Clinical Science Session
OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA (OSA) PADA
TONSILITIS KRONIS
Oleh :
Riskawati Usman 07923076
Fahrurrozi Syarif 07923082
Rahmy Dyanovani 07923083
Preseptor :
Dr. Novialdi, Sp.THT-KL
Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Bedah Kepala Leher
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
RSUP DRM Djamil Padang
2012
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat
dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan referat yang
berjudul “Obstructive Sleep Apnea Syndroms Pada Tonsilitis Kronis” ini.
Adapun referat ini penulis ajukan sebagai salah satu syarat dalam
mengikuti kepaniteraan klinik di Bagian Ilmu Telinga Hidung Tenggorok-
Kepala dan Leher. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan
terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu penyelesaian
penulisan referat ini terutama kepada Dr. Novialdi, Sp. THT-KL sebagai
pembimbing kami.
Penulisan referat ini masih memiliki banyak kekurangan, oleh
karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari
semua pihak. Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi peningkatan
pemahaman di bidang Telinga Hidung Tenggorok-Kepala dan Leher,
terutama mengenai monitoring Hubungan Laringitis Dengan Sinusitis .
Padang, Oktober 2012
Pen
ulis
2
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR…………………………………………… 2
DAFTAR ISI……………………………………………………. 3
DAFTAR TABEL………………………………………………. 5
DAFTAR GAMBAR………………………………………….... 6
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang…………………………………………….. 7
1.2 Batasan Masalah………………………………………….. 7
1.3 Tujuan Penulisan……………………………………… ....... 7
1.4 Metoda Penulisan………………………………………..... 7
1.5 Manfaat Penulisan…………......………………………….. 7
BAB II. TONSILITIS KRONIS
2.1.Tonsil........................................................................................
2.1.1.Embriologi Tonsilla Palatina..........................................
2.1.2. Anatomi Tonsil Palatina.................................................
2.1.3. Vaskularisasi...................................................................
2.1.4.Aliran getah bening.........................................................
2.1.5. Innervasi..........................................................................
2.1.6. Imunologi.........................................................................
2.1.7.Fungsi Tonsil...................................................................
2.2. Tonsilitis Kronik
2.2.1. Defenisi
2.2.2. Faktor Predisposisi
2.2.3. Etiologi
2.2.4. Patologi
2.2.5. Manifestasi Klinis
2.2.6. Diagnosis
2.2.7. Diagnosis Banding
3
2.2.8. Komplikasi
2.2.9. Penatalaksanaan
BAB III. Obstructive Sleep Apnea (OSA) pada Tonsilitis Kronis Hipertrofi
3.1. Obstructive Sleep Apnea (OSA)
3.1.1.Definisi
3.1.2.Epidemiologi
3.1.3.Patogenesis
3.1.4.Faktor Risiko
3.1.5.Patofisiologi
3.1.6.Manifestasi klinis
3.1.7.Diagnosis
3.1.8.Pengobatan
3.1.9.Komplikasi
BAB V. PENUTUP
5.1 Kesimpulan..................................................................... 28
DAFTAR PUSTAKA........................................................................ 29
4
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Perbedaan Klinis OSA Anak-Anak dan Dewasa............. 19
5
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Gambaran Tonsil dalam Cincin Waldeyer................. 8
Gambar 2. Anatomi Tonsil.......................................... 9
Gambar 3. Pendarahan tonsil......................................... 17
Gambar 4. Hipertrofi tonsil...................................... 22
Gambar 5. Ukuran tonsil............. 24
6
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Tonsilitis Kronis merupakan keradangan kronik pada tonsil yang biasanya
merupakan kelanjutan dari infeksi akut berulang atau infeksi subklinis dari tonsil.
Kelainan ini merupakan kelainan tersering pada anak di bidang THT. Untuk
seluruh kasus, prevalensinya tertinggi setelah nasofaring akut, yaitu 3,8% dengan
insidensi sekitar 6,75% dari jumlah seluruh kunjungan. Pada tonsilitis kronis,
ukuran tonsil dapat membesar sedemikian sehingga disebut tonsilitis kronis
hipertrofi.1,2
Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS) adalah suatu sindrom
obstruksi total atau parsial jalan nafas yang menyebabkan gangguan fisiologis
yang bermakna dengan dampak klinis yang bervariasi. Prevalensi OSAS adalah
0,7 . 10,3%. Beberapa keadaan dapat merupakan faktor risiko OSAS seperti
hipertofi adenoid dan atau tonsil, obesitas, disproporsi sefalometri, kelainan
daerah hidung.3
Mendengkur dan OSA umumnya terjadi pada orang dewasa, terutama pria,
usia pertengahan, dan obesitas. Di Amerika Serikat, prevalensi OSA pada
kelompok usia di bawah 40 tahun adalah 25 persen pria dan 10 hingga 15 persen
perempuan. Adapun pada kelompok usia di atas 40 tahun, prevalensinya mencapai
60 persen pada pria dan 40 persen pada perempuan.4
Faktor risiko OSAS pada anak sangat berbeda dengan orang dewasa.4
Pada dewasa, obesitas merupakan faktor risiko utama terjadinya OSAS,
sedangkan pada anak meskipun merupakan faktor risiko tetapi bukan merupakan
yang utama.5
Tonsilitis kronis dengan hipertrofi tonsil dapat menyebabkan berbagai
gangguan tidur, seperti mendengkur sampai dengan terjadinya apnea obstruktif
sewaktu tidur (Obstructive Sleep apnea). Obstructive sleep apnea atau OSA
merupakan kondisi medik yang serius, ditandai dengan episode obstruksi saluran
7
napas atas selama tidur sehingga menyebabkan berkurangnya asupan oksigen
secara periodik.2,6
Prevalensi OSA pada anak-anak sekitar 3% dengan frekuensi tertinggi
pada usia 2-5 tahun. Penyebab utama OSA pada anak-anak adalah hipertrofi tonsil
dan adenoid, tetapi dapat juga akibat kelainan struktur kraniofasial seperti pada
sindroma Pierre Robin dan Down. Frekuensi OSA mencapai puncaknya pada
dekade 5 dan 6, dan menurun pada usia di atas 60-an. Tetapi secara umum
frekuensi OSA meningkat secara progresif sesuai dengan penambahan usia.5
Beberapa ahli memperkirakan kelainan ini secara epidemiologi
merupakan kelainan yang umum di masyarakat, namun sering tidak terdiagnosis.
Mengingat dampak yang ditimbulkan, maka tonsilitis kronis hipertrofi yang
disertai dengan sleep apnea harus segera ditindak-lanjuti dengan pendekatan
operatif.2,6
Secara umum, penatalaksanaan tonsilitis kronis dibagi dua, yaitu
konservatif dan operatif. Terapi konservatif dilakukan untuk mengeliminasi kausa,
yaitu infeksi, dan mengatasi keluhan yang mengganggu. Bila tonsil membesar dan
1 2 menyebabkan sumbatan jalan napas, disfagia berat, gangguan tidur, terbentuk
abses, atau tidak berhasil dengan pengobatan konvensional, maka operasi
tonsilektomi perlu dilakukan.7,8
1.2 BATASAN MASALAH
Makalah ini membahas tentang Obstructive Sleep Apnea (OSA) Pada
Tonsilitis Kronis.
1.3 TUJUAN PENULISAN
Untuk mengetahui tentang Obstructive Sleep Apnea (OSA) Pada Tonsilitis
Kronis.
1.4 METODE PENULISAN
Metode yang dipakai adalah tinjauan kepustakaan dengan merujuk pada
berbagai literatur.
8
1.5 MANFAAT PENULISAN
Melalui penulisan makalah ini diharapkan akan bermanfaat dalam
memberikan informasi dan pengetahuan tentang Obstructive Sleep Apnea
(OSA) Pada Tonsilitis Kronis.
9
BAB II
TONSILITIS KRONIS
3.2. Tonsil
Tonsil merupakan suatu akumulasi dari limfonoduli permanen yang
letaknya di bawah epitel yang telah terorganisir sebagai suatu organ.9 Pada
tonsil terdapat epitel permukaan yang ditunjang oleh jaringan ikat retikuler
dan kapsul jaringan ikat serta kriptus di dalamnya.9,10
Berdasarkan lokasinya, tonsil dibagi menjadi :9
1. Tonsilla lingualis, terletak pada radix linguae.
2. Tonsilla palatina (tonsil), terletak pada isthmus faucium antara arcus
glossopalatinus dsan arcus glossopharingicus.
3. Tonsilla pharingica (adenoid), terletak pada dinding dorsal dari
nasofaring.
4. Tonsilla tubaria, terletak pada bagian lateral nasofaring di sekitar ostium
tuba auditiva.
