Download - REGULASI KEARIFAN LOKAL - UNUD

Transcript
Page 1: REGULASI KEARIFAN LOKAL - UNUD

0

MAKALAH POSISI

REGULASI KEARIFAN LOKAL:

PANDUAN PENYUSUNAN PERATURAN

GUBERNUR BERMUATAN KEARIFAN LOKAL

Dr. GEDE MARHAENDRA WIJA ATMAJA

KOORDINASI PENYUSUNAN BUKU PINTAR

SUNCANG PERGUB BERMUATAN KEARIFAN

LOKAL PADA KANTOR GUBERNUR BALI

DENPASAR 2017

Page 2: REGULASI KEARIFAN LOKAL - UNUD

REGULASI KEARIFAN LOKAL:

PANDUAN PENYUSUNAN PERATURAN

GUBERNUR BERMUATAN KEARIFAN LOKAL

Dr. GEDE MARHAENDRA WIJA ATMAJA

Kelompok Ahli Bidang Hukum Pemerintah Provinsi Bali

MAKALAH POSISI

KOORDINASI PENYUSUNAN BUKU PINTAR

SUNCANG PERGUB BERMUATAN KEARIFAN LOKAL

PADA KANTOR GUBERNUR BALI

DENPASAR 2017

Page 3: REGULASI KEARIFAN LOKAL - UNUD

ii

RINGKASAN

kalah Posisi (Position Paper) berjudul Regulasi Kearifan Lokal:

Panduan Penyusunan Peraturan Gubernur bermuatan Kearifan

Masyarakat Setempat disusun sebagai masukan dan bahan diskusi

dalam penyusunan Buku Pintar Suncang Pergub bermuatan Kearifan

Lokal.

Makalah Posisi ini membahas dan menempatkan sudut pandang

mengenai: a. dasar hukum penyusunan Peraturan Gubernur bermuatan

kearifan lokal, b. proses penyusunan Peraturan Gubernur bermuatan

kearifan lokal, dan c. isi Peraturan Gubernur bermuatan kearifan lokal

yang hendak disusun. Pembahasan dilakukan dengan metode ilmu

hukum, dan diperoleh hasil pembahasan sebagai berikut:

Pertama, dasar hukum penyusunan Peraturan Gubernur bermuatan

kearifan lokal adalah berdasarkan ketentuan mengenai:

a. Peraturan Gubernur untuk melaksanakan Perda (Pasal 246 ayat

(1) UU 23/2014), bersumber kewenangan delegasi perundang-

undangan, baik pendelegasian eksplisit maupun pendelegasian

implisit.

b. Peraturan Gubernur atas kuasa peraturan perundang-undangan

(Pasal 246 ayat (1) UU 23/2014), bersumber kewenangan

delegasi perundang-undangan, dengan karakter pendelegasian

eksplisit.

c. Peraturan Gubernur sebagaimana diperintahkan oleh Peraturan

Perundang-undangan yang lebih tinggi (Pasal 8 ayat (1) UU

12/2011, bersumber kewenangan delegasi perundang-

undangan, baik pendelegasian eksplisit maupun pendelegasian

implisit.

d. Peraturan Gubernur dibentuk berdasarkan kewenangan (Pasal 8

ayat (1) UU 12/2011), bersumber kewenangan delegasi

perundang-undangan, dengan karakter pendelegasian implisit.

e. Peraturan Gubernur untuk menyelenggarakan Urusan

Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah (Pasal 17 ayat

(1) UU 23/2014), bersumber kewenangan delegasi perundang-

undanga, dengan karakter pendelegasian implisit.

Kedua, proses penyusunan Peraturan Gubernur bermuatan kearifan

lokal melalui tahapan:

Page 4: REGULASI KEARIFAN LOKAL - UNUD

iii

a. perencanaan, yakni memasukan judul rancangan peraturan

gubernur bermuatan kearifan lokal dalam perencanaan

penyusunan Pergub;

b. penyusunan, yakni pimpinan perangkat daerah pemrakarsa

menyusun rancangan peraturan gubernur bermuatan kearifan

lokal;

c. pembahasan, yakni membahas rancangan peraturan gubernur

bermuatan kearifan lokal oleh gubernur bersama dengan

perangkat daerah pemrakarsa, untuk itu gubernur membentuk

tim pembahasan yang dipimpin oleh pimpinan perangkat daerah

pemrakarsa;

d. penetapan, yakni gubernur menetapkan rancangan peraturan

gubernur bermuatan kearifan lokal yang telah mendapat

pembahasan menjadi peraturan gubernur bermuatan kearifan

lokal, dan

e. pengundangan, yakni sekretaris daerah mengundangkan

peraturan gubernur bermuatan kearifan lokal dalam berita

daerah.

Ketiga, isi Peraturan Gubernur bermuatan kearifan lokal yang

hendak disusun meliputi:

a. pokok pengaturan tentang kearifan lokal, yakni pengakuan

kearifan lokal, termasuk di dalamnya penghormatan,

perlindungan, dan pemenuhan hak-hak pengampu kearifan lokal;

b. pokok pengaturan tentang bentuk-bentuk kearifan lokal, yakni

pengakuan bentuk-bentuk kearifan lokal, seperti pengakuan hak

ulayat atau pengakuan hukum adat beserta pengampunya yaitu

kesatuan masyarakat hukum adat; dan

c. asas pengaturan, yakni asas kearifan lokal terlingkup dalam asas

bhinneka tunggal ika yang merupakan asas pembentukan

peraturan perundang-undangan yang baik, yang bersifat materiil,

yang harus terkandung dalam peraturan gubernur mengenai suatu

materi muatan tertentu.

Page 5: REGULASI KEARIFAN LOKAL - UNUD

iv

KATA PENGANTAR

Om Suasti Astu

Makalah Posisi (Position Paper) berjudul Regulasi Kearifan Lokal:

Panduan Penyusunan Peraturan Gubernur bermuatan Kearifan

Masyarakat Setempat disusun sebagai masukan dan bahan diskusi

dalam acara Koordinasi Penyusunan Buku Pintar Suncang Peraturan

Gubernur bermuatan Kearifan Lokal.

Sesuai Surat Sekretaris Daerah Provinsi Bali Nomor

005/563/Bag.I/B.KUMHAM, antara lain ditujukan kepada Kelompok Ahli

Bidang Hukum Pemerintah Provinsi Bali, Rapat Koordinasi

diselenggarakan pada hari Jumat 7 April 2017 di Ruang Rapat Biro

Hukum dan HAM Setda Provinsi Bali, Unit V Lantai II Kantor Gubernur

Bali, di Denpasar.

Tema acara Koordinasi itu adalah Penyusunan Buku Pintar Suncang

(Penyusunan Rancangan) Peraturan Gubernur bermuatan Kearifan

Lokal. Posisi penyusunan Rancangan Peraturan Gubernur dalam

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menurut Pasal 1 angka 1

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 adalah dalam fase

“penyusunan”, yakni di antara fase “perencanaan” dan fase

“pembahasan”. Makalah Posisi ini mengambil posisi pada proses

pembuatan Peraturan Gubernur, dimulai dari perencanaan, penyusunan,

Page 6: REGULASI KEARIFAN LOKAL - UNUD

v

pembahasan, penetapan, dan pengundangan. Oleh karena itu tidak

digunakan frasa “Penyusunan Rancangan Peraturan Gubernur”

melainkan menggunakan frasa “Penyusunan Peraturan Gubernur”,

sebagaimana tampak dalam judul Makalah Posisi ini.

Seturut dengan itu, Makalah Posisi ini membahas dan menempatkan

sudut pandang mengenai: a. dasar hukum penyusunan Peraturan

Gubernur bermuatan kearifan lokal, b. proses penyusunan Peraturan

Gubernur bermuatan kearifan lokal, dan c. isi Peraturan Gubernur

bermuatan kearifan lokal yang hendak disusun.

Om Santi Santi Santi Om,

Denpasar, 7 April 2017

Gede Marhaendra Wija Atmaja

Page 7: REGULASI KEARIFAN LOKAL - UNUD

vi

DAFTAR TABEL

Tabel 1: Dasar hukum penyusunan Peraturan Gubernur menurut UU 12/2011

9

Tabel 2: Dasar hukum penyusunan Peraturan Gubernur menurut UU 23/2014

10

Tabel 3: Proses Penyusunan Peraturan Gubernur menurut PMDN 80/2015

12

Tabel 4: Isi Peraturan Gubernur bermuatan kearifan lokal merujuk UU 32/2009

19

Tabel 5: Isi Pergub bermuatan kearifan lokal merujuk UU 23/2014.

22

Tabel 6: Isi Peraturan Gubernur bermuatan kearifan lokal merujuk PP 68/2010

24

Tabel 7: Isi Peraturan Gubernur bermuatan kearifan lokal merujuk PMLHK P.34/Menlhk/Setjen/ Kum.1/5/2017

25

Tabel 8: Penjelasan Pasal 12 dan Pasal 13 UU 12/2011 40

Tabel 9: Pendapat Bagir Manan dan Rosjidi Ranggawijaya mengenai makna “atas kuasa”

44

Tabel 10: Tanda-Tanda Pendelegasian Kewenangan Mengatur

45

Tabel 11: Proses penyusunan Peraturan Gubernur bermuatan kearifan lokal

54

Page 8: REGULASI KEARIFAN LOKAL - UNUD

vii

DAFTAR ISI

RINGKASAN ........................................................................................................................................... ii

KATA PENGANTAR................................................................................................................................ iv

DAFTAR TABEL .....................................................................................................................................vii

DAFTAR ISI............................................................................................................................................vii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................................ 1

1.1. Latar Belakang ........................................................................ Error! Bookmark not defined.

1.2. Identifikasi Masalah .............................................................................................................. 2

1.3. Metode ................................................................................................................................. 2

BAB II KERANGKA TEORITIK ................................................................................................................... 4

2.1. Kearifan Lokal ........................................................................................................................ 4

2.2. Delegasi Perundang-undangan.............................................................................................. 5

BAB III DESKRIPSI PENGATURAN KEARIFAN LOKAL ............................................................................... 9

3.1. Pengantar .............................................................................................................................. 9

3.2. Dasar Hukum Penyusunan Peraturan Gubernur Bermuatan Kearifan Lokal ......................... 9

3.3. Proses Penyusunan Peraturan Gubernur Bermuatan Kearifan Lokal .................................... 9

3.4. Isi Peraturan Gubernur Bermuatan Kearifan Lokal Yang Hendak Disusun........................... 11

BAB IV ANALISIS PENYUSUNAN PERATURAN GUBERNUR BERMUATAN KEARIFAN LOKAL ................. 34

4.1. Dasar Hukum Penyusunan Peraturan Gubernur Bermuatan Kearifan Lokal ....................... 34

4.2. Proses Penyusunan Peraturan Gubernur Bermuatan Kearifan Lokal .................................. 53

4.3. Isi Peraturan Gubernur Bermuatan Kearifan Lokal Yang Hndak Disusun ............................ 57

BAB V PENUTUP .................................................................................................................................. 75

5.1. Kesimpulan ....................................................................................................................... 345

5.2. Saran ................................................................................................................................ 753

Page 9: REGULASI KEARIFAN LOKAL - UNUD

viii

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... Error! Bookmark not defined.

Page 10: REGULASI KEARIFAN LOKAL - UNUD

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Perlu menyimak tema Penyusunan Buku Pintar Suncang Peraturan

Gubernur bermuatan Kearifan Lokal, sebagaimana tercantum dalam Surat

Sekretaris Daerah Provinsi Bali Nomor 005/563/Bag.I/B.KUMHAM. Tema

itu memuat unsur-unsur:

1. Menyusun Buku Pintar tentang Penyusunan Rancangan

(Suncang) Peraturan Gubernur.

2. Peraturan Gubernur itu bermuatan Kearifan Lokal.

Tema itu fokus pada penyusunan Rancangan Peraturan Gubernur,

yang posisinya berada di antara fase perencanaan dan fase pembahasan

menurut pengertian Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sesuai

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Makalah ini mengambil

posisi pada Penyusunan Peraturan Gubernur, artinya dimulai dari fase

perencanaan, penyusunan (-rancangan), pembahasan (terhadap

rancangan), penetapan, dan pengundangan.

Tema tersebut mengambil perspektif Peraturan Gubernur bermuatan

kearifan lokal, ada perspektif lainnya antara lain Peraturan Daerah dan

Peraturan Gubernur bermuatan kearifan lokal. Makalah Posisi ini

membahas penyusunan Peraturan Gubernur bermuatan kearifan lokal,

Page 11: REGULASI KEARIFAN LOKAL - UNUD

2

namun apabila pembahasan bersinggunan dengan Peraturan Daerah,

maka dikemukakan pula penyusunan Peraturan Daerah bermuatan

kearifan lokal

1.2. Identifikasi Masalah

Difokuskan pada pembahasan cara menyusun rancangan Peraturan

Gubernur yang bermuatan kearifan lokal. Untuk memudahkan

pembahasan dipandu oleh pertanyaan:

1. Apakah penyusunan Peraturan Gubernur bermuatan kearifan lokal

memiliki dasar hukum?

2. Bagaimana proses menyusun Peraturan Gubernur bermuatan

kearifan lokal?

3. Bagaimana isi Peraturan Gubernur bermuatan kearifan lokal yang

hendak disusun?

1.3. Metode

Digunakan metod4e ilmu hukum, dalam pengertian langkah-langkah

yang ditempuh untuk sampai pada pemahaman penyusunan Peraturan

Gubernur bermuatan kearifan lokal, adalah menginvetarisasi,

menginterpretasi, mengsistematisasi, dan mengevaluasi, yang pada

dasarnya merupakan kegiatan ilmiah ilmu hukum (B. Arief Sidharta 2016).

Menginvetarisasi aturan hukum adalah menemukenali dan

memaparkan selengkap mungkin aturan hukum mengenai penyusunan

Page 12: REGULASI KEARIFAN LOKAL - UNUD

3

Peraturan Gubernur bermuatan kearifan lokal; menginterpretasi aturan

hukum, yakni upaya menemukan makna dari aturan hukum itu;

mengsistematisasi aturan hukum, yakni menempatkan hasil interpretasi

terhadap aturan hukum itu ke dalam tata hukum yang sudah ada; dan

mengevaluasi aturan hukum itu berdasarkan dan bersasaran nilai-nilai

dasar tata hukum.

Digunakan pendekatan tekstual, dalam pengertian pasal-pasal dalam

peraturan perundang-undangan dianalisis secara kritikal dan dijelaskan

makna serta implikasinya (Sulistyowati Irianto 2009). Termasuk yang

dianalisis adalah Putusan Mahkamah Agung berkenaan dengan

pertimbangan hukum yang melandasi amar putusannya, dan

keterkaitannya dengan pasal-pasal dalam peraturan perundang-

undangan.

Analisis dilakukan menurut cara-cara analisis atau penafsiran

(interpretasi) hukum yang dikenal dalam ilmu hukum (C.F.G. Sunaryati

Hartono 1994), dalam hal ini interpretasi gramatikal, yakni berdasarkan

makna kata dalam konteks kalimatnya, interpretasi sistematikal, yakni

dalam konteks hubungannya dengan kaidah-kaidah hukum positif lainnya

(B. Arief Sidharta 201. Bagir Manan 2004), dan interpretasi autentik

(C.F.G. Sunaryati Hartono 1994), yakni menyandarkan pada penjelasan

peraturan perundang-undangan.

Page 13: REGULASI KEARIFAN LOKAL - UNUD

4

BAB II

KERANGKA TEORITIK

2.1. Kearifan Lokal

. Heddy Shri Ahimsa-Putra mendefinisikan kearifan lokal sebagai

perangkat pengetahuan pada suatu komunitas, baik yang berasal dari

generasi-generasi sebelumnya maupun dari pengalamannya berhubungan

dengan lingkungan dan masyarakat lainnya, untuk menyelesaikan secara

baik dan benar berbagai persoalan dan/atau kesulitan yang dihadapi

(dalam Nur Berlian VA, & Mursalim, Ed, 2015).

Jadi, kearifan lokal, menurut Heddy Shri Ahimsa-Putra, meliputi

kearifan tradisional atau kearifan lama (yang berasal dari generasi-

generasi sebelumnya) dan kearifan kontemporer atau kearifan kini

(berasal dari pengalamannya berhubungan dengan lingkungan dan

masyarakat lainnya).

