilang begitu saja.
Persoalan yang muncul dalam sebuah lembaga pendidikan adalah
peserta didik menyanyikan sebuah lagu daerah masing-masing relatif
sedikit yang mampu melakukannya. Hal yang paling miris peserta
didik juga menganggap kajian sejarah, budaya dan yang berhubungan
dengan ilmu sosial itu tidaklah menarik dan terkesan membosankan,
justru yang menarik itu bagi mereka membahas mengenai
perkembangan zaman yang sedang trend diperbincangkan misalnya
peluncuran gadget terbaru hingga membahas sampai ke aplikasi-
aplikasi yang ditawarkan dalam gadget tersebut.
Selain itu peserta didik juga lebih senang melihat siaran televisi
yang menyiarkan gosip-gosip artis yang tentunya menarik perhatian
mereka yang hangat untuk diperbincangkan ketimbang melihat siaran
televisi yang mengkaji tentang perkembangan bangsa dari segi sosial
dan budaya serta berita-berita yang bernuansa pendidikan. Melihat
realita yang terjadi dilapangan menurut hemat saya kecanggihan
teknologi khususnya masalah gadget yang terus-menerus berkembang
pesat justru memiliki dampak buruk sehingga generasi bangsa ini
sedang mengalami degradasi moral, hal itu terlihat ketika mereka
mengakses situs-situs yang tidak seharusnya mereka akses, selain itu
saya juga melihat fenomena yang belakangan ini marak terjadi di
kalangan generasi muda senang mengkonsumsi produk-produk dari
luar (budaya konsumerisme) daripada mengkonsumsi produk
negaranya sendiri , jadi sebenarnya tanpa disadari generasi penerus
bangsa ini sedang dijajah dengan produk-produk yang dikemas
sedemikian rupa oleh pihak-pihak kapitalis yang berasal dari luar
negaranya sendiri.
Fenomena yang disebabkan oleh kecanggihan teknologi
khususnya masalah gadget juga menjadikan generasi bangsa ini
(peserta didik) yang sedang mengecap pendidikan di bangku SD, SMP
maupun SMA akan bersifat individualis sehingga interaksi sosial
diantara mereka sangat jarang terjadi karena mereka disibukkan dengan
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 119
aplikasi-aplikasi yang ditawarkan dalam gadget tersebut. Kurangnya
interaksi diantara mereka menjadikan hilangnya rasa peduli terhadap
sesama dan tidak sedikit diantara mereka juga yang mampu
meningkatkan daya saing dan daya juang yang tinggi. Pengaruh-
pengaruh kehadiran gaya hidup (lifestyle) budaya barat (westernisasi)
sangat mempengaruhi secara global tidak hanya dalam dunia
pendidikan ternyata berpengaruh juga hingga kelapisan-lapisan
masyarakat.
Menyikapi fenomena-fenomena tersebut maka pentinglah mata
pelajaran Antropologi dibuka kembali di sekolah khususnya dalam
jurusan IPS, bukan saja hanya untuk tingkat SMA melainkan sudah
seharusnya ke tingkat dasar (SD) mengingat mirisnya kondisi generasi
bangsa ini yang sudah tidak memahami lagi nilai-nilai juang dan nilai-
nilai yang terkandung dalam setiap unsur-unsur budaya dari etnis
masing-masing yang menyebabkan bangsa ini kehilangan identitas
maka perlu ditanamkan nilai-nilai tersebut sejak dini yang bisa
diaplikasikan dari tingkat sekolah dasar (SD) jadi ketika peserta didik
tersebut beranjak dari bangku sekolah dasar menuju sekolah menengah
pertama sudah semakin mendalami arti pentingnya menerapkan nilai-
nilai budaya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara hingga tingkat
sekolah menengah atas (SMA).
Oleh karena itu pemerintah harus memberi ruang bagi
Antropologi untuk dapat berperan dan berkompeten menjawab dan
menangani masalah yang sedang terjadi dan menimpa bangsa ini.
Mengingat bangsa ini juga yang rawan akan perpecahan baik konflik
SARA, kekerasan, paradigma-paradigma yang buruk, intoleransi dan
lain sebagainya yang mampu memecah bela kesatuan republik
Indonesia yang dilambangkan dengan burung garuda yang menjadi
semboyan bangsa ini sehingga semboyan itu seharusnya benar-benar
diaplikasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegera bukan hanya
sebatas semboyan persatuan tapi tindakan tidak mencerminkan sama
sekali. Melihat kondisi tersebut sudah saatnya pemerintah membuka
mata pelajaran Antropologi di kurikulum IPS.
120 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
C. Penutup
Berdasarkan dari ketertarikannya membahas tentang aneka
ragam manusia yang dilihat dari segi fisik maupun non fisik,
Antropologi muncul sebagai sebuah ilmu pengetahuan baru dalam
ranah sosial. Kemunculannya yang dilandasi oleh rasa penasaran dan
ketertarikan orang-orang Eropa yang kala itu melihat ciri fisik, adat
istiadat serta kebudayaan yang berbeda dari apa yang mereka miliki
saat itu menjadi cikal bakal lahirnya ilmu Antropologi. Para etnografer
seperti pelaut, penyiar agama, penyair, musafir dan pegawai
pemerintah jajahan kala itu menjadi pembuka awal berdirinya ilmu
antropologi ini. Terlepas dari pada sejarahnya yang panjang
Antropologi nyatanya lahir sebagai sebuah ilmu pengetahuan yang di
dalamnya meresapi berbagai perbedaan dan perbandingan mengenai
kebudayaan yang sama sekali berbeda antar sesama umat manusia.
Menyikapi hal tersebut pentingnya ilmu Antropologi dalaam
kurikulum IPS di sekolah diterapkan disebabkan sekolah merupakan
salah satu agen yang penting dan mampu menjadi sarana enkulturasi
yang menjadi dasar lahirnya segenap jiwa kebhinekaan di negeri
tercinta ini. Indonesia yang merupakan sebuah negara yang memiliki
aneka macam perbedaan dari berbagai sisi mulai dari suku, agama ras
bahkan kebudayaan menjadi sumber terjadinya disintegrasi bangsa jika
tak ditanamkan jiwa kesatuan terhadap bibit bangsa penerua negara ini.
Oleh karena itu ilmu Antropologi yang mampu memberikan warna
untuk penyelamatan identitas bangsa yang berlandaskan unity diversity.
Degradasi moral yang semakin mencuat membuat peran ilmu
Antropologi sangat terasa untuk membenahi ini. Budaya ketimuran
yang semakin memudar membuat Antropologi menjadi acuan dalam
memahami hal tersebut. Diskriminasi, pertikaian, tak mengindahkan
keberagaman, saling ejek karna warna kulit, perbedaan agama, suku,
streotyp yang hidup dan prejudice yang berkembang terhadap satu
kaum menjadi momok yang menakutkan yang siap menghantui bangsa
ini. Disintegrasi bangsa semakin marak terjadi dikarenakan kurangnya
pemahaman mengenai keberagaman yang harus diresapi
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 121
keberadaannya. Antropologi adalah ilmu yang konsern terhadap hal-hal
kecil semacam itu, yang peduli, sekaligus yang tak disadari hal-hal
kecil semacam itu akan berdampak besar terhadap kelangsungan
bangsa ini dan tergerusnya identitas yang kuat dari bangsa Indonesia
yang begitu kaya dengan keindahan budayanya.
Daftar Pustaka
Birx, H. James. 2011. 21st Century Anthropology: A Reference
Handbook (Volume 1 & 2). SAGE Publications
Coleman, Simon dan Helen Watson. 2005. Pengantar Antropologi.
Bandung: Nuansa
Ihromi, T.O. 2006. Pokok-Pokok Antropologi Budaya. Jakarta :
Yayasan Obor Indonesia
Kaplan, David & Robert A Manners. 2002. Teori Budaya. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
King, Victor T. & William D. Wilder. 2012. Antropologi Modren Asia
Tenggara (Sebuah Pengantar). Bantul: Kreasi Wacana
Koentjaraningrat.2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka
Cipta
Koentjaraningrat. 1992. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta:
Dian Rakyat
Spredley. James P. 2007. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana
122 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
==(9)==
PERAN PENDIDIKAN ILMU SOSIAL DALAM
PEMBANGUNAN BANGSA
Warsono
Guru Besar Prodi PPKn FISH Unesa
A. Pendahuluan
Peran ilmu sosial, maupun pendidikan ilmu sosial acapkali
ditempatkan pada posisi yang kurang penting dalam pembangaunan
nasional. Kontribusi ilmu sosial maupun pendidikan ilmu sosial dalam
pembangunan nasional dianggap tidak bisa diukur dan berdampak
langsung yang bisa dirasakan hasilnya. Sebagian pengambil kebijakan
lebih memilih paradigma kuantitatif dan positivistik, yang lebih
menekakan kepada ukuran-ukuran kuantitatif dan hasilnya bisa dilihat
segera. Memang, kontribusi ilmu sosial maupun pendidikan ilmu
sosial tidak bisa langsung dirasakan hasilnya. Hal ini disebabkan
kemampuan prediksi ilmu-ilmu sosial tidak setinggi ilmu alam, karena
manusia terus mengalami perubahan yang sangat cepat. Bahkan
manusia juga mampu menggunakan ilmunya untuk merespon apa yang
akan terjadi, sehingga sebelum yang diprediksikan terjadi, manusia
sudah melakukan tindakan antisipatif. Di sisi lain, hubungan
kausalitas dalam kehidupan manusia, yang menjadi obyek ilmu sosial,
juga tidak selalu linier dan tunggal (nomologik), sehingga sulit
dilakukan generalisasi. Berbeda dengan ilmu-ilmu alam yang
hubungan antara variabelnya bersifat nomologik, sehingga bisa
diprediksi apa yang akan terjadi, dan apa yang menjadi penyebab
terjadinya suatu fenomena.
Apalagi pendidikan ilmu sosial, jelas tidak mungkin langsung
bisa dirasakan hasilnya, karena pendidikan merupakan suatu proses
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 123
yang membutuhkan waktu lama. Pendidikan bagaikan menanam pohon
yang membutuhkan waktu puluhan tahun untuk bisa dinikmati
buahnya. Pendidikan adalah suatu proses untuk melakukan perubahan
dari tidak tahu menjadi tahu (knowledge), dari tidak mampu menjadi
mampu (skill), dan dari tidak mau menjadi mau (attitude).
Di sisi lain, ada juga yang mengganggap bahwa ilmu sosiallah
yang sering menjadi biang munculnya berbagai masalah dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Perdebatan dan kajian terhadap
suatu masalah jika dilihat dari perspektif ilmu sosial, seringkali tidak
ada titik temunya. Masing-masing menggunakan sudut pandang dan
teori yang berbeda, sehingga penjelasannya berbeda, dan kadang saling
bertentangan satu dengan lainnya. Implikasi dari perbedaan pendapat
dalam ilmu sosial juga sering berdampak pada tindakan yang anarkhis.
Sebagai contoh, yang melakukan aksi demo biasanya adalah para
mahasiswa dari ilmu sosial. Memang tidak menutup kemungkinan,
bahwa para mahasiswa ilmu sosial mencoba mempraktekkan teori yang
sedang mereka pelajari dalam kehidupan masyarakat sebagai
laboratorium ilmu sosial. Teori yang mereka pelajari menginspirasi
tindakan-tindakan berupa aksi dan advokasi terhadap masyarakat, yang
oleh sebagian orang dianggap mengganggu pembangunan.
Ilmu (science) dan teknologi memang sangat dibutuhkan, tetapi
keduanya hanyalah alat. Habibie pernah menyatakan bahwa ilmu dan
teknologi bagaikan parang bermata dua, yang sangat tergantung pada
subyek penggunanya yaitu orang/manusia. Ilmu di satu sisi bisa
membantu untuk menyelesaikan berbagai masalah, namun di sisi lain
juga bisa menghancurkan kehidupan dan peradaban manusia. Contoh
hal ini telah ditunjukan dengan dijatuhkannya bom atom di Horoshima
dan Nagasaki pada perang dunia kedua. Perkembangan ilmu dan
teknologi sekarang semakin canggih, yang kemampuan dan daya
rusaknya juga semakin hebat. Oleh karena itu, tanpa kemanusiaan,
Ilmu dan teknologi bisa menjadi penghancur kehidupan itu sendiri.
Dalam kehidupan yang semakin kompleks sekarang ini, orang
pandai memang dibutuhkan, tetapi orang yang bijak (wisdom) jauh
124 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
lebih dibutuhkan, karena dalam bertindak mereka akan
mempertimbangkan bukan hanya aspek kebenaran, tetapi juga aspek
kebaikan (etika), keadilan, dan mempertimbangkan dari kepentingan
orang lain. Orang bijak akan semakin rendah hati sebagaimana
diungkapkan dalam pepatah Jawa “ilmu padi”, semakin berisi semakin
merunduk. Artinya semakin memiliki banyak ilmu, maka akan orang
tersebut akan semakin rendah hati, semakin banyak memberi manfaat
kepada lingkungan sekitarnya, dan semakin bertanggungjawab
terhadap tindakannya.
Paradigma yang diyakini saat ini adalah bahwa kemajuan suatu
bangsa tidak lagi ditentukan oleh sumber daya alam, jumlah penduduk,
atau usia dari suatu bangsa, tetapi lebih ditentukan oleh kualitas sumber
daya manusianya. Meskipun demikian, indikator dari sumber daya
manusia yang berkualitas juga masih menjadi polemik yang tidak
pernah selesai. Apakah yang dimaksud sumber daya manusia yang
berkualitas adalah mereka yang menguasai ilmu dan teknologi?.
Kualitas sumber daya manusia tentu bukan hanya ditentukan oleh
kompetensinya dalam penguasaan ilmu dan teknologi, tetapi juga
kompetensi sebagai warga negara, warga bangsa, dan warga
masyarakat, sebagaimana yang ditegaskan dalam Pembukaan UUD
1945, bahwa salah satu tujuan bernegara adalah mencerdaskan
kehidupan bangsa. Dalam Pembukaan UUD 1945 tersebut jelas bahwa
yang dimaksud bukan hanya warga negara yang cerdas secara
intelektual, tetapi warga negara yang cerdas dalam berkehidupan.
Para pendiri negara telah menegaskan bahwa salah satu tujuan
negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Ini berarti setiap warga
negara harus cerdas secara intelektual, juga cerdas secara sosial, dan
moral. Cerdas secara intelektual berarti memiliki kemampuan berpikir
kritis, kreatif, dan inovatif, sehingga menjadi modal bagi kemajuan
bangsa. Di sisi lain juga memiliki kemampuan berpikir analitis,
reflektif, dan abstraktif, sehingga mampu bersikap dan bertindak secara
secara bijak. Cerdas secara sosial berarti memahami bahwa Indonesia
merupakan masyarakat yang majemuk, baik dari segi agama, suku, dan
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 125
budaya, yang harus diterima, dipahami, dan dihormati, sehingga dapat
hidup bersama dalam perbedaan (to live to gather). Sedangkan cerdas
secara moral, berarti memiliki integritas yang meliputi kejujuran,
kedisiplinan, tanggung jawab, dan kemandirian.
Saat ini, kejujuran bagaikan barang langka yang sulit dicari.
Sikap tidak jujuran dan mental penerabas juga melanda pada generasi
muda. Perilaku menyontek di kalangan pelajar merupakan bukti dari
ketidakjujuran, dan ketidakbertangungjawaban pada diri sendiri. jika
pada saat menjadi pelajar atau mahasiswa saja sudah menyontek, bisa
diduga kelak ketika mereka menjadi pejabat akan melakukan korupsi.
Cerdas dalam kehidupan berkaitan dengan cara berpikir, sikap,
dan perbuatan dalam menghadapi realitas sosial atau bangsa. Bangsa
Indonesia yang majemuk membutuhkan sikap toleran terhadap
perbedaan dan kebersamaan (gotong royong) dalam mewujudkan
tujuan bersama. Kita sering menyaksikan bahwa suatu bangsa yang
maju peradabannya bisa hancur karena adanya sikap intoleransi, yang
memicu terjadinya konflik sosial maupun politik. Pembanguan yang
dilakukan selama bertahun-tahun bisa hancur dalam waktu singkat,
karena terjadi konflik sosial maupun politik, seperti yang terjadi di
beberapa negara Timur Tengah (Syria, Irak, dan Libiya). Pengalaman
di Indonesia juga menunjukan, bahwa konflik sosial mapun politik
membawa dampak kepada kerusakan, seperti yang terjadi di Ambon
dan Kalimantan berberapa tahun lalu.
B. Akar masalah
Persoalan sosial yang terjadi selama ini tampaknya disebabkan
oleh adanya krisis nasionalisme, krisis, nalar, dan krisis moral. Krisis
nasionalisme ditandai dengan adanya radikalisme yang ingin
menggoyah konsensus nasional. Sejak awal kemerdekaan kita telah
memiliki konsensus bahwa negara yang kita bangun adalah Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Pancasila dan UUD
1945 sebagai hukum dasarnya. Kita juga telah bersemboyan Bhinneka
126 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
Tunggal Ika (bersatu dalam perbedaan), karena bangsa Indonesia yang
kita bangun bertolak dari kenyataan kebhinekaan suku dan budaya.
Wacana negara khilafah, sikap anti Pancasila, dan sikap intoleransi
merupakan bentuk radikalisme.
Paham radikalisme bukan hanya melanda di lingkungan
perguruan tinggi, tetapi juga telah melanda kalangan mahasiswa dan
pelajar. Sikap tidak mau hormat kepada bendera merah putih, dan anti
terhadap Pancasila merupakan indikasi bahwa mereka telah terpapar
paham radikal. Beberapa survey termasuk yang dilakukan oleh Alvara
Research Center menunjukan bahwa kalangan mahasiswa dan pelajar
sudah terpapar radikalisme. Meskipun jumlahnya masih sekitar 23%
namun menunjukan adanya peningkatan sejak tahun 2010. Munculnya
sikap intoleransi dan rasis terhadap mahasiswa Papua di Surabaya,
bulan Agustus 2019 menunjukan bahwa perasaan sebagai satu bangsa
yang memiliki harkat dan martabat yang sama masih belum tertanam
kuat pada setiap warga bangsa. Sejak awal kita ingin membangun
negara diantas kemajemukan bangsa. Bangsa yang kita bangun adalah
bangsa yang terdiri dari berbagai suku dengan kebudayaannya masing-
masing. Atas dasar itulah kita memiliki semboyan Bhinneka Tunggal
Ika (bersatu dalam perbedaan).
Krisis nalar ditandai dengan adanya pola pikir diagonalistik yang
memandang perbedaan adalah dua hal yang kontradiksi, yaitu antara
benar dan salah; antara baik dan buruk, bahkan antara menang dan
kalah. Pola pikir seperti ini sangat potensial menimbulkan konflik dan
sikap intoleran. Mereka cenderung menyalahkan atau menjelekan yang
lain, karena jika tidak menyalahkan atau menjelekan yang lain, seakan
mereka sendiri yang salah atau jelek. Padahal perbedaan adalah taken
for granted, suatu yang kodrati, yang tidak bisa ditolak oleh siapaun
juga. Perbedaan bukanlah suatu yang selalu bertentangan, tetapi bisa
juga merupakan alternatif yang bisa dipilih. Kemampuan dan kemauan
untuk mengakui, menerima, dan menghargai terhadap perbedaan
menjadi sangat dibutuhkan dalam kehidupan bangsa Indonesia yang
majemuk ini. Wacana intoleran, saling menjelekan yang disampaikan
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 127
oleh para elit selama pilkada DKI, yang masih berlanjut pada pilkada
tahun 2018, maupun pilpres tahun 2019 menunjukan bahwa para elit
politik juga belum menjadi warga negara yang “dewasa” dalam
berdemokrasi.
Sedangkan krisis moral ditandai dengan maraknya korupsi di
kalangan elit politik maupun birokrasi. Korupsi jelas akan menghambat
pembangunan nasional sebagai upaya mewujudkan masyarakat yang
adil dan makmur. Mental penerabas yang disampaikan oleh
Koentjaraningrat, dan sifat munafik yang disampaikan oleh Muchtar
Lubis, tampaknya masih menjadi karakater buruk sebagian bangsa
Indonesia. Karakter tersebut tentu tidak lepas dari cara berpikir yang
parsial, material, dan hanya mementingkan diri sendiri.
C. Peran Pendidikan IPS
Tugas pendidikan adalah membangun manusia supaya menjadi
lebih manusiawi (memanusiakan manusia), sebagaimana yang
dikatakan oleh Dick Hartoko. Manusia sendiri merupakan makhluk
yang unik dan misterius. Unik, karena manusia terbentuk dari berbagai
unsur, yang berbeda. Secara kodrati, menurut Notonagoro, manusia
terdiri dari tiga kodrat, yaitu susunan kodrat, sifat kodrat, dan
kedudukan kodrat. Susunan kodrat, manusia terdiri dari jiwa dan raga.
Jiwa meliputi akal yang bisa membedakan benar salah, rasa yang
mebedakan indah dan tidak indah, dan karsa yang mebedakan baik dan
buruk. Adanya akal dalam diri manusia, sebagaimana dikatakan oleh
Rene Descartes dengan Cogito Ergo Sum, aku berpikir maka aku ada
sebagai manusia (human being). Sedangkan raga terdiri dari unsur
benda mati, tumbuhan, dan kebinatangan. Inilah yang oleh Aristoteles
disebut bahwa manusia adalah animal rational.
Sifat kodrat manusia adalah sebagai makhluk individu yang
memiliki ke-aku-an (behaving meminjam istilah Erick From), dan
sebagai makhluk sosial, yang tidak bisa hidup sendiri, dalam arti
menjadi manusia). Sebagai makhluk sosial, setiap orang selalu
128 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
membutuhkan kehadiran orang lain. Oleh karena itu, kaum
esksitensialis mengatakan bahwa keberadaan manusia adalah
keberadaan bersama. Bahkan keberadaan manusia berbeda dengan
keberadaan makhluk lain, karena manusia memiliki kesadaran diri,
sehingga sadar akan keberadaannya.
Dalam konteks sosial, sifat ke-aku-an juga menjadi sumber
konflik sosial maupun politik. Keinginan setiap orang menjadikan
dirinya sebagai subyek dan menempatkan orang lain sebagai obyek
menjadi akar dari konflik sosial maupun politik. Masing-masing
berusaha “mengeksploitasi” orang lain. Pada tataran kolektif, rasa ke-
aku-an menyebabkan sikap primordialisme yang bisa berujung kepada
diskriminasi kelompok, suku, maupun agama. Padahal,
keanekaragaman baik suku maupun budaya merupakan suatu yang
kodrati. Oleh karena itu, pendidikan IPS harus mampu mengikis sikap
ke-aku-an peserta didik, dan membangun toleransi serta menumbuhkan
nilai-nilai kemanusiaan (humanity).
Dengan mengacu kepada tujuan negara dan realitas sosial yang
ada, maka pendidikan IPS memiliki peran yang strategis dalam
pembangunan bangsa, karena pendidikan IPS dimaksudkan untuk
menjadikan warga negara yang berguna, sebagaimana di disampaikan
oleh Daldjoeni (1992) bahwa pendidikan IPS bertujuan memberikan
pengertian yang mendasar, melatih berbagai keterampilan dan
mengembangkan berbagai sikap agar para siswa menjadi warga
masyarakat yang berguna. Dalam kurikulum 2013 juga dijelaskan
bahwa tujuan IPS adalah mengarahkan peserta didik menjadi warga
negara Indonesia yang demokratis, dan bertanggungjawab, serta warga
dunia yang cinta damai. Hal ini sejalan dengan yang dirumuskan oleh
National Council for the Social Studies (NCSS), Social studies is the
integrated study of social sciences and humanities to promote civic
competence. The primary purpuse of social studies is to help young
people develop ability to make informed and reasoned decision for the
public good as citizen of culturally diverse, democratic society in
interdepedent world.
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 129
John Jarolimek (1982:4) menegaskan bahwa pendidikan IPS
tidak hanya berkaitan dengan pengetahuan, tetapi juga berkaitan
dengan keterampilan, sikap, dan nilai yang memungkinkan seseorang
bisa berpartisipasi dalam kehidupan sosial, termasuk dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Kemampuan warga negara untuk
berpartisipasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara membutuhkan
pemahaman, keyakinan, dan kesadaran bahwa kita sebagai satu bangsa
yang memiliki tujuan bersama. Dengan kesadaran tersebut, diharapkan
tidak ada konflik sosial maupun politik yang bisa mengancam
persatuan dan kesatuan bangsa. Bahkan perlu dibangun kesadaran
sebagai sesama manusia (human being), agar bisa berpartisipasi dalam
mewujudkan kedamaian dunia.
Persoalannya adalah bagaimana membangun nasionalisme dan
membuat warga masyarakat yang berguna (Daldjoeni), warga negara
yang demokratis, bertanggungjawab, dan cinta damai?. Ini tidak hanya
berkaitan dengan kompetensi intelektual, atau kompetensi dalam
teknologi, tetapi berkaitan dengan karakter, dan pemahaman setiap
warga negara terhadap hakikat dirinya sebagai bangsa dan manusia,
sehingga menjadi lebih bijak dalam menghadapi persoalan sosial.
Pendidikan adalah upaya membuat warga negara yang berguna,
yang bertanggung jawab, dan cita damai sebagaimana yang
dimaksudkan dalam tujuan pendidikan nasional. Menjadikan warga
yang berguna berarti membuat peserta didik memiliki kompetensi yang
berbasis pada potensi diri, agar mereka bisa hidup secara mandiri.
Tidak mungkin, seseorang bisa berguna bagi orang lain, jika masih
tergantung kepada orang lain. Oleh karena itu, pendidikan juga
dimaksudkan untuk membantu setiap orang mengembangkan potensi
yang dimiliki, sehingga bisa menjadi modal di masa depan.
Diantara potensi yang dimiliki oleh setiap orang adalah akal.
Akal merupakan potensi berpikir yang harus dibantu
pengembangannya melalui pendidikan. Oleh karena itu, salah satu
tujuan pembelajaran adalah mengembangkan kemampuan berpikir
tingkat tinggi (higher order thinking) para peserta didik. Para guru
130 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
diharapkan mampu membantu dan membimbing setiap peserta didik
mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi dengan cara
memberi stimulus pertanyaan-pertanyaan yang kritis dan mendalam.
Bukan hanya pertanyaan apa ini apa itu (what), tetapi juga pertanyaan
bagaimana (how) dan mengapa (why), serta So what atau what next.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut yang mempu membangkitkan
kemampuan berpikir tingkat tinggi, karena berpikir pada hakikatnya
adalah menjawab pertanyaan.
Apa yang ditanyakan dan bagaimana cara bertanya lebih penting
daripada jawaban. Sebagaimana di katakan oleh James E. Ryan Dean
of Harvard University’s Graduate School of Education: whether we’re
in the boardroom or the clasroom, we spend far too much time and
energy looking for the right answer. But the truth is that the questions
are just as important as answers, often more so. If you ask the wrong
question for instance, you’re guaranted to get the wrong answer. A
good question, on other hand, inspires a good answer and, in the
process, invites deeper understanding and more meanngful conection
between people.
Memang jawaban yang diberikan akan sangat tergantung dari
pertanyaan yang diajukan. Jika pertanyaannya menggunakan kata tanya
what akan melahirkan pengetahuan deskriptif, tetapi jika
pertanyaannya menggunakan kata tanya how akan menghasilkan
pengetahuan prosedural, dan jika pertanyaanya menggunakan kata
tanya why akan menghasilkan penjelasanan (exsplanation). Bagaimana
cara bertanya tersebut juga menujukan kemampuan kognitif yang
diharapkan. Kemampuan kognitif yang dikemukan Bloom, juga
berkaitan dengan cara bertanya, Pertanyaan apa perbedaan, menuntut
jawaban yang berkaitan dengan kemampuan analisis. Pertanyaan apa
persamaan menuntut jawaban yang berkaitan dengan kemampuan
sintesis. Pertanyaan mengapa (why) menuntut kemampuan evaluasi
yang sudah tentu membutuhkan kemampuan analisis tingkat tinggi.
Ini berarti para guru atau dosen pendidikan IPS harus memiliki
keterampilan bertanya yang kritis dan mendalam, sehingga mendorong
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 131
peserta didik melahirkan gagasan-gagasan besarnya. Model
pembelajaran seperti ini oleh Plato disebut dengan metode kebidanan.
Analog seorang bidan yang membantu dalam proses kelahiran. Dalam
konteks ini yang dibantu adalah peserta didik untuk melahirkan ide-ide
dan pemikirannya, sehingga terus menghasilkan pengetahuan baru.
Dalam perspektif konstruktivise, guru membantu peserta didik untuk
membangun pengetahuan baru dari pengetahuan atau pengalaman
sebelumnya. Dengan bertanya, pengetahuan baru akan lahir.
Selain potensi akal, yang dimiliki oleh semua manusia adalah
hati nurani dan waktu. Akal, hati nurani, dan waktu merupakan
anugerah Allah Tuhan Yang Maha esa yang diberikan kepada semua
manusia apapun sukunya dan dimanapun berada. Perbedaan bagaimana
cara menggunakan ketiga potensi itulah yang menyebabkan terjadinya
perbedaan diantara bangsa-bangsa, suku-suku, atau orang perorang.
Ketiga potensi tersebut harus dikembangkan melalui pendidikan.
Jika akal lebih dominan dikembangkan melalui pendidikan di sekolah,
hati nurani dan manajemen waktu lebih dominan dikembangkan
melalui pendidikan keluarga dan masyarakat. Hati nurani sebagai
sumber kejujuran yang harus dipertahankan. Ketika seorang anak baru
lahir mereka memiliki fitrah, berupa kejujuran. Oleh karena itu, anak
kecil lebih jujur daripada orang dewasa, karena mereka belum bisa
berbohong.
Di tengah kemunafikan yang semakin marak saat ini, pendidikan
IPS harus mampu menjaga kejujuran dari peserta didik. Kejujuran
yang dianugerahkan oleh Tuhan Yang Maha Esa, harus dijaga, agar
tidak terkontaminasi oleh kemunafikan. Memang pendidikan yang
harus berperan pertama kali adalah keluarga. Keluargalah sebagai
fundasi pendidikan karakter, termasuk kejujuran. Lingkungan keluarga
yang tidak jujuran, secara langsung atau tidak akan mencemari
kesucian. Meskipun demikian, pendidikan IPS di SD harus terus
menjaga kejujuran, dan menanmkan karakter lain, seperti toleransi
terhadap perbedaan, karena perbedaan juga merupakan suatu yang
kodrati.
132 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
Pendidikan IPS juga harus bisa mendidik peserta didik tentang
manajemen waktu, karena waktu adalah pembatas yang terbatas.
Dalam arti setiap aktifitas selalu membutuhkan waktu, dan dalam satu
hari kurang lebih 24 Jam. Oleh karena itu, jika tidak bisa mengelola
waktu dengan baik akan kehilangan kesempatan, yang dalam bahasa
agama akan rugi. Salah satu bentuk pengelolaan waktu adalah disiplin,
dan membuat perencanaan.
Guru pendidikan IPS harus mampu melatih kedisiplinan dan
memberi stimulus peserta didik untuk membuat perencanaan dengan
matang dan cermat. Setiap kegiatan harus direncankan langkah-
langkahnya, urutan, sarana dan prasaran, serta waktu yang dibutuhkan.
