Download - Refrat Leptospirosis Full

Transcript

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar BelakangLeptospirosis merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia, khususnya di Negara yang beriklim tropis dan subtropis. WHO menyebutkan kejadian Leptospirosis di Negara subtropis berkisar antara 0,1 1,0 kejadian tiap 100.000 penduduk setiap tahun. Sedangkan di negara tropis berkisar antara 10,0 100,0 kejadian tiap 100.000 penduduk setiap tahun. Tingginya curah hujan menyebabkan penularan Leptospirosis lebih cepat terjadi di negara beriklim tropis (WHO, 2003).Widarso HS dan Wilfried (2002) menyebutkan bahwa Indonesia merupakan negara tropis dengan angka mortalitas tinggi, yaitu peringkat ketiga dunia setelah China dan India. Secara umum angka kematian Leptospirosis di Indonesia mencapai 2,5 - 16,5 persen pertahun. Sedangkan pada usia lebih dari 50 tahun angka kematian mencapai 56,0 persen dari total angka kematian Leptospirosis setiap tahunnya. Di Indonesia, Leptospirosis tersebar antara lain di provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, Riau, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Bali, NTB, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat.Leptospirosis merupakan salah satu penyakit yang bersumber dari tikus. Penyakit ini juga tergolong dalam emerging disease yang erat hubungannya dengan meningkatnya populasi global, frekuensi perjalanan dan mudahnya transportasi domestik dan mancanegara, perubahan teknologi kesehatan dan produksi makanan, perubahan pola hidup dan tingkah laku manusia, pengembangan daerah baru sebagai hunian manusia dan munculnya patogen baru akibat mutasi dan sebagainya. Leptospirosis disebabkan oleh bakteri Leptospira interrogans yang patogen pada manusia dan hewan. Penyakit ini juga telah menjadi penyakit endemik di beberapa wilayah di Indonesia.1.2 Rumusan MasalahMakalah ini membahas mengenai Leptospirosis yang meliputi definisi, epidemiologi, etiologi dan faktor risiko, diagnosis, tatalaksana dan prognosis.1.3 Tujuan Penulisan Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memahami mengenai Leptospirosis yang meliputi definisi, epidemiologi, etiologi dan faktor risiko, diagnosis, tatalaksana dan prognosis.1.4 Metode PenulisanMetode penulisan makalah ini adalah dengan studi kepustakaan dengan merujuk pada berbagai literatur.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Leptospirosis Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh mikroorganisme berbentuk spiral dan bergerak aktif yang dinamakan Leptospira. Penyakit ini dikenal dengan berbagai nama seperti Mud fever, Slime fever (Shlamnfieber), Swam fever, Autumnal fever, Infectious jaundice, Field fever, Cane cutter dan lain-lain (WHO, 2003). Leptospirosis atau penyakit kuning adalah penyakit penting pada manusia, tikus, anjing, babi dan sapi. Penyakit ini disebabkan oleh spirochaeta leptospira icterohaemorrhagiae yang hidup pada ginjal dan urine tikus (Swastiko, 2009). 2.2 Epidemiologi

