BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Rabies merupakan penyakit virus akut dari sistem saraf pusat yang
mengenai semua mamalia dan ditularkan oleh sekresi yang terinfeksi
biasanya saliva. Sebagian besar pemajanan terhadap rabies melalui gigitan
binatang yang terinfeksi, tapi kadang aerosol virus atau proses pencernaan
atau transplantasi jaringan yang terinfeksi dapat memulai proses penyakit.1
Virus yang menjadi penyebabnya adalah virus neurotropik, yang hanya
dapat berkembang biak di dalam jaringan saraf. Ukuran virus antara 100-150
milimikron. Virus ini tahan terhadap kekeringan, akan tetapi mudah
dimatikan dengan menggunakan antiseptic, sinar matahari langsung,
pemanasan, dan radiasi dengan menggunakan sinar ultraviolet. Masa inkubasi
pada hewan sekitar 3-6 minggu setelah gigitan hewan rabies, sedangkan pada
manusia tergantung dari parah tidaknya luka gigitan, jauh tidaknya luka
dengan susunan saraf pusat, banyaknya saraf pada luka, jumlah virus yang
masuk, serta jumlah luka gigitan.1
Secara umum, penularan rabies terjadi diakibatkan infeksi karena
gigitan binatang. Namun rabies juga dapat menular melalui beberapa cara
antara lain melalui cakaran hewan, sekresi yang mengkontaminasi membrane
mukosa, virus yang masuk melalui rongga pernapasan, dan transplantasi
kornea. Virus rabies menyerang jaringan saraf, dan menyebar hingga system
saraf pusat, dan dapat menyebabkan encephalomyelitis (radang yang
mengenai otak dan medulla spinalis).2
Distribusi rabies tersebar di seluruh dunia dan hanya beberapa negara
yang bebas rabies seperti Australia, sebagian besar Skandinavia, Inggris,
Islandia, Yunani, Portugal, Uruguay, Chili, Papua Nugini, Brunai, Selandia
Baru, Jepang, dan Taiwan. Di Indonesia sampai akhir tahun 1977 rabies
tersebar di 20 provinsi dan 7 provinsi dinyatakan bebas rabies adalah Bali,
NTB, NTT, Maluku, Irian Jaya dan Kalimantan Barat. Data tahun 2001
1
menunjukkan terdapat 7 provinsi yang bebas rabies adalah Jawa tengah, Jawa
timur, Kalimantan Barat, Bali, NTB, Maluku dan Irian Jaya.1
Kematian karena infeksi virus rabies boleh dikatakan 100% bila virus
sudah mencapai sistem saraf pusat. Dari tahun 1857 sampai tahun 1972 dari
kepustakaan dilaporkan 10 pasien yang sembuh dari rabies namun sejak tahun
1972 hingga sekarang belum ada pasien rabies yang dilaporkan hidup.
Prognosis seringkali fatal karena sekali gejala rabies telah tampak hampir
selalu kematian terjadi 2-3 hari sesudahnya sebagai akibat gagal nafas atau
henti jantung ataupun paralisis generalisata. Berbagai penelitian dari tahun
1986 hingga 2000 yang melibatkan lebih dari 800 kasus gigitan anjing
pengidap rabies di negara endemis yang segera mendapat perawatan luka,
pemberian VAR dan SAR, mendapatkan angka survival 100%.3
Tidak ada terapi untuk penderita yang sudah menunjukkan gejala
rabies; penanganan hanya berupa tindakan suportif dalam penanganan gagal
jantung dan gagal nafas. Walaupun tindakan perawatan intensif umumnya
dilakukan, hasilnya tidak menggembirakan. perawatan intensif hanyalah
metode untuk memperpanjang dan bila mungkin menyelamatkan hidup
pasien dengan mencegah komplikasi respirasi dan kardiovaskuler yang sering
terjadi. Oleh karena itu diperlukan tindakan penanganan yang efektif dan
efisien baik penanganan profilaksis pra pajanan maupun penanganan pasca
pajanan, sehingga akibat buruk akibat virus ini dapat diminimalkan.4
B. Tujuan
Untuk dapat menjelaskan penyakit rabies mulai dari definisi, etiologi,
epidemiologi, perjalanan penyakit hingga penanganan dan prognosis dari
penyakit ini.
BAB II
2
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Rabies adalah penyakit hewan yang disebabkan oleh virus, bersifat akut
serta menyerang susunan saraf pusat.5 Rabies adalah suatu infeksi virus pada
otak yang menyebabkan iritasi dan peradangan otak dan medulla spinalis.
Nama lain untuk rabies hydrophobia, la rage (Perancis), la rabbia (Italia), la
rabia (Spanyol), die tollwut (Jerman) atau di Indonesia terkenal dengan nama
penyakit Anjing Gila.4
Menurut cara penularannya rabies termasuk golongan zoonosis
langsung (direct zoonosis) yaitu zoonosis yang hanya memerlukan satu jenis
vertebrata saja untuk kelangsungan hidupnya, dan agen penyebab penyakit
hanya sedikit berubah atau tidak mengalami perubahan sama sekali selama
penularan. Sedangkan menurut reservoir utamanya rabies digolongkan dalam
antropozoonosis, yaitu penyakit yang secara bebas berkembang di alam di
antara hewan-hewan. Menurut agen penyebabnya rabies merupakan zoonosis
kausa viral. Rabies dapat ditularkan oleh satwa liar (wild life zoonosis),
hewan piaraan (domesticated animal zoonosis) maupun hewan yang hidup
dipemukiman manusia (domiciliated zoonosis).1
Penularan rabies biasanya terjadi melalui gigitan hewan yang telah
terinfeksi, pencemaran luka segar atau selaput lendir dengan saliva atau otak
hewan yang telah terinfeksi. Pada kasus tertentu penularan melalaui udara
dapat juga terjadi. Virus ini berkembang biak dalam kelenjar ludah. Sangat
peka terhadap pelarut yang bersifat alkalis seperti sabun, desinfektan, alkohol,
dan lain-lain. Sistem yang diserang adalah sistem saraf (clinical encephalitis)
yang dapat bersifat paralitik/furious dan glandula salivarius (mengandung
sejumlah besar partikel virus yang berada di saliva).1
B. Etiologi
3
Virus rabies merupakan virus RNA, termasuk dalam familia
Rhabdoviridae, genus Lyssa. Virus berbentuk peluru dengan salah satu
ujungnya berbentuk kerucut dan pada potongan melintang berbentuk bulat
atau elip (lonjong). Virus tersusun dari ribonukleokapsid dibagian tengah,
memiliki membran selubung (amplop) di bagian luarnya yang pada
permukaannya terdapat tonjoloan (spikes) yang jumlahnya lebih dari 500
buah. Pada membran selubung (amplop) terdapat kandungan lemak yang
tinggi (glikoprotein). Virus berukuran panjang 180 nm, diameter 75 nm,
tonjolan berukuran 9 nm, dan jarak antara spikes 4-5 nm.2
Amplop glikoprotein tersusun dalam struktur seperti tombol yang
meliputi permukaan virion. Glikoprotein virus terikat pada reseptor
asetilkolin, menambah neurovirulensi virus rabies, membangkitkan antibody
neutralisasi dan antibody penghambat hemaglutinasi, dan merangsang
imunitas sel T. antigen nukleokapsid merangsang antibody yang mengikat
komplemen. Antibody netralisasi pada permukaan glikoprotein tampaknya
bersifat protektif. Antibodi antirabies digunakan pada analisis
imunofluororescent diagnostic yang umumnya ditujukan pada antigen
nukleokapsid. Isolasi virus rabies dari spesies binatang yang berbeda dan
memiliki perbedaan sifat antigenik dan biologik. Variasi-variasi ini
bertanggung jawab terhadap perbedaan dalam virulensi antara isolasi.