Kedisplinan dan kemampuan membuat perencanaan merupakan modal
pembangunan bangsa yang sangat dibutuhkan sekarang dan masa
depan. Untuk itu, para guru IPS juga harus menjadi pembelajar, yang
terus mengembangkan rasa ingin tahunya, dan melatih kemapuan
bertanyanya. Guru tidak lagi harus terus menerus menjelaskan, tetapi
yang lebih penting adalah memberi pertanyaan-pertanyaan kritis dan
mendalam kepada peserta didik, agar peserta didik mampu
mengembangkan pemikiran tingkat tinggi.
Sebagaimana yang ditegaskan dalam kurikulum 2013, yang
menekankan adanya integrasi antara pengetahuan, sikap, relegisitas,
dan tindakan, Guru IPS harus mampu meramu, bahan ajar (subyect
matter) yang ada dalam pendidikan IPS, seperti sejarah, geograsi,
sosiologi, ekonomi untuk mengembangkan kemampuan berpikir
tingkat tinggi dan membangun karakter peserta didik, sebagaimana
dikatakan oleh Thomas Lickona bahwa karakter meliputi knowing,
felling dan action. Melalui pendidikan IPS, peserta didik, didorong
untuk mengembangkan pemikiran yang kritis, obyektif dan positif,
sehingga terbebas dari cara berpikir yang diagonalistik. Dengan cara
berpikir tingkat tinggi diharapkan peserta didik tidak mudah
terhegemoni oleh berita-berita hoak, yang bisa memicu konflik wacana
sesama warga negara, seperti yang terjadi saat ini.
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 133
Pendidikan IPS juga diharapkan mampu membentuk sikap dan
menanamkan nilai-nilai kemanusiaan kepada peserta didik, sehingga
mereka terhindar dari sikap munafik, intoleransi, dan ketidakjujuran.
yang tidak dimiliki oleh pendidikan ilmu IPA. Tugas guru pendidikan
IPS adalah membentengi peserta didik dari sikap kemunafikan,
intoleransi, radikalisme, dan ketidakjujuran.
Materi pendidikan IPS bisa diawali dari lingkungan yang
dihadapi sehari-hari, baru kemudian dibawa ke kontek keilmuan
(geografi, sejarah, ekonomi, sosiologi). Pengetahuan yang diberikan
juga harus dibawa sampai kepada pembentukan sikap dan keyakinan
bahwa sesuatu harus dilakukan atau tidak harus dilakukan, dengan
mempertimbangkan dampaknya. Apakah suatu tindakan itu akan
berdampak baik untuk kehidupan, bangsa dan negara, atau justru
berdampak tidak baik. Semua itu berdasarkan analisis yang rasional
dan obyektif. Dengan demikian sejak dini peserta didik sudah
dibimbing untuk berpikir tingkat tinggi, dan bersikap bijak yang lebih
mengedepankan kepentingan bangsa dan negara dari pada
kepentingannya sendiri.
134 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
Contoh Model Pembelajaran IPS.
Gambar 1 Model mengembangkan nalar
Guru bisa mengambil kasus-kasus yang terjadi di lingkungan
sekitar, pada masing-masing bidang. Misalnya kebersihan Lingkungan
untuk tema keruangan dan lingkungan (geografi); sekarang dengan
lima tahun yang lalu (sejarah); pola konsumsi (ekonomi); di
masyarakat kota dan desa. Misal siswa diasuruh membandingkan
kebersihan lingkungan kota dan desa. Siswa disuruh menganalisis apa
saja yang berhubungan dengan kebersihan lingkungan, dan
menganalisis apa yang menyebabkan lingkungan kotor, dan apa akibat
yang terjadi jika lingkungan kotor.
Mengembangkan Nalar
Keruangan dan
lingkungan
Waktu dan perubahan
Produksi, distribuksi
dan konsumsi
Individu dan
masyarakat
kewarga-negaraan
Kebudayaan dan
multikultur
Mengkaitakan
fenomema satu
dengan fenomena
lainnya
Menganalisis
hubungan sebab
akibat antara
fenomena2 tersebut
Menganalisis mana
yang sebab mana
akibat
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 135
Gambar 2 Model pengembangan sikap
Model pengembangan sikap bisa dilakukan dengan mengambil
thema kebersihan lingkungan yang dikaitkan dengan sikap-sikap lain
seperti dalam contoh di atas. Pengebangan sikap bisa dirasionalkan
dengan menjawab pertanyaan seperti yang tertuang dalam contoh di
atas. Misal, mengapa kita harus menjaga kebersihan lingkungan. Apa
yang terjadi jika kita semua membuang sampah sembarangan. Masing-
masing thema bisa dipertanyakan seperti contoh di atas. Dengan
demikian para siswa diajak untuk memahami mengapa kita harus
bersikap seperti itu. Apa akibatnya jika kita tidak bersikap seperti itu.
Dari pengetahuan dan sikap, kemudian kita lanjutkan kepada
suatu tindakan atau perilaku. Dengan mempertanyakan apa yag harus
kita lakukankan, agar terhindar dari keadaan yang tidak kita inginkan.
Misal, tentang kebersihan lingkungan, yang berkaitan dengan perilaku
membuang sampah. Kita tahu bahwa membuang sampah sembarangan
akan menimbulkan bau yang tidak sedap dan sumber penyakit. Oleh
karena itu, apa yang harus kita lakukan agar tidak ada bau yang tidak
sedap dan tidak timbul penyakit? Sampah harus dikelola dengan baik
Mengembangkan sikap
Cinta lingkungan
Menghargai peninggalan
Mengendalikan keinginan
Menghargai perbedaan
Menghargai hak
Menghargai budaya
Bagaimana kita
harus mensikapi
terhadap fenomena
yang ada?
Mengapa kita harus
bersikap seperti
itu?
Apa akibatnya jika
kita tidak bersikap
seperti itu?
136 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
melalui pemisahan sampah basah dan kering dan kemudian membuang
di tempat sampah yang sudah disediakan.
Gambar 2 Model mengembangkan perilaku
Daftar Pusataka
Arends, I. Richard and Kilcher, Ann. 2010. Teaching for Student
Learning, Becoming an Accomplished Teacher. New York:
Routledge
Daldjoeni, N. 1992. Dasar-dasar Ilmu Pengetahuan sosial. Bandung:
Penerbit Alumni.
Fukuyama, Francis.2005. Guncangan Besar Kodrat Manusia dan Tata
Sosial Baru. Penterjemah Masri Maris. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Hartoko, Dick (ed) 1985. Memanusiakan Manusia Muda.
Yogyakarta:Kanisius
Jarolimek, John. 1982. Social Studies In elementary Education.New
York: Mc Millan Company.
Mengembangkan perilaku atau
tindakan
Menjaga kelestarian
fungsi lingkungan Menjaga
peninggalan sejarah bangsa
Bekerja keras
Tidak diskrininasi
Memetuhi peraturan
Membiasakan perilaku baik
Apa yang harus
kita lakukan agar
tidak terjadi hal
yang tidak kita
inginkan?
Mengapa kita
harus melakukan
tindakan seperti
itu?
Apa akibatnya
jika kita tidak
melakukan
tindakan seperti
itu?
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 137
Kartodirdjo, Sartono. 1993. Pembangunan Bangsa Tentang
Nasionalisme, Kesadaran dan Kebudayaan Nasional.
Yogyakarta: Aditya Media.
Lickona, Thomas. 2012. Educating for Character Mendidik untuk
membentuk Karakter. Jakarta: Bumi Aksara.
Lubis, Mochtar. 2001. Manusia Indonesia: Sebuah pertanggungan
Jawab. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Rury, L. John. 2005. Education and Social Change, Thema in the
History of American Schooling. New Jersey: Lawrence
Erlbaum Associates Publisher.
Ryan, E. James, 2017. Wait, What? And Life’s Other Essential
Questions. New York: HarperOne Publishing.
Siti Malikah Towaf; Sukamto; dkk. 2017. “Potensi Laboratorium
Alam di Lereng Gunung Kelud dan Implikasinya bagi
Pembelajaran IPS Terpadu Berbasis Lapangan”, dalam Inovasi
Belajar Responsif Budaya Lokal. Malang:UM Penerbit dan
Percetakan.
Warsono. 2016. Pancasila-Isme dalam Dinamika Pendidikan.
Surabaya: Unesa University Press.
138 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
==(10)==
MERAJUT KE-INDONESIAAN: MENYELAMI
PIKIRAN FOUNDING FATHERS ASAL
MINANGKABAU TENTANG INTEGRASI BANGSA
Siti Fatimah, Uun Lionar
Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Padang
[email protected]/ [email protected]
A. Pendahuluan
Wacana mengenai integrasi selalu menjadi topik penting ketika
membedah eksistensi Bangsa Indonesia, terutama dalam ruang sejarah
pasca kemerdekaan di tahun 1945. Sepertinya sulit untuk mengatakan
Indonesia yang belum berumur satu abad akan terbebas dari ancaman
disintegrasi, mengingat catatan sejarah telah membuktikan bahwa
dalam setiap periode kepemimpinan politik, ancaman disintegrasi
selalu muncul dengan isu-isu beragam yang terkemas dalam identitas
yang kental. Ancaman disintegrasi tersebut datang dari berbagai
penjuru dengan kompleksitas masalah yang terjadi pada tingkat lokal,
nasional, maupun internasional (Bertrand, 2012).
Arus utama pada tingkat lokal pasca reformasi adalah semakin
menguatnya etnosetrisme yang dibarengi dengan konflik-konflik
horizontal. Hal ini tidak dapat dipungkiri merupakan reaksi atas praktik
sentralisasi yang dilakukan selama periode orde baru. Kungkungan
orde baru yang sentralistik tersebut telah menempatkan satu
kebudayaan sebagai “ruh” kebudayaan utama yang termanifestasikan
melalui praktik budaya Jawa. Kehadiran otonomi daerah yang
memberikan keleluasaan kepada daerah untuk mengembangkan potensi
lokal telah menempatkan daerah sebagai titik utama pembangunan
nasional. Namun, praktik otonomi daerah yang diharapkan memberi
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 139
keleluasan kepada daerah tidak semulus yang dibayangkan, ekspresi
kebablasan dalam menyambut otonomi daerah telah menimbulkan
distorsi bahkan ancaman disintegrasi, setidaknya pada bidang politik
dan kebudayaan (Kacung Marijan, 2019; Latif, 2017).
Pada bidang politik, geliat demokrasi melalui pemilihan kepala
daerah (pilkada) telah menimbulkan konflik horizontal di tengah
masyarakat, bahkan Kementerian Dalam Negeri mencatat terdapat
beberapa daerah rawan konflik pada pilkada tahun 2018, diantaranya
Papua, Mimika, Paniai, Jayawijaya, Puncak, Timor Tengah Selatan,
Maluku, Konawe, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Jawa
Timur, dan Kalimantan Barat (Hidayat, 2018). Selain itu, kehadiran
“raja-raja kecil” sebagai pemenang kontestasi politik lokal telah
menempatkan mereka sebagai penguasa dominan yang mengendalikan
daerah (Sultan Hamengku Buwono X, 2008). Namun, kemenangan
tersebut terkadang tidak diimbangi dengan pemahaman utuh mengenai
tata kelola daerah, sehingga tidak sedikit ditemukan masalah yang
muncul. Cakrawala yang sempit demikian amat rentan menimbulkan
sikap egoisme kelompok, eksklusivisme teritorial, hingga
primordialisme.
Pada bidang kebudayaan, suatu yang begitu kentara pasca
reformasi adalah ekspresi pencarian identitas lokal, upaya ini dilakukan
melalui eksplorasi mencari keunggulan lokal pada daerah-daerah yang
baru berdiri atau mekar (Zuhdi, 2017). Namun, kendati usaha tersebut
tercapai dengan identitas yang unik, terkadang ekspresi publik sering
terjebak pada pengkultusan yang bersifat etnosentris dengan anggapan
bahwa identitas lain tidak lebih baik, atau malah “mengunggulkan”
identitas sendiri di tengah etnisitas yang beragam.
Ancaman disintegrasi tidak hanya terjadi pada tingkat lokal
yang mengedepankan semangat kedaerahan, namun juga pada tingkat
nasional yang terakumulasi melalui ekspresi yang beragam. Ancaman
disintegrasi memunculkan kompleksitas masalah yang berhubungan
dengan isu kebudayaan, politik, sosial, dan agama. Isu kebudayaan
yang masih “menganga” berkaitan dengan kecurigaan antar etnis,
140 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
kecurigaan tersebut berkaitan dengan pemberian label negatif oleh
suatu etnis atas etnis lain, label tersebut bahkan diwariskan dari satu
generasi ke generasi berikutnya hingga mengakar dalam sejarah
(Suryohadiprojo, 2001). Masyarakat Sunda di Jawa Barat masih
menempatkan kecurigaan pada etnis Jawa yang dianggap sebagai
“pengkhianat”, begitupun sebaliknya. Hal demikian adalah pewarisan
sejarah akibat Perang Bubat di masa Kerajaan Majapahit. Beberapa
tahun belakang usaha mengadakan rekonsiliasi gencar dilakukan oleh
pemerintah daerah. Salah satu usaha konkret adalah menyelenggarakan
dialog kebudayaan masyarakat Sunda dan Jawa. Selain itu sebagai
simbol perdamaian maka nama Majapahit dijadikan sebagai nama
salah satu jalan di Kota Bandung, sedangkan nama Padjajaran
dijadikan nama salah satu jalan di Kota Surabaya dan Yogyakarta
(merdeka.com, 2017).
Pada ranah politik, konstelasi yang terbangun beberapa tahun
ini menunjukkan geliat politik identitas (identity politics) yang terlalu
dominan bahkan berlebihan, hal ini sangat kontras jika dibandingkan
dengan periode awal kemerdekaan Indonesia (Latif, 2017). Pada
periode awal semangat politik tertuju pada pilihan-pilihan politik
ideologi yang mengedepankan gagasan dan pemikiran. Kehadiran
politik ideologi tersebut dibarengi dengan semangat ketokohan yang
otentik dari penggerak partai kala itu, seperti Sutan Syahrir yang
konsisten dengan garis sosialisme melalui PSI (Partai Sosialis
Indonesia), Mohammad Natsir yang konsisten dengan semangat ke-
Islam-an Masyumi, dan Soekarno dengan semangat nasionalis telah
menggerakkan eksistensi PNI (Partai Nasional Indonesia). Kenyataan
pada saat ini adalah orientasi politik mengalami sebuah reduksi
subtantif yang ditandai dengan perubahan orientasi tokoh politik, dari
politik gagasan menjadi politik identitas. Kehadiran politik identitas
yang mengedepankan simbol agama dan budaya sedikit banyak telah
membuat ruang publik menjadi gaduh, akibatnya semakin menguatnya
egosentris di dalam kelompok masyarakat hingga memunculkan rasa
saling curiga atas perbedaan yang sengaja diciptakan.
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 141
Pada ranah sosial, ketimpangan pembangunan telah
memunculkan banyak protes. Rasa ketidakadilan masih melekat pada
sebagian masyarakat daerah, terutama di Indonesia bagian timur.
Ketersediaan sarana pendidikan yang layak dan layanan kesehatan
yang memadai menjadi sorotan utama di samping kesejahteraan
masyarakat. Pulau Papua yang kaya akan emas seperti kata Koes Plus,
salah satu band legendaris Indonesia di tahun 90an “kolam susu”, pada
kenyataannya tidak menempatkan masyarakat Papua hidup dalam
keadaan sejahtera. Tidak dapat dipungkiri, peristiwa kerusuhan yang
terjadi di Papua beberapa tahun belakangan ini, terakhir di Wamena,
adalah bentuk ekspresi masyarakat lokal merespon pembangunan yang
belum merata tersebut (Ikrar Nusa Bhakti & Natalius Pigay, 2019).
Dari uraian di atas, pada dasarnya Indonesia memiliki peluang
besar untuk tidak bersatu. Kompleksitas masalah “dari hulu hingga
hilir” yang dibarengi dengan keberagaman suku, etnis, dan ras menjadi
pendorong utama dan alasan bagi terjadinya disintegrasi. Namun,
realitas historis dan sosiologis menunjukkan bahwa di atas
kompleksitas masalah dan perbedaan tersebut ternyata kepulauan-
kepulauan bekas jajahan Belanda yang berbeda suku, etnis, dan ras
tersebut dapat dan masih bersatu menjadi sebuah bangsa besar. Sulit
untuk dipungkiri, sesungguhnya akar persatuan telah terbangun melalui
sejarah yang panjang, silang budaya yang terjadi sejak periode Hindu-
Budha, Islam, hingga pengaruh barat telah membentuk identitas bangsa
Indonesia (Lombard, 2018). Pencarian identitas yang khas tersebut
kemudian dilakukan oleh founding fathers melalui eksplorasi yang
menyelami ruang historis Kepulauan Nusantara. Bangunan renungan
menjadi dasar nilai kebangsaan dengan identitas yang satu di atas
keberagaman (unity in diversity).
Walau berasal dari berbagai daerah, founding fathers bangsa
telah menunjukkan sikap kebangsaan, melebur menjadi satu identitas
yang termanifestasikan melalui Sumpah Pemuda tahun 1928
“berbangsa satu, bertanah air satu, dan menjunjung bahasa persatu,
Indonesia”. Semangat tersebut kemudian dilanjutkan melalui
142 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
perumusan dasar negara Indonesia, Pancasila. Menariknya,
kesepakatan-kesepakatan yang terbangun merupakan hasil dialektika
adu gagasan antar tokoh yang mewakili banyak kelompok dan
golongan. Dengan pikiran yang terbuka telah mengantarkan mereka
menemukan titik temu atas pencarian identitas tersebut, hingga pada
akhirnya menjadi kesepakatan bersama sebagai konsep dalam
mendirikan republik yang bernama Indonesia.
Di antara founding fathers bangsa adalah mereka yang berasal
dari Minangkabau, seperti Mohammad Hatta, Haji Agus Salim,
Muhammad Yamin, Sutan Syahrir, dan Tan Malaka. Keikutsertaan
mereka dalam merumuskan konsep kebangsaan telah melampaui batas
kultural Minangkabau. Di tengah ancaman disintegrasi, sudah
selayaknya memetik kearifan dari founding fathers asal Minangkabau
mengenai integrasi bangsa.
B. Ancaman Disintegrasi dalam Sejarah Indonesia
Sejak diproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia pada
tanggal 17 Agustus 1945, bukan berarti Indonesia sudah terbebas dari
ancaman perpecahan. Politik pecah belah (devide et impera) yang
dilakukan oleh Belanda dengan mendirikan negara boneka pada
periode revolusi pisik, merupakan upaya untuk melemahkan eksistensi
Republik yang baru berdiri tersebut (Kahin, 2013). Namun, upaya
tersebut kandas ketika seluruh komponen bangsa berekonsiliasi dan
menyepakati perlunya persatuan. Maka sejak tahun 1950 secara de
facto dan de jure Indonesia menjadi sebuah bangsa yang berdaulat.
Setelah berjuang menghadapi musuh dari luar, pada periode
kemerdekaan bangsa Indonesia harus berhadapan dengan ancaman
yang muncul dari dalam. Ancaman disintegrasi hadir dengan beragam
faktor yang dilandasi dengan semangat ideologi dan identitas
kedaerahan yang kental.
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 143
1. Gerakan Separatisme
Gerakan separatisme atau gerakan memisahkan diri yang
dilakukan sebuah komunitas dari sebuah bangsa merupakan gejala
universal yang sudah cukup lama berkembang, terkhusus di Asia
Tenggara, hal ini berkembang pasca Perang Dunia II (Cipto, 2003;
Sobandi, 2016). Tajamnya perbedaan etnis, bahasa, agama, dan budaya
di banyak negara di Asia menjadi faktor utama munculnya gerakan ini.
Dalam sejarah Indonesia, gerakan separatisme telah terjadi di
banyak tempat melewati spektrum waktu yang melintasi rezim
kepemimpinan, sejak demokrasi liberal, demokrasi terpimpin (orde
lama), orde baru, hingga era reformasi. Pada periode awal
kemerdekaan, gerakan separatisme muncul yang dilandasi atas
perbedaan ideologi dan kepentingan. Gerakan tersebut diantaranya
adalah Pemberontakan PKI (Partai Komunis Indonesia) di Madiun,
Pemberontakan DI/TII Kartosuwiryo, Gerakan 30S/PKI, PRRI dan
Permesta, GAM (Gerakan Aceh Merdeka), OPM (Organisasi Papua
Merdeka), RMS (Rakyat Maluku Selatan).
Pemberontakan PKI di Madiun merupakan aksi separatis
pertama pasca kemerdekaan. Pada tanggal 18 September 1948, Musso
yang baru kembali dari Moskow memproklamasikan berdirinya
Pemerintahan Soviet Indonesia. Tujuannya adalah menggelorakan
“Sebuah Jalan Baru untuk Republik Indonesia” dengan menjadi negara
komunis (Cribb & Kahin, 2012). Gerakan ini didukung oleh Amir
Syarifuddin yang ketika itu diberhentikan sebagai perdana menteri
akibat kegagalan dalam Perundingan Renville (8 Desember 1947 – 17
Januari 1948), perundingan ini dipandang sangat merugikan Indonesia.
Amir Syarifuddin membentuk FDR (Front Demokrasi Rakyat) yang
beranggotakan kaum tani dan buruh. Basis gerilya PKI adalah Madiun,
namun Gerakan tersebut segera dapat ditumpas oleh Devisi Siliwangi
melalui instruksi Jenderal Sudirman kepada Kolonel Gatot Subroto di
Jawa Tengah dan Kolonel Sungkono di Jawa Timur. Dalam pelarian,
Muso akhirnya tewas pada tanggal 31 Oktober 1948, sementara
beberapa tokoh lainnya melarikan diri ke luar negeri (Nugraha &
Winarti, 2018).
144 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
Kegagalan Perundingan Renville (1948) yang mengharuskan
hijrahnya pasukan TNI (Tentara Nasional Indonesia) di Jawa Barat ke
Jawa Tengah dan Yogyakarta telah menimbulkan banyak gejolak. S.M.
Kartosuwiryo di Jawa Barat beserta para pendukungnya pada tanggal 7
Agustus 1949 memproklamirkan berdirinya NII (Negara Islam
Indonesia). Tentara dan pendukungnya disebut TII (Tentara Islam
Indonesia). Gerakan tersebut kemudian disambut oleh Daud Beureueh
di Aceh, Amir Fatah dan Kyai Somolangu di Jawa Tengah, Ibnu Hajar
di Kalimantan Selatan, dan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan
(Ricklefs, 2008). Pada tahun 1962 gerakan tersebut mulai redup dan
dapat ditumpas ketika pemimpinnya S.M. Kartosuwiryo terbunuh.
Setelah beberapa tahun redup akibat kegagalan di Madiun,
eksistensi PKI kembali bersinar ketika menjadi salah satu pemenang
pada Pemilihan Umum tahun 1955 (Suwarno, 2012). Doktrin Nasakom
(Nasionalis, Agama, Komunis) yang dikembangkan oleh Soekarno
memberi keleluasaan PKI untuk memperluas pengaruhnya. PKI
menjadi salah satu kekuatan penting pada masa demokrasi terpimpin,
bersama Soekarno dan Angkatan Darat. Pada tahun 1965 melalui isu
“Dewan Jenderal”, PKI kembali melakukan aksi dengan menculik dan
membunuh beberapa petinggi AD (Angkatan Darat) (Ahmad, 2016).
Peristiwa tersebut dikenang sebagai peristiwa kelam sekaligus
kontroversial dalam sejarah Indonesia.
Dalam kepemimpin Demokrasi Terpimpin, Soekarno selalu
mengedepankan jargon “revolusi” yang lebih konsen pada politik, hal
ini telah mengakibatkan pembangunan daerah menjadi terabaikan.
Merespon hal tersebut beberapa petinggi Angkatan Darat di daerah
seperti Letkol Ahmad Husein di Sumatera Barat, Kolonel Maludin
Simbolon di Sumatera Utara, Letkol R. Barlian di Sumatra Selatan, dan
Letkol Ventje Sumual di Sulawesi Utara mengajukan tuntutan agar
pemerintah pusat memperhatikan keseimbangan pembangunan antara
pusat dan daerah (Syamdani, 2009). Protes ini kemudian membesar
menjadi sebuah gerakan perlawanan, Letkol Ahmad Husein pada
tanggal 15 Februaru 1958 di Padang memproklamasikan berdirinya
PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia). Gerakan tersebut
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 145
disambut oleh masyarakat Sulawesi Selatan dengan memproklamirkan
Permesta (Perjuangan Rakyat Semesta) pada tanggal 17 Februari 1958
(Asnan, 2007). Akhirnya gerakan tersebut redup ketika satu persatu
pemimpin gerakan menyerah hingga tahun 1961.
Memperhatikan kompleksitas masalah di pemerintahan pusat,
dan adanya ketimpangan pembangunan antara pusat dan daerah, maka
semakin membuka ruang bagi munculnya gerakan separatis yang
dilandasi atas kekecewaan daerah pada pemerintah pusat. Gerakan
OPM di Papua disanyalir akibat integrasi terlambatnya Papua masuk ke
wilayah Indonesia, hal ini sebenarnya merupakan bentuk politik devide
et impera yang diusahakan Belanda untuk menghambat proses
integrasi wilayah Indonesia (Korwa, 2013). Isu faktor perbedaan ras
antara orang Papua (Melanesoid) dengan orang Indonesia bagian barat
(Austronesoid) semakin menempatkan orang Papua pada posisi
resistensi untuk merdeka. Sementara itu, kemerdekaan Timor Timur di
tahun 1999 telah mencabut “duri dalam daging” yang sejak tahun 1975
bersarang dalam wilayah bekas jajahan Belanda. Integrasi wilayah
Timor Timur masuk sebagai bagian dari Republik Indonesia pada
dasarnya adalah suatu pemaksaan kehendak, hal ini dilatarbelakangi
oleh faktor historis yang pada kenyataannya Timor Timur adalah bekas
jajahan Portugis (Bertrand, 2012).
Di ujung utara pulau Sumatera, GAM sejak tahun 1976
menginginkan kemerdekaan dari wilayah Indonesia. Gerakan ini
muncul akibat dari rasa ketidakadilan pemerintah pusat dalam hal
pembangunan daerah, sementara Aceh pada periode revolusi telah
memberi sumbangsih bagi eksistensi republik (Reid, 2012). Melalui
banyak perundingan pada tahun 2005 antara GAM dan pemerintah
Indonesia menemukan titik temu dengan pemberian hak sebagai daerah
istimewa bagi Provinsi Aceh.
2. Konflik Antar Etnis dalam Sejarah Indonesia
Beberapa konflik horizontal pernah terjadi dalam sejarah
bangsa Indonesia, hal ini menurut Bertrand (2012) lebih
dilatarbelakangi oleh faktor-faktor kecurigaan antar etnis, yang
146 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
menganggap etnis lain sebagai musuh Bersama. Hal demikian tercipta
dalam sejarah yang kemudian dikultuskan menjadi kecurigaan-
kecurigaan kolektif. Nasikun (2011) menyebutkan keadaan demikian
adalah konsekuensi logis dari masyarakat Indonesia periode kolonial
yang majemuk dan tidak begitu terbuka.
Konflik yang terjadi antara suku Dayak dan Madura di Sampit
pada 18 Februari 2001 menimbulkan bekas luka mendalam bagi kedua
etnis. Peristiwa yang telah menewaskan ratusan orang tersebut menurut
Suryani (2016) tergolong konflik paling masif yang terjadi di Indonesia
pasca orde baru. Penyebab konflik ini diduga akibat adanya warga
Dayak yang dibantai oleh warga Madura. Tidak terima diberlakukan
demikian, warga Dayak sebagai suku asli di Sampit membalas
pembunuhan tersebut hingga menimbulkan bentrokan antara kedua
suku tersebut. Konflik ini adalah peristiwa kelam bagi etnis Dayak dan
Madura, karena hingga saat ini rekonsiliasi masih terjadi, dan akibat
tragedi tersebut pandangan sebagian orang berubah dengan
memposisikan orang Dayak sebagai etnis yang beringas, suka
membunuh, dan atribut lainnya yang berfokus kepada tuduhan kurang
memiliki rasa prikemanusiaan. Sementara bagi orang Madura sendiri
adalah trauma dan duka mendalam ketika mereka mengingat peristiwa
tersebut (Patji, 2003).
Konflik antar agama melanda Indonesia pada awal reformasi, di
tahun 1999. Di Ambon konflik antara umat Islam dan umat Kristen
tidak terbendung hingga mengakibatkan terjadinya kerusuhan besar-
besaran. Kelompok umat Islam dan umat Kristen saling serang dan
menunjukkan kekuatannya, hingga menewaskan ratusan orang (Boedi,
2016). Diketahui akar penyebab dari konflik ini sudah lama muncul
yang kemudian meledak disaat simbol-simbol sakral keagamaan
dirusak.
Sementara itu, di Jakarta pada tahun 1999 tepatnya pada bulan
Mei terjadi penjarahan atas orang-orang Tionghoa. Penjarahan ini
disusul penganiayaan dan pemerkosaan. Sentimen kepada etnis
Tionghoa terjadi akibat kecemburuan ekonomi, faktor keyakinan, dan
rasial. Hal ini sebenarnya telah muncul sejak pra kemerdekaan. Etnis
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 147
Tionghoa dianggap sebagai kelompok minoritas yang telah menguasai
ekonomi Indonesia sehingga memunculkan dislike minority,
kecemburuan tersebut menemukan momentumnya ketika krisis
moneter melanda Indonesia sejak tahun 1997, maka etnis Tionghoa
dianggap sebagai dalang dari krisis tersebut. Anggapan demikian
terbangun karena selama pemerintah Soeharto banyak orang Tionghoa
yang mendapat posisi strategis dalam bidang ekonomi (Bertrand,
2012). Berdasarkan data yang dihimpun dari Tim Gabungan Pencari
Fakta 13-15 Mei 1998 yang dibentuk oleh pemerintah Indonesia
pimpinan presiden B. J. Habibie, dipastikan bahwa terdapat 85
perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual yang berlangsung
dalam rangkaian kerusuhan Mei 1998 (www.tionghoa.info, 2015).
Kecurigaan terhadap etnis Tionghoa hingga saat ini masih
melekat pada sebagian kalangan. Narasi yang terbangun selama ini
telah menempatkan mereka sebagai kelompok minoritas yang tidak
terlalu berperan dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Padahal
jika ditelusuri sebenarnya terdapat beberapa tokoh yang mewakili etnis
Tionghoa dalam sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia) diantaranya Liem Koen Hian, Oey
Tiang Tjoei, Oey Tjong Hauw, dan Tan Eng Hoa (Saafroedin Bahar,
Ananda B. Kusuma, & Nannie Hudawati, 1995). Namun, keterlibatan
mereka kian terpinggirkan dalam sejarah bangsa ketika orang-orang
Tionghoa dicap bukan “pribumi” dan dianggap terlibat dalam peristiwa
PKI tahun 1965. Hal ini semakin diperparah ketika rezim orde lama
dan orde baru “memasung” eksistensi mereka dalam puluhan tahun.