Mengacu pada pandangan Heddy Shri Ahimsa-Putra, Sugih Biantoro

(2011) memaknai kearifan tradisional (lama) sebagai perangkat

pengetahuan pada suatu komunitas untuk menyelesaikan secara baik dan

benar persoalan dan/atau kesulitan yang dihadapi, serta diperoleh dari

generasi-generasi sebelumnya secara lisan atau melalui contoh tindakan,

yang memiliki kekuatan seperti hukum maupun tidak. Sedangkan, kearifan

kontemporer (kini) adalah perangkat pengetahuan yang baru saja muncul

dalam suatu komunitas.

Page 14: REGULASI KEARIFAN LOKAL - UNUD

5

Hukum yang dimaksud dalam kearifan lokal yang tradisional itu

adalah hukum yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat

bersangkutan, dapat berupa hukum adat, yang di Bali dituangkan dalam

awig-awig atau pararem.

2.2. Delegasi Perundang-undangan

Delegasi perundang-undangan adalah peralihan kewenangan untuk

membentuk peraturan perundang-undangan. Pendapat-pendapat berikut

menegskan hal tersebut:

1. Jimly Asshiddiqie (2006), bahwa delegasi merupakan pemberian,

pelimpahan, atau pengalihan kewenangan oleh suatu organ

pemerintahan kepada pihak lain untuk mengambil keputusan atas

tanggung jawab sendiri. Jika yang dilimpahkan itu adalah

kewenangan membentuk suatu peraturan perundang-undangan,

maka terjadi peralihan kewenangan untuk membentuk peraturan

perundang-undangan sebagaimana mestinya.

2. A. Hamid S. Attamimi ((1990), bahwa delegasi kewenangan

perundang-undangan adalah pemindahan/penyerahan

kewenangan untuk membentuk peraturan dari pemegang

kewenangan asal yang memberi delegasi (delegans) kepada yang

menerima delegasi (delegataris) dengan tanggung jawab

pelaksanaan kewenangan tersebut pada delegataris sendiri,

sedangkan tanggung jawab delegans terbatas sekali.

Page 15: REGULASI KEARIFAN LOKAL - UNUD

6

3. Bagir Manan (1997), bahwa delegasi terdapat apabila suatu

badan (organ) yang mempunyai wewenang secara mandiri

membuat peraturan perundang-undangan (wewenang atributif)

menyerahkan kepada suatu badan untuk atas kekuasaan dan

tanggung jawab sendiri membuat/membentuk peraturan

perundang-undangan.

4. I.C. van der Vlies (2005), bahwa delegasi suatu kewenangan

adalah pelimpahan suatu kewenangan dan pihak yang mendapat

kewenangan (delegataris) akan melaksanakannya berdasarkan

tanggung jawabnya sendiri.

5. E. Utrecht (t.t.), bahwa delegasi tidak memuat inisiatif membuat

peraturan mengenai pokok-pokok yang baru, inisiatif untuk

membuat peraturan mengenai pokok-pokok semacam tadi tetap

dalam tangan yang mendelegasi: delegasi, yaitu

“menyelenggarakan”, tidak lain dari pada mengatur lebih lanjut.

Berdasarkan atas pandangan-pandangan tersebut, pengertian

delegasi kewenangan perundang-undangan memuat unsur-unsur sebagai

berikut (Gede Marhaendra Wija Atmaja 2016):

1. Penyerahan kewenangan untuk membuat peraturan perundang-

undangan.

2. Kewenangan yang diserahkan tidak memuat inisiatif membuat

peraturan perundang-undangan mengenai pokok-pokok yang

baru.

Page 16: REGULASI KEARIFAN LOKAL - UNUD

7

3. Kewenangan diserahkan oleh pemegang kewenangan atributif

(delegans) kepada lembaga lainnya (delegataris).

4. Lembaga yang menerima kewenangan (delegataris) bertanggung

jawab atas pelaksanaan kewenangan yang diterimanya.

Mencermati UU 12/2011 diperoleh pemahaman, delegasi

perundang-undangan merupakan pendelegasian kewenangan mengatur

dari suatu peraturan perundang-undangan kepada peraturan perundang-

undangan lainnya, baik secara horizontal maupun vertikal. Selain itu,

dalam praktiknya delegasi perundang-undangan juga berupa

pendelegasian kewenangan mengatur dari suatu peraturan perundang-

undangan kepada pejabat negara atau pejabat tata usaha negara,

misalnya kepada Presiden. Jika hal ini terjadi, maka Presiden memiliki

pilihan bentuk penyelenggaraan pengaturan itu, dalam bentuk Peraturan

Pemerintah atau Peraturan Presiden (bandingkan dengan Bagir Manan

1992).

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka delegans mesti dipahami

sebagai suatu peraturan perundang-undangan yang menyerahka

kewenangan mengatur, sedangkan delegataris mesti dipahami sebagai

peraturan perundang-undangan lainnya yang menerima kewenangan

mengatur. Hanya dalam kasus tertentu, delegataris itu adalah pejabat

negara atau pejabat tata usaha negara, seperti Presiden.

Delegasi perundang-undangan memiliki dua karakter. Pertama,

pendelegasian eksplisit, yakni peraturan perundang-undangan yang

Page 17: REGULASI KEARIFAN LOKAL - UNUD

8

mendelegasikan secara tegas menyebutkan sesuatu materi muatan harus

diatur dengan atau dalam peraturan perundang-undangan lainnya. Kedua,

pendelegasian implisit yakni peraturan perundang-undangan yang

mendelegasikan tidak tegas menentukan sesuatu materi muatan harus

diatur dengan atau dalam peraturan perundang-undangan lainnya, namun

masih ada keterkaitan dengan pokok materi yang memerlukan

penyelengaraan pengaturan.

Page 18: REGULASI KEARIFAN LOKAL - UNUD

9

BAB III DESKRIPSI PENGATURAN KEARIFAN LOKAL

3.1. Pengantar

Bagian ini memaparkan pengaturan kearifan lokal dalam berbagai

peraturan perundang-undangan tingkat pusat. Pemaparan pada spek-

aspek identifikasi masalah, yakni dasar hukum penyusunan Peraturan

Gubernur bermuatan kearifan lokal, proses menyusun Peraturan Gubernur

bermuatan kearifan lokal, dan isi Peraturan Gubernur bermuatan kearifan

lokal yang hendak disusun.

3.2. Dasar Hukum Penyusunan Peraturan Gubernur Bermuatan

Kearifan Lokal

Dasar hukum penyusunan Peraturan Gubernur bermuatan kearifan

lokal merujuk pada dasar hukum penyusunan Peraturan Gubernur pada

umumnya. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya disebut UU 12/2011)

memuat dasar hukum penyusunan Peraturan Gubernur.

Tabel 1: dasar hukum penyusunan Peraturan Gubernur menurut UU 12/2011

PASAL ISI PASAL PENJELASAN PASAL

Pasal 6

ayat (1)

Materi muatan Peraturan

Perundang-undangan harus

mencerminkan asas: ... f.

bhinneka tunggal ika;

Huruf f

Yang dimaksud dengan

“asas bhinneka tunggal ika”

adalah bahwa Materi Muatan

Peraturan Perundang-

undangan harus

memperhatikan keragaman

Page 19: REGULASI KEARIFAN LOKAL - UNUD

10

. penduduk, agama, suku dan

golongan, kondisi khusus

daerah serta budaya dalam

kehidupan bermasyarakat,

berbangsa, dan bernegara.

Pasal 8

ayat (1)

dan (2)

(1) Jenis Peraturan Perundang-

undangan selain sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 7 ayat

(1) mencakup peraturan yang

ditetapkan oleh ... Gubernur,

... .

(2) Peraturan Perundang-

undangan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) diakui

keberadaannya dan

mempunyai kekuatan hukum

mengikat sepanjang

diperintahkan oleh Peraturan

Perundang-undangan yang

lebih tinggi atau dibentuk

berdasarkan kewenangan.

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan

“Peraturan Menteri” ... .

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan

“berdasarkan kewenangan”

adalah penyelenggaraan

urusan tertentu

pemerintahan sesuai

dengan ketentuan Peraturan

Perundang-undangan.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Daerah, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

(selanjutnya disebut UU 23/2014) memuat dasar hukum penyusunan

Peraturan Gubernur.

Tabel 2: dasar hukum penyusunan Peraturan Gubernur menurut UU 23/2014

PASAL ISI PASAL

PENJELASAN PASAL

Pasal 1

angka 26

Peraturan Kepala Daerah yang

selanjutnya disebut Perkada adalah

peraturan gubernur dan peraturan

-

Page 20: REGULASI KEARIFAN LOKAL - UNUD

11

bupati/wali kota.

Pasal

17ayat

(1)

Daerah berhak menetapkan kebijakan

Daerah untuk menyelenggarakan

Urusan Pemerintahan yang menjadi

kewenangan Daerah.

Yang dimaksud

dengan “kebijakan

Daerah” dalam

ketentuan ini adalah

Perda, Perkada,

dan keputusan

kepala daerah.

Pasal 65

ayat (2)

Dalam melaksanakan tugas

sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

kepala daerah berwenang: ... c.

menetapkan Perkada dan keputusan

kepala daerah; ... .

-

Pasal

246

(1) Untuk melaksanakan Perda atau

atas kuasa peraturan perundang-

undangan, kepala daerah

menetapkan Perkada.

(2) Ketentuan mengenai asas

pembentukan dan materi muatan,

serta pembentukan Perda

sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 237 berlaku secara mutatis

mutandis terhadap asas

pembentukan dan materi muatan,

serta pembentukan Perkada.

-

3.3. Proses Menyusun Peraturan Gubernur Bermuatan Kearifan Lokal

Proses penyusunan Peraturan Gubernur bermuatan kearifan

merujuk Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang

Page 21: REGULASI KEARIFAN LOKAL - UNUD

12

Pembentukan Produk Hukum Daerah (selanjutnya disebut PMDN

80/2015.

Tabel 3: Proses Penyusunan Peraturan Gubernur menurut PMDN 80/2015

PASAL ISI PASAL

PENJELASAN PASAL

Pasal 19

(1) Perencanaan penyusunan

perkada dan peraturan DPRD

merupakan kewenangan dan

disesuaikan dengan kebutuhan

lembaga, komisi, atau instansi

masing-masing.

(2) Perencanaan penyusunan peraturan

sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) disusun berdasarkan perintah

peraturan perundang-undangan

yang lebih tinggi atau

berdasarkan kewenangan.

(3) Perencanaan penyusunan

sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) ditetapkan dengan keputusan

pimpinan lembaga, komisi, atau

instansi masing-masing untuk

jangka waktu 1 (satu) tahun.

(4) Perencanaan penyusunan peraturan

yang telah ditetapkan dengan

keputusan pimpinan lembaga,

komisi, atau instansi masing-masing

sebagaimana dimaksud pada ayat

(3) dapat dilakukan penambahan

atau pengurangan.

-

Pasal 42

(1) Untuk melaksanakan perda atau

atas kuasa peraturan perundang-

undangan, kepala daerah

menetapkan perkada dan/atau PB

KDH.

(2) Pimpinan perangkat daerah

pemrakarsa menyusun rancangan

perkada dan/atau PB KDH.

Page 22: REGULASI KEARIFAN LOKAL - UNUD

13

(3) Rancangan sebagaimana dimaksud

pada ayat (2) setelah disusun

disampaikan kepada perangkat

daerah yang membidangi hukum

provinsi dan bagian hukum

kabupaten/kota untuk dilakukan

pembahasan.

Pasal 79

(1) Pembahasan rancangan

peraturan gubernur dan peraturan

bersama gubernur dilakukan oleh

gubernur bersama dengan

perangkat daerah pemrakarsa.

(2) Gubernur membentuk tim

pembahasan rancangan peraturan

gubernur dan/atau rancangan

peraturan bersama gubernur.

(3) Tim sebagaimana dimaksud pada

ayat (2), terdiri dari: a. Ketua:

pimpinan perangkat daerah

pemrakarsa atau pejabat yang

ditunjuk oleh pimpinan perangkat

daerah pemrakarsa; b. Sekretaris:

pimpinan perangkat daerah yang

membidangi hukum provinsi; dan c

Anggota: Sesuai kebutuhan.

(4) Dalam hal ketua tim adalah pejabat

lain yang ditunjuk, pimpinan

perangkat daerah pemrakarsa tetap

bertanggungjawab terhadap

materi muatan rancangan

peraturan gubernur dan/atau

rancangan peraturan bersama

gubernur.

(5) Tim sebagaimana dimaksud pada

ayat (3) ditetapkan dengan

keputusan gubernur.

(6) Ketua tim sebagaimana dimaksud

pada ayat (3) melaporkan

perkembangan rancangan

Page 23: REGULASI KEARIFAN LOKAL - UNUD

14

peraturan gubernur dan/atau

rancangan peraturan bersama

gubernur kepada sekretaris daerah.

Pasal 80

(1) Tim sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 79 ayat (3) memberikan paraf

koordinasi pada tiap halaman

rancangan peraturan gubernur

dan/atau rancangan peraturan

bersama gubernur yang telah

selesai dibahas.

(2) Ketua tim mengajukan rancangan

peraturan gubernur dan/atau

rancangan peraturan bersama

gubernur yang telah mendapat paraf

koordinasi sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) kepada gubernur

melalui sekretaris daerah.

Pasal 81

(1) Sekretaris daerah dapat melakukan

perubahan dan/atau

penyempurnaan terhadap

rancangan peraturan gubernur

dan/atau rancangan peraturan

bersama gubernur yang telah

diparaf koordinasi sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1).

(2) Perubahan dan/atau

penyempurnaan rancangan

sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) dikembalikan kepada pimpinan

perangkat daerah pemrakarsa.

(3) Hasil penyempurnaan rancangan

sebagaimana dimaksud pada ayat

(2) disampaikan pimpinan perangkat

daerah pemrakarsa kepada

sekretaris daerah setelah dilakukan

paraf koordinasi setiap halaman oleh

tim.

(4) Sekretaris daerah memberikan

paraf koordinasi pada tiap

Page 24: REGULASI KEARIFAN LOKAL - UNUD

15

halaman rancangan peraturan

gubernur dan/atau rancangan

peraturan bersama gubernur yang

telah disempurnakan.

(5) Sekretaris daerah menyampaikan

rancangan sebagaimana dimaksud

pada ayat (4) kepada gubernur

untuk ditetapkan.

Pasal 88

(1) ... .

(2) ... .

(3) Pembinaan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 86 dilakukan fasilitasi

terhadap rancangan perkada,

rancangan PB KDH atau rancangan

peraturan DPRD sebelum

ditetapkan.

(4) Fasilitasi terhadap rancangan

perkada sebagaimana dimaksud

pada ayat (3) tidak diberlakukan

terhadap rancangan perkada yang

dilakukan evaluasi.

(5) Rancangan perda, rancangan

perkada, rancangan PB KDH atau

rancangan peraturan DPRD

sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) dan ayat (3) disampaikan

kepada Menteri Dalam Negeri

melalui Direktur Jenderal Otonomi

Daerah bagi provinsi dan gubernur

bagi kabupaten/kota.

Pasal 89

(1) Fasilitasi yang dilakukan oleh

Menteri Dalam Negeri melalui

Direktur Jenderal Otonomi Daerah

bagi provinsi dan gubernur bagi

kabupaten/kota sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 88 ayat (1)

dan ayat (3) dilakukan paling lama

15 (lima belas) hari setelah diterima

rancangan perda, rancangan

Page 25: REGULASI KEARIFAN LOKAL - UNUD

16

perkada, rancangan PB KDH atau

rancangan peraturan DPRD.

(2) Apabila dalam tenggang waktu

sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) Menteri Dalam Negeri melalui

Direktur Jenderal Otonomi Daerah

bagi provinsi dan gubernur tidak

memberikan fasilitasi, maka

terhadap: a. ... ; dan b. rancangan

perkada, rancangan PB KDH dan

rancangan peraturan DPRD

dilanjutkan tahapan penetapan

menjadi perkada, PB KDH atau

Peraturan DPRD.

Pasal 90

(1) Fasilitasi sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 89 ayat (1) untuk

provinsi dibuat dalam bentuk surat

Direktur Jenderal Otonomi Daerah

atas nama Menteri Dalam Negeri

tentang fasilitasi rancangan perda

provinsi, rancangan Peraturan

gubernur, rancangan Peraturan

bersama gubernur atau rancangan

Peraturan DPRD provinsi.

