SALINAN
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada 1917 melalui Deklarasi Balfour, Inggris menyatakan dukungannya atas pembentukan
tanah air bangsa Yahudi di wilayah Palestina. Deklarasi tersebut berbentuk surat tertanggal 2
November 1917 dari Arthur James Balfour.1 Ketika Inggris merebut Palestina dari tangan
Turki, mereka tidak diberi tahu secara resmi tentang perjanjian Balfour. Banyak orang
Palestina yang menyambut Inggris dengan penuh harapan, merasakan akan tibanya hari-hari
yang lebih baik di hadapan mereka. Namun bangsa Palestina kecewa ketika Inggris ternyata
memberikan dukungan kepada Yahudi untuk mendirikan Rumah Nasional Kaum Yahudi.
Inggris dapat menduduki selatan Palestina dan bagian tengahnya pada bulan Desember 1917.
Dan pada bulan September 1918, pasukan Inggris berhasil menjajah Palestina bagian utara.2
Pada tahun yang sama, Menteri Luar Negeri Inggris Arthur Balfour memberikan isyarat
kepada seorang Zionis kaya dan berpengaruh, Lord Rothchild, bahwa pemerintah Inggris
mendukung terbentuknya
sebuah Homeland bagi Yahudi di Palestina.3
Istilah Zionisme berasal dari kata Zion atau Sion yang pada masa awal sejarah Yahudi
merupakan sinonim dari perkataan Yerussalem. Zion berasal dari bahasa Inggris, dalam
bahasa latin disebut Sion, dan dalam bahasa Ibraninya adalah Tsyon. Arti dari istilah ini
1 Bawono Kumoro . Hamas Ikon Perlawanan Islam Terhadap Zionisme Israel. Bandung; Mizan, 2009), hal. 39
2 Muhsin Muhammad Shaleh. Palestina: sejarah, Perkembangan dan Konspirasi, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hal. 45
3 Trias Kuncahyono. Jerusalem: Kesucian , Konflik, dan Pengadilan Akhir, (Jakarta: kompas, 2009), hal. 160
adalah “Bukit” yaitu bukit suci Jerussalem atau Jerussalem Surgawi. Surga berarti Theokrasi
Yahudi. Sion juga diartikan sebagai “Bukit yang tinggi”, tempat berdirinya bait suci yang
didirikan oleh Sulaiman.Zion juga ditujukan bagi kota Jerusalem sebagai kota Allah tempat
tinggal Yahwe. Zionisme adalah sebuah gerakan dan ideologi yang terkait dengan sejarah
orang-orang Yahudi di negara pembuangan untuk kembali ke negeri nenek moyang mereka,
Palestina. Bangsa Yahudi yang terpaksa diaspora menyebar di berbagai wilayah seperti
Eropa, Amerika, Afrika, Asia, dan negara-negara yang berada di Timur Tengah.4 Kontrol
Inggris atas Palestina terus berlanjut sampai pecahnya Perang Dunia II. Banyak keluarga
Yahudi berimigrasi ke Palestina, bergabung dengan komunitas para Zionis perintis yang
berupaya keras untuk hidup berdampingan dengan orang-orang Arab. Mereka juga
membangun organisasi yang di kemudian
hari menjadi bibit berdirinya negara Israel. Bentrokan yang terjadi di banyak kota mengoyak
perdamaian yang memang rapuh antara orang Arab dengan orang Yahudi. Di saat pasukan
Inggris berusaha menentukan sikap di wilayah yang sekarang terbagi ini, desakan orang
Yahudi untuk berimigrasi semakin meningkat. Inggris kemudian berubah pikiran karena
pendirian negeri Yahudi akan menghancurkan perdamaian yang memang rapuh di wilayah
ini. Karena kehabisan tenaga dan melemah akibat Perang Dunia II, Inggris tidak dapat
melanjutkan kendalinya atas negeri yang telah diamanatkan kepadanya setelah perang Dunia
I berakhir. Pada tahun 1947, Inggris mengumumkan akan meninggalkan wilayah ini dan
menyerahkan Palestina kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pada tahun itu pula PBB
mengusulkan pembagian Palestina menjadi sebuah negara Arab dan sebuah negara Yahudi.