Sebenarnya founding fathers bangsa telah meletakkan dasar-
dasar persatuan di atas keberagaman etnis dan budaya. Keterwakilan
etnis dan golongan pada sidang BPUPKI merupakan ekspresi rasa
hayat yang tinggi dari founding fathers dalam memikirkan karangka
republik yang akan dibangun. Kehadiran perwakilan golongan dan
etnis menjadi penting agar Indonesia yang didirikan betul-betul
menjadi negara untuk semua etnis dan golongan. Melalui sidang
BPUPKI sesungguhnya founding fathers ingin menunjukkan bahwa
semangat persatuan dapat terbangun melalui dialog dan penghargaan
148 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
terhadap satu kelompok dengan kelompok lainnya. Akumulasi dari
peleburan sekat-sekat identitas golongan, daerah, dan keyakinan telah
melahirkan konsepsi yang kemudian menjadi dasar berdirinya Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
C. Founding Fathers dan Integrasi Bangsa
Sidney Hook (1990) menegaskan bahwa tidak semua aktor
sejarah dapat menjadi pahlawan. Namun, peluang untuk menjadi
pahlawan sangat besar ketika aktor sejarah mampu menghadirkan nilai-
nilai subtantif yang amat dibutuhkan masyarakat. Nilai-nilai tersebut
termanifestasikan melalui ucapan, sikap, dan perbuatan aktor sejarah
yang dapat diteladani oleh generasi berikutnya.
Dalam sejarah bangsa terdapat banyak aktor sejarah yang
kemudian dikultuskan pahlawan nasional, sebagian dari mereka
digelari founding fathers, bapak pendiri bangsa. Kehadiran mereka
dalam ruang sejarah bangsa telah menggerakkan zamannya melalui
perintisan hingga pendobrak kemerdekaan Republik Indonesia.
Beberapa diantara mereka berasal dari daerah dan budaya yang
berbeda, seperti Soekarno yang tumbuh dan besar dalam lingkungan
masyarakat Jawa, Mohammad Hatta dan Sutan Syahrir hidup dalam
lingkungan masyarakat Minangkabau. Namun, perbedaan tersebut pada
kenyataannya tidak membatasi ruang gerak mereka untuk membangun
dialog persatuan. Melalui penerimaan atas keberagaman itulah benih-
benih Indonesia disemai dan dilahirkan.
Dalam ruang sejarah Minangkabau telah lahir banyak tokoh-
tokoh bangsa, seperti Tan Malaka, Muhammad Yamin, Mohammad
Hatta, Mohammad Natsir, Sutan Syahrir, Haji Agus Salim dan lain
sebagainya. Kehadiran mereka dalam pergerakan kebangsaan
menunjukkan sesuatu yang unik. Walau lahir dan dibesarkan dalam
budaya yang sama, ternyata beberapa diantara mereka memilih cara
yang berbeda dalam petualangan memperjuangkan kemerdekaan.
Konsistensi mereka pada garis ideologi telah menciptakan dinamika
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 149
intelektual dan gagasan pada periode pergerakan dan masa awal
kemerdekaan.
Akumulasi dari eksistensi ideologis beberapa tokoh di atas
termanifestasikan dalam ide dan perbuatan yang mereka tawarkan
untuk republik pada periode awal kemerdekaan. Namun, di atas semua
itu pada dasarnya mengerucut pada kesamaan cita-cita yang mereka
ekspresikan melalui usaha merawat persatuan bangsa. Tiga tokoh di
bawah ini adalah mereka yang mewakili kelompok dengan garis
ideologi yang berbeda, pada masa pergerakan hingga kemerdekaan
Indonesia. Mohammad Hatta mewaliki garis ideologi nasionalis, Haji
Agus Salim mewakili garis ideologi Islam, sementara Sutan Sjahrir
mewakili garis ideologi sosialis.
1. Mohammad Hatta: Kemerdekaan untuk Semua
Mohammad Hatta lebih dikenal sebagai proklamator Republik
Indonesia. Julukan “dwi tunggal” melekat pada Mohammad Hatta dan
Soekarno yang bersama memperjuangkan kemerdekaan Republik
Indonesia. Namun, pada banyak hal sebenarnya Mohammad Hatta
tidak sama dengan Soekarno, begitu pun sebaliknya, kedua tokoh ini
sering kali berseberangan dalam ide, gagasan, dan perbuatan. Bahkan
Sukarno mengakui sendiri bahwa ia dan Hatta tidak pernah berada
dalam riak gelombang yang sama (Adams, 2007). Agaknya Hatta lebih
tenang dan memposisikan diri pada jalan pikiran dibandingkan
Soekarno yang lebih agresif dan menonjolkan diri. Hatta lebih
menempatkan pada kehati-hatian bersikap, sementara Soekarno
memilih manuver melalui agitasi massa yang menggerakkan emosi
rakyat.
Hatta hijrah ke Belanda di usia 19 tahun, ia melanjutkan studi
ekonomi di Handels Hoogeschool, Rotterdam. Kesempatan ini
diperolehnya karena berasal dari keluarga berada Minangkabau, akan
tetapi Hatta tidak semata-mata menggantungkan diri melalui dana yang
diberikan oleh keluarganya, melainkan menunjukkan kualitas
akademik dengan mendapatkan beasiswa. Selama di Belanda, Hatta
150 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
tidak menghabiskan waktu hanya untuk belajar di kampus, melainkan
ikut serta dalam perkumpulan mahasiswa Indonesia di Belanda yang
ketika itu bernama Indische Vereeniging. Beberapa tahun tergabung di
organisasi tersebut, Hatta ikut serta dalam menggantikan nama
Indische Vereeniging menjadi Indonesische Vereeniging yang
kemudian di tahun 1925 diterjemahan ke bahasa Melayu menjadi
Perhimpunan Indonesia (PI). Bagi Hatta, penggunaan istilah
“Indonesia” sebagai penyebutan untuk Hindia Belanda masih jarang
digunakan (Kahin, 1980). Indonesische adalah sedikit dari
perkumpulan politik yang pertama kali mendengungkan istilah tersebut
untuk menamakan sebuah organisasi.
Geliat intelektual yang semakin kritis menunjukkan semakin
menguatnya kesadaran akan identitas kebangsaan. Pergerakan untuk
menentang kolonialisme disusun oleh pemuda-pemuda PI tersebut.
Pada tahun 1923, PI dengan berani mengumumkan tiga asas baru
berupa manifesto politik, yakni kemerdekaan Indonesia, self-help, dan
perjuangan ke arah persatuan gerakan. Manifesto Politik tersebut telah
dengan lantang menyuarakan kemerdekaan Indonesia, di samping
gagasan nasionalisme dan persatuan (Anderson, 2017).
Setelah beberapa tahun menjadi bendahara PI, di tahun 1926-
1929 Hatta diamanahkan untuk memimpin organisasi tersebut. Sebagai
ketua, Hatta banyak mengikuti pertemuan organisasi internasional
hingga mengikuti Congress Against Colonial Oppression and
Imperialism, suatu kongres melawan penindasan kolonialisme dan
imperialisme, di Brussels pada tanggal 10 hingga 15 Februari 1927.
Kongres ini dihadiri oleh tokoh anti kolonial terkenal dari Asia dan
Afrika, seperti Jawaharlal Nehru (India), Hafiz Ramadhan Bey (Mesir),
Messali Hadj (Aljazair), Hansin Liu (Tiongkok), dan Lamine Senghor
(Senegal). Pada kongres tersebut disepakati pendirian Liga Anti
Imperialisme, Hatta ikut serta sebagai salah satu komite eksekutif
bersama Nehru, Senghor, dan Messali Hadj.
Akibat keterlibatannya dalam liga tersebut, Hatta harus
menerima konsekuensi dicap sebagai orang yang menyebarluaskan
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 151
propaganda menentang Pemerintah Hindia Belanda. Pada September
1927 Hatta ditangkap oleh polisi Belanda. Sebagai bentuk gugatannya,
Hatta membela diri melalui pledoi yang terkenal Indonesia
Vrij (Indonesia Merdeka) (Cribb & Kahin, 2012).
Di tahun 1932, Hatta menamatkan studinya dan kembali ke
Indonesia. Menyandang gelar sebagai lulusan Belanda sebenarnya
sangat mudah bagi Hatta untuk mendapatkan pekerjaan, namun ia tidak
memilih jalan tersebut. Hatta melanjutkan perjuangan PI dengan
mendirikan PNI (Pendidikan Nasional Indonesia) Baru bersama Sutan
Syahrir. Berbeda dengan PNI (Partai Nasional Indonesia) yang
didirikan Soekarno di tahun 1927, Hatta menempatkan politik kader
sebagai misi utama organisasi, baginya keberlanjutan perjuangan
organisasi sangat ditentukan oleh ketersediaan kader yang terdidik,
bukan seperti PNI bentukan Soekarno yang menurutnya hanya
mengandalkan agitasi massa rakyat (Hatta, 2018; Kahin, 1980).
Melalui PNI baru, Hatta melakukan pendidikan politik kepada para
kadernya, melalui misi lawatan ke daerah-daerah, ia mengunjungi
banyak tempat dan memberikan ceramah sekaligus berdiskusi
mengenai situasi politik saat itu. Menariknya, misi yang dilakukan
Hatta tidak lagi memandang identitas kultural kader, ia menerima
banyak anak muda dari beragam latar belakang budaya untuk ikut serta
bahu membahu terlibat dalam aktivitas PNI Baru.
Pendidikan politik dalam pikiran Hatta berfokus pada
membentuk karakter kader mandiri, menanamkan semangat
kebangsaan, dan demokrasi politik. Melalui karakter dan kemandirian
akan membentuk manusia yang kuat tanpa harus bersandar pada
bantuan pihak lain, sehingga dalam hal ini, non-kooperatif dipilih
sebagai asas PNI Baru dalam pergerakan. Mohammad Hatta juga
memiliki pemikiran bahwa membangun semangat kebangsaan pada
bangsa yang tidak merdeka artinya membangun manusianya,
menyadarkan dan mengarahkan (Utomo, 2018).
Pola politik kader bentukan Hatta dan Syahrir mendapat tempat
ketika para pemimpin seperti Soekarno, Syahrir, dan termasuk Hatta
152 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
ditangkap oleh pemerintah kolonial sekitar awal tahun 1930an. Ketika
Sukarno ditangkap oleh pemerintah Belanda maka Partindo lantas tidak
aktif karena tidak memiliki kader yang terdidik dan militan. Sementara
itu, kader-kader PNI Baru telah siap melanjutkan perjuangan tanpa
harus bergantung pada Hatta (Hatta, 2018).
Hatta dan Sjahrir ditangkap di Jakarta pada 25 Februari 1934.
Berbeda dengan Soekarno yang dibuang ke Ende, Hatta dibuang ke
pengasingan terburuk, tempat dimana orang-orang yang terlibat
pemberontakan PKI tahun 1926-1927 dibuang, yakni Boven Digul.
Hatta sepertinya sangat memahami semua konsekuensi dari jalan
politik yang ia pilih. Ia betul-betul sudah siap dengan risiko yang akan
diterima dari sikapnya melawan kolonialisme Belanda tersebut.
Buah pikir Hatta untuk berdirinya negara Indonesia tidak
sampai pada periode pergerakan, selepas dari pembuangan di tahun
1942, ia bersama Soekarno merajut “dwi tunggal” menghadapi
pendudukan Jepang. Ketika menjadi anggota BPUPKI (Badan
Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia), Hatta
menempatkan gagasan mengenai Indonesia yang berlandaskan
“kebangsaan” dan “kedaulatan rakyat” (Widjajadi, 2018). Pikiran Hatta
yang moderat telah menjadi bingkai penghubung antar banyak
golongan ketika itu. Atas ilmu pengetahuan yang didapatnya di
Belanda dan ilmu agama dalam kultur Minangkabau telah menjadikan
Hatta sebagai pemikir yang nasionalis dan religius, ia hadir di antara
keberagaman sekaligus sebagai simpul pemersatu semuanya.
Dalam pandangan Hatta negara Indonesia yang berdiri harus
dapat mengakomodasi semua golongan tanpa terkecuali. Sikapnya
tersebut dapat dilacak ketika ia hadir sebagai penengah dalam
perdebatan sengit mengenai dasar negara Indonesia antara kelompok
Islam, nasionalis dan, non-Islam. Walau pun ia sendiri berasal dari
keluarga ulama Minangkabau, namun dalam pikirannya ia menolak
konsepsi negara Islam bagi Indonesia. Pada tanggal 18 Agustus 1945,
satu hari setelah proklamasi kemerdekaan, Hatta berdialog dengan para
tokoh Islam, diantaranya Kasman Singodimedjo, Ki Bagus
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 153
Hadikoesoemo, Teuku Hasan, dan K.H. Wachid Hasjim. Dalam dialog
tersebut Hatta memberi keyakinan kepada tokoh-tokoh tersebut
mengenai penghapusan sila pertama dalam Pancasila yang amat
dipersoalkan oleh kelompok non-Islam, berupa “Kewajiban
Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-pemeluknya” (Hatta,
Subarjo, Maramis, Sunario, & Pringgodigdo, 1980). Negosiasi antara
Hatta dan utusan kelompok Islam mendapatkan titik temu dengan
diterimanya penghapusan tujuh kata tersebut. Peran Hatta dalam hal ini
terlihat sangat penting, sebagai tokoh panutan Hatta meyakinkan
kelompok Islam bahwa penyebutan “Ketuhanan Yang Maha Esa” lebih
pantas dan dipandang tepat agar persatuan bangsa tetap terjaga.
Namun, disamping itu Hatta tetap memandang pentingnya nilai
ketuhanan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bagi Hatta
kalimat “Ketuhanan yang Maha Esa” merepresentasikan identitas
bangsa Indonesia yang berketuhanan.
Hatta juga telah menempatkan konsep demokrasi politik dan
demokrasi ekonomi sebagai suatu yang tidak terpisahkan antara satu
dengan yang lainnya. Prinsip demokrasi Indonesia tidak boleh
seutuhnya mengadopsi demokrasi politik barat yang liberal. Namun,
demokrasi Indonesia harus ditempatkan pada demokrasi ekonomi yang
disemangati nilai gotong royong. Oleh sebab itu, dalam Undang
Undang Dasar 1945 tersebut “Bumi, air, dan kekayaan alam yang
bermanfaat bagi orang banyak dan dipergunakan sebesar-besarnya
demi kemakmuran rakyat”, hal ini adalah wujud nyata dari pikiran
Hatta yang memandang negara sebagai pemenuhan kebutuhan dan
kesejahteraan rakyat (Hatta, 2014).
Setelah beberapa tahun di alam kemerdekaan hingga memasuki
tahun 1950an, perbedaan pendapat antara Hatta dan Soekarno yang
semakin tajam pada akhirnya mengharuskan Hatta mundur sebagai
Wakil Presiden pada tahun 1956. Faktor utama perbedaan pendapat
terletak pada keterlibatan PKI yang semakin dominan dalam
pemerintah dengan konsep Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis)
dan persoalan Irian Barat yang bagi Hatta tidak terlalu penting.
154 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
Menurut Cribb & Kahin (2012) sebenarnya banyak pihak yang melihat
Hatta dapat menjadi tokoh utama penentang Soekarno dan Demokrasi
Terpimpin. Tetapi Hatta tidak menunjukkan sikap resistensi yang
terbuka kepada Soekarno, hal ini dilakukannya dalam rangka untuk
menjaga integrasi bangsa yang baru berdiri ketika itu.
1. Haji Agus Salim: The Grand Old Man
Haji Agus Salim sebenarnya memiliki kesempatan untuk hidup
mewah kalau saja ia tetap pada posisinya bekerja sebagai agen Belanda
sepulang dari Mekkah. Namun, kesadarannya atas identitas begitu kuat
sehingga telah mengalihkan pikirannya untuk ikut serta berjuang
memercikkan semangat anti kolonial. Atas pilihannya tersebut telah
membuat putra Minangkabau ini hidup di luar kebiasaan pemimpin
politik lainnya. Haji Agus Salim konsisten berjuang dengan merelakan
hidup bermewah-mewahan.
Lahir di Koto Gadang (Sumatera Westkust) pada 8 Oktober 1884
dengan nama Musyudul Haq dari seorang Jaksa Pengadilan yang
terpandang, Sutan Mohamad Salim. Nama Agus Salim tersemat ketika
sapaan “Gus” melekat pada dirinya disaat sekolah di Europeesche
Lagere School (ELS), hingga menjadi Agus Salim yang berarti Agus
putra dari tuan Salim. Setelah lulus ELS pada 1897, Agus Salim
melanjutkan studinya ke Hogere Burger School (HBS) di Batavia. Dari
Batavia ia mengajukan beasiswa untuk belajar kedokteran di Belanda.
Harapannya untuk melanjutkan studi tersebut ternyata tidak
terkabulkan hingga akhirnya ia memutuskan untuk bekerja.
Eksistensi Haji Agus Salim dapat dilihat pada statusnya sebagai
penerjemah, aktivis politik, wartawan, diplomat ulung, negarawan,
alim ulama, dan intelektual. Peran tersebut dilakoninya dalam jiwa
zaman (zeitgeist) yang sedang bergejolak di awal abad 20. Agus Salim
ikut serta terlibat dalam dialektika zaman dengan menonjolkan
identitas keislaman dan keindonesiaan yang dominan, pilihan tersebut
telah menempatkan Agus Salim sebagai sosok the grand old man,
penopang eksistensi republik Indonesia yang tidak tergantikan. Dalam
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 155
sejarah bangsa Indonesia, Haji Agus Salim dikenal sebagai anggota
perumus Pembukaan Undang Undang Dasar tahun 1945, anggota
dewan Volksraad dan tokoh Serikat Islam di masa Pemerintah Hindia
Belanda, diplomat yang meraih pengakuan internasional pertama bagi
Republik Indonesia, dan Menteri Luar Negeri era revolusi.
Salah satu keunggulan yang melekat pada diri seorang Haji Agus
Salim, dan bahkan tidak dimiliki oleh founding father lainnya adalah
kepiawaiannya berbicara dalam banyak bahasa. Haji Agus Salim
menguasai beberapa bahasa asing, antara lain bahasa Inggris, Belanda,
Prancis, Arab, Turki, dan Jerman. Namun, di balik itu semua menurut
Willem Schermerhorn, ketua delegasi Belanda pada Perundingan
Linggarjati dalam sebuah catatannya menulis “hanya satu kelemahan
Agus Salim, yaitu selama hidupnya selalu melarat dan miskin” (Ma’rif,
2013). Agus Salim hingga akhir hayatnya tidak pernah mempersoalkan
hal tersebut, sebaliknya ia konsisten dengan prinsip-prinsipnya yang
mengedepankan pengorbanan untuk kemerdekaan bangsa Indonesia.
Perjuangan Haji Agus Salim untuk eksistensi bangsa Indonesia
terlihat pada perannya sebagai Menteri Luar Negeri di kabinet Syahrir.
Ia adalah tokoh pembuka hubungan diplomatik dengan negara-negara
Arab, terutama negara Mesir. Hubungan ini sekaligus merupakan
bentuk pengakuan atas kemerdekaan Indonesia dari penjajahan
Belanda. Pemahamannya yang dalam mengenai Islam telah
menempatkan Haji Agus Salim sebagai penengah dalam perumusan
dasar negara.
2. Sutan Syahrir: Politics of Value
Syahrir adalah satu dari tujuh begawan revolusi Indonesia.
Ketujuh orang tersebut adalah Soekarno, Hatta, Syahrir, Amir
Sjarifoeddin, Tan Malaka, Sudirman, dan A. H. Nasution, dalam kadar
yang berbeda menentukan arah dan produk revolusi. Ketujuh
pemimpin tersebut dengan caranya masing-masing berkontribusi bagi
jalannya revolusi. Setelah revolusi usai, mereka pun mengalami
156 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
peruntungan yang berbeda, aliansi berbeda, dan perimbangan kekuatan
yang berbeda pula (Poeze, 2015).
Setelah lulus dari AMS (Algemene Middelbare School) tahun
1929, Syahrir melanjutkan sekolahnya ke Universiteit van Amsterdam,
Belanda, dengan mengambil konsentrasi Hukum. Tidak lama setelah
keberangkatannya itu, beberapa tokoh organisasi seperti
Sukarno, Gatot Mangkupradja, dan rekan-rekannya ditangkap oleh
Pemerintah Hindia Belanda karena dinilai melakukan propaganda
untuk menentang pemerintah. Keberuntungan memihak pada Syahrir,
karena ia menyegerakan berangkat ke Belanda.
Selama di Belanda, Syahrir bersentuhan dengan paham sosialis
yang didapatkannya melalui Sociaal Democratische Studenten Club
bentukan Partai Sosialis Demokrat Belanda. Melalui club ini Syahrir
untuk pertama kalinya membedah secara mendalam gagasan tokoh-
tokoh politik dunia yang sedang dikagumi pada saat itu,
seperti pemikiran Friedrich Engels, Otto Bauer, Karl Marx, Rosa
Luxemburg, dan lainnya (Seri Buku Tempo, 2012). Mendapatkan
kesempatan pendidikan di Eropa benar-benar membuat pemikiran
Syahrir menjadi terbuka dengan berbagai macam gagasan serta situasi
politik internasional yang sedang terjadi.
Mendapat kabar ada seorang pemuda yang berbakat dan menaruh
perhatian pada keadaan Hindia Belanda, Hatta ketika itu sebagai ketua
PI memanggil Sjahrir untuk membantu pergerakan PI, Sjahrir pun
dipercaya sebagai sekretaris. Sejak itulah hubungan kedua putra asal
Minangkabau tersebut terjalin, hingga menggagas terbentuknya PNI
Baru di tahun 1931 dengan mengedepankan asas kaderisasi partai
melalui pendidikan (Tirtoprodjo, 1996).
Pada tahun 1931, Syahrir memutuskan untuk kembali ke
Indonesia, dan meninggalkan studinya, niat Syahrir adalah untuk terjun
langsung dalam pergerakan bersama tokoh lainnya. Sesampai di
Indonesia ia diminta memimpin PNI Baru pada kongres PNI Baru di
Yogyakarta tahun 1932. Sekembali Hatta pada tahun 1933
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 157
kepemimpinan PNI Baru diserahkan kepadanya. Geliat aktivitas PNI
Baru dan organisasi pergerakan lainnya ternyata mengkhwatirkan
pemerintah, terutama bagi Gubernur Jenderal ketika itu Bonifacius
Cornelis de Jonge. Akhirnya, pada Februari 1934 Sjahrir dan Hatta
ditangkap, dan kemudian pada Desember 1934 mereka bersama tokoh
lain seperti Tjipto Mangunkusumo, Iwa Kusumasumantri
dibuang ke Boven Digoel, dan pada tahun 1936 dipindahkan ke Banda
Neira.
Syahrir dan Hatta menanti selama lima tahun untuk kemudian
dapat bebas ketika Jepang menduduki Hindia Belanda pada tahun
1942. Setelah bebas Syahrir dan Hatta pun bertemu dengan Soekarno.
Pertemuan tersebut ternyata menempatkan mereka untuk memilih jalan
berbeda dalam menghadapi Jepang. Soekarno dan Hatta memilih jalan
berkolaborasi dengan Jepang, sementara Syahrir memilih jalan
perjuangan secara underground dengan membangun basis massa
rakyat. Keputusan Soekarno dan Hatta berkolaborasi dengan Jepang
seringkali menjadi perdebatan yang tidak selesai dalam sejarah bangsa
Indonesia. Mengingat, pada satu sisi mereka menganggap cara
demikian adalah langkah terbaik dan strategis untuk mencapai
kemerdekaan Indonesia tanpa harus berperang melawan Jepang.
Sementara itu, bagi Tan Malaka, termasuk Syahrir, cara demikian
dinilai terlalu lemah dan berbelit. Bagi Tan Malaka musuh harus
dihadapi dengan perlawanan terang-terangan (Kahin, 2013). Namun,
antara Tan Malaka dan Syahrir juga memiliki perbedaan konsepsi,
agaknya Tan Malaka lebih radikal ketimbang Syahrir (Poeze, 2015).
Pasca kemerdekaan 17 Agustus 1945, Indonesia dihadapkan
dengan tantangan besar, yakni mempertahankan status
kemerdekaan dari serangan militer Belanda yang kembali
menancapkan kekuasaannya, serta memenangkan pengakuan dunia
internasional atas kemerdekaan Republik Indonesia melalui
jalan perundingan dan diplomasi. Di antara banyak tokoh, terdapat dua
pandangan yang berbeda dalam penyelesaian tersebut. Tan Malaka
menempatkan perjuangan tanpa perundingan, yang artinya
158 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
kemerdekaan harus diperoleh melalui jalan perlawan. Sementara, bagi
Syahrir dan Hatta menganggap kemerdekaan yang realistis
sesungguhnya hanya bisa dicapai secara bertahap, rapi, dan elegan,
bukan frontal dengan angkat senjata.
Sebagai perdana Menteri yang diangkat pada 14 November 1945,
Syahrir dianggap oleh Belanda sebagai tokoh yang tidak berkolaborasi
dengan Jepang, dengan demikian sikap Belanda pun melunak dan
membuka ruang untuk mengadakan perundingan. Pada tahun 1946
Perundingan Linggarjati dilaksanakan, walau perundingan dirasa
merugikan Indonesia, tetapi bagi Syahrir adalah pintu untuk membawa
sengketa antara Belanda dan Indonesia ke sidang internasional.
Terbukti pada tahun-tahun berikutnya melalui Perjanjian Renville,
Roem Royen, dan Konferensi Meja Bundar telah melibatkan pihak
ketiga sebagai penengah.
Syahrir sebenarnya adalah perdana Menteri yang lihai dalam
berdiplomasi. Kelihaian tersebut akhirnya telah membuka mata dunia
untuk memperhatikan Indonesia yang ketika itu sedang bersengketa.
Perhatian pertama diberikan oleh India, hal ini berkat hubungan yang
dibangun oleh Syahrir, pada 20 Agustus 1946 Indonesia memberi
bantuan beras kepada India yang sedang mengalami krisis pangan. Jasa
baik tersebut kemudian disambut dengan hubungan diplomatis yang
harmonis hingga India membuka pintu bagi Syahrir untuk
memperkenalkan Indonesia melalui Konferensi Hubungan Negara-
negara Asia di New Delhi.
Perjuangan diplomasi Syahrir untuk Indonesia adalah
perwujudan menjaga keutuhan bangsa Indonesia yang baru lahir. Gerak
politics of value yang ditampilkan Syahrir dalam PNI Baru dan
diplomasi politik pasca kemerdekaan merepresentasikan pikiranya
yang rasional. Jalan diplomasi yang dipilih merupakan jalan
perjuangan dalam mengimbangi perlawanan fisik yang digerakkan oleh
Jenderal Soedirman dan Tan Malaka.
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 159
D. Refleksi
Dewasa ini Indonesia sedang dihadapkan dengan krisis nasional
yang bersifat multidimensional. Jika tidak diperhatikan hal ini akan
menjadi faktor pemicu bagi munculnya disintegrasi bangsa.
Sesungguhnya persoalan tersebut merupakan warisan strategi pecah
belah Belanda yang hingga saat ini masih ter(di)wariskan oleh bangsa
Indonesia. Selama menjajah Indonesia, ternyata Belanda telah
membangun narasi-narasi propokatif yang ternyata telah membangun
sikap kecurigaan antar kelompok masyarakat. Munculnya reaksi protes
daerah berupa gerakan separatis, dan konflik horizontal yang
dilatarbelakangi oleh persoalan etnisitas menjadi masalah rentan yang
selalu dihadapi oleh bangsa Indonesia.
Tidak berlebihan untuk mengatakan terdapat banyak persoalan
di tengah masyarakat yang belum tertangani dengan baik, dari
persoalan pembangunan yang belum merata di banyak daerah,
kesejahteraan sosial, hingga pada persoalan hukum yang masih
dipandang belum menjamin rasa keadilan. Sementara itu, usaha untuk
menuju perbaikan masih dirasakan “masih jauh panggang dari api”.
Keadaan demikian dapat dimaklumi mengingat Indonesia adalah
negara besar dengan jumlah penduduk hingga 260 juta jiwa lebih.
Dengan demikian, adalah konsekuensi logis bagi Indonesia untuk
selalu menghadirkan jawaban dan solusi atas persoalan yang muncul,
hingga terbangunnya harmonisasi dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Sebenarnya founding fathers bangsa telah meletakkan
pandangan dan dasar-dasar kehidupan berbangsa yang jauh kedepan,
melalui rajutan identitas yang mengakar dalam budaya Nusantara.
Identitas tersebut melintasi sekat-sekat sektoral budaya, suku, dan ras.
Melalui semangat “Bhineka Tunggal Ika” maka perwujudan Indonesia
yang satu dalam keberagaman terbangun dalam identitas yang beragam
tersebut. Founding fathers sesungguhnya telah memikirkan Indonesia
kedepan merupakan negara yang besar, oleh sebab dalam
perjuangannya mereka menghadirkan narasi-narasi besar tentang
160 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
merawat persatuan, yang berkenaan dengan semangat tolerasi,
bergotong royong, dan keadilan sosial.
Pada dasarnya terdapat peluang besar bagi para founding
fathers untuk tidak bersatu dan tidak memikirkan persoalan persatuan
Indonesia, mengingat perbedaan kultur yang ada di antara mereka
menjadi faktor utama untuk membangun semangat etnosentris tersebut.
Namun, pikiran sempit tersebut telah ditepis oleh mereka melalui ide
dan gagasan besar untuk merajut persatuan bangsa. Berasal dari tempat
dan budaya yang berbeda tidak membuat mereka harus berpikir dalam
ruang budaya yang sempit, faktor-faktor pendidikan telah mengilhami
sekaligus menyadari mereka akan pentingnya persatuan di atas
keberagaman bangsa. Beberapa orang tokoh Minangkabau ikut serta
dalam membangun narasi besar tersebut, diantaranya Mohammad
Hatta menempatkan persatuan Indonesia untuk semua etnis dan agama,
baginya kemerdekaan harus diisi melalui peran semua komponen
bangsa. Syahrir melalui politic of value memandang persatuan bangsa
adalah hal penting agar kemerdekaan sejati dapat diraih. Sementara itu,
Haji Agus Salim menempatkan ruh agama sebagai kekuatan yang
melandasi perjuangan menuju cita-cita kemerdekaan. Sudah
sewajarnya buah pikir mereka diwariskan untuk menjawab tantangan
disruption yang melanda Indonesia dan dunia saat ini.
Daftar Pustaka
Adams, C. (2007). Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Jakarta: Yayasan Bung Karno.
Ahmad, T. A. (2016). Sejarah Kontroversial di Indonesia (Perspektif
Pendidikan). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Anderson, B. (2017). Revoloesi Pemuda. Dalam B. T. Wardaya (Ed.),
Membangun Republik (hlm. 45–90). Yogyakarta: Penerbit
Galangpress.
Asnan, G. (2007). Memikir Ulang Regionalisme Sumatera Barat Tahun
1950-an. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 161
Bertrand, J. (2012). Nasionalisme dan Konflik Etnis di Indonesia.
Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Boedi, T. S. (2016). Resolusi Konflik Agama Di Pulau Ambon. Jurnal
Ketahanan Nasional, 14(3), 51–60.
https://doi.org/10.22146/jkn.22305
Cipto, B. (2003). Gerakan Separatis Dan Dampaknya Terhadap
Pengembangan Demokrasi. Jurnal Fakultas Hukum UII,
XXVI(47), 89137.
Cribb, R., & Kahin, A. (2012). Kamus Sejarah Indonesia (G. Triwira,
Penerj.). Depok: Komunitas Bambu.
Hatta, M. (2014). Demokrasi Kita: Pikiran-pikiran Tentang Demokrasi
dan Kedaulatan Rakyat. Bandung: Sega Arsy.
Hatta, M. (2018). Berjuang dan Dibuang: Untuk Negeriku (Sebuah
Otobiografi). Jakarta: Kompas.
Hatta, M., Subarjo, A., Maramis, A. A., Sunario, & Pringgodigdo, A.
G. (1980). Uraian Pancasila. Jakarta: Mutiara.
Hidayat, F. (2018, Januari 23). Ini Daerah Rawan Konflik di Pilkada
2018 Versi Mendagri. Diambil 29 Oktober 2019, dari
Detiknews website: https://news.detik.com/berita/d-
3829909/ini-daerah-rawan-konflik-di-pilkada-2018-versi-
mendagri
Ikrar Nusa Bhakti, & Natalius Pigay. (2019). Menemukan Akar
Masalah dan Solusi Atas Konflik Papua: Supenkah? IKRA-ITH
HUMANIORA.
Kacung Marijan. (2019). Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi
Demokrasi Pasca Orde Baru. Jakarta: Kencana.
Kahin, G. (1980). In Memoriam: Mohammad Hatta, (1902-1980).
Southeast Asia Program Publications at Cornell University,
(30), 112–119.
Kahin, G. (2013). Nasionalisme dan Revolusi Indonesia (Tim
Komunitas Bambu, Penerj.). Depok: Komunitas Bambu.
Korwa, R. (2013). Proses Integrasi Irian Barat ke dalam NKRI. Jurnal
Politico, 2(1). Diambil dari
162 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/politico/article/view/156
7
Latif, Y. (2017). Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan
Aktualitas Pancasila. Jakarta: Gramedia.
Lombard, D. (2018). Nusa Jawa: Silang Budaya. Jakarta: Gramedia.
Ma’rif, A. S. (2013). Diplomat Jenaka Penopang Republik. Majalah
Tempo, 12.
merdeka.com. (2017, Oktober 4). Rekonsiliasi kultural Jawa-Sunda
dalam peristiwa Perang Bubat. Diambil 29 Oktober 2019, dari
Merdeka.com website:
https://www.merdeka.com/peristiwa/rekonsiliasi-kultural-jawa-
sunda-dalam-peristiwa-perang-bubat.html
Nasikun. (2011). Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Nugraha, R. C., & Winarti, M. (2018). Kiprah Devisi Siliwangi dalam
Menghadapi Pemberontakan PKI Madiun Tahun 1948. Factum:
Jurnal Sejarah dan Pendidikan Sejarah, 7(2), 215–226.
Patji. (2003). Tragedi Sampit 2001 dan Imbasnya ke Palangkaraya
(Dari Konflik ke (Re)konstruksi). Jurnal Masyarakat dan
Budaya, 5(2). Diambil dari
http://jmb.lipi.go.id/index.php/jmb/article/view/249
Poeze, H. (2015). Kerjasama Singkat Tan Malaka dan Sjahrir. Dalam
Tan Malaka dan Sjahrir dalam Kemelut Sejarah. Bandung:
Sega Arsy.
Reid, A. (2012). Sumatera: Revolusi dan Elite Tradisional. Depok:
Komunitas Bambu.
Ricklefs, M. C. (2008). Sejarah Indonesia Modern (Tim Serambi,
Penerj.). Jakarta: Serambi.
Saafroedin Bahar, Ananda B. Kusuma, & Nannie Hudawati (Ed.).
(1995). Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) & Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Jakarta: Sekretariat
Negara Republik Indonesia.
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 163
Seri Buku Tempo. (2012). Bapak Bangsa; Sjahrir, Peran Besar Bung
Kecil. Jakarta: Tempo.
Sobandi, K. R. (2016). Separatisme di Asia Tenggara: Antara Penguasa
dan Gerakan Nasionalis Kelompok Minoritas. Jurnal Kajian
Wilayah, 2(1), 35–55. https://doi.org/10.14203/jkw.v2i1.320
Sultan Hamengku Buwono X. (2008). Merajut Kembali Keindonesiaan
Kita. Jakarta: Gramedia.
Suryani, D. (2016). Konflik dan Resolusi Konflik: Perbandingan di
Sambas dan Sampit. Jurnal Penelitian Politik, 16.
Suryohadiprojo, S. (2001). Integrasi Bangsa. Jurnal Ketahanan
Nasional, 6(2). Diambil dari http://i-
lib.ugm.ac.id/jurnal/detail.php?dataId=2988
Suwarno. (2012). Sejarah Politik Indonesia Modern. Yogyakarta:
Penerbit Ombak.
Syamdani. (2009). PRRI: Pemberontakan atau Bukan? Yogyakarta:
MedPress.
Tirtoprodjo, S. (1996). Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia.
Jakarta: PT. Pembangunan Jakarta.
Utomo, I. N. (2018). PENDIDIKAN DALAM PEMIKIRAN
MOHAMMAD HATTA. Ilmu Sejarah - S1, 3(1). Diambil dari
http://journal.student.uny.ac.id/ojs/ojs/index.php/ilmu-
sejarah/article/view/12061
Widjajadi, A. W. (2018). Perjumpaan dan Perpisahan Dwitunggal
Sukarno-Hatta. Diambil 28 Oktober 2019, dari Tirto.id website:
https://tirto.id/perjumpaan-dan-perpisahan-dwitunggal-sukarno-
hatta-cDYp
www.tionghoa.info. (2015, Mei 9). Korban Mei 1998: Mengapa Harus
Perempuan Tionghoa? | Tionghoa.INFO - Tradisi dan Budaya
Tionghoa. Diambil 29 Oktober 2019, dari
https://www.tionghoa.info/korban-mei-1998-mengapa-harus-
perempuan-tionghoa/
Zuhdi, S. (2017). Integrasi Bangsa dalam Bingkai Keindonesiaan.
Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
164 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
==(11)==
PENDIDIKAN ANTI KORUPSI AKAR MASALAH
DAN SOLUSI1
Warsono
Dosen PMPKn FISH Universitas Negeri Surabaya
A. Pendahuluan
Korupsi merupakan penyakit yang menggerogoti kesejahteraan
suatu bangsa. Dana yang seharusnya dipakai untuk pembangunan
dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, dikorup oleh pejabat
yang hanya mementingkan dirinya sendiri atau kelompoknya. Oleh
karena itu, selama ada korupsi, maka pembangunan tidak akan
berjalan. Begitu juga sebaliknya, selama pejabat terutama kepala
daerah tidak melakukan korupsi maka pembangunan di daerah tersebut
berjalan dengan baik. Dengan pembangunan, akan muncul lapangan
kerja, sehingga pendapatan masyarakat bisa ditingkatkan.
Memang dalam lima tahun ini upaya peningkatan indek persepsi
korupsi yang dilakukan oleh pemerintah bisa dikatakan cukup berhasil.
Hal ini ditandai dengan peningkatan peringkat dan skor dari tahun
2012 sampai tahun 2017. Pada tahun 2017 Indonesia berada pada
peringkat 96 dari 180 negara dengan skor 37. Pada tahun 2012
Indonesia berada pada peringkat di atas seratus, dengan skor 32. Di
kawasan negara asean IPK Indonesia memang berada di atas Philipna,
Vietnam, dan Kambojo, namun masih berada di bawah Malaysia, dan
Thailan.
1 Makalah disampaikan dalam seminar Nasional tentang Pendidikan Anti Korupsi
yang dilaksanakan di Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Malang, pada hari Sabtu tanggal 27 Oktober 2018.
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 165
Meskipun indek persepsi korupsi (IPK) di Indonesia terus
meningkat, namun korupsi di Indonesia masih sangat memprihatinkan.
Indek persensi anti korupsi (IPAK) justru menurun dari 3,71 pada
tahun 2017 menjadi 3,66 pada tahun 2018 (sumber
http://databoks.katadata.co.id). Semakin rendah IPAK semakin rendah
perilaku anti korupsi. Fenomena yang terjadi di DPRD Kota Malang
dan beberapa kepala daerah yang tertangkap OTT KPK, termasuk
beberpa kepala daerah yang berjenis kelamin perempuan
mengindikasikan bahwa korupsi sudah menjadi budaya, dan dilakukan
oleh semua lapisan serta golongan. Partai politik yang berkaitan
dengan agamapun tidak mampu membebaskan kadernya dari perilaku
korupsi. Masih banyak elit politik yang terjerat kasus korupsi berasal
dari partai politik yang berbasis Islam. Agama sebagai sumber
moralitas seakan tidak berdaya untuk mencegah terjadinya korupsi.
Sebenarnya Indonesia telah memiliki instrumen untuk
membentuk karakter yang diharapkan bisa mencegah perilaku korup.
Secara formal, ada dua instrumen untuk membentu karakter, yaitu
pendidikan agama dan Pancasila. Semua warga negara tentu telah
memperoleh pendidikan agama maupun Pancasila, karena keduanya
masuk kedalam kurikulum wajib di sekolah, mulai dari sekolah dasar
(SD) sampai ke perguruan tinggi (PT). Agama sebagai pandangan
hidup dan sumber moral tidak membolehkan adanya korupsi. Tidak
ada agama yang dianut di Indonesia yang mengajarkan atau
membolehkan korupsi. Bahkan dalam ajaran agama perilaku korupsi
merupakan dosa, yang bisa menghantarkan manusia masuk neraka.
Sedangkan pendidikan Pancasila dimaksudkan untuk
membentuk warga negara yang baik, yang patuh terhadap hukum,
mampu memahami dan mangamalkan nilai-nilai Pancasila sebagai
pandangan hidup. Dengan demikian, pendidikan Pancasila secara
langsung atau tidak langsung membentuk sikap anti korupsi, karena
korupsi bukan hanya melanggar hukum, tetapi juga bertentangan
dengan nilai-nilai Pancasila. Namun kedua Instrumen tersebut belum
mampu membentuk karakter dan moral bangsa dan tidak mampu
166 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
mencegah perilaku korup. Perilaku korup justru lebih banyak dilakukan
oleh mereka yang berpendidikan tinggi, yang berarti lebih banyak
(lama) memperoleh pendidikan agama dan Pancasila.
B. Akar dari perilaku korusi
Yang perlu kita cari adalah apa yang menyebabkan terjadinya
korupsi. Begitu kuatnya dorongan untuk melakukan korupsi, sampai
agamapun seakan tidak berdaya mencegahnya. Ada beberapa faktor
yang menjadi pendorong terjadinya perilaku korupsi, dianataranya
adalah sistem demokrasi, pemahaman masyarakat tentang demokrasi
yang masih rendah atau tidak utuh, dan karakter yang buruk dari
seorang pejabat.
Pertama, sistem demokrasi secara tidak lansung menjadi
pendorong perilaku korupsi. Beaya politik di Indonesia yang harus
ditanggung oleh calon maupun partai politik pendukung calon cukup
besar. Beaya tersebut antara lain untuk kampanye, pembuatan alat
peraga kampanye (APK), membayar saksi. Partai politik yang tidak
memiliki dana cukup besar biasanya akan mengalami kesulitan untuk
mengusung kadernya yang tdak memiliki dana (miskin) untuk
dicalonkan menjadi kandidat dalam proses politik. Oleh karena itu,
meskipun banyak partai politik yang berhak ikut dalam pemilu, tidak
semuanya bisa mengajukan calon dalam pemilu, khususnya dalam
pilpres maupun pilkada.
Wacana mahar politik yang sering terdengar namun juga
seringkali diingkari oleh para pemimpin partai, sebenarnya merupakan
realita yang tidak bisa dielakan, karena untuk mengusung calon dalam
pilkada maupun pilpres membutuhkan dana yang besar. Dana yang
dibutuhkan untuk membayar saksi dengan asumsi setiap orang seratus
ribu rupiah, dengan jumlah TPS 546 ribu bisa mencapai sekitar 54,6
milyard. Menurut Arif Budiman ketua KPU, untuk pilpres tahun 2019
jumlah TPS bisa mencapai 780 ribu. Ini berarti dana yang digunakan
untuk membayar saksi akan lebih besar dibanding dengan pemilu tahun
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 167
sebelumnya. Belum lagi anggaran untuk membuat APK. Dengan
luasnya wilayah Indonesia tentu butuh dana besar untuk kampanye
maupu pembuatan APK.
Pertanyaannya adalah siapa yang harus menyediakan dana
tersebut?. Sudah tentu dana tersebut sebagian harus ditanggug oleh
calon dan partai politik. Jika ada sumbangan dari kelompok pengusaha
tentu tidak gratis. Semuanya akan diperhitungkan ketika calon nanti
menang dan sudah menduduki jabatan. Oleh karena itu, calon yang
menang dan sudah menduduki jabatan seringkali terpaksa melakukan
korupsi untuk membayar ‘hutang” dana pada saat pemilihan. Hal ini
bisa menjadi pendorong terjadinya tindak pidana korupsi.
Kedua, dalam masyarakat yang belum cerdas, dan belum
berdaya secara ekonomi, sistem demokrasi bisa menjadi faktor
terjadinya korupsi. Rakyat yang memiliki kedaulatan atas negara,
karena ketidakpahamannya justru “menjual” kedaulatannya. Mereka
terjebak kedalam cara berpikir yang sangat pragmatis, dengan
“menjual” hak suaranya. Hal ini yang kemudian dimanfaatkan oleh
mereka yang haus akan jabatan untuk melakukan politik uang.
Apa yang dilakukan oleh warga negara dalam proses demokrasi
sangat dipengaruhi oleh pengetahuan, keyakinan, dan keinginan
mereka (Rosenberg,2008:34-35). Sebagai contoh orang yang ingin
sehat, dan ia mengetahui dan percaya bahwa olah raga itu
meyehatkan, maka dia akan melakukan olah raga. Ketika seseorang
mengetahui bahwa pemilu itu pesta demokrasi, dan mereka ingi
memperoleh bagian dari pesta tersebut, karena mereka tidak yakin
bahwa siapapun yang terpilih tidak akan berdampak kepada kehidupan
dirinya, maka mereka akan cederung bertindak pragmatis dengan
menerima politik uang.
Politik uang yang dilakukan calon pejabat untuk “membeli” suara
rakyat dalam proses demokrasi memberi peluang terjadinya korupsi.
Pejabat yang sudah mengeluarkan banyak dana untuk “membeli” suara
168 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
rakyat sulit untuk tidak melakukan korupsi dalam rangka pengembalian
modalnya.
Beaya politik tersebut menjadi semakin mahal, ketika rakyat juga
tidak peduli dan apatis terhadap proses demokrasi. Ketikdakpedulian
ini bisa dilihat dari tingkat partisipasi rakyat dalam pemilu. Dalam
sejarah demokrasi di Indonesia tingkat partisipasi politik tertinggi
terjadi pada masa awal orde baru, yaitu pada tahun 1971 yang
mencapai angka 96,6 %, terlepas ada tidaknya mobilisasi politik.
Kemudian sejak reformasi partisipasi politik justru terus menurun,
sedangkan golput justru semakin meningkat. Pada pilpres tahun 2009
partisipasi politik hanya mencapai 71,7 dan angka golput mencapai
28,3% (http://www.merdeka.com). Pada pilpres tahun 2014 partisipasi
politik menurun menjadi 69,68%, sedangkan golput meningkat
menjadi 30,42%. Ini tentu merupakan hal yang sangat ironis, karena
ketika rakyat diberi kebebasan dan hak politik justru partisipasi
politiknya semakin menurun dan golputnya semakin meningkat.
Ada kesalahan pemahanan sebagian besar rakyat terhadap
makna pemilu sebagai bagian dari proses demokrasi. Pemilu sering
dimaknai sebagai pesta demokrasi. Terminologi ini bisa membawa
implikasi psikolgis bahwa mereka harus memperoleh sesuatu yang bisa
dinikmati secara langsung, sehingga mereka tidak mau datang ke
tempat pemunguntan suara (TPS), jika tidak ada iming-iming yang
akan diterima. Mereka menganggap memilih adalah hak, sehingga
mereka bisa saja tidak menggunakan haknya, jika dianggap tidak
memberi keuntungan secara pribadi dan sesaat. Pemahaman seperti ini
juga berkontribusi terhadap tindak pidana korupsi, karena ada politik
uang.
Hasil survey saya terhadap para mahasiswa menunjukan bahwa
sebagian besar (95%) mahasiswa tidak memahami demokrasi dan
pemilu secara mendasar. Esensi pemilu untuk menentukan masa
depaan bangsa melalui pemilihan pemipim (untuk pilpres dan pilkada)
dan wakil rakyat (pileg) tidak banyak dipahami oleh para mahasiswa.
Bahkan mereka juga terjebak pada cara berpikir yang pragmatis yang
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 169
melihat kepentingan sesaat dan untuk kepentingannya sendiri. Kondisi
seperti ini sangat rawan terhadap politik uang, yang bisa menjadi
penyebab terjadinya korupsi.
Ketiga, karakter atau mental penerabas. Koentjaraningrat telah
sejak lama mengingatkan adanya mental penerabas dalam budaya
masyarakat Indonesia. Mental penarabas merupakan cara pandang
dan kebiasaan untuk memperoleh sesuatu dengan menghalalkan segala
cara. Mental penerabas merupakan mental yang lebih banyak
berorientasi kepada materi dan duniawi. Kita sering menyaksikan ada
orang yang begitu memperoleh suatu jabatan lalu bersujud syukur dan
bersuka ria, tetapi ada juga yang ketika diberi jabatan dengan sedih dan
mengucapkan innalilahi wa innailaihi rojiun. Dua sikap tersebut
karena paradigma yang berbeda, yang satu berorientasi kepada
duniawi (kekuasaan) dan yang satunya berorientasi kepada akhirat
(relegius dan amanah). Yang orieentasi duniawi (kekuasaan) bermotif
untuk memperoleh sesuatu, sedangkan orientasi akhirat (relegius)
bermotif untuk memberi dan tanggung jawab (amanah).
Keduanya membawa konsekwensi yang berbeda. Bagi mereka
yang bersujud dan bersuka ria, memandang jabatan sebagai suatu
kekuasaan yang memberi kewenangan untuk berbuat. Sedangkan
mereka yang mengucapkan innalilahi wa innailaihi memandang jabatan
sebagai amanah, yang harus dilaksanakan dan dipertanggungjawabkan
dengan baik.
Mereka yang memandang jabatan sebagai kekuasaan akan
berusaha memperoleh dengan berbagai cara, termasuk menggunakan
politik uang, karena dengan memiliki jabatan mereka akan memiliki
kewenangan untuk melakukan sesuatu. Dengan kewenangan yang
dimiliki, pejabat bisa membuat kebijakan sesuai dengan kehendaknya,
termasuk dijualbelikan. Banyak pejabat yang tertangkap KPK karena
diduga terlibat dalam kasus jual beli jabatan, seperti yang sedang
disangkakan kepada Taufiqurrahman bupati Nganjuk. Beliau disangka
telah memperjualbelikan jabatan kepala dinas di lingkunga kabupaten
Nganjuk. Yang menarik adalah banyak juga orang yang mau
170 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
“membeli” jabatan tersebut, karena ingin memiliki kewenangan yang
bisa digunakan untuk memperkaya diri alias korupsi.
Selain dijual, jabatan juga bisa dibagi-bagi kepada sanak saudara,
sehingga muncul istilah korupsi kolusi dan nepotisme (KKN).
Pembagian jabatan kepada sanak saudara bisa menimbulkan dinasti
politik yang sangat rawan terhadap tindak korupsi. Korupsi yang
terjadi di berbagai daerah salah satunya juga disebabkan adanya dinasti
politik, karena terjadi akumulasi kekuasaan. Jika Lord Acton
menyebutkan bahwa power tend to corrup. Apa yang dikatakan oleh
Acton tersebut tidak hanya berlaku pada masa jabatan yang panjang,
tetapi juga dalam bentuk akumulasi jabatan pada keluarga (dinasti
politik). Maka pengumpulan kekuasaan kepada banyak orang dalam
suatu keluarga juga cenderung korup. Misal, ketika seorang kepala
daerah kemudian menjadikan saudaranya sebagai ketua DPRD, dan
anaknya menjadi salah satu pejabat di pemerintahan, potensi tindak
penyelahgunaan kekuasaan sangat tinggi. Hal ini juga telah terbukti di
berbagai daerah, seperti yang terjadi di Propinsi Tanggerang, dan
Kabupaten Klaten jawa Tengah. Oleh karena itu ada upaya untuk
menghindari terjadinya dinasti politik.
KKN juga berdampak kepada kinerja pejabat kurang baik, karena
tidak didasarkan kepada kompetensi, tetapi lebih didasarkan kepada
siapa yang memliki uang atau loyalitas. Kompetensi menjadi
pertimbangan yang ke sekian dalam memilih seorang pejabat, yang
penting ada uang atau memiliki loyalitas yang tinggi, sehingga bisa
saling melindungi jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
Bagi yang memandang jabatan sebagai amanah, kalau bisa
berusaha menghindar, karena melihat beratnya tanggugjawab yang
harus diemban. Bagi mereka, jabatan adalah suatu yang harus
dipertanggungjawabkan, bukan hanya dihadapan bangsa dan negara,
tetapi juga kepada Tuhan Yang Esa. Oleh karena itu, dalam setiap
pengangkatan seorang menjadi pejabat ada pelantikan. Salah satu hal
yang ada dalam pelantikan adalah adanya sumpah jabatan. Para pajabat
yang dilantik harus mengucapkan sumpah di bawah kitab suci. Salah
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 171
satu subtansi sumpah adalah bahwa adanya pertanggungjawaban
terhadap Tuhan Yang Maha Esa, karena Tuhan menyaksikan dan tahu
apa yang nampak dan yang ada di dalam hati pejabat.
Sumpah dalam pelantikan seharusnya menjadi pengendali diri
dari setiap pejabat yang baru diangkat, agar dalam menduduki jabatan
bukan hanya kekuasaan semata yang dipandang, tetapi juga
mengemban suatu amanah untuk kepentingan bangsa dan negara.
Sumpah ini juga merupakan salah satu prasyarat atas kewenangan yang
dimiliki oleh pejabat. Dalam pemerintahan, kasus ini pernah dialami
oleh Anggito Abimanyu. Meskipun yang bersangkutan telah memiliki
surat keputusan sebagai seorang menteri, tidak bisa memiliki
kewenangan karena tidak jadi dilantik.
Mereka yang memandang jabatan sebagai amanah tidak akan
membagi jabatan kepada sembarang orang yang tidak kompeten,
termasuk kepada sanak saudaranya, karena takut tidak mampu
mengemban amanah tersebut. Mereka juga tidak berani
memperjualbelikan jabatan karena takut dosa. Meskipun mereka
memiliki kekuasaan untuk mengangkat pejabat, tetapi harus
mempertanggungjawabkannya dihadapan Allah sesuai dengan sumpah
yang diucapkan. Sebagai amanah, mereka akan memberikan jabatan
kepada orang yang memiliki kompetensi, sehingga mampu
melaksanakan apa yang ditugaskan dengan baik. Disinilah berlaku
pameo, jika suatu pekerjaan tidak diberikan kepada ahlinya, maka
tinggal menunggu kehancuran.
Apakah dua paradigma tersebut bisa disatukan dalam arti jabatan
dipandang sebagai kekuasaan dan sekaligus amanah?. Jawabannya
bisa ya bisa tidak, sangat terhgantung kepada karakter orangnya. Bagi
mereka yang memandang jabatan adalah amanah akan menggunakan
kekuasaannya dengan dilandasi oleh pertanggunganjawaban bukan
hanya kepada bangsa dan negara, tetapi juga kepada Tuhan Yang Maha
Esa, sehingga tidak berani menyalahgunakan untuk kepentingan diri
sendiri, kelompok atau golongannya. Sumpah yang diucapkan saat
172 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
pelantikan akan mendorong orang menggunakan kekuasaannya untuk
kepentingan bangsa dan negara, karena takut dosa.
Tetapi bagi mereka yang tidak memandang jabatan sebagai
kekuasaan, akan cenderung mengabaikan sumpah jabatan, sehingga
tanggungjawab moral terhadap Tuhan menjadi kabur. Memang tidak
mudah untuk menyatukan dua paradigma tersebut. Jabatan tidak hanya
membutuhkan kompetensi, tetapi juga membutuhkan moralitas.
Mencari orang-orang yang amanah memang tidak mudah, apalagi
orang yang memiliki kompetensi dan amanah tentu lebih sulit. Jabatan
yang tidak disertai dengan moralitas akan cenderung mengarah kepada
penyalahgunaan kekuasaan. Oleh karena itu, kekuasaan harus dikontrol
oleh moralitas, agar tidak disalahgunakan apalagi dijualbelikan.
Munculnya berbagai penyalahgunaan kekuasaan dan tindak
korupsi yang dilakukan oleh para pejabat negara diantaranya
disebabkan jabatan bukan dipandang sebagai amanah, tetapi lebih
dimaknai sebagai kekuasaan, yang memberi kewenangan untuk
melakukan suatu tindakan. Sumpah yang diucapkan pada saat
pelantikan tampaknya tidak lagi menjadi kekuatan moral yang selalu
membimbing dan menerangi setiap langkah yang diambil oleh pejabat,
tetapi hanya dipandang sebagai ritual belaka. Orientasi materi dan
keduniawian lebih mengedepan dari pada orientasi akhirat dan
kepentingan bangsa dan negara.
Keempat, yang mendorong perilaku korupsi adalah sikap
munafik. Adanya sikap munafik di masyarakat Indonesia juga sudah
disampaikan oleh Mucthar Lubis. Sikap munafik bersumber dari
ketidakjujuran kepada diri sendiri, maupun kepada orang lain dan
Tuhan. Sikap munafik ini akan semakin memberi kontribusi terhadap
perilakuk korupsi jika bergandengan dengan mental penerabas. Para
koruptor, pada umumnya selain memiliki mental penerabas juga
munafik. Selah satu perwujudan sikap munafik adalah dalam bentuk
gaya hidup. Memang tidak semua gaya hidup berkaitan dengan
kemunafikan, tetapi gaya hidup yang berlebihan dan tidak sesuai
dengan kenyataan merupakan wujud kemunafikan.
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 173
Ketika seseorang menduduki suatu jabatan, kemudian merubah
gaya hidup, dengan alasan untuk menyesuaikan dengan jabatannya.
Padahal jabatan tidak ada hubugannya dengan gaya hidup. Jabatan
merupakan status yang diberi kepada seseorang untuk melaksanakan
suatu tugas tertentu, sehingga yang dibutuhkan adalah kompetensi,
bukan gaya hidup. Oleh karena itu, jabatan sebenarnya tidak ada
kaitannya dengan gaya hidup. Jabatan berkaitan dengan peran (role)
dan tanggungjawab seseorang. Namun serinkali, orang setelah
menduduki jabatan merubah gaya hidupnya.
Banyak koruptor yang sebagian uangnya untuk memenuhi gaya
hidup yang tidak sesuai dengan kondisi yang sebenarnya. Barang-
barang mewah, seperti: mobil, jam tangan, tas, dan berbagai asesoris
untuk menunjang gaya hidup banyak ditemukan sebagai alat bukti
tindak pidana korupsi. Sikap munafik yang bersumber dari
ketidakjujuran terhadap diri sendiri juga menjadi penyebab terjadinya
korupsi.
C. Dampak dari korupsi
Dampak korupsi bukan hanya kemiskinan, tetapi juga
ketimpangan sosial yang bisa mengarah kepada konflik sosial. Korupsi
merupakan ketidakadilan, karena terjadi pengalihan uang negara
kepada seseorang atau sekelompok orang. Uang negara yang
seharusnya untuk pembangunan dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan rakyat, justru dikorup (diambil) oleh pejabat yang tidak
bermoral dan bertanggungjawab untuk memperkaya diri sendiri atau
kelompoknya. Akibatnya pembangunan tidak bisa berjalan
sebagaimana yang diharapkan. Oleh karena itu, pembangunan bisa
dijadikan indikator adanya tindak korupsi. jika suatu daerah banyak
korupsinya, maka pembangunannya tidak akan berjalan, atau hasil
pembangunannya tidak baik. Atau jika suatu daerah tidak ada
pembangunan, bisa diduga terjadi korupsi.
174 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
Korupsi juga menyebabkan kemiskinan. Selama ada korupsi
pembangunan akan terhambat, dan hasilnya tidak optimal bahkan
mangkrak, seperti kasus Hambalang. Mangkraknya pembangunan
karena kasus korupsi, telah menyebabkan tidak optimalnya dana
negara. Dana yang diharapkan bisa segera bisa memberi manfaat
kepada masyarakat, menjadi sia-sia tidak berguna. Padahal
pembangunan dimaksudkan untuk membuka lapangan kerja dan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan tidak adanya
pembangunan, maka pendapatan masyarakat bisa menurun, karena
lapangan kerja tidak ada. Korupsi yang terjadi di daerah-daerah,
menyebabkan pembangunan tidak merata di semua wilayah. Akibatnya
terjadi ketimpangan sosial yang bisa memicu terjadinya konflik secara
horisontal.
Korupsi juga bisa merusak mental generasi muda, terutama anak-
anak. Tindak pindana korupsi yang marak diberitakan di media
massa, memberi image bahwa korupsi sudah merupakan hal biasa
(menjadi budaya), yang “boleh” dilakukan siapa saja. Pada awal
reformasi pada era pemerintahan Gus Dur, Gus Mus pernah
menyampaikan bahwa salah satu pelajaran yang berhasil ditanamkan
oleh Soeharto adalah korupsi. Hal ini terbukti, setelah reformasi,
korupsi semakin marak dilakukan bukan hanya di pusat, tetapi juga
dilakukan di daerah-daerah kabuputen dan kota, bahkan sampai ke
institusi yang paling bawah yaitu kecamatan dan kelurahan. Korupsi
juga tidak hanya dilakukan oleh mereka yang tua, tetapi juga banyak
dilakukan oleh mereka yang masih muda.
D. Pendidikan Anti Korupsi
Mengingat akar perilaku korupsi di Indonesia adalah sistem
pemilu, ketidakpahaman masyarakat tentang demokrasi, dan karakter
seseorang, untuk mengatasi atau mencegah perilaku korupsi tidak
cukup hanya dilakukan melalui pendidikan sekolah saja, tetapi juga
pendidikan di keluarga dan perubahan terhadap sistem pemilu.
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 175
Perlu dicari sistem yang lebih efisien dalam proses pemilu,
khususnya pilpres, dan pilkada. Upaya untuk mencegah perilaku
korupsi yang ditimbulkan oleh beaya politik yang tinggi, sudah
dilakukan dengan menggabungkan pelaksanaan piplpres, pileg dan
pilkada. Paling tidak dana yang dibutuhkan untuk penyelenggaran
pemilu bisa dikurangi, karena dilakukan dalam waktu yang bersamaan.
