Download - Referat Narkoba Inhalasi Fix

Transcript

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 LATAR BELAKANG

Heroin di Indonesia dikenal dengan nama yang sama. Pada kadar yang lebih rendah dikenal dengan sebutan putaw. Heroin didapatkan dari pengeringan ampas bunga opium yang mempunyai kandungan morfin dan kodein yang merupakan penghilang rasa nyeri yang efektif dan banyak digunakan untuk pengobatan dalam obat batuk dan obat diare. Heroin sedikitnya sudah dikenal oleh manusia sejak 6000 tahun lalu, dan dikenal berasal dari pohon kebahagiaan.1Pada abad ke-7 atau ke-8, diduga pedagang Arab membawanya ke Cina dan digunakan sebagai bahan pengobatan. Setelah itu, orang-orang Inggris dan Portugis memasok Cina dengan opium dan menempatkan Inggris sebagai heroin terbesar di dunia. Baru pada tahun 1874 orang membuat heroin dan pohon opium. Ketika itu, heroin dijual sebagai pengganti morfin yang aman dan tidak menimbulkan kecanduan. Namun akhirnya disadari bahwa heroin juga menyebabkan ketergantungan yang tinggi, kemudian di Inggris dilarang pada tahun 1920 dengan undang-undang, Dangerous Drug Act.1

Penggunaan heroin mulai meningkat sejak awal 1990 dan mengalami booming sejak 1996. Menurut National Household Survey on drug abuse di USA tahun 1996 sebanyak 2,4 juta orang pernah menggunakan heroin. Di Indonesia jumlah pecandu narkotika tahun 1995 adalah 130.000 orang (0,065%). Para pemakai narkotik ini kebanyakan anak-anak muda berusia < 26 tahun. Angka kematian akibat penggunaan heroin di Indonesia mencapai 17,6%. Heroin (diasetilmorfin) termasuk golongan opioid agonis dan merupakan derivat morfin yang terbuat dari morfin yang mengalami asetilasi pada gugus hidroksil pada ikatan C3 dan C6. Nama lain dari heroin: smack, junk, china ehirte, chiva, black tar, speed balling, dope, brown, dog,negra, nod, white hores, stuff.1I.2 PERUMUSAN MASALAH

Definisi narkoba Mengenali jenis-jenis narkoba

Mengenali jenis narkoba inhalan

Mengetahui mekanisme kerja narkoba inhalasi terutama heroin dalam tubuh Mengetahui pemeriksaan forensik intoksikasi inhalasi heroin Memastikan intoksikasi inhalasi heroin menggunakan pemeriksaan penunjang

Mengetahui penatalaksanaan pada intoksikasi heroin

I.3 TUJUAN

Adapun referat ini penulis buat untuk memperjelas dan membahas lebih dalam mengenai dampak dari narkoba inhalasi terutama heroin dan mekanismenya sehingga dapat menimbulkan kematian.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 NARKOBAa. DefinisiPengertian narkotika menurut Undang Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika Pasal 1, yaitu zat atau obat yang berasal dari tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. Sedangkan yang dimaksud ketergantungan narkotika menurut UU tersebut adalah gejala dorongan untuk menggunakan narkotika secara terus menerus, toleransi dan gejala putus narkotika apabila penggunaan dihentikan.2Psikotropika menurut Pasal 1, Undang-Undang Nomor 5 tahun 1997 tentang psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. 2Yang dimaksud bahan berbahaya lainnya adalah zat, bahan kimia dan biologi, baik dalam bentuk tunggal maupun campuran yang dapat membahayakan kesehatan dan lingkungan hidup secara langsung atau tidak langsung yang mempunyai sifat karsinogenik, teratogenik, mutagenik, korosif dan iritasi. Bahan berbahaya ini adalah zat adiktif yang bukan narkotika dan psikotropika atau zat zat baru hasil olahan manusia yang menyebabkan kecanduan. 2b. PenggolonganMenurut struktur kimianya, narkotika dapat digolongkan menjadi :1. Morfin dan turunannya (contoh heroin)