Interferon diinduksi oleh virus rabies, khususnya dalam jaringan dengan
konsentrasi virus yang tinggi, dan berperan dalam memperlambat infeksi
yang progresif.1
Virus peka terhadap sinar ultraviolet, zat pelarut lemak, alkohol 70%,
yodium, fenol dan klorofrom. Virus dapat bertahan hidup selama 1 tahun
dalam larutan gliserin 50%. Pada suhu 600ºC virus mati dalam waktu 1 jam
dan dalam penyimpanan kering beku (freezedried) atau pada suhu 40ºC dapat
tahan selama bebarapa tahun.2 Virus juga akan mati dengan deterjen, sabun,
etanol 45%, solusi jodium. Virus rabies dan virus lain yang sekeluarga
dengan rabies diklasifikan menjadi 6 genotipe. Rabies merupakan genotipe 1,
mokola genotipe 3, Duvenhage genotipe 4, dan European bat lyssa-virus
genotipe 5 dan 6. 4
4
Gambar 1. Gambar Struktur Virus Rabies
Keterangan : Virus rabies dengan bentuk seperti peluru yang dikelilingi oleh paku-paku
glikoprotein. Glikonukleoproteinnya tersusun dari nukleoprotein, phosphorylated atau
phosphoprotein dan polimerase. Diagram melintang ini menunjukkan lapisan konsentrik
yaitu amplop dengan membran ganda, protein m dan digulung dalam RNA.
C. Sejarah
Rabies merupakan penyakit hewan yang sangat terkenal, bahkan sudah
dikenal sejak ribuan tahun sebelum masehi. Prasasti rabies yang berisikan
aturan denda bagi pemilik anjing, yang positif rabies menggigit manusia
hingga mati telah dibuat pada zaman kekuasaan raja Hamurabi (2300 SM).
Rabies pada anjing dan kucing telah digambarkan oleh Democritus (500 SM)
dan Aristoteles (322 SM), Celcus (100 tahun sesudah masehi) untuk pertama
kalinya memperkenalkan hubungan antara gejala takut air (hidrofobia) pada
manusia dengan rabies pada hewan.6
Di Indonesia rabies pertama kali dilaporkan pada kerbau oleh Esser
(1884), kemudian oleh Penning pada anjing (1889) dan oleh E. V. De Haan
pada manusia (1894), selanjutnya selama pendudukan Jepang situasi daerah
tertular rabies tidak diketahui dengan pasti, namun setelah Perang Dunia II
peta rabies di Indonesia berubah. Secara kronologis tahun kejadian penyakit
rabies mulai di Jawa Barat (1948), Sumatera Barat, Jawa Tengah dan Jawa
Timur (1953), Sumatera Utara (1956), Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara
(1958), Sumatera Selatan (1959), D.I. Aceh (1970), Jambi dan Yogyakarta
5
(1971), Bengkulu, DKI Jakarta dan Sulawesi Tenggara (1972), Kalimantan
Timur (1974), Riau (1975), Kalimantan Tengah (1978), Kalimantan Selatan
(1983) dan P. Flores (1997).6
Pada akhir tahun 1997, KLB (Kejadian Luar Biasa) rabies muncul di
Kab. Flores Timur, NTT sebagai akibat pemasukan secara ilegal anjing dari
pulau Buton-Sulawesi Tenggara yang merupakan daerah endemik rabies.