Anggaran pemilu masih bisa ditekan lagi jika sistem pemilu
menggunakan teknologi informasi (electronic voting), sehingga tidak
membutuhkan saksi maupun tempat pemungutan suara. Namun e-
voting mensyaratkan masyarakat yang terdidik dan paham teknologi.
Persoalan yang mendasar penyebab korupsi adalah pemahaman
masyarakat tentang demokrasi dan karakter. Tentu ini harus diatasi
melalui pendidikan. Rendahnya pengetahuan atau kesalahan
pemahaman tentang demokrasi bisa diatasi melalui pendidikan di
sekolah. Sebenarnya, salah satu tugas partai politik adalah melakukan
pendidikan politik. Namun dalam kenyataannya, partai politik jarang
yang melakukan pendidikan politik untuk meningkatkan pemahaman
konstituennya tentang sistem politik dan demokrasi yang berlaku di
Indonesia. Mereka sibuk mengurus dirinya sendiri, dan merebut
kekuasaan.
Sementara, pendidikan politik di sekolah maupun di perguruan
tinggi tidak terstruktur, dalam arti masuk ke dalam kurikulum.
Pendidikan politik di sekolah biasanya dititipkan dalam matapelajaran
Pkn atau pendidikan Pancasila. Di perguruan tinggi, kecuali jurusan
atau prodi ilmu politik, pendidikan politik bagi mahasiswa hanya
melalui matakuliah pendidikan Pancasila. Dan ini sangat tergantung
kepada dosennya, karena tidak ada bahasan khusus tentang sistem
demokrasi dan pemilu dalam matapelajaran PKn maupun matakuliah
pendidikan Pancasila. Apakah dosennya memasukan materi bagaimana
mencegah korupsi melalui sistem demokrasi sebagai pokok bahasan
atau tidak, tergantung pada minat dan kompetensi dosen. Selain itu,
juga apakah semua dosen pendidikan Pancasila memiliki pemahaman
yang luas dan mendalam tentang sistem politik dan demokrasi.
176 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
Dalam kenyataannya, tidak semua dosen pendidikan Pancasila
memiliki latar belakang dan pengetahuan yang cukup untuk membahas
sistem politik dan demokrasi secara luas dan mendalam, apalagi
sampai ke kajian filosofis. Faktor ini menyebabkankan pemahaman
mahasiswa tentang demokrasi sangat bervariasi dan kadang tidak
mendalam. Padahal ketidakpahaman tentang demokrasi merupakan
salah satu penyebab terjadinya tidak pidana korupsi, sebagaimana
diurakan di atas. Oleh karena itu, kalau kita ingin mencegah atau
paling tidak mengurangi tindak pindana korupsi, ketidak pahaman atau
kesalahan dalam memahami demokrasi yang terjadi di masyarakat
harus diluruskan.
Perlu adanya pendidikan politik di sekolah maupun di perguruan
tinggi, baik secara otonomon (berdiri sendiri) atau diintegrasikan pada
matapelajaran atau matakuliah Pkn atau pendidikan Pancasila, mulai
di sekolah menengah atas. Selian itu, perlu ada jaminan kompetensi
bagi guru atau dosen pengampu matapelajaran atau matakuliah Pkn
maupun pendidikan Pancasila, bahwa mereka memahami sistem
demokriasi secara baik, mampu meyakinkan dan menumbuhkan
kesadaran bahwa korupsi bisa dicegah oleh rakyat sebagai pemegang
kedaulatan dengan cara tidak “menjual” kedaualatanya. Disampaing
itu, rakyat juga harus cerdas dalam memilih dengan memperhatikan
rekam jejak para kandidat, tanpa terpengaruh oleh provokasi.
Untuk itu, perlu ada pendidikan tambahan bagi para guru Pkn
dan dosen pendidikan Pancasila di perguruan tinggi, dengan catatan
para guru juga harus diberi tambahan wawasan dan pengetahuan
mengenai korupsi, bahaya korupsi, dan bagaimana mencegah. Di
samping itu, guru dan dosen harus bisa meyakinkan dan menyadarkan
para siswa dan mahasiswa bahwa korupsi bisa dicegah dengan cara
ikut berpartisipasi secara cerdas dalam pemilu, termasuk ikut
mengawasi proses demokrasi.
Dan yang tidak kalah pentingnya adalah membangun karakter
atau mental anti korupsi, dengan menjaga kejujuran, menumbuhkan
rasa tanggung jawab terhadap tugas, bangsa dan negara, serta
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 177
mengajarkan hidup sederhana. Pendidikan karakter ini bisa dimulai
sejak di keluarga dan pendidikan dasar. Pendidikan agama dan
Pancasila di sekolah dasar lebih ditekankan pada pembentukan
karakater antikorupsi melalui metode pembiasaan dan percontohan.
Karakter yang ditanamkan antara lain adalah kejujuran, tanggung
jawab, tidak melanggar peraturan, menghormati hak orang lain,
keyakinan bahwa korupsi bukan hanya merugikan orang lain dan
menyebabkan kemiskinan, tetapi juga perbuatan dosa.
Sebagai bentuk kongkrit pendidikan korupsi di sekolah adalah
mengajarkan anak untuk tidak mencontek pada saat ulangan. Kejujuran
harus lebih dihargai daripada nilai atau prestasi. Hal ini sering
diabaikan oleh para guru dan orang tua, karena hanya ingin
memperoleh nilai yang tinggi, mereka membiarkan bahkan mendorong
anaknya untuk mencontek. Padahal mencontek, merupakan wujud dari
ketidak jujuran kepada diri sendiri, karena nilai yang diperoleh
sebenarnya bukan kemampuan dirinya, tetapi dari hasil temannya.
Mencontek juga merupakan wujud dari tindakan yang tidak
bertanggungjawab terhadap diri sendiri, karena menggantungkan
kepada orang lain. Menyontek juga merupakan wujud dari tindakan
yang tidak menghargai orang lain, karena mengambil hak orang lain
yang telah berusaha dan bekerja keras (belajar). Dan mencontek juga
merupakan perbuatan dosa, karena dilarang oleh agama.
Kebiasaan mencontek pada anak telah membentuk sikap dan
mental korupsi terhadap anak. Mereka sudah terbiasa tidak jujur, tidak
bertanggungjawab terhadap diri sendiri, terbiasa melanggar peraturan,
dan terbiasa mengambil hak orang lain, serta terbiasa berbuat dosa.
Oleh karena itu, kepada anak-anak terutama yang masih di sekolah
dasar harus dijelaskan dan dipahamkan bahwa mencotek merupakan
suatu perilaku korupsi.
Ada joke (guyonan) di kalangan penoton sepak bola di
Indonesia, yang mempertanyakan mengapa sepak bola di Indonesia
sangat sering terjadi kerusuhan dan pelanggaran, sementara di Eropa
hampir jarang terjadi? Perbedaannya terletak pada pelatihnya. Jika
178 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
pelatih di Eropa mengajarkan kepada para pemainnya, “jangan
melakukan pelanggaran, meskipun wasit tidak tahu”. Sedangkan
pelatih Indonesia mengajarkan kepada pemainnya, silahkan melakukan
pelanggaran asal wasit tidak tahu’. Dua perintah itu sangat berbeda,
yang satu sangat bermoral, dan merupakan bentuk larangan untuk
melakukan pelanggaran, sedangkan yang satunya merupakan perintah
untuk melakukan pelanggaran. Pelajaran yang ingin disampaikan
dalam joke tersebut adalah jangan mentoleransi terhadap tindakan yang
tidak baik, apalagi menyuruh melakukan perbuatan yang tidak baik,
meskipun dengan dalih apapun juga. Perbuatan yang tidak baik harus
tetap dilarang dan dihindari.
Model pendidikan anti korupsi melalui kantin kejujuran, yang
pernah dilakukan di sekolah-sekolah bisa dibangun kembali, tetapi
dilakukan di sekolah dasar (SD dan SMP), karena siswa-siswa SD
masih belum banyak terkontaminasi dengan keburukan, dan masih
relatif lebih jujur daripada siswa-siswa SMA. Kejujuran yang menjadi
fitrahnya tersebut harus terus kita jaga, sehingga tumbuh menjadi
bangunan yang kokoh. Jika kantin kejujuran diterapkan di SMA
sudah terlambat dan tidak efektif, karena karakter mereka sudah rapuh
dan terkontaminasi oleh lingkungan yang lebih luas. Pendidikan
karakter melalui pembiasaan lebih tepat jika dilakukan pada usia dini,
atau pada pendidikan dasar, karena mereka masih belum banyak
terkontaminasi dengan berbagai karakter buruk.
Pendidikan antikorupsi di tingkat SMA dan perguruan tinggi,
harus dilakukan melalui pendektan scientifik yang menggunakan nalar
dan data. Mereka dilibatkan dalam proses mengidentifikasi permasalah,
menganalisis dampak yang ditimbulkan, sampai pada pencarian solusi
yang terbaik. Pendidikan tersebut bisa dilakukan dengan mengangkat
kasus (studi kasus) yang terjadi di masyarakat, seperti kasus korupsi
yang dilakukan oleh beberapa pejabat. Kasus tersebut dilontarkan
untuk diidentifikasi apa penyebabnya, apa dampaknya bagi bangsa dan
negara, serta bagi dirinya dan keluarganya, serta apa yang seharusnya
dilakukan agar tidak terjadi korupsi.
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 179
Daftar Pustaka
Fukuyama, Francis.2005. Guncangan Besar Kodrat Manusia dan Tata
Sosial Baru. Penterjemah Masri Maris. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Hartoko, Dick (ed) 1985. Memanusiakan Manusia Muda.
Yogyakarta:Kanisius
Jarolimek, John. 1982. Social Studies In elementary Education.New
York: Mc Millan Company.
Kartodirdjo, Sartono. 1993. Pembangunan Bangsa Tentang
Nasionalisme, Kesadaran dan Kebudayaan Nasional.
Yogyakarta: Aditya Media.
Lickona, Thomas. 2013. Mendidik untuk Membentuk Karakter.
Jakarta: Bumi Aksara.
Lubis, Mochtar. 2001. Manusia Indonesia: Sebuah pertanggungan
Jawab. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Rosenberg, Alexander. 2008. Philosophy of Social Science.
Philadelphia: Westview Press.
Warsono, 2016. Pancasila-isme dalam Dinamika Pendidikan, edisi
revisi. Surabaya: Unesa University Press.
Warsono, 2016. Gus Dur, Intelektual Organik-Tradisional Wacana
Politik Kiai pada Era Pemerintaha Gus Dur. Surabaya: Unesa
University Press.
180 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
==(12)==
ISLAMIC HISTORY DALAM KONTEKS SOSIO-
KULTURAL INDONESIA
Muhammad Turhan Yani
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum, Universitas Negeri
Surabaya
Pendahuluan
Realitas sosio-kultural Indonesia telah memberikan angin segar
bagi siapapun untuk dapat tumbuh dan berkembang di tengah
masyarakat Nusantara saat itu. Islam merupakan salah satu fakta
sejarah bagaimana masyarakat Nusantara saat itu dapat menerima
dengan terbuka dan dapat bersentuhan secara harmonis dengan
kedatangan Islam. Melalui para pemimpin Islam yang sangat arif dan
bijaksana dalam mengenalkan Islam saat itu, maka akhirnya Islam
dapat tumbuh dan berkembang dengan pesat tanpa ada konflik dan
pertumpahan darah dengan masyarakat Nusantara. Dalam konteks
kajian sosio-kultural berkaitan dengan kajian ini, tulisan ini mencoba
mengemukakan perspektif dari beberapa ahli yang telah memberi
perhatian terhadap kajian tersebut.
Perspektif Islamic History di Nusantara
Terdapat beberapa teori terkait dengan Sejarah Islam (Islamic
History) di Nusantara, yakni teori Gujarat, teori Makkah, dan teori
Persia. Menurut Ahmad Mansur Suyanegara dalam Khozin (2006)
dinyatakan, munculnya tiga teori berbeda ini disinyalir akibat dari
kurangnya informasi yang bersumber dari fakta peninggalan agama
Islam di Nusantara. Pada skripsi tertua hanya membicarakan tentang
adanya kekuasaan politik Islam, Samudera Pasai pada abad ke-13
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 181
Masehi. Dalam teori Gujarat dinyatakan bahwa Islam masuk ke
Nusantara melalui perdagangan yang dilakukan oleh pedagang India
Muslim. Peletak dasar teori ini adalah Snouck Hurgronje, W.F.
Stutterheim, dan Clifford Geertz. Untuk memperkuat teori ini, Geertz
menitikbertkan pada perkembangan ajaran Islam di Indonesia yang
lebih diwarnai oleh ajaran Hindu, Budha, bahkan animisme sebagai
ajaran yang telah lama berkembang sebelum Islam. Hal ini akibat
putusnya hubungan Indonesia dengan negara sumber Islam, yakni
Makkah dan Kairo. Sedangkan teori Makkah dikemukakan oleh
Hamka pada tahun 1958 yang dinyatakan bahwa Islam masuk ke
Nusantara pada abad ke-7 Masehi melalui peranan bangsa Arab
sebagai pembawa agama Islam ke Indonesia, kemudian diikuti oleh
orang Persiadan Gujarat. Gujarat dinyatakan sebagai tempat singgah
semata dan Makkah sebagai pusatnya. Sementara itu teori Persia yang
dicetuskan oleh P. A. Hoesein Djajadiningrat mengatakan bahwa Islam
masuk ke Nusantara berasal dari Persia, singgah ke Gujarat pada abad
ke-13 Masehi. Teori ini menitikberatkan tinjauannya pada kesamaan
kebudayaan di kalangan masyarakat Islam Indonesia dengan Persia
dalam beberapa hal, di antaranya peringatan 10 Muharram atau Asyura,
kesamaan ajaran Syekh Siti Jenar dengan al-Hallaj, nisan pada makam
Malik Saleh (1297) dan makam Malik Ibrahim (1419) di Gresik
dipesan dari Gujarat (Khozin : 2006: 35-40).
Menurut Sadli, pengaruh Islamisasi pada awalnya hanya
berpusat di Pasai, namun selanjutnya meluas ke Aceh, pesisir
Sumatera, semenanjung Malaka, Demak, Gresik, Banjarmasin,
Lombok, dan sebagainya. Dalam proses Islamisasi di Aceh itu,
ungkapan-ungkapan Afala Ta’lamun, Tafaqquh fi al-Din, dan lain-lain
menjadi suatu tradisi. Para ulama yang datang menyebarkan agama
Islam membuat satu kelompok Zawiyah di dalam masjid. Dalam
kelompok itu ia menyampaikan ajaran Islam atau mendiskusikan
permasalahan-permasalahan yang timbul berkaitan dengan ajaran
Islam. Zawiyah ini didatangi oleh orang dewasa bahkan Sultan Malik
al-Saleh, Raja Pasai, senang mengikuti pertemuan ini yang diadakan
182 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
setiap habis shalat Jumat. Di istana mereka mengadakan pertemuan-
pertemuan dan diskusi keagamaan dan istana menjadi pusat
pengembangan intelektual Islam (Sadli, 2001 : 27).
Menurut B.J Boland kalau dibuat suatu perbandingan antara
para pemimpin Islam di Aceh dan di Jawa dalam cara berpikir, terdapat
perbedaan. Perbedaan tersebut paling tidak, tampak pada masa pasca
kemerdekaan sampai Orde Lama berakhir, yaitu mulanya beberapa
pemimpin Islam di Jawa memimpikan diproklamasikannya suatu
negara Islam, sesudahnya baru mereka akan mewujudkan cita-cita ini
dalam kehidupan sehari-hari. Dengan cara yang sama tampaknya
orang-orang Aceh pertama-tama berjuang untuk diakuinya Aceh
sebagai ”daerah istimewa” dan masih mencoba untuk
mengonsolidasikan kedudukan Aceh sebagai suatu provinsi. Lalu
kemudian menjadikan status daerah Aceh ini sebagai titik tolak untuk
merumuskan makna yang sesungguhnya dari sebutan sebagai ”Serambi
Mekkah”, tempat melaksanakan hukum Islam itu.
Masyarakat Aceh memang memiliki ciri watak Islam. Daerah
Aceh mungkin merupakan satu-satunya daerah di Indonesia tempat
orang saling memberi salam dengan ucapan assalamualaikum.
Sembahyang merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat
Aceh... Jika bertanya kepada orang Aceh di daerah Aceh apakah
mereka menginginkan didirikannya semacam negara Islam tingkat
provinsi di daerahnya, maka akan memperoleh jawaban yang sama
dengan jawaban di daerah lain, ”Kami tidak berkeinginan untuk
membangun suatu negara Islam, tetapi kami ingin menafsirkan hukum
Islam untuk kaum muslimin di sini dan menjadikan beberap unsurnya
agar dapat diterapkan dalam praktek bagi mereka. Sebagai hasil
kompromi antara Aceh dan ”Jakarta”, pada tanggal 26 Mei 1959
Provinsi Aceh diakui sebagai suatu daerah administrasi pemerintahan
istimewa. Secara khusus otonomi ini diwujudkan dalam bidang agama,
adat, dan pendidikan...Selama berabad-abad masyarakat Aceh telah
memeluk agama Islam dengan sangat taat sehingga daerah ini diberi
kehormatan ”Serambi Mekkah”. Islam mengilhami rakyat Aceh dalam
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 183
perjuangan kemerdekaan menentang kolonialisme. Bahkan Snouck
Hurgronje menasihati pemerintah kolonial agar menyadari bahwa
rakyat Indonesia mayoritas telah memeluk Islam dan bahwa
keterbelakangannya dalam bidang sosial dan budaya tidak dapat
dijadikan dalih untuk mengizinkan misi-misi Kristen untuk bergerak
dalam daerah-daerah seperti Aceh (Boland, 1985 : 182-187).
Islam dan Sosio-Kultural Indonesia
Islamisasi di Indonesia dalam kasus Jawa tidak lepas dari peran
Walisongo, bahkan menurut kalangan muslim Indonesia, khususnya
muslim Jawa, Walisongo diyakini sebagai figur yang bijak dalam
mendakwakan Islam kepada masyarakat dan mereka dalam sejarah
perkembangan Islam dikenang telah memiliki jasa besar dalam proses
Islamisasi di Jawa yang saat itu masih sangat kental dengan tradisi
sinkretis, namun mereka dapat menjalankan proses Islamisasi Jawa
secara damai dan harmoni. Kearifan dan kebijaksanaan Walisongo
dalam mengenalkan dan mendakwahkan Islam di Nusantara
merupakan cerminan dari kejernihan hati dan akal pikiran seorang
ulama yang intelektual dan intelektual yang ulama.
Menurut Saifuddin Zuhri dalam Abdurrahman Mas’ud (2005),
warna damai dan semangat harmoni dapat terlihat jelas dalam kasus
Sunan Kalijaga. Dialah arsitek tipikal pemerintahan regional
kabupaten-kabupaten di Jawa. Sistem Kabupaten di Jawa tidak lepas
dari komponen-komponen tipikal kabupaten, alun-alun, dan masjid
agung. Ajaran ini kemudian dipopulerkan oleh Sultan Agung. Menarik
untuk dijadikan renungan sejarah bahwa barangkali masjid-masjid
”agung” di Jawa saat ini, adalah bentuk modelling yang tidak disadari
atas historisitas peninggalan Sultan Agung. Dalam desainnya, di
samping kanan atau kiri kabupaten terbangunlah Masjid Agung. Posisi
ini adalah pertanda bijak kehidupan harmonis antara raja-raja atau
bupati-bupati dan ulama. Adapun pendidikan Islam atau juga transmisi
Islam yang dipelopori oleh Walisongo merupakan perjuangan brilliant
yang diimplementasikan dengan cara sederhana, yaitu menunjukkan
jalan dan alternatif baru yang tidak mengusik tradisi dan kebiasaan
184 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
lokal, serta mudah ditangkap oleh orang awam karena pendekatan-
pendekatan yang digunakan Walisongo konkrit realis, tidak ”njlimet”,
dan menyatu dengan kehidupan masyarakat. Usaha-usaha ini dalam
konsep modern sering diterjemahkan sebagai ”model of development
from within”(Mas’ud, 2005: 2015).
Sementara itu menurut Sholih Muadi dan Sofwani, hal yang
demikian merupakan produk akulturasi antara sistem pendidikan Islam
dan Hindu yang telah berlangsung sejak zaman keemasan kerajaan
Islam, saat itu pesantren telah dirancang untuk berperan dalam
mengembangkan dan menghasilkan birokrat kerajaan atau pejabat
bangsawan yang memahami etika Islam dan budaya Jawa. Kini
pesantren telah berhasil menghasilkan pemimpin yang tidak hanya
beragama Islam saja akan tetapi juga membina budaya Jawa (Muadi
dan Sofwani, 2018 : 233).
Selanjutnyan bagaimana dengan keadaan pada masa Orde Baru
? menurut Yudi Latif, pada masa Orde Baru, negara membebaskan
intelegensia Muslim dalam birokrasi dari stigma sebagai lawan Orde
Baru dan membantu memecahkan hambatan psikologis untuk
mengekspresikan dan menyosialisasikan Islam kultural di lingkungan
birokrasi. Birokrat Muslim kini secara terbuka, misalnya, melakukan
shalat berjamaah, mengadakan acara keagamaan dan merayakan hari
besar Islam. Mereka juga mendirikan musalla dan masjid di kantor-
kantor pemerintah. Secara pelan tapi pasti, birokrat Muslim berani
mengekspresikan identitas Islam mereka, yang diekspresikan melalui
penciptaan tradisi baru seperti pembiasaan ucapan salam
(assalamualaikum) dan naik haji. Mulailah terjadi rujuk antara Muslim
Abangan dan Santri di tubuh birokrasi karena yang disebut pertama
secara lambat laun mulai bergabung ke dalam ”rumah” Islam kultural.
Banyak birokrat Muslim Abangan mulai belajar lebih banyak tentang
Islam dengan mengundang guru Islam privat ke rumah-rumah mereka,
termasuk keluarga Soeharto, dan pada akhir tahun 1970-an terdapat hal
yang mengejutkan, salah satunya adalah B. J. Habibie ketika melihat
dan mendengar Soeharto memimpin dan memuka sidang kabinet
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 185
dengan menggunakan peci dan dan mengucapkan ”bismillah” (Latif,
2005 : 562).
Sampai era reformasi sekarang ini, penciptaan tradisi keislaman
dalam berbagai variasinya masih kental dan tampak di kalangan
birokrasi pemerintahan dan bahkan sudah merambah ke berbagai
instansi swasta, dan sudah tidak ada rasa kekhawatiran lagi bagi
seseorang yang ingin menunjukkan identitas keislaman mereka dalam
kehidupannya sehari-hari. Indonesia dengan ciri masyarakat
multikulturalnya telah memberikan kesempatan kepada siapapun warga
negara dan kelompok masyarakat untuk mengekspresikan ajaran
agama, tradisi, dan lain sebagainya sepanjang tidak bertentangan
dengan ideologi Pancasila, UUD Negara Republik Indonesia 1945,
Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhineka Tunggakl Ika maka
semuanya berhak untuk menikmati hidup dengan nyaman di Bumi
Pertiwi Indonesia.
Simpulan
Masyarakat harmonis akan mudah terwujud sekalipun di tengah
keberagaman agama, suku bangsa, budaya, golongan, dan lain
sebagainya apabila semuanya mengedepankan sikap penghormatan
akan keberadaan masing-masing (toleransi) dan jalinan komunikasi
yang dilandasi kasih sayang. Bangsa Indonesia dengan sosio-
kulturalnya telah mampu menunjukkan kepada dunia bahwa kehidupan
yang aman dan damai telah dirasakan oleh semua lapisan masyarakat
dan semua kelompok yang berbeda agama, suku, budaya, golongan,
dan lain sebagainya yang hidup di bumi pertiwi Indonesia.
186 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
Daftar Pustaka
B.J Boland. 1985. Pergumulan Islam di Indonesia. Jakarta : Grafiti
Press.
Khozin, 2006. Jejak-jejak Pendidikan Islam di Indonesia. Malang,
UMM Press.
Latif, Yudi. 2005. Intelegensia Muslim dan Kuasa : Genealogi
Intelegensia Muslim Indonesia Abad ke-20. Bandung : Mizan.
Mas’ud, Abdurrahman. 2005. Religion of the Pesantren dalam
Religious Harmony : Problems, Practice and Education
(Proceeding Konferensi Regional International Association for
the History og Religions (Yogyakarta dan Semarang : UIN Sunan
Kalijaga dan IAIN Walisongo).
Muadi, Sholih, Sofwani, Ahmad. 2018. Acculturation of Islam and
Javanese Culture in Public Servant Ethics. UIN Malang. Jurnal
Elharakah Volume 20, Nomor 2.
Z.A. Sadli. 2001. Pendidikan Islam di Kesultanan Aceh, dalam Abudin
Nata (ed.) Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-
lembaga Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta : Grasindo,
2001.
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 187
==(13)==
INDIGENISASI ILMU-ILMU SOSIAL DI INDONESIA:
LANGKAH YANG MASIH TERSEOK
Ajat Sudrajat2
Indigenous knowledge, demikian istilah yang dipakai oleh
CBNRM (Community-Based Natural Resource Management Program)
didefinisikan sebagai pengetahuan yang dibangun oleh sekelompok
orang sepanjang generasi dalam hubungannya dengan alam. Pada
umumnya pengetahuan yang demikian berkembang pada lingkungan
lokal dan secara khusus sesuai dengan kepentingan dan keadaan
penduduk lokal. Pengetahuan ini berkembang sepanjang waktu dan
terus berkembang. Pengetahuan ini berkembang bersandarkan pada
penga-laman, berlaku terus-menerus bahkan berabad-aba, sesuai
dengan kebudayaan lokal, dan selalu mengalami dinamika dan
perubahan.3
Indigenous knowledge kadang-kadang dipertentangkan dengan
“pengetahuan ilmiah, Barat, dan internasional" atau “pengetahuan
modern” --pengetahuan yang dikembangkan oleh universitas dan
lembaga-lembaga riset yang menggunakan pendekatan-pendekatan
formal ilmiah. Namun demikian, menurut Agrawal, terdapat tumpang
tindih antara pengetahuan indgenis dan pengetahuan Barat, dan sangat
sulit untuk membedakan diantara keduanya. Apalagi dalam
2 Dosen pada Jurusan Pendidikan Sejarah, Program Studi Ilmu
Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta. 3 Steve Langill dan Sam Landon, Indigenous Knowledge,
Canada: IDRC-Lib, 1998, hlm. 7.
188 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
kenyataannya, pengetahuan indigenis selalu berkembang, dan kaang-
kadang sulit untuk menentukan apakah pengetahuan atau teknologi itu
benar-benar indigenis atau mengadopsi dari luar.4
Sejalan dengan penggunaan istilah indigenous knowledge di
atas, istilah indigenization dipakai dalam kerangka yang hampir senada
meskipun dalam perspektif yang lain. Secara etimologis, indigenisasi
sepadan dengan istilah pribumisasi atau pempribumian. Terminologi
indigenisasi memiliki bermacam-macam makna. Apabila ditinjau dari
aspek sosiologis pengetahuan, indigenisasi memiliki makna berbeda-
beda di negara yang satu dengan yang lain. Istilah indigenisasi muncul
dan berkembang terutama di bekas negara jajahan Barat. Di Filipina
misalnya, indigenisasi memiliki dua maka, yakni, pertama, perlunya
membangun teori dan metodologi yang lebih cepat untuk memahami
masyarakat Filipina dan untuk memecahkan masalah sosial yang
dianggap khusus bagi masyarakat; kedua, dimaknai sebagai
pembentukan teori dan ‘metode pribumi’ atau metodologi ilmu sosial
khas Filipina. Dengan demikian, indigenisasi tidak hanya berhenti pada
tataran teoritis, tetapi juga pada tataran metodologis.5
Di Malaysia, indigenisasi menemukan bentuknya dalam
gerakan ‘domestikasi’ yang dimaksudkan sebagai ‘penjinakan’
terhadap ilmu-ilmu sosial, terutama antropologi dan sosiologi.
Penjinakan dilakukan dengan mengorganaisasikan ke dalam studi
lapangan atau studi antropologis yang bermotif etnis. Kasus
indigenisasi yang menjadi domestikasi di Malaysia menunjukkan
besarnya intervensi politik dalam kebijakan pengembangan ilmu sosial.
Sementara itu, indigenisasi di dunia Islam atau dalam pemikiran Islam
sering diidentikkan dengan pengertian Islamisasi ilmu-pengetahuan,
4 Steve Langill dan Sam Landon, Indigenous Knowledge,
Canada: IDRC-Lib, 1998, hlm. 7. 5 Hari Santoso dan Listiyono Santoso, Filsafat Ilmu Sosial:
Ikhtiar Awal Pribumisasi Ilmu-Ilmu Sosial, Yogyakarta, Gama Media,
2003, hlm. 54-55.
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 189
yang sekaligus sebagai reaksi atas sekularisasi dan westernisasi ilmu,
dengan tokoh utamanya Ismail Raji al-Faruqi.6
Ignes Kleden, seperti dinyatakan oleh Hari dan Listiyono,
pengertian pribumisasi ilmu sosial di Indonesia, dipandang sebagai
gerakan partikularisme. Dalam pengertian ini terkandung
kecenderungan untuk mengecualikan ilmu-ilmu sosial dari komunitas
ilmu sosial inernasional. Kecenderungan tersebut disebabkan alasan
politis bahwa masalah-masalah sosial suatu bangsa atau negeri tidak
dapat dipecahkan oleh komunitas akademis internasional, melainan
harus dipecahkan oleh sarana-sarana lain yang lebih sesuai dengan
kekhususan historis cultural dan lokalitas ssio-geografisnya.7
Cermin Kegelisahan Intelektual
Dalam rubrik DIALOG, Prisma nomor 9 tahun 1984, yang
diberi judul “Ilmu Sosial dan Realitas Indonesia”, Taufik Abdullah
(Ketua HIPIS Pertama, selama dua periode kepengurusan dari1974-
1979) memberikan ulasan atas permasalahan yang membelit bangsa
dan kualitas manusia Indonesia dikaitkan dengan peran yang
dimainkan oleh Ilmu-Ilmu Sosial. Menurutnya, teori-teori yang ada
sekarang ini, lahir dan berkembang dari kegelisahan dan keprihatinan
intelektual yang terjadi di dunia Barat. Teori-teori tersebut lahir dan
berkembang di saat Barat sedang berada dalam suatu tahap peralihan
dari masyarakat agraris menuju masyarakat kapitalis industri. Ketika
negara menempatkan orang dari suasana primordial yang akrab ke
dalam suasana yang makin impersonal, dan juga, di saat optimisme
akan kemampuan akal mengalahkan alam belum mereda. Lebih jauh
dinyatakannya, dari sudut pandang yang semacam inilah bisa
6 Ismail Raji al-Faruqi, Islamisasi Pengetahuan, Bandung:
Pustaka, 1995. 7 Hari Santoso dan Listiyono Santoso, Filsafat Ilmu Sosial:
Ikhtiar Awal Pribumisasi Ilmu-Ilmu Sosial, Yogyakarta, Gama Media,
2003, hlm. 55.