(2) ... .

(3) Surat sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dan ayat (2) ditindaklanjuti

oleh pemerintah daerah untuk

penyempurnaan rancangan

produk hukum daerah berbentuk

peraturan sebelum ditetapkan guna

menghindari dilakukannya

pembatalan.

Pasal

110

(1) Rancangan perkada dan

rancangan PB KDH yang telah

dilakukan pembahasan disampaikan

kepada kepala daerah untuk

dilakukan penetapan dan

pengundangan.

Page 26: REGULASI KEARIFAN LOKAL - UNUD

17

(2) Penandatanganan rancangan

sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) dilakukan oleh kepala daerah.

(3) Dalam hal kepala daerah

sebagaimana dimaksud pada ayat

(2) berhalangan sementara atau

berhalangan tetap

penandatanganan rancangan

perkada dan rancangan PB KDH

dilakukan oleh pelaksana tugas,

pelaksana harian atau penjabat

kepala daerah.

Pasal

111

(1) Penandatanganan perkada dibuat

dalam rangkap 3 (tiga).

(2) Pendokumentasian naskah asli

perkada sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) oleh: a. sekretaris

daerah; b. perangkat daerah yang

membidangi hukum provinsi atau

bagian hukum kabupaten/kota

berupa minute; dan c. perangkat

daerah pemrakarsa.

Pasal

120

(1) Penomoran produk hukum daerah

terhadap: a. perda, perkada, PB

KDH dan keputusan kepala daerah

dilakukan oleh pimpinan perangkat

daerah yang membidangi hukum

provinsi atau kepala bagian hukum

kabupaten/kota; dan b. peraturan

DPRD, keputusan DPRD, keputusan

pimpinan DPRD dan keputusan

badan kehormatan DPRD dilakukan

oleh Sekretaris DPRD.

(2) Penomoran produk hukum daerah

sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) yang berupa pengaturan

menggunakan nomor bulat.

(3) Penomoran produk hukum daerah

sebagaimana dimaksud pada ayat

Page 27: REGULASI KEARIFAN LOKAL - UNUD

18

(1) yang berupa penetapan

menggunakan nomor kode

klasifikasi.

Pasal

123

(1) Perkada, PB KDH dan peraturan

DPRD yang telah ditetapkan

diundangkan dalam berita daerah.

(2) Perda, perkada, PB KDH dan

peraturan DPRD sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) mulai

berlaku dan mempunyai kekuatan

mengikat pada tanggal diundangkan

kecuali ditentukan lain di dalam

peraturan perundang-undangan

yang bersangkutan.

(3) Perda, perkada, PB KDH dan

Peraturan DPRD provinsi yang telah

diundangkan sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) disampaikan

kepada Menteri Dalam Negeri.

(4) Perda, perkada, PB KDH dan

peraturan DPRD kabupaten/kota

yang telah diundangkan

sebagaimana dimaksud pada ayat

(2) disampaikan kepada gubernur.

Pasal

124

(1) Sekretaris daerah mengundangkan

perda, perkada, PB KDH dan

peraturan DPRD.

(2) Dalam hal sekretaris daerah

sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) berhalangan sementara atau

berhalangan tetap pengundangan

perda, perkada, PB KDH dan

peraturan DPRD dilakukan oleh

pelaksana tugas atau pelaksana

harian sekretaris daerah.

Pasal

126

(1) Produk hukum daerah yang telah

ditandatangani dan diberi

penomoran selanjutnya dilakukan

Page 28: REGULASI KEARIFAN LOKAL - UNUD

19

autentifikasi.

(2) Autentifikasi sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dilakukan

oleh: a. pimpinan perangkat daerah

yang membidangi hukum provinsi

atau kepala bagian hukum

kabupaten/kota untuk perda,

perkada, PB KDH dan keputusan

kepala daerah; dan b. sekretaris

DPRD untuk peraturan DPRD,

keputusan DPRD, keputusan

pimpinan DPRD dan keputusan

badan kehormatan DPRD.

Pasal

127

(1) Penggandaan dan pendistribusian

produk hukum daerah di lingkungan

pemerintah daerah dilakukan oleh

perangkat daerah yang

membidangi hukum provinsi atau

bagian hukum kabupaten/kota

dengan perangkat daerah

pemrakarsa.

(2) ... .

3.4. Isi Peraturan Gubernur Bermuatan Kearifan Lokal Yang Hendak

Disusun

Isi Peraturan Gubernur bermuatan kearifan lokal yang hendak

disusun merujuk Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang

Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup (UU 32/2009).

Tabel 4: Isi Peraturan Gubernur bermuatan kearifan lokal merujuk UU 32/2009

PASAL ISI

PASAL PENJELASAN

PASAL

Pasal 1 angka 30

Kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain

Page 29: REGULASI KEARIFAN LOKAL - UNUD

20

melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari.

Pasal 2

Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan berdasarkan asas: h. ekoregion; ... l. kearifan lokal; ...

Huruf h Yang dimaksud dengan “asas ekoregion” adalah bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan karakteristik sumber daya alam, ekosistem, kondisi geografis, budaya masyarakat setempat, dan kearifan lokal. Huruf l Yang dimaksud dengan “asas kearifan lokal” adalah bahwa dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat.

Pasal 10 ayat (2)

Penyusunan RPPLH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperhatikan: ... d. kearifan lokal;

... .

Huruf d Kearifan lokal dalam ayat ini termasuk hak ulayat yang diakui oleh DPRD.

Pasal 62 ayat (1)

Pemerintah dan pemerintah daerah mengembangkan sistem informasi lingkungan hidup untuk mendukung pelaksanaan dan pengembangan kebijakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Sistem informasi lingkungan hidup memuat, antara lain, keragaman karakter ekologis, sebaran

Page 30: REGULASI KEARIFAN LOKAL - UNUD

21

penduduk, sebaran potensi sumber daya alam, dan kearifan lokal.

Pasal 63 ayat (2) huruf n

Dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, pemerintah provinsi bertugas dan berwenang menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat provinsi;

Pasal 69 (1) Setiap orang dilarang: ... h. melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar;

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h memperhatikan dengan sungguh-sungguh kearifan lokal di daerah masing-masing.

Ayat (2) Kearifan lokal yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektare per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya.

Pasal 70 ayat ayat (3)

Peran masyarakat dilakukan untuk: ... e. mengembangkan dan menjaga budaya dan kearifan lokal dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup.

Penjelasan Umum angka 2 alinia 4

Oleh karena itu, lingkungan hidup Indonesia harus dilindungi dan dikelola dengan baik berdasarkan asas tanggung jawab negara, asas

Page 31: REGULASI KEARIFAN LOKAL - UNUD

22

keberlanjutan, dan asas keadilan. Selain itu, pengelolaan lingkungan hidup harus dapat memberikan kemanfaatan ekonomi, sosial, dan budaya yang dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian, demokrasi lingkungan, desentralisasi, serta pengakuan dan penghargaan terhadap kearifan lokal dan kearifan lingkungan.

Isi Peraturan Gubernur bermuatan kearifan lokal yang hendak

disusun merujuk UU 23/2014.

Tabel 5: Isi Pergub bermuatan kearifan lokal merujuk UU 23/2014.

PASAL ISI

PASAL PENJELASAN

PASAL

Pasal 12 ayat (2)

Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) meliputi: ... d. pertanahan; e. lingkungan hidup; ....

Pasal 15 ayat (1)

Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi serta Daerah kabupaten/kota tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari UndangUndang ini.

Lampiran J

PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG PERTANAHAN

Page 32: REGULASI KEARIFAN LOKAL - UNUD

23

Penetapan tanah ulayat yang lokasinya lintas Daerah kabupaten/kota dalam 1 (satu) Daerah provinsi.

Lampiran K

PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG LINGKUNGAN HIDUP a. Penetapan pengakuan MHA,

kearifan lokal atau pengetahuan tradisional dan hak kearifan lokal atau pengetahuan tradisional dan hak MHA terkait dengan PPLH yang berada di dua atau lebih Daerah kabupaten/kota dalam 1 (satu) Daerah provinsi.

b. Peningkatan kapasitas MHA, kearifan lokal atau pengetahuan tradisional dan hak kearifan lokal atau pengetahuan tradisional dan hak MHA terkait dengan PPLH yang berada di dua atau lebih Daerah kabupaten/kota.

Penjelasan Umum angka 1 alinia 5: Daerah sebagai satu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai otonomi berwenang mengatur dan mengurus Daerahnya sesuai aspirasi dan kepentingan masyarakatnya sepanjang tidak bertentangan dengan tatanan hukum nasional dan kepentingan umum. Dalam rangka memberikan ruang yang lebih luas kepada Daerah untuk mengatur dan mengurus kehidupan warganya maka Pemerintah

Page 33: REGULASI KEARIFAN LOKAL - UNUD

24

Pusat dalam membentuk kebijakan harus memperhatikan kearifan lokal dan sebaliknya Daerah ketika membentuk kebijakan Daerah baik dalam bentuk Perda maupun kebijakan lainnya hendaknya juga memperhatikan kepentingan nasional. Dengan demikian akan tercipta keseimbangan antara kepentingan nasional yang sinergis dan tetap memperhatikan kondisi, kekhasan, dan kearifan lokal dalam penyelenggaraan pemerintahan secara keseluruhan.

Berikutnya, isi Peraturan Gubernur bermuatan kearifan lokal yang

hendak disusun merujuk Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor

68 Tahun 2010 tentang Bentuk dan Tata Cara Peran Masyarakat Dalam

Penataan Ruang (PP 68/2010).

Tabel 6: Isi Peraturan Gubernur bermuatan kearifan lokal merujuk PP 68/2010

PASAL ISI PASAL PENJELASAN PASAL

Pasal 8

Bentuk peran masyarakat dalam pemanfaatan ruang dapat berupa: ... c. kegiatan memanfaatkan ruang

yang sesuai dengan kearifan lokal dan rencana tata ruang yang telah ditetapkan;

d. peningkatan efisiensi, efektivitas, dan keserasian dalam pemanfaatan ruang darat, ruang laut, ruang udara, dan ruang di dalam bumi dengan

Huruf c Yang dimaksud dengan "kearifan lokal" adalah nilai-nilai luhur yang masih berlaku dalam tata kehidupan masyarakat.

Page 34: REGULASI KEARIFAN LOKAL - UNUD

25

memperhatikan kearifan lokal

serta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

... .

Isi Peraturan Gubernur bermuatan kearifan lokal merujuk Peraturan

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor

P.34/Menlhk/Setjen/Kum.1/5/2017 tentang Pengakuan dan Perlindungan

Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan

Hidup (selanjutnya disebut PMLHK P.34/Menlhk/Setjen/Kum.1/5/2017).

Tabel 7: Isi Peraturan Gubernur bermuatan kearifan lokal merujuk PMLHK P.34/Menlhk/Setjen/Kum.1/5/2017

PASAL ISI

PASAL PENJELASAN

PASAL

Pasal 1 angka 2.

Kearifan Lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat setempat antara lain untuk

melindungi dan mengelola lingkungan hidup dan sumber daya alam secara lestari.

-

Pasal 1 angka 3.

Pengetahuan Tradisional adalah bagian dari Kearifan Lokal yang merupakan substansi pengetahuan dari hasil kegiatan intelektual dalam konteks tradisional, keterampilan, inovasi, dan praktik-praktik dari Masyarakat Hukum Adat dan masyarakat setempat yang mencakup cara hidup secara tradisi, baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang disampaikan dari satu generasi ke generasi berikutnya yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam secara berkelanjutan.

-

Pasal 1 angka 7

Pengampu Kearifan Lokal adalah Masyarakat Hukum Adat atau masyarakat setempat yang memegang hak ulayat atau hak tradisional dan memperoleh manfaat dari hak ulayat atau pengelolaan dalam bentuk tanggung jawab moral, ekonomi, dan budaya.

-

Pasal 1 angka 8.

Pengakses Kearifan Lokal adalah orang perseorangan, kelompok masyarakat, organisasi masyarakat, organisasi profesi, dan/atau badan usaha, baik dari dalam maupun luar negeri, yang mengakses

-

Page 35: REGULASI KEARIFAN LOKAL - UNUD

26

dan/atau memanfaatkan Kearifan Lokal yang diampu oleh Masyarakat Hukum Adat atau masyarakat setempat.

Pasal 1 angka 9.

Pengakuan Kearifan Lokal adalah pernyataan Negara sebagai penerimaan dan penghormatan atas Kearifan Lokal yang diampu Masyarakat Hukum Adat dan/atau masyarakat setempat.

-

Pasal 1 angka 10.

Perlindungan Kearifan Lokal adalah suatu

bentuk pelayanan Negara kepada Masyarakat Hukum Adat atau masyarakat setempat dalam rangka menjamin kelangsungan Kearifan Lokal dan keberadaan masyarakat pengampunya, serta terpenuhinya hak dan kewajiban dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, agar dapat hidup, tumbuh, dan berkembang sebagai satu kelompok masyarakat yang madani, berpartisipasi sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaannya.

-

Pasal 1 angka 11.

Wilayah Kearifan Lokal adalah suatu wilayah tertentu berupa daratan dan/atau perairan beserta sumber daya alam yang ada di atasnya, dengan batas-batas tertentu di mana pemanfaatan Kearifan Lokal dan pengetahuan tradisional dilaksanakan secara turun termurun dan berkelanjutan.

-

Pasal 2

(1) Pengaturan Kearifan Lokal dimaksudkan untuk memberikan perlindungan hukum bagi pengampu dan memfasilitasi pengakses Kearifan Lokal dalam mewujudkan keadilan, kesejahteraan masyarakat, dan pelestarian fungsi lingkungan hidup dan sumber daya alam.

(2) Pengaturan Kearifan Lokal bertujuan agar pengampu Kearifan Lokal mendapat pengakuan, perlindungan, dan memperoleh pembagian keuntungan yang adil dan seimbang dari pemanfaatan Kearifan Lokal dalam relevansi pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup.

-

Pasal 3

Ruang lingkup pengaturan Kearifan Lokal, meliputi: a. lingkup, sifat, wilayah, dan kriteria

Kearifan Lokal; b. tata cara pengakuan dan perlindungan

Kearifan Lokal;

-

Page 36: REGULASI KEARIFAN LOKAL - UNUD

27

c. hak dan kewajiban Pengampu dan Pengakses Kearifan Lokal; dan d. pembiayaan.

Pasal 4

Lingkup Kearifan Lokal paling sedikit mencakup: a. pengetahuan tradisional di bidang

Sumber Daya Genetik, air, tanah, dan energi;

b. pengetahuan tradisional termasuk namun tidak terbatas pada mata pencaharian berkelanjutan, kesehatan, dan lainnya, di bidang wilayah Kearifan Lokal yang dijaga kelestariannya;

c. peralatan dan teknologi tradisional di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam;

d. ekspresi budaya tradisional, tradisi dan upacara tradisional di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam termasuk folklor terkait Sumber Daya Genetik;

e. pembelajaran tradisional di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam; dan/atau

f. warisan budaya benda dan tak benda.

-

Pasal 5

(1) Sifat Kearifan Lokal terdiri atas: a.

Kearifan Lokal yang dapat diakses publik; dan b. Kearifan Lokal yang bersifat rahasia, sakral dan dipegang teguh.

(2) Kearifan Lokal yang dapat diakses publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, merupakan Kearifan Lokal yang oleh pengampunya dapat diakses oleh pengakses atau kelompok lain.

-

(3) Kearifan Lokal yang bersifat rahasia, sakral, dan dipegang teguh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, yang karena sifatnya oleh pengampunya dirahasiakan dan/atau disakralkan sehingga tidak dapat diakses oleh pihak lain atau tidak boleh dipublikasi secara luas kepada masyarakat.

-

Pasal 6 (1) Wilayah Kearifan Lokal meliputi: -

Page 37: REGULASI KEARIFAN LOKAL - UNUD

28

a. Kearifan Lokal dalam satu wilayah ulayat;

b. Kearifan Lokal yang ada di dalam dan di luar wilayah ulayat; atau

c. Kearifan Lokal bersama yang tersebar di beberapa wilayah ulayat.