Sampai dengan saat ini selain beberapa provinsi di kawasan Timur Indonesia
yang tersebut diatas Pulau-pulau kecil di sekeliling Pulau Sumatera masih
dinyatakan bebas rabies.6
D. Epidemiologi
Rabies terdapat dalam dua bentuk epidemiologik yaitu urban, yang
disebarluaskan terutama oleh anjing, dan/atau kucing rumah yang tidak
diimunisasi, dan sylvatic, yang disebarluaskan oleh sigung (skunk), rubah,
raccoon, luwak (mongoos), serigala, dan kelelawar. Infeksi pada binatang
yang jinak biasanya menunjukkan kelebihan reservoar infeksi sylvatic, dan
manusia dapat terinfeksi oleh salah satunya. Oleh karena itu infeksi pada
manusia cenderung terjadi pada tempat rabies bersifat enzootik atau
epizootik, yaitu jika terdapat banyak populasi binatang jinak yang tidak
diimunisasi, dan manusia kontak dengan udara terbuka.4
Rabies telah menyebabkan kematian pada orang dalam jumlah yang
cukup banyak. Tahun 2000, World Health Organization (WHO)
memperkirakan bahwa setiap tahun di dunia ini terdapat sekurang-kurangnya
50.000 orang meninggal karena rabies. Rabies bisa terjadi disetiap musim
atau iklim, dan kepekaan terhadap rabies kelihatannya tidak berkaitan dengan
usia, seks atau ras.7
Di Amerika Serikat rabies terutama terjadi pada musang, raccoon,
serigala dan kelelawar. Rabies serigala terdapat di Kanada, Alaska dan New
York. Kelelawar penghisap darah (vampir), yang menggigit ternak
merupakan bagian penting siklus rabies di Amerika latin. Eropa mempunyai
rabies serigala, di Asia dan Afrika masalah utamanya adalah anjing gila.7
Beberapa daerah di Indonesia yang saat ini masih tertular rabies
sebanyak 16 propinsi, meliputi Pulau Sumatera (Sumatera Utara, Sumatera
6
Barat, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, dan Lampung), Pulau Sulawesi
(Gorontalo, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan dan Sulawesi
Tenggara), Pulau Kalimantan (Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan
Kalimantan Timur) dan Pulau Flores. Kasus terakhir yang terjadi adalah
Propinsi Maluku (Kota Ambon dan Pulau Seram).8
Provinsi DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat telah dinyatakan bebas
dari rabies melalui SK Menteri Pertanian No. 566 Tahun 2004, Banten sejak
tahun 1996, dan provinsi Jawa Barat sejak tahun 2001. Dengan diterbitkannya
SK Mentan bebas rabies ini, maka seluruh pulau Jawa telah bebas rabies
karena Jawa Timur, Jawa Tengah, dan DI Yogyakarta telah lebih dahulu
dibebaskan berdasarkan SK Mentan No. 897 Tahun 1997.25 Daerah yang
secara historis bebas rabies (belum pernah ada kasus) adalah provinsi Bali,
Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur (kecuali Pulau Flores),
Kalimantan Barat, Papua, Irian Jaya Barat, Maluku Utara, Kepulauan Riau
dan Kepulauan Bangka Belitung dan sampai saat ini tetap dapat
dipertahankan bebas rabies.8
Manusia yang menderita rabies selalu berakhir dengan kematian (100%
Case Fatality Rate), gigitan oleh anjing menempati persentase tertinggi
(99,4%) diikuti kucing (0,29%) dan hewan lain, kera dan hewan piaraan atau
liar lainnya (0,31%). Bagian tubuh manusia yang digigit meliputi kepala
(5%), tangan (28%), kaki (57%), dan lain-lain (10%).7,8
E. Patogenesis
Virus rabies masuk ke dalam tubuh melalui luka atau kontak langsung
dengan selaput mukosa dengan rasio gigitan dan cakaran sebesar 50:1. Virus
rabies tidak bisa menembus kulit yang utuh. Virus rabies membelah diri
dalam otot atau jaringan ikat pada tempat inokulasi dan kemudian memasuki
saraf tepi pada sambungan neuromuskuler. Setelah virus menempel pada
reseptor nikotinik asetilkolin lalu virus menyebar secara sentripetal melalui
serabut saraf motorik dan juga serabut saraf sensorik tipe cepat dengan
kecepatan 50 sampai 100 mm per hari. Setelah melewati medulla spinalis,
virus bereplikasi pada motor neuron dan ganglion sensoris, akhirnya
mencapai otak. Kolkisin dapat menghambat secara efektif transport akson
7
tipe cepat tersebut. Virus melekat atau menempel pada dinding sel inang.
Virus rabies melekat pada sel melalui duri glikoproteinnya, reseptor
asetilkolin nikotinat dapat bertindak sebagai reseptor seluler untuk virus
rabies. Kemudian secara endositosis virus dimasukkan ke dalam sel inang.
Pada tahap penetrasi, virus telah masuk kedalam sel inang dan melakukan
penyatuan diri dengan sel inang yang ditempati, terjadilah transkripsi dan
translasi.5
Gambar 2. Perjalanan penyakit rabies
Genom RNA untai direkam oleh polimerase RNA terkait, varion
menjadi 5 spesies mRNA.
Genom ini merupakan cetakan untuk perantara replikatif yang menimbulkan
pembentukan RNA keturunan. RNA genomik berhubungan dengan
transkriptase virus, fosfoprotein dan nukleoprotein. Setelah enkapsidasi,
8
partikel berbentuk peluru mendapatkan selubung melalui pertusan yang
melalui selaput plasma.5
Protein matriks virus membentuk lapisan pada sisi dalam selubung,
sementara glikoprotein virus berada pada selaput luar dan membentuk duri.
Setelah bagian-bagian sel lengkap, sel virus tadi menyatukan diri kembali dan
membentuk virus baru yang menginfeksi inang yang lainnya, kemudian
melanjutkan diri bergerak secara sentripetal sebagai sub viral, tanpa
nukleoplasmid menuju jaringan otak. Setelah melewati medula spinalis virus
akan menginfeksi tegmentum batang otak dan nukleus selebelaris batang otak
selanjutnya virus akan menyebar ke sel purkinye serebelum, diencephalon,
basal ganglia dan akhirnya menuju hipokampus terjadi lebih lambat dengan
girus dentatus yang relatif tidak terinfeksi. Virus rabies tidak bisa
menginfeksi sel granuler pada girus dentatus yang sebagian besar
mengandung reseptor AMPAdan Kainate.8
Gambar 3. Replikasi dan siklus infeksi virus
9
Jika virus telah mencapai otak, maka ia akan memperbanyak diri dan
menyebar kedalam semua bagian neuron, terutama mempunyai predileksi
khusus terhadap sel-sel sistim limbik, hipotalamus, dan batang otak. Khusus
mengenai system limbik dimana berfungsi erat dengan pengontrolan dan
kepekaan emosi. Akibat dari pengaruh infeksi sel-sel dalam sistim limbic ini,
pasien akan menggigit mangsanya tanpa ada provokasi dari luar. Setelah
memperbanyak diri dalam neuron-neuron sentral virus kemudian bergerak ke
perifer dalam serabut aferen dan pada serabut saraf volunter maupun otonom.