Namun, pembagian ini hampir tidak mencerminkan ukuran populasi masing-masing. Pada
tanggal 14 Mei 1948, tanpa menghiraukan kemarahan orang Arab, Israel mengibarkan
4 Hermawati. Sejarah Agama dan Bangsa Yahudi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), hal. 84
bendera barunya dengan lambang Bintang Daud. Segera setelah itu, orang Arab pun
mengumumkan perang.5 Selama kekuasaan Inggris, lebih dari 1.500 orang Palestina yang
berjuang untuk kemerdekaanya terbunuh dalam pertempuran melawan pasukan Inggris.
Selain itu adapula orang-orang Palestina yang ditahan oleh Inggris karena menentang
pendudukan Yahudi. Tekanan pemerintah Inggris menyebabkan kekerasan serius terhadap
mereka. Namun, hal itu belumlah seberapa dibandingkan kekejaman zionis yang pecah begitu
kekuasaan Inggris berakhir.6 Pembangunan kamp-kamp pengungsi pada tahun 1948 juga
merupakan elemen baru yang mempengaruhi pola pesebaran penduduk dan perkampungan di
Jalur Gaza. Setiap kamp pengungsi dihuni oleh sekitar 20.000 jiwa, atau bahkan lebih.
Semula kamp pengungsian berjumlah delapan. Empat di antaranya terhitung sebagai kamp
besar, yakni Yabaliya, Esh-shati, Khan Yunis, dan Rafah, sedangkan empat kamp lainnya
yang lebih kecil adalah Nusayrat (sebelah barat daya Gaza City, terletak agak dekat Laut
Mediterania), Al-Burayj dan Al-Mughazi (sebelah barat daya Gaza City, tetapi lebih di
tengah wilayah Jalur Gaza), dan Dahir el-Balah (sebelah barat daya Al-Mughazi). Ketika
terjadi perang pada 15 Mei 1948, lebih dari 750.000 orang Arab Palestina meninggalkan
segalanya yang mereka miliki dan keluar dari negaranya. Sekitar sepertiga dari mereka
tinggal di Tepi Barat, sepertiga lainnya di Jalur Gaza, dan sisanya menempati pengungsian di
negara-negara Arab tetangganya, khususnya Yordania, Syria, dan Lebanon. Akibat
peperangan ini, ribuan pengungsi melarikan diri dari daerah perang ke Tepi Barat dan
negara-negara yang berdekatan. Menurut perkiraan PBB, kira kira 750.000 orang telah
mengungsi. Melihat aktivitas ini sebagai kesempatan untuk memindahkan penduduk Arab,
Israel kemudian menutup perbatasannya, menolak kembalinya pengungsi setelah perang
berakhir. Tidak lama kemudian ratusan desa Arab dihancurkan, membuat para pengungsi
5 Gary M. Burge. Palestina Milik Siapa?: Fakta yang tidak diungkapkan Kepada Orang Kristen Tentang Tanah Perjanjian, (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2003), hal. 456 Harun Yahya. Palestina: Zionisme dan Terorisme Israel, (Bandung: Dzkra, 2005) hal. 59
tidak mungkin kembali.7 Taktik pengusiran etnis Arab oleh organisasi militan Israel antara
lain: desa-desa dikepung dari tiga arah dan arah keempat dibuka untuk penerbangan dan
evakuasi. Dalam beberapa kasus, taktik ini tidak berhasil karena para
penduduk desa tetap tinggal di dalam rumah-rumah mereka. Dalam kondisi seperti inilah
dilakukan pembunuhan massal. Pengusiran etnis dilakukan dalam tiga tahap. Tahap pertama
adalah dari Desember 1947 hingga akhir musim panas 1948. Dalam tahap ini desa-desa
palestina di sepanjang pesisir dan bagian yang lebih dalam dihancurkan dan penduduk desa-
desa diusir. Hingga Juni 1948, sekitar 370.000 orang Palestina telah diusir dari rumah-rumah
mereka dan pada akhir tahun itu, angka orang-orang terusir itu menjadi 780.000. Pada
pertemuan kabinet yang dipimpin oleh Ben Gurion tanggal 18 Agustus 1948, dilaporkan
bahwa 286 desa telah dikuasai dan tiga juta dunum lahan (setara dengan 3 miliar persegi)
ditinggalkan oleh orang-orang Palestina yang memilikinya. Selama enam bulan berikutnya
(yaitu operasi tahap dua), Haganah telah mengusir 452.780 orang-orang Palestina dari
kawasan-kawasan yang menjadi jatah Israel dalam UN Partition Plan. Sebanyak 347.220
orang lainnya diusir dari kawasan di sekitar garis batas jatah wilayah Israel. Tahap ketiga
dilakukan hingga tahun 1954. Dari 900.00 orang Palestina yang hidup di kawasan jatah
Israel, hanya 100.000 orang yang tetap tinggal di dekat atau di tanah dan rumah mereka.
