Download - Renstra BAB1

Transcript
Page 1: Renstra BAB1

Karo Hukum Sekjen

Karo Perencanaan

1

LAMPIRAN I KEPUTUSAN MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 2 TAHUN 2010

TENTANG

RENCANA STRATEGIS KEMENTERIAN AGAMA TAHUN 2010 – 2014

BAB I

PENDAHULUAN

A. LANDASAN FILOSOFIS

Agama memiliki kedudukan dan peran yang sangat penting dalam kehidupan bangsa

Indonesia. Pengakuan akan kedudukan dan peran penting agama ini tercermin dari

penetapan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama falsafah negara

Pancasila, yang juga dipahami sebagai sila yang menjiwai sila-sila Pancasila lainnya. Oleh

sebab itu, pembangunan agama bukan hanya merupakan bagian integral pembangunan

nasional, melainkan juga bagian yang seharusnya melandasi dan menjiwai keseluruhan

arah dan tujuan pembangunan nasional, yang untuk periode 2005-2025 mengarah pada

upaya untuk mewujudkan visi “Indonesia yang Mandiri, Maju, Adil dan Makmur.”

Selain memiliki posisi yang sangat penting, agama juga menempati posisi yang unik dalam

kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini tercermin dalam suatu rumusan terkenal

tentang hubungan antara agama dan negara di Indonesia bahwa “Indonesia bukanlah

negara teokratis, tetapi bukan pula negara sekular.” Rumusan ini berarti tatanan kehidupan

berbangsa dan bernegara tidak didasarkan pada satu paham atau keyakinan agama tertentu,

namun nilai-nilai keluhuran, keutamaan dan kebaikan yang terkandung dalam agama-

agama diakui sebagai sumber dan landasan spiritual, moral dan etik bagi kehidupan bangsa

dan negara.

Merujuk pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, ada enam landasan filosofis bagi

pembangunan bidang agama, yaitu:

Page 2: Renstra BAB1

Karo Hukum Sekjen

Karo Perencanaan

2

1. Agama sebagai sumber nilai spiritual, moral dan etik bagi kehidupan berbangsa

dan bernegara

Pembangunan bidang agama merupakan upaya untuk mendorong peningkatan kualitas

pengetahuan dan penghayatan umat beragama terhadap nilai-nilai keluhuran,

keutamaan, dan kebaikan yang terkandung dalam ajaran agama. Pengetahuan dan

penghayatan itu diharapkan dapat mengejawantah dalam perilaku dan akhlak mulia

warga negara sehingga dapat menghasilkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang

bermartabat dan berkeadaban.

Sebagaimana telah umum diyakini, agama bukan sekadar mengajarkan tentang

hubungan antara pemeluk agama dan Sang Pencipta, melainkan juga tentang hubungan

antar sesama manusia dan hubungan dengan alam sekitarnya. Oleh sebab itu,

pembangunan bidang agama diarahkan bukan saja untuk meningkatkan kualitas

kesalehan individual umat beragama, tetapi juga mendorong terwujudnya kesalehan

sosial dan ekologis, serta moralitas publik dalam pengelolaan kehidupan bernegara.

Sikap toleran dan penghormatan terhadap pandangan dan keyakinan orang lain,

kepedulian terhadap sesama manusia, kerjasama dan tolong-menolong, adalah di antara

wujud dari kesalehan sosial. Sementara itu, pemanfaatan dan pendayagunaan sumber

daya alam yang disertai perlindungan dan pemeliharaan kelestariannya antara lain

merupakan bentuk-bentuk nyata dari kesalehan ekologis. Adapun moralitas publik

dalam kehidupan bernegara antara lain termanifestasi dalam penyelengaraan urusan

pemerintahan dan negara yang sejalan dengan aturan dan perundang-undangan yang

berlaku, serta terbebas dari perilaku korup dan menyimpang.

2. Penghormatan dan perlindungan atas hak dan kebebasan beragama sebagai

bagian dari hak asasi warga negara

Hak dan kebebasan beragama warga negara diakui sebagai bagian dari hak asasi

manusia yang dijamin oleh konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)

sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 29 UUD 1945 Ayat 2 bahwa “Negara menjamin

kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk

beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Jaminan itu ditegaskan pula

pada bagian lain, yaitu Pasal 28 E UUD 1945 Ayat 1 dan 2 yang menyatakan bahwa

Page 3: Renstra BAB1

Karo Hukum Sekjen

Karo Perencanaan

3

“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih

pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih

tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali,” dan

“Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan

sikap, sesuai dengan hati nuraninya.” Selain itu, konstitusi juga menegaskan bahwa hak

beragama adalah bagian dari hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam

keadaan apa pun; bahwa setiap warga berhak mendapat perlindungan dari setiap

perlakuan diskriminatif; dan bahwa perlindungan dan penegakan HAM adalah

tanggung jawab negara, terutama pemerintah (Pasal 28 I UUD 1945 Ayat 1, 2, dan 4).

Sesuai amanat konstitusi, negara dan pemerintah berkewajiban memberikan jaminan

dan perlindungan atas hak setiap warganya untuk memeluk agama dan beribadat

menurut agamanya, serta memberikan fasilitasi dan pelayanan untuk pemenuhan hak

dasar warga negara tersebut. Dengan demikian, aspek perlindungan, pemajuan,

penegakan dan pemenuhan hak beragama sebagai bagian dari hak asasi warga negara

menjadi landasan pokok bagi pembangunan bidang agama.

Sementara kebebasan untuk beragama atau berkeyakinan merupakan hak asasi warga

negara, namun manifestasi dari kebebasan beragama atau berkeyakinan itu merupakan

aspek yang dapat dibatasi atau diatur oleh negara. Hal ini sejalan dengan ketentuan

yang disepakati oleh masyarakat internasional bahwa manifestasi kebebasan beragama

atau berkeyakinan dapat dibatasi berdasarkan undang-undang guna melindungi

keselamatan, ketertiban, kesehatan dan moralitas publik, serta untuk melindungi hak-

hak fundamental atau kebebasan pihak lain (International Covenant on Civil and

Political Rights Pasal 18 Ayat 4). Pembatasan atau pengaturan serupa dinyatakan

dalam Pasal 28 J UUD 1945 Ayat 2 yang berbunyi: “Dalam menjalankan hak dan

kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan

undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta

penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang

adil, sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban

umum dalam suatu masyarakat demokratis.”

Page 4: Renstra BAB1

Karo Hukum Sekjen

Karo Perencanaan

4

3. Kerukunan umat beragama dan tata kelola kehidupan beragama

Sebagai bangsa multietnis, budaya, dan agama, kerukunan hidup umat beragama

menjadi hal yang sangat penting dan mendasar dalam kehidupan berbangsa dan

bernegara. Kerukunan hidup umat beragama menjadi pilar penting bagi terwujudnya

persatuan, kesatuan, dan ketahanan nasional, sekaligus menjadi prasyarat mutlak bagi

terwujudnya stabilitas politik dan keamanan yang niscaya bagi terselenggaranya

pembangunan nasional yang berkelanjutan.

Landasan bagi pengembangan kerukunan umat beragama yang selama ini dijadikan

pijakan adalah prinsip trilogi kerukunan, yaitu kerukunan antarumat beragama,

kerukunan intraumat beragama dan kerukunan antara umat beragama dan pemerintah.

Tantangannya adalah bagaimana kerukunan tersebut dikembangkan lebih jauh

sehingga tidak hanya di kalangan elite agama, tetapi juga menjangkau lapisan umat

beragama yang lebih luas.

Kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah hak asasi setiap warga negara yang

dijamin dan dilindungi oleh konstitusi negara Republik Indonesia. Namun demikian,

diperlukan pengaturan menyangkut aspek perwujudan dari hak dan kebebasan untuk

beragama dan berkeyakinan itu agar kebebasan seorang warga tidak melanggar hak

asasi dan kebebasan warga lain dalam beragama dan berkeyakinan, serta untuk

melindungi keselamatan, ketertiban, kesehatan dan moralitas publik. Oleh sebab itu,

tata kelola kehidupan umat beragama menjadi penting dikembangkan guna

mewujudkan kehidupan beragama yang rukun dan damai yang dilandasi atas sikap

toleran dan saling menghormati di kalangan umat beragama, tanpa mencampuri

substansi dari agama dan keyakinan yang dipeluk oleh warga negara.

4. Pengembangan karakter dan jati diri bangsa

Cita-cita nasional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dilandasi keinginan

menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang maju, unggul, mandiri, bermartabat,

beradab dan sejahtera. Untuk mewujudkan hal itu, pemerintah perlu mengusahakan dan

menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional yang dapat membentuk manusia

Indonesia yang memiliki penguasaan dan keterampilan yang tinggi dalam bidang ilmu

pengetahuan dan teknologi, memiliki etos kerja dan daya saing, serta memiliki karkater

Page 5: Renstra BAB1

Karo Hukum Sekjen

Karo Perencanaan

5

dan jatidiri bangsa yang kuat, dengan bertumpu pada keimanan dan ketakwaan serta

akhlak yang mulia.

Di dalam UUD 1945 Pasal 31 Ayat 3 dan 4 dinyatakan: “Pemerintah mengusahakan

dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan

dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang

diatur dengan undang-undang,” dan “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan

teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk

memajukan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.”

