Download - Sejarah Kurikulum PLB

Transcript
  • 8/16/2019 Sejarah Kurikulum PLB

    1/100

     

    KURIKULUM

    PENDIDIKAN LUAR BIASA

    DI INDONESIA

    DARI MASA KE MASA 

    Sunardi

    PUSAT KURIKULUM

    BADAN PENELITIAN DANPENGEMBANGAN

    KEMENTERIAN PENDIDIKAN

    NASIONAL

    2010

  • 8/16/2019 Sejarah Kurikulum PLB

    2/100

     

    KATA PENGANTAR

    Pendidikan Luar Biasa mengalami perkembangan sangat pesat dalam beberapa

    dasa warsa terakhir. Perkembangan terjadi dalam berbagai aspek, termasuk

    definisi dan peristilahan, kriteria seleksi, sistem layanan, pembelajaran, asesmen,

    dan juga pada tehnologi adaptif, sarana dan prasarana penunjang bagi anak

     berkebutuhan khusus. Dalam hal definisi dan peristilahan, cakupan anak

     berkebutuhan khusus (ABK) terlihat semakin luas, dari yang semula hanya

    meliputi anak – anak penyandang kelainan yang mencolok dan secara signifikan

     jauh berbeda dari anak-anak normal, menjadi semua anak yang memang

    memerlukan layanan khusus untuk dapat mengikuti pembelajaran bersama teman

    sebayanya. Dalam hal sistem penempatan, berbagai alternatif semakin tersedia,

    dari lingkungan yang sepenuhnya segregatif (paling terbatas / terikat) sampai yang

    sepenuhnya inklusif. Dalam hal asesmen, tuntutan layanan asesmen yang

    komprehensif, kontinu dan tidak diskriminatif semakin tinggi. Demikian juga,

     berbagai teknologi semakin tersedia yang dapat dimanfaatkan oleh ABK.

    Berbagai perkembangan tersebut tidak terlepas dari perkembangan eksternal,

    seperti jaminan memperoleh hak pendidikan bagi setiap anak dan perkembangan

    ilmu dan teknologi.

    Perkembangan pesat tersebut di atas berpengaruh terhadap strategi pengelolaan

    kurikulum / materi pembelajaran dan proses pembelajaran. Kebijakan standarisasi

    semua aspek pendidikan menuntut kurikulum yang standar bagi sekolah, termasuk

     bagi peserta didik berkebutuhan khusus. Sebaliknya, kecenderungan peningkatan

     perhatian atas perbedaan individu peserta didik lebih menuntut kurikulum

    fleksibel dan individual. Pembelajaran yang semula berfokus pada guru semakin

     bergeser ke arah learner centered   learning, yang memungkinkan peserta didik

    memanfaatkan berbagai sumber belajar dengan pergeseran peran guru ke arah

    sebagai fasilitator belajar. Perubahan dan perkembangan ini perlu difahami oleh

    semua pihak yang terlibat dalam pendidikan dan pembelajaran, baik dalam

    konteks pendidikan umum/regular maupun dalam konteks pendidikan khusus.

    i

  • 8/16/2019 Sejarah Kurikulum PLB

    3/100

     

    Tulisan ini bertujuan secara singkat menyajikan perubahan kurikulum bagi peserta

    didik berkebutuhan khusus di Indonesia.

    Dalam penyusunan buku ini, penulis menggunakan dokumen kurikulum yang

    tersedia di sekolah-sekolah luar biasa. Idealnya, telaah dilakukan terhadap semua

    dokumen kurikulum yang ada di semua jenis sekolah, untuk melihat

     perkembangan dari masa ke masa. Tetapi karena sejak Indonesia merdeka dipakai

    kurikulum terpusat (kecuali sejak 2006 dengan Kurikulum Tingkat Satuan

    Pendidikan/KTSP), dokumen kurikulum yang ada di berbagai sekolah

    diasumsikan sama. Oleh karena itu, penulis hanya menelaah dokumen kurikulum

    masing-masing satu set dari setiap jenis SLB. Telaah difokuskan pada landasan,

    tujuan institusional, struktur kurikulum, dan berbagai pedoman pelaksanaan.

    Sekolah khusus bagi anak berkebutuhan khusus sebenarnya telah dirintis pada

    tahun 1920-an, jauh sebelum Indonesia merdeka. Setelah negeri ini berdiri,

     pemerintah (dalam hal ini Kementerian Pendidikan), telah berkali-kali menata

    kurikulum di semua jenis dan jenjang pendidikan. Penulis mencoba untuk

    memperoleh sebanyak mungkin jenis kurikulum untuk SLB, tetapi berdasarkan

    hasil wawancara terhadap banyak kepala SLB yang berhasil ditemui, kurikulum

    SLB nasional baru disusun oleh pemerintah pada tahun 1977. Penulis mencoba

    menghubungi sekolah-sekolah yang sangat tua di Bandung dan Wonosobo, tetapi

    tidak ditemukan domumen kurikulum sebelum 1977. Menurut para kepala

    sekolah, sebelum 1977, para guru SLB mengadaptasi sendiri kurikulum nasional

    untuk sekolah umum, tetapi adaptasi tersebut tidak didokumentasikan. Satu-

    satunya dokumen yang diperoleh dari salah satu SLB tertua di tanah air, yaitu

    sekarang menjadi SLB Negeri Cicendo Kota Bandung, hanya menyebutkan

     bahwa pengajaran untuk anak tunarungu meliputi bercakap, memaknakan gerak

     bibir, membaca, bahasa Indonesia, berhitung, menulis, ilmu bumi, pengetahuan

    alam, sejarah, menggambar, pekerjaan tangan, kerajinan keputrian, dan

     pendidikan jasmani (SLB Negeri Cicendo, 2009).

    ii

  • 8/16/2019 Sejarah Kurikulum PLB

    4/100

     

    Berdasarkan proses telaah di atas, maka buku ini hanya menyajikan

     perkembangan kurikulum sejak 1977 sampai dengan 2006. Oleh karena

     perkembangan kurikulum PLB tidak terlepas dari perkembangan sistem PLB

    sendiri, maka pada bagian awal buku ini disajikan sekilas perkembangan PLB,

     baik di negara-negara lain (internasional) maupun di Indonesia.

    Penulis mengucapkan terimakasih kepada Pusat Kurikulum Balibangdiknas yang

    telah memfasilitasi penulisan buku ini. Ucapan terimakasih juga disampaikan

    kepada para sejawat yang telah mereview naskah buku, antara lain sdr.

    Drs.Samino,MA dari Direktorat Pembinaan SLB, sdr. Dr.Budiyanto,MPd dari

    UNESA, sdr.Drs.Abdul Salim,Mkes dari UNS, sdr.Drs.Mujimin,MPd dari UNY,

    sdr.Drs.Sunaryo,MPd dari UPI, sdr. Drs,Musyafak Assyari,M.Pd. dari UPI. dan

    Sdr.Drs.N.S.Vijaya K.N.,MSc dari Pusat Kurikulum Balitbangdiknas. Ucapan

    terimakasih juga disampaikan kepada sdr.Priyono,SPd,MS, yang iktumembantu

    menyiapkan naskah awal. Yang tidak kalah penting adalah kontrobusi para kepala

    SLB di Bandung dan Solo yang telah menyediakan semua sumber dan referensi

    yang mereka miliki untuk digunakan sebagai referensi dalam penulisan buku ini.

    Buku ini ditulis dalam waktu yang sangat terbatas. Banyak sumber-sumber lain

    yang penulis tidak sempat memperoleh dan memanfaatkan. Oleh karena itu, saran

    dan kritik pembaca sangat diharapkan untuk penyempurnaan buku ini.

    iii

  • 8/16/2019 Sejarah Kurikulum PLB

    5/100

     

    DAFTAR ISIPENGANTAR

    I PERKEMBANGAN LAYANAN PLB

    A Kepedulian masyarakat peradaban kuno

    B Kepedulian masyarakat abad pertengahan

    C Rintisan PLB abad XVIII – XIX

    D Kecenderungan integrasi abad XX

    II PERKEMBANGAN PLB DI INDONESIA

    A Perkembangan PLB sebelum merdeka

    B Perkembangan PLB sampai 1984

    C Perkembangan PLB tahun 1994

    D Menuju inklusi abad XXI

    III KURIKULUM 1977

    A Latar Belakang

    B Karakteristik

    C Sistematika

    D Tujuan Institusional

    Struktur Program

    E Garis besar Program Pengajaran

    F Sistem Pengajaran

    IV KURIKULUM 1984

    A Latar Belakang

    B Komponen kurikulum 1984

    C Pelaksanaan kurikulum 1984

    D Pengembangan GBPP

    iv

  • 8/16/2019 Sejarah Kurikulum PLB

    6/100

     

    V KURIKULUM 1994

    A Latar Belakang

    B Tujuan Pendidikan

    C Program Pengajaran

    D GBPP

    E Pengembangan program

    VI KURIKULUM TINGKAT SATUAN

    PENDIDIKAN (2004)

    A Latar belakang

    B Kebijakan otonomi

    C Otonomi pengembangan kurikulum

    D Program pengembanagan

    E Perbandingan kurikulum berbasis isi vs berrbasis

    kompetensi

    F Struktur kurikulum PLB

    VII PENUTUP

    DAFTAR PUSTAKA

    v

  • 8/16/2019 Sejarah Kurikulum PLB

    7/100

  • 8/16/2019 Sejarah Kurikulum PLB

    8/100

     

    Babilonia menerapkan hukum Hamurabi pada tahun 2.500SM yang

    melindungi wanita dan anak-anak, tetapi tidak ada petunjuk bahwa

     penyandang cacat termasuk di dalamnya. Agama-agama besar di dunia

    muncul pertama kali pada masyarakat timur, seperti Kong Hu Tju (551-

    479 SM), Budha (563-483 SM), Kristen (0-33 M), dan Islam (569-622

    M). Ajaran agama-agama tersebut menganjurkan kepedulian dan

    kasih sayang bagi umat yang kurang beruntung. Tetapi dalam

     praktiknya, kecacatan sering dianggap sebagai akibat dari dosa. Kecacatan

    hanya dapat ditangani melalui keyakinan dan iman, dan jika tidak dapat

    disembuhkan, penyandang cacat masih dianggap dirasuki roh jahat dan

     belum mempunyai iman yang kuat. Ini terjadi pada abad-abad permulaan.

    Masyarakat Yunani, Romawi, dan Sparta mengagungkan kebugaran

     jasmani, kekuatan, kecerdasan, kegagahan, kecantikan, dan keberanian.

    Hal ini mendorong tindakan pembinasaan penyandang cacat, karena

    dianggap menjadi kendala dalam pembentukan bangsa yang lebih kuat

    dan sempurna (Schreerenberger, 1982). Di Sparta, ada dewan yang

     bertugas memeriksa bayi yang lahir. Jika ditemukan tanda-tanda

    kecacatan, bayi dilemparkan ke jurang yang dalam atau dibiarkan mati

    di hutan belantara. Pada masyarakat Yunani dan Romawi juga banyak

    ditemukan orang buta, karena pembutaan ternyata merupakan salah satu

    hukuman bagi nara pidana. Pada masa ini, sebenarnya terjadi kemajuan

    luar biasa dalam bidang hukum, dan tampaknya para pemikirlah yang

    mendorong praktik-praktik perlakuan negatif terhadap penyandang

    cacat. Penyandang cacat dianggap sebagai penjahat, dan banyak juga

     penyandang cacat mental yang dijadikan hiburan/pelawak pada keluarga

    kaya (Kanner, 1984).

    Tokoh yang dianggap sebagai pelopor pelayanan sosial bagi

     penyandang cacat adalah sistem bantuan sosial di Athena yang

    diberlakukan oleh tokoh pembaharu, Solon, yang hidup antara 639-559

    2

  • 8/16/2019 Sejarah Kurikulum PLB

    9/100

     

    SM. Sistem ini mula-mula disediakan bagi para prajurit yang cacat

    karena perang, tetapi jangkauannya kemudian diperluas bagi

     penyandang cacat lain, termasuk anak-anak. Pelayanan yang diberikan

    terbatas pada pemberian makanan, pakaian, dan tempat tinggal (Lynch

    dan Lewis, 1988).

    B.  Kepedulian Masyarakat pada Abad Pertengahan

    Abad pertengahan merupakan abad yang menyedihkan bagi penyandang

    cacat, meskipun hak untuk hidup sudah diakui oleh masyarakat. Banyak

     penyandang cacat yang menjadi peminta-minta atau pengamen, baik

    secara perorangan atau secara berkelompok. Banyak di antara mereka

    yang sebenarnya pemusik yang hebat, tetapi profesi mereka lebih

    disebabkan oleh kecacatannya daripada bakat musiknya (Lowenfeld,

    1975).

    Pada masa Renaissance, juga banyak penyandang cacat mental, gangguan

    emosi, cacat fisik, atau epilepsi yang dijadikan penghibur / pelawak oleh

    raja. Ada lagi yang dipelihara oleh ilmuwan sebagai peramal atau

     pemberi petunjuk. Isyarat atau kata-kata penyandang cacat dianggap dapat

    memberi petunjuk tentang alam, seperti bintang, bulan, matahari dan

    sebagainya.