Mereka inilah yang menjadi kelompok minoritas Palestina yang menjadi warga Israel.
Sisanya (800.000) diusir, melarikan diri karena ketakutan, atau tewas dalam pembunuhan
massal. Dengan demikian total 80% orang Palestina yang tinggal di kawasan jatah Israel telah
terusir dan hidup di pengungsian hingga kini.8 Akibat pendudukan Tepi Barat oleh Isreal,
400.000 orang Palestina meninggalkan daerah itu dan menetap di kamp-kamp pengungsian di
Jordania. Orang-orang Palestina yang hidup di kamp-kamp pengungsian saat ini menghadapi
7 Gary M. Burge. op. cit. hal. 46
8 Dina Y. Sulaeman, Ahmadinejad On Palestina. (Bandung: Pustaka IIman, 2008), hal. 81
kesulitan untuk memenuhi kebutuhan yang paling mendasar sekalipun. Mereka hanya bisa
menggunakan air dan listrik jika orang Israel mengizinkannya dan berjalan bermil-mil untuk
bekerja demi upah yang amat rendah.Mereka tidak dapat berpindah tempat dari tempat satu
ke tempat lain tanpa menggunakan pasport. Karena tentara-tentara Israel sering menutup
jalan untuk alasan keamanan, imigran Palestina sering tidak dapat pergi bekerja, pergi ke
tempat yang ingin mereka tuju, atau untuk ke Rumah Sakit sekalipun ketika mereka jatuh
sakit. Bahkan orang-orang yang hidup di kamp-kamp pengungsian setiap hari hidup dalam
perasaan takut.9 Orang-orang Palestina yang hidup di kamp-kamp pengungsian, menemukan
diri mereka dibenci oleh rekan-rekan Arab mereka di tempat diaspora mereka. Pada saat
nasionalisme yang berlebihan sedang menggelora di dunia
Arab, orang-orang Palestina dicemooh karena dianggap telah menjual tanah-tanah dan negeri
mereka kepada kaum Yahudi dan karena mereka dianggap melarikan diri. Dalam keadaan
terhina ini, wajar jika para pengungsi memandang masa lalu mereka di Palestina dengan rasa
nostalgia yang dalam. Di kamp-kamp pengungsian, para pengungsi dari kampung yang sama
akan mengelompokan diri seakan hendak menciptakan kembali kampung mereka yang hilang
di Palestina dengan sesempurna mungkin.
Dengan kondisi serba sulit yang dialami oleh bangsa Palestina setelah Perang Dunia I,
kondisi keterpurukan dunia Arab yang berada di sekelilingnya, dan dunia Islam secara umum,
karena cengkraman penjajahan dan kekuasaannya. Aktifitas politik Palestina terkonsentrasi
pada tuntutan-tuntutan definitif yang paling utama. Dengan dasar-dasar tersebut lahirlah
Pergerakan Nasional yang mengadakan muktamar pertama (konferensi Arab palestina 27
Januari-10 Febuari
1919) di Al Quds.10 Organisasi-organisasi masyarakat Palestina banyak bermunculan dan
9 Harun Yahya. op. cit hal. 59-60
10 Muhsin Muhammad Shaleh. op. cit. hal. 49-50
bertujuan untuk menentang Zionisme serta menuntut Inggris agar segera mengakhiri
pemerintahan mandatnya. Pada tahun 1932, dibentuk partai politik Palestina yang pertama,
yaitu Partai Kemenangan. Partai Kemerdekaan secara aktif menghimbau agar orang-orang
Palestina tidak bekerja sama dengan pemerintahan Mandat Inggris dan melarang adanya
transaksi penjualan tanah dengan orang-orang Yahudi. Pada tahun 1933, meletus perjuangan
bersenjata melawan Inggris dan juga orang Yahudi. Di sisi lain, partai-partai politik Palestina
terus bermunculan.11 Pada tahun 1935 lahirlah sebuah Partai Arab Palestina, yang tumbuh
menjadi partai nasional pertama yang mendapat dukungan seorang mufti (al-Hajj Amin) dan
rakyat luas. Pada awal dekade 1950-an, ANM (The Arab Nasionalist Movement) dibentuk