Upaya pembentukan karakter dan jati diri bangsa, di samping peningkatan penguasaan

dan ketrampilan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta peningkatan etos kerja

dan daya saing, dilaksanakan melalui pembangunan agama dalam bentuk

penyelenggaraan pendidikan raudhatul athfal (RA), madrasah, perguruan tinggi agama,

pendidikan agama dan pendidikan keagamaan, guna mewujudkan masyarakat

Indonesia yang mandiri, maju, berakhlak mulia, bermartabat, dan beradab.

5. Penyediaan fasilitasi dan pelayanan bagi umat beragama berdasarkan prinsip

tata kelola kepemerintahan yang baik

Salah satu mandat konstitusional yang diemban dalam pelaksanaan pembangunan

bidang agama adalah penyediaan fasilitasi dan pelayanan sebagai upaya pemenuhan

hak beragama warga negara. Fasilitasi dan pelayanan itu dapat berupa regulasi,

kebijakan dan program pembangunan bidang agama. Untuk mencapai keberhasilan

yang maksimal, fasilitasi dan pelayanan itu perlu diselenggarakan berdasarkan prinsip

tata kelola kepemerintahan yang baik, meliputi: orientasi pada tercapainya konsensus,

adanya keikutsertaan publik dalam pengambilan setiap kebijakan (participatory),

bertumpu pada asas rule of law, efektif dan efisien, dapat dipertanggungjawabkan

kepada warganya (accountable), berlangsung secara transparan (transparent), tanggap

terhadap aspirasi dan kebutuhan warga (responsive), serta berlangsung adil dan terbuka

bagi seluruh warga (equitable and inclusive).

Arti penting pengembangan partisipasi dan kemitraan umat beragama dalam

pembangunan bidang agama didasari atas kenyataan bahwa sebagian besar

penyelenggaraan fasilitasi dan pelayanan keagamaan lebih banyak dikelola oleh umat

Page 6: Renstra BAB1

Karo Hukum Sekjen

Karo Perencanaan

6

beragama sendiri. Selain itu, sumber daya manusia dan keuangan yang dimiliki

pemerintah sendiri bukan tidak terbatas. Oleh sebab itu, partisipasi dan kemitraan

masyarakat menjadi salah satu unsur penting bagi keberhasilan pembangunan bidang

agama sekaligus menjadikan pembangunan bidang agama dapat berjalan lebih selaras

dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat.

Pembangunan agama juga harus dilandasi prinisip perlakuan yang adil, setara dan

terbuka bagi seluruh umat beragama, sejalan dengan pengakuan negara terhadap nilai

keluhuran, keutamaan dan kebaikan agama-agama sebagai landasan spiritual, moral

dan etik bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Lebih dari itu, pembangunan agama

harus didasarkan atas prinsip akuntabilitas agar pembangunan agama dapat berdaya-

guna dan berhasil-guna.

B. KONDISI UMUM

Berdasarkan PP Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan

Organisasi, dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia, yang telah

disempurnakan dengan PP Nomor 62 Tahun 2005 Pasal 63, Departemen Agama

mempunyai tugas membantu Presiden dalam menyelenggarakan sebagian urusan

pemerintahan di bidang keagamaan. Di samping itu, Kementerian Agama juga

melaksanakan sebagian program pembangunan nasional di bidang pendidikan, yaitu

Raudhatul Athfal, Madrasah, dan Perguruan Tinggi Agama sesuai dengan amanat UU

Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, serta Pendidikan Agama

dan Pendidikan Keagamaan, sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah

Nomor 55 Tahun 2007.

Untuk melaksanakan tugas dan fungsi tersebut, Kementerian Agama perlu menyusun

Rencana Strategis (Renstra), yang tahapan dan tata cara penyusunannya didasarkan atas

hirarki sasaran nasional. Penyusunan program pembangunan kementerian Kabinet

Indonesia Bersatu II 2009-2014 dilandasi atas platform dasar yang mencerminkan visi

dan misi presiden dan wakil presiden. Visi dan misi tersebut selanjutnya dituangkan

dan dijabarkan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2010-

2014, yang di dalamnya mengandung hal-hal yang harus dijadikan sebagai prioritas

nasional oleh seluruh dan setiap kementerian. Terdapat 11 prioritas nasional Kabinet

Page 7: Renstra BAB1

Karo Hukum Sekjen

Karo Perencanaan

7

Indonesia Bersatu II 2009-2014, yaitu: reformasi birokrasi dan tata kelola; pendidikan;

kesehatan; penanggulangan kemiskinan; ketahanan pangan; infrastruktur; iklim

investasi dan iklim usaha; energi; lingkungan hidup dan pengelolaan bencana; daerah

tertinggal, terdepan, terluar dan pascakonflik; serta kebudayaan, kreativitas, dan inovasi

teknologi.

Selanjutnya RPJMN 2010-2014 dituangkan ke dalam Program 100 Hari dan Program

Bidang Sektoral, yang dijabarkan ke dalam Rencana Strategis Kementerian. Bagian

pokok Rencana Strategis Kementerian menjabarkan arah kebijakan dan strategi

kementerian, yang selanjutnya akan dijabarkan dalam bentuk program, hasil jangka

menengah yang hendak dicapai dan indikator pencapaiannya (outcomes); kegiatan

strategis, keluaran (outputs) yang hendak dihasilkan dan indikator keluarannya

(outputs); strategi implementasi dan pendanaan. Rencana Strategis Kementerian

Agama 2010-2014 disusun berdasarkan kerangka logis dan alur berpikir, sebagaimana

telah diuraikan tersebut.

Setidaknya terdapat lima hal pokok yang menjadi tanggung jawab Kementerian Agama

dalam penyelenggaraan pembangunan bidang agama, yaitu: (1) peningkatan kualitas

kehidupan beragama; (2) peningkatan kerukunan umat beragama; (3) peningkatan

kualitas raudhatul athfal, madrasah, perguruan tinggi agama, pendidikan agama, dan

pendidikan keagamaan; (4) peningkatan kualitas penyelenggaraan ibadah haji, dan; (5)

penciptaan tata kelola kepemerintahan yang bersih dan berwibawa.

Dalam periode pembangunan agama 2004-2009, sejumlah perkembangan penting yang

telah dicapai pada 5 (lima) bidang tersebut adalah sebagai berikut:

1. Bidang Kehidupan Beragama

Program peningkatan kualitas kehidupan beragama tahun 2004-2009 diarahkan

untuk mengatasi problem masih rendahnya pemahaman dan pengamalan

keagamaan sebagian umat beragama; belum optimalnya pembinaan aliran

keagamaan; kurangnya pemberdayaan lembaga sosial keagamaan; rendahnya mutu

pembinaan keluarga; belum optimalnya pelayanan administrasi keagamaan; dan

Page 8: Renstra BAB1

Karo Hukum Sekjen

Karo Perencanaan

8

mengatasi fenomena meningkatnya radikalisasi dan liberalisasi pemahaman

keagamaan.

Upaya meningkatkan kualitas pemahaman dan pengamalan keagamaan dilakukan

melalui berbagai langkah penting antara lain melalui penerbitan kitab suci dan

digitalisasi naskah; bantuan kegiatan keagamaan; peningkatan kualitas bimbingan

dan konsultasi keagamaan; penyelenggaraan peringatan hari-hari besar keagamaan;

penyelenggaraan berbagai lomba keagamaan, seperti MTQ (Musabaqah Tilawatil

Qur’an), Pesparawi, Utsawa Dharma Gita, dan Festival Seni Baca Kitab Suci

Tipitaka/Tripitaka; peningkatan pembinaan penyuluh dan juru penerang agama;

bantuan kitab suci dan buku-buku keagamaan; penjelasan secara mendalam

(tahqiq) buku-buku keagamaan; pentashihan Mushaf Al-Qur’an; pemanfaatan

media massa cetak dan elektronik sebagai wahana pembinaan umat; pengembangan

sistem informasi keagamaan; peningkatan pembinaan keluarga sejahtera, serta

bantuan rehabilitasi dan pembangunan untuk 4.487 unit rumah ibadah (masjid,

gereja, pura, dan vihara).

Dalam rangka peningkatan layanan administrasi keagamaan, telah dibangun 357

gedung KUA baru dan rehabilitasi 713 gedung KUA, serta penyediaan dana

operasional KUA. Demikian pula dalam upaya mengintensifkan peran penyuluh

agama telah dilakukan program pemberian honor insentif bagi 90.510 penyuluh

agama non-PNS bagi semua agama setiap tahun. Di samping itu, telah

diselenggarakan pula berbagai kegiatan dalam rangka meningkatkan mutu

kebijakan dan tata kelola pelayanan administrasi keagamaan.

Untuk meningkatkan kesejahteraan umat beragama telah dilakukan berbagai upaya

optimalisasi pengelolaan dana sosial keagamaan. Di lingkungan umat Islam telah

terjadi peningkatan yang cukup signifikan dalam penerimaan zakat yang dikelola

oleh Badan Amil Zakat Nasional dari 300 miliar pada tahun 2006 menjadi 1 triliun

pada tahun 2009. Di samping itu, pemerintah juga telah berupaya mendorong dan

memfasilitasi pemberdayaan wakaf untuk kepentingan produktif.