    Masa yang paling menyedihkan bagi penyandang cacat adalah masa

    Reformasi yang lebih menekankan pada peran agama dan ilmu gaib

    (Kanner, 1964). Lambatnya reaksi penyandang cacat mental,

    kejangnya penderita epilepsi, atau diamnya penyandang tuna wicara

    dianggap sebagai tanda-tanda kesurupan roh halus. Mereka dianggap

     buk an (berjiwa ) manu sia, ol eh karenanya tida k be rha k menikmati

    kesejahteraan seperti halnya manusia normal.

    Upaya memperbaiki kehidupan para penyandang cacat tampaknya

    3

  • 8/16/2019 Sejarah Kurikulum PLB

    10/100

  • 8/16/2019 Sejarah Kurikulum PLB

    11/100

     

    sekarang secara luas dipakai oleh para pendidik, dengan penekanan

     bahwa penyandang tuna rungu mempunyai kapasitas belajar sama

    dengan anak yang dapat mendengar.

    Sekolah formal bagi anak tuna rungu yang pertama di Inggris

    didirikan oleh Thomas Braidwood di Eidenburgh pada tahun 1767.

    Metode mengajar yang dipakai merupakan gabungan antara oral dan

    manual, yang berarti bahwa kecuali belajar bahasa isyarat, para murid

     juga belajar abjad biasa dan artikulasi. Sekolah ini memang berhasil,

    dan pada tahun 1783, sekolah ini pindah ke Hackney, sebuah kota

    kecil dekat London, untuk dapat menampung lebih banyak murid dari

    kota London. Tidak lama kemudian, Joseph Watson, kemenakan dan

    asisten Braidwood, mendirikan sekolah bagi anak tuna rungu dari

    keluarga miskin yang pertama di Inggris, terletak di kota London.

    Pada waktu yang hampir bersamaan, Samuel Heinche

    (Jerman) mengembangkan metode pembelajaran yang sepenuhnya

    oral, menekankan pengembangan kemampuan berbicara dan membaca

     bibir. Metode ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Friedrich

    Moritz Hill yang kemudian dipakai di seluruh dunia.

    Di Perancis, Abbe Charles Michel de 1'Epee dan Abbe RochAmbroise

    Sicard mengembangkan bahasa isyarat modern. Sistem pembelajaran

    menggunakan gagasan Jacob Pereire yang menekankan penggunaan

    isyarat dan alfabet biasa untuk berkomunikasi dan pelatihan indra

     penglihatan dan peraba. Ide inilah yang dianggap sebagai perintis

     pelatihan indera sebagai bagian tak terpisahkan dalam PLB. 

    Pendidikan bagi anak tuna rungu di Amerika Serikat bermula dari

    dikirimnya Thomas Hopkins Gallaudet untuk belajar pada Sicard di

    Perancis. Sekembali ke Amerika Serikat, bersama dengan seorang

    5

  • 8/16/2019 Sejarah Kurikulum PLB

    12/100

  • 8/16/2019 Sejarah Kurikulum PLB

    13/100

     

     pendirian sekolah-sekolah sejenis di berbagai negara bagian, dan sampai

    dengan akhir abad XIX, sekolah berasrama merupakan satu-satunya

    sistem layanan pendidikan bagi anak tuna netra. Perkembangan baru

    terjadi pada awal XX dengan dibukanya kelas-kelas khusus bagi anak

    tuna netra di sekolah umum, dipelopori di Chicago pada tahun 1900.

    Satu hal penting yang sangat berkaitan dengan layanan pendidikan

     bagi anak tuna netra adalah perkembangan sistem baca-tulis. Hauy

    mengembangkan sistem huruf timbul untuk dibaca dengan

    menggunakan jari. Dengan sistem ini, Hauy menerbitkan buku-buku

     bagi anak tuna netra. Tetapi, huruf timbul ternyata sangat sul it untuk

    dibaca, dan Louis Barille-lah, seorang tuna netra sejak lahir yang

    menjadi salah seorang murid Hauy, yang kemudian mengembangkan

    sistem bacatulis yang sekarang dipakai di seluruh dunia. Sampai

     bertahun-tahun, buku-buku braile harus ditulis dengan tangan.

    Adalah Frank H. Hall yang berjasa mengembangkan mesin ketik

    huruf braile pada tahun 1892 dan sistem percetakan dengan huruf braile

     pada tahun 1893.

    3. 

    Pendidikan bagi Anak Tuna Grahita

    Pendidikan bagi anak tuna grahita bermula dari upaya seorang

    dokter berkebangasaan Perancis bernama Jean Marc Garpart Itard untuk

    mendidik seorang anak berusia 11 tahun yang ditemukan di hutan. Ini ter

     jadi pada abad XVIII. Usaha Jean Marc Garpart Itard ini tidak

    sepenuhnya berhasil, karena anak tersebut ternyata menyandang cacat

    mental. Metode yang dipakai kemudian dikumpulkan dalam sebuah

     buku berjudul The Wild Boy of Aveyron yang terbit pada tahun 1801.

    Metode tersebut sampai sekarang menjadi dasar pembelajaran

    anak cacat mental, setelah diterjemahkan secara rinci oleh muridnya

    yang bernama Edouard Sequin dan terbit dalam sebuah buku berjudul

    7

  • 8/16/2019 Sejarah Kurikulum PLB

    14/100

     

     Idiocy and Its Treadment by the Physiological Method pada tahun 1866.

    Beberapa konsep penting yang diuraikan dalam kedua buku tersebut

    antara lain:

    a.  pendidikan anak secara utuh,

     b.  pembelajaran secara individual,

    c.  pembelajaran dimulai sesuai dengan tingkat kemampuan anak, dan

    d. hubungan dekat antara murid dan guru.

    Pada abad XX, konsep-konsep ini dikembangkan lebih lanjut oleh

    tokoh pendidik berkebangsaan Italia, Maria Montessori, yang

    menekankan pada pelatihan semua syaraf / indera. Ovide Dcroly

    (Belgia) mengembangkan kurikulum yang efektif bagi anak tuna

    grahita dan mendirikan sekolah yang kemudian menjadi model di

    seluruh Eropa. Konsep yang berasal dari Itard dan Sequin tersebut

    sekarang juga banyak diterapkan dalam sistem pembelajaran modern.

    Di Amerika Serikat, sekolah khusus bagi anak tuna grahita yang

     pertama didirikan pada tahun 1848 oleh Hervey Backus Wilbur di

    Barre Massachusetts; sedangkan kelas khusus bagi anak tuna grahita di

    sekolah umum yang pertama dibuka pada tahun 1896 di Providence,

    Rhode Island. Di Jerman, kelas khusus serupa dibuka pertama kali

     pada tahun 1859, yang kemudian disusul dengan beberapa sekolah lagi

    di seluruh Eropa.

    Satu titik tolak yang kemudian memberi warna pada perkembangan

    layanan pendidikan bagi anak cacat mental terjadi juga pada awal abad

    XX, tepatnya tahun 1905, dengan dikembangkannya tes intelegensi oleh

    Alfred Binet yang bekerja di sekolah di Paris. Temuan ini

    memberikan sumbangan sangat besar sehingga penentuan cacat

    mental dapat dilakukan secara obyektif.

    8

  • 8/16/2019 Sejarah Kurikulum PLB

    15/100

     

    4.  Pendidikan bagi Anak Tuna Laras

    Penelusuran perkembangan layanan pendidikan bagi anak tuna laras

    mungkin termasuk yang paling sulit. Ada beberapa penyebab, antara

    lain:

    a.  kurangnya ketepatan (precision) dalam mengklasifikasi jenis

    kelainannya

     b. kesulitan dalam mendiagnosis, dan

    c.  kecenderungan menempatkan anak-anak ini dengan jenis

    kecacatan lain.

    Di Amerika Serikat, sekolah khusus bagi anak-anak ini memang

     jarang ditemukan. Kategori gangguan emosi atau gangguan perilaku

    sendiri baru dikenal pada akhir abad XIX, itupun oleh ilmu

    kedokteran jiwa dianggap sebagai bagian dari gangguan mental.

    Pada akhir abad XIX, beberapa sekolah umum mulai

    mengembangkan program bagi anak tuna laras, misalnya di New

    Haven pada tahun 1871 dan di New York pada tahun 1874.

    Penelitian terhadap penyandang gangguan emosi tingkat berat baru

    dimulai pada tahun 1930-an, dan pada awalnya sekolah menolak

    tanggung jawab atas pendidikan anak-anak ini. Tetapi dengan

     berkembangnya ilmu kedokteran jiwa sebagai cabang ilmu tersendiri,

    dunia pendidikan mulai mengembangkan program intervensi bagi anak

    tuna laras berdasarkan hasil diagnosa dan rekomendasi psikiatris.

    5. Pendidikan bagi Anak Tuna Daksa

    Sama seperti halnya yang terjadi dengan tuna laras, layanan pendidikan

    khusus bagi anak tuna daksa memang termasuk langka. Salah satu

    sebabnya adalah bahwa anak-anak tuna daksa sebenarnya tidak

    memerlukan layanan pendidikan tersendiri, yang diperlukan adalah

    layanan kesehatan atau bantuan mobilitas. Namun demikian, ada

    9

  • 8/16/2019 Sejarah Kurikulum PLB

    16/100

     

     beberapa sekolah yang membuka kelas khusus bagi anak tuna daksa,

    seperti di Chicago pada tahun 1899, di Providence pada tahun 1908, dan di

    Baltimore pada tahun 1909. Jika sekarang ada sekolah khusus,

    sekolah-sekolah ini hanya menampung anak-anak yang menyandang

    tuna ganda yang tidak mungkin sama sekali berada di sekolah biasa,

    seperti anak-anak celebral palsy.

    6.  Pendidikan bagi Anak Berbakat

    Apabila dilihat dari pelayanan pendidikan yang tersedia, sebenarnya

    golongan Anak Supernormal ini adalah yang paling tidak beruntung

    karena potensi tinggi yang dimilikinya tidak dapat berkembang secara

    optimal. Ini berarti pula bahwa kita telah menyianyiakan potensi-potensi

    unggul yang ada pada manusia.

    Untuk mengetahui bagaimana perkembangan pendidikan Anak

    Supernormal perlu kita menengok sejarahnya yang menunjukkan bahwa

     program khusus bagi pelayanan Anak Supernormal di dunia telah dirintis

    sejak tahun 1867 yaitu dengan berbagai macam usaha, antara lain seperti

    terselenggaranya sekolah dan kelas khusus, penelitian-penelitian,

     berdirinya lembaga yang bertujuan mengembangkan pendidikan khusus

     bagi Anak Supernormal. Adapun proyek-proyek penelitian yang pernah

    melakukan usaha pengembangan tersebut semenjak tahun 1967 - 1956

    antara lain Elizabeth Plan (dari New Yersey), Cambridge Plan, Santa

    Barbara Plan, "Preparatory School" Plan (di Wercester), Detroit Plan,Stanford Plan (melakukan studi secara genetik di California), Dalton Plan

    (mengadakan eksperimen di Sekolah Dasar), The Nivetka Plan, Mass

    Instruction Plan, The Reguler Detroit Plan, Plan of Vertical Organization,

    Ohio Plan (mengadakan riset terhadap SMA (High School) di Ohio dan

    Studi khusus terhadap Anak-anak Gifted di SO New York dan lain-

    lainnya.

    10

  • 8/16/2019 Sejarah Kurikulum PLB

    17/100

  • 8/16/2019 Sejarah Kurikulum PLB

    18/100

     

    •  Dapat masuk Perguruan Tinggi, 70% dapat selesai sampai lulus

    sedang yang tidak lulus disebabkan karena sakit, kurang

     bimbingan, gangguan ekonomi dan sebagainya, bukan karena

    mental / otaknya.

    •  Umumnya dapat menduduki jabatan yang tinggi. Hanya 4% yang

    menduduki jabatan rendah.

    •  Penyesuaian Sosialnya baik.

    Dari proyek-proyek yang telah dilaksanakan menunjukkan sistem

     pendidikan untuk Anak Supernormal harus dibedakan berdasarkan tingkat

    tingginya inteligensi anak yang terbagi atas 3 golongan yaitu:

    •  Untuk golongan Superior dengan IQ :t 110 – 125 memerlukan

     banyak modifikasi dalam program pendidikan.

    •  Untuk golongan Gifted dengan IQ :t 125 – 150 mungkin

    memerlukan suatu eksperimen yang disediakan untuk mereka.

    •  Untuk golongan Genius dengan IQ :t 150 --.:... 200 memerlukan

    lebih banyak adaptasi yang imaginative dan lebih jauh yang hendak

    dicapai dari pada kelompok lainnya.