5. Plaques dari Peyer (tonsil perut), terletak pada ileum.
Dari kelima macam tonsil tersebut, tonsilla lingualis, tonsilla palatina,
tonsilla pharingica dan tonsilla tubaria membentuk cincin jaringan limfe pada
pintu masuk saluran nafas dan saluran pencernaan. Cincin ini dikenal dengan
nama cincin Waldeyer.9,10,11 Kumpulan jaringan ini melindungi anak terhadap
infeksi melalui udara dan makanan. Jaringan limfe pada cincin Waldeyer
menjadi hipertrofi fisiologis pada masa kanak-kanak, adenoid pada umur 3
tahun dan tonsil pada usia 5 tahun, dan kemudian menjadi atrofi pada masa
pubertas.11,12
Jaringan limfoid pada Cincin Waldeyer berperan penting pada awal
kehidupan, yaitu sebagai daya pertahanan lokal yang setiap saat berhubungan
dengan agen dari luar (makan, minum, bernafas), dan sebagai surveilen imun.
Fungsi ini didukung secara anatomis dimana di daerah faring terjadi tikungan
jalannya material yang melewatinya disamping itu bentuknya tidak datar,
10
sehingga terjadi turbulensi khususnya udara pernafasan. Dengan demikian
kesempatan kontak berbagai agen yang ikut dalam proses fisiologis tersebut
pada permukaan penyusun cincin Waldeyer itu semakin besar.13
Gambar 1. Gambaran Tonsil dalam Cincin Waldeyer
3.2.1. Embriologi Tonsilla Palatina
Perluasan ke lateral dari kantong faringeal kedua diserap dan bagian
dorsalnya tetap ada dan menjadi epitel tonsilla palatina. Pilar tonsil berasal
dari arcus branchial kedua dan ketiga. Kripte tonsillar pertama terbentuk pada
usia kehamilan 12 minggu dan kapsul terbentuk pada usia kehamilan 20
minggu.14
3.2.2. Anatomi Tonsil Palatina
Tonsil palatina merupakan suatu massa jaringan limfoid yang terletak
di dalam fossa tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar
anterior (otot palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus). Tonsil
berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai 10-
11
30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi
seluruh fossa tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai fossa
supratonsil.15
Adapun struktur yang terdapat disekitar tonsila palatina adalah : 10,15
1. Anterior : arcus palatoglossus
2. Posterior : arcus palatopharyngeus
3. Superior : palatum mole
4. Inferior : 1/3 posterior lidah
5. Medial : ruang orofaring
6. Lateral : kapsul dipisahkan oleh m. constrictor pharyngis superior oleh
jaringan areolar longgar. A. carotis interna terletan 2,5 cm dibelakang
dan lateral tonsila.
Gambar 2. Anatomi Tonsil
Pada kutub atas tonsil seringkali ditemukan celah intratonsil yang
merupakan sisa kantong faring yang kedua. Kutub bawah tonsil biasanya
melekat pada dasar lidah. Permukaan medial bentuknya bervariaso dan
mempunyai celah yang disebut kriptus. Di dalam kriptus ditemukan leukosit,
limfosit, epitel yang terlepas, sisa makanan. Permukaan lateral tonsil melekat
12
pada fasia faring yang sering disebut kapsul tonsil, yang tidak melekat erat
pada otot faring.10,15
3.2.3. Vaskularisasi
Tonsil mendapat vaskularisasi dari cabang-cabang a. karotis eksterna
yaitu: a. maksilaris eksterna (a. fasialis) yang mempunyai cabang a. tonsilaris
dan a. palatina asenden, a. maksilaris interna dengan cabangnya yaitu a.palatina
desenden, a. lingualis dengan cabangnya yaitu a. lingualis dorsal dan a.
faringeal asenden. a. tonsilaris berjalan ke atas di bagian luar m. konstriktor
superior dan memberikan cabang untuk tonsil dan palatum mole. Arteri
palatina asenden, mengirim cabang-cabangnya melalui m. konstriktor posterior
menuju tonsil. Arteri faringeal asenden juga memberikan cabangnya ke tonsil
melalui bagian luar m. konstriktor superior. Arteri lingualis dorsal naik ke
pangkal lidah dan mengirim cabangnya ke tonsil, plika anterior dan plika
posterior. Arteri palatina desenden atau a. palatina posterior atau lesser palatina
artery member vaskularisasi tonsil dan palatum mole dari atas dan membentuk
anastomosis dengan a. palatina asenden. vena-vena dari tonsil membentuk
pleksus yang bergabung dengan pleksus dari faring. 10,16
Gambar 3. Pendarahan tonsil
13
3.2.4. Aliran getah bening
Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah bening
servikal profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah muskulus
sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar toraks dan akhirnya menuju
duktus torasikus. Tonsil hanya mempunyai pembuluh getah bening eferan
sedangkan pembuluh getah bening aferen tidak ada.12
3.2.5. Innervasi
Innervasi terutama dilayani oleh n. IX (glossopharyngeus) dan juga oleh n.
Palatina minor (cabang ganglion sphenopalatina). Pemotongan pada n. IX
menyebabkan anestesia pada semua bagian tonsil.12
3.2.6. Imunologi
Tonsil merupakan organ yang unik karena keterlibatannya dalam
pembentukan imunitas lokal dan pertahanan imunitas tubuh. Limfosit B
berproliferasi di “germinal center”. Imunoglobulin (Ig G, A, M, D), komponen
komplemen, interferon, lisosim dan sitokin berakumulasi di jaringan tonsillar.
Infeksi bakterial kronis pada tonsil akan menyebabkan terjadinya antibodi
lokal, perubahan rasio sel B dan sel T. Efek dari adenotonsilektomi terhadap
integritas imunitas seseorang masih diperdebatkan. Pernah dilaporkan adanya
penurunan produksi Imunoglobulin A nasofaring terhadap vaksin polio setelah
adenoidektomi atau adanya peningkatan kasus Hodgkin’s limfoma. Namun
bagaimanapun peran tonsil masih tetap kontroversial dan sekarang ini belum
terbukti adanya efek imunologis dari tonsilektomi.12
3.2.7. Fungsi Tonsil16,17:
1. Membentuk zat – zat anti yang terbentuk di dalam sel plasma saat reaksi
seluler.
2. Menangkap dan menghancurkan benda-benda asing maupun
mikroorganisme yang masuk ke dalam tubuh melalui hidung dan mulut.
14
2.2. Tonsilitis Kronik
2.2.1. Defenisi
Tonsilitis merupakan peradangan tonsil palatina yang merupakan
bagian dari cincin Waldeyer. Tonsilitis Kronis merupakan keradangan
kronik pada tonsil yang biasanya merupakan kelanjutan dari infeksi akut
berulang atau infeksi subklinis dari tonsil.10,15
Tonsilitis berulang terutama terjadi pada anak-anak dan diantara
serangan tidak jarang tonsil tampak sehat. Tetapi tidak jarang keadaan tonsil
diluar serangan terlihat membesar disertai dengan hiperemi ringan yang
mengenai pilar anterior dan apabila tonsil ditekan keluar detritus.18
2.2.2. Etiologi
Bakteri penyebab tonsilitis kronis sama halnya dengan tonsilitis akut
yaitu kuman Streptokokus beta hemolitikus grup A, Pneumokokus,
Streptokokus viridian dan Streptokokus piogenes, Stafilokokus, Hemophilus
influenza, namun terkadang ditemukan bakteri golongan gram negatif.15
2.2.3. Faktor Predisposisi
Beberapa faktor predisposisi timbulnya kejadian tonsilitis kronis, yaitu : 15
1. Rangsangan kronis (rokok, makanan)
2. Higiene mulut yang buruk
3. Pengaruh cuaca (udara dingin, lembab, suhu yang berubah-ubah)
4. Alergi (iritasi kronis dari alergen)
5. Keadaan umum (kurang gizi, kelelahan fisik)
6. Pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat.
2.2.4. Patologi
Proses peradangan dimulai pada satu atau lebih kripti tonsil .Karena
proses radang berulang maka epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis,
sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti dengan
15
jaringan parut. Jaringan ini akan mengerut sehingga kripti akan melebar,
ruang antara kelompok melebar yang akan diisi oleh detritus (akumulasi
epitel yang mati, sel leukosit yang mati dan bakteri yang menutupi kripte
berupa eksudat berwarna kekuning-kuningan). Proses ini meluas hingga
menembus kapsul dan akhirnya timbul perlekatan dengan jaringan sekitar
fosa tonsilaris. Pada anak-anak proses ini disertai dengan pembesaran
kelenjar submandibula.15
Gambar 4. Hipertrofi tonsil
2.2.5. Manifestasi Klinis
Pada umumnya penderita sering mengeluh oleh karena serangan
tonsilitis akut yang berulang-ulang, adanya rasa sakit (nyeri) yang terus-
menerus pada tenggorokan (odinofagi), nyeri waktu menelan atau ada
sesuatu yang mengganjal di kerongkongan bila menelan, terasa kering dan
pernafasan berbau.10,15, 16
Pada pemeriksaan, terdapat dua macam gambaran tonsil dari Tonsilitis
Kronis yang mungkin tampak, yakni :16,17
1. Tampak pembesaran tonsil oleh karena hipertrofi dan perlengketan ke
jaringan sekitar, kripte yang melebar, tonsil ditutupi oleh eksudat yang
purulen atau seperti keju.