2. Turunan benzomorfan (contoh pentazocine)

3. Golongan 4-fenilpiperidin (contoh petidin)

4. Golongan difenilpropilamin dan analgesik-asiklik (contoh metadon)

5. Lain lain (contoh turunan fenotiazin dan benzimidazol)3II.2 ANATOMI SALURAN NAPASUdara dari luar akan masuk lewat rongga hidung (cavum nasalis). Rongga hidung berlapis selaput lendir, di dalamnya terdapat kelenjar minyak dan kelenjar keringat. Selaput lendir berfungsi menangkap benda asing yang masuk lewat saluran pernapasan. Selain itu, terdapat juga rambut pendek dan tebal yang berfungsi menyaring partikel kotoran yang masuk bersama udara. Juga terdapat konka yang mempunyai banyak kapiler darah yang berfungsi menghangatkan udara yang masuk. Di dalam rongga hidng terjadi penyesuaian dari kelembapan udara sehingga udara yang masuk paru-paru tidak terlalu kering ataupun terlalu lembap.

Trakea dibentuk 16 sampai dengan 20 cincin tulang rawan, yang berbentuk seperti kuku kuda dengan panjang kurang lebih 5 inci (9-11 cm), lebar 2,5 cm, dan diantara kartilago satu dengan yang lain dihubungkan oleh jaringan fibrosa, sebelah dalam diliputi oleh selaput lendir yang berbulu getar (sel bersilia) yang hanya bergerak keluar. Sel-sel bersilia ini berguna untuk mengeluarkan benda-benda asing yang masuk bersama udara pernafasan, dan dibelakang terdiri dari jaringan ikat yang dilapisi oleh otot polos dan lapisan mukosa. Bronkus merupakan lanjutan dari trakea ada dua buah yang terdapat pada ketinggian vertebra torakalis ke IV dan V. Sedangkan tempat dimana trakea bercabang menjadi bronkus utama kanan dan kiri disebut karina. Karina memiliki banyak syaraf dan dapat menyebabkan bronkospasme dan batuk yang kuat jika batuk dirangsang.4Bronkus utama kanan lebih pendek , lebih besar dan lebih vertikal dari yang kiri. Terdiri dari 6-8 cincin, mempunyai tiga cabang. Bronkus utama kiri lebih panjang,dan lebih kecil, terdiri dari 9-12 cicin serta mempunyai dua cabang.4Bronkiolus terminalis merupakan saluran udara kecil yang tidak mengandung alveoli (kantung udara) dan memiliki garis 1 mm. Bronkiolus tidak diperkuat oleh cincin tulang rawan, tapi dikelilingi oleh otot polos sehingga ukuranya dapat berubah. Seluruh saluran udara ,mulai dari hidung sampai bronkiolus terminalis ini disebut saluran penghantar udara atau zona konduksi. Bronkiolus ini mengandung kolumnar epitellium yang mengandung lebih banyak sel goblet dan otot polos, diantaranya strecch reseptor yang dilanjutkan oleh nervus vagus. Setelah bronkiolus terminalis terdapat asinus yang merupakan unit fungsional paru, yaitu tempat pertukaran gas. Asinus terdiri dari: Bronkiolus respiratoris, duktus alveolaris dan sakus alveolaris terminalis yang merupakan struktur akhir dari paru.4

Gambar 1. Anatomi saluran napas dan perjalanan udara pernapasan

Secara garis besar fungsi pernafasan dapat dibagi menjadi dua yaitu pertukaran gas dan keseimbangan asam basa. Fungsi pertukaran gas ada tiga proses yang terjadi, yaitu:

1. Pertama ventilasi, merupakan proses pergerakan keluar masuknya udara melalui cabang-cabang trakeo bronkial sehingga oksigen sampai pada alveoli dan karbondioksida dibuang. Pergerakan ini terjadi karena adanya perbedaan tekanan. Udara akan mengalir dari tekanan yang tinggi ke tekanan yang rendah. Selama inspirasi volume torak bertambah besar karena diafragma turun dan iga terangkat. Peningkatan volume ini menyebabkan penurunan tekanan intra pleura dari 4 mmHg (relatif terhadap tekanan atmosfir) menjadi sekitar 8mmHg. Pada saat yang sama tekanan pada intra pulmunal menurun 2 mmHg (relatif terhadap tekanan atmosfir). Selisih tekanan antara saluran udara dan atmosfir menyebabkan udara mengalir kedalam paru sampai tekanan saluran udara sama dengan tekanan atmosfir. Pada ekspirasi tekanan intra pulmunal bisa meningkat 1-2 mmHg akibat volume torak yang mengecil sehingga udara mengalir keluar paru.42. Proses kedua adalah difusi yaitu masuknya oksigen dari alveoli ke kapiler melalui membran alveoli-kapiler. Proses ini terjadi karena gas mengalir dari tempat yang tinggai tekanan parsialnya ketempat yang lebih rendah tekanan partialnya. Oksigen dalam alveoli mempunyai tekanan partial yang lebih tinggi dari oksigen yang berada didalam darah. Karbondioksida darah lebih tinggi tekanan partialnya dari pada karbondioksida dialveoli. Akibatnya karbondioksida mengalir dari darah ke alveoli.43. Proses ketiga adalah perfusi yaitu proses penghantaran oksigen dari kapiler ke jaringan melalui transport aliran darah. Oksigen dapat masuk ke jaringan melalui dua jalan : pertama secara fisik larut dalam plasma dan secara kimiawi berikatan dengan hemoglobin sebagai oksihemoglobin, sedangkan karbondioksida ditransportasi dalam darah sebagai bikarbonat, natrium bikarbonat dalam plasma dan kalium bikarbonat dalam sel-sel darah merah. Satu gram hemoglobin dapat mengika 1,34 ml oksigen. Karena konsentrasi hemoglobin rata-rata dalam darah orang dewasa sebesar 15 gram, maka 20,1 ml oksigen bila darah jenuh total ( Sa O2 = 100% ), bila darah teroksigenasi mencapai jaringan . Oksigen mengalir dari darah masuk ke cairan jaringan karena tekanan partial oksigen dalam darah lebih besar dari pada tekanan dalam cairan jaringan. Dari dalam cairan jaringan oksigen mengalir kedalan sel-sel sesuai kebutuhan masing-masing. Sedangkan karbondioksida yang dihasilkan dalam sel mengalir kedalam cairan jaringan. Tekanan partial karbondioksida dalam jaringan lebih besar dari pada tekanan dalam darah maka karbondioksida mengalir dari cairan jaringan kedalam darah.4II.3 INTOKSIKASI INHALASIInhalasi mencakup huffing, sniffing, dusting atau bagging dan umumnya melalui hidung atau mulut. Huffing merupakan metode inhalasi dengan menggunakan kain yang direndam dalam cairan kimia lalu ditempelkan pada wajah atau mulut dihirup. Sniffing dapat dilakukan dengan meletakkan zat narkoba (biasanya berupa bubuk) di atas wadah, kantong plastik, pakaian atau kain lalu dihisap secara langsung. Sedangkan bagging, dilakukan dengan cara memasukkan zat narkoba ke dalam kantong plastik atau kertas lalu menghirup uap yang dihasilkan. Metode ini dapat mengakibatkan mati lemas karena benda beruang yang ditempatkan di atas kepala individu, memotong pasokan oksigen.