(2) Kearifan Lokal dalam satu wilayah ulayat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan Kearifan Lokal yang diampu oleh satu komunitas Masyarakat Hukum Adat dalam satu Wilayah Kearifan Lokal.

(3) Kearifan Lokal yang ada di dalam dan di luar wilayah ulayat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, merupakan Kearifan Lokal yang diampu oleh satu Masyarakat Hukum Adat atau masyarakat setempat baik dalam satu atau lebih Wilayah Kearifan Lokal.

(4) Kearifan Lokal bersama yang tersebar di beberapa wilayah ulayat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan Kearifan Lokal yang diampu oleh beberapa kelompok Masyarakat Hukum Adat atau masyarakat setempat baik dalam satu atau lebih Wilayah Kearifan Lokal.

Pasal 7

Kriteria Kearifan Lokal di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam, terdiri atas: a. nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata

kehidupan Masyarakat Hukum Adat dan masyarakat setempat; dan

b. pernyataan pengakuan masyarakat sekitar yang berbeda adat dan budaya.

-

Pasal 8

(1) Indikator kriteria Kearifan Lokal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a, terdiri atas: a. terpelihara praktik pengetahuan dan

keterampilan tradisional yang nyata secara terus menerus dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam;

b. terpelihara kualitas lingkungan hidup dan sumber daya hutan sebagai pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam huruf a;

c. terpelihara ingatan kolektif

-

Page 38: REGULASI KEARIFAN LOKAL - UNUD

29

masyarakat tentang Kearifan Lokal yang berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya hutan termasuk ekspresi budaya tradisional; dan

d. terwariskan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang direpresentasikan antar generasi.

(2) Indikator kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b berupa surat pernyataan, pernyataan sikap, dan/atau bentuk pengakuan lainnya tentang kebenaran Kearifan Lokal dan pengampunya yang diberikan oleh masyarakat sekitar melalui proses musyawarah mufakat.

Pasal 9

(1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya secara aktif mendorong dan memfasilitasi inventarisasi, verifikasi, dan validasi Kearifan Lokal dan keberadaan masyarakat Pengampu Kearifan Lokal.

(2) Inventarisasi dilaksanakan oleh Pengampu Kearifan Lokal.

(3) Dalam hal Pengampu Kearifan Lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak melakukan inventarisasi, Pemerintah dapat melakukan inventarisasi Kearifan Lokal untuk melindungi dan mengakui Kearifan Lokal.

-

Pasal 10

(1) Penyelenggaraan inventarisasi, verifikasi, dan validasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dilaksanakan dengan ketentuan: a. wilayah lintas daerah provinsi

diselenggarakan oleh Menteri; b. wilayah lintas daerah kabupaten

dan/atau kota dilaksanakan oleh gubernur; dan

c. dalam satu wilayah daerah kabupaten/kota dilaksanakan oleh bupati/walikota.

(2) Penyelenggaraan inventarisasi, verifikasi, dan validasi pada wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c dilakukan oleh organisasi perangkat daerah yang membidangi lingkungan hidup dan kehutanan.

-

Page 39: REGULASI KEARIFAN LOKAL - UNUD

30

Pasal 11

(1) Pengampu Kearifan Lokal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) dalam melakukan inventarisasi dapat melibatkan lembaga swadaya masyarakat, lembaga adat, perguruan tinggi, lembaga penelitian, dan dunia usaha.

(2) Dalam hal inventarisasi dilakukan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) dapat melibatkan lembaga swadaya masyarakat, lembaga adat, perguruan tinggi, lembaga penelitian, dan dunia usaha.

(3) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota dan Pengampu Kearifan Lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dalam melaksanakan inventarisasi berkoordinasi dengan kementerian/lembaga terkait.

-

Pasal 12

Masyarakat Pengampu Kearifan Lokal yang melakukan inventarisasinya sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1), mendaftarkan data Kearifan Lokal dan pengampunya kepada: a. Menteri untuk Kearifan Lokal yang

diampu oleh 1 (satu) atau lebih komunitas yang tersebar di wilayah lintas provinsi;

b. Gubernur untuk Kearifan Lokal yang diampu oleh 1 (satu) atau lebih komunitas yang tersebar di wilayah lintas daerah kabupaten dan/atau kota; atau

c. Bupati/walikota untuk Kearifan Lokal yang diampu oleh komunitas dalam satu wilayah daerah kabupaten/kota untuk selanjutnya diteruskan kepada gubernur.

Pasal 13

(1) Inventarisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11dilakukan melalui kegiatan: a. studi pustaka; b. in situ atau kunjungan lapangan; c. identifikasi dan pembuatan daftar

kearifan lokal dan pengampunya; dan d. dokumentasi hasil inventarisasi.

(2) Dalam melakukan inventarisasi wajib: a. mentaati hukum adat dan kode etik

yang berlaku; b. menghormati kesakralan dan

-

Page 40: REGULASI KEARIFAN LOKAL - UNUD

31

kerahasiaan dari Kearifan Lokal tersebut; dan

c. dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Inventarisasi paling sedikit memuat data atau informasi mengenai: a. nama Masyarakat Hukum Adat dan

masyarakat setempat Pengampu Kearifan Lokal;

b. sejarah perkembangan masyarakat; c. adat-istiadat atau norma adat yang

masih berlaku; d. keberadaan dan fungsi kelembagaan

adat, serta sistem kekerabatan; e. protokol komunitas dan sistem

pengambilan keputusan; f. pengetahuan tentang Sumber Daya

Genetik atau sumber daya hayati; g. pengetahuan tentang tata ruang dan

Wilayah Kearifan Lokal; h. pengetahuan tentang tanah dan air; i. pengetahuan tentang hal-hal tabu dan

sakral dalam pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya

j. alam; k. teknologi dan peralatan tradisional

pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam;

l. tradisi tentang pelestarian fungsi lingkungan hidup dan sumber daya alam ;

m. pola pengawasan lingkungan hidup dan penyelesaian konflik; dan/atau

n. pengetahuan tentang suksesi, seleksi, dan adaptasi.

(4) Dokumentasi hasil inventarisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan setelah mendapatkan PADIA dari kelompok masyarakat pengampunya.

(5) Dokumentasi Kearifan Lokal yang bersifat sakral dan rahasia hanya dilakukan terhadap jenis Kearifan Lokal dan pengampunya dengan tetap menjaga kesakralan dan kerahasiaannya.

Pasal 19

(1) Berdasarkan berita acara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3) atau Pasal 18 ayat (2), Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan

-

Page 41: REGULASI KEARIFAN LOKAL - UNUD

32

kewenangannya menetapkan pengakuan dan perlindungan Kearifan Lokal.

(2) Penetapan pengakuan dan perlindungan Kearifan Lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat: a. nama komunitas pengampu Kearifan

Lokal; b. wilayah Kearifan Lokal yang

dilindungi; c. jenis Sumber Daya Genetik yang

dilindungi; d. jenis Kearifan Lokal yang dilindungi; e. skema pemanfaatan Kearifan Lokal;

dan f. hak, kewajiban Pengampu, tugas dan

tanggung jawab Pengakses, dan pemerintah.

(3) Gubernur atau bupati/walikota yang telah menerbitkan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melaporkan kepada Menteri.

Pasal 20

(1) Keputusan penetapan Kearifan Lokal oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota, disimpan pada Balai Kliring Kearifan Lokal.

(2) Balai Kliring sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengelola: a. data naratif, numerik, visual dan/atau

spasial; b. daftar pengampu; c. daftar pengakses; dan d. daftar kesepakatan bersama dan

perubahannya. (3) Pengelolaan Balai Kliring sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh Direktur Jenderal untuk mencegah penyalahgunaan dan pemanfaatan yang tidak sah oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.

(4) Data yang menyangkut Sumber Daya Genetik dan pengetahuan tradisional yang terkait dengan Sumber Daya Genetik hanya dapat diakses berupa resume data/abstrak/metadata.

(5) Data yang menyangkut ekspresi budaya tradisional terkait sumber daya genetik, warisan budaya benda dan tak benda dapat diakses dan dipublikasi secara luas.

-

Page 42: REGULASI KEARIFAN LOKAL - UNUD

33

Pasal 21

Dalam hal terdapat keberatan terhadap penetapan pengakuan dan perlindungan Kearifan Lokal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, keberatan dapat diajukan kepada PTUN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

-

Page 43: REGULASI KEARIFAN LOKAL - UNUD

34

BAB IV

ANALISIS PENYUSUNAN PERATURAN GUBERNUR BERMUATAN KEARIFAN LOKAL

4.1. Dasar Hukum Penyusunan Peraturan Gubernur Bermuatan Kearifan Lokal

Mencermati Dasar Hukum Penyusunan Peraturan Gubernur terdapat

tiga pola status hukum Peraturan Gubernur, yakni:

1. Peraturan Gubernur untuk melaksanakan Perda atau atas kuasa

peraturan perundang-undangan (Pasal 246 ayat (1) UU 23/2014).

2. Peraturan Gubernur sebagaimana diperintahkan oleh Peraturan

Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan

kewenangan (Pasal 8 ayat (1) UU 12/2011).

3. Peraturan Gubernur Daerah untuk menyelenggarakan Urusan

Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah (Pasal 17 ayat

(1) UU 23/2014).

Mencermati lebih lanjut status Peraturan Gubernur sejatinya terdapat

lima macam status Peraturan Gubernur, yakni:

a. Peraturan Gubernur untuk melaksanakan Perda (Pasal 246 ayat

(1) UU 23/2014).

b. Peraturan Gubernur atas kuasa peraturan perundang-undangan

(Pasal 246 ayat (1) UU 23/2014).

Page 44: REGULASI KEARIFAN LOKAL - UNUD

35

c. Peraturan Gubernur sebagaimana diperintahkan oleh Peraturan

Perundang-undangan yang lebih tinggi (Pasal 8 ayat (1) UU

12/2011).

d. Peraturan Gubernur dibentuk berdasarkan kewenangan (Pasal 8

ayat (1) UU 12/2011).

e. Peraturan Gubernur untuk menyelenggarakan Urusan

Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah (Pasal 17 ayat

(1) UU 23/2014).

Kelima macam Peraturan Gubernur itu memiliki karakter delegasian,

yakni Peraturan Gubernur itu baru dapat dibentuk pada saat adanya

delegasian perundang-undangan atau pendelegasian kewenangan

mengatur atau pelimpahan kewenangan mengatur kepada Peraturan

Gubernur. Masing-masing dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Peraturan Gubernur untuk melaksanakan Perda (Pasal 246 ayat

(1) UU 23/2014); baru dapat dibentuk dengan terlebih dahulu

ada Perda yang akan dilaksanakan.

2. Peraturan Gubernur atas kuasa peraturan perundang-undangan

(Pasal 246 ayat (1) UU 23/2014); baru dapat dibentuk dengan

terlebih dahulu ada Peraturan Perundang-undangan yang

memberikan kuasa.

3. Peraturan Gubernur sebagaimana diperintahkan oleh Peraturan

Perundang-undangan yang lebih tinggi (Pasal 8 ayat (1) UU

Page 45: REGULASI KEARIFAN LOKAL - UNUD

36

12/2011); baru dapat dibentuk dengan terlebih dahulu ada

Peraturan Perundang-undangan yang memerintahkan.

4. Peraturan Gubernur dibentuk berdasarkan kewenangan (Pasal 8

ayat (1) UU 12/2011); baru dapat dibentuk dengan terlebih

dahulu ada kewenangan, yakni penyelenggaraan urusan tertentu

pemerintahan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-

undangan, artinya terlebih dahulu ada Peraturan Perundang-

undangan berkenaan dengan penyelenggaraan urusan tertentu

pemerintahan.

5. Peraturan Gubernur untuk menyelenggarakan Urusan

Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah (Pasal 17 ayat

(1) UU 23/2014); baru dapat dibentuk dengan terlebih dahulu

ada Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah

untuk diselenggarakan, artinya UU 23/2014 menentukan adanya

Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.

Persoalan yang muncul kemudian adalah karakter delegasi

perundang-undangan yang dianut; delegasi eksplisit atau delegasi implisit.

Delegasi perundang-undangan bersifat eksplisit terjadi jika peraturan

perundang-undangan yang mendelegasikan menyebutkan secara

eksplisit, misalnya dirumuskan “...diatur dengan ...” atau “...diatur dalam

...” (Rosjidi Ranggawijaya 1998: 64). Dengan perkataan lain, delegasi

perundang-undangan bersifat eksplisit bermakna penyelenggaraan

pengaturan hal-hal yang secara tegas-tegas disebutkan dalam suatu

Page 46: REGULASI KEARIFAN LOKAL - UNUD

37

peraturan perundang-undangan harus diatur dalam atau dengan peraturan

perundang-undangan yang lainnya.

Ketentuan mengenai Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-

undangan (TP3) sebagaimana tercantum dalam Lampiran II UU 12/2011

menganut delegasi perundang-undangan bersifat eksplisit, yang

menggunakan penanda-penanda sebagai berikut:

1. Ketentuan lebih lanjut mengenai … diatur dengan … . (TP3 201).

2. Ketentuan lebih lanjut mengenai … diatur dengan atau

berdasarkan … (TP3 202).

3. Ketentuan mengenai … diatur dengan … . (TP3 203).

4. Ketentuan mengenai … diatur dengan atau berdasarkan … (TP3

204).

5. Ketentuan mengenai … diatur dalam …(TP3 205).

Sebaliknya, delegasi perundang-undangan bersifat implisit bermakna

penyelenggaraan pengaturan hal-hal yang tidak tegas disebutkan dalam

suatu peraturan perundang-undangan harus diatur dalam atau dengan

peraturan perundang-undangan lainnya, namun masih dalam lingkup

permasalahan yang hendak diatur. Dengan perkataan lain, delegasi

perundang-undangan bersifat implisit terjadi, jika suatu peraturan

perundang-undangan tidak tegas menentukan sesuatu hal harus diatur

dalam atau dengan peraturan perundang-undangan lainnya, namun masih

dalam lingkup permasalahan yang hendak diatur, yang memerlukan

penyelenggaraan pengaturan.

Page 47: REGULASI KEARIFAN LOKAL - UNUD

38

Bersandarkan pada pemahaman tentang karakter delegasi

perundang-undangan bersifat eksplisit dan delegasi perundang-undangan

bersifat eksplisit implisit berikut diuraikan karakter delegasian dari kelima

macam Peraturan Gubernur tersebut.

Pertama, Peraturan Gubernur untuk melaksanakan Perda (Pasal 246

ayat (1) UU 23/2014).

Pasal 246 ayat (1) tidak memberikan penjelasan mengenai makna

melaksanakan Perda. Oleh karena itu perlu dilakukan interpretasi

sistematikal dengan pasal-pasal tentang materi muatan dalam UU

12/2011.

1. Pasal 12 Materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk

menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.

2. Pasal 13 menentukan antara lain, materi muatan Peraturan

Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang,

materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah.

3. Pasal 14 menentukan antara lain, materi muatan Peraturan Daerah

Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi

muatan penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan

yang lebih tinggi.

4. Pasal 246 ayat (1) UU 23/2014, “Untuk melaksanakan Perda ...

kepala daerah menetapkan Perkada.”

Ada beberapa penanda yang perlu memperoleh penjelasan, yakni

“menjalankan”, “menjabarkan”, dan “melaksanakan” sebagai berikut:

Page 48: REGULASI KEARIFAN LOKAL - UNUD

39

1. Menjalankan, secara harfiah berarti melakukan tugas, kewajiban,

atau pekerjaan. Menjalankan berarti juga membuat

(menggerakkan) supaya jalan. Dikaitkan dengan Pasal 12 UU

12/2011, maka Peraturan Pemerintah berisi materi muatan supaya

UU dapat dijalankan. Dengan perkataan lain fungsi Peraturan

Pemerintah adalah membuat UU dapat dijalankan.

2. Menjabarkan, secara harfiah berarti menerangkan (menguraikan)

secara terperinci, dan penjabaran adalah proses, perbuatan, cara

menjabarkan (menguraikan atau menerangkan secara terperinci).

Dikaitkan dengan rumusan “penjabaran lebih lanjut Peraturan

Perundang-undangan yang lebih tinggi”, maka berarti Perda berisi

materi yang menguraikan secara terperinci materi Peraturan

Perundang-undangan yang lebih tinggi, yang secara umum atau

garis besar telah dituangkan dalam Peraturan Perundang-

undangan yang lebih tinggi tersebut.