2.3 Etiologi Leptospirosis disebabkan oleh genus leptospira, famili treponemataceae, suatu mikroorganisme spirocheata. Ciri khas dari mikroorganisme tersebut ialah berbelit, tipis, fleksibel dengan spiral yang sangat halus. Salah satu ujungnya dapat membengkak dan membentuk kait. Selain itu mikroorganisme ini dapat melakukan gerak rotas aktif walaupun tidak ditemukan flagel. Secara sederhana, genus leptospira terdiri atas dua spesies yaitu L.interrogans yang patogen dan L. biflexa yang hidup bebas (non patogen atau saprofit). Spesies L.interrogans dibagi menjadi beberapa serogrup dan serogrup ini dibagi menjadi banyak serovar menurut komposisi antigennya.1,2 Saat ini telah ditemukan lebih dari 250 serovar yang tergabung dalam 23. Beberapa serovar L.interrogans yang dapat menginfeksi manusia di antaranya adalah L. Icterohaemorrhagiae, L.manhao L. Javanica, L. bufonis, L. copenhageni, dan lain-lain. Serovar yang paling sering menginfeksi manusia ialah L. icterohaemorrhagiae dengan reservoir tikus, L. canicola dengan reservoir anjing, L. pomona dengan reservoir sapi dan babi.12.4 Cara PenularanPenularan leptospirosis dapat secara langsung dan tidak langsung. Penularan langsung dapat terjadi melalui darah, urin, atau cairan tubuh lain yang mengandung kuman leptospira masuk ke dalam tubuh pejamu; dari hewan ke manusia merupakan penyakit akibat pekerjaan; dan dari manusia ke manusia meskipun jarang Penularan tidak langsung terjadi melalui kontak dengan genangan air, sungai, danau, selokan saluran air dan lumpur yang telah tercemar urin binatang yang terinfeksi leptospira. Infeksi tersebut terjadi jika terdapat luka / erosi pada kulit atau selaput lendir. Terpapar lama pada genangan air yang terkontaminasi terhadap kulit yang utuh juga dapat menularkan leptospira. 1Kelompok pekerjaan yang beresiko tinggi terinfeksi leptospirosis antara lain pekerja-pekerja di sawah, pertanian, perkebunan, peternakan, pekerja tambang, tentara, pembersih selokan, parit/saluran air, pekerja di perindustrian perikanan, atau mereka yang selalu kontak dengan air seni binatang seperti dokter hewan, mantri hewan, penjagal hewan atau para pekerja laboratorium. 1,2

2.5 PatogenesisPatogenesis leptospirosis belum dimengerti sepenuhnya. Kuman leptospira masuk kedalam tubuh pejamu melalui luka iris atau luka abrasi pada kulit, konjungtiva atau mukosa utuh yang melapisi mulut, faring, esofagus, bronkus, alveolus dan dapat masuk melalui inhalasi droplet infeksius dan minum air yang terkontaminasi. Meski jarang, pernah dilaporkan penetrasi kuman leptospira melalui kulit utuh yang lama terendam air saat banjir.1,2Infeksi melalui selaput lendir lambung, jarang terjadi, karena ada asam lambung yang mematikan kuman leptospira. Kuman leptospira yang tidak virulen gagal bermultiplikasi dan dimusnahkan oleh sistem kekebalan dari aliran darah setelah satu atau dua hari infeksi. Organisme virulen mengalami multiplikasi di darah dan jaringan, dan kuman leptospira dapat diisolasi dari darah dan cairan serebrospinal pada hari keempat sampai sepuluh perjalanan penyakit. 1,2Kuman leptospira merusak dinding pembuluh darah kecil, sehingga menimbulkan vaskulitis disertai kebocoran dan ekstravasasi sel. Patogenesis kuman leptospira yang penting adalah perlekatannya pada permukaan sel dan toksisitas selular. Lipopolysaccharide (LPS) pada kuman leptospira mempunyai aktivitas endotoksin yang berbeda dengan endotoksin bakteri gram (-) dan aktifitas lainnya yaitu stimulasi perlekatan netrofil pada sel endotel dan trombosit, sehingga terjadi agregasi trombosit disertai trombositopenia.Organ utama yang terinfeksi kuman leptospira adalah ginjal dan hati. Di dalam ginjal kuman leptospira bermigrasi ke interstitium, tubulus ginjal dan lumen tubulus. Pada leptospirosis berat, vaskulitis akan menghambat sirkulasi mikro dan meningkatkan permeabilitas kapiler, sehingga menyebabkan kebocoran cairan dan hipovolemia. Hipovolemia akibat dehidrasi dan perubahan permeabilitas kapiler salah satu penyebab gagal ginjal. Ikterik disebabkan oleh kerusakan sel sel hati yang ringan, pelepasan bilirubin darah dari jaringan yang mengalami hemolisis intravaskular, kolestasis intrahepatik sampai berkurangya sekresi bilirubin.