Metode lain yang digunakan termasuk inhalansia menempatkan pada lengan, kerah, atau barang-barang lainnya dari pakaian dan mengendusnya dalam beberapa waktu. Pemanasan zat volatil dan menghirup uap yang dipancarkan adalah bentuk lain dari inhalasi. Semua metode ini berpotensi berbahaya atau mematikan.3Intoksikasi secara inhalasi artinya masuknya zat ke dalam tubuh melalui saluran pernapasan yang mengganggu kesehatan dan dapat menyebabkan kematian.II.4 NARKOBA INHALAN : HEROINa. Definisi Heroin (diasetilmorfin) termasuk golongan opioid agonis dan merupakan derivat morfin yang terbuat dari morfin yang mengalami asetilasi pada gugus hidroksil pada ikatan c3 dan c6. Sumber heroin biasa didapatkan dari pengeringan ampas bunga dan getah opium yang mempunyai kandungan morfin dan merupakan penghilang rasa nyeri potensi kuat.5 b. Struktur MolekulHeroin adalah bahan mentah diamorfin dan merupakan produk semi-sintetik yang diperoleh dari asetilasi morfin; terjadi sebagai produk alami opium dari spesies poppy tertentu (misalnya Papaver somniferum L.). Diamorfin adalah analgesik narkotika yang digunakan dalam pengobatan sakit parah. Heroin terlarang dapat dihisap atau disolubilisasi dengan asam lemah dan disuntikkan. Rumus molekul heroin adalah C21H23NO5 dengan berat molekul 369,4 g/mol. Diamorfin (diacetylmorphine, CAS-561-27-3) diproduksi dari asetilasi morfin mentah. Nama sistematis berdasarkan IUPAC (International Union of Pure and Applied Chemistry) adalah (5, 6) -7,8-didehydro-4,5-epoxy-17-methylmorphinan-3,6-diol asetat. Meskipun lima pasang enantiomer secara teoritis mungkin ada dalam morfin, namun hanya satu terjadi secara alami (5R, 6S, 9R, 13S, 14R).

Gambar 2. Struktur molekul heroinc. Jenis heroinJenis jenis heroin yang sering diperdagangkan adalah :1. Bubuk putih

Diperjualbelikan dalam kantung-kantung yang telah dikemas secara khusus dengan ukuran 3x1,5cm , berisi 100 mg bubuk dengan kadar heroin berkisar 1-10% . pada saat ini kadar heroin dalam bubuk cendrung meningkat rata-rata 35%. Biadanya bubuk tersebut dicampur dengan gula, bubuk susu atau kanji. Banyak diperjualbelikan di Asia.

2. Bubuk coklat

Bentuk, kemasan dan kadar heroin mirip dengan bubuk putih, hanya warnanya yang coklat. Banyak terdapat di daerah Meksiko.

3. Black tar

Banyak diperjualbelikan di USA. Warna hitam disebabkan oleh metode prosessing. Bentuknya kecil-kecil seperti kacang dan lengket. Kadar heroin di dalamnya sekitar 20-80%. d. Mekanisme Kerja

Cara penggunaan heroin melalui inhalasi dapat dengan dihirup atau dihisap melalui pipa atau sebagai lintingan rokok. Melalui hirupan yaitu bubuk heroin ditaruh di alumunium foil dan dipanaskan diatas api, kemudian asapnya dihirup. Permukaan mukosa hidung atau mulut adalah tempat absorpsi yang baik untuk heroin. Heroin akan dengan cepat masuk ke dalam darah dan menuju ke dalam jaringan. Biasanya jaringan yang paling sering menjadi sasaran dari narkotika adalah susunan saraf pusat baik otak maupun medulla spinalis. Dalam otak, heroin akan cepat mengalami hidrolisa menjadi monoasetilmorfin dan akhirnya menjadi morfin, kemudian mengalami konjugasi dengan asam glukoronik menjadi morfin 6-glukoronid yang berefek analgesik lebih kuat dibandingkan morfin sendiri. Opioid agonis menimbulkan analgesia akibat berikatan dengan reseptor spesifik yang berlokasi di otak dan medula spinalis sehingga mempengaruhi transmisi dan modulasi nyeri. Terdapat 3 jenis reseptor yang spesifik, yaitu mu, delta, kappa. Di dalam otak terdapat tiga jenis endogenous peptide yang aktifitasnya seperti opiate yaitu enkephalin yang berikatan dengan reseptor delta, beta endorphin dengan reseptor mu, dan dynorfin dengan reseptor kappa. Reseptor mu merupakan reseptor untuk morfin (heroin). Ketiga jenis reseptor ini berhubungan dengan protein G dan berpasangan dengan adenilsiklase menyebabkan penurunan formasi siklik AMP sehingga aktivitas pelepasan neurotransmitter terhambat.7,8Efek inhibisi opiate dalam pelepasan neurotransmitter:

1. Pelepasan noradrenalin

Opiate menghambat pelepasan noradrenalin dengan mengaktivasi reseptor mu yang berlokasi di daerah noradrenalin. Efek heroin tidak terbatas di korteks tetapi juga di hipokampus, amigdala dan serebelum.2. Pelepasan asetil kolin

Inhibisi pelepasan asetil kolin terjadi di daerah striatum oleh reseptor delta, di daerah amigdala dan hipokampus oleh reseptor mu.

3. Pelepasan dopamine

Diinhibisi oleh aktivitas reseptor kappa.

e. Dosis

Dosis toksik untuk bukan pecandu adalah 1 mg/kg BB dengan dosis letal 1 5mg/kg BB. Sedangkan berdasarkan penelitian, dosis letal untuk pecandu heroin berkisar 1600 1800 mg.f. Pengaruh Terhadap Tubuh

Efek yang timbul akibat penggunaan heroin

Menurut National Institute Drug Abuse (NIDA) dibagi menjadi efek segera (short term) dan efek jangka panjang (long term).9,10Efek segera:

Gelisah

Depresi pernafasan

Mual dan muntah

Analgesia

Efek jangka panjang : adiksi111. Sistem saraf pusata. Analgesia

b. Euphoria

Pemberian heroin akan menimbulkan perasaan euphoria dimana penderita akan mengalami rasa nyaman terbebas dari rasa cemas.

c. Sedasi

Pemberian heroin dapat menimbulkan efek mengantuk dan letargi

d. Pernafasan

Pemberian heroin dapat menimbulkan depresi pernapasan yang disebabkan oleh inhibisi langsung pada pusat inspirasi di batang otak.

e. Pupil

Dapat menimbulkan miosis. Miosis terjadi akibat stimulasi pada nucleus Edinger Westphal N III

f. Mual dan muntah

Disebabkan oleg stimulasi langsung pada emetic kemoreseptor trigerson di batang otak.

2. Efek perifer

a. Sistem kardiovaskuler

Tidak mempunyai efek yang signifikan terhadap tekanan darah, frekuensi maupun irama jantung. Perubahan yang tampak hanya bersifat sekunder terhadap berkurangnya aktivitas badan dan keadaan tidur. Biasanya hipotensi disebabkan oleh dilatasi arteri perifer dan vena akibat mekanisme depresi sentral oleh mekanisme stabilisasi vasomotor dan pelepasan histamine.

b. Kulit

Mengakibatkan pelebaran pembuluh darah kulit sehingga kulit tampak merah dan terasa panas, seringkali terjadi pembentukan keringat kemungkinan disebabkan oleh bertambahnya peredaran darah di kulit akibat efek sentral dan pelepasan histamine.i. Adiksi dan Putus Zat Heroin

Adiksi Heroin menunjukkan berbagai segi: 1. Habituasi, yaitu perubahan psikis emosional sehingga penderita ketagihan akan obat tersebut. 2. Ketergantungan fisik, yaitu kebutuhan akan obat tersebut oleh karena faal dan biokimia badan tidak dapat berfungsi lagi tanpa obat tersebut.

3. Toleransi, yaitu meningkatnya kebutuhan obat tersebut untuk mendapat efek yang sama. Walaupun toleransi timbul pada saat pertama penggunaan opioid, tetapi manifes setelah 2-3 minggu penggunaan opioid dosis terapi. Toleransi akan terjadi lebih cepat bila diberikan dalam dosis tinggi dan interval pemberian yang singkat. Toleransi silang merupakan karakteristik opioid yang penting, dimana bila penderita telah toleran dengan morfin, dia juga akan toleran terhadap opioid agonis lainnya, seperti metadon, meperidin dan sebagainya.