    Selama ini, dikenal beberapa macam sistem pendidikan yang tepat

    untuk Anak Supernormal

    •  Pengayaan (Enrichment) adalah pembinaan Anak Supernormal

    dengan penyediaan kesempatan dan fasilitas belajar tambahan

    yang bersifat vertikal (intensif, pendalaman) dan horisontal

    (ekstensif, perluasan). Pengayaan diberikan kepada anak setelah

    yang bersangkutan telah menyelesaikan tugas yang dibebankan

    untuk anak-anak sekelasnya. Pengayaan dapat diberikan seperti

    tugas perpustakaan (library skills), belajar bebas (independent

    study), riset, penelitian, studi-kasus dan lain-lainnya.

    12

  • 8/16/2019 Sejarah Kurikulum PLB

    19/100

     

    •  Percepatan (Acceleration) yaitu cara penanganan Anak

    Supernormal dengan memperbolehkan naik kelas secara

    meloncat (Skipping) atau menyelesaikan program reguler di

    dalam jangka waktu yang lebih singkat.

    Kecuali Amerika Serikat, beberapa negara lain juga mempunyai riwayat

     penanganan anak supernormal, antara lain Uni Sovyet, Israel, Iran

    (dahulu pernah mencoba), sedang di Perancis pernah berusaha

    memperjuangkannya tetapi belum berhasil. Kesulitan terutama karena

     jumlah anak-anak seperti ini (Genius dan Gifted) relatif sedikit,

     penyelenggaraannya tidak mudah, diperlukan kurikulum  dan staf

     pengajar khusus pula.

    Minat negara-negara terhadap Anak-anak Super ini ada bermacam-

    macam bergantung pandangan politik negara itu. Misalnya, negara yang

    sangat kuat dan ingin tetap mempertahankan kekuatanya merasa perlu

    membentuk tenaga-tenaga yang sangat tinggi mutunya dalam bidang

    ilmiah, riset dan sebagainya. Contohnya Rusia dan Amerika Serikat.

    Orang tua juga tidak mau melihat Anak-anak Super mereka merosot di

    sekolah--sekolah biasa.

    Amerika Serikat membentuk badan resmi yang membantu Anak-anak

    Super itu untuk membentuk ilmuwan-ilmuwan yang dapat

    mempertahankan keunggulan negaranya.Anggarannya setiap tahun 3

     juta dolar dan setiap negara bagian masih berusaha lagi memberi

     bantuan khusus. Kalifornia, misalnya, menyediakan 3 juta dolar lagi

    untuk Anak-anak Super di Negara bagian mereka.

    Uni Sovyet sudah 20 tahun ini mempunyai Sekolah-sekolah khusus.

    Untuk mencari Anak-anak Super ini pers memuat tes-tes yang dapat

    diikuti anak-anak sampai di desa-desa. Yang berhasil memberi jawaban

    yang benar diuji lagi. Yang paling baik hasilnya diundang untuk

    13

  • 8/16/2019 Sejarah Kurikulum PLB

    20/100

     

     bertemu dengan ilmuwan-ilmuwan dan dipelajari. Tetapi seleksi

    semacam ini hanya meliputi bidang sains saja. Anak-anak Super yang

    terpilih itu disekolahkan di sekolah-sekolah khusus yang

    diselenggarakan menurut kebutuhan Uni Sovyet.

     Negara-negara yang sedang berkembang sangat membutuhkan teknisi-

    teknisi, ilmuwan-ilmuwan tingkat tinggi dan sebagainya untuk dapat

    maju menyamai negara Barat. Iran pada jaman Shah pernah berambisi

    menjadi bangsa yang tidak bergantung dari teknisi dan ilmuwan Barat.

    Dalam waktu beberapa tahun mereka berhasil menemukan 700 orang

    anak yang mempunyai potensi tinggi, bukan saja dalam bidang

    intelektual tetapi juga dalam hal kepemimpinan. Semua biaya

    ditanggung oleh negara.

    Lain halnya dengan negara Israel, yang merupakan negara yang merasa

    selalu terancam, perlu memanfaatkan semua kekayaan yang mereka

    miliki untuk dapat tetap hidup. Untuk itu, mereka perlu

    memberdayakan potensi unggl yang dimiliki oleh anak-anak

    supernormal.

    Di Perancis yang masuk negara maju, Anak-anak Super mulai

    diperhatikan tetapi baru dalam taraf memberi mereka kesempatan untuk

    melompat kelas (acceleration). Kerugiannya pelajaran-pelajaran yang

    mereka lompati belum pernah mereka peroleh, padahal yang diperlukan

    ialah derap yang lebih cepat.

    Dari gambaran singkat di atas, dapat disimpulkan bahwa bentuk

     pendidikan bagi penyandang cacat yang paling tua adalah sekolah

    khusus sepanjang hari (institution). Tetapi menjelang berakhirnya

    abad XIX, bentuk kelas khusus tampaknya lebih banyak dibuka.

    Pemisahan secara penuh anak cacat dari anak normal mulai

    dipertanyakan.

    14

  • 8/16/2019 Sejarah Kurikulum PLB

    21/100

     

    D. Kecenderungan Integrasi pada Abad XX

    Pada pertengahan abad XX, ada dua isu pokok yang berkaitan dengan

    PLB, yaitu isu mengenai penggunaan label dan isu tentang pendidikan

    terpisah (kelas khusus atau sekolah khusus) bagi anak cacat.

    Seperti dikemukakan oleh Marozas dan May (1988), penggunaan label

     bagi anak cacat seperti tuna netra, tuna rungu, tuna grahita dsb, memang

    mempermudah komunikasi antar tenaga profesi, berguna dalam mencari

    dana, dan mendorong toleransi atas kekurangan yang disandang oleh

     penyandang cacat. Di lain pihak, penggunaan label membawa dampak

    negatif pada anak (stigma, stereotipe), menimbulkan anggapan bahwa

     penyandang jenis kecacatan yang sama mempunyai karakteristik yang

    sama pula, banyak anak yang tidak dapat dimasukkan secara tepat dalam

    salah satu kategori, dan tidak menggambarkan secara tepat kebutuhan akan

    layanan khusus setiap individu. Salah satu alternatif untuk mengatasi

    masalah ini adalah dengan tidak menggunakan label, tetapi cukup dengan

    deskripsi tentang kelemahan dan kelebihan anak. Daripada mengatakan

     Anto tuna grahita, misalnya, lebih positif dikatakan  Anto dapat menghitung

    sampai dengan 10, tetapi belum mampu menggunakan kamar mandi sendiri.  

    Isu kedua adalah pendidikan terpisah bagi anak cacat. Berdasarkan hasil

     penelitian, pemisahan anak cacat (terutama anak-anak bermasalah belajar

    tingkat ringan dan tingkat sedang) dari temannya yang normal tidak

    membawa dampak positif, baik secara akademik maupun sosial. Anak

    cacat perlu diberi kesempatan berinteraksi dengan teman temannya

    yang normal, karena kelak mereka juga akan tinggal dalam masyarakat

    normal, tidak membentuk masyarakat khusus bagi penyandang cacat. Di

    samping itu, secara ekonomis, pendidikan terpisah jauh lebih mahal

    daripada pendidikan terpadu. Akhirnya, kemajuan bidang teknologi

    kependidikan telah memungkinkan guru menangani kelas yang

    heterogen.

    15

  • 8/16/2019 Sejarah Kurikulum PLB

    22/100

     

    Untuk mengatasi kedua masalah tersebut di atas, konsep mainstreaming

    yang berkembang sejak tahun 1960-an dianggap sebagai gagasan yang

    tepat, yang puncaknya adalah diundangkannya Public Law 94-142 , the

     Education for the Handicapped Act,  oleh Kongres Amerika Serikat, yang

    merupakan peraturan perundangan yang pertama kali tentang PLB di

    Amerika serikat. Dengan konsep ini, ALB akan dapat memperoleh

    layanan pendidikan yang layak sesuai dengan kebutuhan individualnya,

    kecuali kesempatan mengembangkan sikap sosial bersama teman-

    temannya yang normal. Dengan konsep ini, pendidikan luar biasa

    dipadukan dengan pendidikan umum, sehingga pendidikan semua anak

    menjadi tanggung jawab beberapa profesi terkait, seperti para guru

     pendidikan luar biasa, guru kelas, psikolog, psikiater, guru Bimbingan

    Penyuluhan, tenaga medis, pekerja sosial, ahli fisioterapi, ahli bina wicara

    dan lain-lain. Seorang anak juga mempunyai beberapa alternatif lingkungan

     penempatan/lingkungan yang bersifat temporer, misalnya bimbingan

    khusus di kelas biasa, bimbingan khusus di luar kelas, kelas khusus,

    sampai yang paling berat adalah institusi (sekolah berasrama), dengan

    ketentuan bahwa seorang anak berkebutuhan khusus harus ditempatkan

     pada the least restrictive environment   baginya. Di sinilah pentingnya

     program pengajaran individual bagi anak luar biasa, yang menggambarkan

    secara pasti kebutuhan khususnya, misalnya bimbingan sosial seminggu

    sekali, bina wicara dua kali seminggu, bimbingan khusus membaca dan

    menulis, atau fisioterapi setengah jam sehari.

    PL 94-142 terus mengalami penyempurnaan dari tahun ke tahun. Pada

    tahun 1986, Kongres mengesahkan PL 99-457, the Individuals with

     Disabilities Education Act,  yang memperluas program dan layanan

    khusus bagi anak usia dini. Pada saat itu, beberapa pakar PLB di Amerika

    Serikat mulai memperjuangkan layanan pendidikan khusus secara

    inklusif, seperti halnya yang diterapkan di negara-negara Skandinavia. Di

    16

  • 8/16/2019 Sejarah Kurikulum PLB

    23/100

     

    negara-negara ini, sudah tidak ada lagi pemisahan antara anak normal

    dengan anak luar biasa. Inilah yang dikenal dengan inclusion yang

    memungkinkan setiap anak memperoleh perlakuan secara

    individ ual. (Reynolds dan Birch, 1988).

    Pada tahun 1994, para Menteri Pendidikan se dunia mendeklarasikan

    Salamanca Statement   yang mengakui karakteristik khusus yang dimiliki

    setiap anak, menjamin hak setiap anak memperolah pendidikan,

    merekomendasikan agar sistem pendidikan dirancang untuk dapat

    mengakomodasi kebutuhan dan karakteristik anak yang sangat bervariasi,

    mendorong layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus secara

    inklusif di sekolah biasa, dan menegaskan bahwa pendidikan inklusif

    merupakan cara paling efektif untuk memerangi sikap diskriminatif.

    Setiap negara didorong untuk mengalokasikan anggaran dengan prioritas

     penyediaan layanan pendidikan semua anak, apapun kondisi dan

     perbedaannya.

    Pada tahun 1997, Kongres Amerika Serikat merevisi PL 99-457 dengan

    fokus pada penanganan sedini mungkin. Anak berkebutuhan khusus usia 3

     – 5 tahun dapat memperolah layanan khusus di rumah, di pusat-pusat

    layanan khusus, atau secara inklusif, sebagai persiapan mengikuti

     pendidikan secara inklusif di sekolah-sekolah. Tidak hanya ABK yang

    memerlukan layanan, tetapi orangtua harus menjadi target perlakukan

     bagi ABK (Friend & Bursuck, 2006).

    Peraturan perundangan yang juga mengatur layanan pendidikan bagi ABK

    di Amerika Serikat disahkan oleh Presiden Bush pada tahun 2001 dikenal

    dengan kebijakan  No Child Left Behind Act (Friend & Bursuck, 2006).

    Sebenarnya peraturan ini lebih mengatur pentingnya asesmen dalam

     pendidikan. Secara bertahap, asesmen akan dikenakan kepada semua

    siswa pada setiap jenjang pendidikan untuk setiap mata pelajaran sampai

    dengan tahun 2008. Asesmen harus mengukur kemampuan berfikir

    tingkat tinggi, hasilnya harus menggambarkan tingkat profisiensi siswa

    17

  • 8/16/2019 Sejarah Kurikulum PLB

    24/100

     

    secara kriteria, bukan hanya secara norma, hasil asesmen disampaikan

    kepada orangtua, dan terpenting bagi pendidikan khusus, hasil asesmen

    terhadap ABK harus dilaporkan secara tesendiri.

    18

  • 8/16/2019 Sejarah Kurikulum PLB

    25/100

     

    P E R K E M B A N G A N P L B D I I N D O N E S I A

    Perkembangan pendidikan luar biasa di Indonesia dapat diklasifikasi menjadi

    masa sebelum merdeka, masa sampai dengan tahun 1984, dan masa sejak

    tahun 1984. Klasifikasi ini berdasarkan kenyataan bahwa sistem pendidikan

    nasional baru dikenal pada tahun 1945, meskipun sebelumnya telah ada

    upaya untuk mendidik anak luar biasa. Bentuk layanan PLB mengalami

     perubahan yang berarti pada tahun 1984, dengan dicanangkannya gerakan wajib

     belajar enam tahun.