Gambar 1. Penularan dan manifestasi leptosirosis

Dapat juga leptospira masuk ke dalam tubuh melalui kulit atau selaput lendir, memasuki akiran darah dan berkembang, lalu menyebar secara luas ke jaringan tubuh. Kemudian terjadi respon immunologi baik secara selular maupun humoral sehingga infeksi ini dapat ditekan dan terbentuk antibody spesifik. Walaupun demikian beberapa organism ini masih bertahan pada daerah yang terisolasi secara immunologi seperti di dalam ginjal dimana bagian mikro organism akan mencapai convoluted tubulus. Bertahan disana dan dilepaskan melaliu urin. Leptospira dapat dijumpai dalam urin sekitar 8 hari sampai beberapa minggu setelah infeksi dan sampai berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun kemudian. Leptospira dapat dihilangkan dengan fagositosis dan mekanisme humoral. Kuman ini dengan cepat lenyap dari darah setelah terbentuknya agglutinin. Setelah fase leptospiremia 4-7 hari, mikro organism hanya dapat ditemukan dalam jaringan ginjal dan okuler. Leptospiuria berlangsung 1-4 minggu.Tiga mekanisme yang terlibat pada patogenesis leptospirosis : invasi bakteri langsung, faktor inflamasi non spesifik, dan reaksi immunologi.Masuk melalui luka di kulit, konjungtiva, Selaput mukosa utuh

Multiplikasi kuman dan menyebar melalui aliran darah

Kerusakan endotel pembuluh darah kecil : ekstravasasi Sel dan perdarahan

Perubahan patologi di organ/jaringan- Ginjal : nefritis interstitial sampai nekrosis tubulus, perdarahan.- Hati: gambaran non spesifik sampai nekrosis sentrilobular disertai hipertrofi dan hiperplasia sel Kupffer.- Paru: inflamasi interstitial sampai perdarahan paru- Otot lurik: nekrosis fokal- Jantung: petekie, endokarditis akut, miokarditis toksik- Mata: dilatasi pembuluh darah, uveitis, iritis, iridosiklitis.