190 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
dimengerti bahwa sejak kira-kira sepuluh tahun terakhir ini (1970an) di
Asia Tenggara, bahkan di kawasan Pasifik, hasrat untuk mengadakan
indigenization atau pempribumian konsep dan teori-teori ilmu-ilmu
sosial sangat dirasakan.8
Apa yang dinyatakan Taufik Abdullah di atas sesungguhnya
sejalan dengan perbincangan yang muncul pada saat dilakukannya
simposium UNESCO dan UN Asia Development Institute pada tahun
1980an yang menyatakan mengenai pentingnya mencari dan
memperkuat identitas ilmu sosial Asia; bahaya kolonialisme akademis;
perlunya pembebasan pikiran dari penjara yang dibuat untuk Dunia
Ketiga; dan pentingnya usaha untuk berdikari dalam ilmu sosial.9
Sampai-sampai Sordjatmoko dengan tegas mengemukakan, betapa
masih terbatasnya pengetahuan kita mengenai keanekaragaman wajah
kemiskinan serta ketidaktahuan kita mengenai struktur sosial dan
kebudayaan kemiskinan di negeri kita.10
Gugatan yang senada muncul dari Darodjatun Kuntjoro-Jakti,
seraya menyatakan, adalah suatu hal yang ironis tapi merupakan fakta
yang terlihat jelas, betapa kalangan cendekiawan Dunia Ketiga, praktis
bersikap pasif di hadapan semua persoalan yang melilit dan sedang
dihadapi bangsanya. Kalangan yang terdidik ini ternyata praktis tidak
ikut serta dalam usaha penyelesaian masalah-masalah besar dari
bangsanya, kalau pun mereka terlibat, belum dalam posisi yang orisinal
yang benar-benar mewakili kepentingan Dunia Ketiga –sumbangan
pikiran yang berupa alternatif pemikiran yang sifatnya merdeka. Kaum
8 Taufik Adullah, “Ilmu Sosial dan Realitas Indonesia”, dalam
Prisma, Nomor 9, Tahun 1984, Jakarta: LP3ES, 1984, hlm.58-59. 9 Farchan Bulkin, “Ilmu Sosial dan Dimensi Manusia”, dalam
Prisma, Nomor 9, Tahun 1984, Jakarta: LP3ES, 1984, hlm. 33. 10 Soedjatmoko, “Dimensi-Dimensi Struktural Kemiskinan”,
dalam Alfian dkk. (ed.), Kemiskinan Struktural, Suatu Bunga Rampai,
Jakarta: Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial, 1980, hlm. 50.
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 191
cendekiawan Dunia Ketiga belum melahirkan pemikiran-pemikiran
alternatif yang merupakan tandingan dari pemikian Barat.11
Lebih lanjut dinyatakan Darodjatun Kuntjoro-Jakti, bahkan
yang lebih ironis, ilmuwan Dunia Ketiga mengoper secara lengkap
keseluruhan rincian sistem dan praktiknya, sementara para
cendekiawan Barat mempertanyakan ‘relevansinya’ dari pikiran
mereka yang terdahulu, dan mereka pun bahkan sudah
meninggalkannya. Kenyataan yang demikian menimbulkan kesan
bahwa seolah-olah para cendekiawan Dunia Ketiga tersebut bukan
hanya ‘statis’ tetapi juga ‘enggan berubah’, bahkan tidak ingin repot
berpikir dua atau tiga kali untuk menyesuaikan ilmu ‘kulakan’nya
dengan konteks negaranya. Padahal, hanya dengan mempertimbangkan
sasaran, konteks, dan memberikan alteratif, kesan bahwa cendekiawan
Dunia Ketiga seperti sekumpulan “orang Barat” di “Dunia Timur”
mestinya dapat dihindari.12
Setelah sekian lama atau setelah 30 tahun berlalu sejak
keresahan, kegelisahan, kerisauan, dan sekaligus kesadaran intelektual
itu muncul, maka pertanyaan yang mengemuka sekarang adalah, sudah
sejauh mana para ilmuwan sosial memperkuat identitas keindonesiaan
dalam kaitannya dengan perkembangan ilmu sosial? Sudahkah para
ilmuwan sosial mampu melepaskan diri dari penjara pola kolonialisme
akademik? Adakah bukti-bukti yang menunjukkan bahwa para
ilmuwan sosial telah memiliki ilmu sosial yang mandiri? Jawaban yang
11 Darodjatun Kuntjoro-Jakti, “Cendekiawan Dunia Ketiga:
Orang “Barat” di Dunia “Timur”, dalam Aswab Mahasin dan Ismed
Natsir (Peny.), Cendekiwan dan Politik, Jakarta: LP3ES, 1984, hlm.
220. 12 Darodjatun Kuntjoro-Jakti, “Cendekiawan Dunia Ketiga:
Orang “Barat” di Dunia “Timur”, dalam Aswab Mahasin dan Ismed
Natsir (Peny.), Cendekiwan dan Politik, Jakarta: LP3ES, 1984, hlm.
235.
192 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
jujur dan terbuka dari pertanyaan-pertanyaan di atas tentu sangat
ditunggu.
Kegelisahan itulah yang tampaknya dirasakan juga oleh Ketua
Majelis Wali Amanah Universitas Indonesia (MWA UI), KH Said Aqil
Siradj. Pada saat terpilih sebagai Ketua MWA UI yang baru, Selasa, 15
Mei 2012, Said Aqil Siradj mengatakan, bahwa “pribumisasi ilmu
pengetahuan di Indonesia sudah saatnya dilakukan”. Ilmu pengetahuan
yang diperoleh dari luar hendaknya digali secara epistemologi,
sehingga bisa dilakukan pembaruan bahkan penemuan baru. Jangan
hanya menerima, dan membiarkan bahasa Indonesia menjadi kacau
karena kebanjiran istilah asing, ujarnya lebih lanjut. Langkah
pribumisasi mesti dilanjutkan untuk menemukan teori-teori baru, baik
di bidang sosial, humaniora, maupun eksakta, sehingga, ilmu
pengetahuan yang dikembangkan ilmuwan Indonesia bisa melahirkan
teknologi yang maju dan setara dengan penemuan bangsa lain.
Lebih lanjut dinyatakannya, bahwa tugas tradisional untuk
memajukan perkembangan ilmu pengetahuan dan mendorong
perubahan sosial belum bisa dituntaskan oleh perguruan tinggi di
negeri ini. Dalam situasi pancaroba semuanya berubah, sementara
masyarakat tidak siap menghadapi perubahan tersebut. Situasi seperti
ini mengharuskan perguruan tinggi melakukan langkah aksiologis,
keluar dari kampus untuk mengkaji solusi berbagai persoalan yang
terjadi.
Ia menantang UI untuk melakukan penggalian epistemologi,
melakukan inovasi, dan invensi di berbagai bidang ilmu pengetahuan.
Sebagai barometer bagi perguruan tinggi lain di Indonesia, UI
diharapkan mampu melakukan pribumisasi ilmu pengetahuan yang
diperoleh dari luar. Hilangkan sikap konsumtif dalam bidang teori dan
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 193
pemikiran. Sudah saatnya akademisi muncul sebagai penggagas ide
baru, demikian ditegaskan Said Aqil Siradj.13
Kritik terhadap ilmuwan sosial Indonesia selama ini adalah
karena mereka terlalu mengagung-agungkan teori Barat dan belum
dapat melepaskan diri dari ketergantungan pada teori Barat tersebut.
Padahal, teori Barat tersebut dilahirkan dalam konteks sosio-historis
dan sosio-kultural yang berbeda dengan kondisi di Indonesia.
Kecenderungan ilmuwan tersebut dapat dipahami jika dikaitkan dengan
sejarah pendidikan para ilmuwan sosial Indonesia generasi pertama.
Kebanyakan ilmuwan sosial Indonesia adalah hasil pendidikan Barat,
terutama Belanda dan Amerika.14
Kondisi ilmuwan sosial Indonesia,
seperti disinyalir oleh Ignas Kleden mirip dengan ilmuwan bazar,
sebagaimana pedagang bazar dalam tindakan ekonomi. Salah satu
cirinya antara lain cenderung menjadi pedagang pengecer dan bukan
pedagang grosir, ilmuwan sosial juga cenderung mengecer ilmunya
sehingga tidaklah terbentuk suatu body of social science knowledge
yang handal.15
Kritik yang lebih konprehensif muncul dalam sebuah buku
yang ditulis oleh Syed Farid Alatas dengan judul Diskursus Alternatif
dalam Ilmu Sosial Asia, yang diterbitkan Mizan Publika tahun 2010.16
Spirit dari buku tersebut menegaskan bahwa penjajahan akademis
13
Republika, “Saatnya Pribumisasi Ilmu Pengetahuan
Dilakukan”, http:// www. republika. co.id/berita/
nasional/umum/12/05/16/m43diu-saatnya-pribumisasi-
ilmupengetahuan -dilakukan, Rabu, 16 Mei 2012. 14 Hanneman Samuel, Geneologi Kekuasaan Ilmu Sosial
Indonesia: Dari Kolonialisme Belanda hingga Modernisme Amerika,
Jakarta: Kepik Ungu, 2010. 15 Heri Santoso, Filsafat Ilmu Sosial Indonesia, Yogyakarta:
Pustaka Rasmedia, 2007, hlm. 26. 16 Syed Farid Alatas, Diskursus Alternatif Dalam Ilmu Sosial
Asia: Terhadap Terhadap Eurosentrisme, Jakarta: Mizan Publika,
2010.
194 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
adalah fenomena yang setara dengan penjajahan ekonomi dan politik.
Oleh karena itu, diperlukan upaya-upaya untuk membebaskan diri dari
belenggu penjajahan itu. Dunia akademik yang terjajah adalah ketika
bangsa penjajah berupaya melakukan kontrol atas ilmu pengetahuan di
daerah jajahannya. Mereka menciptakan struktur kebergantungan
akademis dan berusaha memonopoli penyebarluasan ide-ide ilmu
pengetahuan yang tentu saja bias kepentingan penjajah.17
Bacaan Yanu Endar Prasetyo terhadap buku yang ditulis Syed
Farid Alatas menegaskan bahwa Alatas berhasil mendiagnosis dan
mengidentifikasi setidaknya delapan persoalan utama yang
membelenggu ilmu sosial Asia untuk tumbuh dan berkembang secara
universal:
Pertama, adanya bias Eurosentris, sehingga ide, model, pilihan
masalah, metodologi dan bahkan prioritas riset cenderung semata-mata
“membebek” pada karya Amerika, Inggris, Prancis dan Jerman.
Eurosentrisme adalah sebuah teori sejarah dunia yang menempatkan
Eropa sebagai sesuatu yang unik dan superior. Oleh karenanya,
terbangun konstruksi yang melegitimasi bangsa Eropa untuk
melakukan ekspansi ke seluruh dunia, termasuk melalui ide-ide
rasionalisme, kapitalisme hingga pembangunanisme yang justru
merintangi kemajuan ekonomi, politik dan akademis bagi negara-
negara koloninya di Asia.
Kedua, adanya kecenderungan pengabaian pada filsafat dan
sastra lokal. Dalam konteks ini, filsafat khas Timur hanya dijadikan
bahan atau objek kajian saja, tetapi tidak pernah berhasil diangkat
menjadi sumber untuk konsep-konsep ilmu sosial.
Ketiga, ilmuwan sosial Asia gagal keluar dari jebakan teori dan
metode yang berbau Euro-Amerika. Akibatnya, ilmu sosial Asia sangat
17 Yanu Endar Prasetyo, “Keluar dari Penjajahan Akademik”,
peresensi buku Syed Farid Alatas yang berjudul Diskursus Alternatif
dalam Ilmu Sosial Asia, pada Harian Republika.
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 195
kekurangan ide-ide orisinil dalam menumbuhkan perspektif, aliran,
konsep atau inovasi dalam metode penelitiannya.
Keempat, adanya penyakit mimesis yang akut, yakni peniruan
atau pengadopsian yang tidak kritis terhadap model ilmu sosial Barat.
Hal ini menandakan keberhasilan internalisasi gagasan-gagasan
Orientalisme dari Barat yang disebarluaskan dan dikonsumsi oleh
wilayah yang menjadi objek konstruksi Orientalis.
Kelima, lahirnya diskursus yang secara esensialis
memposisikan masyarakat non-Barat itu memiliki ciri yang merupakan
kebalikan dari masyarakat Barat, yaitu barbar, terbelakang, dan
irasional.
Keenam, hilangnya sudut pandang minoritas, baik secara etnis
maupun kelompok yang terpinggirkan lainnya, dalam catatan-catatan
akademis ilmuwan Asia pada umumnya. Ilmu sosial selama ini telah
nyata-nyata terdominasi oleh perspektif yang elitis, sehingga tidak
berhasil menyuarakan pandangan-pandangan minoritas di Asia sendiri.
Ketujuh, persekutuan antara akademisi dengan negara. Hal ini
tampak dalam peran-peran yang dimainkan disiplin geografi dan
antropologi pada masa kolonial yang digunakan oleh negara untuk
mempromosikan persatuan, kontrol atas kebijakan, dan penciptaan
sebuah kebudayaan nasional.
Kedelapan, dominasi intelektual Dunia Ketiga oleh kekuatan-
kekuatan ilmu sosial Dunia Pertama (AS, Inggris, Prancis). Hal ini
dilanggengkan dalam bentuk kebergantungan ide, teori dan konsep,
media gagasan, teknologi pendidikan, bantuan dana, dan investasi
pendidikan.
Ilmuwan di Asia tampaknya keasyikan mempelajari masyara-
katnya sendiri. Riset-riset mereka kebanyakan berupa riset empiris
yang terkait kebijakan, sehingga sangat minim sumbangannya terhadap
pengembangan teori. Dalam situasi demikian, buku yang ditulis Farid
Alatas, berusaha untuk menyerukan kembali pentingnya diskursus
196 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
alternatif dalam tradisi ilmu sosial di Asia. Kebergantungan akademis
yang dilanggengkan melalui pelatihan dan kucuran dana riset dari
Amerika dan Eropa harus dikurangi. Prioritas tinggi haruslah diberikan
guna mengembangkan publikasi lokal seperti jurnal, kertas kerja, dan
monograf yang perlahan akan melepaskan kalangan akademisi dari
keterikatan tema-tema riset yang didikte oleh muatan publikasi
Amerika dan Eropa. Jepang telah memberi contoh yang baik tentang
bagaimana melakukan transformasi itu. Jepang tidak melakukan
diskriminasi penilaian terhadap terbitan-terbitan di dalam negerinya.
Meskipun buku yang ditulis Farid Alatas sudah sangat
sistematis dan disajikan dengan bahasa sesederhana mungkin, tetap
saja buku tersebut lebih cocok dibaca oleh mereka yang telah cukup
dalam bergelut dengan ilmu-ilmu sosial. Banyaknya contoh kasus yang
dikemukakan secara sekilas membuat mereka yang awam akan sedikit
kesulitan merangkai contoh-contoh yang disajikan menjadi sebuah
gambaran utuh. Meskipun begitu, kehadiran buku tersebut telah
memberikan sumbangan berarti bagi kalangan-kalangan ilmuwan yang
siap untuk keluar dari zona ‘kemapanan akademik’ yang selama ini
ternyata berisi peniruan-peniruan belaka yang minim koreksi (captive
mind).18
Sejalan dengan gagasan Farid Alatas di atas, seruan Said Aqil
Siradj yang juga menyuarakan kegelisahan, sudah semestinya
diapresiasi, karena studi-studi sosial terhadap Dunia Ketiga cenderung
tidak dilakukan secara objektif tetapi mengandung muatan asumsi
inferioritas terhadap objek yang mereka teliti sehingga perumusan teori
juga akan sangat dipengaruhi oleh posisi negara penjajah dan terjajah.
Sebagai contoh gejala Eurosentrimse dalam studi sosial, adalah
penelitian yang dilakukan oleh ilmuan Belanda terhadap masalah
kemiskinan yang merajalela di pedesaaan-pedesaan di daerah Jawa
akhir abad ke-19. J.H. Boeke, ahli sosiologi dan antropologi ekonomi
18Yanu Endar Prasetyo, “Keluar dari Penjajahan Akademik”,
peresensi buku Syed Farid Alatas yang berjudul Diskursus Alternatif
dalam Ilmu Sosial Asia, pada Harian Republika.
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 197
di Universitas Leiden, sebagai universitas yang paling maju dalam
kajian indologi, memimpin penelitian tersebut. Hasil penelitian tersebut
menyatakan bahwa kemiskinan masyarakat pedesaan di Jawa
disebabkan kekalahan mereka dalam persaingan ekonomi akibat dari
mentalitas yang rendah dalam aktivitas ekonomi, yaitu sifat malas.19
Sementara itu, fakta-fakta sosial lainnya seperti pemerasan dan
eksploitasi kaum penjajah, dan pemiskinan secara terstuktur seperti
rendahnya dukungan pendidikan bagi masyarakat tidak dijadikan
indikator dan fokus studinya dalam merumuskan faktor penyebab
kemiskinan tersebut, demikian penilaian Yudi Ahmad Faisal.20
Ilmu Sosial Transformatif (Model Purwo Santoso)
Sebagai lembaga pengembangan ilmu, dalam pandangan Purwo
Santoso, perguruan tinggi memiliki tanggung jawab moral untuk
menjamin komunitas keilmuannya memiliki kapasitas tinggi dalam
menyerap dan mengembangkan ilmu. Namun, pada kenyataannya, ada
sejumlah orang yang mengatakan bahwa ilmu di negeri ini mengalami
kemandegan, dan ada juga yang menilai terlilit krisis. Gejalanya
antara lain tampak pada minimnya kontribusi para ilmuwan sosial
Indonesia dalam pengembangan ilmu, baik di tataran teoritik maupun
metodologis. llmuwan sosial di negeri ini masih terkesan dan
terhipnotis oleh para teoritikus asing. Ketika berdebat tentang kondisi
keindonesiaan, pada umunya, rujukan mereka adalah hasil pemikiran
para Indiolog atau Indonesianis non-Indonesia, semisal teori dual
society yang dirumuskan Booke, teori politik aliran yang ditawarkan
Herbert Feith dan Lance Castle, dan ada teori tentang kekuasaan dalam
19 Heri Santoso, Filsafat Ilmu Sosial Indonesia, Yogyakarta:
Pustaka Rasmedia, 2007, hlm. 13. 20
Yudi Ahmad Faisal, “Ilmu Sosial dan Hegemoni Barat”,
http://sosbud. kompasiana.com/2011/01/23/ilmu-sosial-dan-hegemoni-
barat/23 January 2011.
198 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
masyarakat Jawa yang ditawarkan oleh Benedict Anderson,21
demikian
pula dengan konsep Geertz tentang abangan, santri, dan priyayi dalam
masyarakat Jawa22
Hal pertama yang disasar oleh Purwo Santoso dan dianggap
menjadi penyebab lemahnya daya kritis para sarjana perguruan tinggi,
baik S1,S2, dan S3, antara lain terkait dengan model pembelajaran
yang dilakukan perguruan tinggi selama ini. Untuk menjelaskan
kenyataan ini, Purwo merujuk pada studi Carlile tentang sistem
informasi yang dilakukan dalam hubungan antar bangsa, yaitu adanya
tiga derajat learning organization: (1) sintaktis, (2) semantik, dan (3)
transformatif.23
Ketiganya dapat dijelaskan sebagai berikut:
Dalam derajat pembelajaran model sintaktis, perhatian utama
adalah ketepatan menyampaikan informasi dalam proses pembelajaran.
Mereka hanya mentransfer ilmu dan memproses informasi secara apa
adanya. Komunitas yang terlibat tidak hirau akan persoalan
metodologis. Belajar pada dasarya adalah hanya untuk meniru dan
meniru. Obsesi mereka adalah penguasaan ontologis dalam bidang
ilmunya.
Tataran kedua adalah pembelajaran model semantik. Pada
tataran ini terjadi proses penafsiran terhadap fenomena atau teori-teori
dari pada sekedar hanya menerima. Ada keberanian untuk melakukan
penafsiran atau memahami makna yang tersirat di balik fenomena.
Proses menafsir memang berisiko terjadinya kesalahan, tetapi pada saat
yang sama juga berpotensi menghasilkan pengetahuan baru berkat
kecanggihan atau kepiawaian metodologi keilmuan.
21 Purwo Santoso, Ilmu Sosial Transformatif, disampaikan
dalam Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Ilmu
Sosial dan Politik UGM, pada tanggal 19 April 2011, hlm. 3. 22 Clifford Geertz, Abangan, Santri, dan Priyayi dalam
Masyarakat Jawa, Jakarta: Pustaka Jaya, 1989. 23 Purwo Santoso, Ilmu Sosial Transformatif, disampaikan
dalam Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Ilmu
Sosial dan Politik UGM, pada tanggal 19 April 2011, hlm. 4.
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 199
Sedangkan pembelajaran model transformatif ditandai oleh
kemampuan mengambil manfaat berdasarkan kebutuhan yang jelas dan
pada saat yang sama paham, fasih dalam menghayati, dan menerapkan
metodologi yang tersedia. Berangkat dari kesadaran konteks dan
pemahaman akan berbagai peluang yang terbuka, mereka terus
menerus terlibat dalam upaya memajukan ilmu pengetahuan.
Boleh jadi, salah satu penyumbang kemendegan ilmu sosial di
Indonesia karena model pembelajarannya yang masih berwatak
sintaktis. Pembelajaran yang berlangsung di perguruan tinggi sekedar
untuk menyampaikan dan memberi tahu suatu teori dan tahu lebih
banyak teori-teori. Ilmuwan sosial di sini, khususnya para dosen di
perguruan tinggi, hanya berfungsi sebagai perantara yang mengoper
ilmu-ilmu yang telah diperolehnya untuk disampaikan kepada para
mahasiswa. Untuk menggairahkan pengembangan ilmu sosial, model
pembelajaran yang mestinya dikembangkan di perguruan tinggi adalah
model yang transformatif.
Hal kedua yang disasar dan menjadi tema utama dari pemikiran
Purwo Santoso adalah apa yang disebutnya sebagai ilmu sosial
transformatif. Ilmu sosial yang dimaksud di sini mencakup berbagai
disiplin, termasuk Sosiologi, IImu Politik, IImu Eknomi, Antropologi,
Sejarah, Ilmu Hukum dan seterusnya. Istilah transformatil di sini
dipakai dalam pengertian yang longgar, sekadar untuk menandai cara
kerja ilmuwan yang tidak hanya berjuang untuk menjawab pertanyaan-
pertanyaannya sendiri, namun peduli. Sungguh pun demikian, ilmu
sosial transformatif bukanlah ilmu tentang ketrampilan (vokasi). Watak
transformatif ilmu sosial bukan ditentukan oleh ketrampilan teknis,
melainkan ditentukan oleh komitmennya untuk mewujudkan realitas
baru sesuai dengan yang diteorikannya. 24
24 Purwo Santoso, Ilmu Sosial Transformatif, disampaikan
dalam Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Ilmu
Sosial dan Politik UGM, pada tanggal 19 April 2011, hlm. 7.
200 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
Watak transformatif tersebut tentu harus didasari dengan
kejelasan pilihan epistemologisnya. Oleh karena itu, dalam
pengembangan ilmu sosial transformatif, keberadaan metode keilmuan
yang mengedepankan obyektivitas tidak harus ditolak, namun harus
disadari kenaifannya. Kemudian dicarikan cara untuk mengkompensasi
keperluannya untuk transformatif. Watak transfonnatif juga ditentukan
oleh pilihan aksiologisnya. Ilmu sosial dikembangkan bukan sekadar
akumulasi teori, melainkan juga untuk memperbaiki relasi sosial yang
terjalin. Dan akhimya, menghasilkan realitas sosial yang dinilai jauh
lebih baik. Misal, ketika membahas good governance, maka
kepeduliannya bukan hanya pada ukuran dan ciri-ciri good governance,
melainkan sampai pada menghasilkan perilaku bersama yang
memenuhi ukuran dan ciri-ciri yang dimaksud.25
Untuk menuju pengembangan ilmu sosial transformatif ini
perlu dipertimbangkan pentingnya support system dalam
pengembangan kapasitas metodologis. Menurutnya, ada contoh yang
bisa menjadi rujukan yaitu London School of Economics and Political
Science yang mendirikan Methodology Institute. Lembaga ini
beranggung jawab untuk mengawal kompetensi metodologi keilmuan
dan metode penelitian civitas akademikanya. Setidaknya semua dosen
dan kandidat doktor harus belajar di lembaga ini, meskipun tidak harus
mengumpulkan SKS. Selanjutnya diperlukan langkah-langkah konkrit
yang menjadi agenda kolektif, antara lain: (1) pengrajin jejaring
ilmuwan atau social crafting; (2) mobilisasi kegelisahan; (3) konversi
kegelisahan menjadi karya-karya dan amalan ilmiah, serta; (4)
reproduksi tapak akademik menjadi kultur akademik.
Sekali lagi, ketrampilan social crafting sangat diperlukan untuk
menggalang agenda yang berbasis kegelisahan kolektif dalam
komunitas keilmuan yang ada. Tokoh-tokoh kunci dalam komunitas
yang ada dituntut untuk mengoptimalkan kepemimpinannya demi
25 Purwo Santoso, Ilmu Sosial Transformatif, disampaikan
dalam Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Ilmu
Sosial dan Politik UGM, pada tanggal 19 April 2011, hlm. 9.
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 201
menghasilkan karya-karya yang menjawab tantangan yang telah
dirumuskan. Lebih dari itu, perlu inovasi untuk memungkinkan
produk-produk keilmuannya dapat dibaca dan disajkan ke hadapan
publik.26
Sebagai contoh, di Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri
Yogyakarta misalnya, sejak dua tahun lalu, telah didirikan sebuah
forum yang diberi nama Forum Ilmu Sosial Transformatif (FISTrans
Insitute). Forum ini secara berkala melakukan diskusi bulanan dan
pada saat tertentu menyelenggarakan seminar nasional dengan
mengundang para narasumber yang memiliki kapasitas. FISTrans
Institute antara lain telah menghadirkan Prof. Syed Farid Alatas
(Universitas Nasional Singapura) dan Prof. Dr. Purwo Santoso (Fisipol
UGM). Meskipun masih dalam bentuk pencarian format, FISTrans
Institute sudah melahirkan dua buah buku dengan judul: (1) Menuju
Indigenousasi Ilmu Sosial Indonesa: Sebuah Gugatan atas Penjajahan
Akademik, dan (2) Membongkar Hegemoni Negara Kapitalis atas
Negara Berkembang: Mozaik Pemikiran Ilmu Sosial Profetik.27
Ilmu Sosial Profetik (Model Kuntowidjoyo)
Gagasan munculnya ilmu sosial profetik, bermula dan diawali
dengan munculnya perdebatan di sekitar pemikiran Muslim
Abdurrahman mengenai istilah Teologi Trans-formatif. Istilah ‘teologi’
yang digunakan di sini, adalah dimaksudkan agar agama diberi tafsir
baru dalam rangka memahami realitas. Selanjutnya, metode yang
efektif untuk maksud tersebut adalah dengan mengelaborasi ajaran-
ajaran agama ke dalam bentuk suatu teori sosial. Lingkup yang menjadi
sasaran dari pemikiran ini adalah lebih pada rekayasa sosial untuk
tranformasi sosial.
26 Purwo Santoso, Ilmu Sosial Transformatif, disampaikan
dalam Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Ilmu
Sosial dan Politik UGM, pada tanggal 19 April 2011, hlm. 12. 27 Ajat Sudrajat, Laporan Tahunan Dekan FIS UNY pada Dies
Natalis Ke-48 FIS UNY, Yogyakarta: FIS UNY, 2003.
202 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
Namun demikian, penggunaan istilah ‘teologi’ di sini,
tampaknya, mengundang banyak pertanyaan, karena banyak yang
memahaminya dalam kerangka aspek-aspek normatif yang bersifat
permanen seperti pada pemahaman terhadap Ilmu Kalam atau Ilmu
Tauhid. Untuk menghindari problem istilah yang berkepanjangan,
Kuntowijoyo, dengan memperhatikan lingkup yang menjadi garapan
adalah aspek yang bersifat empiris, histori, dan temporal, menurutnya
sebutan ‘ilmu sosial’ lebih bisa diterima tanpa harus diberi pretensi
doktrinal.
Sampai di sini, munculah gagasan ‘Ilmu Sosial Transformatif’.
Namun demikian, gagasan ini harus dibedakan dengan gagasan yang
muncul belakangan yang dikemukakan Purwo Santoso di atas, yang
merupakan judul pidato pengukuhan guru besarnya pada tahun 2011.
Dalam benak-pikiran Kuntowijoyo selanjutnya, ilmu sosial yang
bagaimanakah yang dapat dipakai untuk melakukan transformasi
sosial?. Ilmu sosial tranformatif yang tergambar dalam pikiran
Kuntowijoyo adalah ilmu sosial yang tidak seperti ilmu-ilmu sosial
akademis maupun ilmu-ilmu sosial kritis, yang tidak berhenti hanya
untuk menjelaskan fenomena sosial, namun juga berupaya untuk
mentransformasikannya. Tapi kemudian muncul persoalan, ke arah
mana transformasi itu dilakukan, untuk apa, dan oleh siapa?.
Sampai di sini, menurut Kuntowijoyo, ilmu-ilmu sosial transformatif
tidak bisa memberikan jawaban yang jelas.28
Dalam rangka menjawab pertanyaan itulah, Kuntowijoyo
mengemukakan bahwa yang dibutuhkan sekarang ini adalah ilmu-ilmu
sosial profetik, yaitu yang tidak hanya menjelaskan dan mengubah
fenomena sosial, tetapi juga memberi petunjuk ke arah mana
transformasi itu dilakukan, untuk apa, dan oleh siapa. Oleh karena itu,
ilmu sosial sosial profetik tidak sekedar mengubah demi perubahan,
tetapi mengubah berdasarkan cita-cita etik dan profetik tertentu. Dalam
28 Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi,
dan Etika, Yoyakarta: Tiara Wacana, 2006, hlm. 86.
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 203
pengertian ini, maka ilmu sosial profetik secara sengaja memuat
kandungan nilai-nilai dari cita-cita perubahan yang diidamkan
masyarakatnya.
Menurutnya, perubahan itu semestinya didasarkan pada cita-
cita humanisasi-emansipasi, liberasi, dan transendensi. Tiga muatan
nilai ini, ia ambil dari kandungan yang ada dalam QS Ali ‘Imran (3),
ayat 110: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk
manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang
munkar, dan beriman kepada Allah…”. Tiga muatan inilah yang
menjadi ciri ilmu sosial profetik. Dengan kandungan nilai-nilai
humanisasi, liberasi, dan transendensi, ilmu sosial profetik diarahkan
untuk rekayasa masyrakat menuju cita-cita sosio-etiknya di masa
depan.29
Gagasan ilmu sosial profetik, dalam pengakuan Kunntowijoyo,
sebenarnya juga diilhami oleh pemikiran Muhammad Iqbal, khususnya
ketika Iqbal berbicara tentang peristiwa mi’raj Nabi Muhammad saw.