2. Mungkin juga dijumpai tonsil tetap kecil, mengeriput, kadang-kadang
seperti terpendam di dalam tonsil bed dengan tepi yang hiperemis,
kripte yang melebar dan ditutupi eksudat yang purulen.
16
Gambar 5. Ukuran tonsil
Ukuran tonsil dibagi menjadi : 16
T0 : Post tonsilektomi
T1 : Tonsil masih terbatas dalam fossa tonsilaris
T2 : Sudah melewati pilar anterior, tapi belum melewati garis paramedian
(pilar posterior)
T3 : Sudah melewati garis paramedian, belum melewati garis median
T4 : Sudah melewati garis median
2.2.6. Diagnosis
1. Anamnesis
Penderita sering datang dengan keluhan rasa sakit pada tenggorok
yang terus menerus, sakit waktu menelan, nafas bau busuk, malaise,
kadang-kadang ada demam dan nyeri pada leher.15, 18
2. Pemeriksaan Fisik
Tampak tonsil membesar dengan adanya hipertrofi dan jaringan
parut. Sebagian kripta mengalami stenosis, tapi eksudat (purulen) dapat
diperlihatkan dari kripta-kripta tersebut. Pada beberapa kasus, kripta
membesar, dan suatu bahan seperti keju atau dempul amat banyak
terlihat pada kripta. 15, 18
17
Garis paramedian
Garis median
T1
T4
T3 T
2
3. Pemeriksaan Penunjang
Dapat dilakukan kultur dan uji resistensi (sensitifitas) kuman dari
sediaan apus tonsil. Biakan swab sering menghasilkan beberapa macam
kuman dengan berbagai derajat keganasan, seperti Streptokokus beta
hemolitikus grup A, Streptokokus viridans, Stafilokokus, atau
Pneumokokus.15, 18
2.2.7. Diagnosis Banding
Terdapat beberapa diagnosis banding dari tonsilitis kronis, di
antaranya15 :
1. Penyakit-penyakit dengan pembentukan pseudomembran atau adanya
membran semu yang menutupi tonsil /tonsilitis membranosa
a. Tonsilitis Difteri
Disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae. Tidak semua
orang yang terinfeksi oleh kuman ini akan sakit. Keadaan ini
tergantung pada titer antitoksin dalam darah. Titer antitoksin
sebesar 0,03 sat/cc darah dapat dianggap cukup memberikan dasar
imunitas. Gejalanya terbagi menjadi 3 golongan besar, umum, lokal
dan gejala akibat eksotoksin. Gejala umum sama seperti gejala
infeksi lain, yaitu demam subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu
makan, badan lemah, nadi lambat dan keluhan nyeri menelan.
Gejala lokal yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi
bercak putih kotor yang makin lama makin meluas dan membentuk
pseudomembran yang melekat erat pada dasarnya sehingga bila
diangkat akan mudah berdarah. Gejala akibat eksotoksin dapat
menimbulkan kerusakan jaringan tubuh, misalnya pada jantung
dapat terjadi miokarditis sampai dekompensasi kordis, pada saraf
kranial dapat menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot
pernafasan dan pada ginjal dapat menimbulkan albuminuria.
b. Angina Plaut Vincent (Stomatitis Ulseromembranosa)
Gejala yang timbul adalah demam tinggi (39°C), nyeri di mulut,
gigi dan kepala, sakit tenggorok, badan lemah, gusi mudah
18
berdarah dan hipersalivasi. Pada pemeriksaan tampak membran
putih keabuan di tonsil, uvula, dinding faring, gusi dan prosesus
alveolaris. Mukosa mulut dan faring hiperemis. Mulut berbau
(foetor ex ore) dan kelenjar submandibula membesar.
c. Mononukleosis Infeksiosa
Terjadi tonsilofaringitis ulseromembranosa bilateral. Membran
semu yang menutup ulkus mudah diangkat tanpa timbul
perdarahan, terdapat pembesaran kelenjar limfe leher, ketiak dan
regio inguinal. Gambaran darah khas, yaitu terdapat leukosit
mononukleosis dalam jumlah besar. Tanda khas yang lain adalah
kesanggupan serum pasien untuk beraglutinasi terhadap sel darah
merah domba (Reaksi Paul Bunnel).
2. Penyakit kronik faring granulomatus
a. Faringitis Tuberkulosa
Merupakan proses sekunder dari TBC paru. Keadaan umum pasien
buruk karena anoreksi dan odinofagi. Pasien mengeluh nyeri hebat
di tenggorok, nyeri di telinga (otalgia) dan pembesaran kelenjar
limfa leher.
b. Faringitis Luetika
Gambaran klinis tergantung dari stadium penyakit primer, sekunder
atau tersier. Pada penyakit ini dapat terjadi ulserasi superfisial yang
sembuh disertai pembentukan jaringan ikat. Sekuele dari gumma
bisa mengakibatkan perforasi palatum mole dan pilar tonsil.
c. Lepra (Lues)
Penyakit ini dapat menimbulkan nodul atau ulserasi pada faring
kemudian menyembuh dan disertai dengan kehilangan jaringan
yang luas dan timbulnya jaringan ikat.
d. Aktinomikosis Faring
Terjadi akibat pembengkakan mukosa yang tidak luas, tidak nyeri,
bisa mengalami ulseasi dan proses supuratif. Blastomikosis dapat
mengakibatkan ulserasi faring yang ireguler, superfisial, dengan
dasar jaringan granulasi yang lunak.
19
Penyakit-penyakit diatas, keluhan umumnya berhubungan
dengan nyeri tenggorok dan kesulitan menelan. Diagnosa pasti
berdasarkan pada pemeriksaan serologi, hapusan jaringan/kultur, X
ray dan biopsi.
3. Tumor tonsil
2.2.8. Komplikasi
Komplikasi dari tonsilitis kronis dapat terjadi secara perkontinuitatum
ke daerah sekitar atau secara hematogen atau limfogen ke organ yang jauh
dari tonsil. Adapun berbagai komplikasi yang kerap ditemui adalah sebagai
berikut : 15
1. Komplikasi sekitar tonsil
a. Peritonsilitis
Peradangan tonsil dan daerah sekitarnya yang berat tanpa adanya trismus
dan abses.
b. Abses Peritonsilar (Quinsy)
Kumpulan nanah yang terbentuk di dalam ruang peritonsil. Sumber infeksi
berasal dari penjalaran tonsilitis akut yang mengalami supurasi, menembus
kapsul tonsil dan penjalaran dari infeksi gigi.
c. Abses Parafaringeal
Infeksi dalam ruang parafaring dapat terjadi melalui aliran getah
bening/pembuluh darah. Infeksi berasal dari daerah tonsil, faring, sinus
paranasal, adenoid, kelenjar limfe faringeal, mastoid dan os petrosus.
d. Abses retrofaring
Merupakan pengumpulan pus dalam ruang retrofaring. Biasanya terjadi
pada anak usia 3 bulan sampai 5 tahun karena ruang retrofaring masih berisi
kelenjar limfe.
e. Krista Tonsil
Sisa makanan terkumpul dalam kripta mungkin tertutup oleh jaringan
fibrosa dan ini menimbulkan krista berupa tonjolan pada tonsil berwarna
putih/berupa cekungan, biasanya kecil dan multipel.
f. Tonsilolith (kalkulus dari tonsil)
20
Terjadinya deposit kalsium fosfat dan kalsium karbonat dalam jaringan
tonsil membentuk bahan keras seperti kapur.
2. Komplikasi ke organ jauh
a. Demam rematik dan penyakit jantung rematik
b. Glomerulonefritis
c. Episkleritis, konjungtivitis berulang dan koroiditis
d. Psoriasis, eritema multiforme, kronik urtikaria dan purpura
e. Artritis dan fibrositis
2.2.9. Penatalaksanaan15, 18
1. Terapi Medikamentosa
Penatalaksanaan medis termasuk pemberian antibiotika penisilin
yang lama, irigasi tenggorokan sehari-hari dan usaha untuk
membersihkan kripta tonsilaris dengan alat irigasi gigi (oral). Ukuran
jaringan tonsil tidak mempunyai hubungan dengan infeksi kronis atau
berulang-ulang.