    A.  Pendidikan Luar Biasa Sebelum Merdeka

    Pendidikan luar biasa di Indonesia dapat ditelusuri sampai dengan awal

    abad XX. Atas inisiatif dr.Westhoff, pada tahun 1901 dibukalah satu

    lembaga untuk penyandang tuna netra yang pertama di Indonesia,

     bertempat di kota Bandung. Layanan yang diberikan kepada penyandang

    tuna netra, baik untuk anak-anak maupun dewasa, adalah penampungan

    dan latihan kerja dalam bentuk sheltered workshop (bengkel kerjaterbimbing). Modal utama dalam pendirian yayasan ini berasal dari

    keluarga Belanda.

    Sekolah bagi anak tuna grahita yang pertama juga didirikan dikota

    Bandung pada tahun 1927. Pendiri sekolah ini adalah Vereniging Bijzonder

    Onderwijs dengan promotornya bernama Folker, sehingga sekolah ini diberi

    nama Folker School. Pada tahun 1942, nama sekolah ini diganti menjadi

    Perkumpulan Pengajaran Luar Biasa.

    Kota Bandung tampaknya merupakan kota bersejarah bagi PLB di

    Indonesia. Kecuali kedua jenis layanan di atas yang pertama kali dibuka di

    Bandung, sekolah bagi anak tuna rungu-wicara yang pertama juga dibuka

    di Bandung pada tahun 1930, berdasarkan Surat keputusan Nomor 34 Tahun

    1930 sebagai tambahan Berita Negara 1930-09. Pendiri sekolah ini adalah

    19

  • 8/16/2019 Sejarah Kurikulum PLB

    26/100

     

     Ny.C.M.Roelfsema, isteri seorang dokt er ahl i THT, dan sekolah ini

     be rna ma Vereniging Voor Onderwijs an Doofstomme Kinderen in

     Indonesia,  berlokasi di rumah beliau. Pada saat berdiri, sekolah ini

    mempunyai 6 orang siswa bisu tuli. (SLB Negeri Cicendo, 2009). Pada tahun

    1933, gedung sekolah dan asrama di bangun di desa Cicendo, diresmikan

    oleh H.V. A.C. de Jonge, istri Gubernur Jendral Belanda di Indonesia.

    Sekolah tersebut terus berkembang sebagai sekolah swasta dibawah yayasan

    P3ATR, bahkan pada awal-awal Republik Indonesia berdiri, sekolah yang

     bernama SLB B Cicendo tersebut mampu mendatangkan guru-guru dari

    Belanda. Baru mulai tahun 1954, pengelolaan ditangani oleh orang Indonesia

    dengan Saleh Bratawidjaja sebagai kepala sekolah berkebangsaan Indonesia

    yang pertama. Pada tahun 2009, sekolah resmi beralih status sebagai sekolah

    negeri sampai sekarang, dengan nama SLB Negeri Cicendo Kota Bandung. 

    Pada saat yang hampir sama, sebuah sekolah khusus bagi anak tuna rungu-

    wicara putri didirikan di kota Wonosobo Jawa Tengah. Nama sekolah ini

    adalah Werk Voor Misdeelde Kinderen in Nederlands host Indie yang pada

    tahun 1958 diubah menjadi Yayasan Dana Uphakara. Sedangkan bagi anak

    tuna rungu-wicara putra didirikan  Bruder Karitas yang kemudian diganti

    menjadi Yayasan Karya Bahkti.

    Sebuah sekolah bagi anak tuna netra kemudian didirikan di Temanggung

    atas inisiatif masyarakat. Dalam perkembangannya, yayasan Zending

    Protestan membantu membesarkan sekolah tersebut, bahkan juga dibuka

    layanan bagi anak tuna grahita.

    Berbeda dengan perhatian terhadap anak tuna netra, tuna rungu, atau tuna

    grahita, bagi anak-anak nakal belum diselenggarakan sekolah khusus,

    meskipun sudah ada badan-badan seperti Pro Juventute di beberapa

    tempat. Badan ini bertugas menampung anak-anak nakal dan anak terlantar.

    Di penampungan, mereka memdapat layanan pendidikan dan pengajaran,

    20

  • 8/16/2019 Sejarah Kurikulum PLB

    27/100

     

    meskipun yang disediakan bukan pendidikan khusus. Di Tangerang, anak-

    anak nakal eks nara pidana dilatih dengan berbagai ketrampilan.

    Pada masa penjajahan Jepang, lembaga-lembaga PLB ini diijinkan untuk

    terus beroperasi, dengan biaya dari masyarakat sendiri atau oleh yayasan.

    Tetapi karena masalah biaya, selama penjajahan Jepang hampir tidak ada

    kemajuan yang terlihat.

    B.  Perkembangan Sampai Dengan Tahun 1983

    Setelah Indonesia merdeka, keberadaan PLB semakin terjamin, karena

    undangundang yang berlaku, dalam hal ini UU Pendidikan Nomor 12 Tahun

    1954, memuat ketentuan tentang pendidikan dan pengajaran luar biasa.

     Namun demikian, lembaga yang mengawasi dan mengelola PLB telah

     berkali-kali mengalami perubahan, sejalan dengan perkembangan dan

     perubahan dalam tata usaha negara.

    Pada kurun waktu ini, satu-satunya lembaga PLB yang ada di tanah air

    adalah sekolah luar biasa, yaitu sekolah khusus bagi penyandang jenis

    kecacatan tertentu.

    Yang menarik adalah bahwa sampai dengan tahun 1963, PLB dan

    lembaga pendidikan guru PLB, yaitu SGPLB masih dikelola dan diawasi

    oleh instansi yang sama. Organisasi pengawasannya mengalami

     perkembangan, yaitu tahun 1954 oleh Seksi Pengajaran Luar Biasa, bagian dari Balai Pendidikan Guru yang berkedudukan di Bandung;

    tahun 1955 oleh Urusan Pendidikan Luar Biasa, bagian dari Jawatan

    Pengajaran, berkedudukan di Jakarta; tahun 1957 oleh Urusan

    Pendidikan Luar Biasa, bagian dari Jawatan Pendidikan Umum,

     berkedudukan di Jakarta.

    Pada tahun 1963 terjadi perubahan struktur organisasi pada Kementerian

    21

  • 8/16/2019 Sejarah Kurikulum PLB

    28/100

     

    Pendidikan dan Kebudayaan, dan mulai tahun itu, ada pemisahan

     pengawasan antara SLB dengan SGPLB sebagai berikut:

    a.  Pendidikan luar biasa diawasi oleh Dinas Pendidikan Luar Biasa, bagian

    dari Direktorat Pendidikan Pra Sekolah, Sekolah Dasar, dan Sekolah Luar

    Biasa.

     b.  Lembaga pendidikan guru PLB dikelola oleh Dinas Pendidikan Guru

    dan Tenaga Teknis, bagian dari Direktorat Pendidikan Menengah dan

    Guru.

    c.  Pada waktu yang sama, beberapa IKIP telah mulai membuka jurusan PLB

     pada tingkat sarjana muda, dipelopori oleh IKIP Bandung pada tahun1964. Tekanan program ini adalah menghasilkan tenaga ahli dalam

    PLB, dikelola oleh Direktorat Jendral Perguruan Tinggi.

    Pada waktu terjadi reorganisasi lagi di Deperteman Pendidikan dan

    Kebudayaan pada tahun 1980, pengelolaan PLB dan LPTKPLB tetap

    terpisah, yaitu pendidikan luar biasa dibina oleh Subdirektorat Pembinaan

    SLB di bawah Direktorat Pendidikan Dasar pada Direktorat Jendral

    Pendidikan Dasar dan Menengah; lembaga pendidikan guru PLB dibina

    oleh Direktorat Pendidikan Guru dan Tenaga Teknis pada Direktorat

    Jendral yang sama, dan program sarjana PLB tetap berada di IKIP/FKIP di

     bawah Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi.

    Sampai saat itu, sekitar empat ratus buah sekolah luar biasa telah berdiri

    di tanah air, hampir semua dikelola oleh yayasan swasta. Sekolah luar

     biasa diklasifikasikan menjadi 6 jenis berdasarkan jenis kelainan yang

    dilayani, yaitu SLB-A untuk penyandang tuna netra, SLB-B untuk

     penyandang tuna rungu-wicara, SLB-C untuk penyandang tuna grahita,

    SLB-D untuk penyandang tuna daksa, SLB-E untuk penyandang tuna

    laras, dan SLB-G untuk penyandang tuna ganda. Jadi jelas bahwa pada

    masa ini, PLB hanya disediakan bagi 6 jenis kecacatan dan

     penyelenggaraannya hanya terbatas pada sekolah segregatif.

    22

  • 8/16/2019 Sejarah Kurikulum PLB

    29/100

     

    Dalam periode ini, Indonesia ternyata sudah muncul banyak gagasan

     penyelenggaraan pendidikan bluar biasa agi anak supernormal. atau SLB/F

    (Pola Dasar Umum penyelenggaraan pendidikan Luar Biasa dalam Rangka

    Kewajiban Belajar, BP3K, 1980). Beberapa upaya yang nyata antara lain:

    •  Proyek Penelitian dari BP3K dalam kerja sarna dengan Yayasan

    Pengembangan Kreativitas yang dilakukan pada tahun 1980 yaitu

    tentang masalah ideniifikasi Anak berbakat (Supernormal).

    •  Pada Seminar Nasional Pengembangan Kurikulum dan Sarana

    Pendidikan BP3K bulan September 1980 masalah pendidikan Anak

    Berbakat (Supernormal) juga ikut dibahas.

    •  Oleh Perkumpulan Mahasiswa Orthopaedagogik Indonesia (PMOI)

    tanggal 25-26 Oktober 1980 di Surakarta telah diselenggarakan

    Simposium Nasional tentang pendekatan Konseptuan Strategi bagi

    Pelayanan Pendidikan Anak Berbakat (Supernormal) dengan

     penyampaian enam makalah.

    •  Yayasan Masdani dan Yayasan Humalka dalam bulan November

    1980 telah mengadakan Simposium satu hari mengenai metodologi

    untuk Mengidentifikasi Anak yang sangat cerdas dan miskin.

    •  Sebagai salah satu program kegiatan pusat pengembangan

    Kurikulum dan Sarana Pendidikan BP3K tahun 1981-1982

    direncanakan Seminar /Lokakarya Nasional yang diharapkan dapat

    menghasilkan usul-usul dan saran-saran tindak lanjut dari apa yang

    telah dilakukan sampai saat ini dalam usaha merintis pelayanan

     pendidikan khusus bagi Anak Berbakat (Supernormal).

    Sebagai tindak lanjut dari terselenggaranya seminar dan symposium yang

    telah beberapa kali dilakukan di Indonesia sebagaimana tersebut di atas, maka

    tepatnya pada tanggal 13 September 1983. Menteri Pendidikan dan

    Kebudayaan Prof. Dr. Nugroho Notosusanto telah meresmikan pelaksanaan

     program pendidikan Anak Supernormal di Jakarta. Dijelaskan Menteri Anak-

    anak didik yang hadir sebagai angkatan pertama hendaknya diusahakan dapat

    23

  • 8/16/2019 Sejarah Kurikulum PLB

    30/100

     

    ditemukan bakat-bakatnya maupun potensinya untuk diberi kesempatan

     berkembang secara wajar dengan sedikit mungkin hambatan. Diharapkan

    Anak Supernormal merupakan waduk daripada sumber daya manusia yang

     berbakat sehingga pembangunan negara Indonesia untuk waktu yang akan

    datang akan lebih meningkat, lebih tepat guna mencapai hasH yang diinginkan

    kita bersama. Menteri Nugroho mengharapkan di antara anak didik itu nanti

    akan tumbuh sebagai ahli matematika, ahli Ilmu alam, ahli Ilmu fisika, ahli

    sejarah, ahli pendidikan, ahli psikologi dan berbagai macam keahlian yang

    masing-masing memerlukan bakat intelektual, apalagi kalau tingkat

    kecerdasannya sangat luar biasa tingginya.

    Dalam rangka kesempatan yang seluas-Iuasnya pada anak didik yang

    mempunyai IQ di at as rata-rata agar dapat mengembangkan kemampuan dan

     bakatnya secara, optimal Balitbang Dikbud (Badan Penelitian dan

    Pengembangan Pendidikan dan' Kebudayaan) telah mengadakan Uji-Coba

    "program pendidikan anak berbakat" pada 5 SMP dan 4 SMA dengan di

    wilayah DKI Jakarta. Adapun pendidikan anak berbakat yang diberikan terdiri

    dari mata pelajaran Fisika, Kimia, Biologi, IPBA (llmu Pengetahuan Bumi

    dan Antariksa), Elektronika, Otomotif, Pertanian, Matematika, Bahasa Inggris,

    Ketrampilan Kepustakaan dan Ketrampilan Meneliti (Library skills dan

    Research skills). Mata pelajaran tersebut diberikan dalam bentuk "modul"

    yang sifatnya memperkaya/enrichment. Para penulis modul tersebut antara

    lain dosen IKIP Jakarta, IKIP Bandung, IKIP Malang dan IKIP Surabaya.