Sebagian pencapaian dari upaya peningkatan kualitas kehidupan beragama tampak

dari meningkatnya gairah keagamaan masyarakat; tumbuh suburnya majelis-

Page 9: Renstra BAB1

Karo Hukum Sekjen

Karo Perencanaan

9

majelis zikir; berkembangnya pusat-pusat kajian keagamaan; maraknya upacara

keagamaan; meningkatnya kualitas bimbingan dan konsultasi keagamaan;

meningkatnya kualitas penyuluh agama; meningkatnya kemudahan akses terhadap

kitab suci dan buku-buku keagamaan; meningkatnya sumber informasi keagamaan;

meningkatnya fungsi rumah ibadat; tumbuhnya perpustakaan rumah ibadat;

kemudahan akses pelayanan keagamaan; meningkatnya pembinaan keluarga

sejahtera; meningkatnya partisipasi lembaga sosial keagamaan sebagai agen

pembangunan nasional; serta meningkatnya pelaksanaan berbagai regulasi di

bidang kehidupan keagamaan.

2. Bidang Kerukunan Umat Beragama

Sebagai bangsa multietnik, multikultur, dan memiliki keragaman keyakinan keaga-

maan, kerukunan umat beragama menjadi hal sangat penting dalam kehidupan

berbangsa dan bernegara. Bagi bangsa Indonesia, kerukunan umat beragama

menjadi prasyarat mutlak bagi terwujudnya stabilitas dan ketahanan nasional.

Untuk meningkatkan kerukunan umat beragama dalam lima tahun terakhir telah

dilakukan langkah-langkah antara lain: reharmonisasi kehidupan sosial keagamaan

daerah pascakonflik; optimalisasi antisipasi disharmoni sosial daerah rawan

konflik; penguatan peran dan pemberdayaan nilai-nilai kearifan lokal; peningkatan

pemahaman agama berwawasan multikultural; pengembangan budaya damai;

participatory action research (PAR) untuk pengembangan model kerukunan;

pemberdayaan organisasi keagamaan; serta penguatan peran tokoh dan pemuka

agama.

Upaya meningkatkan kerukunan umat beragama juga dilakukan antara lain melalui

penerbitan, sosialisasi, dan implementasi Peraturan Bersama Menteri Agama dan

Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan

Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat

Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian

Rumah Ibadah. Sejak penerbitan Peraturan Bersama tersebut, telah berdiri

sebanyak 33 Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Provinsi dan 383 FKUB

Kabupaten/Kota.

Page 10: Renstra BAB1

Karo Hukum Sekjen

Karo Perencanaan

10

Selain itu, dalam upaya menangani kontroversi yang berkepanjangan menyangkut

Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), pemerintah juga telah menerbitkan SKB

Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 2008,

No. KEP-033/A/JA/6/2008, dan Nomor 199 Tahun 2008 tentang Peringatan dan

Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat

Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat.

Sejalan dengan langkah tersebut, telah dilakukan pula berbagai kegiatan diklat dan

orientasi kerukunan bagi para penyuluh agama, dai/juru penerang dan sejenisnya;

dan program bantuan buku-buku keagamaan dalam rangka pencerahan wawasan

keagamaan masyarakat. Dalam membangun kerukunan umat beragama di kalangan

generasi muda lintas agama telah dilakukan sejumlah kegiatan peningkatan

pemahaman dan wawasan serta pengamalan ajaran agama yang berwawasan

multikultural berupa kegiatan kunjungan dan dialog pemuda lintas agama, dengan

melibatkan 200 pemuda dari berbagai organisasi dan latar belakang agama setiap

tahunnya.

Dalam lima tahun terakhir telah dilakukan dua kali Kongres Tokoh Agama dan

Pengurus FKUB se-Indonesia. Dalam kongres tersebut telah dihasilkan sejumlah

keputusan penting, antara lain: negara harus menjadi zona netral dalam kehidupan

umat beragama; negara tidak boleh terlibat dalam urusan internal agama-agama;

negara harus menjamin kebebasan beragama dan tidak dapat diambil alih oleh

negara; serta negara berperan sebagai fasilitator dalam kehidupan umat beragama.

Di dunia internasional, Kementerian Agama juga berperan aktif dalam menjalin

kerjasama kerukunan, seperti terlihat dalam penyelenggaraan The 2nd Asia-Europe

Meeting (ASEM) Youth Interfaith Dialogue yang diselenggarakan pada tahun 2008

di Bandung, Jawa Barat. Para pemuda dari 40 negara anggota ASEM berpartisipasi

dalam kegiatan ini, yang menghasilkan kesepakatan tentang perlunya membangun

kerjasama internasional pemuda dalam rangka menumbuhkan pemahaman dan

kerjasama dalam membangun kerukunan baik di tingkat nasional, regional maupun

internasional.

Page 11: Renstra BAB1

Karo Hukum Sekjen

Karo Perencanaan

11

Selain dialog di kalangan pemuda, telah diselenggarakan pula kegiatan dialog di

kalangan para tokoh agama internasional melalui kegiatan ASEM

Interfaith/Intercultural Retreat for Religious Leaders di Yogyakarta. Kegiatan ini

dihadiri para tokoh agama dari negara-negara anggota ASEM. Tujuannya untuk

memberikan kesempatan kepada para tokoh agama Asia dan Eropa untuk bertukar

pandangan tentang berbagai isu guna mencari titik temu dan aksi nyata bagi

peningkatan harmonisasi umat beragama di masa-masa yang akan datang.

Kementerian Agama bersama Kementerian Luar Negeri terlibat aktif dalam

kegiatan dialog lintas agama internasional, dengan mengirim utusan pada setiap

event yang diselenggarakan dunia internasional. Hal ini terlihat dari kepesertaan

aktif Kementerian Agama dalam pertemuan-pertemuan lintas agama tingkat tinggi

seperti di Nanjing, Cina (2007), Amsterdam, Belanda (2008), dan berpartisipasi

sebagai delegasi RI pada sidang HAM PBB di Jenewa, Swiss (2009).

Sejalan dengan berbagai perubahan lingkungan strategis, Kementerian Agama

mengimplementasikan arah kebijakan pembangunan kerukunan antara lain melalui

perubahan paradigma dan pendekatan, yaitu dari paradigma formal-birokratis

menjadi paradigma humanis-kultural; dari pendekatan yang cenderung top down ke

arah yang bernuansa partisipatif. Perubahan paradigma dan pendekatan ini

mengandaikan terjalinnya pola hubungan antara pemerintah dan umat beragama,

dari yang semula cenderung bersikap sebagai penguasa ke arah yang setara sebagai

mitra strategis dan pelayan umat.

Berbagai usaha tersebut telah memberikan kontribusi penting bagi upaya

rekonstruksi dan reharmonisasi kehidupan beragama pada masyarakat pasca-

konflik; pemantapan kehidupan sosial yang harmonis; pemberdayaan berbagai

potensi kerukunan; penguatan sikap siaga dini terhadap ancaman disintegrasi sosial

berlatarbelakang agama; pemberian ruang komunikasi dan musyawarah guna

menangani berbagai perbedaan dan potensi konflik; memberikan jaminan kepastian

hukum dalam hal pendirian rumah ibadat dan penanganan Jemaat Ahmadiyah

Indonesia; pengembangan budaya keagamaan bernuansa kerukunan; peningkatan

kebijakan dan tata kelola di bidang kerukunan; serta peningkatan partisipasi tokoh

Page 12: Renstra BAB1

Karo Hukum Sekjen

Karo Perencanaan

12

agama dalam upaya memelihara kerukunan umat beragama, terutama pengaruh

radikalisasi dan liberalisasi agama.

3. Bidang Raudhatul Athfal, Madrasah, Perguruan Tinggi Agama, Pendidikan

Agama, dan Pendidikan Keagamaan

Pembangunan bidang agama tidak dapat dilepaskan dari pembangunan pendidikan,

khususnya pendidikan agama, pendidikan keagamaan, dan pendidikan pada

madrasah serta lembaga pendidikan umum (general education) lainnya yang berciri

khas keagamaan.

Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan merupakan salah satu program

prioritas pembangunan bidang agama. Penetapan prioritas tersebut didasarkan pada

kebutuhan berupa:

a. Tersedianya layanan pendidikan agama yang bermutu bagi semua peserta didik

pada semua jenis, jenjang, dan satuan pendidikan.

b. Tersedianya lembaga pendidikan yang menghasilkan ahli agama yang

menguasai dan mengamalkan ajaran agama secara komprehensif, mendalam,

dan profesional.

c. Tersedianya program pendidikan agama dan lembaga pendidikan keagamaan

yang bermutu bagi masyarakat dalam rangka mencerdaskan dan meningkatkan

kualitas kehidupan bangsa serta daya saing nasional.

Dalam menyelenggarakan pendidikan agama, Kementerian Agama telah

menyediakan dan membina guru agama, menyempurnakan kurikulum pendidikan

agama, serta meningkatkan sarana dan prasarana pendidikan agama, termasuk

sarana ibadah.

Sementara itu, dalam menyelenggarakan pendidikan keagamaan, Kementerian

Agama terus membenahi dan memberdayakan lembaga-lembaga pendidikan

keagamaan seperti pondok pesantren dan satuan pendidikan keagamaan lainnya

melalui peningkatan mutu pendidik, penguatan kajian keagamaan, pengembangan

Page 13: Renstra BAB1

Karo Hukum Sekjen

Karo Perencanaan

13

pendidikan, peningkatan kecakapan hidup dan kewirausahaan serta perbaikan

sarana dan prasarana bagi lembaga-lembaga pendidikan keagamaan.