Dengan demikian, virus dapat menyerang hampir seluruh jaringan dan organ
tubuh dan berkembang biak dalam jaringan seperti kelenjar ludah. Virus
rabies menyebar menuju multi organ melalui neuron otonom dan
sensorik terutama melibatkan jalur parasimpatis yang bertanggung jawab atas
infeksi pada kelenjar ludah, kulit, jantung, dan organ lain. Replikasi di luar
sel saraf terjadi pada kelenjar ludah, lemak coklat, dan kornea. Kepekaan
terhadap infeksi dan masa inkubasinya bergantung pada latar belakang
genetik inang, strain virus yang terlibat, konsentrasi reseptor virus pada sel
inang, jumlah inokulum, beratnya laserasi, dan jarak yang harus ditempuh
virus untuk bergerak dari titik masuk ke susunan saraf pusat. Gambaran yang
paling menonjol dalam infeksi rabies adalah terdapatnya badan negri yang
khas yang terdapat dalam sitoplasma sel ganglion besar.7
Gambar 4. Negri body di neuron
10
11
Gambar 5. Skema patogenesis infeksi virus rabies.
Keterangan : Nomor pada gambar menunjukkan urutan kejadian.
F. Masa Inkubasi
Masa inkubasi rabies pada anjing 10-15 hari, dan pada hewan lain 3-6
minggu kadang-kadang berlangsung sangat panjang 1-2 tahun. Masa inkubasi
pada manusia yang khas adalah 1-2 bulan tetapi bisa 1 minggu atau selama
beberapa tahun (mungkin 6 tahun atau lebih). Biasanya lebih cepat pada
anak-anak dari pada dewasa. Kasus rabies manusia dengan periode inkubasi
yang panjang (2-7 tahun) telah dilaporkan, tetapi jarang terjadi.4,5,11
Masa inkubasi bisa tergantung pada umur pasien, latar belakang
genetik, status immun, strain virus yang terlibat, dan jarak yang harus
ditempuh virus dari titik pintu masuknya ke susunan saraf pusat.5 Masa
inkubasi tergantung dari lamanya pergerakan virus dari luka sampai ke otak,
pada gigitan dikaki masa inkubasi kira kira 60 hari, pada gigitan di tangan
masa inkubasi 40 hari, pada gigitan di kepala masa inkubasi kira-kira 30
hari.4,5,11
G. Gejala Klinis
1. Pada Hewan
Gejala klinis pada hewan dibagi menjadi tiga stadium:8,9,11
a. Stadium Prodromal
Keadaan ini merupakan tahapan awal gejala klinis yang dapat
berlangsung antara 2-3 hari. Pada tahap ini akan terlihat adanya
perubahan temperamen yang masih ringan. Hewan mulai mencari
tempat-tempat yang dingin/gelap, menyendiri, reflek kornea
berkurang, pupil melebar dan hewan terlihat acuh terhadap tuannya.
Hewan menjadi sangat perasa, mudah terkejut dan cepat berontak
bila ada provokasi. Dalam keadaan ini perubahan perilaku mulai
diikuti oleh kenaikan suhu badan.
12
b. Stadium Eksitasi
Tahap eksitasi berlangsung lebih lama daripada tahap
prodromal, bahkan dapat berlangsung selama 3-7 hari. Hewan mulai
garang, menyerang hewan lain ataupun manusia yang dijumpai dan
hipersalivasi. Dalam keadaan tidak ada provokasi hewan menjadi
murung terkesan lelah dan selalu tampak seperti ketakutan. Hewan
mengalami fotopobi atau takut melihat sinar sehingga bila ada
cahaya akan bereaksi secara berlebihan dan tampak ketakutan.
c. Stadium Paralisis
Tahap paralisis ini dapat berlangsung secara singkat, sehingga
sulit untuk dikenali atau bahkan tidak terjadi dan langsung berlanjut
pada kematian. Hewan mengalami kesulitan menelan, suara parau,
sempoyongan, akhirnya lumpuh dan mati.
2. Pada Manusia
Gejala klinis pada manusia dibagi menjadi empat stadium:8,9
a. Stadium Prodromal
Gejala awal yang terjadi sewaktu virus menyerang susunan
saraf pusat adalah perasaan gelisah, demam, malaise, mual, sakit
kepala, gatal, merasa seperti terbakar, kedinginan, kondisi tubuh
lemah dan rasa nyeri di tenggorokan selama beberapa hari.
b. Stadium Sensoris
Penderita merasa nyeri, rasa panas disertai kesemutan pada
tempat bekas luka kemudian disusul dengan gejala cemas dan reaksi
yang berlebihan terhadap ransangan sensoris.
c. Stadium Eksitasi
Tonus otot-otot akan aktivitas simpatik menjadi meninggi
dengan gejala berupa eksitasi atau ketakutan berlebihan, rasa haus,
ketakutan terhadap rangsangan cahaya, tiupan angin atau suara
keras. Umumnya selalu merintih sebelum kesadaran hilang.
Penderita menjadi bingung, gelisah, rasa tidak nyaman dan ketidak
beraturan. Kebingungan menjadi semakin hebat dan berkembang
13
menjadi argresif, halusinasi, dan selalu ketakutan. Tubuh gemetar
atau kaku kejang.
d. Stadium Paralis
Sebagian besar penderita rabies meninggal dalam stadium
eksitasi. Kadangkadang ditemukan juga kasus tanpa gejala-gejala
eksitasi, melainkan paresis otot-otot yang bersifat progresif. Hal ini
karena gangguan sumsum tulang belakang yang memperlihatkan
gejala paresis otot-otot pernafasan.
H. Tipe Rabies Pada Anjing
Anjing muda lebih relatif lebih peka dibandingkan hewan dewasa. Masa
inkubasi rata-rata 3-6 minggu dengan variasi yang tinggi, dapat 10 hari atau 6
bulan, jarang kurang dari 2 minggu atau lebih dari 4 bulan. Virus rabies
dijumpai pada air liur anjing segera setelah gejala klinis tampak.8,9
Ada tiga tipe rabies pada hewan yaitu:
1. Rabies Ganas
- Tidak menuruti lagi perintah pemilik.
- Air liur keluar berlebihan.
- Hewan menjadi ganas, menyerang, atau menggit apa saja yang
ditemui dan ekor dilekungkan kebawah perut diantara dua paha.
- Kejang-kejang kemudian lumpuh, biasanya mati setelah 4-7 hari
sejak timbul atau paling lama 12 hari setelah penggigitan.