3. Melaksanakan, secara harfiah berarti melakukan, menjalankan,

mengerjakan (rancangan, keputusan, dan sebagainya) (Gede

Marhaendra Wija Atmaja 2012).

Dikaitkan dengan Pasal 246 ayat (1) UU 23/2014, “Untuk

melaksanakan Perda ... kepala daerah menetapkan Perkada”, maka

“melaksanakan Perda” sama maknanya dengan “materi untuk menjalan

Peraturan Pemerintah”, agar Perda dapat dijalankan sebagaimana

mestinya, maka dibuat Perkada.

Page 49: REGULASI KEARIFAN LOKAL - UNUD

40

Berikutnya dilakukan intertretasi otentik, yakni berupaya memahami

penjelasan UU 12/2011 untuk mendapatkan pemahaman mengenai

pendelegasian eksplisit atau pendelegasian implisit. Penjelasan Pasal 12

dan Pasal 13 menjelaskan:

Tabel 8: Penjelasan Pasal 12 dan Pasal 13 UU 12/2011

Pasal UU 12/2011

Penjelasan Pasal UU 12/2011

Materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya (Pasal 12).

Yang dimaksud dengan “menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya” adalah penetapan Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan perintah Undang-Undang atau untuk menjalankan Undang-Undang sepanjang diperlukan dengan tidak menyimpang dari materi yang diatur dalam Undang-Undang yang bersangkutan (Penjelasan Pasal 12).

Materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang, materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah, atau materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan (Pasal 13)

Peraturan Presiden dibentuk untuk menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut perintah Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah secara tegas maupun tidak tegas diperintahkan

pembentukannya (Penjelasan Pasal 13).

Berdasarkan interpretasi otentik terhadap Penjelasan Pasal 12 dan

Pasal 13 UU 12/2011 diperoleh pemahaman:

1. menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya dimaknai:

a. melaksanakan perintah;

b. menjalankan sepanjang diperlukan dengan tidak menyimpang

dari materi yang diatur.

Page 50: REGULASI KEARIFAN LOKAL - UNUD

41

2. diperintahkan dimaknai menyelenggarakan pengaturan lebih

lanjut perintah.

3. melaksanakan dimaknai secara tegas maupun tidak tegas

diperintahkan pembentukannya.

4. perintah dimaknai secara tegas maupun tidak tegas

diperintahkan.

Jadi, “melaksanakan Perda” dalam Pasal 246 ayat (1) UU 23/2014

dapat dimaknai Gubernur menetapkan Peraturan Gubernur untuk

melaksanakan perintah baik secara tegas maupun tidak tegas

diperintahkan pembentukannya oleh Perda. Dengan demikian,

“melaksanakan Perda” bermakna pendelegasian, baik pendelegasian

eksplisit (delegasi perundang-undangan bersifat eksplisit) maupun

pendelegasian implisit (delegasian perundang-undangan bersifat implisit).

Hal tersebut berkesesuaian dengan pendangan A. Hamid S.

Attamimi. Menurutnya:

1. Dalam bekerjanya tata norma hukum, wawasan negara hukum

yang materiil memberi arti, bahwa seluruh norma hukum yang

law applying tidak selalu harus didasarkan secara tegas dan

nyata atas sebuah norma hukum yang law creating yang sudah

ada terlebih dahulu, melainkan cukup bersumber pada norma

hukum yang lebih tinggi yang secara tidak langsung dapat

menjadi dasar bagi lahirnya norma hukum yang lebih rendah.

Page 51: REGULASI KEARIFAN LOKAL - UNUD

42

2. Dengan perkataan lain, sebuah norma hukum dapat lahir

meskipun norma hukum yang lebih tinggi tidak tegas-tegas

menyatakan, atau sebuah peraturan dapat dibentuk meskipun

peraturan yang lebih tinggi tidak tegas-tegas dan tidak langsung

menyebutkannya. Semua itu asal saja masih dalam lingkup

permasalahannya (A. Hamid S.A. 1984).

Beranjak dari pendapat tersebut, maka ada dua pola pembuatan

peraturan perundang-undangan pelaksanaan (law applying), yakni:

1. Penyelenggaraan pengaturan hal-hal yang secara tegas-tegas

disebutkan suatu peraturan perundang-undangan harus diatur

dalam atau dengan peraturan perundang-undangan lainnya.

Dengan perkataan lain, harus berdasarkan pada ketentuan dalam

suatu peraturan perundang-undangan yang secara tegas

menyatakan hal bersangkutan harus diatur dalam atau dengan

peraturan perundang-undangan lainnya.

2. Penyelenggaraan pengaturan hal-hal yang tidak tegas disebutkan

dalam suatu peraturan perundang-undangan harus diatur dalam

atau dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Dengan

perkataan lain, cukup bersumber pada suatu peraturan

perundang-undangan yang masih dalam lingkup permasalahan

yang hendak diatur dalam atau dengan peraturan perundang-

undangan lainnya (bandingkan dengan Gede Marhaendra Wija

Atmaja 2016).

Page 52: REGULASI KEARIFAN LOKAL - UNUD

43

Singkatnya, pola pembuatan peraturan perundang-undangan

pelaksanaan yang pertama itu dapat disebut pendelegasian eksplisit atau

pendeledasian kewenangan mengatur secara eksplisit. Pola pembuatan

peraturan perundang-undangan pelaksanaan yang kedua itu dapat

disebut pendelegasian implisit atau pendeledasian kewenangan mengatur

secara secara implisit.

Berdasarkan keseluruhan uraian mengenai karakter delegasi

perundang-undangan, maka Peraturan Gubernur ditetapkan untuk

melaksanakan Perda dalam konteks penyusunan Peraturan Gubernur

bermuatan kearifan lokal bermakna:

1. Penyusunan Peraturan Gubernur bermuatan kearifan lokal dapat

dilakukan jika Perda secara tegas menentukan materi muatan

kearifan lokal harus diatur dengan atau dalam Peraturan

Gubernur; atau

2. Penyusunan Peraturan Gubernur bermuatan kearifan lokal dapat

dilakukan sekalipun Perda tidak secara tegas menentukan materi

muatan kearifan lokal harus diatur dengan atau dalam Peraturan

Gubernur, sepanjang masih dalam lingkup permasalahannya.

Kedua, Peraturan Gubernur atas kuasa peraturan perundang-

undangan (Pasal 246 ayat (1) UU 23/2014).1 Ketentuan ini tidak

1 Sebelumnya sejumlah undang-undang mengaturnya sebagai berikut: a.

UU 32/2004, Pasa1 146 ayat (1) menetukan, “Untuk melaksanakan Perda dan atas kuasa peraturan perundang-undangan, kepala daerah menetapkan peraturan kepala daerah dan atau keputusan kepala daerah”; dan b. UU 22/1999, Pasal 72 ayat (1) menentukan, “Untuk melaksanakan Peraturan Daerah

Page 53: REGULASI KEARIFAN LOKAL - UNUD

44

memberikan penjelasan mengenai makna atas kuasa peraturan

perundang-undangan, juga di dalam peraturan perundang-undangan

lainnya tidak ditemukan makna atas kuasa tersebut. Oleh karena itu perlu

menyandarkan pemahaman pada pendapat sarjana.

Bagir Manan (1992) memberikan pengertian “kuasa dari undang-

undang” dan Rosjidi Ranggawijaya (1998) dan memberikan komentarnya,

dikemukakan dalam tabel berikut:

Tabel 9: Pendapat Bagir Manan dan Rosjidi Ranggawijaya mengenai makna “atas kuasa”

Bagir Manan Rosjidi Ranggawijaya

Pengaturan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah hanya dilakukan apabila ada kuasa dari undang-undang.

Dalam hal ini apakah harus ada kuasa dari Undang-undang bahwa materi tersebut dapat diatur dengan Peraturan Pemerintah?

Artinya harus ada dasarnya dalam undang-undang yang membolehkan diatur oleh peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah.

Dengan perkataan lain, untuk membentuk Peraturan Pemerintah, apakah perlu ada “pendelegasian secara khusus ...?

Undang-undang “mendelegasikan” kepada peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah.

Sehungan dengan hal ini Bagir Manan menulis:

Pengaturan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah hanya dilakukan apabila ada kuasa dari undang-undang. Artinya harus ada dasarnya dalam undang-undang yang membolehkan diatur oleh peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah. Undang-undang “mendelegasikan” kepada peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah.

dan atas kuasa peraturan perundang-undangan lain yang berlaku, Kepala Daerah menetapkan keputusan Kepala Daerah.”

Page 54: REGULASI KEARIFAN LOKAL - UNUD

45

Berdasarkan pendapat Bagir Manan dan Rosjidi Ranggawija dapat

dirumuskan makna “atas kuasa peraturan perundang-undangan”. Frasa

“atas kuasa peraturan perundang-undangan” dimaknai sebagai delegasi

perundang-undangan bersifat eksplisit, yakni penyelenggaraan

pengaturan hal-hal yang secara tegas-tegas disebutkan suatu peraturan

perundang-undangan harus diatur dalam atau dengan peraturan

perundang-undangan lainnya. Dengan perkataan lain, harus berdasarkan

pada ketentuan dalam suatu peraturan perundang-undangan yang secara

tegas menyatakan hal bersangkutan harus diatur dengan atau dalam

peraturan perundang-undangan lainnya.

Pengertian “atas kuasa peraturan perundang-undangan”

direfleksikan ke dalam frasa “atas kuasa peraturan perundang-undangan”

dalam Pasal 246 ayat (1) UU 23/2014 bermakna Gubernur menetapkan

Peraturan Gubernur atas kuasa peraturan perundang-undangan jika

peraturan perundang-undangan memberikan kuasa atau secara tegas

menyebutkan suatu materi muatan harus diatur dalam atau dengan

Peraturan Gubernur. Oleh karena itu harus tunduk pada ketentuan

pendelegasian dalam Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-

undangan (TP3), sebagaimana tercantum dalam Lampiran II UU 12/2011,

yakni:

Tabel 10: Tanda-Tanda Pendelegasian Kewenangan Mengatur

NO. PENANDA PETANDA CATATAN

1 Ketentuan lebih lanjut mengenai …

Jika materi muatan yang didelegasikan sebagian sudah diatur pokok-pokoknya di dalam

TP3 201

Page 55: REGULASI KEARIFAN LOKAL - UNUD

46

diatur dengan … . Peraturan Perundang-undangan yang mendelegasikan, tetapi materi muatan itu harus diatur hanya di dalam Peraturan Perundang-undangan yang didelegasikan dan tidak boleh didelegasikan lebih lanjut ke Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah (subdelegasi)

2 Ketentuan lebih lanjut mengenai … diatur dengan atau berdasarkan … .

Jika materi muatan yang didelegasikan sebagian sudah diatur pokok-pokoknya di dalam Peraturan Perundang-undangan yang mendelegasikan, dan boleh didelegasikan lebih lanjut ke Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah (subdelegasi).

TP3 202.

3 Ketentuan mengenai … diatur dengan … .

Jika materi muatan yang didelegasikan sama sekali belum diatur pokok-pokoknya di dalam Peraturan Perundang-undangan yang mendelegasikan dan materi muatan itu harus diatur di dalam Peraturan Perundang-undangan yang diberi delegasi dan tidak boleh didelegasikan lebih lanjut ke Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah (subdelegasi)

TP3 203.

4 Ketentuan mengenai … diatur dengan atau berdasarkan … .

Jika materi muatan yang didelegasikan sama sekali belum diatur pokok-pokoknya di dalam Peraturan Perundang-undangan yang mendelegasikan dan boleh didelegasikan lebih lanjut ke Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah (subdelegasi)

TP3 204

5 Ketentuan mengenai … diatur dalam ….

Jika terdapat beberapa materi muatan yang didelegasikan dan materi muatan tersebut tercantum dalam beberapa pasal atau ayat tetapi akan didelegasikan dalam suatu Peraturan Perundang-undangan.

TP3 205

Page 56: REGULASI KEARIFAN LOKAL - UNUD

47

Direfleksikan pada penyusunan Peraturan Gubernur bermuatan

kearifan lokal, maka Peraturan Gubernur itu hanya boleh disusun jika

suatu peraturan perundang-undangan menentukan secara tegas materi

muatan kearifan lokal harus diatur dengan atau dalam Peraturan

Gubernur, dengan penanda-penanda sebagaimana disebutkan di atas

(dalam tabel).

Ketiga, Peraturan Gubernur sebagaimana diperintahkan oleh

Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi (Pasal 8 ayat (1) UU

12/2011). Mengenai makna “diperintahkan” pada uraian sebelumnya telah

dilakukan interpretasi sistematikal terhadap Pasal 12 dan Pasal 13 UU

12/2011 dan interpretasi otentik terhadap Penjelasan Pasal 12 dan Pasal

13 UU 12/2011, pemahaman diperoleh, sekedar diulang, adalah:

1. menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya dimaknai:

c. melaksanakan perintah;

d. menjalankan sepanjang diperlukan dengan tidak menyimpang

dari materi yang diatur.

2. diperintahkan dimaknai menyelenggarakan pengaturan lebih

lanjut perintah.

3. melaksanakan dimaknai secara tegas maupun tidak tegas

diperintahkan pembentukannya.

4. perintah dimaknai secara tegas maupun tidak tegas

diperintahkan.

Page 57: REGULASI KEARIFAN LOKAL - UNUD

48

Jadi, perintah atau diperintahkan menurut pembentuk UU 12/2011

dimaknai sebagai perintah atau diperintahkan secara tegas maupun

secara tidak tegas. Artinya, memuat delegasi perundang-undangan

bersifat eksplisit maupun delegasi perundang-undangan bersifat implisit.

Direfleksikan pada Peraturan Gubernur sebagaimana diperintahkan

oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi bermakna

Peraturan Gubernur dapat ditetapkan baik karena diperintahkan secara

tegas maupun diperintahkan secara tidak tegas. Jadi, Peraturan Gubernur

ini berkarakter delegasi perundang-undangan bersifat eksplisit maupun

delegasi perundang-undangan bersifat implisit. Dari sisi delegasi vertikal

dan delasi horizontal, pendelegasian kewenangan mengatur kepada

Peraturan Gubernur dalam Pasal 8 ayat (1) UU 12/2011 menganut pola

delegasi perundang-undangan yang vertikal.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka Peraturan Gubernur

sebagaimana diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang

lebih tinggi dalam konteks penyusunan Peraturan Gubernur bermuatan

kearifan lokal bermakna:

1. Penyusunan Peraturan Gubernur bermuatan kearifan lokal dapat

dilakukan jika Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi

secara tegas menentukan materi muatan kearifan lokal harus

diatur dengan atau dalam Peraturan Gubernur; atau

2. Penyusunan Peraturan Gubernur bermuatan kearifan lokal dapat

dilakukan sekalipun Peraturan Perundang-undangan yang lebih

Page 58: REGULASI KEARIFAN LOKAL - UNUD

49

tinggi tidak secara tegas menentukan materi muatan kearifan

lokal harus diatur dengan atau dalam Peraturan Gubernur,

sepanjang masih dalam lingkup permasalahannya.

Keempat, Peraturan Gubernur dibentuk berdasarkan kewenangan

(Pasal 8 ayat (1) UU 12/2011). Dimaksud dengan “berdasarkan

kewenangan” adalah penyelenggaraan urusan tertentu pemerintahan

sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan (Pasal 8 ayat

(1) UU 12/2011).

Artinya, ada ketentuan Peraturan Perundang-undangan mengenai

penyelenggaraan urusan tertentu pemerintahan. Dalam pengertian ini,

tidak ada ketegasan mengenai penyelenggaraan urusan tertentu

pemerintahan itu merupakan materi muatan yang harus diatur dengan aau

dalam Peraturan Gubernur. Akan tetapi pembentuk UU 12/2011

memberikan kewenangan kepada Gubernur untuk menetapkan Peraturan

Gubernur sebagai bentuk pengaturan penyelenggaraan urusan tertentu

pemerintahan, sepanjang sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-

undangan.