2.6 PatologiDalam perjalanan pada fase leptospiremia, leptospira melepaskan toksin yang bertanggung jawab atas terjadinya keadaan patologi bagi beberapa organ. Lesi yang muncul terjadi karena kerusakan pada lapisan endotel kapiler. Pada leptospirosis terdapat perbadaan antara derajat gangguan fungsi organ dengan kerusakan secara histologik. Pada leptospirosis lesi histologi yang ringan ditemukan pada ginjal dan hati pasien dengan kelainan fungsional yang nyata dari organ tersebut. Perbedaan ini menunjukan bahwa kerusakan bukan berasal dari struktur organ. Lesi inflamasi menunjukan edema dan infiltrasi dari sel monosit, limfosit dan sel plasma. Pada kasus yang berat terjadi kerusakan kapiler dengan perdarahan yang luas dan disfungsi hepatoseluler dengan retensi bilier. Selain di ginjal, leptospira juga dapat bertahan pada otak dan mata. Leptospira dapat masuk ke dalam cairan cerebrospinalis dalam fase spiremia. Hal ini menyebabkan meningitis yang merupakan gangguan neurologi terbanyak yang terjadi sebagai komplikasi leptospirosis. Organ-organ yang sering dikenai leptospira adalah ginjal, hati, otot dan pembuluh darah.1Kelainan spesifik pada organ: Ginjal: interstitial nefritis dengan infiltrasi sel mononuclear merupakan bentuk lesi pada leptospirosis yang dapat terjadi tanpa gangguan fungsi ginjal. Gagal ginjal terjadi akibat nekrosis tubular akut. Adanya peranan nefrotoksisn, reaksi immunologis, iskemia, gagal ginjal, hemolisis dan invasi langsung mikro organism juga berperan menimbulkan kerusakan ginjal. Hati: hati menunjukan nekrosis sentrilobuler fokal dengan infiltrasi sel limfosit fokal dan proliferasi sel kupfer dengan kolestasis. Pada kasus-kasus yang diotopsi, sebagian ditemukan leptospira dalam hepar. Biasanya organisme ini terdapat diantara sel-sel parenkim. Jantung: epikardium, endokardium dan miokardium dapat terlibat. Kelainan miokardium dapat fokal atau difus berupa interstitial edema dengan infiltrasi sel mononuclear dan plasma. Nekrosis berhubungan dengan infiltrasi neutrofil. Dapat terjadi perdarahan fokal pada miokardium dan endikarditis. Otot rangka: Pada otot rangka, terjadi perubahan-perubahan berupa fokal nekrotis, vakuolisasi dan kehilangan striata. Nyari otot yang terjadi pada leptospira disebabkan invasi langsung leptospira. Dapat juga ditemukan antigen leptospira pada otot. Pembuluh darah: Terjadi perubahan dalam pembuluh darah akibat terjadinya vaskulitis yang akan menimbulkan perdarahan. Sering ditemukan perdarahan atau petechie pada mukosa, permukaan serosa dan alat-alat viscera dan perdarahan bawah kulit. Susunan saraf pusat: Leptospira muda masuk ke dalam cairan cerebrospinal (CSS) dan dikaitkan dengan terjdinya meningitis. Meningitis terjadi sewaktu terbentuknya respon antibody, tidak p-ada saat masuk CSS. Diduga terjadinya meningitis diperantarai oleh mekanisme immunologis. Terjadi penebalan meningen dengan sedikit peningkatan sel mononuclear arakhnoid. Meningitis yang terjadi adalah meningitis aseptic, biasanya paling sering disebabkan oleh L. canicola. Weil Desease. Weil disease adalah leptospirosis berat yang ditandai dengan ikterus, biasanya disertai perdarahan, anemia, azotemia, gangguan kesadaran dan demam tipe kontinua. Penyakit Weil ini biasanya terdapat pada 1-6% kasus dengan leptospirosis. Penyebab Weil disease adalah serotype icterohaemorragica pernah juga dilaporkan oleh serotype copenhageni dan bataviae. Gambaran klinis bervariasi berupa gangguan renal, hepatic atau disfungsi vaskular.12.7 Manifetasi KlinisMasa inkubasi penyakit ini berkisar antara 2 26 hari, biasanya 7 - 13 hari dan rata-rata 10 hari. Manifestasi yang sering: demam, menggigil, sakit kepala, meningismus, anoreksia, mialgia, conjungtivitis, mual, muntah, nyeri abdomen, ikterus, hepatomegali, ruam kulit, fotofobia. Sedangkan manifestasi yang jarang: pneumonitis, hemaptoe, delirium, perdarahan, diare, edema, splenomegali, artralgia, gagal ginjal, periferal neuritis, pankreatitis, parotitis, epididimytis, hematemesis, asites, miokarditis.1,2 Leptospirosis mempunyai 2 fase penyakit yang khas (bifasik) yaitu fase leptospiremia/septikemia dan fase imun. Fase Leptospiremia / fase septikemia (4-7 hari) Fase leptospiremia adalah fase ditemukannya leptospira dalam darah dan css, berlangsung secara tiba-tiba dengan gejala awal sakit kepala biasanya di frontal, rasa sakit pada otot yang hebat terutama pada paha, betis dan pingang disertai nyeri tekan pada otot tersebut. Mialgia dapat di ikuti dengan hiperestesi kulit, demam tinggi yang disertai mengigil, juga didapati mual dengan atau tanpa muntah disertai mencret, bahkan pada sekitar 25% kasus disertai penurunan kesadaran. Pada pemeriksaan keadaan sakit berat, bradikardi relatif, dan ikterus (50%). Pada hari ke 3-4 dapat di jumpai adanya conjungtivitis dan fotophobia. Pada kulit dapat dijumpai rash yang berbentuk macular, makulopapular atau urtikaria. Kadang-kadang dijumpai splenomegali, hepatomegali, serta limfadenopati. Fase ini berlangsung 4-7 hari. Jika cepat di tangani pasien akan membaik, suhu akan kembali normal, penyembuhan organ-organ yang terlibat dan fungsinya kembali normal 3-6 minggu setelah onset. Pada keadaan sakit yang lebih berat demam turun setelah 7 hari diikuti oleh bebas demam selama 1-3 hari, setelah itu terjadi demam kembali. Keadaan ini disebut fase kedua atau fase imun. Fase Imun (minggu ke-2) Fase ini disebut fase immune atau leptospiruric sebab antibodi dapat terdeteksi dalam sirkulasi atau mikroorganisme dapat diisolasi dari urin, namun tidak dapat ditemukan dalam darah atau cairan serebrospinalis. Fase ini muncul sebagai konsekuensi dari respon imun tubuh terhadap infeksi dan berakhir dalam waktu 30 hari atau lebih. Gejala yang muncul lebih bervariasi dibandingkan dengan gejala pada fase pertama. Berbagai gejala tersebut biasanya berlangsung selama beberapa hari, namun ditemukan juga beberapa kasus dengan gejala penyakit bertahan sampai beberapa minggu. Demam dan mialgia pada fase yang ke-2 ini tidak begitu menonjol seperti pada fase pertama. Sekitar 77% pasien dilaporkan mengalami nyeri kepala hebat yang nyaris tidak dapat dikonrol dengan preparat analgesik. Nyeri kepala ini seringkali merupakan tanda awal dari meningitis.1Anicteric disesase ( meningitis aseptik ) merupakan gejala klinik paling utama yang menandai fase imun anicteric Gejala dan keluhan meningeal ditemukan pada sekitar 50 % pasien. Namun, cairan cerebrospinalis yang pleiositosis ditemukan pada sebagian besar pasien. Gejala meningeal umumnya menghilang dalam beberapa hari atau dapat pula menetap sampai beberapa minggu. Meningitis aseptik ini lebih banyak dialami oleh kasus anak-anak dibandingkan dengan kasus dewasa.Icteris disease merupakan keadaan di mana leptospira dapat diisolasi dari darah selama 24-48 jam setelah warna kekuningan timbul. Gejala yang ditemukan adalah nyeri perut disertai diare atau konstipasi ( ditemukan pada 30 % kasus ), hepatosplenomegali,mual, muntah dan anoreksia. Uveitis ditemukan pada 2-10 % kasus, dapat ditemukan pada fase awal atau fase lanjut dari penyakit. Gejala iritis, iridosiklitis dan khorioretinitis ( komplikasi lambat yang dapat menetap selama beberapa tahun ) dapat muncul pada minggu ketiga namun dapat pula muncul beberapa bulan setelah awal penyakit.Komplikasi mata yang paling sering ditemukan adalah hemoragia subconjunctival, bahkan leptospira dapat ditemukan dalam cairan aquaeous. Keluhan dan gejala gangguan ginjal seperti azotemia, piuria, hematuria, proteinuria dan oliguria ditemukan pada 50 % kasus. Manifestasi paru ditemukan pada 20-70 % kasus. Selain itu, limfadenopati, bercak kemerahan dan nyeri otot juga dapat ditemukan. Fase Penyembuhan / Fase reconvalesence (minggu ke 2-4) Demam dan nyeri otot masih bisa dijumpai yang kemudian berangsur-angsur hilang.1