2. Rabies Tenang
- Bersembunyi di tempat gelap dan sejuk.
- Kejang-kejang berlangsung singkat bahkan sering tidak terlihat.
- Kelumpuhan tidak mampu menelan, mulut terbuka dan air liur
keluar berlebihan.
- Kematian terjadi dalam waktu singkat.
3. Bentuk Asimtomatis:
Hewan tidak menunjukkan gejala sakit dan atau hewan tiba-tiba mati.
Pada anjing dan kucing biasanya bersifat ganas. Masa inkubasi 10-60
hari namun bisa juga lebih lama. Air liur binatang sakit yang mengandung
14
virus menularkan virus melalui gigitan atau cakaran. Rabies pada kucing
mempunyai gejala atau tanda-tanda yang hampir sama dengan gejala pada
anjing, seperti menyembunyikan diri, banyak mengeong, mencakar-cakar
lantai dan menjadi agresif. Pada 2-4 hari setelah gejala pertama biasa terjadi
kelumpuhan, terutama di bagian belakang.8,9
I. Diagnosis
Diagnosis rabies hanya berdasarkan gejala klinis sangat sulit dan
kurang bisa dipercaya, kecuali terdapat gejala klinis yang khas yaitu
hidrofobia dan aerofobia. Diagnosis pasti rabies hanya bisa didapat dengan
pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan penunjang lainnya yang dapat
dikerjakan:5,9
1. Darah rutin
Dapat ditemukan peningkatan leukosit (8000-13000/mm)
dan penurunan hemoglobin serta hematokrit.
2. Urinalisis
Dapat ditemukan albuminuria dan sedikit leukosit.
3. Mikrobiologi
Kultur virus rabies dari air liur penderita dalam waktu 2 minggu setelah
onset.
4. Histologi
Dapat ditemukan tanda patognomonik berupa badan Negri (badan
inklusi dalam sitoplasma eosinofil) pada sel neuron, terutama pada kasus
yang divaksinasi dan pasien yang dapat bertahan hidup setelah lebih dari
2 minggu. Antigen, badan negri dan virus banyak ditemukan pada sel
saraf (neuron) sedangkan kelenjar ludah dapat mengandung antigen dan
virus tetapi badan negri tidak selalu dapat ditemukan pada kelenjar ludah
anjing. Adanya kontaminasi pada specimen dapat mengganggu
pemeriksaan dan khususnya untuk ”isolasi virus” pengiriman harus
dilakukan sedemikian rupa sehingga kelestarian hidup virus dalam
specimen tetap terjamin sampai ke laboratorium. Bahan pemeriksaan
dapat berupa seluruh kepala, otak, hippocampus, cortex cerbri dan
cerebellum, preparat pada gelas objek dan kelenjar ludah. Bila negri body
15
tidak ditemukan, supensi otak (hippocampus) atau kelenjar ludah sub
maksiler diinokulasikan intrakranial pada hewan coba (suckling animals),
misalnya hamster, tikus (mice) atau kelinci (rabbits).
5. Serologi
DFA Testing and RT-PCR melalui biopsi kulit, Reverse-
Transcription Polymerase Chain Reaction (RTPCR) dalam saliva.
6. Cairan serebrospinal
Rabies Virus–Specific Antibodies dalam serum dan LCS (Rapid
fluorescent focus inhibition test/RFFIT), dapat ditemukan monositosis
sedangkan protein dan glukosa dalam batas normal. Namun, pada
pemeriksaan laboratorium, yang merupakan gold standar untuk diagnosis
rabies adalah pemeriksaan dengan teknik fluorescent antibody (FA).
Deteksi nukleokapsid dengan ELISA merupakan tes yang cepat dan
jugadapat digunakan maupun dilakukan pada survei epidemiologi.
J. Diagnosis Banding
Rabies harus dipertimbangkan sebagai penyebab pada semua penderita
dengan gejalan eurologik, psikiatrik atau laringofaringeal yang tak bisa
dijelaskan, khususnya bila terjadi didaerah endemis atau orang yang
mengalami gigitan binatang pada daerah endemis rabies.4
Penderita rabies harus dibedakan dengan rabies histerik yaitu suatu
reaksi psikologik orang-orang yang terpapar dengan hewan yang diduga
mengidap rabies. Penderita dengan rabies histerik akan menolak jika
diberikan minum (pseudohidropobia) sedangkan pada penderita rabies sering
merasa haus.4
Tetanus dapat dibedakan dengan rabies melalui masa inkubasinya yang
pendek, adanyatrismus, kekakuan otot yang persisten diantara spasme, status
mental normal, cairan serebrospinal biasanya normal dan tidak terdapat
hidropobia. Ensefalitis dapat dibedakan dengan metode pemeriksaan virus
dan tidak dijumpai hidropobia.4
Rabies paralitik dapat dikelirukan dengan Syndroma Guillain Barre
transverse myelitis, japanese ensefalitis, herpes simpleks ensefalitis,
16
poliomielitis atau ensefalitis post vaksinasi. Pada poliomielitis saat timbul
gejala neurologik sudah tidak ada demam, dan tidak ada gangguan sensorik
ensefalitis post vaksinasi rabies terjadi 1:200-1:1600 pada vaksinasi nerve
tissue rabiesvaccine, dibedakan dengan mulai timbulnya gejala cepat, dalam
2 minggu setelah dosis pertama. Pemeriksaan neurologik yang teliti dan
pemeriksaan laboratorium berupa isolasi virusakan membantu diagnosis.4
Diagnosa banding dalam kasus pasien suspek rabies meliputi banyak
penyebab dariensephalitis, yang pada umumnya karena infeksi dari virus
seperti herpesvirus, enterovirus, danarbovirus. Virus yang sangat penting
untuk dijadikan diagnosa banding adalah herpes simpleks tipe 1, varicella
zooster. Faktor epidemilogik seperti cuaca, lokasi geografi, umur pasien,
riwayat perjalanan, dan pajanan yang mungkin untuk tergigit binatang dapat
membantu menolong penegakan diagnosa.1
K. Penatalaksanaan
Penanganan luka gigitan hewan penular rabies setiap ada kasus gigitan
hewan penular rabies (anjing, kucing, kera) harus ditangani dengan tepat
dan sesegera mungkin.