oleh George Habash dengan dukungan Mesir. Tujuan organisasi ini adalah berjuang melawan
segala bentuk Imperialisme dan Zionisme di wilayah Arab. Pada tahun 1957, muncul
organisasi Al Fatah, yang dibentuk oleh Yasser Arafat. Al Fatah merupakan kelompok
perjuangan garis keras yang bertujuan merebut kembali wilayah Palestina dari tangan Israel.12
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah
Penelitian skripsi ini hanya difokuskan pada Pengusiran etnis Palestina dan Diaspora Etnis Palestina. Adapun perumusan masalah penelitian ini dapat dibaca dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut; 1. Apa faktor yang mempengaruhi pengusiran etnis Palestina? 2. Mana sajakah negara-negara yang menjadi tujuan para diaspora rakyat Palestina? 3. Bagaimana kondisi kehidupan etnis palestina di diaspora? Pertanyaan-pertanyaan diatas akan penulis jawab dalam uraian-uraian dan analisis yang didasarkan pada sumber-sumber yang penulis gunakan. C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
a. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui faktor pengusiran etnis Palestina 2. Untuk mengetahui negara-negara yang menjadi tujuan Diaspora Etnis Palestina.
11 Masykur Hakim. Zionisme bin Yahudi, (Jakarta: SDM Bina Utama, 2005) hal:.117
12 Masykur Hakim. op. cit. hal. 118
3. Untuk mengetahui bagaimana kondisi kehidupan etnis Palestina di disapora b. Manfaat Penelitian 1. Memberikan wawasan yang luas tentang pandangan diaspora Etnis Palestina. 2. Memberikan manfaat bagi penulis dan para pencinta studi penelitian sejarah dalam rangka upaya pengembangan sejarah Islam umumnya. 3. Sebagai bahan perbandingan bagi penulis selanjutnya. D. Kajian Pustaka
Buku yang saya jadikan sumber primer dalam penulisan skripsi adalah Buku yang ditulis oleh
Ilan Pape yang berjudul Pembersihan Etnis Palestina: Holocaust ke dua.13 Buku ini
berisikan tentang bagaimana upaya-upaya Yahudi Israel menyingkirkan semua etnis Arab
Palestina dalam mewujudkan impiannya untuk mendirikan sebuah negara di atas sebuah
tanah yang telah “dijanjikan“. Rakyat Palestina perlahan terusir dari tanah airnya sendiri.
Buku ini juga menjelaskan bagaimana situasi peperangan antara Arab-Israel yang hampir
selalu dimenangkan oleh Israel, dan dampak dari peperangan yang harus ditanggung oleh
bangsa Arab. Selain itu penulis juga memiliki sumber primer lainnya yang digunakan dalam
penulisan yaitu buku Palestina: Zionisme Dan Terorisme Israel. Buku ini ditulis oleh Harun
Yahya. Buku ini berisikan mengenai teror-teror dan pembantaian yang dilakukan Israel
terhadap orang-orang Palestina. Juga menjelaskan bagaimana kehidupan orang-orang
Palestina di kamp-kamp pengungsian Terdapat pula buku yang ditulis oleh Gary M. Burge
yang berjudul Palestina Milik Siapa?: Fakta yang tidak Diungkapkan kepada Orang Kristen
tentang Tanah Perjanjian.14 dalam buku ini Gary M. Burge melihat masalah Palestina secara
objektif dari sudut pandang Alkitab. Selain kedua buku tersebut terdapat pula buku Jalur
Gaza: Tanah Terjanji, Intifada, Dan Pembersihan etnis. Buku ini ditulis oleh Trias
13 Ilan Pappe. Pembersihan Etnis Palestina: Holocaust Kedua, (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2009)
14 Gary M. Burge, op.cit
Kumcahyono. Buku ini berisikan bagaimana kondisi rakyat Palestina saat penggempuran
Israel, juga menjelaskan kondisi kehidupan para pengungsi Palestian yang hidup di kamp-
kamp pengungsian, kesulitan- kesulitan yang dialami orang-orang Palestina.