Jadi, berdasarkan interpretasi makna “perintah atau diperintahkan”

sebagai perintah atau diperintahkan secara tegas maupun secara tidak

tegas, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, maka Peraturan

Gubernur dibentuk berdasarkan kewenangan (Pasal 8 ayat (1) UU

12/2011) termasuk dalam kategori perintah atau diperintahkan secara

Page 59: REGULASI KEARIFAN LOKAL - UNUD

50

tidak tegas. Ini artinya, dianut delegasi perundang-undangan bersifat

implisit.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka Peraturan Gubernur

dibentuk berdasarkan kewenangan (Pasal 8 ayat (1) UU 12/2011) dalam

konteks penyusunan Peraturan Gubernur bermuatan kearifan lokal

bermakna penyusunan Peraturan Gubernur bermuatan kearifan lokal

dapat dilakukan sekalipun Peraturan Perundang-undangan tidak secara

tegas menentukan materi muatan kearifan lokal harus diatur dengan atau

dalam Peraturan Gubernur, sepanjang materi muatan kearifan lokal itu

merupakan penyelenggaraan urusan tertentu pemerintahan yang

merupakan wewenang Gubernur.

Kelima, Peraturan Gubernur untuk menyelenggarakan Urusan

Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah (Pasal 17 ayat (1) UU

23/2014). Dimaksud dengan “kebijakan Daerah” dalam ketentuan ini

adalah Perda, Perkada, dan keputusan kepala daerah (Penjelasan Pasal

17 ayat (1) UU 23/2014).

Frasa “menyelenggarakan Urusan Pemerintahan yang menjadi

kewenangan Daerah” merujuk pada Urusan Pemerintahan yang menjadi

kewenangan Daerah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 15 ayat (1) UU

23/2014, yang menentukan pembagian urusan pemerintahan konkuren

antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi serta Daerah

kabupaten/kota tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang

tidak terpisahkan dari UndangUndang ini.

Page 60: REGULASI KEARIFAN LOKAL - UNUD

51

Untuk menyelenggarakan menyelenggarakan Urusan Pemerintahan

yang menjadi kewenangan Daerah, Gubernur dapat menetapkan

Peraturan Gubernur. Selain Peraturan Gubernur, produk hukum daerah

lainnya yang dapat digunakan untuk menyelenggarakan Urusan

Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah adalah Peraturan

Daerah Provinsi atau Keputusan Gubernur (untuk Daerah Provinsi). Akan

tetapi, fokus Makalah ini adalah Peraturan Gubernur.

Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah

sebagaimana tercantum dalam Lampiran UU 23/2014, diantaranya

adalah:

1. Lampiran J perihal PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN

BIDANG PERTANAHAN, menetukan: Penetapan tanah ulayat

yang lokasinya lintas Daerah kabupaten/kota dalam 1 (satu)

Daerah provinsi.

2. Lampiran K perihal PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN

BIDANG LINGKUNGAN HIDUP, menentukan:

a. Penetapan pengakuan MHA, kearifan lokal atau pengetahuan

tradisional dan hak kearifan lokal atau pengetahuan tradisional

dan hak MHA terkait dengan PPLH yang berada di dua atau

lebih Daerah kabupaten/kota dalam 1 (satu) Daerah provinsi.

b. Peningkatan kapasitas MHA, kearifan lokal atau pengetahuan

tradisional dan hak kearifan lokal atau pengetahuan tradisional

Page 61: REGULASI KEARIFAN LOKAL - UNUD

52

dan hak MHA terkait dengan PPLH yang berada di dua atau

lebih Daerah kabupaten/kota.

Mencermati ketentuan tersebut, tidak ada ketentuan tegas bahwa

Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah tersebut harus

diatur dengan atau dalam Peraturan Gubernur. Sesuai dengan Pasal 17

ayat (1) UU 23/2014, maka pilihan diantara Peraturan Daerah Provinsi,

Peraturan Gubernur, dan Keputusan Gubernur sebagai instrumen

pengaturan dari urusan pemerintahan tersebut merupakan ranah

instepretasi dari Pemerintah Daerah untuk menggunakan salah satunya

atau ketiganya sesuai keperluan.

Berdasarkan interpretasi makna “perintah atau diperintahkan”

sebagai perintah atau diperintahkan secara tegas maupun secara tidak

tegas, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, maka Peraturan

Gubernur untuk menyelenggarakan Urusan Pemerintahan yang menjadi

kewenangan Daerah (Pasal 17 ayat (1) UU 23/2014) termasuk dalam

kategori perintah atau diperintahkan secara tidak tegas. Ini artinya, dianut

delegasi perundang-undangan bersifat implisit.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka Peraturan Gubernur

untuk menyelenggarakan Urusan Pemerintahan yang menjadi

kewenangan Daerah (Pasal 17 ayat (1) UU 23/2014) dalam konteks

penyusunan Peraturan Gubernur bermuatan kearifan lokal bermakna

penyusunan Peraturan Gubernur bermuatan kearifan lokal dapat

dilakukan sekalipun UU 23/2014 tidak secara tegas menentukan materi

Page 62: REGULASI KEARIFAN LOKAL - UNUD

53

muatan kearifan lokal harus diatur dengan atau dalam Peraturan

Gubernur, sepanjang materi muatan kearifan lokal itu merupakan

penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan

Daerah.

4.2. Proses Penyusunan Peraturan Gubernur Bermuatan Kearifan Lokal

Mencermati deskripsi pengaturan kearifan lokal, maka berkenaan

dengan proses penyusunan Peraturan Gubernur meliputi tahapan

perencanaan, penyusunan, pembahasan, penetapan, dan pengundangan.

Secara khusus belum ditemukan proses penyusunan Peraturan

Gubernur bermuatan kearifan lokal, oleh karenanya proses penyusunan

Peraturan Gubernur bermuatan kearifan lokal merujuk pada proses

tersebut, dalam pengertian kebermuatan kearifan lokal dintegrasikan ke

dalam proses penyusunan Peraturan Gubernur itu. Artinya, sejak dari

perencanaan telah dicantumkan judul rancangan Peraturan Gubernur

bermuatan kearifan lokal di dalam Program Pembentukan Peraturan

Gubernur, berikut dalam tahapan penyusunan dilakukan penyusunan

Rancangan Peraturan Gubernur bermuatan kearifan lokal, selanjutnya di

dalam proses pembahasan dilakukan pengawalan agar Rancangan

Peraturan Gubernur bermuatan kearifan lokal lolos dari tahapan

pembahasan, lebih lanjut pada tahapan penetapan dan pengundangan

dilakukan pengawalan, sehingga dapat ditetapkan dan diundangkan

Page 63: REGULASI KEARIFAN LOKAL - UNUD

54

Peraturan Gubernur bermuatan kearifan lokal. Adapun proses

penyusunan Peraturan Gubernur bermuatan kearifan lokal sebagai

berikut.

Tabel 11: Proses penyusunan Peraturan Gubernur bermuatan kearifan lokal

No. Tahapan Rincian Kebermuatan

Kearifan Lokal

1 Perencanaan Perencanaan penyusunan

Pergub merupakan kewenangan

dan disesuaikan dengan

kebutuhan instansi masing-

masing.

Dimasukkan

judul rancangan

Pergub

bermuatan

kearifan lokal.

Perencanaan penyusunan

Pergub ditetapkan dengan

keputusan pimpinan instansi

masing-masing untuk jangka

waktu 1 (satu) tahun.

2 Penyusunan Pimpinan perangkat daerah

pemrakarsa menyusun

rancangan Pergub.

Disusun

rancangan

Pergub

bermuatan

kearifan lokal.

Rancangan Pergub disampaikan

kepada perangkat daerah yang

membidangi hukum provinsi.

3 Pembahasan Pembahasan rancangan Pergub

dilakukan oleh gubernur bersama

dengan perangkat daerah

pemrakarsa.

Dilakukan

pembahasan

rancangan

Pergub

bermuatan

kearifan lokal.

Gubernur membentuk tim

pembahasan rancangan Pergub.

Tim terdiri dari: a. Ketua:

pimpinan perangkat daerah

pemrakarsa atau pejabat yang

Page 64: REGULASI KEARIFAN LOKAL - UNUD

55

ditunjuk oleh pimpinan perangkat

daerah pemrakarsa; b.

Sekretaris: pimpinan perangkat

daerah yang membidangi hukum

provinsi; dan c Anggota: sesuai

kebutuhan.

Dalam hal ketua tim adalah

pejabat lain yang ditunjuk,

pimpinan perangkat daerah

pemrakarsa tetap

bertanggungjawab terhadap

materi muatan rancangan

Pergub.

Tim ditetapkan dengan keputusan

gubernur.

Ketua tim melaporkan

perkembangan rancangan

Pergub kepada sekretaris daerah.

Ketua tim mengajukan rancangan

Pergub yang telah mendapat

paraf koordinasi kepada gubernur

melalui sekretaris daerah.

Sekretaris daerah dapat

melakukan perubahan dan/atau

penyempurnaan terhadap

rancangan Pergub yang telah

diparaf koordinasi.

Perubahan dan/atau

penyempurnaan rancangan

Pergub dikembalikan kepada

pimpinan perangkat daerah

pemrakarsa.

Hasil penyempurnaan rancangan

Pergub disampaikan pimpinan

perangkat daerah pemrakarsa

kepada sekretaris daerah setelah

dilakukan paraf koordinasi setiap

halaman oleh tim.

Page 65: REGULASI KEARIFAN LOKAL - UNUD

56

Sekretaris daerah memberikan

paraf koordinasi pada tiap

halaman rancangan Pergub yang

telah disempurnakan.

Sekretaris daerah menyampaikan

rancangan Pergub kepada

gubernur untuk ditetapkan.

Sebelum ditetapkan, dilakukan

fasilitasi terhadap rancangan

Pergub oleh Mendagri, fasilitasi

tidak diberlakukan terhadap

rancangan Pergub yang

dilakukan evaluasi.

4 Penetapan Rancangan Pergub yang telah

dilakukan pembahasan

disampaikan kepada kepala

daerah untuk dilakukan

penetapan dan pengundangan.

Dilakukan

penetapan

Pergub

bermuatan

kearifan lokal.

Penandatanganan rancangan

Pergub dilakukan oleh gubernur.

Dalam hal gubernur berhalangan

sementara atau berhalangan

tetap penandatanganan

rancangan Pergub dilakukan oleh

pelaksana tugas, pelaksana

harian atau penjabat gubernur.

Penandatanganan Pergub dibuat

dalam rangkap 3 (tiga).

Pendokumentasian naskah asli

Pergub oleh: a. sekretaris

daerah; b. perangkat daerah yang

membidangi hukum provinsi

berupa minute; dan c. perangkat

daerah pemrakarsa.

Penomoran produk hukum

daerah terhadap Pergub

dilakukan oleh pimpinan

perangkat daerah yang

Page 66: REGULASI KEARIFAN LOKAL - UNUD

57

membidangi hukum provinsi.

5 Pengundangan Pergub yang telah ditetapkan

diundangkan dalam berita

daerah.

Dilakukan

pengundangan

Pergub

bermuatan

kearifan lokal.

Pergub mulai berlaku dan

mempunyai kekuatan mengikat

pada tanggal diundangkan

kecuali ditentukan lain di dalam

Pergub yang bersangkutan.

Pergub yang telah diundangkan

disampaikan kepada Menteri

Dalam Negeri.

Pergub yang telah diundangkan

disampaikan kepada gubernur.

Sekretaris daerah

mengundangkan Pergub.

Dalam hal sekretaris daerah

berhalangan sementara atau

berhalangan tetap pengundangan

Pergub dilakukan oleh pelaksana

tugas atau pelaksana harian

sekretaris daerah.

Sumber: merujuk PMDN 80/2015

4.3. Isi Peraturan Gubernur Bermuatan Kearifan Lokal yang Hendak Disusun

Mencermati deskripsi pengaturan kearifan lokal diperoleh

pemahaman, Pergub bermuatan kearifan lokal dapat berisi:

Page 67: REGULASI KEARIFAN LOKAL - UNUD

58

1. pokok pengaturan tentang kearifan lokal, yakni pengakuan

kearifan lokal, termasuk di dalamnya penghormatan dan

perlindungan terhadap kearifan lokal.

2. pokok pengaturan tentang bentuk-bentuk kearifan lokal,

pengakuan bentuk-bentuk kearifan lokal, seperti pengakuan hak

ulayat atau pengakuan hukum adat beserta pengembannya

yakni kesatuan masyarakat hukum adat.

3. asas pengaturan, yakni kearifan lokal sebagai asas

pembentukan peraturan peraturan perundang-undangan yang

baik yang bersifat materiil.

Pertama, pokok pengaturan tentang kearifan lokal, yakni pengakuan

kearifan lokal, termasuk di dalamnya penghormatan dan perlindungan

terhadap kearifan lokal. Pengaturan kearifan lokal pada berbagai bidang,

contohnya pengaturan kearifan lokal di bidang pengelolaan sumber daya

alam dan lingkungan hidup.

Di bidang pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup,

pengaturan Kearifan Lokal:

a. dimaksudkan untuk memberikan perlindungan hukum bagi

pengampu dan memfasilitasi pengakses Kearifan Lokal dalam

mewujudkan keadilan, kesejahteraan masyarakat, dan pelestarian

fungsi lingkungan hidup dan sumber daya alam (Pasal 2 ayat (1)

PMLHK P.34/Menlhk/Setjen/Kum.1/5/2017); dan

Page 68: REGULASI KEARIFAN LOKAL - UNUD

59

b. bertujuan agar pengampu Kearifan Lokal mendapat pengakuan,

perlindungan, dan memperoleh pembagian keuntungan yang adil

dan seimbang dari pemanfaatan Kearifan Lokal dalam relevansi

pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup (Pasal 2

ayat (2) PMLHK P.34/Menlhk/Setjen/Kum.1/5/2017).

Intinya, pengaturan kearifan lokal meliputi pengakuan, perlindungan,

dan pemenuhan hak-hak pengampu kearifan lokal. Dari sisi tanggung

jawab negara, terutama pemerintah, dalam doktrin hak asasi manusia,

mencakup pula penghormatan, yakni tanggung jawab negara untuk tidak

mencampuri hak asasi warga negaranya yang menyebabkan warga

negaranya tidak dapat mengenyam hak-haknya. Dalam konteks kearifan

lokal, negara tidak boleh melakukan tindakan yang dapat menyebabkan

pengampu kearifan lokal tidak dapat menikmati hak-haknya.

Dari sisi tanggung jawab negara itu, seyogyanya pengaturan kearifan

lokal mencakup pengakuan, penghormatan, perlindungan, pemenuhan

hak-hak pengampu kearifan lokal.

Pemahaman mengenai kearifan lokal dapat merujuk PMLHK

P.34/Menlhk/Setjen/Kum.1/5/2017, dikemukakan dalam tabel berikut:

Tabel 11: Pemahaman tentang konsep-konsep Kearifan Lokal

No. Konsep Isi Konsep

1 kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang masih berlaku dalam tata kehidupan masyarakat.

2 Wilayah Kearifan Lokal

adalah suatu wilayah tertentu berupa daratan dan/atau perairan beserta sumber daya alam yang ada di atasnya, dengan batas-batas tertentu di mana pemanfaatan Kearifan Lokal dan pengetahuan tradisional dilaksanakan secara turun termurun dan berkelanjutan.

Page 69: REGULASI KEARIFAN LOKAL - UNUD

60

3 Pengampu Kearifan Lokal

adalah Masyarakat Hukum Adat atau masyarakat setempat yang memegang hak ulayat atau hak tradisional dan memperoleh manfaat dari hak ulayat atau pengelolaan dalam bentuk tanggung jawab moral, ekonomi, dan budaya.

4 Pengakses Kearifan Lokal

adalah orang perseorangan, kelompok masyarakat, organisasi masyarakat, organisasi profesi, dan/atau badan usaha, baik dari dalam maupun luar negeri, yang mengakses dan/atau memanfaatkan Kearifan Lokal yang diampu oleh Masyarakat Hukum Adat atau masyarakat setempat.

5 Pengakuan Kearifan Lokal

adalah pernyataan Negara sebagai penerimaan dan penghormatan atas Kearifan Lokal yang diampu Masyarakat Hukum Adat dan/atau masyarakat setempat.

6 Perlindungan Kearifan Lokal

adalah suatu bentuk pelayanan Negara kepada Masyarakat Hukum Adat atau masyarakat setempat dalam rangka menjamin kelangsungan Kearifan Lokal dan keberadaan masyarakat pengampunya, serta terpenuhinya hak dan kewajiban dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, agar dapat hidup, tumbuh, dan berkembang sebagai satu kelompok masyarakat yang madani, berpartisipasi sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaannya.