2. Tindakan Operatif
Tonsilektomi merupakan suatu prosedur pembedahan yang
diusulkan oleh Celsus dalam buku De Medicina (tahun 10 Masehi). Jenis
tindakan ini juga merupakan tindakan pembedahan yang pertama kali
didokumentasikan secara ilmiah oleh Lague dari Rheims (1757).
Indikasi untuk dilakukan tonsilektomi yaitu : 15
a. Obstruksi :
Hiperplasia tonsil dengan obstruksi.
Sleep apnea atau gangguan tidur.
Kegagalan untuk bernafas.
Corpulmonale.
Gangguan menelan.
Gangguan bicara.
Kelainan orofacial / dental yang menyebabkan jalan nafas sempit.
21
b. · Infeksi
Tonsilitis kronika / sering berulang.
Tonsilitis dengan :
o Absces peritonsilar.
o Absces kelenjar limfe leher.
o Obstruksi Akut jalan nafas.
o Penyakit gangguan klep jantung.
Tonsilitis yang persisten dengan :
o Sakit tenggorok yang persisten.
Tonsilolithiasis Carrier Streptococcus yang tidak respon terhadap terapi.
Otitis Media Kronika yang berulang.
c. Neoplasia atau suspek neoplasia benigna / maligna.
Indikasi tonsilektomi menurut The American Academy of Otolaryngology,
Head and Neck Surgery : 10, 17, 19
1. Indikasi absolut:
Pembesaran tonsil yang menyebabkan sumbatan jalan nafas atas, disfagia
menetap, gangguan tidur atau komplokasi kardiopulmunar
Abses peritonsil yang tidak respon terhadap pengobatan medis
Tonsilitis yang menimbulkan febris dan konvulsi
Biopsi untuk menentukan jaringan yang patologis (dicurigai keganasan)
2. Indikasi relatif :
Penderita dengan infeksi tonsil yang kambuh 3 kali atau lebih dalam
setahun meskipun dengan terapi yang adekuat
Bau mulut atau bau nafas yang menetap yang menandakan tonsilitis kronis
tidak responsif terhadap terapi media
Tonsilitis kronis atau rekuren yang disebabkan kuman streptococus yang
resisten terhadap antibiotik betalaktamase
Pembesaran tonsil unilateral yang diperkirakan neoplasma
22
Saat mempertimbangkan tonsilektomi untuk pasien dewasa harus
dibedakan apakah mereka mutlak memerlukan operasi tersebut atau hanya sebagai
kandidat. Dugaan keganasan dan obstruksi saluran nafas merupakan indikasi
absolut untuk tonsilektomi. Tetapi hanya sedikit tonsilektomi pada dewasa yang
dilakukan atas indikasi tersebut, kebanyakan karena infeksi kronik. 7
Obstruksi nasofaringeal dan orofaringeal yang berat sehingga boleh
mengakibatkan terjadinya gangguan apnea ketika tidur merupakan indikasi
absolute untuk surgery. Pada kasus yang ekstrim, obstructive sleep apnea ini
boleh menyebabkan hipoventilasi alveolar, hipertensi pulmonal dan
kardiopulmoner. 7
Sedangkan kontraindikasi dari tonsilektomi adalah : 10, 11, 14, 19, 20
1. Kontraindikasi relatif
a. Palatoschizis
b. Radang akut, termasuk tonsilitis
c. Poliomyelitis epidemica
d. Umur kurang dari 3 tahun
2. Kontraindikasi absolut
a. Diskariasis darah, leukemia, purpura, anemia aplastik, hemofilia
b. Penyakit sistemis yang tidak terkontrol : DM, penyakit jantung, dan
Sebagainya.
Teknik Operasi 18
Teknik operasi yang optimal dengan morbiditas yang rendah sampai sekarang
masih menjadi kontroversi, masing-masing teknik memiliki kelebihan dan
kekurangan. Penyembuhan luka pada tonsilektomi terjadi per sekundam.
Pemilihan jenis teknik operasi difokuskan pada morbiditas seperti nyeri,
perdarahan perioperatif dan pasca operatif serta durasi operasi. Beberapa teknik
tonsilektomi dan peralatan baru ditemukan disamping teknik tonsilektomi standar.
Di Indonesia teknik tonsilektomi yang terbanyak digunakan saat ini adalah
teknik Guillotine dan diseksi . Beberapa teknik tonsilektomi diantaranya :
23
1. Guillotine
Tonsilektomi guillotine dipakai untuk mengangkat tonsil secara cepat dan
praktis. Tonsil dijepit kemudian pisau guillotine digunakan untuk melepas
tonsil beserta kapsul tonsil dari fosa tonsil. Sering terdapat sisa dari tonsil
karena tidak seluruhnya terangkat atau timbul perdarahan yang hebat.
2. Teknik Diseksi
Kebanyakan tonsilektomi saat ini dilakukan dengan metode diseksi. Metode
pengangkatan tonsil dengan menggunakan skapel dan dilakukan dalam
anestesi. Tonsil digenggam dengan menggunakan klem tonsil dan ditarik
kearah medial, sehingga menyebabkan tonsil menjadi tegang. Dengan
menggunakan sickle knife dilakukan pemotongan mukosa dari pilar tersebut.
3. Teknik elektrokauter
Teknik ini memakai metode membakar seluruh jaringan tonsil disertai
kauterisasi untuk mengontrol perdarahan. Pada bedah listrik transfer energi
berupa radiasi elektromagnetik untuk menghasilkan efek pada jaringan.
Frekuensi radio yang digunakan dalam spektrum elektromagnetik berkisar
pada 0,1 hingga 4 Mhz. Penggunaan gelombang pada frekuensi ini
mencegah terjadinya gangguan konduksi saraf atau jantung.
4. Radiofrekuensi
Pada teknik ini radiofrekuensi elektrode disisipkan langsung kejaringan.
Densitas baru disekitar ujung elektroda cukup tinggi untuk membuka
kerusakan bagian jaringan melalui pembentukan panas. Selama periode 4-6
minggu, daerah jaringan yang rusak mengecil dan total volume jaringan
berkurang.
5. Skapel harmonik
Skapel harmonik menggunakan teknologi ultrasonik untuk memotong dan
mengkoagulasi jaringan dengan kerusakan jaringan minimal.6
6. Teknik Coblation
Coblation atau cold ablation merupakan suatu modalitas yang untuk karena
dapat memanfaatkan plasma atau molekul sodium yang terionisasi untuk
mengikis jaringan. Mekanisme kerja dari coblation ini adalah menggunakan
energi dari radiofrekuensi bipolar untuk mengubah sodium sebagai media
24
perantara yang akan membentuk kelompok plasma dan terkumpul disekitar
elektroda. Kelompok plasma tersebut akan mengandung suatu partikel yang
terionisasi dan kandungan plasma dengan partikel yang terionisasi yang
akan memecah ikatan molekul jaringan tonsil. Selain memecah ikatan
molekuler pada jaringan juga menyebabkan disintegrasi molekul pada suhu
rendah yaitu 40-70%, sehingga dapat meminimalkan kerusakan jaringan
sekitar.
7. Intracapsular partial tonsillectomy
Intracapsular tonsilektomi merupakan tonsilektomi parsial yang dilakukan
dengan menggunakan microdebrider endoskopi. Microdebrider endoskopi
bukan merupakan peralatan ideal untuk tindakan tonsilektomi, namun tidak
ada alat lain yang dapat menyamai ketepatan dan ketelitian alat ini dalam
membersihkan jaringan tonsil tanpa melukai kapsulnya.
8. Laser (CO2-KTP)
Laser tonsil ablation (LTA) menggunakan CO2 atau KTP (Potassium
Titanyl Phosphat) untuk menguapkan dan mengangkat jaringan tonsil.
Teknik ini mengurangi volume tonsil dan menghilangkan reses pada tonsil
yang menyebabkan infeksi kronik dan rekuren.
Komplikasi Tonsilektomi 15, 18
Tonsilektomi merupakan tindakan bedah yang dilakukan dengan anestesi lokal
maupun umum, sehingga komplikasi yang ditimbulkan merupakan gabungan
komplikasi tindakan bedah dan anestesi.
1. Komplikasi anestesi
Komplikasi anestesi ini terkait dengan keadaan status kesehatan pasien.
Komplikasi yang dapat ditemukan berupa :
• Laringospasme
• Gelisah pasca operasi
• Mual muntah
• Kematian saat induksi pada pasien dengan hipovolemi
• Induksi intravena dengan pentotal bisa menyebabkan hipotensi dan
henti jantung
25
• Hipersensitif terhadap obat anestesi.