    Pihak-pihak yang terlibat dalam menangani pelaksanaan pendidikan anak

     berbakat yaitu Kepala Sekolah, Guru (yang telah ditatar khusus untuk

    mengajar anak berbakat), konselor, serta orang tua murid 1 masyarakat. Untuk

    menentukan siapa-siapa yang dapat dikategorikan sebagai anak/murid anak

     berbakat, Balitbang Dikbud telah mengadakan penjaringan dan seleksi dengan

    menggunakan antara lain test IQ.

    Untuk melaksanakan Uji Coba ini, para guru telah ditatar lebih dahulu dan

    24

  • 8/16/2019 Sejarah Kurikulum PLB

    31/100

     

    dipersiapkan serta terus menerus akan dibina oleh suatu tim ahli yang khusus

    ditugaskan untuk itu antara lain memperdalam ilmu dan metodologinya.

    Dengan tetap mencampurkan mereka di kelas biasa diharapkan anak

    supernormal tetap berkembang sesuai dengan usianya dalam hal kejiwaan.

    C. 

    Perkembangan Tahun 1984

    Tahun 1984 merupakan tahun yang mempunyai arti besar bagi

    dunia pendidikan di Indonesia, karena pada tahun itulah pemerintah

    mencanangkan gerakan wajib belajar enam tahun, yang berarti bahwa

    semua anak usia sekolah harus menyelesaikan pendidikan minimal

    sampai dengan tingkat SD: Untuk menuntaskannya, berbagai langkah

    telah ditempuh, misalnya pendirian sekolahsekolah baru, gerakan Kejar

    Paket A, sekolah kecil, sekolah terbuka, dsb.

    Gerakan wajar 6 tahun ini ternyata mempunyai pengaruh besar terhadap

     perkembangan PLB di tanah air. Anak luar biasa tidak mungkin

    tertampung di SLB-SLB yang telah ada. Kecuali jumlahnya masih sangat

    terbatas, letaknyapun sebagian besar berada di kota-kota besar, sedangkan

    hampir semua pengelolanya adalah yayasan swasta. Untuk mengatasi

    masalah ini, beberapa langkah penting telah diambil, antara lain:

    a.  Diperkenalkannya bentuk layanan pendidikan yang baru, yaitu

    sekolah dasar luar biasa (SDLB). Berbeda dengan SLB, SDLB

    menyelenggarakan pendidikan dasar bagi tunanetra, tunatungu,

    tunagrahita dan tunadaksa dalam satu sekolah. Dengan dana proyek Inpres, pada tahun 1984 didirikan sebanyak 200 buah

    SDLB pada 200 kabupaten/kotamadya yang belum mempunyai SLB

    sama sekali.

     b. Diresmikannya beberapa sekolah umum untuk dapat juga menerima

    ALB, terutama penyandang tuna netra dengan potensi akademik

    normal. Sekolah ini kemudian disebut sekolah terpadu.

    c.  Didirikannya SLB Pembina di berbagai daerah di Indonesia. Seperti

    25

  • 8/16/2019 Sejarah Kurikulum PLB

    32/100

     

    dijelaskan sebelumnya, hampir semua SLB yang ada adalah

    sekolah swasta. Kecuali menjadi sekolah model bagi SLB-SLB

    swasta di sekitarnya dalam hal penyelenggaraan pendidikan. SLB

    Pembina merupakan sekolah negeri yang didirikan untuk tujuan

     penelitian, pelatihan, dan pendidikan dalam bidang PLB.

    Sampai dengan tahun 1990, di Indonesia telah ada 525 buah SLB (terdiri

    502 sekolah swasta dan 23 sekolah negeri, termasuk sekolah-sekolah

     pembina (Ditdikgutentis, 1991). Banyak diantaranya yang

    menyelenggarakan pendidikan sampai dengan tingkat SLTA. Di samping

    itu, terdapat 209 buah SDLB (seluruhnya negeri ). Berbagai lembaga PLB

    tersebut di atas baru dapat menampung sekitar 33.000 orang ALB.

    Sedangkan kelanjutan sekolah-sekolah terpadu tidak banyak diketahui.

    Dari data ini terlihat bahwa tidak banyak perubahan dalam layanan PLB di

    Indonesia. Pertama,  jenis kecacatan yang dilayani masih tetap sarna,

    yaitu hanya anak-anak tunanetra, tunarungu-wicara, tunagrahita,

    tunadaksa, tunalaras, dan tuna ganda. Belum pernah ada pemikiran untuk

     juga menyediakan layanan khusus bagi anak-anak lambat belajar dan

     berkesulitan belajar di sekolah-sekolah biasa. Kedua,  bentuk layanan

    masih cenderung segregatif. Meskipun ada upaya mengintegrasikan

    anak tuna netra di sekolah biasa, perkembangannya ternyata tidak

    menggembirakan.

    Pada tahun 1994, muncullah kebijakan yang tampaknya akan membawa

    warna barn dalarn perkembangan PLB di Indonesia. Pertama,

    diresmikannya pemakaian kurikulum PLB tahun 1994 yang berbeda dengan

    kurikulum sebelumnya. Di dalam

    kurikulum yang baru, nama satuan PLB bukan lagi SLB dan SDLB tetapi

    menjadi SDLB (pendidikan umum tingkat SD selama 6 tahun), SLTPLB

    26

  • 8/16/2019 Sejarah Kurikulum PLB

    33/100

     

    (pendidikan semi kejuruan setingkat SMP selama 3 tahun), dan SMLB

    (pendidikan kejuruan

    Setingkat SLTA). Dengan kurikulum baru, pada tingkat SLTLP dan

    SLTA, ALB yang mempunyai potensi akademik tinggi tampaknya harus

    didorong untuk berintegrasi di SMP umum, karena pada kedua jenjang

     pendidikan ini kurikulum PLB lebih banyak menyediakan pendidikan

    ketrampilan. Kedua, ditingkatkannya jenjang pendidikan calon guru PLB

    dari 2 tahun sesudah SLTA menjadi program sarjana di IKIP/FKIP

    universitas. Sebagai akibat dari kebijakan ini, beberapa SGPLB

    dialihfungsikan menjadi sekolah lain (Solo dan Yogyakarta), beberalapa lagi

    diintegrasikan ke Jurusan/Prigram studi S1 PLB IKIP dan FKIP (seperti

    Bandung, surabaya, Padang dan Makasar) SLTA lain, beberapa lagi

    diintegrasikan ke jurusan PLB pada IKIP/FKIP universitas terdekat,

    sedangkan kurikulum S 1 PLB yang ada lebih disempurnakan untuk juga

    dapat menghasilkan calon guru PLB yang berkualitas.

    Elaborasi sekolah terpadu HKI – braillo sos inklusi dan berbakat  

    akselerasi

    D.  Perkembangan Menuju Inklusi Abad XXI

    Elaborasi ulang (rativikasi-braillo-balitbang-dirPSLB)

    Istilah inklusif semakin popular dalam dunia pendidikan di Indonesia, khususnya

     pendidikan luar biasa (PLB). Pengembangan pendidikan inklusif menjadi salah satu

     program Direktorat Pendidikan Luar Biasa mulai tahun 2001 (Nasichin, 2001).

    Sementara itu, dalam beberapa tahun terakhir, Pusat Penelitian Balibangdiknas

    mengadakan ujicoba pendidikan inklusif di Wonosari, Gunungkidul, Yogjakarta

    (Suroto, 2002). Ceramah, diskusi, dan tulisan juga telah banyak dibuat tentang

     pendidikan inklusif. Yang masih menjadi pertanyaan adalah apakah ada kesamaan

     persepsi mengenai istilah inklusi sendiri, karena di negara asal konsep inklusi sendiri,

    masih ada perbedaan pengertian. Perlu dimengerti bahwa pendidikan inklusif

    memerlukan satu prasyarat, yaitu pengakuan secara responsive terhadap perbedaan

    individu. Pelaksanaan pendidikan inklusif juga memerlukan modifikasi administrasi

    27

  • 8/16/2019 Sejarah Kurikulum PLB

    34/100

     

     pendidikan dan pembelajaran terhadap administrasi pendidikan konvensional yang

    sekarang dipakai di sekolah-sekolah.

    Secara resmi, pendidikan inklusif diakui di dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun

    2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pada pasal 5 disebutkan bahwa hak

    memperoleh layanan pendidikan khusus dijamin bagi warga negara yang mempunyai

    kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan / atau sosial, yang harus disediakan

    di sekolah khusus atau secara inklusif. Pendidikan inklusif kemudian dirintis secara

    resmi pada tahun 2003 melalui

    Surat Edaran Dirjen Dikdasmen Depdiknas No.380 /C.66/MN/2003, 20 Januari 2003

     perihal Pendidikan ABK di sekolah umum bahwa di setiap Kabupaten/Kota di

    seluruh Indonesia sekurang kurangnya harus ada 4 sekolah penyelenggara

     pendidikan inklusi yaitu di jenjang SD, SMP, SMA dan SMK masing-masing

    minimal satu sekolah.

    Puncak dari kebijakan dalam pendidikan inklusif adalah dikeluarkannya Peraturan

    Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif BagiPeserta Didik Yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan / atau

    Bakat Istimewa. Dalam Peraturan ini, yang dimaksud dengan pendidikan inklusif

    adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada

    semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan

    dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam

    lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya.

    Menurut pasal 2 peraturan tersebut, pendidikan inklusif bertujuan:

    a. memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua peserta didik

    yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial, atau memiliki

     potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk memperoleh pendidikan

    yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya;

    b. mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai

    keanekaragaman, dan tidak diskriminatif bagi semua peserta didik

    sebagaimana yang dimaksud pada huruf a.

    28

  • 8/16/2019 Sejarah Kurikulum PLB

    35/100

     

    Sedangkan pada pasal 3 disebutkan bahwa setiap peserta didik yang memiliki

    kelainan fisik, emosional, mental, sosial, atau memiliki potensi kecerdasan

    dan/atau bakat istimewa berhak mengikuti pendidikan secara inklusif pada satuan

     pendidikan tertentu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. Selanjutnya

     pada pasal 4 diatur bahwa pemerintah kabupaten/kota menunjuk minimal satu

    sekolah dasar, dan satu sekolah menengah pertama pada setiap kecamatan dan

    satu satuan pendidikan menengah untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif

    yang wajib menerima peserta didik berkebutuhan khusus.

    Respon masyarakat terhadap pendidikan inklusif sangat positif terbukti sampai akhir

    tahun 2008 telah dirintis sekitar 925 sekolah sebagai penyelenggara pendidikan inklusif di

    Indonesia dengan perincian pada tabel berikut.

    Data Jumlah Sekolah dan Siswa ABK di Indonesia

    SEKOLAH TK SD SMP SMA JUMLAH

    1. SLB(Cacat) 498 1.176 521 433 2.627

    2. Sek.

    Inklusi ABK

    (Cacat)

    17 641 75 57 790

    3. Sek.

    Inklusi ABK

    (Aksel)

    - 25 49 61 135

    SISWA TK SD SMP SMA JUMLAH

    1. SLB

    (Cacat)

    7.982 44.724 9.381 4.338 66.425

    2. Sek.

    Inklusi ABK

    (Cacat)

    67 9.264 879 195 10.405

    3. Sek.

    Inklusi ABK

    (Aksel)- 441 1.969 2.261 4.671

    Sumber : Direktorat Pembinaan SLB Depdiknas, 2008

    29

  • 8/16/2019 Sejarah Kurikulum PLB

    36/100

     

    Dari data tersebut diketahui bahwa jumlah sekolah inklusi

    sebanyak 925 sekolah, terdiri dari 790 sekolah inklusi ABK Cacat dan 135

    sekolah inklusi ABK Akselerasi.

    30

  • 8/16/2019 Sejarah Kurikulum PLB

    37/100

     

    KURIKULUM 1977

    A. Latar Belakang

    Dunia dan masyarakat telah mengalami banyak perubahan sejak tahun 1968. Hal

    ini belum dipertimbangkan dalam kurikulum 1968 yang sudah dikembangkan

    uktuk sekolah-sekolah umum, sedangkan bagi SLB memang belum disusun

    kurikulum tersendiri. Menyadari hal itu, pemerintah, dalam hal ini Departemen

    Pendidikan dan Kebudayaan, pada bulan mei 1974, menyadari pentingnya

    meninjau dan memperbarui kurikulum yang sudah berjalan selama enam tahun

    (Dep P dan K, 1975). Kebijaksanaan ini telah melahirkan serangkain kegiatan

    untuk meneliti dan mengembangkan kurikulum baru yang lebih sesuai, dilakukan

     bersama oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan

    dengan Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah. Hasil dari

    serangkaian kegiatan ini adalah Kurikulum SD, SMP, dan SMA yang diresmikan

     pada tahun 1975 untuk mulai berlaku pada tahun ajaran 1976, sedangkan untuk

    SLB baru diresmikan pada tahun 1977 yang menjadi kurikulum nasional pertama

    kali di Indonesia.