PrognosisMortalitas pada leptospirosis berat sekitar 10%,kematian paling sering disebabkan karena gagal ginjal,perdarahan masifatau ARDS. Fungsi hati dan ginjalakan kembali normal, meskipun terjadi disfungsi berat,bahkan pada pasien yang menjalani dialisis.Sekitarsepertiga kasus yang menderita meningitis aseptik dapatmengalami nyeri kepala secara periodik. Beberapapasien dengan riwayat uveitis leptospirosis mengalamikehilangan ketajaman penglihatan dan pandanganyang kabur.

BAB IIIKESIMPULAN

1. Leptospirosis merupakan penyakit infeksi yang disebabkanoleh bakteri leptospira yang ditularkan melalui urin hewan yang terinfeksi ataupun lingkungan yang terkontaminasi.2. Tanda dan gejala penderita leptospirosis dapat berupa demam, menggigil, kelemahan otot, mual, muntah, fotofobia.3. Pembagian Leptospirosis berdasarkan gejala klinis, terbagi atas dua, yaitu leptospirosis dengan gejala ataupun leptospirosis tanpa gejala (asimptomatis)4. Pasien yangterinfeksi leptospiradapat sembuh denganbaik bila ditanagani dengan cepat. Hanya pasien dengan gejalai kterik yang dapatmeningkatkan angka mortalitas

SARAN1. Selalu jagakebersihandiri danlingkungan.Terutama orang-orang dengan risiko tinggi.2. Tanda dan gejala leptospirosishampir sama dengan denguefever, oleh sebab itu perlu pemeriksaan yang teliti danpemeriksaan pennjang lebih lanjut supaya dapat terdiagnosadengan tepat dan memberikan modalitas terapi engan cepat.

DAFTAR PUSTAKA1. Zein Umar. 2014. Leptospirosis, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I, edisi 6. FKUI : Jakarta. Hal.633-638.2. Speelman, Peter. 2005. Leptospirosis, Harrisons Principles of Internal Medicine, 16th ed, vol I. McGraw Hill : USA. Pg.988-991.3. Fauci, Braunwald, Kasper, et al. 2008. Harrisons Principles of InternalMedicine 17th Edition. The McGraw-Hill Companies: New York