Seandainya Nabi Muhammad saw adalah seorang mistikus atau sufi,
kata Iqbal, tentu beliau tidak ingin kembali ke bumi, karena telah
merasa bersatu dengan Tuhan dan berada di sisi-Nya. Justru, yang
terjadi adalah, Nabi Muhammad saw kembali ke bumi untuk
menggerakkan dan melakukan perubahan sosial, untuk mengubah
jalannya sejarah. Nabi Muhammad saw mulai melakukan transformasi
sosial budaya berdasarkan cita-cita profetik.30
Tiga nilai yang menjadi muatan ilmu sosial profetik dijelaskan
lebih lanjut oleh Kuntowijoyo sebagai berikut:
Pertama, tujuan humanisasi adalah memanusiakan manusia. Ia
melihat terjadinya proses dehumanisasi yang menimpa masyarakat
dewasa ini. Masyarakat industrial yang sedang berjalan sekarang ini
29 Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi,
dan Etika, Yoyakarta: Tiara Wacana, 2006, hlm. 87. 30 Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi,
dan Etika, Yoyakarta: Tiara Wacana, 2006, hlm. 87.
204 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
telah menempatkan manusia berada dalam masyarakat abstrak tanpa
wajah kemanusiaan. Manusia mengalami objektivasi ketika berada di
tengah-tengah mesin-mesin politik dan mesin-mesin pasar. Ilmu dan
teknologi juga telah membantu kecenderungan reduksionalistik yang
melihat manusia dengan cara parsial.
Humanisasi model Kuntowijoyo, menurut penjelasan dalam
Wikipedia, sesuai dengan semangat liberalisme Barat. Hanya saja perlu
segera ditambahkan, jika peradaban Barat lahir dan bertumpu pada
humanisme antroposentris, konsep humanisme Kuntowijoyo berakar
pada humanisme teosentris. Karenanya, humanisasi tidak dapat
dipahami secara utuh tanpa memahami konsep transendensi yang
menjadi dasarnya.31
Kedua, tujuan liberasi adalah pembebasan dari kekejaman
kemiskinan stuktural, keangkuhan teknologi, dan pemerasan
kelimpahan. Banyak orang yang terperangkap dalam kesadaran
teknokratis dan tergusur oleh ekonomi raksasa. Oleh karena itu,
manusia harus bisa membebaskan diri dari belenggu-belenggu yang
dibangunnya sendiri.
Liberasi dalam ilmu sosial profetik, seperti dipaparkan dalam
Wikipedia, juga sejalan dengan prinsip yang ada dalam faham
sosialisme (marxisme, komunisme, teori ketergantungan, dan teologi
pembebasan). Hanya saja ilmu sosial profetik tidak hendak menjadikan
liberasinya sebagai ideologi sebagaimana komunisme. Liberasi ilmu
sosial profetik adalah dalam konteks ilmu, ilmu yang didasari nilai-
nilai luhur transendental. Jika nilai-nilai liberatif dalam teologi
pembebasan dipahami dalam konteks ajaran teologis, maka nilai-nilai
liberatif dalam ilmu sosial profetik dipahami dan didudukkan dalam
konteks ilmu sosial yang memiliki tanggung jawab profetik untuk
membebaskan manusia dari kekejaman kemiskinan, pemerasan
31 Wikipedia, ”Ilmu Sosial Profetik”, diunduh dari
http://id.wikipedia.org/ wiki/Ilmu_Sosial_Profetik.
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 205
kelimpahan, dominasi struktur yang menindas dan hegemoni kesadaran
palsu.32
Ketiga, tujuan transendensi adalah menambahkan dimensi
transedental dalam kebudayaan. Banyak orang yang sudah
terperangkap dan menyerah kepada arus hedonisme, materialisme, dan
budaya yang dekaden. Menurutnya, harus ada yang dilakukan untuk
mengatasi dan memberikan jalan keluar atas masalah ini, yaitu
membersihkan diri dengan mengingatkan kembali dimensi
transendental yang menjadi bagian sah dari fitrah kemanusiaan. Dunia
ini harus dihayati dan dirasakan sebagai rahmat Tuhan, sekaligus
merasakan sentuhan kebesaran-Nya.33
Seperti telah dinyatakan di atas, transendensi adalah dasar dari
humanisasi dan liberasi. Transendensi memberi arah kemana dan untuk
tujuan apa humanisasi dan liberasi itu dilakukan. Transendensi dalam
ilmu sosial profetik di samping berfungsi sebagai dasar nilai bagi
praksis humanisasi dan liberasi, juga berfungsi sebagai kritik. Dengan
kritik transendensi, kemajuan teknologi dapat diarahkan untuk
mengabdi pada perkembangan manusia dan kemanusiaan, bukan pada
kehancurannya. Melalui kritik transendensi, masyarakat akan
dibebaskan dari kesadaran materialistik, di mana posisi ekonomi
seseorang menentukan kesadarannya untuk menuju kesadaran
transendental. Nilai transendensi di sini dapat dan akan menjadi tolok
ukur kemajuan dan kemunduran manusia.34
Dengan ilmu sosial profetik, seorang ilmuwan sosial mestinya
melakukan reorientasi terhadap epistemologi, yaitu reorientasi terhadap
mode of thought atau mode of inquiry, bahwa sumber ilmu pengetahuan
32 Wikipedia, ”Ilmu Sosial Profetik”, diunduh dari
http://id.wikipedia.org/ wiki/Ilmu_Sosial_Profetik. 33 Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi,
dan Etika, Yoyakarta: Tiara Wacana, 2006, hlm. 88. 34 Wikipedia, ”Ilmu Sosial Profetik”, diunduh dari
http://id.wikipedia.org/ wiki/Ilmu_Sosial_Profetik.
206 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
itu tidak hanya dari rasio dan empiri, tetapi juga dari wahyu.35
Sementara itu, apabila ilmu sosial yang akan dibangun bercorak
indigenis, menurut Heri Santoso dan Listiyono Santoso, sumber
pengetahuan meliputi empiri, rasio, intuisi, kepercayaan, otoritas, dan
wahyu. Masing-masing sumber pengetahuan tersebut diakui, namun
ditempatkan secara proporsional.36
Berangkat dari ilmu sosial profetik ini, demikian menurut
Kuntowijoyo, sesungguhnya para ilmuwan sosial Indonesia tidak perlu
galau dan mengidap kekhawatiran yang berlebihan terhadap dominasi
sains Barat. Betatapun dalam proses pembangunan dan pengembangan
sebuah teori, seorang ilmuwan tidak dapat menghindarkan terjadinya
peminjaman dari dan sintesis dengan khazanah ilmu Barat. Sekalipun
pada tujuan akhir yang ingin dicapai harus terus berusaha untuk
mendekati cita-cita otentik, akan tetapi dalam proses globalisasi dan
universalisasi ilmu pengetahuan dan teknologi seperti sekarang ini,
seorang ilmuwan harus tetap membuka diri terhadap seluruh warisan
kebudayaan.37
Selain dua gagasan yang dikemukakan Kuntowijoyo dengan
Ilmu Sosial Profetiknya (ISP) dan Purwo Santoso dengan Ilmu Sosial
Transformatifnya (IST), Farid Alatas mengemukakan sifat diskursus
alternatif yang ditawarkannya dengan memerinci ciri-cirinya sebagai
berikut:
1. Titik berangkat diskursus alternatif adalah kritik terhadap
Eurosentrisme dan Orientalisme dalam ilmu sosial;
35 Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi,
dan Etika, Yoyakarta: Tiara Wacana, 2006, hlm. 88. 36 Hari Santoso dan Listiyono Santoso, Filsafat Ilmu Sosial:
Ikhtiar Awal Pribumisasi Ilmu-Ilmu Sosial, Yogyakarta, Gama Media,
2003, hlm. 77. 37 Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi,
dan Etika, Yoyakarta: Tiara Wacana, 2006, hlm. 89.
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 207
2. Diskursus alternative mengangkat masalah metodologis dan
epistemologis dalam telaah masyarakat, historiografi, atau filsafat
sejarah;
3. Diskursus alternatif secara implisit atau eksplisit menaruh perhatian
pada analisis masalah yang ditimbulkan oleh pembagian kerja dalam
ilmu sosial, di mana ilmu sosial Asia mendapati dirinya dalam
keadaan konformitas, tiruan, dan tidak orisinal;
4. Diskursus alternatif berkomitmen untuk merekonstruksi diskursus
sosial dan sejarah mencakup pembangunan konsep, kategori, dan
agenda riset yang relevan dengan kondisi local atau regional;
5. Diskursus alternatif berkomitmen untuk memunculkan masalah
orisinal dalam telaah sosial dan sejarah;
6. Diskursus alternatif mengakui semua peradaban dan praktik budaya
sebagai sumber ide ilmu sosial; dan
7. Diskursus alternatif tidak mendukung penolakan atas ilmu sosial
Barat secara in toto (keseluruhan).38
Catatan Penutup
Manusia sejati atau manusia yang menjadi, menurut Ali
Syariati, adalah manusia tiga dimensional, manusia dengan tiga talenta
utama, yaitu kesadaran, kemampuan berkehedak, dan daya cipta.
Manusia tiga dimensional ini adalah manusia yang selalu berperang
melawan dan berusaha membebaskan diri kekuatan deterministik yang
cenderung membatasi dan membelengu kesadaran diri, kemampuan
berkehendak, dan daya ciptanya.39
Seseorang yang memiliki kesadaran
yang penuh akan diri dan masyarakatnya, diperkuat dengan
38 Syed Farid Alatas, Diskursus Alternatif Dalam Ilmu Sosial
Asia: Terhadap Terhadap Eurosentrisme, Jakarta: Mizan Publika,
2010, hlm. 77-78. 39 Ali Syariati, Tugas Cendekiawan Muslim, Jakarta: Srigunting,
1996, hlm. 60.
208 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
kemampuan, dan daya kreativnya, ia dengan segera dapat memahami
realitas dan selanjutnya akan mampu dan sekaligus melakukan
kontruksi terhadap diri dan masyarakatnya. Para ilmuwan sosial
Indonesia, dalam konteks ini, seperti yang dikemukakan oleh Alatas,
akan segera terbebas dari apa yang ia sebut dengan benak terbelenggu
(captive mind). Captive mind di sini didefinisikan sebagai pikiran
meniru yang tak kritis, terdominasi sumber-sumber eksternal, yang
menyimpang dari perspektif inde-penden.40
Searah dengan pemikiran di atas, ada baiknya untuk
mempertimbangkan langkah yang dilakukan oleh para penggagas
indigenous psychology di masyarakat Asia Timur yang mengusulkan
strategi epistemologis dengan menggunakan realisme konstruktif
sebagai dasar filosofisnya.41
Dengan menggunakan realism konstruktif
ini, para ilmuwan sosial dapat mengonstruksikan microworld teori
ilmiah, dan menggunakan microworld ini sebagai kerangka acuan
untuk melaksanakan penelitian empirik tentang lifeworld
masyarakatnya.
40 Syed Farid Alatas, Diskursus Alternatif Dalam Ilmu Sosial
Asia: Terhadap Terhadap Eurosentrisme, Jakarta: Mizan Publika,
2010, hlm.35. 41 Uichol Kim, Kuo-Shu Yang, dan Kwang-Juo Hwang (ed.),
Indigenous and Cultural Psychology: Memahami Orang dalam
Konteksnya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, hlm. 167.
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 209
==(14)==
FILSAFAT ILMU SOSIAL INDONESIA: ARTI
PENTING, KARAKTERISTIK DAN PROSPEK
PENGEMBANGANNYA
Heri Santoso42
Pengantar
Jika menyimak judul tulisan ini secara kritis, tentu
memunculkan beberapa pertanyaan mendasar yang perlu dijawab, yaitu
: (1) Apa urgensi atau arti pentingnya menghadirkan filsafat ilmu sosial
Indonesia? Bukankah selama ini telah ada filsafat ilmu sosial yang
berkembang di dunia; (2) Apa yang dimaksud dengan filsafat ilmu
sosial Indonesia? Apakah filsafat ilmu sosial yang berkembang di
Indonsia, dengan berbagai aliran pemikiran dan mazhabnya, ataukah
filsafat ilmu sosial yang dibangun berdasarkan keyakinan dan kerangka
pikir filsafatnya orang Indonesia; (3) Jika akan benar-benar
mengembangkan filsafat ilmu sosial Indonesia, apa sesungguhnya yang
menjadi karakteristik atau pembeda sekaligus persamaannya dengan
filsafat ilmu sosial yang telah berkembang di dunia saat ini?; dan (4)
Sebagai suatu gagasan, tentu konsep filsafat ilmu sosial ini akan
menghadapi dukungan dan sanggahan dari komunitas epistemis ilmu
sosial, baik di Indonesia maupun di luar Indonesia. Apa tantangan yang
harus dihadapi dan bagaimana strategi pengembangan filsafat ilmu
sosial Indonesia?
Tulisan singkat ini dimaksudkan untuk menjawab empat
persoalan mendasar di atas. Mengingat kompleksitas permasalahan,
maka tulisan ini menggunakan pendekatan filsafat ilmu, lebih khusus
42
Doktor Filsafat Universitas Gadjah Mada, Dosen untuk mata kuliah Filsafat Ilmu Sosial.
210 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
lagi filsafat ilmu sosial. Pendekatan filsafat ilmu sosial
mempersyaratkan kajian awal dengan pendekatan historis-sosiologis-
kultural, dilanjutkan dengan pendekatan epistemologis, aksiologis dan
metafisis ilmu.
Arti Penting Filsafat Ilmu Sosial Indonesia
Untuk menganalisis arti penting kehadiran filsafat ilmu sosial
Indonesia, penulis akan menggunakan dua pendekatan yaitu
pendekatan historis-sosiologis-kultural dan pendekatan filosofis.
Secara historis-sosiologis-kultural, pengembangan ilmu sosial di
Indonesia tidak dapat dilepaskan dari sejarah kolonisasi. Gagasan
menghadirkan filsafat ilmu sosial Indonesia dalam kajian teoritis
sesungguhnya merupakan bagian dari kajian gagasan indigenisasi atau
pribumisasi ilmu-ilmu di Indonesia. Tesis Heri Santosoi (1999) yang
berjudul Konsep Pribumisasi Ilmu Sosial di Indonesia Abad XX,
menunjukkan bahwa ilmu dikembangkan tidak bebas dari kepentingan,
maka pengembangan ilmu di Indonesia seharusnya tidak lepas dari
kepentingan bangsa dan negara Indonesia.
Indigenisasi di Indonesia telah menjadi gerakan untuk
membangun jati diri ilmu sosial di Indonesia agar tidak a-historis dan
tidak tercerabut dari akar sosio-historis kultural Indonesia. Dari tesis
tersebut diperoleh kejelasan bahwa secara historis ilmu sosial yang
dikembangkan di Indonesia lebih banyak didominasi oleh asumsi dan
paradigma ilmu sosial yang berkembang di Barat, terutama indologis
yang dibawa oleh Belanda untuk kepentingan kolonisasi. Setelah
Indonesia merdeka, ternyata tidak serta-merta hegemoni ilmu sosial
barat itu begitu saja hilang, dominasi pemikiran Amerika dan Eropa
masih belum dapat digantikan. Gagasan pemikiran indigenisasi ilmu di
Indonesia menjadi wacana publik yang hangat di kalangan ilmuwan
Indonesia pada tahun 1980-an. Di antara pemikiran yang berkembang
itu antara lain pemikiran Ignas Kleden yang memberi argumentasi
mengapa indigenisasi atau pribumisasi ilmu itu urgent untuk dilakukan.
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 211
Ada sekurang-kurangnya tiga alasan penting mengapa
indigenisasi perlu dikembangkan di Indonesia, yaitu : Pertama, alasan
akademis, artinya ilmu sosial di Dunia Ketiga termasuk Indonesia
berawal, berpreferensi, dan dikembangkan atas dasar filsafat dan
kepercayaan Barat. Negara-negara Dunia Ketiga dirasakan lebih efektif
membentuk ilmu sosialnya sendiri didasarkan atas temuan lokal,
diorganisasikan menurut cara penjelasan setempat atau interpretasi
berdasarkan pemikiran pribumi. Kedua, alasan ideologis, pribumisasi
ilmu dikembangkan sebagai bentuk reaksi atas hegenomi ideologi
asing dalam dunia keilmuan. Ketiga, alasan teoritis, artinya teori sosial
tidak semata-mata memiliki daya penjelas, namun juga memiliki
implikasi politis dan nilai, maka diperlukan pengembangan paradigma
yang digali dari pemikiran local genius agar terhindar dari manipulasi
ideologis dari suatu teori ilmiah asing.ii
Secara historis-sosiologis-kultural, gagasan pribumi ilmu sosial
tersebut mengalami pasang surut dalam wacana akademis di Indonesia
hingga saat ini. Kegelisahan atas kemacetan ilmu sosial Indonesia dan
kegelisahan untuk membangun ilmu sosial berkarakter Indonesia masih
senantiasa hangat di kalangan akademisi terutama UGM, UNY,
UNAIR, UNHASiii
(Santoso, 2015). Pada perkembangan terbaru
(2019), Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dalam Rencana
Strategisnya (2018-2023)iv
mencantumkan program strategis dalam
rangka penguatan pemahaman Pancasila akan dikembangkan Pancasila
sebagai ilmu.
Secara filosofis, pengembangan ilmu sangat dipengaruhi oleh
filsafat ilmu yang melatarbelakanginya, sementara filsafat ilmu sangat
dipengaruhi oleh asumsi ontologis, epistemologis, dan aksiologis yang
mendasarinya. Asumsi ontologis, epistemologis, dan aksiologis sangat
dipengaruhi oleh ideologi dan filsafat hidup yang mendasarinya. Jika
penalaran dapat diterima, maka filsafat ilmu sosial yang dikembangkan
di Indonesia seharusnya sejalan dengan filsafat ilmu yang
dikembangkan oleh bangsa Indonesia. Filsafat ilmu yang
dikembangkan oleh bangsa Indonesia seharusnya mengacu kepada
212 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
keyakinan ontologis, epistemologis, dan aksiologis yang bersumber
pada ideologi dan filsafat hidup bangsa Indonesia. Berdasarkan
penalaran ini, kehadiran filsafat ilmu sosial Indonesia secara filosofis
dapat dipertanggungjawabkan. Justru mengabaikan hal tersebut, justru
bertentangan dengan hakikat filsafat ilmu sosial, yang sangat lekat
dengan filosofi masyarakat pendukungnya.
Model dan Karakteristik Filsafat Ilmu Sosial Indonesia
Bangunan komunitas epistemis filsafat ilmu sosial Indonesia
memang belum terbangun kokoh di Indonesia, namun berbagai upaya
perintisan dalam rangka mengembangkan model-model pemikiran
filsafat ilmu sosial Indonesia sudah banyak dirintis. Demi akurasi data
dan ketajaman analisis, maka tulisan ini mengambil fokus model-
model yang telah dikembangkan para ilmuwan di Universitas Gadjah
Mada (UGM). Pemilihan UGM sebagai sampel dalam tulisan ini
didasarkan atas pertimbangan subjektif dan objektif. Pertimbangan
subjektif, penulis sejak tahun 1989 hingga saat ini (2019) intensif dan
berinteraksi dengan gagasan dan komunitas pengembangan filsafat
ilmu sosial di UGM. Argumentasi objektif, UGM sebagai universitas
negeri pertama yang didirikan Republik dan memiliki prestasi
akademik yang diakui di dalam dan di luar negeri telah memberi
sejumlah bukti adanya model-model pemikiran alternatif yang dapat
dianggap sebagai embrio bagi pengembangan filsafat ilmu sosial
Indonesia.
Beberapa model yang telah dikembangkan oleh para ilmuwan
UGM berdasarkan hasil penelitian terdahuluv menunjukkan bahwa:
pertama, para ilmuwan UGM telah mengembangkan sejumlah model
ilmu sosial alternatif, yaitu (1) Filsafat dan Ilmu ke-Pancasilaan serta
Ilmu Negara dan Hukum Pancasila (INHP) oleh Notonagoro, terutama
konsep tentang Pembukaan UUD 1945 sebagai Pokok Kaidah Negara
yang paling fundamental, konsep lembaga negara, konsep manusia
monopluralis, teori isi arti dan susunan sila-sila Pancasila yang bersifat
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 213
hierakhis piramidal; (2) Ilmu Ekonomi Pancasila (IEP) oleh Mubyarto
yang dibangun berdasarkan moral ketuhanan, kemanusiaan, persatuan,
kerakyatan, dan keadilan sosial; dan (3) Ilmu Sosial Profetik (ISP) oleh
Kuntowijoyo yang dimaksudkan sebagai konsep ilmu sosial alternatif
yang dimaksudkan untuk humanisasi, liberasi dan transendensi.
Kedua, berdasarkan kajian sejarah pemikiran, terbukti bahwa telah
ada sejumlah ilmuwan UGM yang menawarkan dan menjustifikasi
konsep dan model pengembangan ilmu yang bersumber pada nilai-nilai
kearifan lokal, dalam hal ini nilai-nilai Ke-UGM-an, yang salah satu
intinya adalah nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Pancasila
bagi UGM dimaknai sebagai (1) pegangan, (2) orientasi dan (3)
paradigma pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi”. Ketiga,
konsep pengembangan ilmu yang dikembangkan oleh para ilmuwan
UGM tersebut sesungguhnya dibangun atas dasar asumsi aksiologis
ilmu bahwa ilmu itu tidak bebas nilai dan bersifat teleologis demi
keadaban, kemanfaatan, dan kebahagiaan kemanusiaan. Asumsi
aksiologis ilmu ini sangat dipengaruhi oleh keyakinan metafisis
masyarakat UGM yang mengakui keberadaan dengan segala
kekuasaan-Nya. Asumsi aksiologis dan metafisis ini berimplikasi pada
pandangan epistemologis bahwa keberadaan wahyu, otoritas nabi,
keyakinan dan musyawarah merupakan sumber pengetahuan dan
kebenaran yang dapat memperkaya konsep sumber pengetahuan ilmiah
selama ini yang didominasi faham rasionalisme dan empirisisme.
Dari sejumlah model yang dikembangkan oleh para ilmuwan
UGM ini kiranya ada sejumlah persamaan yang pada akhirnya dapat
diidentifikasi sebagai suatu karakterakteristik, sebagai embrio untuk
menggali karakteristik filsafat ilmu sosial Indonesia. Di antara
karakteristik yang menonjol antara lain : (1) ilmu sosial yang
dikembangkan selalu mempertimbangkan konteks sosio-historis-
kultural-dan filosofis keindonesiaan. Kenyataan ini mengantarkan pada
kelahiran ilmu-ilmu sosial yang lebih historis, bukan ahistoris, dan
kontekstual, bukan sekedar tektual yang kehilangan konteks; (2) secara
filosofis, ilmu sosial yang dikembangkan dapat berasal dari filosofi
214 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
asing yang kemudian dilakukan filterisasi, adaptasi dan modifikasi,
atau mengembangkan ilmu sosial yang berangkat dari filosofi bangsa
Indonesia, baik yang tercermin dalam adat-istiadat dan budaya bangsa,
keyakinan dan kehidupan keagamaan, dan praktek hidup berbangsa dan
bernegara yang dicoba diungkapkan menggunakan bahasa ilmiah agar
dipahami oleh publik akademik di luar Indonesia.
Tantangan dan Persoalan yang Muncul
Bila Pancasila ingin diangkat menjadi dasar filosofis
pengembangan ilmu di Indonesia, kiranya bukan tanpa masalah.
Berbagai masalah akan muncul, secara sosiologis tentu akan muncul
pro dan kontra terhadap gagasan ini. Pihak yang kontra akan skeptis
mengembangkan filsafat ilmu sosial yang berdasar pada nilai-nilai
Pancasila. Sementara itu, pihak yang pro akan selalu berargumentasi
bahwa filsafat ilmu sosial Indonesia merupakan keniscayaan bahkan
menjadi panggilan perjuangan bagi ilmuwan Indonesia untuk
merealisasikannya. Pertanyaan mendasar yang mereka ajukan pada
pihak yang keberatan adalah mungkinkah kita mengembangkan ilmu
sosial di Indonesia tercerabut dari akar historis-sosio-kultural dan
filosofis keindonesiaan?
Pancasila sebagai pemikiran local genius, jika ingin
dikembangkan sebagai dasar filosofis pengembangan ilmu tentu tidak
mudah. Ada beberapa kesulitan besar jika ingin mengangkat Pancasila
dalam tataran filosofis, walaupun tidak tertutup kemungkinan untuk
itu. Kesulitan itu antara lain: pertama, adanya heterogenitas dan
kompleksitas pemikiran atau perspektif tentang Pancasila dan
pemikiran yang digali dari Pancasila. Pranarka menguraikan berbagai
heterogenitas pemikiran Pancasila, antara lain : (1) heterogenitas di
dalam cara merumuskan unsur-unsur Pancasila; (2) heterogenitas di
dalam cara menguraikan argumentasi; (3) heterogenitas status
Pancasila: (4) heterogenitas di dalam apresiasi terhadap Pancasila; (5)
heterogenitas mengenai sumber Pancasila; (6) heterogenitas tafsir
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 215
Pancasila; (7) kompleksitas dan heterogenitas di dalam pendekatan
intelektual.vi
HETEROGENITAS DAN KOMPLEKSITAS PEMIKIRAN PANCASILA
TERSEBUT MEMBAWA IMPLIKASI PADA KESULITAN MERUMUSKAN
PERSPEKTIF FILOSOFIS PANCASILA. KESULITAN INI SEMAKIN BERTAMBAH
MANAKALA PANCASILA BUKANLAH IDEOLOGI ATAU KARYA FILSAFAT
PERORANGAN, SEBAGAIMANA ARISTOTELIANISME ATAU MARXISME.
PANCASILA MERUPAKAN KARYA KOMUNAL SERTA MERUPAKAN HASIL
INTERSUBJEKTIF DAN IDEALISME TOKOH-TOKOH PENDIRI BANGSA
(FOUNDING FATHERS). KESULITAN KEDUA, PANCASILA PADA AWALNYA
TIDAK DIMAKSUDKAN SEBAGAI FILSAFAT SISTEMATIK SEBAGAIMANA
DALAM TRADISI FILSAFAT BARAT. PANCASILA PADA AWALNYA ADALAH
SEMACAM KONSENSUS POLITIK, DAN BARU KEMUDIAN PADA
PERKEMBANGANNYA DIJADIKAN DASAR FALSAFAH NEGARA DAN IDEOLOGI
NEGARA.
SEKALIPUN ADA TANTANGAN DAN KESULITAN UNTUK
MENGANGKAT PANCASILA PADA TATARAN DISKUSI FILSAFAT ILMU SOSIAL,
NAMUN UPAYA UNTUK MENGKONSEPTUALISASIKAN PANCASILA DALAM
DISKUSI AKADEMIS TELAH TERBUKTI DALAM SEJARAH. SATU HAL YANG
DAPAT DIRUJUK SEBAGAI CONTOH ADALAH MUNCULNYA KONSEP
PEMIKIRAN TENTANG SISTEM EKONOMI PANCASILAvii
. KONSEP-KONSEP LAIN
YANG MENYEMARAKKAN DISKURSUS AKADEMIS MENGENAI PANCASILA
ANTARA LAIN TEMA-TEMA DISKUSI DEMOKRASI PANCASILA, TEORI-TEORI
NEGARA, TEORI-TEORI HUKUM, DLL. TERLEPAS APAKAH ORANG SETUJU
ATAU TIDAK DENGAN KONSEP TERSEBUT, UPAYA PENGGALIAN,
EKSPLISITASI, SISTEMATISASI DAN KONSEPTUALISASI PANCASILA PADA
TATARAN AKADEMIS INI PATUT MENDAPAT PENGHARGAAN. HAL INI
DIMAKSUDKAN AGAR PANCASILA TIDAK DITUDUH ABSURD, UTOPIS, DAN
TIDAK MEMILIKI KONSEP YANG JELAS, SERTA SELALU CENDERUNG
BERSIFAT BUKAN INI DAN BUKAN ITU.
KEBERANIAN MENGEKPLISITKAN CIRI PERSPEKTIF PANCASILA
DALAM WACANA AKADEMIS INI TENTU BERISIKO MENGUNDANG
PERDEBATAN ANTARA “YANG PRO” DAN “YANG KONTRA”. HAL INI TIDAK
MENJADI MASALAH DALAM DUNIA AKADEMIS, KARENA KRITIK DAN
TANGGAPAN ITULAH YANG AKAN SEMAKIN MENGEKPLISITKAN PERSPEKTIF
PANCASILA. BERANGKAT DARI KESULITAN BESAR TERSEBUT, UNTUK DAPAT
MENGUNGKAP PERSPEKTIF PANCASILA, MAKA PERTAMA-TAMA YANG
PERLU DICARI ADALAH APA CIRI-CIRI UTAMA PEMIKIRAN FILOSOFIS YANG
TERKANDUNG DALAM PANCASILA.
216 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
SEJAUH PENELUSURAN LITERATUR DAN BERBAGAI DISKUSI YANG
BERKEMBANG DI DALAM SEJARAH, CIRI UTAMA PANCASILA DAPAT
TERANGKUM DALAM PRINSIP BHINNEKA TUNGGAL IKA.viii
UNGKAPAN
BHINNEKA TUNGGAL IKA INI, BUKANLAH SLOGAN POLITIS SEMATA, TETAPI
DI DALAMNYA MENGIMPLIKASIKAN PANDANGAN FILOSOFIS YANG BERBEDA
DENGAN PANDANGAN FILSAFAT LAIN.
Secara historis istilah “Bhinneka Tunggal Ika” tercantum dalam
Kitab Sutasoma karya Empu Tantular dalam bait kelima Camto
CXXXIX yang berbunyi:
Rwaneka dhatu winuwas wara Buddha wisma
Bhineka rakwa ring apan kena parwanosaa
Mangkang jinatwa kalawan siwatwa tunggal,
Bhinneka tunggal ika tan hana Dharma mangrawa
It is said that the well known Buddha and Siwa are two
different substances
They are indeed different, yet how is it possible to recognize
their difference in a glance
Since the Truth of Jina and (the Truth of) Siva is One.
They are indeed different, but they are of the same kind, are
there are no division in Truthix
Inti dari semboyan Bhinneka Tunggal Ika adalah pengakuan
terhadap keanekaan dan adanya kesatuan di antara keanekaan tersebut.
Keanekaan dan kesatuan tidak dapat dipisahkan, tak ubahnya dengan
sekeping mata uang pada kedua belah sisinya. Keanekaan merupakan
kenyataan objektif sedangkan kesatuan merupakan formulasi subjektif
yang bertitik tolak dari keanekaragaman.x
BERTITIK TOLAK DARI PRINSIP BHINNEKA TUNGGAL IKA INI,
PENULIS BERUSAHA MENGEMBANGKAN KONSEP FILOSOFIS YANG DAPAT
DIJADIKAN RUJUKAN UNTUK MENGEMBANGKAN LANDASAN ONTOLOGIS,
EPISTEMOLOGIS, DAN AKSIOLOGIS ILMU SOSIAL.