    B. Karakteristik Kurikulum 1977

    Dalam kurikulum ini, kemampuan, pengetahuan, dan sikap yang harus dimilki

    oleh para lulusan dirumuskan dalam bentuk tujuan-tujuan pendidikan, terdiri dari

    tujuan institusional, tujuan kurikuler, dan tujuan instruksional. Setiap guru dan

    tenaga kependidikan lainnya harus mendalami setiap tujuan yang telah ditetapkan,

    agar dapat memahami jenis kegiatan belajar yang perlu direncanakan. Agar

    rencana kegiatan belajar benar-benar efektif dan fungsional, kurikulum ini

    mengharuskan setiap guru menggunakan teknik penyusunan program pengajaran

    yang dikenal dengan PPSI (Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional).

    Ada empat hal yang ditekankan dalam kurikulum ini, yaitu:

    31

  • 8/16/2019 Sejarah Kurikulum PLB

    38/100

     

    1.  Kurikulum ini manganut pendekatan yang berorientasi kepada tujuan. Ini

     berarti bahwa setiap gutu harus mengetahui secara jelas tujuan yang harus

    dicapai oleh para siswa dalam menyusun rencana kegiatan belajar

    mengajar dan membimbing serta melaksanakan rencana tersebut.

    2.  Kurikulum ini menganut pendekatan integratif dalam arti setiap pelajaran

    dan bidang pelajaran memiliki arti dan peranan dalam menunjang

    tercapainya tujuan-tujuan yang lebih akhir.

    3.  Pendidikan Moral Pancasila dalam kurikulum ini tidak hanya dibebankan

    kepada mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila dalam pencapaiannya,

    tetapi juga kepada pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial dan pendidikan

    agama.

    4.  Kurikulum ini menekankan kepada efisiensi dan efektifitas penggunaan

    dana, daya, dan waktu. Waktu yang tersedia pada jam sekolah hendaknya

    dimanfaatkan bagi kegiatan-kegiatan belajar untuk mencapai tujuan-tujuan

    yang tidak mungkin dilakukan di luar situasi sekolah.

    Dalam menyusun dan membakukan kurikulum 1977, telah digunakan beberapa

     prinsip yang memungkinkan sistem pendidikan yang benar-benar efisien dan

    efektif, yaitu:

    1.  Prinsip fleksibilitas : penyelenggaraan pendidikan ketrampilan di sekolah

    hendaknya mengingat faktor-faktor ekosistem dan kemampuan sekolah

    untuk menyediakan fasilitas bagi berlangsungnya program ketrampilan.

    2.  Prinsip efisien dan efektifitas: waktu yang terbatas di sekolah hendaknya

    tidak dimanfaatkan untuk kegiatan yang sebenarnya dapat dilakukan

    siswa di luar lingkungan sekolah, seperti mencatat atau membaca buku

    yang dapat dilakukan di rumah. Agar efisien, hindari alokasi waktu belajar

    yang hanya satu jam pelajaran untuk satu pertemuan.

    3.  Prinsip beorientasi pada tujuan: sebelum menentukan jam dan bahan

     pelajaran, para guru hendaknya terlebih dahulu menetapkan tujuan yang

    harus dicapai oleh para siswa dalam mempelajari suatu mata pelajaran.

    32

  • 8/16/2019 Sejarah Kurikulum PLB

    39/100

     

    Proses penetapan tujuan berlangsung dari tingkatan yang paling umum

    menuju ke tingkatan yang lebih khusus.

    4.  Prinsip kontinuitas: pendidikan merupakan proses yang berlangsung

    seumur hidup. Pendidikan dasar disusun agar para lulusan dapat mengikuti

     pendidikan menengah, Kecuali tentu saja menjadi anggota masyarakat

    yang baik. Pendidikan menengah dirancang untuk menyiapkan lulusan

    melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi, kecuali menjadi anggota

    masyakarat yang baik dan memiliki ketrampilan untuk bekerja. Kurikulum

    ketiga jenjang pendidikan tersebut harus mempunyai hubungan hirarkis

    dan fungsional.

    5.  Prinsip pendidikan seumur hidup: setiap manusia Indonesia diharapkan

    untuk selalau berkembang sepanjang hdupnya. Sekolah dan masyarakat

    diharapkan dapat menciptakan situasi yang menantang. Tugas sekolah

     bukan hanya mengembangkan pengetahuan dan kecakapan yang berguna

    secara langsung setelah lulus, melainkan juga menyiapkan sikap dan nilai

    serta kemampuan untuk belajar sepanjang hayat.

    C.  Sistematika Kurikulum 1977

    Perangkat Kurikulum 1977 meliputi:

    Buku 1: berisi tujuan institusional dan struktur program

    Buku 2: berisi garis besar program pengajaran, yang di dalamnya berisi:

    •  Rumusan tujuan kurikuler setiap bidang pengajaran

    •  Tujuan instruksional umum yang secara bertahap harus dicapai oleh setiap

     bidang pengajaran

    •  Pokok-pokok bahasan untuk setiap bidang pengajaran dari tahun ke tahun

    Buku 3: berisi penjelasan umum pelaksanaan kurikulum

    Buku 4: berisi pedoman khusus tentang penilaian, bimbingan penyuluhan,

    administrasi dan supervisi pendidikan.

    33

  • 8/16/2019 Sejarah Kurikulum PLB

    40/100

     

    D. Tujuan Institusional dan Struktur Program

    Tujuan institusional SLB

    Tujuan Institusional SLB/A Program Pendidikan Tingkat Dasar adalah :

    1)  memberi bekal kemampuan untuk memasuki jenjang pendidikan

    menengah pertama;

    2)  memberi bekal keterampilan dasar untuk dapat dikembangkan menjadi

    keterampilan kejuruan yang sesuai dengan tuntutan masyarakat dan dunia

    kerja;

    3)  mengembangkan kemampuan untuk mengenal dan memanfaatkan

    lingkungan serta bergerak dengan mudah, terarah dan tidak terbatas.

    Tujuan Institusional SLB/B Program Pendidikan Tingkat Dasar adalah :

    1)  memiliki pengetahuan, keterampilan, dan sikap dasar untuk berbahasa dan

     berkomunikasi sebagai landasan guna memperoleh pengetahuan,

    keterampilan, dan sikap yang setaraf dengan pendidikan dasar pada SD

     biasa/umum;

    2)  memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap dasar tentang berbagai

    keterampilan yang baik sesuai dengan kemampuan/ketakmampuannya

    maupun keperluan dan tuntutan masyarakat;

    3)  mampu menyesuaikan diri secara sosial-emosional dalam kehidupan

    sehari-hari;

    4)  memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap dasar untuk memanfaatkan

    sisa pendengaran yang dimiliki;

    5)  siap secara fungsional untuk dapat mengikuti pendidikan di tingkat

    Menengah Pertama pada sekolah Luar Biasa Tunarungu atau di Sekolah

    Menengah Tingkat Pertama di sekolah biasa;

    Tujuan Institusional SLB/C Program Pendidikan Tingkat Dasar adalah:

    1)  memberi bekal kemampuan kognitif, psikomotorik dan afektif yanhg

    memungkinkan siswa sesuai dengan kemampuannya memasuki jenjang

     pendidikan lebih tinggi;

    34

  • 8/16/2019 Sejarah Kurikulum PLB

    41/100

     

    2)  memberi bekal pengetahuan keterampilan yang

    menunjang/memungkinkan siswa mandiri;

    3)  mengembangkan emosi dan sosialisasi siswa serta kemampuan

     penyesuaian diri sehingga ia mampu bekerja sama dengan lingkungannya.

    Tujuan Institusional SLB/C.1. Program Pendidikan Tingkat Dasar adalah :

    1)  memantapkan kemampuan siswa untuk menolong diri sendiri;

    2)  memberi bekal sebagian dari pengetahuan yang bersifat akademik yang

    dapat menunjang kehidupan mandiri siswa;

    3)  memberi keterampilan berkomunikasi dengan lingkungan;

    4)  memberi bekal pengetahuan, keterampilan dan sikap dasar mengenai

     beberapa keterampilan dasar kejuruan agar siswa siap mengikuti Program

    Pendidikan Kejuruan.

    Tujuan Institusional SLB/D Program Pendidikan Tingkat Dasar adalah:

    1)  memberi bekal keterampilan pada siswa dalam mengatasi hambatan

    motoriknya;

    2)  memberi bekal untuk dapat mengembangkan diri sendiri sesuai dengan asa

     pendidikan seumur hidup;

    3)  memberi bekal berupa keterampilan sosial dan kemantapan pribadi yang

    diperlukan siswa dalam kehidupan bermasyarakat;

    4)  memberi bekal keterampilan dasar sesuai dengan umurnya untuk dapat

    melaksanakan pekerjaan sederhana di lingkungannya.

    Tujuan Institusional SLB/D.1. Program Pendidikan Tingkat Dasar adalah:

    1)  mengembangkan kemampuan koordinasi sensomotorik siswa;

    2)  memberi bekal keterampilan pada siswa guna mengatasi hambatan

    motoriknya;

    3)  memberi bekal kemampuan kepada siswa agar dapat menguasai beberapa

    keterampilan yang memungkinkan dapat menunjang kehidupan mandiri;

    35

  • 8/16/2019 Sejarah Kurikulum PLB

    42/100

     

    4)  mengusahakan agar siswa dapat mengembangkan diri secara sosial

    emosional sehingga dapat bekerja sama dengan lingkungan dalam batas-

     batas kemampuan yang dimilikinya;

    5)  mengembangkan kemampuan dasar kognitif, dan kreatif siswa;

    6)  mengembangkan kemampuan di bidang pengetahuan, keterampilan dan

    sikap dasar mengenai beberapa keterampilan dasar kejuruan siswa.

    Tujuan Institusional SLB/E

    1)  sebagai lembaga pendidikan, SLB/E bertujuan untuk membentuk siswa

    agar menjadi manusia Indonesia seutuhnya berdasarkan Pancasila yang

    mampu membangun dirinya sendiri, dan ikut bertanggung jawab terhadap

     pembangunan bangsa.

    2)  sebagai lembaga pendidikan luar biasa pada tingkat dasar, SLB/E

     bertujuan untuk memberi bekal kemampuan bagi siswa untuk melanjutkan

    ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

    3)  Sesuai dengan asas pendidikan seumur hidup, SLB/E memberikan bekal

     bagi siswa untuk mengembangkan dirinya sesuai tuntutan dan kebutuhan

    masyarakat.

    4)  Sesuai dengan fungsinya, SLB/E memberikan pelayanan, pembinaan, dan

     perbaikan pribadi dan sosial siswa agar dapat bermasyarakat dan

    memasyarakat secara harmonis.

    Struktur program kurikulum SLB

    STRUKTUR PROGRAM KURIKULUM SLB

    SEKOLAH LUAR BIASA TUNANETRA (SLB-A) TINGKAT

    DASAR

    KELAS No BIDANG PENGAJARAN

    I II III IV V VI

    1. Pendidikan Agama 2 2 2 2 2 2

    2. Pendidikan Moral Pancasila 2 2 2 2 2 2

    36

  • 8/16/2019 Sejarah Kurikulum PLB

    43/100

     

    KELAS No BIDANG PENGAJARAN

    I II III IV V VI

    3. Pendidikan Sejarah Perjuangan

    Bangsa 1)

    1 1 1 1 1 1

    4. Bahas Indonesia 2) 10/9 10/9 8/7 8/7 8/7 8/7

    5. Ilmu Pengetahuan Sosial - - 3 3 3 3

    6. Matematika 6 6 6 6 6 6

    7. Ilmu Pengetahuan Alam 2 2 4 4 4 4

    8. Olahraga dan Kesehatan 2 2 3 3 3 3

    9. Pendidikan Kesenian 2 2 4 4 4 4

    10. Pendidikan Keterampilan 2 2 4 4 4 4

    11. Orientasi dan Mobilitas 2 2 2 2 2 212. Bahasa Daerah 3) (2) (2) (2) (2) (2) (2)

    30 30 38 38 38 38

    (32) (32) (40) (40) (40) (40)

     

    Catatan :

    1)  diberikan pada setiap cawu 3

    2)   pada kelas I dan II, pada cawu 1 dan 2 diberikan dengan waktu 10 jam

     pelajaran per minggu, dan pada cawu 3 diberikan dengan waktu 9 jam

     pelajaran per minggu. Pada kelas III sampai kelas VI, pada cawu 1 dan 2

    diberikan denganwaktu 8 jam pelajaran per minggu, dan pada cawu 3

    diberikan waktu 7 jam pelajaran per minggu.

    3)  Bagi daerah atau sekolah yang memberikan pelajaran Bahasa Daerah.