2. Komplikasi Bedah
a. Perdarahan
Merupakan komplikasi tersering (0,1-8,1 % dari jumlah kasus).
Perdarahan dapat terjadi selama operasi,segera sesudah operasi atau
dirumah. Kematian akibat perdarahan terjadi pada 1:35. 000 pasien.
sebanyak 1 dari 100 pasien kembali karena perdarahan dan dalam
jumlah yang sama membutuhkan transfusi darah.
b. Nyeri
Nyeri pasca operasi muncul karena kerusakan mukosa dan serabut
saraf glosofaringeus atau vagal, inflamasi dan spasme otot faringeus
yang menyebabkan iskemia dan siklus nyeri berlanjut sampai otot
diliputi kembali oleh mukosa, biasanya 14-21 hari setelah operasi.
c. Komplikasi lain
Demam, kesulitan bernapas, gangguan terhadap suara (1:10.000),
aspirasi, otalgia, pembengkakan uvula, insufisiensi velopharingeal,
stenosis faring, lesi dibibir, lidah, gigi dan pneumonia.
26
BAB III
OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA (OSA) PADA TONSILITIS KRONIS
3.1. Obstructive Sleep Apnea (OSA)
3.1.1.Definisi
Sleep apnea syndrome adalah suatu sindrom dengan ditemukannya
episode apnea atau hipopnea pada saat tidur. Apnea dapat disebabkan
kelainan sentral, obstruktif jalan nafas, atau campuran. Obstruktif apnea
adalah berhentinya aliran udara pada hidung dan mulut walaupun dengan
usaha nafas, sedangkan central apnea adalah penghentian pernafasan yang
tidak disertai dengan usaha bernafas akibat tidak adanya rangsangan nafas.
Obstruktif hipoventilasi disebabkan oleh obstruksi parsial aliran udara yang
menyebabkan hipoventilasi dan hipoksia. Istilah obstruktif hipoventilasi
digunakan untuk menunjukkan adanya hipopnea, yang berarti adanya
pengurangan aliran udara. 3
Istilah OSAS dipakai pada sindrom obstruksi total atau parsial jalan
nafas yang menyebabkan gangguan fisiologis yang bermakna dengan
dampak klinis yang bervariasi. Istilah primary snoring (mendengkur primer)
digunakan untuk menggambarkan anak dengan kebiasaan mendengkur yang
tidak berkaitan dengan obstruktif apnea, hipoksia atau hipoventilasi. 3,21
Guilleminault dkk mendefinisikan sleep apnea sebagai episode apnea
sebanyak 30 kali atau lebih dalam 8 jam, lamanya paling sedikit 10 detik
dan terjadi baik selama fase tidur rapid eye movement (REM) dan non rapid
eye movement (NREM). 22 Terdapat istilah apnea index (AI) dan hypopnea
index (HI) yaitu frekuensi apnea atau hipopnea per jam. Apnea atau
hypopnea index dapat digunakan sebagai indikator berat ringannya OAS. 23
3.1.2.Epidemiologi
Secara epidemiologi, OSAS lebih sering terjadi pada orang dewasa
daripada anak-anak. Mendengkur karena kebiasaan, dijumpai pada masa
anak-anak yang terjadi pada 7-9% dari anak-anak pra sekolah dan anak usia
sekolah. 24 Schechter, mendapatkan prevalensi snoring berkisar antara 3,2-
27
12,1% bergantung kriteria inklusi yang dipakai. Gangguan pernafasan
selama tidur didapat pada kira-kira 0,7-10,3% dari anak-anak berusia 4 - 5
tahun. Kejadian OSAS terjadi pada anak semua umur termasuk neonatus. 25
Pada masa neonatus insidens apnea kira-kira 25% pada bayi dengan
berat badan lahir < 2500 gram dan 84% pada bayi dengan berat badan lahir
< 1000 gram. Insidens tertinggi terjadi antara umur 3 - 6 tahun karena pada
usia ini sering terjadi hipertrofi tonsil dan adenoid. Pada anak, kejadian
OSAS tidak berhubungan dengan jenis kelamin, sedangkan pada dewasa
lelaki lebih sering dibandingkan perempuan yaitu sekitar 8:1.4 Terdapat
kecenderungan familial untuk terjadinya OSAS.7 Yoshizuwa dkk di Jepang
menggambarkan hubungan antara OSAS dan tipe HLA - A2 yang spesifik.
Prevalensi OSAS pada kelompok etnik yang berbeda tidak diketahui. 3
3.1.3.Patogenesis
Patogenesis OSAS pada anak belum banyak diketahui; terjadi jika
didapatkan gangguan antara faktor yang mempertahankan patensi saluran
nafas dan komponen jalan nafas bagian atas (misalnya ukuran anatomis)
yang menyebabkan kolapsnya jalan nafas. Faktor-faktor yang memelihara
patensi saluran nafas adalah a) respons pusat ventilasi terhadap hipoksia,
hiperkapnia, dan sumbatan jalan nafas; b) efek pusat rangsangan dalam
meningkatkan tonus neuromuskular jalan nafas bagian atas; c) efek dari
keadaan tidur dan terbangun.
Terdapat dua teori patofisiologi sumbatan (kolaps) jalan nafas yaitu : 3, 21
1. Teori balance of forces : ukuran lumen farings tergantung pada
keseimbangan antara tekanan negatif intrafaringeal yang timbul selama
inspirasi dan aksi dilatasi otot-otot jalan nafas atas. Tekanan transmural
pada saluran nafas atas yang mengalami kolaps disebut closing pressure.
Dalam keadaan bangun, aktivasi otot jalan nafas atas akan mempertahankan
tekanan tranmural di atas closing pressure sehingga jalan nafas atas tetap
paten. Pada saat tidur tonus neuromuskular berkurang, akibat lumen farings
mengecil sehingga menyebabkan aliran udara terbatas atau terjadi obstruksi.
28
2. Teori starling resistor : jalan nafas atas berperan sebagai starling resistor
yaitu perubahan tekanan yang memungkinkan farings untuk mengalami
kolaps yang menentukan aliran udara melalui saluran nafas atas.
Faktor-faktor yang mempengaruhi tekanan intraluminal maupun fungsi otot
saluran nafas atas yang mempermudah terjadinya kolaps jalan nafas selama
tidur telah diketahui. Manifestasi OSAS timbul jika faktor yang
menyebabkan peningkatan resistensi jalan nafas bergabung dengan kelainan
kontrol susunan saraf pusat terhadap fungsi otot-otot saluran nafas atas.
Kemungkinan kombinasi faktor-faktor ini dapat menerangkan mengapa
beberapa anak dengan kelainan struktur mengalami OSAS sementara yang
lainnya dengan derajat penyempitan saluran nafas yang sama menunjukkan
pernafasan yang normal selama tidur. 3
3.1.4.Faktor Risiko
Faktor risiko terjadinya OSAS pada anak antara lain sebagai akibat
hipertrofi adenoid dan tonsil, disproporsi kraniofasial, obesitas.3, 5 Hipertrofi
adenoid dan tonsil merupakan keadaan yang paling sering menyebabkan
OSAS pada anak. Ukuran adenoid dan tonsil tidak berbanding lurus dengan
berat ringannya OSAS. Terdapat anak dengan hipertrofi adenoid yang
cukup besar, namun OSAS yang terjadi masih ringan, anak lain dengan
pembesaran adenoid ringan menunjukkan gejala OSAS yang cukup berat. 5
Hipertrofi adenoid dan tonsil dapat juga menyebabkan penyulit pada
anak dengan kelainan dasar tulang. Walaupun pada sebagian besar anak
OSAS membaik setelah dilakukan adenotonsilektomi, namun sebagian kecil
akan menetap setelah dioperasi. Pada suatu penelitian sebagian kecil anak
dengan OSAS yang telah berhasil diatasi dengan operasi adenotonsilektomi
kemudian mengalami rekurensi gejalanya selama masa remaja. 3, 26 Anak
dengan anomali kraniofasial yang mengalami penyempitan struktur saluran
nafas yang nyata (mikrognasi dan midface hypoplasia) akan mengalami
OSAS. Pada anak dengan disproporsi kraniofasial dapat menyebabkan
sumbatan saluran nafas meskipun tanpa disertai hipertrofi adenoid. 3, 27
29
Salah satu penyebab OSAS yang lain adalah obesitas. Pada dewasa
obesitas merupakan penyebab utama OSAS sedangkan pada anak obesitas
bukan sebagai penyebab utama. Mekanisme terjadinya OSAS pada obesitas
karena terdapat penyempitan saluran nafas bagian atas akibat penimbunan
jaringan lemak di dalam otot dan jaringan lunak di sekitar saluran nafas,
maupun kompresi eksternal leher dan rahang. Penentuan obesitas dapat
dilakukan dengan cara menghitung body mass index (BMI) dan pengukuran
lingkar leher. Untuk penentuan OSAS, yang lebih berperan adalah lingkar
leher dibandingkan dengan BMI.12 Telah diketahui bahwa lingkar leher
yang besar atau obesitas pada daerah atas berhubungan dengan peningkatan
penyakit kardiovaskular, demikian pula diduga berhubungan dengan
mendengkur dan OSAS. Diduga bahwa penumpukan lemak pada daerah
leher dapat membuat saluran nafas atas menjadi lebih sempit. Kemungkinan
lain adalah pada pasien obesitas dengan leher yang besar mempunyai
velofarings yang lebih mudah mengalami kolaps sehingga dapat
mempermudah terjadinya sumbatan saluran nafas atas pada waktu tidur. 28
3.1.5.Patofisiologi
Pasien dengan OSAS mampu mempertahankan patensi saluran nafas
bagian atas selama bangun/tidak tidur, karena peningkatan tonus otot
saluran nafas akibat input dari pusat kortikal yang lebih tinggi. Namun
selama tidur kolaps jalan nafas bagian atas terjadi pada saat inspirasi dan
kadang-kadang meningkatkan usaha bernafas. Pada anak lebih sering
mengalami periode obstruksi parsial saluran nafas yang berkepanjangan dan
hipoventilasi dibandingkan orang dewasa.