7 Ruang lingkup pengaturan Kearifan Lokal,

meliputi:

a. lingkup, sifat, wilayah, dan kriteria Kearifan Lokal;

b. tata cara pengakuan dan perlindungan Kearifan Lokal;

c. hak dan kewajiban Pengampu dan Pengakses Kearifan Lokal; dan

d. pembiayaan.

8 Lingkup Kearifan Lokal

(di bidang pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup)

paling sedikit mencakup:

a. pengetahuan tradisional di bidang Sumber Daya Genetik, air, tanah, dan energi;

b. pengetahuan tradisional termasuk namun tidak terbatas pada mata pencaharian berkelanjutan, kesehatan, dan lainnya, di bidang wilayah Kearifan Lokal yang dijaga kelestariannya;

c. peralatan dan teknologi tradisional di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam;

d. ekspresi budaya tradisional, tradisi dan upacara tradisional di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam termasuk folklor terkait Sumber

Page 70: REGULASI KEARIFAN LOKAL - UNUD

61

Daya Genetik;

e. pembelajaran tradisional di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam; dan/atau

f. warisan budaya benda dan tak benda.

9 Sifat Kearifan Lokal

terdiri atas: a. Kearifan Lokal yang dapat diakses publik; dan b. Kearifan Lokal yang bersifat rahasia, sakral dan dipegang teguh.

10 Kearifan Lokal yang dapat diakses publik

merupakan Kearifan Lokal yang oleh pengampunya dapat diakses oleh pengakses atau kelompok lain.

11 Kearifan Lokal yang bersifat rahasia, sakral, dan dipegang teguh

merupakan Kearifan Lokal yang karena sifatnya oleh pengampunya dirahasiakan dan/atau disakralkan sehingga tidak dapat diakses oleh pihak lain atau tidak boleh dipublikasi secara luas kepada masyarakat.

12 Wilayah Kearifan Lokal

meliputi:

a. Kearifan Lokal dalam satu wilayah ulayat;

b. Kearifan Lokal yang ada di dalam dan di luar wilayah ulayat; atau

c. Kearifan Lokal bersama yang tersebar di beberapa wilayah ulayat.

13 Kearifan Lokal dalam satu wilayah ulayat

merupakan Kearifan Lokal yang diampu oleh satu komunitas Masyarakat Hukum Adat dalam satu Wilayah Kearifan Lokal.

14 Kearifan Lokal yang ada di dalam dan di luar wilayah ulayat

merupakan Kearifan Lokal yang diampu oleh satu Masyarakat Hukum Adat atau masyarakat setempat baik dalam satu atau lebih Wilayah Kearifan Lokal.

15 Kearifan Lokal bersama yang tersebar di beberapa wilayah ulayat

merupakan Kearifan Lokal yang diampu oleh beberapa kelompok Masyarakat Hukum Adat atau masyarakat setempat baik dalam satu atau lebih Wilayah Kearifan Lokal.

16 Kriteria Kearifan Lokal di bidang perlindungan dan

pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam,

terdiri atas:

a. nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan Masyarakat Hukum Adat dan masyarakat setempat; dan

b. pernyataan pengakuan masyarakat sekitar yang berbeda adat dan budaya.

17 Indikator kriteria Kearifan Lokal

terdiri atas:

a. terpelihara praktik pengetahuan dan

Page 71: REGULASI KEARIFAN LOKAL - UNUD

62

(nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan Masyarakat Hukum Adat dan masyarakat setempat)

keterampilan tradisional yang nyata secara terus menerus dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam;

b. terpelihara kualitas lingkungan hidup dan sumber daya hutan sebagai pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam huruf a;

c. terpelihara ingatan kolektif masyarakat tentang Kearifan Lokal yang berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya hutan termasuk ekspresi budaya tradisional; dan

d. terwariskan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang direpresentasikan antar generasi.

18 Indikator kriteria pernyataan pengakuan masyarakat sekitar yang berbeda adat dan budaya

berupa surat pernyataan, pernyataan sikap, dan/atau bentuk pengakuan lainnya tentang kebenaran Kearifan Lokal dan pengampunya yang diberikan oleh masyarakat sekitar melalui proses musyawarah mufakat.

Secara teoritik diperoleh pemahaman bahwa kearifan lokal meliputi

kearifan tradisional atau kearifan lama (yang berasal dari generasi-

generasi sebelumnya) dan kearifan kontemporer atau kearifan kini

(berasal dari pengalamannya berhubungan dengan lingkungan dan

masyarakat lainnya), sebagaimana dikemukakan oleh Heddy Shri Ahimsa-

Putra yang mendefinisikan kearifan lokal sebagai perangkat pengetahuan

pada suatu komunitas, baik yang berasal dari generasi-generasi

sebelumnya maupun dari pengalamannya berhubungan dengan

lingkungan dan masyarakat lainnya, untuk menyelesaikan secara baik dan

benar berbagai persoalan dan/atau kesulitan yang dihadapi (dalam Nur

Berlian VA, & Mursalim, Ed, 2015).

Page 72: REGULASI KEARIFAN LOKAL - UNUD

63

Beberapa pandangan kearifan lokal dari beberapa sarjana

nampaknya merujuk pada pendapat Heddy Shri Ahimsa-Putra, yakni:

1. Kearifan lokal merupakan kebijaksanaan setempat, yaitu

kebijaksanaan yang dimiliki oleh masyarakat pendukungnya.

Dalam masyarakat yang multikultur, masing masing kelompok

mempunyai kebenaran masing-masing. Karena itu, kearifan

lokal itu akan bersifat relatif terhadap kearifan lokal lainnya

(Mikka Wildha Nurrochsyam 2011).

2. Kearifan lokal dikenal pula sebagai pengetahuan setempat

atau kecerdasan setempat (local genius), yang menjadi dasar

identitas kebudayaan (Ade M. Kartawinata 2011).

3. Disebut kearifan lokal karena perangkat pengetahuan itu pada

awalnya hanya dimiliki oleh komunitas tertentu dan pada

lokalitas tertentu pula (Hurip Danu Ismadi 2013).

Mengacu pula pada pandangan Heddy Shri Ahimsa-Putra, Sugih

Biantoro (2011) memaknai kearifan tradisional (lama) sebagai perangkat

pengetahuan pada suatu komunitas untuk menyelesaikan secara baik dan

benar persoalan dan/atau kesulitan yang dihadapi, serta diperoleh dari

generasi-generasi sebelumnya secara lisan atau melalui contoh tindakan,

yang memiliki kekuatan seperti hukum maupun tidak. Sedangkan, kearifan

kontemporer (kini) adalah perangkat pengetahuan yang baru saja muncul

dalam suatu komunitas.

Page 73: REGULASI KEARIFAN LOKAL - UNUD

64

Hukum yang dimaksud dalam kearifan lokal yang tradisional itu

adalah hukum yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat

bersangkutan, dapat berupa hukum adat, yang di Bali dituangkan dalam

awig-awig atau pararem.

Uraian tentang kearifan lokal menegaskan bahwa kearifan lokal

dapat berbentuk hukum adat, yakni hukum yang tumbuh dan berkembang

dalam masyarakat hukum adat. Sehingga mendiskusikan tentang

penghormatan kearifan lokal pada dasarnya mendiskusikan tentang

pluralisme hukum, yakni pengakuan terhadap kemajemukan tatanan

hukum yang berlaku beserta komunitas pengembannya, termasuk dalam

pemahaman ini adalah pengakuan kemajemukan tatanan hukum adat dan

kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat sebagai pengembannya

beserta hak-hak tradisionalnya (Gede Marhaendra Wija Atmaja 2016.

Gede Marhaendra Wija Atmaja 2012).

Kedua, pokok pengaturan tentang bentuk-bentuk kearifan lokal,

pengakuan bentuk-bentuk kearifan lokal, seperti pengakuan hak ulayat

atau pengakuan hukum adat beserta pengembannya yakni kesatuan

masyarakat hukum adat.

Perlu menyimak “Tren produk hukum daerah mengenai Masyarakat

Adat pasca Putusan MK 35” mengalami peningkatan. Pada tahun 2013,

setelah keluar Putusan MK 35 (Arizona, Yance; Malik; dan Irena Lucy

Ishimora, 2017):

Page 74: REGULASI KEARIFAN LOKAL - UNUD

65

1. Setidaknya terdapat 12 produk hukum daerah mengenai

Masyarakat Adat, pada tahun 2014 terdapat 17 produk

hukum, tahun 2015 sebanyak 27 produk hukum daerah, dan

tahun 2016 terdapat 13 produk hukum daerah.

2. Sifat dan Bentuk Produk Hukum Daerah Mengenai

Masyarakat Adat Dari segi sifatnya, produk hukum daerah

dikelompokkan menjadi tiga, yakni pengaturan, penetapan

dan kombinasi, yakni pengaturan dan penetapan dalam satu

produk hukum daerah.

3. Dari 69 produk hukum daerah yang terbit pasca Putusan MK

35, sebanyak 34 produk hukum daerah bersifat pengaturan,

34 bersifat penetapan dan satu bersifat kombinasi. Produk

hukum yang bersifat kombinasi ini adalah Perda Lebak No. 8

Tahun 2015 tentang Pengakuan, Perlindungan dan

Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan

selanjutnya disebut Perda Lebak. Selain menetapkan

sejumlah Kasepuhan sebagai masyarakat hukum adat

beserta menetapkan beberapa peta wilayah adatnya,

peraturan ini juga mengatur mengenai tata cara penetapan

wilayah adat di kemudian hari, khususnya untuk wilayah adat

yang belum ditetapkan dalam Perda tersebut.

4. Produk hukum pengaturan memiliki substansi yang sifatnya

mengatur masyarakat adat dan hak tradisionalnya secara

Page 75: REGULASI KEARIFAN LOKAL - UNUD

66

umum dan tidak menyebutkan nama komunitas atau wilayah

adat tertentu, seperti Perda Peraturan Daerah Kabupaten

Enrekang No. 1 Tahun 2016 tentang Pedoman Pengakuan

dan Perlindungan terhadap Masyarakat Hukum Adat di

Kabupaten Enrekang. Produk hukum daerah ini

membutuhkan tindak lanjut untuk menetapkan keberadaan

masyarakat adat.

5. Sementara produk hukum yang bersifat penetapan secara

konkret, misalnya menetapkan suatu masyarakat menjadi

masyarakat hukum adat melalui Perda Kabupaten Merangin

No. 8 Tahun 2016 tentang Pengakuan dan Perlindungan

Masyarakat Hukum Adat Marga Serampas.

6. Selain berdasarkan sifat, klasifikasi produk hukum daerah

mengenai masyarakat adat dapat juga berdasarkan bentuk

produk hukum. Produk hukum daerah tersebut

dikelompokkan ke dalam lima bentuk, yaitu; (1) Perda yang

bersifat pengaturan; (2) Perda yang bersifat penetapan; (3)

Perda kombinasi pengaturan dan penetapan; (4) Peraturan

kepala daerah (gubernur atau bupati) yang bersifat

pengaturan; dan (5) Keputusan kepala daerah (cetak tebal

dari penulis).

7. Dari sisi bentuk hukumnya, produk hukum daerah yang paling

banyak setelah Putusan MK 35 adalah Perda yang bersifat

Page 76: REGULASI KEARIFAN LOKAL - UNUD

67

pengaturan. Terdapat 27 Perda yang bersifat pengaturan di

mana 19 di antaranya adalah Perda Kabupaten/Kota dan 8

Perda Provinsi. Sementara itu peraturan daerah yang bersifat

penetapan sebanyak 33 produk hukum daerah, terdiri dari 9

Perda Kabupaten dan 24 SK Bupati/Walikota.

8. Materi muatan produk hukum daerah mengenai masyarakat

adat dikelompokkan menjadi lima yaitu: (1) Lembaga adat,

peradilan adat dan hukum adat; (2) Keberadaan masyarakat

adat; (3) Wilayah adat dan hutan adat; (4) Desa adat; dan (5)

Lembaga pelaksana.

9. Produk hukum mengenai lembaga adat, peradilan adat dan

hukum adat, yaitu: 1) Perda Kabupaten Buton No. 4 Tahun

2015 tentang Lembaga Adat, 2) Peraturan Gubernur

Sulawesi Tengah No. 42 Tahun 2013 tentang Pedoman

Peradilan Adat di Sulawesi Tengah, dan 3) Peraturan

Daerah Kabupaten Seluma No. 4 Tahun 2014 tentang

Pemberlakuan Kompilasi Hukum Adat Kabupaten Seluma

(cetak tebal dari penulis).

10. Produk hukum mengenai keberadaan masyarakat adat yaitu

Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Timur No. 1 Tahun

2015 Tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan

Masyarakat Hukum Adat di Provinsi Kalimantan Timur dan

Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba No. 9 Tahun 2015

Page 77: REGULASI KEARIFAN LOKAL - UNUD

68

tentang Pengukuhan, Pengakuan dan Perlindungan

Masyarakat Hukum Adat Ammatoa Kajang.

11. Produk hukum mengenai wilayah dan hutan adat yaitu

Peraturan Daerah Kabupaten Kutai Barat No. 9 Tahun 2014

tentang Penetapan Kawasan, Hemaq Beniung, Hutan Adat

Kekau dan Hemaq Pasoq sebagai hutan adat, dan

Keputusan Bupati Surolangun No. 357/Bunhut/2014 tentang

Pengukuhan Kawasan Hutan Adat Dusun Mengkadai Desa

Temenggung Kecamatan Limun.

12. Produk hukum daerah mengenai desa adat misalkan

Peraturan Daerah Kabupaten Rokan Hulu No. 1 Tahun 2015

tentang Penetapan Desa dan Desa Adat, dan Keputusan

Bupati Jayapura No. 320 tahun 2014 tentang Pembentukan

36 Kampung Adat di Kabupaten Jayapura.

Menyimak perkembangan pengaturan kesatuan masyarakat hukum

adat tersebut menunjukkan Peraturan Gubernur merupakan instrumen

pengaturan kesatua masyarakat hukum adat. Peraturan Gubernur

Sulawesi Tengah No. 42 Tahun 2013 tentang Pedoman Peradilan Adat di

Sulawesi Tengah, merupakan contohnya.

Contoh lainnya adalah Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah

Nomor 13 Tahun 2009 tentang Tanah Adat dan Hak-hak Adat Di Atas

Tanah. Peraturan Gubernur ini diteapkan untuk melaksanakan Pasal 36

Page 78: REGULASI KEARIFAN LOKAL - UNUD

69

dan Pasal 44 Peraturan Daerah Provinsi Kaliman Tengah Nomor 16

Tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak di Kaliman Tengah.

Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 13 Tahun 2009

tersebut diubah dengan Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 4

Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Gubernur Nomor 13 Tahun

2009 tentang Tanah Adat dan Hak-Hak Adat Di Atas Tanah Di Provinsi

Kalimantan Tengah (selanjutnya disebut Pergub Kalteng 13/2009).

Pergub Kalteng 13/2009 mengatur antara lain Kerapatan Mantir

Perdamaian Adat dan ketetapannya sebagai ketentuan hukum. Pasal 9

Pergub Kalteng 13/2009:

(1) Kerapatan Mantir Perdamaian Adat dan Desa/Kelurahan merupakan Lembaga Permusyawaratan Adat yang mengatur tentang kepemilikan, pengelolaan, penguasaan, pemanfaatan maupun pengalihan kepemilikan Tanah Adat dan Hak-Hak Adat Di Atas Tanah.

(2) Berita Acara Hasil Kerapatan Mantir Perdamaian Adat desa/kelurahan dan kecamatan, merupakan hasil kesepakatan musyawarah bersama seluruh anggota kerapatan yang wajib disahkan oleh Damang Kepala Adat.

(3) Ketetapan kerapatan Mantir Perdamaian Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan ketentuan hukum yang mengikat bagi setiap warga masyarakat adat Dayak.

Ketentuan lainnya mengenai Surat Keterangan Tanah Adat. Pasal 10

Pergub Kalteng 13/2009 menentukan:

(1) Pengajuan permohonan untuk memperoleh Surat Keterangan Tanah (SKT) Adat dan Hak-Hak Adat Di Atas Tanah kepada Kerapatan Mantir Perdamaian Adat.