Dalam rangka pencapaian sasaran pembangunan pendidikan nasional, Kementerian

Agama juga melaksanakan berbagai program antara lain melalui perluasan dan

pemerataan akses pendidikan; peningkatan mutu, relevansi dan daya saing; serta

penguatan tatakelola, akuntabilitas dan pencitraan publik terhadap madrasah dan

lembaga pendidikan lain di bawah binaan Kementerian Agama.

Dalam upaya perluasan akses pendidikan, Kementerian Agama telah

mengupayakan penyelenggaraan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Wajar

Dikdas) 9 Tahun, baik melalui jalur pendidikan formal maupun non formal.

Progam ini telah memberikan kontribusi sekurang-kurangnya 22% bagi

keberhasilan Program Wajar Dikdas 9 Tahun secara nasional. Perluasan akses

tersebut antara lain melalui pemberian Bantuan Operasional Sekolah (BOS) kepada

6.286.295 peserta didik jenjang tingkat dasar di madrasah dan pondok pesantren

salafiyah pada tahun 2008/2009, dan pemberian beasiswa kepada sedikitnya

1.229.587 orang anak selama lima tahun terakhir; serta penyediaan layanan

pendidikan Kelompok Belajar Paket A dan B bagi sebanyak 131.424 peserta didik

pada tahun 2008/2009. Di samping itu, sampai dengan tahun 2009, juga telah

dibangun sebanyak 506 madrasah satu atap, penegerian 119 Madrasah Ibtidaiyah

(MI) swasta dan 185 Madrasah Tsanawiyah (MTs) swasta.

Sementara itu, dalam rangka menyediakan layanan pendidikan sesuai standar

nasional pendidikan serta peningkatan mutu proses pendidikan, dalam lima tahun

terakhir telah dibangun dan direhabilitasi sedikitnya 32.008 ruang kelas MI dan

MTs, termasuk di di derah pascabencana alam. Di samping itu, juga telah diberikan

bantuan peningkatan mutu melalui kontrak prestasi, bantuan peningkatan mutu,

bantuan perpustakaan, dan bantuan laboratorium bagi 5.997 MI dan MTs.

Untuk peningkatan akses dan kualitas Madrasah Aliyah (MA) telah direhabilitasi

4.226 ruang kelas; pembangunan 900 ruang kelas baru; pemberian beasiswa kepada

538.407 siswa miskin; pemberian 7.169 paket bantuan kepada MA untuk

peningkatan mutu melalui kontrak prestasi, penyediaan perpustakaan dan

Page 14: Renstra BAB1

Karo Hukum Sekjen

Karo Perencanaan

14

laboratorium; pemberian beasiswa prestasi kepada 720 peserta didik per tahun di

Madrasah Aliyah (Bertaraf Internasional) Insan Cendekia, di Banten dan

Gorontalo; serta penegerian 112 MA (yang semula berstatus swasta).

Peningkatan mutu pendidikan madrasah juga dilakukan melalui peningkatan

kualifikasi akademik, kompetensi dan kesejahteraan guru serta tenaga

kependidikan. Peningkatan kualifikasi dilakukan melalui beberapa kegiatan seperti

pemberian bantuan kepada 45.145 guru yang sedang menempuh studi jenjang S1,

program pendidikan tinggi terjangkau dengan sistem dual modes bagi 12.000 guru,

beasiswa program S1 bagi 5.782 guru, beasiswa program pendidikan kompetensi

(gelar) ganda bagi 315 guru mis-match, dan beasiswa pendidikan jenjang S2 bagi

3.200 guru dan pengawas madrasah. Peningkatan kompetensi guru dilaksanakan

melalui program sertifikasi guru bagi 127.361 guru RA/Madrasah (termasuk 600 di

antaranya melalui jalur pendidikan profesi; dan dari jumlah itu, 49.398 di antaranya

telah memperoleh sertifikat pendidik), pendidikan dan pelatihan serta

pemberdayaan, dan pemberian sedikitnya 2.500 paket bantuan tiap tahun, masing-

masing kepada Kelompok Kerja Guru (KKG) dan Musyawarah Guru Mata

Pelajaran (MGMP), serta Musyawarah Kelompok Kerja Kepala Madrasah

(MK3M/KKM). Peningkatan kesejahteraan guru dilakukan antara lain melalui

pemberian subsidi tunjangan fungsional kepada 490.264 guru Non-PNS; tunjangan

kependidikan bagi seluruh guru PNS; subsidi dan tunjangan profesi kepada 47.622

guru yang telah lulus sertifikasi dan memenuhi persyaratan lainnya; serta

pemberian subsidi tunjangan khusus kepada sedikitnya 3.173 guru Non-PNS yang

ditugaskan di daerah khusus pada tiap tahunnya.

Sedangkan bagi dosen, telah dilaksanakan program pemberian beasiswa S2 dan S3

kepada 2.958 dosen, dan bantuan penyelesaian studi S2 dan S3 kepada 2.357 dosen.

Untuk mahasiswa PTAI juga diberikan bantuan beasiswa kepada 24.330 mahasiswa

berkategori miskin, dan 420 mahasiswa berkategori berprestasi, termasuk dalam hal

ini bantuan untuk kegiatan organisasi kemahasiswaan sebanyak 31 paket.

Paparan di atas merupakan sebagian dari program, kegiatan, dan langkah nyata

yang dilakukan Kementerian Agama, yang telah memberi kontribusi bagi perluasan

dan pemerataan akses masyarakat terhadap pendidikan yang bermutu; peningkatan

Page 15: Renstra BAB1

Karo Hukum Sekjen

Karo Perencanaan

15

mutu, relevansi dan daya saing; serta peningkatan tata kelola, akuntabilitas dan

pencitraan pendidikan kepada publik dalam rangka mencapai visi, misi dan tujuan

nasional di bidang pendidikan.

4. Bidang Penyelenggaraan Ibadah Haji

Dalam lima tahun terakhir Kementerian Agama telah menyusun berbagai langkah

pembenahan sistem manajemen penyelenggaraan ibadah haji. Sesuai amanat UU

Nomor 13 Tahun 2008, penyelenggaraan ibadah haji merupakan tugas nasional

yang harus dilaksanakan sesuai dengan asas keadilan, profesionalitas, dan

akuntabilitas dengan prinsip nirlaba. Disamping itu, penyelenggaraan haji juga

berkaitan dengan citra dan martabat bangsa. Sejumlah langkah yang ditempuh

dalam lima tahun terakhir antara lain:

Pertama, pendaftaran dengan prinsip first come first served. Sistem ini telah dapat

memberikan kepastian keberangkatan pada calon jemaah dan terpenuhinya rasa

keadilan. Sebab, semakin tinggi minat masyarakat dan adanya ketentuan sistem

kuota haji, semakin memperpanjang daftar tunggu (waiting list). Untuk

terlaksananya prinsip first come first served, salah satu kegiatannya ialah

pengembangan Sistem Komputerisasi Haji (SISKOHAT) yang dilaksanakan sejak

tahun 1425H/2004M. Di samping itu, sistem ini juga dapat melindungi jemaah

dengan menghilangkan praktek percaloan jual beli kuota oleh oknum yang tidak

bertanggung jawab.

Kedua, merubah struktur komponen Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH)

menjadi biaya langsung (direct cost) dan biaya tidak langsung (indirect cost).

Dengan sistem ini, jemaah haji hanya membayar komponen biaya langsung,

sedangkan komponen biaya tidak langsung dibebankan pada APBN dan hasil atau

manfaat dari dana setoran awal jemaah haji. Laporan BPIH disusun tepat waktu dan

neraca keuangannya disampaikan kepada masyarakat luas melalui media massa

nasional.

Ketiga, meningkatkan bimbingan jemaah haji melalui penambahan frekuensi

bimbingan dari yang semula tiga kali di tingkat Kabupaten/Kota menjadi empat

Page 16: Renstra BAB1

Karo Hukum Sekjen

Karo Perencanaan

16

belas kali. Di KUA Kecamatan sebanyak sepuluh kali, empat kali di tingkat

Kabupaten/Kota. Dua kali untuk daerah yang masih memerlukan tambahan

bimbingan.

Keempat, peningkatan layanan embarkasi dengan menambah dua embarkasi baru

yaitu: embarkasi Palembang dan Padang, serta satu embarkasi transit di Gorontalo.

Peningkatan layanan embarkasi juga dilakukan dalam bentuk peningkatan kualitas

pelayanan katering, akomodasi, dokumen perjalanan, dan dukungan operasional

PPIH embarkasi.

Kelima, melakukan pembenahan kelembagaan dalam rangka terlaksananya

keseimbangan antara beban tugas dan organisasi melalui pembentukan struktur

organisasi tersendiri, yaitu Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah

yang semula Direktorat Jenderal Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji pada tahun

2006. Disamping itu, dilakukan pula pembinaan kelembagaan di Arab Saudi

dengan membentuk Unit Pelaksana Teknis Satuan Kerja Direktorat Jenderal

Penyelenggaraan Haji dan Umrah, yaitu Kantor Misi Haji Indonesia di Arab Saudi

pada tahun 2009.