Keadaan apnea lebih jarang pada anak dan umumnya waktu lebih
singkat daripada orang dewasa. Hipoksia dan hiperkapnia terjadi akibat
siklus obstruksi parsial atau total. Obstruktif apneamenyebabkan
peningkatan aktifitas otot-otot dilatator saluran nafas atas sehingga
mengakibatkan berakhirnya apnea. Pada anak dengan OSAS arousal jauh
lebih jarang, dan obstruksi parsial dapat berlangsung terus selama berjam-
jam tanpa terputus. 28
30
Pada anak, perubahan fisiologi mendasar yang terjadi pada OSA
adalah hipoksia dan hiperkapnea akibat obstruksi, yang kemudian
menstimulasi baroreseptor dan kemoreseptor perifer. Terganggunya
kontinuitas tidur dan penurunan rapid-eye-movement bermanifestasi pada
keadaan mudah mengantuk sepanjang hari.Tingginya insidensi OSA pada
anak dengan hipertrofi tonsil disebabkan volume jaringan limfoid yang
meningkat pada usia 6 bulan sampai dengan masa pubertas, dan mencapai
maksimum pada usia anak sekolah. Meski demikian, OSA tidak selalu
muncul walaupun terjadi penyempitan saluran napas, karena pada keadaan
normal, tonsil yang hipertrofi tidak mengalami kolaps sewaktu tidur. 29
3.1.6.Manifestasi klinis
Manifestasi klinis yang terbanyak adalah kesulitan bernafas pada
saat tidur yang biasanya berlangsung perlahan-lahan. Sebelum gejala
kesulitan bernafas terjadi, mendengkur merupakan gejala yang mulamula
timbul. Dengkuran pada anak dapat terjadi secara terus menerus (setiap
tidur) ataupun hanya pada posisi tertentu saja. Pada OSAS, pada umumnya
anak mendengkur setiap tidur dengan dengkuran yang keras terdengar dari
luar kamar dan terlihat episode apnea yang mungkin diakhiri dengan
gerakan badan atau terbangun Sebagian kecil anak tidak memperlihatkan
dengkur yang klasik, tetapi berupa dengusan atau hembusan nafas, noisy
breathing (nafas berbunyi). Usaha bernafas dapat terlihat dengan adanya
retraksi. Posisi pada saat tidur biasanya tengkurap, setengah duduk, atau
hiperekstensi leher untuk mempertahankan patensi jalan nafas. 28
Pada pemeriksaan fisis dapat terlihat pernafasan melalui mulut,
adenoidal facies, midfacial hypoplasia, retro/mikrognasi atau kelainan
kraniofasial lainnya, obesitas, gagal tumbuh, stigmata alergi misalnya
allergic shiners atau lipatan horizontal hidung.15 Patensi pasase hidung
harus dinilai, perhatikan adanya septum deviasi atau polip hidung, ukuran
lidah, integritas palatum, daerah orofarings, redudant mukosa palatum,
ukuran tonsil, dan ukuran uvula, mungkin ditemukan pectus excavatum.
Paru-paru biasanya normal pada pemeriksaan auskultasi. Pemeriksaan
31
jantung dapat memperlihatkan tanda-tanda hipertensi pulmonal misalnya
peningkatan komponen pulmonal bunyi jantung II, pulsasi ventrikel kanan.
Pemeriksaan neorologis harus dilakukan untuk mengevaluasi tonus otot dan
status perkembangan.28
Meskipun secara klinis terdapat banyak kesamaan antara OSA
pada anak-anak dan dewasa, namun terdapat sejumlah perbedaan yang perlu
diketahui, yaitu: 29
Tabel 1. Perbedaan Klinis OSA Anak-Anak dan Dewasa
3.1.7. Diagnosis 28
A. Polisomnografi
Cara definitif untuk menegakkan diagnosis OSAS dengan pemeriksaan
polisomnografi pada saat tidur. Polisomnografi merupakan pemeriksaan baku
emas untuk menegakkan diagnosis OSAS. Pada anak, tanda dan gejala obstructive
sleep apnea lebih ringan dari pada orang dewasa; karena itu diagnosisnya lebih
sulit dan harus dipertegas dengan polisomnografi. Polisomnografi juga akan
menyingkirkan penyebab lain dari gangguan pernafasan selama tidur.
Pemeriksaan ini memberikan pengukuran yang objektif mengenai beratnya
penyakit dan dapat digunakan sebagai data dasar untuk mengevaluasi keadaannya
setelah operasi.
32
B. Uji tapis
Mengingat bahwa polisomnografi memerlukan waktu, biaya yang mahal, dan
belum tentu tersedia di fasilitas kesehatan, maka diperlukan suatu metode lain
sebagai uji tapis. Uji tapis yang banyak digunakan adalah dengan menggunakan
kuesioner. Brouillette dkk17 menunjukkan bahwa penelitian tidur yang abnormal
dapat diprediksi dengan suatu questionnare score yang disebut skor OSAS.
Skor OSAS = 1,42D + 1,41A + 0,71S – 3,83
• D: kesulitan bernafas (0: tidak pernah, 1: sekali-sekali, 2: sering, 3: selalu)
• A: apnea (0: tidak ada, 1: ada)
• S: snoring (mendengkur) (0: tidak pernah, 1: sekali-sekali, 2: sering, 3: selalu)
Dengan rumus di atas, ditentukan kemungkinan
OSAS berdasarkan nilai:
• Skor < -1 : bukan OSAS
• Skor -1 sampai 3,5 mungkin OSAS mungkin bukan OSAS
• Skor > 3,5 sangat mungkin OSAS
Dengan menggunakan skor di atas, dapat diprediksi kemungkinan OSAS
meskipun tetap memerlukan pemeriksaan polisomnografi. Artinya meskipun skor
>3,5 untuk diagnosis pasti tetap memerlukan polisomnografi. Beberapa peneliti
dapat menerima penggunaan skor tersebut, tetapi banyak pula yang tidak
menyetujuinya. Skoring tersebut mempunyai nilai sensitivitas 73% dan
spesifisitas 83% dibandingkan dengan polisomnografi.
C. Observasi selama tidur
Kejadian OSAS dapat didiagnosis dengan observasi langsung, anak di suruh tidur
di tempat praktek dokter demikian pula OSAS dapat didiagnosis dengan
melakukan review audiotapes/ videotapes yang dapat dilakukan di rumah.3,18
Beberapa variabel yang dinilai adalah kekerasan dan tipe inspirasi, pergerakan
selama tidur, frekuensi terbangun, banyaknya apnea, retraksi, dan nafas dengan
mulut. Cara tersebut mempunyai nilai sensitifitas 94%, spesifisitas 68%, nilai
prediksi positif 83%, dan nilai prediksi negatif 88%. Observasi selama tidur dapat
dilakukan dengan menggunakan pulse oximetry. Pada saat tidur anak dipantau
33
penurunan nilai saturasi dengan menggunakan oksimetri. Pencatatan pulse
oximetry secara kontinyu selama tidur dianjurkan sebagai tes skrining dan dapat
memperlihatkan desaturasi secara siklik yang menjadi karakteristik suatu OSAS,
tetapi tidak akan mendeteksi pasien OSAS yang tidak berkaitan dengan hipoksia.