(2) Fungsionaris Lembaga Kedamangan melakukan Inventarisasi, Pengukuran, Pematokan dan Pemetaan terhadap Tanah Adat dan Hak-Hak Adat Di Atas Tanah.

(3) Damang Kepala Adat wilayah bersangkutan menerbitkan Surat Keterangan Tanah (SKT) Adat dan Hak-Hak Adat Di Atas Tanah.

Page 79: REGULASI KEARIFAN LOKAL - UNUD

70

(4) Damang Kepala Adat dalam menetapkan Surat Keterangan Tanah (SKT) Adat dan Hak-Hak Adat Di Atas Tanah wajib mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: a. bukti tertulis dahulu (kalau ada); b. bukti penguatan fisik; c. bukti saksi; d. bukti pengakuan yang bersangkutan/Surat Pernyataan Berita

Acara Hasil Kerapatan Mantir Perdamaian Adat. (5) Setelah kesepakatan Mantir Perdamaian Adat memutuskan

bahwa pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) telah terpenuhi, maka Damang Kepala Adat wajib mengumumkan secara tertulis selama 21 (dua puluh satu) hari.

(6) Setelah selesai masa pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan tidak ada sanggahan/keberatan dari pihak lain, maka Damang Kepala Adat dapat menetapkan Surat Keterangan Tanah (SKT) Adat dan Hak-Hak Adat Di Atas Tanah.

Peraturan Gubernur tersebut merupakan pengaturan terhadap hak

masyarakat hukum adat atas tanah adat atau tanah ulayat yang

merupakan lingkup penghormatan kearifan lokal.

Ketiga, asas pengaturan, yakni kearifan lokal, sebagai asas

pembentukan peraturan peraturan perundang-undangan yang baik, harus

terkandung dalam suatu Peraturan Gubernur.

Secara teoritik dikenal dua jenis asas pembentukan peraturan

perundang-undangan yang, yang bersifat formal dan yang bersifat materiil

(I.C. van der Vlies 2005. A. Hamid S. Attamimi 1990). Asas pembentukan

peraturan perundang-undangan yang baik yang telah dipositipkan dalam

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Asas yang berifat formal diatur

dalam Pasal 5 dan asas yang bersifat materiil diatur dalam Pasal 6.

Salah satu dari asas pembentukan peraturan perundang-undangan

yang baik yang bersifat materiil adalah asas bhinneka tunggal ika (Pasal 6

Page 80: REGULASI KEARIFAN LOKAL - UNUD

71

ayat (1) huruf f UU 12/2011). Asas bhinneka tunggal ika berarti materi

muatan Peraturan Perundang-undangan harus memperhatikan

keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah

serta budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan

bernegara.

Pendapat hukum Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor 65

P/HUM/2013 perihal Keberatan Hak Uji Materiil Peraturan Daerah Provinsi

Nomor 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata uang Wilayah Provinsi Bali

Tahun 2009-2029:

bahwa materi muatan Peraturan Daerah dapat memuat karakteristik daerah (vide Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan) in casu mengatur tentang kawasan tempat suci, sebagai salah satu kawasan lindung setempat, yang merupakan penghormatan terhadap kearifan lokal, yang secara konstitusional diamanatkan Pasal 18 B ayat (2) juncto Pasal 28 I ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945;

Frasa “menampung kondisi khusus daerah” dalam Pasal 14 UU

12/2011 dijadikan pertimbangan hukum oleh Mahkamah Agung bahwa

Peraturan Daerah harus mengandung penghormatan terhadap kearifan

lokal. Jadi, kearifan lokal merupakan asas pembentukan peraturan

perundang-undangan yang baik, yang bersifat materiil, yakni asas

bhinneka tunggal ika. Tepatnya, asas kearifan lokal merupakan isi dari

asas bhinneka tunggal ika, dan asas bhinneka tunggal ika merupakan

bentuk dari dari asas kearifan lokal.

Telah pula dikemukakan, menurut Pasal 2 huruf l UU 32/2009 dan

penjelasannya, kearifan lokal merupakan asas dalam perlindungan dan

Page 81: REGULASI KEARIFAN LOKAL - UNUD

72

pengelolaan lingkungan hidup, dan “asas kearifan lokal” adalah dalam

perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan

nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat.

Secara teoritik telah beberapa kali diungkapkan, bahwa kearifan

lokal adalah kebijaksanaan atau pengertahuan masyarakat setempat

(lokal), baik yang berasal dari generasi-generasi sebelumnya maupun dari

pengalamannya pada masa sekarang, yang dapat berbeda-beda dengan

kebijaksanaan yang dimiliki oleh masyarat di tempat lain. Jadi, kearifan

lokal pada tiap-tiap masyarakat di suatu tempat memiliki kekhasan yang

membedakan satu dengan lainnya.

Berdasarkan uraian tersebut, maka asas kearifan lokal terlingkup

dalam asas bhinneka tunggal ika yang merupakan asas pembentukan

peraturan perundang-undangan yang baik, yang bersifat materiil.

Dikaitkan dengan penyusunan Peraturan Gubernur bermuatan

kearifan lokal bermakna asas kearifan lokal harus terkandung dalam

peraturan gubernur mengenai suatu materi muatan tertentu. Peraturan

Gubernur berikut merupakan contohnya.

Peraturan Gubernur Bali Nomor 2 Tahun 2017 tentang Pedoman

Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial.

1. Hibah dapat diberikan kepada: a. Pemerintah Pusat; b.

Pemerintah daerah lain; c. Badan Usaha Milik Negara atau Badan

Usaha Milik Daerah; dan/atau d. Badan, Lembaga dan Organisasi

Kemasyarakatan yang berbadan Hukum Indonesia (Pasal 5).

Page 82: REGULASI KEARIFAN LOKAL - UNUD

73

2. Hibah kepada Badan dan Lembaga sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 5 huruf d diberikan kepada Badan dan Lembaga: ...

c. yang bersifat nirlaba, sukarela bersifat sosial kemasyarakatan

berupa kelompok masyarakat/kesatuan-kesatuan masyarakat

hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan

perkembangan masyarakat, dan keberadaannya diakui oleh

pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah melalui

pengesahan atau penetapan dari pimpinan instansi vertikal atau

pimpinanPerangkat Daerah terkait sesuai dengan kewenangannya

(Pasal 6 ayat (5) Pergub).

3. Gubernur dapat memberikan bansoskepada anggota/kelompok

masyarakat sesuai kemampuan keuangan daerah (Pasal 26 ayat

(1) Pergub).

4. Anggota/kelompok masyarakat sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 26 ayat (1) meliputi: a. individu, keluarga, dan/atau

masyarakat/kelompok masyarakat/masyarakat adat yang

mengalami keadaan yang tidak stabil sebagai akibat dari krisis

sosial, ekonomi, politik, bencana, atau fenomena alam agar dapat

memenuhi kebutuhan hidup minimum; dan b. Perguruan Tinggi

Negeri dan swasta yang langka peminatnya, dan bidang lain yang

berperan untuk melindungi individu, kelompok, dan/atau

masyarakat dari kemungkinan terjadinya resiko sosial.

Page 83: REGULASI KEARIFAN LOKAL - UNUD

74

Masyarakat adat dan kesatuan masyarakat hukum adat merupakan

pengampu kearifan lokal. Menurut Pasal 1 angka 7 PMLHK

P.34/Menlhk/Setjen/Kum.1/5/2017, Pengampu Kearifan Lokal adalah

Masyarakat Hukum Adat atau masyarakat setempat yang memegang hak

ulayat atau hak tradisional dan memperoleh manfaat dari hak ulayat atau

pengelolaan dalam bentuk tanggung jawab moral, ekonomi, dan budaya.

Peraturan Gubernur Bali Nomor 2 Tahun 2017, tidak mengatur

mengenai kearifan lokal, melainkan mengatur tentang Pedoman

Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial. Namun, asas kearifan lokal

terkandung di dalamnya, yakni dalam ketentuan pemberian hibah kepada

kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat dan pemberian bantuan sosial

(bansos) kepada masyarakat adat, yang merupakan pengampu kearifan

lokal.

Ditinjau dari sisi tanggung jawab negara dalam doktrin hak asasi

manusia, hal tersebut termasuk dalam tanggung jawab pemenuhan hak-

hak pengampu kearifan lokal.

Page 84: REGULASI KEARIFAN LOKAL - UNUD

75

BAB V PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan keseluruhan uraian ersebut di atas, diperoleh

kesimpulan:

Pertama, dasar hukum penyusunan Peraturan Gubernur bermuatan

kearifan lokal adalah berdasarkan ketentuan mengenai:

f. Peraturan Gubernur untuk melaksanakan Perda (Pasal 246 ayat

(1) UU 23/2014), bersumber kewenangan delegasi perundang-

undangan, baik pendelegasian eksplisit maupun pendelegasian

implisit.

g. Peraturan Gubernur atas kuasa peraturan perundang-undangan

(Pasal 246 ayat (1) UU 23/2014), bersumber kewenangan

delegasi perundang-undangan, dengan karakter pendelegasian

eksplisit.

h. Peraturan Gubernur sebagaimana diperintahkan oleh Peraturan

Perundang-undangan yang lebih tinggi (Pasal 8 ayat (1) UU

12/2011, bersumber kewenangan delegasi perundang-

undangan, baik pendelegasian eksplisit maupun pendelegasian

implisit.

i. Peraturan Gubernur dibentuk berdasarkan kewenangan (Pasal 8

ayat (1) UU 12/2011), bersumber kewenangan delegasi

perundang-undangan, dengan karakter pendelegasian implisit.

Page 85: REGULASI KEARIFAN LOKAL - UNUD

76

j. Peraturan Gubernur untuk menyelenggarakan Urusan

Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah (Pasal 17 ayat

(1) UU 23/2014), bersumber kewenangan delegasi perundang-

undanga, dengan karakter pendelegasian implisit.

Kedua, proses penyusunan Peraturan Gubernur bermuatan kearifan

lokal melalui tahapan:

f. perencanaan, yakni memasukan judul rancangan peraturan

gubernur bermuatan kearifan lokal dalam perencanaan

penyusunan Pergub;

g. penyusunan, yakni pimpinan perangkat daerah pemrakarsa

menyusun rancangan peraturan gubernur bermuatan kearifan

lokal;

h. pembahasan, yakni membahas rancangan peraturan gubernur

bermuatan kearifan lokal oleh gubernur bersama dengan

perangkat daerah pemrakarsa, untuk itu gubernur membentuk

tim pembahasan yang dipimpin oleh pimpinan perangkat daerah

pemrakarsa;

i. penetapan, yakni gubernur menetapkan rancangan peraturan

gubernur bermuatan kearifan lokal yang telah mendapat

pembahasan menjadi peraturan gubernur bermuatan kearifan

lokal, dan

Page 86: REGULASI KEARIFAN LOKAL - UNUD

77

j. pengundangan, yakni sekretaris daerah mengundangkan

peraturan gubernur bermuatan kearifan lokal dalam berita

daerah.

Ketiga, isi Peraturan Gubernur bermuatan kearifan lokal yang

hendak disusun meliputi:

d. pokok pengaturan tentang kearifan lokal, yakni pengakuan

kearifan lokal, termasuk di dalamnya penghormatan,

perlindungan, dan pemenuhan hak-hak pengampu kearifan lokal;

e. pokok pengaturan tentang bentuk-bentuk kearifan lokal, yakni

pengakuan bentuk-bentuk kearifan lokal, seperti pengakuan hak

ulayat atau pengakuan hukum adat beserta pengampunya yaitu

kesatuan masyarakat hukum adat; dan

f. asas pengaturan, yakni asas kearifan lokal terlingkup dalam asas

bhinneka tunggal ika yang merupakan asas pembentukan

peraturan perundang-undangan yang baik, yang bersifat materiil,

yang harus terkandung dalam peraturan gubernur mengenai suatu

materi muatan tertentu.

5.2. Saran

Diajukan saran, dari sisi akademis, perlu diadakan pengkajian

mendalam perihal penyusunan peraturan gubernur bermuatan kearifan

lokal, terutama menyangkut studi praktik penyusunan penyusunan

Page 87: REGULASI KEARIFAN LOKAL - UNUD

78

peraturan gubernur bermuatan kearifan lokal, dalam kategori-kategori

yang disebutkan dalam kesimpulan.

Dari sisi proses kebijakan publik, diajukan saran, setidaknya dalam

penyusunan peraturan gubernur harus mencerminkan asas kearifan lokal,

dan lebih dari itu agar melakukan kajian dalam rangka menyusun

peraturan gubernur bermuatan kearifan lokal.

Page 88: REGULASI KEARIFAN LOKAL - UNUD

79

DAFTAR PUSTAKA

Arizona, Yance; Malik; dan Irena Lucy Ishimora, 2017, Pengakuan Hukum terhadap Masyarakat Adat : Tren Produk Hukum Daerah dan Nasional Pasca Putusan MK 35/PUU-X/2012, Outlook Epistema 2017, Jakarta: Epistema Institute.

Asshiddiqie, Jimly, 2006, Perihal Undang-Undang, Jakarta: Konstitusi Press.

Attamimi, A. Hamid S., 1990, “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara”, Disertasi Doktor, Jakarta: Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia.

Atmaja, Gede Marhaendra Wija 2012, “Politik Pluralisme Hukum dalam Pengakuan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dengan Peraturan Daerah”, Disertasi Doktor, Malang: Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.

───────, 2016, Politik Pluralisme Hukum: Arah Pengakuan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dengan Peraturan Daerah, Denpasar: Penerbit PT Percetakan Bali.

Berlian VA, Nur & Mursalim, (Ed), 2015, Pelestarian Lingkungan Berbasis Kearifan Lokal, Jakarta: Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan KebudayaaBalitbang Kemendikbud Hartono, C.F.G. Sunaryati, 1994, Penelitian Hukum Di Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20, Bandung: Penerbit Alumni.

Biantoro, Sugih, 2011, “Kearifan Lokal dan Politik Identitas: Menjawab Tantangan Global? Strategi Masyarakat Adat dalam Kasus Pembalakan Hutan Di Kalimantan Barat”, dalam Ade Makmur, (Ed), 2011, Kearifan Lokal Di Tengah Modernisasi, Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia.

Hamid. S.A., A, 1984, “UUD NRI 1945 – TAP MPR – Undang-undang: Kaitan Norma Hulum Ketiganya”, dalam Padmo Wahjono, ed., Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa Ini, Jakarta: Ghalia Indonesia.

Irianto, Sulistyowati, 2009, “Memperkenalkan Studi Sosiolegal dan Implikasi Metodologisnya”, dalam Sulistyowati Irianto dan Shidarta, eds., Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Ismadi, Hurip Danu, 2013, Kata Pengantar, dalam Emmed J. M. Prioharyono, (Ed), 2013, Kearifan Lokal dan Lingkungan, Jakarta,: Penerbit PT Gading Inti Prima dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.

Page 89: REGULASI KEARIFAN LOKAL - UNUD

80

Kartawinata, Ade M., 2011, “Pengantar Editor Merentas Kearifan Lokal Di Tengah Modernisasi dan Tantangan Pelestarian”, dalam Ade Makmur, (Ed), 2011, Kearifan Lokal Di Tengah Modernisasi, Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia.

Manan, Bagir, 1992, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, Jakarta: Ind-Hill.Co.

───────, 2004, Hukum Positif Indonesia (Satu Kajian Teoritik), Yogyakarta: FH UII Press.

Nurrochsyam, Mikka Wildha, 2011, “Tradisi Pasola Antara Kekerasan dan Kearifan Lokal”, dalam Ade Makmur, (Ed), Kearifan Lokal Di Tengah Modernisasi, Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia.

Ranggawija, Rosjidi,1998, Pengantar Ilmu Perundang-undangan Indonesia, Bandung: Penerbit Mandar Maju.

Sidharta, B. Arief, Ilmu Hukum Indonesia: Upaya Pengembangan Ilmu Hukum Sistematik yang Responsif terhadap Perubahan Masyarakat, Bandung: Unpar Press.

Utrecht, E., Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Edisi Fotografi

Vlies, I.C. van der, 2005, Buku Pegangan Perancang Peraturan Perundang-undangan, terjemahan, Jakarta: Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI.

Page 90: REGULASI KEARIFAN LOKAL - UNUD

81