1. Berikut ini beberapa tips dan langkah-langkah penanganan luka gigitan:
Segera luka dibersihkan, bisa menggunakan sabun/deterjen, dibilas
dengan air bersih mengalir 5-10 menit. Lalu dikeringkan dgn kain/tissue
bersih dan dapat ditambahkan antiseptik betadin ataupun alkohol 70%.
2. Segera ke Puskesmas/Rabies Center/Rumah Sakit untuk mencari
pertolongan selanjutnya.
Di Puskesmas/Rabies Center/ Rumah Sakit dilakukan:
1. Ulangi cuci luka gigitan dengan sabun, detergent lain di air mengalir
selama 10-15 menit dan beri anti septik (betadine, alkohol 70 %, obat
merah, dan lain-lain).
2. Lakukan eksplorasi pada luka. Lakukan pembersihan dengan NaCl 0,9%,
atau dengan H2O2 3%.
3. Luka yang ada jangan dijahit, kalau luka terlalu lebar bisa dilakukan
penjahitan
17
secara longgar dengan menggunakan benang non absorbable, dan
dipasang drain.
3. Pemberian vaksin rabies, 0,5 ml im pada hari 1, 3, 7, 14 dan hari ke-28 .
Tidak ada pembedaan dosis untuk anak-anak dan dewasa.
4. Dapat dikombinasikan dengan antibiotik, untuk mencegah adanya infeksi
kuman atau bakteri yang lain.
1. VAR (Vaksin Anti Rabies)
a. Purified Vero Rabies Vaccine (PVRV)
- Produksi Institute Merieux Perancis (Verorab).
- Kemasan : Vaksin terdiri dari vaksin kering dalam vial dan
pelarut sebanyak 0,5 ml dalam syringe.
- Dosis : Dewasa/anak sama yaitu hari ke 0 (pertama berkunjung
ke Puskesmas/Rabies Center/Rumah Sakit). Diberikan 2 dosis
masing-masing 0,5 ml diberikan intramuskuler di deltoideus
kanan/kiri. Hari ke 7 dan 21 diberikan 0,5 ml lagi secara
intramuskuler di deltoideus kanan/kiri. Apabila VAR Verorab +
SAR perlu diberikan booster pada hari ke 90.
- Dosis dan cara pemberian sesudah digigit (Post Exposure
Treatment).
Vaksinasi Dosis Waktu pemberian
Dasar 0,5 ml 0,5 ml 4x Pemberian :
Hari Ke-0 : 2x sekaligus
(Deltoid Kiri dan Kanan)
Hari Ke 7 dan Ke 21
Ulangan 0,5 ml 0,5 ml Hari Ke-90
b. Suckling Mice Brain Veccine (SMBV)
- Produksi Bio Farma Bandung.
- Kemasan : Dosis berisi 7 vial @ 1 dosis dan 7 ampul pelarut @
2 ml dan Dos berisi 5 ampul @ 1 dosis intra cutan dan 5 ampul
pelarut @ 0,4 ml.
18
- Cara pemberian : Untuk vaksinasi dasar disuntikkan secara
subcutan (sc) di sekitar daerah pusar. Sedangkan untuk vaksinasi
ulang disuntikkan secara intracutan (ic) di bagaian fleksor
lengan bawah.
- Dosis : Dewasa, dasar 2 ml, diberikan 7x setiap hari sub cutan
didaerah sekitar pusar/umbillus. Ulangan 0,25 ml diberikan ke
11,15,30 dan 90 secara intra cutan dibagian fleksor lengan
bawah. Anak-anak 3 tahun ke bawah, dasar 1 ml diberikan 7x
setiap hari subcutan disekitar daerah sekitar pusar/umbillus.
Ulangan 0,1 ml diberikan hari ke 11,15,30,dan 90 secara intra
cutan dibagian fleksor lengan bawah. Pemberian SMBV + SAR
(Serum Anti Rabies) Jadwal pemberian VAR dasar sama
ulangan boostar jadwalnya 11, 15, 25, 35, dan 90.
- Dosis dan cara pemberian sesudah digigit (Post Exposure
Treatment).
Vaksinasi Dosis Waktu pemberian Keterangan
Dasar 1 ml 2 ml 7x Pemberian :
diberikan setiap hari
Anak < 3th
Ulangan 0,1 ml 0,25 ml Hari Ke-11, 15, 30,
dan 90
2. SAR (Serum Anti Rabies)
a. SAR Heterolog (serum kuda)
- Produksi Bio Farma Bandung.
- Kemasan : Vial = 20 ml (1 ml = 100 IU)
- Cara pemberian : Disuntikkan secara infiltrasi di sekitar luka
sebanyak mungkin, sisanya disuntikkan intramuskuler.
- Dosis : 40 IU/Kg BB, harus dilakukan skin test, apabila positif
tidak boleh diberikan.
Jenis Serum Dosis Waktu pemberian Keterangan
19
Serum
Heterolog
40 ml/Kgbb Bersamaan dengan
pemberian VAR
hari ke-0
Sebelumnya
Dilakukan
Skintest
b. Serum homolog
- Misal IMDGAM, produksi Pasteur Merieux Perancis.
- Kemasan : Vial 2 ml (1 ml = 150 IU).
- Cara pemberian : Disuntikkan secara infiltrasi disekitar luka
sebanyak mungkin sisanya intramuskuler di gluleus/pantat.
- Dosis : 20 IU/Kg, harus dilakukan skin test, apabila positif tidak
boleh diberikan.
Jenis Serum Dosis Waktu pemberian Keterangan
Serum
Homolog
20 ml/Kgbb Bersamaan dengan
pemberian VAR
hari ke-0
Sebelumnya
Dilakukan
Skintest
L. Tipe-tipe Vaksin Rabies
Semua vaksin rabies untuk manusia mengandung virus rabies yang
telah diinaktifkan.2,7
1. Vaksin sel diploid manusia (HDCV)
Untuk mendapatkan suatu suspensi virus rabies yang bebas dari
protein asing dan protein sistem saraf, virus rabies diadaptasi untuk
tumbuh dalam lini sel fibroblast normal manusia WI-38. Preparasi virus
rabies dipekatkan oleh ultrafiltrasi dan diinaktivasi dengan β-
propiolakton. Tidak ada reaksi ensefalitik ataupun anafilaktik serius yang
pernah dilaporkan.