Keenam, mengembangkan sistem manajemen mutu penyelenggaraan haji sebagai

upaya rintisan untuk memperoleh sertifikasi ISO 9001: 2008 yang diharapkan dapat

diperoleh pada tahun 2010. Di samping itu, dilakukan pula rintisan optimalisasi

pengelolaan dana haji yang dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi

jemaah haji dan bangsa Indonesia.

Ketujuh, beberapa peningkatan pelayanan dan pembenahan di Arab Saudi antara

lain: (1) mengubah sistem pemondokan di Arab Saudi dari sistem subsidi silang

menjadi sistem proporsional. Dengan perubahan ini dapat mendekatkan prinsip

keadilan karena jemaah haji membayar pemondokan sesuai dengan yang dihuni; (2)

menghapus biaya pelayanan umum (khadamat) kepada Muassasah/Maktab yang

tidak jelas pemanfaatannya; (3) semenjak tahun 2005 telah disediakan katering

selama jemaah haji berada di Madinah.

Kedelapan, penyatuan tiga asosiasi penyelenggara ibadah haji khusus, yaitu

Asosiasi Muslim Penyelenggara Umrah dan Haji (AMPUH), Asosiasi Muslim

Page 17: Renstra BAB1

Karo Hukum Sekjen

Karo Perencanaan

17

Penyelenggaraan Perjalanan Umrah dan Haji (AMPPUH), dan Serikat

Penyelenggara Umrah dan Haji (SEPUH) menjadi Asosiasi Muslim Penyelenggara

Haji dan Umrah Republik Indonesia (AMPHURI) pada tahun 2006. Dengan

penyatuan ini dapat meningkatkan pelayanan dan nilai tawar Penyelenggara Ibadah

Haji Khusus (PIHK) terhadap unit-unit pelayanan di Arab Saudi.

Kesembilan, peningkatan kualitas petugas haji melalui rekrutmen berbasis

kompetensi dan psikotes, serta pelatihan secara intensif untuk memperoleh petugas

yang profesional dan dedikatif.

Kesepuluh, penghapusan fasilitas menunaikan ibadah haji bagi pejabat, tokoh

masyarakat, pimpinan organisasi kemasyarakatan, dan unsur lainnya, yang pada

dasarnya biaya penyelenggaraan haji hanya diperuntukkan bagi jemaah haji.

Kesebelas, penyempurnaan peraturan perundang-undangan tentang

penyelenggaraan ibadah haji, antara lain Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008

tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2009

tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008

tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji menjadi Undang-Undang.

Beberapa dampak positif dari langkah-langkah pembenahan tersebut di atas antara

lain pembinaan yang makin meningkat, pelayanan yang semakin baik, adanya

perlindungan dan rasa adil bagi jemaah, serta peningkatan manajemen

penyelenggaraan haji khususnya di bidang organisasi, tatalaksana, SDM dan

pengelolaan BPIH yang lebih transparan dan akuntabel.

5. Bidang Tata Kelola Kepemerintahan

Sebagai upaya mewujudkan tata kelola kepemerintahan yang baik dan berwibawa,

Kementerian Agama memfokuskan pada penataan organisasi pusat dan daerah,

peningkatan kualitas SDM aparatur, peningkatan pengelolaan keuangan dan Barang

Milik Negara (BMN), peningkatan pengawasan dan akuntabilitas kinerja, serta

optimalisasi perencanaan program dan pengelolaan anggaran.

Page 18: Renstra BAB1

Karo Hukum Sekjen

Karo Perencanaan

18

Di bidang penataan organisasi telah disempurnakan struktur organisasi antara lain

melalui pengembangan satuan organisasi Kementerian Agama di tingkat pusat

dengan penajaman fungsi, yaitu pembentukan Ditjen Bimbingan Masyarakat

Hindu, Ditjen Bimbingan Masyarakat Buddha, Ditjen Bimbingan Masyarakat

Islam, Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah, serta Ditjen Pendidikan Islam.

Dalam upaya memenuhi tuntutan pengembangan organisasi di daerah pemekaran,

telah dibentuk 3 Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi baru, 85 Kantor

Kementerian Agama Kabupaten/Kota baru dan 815 Kantor Urusan Agama

Kecamatan baru. Pada Perguruan Tinggi Agama (PTA) telah dinegerikan dan

ditingkatkan statusnya dengan memperhatikan hasil analisis organisasi dan beban

kerja, berupa tiga UIN, empat IAIN, satu IHDN, empat STAIN, satu STAKN, dan

satu STABN, sedangkan pada madrasah telah dinegerikan di seluruh wilayah

Indonesia sebanyak 416 meliputi MIN, MTsN, dan MAN.

Dalam upaya peningkatan kualitas aparatur sumber daya manusia Kementerian

Agama, telah dilakukan berbagai pendidikan dan pelatihan (diklat) bagi pegawai

Kementerian Agama seluruh Indonesia. Adapun jumlah pegawai yang mengikuti

berbagai diklat tenaga administrasi sepanjang 2004-2009 adalah: sebanyak 2.520

orang pegawai mengikuti Diklat Struktural, 28.872 orang pegawai mengikuti Diklat

Teknis, 1.280 orang pegawai mengikuti Diklat Fungsional, dan 44.055 orang

pegawai mengikuti Diklat Prajabatan Golongan II dan III.

Sedangkan untuk Diklat Tenaga Teknis Keagamaan sepanjang tahun 2004-2009,

untuk rumpun diklat pendidikan dan akademik sebanyak 62.474 orang; rumpun

urusan agama, zakat dan wakaf 11.445 orang; rumpun penyuluh agama dan

penyelenggara haji 6.101 orang; sedangkan rumpun penunjang 3.587 orang.

Di bidang pengelolaan keuangan, Kementerian Agama telah membenahi berbagai

sistem pengelolaan dan pelaporan keuangan sesuai arah dan kebijakan reformasi

bidang keuangan negara. Pembenahan tersebut antara lain melalui penertiban

rekening, penyusunan dan penerapan program sistem informasi manajemen

akuntansi dan BMN, serta pelatihan pengelola keuangan. Di samping itu, telah

dibentuk Tim Peningkatan Kualitas Laporan Keuangan Kementerian Agama yang

bertugas mensinergikan usaha-usaha perbaikan Laporan Keuangan Kementerian

Page 19: Renstra BAB1

Karo Hukum Sekjen

Karo Perencanaan

19

Agama, mulai dari pendampingan, penyusunan laporan keuangan, penyusunan

berbagai panduan teknis, review perencanaan dan penganggaran, serta

pelaksanaannya. Dengan kegiatan tersebut, faktor-faktor penyebab disclaimer

terhadap Laporan Keuangan Kementerian Agama, baik pada tahap perencanaan,

penganggaran, pelaksanaan, maupun pelaporannya dapat segera diatasi.

Di bidang pengelolaan BMN telah dilakukan inventarisasi, revaluasi, dan recovery

aset Kementerian Agama secara nasional. Sampai tahun 2009, sudah kembali

sejumlah aset Kementerian Agama, antara lain berupa tanah dan wisma yang

semula dikuasai pihak lain. Saat ini, tengah diupayakan refungsionalisasi aset

sebanyak 128 unit rumah/gedung dan tanah seluas 228.571 M2, yang terletak di

wilayah DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sumatera Barat. Di

samping itu, telah diperbaiki sarana perkantoran di tingkat pusat dan daerah, serta

pembangunan kembali gedung Kementerian Agama Jl. M.H. Thamrin No. 6 Jakarta

Pusat, yang direncanakan mulai berfungsi pada tahun 2010.

Di bidang pengawasan dan akuntabilitas kinerja, dalam lima tahun terakhir,

Kementerian Agama telah melakukan pengawasan terhadap 9.126 obyek

pemeriksaan, pemberian sanksi, hukuman disiplin dan teguran kepada 870 pegawai,

penanganan 82 aduan yang dipandang benar dari 129 pengaduan masyarakat. Di

samping itu, telah dikembangkan pengawasan melalui pendekatan agama,

pengembangan budaya kerja, pelaksanaan pakta integritas, dan penerapan rencana

aksi nasional pemberantasan korupsi.

Untuk bidang optimalisasi perencanaan program dan anggaran, Kementerian

Agama mengalami kenaikan anggaran yang cukup signifikan selama lima tahun

terakhir, dari Rp.6.815.723.166.000,- (enam triliun delapan ratus lima belas miliar

tujuh ratus dua puluh tiga juta seratus enam puluh enam ribu rupiah) pada tahun

2005, menjadi Rp.26.656.600.559.000,- (dua puluh enam triliun enam ratus lima

puluh enam miliar enam ratus juta lima ratus lima puluh sembilan ribu rupiah) pada

tahun 2009. Sejalan dengan penambahan anggaran tersebut, telah dilakukan upaya

restrukturisasi dan penajaman program dan sasaran secara lebih tepat dan terukur,

termasuk pengawasan khusus fungsi pendidikan yang memperoleh alokasi terbesar

anggaran Kementerian Agama.

Page 20: Renstra BAB1

Karo Hukum Sekjen

Karo Perencanaan

20

C. POTENSI DAN PERMASALAHAN

Mempertimbangkan berbagai kondisi objektif dan hasil capaian program pembangunan

bidang agama periode 2004-2009, maka diperlukan identifikasi yang cermat terhadap

potensi dan permasalahan sebagai salah satu masukan penting bagi perumusan

kebijakan dan penetapan strategi pembangunan bidang agama lima tahun mendatang,

yakni periode 2010-2014.