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 217
DASAR PARADIGMATIK FILSAFAT ILMU SOSIAL PERSPEKTIF
PANCASILA
Mengacu pada pengertian paradigma sebagaimana diungkapkan
oleh Ritzer di atas, maka sekiranya Pancasila hendak diangkat dalam
perdebatan paradigmatis ilmu sosial, maka pemikiran Pancasila perlu
menjawab secara eksplisit persoalan-persoalan utama paradigma, yaitu
: (1) apa yang menjadi pokok persoalan dalam ilmu sosial? (2) apa
yang harus dipelajari, pertanyaan-pertanyaan apa yang semestinya
dijawab? (3) bagaimana semestinya pertanyaan-pertanyaan itu diajukan
dan aturan-aturan apa yang harus diikuti dalam menafsirkan jawaban
yang diperoleh?
MENJAWAB PERTANYAAN-PERTANYAAN DI ATAS, PEMIKIRAN
PANCASILA DAPAT MEMBERI JAWABAN BAHWA PERSOALAN POKOK ILMU
SOSIAL DI INDONESIA ADALAH REALITAS SOSIAL MASYARAKAT INDONESIA
DENGAN SEGALA DIMENSI DAN KEUNIKANNYA. MASALAH YANG HARUS
DIPELAJARI ADALAH PROBLEMATIKA SOSIAL YANG TIMBUL TERUTAMA DI
INDONESIA. PERTANYAAN-PERTANYAAN YANG SEMESTINYA DIJAWAB
ADALAH BAGAIMANA ILMU SOSIAL DAPAT MEMBANTU MEWUJUDKAN
KEADILAN SOSIAL DI INDONESIA. PERTANYAAN YANG SEMESTINYA
DIAJUKAN ADALAH PERTANYAAN YANG RELEVAN UNTUK MEWUJUDKAN
SUATU TATANAN MASYARAKAT YANG BERKETUHANAN, BERKEMANUSIAAN,
BERSATU, DEMOKRATIS, DAN BERKEADILAN SOSIAL. ATURAN YANG HARUS
DIIKUTI UNTUK MENAFSIRKAN JAWABAN YANG DIPEROLEH ADALAH
SEJAUHMANA JAWABAN ITU MENGARAH PADA PENCAPAAN TUJUAN
MASYARAKAT SEBAGAIMANA YANG DIUNGKAPKAN DALAM CITA-CITA
TERSEBUT. HAL YANG PERLU DIPAHAMI ADALAH ADANYA KEBHINNEKAAN
REALITAS DAN PANDANGAN, NAMUN TUNGGAL IKA DALAM HAL TUJUAN:
YAITU KEADILAN SOSIAL.
GAGASAN TENTANG PEMIKIRAN LOCAL GENIUS YANG TERKANDUNG
DALAM PANCASILA TERSEBUT DAPAT DIRUMUSKAN SEBAGAIMANA DAPAT
DILIHAT DALAM TABEL BERIKUT INI. UPAYA KONSEPTUALISASI INI
DIKEMBANGKAN SEBAGAI ALTERNATIF PEMIKIRAN DALAM
PENGEMBANGAN PARADIGMA ILMU SOSIAL.
218 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
Pokok Pemikiran Filosofis Pancasila tentang Dasar Ontologis Ilmu
Sosial
Ketika dihadapkan pada pertanyaan fundamental tentang
bagaimana pandangan filsafat Pancasila tentang hakikat realitas sosial?
Maka kiranya pemikiran filsafat Pancasila dapat dirumuskan dalam
pokok-pokok pemikiran ontologis sebagai berikut:
a. Objek ilmu sosial adalah realitas sosial, yang berarti mengkaji
manusia Indonesia seutuhnya yang multidimensional, kompleks,
plural, dan dinamis (Bhinneka) tetapi dalam wadah keindonesiaan
(Tunggal Ika).
b. Realitas sosial harus dipahami sebagaimana memahami hakikat
manusia monopluralis (Bhinneka Tunggal Ika), yang ditinjau dari
susunan kodratnya, terdiri atas unsur jiwa dan raga, ditinjau dari
sifat kodratnya merupakan makhluk individu sekaligus makhluk
sosial, dan ditinjau dari kedudukan kodratnya merupakan makhluk
pribadi mandiri sekaligus sebagai makhluk Tuhan (mengacu pada
konsep manusia monopluralis Notonagoro).
c. Realitas sosial keindonesiaan dicirikan oleh pluralitas
(kebhinnekaan) dalam aspek horisontal (agama, etnis, sejarah, dll)
maupun aspek vertikal (kaya miskin, pemerintah-rakyat, pandai-
bodoh, kuat-lemah, dll.), namun mereka semua dalam satu wadah
Indonesia. (tunggal ika).
Pokok Pemikiran Filosofis Pancasila tentang Dasar Epistemologis
Ilmu Sosial
Ketika dihadapkan pada pertanyaan fundamental tentang
bagaimana pandangan filsafat Pancasila tentang hakikat pengetahuan
dan metode untuk memperolehnya? Maka kiranya pemikiran filsafat
Pancasila dapat dirumuskan dalam pokok-pokok pemikiran
epistemologis sebagai berikut:
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 219
a. Realitas sosial yang berbhinneka tunggal ika tersebut mensyaratkan
pendekatan yang komprehensif. Pendekatan tunggal tidaklah
memadai untuk mengalisis masalah yang kompleks.
b. Sumber kebenaran yang lazim digunakan dalam ilmu sosial yaitu
empiri dan rasio tidak dipertentangkan tetapi bersifat komplementer
dan didukung dengan pengakuan atas sumber kebenaran lain
seperti otoritas, keimanan, dan wahyu. Sumber-sumber kebenaran
ini tidak saling menegasikan tetapi saling mendukung dan
menempatkannya secara proporsional. Pemaksaan satu pendekatan
pada objek yang kompleks hanyalah akan melahirkan kebenaran
yang partikular, reduktif dan naif.
c. Teori kebenaran yang digunakan untuk menguji teori-teori sosial
dapat berupa teori korespondensi, koherensi, pragmatis, konsensus
dan teori-teori lain sejauh hal tersebut tidak dijadikan kebenaran
yang mutlak.
d. Jenis kebenaran yang dihasilkan oleh ilmu sosial dalam perspektif
Pancasila ini adalah kebenaran yang bersifat koeksistensi
(kebenaran di dalam kebersamaan, artinya masih mau
mendengarkan kebenaran yang dihasilkan oleh pengetahuan lain
seperti kebenaran yang dihasilkan oleh pengetahuan sehari-hari,
ideologi, teknologi, seni, filosofi, dan agama) dan masih pada
tataran hipotetis (kebenaran yang masih diuji terus-menerus).
e. Berbagai metode dimungkinkan asal sesuai dengan objek kajiannya
yang bersifat multidimensional, kompleks, plural dan dinamis
(bhinneka) namun masih dalam wadah keindonesiaan (tunggal ika).
Pokok Pemikiran Filosofis Pancasila tentang Dasar Aksiologis
Ilmu Sosial
Ketika dihadapkan pada pertanyaan fundamental tentang
bagaimana pandangan filsafat Pancasila tentang hakikat nilai? Maka
kiranya pemikiran filsafat Pancasila dapat dirumuskan dalam pokok-
220 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
pokok pemikiran aksiologis sebagai berikut:
a. Tujuan akhir pengembangan ilmu sosial dengan paradigma
Pancasila adalah terciptanya negara yang berkeadilan sosial, yang
dijiwai oleh nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, dan
kerakyatan.
b. Tujuan penelitian ilmu sosial dapat dimaksudkan untuk eksplanasi,
pemaknaan, maupun transformasi sosial.
c. Ilmuwan di dalam bekerja tidak mungkin terlepas dari nilai dan
kepentingan, terutama nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan,
persatuan, kerakyatan, dan keadilan serta kepentingan untuk
kemaslahatan bersama masyarakat Indonesia. Kepentingan tidak
dinafikan, namun kepentingan seperti apa yang diperjuangkan perlu
diekplisitasikan dan dikomunikasikan untuk mendapat persetujuan
bersama.
Ketika dihadapkan pada pertanyaan paradigma apa yang dapat
dan perlu dikembangkan di Indonesia, jawabannya adalah bahwa
ilmuwan sosial Indonesia sangat terbuka dengan kebhinnekaan
paradigma yang ada, tetapi tentu ada tunggal ika dalam hal nilai yang
dianut yaitu nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan,
dan keadilan dan dalam tujuan yaitu keadilan sosial. Pada tataran
epistemologis kiranya perlu ada parameter yang jelas untuk menilai
relevansi suatu paradigma apakah perlu dikembangkan atau tidak di
Indonesia. Meminjam pemikiran Ignas Kleden (1984), paradigma-
paradigma tersebut perlu dikritik empiris, kritik epistemologis, dan
kritik ideologis.
Kritik empiris dimaksudkan untuk menguji apakah paradigma
tersebut mampu menjawab permasalahan realitas sosial keindonesiaan
yang khas. Kritik epistemologis dimaksudkan untuk menguji tingkat
konsistensi dan koherensi dari bangunan teoritiknya, dari tingkat
filosofi hingga metode dan teknik yang dikembangkannya. Kritik
ideologis dimaksudkan untuk mengungkap selubung ideologi yang
menyertai paradigma ilmu sosial tersebut apakah bertentangan dengan
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 221
ideologi Pancasila. Kiranya perlu juga ditambahkan, bahwa apapun
paradigma yang dibangun pada tataran terakhir akan diuji dengan
pertanyaan apakah paradigma tersebut memberi sumbangan pada
penciptaan masyarakat yang berkeadilan sosial? Berdasarkan kerangka
uji kritis ini maka keberadaan paradigma Positivisme, Postpositivisme,
Critical Theory, dan Konstruktivisme dapat diterima sejauh teruji dan
ditempatkan secara proporsional dan terbuka untuk didiskusikan dan
dikritik.
Sebagai penutup dapat ditegaskan kembali bahwa ilmu sosial di
Indonesia sedang menghadapi masalah serius terutama dalam rangka
memecahkan persoalan sosial dan kemanusiaan yang semakin
kompleks. Wacana Postmodernisme membuka peluang seluas-luasnya
untuk mengembangkan ilmu sosial dengan mengacu kepada local
genius. Berdasarkan argumentasi dari analisis sejarah kebudayaan
Indonesia dan argumentasi dari hasil studi mengenai Hukum Adat
Indonesia, Pancasila layak diangkat sebagai pemikiran local genius
Indonesia.
Pancasila sebagai pemikiran local genius Indonesia ini dapat
dikembangkan sebagai landasan filosofi ilmu sosial di Indonesia,
walaupun tentu banyak tantangannya. Ciri khas dari pemikiran
Pancasila ini adalah pemikiran Bhinneka Tunggal Ika, yaitu mencoba
memahami pluralitas dalam satu pemahaman yang komprehensif tanpa
harus menafikan adanya pluralitas tersebut. Berbagai paradigma yang
berkembang di Indonesia kiranya perlu dilakukan kritik empiris, kritik
epistemologis, dan kritik ideologis yang pada akhirnya diuji apakah
memberi sumbangan bagi penciptaan masyarakat yang berkeadilan
sosial. Penulis menyadari tulisan ini barulah merupakan eksplorasi
awal pada tataran semangat dan filosofi, karena itu ia masih
memerlukan eksplorasi lebih lanjut pada tataran teori, metode, dan
teknik.
Tantangan yang harus dihadapi oleh para pemikir yang ingin
mengembangkan filsafat ilmu sosial Indonesia yang tidak kalah
pentingnya adalah aktualisasi pada tataran teoritis-paradigmatis.
222 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
Menurut Heddy Shri Ahimsa-Putra (2011: 4-12) guru besar
Antropologi UGM, syarat untuk menjadikan konsep sebagai
“paradigma” kiranya harus memenuhi beberapa unsur (komponen),
antara lain: (1) asumsi-asumsi/anggapan-anggapan dasar (basic
assumptions); (2) etos/nilai-nilai (ethos/values); (3) model-model; (4)
masalah yang diteliti/yang ingin dijawab; (5) konsep-konsep pokok
(main concept, key words); (6) metode-metode penelitian; (7) metode
analisis; (8) hasil analisis/teori; dan (9) representasi.
Artinya, bila filsafat ilmu sosial akan dikembangkan kiranya
perlu dukungan kejelasan paradigma yang dikembangkannya baik pada
tataran asumsi atau anggapan dasar sampai pada tahapan representasi.
Penutup
Berdasarkan paparan di atas kiranya dapat disimpulkan bahwa
mengembangkan filsafat ilmu sosial Indonesia, terutama dalam arti
mengembangkan filsafat ilmu sosial berbasis nilai-nilai ke-Indonesiaan
adalah suatu keniscayaan. Hal ini dibuktikan dengan berbagai model
pengembangan ilmu sosial alternatif yang telah dikembangkan oleh
para ilmu Indonsia, khususnya ilmuwan Universitas Gadjah Mada yang
mencoba menawarkan ilmu sosial yang dibangun dari filosofi bangsa
dan negara Indonesia atau Pancasila. Sekalipun demikian masih ada
sejumlah tantangan yang harus dihadapi ketika ingin mengembangkan
filsafat ilmu sosial Pancasila, yaitu harus memberi klarifikasi dan
mengembangkan gagasan ini pada tataran paradigmatis teoritis dari
asumsi dasar hingga representasinya dalam bangun keilmuan sosial.
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 223
==(15)==
PENDIDIKAN GEOGRAFI DAN TANTANGAN
ABAD 21
Dr. Muhammad Zid, M.Si dan Fauzi Ramadhoan AR,
S.Pd. MA (Dosen Geografi FIS UNJ, email: [email protected])
A. Pendahuluan
Ketika kebanyakan orang mendengar kata Pendidikan Geografi,
kebanyakan dari masyarakat umum akan berfikir tentang mata
pelajaran yang menghafal nama-nama lokasi, misalnya nama provinsi
dan ibukotanya. Sebagian lagi beranggapan geografi adalah ilmu
tentang peta, misalnya peta buta. Pendapat ini tidaklah salah, namun
sebenarnya ini menandakan bahwa pemahaman akan ilmu geografi di
tatanan masyarakat masih berada pada pemahaman tingkat awal.
Ilmu geografi secara esensi merupakan ilmu yang komprehensif.
Seorang geograf akan memiliki pola pikir yang sangat luas, mampu
melihat keadaan dari berbagai macam sudut pandang. Hal ini
dikarenakan prinsip pemikirin seorang geograf yang menggunakan
standar lengkap 5W+1H (What, Who, Where, When, Why, dan How)
dalam setiap memandang suatu fenomena dipermukaan bumi beserta
permasalahannya. Sejalan dengan asal kata geografi yang berasal dari
bahasa Yunani (geo: bumi; graphien: gambaran), geograf akan
menganalisis suatu masalah di bumi dari berbagai macam aspek. Arti
dari diksi “graphien” bukan hanya tentang “gambar” peta pada satu
bidang datar secara harfiah, melainkan “gambaran” atau analisis secara
mendalam yang dilihat dari berbagai macam sudut pandang. Pada
tahapan awal (identifikasi) seorang geograf akan mempertanyakan apa
fenomena yang terjadi, siapa saja objek dan subjek dari fenomena
tersebut, dimana saja fenomena tersebut berlangsung, dan kapan saja
224 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
fenomena itu terjadi. Kemudian pada tahap lanjut (analisis), mengapa
fenomena tersebut dapat terjadi, apa saja faktor-faktor yang
menyebabkannya dan bagaimana tahapan fenomena tersebut
berlangsung. Dengan analisis yang mendalam seperti yang telah
dijabarkan, seorang geograf akan mampu menunjukan fakta fenomena
kejadian tidak hanya berdasarkan data dalam bentuk deskripsi atau
tabel tetapi juga dalam bentuk grafis (peta).
Ilmu geografi terus mengalami perkembangan sejak zaman
Erasthosthenes pada tahun 276–194 sebelum masehi hingga saat ini
(Roller, 2010). Pada awal perkembangannya geografi adalah filosofi
manusia dalam mengenal lingkungan sekitar tempat tinggal mereka.
Seiring dengan penjelajahan manusia ke berbagai tempat seperti yang
di lakukan Marcopolo dan Columbus pada abad ke 16 dan 17,
pemahaman tentang geografi pun semakin berkembang dengan
terciptanya peta sebagai alat untuk navigasi, meskipun peta yang di
hasilkan belum memiliki skala koordinat yang presisi. Pada abad ke 18
geografi yang awalnya hanya sebagai filosofi manusia dalam
memikirkan tentang ruang kwilayahan mulai berubah menjadi subjek
bidang keilmuan akademik. Berbagai macam universitas di Eropa
mendedikasikan diri untuk memperdalam ilmu geografi. Kini dalam
dua abad terakhir, khususnya sejak akhir abad ke 20 hingga saat ini
abad ke 21, teknologi komputer telah banyak mempengaruhi
perkembangan geografi. Ilmu geografi menjadi masukan yang sangat
esensial bagi manusia dalam mengelola atau merencanakan aktifitas
pembangunan wilayah di bumi. Pendekatan geografi sudah tidak hanya
tentang identifikasi keruangan, tetapi juga pendekatan ekologis
(hubungan antara mahluk hidup dengan lingkungan) dan pendekatan
kompleks wilayah (komparasi dari berbagai sudut pandang pada
berbagai tempat). Dengan demikian kajian yang dilakukan seorang
geograf bisa disebut komprehensif dan mampu memberikan gambaran
yang sangat jelas dan holistik. Tidak heran jika geografi di juluki ilmu
tentang dunia (the world discipline) atau juga ilmu yang menjembatani
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 225
antara kehidupan manusia dengan lingkungan sekitarnya (the bridge
between the human and the physical sciences) (Pattison, 1990).
Namun yang terjadi saat ini di Indonesia, teradapat kesalahan
paradigma dalam penempatan pendidikan geografi di sekolah. Pada
level pendidikan dasar (SD) dan menengah (SMP dan SMA), geografi
di ”kotak”kan hanya pada rumpun ilmu sosial. Alhasil seluruh siswa
(khususnya SMA) tidak diwajibkan untuk mempelajari ilmu geografi,
hanya siswa dari rumpun sosial saja. Padahal jika kita melihat pada
level pendidikan tinggi di universitas, geografi tersebar pada dua
rumpun bidang keilmuan yaitu saintifik dan humaniora. Misalnya
Universitas Indonesia dan Universitas Gadjah Mada menempatkan
geografi pada rumpun saintifik, sedangkan Universitas Negeri Jakarta,
Universitas Pendidikan Indonesia, dan Universitas Negeri Malang
menempatkan geografi pada rumpun sosial humaniora. Hal ini
sebenarnya sudah dapat menjadi indikator bukti bahwa geografi adalah
sebuah multi-disiplin ilmu yang memiliki lingkup kajian dari berbagai
macam bidang keilmuan. Seyogianya, jika kita menginginkan siswa
yang mampu memandang suatu permasalahan dari sudut pandang yang
luas dan komprehensif, maka geografi sebagai suatu multi disiplin ilmu
sebaiknya diwajibkan sebagai mata pelajaran mendasar yang di ampuh
bagi seluruh siswa.
B. Esensi Pendidikan Geografi
Hal utama yang diajarkan dalam pendidikan geografi tidak hanya
hanya pengetahuan tentang informasi kebumian, apalagi di jaman serba
digital dimana saat ini informasi bukanlah sesuatu yang sulit didapati,
tetapi “sudut pandang” dalam melihat suatu fenomena di bumi.
Seorang yang mempelajari geografi akan memiliki pemahaman
berbeda dalam melihat suatu fenomena. Secara umum siswa yang
mempelajari geografi akan mempelajari suatu fenomena di bumi dari
sudut pandang spasial dan ekologikal. Sudut pandang spasial akan
mempertanyakan “dimana fenomena tersebut berada?” dan “kenapa
suatu fenomena ada di sana?” baik dalam menyikapi fenomena
manusia (human) ataupun fisik (physical). Perspektif ekologikal akan
226 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
melihat fenomena kejadian di bumi dalam bentuk hubungan yang
saling berkaitan antara elemen benda hidup dan elemen benda tidak
hidup. Perspektif ekologikal juga berkaitan dengan dinamika hubungan
dalam suatu sistem yang kompleks, seperti kehidupan bermasyarakat
dan alam (ekosistem) ( Demirci & Miguel, 2018).
Dalam menunjang pandangan tersebut, setidaknya dalam
pembelajaran geografi menuntut siswa untuk memiliki beberapa
pengetahuan mendasar. Pertama adalah memahami bumi dari sisi
spasial (berkaitan tentang posisi suatu objek di bumi, termasuk juga
lokasi absolut atau lokasi relatif). Kedua, mengetahui berbagai tempat
dan wilayah strategis. Ketiga dinamika fisik bumi. Keempat dinamika
manusia dalam ruang. Kelima lingkungan dan masyarakat, dan
Keenam pemanfaatan geografi dalam kehidupan sehari-hari (Heffron,
2012).
Dengan mempelajari bumi dari sudut pandang spasial, peserrt
didik akan mengetahui cara menggunakan peta, memanfaatkan
teknologi geospasial (GPS, google maps, Gojek, dll), dan mampu
berfikir spasial dalam menyampaikan informasi. Mental maps (sudut
pandang seseorang terhadap wilayah) siswa akan semakin tajam dalam
menganalisis dan mengolah informasi tentang orang, tempat, dan
lingkungan dari sudut pandang spasial. Mempelajari tempat dan
wilayah akan memberikan pemahaman siswa dalam mengetahui
karakteristik dari setiap tempat, baik kehidupan manusia atau kondisi
alamnya. Hingga bagaimana kondisi alam mempengaruhi aktifitas serta
budaya manusia pada suatu lokasi tertentu. Memahami dinamika fisik
bumi akan mengajarkan siswa proses terjadinya dan pola berbagai
macam kondisi fisik permukaan bumi, juga bagaimana karakteristik
dan distribusi spasial ekosistem dan bioma di bumi.
Memahami dinamika manusia dalam ruang merupakan salah satu
kajian yang paling menarik. Hal ini karena kajian ini paling dekat
dengan kita sebagai manusia dalam memandang ruang tempat kita
tinggal. Secara mendasar kita akan mempelajari karakteristik,
distribusi, dan migrasi populasi manuisa diatas geosfer. Kemudian
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 227
karakteristik, distribusi, dan kompleksitas kebudayaan yang tercipta
setelahnya. Lalu pola dan arah ketergantungan perekonomian antar
wilayah. Kemudian proses, pola, dan peran kawasan pemukiman.
Hingga pada akhirnya kerja sama dan konflik dalam mempengaruhi
pembagian wilayah di permukaan bumi.
Memahami lingkungan dan kehidupan bermasyarakat dari sudut
pandang spasial, akan di awali dari bagaimana kondisi alam
mempengaruhi dinamika kehidupan masyarakat. Kemudian respon dari
masyarakat dalam memodifikasi kondisi fisik alam sesuai dengan
kebutuhan kehiduppannya. Hingga pada akhirnya adalah kesadaran
dalam penggunaan, pendistribusian, dan pemanfaatan dari sumber daya
alam secara bijak. Pada akhirnya pemahaman akan geografi tidak
hanya untuk menginterpretasikan bagaimana dinamika kehidupan di
bumi pada masa lalu dan sekarang, namun juga untuk merencanakan
kehidupan di masa depan.
C. Tantangan Pendidikan Geografi Abad 21
Dalam konteks Pendidikan secara umum, dan kepentingan
manusia sebagai warga negara dunia, UNESCO membuat empat pilar
pendidikan yaitu learning to know, learning to do, learning to be and
live together in peace. Pendidikan tidak hanya sebagai media untuk
memberikan informasi kepada peserta didik, tetapi juga sebagai
landasan bagi mereka dalam mengkreasikan ide dan pemikiran mereka
kedalam dunia nyata. Tentunya dengan azas kebersamaan dan
kedamaian demi keberlangsungan umat manusia. Pola pendidikan
konvensional yang hanya berprinsip learning to know, sudah harus di
sempurnakan. Semakin sering peserta didik menerapkan
pemahamannya selama menuntut ilmu kedalam perilaku dan tindakan
dunia nyata menandakan keberhasilan pendidik di abad 21. Untuk
mencapai keberhasilan tersebut setidaknya empat kecakapan utama
harus dimiliki oleh peserta didik yaitu; berfikir kritis dalam
memecahkan masalah (Critical Thinking), berkomunikasi dengan baik
(Communication Skills), Kreativitas dan Inovasi (Creativity and
Innovation), dan berkolaborasi (Collaboration).
228 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
Kondisi dunia pada saat ini dimana lingkungan fisik banyak
mengalami penurunan kualitas (Boyes & Stanisstreet, 1996),
perekonomian global yang semakin kompetitif, kesenjangan sosial
antar wilayah yang semakin tinggi, menyebabkan kita sebagai manusia
semakin bergantung satu dengan lainnya. Untuk memahami dan
merespon tantangan tersebut di butuhkan keterampilan dan kapasitas
dalam berfikir logis, analistis, sistematis, sintetis, kritis, dan kreatif
dalam memecahkan masalah aktual.
Tidak pernah dalam sejarah umat manusia seseorang wajib
memiliki pemahaman geografi yang baik selain saat ini (Bednarz,
Heffron, & Huynh, 2013). Dunia kita merupakan sistem yang sangat
kompleks dan tidak tergantikan sebagai tempat manusia dapat hidup.
Kita semakin memiliki ketergantungan satu dengan lainnya, baik
secara ekonomi, lingkungan, politik, sosial, dan budaya. Namun tidak
semua pendidik dan peserta didik memahami aspek-aspek yang paling
mendasar pada dunia tempat mereka tinggal. Tanpa adanya intervensi
eksplisit dan fokus khusus pada literasi geografi oleh para pendidik,
pengembang kurikulum, dan pembuat kebijakan, maka peserta didik
akan kesulitan dalam bersaing dan bertahan hidup di masa yang akan
dating (Lambert, Solem, & Tani, 2015). Kita harus menyadari bahwa
alam memiliki keterbatasan dan keseimbangannya sendiri, sebagai
manusia kita sudah harus berfikir tidak hanya mengambil hasil alam
tetapi juga melestarikannya. Pembelajaran Ilmu Geografi di Abad 21
harus diwarnai oleh ciri geografi sebagai ilmu sintesis – integrative
dengan tiga pendekatan yaitu identifikasi keruangan, hubungan antara
mahluk hidup dengan lingkungan dan komparasi dari berbagai sudut
pandang pada berbagai tempat demi keberlanjutan kehidupan manusia.
Penutup
Paradigma pembelajaran, termasuk Geografi pada abad ke 21
wajib mencakup empat kecakapan yang harus dimiliki peserta didik
dari berbagai jenjang dan tingkat Pendidikan. Kecakapan tersebut
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 229
yaitu creativity and innovative, critical thinking and problem solving,
communication, dan collaboration. Tanpa adanya empat aspek
kecakapan tersebut maka kualitas sumberdaya manusia di Indonesia
pada era industri 4.0 dan revolusi sosial 5.0 akan sangat sulit untuk
berkompetisi dengan warga dunia lainnya. Tujuan dari pembelajaran
ilmu geografi secara global adalah untuk membekali peserta didik
dengan pengetahuan, keterampilan serta perspektif geografi, antara lain
memiliki kesadaran terhadap pentingnya ruang, manusia sebagai
bagian tidak terpisahkan dari lingkungan fisik dan sosialnya, kesadaran
terhadap keanekaragaman etnis, ras, suku bangsa wilayah, sehingga
peserta didik memiliki sikap menjunjung tinggi dan toleran terhadap
berbagai perbedaan. Dalam konteks ke-Indonesiaan, Ilmu Geografi
penting diajarkan sejak sekolah dasar sampai perguruan tinggi, hal ini
karena negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara
multikultural dalam hal etnis, suku bangsa, Bahasa daerah, agama,
hukum adat, tradisi yang kesemuanya bias menjadi potensi integrasi
bangsa dan menjadi potensi disintegrasi bangsa manakala tidak
dikelola dan dipelihara dengan baik. Salah satu pihak yang memiliki
tanggung jawab dalam merawat keanekaragaman bangsa Indonesia
adalah Pelajaran Geografi dan sebagai ujung tombaknya adalah
pendidik atau Guru Geografi.
Referensi
Bednarz, S. W., Heffron, S., & Huynh, N. T. (2013). A Road Map for
21st Century Geography Education. 74.
Boyes, E., & Stanisstreet, M. (1996). Threats to the global atmospheric
environment: The extent of pupil understanding. International
Research in Geographical and Environmental Education, 5(3),
186–195. https://doi.org/10.1080/10382046.1996.9965009
Demirci, A., & Miguel, R. De. (2018). Geography Education for
Global Understanding.
230 | Musyawarah Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) 2019
https://doi.org/https://doi.org/10.1007/978-3-319-77216-5 Library
Heffron, S. G. (2012). GFL2! The Updated Geography for Life:
National Geography Standards, Second Edition. Geography
Teacher, 9(2), 43–48.
https://doi.org/10.1080/19338341.2012.679889
Lambert, D., Solem, M., & Tani, S. (2015). Achieving Human
Potential Through Geography Education: A Capabilities
Approach to Curriculum Making in Schools. Annals of the
Association of American Geographers, 105(4), 723–735.
https://doi.org/10.1080/00045608.2015.1022128
Pattison, W. D. (1990). The four traditions of geography. Journal of
Geography, 89(5), 202–206.
https://doi.org/10.1080/00221349008979196
Roller, D. W. (2010). Eratosthenes’ “Geography.” Retrieved from
https://books.google.co.id/books?id=8peKyWK_SWsC
Peran Pendidikan IPS untuk Memperkuat KeIndonesiaan di Era Industri 4.0 | 231
CATATAN AKHIR
i Heri Santoso, 1999, “Konsep Pribumisasi Ilmu Sosial di Indonesia
Abad XX”, Tesis Program S2 Ilmu Filsafat, Program Pasca Sarjana,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. ii
Kleden, 1987, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, LP3ES,
Jakarta, hal. 20-23 iii
Heri Santoso, dkk., 2015, Membangun Kedaulatan Ilmu di
Perguruan Tinggi, Hasil Riset PSP UGM, Yogyakarta. iv
Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Republik Indonesia (BPIP RI),
2018, Rencana Strategis Badan Pembinaan Ideologi Pancasila 2018-
2023, BPIP RI, Jakarta. v Heri Santoso, Koento Wibisono, dan Arqom Kuswandjono, 2016,
“Konsep Landasan Filosofis Pengembangan Ilmu yang Bersumber pada
Nilai-nilai Ke-UGM-an”, Jurnal Kawistara, UGM, Yogyakarta.
vi Uraian lebih lanjut lihat Pranarka, 1985, Sejarah Pemikiran Tentang
Pancasila, Yayasan Proklamasi CSIS, Jakarta, hal. 335-362. vii
Baca : Mubyarto, 1987, Ekonomi Pancasila, Gagasan dan
Kemungkinan, LP3ES, Jakarta; dan Gunawan Sumodiningrat, 1999,
Sistem Ekonomi Pancasila dalam Perspektif, Impac Wahana Cipta,
Jakarta viii
Hardono Hadi, 1994, Hakikat & Muatan Filsafat Pancasila,
Kanisius, Yogyakarta ix Soewito-Santoso, 1975: 81-82 dikutip oleh Rizal Mustansyir, 1995,
“Perkembangan Pemikiran Ludwig Wittgenstein sebagai Sarana
Refleksi terhadap Bhinneka Tunggal Ika”, Tesis pada PS Ilmu Filsafat,
PPS UGM, Yogyakarta, hal. 139.
x Ibid.
Top Related