2. Vaksin rabies, terabsorbsi (RVA)
Suatu vaksin yang dibuat dalam lini sel diploid yang berasal dari
sel-sel paru janin kera rhesus diijinkan di AS tahun 1988. Virus vaksin
ini diinaktivasi oleh β-propiolakton dan dipekatkan oleh adsorbsi dengan
aluminium fosfat.
3. Vaksin sel embrio ayam yang dimurnikan (PCEC)
20
Vaksin ini dipreparasi dari strain virus rabies fixed flury LEP yang
tumbuh dalam fibroblast ayam. Diinaktivasi oleh β-propiolakton dan
dimurnikan lebih lanjut oleh sentrifugasi zonal.
4. Vaksin jaringan saraf
Dibuat dari otak domba, kambing atau tikus yang terinfeksi dan
digunakan di banyak bagian dunia termasuk Asia, Afrika dan Amerika
Selatan. Menimbulkan sensitisasi pada jaringan saraf dan menghasilkan
ensefalitis pasca vaksinasi (suatu penyakit alergi) dengan frekuensi
subscansial (0,05%). Perkiraan efektivitasnya pada orang yang digigit
oleh hewan buas/gila bervariasi dari 5 sampai 50%.
5. Vaksin embrio bebek
Vaksin ini dikembangkan untuk meminimalkan masalah ensefalitis
pasca vaksinasi. Virus rabies ditanam dalam telur bebek berembrio.
Jarang terdapat reaksi anafilaktik, tetapi antigenisitas vaksinnya rendah,
sehingga beberapa dosis harus diuji untuk mendapatkan respon antibodi
yang memuaskan.
6. Virus hidup yang dilemahkan
Virus hidup yang dilemahkan yang diadaptasi untuk tumbuh pada
embrio ayam (misalnya, strai flury) digunakan untuk hewan tetapi tidak
untuk manusia. Kadang-kadang vaksin demikian bisa menyebabkan
kematian oleh rabies pada kucing atau anjing yang disuntik. Virus rabies
yang tumbuh pada biakan sel hewan yang berlainan telah dipakai sebagai
vaksin untuk hewan piaraan.
M. Pencegahan
1. Pencegahan Primer7,9,11
a. Tidak memberikan izin untuk memasukkan atau menurunkan anjing,
kucing, kera dan hewan sebangsanya di daerah bebas rabies.
b. Memusnahkan anjing, kucing, kera atau hewan sebangsanya yang
masuk tanpa izin ke daerah bebas rabies.
c. Dilarang melakukan vaksinasi atau memasukkan vaksin rabies
kedaerah-daerah bebas rabies.
21
d. Melaksanakan vaksinasi terhadap setiap anjing, kucing dan kera,
70% populasi yang ada dalam jarak minimum 10 km disekitar lokasi
kasus.
e. Pemberian tanda bukti atau pening terhadap setiap kera, anjing,
kucing yang telah divaksinasi.
f. Mengurangi jumlah populasi anjing liar atan anjing tak bertuan
dengan jalan pembunuhan dan pencegahan perkembangbiakan.
g. Anjing peliharaan, tidak boleh dibiarkan lepas berkeliaran, harus
didaftarkan ke Kantor Kepala Desa/Kelurahan atau Petugas Dinas
Peternakan setempat.
h. Anjing harus diikat dengan rantai yang panjangnya tidak boleh lebih
dari 2 meter. Anjing yang hendak dibawa keluar halaman harus
diikat dengan rantai tidak lebih dari 2 meter dan moncongnya harus
menggunakan berangus (beronsong).
i. Menangkap dan melaksanakan observasi hewan tersangka menderita
rabies, selama 10 sampai 14 hari, terhadap hewan yang mati selama
observasi atau yang dibunuh, maka harus diambil spesimen untuk
dikirimkan ke laboratorium terdekat untuk diagnosa.
j. Mengawasi dengan ketat lalu lintas anjing, kucing, kera dan hewan
sebangsanya yang bertempat sehalaman dengan hewan tersangka
rabies.
k. Membakar dan menanam bangkai hewan yang mati karena rabies
sekurang-kurangnya 1 meter.
2. Pencegahan Sekunder
Pertolongan pertama yang dapat dilakukan untuk meminimalkan
resiko tertularnya rabies adalah mencuci luka gigitan dengan sabun atau
dengan deterjen selama 5-10 menit dibawah air mengalir/diguyur.
Kemudian luka diberi alkohol 70% atau Yodium tincture. Setelah itu
pergi secepatnya ke Puskesmas atau dokter yang terdekat untuk
mendapatkan pengobatan sementara sambil menunggu hasil dari rumah
observasi hewan. Resiko yang dihadapi oleh orang yang mengidap rabies
sangat besar. Oleh karena itu, setiap orang digigit oleh hewan tersangka
22
rabies atau digigit oleh anjing di daerah endemic rabies harus sedini
mungkin mendapat pertolongan setelah terjadinya gigitan sampai dapat
dibuktikan bahwa tidak benar adanya infeksi rabies.7,9,11
3. Pencegahan Tersier
Tujuan dari tiga tahapan pencegahan adalah membatasi atau
menghalangi perkembangan ketidakmampuan, kondisi, atau gangguan
sehingga tidak berkembang ke tahap lanjut yang membutuhkan
perawatan intensif yang mencakup pembatasan terhadap
ketidakmampuan dengan menyediakan rehabilitasi. Apabila hewan yang
dimaksud ternyata menderita rabies berdasarkan pemeriksaan klinis atau
laboratorium dari Dinas Perternakan, maka orang yang digigit atau dijilat
tersebut harus segera mendapatkan pengobatan khusus (Pasteur
Treatment) di Unit Kesehatan yang mempunyai fasilitas pengobatan Anti
Rabies dengan lengkap.7,9,11
N. Komplikasi
Berbagai komplikasi dapat terjadi pada penderita rabies dan biasanya
timbul pada fase koma. Komplikasi neurologik dapat berupa peningkatan
tekanan intrakranial; kelainan pada hipotalamus berupa diabetes insipidus,
sindrom abnormalitas hormon antidimetik (SAHAD), disfungsi otonomik
yang menyebabkan hipertensi, hipotensi, hipertemia/hipotermia, aritmia dan
henti jantung. Kejang dapat lokal maupun generalisata dan sering bersamaan
dengan aritmia dan gangguan respirasi. Pada stadium prodromal sering terjadi
komplikasi hiperventilasi dan alkalosis respiratorik, sedangkan hipoventilasi
dan depresi pernafasan terjadi pada fase neurologik akut. Hipotensi terjadi
karena gagal jantung kongestif, dehidrasi dan gangguan otonomik.4
O. Prognosis
Penyakit rabies tidak dapat disembuhkan sehingga prognosisnya jelek.