Dengan menggunakan metode di atas nilai prediksi positif sebesar 97% dan nilai
prediksi negative 53%. Hal ini berarti bahwa apabila terjadi penurunan saturasi
selama tidur maka kemungkinan menderita OSAS cukup besar tetapi apabila tidak
terdeteksi pada pemantauan dengan oksimetri maka di perlukan pemeriksaan
polisomnografi.
D. Pemeriksaan laboratorium
Pertanda hipoksia kronis seperti polisitemia atau peningkatan ekskresi metabolit
ATP kadang-kadang digunakan sebagai indikator non spesifik OSAS. Pasien
dengan hiperkapnia kronis selama tidur dapat mengalami peningkatan bikarbonat
serum yang persisten akibat kompensasi alkalosis metabolik.
Beberapa jenis sitokin diketahui mempunyai efek somnogenik dan berperan
penting dalam proses tidur. Interleukin-1 dan TNF-a dapat meningkatkan slow
wave sleep dan pemberian anti TNF-a anti body dapat menghambat fase NREM.
Irama sirkadian dari pelepasan TNF-a mengalami gangguan pada pasien OSAS,
kadar puncak fisiologis pada malam harinya menghilang sedangkan pada siang
hari kadar puncaknya meningkat.
3.1.8. Pengobatan 28
Tatalaksana OSAS pada anak dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu tindakan
bedah dan medis (non bedah). Tindakan bedah yang dilakukan adalah
tonsilektomi dan/atau adenoidektomi dan koreksi terhadap disproporsi
kraniofasial, sedangkan terapi medis dapat berupa diet pada anak dengan obesitas
dan pemakaian nasal CPAP (Continuous Positif Airway Pressure ).
1 . Tonsilektomi dan/atau adenoidektomi
Banyak ahli berpendapat bahwa tindakan tonsilektomi dan/atau adenoidektomi
merupakan tindakan yang harus dilakukan karena keuntungannya lebih besar.
Tingkat kesembuhan tindakan ini pada anak sekitar 75-100%.3,21 Pada anak
34
dengan etiologi hipertrofi adenoid dan tonsil saja angka keberhasilannya tinggi
tetapi apabila disertai dengan risiko lain seperti obesitas dan disproporsi
kraniofasial maka pascaoperasi akan tetap timbul OSAS. Meskipun demikian,
karena OSAS terjadi akibat ukuran struktur komponen saluran nafas atas relatif
kecil dibandingkan dengan ukuran absolut dari tonsil dan adenoid, maka para ahli
berpendapat tindakan tonsilektomi dan/atau adenoidektomi tetap diperlukan pada
keadaan di atas. Pasca tonsilektomi dan/atau adenoidektomi diperlukan
pemantauan dengan polisomnografi sebagai tindak lanjut. Kadangkadang gejala
masih ada dan dalam beberapa minggu kemudian menghilang. Tatalaksana non
medis lainnya seperti penanganan obesitasnya tetap dilakukan meskipun telah
dilakukan tonsilektomi dan/atau adenoidektomi.
2. Continuous positive airway pressure (CPAP)
Nasal CPAP telah digunakan dengan hasil yang baik pada anak termasuk bayi,
anak obesitas, sindrom Down, akondroplasia, dan dengan kelainan kraniofasial.
Pada kelompok usia anak, CPAP terutama berguna untuk pasien yang obesitas
dan pasien dengan OSAS yang menetap setelah dilakukan tonsilektomi dan/atau
adenoidektomi. Sebenarnya indikasi pemberian CPAP adalah apabila setelah
dilakukan tonsilektomi dan/atau adenoidektomi pasien masih mempunyai gejala
OSAS atau sambil menunggu tindakan tonsilektomi dan/atau adenoidektomi.
Kunci keberhasilan terapi CPAP adalah kepatuhan berobat dan hal tersebut
memerlukan persiapan pasien yang baik, edukasi, dan pemantauan yang intensif.
Penggunaan CPAP dengan peningkatan tekanan inspirasi secara bertahap atau
dengan tekanan ekspirasi yang lebih rendah dapat meningkatkan kenyamanan
pasien. Efek samping CPAP biasanya ringan dan berhubungan dengan kebocoran
udara di sekitar selang masker. Keadaan ini dapat menyebabkan mata kering,
konjungtivitis, dan ruam pada kulit. Dekongestan, tetes hidung dengan NaCl
fisologis atau penggunaan sistem CPAP dengan menggunakan humidifer dapat
mengurangi efek samping.
3. Penurunan berat badan
Pada pasien obesitas, penurunan berat badan mutlak di lakukan. Dengan
penurunan berat badan dapat menyebabkan perbaikan OSAS yang nyata.
Penurunan berat badan merupakan kunci keberhasilan terapi OSAS pada anak
35
dengan predisposisi obesitas. Sayangnya menurunkan berat badan pada anak lebih
sulit dilakukan dari pada dewasa. Pendekatan yang dilakukan harus bertahap
karena menurunkan berat badan secara drastis tidak dianjurkan pada anak. Perlu
kesabaran dan perhatian tenaga kesehatan lebih banyak dalam yang menangani
pasien dengan obesitas. Cara ideal adalah menurunkan berat badan secara
perlahan dan konsisten, hal ini memerlukan waktu lama. Selain memperbaiki diet
pada obesitas, hal yang perlu diperhatkan adalah penyakit lain yang mungkin
menyertainya seperti diabetes melitus atau hipoertensi. Oleh karena itu sambil
menunggu berat badan turun diperlukan pemasangan CPAP. Nasal CPAP harus
digunakan sampai mencapai penurunan berat badan yang cukup. Peningkatan
berat badan akan memperburuk OSAS dan penurunan berat badan dapat
menurunkan gejala OSAS. Dalam hal penanganan obesitas termasuk di dalamnya
adalah modfikasi perilaku, terapi diet, olah raga (exercise), dan obat-obatan. Pada
pasien OSAS yang berat dan memberi komplikasi yang potensial mengancam
hidup memerlukan perawatan di rumah sakit.
4. Obat-obatan
Obstruksi hidung merupakan faktor yang umumnya dapat mempermudah
terjadinya OSAS pada anak, dan dapat diobati dengan dekongestan nasal atau
steroid inhaler. Progresteron telah digunakan sebagai stimulan pernafasan pada
pasien anak dengan obesity hipoventilation syndrom. Keberhasilan pemberian
obatobat tersebut kurang bermakna sehingga kurang dianjurkan. Obat-obat
penenang dan obat yang mengandung alkohol harus dihindarkan karena dapat
memperberat OSAS.
5. Trakeostomi
Trakeostomi merupakan tindakan sementara pada anak dengan OSAS yang berat
yang mengancam hidup, dan untuk anak yang tinggal di daerah dengan peralatan
operasi tidak tersedia.
3.1.9. Komplikasi 28
Komplikasi OSAS terjadi akibat hipoksia kronis nokturnal, asidosis, sleep
fragmentation.
1. Komplikasi neurobehavioral
36
Komplikasi neurobehavioral terjadi akibat hipoksia kronis nokturnal dan sleep
fragmentation. Rasa mengantuk pada siang hari yang berlebihan dilaporkan
terjadi pada 31% - 84% anak dengan OSAS. Keluhan lain yang dapat menyertai
OSAS adalah keterlambatan perkembangan, penampilan di sekolah yang kurang
baik, hiperaktifitas, sikap yang agresi/hiperaktif, penarikan diri dari kehidupan
sosial. Manifestasi gangguan kognitif yang lebih ringan dapat sering terjadi. Suatu
penelitian menunjukkan perbaikan OSAS dapat menyebabkan perbaikan yang
nyata pada fungsi kognitif.
2. Gagal tumbuh
Gagal tumbuh merupakan komplikasi yang sering terjadi pada anak-anak dengan
OSAS kira-kira 27 - 56%. Penyebab gagal tumbuh pada anak dengan OSAS
adalah anoreksia, disfagia, sekunder akibat hipertrofi adenoid dan tonsil,
peningkatan upaya untuk bernafas, dan hipoksia. Pertumbuhan yang cepat terjadi
setelah dilakukan adenotonsilektomi.
3. Komplikasi kardiovaskular
Hipoksia nokturnal berulang, hiperkapnia dan asidosis respiratorik dapat
mengakibatkan terjadinya hipertensi pulmonal yang merupakan penyebab
kematian pasien OSAS. Keadaan di atas dapat berkembang menjadi kor pulmonal.
Prevalensi hipertensi pulmonal pada anak dengan OSAS tidak diketahui.
Brouilette dkk4 melaporkan kor pulmonal terjadi pada 55% dari 22 anak dengan
OSAS dan Guilleminault dkk, melaporkan adanya cardio respiratory failure pada
20% dari 50 pasien.