Potensi dan permasalahan akan ditelaah berdasarkan lima bidang yang menjadi fokus

pembangunan bidang agama. Telaah tersebut mempertimbangkan sejumlah faktor

penting yang ditengarai akan mempengaruhi pembangunan bidang agama.

1. Kehidupan Beragama

Dalam bidang kehidupan beragama, setidaknya terdapat empat aspek yang menjadi

fokus pembangunan agama, yaitu peningkatan kualitas pemahaman dan

pengamalan keagamaan, peningkatan kualitas pelayanan keagamaan, optimalisasi

pengelolaan dana dan aset sosial keagamaan, dan pemberdayaan lembaga sosial

keagamaan.

a. Peningkatan Kualitas Pemahaman dan Pengamalan Keagamaan

Upaya peningkatan kualitas pemahaman dan pengamalan keagamaan menjadi

salah satu fokus penting pembangunan. Agama mengajarkan nilai-nilai

kebaikan, maka meningkatnya kualitas pemahaman keagamaan masyarakat

diharapkan dapat terwujud dalam perilaku sosial umat beragama. Lebih dari itu,

meningkatnya kualitas pemahaman keagamaan juga diharapkan dapat

melahirkan wawasan keagamaan yang seimbang, moderat dan inklusif serta

sikap toleran di kalangan umat beragama, yang pada gilirannya dapat

menciptakan kehidupan sosial yang harmonis, rukun dan damai.

Page 21: Renstra BAB1

Karo Hukum Sekjen

Karo Perencanaan

21

Sejumlah potensi yang dapat mendukung keberhasilan peningkatan kualitas

pemahaman dan pengamalan keagamaan masyarakat, antara lain:

Pertama, tingkat ketaatan beragama masyarakat, khususnya diukur dari

ketaatan dalam menjalankan berbagai ritual dan aktivitas keagamaan, terlihat

sangat tinggi. Hasil survei yang dilakukan Badan Litbang dan Diklat

Keagamaan Kementerian Agama pada tahun 2007 terhadap masyarakat Muslim

di 13 provinsi memperlihatkan bahwa tingkat ketaatan masyarakat Muslim

dalam menjalankan berbagai aktivitas ibadah termasuk dalam kategori sangat

tinggi. Sekitar 92% responden mengatakan bahwa mereka selalu/hampir selalu

menunaikan salat lima waktu, 63,5% mengaku selalu/hampir selalu

melaksanakan salat secara berjamaah, 97,3% mengaku selalu/hampir selalu

menjalankan puasa di bulan Ramadhan, dan 77% mengaku selalu/hampir selalu

mengeluarkan zakat/infak. Meskipun survei ini hanya dilakukan terhadap

komunitas Muslim, namun tidak terlalu keliru bila diasumsikan bahwa pada

dasarnya seluruh pemeluk agama memiliki tingkat ketaatan yang hampir serupa

dalam hal ketaatan menjalankan ibadat dan aktivitas keagamaan lainnya.

Kedua, tingginya tingkat partisipasi masyarakat dalam upaya peningkatan

kualitas pemahaman dan pengamalan keagamaan. Partisipasi itu tewujud dalam

bentuk berbagai kegiatan bimbingan, pengajaran dan penyuluhan keagamaan

yang selama ini dilakukan secara mandiri, swadaya dan swadana oleh

masyarakat. Tingginya tingkat partisipasi ini dipandang sebagai potensi yang

dapat memberi kontribusi penting bagi keberhasilan upaya peningkatan kualitas

pemahaman dan pengamalan keagamaan. Namun, sejauhmana potensi ini

dimanfaatkan sehingga dapat menyumbang bagi keberhasilan pembangunan

bidang agama akan sangat tergantung pada pendekatan dan kebijakan yang

diambil, serta pengakuan dan penghargaan atas pentingnya peran masyarakat,

yang harus diikuti dengan dukungan kebijakan, program, dan pendanaan yang

memadai bagi upaya bimbingan, pengajaran dan penyuluhan keagamaan.

Sejumlah permasalahan yang ditengarai dapat menghambat upaya peningkatan

pemahaman dan pengamalan agama, antara lain:

Page 22: Renstra BAB1

Karo Hukum Sekjen

Karo Perencanaan

22

Pertama, terlihat adanya kesenjangan yang masih cukup lebar antara kesalehan

individual dan kesalehan sosial masyarakat. Selain itu, maraknya berbagai

kegiatan kegaamaan juga dapat dijadikan ukuran untuk menilai tingkat

kegairahan kegaamaan masyarakat. Namun, di sisi lain, tingkat perilaku sosial

yang menyimpang masih tetap cenderung tinggi, antara lain ditandai dengan

masih tetap tingginya angka kriminalitas, maraknya kasus-kasus perbuatan

asusila serta jumlah kasus korupsi yang terus meningkat.

Kedua, terjadinya berbagai konflik yang disertai kekerasan atas nama agama.

Hal ini mencerminkan berkembangnya pemahaman keagamaan yang sempit,

eksklusif, dan tidak toleran di kalangan masyarakat, yang dapat mengganggu

keharmonisan kehidupan beragama dan pada gilirannya dapat memberi

kontribusi negatif bagi keberhasilan pembangunan nasional.

Meningkatnya kualitas pemahaman dan pengamalan keagamaan masyarakat

diharapkan dapat tercermin dalam sikap dan perilaku sosial yang sejalan dengan

nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam ajaran agama dan berkembangnya

wawasan keagamaan yang moderat dan inklusif.

b. Peningkatan Kualitas Pelayanan Keagamaan

Pelayanan keagamaan merupakan bagian dari pelaksanaan kewajiban

konstitusional pemerintah dalam memberikan dukungan dan fasilitasi bagi

terpenuhinya hak beragama masyarakat. Pelayanan tersebut harus bersifat

inklusif dan terukur yang dilandasi atas prinsip non-diskriminasi.

Sejumlah potensi yang dapat mendukung peningkatan kualitas pelayanan

keagamaan, antara lain:

Pertama, telah tersedia beberapa kerangka regulasi pelayanan keagamaan,

seperti UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, UU Nomor 38 Tahun

1999 tentang Pengelolaan Zakat, UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf,

dan UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama. Berbagai peraturan

perundang-undangan tersebut menjadi landasan pemerintah dalam menjalankan

pelayanan keagamaan.

Page 23: Renstra BAB1

Karo Hukum Sekjen

Karo Perencanaan

23

Kedua, tersedianya struktur organisasi Kementerian Agama yang

memungkinkan penyediaan pelayanan sampai tingkat kecamatan, seperti

pelayanan administrasi keagamaan bagi umat Islam pada Kantor Urusan Agama

(KUA), meliputi pelayanan pernikahan, nasehat perkawinan, bimbingan haji,

pengelolaan zakat dan wakaf, pembinaan keluarga sakinah serta pelayanan

pembinaan umat secara umum.

Ketiga, tingginya tingkat partisipasi masyarakat, terutama tokoh agama, juru

penerang/dakwah, dan lembaga keagamaan dalam penyediaan pelayanan bagi

umatnya masing-masing. Hal ini tentu menjadi potensi penting bagi

keberhasilan pelayanan keagamaan mengingat terbatasnya kemampuan dan

kapasitas di bidang penyediaan pelayanan keagamaan, terutama menyangkut

urusan pernikahan, pengelolaan dana sosial keagamaan, serta bimbingan dan

penyuluhan agama.

Sejumlah permasalahan yang ditengarai dapat menghambat upaya peningkatan

kualitas pelayanan keagamaan, antara lain:

Pertama, jumlah tenaga penyedia pelayanan keagamaan yang ada sudah cukup

besar, tetapi dilihat dari distribusi dan rasio kecukupan tenaga yang tersedia

dibanding tenaga yang dibutuhkan masih jauh dari memadai.

Kedua, berkembangnya persepsi di kalangan masyarakat tentang masih

rendahnya dukungan pemerintah kepada aparatur penyedia pelayanan, seperti

para tenaga pembimbing dan penyuluh keagamaan, baik PNS maupun honorer.

Sementara itu, mereka mengemban tugas pelayanan yang tidak ringan.

Ketiga, masih munculnya keluhan masyarakat menyangkut kualitas pelayanan

administrasi keagamaan, seperti besaran biaya nikah, prosedur pengurusan

administrasi, serta masih adanya pungli.

Keempat, kompetensi dan profesionalisme aparat penyedia layanan secara

umum masih rendah.

Page 24: Renstra BAB1

Karo Hukum Sekjen

Karo Perencanaan

24

Kelima, masih rendahnya penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) dan

Standar Prosedur Operasional (SPO) di berbagai bidang pelayanan.

c. Optimalisasi pengelolaan dana dan aset sosial keagamaan

Peingkatan pengelolaan dana dan aset sosial keagamaan merupakan salah satu

langkah strategis dalam usaha meningkatkan kesejahteraan umat dan

mengurangi angka kemiskinan. Sumber-dumber ekonomi keagamaan tersebut

sampai saat ini belum terkelola dengan baik. Untuk itu, pemerintah memandang

perlu memberikan dukungan dan fasilitasi agar pengelolaan dana dan aset sosial

keagamaan itu dapat berjalan optimal sehingga dapat menghasilkan manfaat

yang lebih besar.