Mekanisme Terjadinya Toleransi dan Ketergantungan Obat Mekanisme secara pasti belum diketahui, kemungkinan oleh adaptasi seluler yang menyebabkan perubahan aktivitas enzym, pelepasan biogenic amin tertentu atau beberapa respon immun. Nukleus locus ceruleus diduga bertanggung jawab dalam menimbulkan gejala withdrawl. Nukleus ini kaya akan tempat reseptor opioid, alpha-adrenergic dan reseptor lainnya. Stimulasi pada reseptor opioid dan alpha-adrenergic memberikan respon yang sama pada intraseluler. Stimulasi reseptor oleh agonis opioid (morfin) akan menekan aktivitas adenilsiklase pada siklik AMP. Bila stimulasi ini diberikan secara terus menerus, akan terjadi adaptasi fisiologik di dalam neuron yang membuat level normal dari adeniliklase walaupun berikatan dengan opiat. Bila ikatan opiat ini dighentikan dengan mendadak atau diganti dengan obat yang bersifat antagonis opioid, maka akan terjadi peningkatan efek adenilsilase pada siklik AMP secara mendadak dan berhubungan dengan gejala pasien berupa gejala hiperaktivitas.

Gejala putus obat (gejala abstinensi atau withdrawl syndrome) terjadi bila pecandu obat tersebut menghentikan penggunaan obat secara tiba-tiba. Gejala biasanya timbul dalam 6-10 jam setelah pemberian obat yang terakhir dan puncaknya pada 36-48 jam. Withdrawl dapat terjadi secara spontan akibat penghentian obat secara tiba-tiba atau dapat pula dipresipitasi dengan pemberian antagonis opioid seperti naloxono, naltrexone. Dalam 3 menit setelah injeksi antagonis opioid, timbul gejala withdrawl, mencapai puncaknya dalam 10-20 menit, kemudian menghilang setelah 1 jam. Gejala putus obat:

6 - 12 jam , lakrimasi, rhinorrhea, bertingkat, sering menguap, gelisah. 12 - 24 jam, tidur gelisah, iritabel, tremor, pupil dilatasi (midriasi), anoreksia. 24-72 jam, semua gejala diatas intensitasnya bertambah disertai adanya kelemahan, depresi, nausea, vornitus, diare, kram perut, nyeri pada otot dan tulang, kedinginan dan kepanasan yang bergantian, peningkatan tekanan darah dan denyut jantung, gerakan involunter dari lengan dan tungkai, dehidrasi dan gangguan elektrolit Selanjutnya, gejala hiperaktivitas otonom mulai berkurang secara berangsur-angsur dalam 7-10 hari, tetapi penderita masih tergantung kuat pada obat. Beberapa gejala ringan masih dapat terdeteksi dalam 6 bulan. Pada bayi dengan ibu pecandu obat akan terjadi keterlambatan dalam perkembangan dan pertumbuhan yang dapat terdeteksi setelah usia 1 tahun.

g. Penatalaksanaan Intoksikasi

Intoksikasi akut (over dosis)

Perbaiki dan pertahankan jalan nafas sebaik mungkin

Oksigenasi yang adekuat Naloxone injeksi, dosis awal 0,4 2,0 mg IV (anak-anak 0,01 mg/kgBB)

Efek naloxane terlihat dalam 1 3 menit dan mencapai puncaknya pada 5-10 menit. Bila tidak ada respon naloxane 2 mg dapat diulang tiap 5 menit hingga maksimum 10 mg. Naloxone efektif untuk memperbaiki derjat kesadaran, depresi pernafasan, ukuran pupil. Pasien masih harus diobservasi terhadap efek naloxone dalam 2-3 jam. Oleh karena duration of action yang pendek. Untuk mencegah rekulensi efek opiat dapat diberikan infus naloxone 0,4-0,8 mg/jam hingga gejala minimal (menghilang).