4. Enuresis
Enuresis dapat merupakan komplikasi OSAS. Etiologinya mungkin akibat
kelainan dalam regulasi hormon yang mempengaruhi cairan tubuh. Enuresis
khususnya yang sekunder dapat membaik setelah obstruksi jalan nafas bagian atas
dihilangkan.
5. Penyakit respiratorik
Pasien dengan OSAS lebih mungkin mengaspirasi sekret dari respiratorik atas
yang dapat menyebabkan kelainan respiratorik bawah dan memungkinkan
terjadinya infeksi respiratorik. Keadaan ini dapat membaik setelah dilakukan
tonsilektomi dan/atau adenoidektomi. Beberapa anak dengan tonsil yang besar
37
mengalami disfagia atau merasa sering tercekik dan mempunyai risiko untuk
mengalami aspirasi pneumonia.
6. Gagal nafas dan kematian
Laporan kasus telah melaporkan adanya gagal nafas pada pasien dengan OSAS
yang berat atau akibat komplikasi perioperatif.
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Tonsilitis Kronis merupakan keradangan kronik pada tonsil yang biasanya
merupakan kelanjutan dari infeksi akut berulang atau infeksi subklinis dari
tonsil. Kelainan ini merupakan kelainan tersering pada anak di bidang
THT. Untuk seluruh kasus, prevalensinya tertinggi setelah nasofaring akut,
38
yaitu 3,8% dengan insidensi sekitar 6,75% dari jumlah seluruh kunjungan.
Pada tonsilitis kronis, ukuran tonsil dapat membesar sedemikian sehingga
disebut tonsilitis kronis hipertrofi.
Faktor risiko OSAS pada anak sangat berbeda dengan orang dewasa.4
Pada dewasa, obesitas merupakan faktor risiko utama terjadinya OSAS,
sedangkan pada anak meskipun merupakan faktor risiko tetapi bukan
merupakan yang utama.
OSAS merupakan penyebab kesakitan yang cukup sering ditemukan pada
anak Tonsilitis kronis dengan hipertrofi tonsil dapat menyebabkan
berbagai gangguan tidur, seperti mendengkur sampai dengan terjadinya
apnea obstruktif sewaktu tidur (Obstructive Sleep apnea). Obstructive
sleep apnea atau OSA merupakan kondisi medik yang serius, ditandai
dengan episode obstruksi saluran napas atas selama tidur sehingga
menyebabkan berkurangnya asupan oksigen secara periodik.
Manifestasi klinis OSAS dapat berupa mendengkur dengan episode apnea,
infeksi respiratorik berulang, gangguan belajar dan tingkah laku,
mengantuk pada siang hari, gagal tumbuh, enuresis, bernapas melalui
mulut, dengan atau tanpa hipertrofi tonsil dan adenoid atau kelainan
kraniofasial.
Polisomnografi merupakan pemeriksaan baku emas untuk menentukan
diagnosis OSAS. Beberapa pemeriksaan seperti skor OSAS, dan pulse
oximetry, dapat digunakan sebagai uji tapis.
Tonsilektomi dan/atau adenoidektomi merupakan tatalaksana bedah yang
dianjurkan pada OSAS anak disamping CPAP dan penurunan berat badan.
39
DAFTAR PUSTAKA
1. Panitia Medik Farmasi dan Terapi RSUD Dr. Soetomo. Tonsilitis Kronis. Dalam Panitia Medik Farmasi dan terapi. Ed. Pedoman Diagnosis dan Terapi Lab UPF Ilmu Penyakit THT. Surabaya : RSUD Dr. Soetomo 1994 : 53-54
2. Farokah, Suprihati, Suyitno S. Hubungan tonsillitis kronik dengan prestasi belajar pada siswa kelas II Sekolah Dasar di Kota Semarang. Cermin Dunia Kedokteran 2007;155:87-92
3. Marcus CL. Carroll JL. Obstructive sleep apnea syndrome. Dalam: Loughlin GM, Eiger H, penyunting. Respiratory disease in children; diagnosis and management. Baltimore, William & Wilkins, 1994. h. 475-91.
4. Yuan, 2007. Mendengkur Bisa Membunuh Diam-Diam. Diakses dari http://www.dechacare.com/Mendengkur-Bisa-Membunuh-Diam-diam-I89.html.
40
5. Brouillette RT, Fernbach SK, Hunt CE. Obstructive sleep apnea in infants and children. J Pediatric 1982; 100:31-9.
6. Nűńez-Fernández D, Garcia-Osornia MA. Snoring and Obstructive Sleep Apnea, Upper Airway Evaluation. Emergency Medicine Textbook, 2008. (diakses dari website www.medscape.com, pada tanggal 18 Oktober 2012)
7. Hermani B, fachrudin D, Syahrial, et al. Tonsilektomi Pada Anak dan Dewasa. HTA Indonesia, 2004. hal 1-25.
8. Aritomoyo, D. Insiden Tonsilitis Akuta dan Kronika Pada Poliklinik THT RS. Dr. Kariadi Semarang Tahun 1978 Dalam Kumpulan Naskah Ilmiah Kongres Nasional VI PERHATI. Medan, 1980 : 249 – 255.
9. Wirawan, S. & Puthra, I.G.A.G. (1979), Arti Fungsionil dari Elemenelemen Histologis Tonsil, dalam : Masna, P.W. (ed) Tonsilla Palatina dan Permasalahannya, FK UNUD, Denpasar.
10. Rusmarjono & Kartosoediro, S. (2001), Odinofagi, dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher, FKUI, Jakarta.
11. Pracy, R. et al (1974) Pelajaran Ringkas THT, penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
12. Snell, R.S. (1991) Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran, bagian 3, edisi 3, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
13. Sudana, W, Indikasi Tonsiloadenoidektomi, Lab/UPF THT FK UNUD RSUP, Denpasar.
14. Anonim (2003) The Oral Cavity, Pharynx & Esophagus dalam Lee, K.J. (eds) Essential Otolaryngology Head & Neck Surgery, McGraw Hill Medical Publishing Division, USA.
15. Brodsy L. Poje C. Tonsilitis, Tonsilectomy and Adeneidectomy. In: Bailey BJ. Johnson JT. Head and Neck Surgery. Otolaryngology. 4rd Edition. Philadelphia: Lippinscott Williams Wilkins Publishers. 2006. p1183-1208
16. George LA. Penyakit-penyakit Nasofaring dan Orofaring. Dalam:Adams, Boies, Higler(eds).buku ajar penyakit THT edisi 6. Jakarta:EGC;1997.hal 327-337
17. Derake A. Carr MM. Tonsilectomy. Dalam: Godsmith AJ. Talaveran F. E-medicine.com.inc. 2002:1-10
18. Gotlieb J. The Future Risk of Childhood Sleep Disorder Breathing, SLEEP, vol 28 No 7. 2005.
19. Adams GL. Penyakit – Penyakit Nasofaring dan Orofaring. Dalam : Adams GL, Boies LR, Higler PA. Ed. Buku Ajar penyakit THT. Jakarta : EGC, 1997 :320 -55
20. Masna, P.W. (1979), Tonsillectomy & Adenoidectomy, dalam : Masna, P.W. (ed) Tonsilla Palatina dan Permasalahannya, FK UNUD, Denpasar.
21. Carroll JL, Loughlei GM. Diagnostic criteria for obstructive sleep apnea syndrome in children. Pediatr Pulmonol 1992; 14:71-4.
41
22. Guilleminault C, Eldredge FL, Simmons B. Sleep apnea in eight children. Pediatrics 1976; 58:23-31.
23. Schechter MS, Technical report: Diagnosis and management of childhood obstructive sleep apnea syndrome. Pediatrics 2002; 109:1-20.
24. Deegan MN. Clinical prediction rules in obstructive sleep apnea syndrome. Eur Respir J 1997; 10:1194-5.
25. Ali NJ. Pitson DJ, Stardling JR. The prevalence of snoring, sleep disturbance and sleep related disoders and their relation of daytime sleepiness in 4-5 year old children. Am Rev Respir Dis 1991; 143:381A.
26. Sankar V, Zapanta PE, Truelson JM. Snoring and Obstructive Sleep Apnea, Physiologic Approach. Emergency Medicine Textbook, 2007. (diakses dari website www.medscape.com, pada tanggal 20 oktober 2012)
27. Hatmansjah. Tonsilektomi. Dalam : Cermin Dunia Kedokteran. Jakarta 1993 : 19 – 21
28. Bambang S, Rusmala D. Obstruktif Sleep Apnea Sindrom Pada Anak. Dalam : Sari Pediatri, Vol. 7, No. 2, September 2005: 77 - 84
29. Poole MD, Pereira KS. Pediatric Sleep-Disordered Breathing. in: Head and Neck Surgery – Otolaryngology. 3rd Edition. Editor: Bailey BJ, Calhoun KH, Healy GB, et al, 2001.
42