Sejumlah potensi yang ditengarai dapat mendukung upaya peningkatan

pengelolaan dana dan aset sosial keagamaan, antara lain:

Pertama, tingginya animo masyarakat dalam menjalankan ibadah sosial

keagamaan dalam berbagai jenis dan bentuknya.

Kedua, tersedianya kerangka regulasi sebagai landasan yuridis bagi

optimalisasi pengelolaan dana dan aset sosial keagamaan seperti UU Nonor 38

Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang

Wakaf, Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan Peraturan Menteri

Agama Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pendaftaran Administrasi Wakaf Uang.

Ketiga, berkembangnya lembaga-lembaga pengelola dana dan aset sosial

keagamaan. Melalui UU Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat,

pemerintah telah membentuk Badan Amil Zakat (BAZ) sebagai lembaga

pengelola zakat. Eksistensi BAZ diharapkan dapat membangun kemitraan yang

kokoh dengan LAZ, bahkan diharapkan menjadi lembaga pengelola zakat yang

profesional dan kompeten, sehingga menjadi model bagi lembaga pengelola

zakat lainnya. Demikian juga melalui UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang

Page 25: Renstra BAB1

Karo Hukum Sekjen

Karo Perencanaan

25

Wakaf, pemerintah telah membentuk Badan Wakaf Indonesia (BWI) sebagai

lembaga independen untuk mengembangkan perwakafan nasional. Keberadaan

BWI ini diharapkan mampu membina pengelola wakaf (Nazhir) secara nasional

sehingga menjadi pusat pengembangan ekonomi umat berbasis wakaf, dan

menjadi lembaga yang mendorong tumbuhnya profesionalisme pengelolaan,

pemberdayaan, dan pengembangan wakaf produktif.

Keempat, tingginya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan dana dan aset

sosial keagamaan. Pemerintah dalam hal ini dapat berperan sebagai mitra

strategis peningkatan mutu pengelolaan melalui pengembangan berbagai

program pembinaan dan asistensi pelayanan.

Sejumlah permasalahan yang ditengarai dapat menghambat upaya peningkatan

pemanfaatan dana dan aset sosial keagamaan, antara lain:

Pertama, masih terdapat persepsi keliru bahwa fungsi dana dan aset sosial

keagamaan itu hanya diperuntukan bagi peningkatan kesejahteraan penganut

agama bersangkutan. Sumber-sumber ekonomi keagamaan itu belum dapat

dimanfaatkan bagi masyarakat secara lintas agama.

Kedua, masih berkembang sikap “curiga” terhadap usaha-usaha pemerintah

dalam meningkatkan mutu pengelolaan sumber-sumber ekonomi keagamaan.

Jika pemerintah merancang kebijakan dan progam untuk mengoptimalkan

pengelolaan dana dan aset sosial keagamaan cenderung dianggap sebagai turut

campur soal ibadat.

Kedua, dana dan aset sosial keagamaan umumnya masih dikelola secara

tradisional. Diperlukan perhatian dan dukungan yang sungguh-sungguh semua

pihak, terutama pemerintah.

d. Pemberdayaan lembaga sosial keagamaan

Lembaga sosial keagamaan merupakan unsur penting dalam penyelenggaraan

pembangunan bidang agama. Eksistensi lembaga tersebut sampai saat ini belum

sepenuhnya mampu menunjukkan performa seperti yang diharapkan

masyarakat. Untuk itu, pemerintah perlu mengusahakan pemberdayaan

Page 26: Renstra BAB1

Karo Hukum Sekjen

Karo Perencanaan

26

lembaga-lembaga sosial keagamaan yang sangat potensial itu sebagai mitra

strategis pemerintah dalam mendorong terwujudnya pelayanan keagamaan yang

prima dan terbentuknya masyarakat madani.

Sejumlah potensi yang dapat mendukung upaya pemberdayaan lembaga sosial

keagamaan, yaitu:

Pertama, sudah terjalin kerjasama antara pemerintah dengan lembaga-lembaga

sosial keagamaan. Hal ini dapat menjadi modal awal untuk lebih jauh

membangun rasa saling percaya (mutual trust) dan hubungan kemitraan yang

sejajar dalam mensukseskan pembangunan bidang agama.

Kedua, sebagian lembaga sosial keagamaan telah menunjukkan kinerja,

profesionalisme dan integritas yang tinggi. Lembaga tersebut dapat dijadikan

model bagi upaya pemberdayaan lembaga sosial keagamaan yang lebih luas.

Sejumlah permasalahan yang ditengarai dapat menghambat upaya

pemberdayaan lembaga sosial keagamaan, antara lain:

Pertama, belum tersedianya atau belum termutakhirkannya database lembaga

sosial keagamaan yang mengandung informasi yang cukup terperinci mengenai

profil dari lembaga sosial keagamaan berikut rekam jejak kiprah mereka dalam

fokus bidang yang menjadi garapan mereka. Hal ini perlu menjadi perhatian

serius untuk mengetahui peta permasalahan umum dalam mengoptimalkan

peran lembaga tersebut.

Kedua, secara umum lembaga sosial keagamaan bervariasi dari segi

kemandirian, fokus bidang garapan, pola dan ritme kerja serta sumber daya

yang dimiliki. Hal ini belum lagi ditambah dengan heterogenitas kecenderungan

dan orientasi ideologis masing-masing lembaga sosial keagamaan. Jika tidak

disikapi secara tepat, berbagai variasi itu dapat menimbulkan kesulitan bagi

upaya pemberdayaan lembaga sosial keagamaan.

Page 27: Renstra BAB1

Karo Hukum Sekjen

Karo Perencanaan

27

2. Kerukunan Umat Beragama

Kerukunan umat beragama merupakan salah faktor penting pembangunan. Oleh

sebab itu, salah satu fokus pembangunan bidang agama adalah mewujudkan dan

meningkatkan kerukunan umat beragama sebagai pilar kerukunan nasional.

Sejumlah potensi yang dapat mendukung upaya peningkatan kualitas kerukunan

umat beragama, antara lain:

Pertama, tersedianya kerangka regulasi yang menyediakan pedoman pelaksanaan

tugas bagi kepala daerah/wakil kepala daerah dalam pemeliharaan kerukunan umat

beragama, pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan

pendirian rumah ibadah, seperti tertuang dalam Peraturan Bersama Menteri Agama

dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dan 8 Tahun 2006.

Kedua, sebagai implementasi Peraturan Bersama tersebut, saat ini telah terbentuk

33 FKUB Provinsi dan 383 FKUB Kabupaten/Kota. Optimalisasi peran FKUB

secara efektif dan tepat dapat menjadi modal penting bagi upaya pemeliharaan

kerukunan umat beragama.

Ketiga, pemanfaatan dan pengembangan nilai-nilai kearifan lokal bagi pengelolaan

perbedaan dan konflik di sejumlah daerah.

Sejumlah permasalahan yang ditengarai dapat menghambat upaya peningkatan

kerukunan umat beragama, antara lain:

Pertama, adanya persepsi yang sebagian masyarakat bahwa berbagai program

peningkatan kerukunan yang dikembangkan cenderung bersifat elitis, dalam arti

baru menyentuh lapisan elite agama, baik tokoh agama maupun majelis agama,

tetapi belum menjangkau masyarakat yang lebih luas.

Kedua, upaya penciptaan dan pemeliharaan kerukunan selama ini lebih

menekankan pada pendekatan struktural-formal daripada pendekatan kultural yang

lebih mengapresiasi peranan dan partisipasi masyarakat serta mempertimbangkan

nilai-nilai kearifan lokal.

Page 28: Renstra BAB1

Karo Hukum Sekjen

Karo Perencanaan

28

Ketiga, masih terdapat juru penerang/dakwah yang menyampaikan materi

penyiaran agama dengan mengabaikan realitas sosial yang plural (majemuk).

Keempat, kendati upaya penciptaan dan pemeliharaan kerukunan umat beragama

sangat penting bagi terwujudnya kerukunan, ketahanan dan kesatuan nasional,

namun sumber daya untuk mendukung program bagi upaya tersebut relatif masih

rendah dan terbatas.

3. Pendidikan Raudhatul Athfal, Madrasah, Perguruan Tinggi Agama,

Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan

Pendidikan Raudhatul Athfal, Madrasah, Perguruan Tinggi Agama, pendidikan

agama dan pendidikan keagamaan merupakan pilar penting pembangunan

pendidikan nasional dalam rangka menghasilkan SDM yang berkualitas dan

berakhlak mulia. Penyelenggaraan pendidikan yang menjadi tanggung jawab

Kementerian Agama masih perlu dikembangkan secara lebih konsisten dan

berkesinambungan sesuai dengan tuntutan perkembangan dan permasalahan yang

dihadapi.

Sejumlah potensi yang dapat mendorong upaya peningkatan kualitas Pendidikan

Raudhatul Athfal, Madrasah, Perguruan Tinggi Agama, pendidikan agama dan

pendidikan keagamaan, antara lain:

Pertama, terbitnya PP Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan

Pendidikan Keagamaan, penerapan standar pelayanan dan evaluasi pendidikan

agama, serta peningkatan pembinaan terhadap lembaga pendidikan keagamaan

yang berkembang di masyarakat. Potensi ini perlu didukung dan ditindaklanjuti

dalam bentuk kebijakan turunan sebagai pedoman pelaksanaan.