    STRUKTUR PROGRAM KURIKULUM

    SEKOLAH LUAR BIASA TUNARUNGU (SLB-B) TINGKAT

    DASAR

    KELAS No BIDANG PENGAJARAN

    I II III IV V VI VII VIII

    1. Pendidikan Agama 2 2 2 2 2 2 2 2

    2. Pendidikan Moral Pancasila - - 2 2 2 2 2 2

    3. Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa 1) - - 1 1 1 1 1 1

    4. Bahas Indonesia 2) 12 12 10/ 9

    10/ 

    9

    8/7 8/7 8/7 8/7

    5. Ilmu Pengetahuan Sosial - - 2 2 3 3 3 3

    6. Matematika 4 4 6 6 6 6 6 6

    37

  • 8/16/2019 Sejarah Kurikulum PLB

    44/100

     

    KELAS No BIDANG PENGAJARAN

    I II III IV V VI VII VIII

    7. Ilmu Pengetahuan Alam - - 2 2 4 4 4 4

    8. Olahraga dan Kesehatan 4 4 4 4 3 3 3 3

    9. Pendidikan Kesenian 4 4 4 4 2 2 2 2

    10. Pendidikan Keterampilan 4 4 4 4 6 6 6 6

    11. Bina Persepsi Bunyi dan Irama 2 2 2 2 2 2 2 2

    32 32 38 38 38 38 38 38

    Catatan :

    1)  diberikan pada setiap cawu 3

    2)   pada kelas I dan II, diberikan dengan waktu 12 jam pelajaran per

    minggu, dan pada cawu 3 diberikan dengan waktu 9 jam pelajaran per

    minggu. Pada kelas III dan IV, pada cawu 1 dan 2 diberikan

    denganwaktu 10 jam pelajaran per minggu, dan pada cawu 3 diberikan

    waktu 9 jam pelajaran per minggu. Pada kelas V dan VI, pada cawu 1

    dan 2 diberikan denganwaktu 8 jam pelajaran per minggu, dan pada

    cawu 3 diberikan waktu 7 jam pelajaran per minggu.

    STRUKTUR PROGRAM KURIKULUM

    SEKOLAH LUAR BIASA TUNAGRAHITA (SLB-C) TINGKAT

    DASAR

    KELAS No BIDANG PENGAJARAN

    I II III IV V VI

    1. Pendidikan Agama 2 2 2 2 2 2

    2. Pendidikan Moral Pancasila 2 2 2 2 2 2

    3. Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa 1) 1 1 1 1 1 1

    4. Bahas Indonesia 2) 8/7 8/7 8/7 8/7 8/7 8/7

    5. Ilmu Pengetahuan Sosial 2 2 4 4 4 4

    6. Matematika 2 2 4 4 4 4

    7. Ilmu Pengetahuan Alam 2 2 3 3 3 3

    8. Olahraga, Kesehatan dan Sensomotorik 5 5 5 5 5 5

    9. Pendidikan Kesenian 2 2 2 2 2 2

    10. Pendidikan Keterampilan 3 3 6 6 6 6

    11. Bina Diri 2 2 2 2 2 2

    12. Bahasa Daerah 3) (2) (2) (2) (2) (2) (2)

    30 30 38 38 38 38

    (32) (32) (40) (40) (40) (40)

    38

  • 8/16/2019 Sejarah Kurikulum PLB

    45/100

     

    Catatan :

    1)  diberikan pada setiap cawu 3

    2)  diberikan pada cawu 1 dan 2 dengan waktu 8 jam pelajaran per minggu,

    dan pada setiap cawu 3 diberikan dengan waktu 7 jam pelajaran per

    minggu.

    3)  Bagi daerah atau sekolah yang memberikan pelajaran Bahasa Daerah.

    STRUKTUR PROGRAM KURIKULUM

    SEKOLAH LUAR BIASA TUNAGRAHITA (SLB-C1)

    TINGKAT DASAR

    KELAS No BIDANG PENGAJARAN

    I II III IV V VI VII VIII

    1. Pendidikan Agama 2 2 2 2 2 2 2 2

    2. Pendidikan Moral Pancasila 2 2 2 2 2 2 2 2

    3. Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa 1) - - - - - - 1 1

    4. Bahas Indonesia 8 8 6 6 6 6 6 6

    5. Pengenalan Lingkungan 2 2 4 4 4 4 4 4

    6. Matematika/Berhitung 2 2 3 3 3 3 3 3

    7. Pendidikan Menolong Diri Sendiri 4 4 4 4 4 4 4 48. Pendidikan Kerumahtanggaan 2 2 3 3 3 3 4 4

    9. Pendidikan Olahraga, Kesehatan, danSensomotorik

    4 4 4 4 4 4 4 4

    10. Pendidikan Kesenian 2 2 3 3 3 3 3 3

    11. Pendidikan Keterampilan 2 2 3 3 3 3 4 4

    30 30 34 34 3

    4

    34 38 38

    Catatan :

    1.  diberikan pada setiap cawu di kelas VII dan VIII

    2.  diberikan pada cawu 1 dan 2 dengan waktu 8 jam pelajaran per minggu,

    dan pada setiap cawu 3 diberikan dengan waktu 7 jam pelajaran per

    minggu.

    3.  Bagi daerah atau sekolah yang memberikan pelajaran Bahasa Daerah.

    39

  • 8/16/2019 Sejarah Kurikulum PLB

    46/100

     

    STRUKTUR PROGRAM KURIKULUM

    SEKOLAH LUAR BIASA TUNANETRA (SLB-D) TINGKAT

    DASAR

    KELAS No BIDANG PENGAJARAN

    I II III IV V VI

    1. Pendidikan Agama 2 2 2 2 2 2

    2. Pendidikan Moral Pancasila 2 2 2 2 2 2

    3. Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa 1) 1 1 1 1 1 1

    4. Bahas Indonesia 2) 8/7 8/7 8/7 8/7 8/7 8/7

    5. Ilmu Pengetahuan Sosial - - 3 3 3 3

    6. Matematika 6 6 6 6 6 6

    7. Ilmu Pengetahuan Alam 2 2 4 4 4 48. Olahraga dan Kesehatan 2 2 3 3 3 3

    9. Pendidikan Kesenian 2 2 4 4 4 4

    10. Pendidikan Keterampilan 2 2 4 4 4 4

    11. Bina Diri dan Bina Gerak 2 2 2 2 2 2

    12. Bahasa Daerah 3) (2) (2) (2) (2) (2) (2)

    30 30 38 38 38 38

    (32) (32) (40) (40) (40) (40)

    Catatan :

    1)  diberikan pada setiap cawu 3

    2)   pada cawu 1 dan 2 diberikan dengan waktu 8 jam pelajaran per minggu,

    dan pada cawu 3 diberikan dengan waktu 7 jam pelajaran per minggu.

    3)  Bagi daerah atau sekolah yang memberikan pelajaran Bahasa Daerah.

    STRUKTUR PROGRAM KURIKULUM

    SEKOLAH LUAR BIASA TUNANETRA (SLB-D1) TINGKAT

    DASAR

    KELAS No BIDANG PENGAJARAN

    I II III IV V VI VII VIII

    1. Pendidikan Agama 2 2 2 2 2 2 2 2

    2. Pendidikan Moral Pancasila 2 2 2 2 2 2 2 2

    3. Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa 1) - - 1 1 1 1 1 1

    4. Bahas Indonesia 2) 8 8 7/6 7/6 7/6 7/6 7/6 7/6

    5. Ilmu Pengetahuan Sosial - - 2 2 4 4 4 4

    6. Matematika/Berhitung 4 4 4 4 4 4 4 4

    7. Ilmu Pengetahuan Alam 2 2 2 2 2 2 2 2

    8. Pendidikan Olahraga dan Kesehatan 2 2 2 2 2 2 2 2

    9. Pendidikan Kesenian 3 3 3 3 3 3 3 3

    40

  • 8/16/2019 Sejarah Kurikulum PLB

    47/100

     

    KELAS No BIDANG PENGAJARAN

    I II III IV V VI VII VIII

    10. Pendidikan Keterampilan 3 3 4 4 6 6 6 611. Bina Diri, Bina Gerak, Bina Wicara 4 4 6 6 6 6 6 6

    30 30 34 34 38 38 38 38

    Catatan :

    1)  diberikan pada setiap cawu 3

    2)   pada kelas I dan II diberikan dengan waktu 8 jam pelajaran per minggu

     pada kelas III sampai VIII, pada cawu 1 dan 2 diberikan dengan waktu 7

     jam pelajaran per minggu, dan pada cawu 3 diberikan dengan waktu 6

     jam pelajaran per minggu

    3)  Bagi daerah atau sekolah yang memberikan pelajaran Bahasa Daerah.

    STRUKTUR PROGRAM KURIKULUM

    SEKOLAH LUAR BIASA TUNANETRA (SLB-E) TINGKAT

    DASAR

    KELAS No BIDANG PENGAJARAN

    I II III IV V VI

    1. Pendidikan Agama 2 2 2 2 2 2

    2. Pendidikan Moral Pancasila 2 2 2 2 2 2

    3. Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa 1) 1 1 1 1 1 1

    4. Bahas Indonesia 2) 10/9 10/9 8/7 8/7 8/7 8/7

    5. Ilmu Pengetahuan Sosial - - 3 3 3 3

    6. Matematika 6 6 6 6 6 6

    7. Ilmu Pengetahuan Alam 2 2 4 4 4 4

    8. Olahraga dan Kesehatan 2 2 3 3 3 3

    9. Pendidikan Kesenian 2 2 4 4 4 4

    10. Pendidikan Keterampilan 2 2 4 4 4 4

    11. Bina Pribadi dan Bina Sosial 2 2 2 2 2 212. Bahasa Daerah 3) (2) (2) (2) (2) (2) (2)

    30 30 38 38 38 38

    (32) (32) (40) (40) (40) (40)

    Catatan :

    1)  diberikan pada setiap cawu 3

    2)   pada kelas I dan II, pada cawu 1 dan 2 diberikan dengan waktu 10 jam

     pelajaran per minggu, dan pada cawu 3 diberikan dengan waktu 9 jam

     pelajaran per minggu. Pada kelas III sampai kelas VI, pada cawu 1 dan 2

    41

  • 8/16/2019 Sejarah Kurikulum PLB

    48/100

     

    diberikan denganwaktu 8 jam pelajaran per minggu, dan pada cawu 3

    diberikan waktu 7 jam pelajaran per minggu.

    3)  Bagi daerah atau sekolah yang memberikan pelajaran Bahasa Daerah.

    E. Garis Besar Program Pengajaran

    Garis besar program pengajaran (GBPP) dikembangkan untuk setiap bidang

     pengajaran pada program pendidikan / jenis persekolahan. Pada dasarnya, buku

    GBPP untuk setiap bidang pengajaran berisi tiga bagian, yaitu 1) tujuan kurikuler,

    tujuan institusional dan pokok bahasan, 2) pokok bahasan dab sub pokok bahasan

    menurut kelas/tingkat, dan 3) bahan pengajaran. Berikut adalah contoh format

    dari ketiga bagian tersebut:

    Tujuan kurikuler, tujuan instruksional, dan pokok bahasan

    (contoh bidang pengajaran IPA untuk SLB-A)

    TUJUAN KURIKULER TUJUAN INSTRUKSIONAL POKOK BAHASAN

    1.Murid mengenal,

    memahami dan mampu

    mempergunakan konsep-

    konsep dasar IPA yang

     berguna.

    1.1.Murid mengenal alam

     benda-benda di

    sekitarnya

    1.2.Murid menggolongkan

     benda-benda hidup dan

    tak hidup

    1.3.dst

    1.1.1.Benda-benda di sekitar

    kita

    1.1.2.Permukaan tanah

    1.2.1.Benda hidup dan tak

    Hidup

    1.2.2.Benda padat, cair, dan

    gas

    Pokok bahasan dan sub pokok bahasan menurut kelas/tingkat

    (contoh bidang pengjaran IPA untuk SLB-A)

    KELAS/TINGKAT/TA

    HUN

    TK TI PB SUB POKOK

    BAHASAN

    P1 P2 D1 dst

    SUMBER

    BAHAN

    1 1.1 1.1.1 Benda-benda

    di sekitar kita

    1.1.1.1.Benda-benda tak

    hidup di sekitar kita (batu,

    udara, air, dll) X X X

    42

  • 8/16/2019 Sejarah Kurikulum PLB

    49/100

     

    KELAS/TINGKAT/TA

    HUN

    TK TI PB SUB POKOK

    BAHASAN

    P1 P2 D1 dst

    SUMBER

    BAHAN

    1.1.1.2.Pengenalan corak,

     bentuk, ukuran, kasar

    halus permukaan benda

    1.1.1.3.dst

    X X X

    Bahan pengajaran

    (contoh bidang pengajaran IPA SLB-A)

    SUMBER BAHANTINGKAT/

    KELOMPOK

    CATUR

    WULAN

    JUMLAH

    JAM

    BAHAN

    PENGAJARANPOKOK TAMBAHAN

    P1 1 27 X2jam 1.Benda-benda tak hidup

    di sekitar kita (batu, air,

    udara)

    2.Pengenalan corak,

     bentuk, ukuran, kasar

    halus permukaan benda

    3.dst.

    F. Sistem penyajian

    Untuk menjamin bahwa waktu yang tersedia dimanfaatkan secara berebcana bagi

    kegiatan belajar mengajar yang fungsional untuk mencapai tujuan-tujuan yang

    telah ditetapkan, diperlukan satu sistem perencanaan pembelajaran yang dikenal

    dengan Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). PPSI berlandaskan

    kepada pandangan bahwa proses belajar mengajar merupakan satu sistem yang

    diarahkan pada pencapaian tujuan. Tujuan harus dirumuskan secara jelas, spesifik,

    dapat diukur, dan dirumuskan dalam bentuk kemampuan atau tingkah laku. Hanya

    tujuan yang jelas yang akan memudahkan penyusunan alat evaluasi, menyiapkan

    materi pembelajaran, memilih metode mengajar, dan menyusun kegiatan belajar

    mengajar yang sistematis.