Tanpa pencegahan, penderita hanya bertahan sekitar 8 hari, sedangkan
dengan penangan suportif, penderita dapat bertahan hingga beberapa bulan.
Sebelum ditemukan pengobatan, kematian biasanya terjadi dalam 3-10 hari.
Kebanyakan penderita meninggal karena sumbatan jalan nafas (asfiksia),
23
kejang, kelelahan atau kelumpuhan total. Hingga saat ini belum ada laporan
kasus yang dapat bertahan hidup setelah manifestasi dari penyakit rabies
timbul. Pada manusia yang tidak mendapatkan vaksin rabies hampir selalu
fatal terutama setelah muncul gejala neurologi, tetapi bila setelah terpapar
virus diberikan vaksin akan mencegah perkembangan virus.8
Kematian karena infeksi virus rabies boleh dikatakan 100% bila virus
sudah mencapai sistem saraf pusat. Dari tahun 1857 sampai tahun 1972 dari
kepustakaan dilaporkan 10 pasienyang sembuh dari rabies namun sejak tahun
1972 hingga sekarang belum ada pasien rabies yang dilaporkan hidup.
Prognosis seringkali fatal karena sekali gejala rabies telah tampak
hampir selalu kematian terjadi 2-3 hari sesudahnya sebagai akibat gagal
nafas/henti jantung ataupun paralisis generalisata. Berbagai penelitian dari
tahun 1986 hingga 2000 yang melibatkan lebih dari 800 kasus gigitan anjing
pengidap rabies di negara endemis yang segera mendapat perawatan
luka, pemberian VAR dan SAR, mendapatkan angka survival 100%.4
24
BAB III
PENUTUP
1. Rabies merupakan penyakit virus akut dari sistem saraf pusat yang mengenai
semua mamalia dan ditularkan oleh sekresi yang terinfeksi biasanya saliva.
2. Sebagian besar pemajanan terhadap rabies melalui gigitan binatang yang
terinfeksi, tapi kadang aerosol virus atau proses pencernaan atau transplantasi
jaringan yang terinfeksi dapat memulai proses penyakit.
3. Infeksi terjadi biasanya melalui kontak dengan binatang seperti anjing,
kucing, kera, serigala, kelelawar dan ditularkan ke manusia melalui gigitan
binatang atau kontak virus (saliva binatang) dengan luka pada host ataupun
melalui membran mukosa.
4. Manifestasi klinis rabies dapat dibagi menjadi 4 stadium: (1) prodromal non
spesifik, (2) ensefalitis akut yang mirip dengan ensefalitis virus lain. (3)
disfungsi pusat batang otak yang mendalam yang menimbulkan gambaran
klasik ensefalitis rabies, dan (4) jarang, sembuh.
5. Tidak ada terapi untuk penderita yang sudah menunjukkan gejala rabies;
penanganan hanya berupa tindakan suportif dalam penanganan gagal jantung
dan gagal nafas. Walaupun tindakan perawatan intensif umumnya dilakukan,
hasilnya tidak menggembirakan. perawatan intensif hanyalah metode untuk
memperpanjang dan bila mungkin menyelamatkan hidup pasien dengan
mencegah komplikasi respirasi dan kardiovaskuler yang sering terjadi.
25
6. Kematian karena infeksi virus rabies boleh dikatakan 100% bila virus sudah
mencapai sistem saraf pusat.
DAFTAR PUSTAKA
1. Corey, Lawrence. Rabies, Rhabdovirus, dan Agen Mirip-Marburg. In:
Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 13. Jakarta: EGC. 1999,
p 938-941.
2. Harijanto, Gunawan, P. N. & Carta, A. Rabies. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007, p 1736-1740.
3. Bleck, T. P. & Rupprecht, C. E. Rabies Virus. In: Mandell GL, Bennet JE,
Dollin R (Eds). Mandell, Douglas amd Bennet’s Principles and Practice of
Infectious Diseases. 5th ed. Philadelphia: Churchill Livingstone. 2000, p
1811-1820.
4. Chin, James. Manual Pemberantasan Penyakit Menular. Edisi 17. Jakarta:
American Public Health Association. 2000, p 427- 436.
5. Mardjono, M. & Sidharta, P. 2008. Neurologi Klinis Dasar. Cetakan Ke-13.
Jakarta: PT. Dian Rakyat. p 169-170.
6. Haryono, Yudha, dkk (Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia). 2006.
Kumpulan Makalah Pertemuan Ilmiah Nasional II. Cetakan Pertama.
Airlangga University Press: Surabaya.
7. Depkes. Petunjuk Perencanaan dan Penatalaksanaan Kasus Gigitan Hewan
Tersangka Rabies di Indonesia. Diunduh dari
26
http://www.depkes.go.id/downloads/Petunjuk%20Rabies.pdf. Pada tanggal
20 Agustus 2012.
8. Sudomo, A., Kusuma, M., & Maryuni, V. 2009. Program Kreativitas
Mahasiswa. Pemanfaatan Habbatus Sauda Untuk Terapi Penunjang
Pencegah Rabies Pada Anjing. Bogor: IPB.
9. Deptan. Patofisiologi Rabies. Diunduh dari
http://www.deptan.go.id/rabies.pdf. Pada tanggal 20 Agustus 2012.
10. Smith, Jean S. 1996. New Aspects of Rabies with Emphasis on Epidemiology,
Diagnosis and Prevention of the Disease in the United States. Clinical
Microbiology Reviews, Vol. 9, No. 2.
11. Hiswani. 2003. Pencegahan dan Pemberantasan Rabies. Diunduh dari
http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-hiswani10.pdf. Pada tanggal 21
Agustus 2012.
27