Kedua, peningkatan mutu, akses, dan daya saing Pendidikan Raudhatul Athfal,

Madrasah, Perguruan Tinggi Agama, pendidikan agama dan pendidikan keagamaan

merupakan salah satu program prioritas pemerintah yang memperoleh dukungan

masyarakat luas.

Page 29: Renstra BAB1

Karo Hukum Sekjen

Karo Perencanaan

29

Ketiga, besarnya dukungan kebijakan di bidang anggaran yang dialokasikan untuk

pendidikan.

Sejumlah permasalahan yang ditengarai dapat menghambat upaya peningkatan

kualitas Pendidikan Raudhatul Athfal, Madrasah, Perguruan Tinggi Agama,

pendidikan agama dan pendidikan keagamaan, antara lain:

Pertama, masih terdapat kesenjangan antara lembaga Pendidikan Raudhatul Athfal,

Madrasah, Perguruan Tinggi Agama, pendidikan agama dan pendidikan keagamaan

dengan lembaga pendidikan lainnya, terutama dalam hal penyediaan daya dukung

pendanaan dan penyediaan tenaga pendidik yang profesional.

Kedua, mayoritas lembaga pendidikan di bawah binaan Kementerian Agama

berstatus swasta dengan daya dukung yang sangat terbatas.

Ketiga, masih terdapat perbedaan persepsi dan perlakuan Pemerintah Daerah dalam

mendukung penyelenggaraan pendidikan binaan Kementerian Agama, sehingga

akses masyarakat terhadap lembaga pendidikan tersebut belum merata.

4. Penyelenggaraan Ibadah Haji

Penyelenggaraan ibadah haji merupakan salah satu program prioritas pembangunan

bidang agama dan sering kali diposisikan sebagai salah satu indikator kunci kinerja

Kementerian Agama. Penyelenggaraan ibadah haji dari tahun ke tahun mengalami

peningkatan, namun demikian disadari bahwa peningkatan tersebut belum

signifikan, sehingga masih perlu dilakukan berbagai upaya peningkatan lebih

lanjut.

Sejumlah potensi yang dapat mendukung upaya peningkatan mutu

penyelenggaraan ibadah haji, antara lain:

Pertama, tersedianya peraturan perundang-undangan seperti UU Nomor 13 Tahun

2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji sebagai penyempurnaan dari UU

Nomor 17 Tahun 1999 yang menjadi acuan bagi upaya peningkatan kualitas

pembinaan, pelayanan, dan perlindungan bagi jemaah haji.

Page 30: Renstra BAB1

Karo Hukum Sekjen

Karo Perencanaan

30

Kedua, dana setoran awal BPIH dapat dimanfaatkan untuk mendukung

penyelenggaraan haji, sehingga lebih bermanfaat bagi jemaah haji dan

kesejahteraan umat. Untuk itu diperlukan undang-undang yang mengatur

pengelolaan dana haji yang memberikan peluang investasi dan jaminan keuangan.

Ketiga, tingginya peran masyarakat dalam penyelenggaraan ibadah haji yang

direpresentasikan melalui berkembangnya Penyelenggara Ibadah Haji Khusus

(PIHK) dan Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH). Dengan peran tersebut

diharapkan terjadi peningkatan pelayanan bagi calon jamaah haji. Di samping itu

juga terdapat peran serta Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) yang

diharapkan dapat meningkatkan kualitas perjalanan ibadah umrah.

Keempat, jaringan teknologi informasi yang berkembang pesat menjadi potensi

penting dalam meningkatkan kualitas pelayanan penyelenggaraan haji.

Perkembangan teknologi informasi dapat dimanfaatkan sebagai media efektif dan

efisien dalam peningkatan kualitas berbagai bidang pelayanan.

Sejumlah permasalahan yang ditengarai dapat menghambat upaya peningkatan

kualitas penyelenggaraan haji, antara lain:

Pertama, belum tersedianya peraturan perundang-undangan yang merupakan

turunan dan petunjuk teknis pelaksanaan UU Nomor 13 Tahun 2008 tentang

Penyelenggaraan Ibadah Haji, misalnya mengani ketentuan yang mengatur tata cara

pengangkatan dan pemberhentian Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI), sistem

pengelolaan Dana Abadi Umat (DAU), dan pengelolaan dana haji.

Kedua, masih lemahnya kontrol dan penarapan Standar Pelayanan Minimal (SPM)

dan Standar Prosedur Operasional (SPO), khususnya berkaitan dengan pelayanan

pendaftaran, akomodasi, transportasi, katering, bimbingan, kesehatan, keamanan,

dan perlindungan jamaah.

Ketiga, pola rekruitmen dan pelatihan petugas haji belum sesuai dengan tuntutan

dan kebutuhan pelayanan.

Page 31: Renstra BAB1

Karo Hukum Sekjen

Karo Perencanaan

31

Keempat, pelayanan penyelenggaraan haji belum sepenuhnya memperhatikan profil

jamaah yang beragam dari segi latar belakang usia, pendidikan, etnis, bahasa dan

budaya.

Kelima, kebijakan penyelenggaraan ibadah haji pemerintah Arab Saudi melalui

Ta’limatul Hajj seringkali tidak konsisten. Kondisi ini menjadi kendala bagi

pemerintah karena terbentur oleh keputusan dan kebijakan sepihak pemerintah

Arab Saudi.

Keenam, perbedaan kondisi geografis, sosial budaya, adat istiadat, dan bahasa

merupakan kendala tersendiri bagi petugas haji.

5. Tata Kelola Kepemerintahan

Di bidang penguatan tata kelola kepemerintahan yang bersih Kementerian Agama

memfokuskan pada upaya penataan organisasi pusat dan daerah; peningkatan

kualitas SDM aparatur; peningkatan pengelolaan keuangan dan Barang Milik

Negara (BMN); peningkatan pengawasan dan akuntabilitas kinerja; serta

optimalisasi perencanaan program, pengelolaan anggaran, monitoring dan evaluasi

kegiatan.

Sejumlah potensi yang dapat mendukung upaya peningkatan tata kelola

kepemerintahan yang baik, antara lain:

Pertama, komitmen aparatur Kementerian Agama untuk mewujudkan

pemerintahan yang bersih dan berwibawa berlandaskan nilai moral, etik, dan agama

sebagai spirit dalam pengambilan kebijakan dan penyelenggaraan pemerintahan.

Kedua, meningkatnya kesadaran masyarakat akan penyelenggaraan

kepemerintahan yang efektif, efisien dan akuntabel. Partisipasi masyarakat dalam

mengawasi penyelenggaraan pemerintahan menjadi daya dukung yang kuat bagi

pemerintah dalam mewujudkan good governance.

Ketiga, satuan kerja organisasi Kementerian Agama yang tersebar sampai tingkat

kecamatan. Luasnya jangkauan satuan kerja tersebut menjadi kekuatan besar dan

terpadu dalam penerapan kebijakan organisasi. Hal ini berpotensi menjadi saluran

Page 32: Renstra BAB1

Karo Hukum Sekjen

Karo Perencanaan

32

informasi pembangunan keagamaan yang dapat diandalkan, sekaligus sebagai

penghubung antara pemerintah dengan masyarakat.

Sejumlah permasalahan yang ditengarai dapat mengambat upaya penguatan tata

kelola pemerintahan, antara lain:

Pertama, banyaknya satuan kerja (Satker) di lingkungan Kementerian Agama dapat

menimbulkan kendala koordinasi, pengawasan dan pembenahan sistem pelayanan

kepada masyarakat. Kesulitan tersebut bukan saja berdampak pada pelaksanaan

tugas dan fungsi internal Kementerian Agama, melainkan pula dalam

mengembangkan jaringan kelembagaan dengan lembaga-lembaga pemerintah

terkait lainnya.

Kedua, kualitas sumber daya aparatur yang masih terbatas baik jumlah maupun

kualitasnya. Kondisi ini sangat mempengaruhi kinerja pembangunan bidang agama,

terutama pada aspek pelayanan administrsai keagamaan.

Ketiga, masih rendahnya mutu pelaporan keuangan yang berdampak pada opini

laporan Kementerian Agama yang masih disclaimer.

Keempat, masih terbatasnya kapasitas manajerial pengelolaan Barang Milik

Negara (BMN). Sejumlah aset milik Kementerian Agama seperti tanah dan wisma

masih dikuasi pihak lain. Sementara itu, aset-aset yang ada belum dilakukan

pendatan dan penaksiran ulang.

Kelima, dalam hal pengawasan dan akuntabilitas kinerja, masih terdapat beberapa

temuan hasil pemeriksaan BPK, BPKP dan Inspektorat Jenderal Kementerian

Agama yang belum selesai ditindaklanjuti.

Keenam, belum tersedianya sistem manajemen informasi yang dapat mendukung

tugas-tugas organisasi. Sistem yang dijalankan belum sepenuhnya mengacu pada

usaha pelayanan informasi secara terpadu, menyeluruh, sistemik dan berwawasan

ke depan.

Ketujuh, masih terdapat pelayanan dan mekanisme kerja yang belum memiliki

Standar Pelayanan Minimal (SPM) dan Standar Prosedur Operasional (SPO).