    43

  • 8/16/2019 Sejarah Kurikulum PLB

    50/100

     

    Format rencana pembelajaran menurut PPSI (disebut Satuan Pelajaran) yang

    disarankan adalah sebagai berikut:

    Satuan Pelajaran

    Bidang Studi :

    Sub bidang studi :

    Satuan bahasan :

    Kelas :

    Semester :

    Waktu :

    I.Tujuan Instruksional Umum

    II.Tujuan Instruksional Khusus

    III.Materi Pelajaran

    IV.Kegiatan Belajar mengajar

    V.Alat dan sumber pelajaran

    VI.Evaluasi

    44

  • 8/16/2019 Sejarah Kurikulum PLB

    51/100

     

    KURIULUM 1984

    A. Latar Belakang

    Kurikulum SLB 1984 merupakan hasil perbaikan dari kurikulm SLB 1977 setelah

    diadakan penelitian sekaligus penyesuaian dengan tuntutan GBHN 1983. Setelah

     beberapa tahun Kurikulum SLB 1984 tersebut diterapkan, kini terasa kembali

     perlunya dilakukan penelitian dalam rangka perbaikan selanjutnya. Lebih-lebih

    dengan tuntutan GBHN 1988 dan perkembangan kebijakan pemerintah di bidang

     pendidikan, yaitu dengan keluarnya UU RI No. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan

     Nasional, maka kurikulum yang sekarang berlaku menuntut perlunya segera

    dilakukan peninjauan kembali.

    B. Komponen Kurikulum SLB 1984

    Di antara sekian banyak komponen yang tercakup dalam kurikulum SLB 1984,

    terdapat beberapa komponen yang perlu mendapat sorotan dan penjelasan.

    Beberapa di antaranya adalah :

    1.  Komponen Tujuan

    Dalam Kurikulum SLB 1984 komponen tujuan dirumuskan sejak dari Tujuan

    Pendidikan Nasional, Tujuan Institusional, Tujuan Kurikuler sampai pada

    Tujuan Instruksional Umum. Setiap SLB (A sampai dengan E) mempunyai

    rumusan tujuan tersendiri sesuai dengan permasalahan anak yang ditangani.

    Di bawah ini akan dikutipkan rumusan Tujuan Institusional (khusus tingkat

    dasar) dari masing-masing SLB.

    a. Tujuan Institusional SLB/A Program Pendidikan Tingkat Dasar adalah :

    1)  memberi bekal kemampuan untuk memasuki jenjang pendidikan

    menengah pertama;

    2)  memberi bekal keterampilan dasar untuk dapat dikembangkan

    menjadi keterampilan kejuruan yang sesuai dengan tuntutan

    masyarakat dan dunia kerja;

    3)  mengembangkan kemampuan untuk mengenal dan memanfaatkan

    lingkungan serta bergerak dengan mudah, terarah dan tidak terbatas.

    45

  • 8/16/2019 Sejarah Kurikulum PLB

    52/100

     

     b. Tujuan Institusional SLB/B Program Pendidikan Tingkat Dasar adalah :

    1)  memiliki pengetahuan, keterampilan, dan sikap dasar untuk

     berbahasa dan berkomunikasi sebagai landasan guna memperoleh

     pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang setaraf dengan

     pendidikan dasar pada SD biasa/umum;

    2)  memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap dasar tentang

     berbagai keterampilan yang baik sesuai dengan

    kemampuan/ketakmampuannya maupun keperluan dan tuntutan

    masyarakat;

    3)  mampu menyesuaikan diri secara sosial-emosional dalam kehidupan

    sehari-hari;

    4)  memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap dasar untuk

    memanfaatkan sisa pendengaran yang dimiliki;

    5)  siap secara fungsional untuk dapat mengikuti pendidikan di tingkat

    Menengah Pertama pada sekolah Luar Biasa Tunarungu atau di

    Sekolah Menengah Tingkat Pertama di sekolah biasa;

    c.  Tujuan Institusional SLB/C Program Pendidikan Tingkat Dasar adalah:

    1)  memberi bekal kemampuan kognitif, psikomotorik dan afektif yanhg

    memungkinkan siswa sesuai dengan kemampuannya memasuki

     jenjang pendidikan lebih tinggi;

    2)  memberi bekal pengetahuan keterampilan yang

    menunjang/memungkinkan siswa mandiri;

    3)  mengembangkan emosi dan sosialisasi siswa serta kemampuan

     penyesuaian diri sehingga ia mampu bekerja sama dengan

    lingkungannya.

    d.  Tujuan Institusional SLB/C.1. Program Pendidikan Tingkat Dasar

    adalah:

    1)  memantapkan kemampuan siswa untuk menolong diri sendiri;

    2)  memberi bekal sebagian dari pengetahuan yang bersifat akademik

    yang dapat menunjang kehidupan mandiri siswa;

    3)  memberi keterampilan berkomunikasi dengan lingkungan;

    46

  • 8/16/2019 Sejarah Kurikulum PLB

    53/100

     

    4)  memberi bekal pengetahuan, keterampilan dan sikap dasar mengenai

     beberapa keterampilan dasar kejuruan agar siswa siap mengikuti

    Program Pendidikan Kejuruan.

    e.  Tujuan Institusional SLB/D Program Pendidikan Tingkat Dasar adalah:

    1)  memberi bekal keterampilan pada siswa dalam mengatasi hambatan

    motoriknya;

    2)  memberi bekal untuk dapat mengembangkan diri sendiri sesuai

    dengan asa pendidikan seumur hidup;

    3)  memberi bekal berupa keterampilan sosial dan kemantapan pribadi

    yang diperlukan siswa dalam kehidupan bermasyarakat;

    4)  memberi bekal keterampilan dasar sesuai dengan umurnya untuk

    dapat melaksanakan pekerjaan sederhana di lingkungannya.

    f.  Tujuan Institusional SLB/D.1. Program Pendidikan Tingkat Dasar

    adalah:

    1)  mengembangkan kemampuan koordinasi sensomotorik siswa;

    2)  memberi bekal keterampilan pada siswa guna mengatasi hambatan

    motoriknya;

    3)  memberi bekal kemampuan kepada siswa agar dapat menguasai

     beberapa keterampilan yang memungkinkan dapat menunjang

    kehidupan mandiri;

    4)  mengusahakan agar siswa dapat mengembangkan diri secara sosial

    emosional sehingga dapat bekerja sama dengan lingkungan dalam

     batas-batas kemampuan yang dimilikinya;

    5)  mengembangkan kemampuan dasar kognitif, dan kreatif siswa;

    6)  mengembangkan kemampuan di bidang pengetahuan, keterampilan

    dan sikap dasar mengenai beberapa keterampilan dasar kejuruan

    siswa.

    g.  Tujuan Institusional SLB/E

    1)  sebagai lembaga pendidikan, SLB/E bertujuan untuk membentuk

    siswa agar menjadi manusia Indonesia seutuhnya berdasarkan

    47

  • 8/16/2019 Sejarah Kurikulum PLB

    54/100

     

    Pancasila yang mampu membangun dirinya sendiri, dan ikut

     bertanggung jawab terhadap pembangunan bangsa.

    2)  sebagai lembaga pendidikan luar biasa pada tingkat dasar, SLB/E

     bertujuan untuk memberi bekal kemampuan bagi siswa untuk

    melanjutkan ke jenjang pendidiakn yang lebih tinggi.

    3)  Sesuai dengan asas pendidikan seumur hidup, SLB/E memberikan

     bekal bagi siswa untuk mengembangkan dirinya sesuai tuntutan dan

    kebutuhan masyarakat.

    4)  Sesuai dengan fungsinya, SLB/E memberikan pelayanan,

     pembinaan, dan perbaikan pribadi dan sosial siswa agar dapat

     bermasyarakat dan memasyarakat secara harmonis.

    2.  Komponen Jenjang Pendidikan

    Jenjang pendidikan di SLB (A-E) sesuai dengan Kurikulum SLB 1984 adalah

    sebagai berikut :

    a.  SLB/A : Tingkat Persiapan, Tingkat Dasar, Pendidiakn Menengah

    Tingkat Pertama, Pendidikan Kejuruan Menengah Tingkat Pertama, dan

    Pendidikan Kejuruan Menengah Tingkat Atas.

     b.  SLB/B : Tingkat Persiapan, Tingkat Dasar, dan Pendidikan

    Kejuruan/Lanjutan (terdiri dari : Pendidikan Kejuruan Dasar, dan

    Pendidikan Kejuruan Menengah Tingkat Pertama).

    c.  SLB/C: Tingkat Persiapan, Tingkat Dasar, Pendidikan Kejuruan.

    d.  SLB/C1 : Tingkat Persiapan, Tingkat Dasar, dan Pendidikan Kejuruan.

    e.  SLB/D : Tingkat Persiapan, Tingkat Dasar, Pendidikan Menengah

    Tingkat Pertama, Pendidikan Kejuruan Menengah Tingkat pertama.

    f.  SLB/D1 : Tingkat Persiapan, Tingkat Dasar, dan Pendidikan Menengah

    Kejuruan Tingkat Pertama.

    g.  SLB/E : Jenjang Pendidikan dasar.

    3.  Komponen Struktur Program

    Struktur Program Kurikulum SLB 1984 dan alokasi waktu dari masing-masing

    SLB, khusus jenjang pendidikan dasar adalah sebagai berikut :

    48

  • 8/16/2019 Sejarah Kurikulum PLB

    55/100

     

    STRUKTUR PROGRAM KURIKULUM

    SEKOLAH LUAR BIASA TUNANETRA (SLB-A) TINGKAT DASAR

    KELAS No BIDANG PENGAJARAN

    I II III IV V VI

    1. Pendidikan Agama 2 2 2 2 2 2

    2. Pendidikan Moral Pancasila 2 2 2 2 2 2

    3. Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa 1) 1 1 1 1 1 1

    4. Bahas Indonesia 2) 10/9 10/9 8/7 8/7 8/7 8/7

    5. Ilmu Pengetahuan Sosial - - 3 3 3 3

    6. Matematika 6 6 6 6 6 6

    7. Ilmu Pengetahuan Alam 2 2 4 4 4 4

    8. Olahraga dan Kesehatan 2 2 3 3 3 3

    9. Pendidikan Kesenian 2 2 4 4 4 4

    10. Pendidikan Keterampilan 2 2 4 4 4 4

    11. Orientasi dan Mobilitas 2 2 2 2 2 2

    12. Bahasa Daerah 3) (2) (2) (2) (2) (2) (2)

    30 30 38 38 38 38

    (32) (32) (40) (40) (40) (40)

    Catatan :

    1.  diberikan pada setiap cawu 3

    2.   pada kelas I dan II, pada cawu 1 dan 2 diberikan dengan waktu 10 jam

     pelajaran per minggu, dan pada cawu 3 diberikan dengan waktu 9 jam

     pelajaran per minggu. Pada kelas III sampai kelas VI, pada cawu 1 dan

    2 diberikan denganwaktu 8 jam pelajaran per minggu, dan pada cawu 3

    diberikan waktu 7 jam pelajaran per minggu.

    3.  Bagi daerah atau sekolah yang memberikan pelajaran Bahasa Daerah.

    STRUKTUR PROGRAM KURIKULUM

    SEKOLAH LUAR BIASA TUNARUNGU (SLB-B) TINGKAT DASAR

    KELAS No BIDANG PENGAJARAN

    I II III IV V VI VII VIII

    1. Pendidikan Agama 2 2 2 2 2 2 2 2

    2. Pendidikan Moral Pancasila - - 2 2 2 2 2 2

    3. Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa 1) - - 1 1 1 1 1 1

    4. Bahas Indonesia 2) 12 12 10/9

    10/9

    8/7

    8/7 8/7 8/7

    5. Ilmu Pengetahuan Sosial - - 2 2 3 3 3 3

    6. Matematika 4 4 6 6 6 6 6 6

    7. Ilmu Pengetahuan Alam - - 2 2 4 4 4 4

    8. Olahraga dan Kesehatan 4 4 4 4 3 3 3 3

    49

  • 8/16/2019 Sejarah Kurikulum PLB

    56/100

  • 8/16/2019 Sejarah Kurikulum PLB

    57/100

     

    2.  diberikan pada cawu 1 dan 2 dengan waktu 8 jam pelajaran per

    minggu, dan pada setiap cawu 3 diberikan dengan waktu 7 jam

     pelajaran per minggu.

    3.  Bagi daerah atau sekolah yang memberikan pelajaran Bahasa Daerah.

    STRUKTUR PROGRAM KURIKULUM

    SEKOLAH LUAR BIASA TUNAGRHITA SEDANG (SLB-C1) TINGKAT

    DASAR

    KELAS No BIDANG PENGAJARAN

    I II III IV V V