Intoksikasi kronis

Hospitalisasi ( dilakukan untuk pasien pasien adiksi zat, terutama ditujukan untuk:

1. Terapi kondisi withdrawl2. Terapi detoksifikasi

3. Terapi rumatan (maintenance)

4. Terapi komplikasi

5. Terapi aftercareDengan masuknya pasien adiksi ke RS, evaluasi medis fisik perlu mendapat prioritas. Disamping pemeriksaan urine drug screen (untuk mengetahui apakah pasien menggunakan zat lain yang tidak diakuinya), pemeriksaan laboratorium rutin (termasuk fungsi faal hati, ginjal, danjantung), juga dilakukan foto thorak. Terapi detoksifikasi bertujuan agar pasien memutuskan penggunaan zatnya dan mengembalikan kemampuan kognitifnya. Tidak ada bentuk terapi lain yang harus dilakukan sebelum kedua tujuan tersebut berhasil dicapai. Tujuan hospitalisasi lainnya adalah membantu pasien agar dapat mengidentifikasi konsekuensi yang diperoleh sebagai akibat penggunaan zat dan memahami resikonya bila terjadi relaps. Dari segi mental, hospitalisasi membantu mengendalikan suasana perasaannya seperti depressi, paranoid, quilty feeling.

Hospitalisasi jangka pendek sangat disarankan bagi adiksi zat yang memang harus mendapatkan perawatan karena kondisinya. Selama perawatan jangka pendek, pasien dipersiapkan untuk mengikuti terapi rumatan. Untuk kondisi adiksinya, pasien tidak pernah disarankan untuk perawatan jangka panjang.

1. Terapi withdrawl opioid

Withdrawl opioid tidak mengancam jiwa, tetapi berhubungan dengan gangguan psikologis dan distress fisik yang cukup berat.

Kebanyakan pasien dengan gejala putus obat yang ringan hanya membutuhkan lingkungan yang mendukung mereka tanpa memerlukan obat

Klonidin dapat digunakan untuk mengurangi gejala putus obat dengan menekan perasaan gelisah, lakrimasi, rhinorrhea dan keringat berlebihan. Dosis awal diberikan 0,1-0,2 mg tiap 8 jam. Kemudian dapat dinaikkan bila diperlukan hingga 0,8 1,2 mg/hari, selanjutnya dapat ditappering off setelah 10-14 hari.

2. Terapi non spesifik (simptomatik)

Gangguan tidur (insomnia) dapat diberikan hipnotik sedatif

Nyeri dapat diberikan analgetik

Mual dan muntah dapat diberikan golongan metoklopramide

Kolik dapat diberikan antispasmolitika

Gelisah dapat diberikan antiansietas

Rhinorrhea dapat diberikan golongan fenilpropanolamin

3. Terapi detoksifikasi adiksi opioid

Metadon merupakan drug of choice dalam terapi detoksifikasi adiksi opioid. Namun bila dosis metadon diturunkan, kemungkinan relaps sering terjadi. Kendala lain adalah membutuhkan waktu lama dalam terapi detoksifikasi, dan bila menggunakan opioid antagonis maka harus menunggu gejala abstinensia selama 5-7 hari. Dosis metadon yang dianjurkan untuk terapi detoksifikasi heroin (morfin) adalah 2-3 x 5-10 mg perhari peroral. Setelah 2-3 hari stabil dosis mulai di-tappering off dalam 1-3 minggu.

Buprenorphine dosis rendah (1,5-5 mg sublingual setiap 2-3 x seminggu) dilaporkan lebih efektif dan efek withdrawl lebih ringan dibandingkan metadon.

Terapi alternatif lain yang disarankan adalah rapid detoxification yang mempersingkat waktu terapi deteksifikasi dan memudahkan pasien untuk segera masuk dalam terapi opiat antagonis. Jenis teknik rapid deteksifikasi antara lain klinidin naltrexon.

4. Terapi rumatan (maintenance) adiksi opioid

Metadon dan Levo alfa acetyl; methadol (LAAM) merupakan standar terapi rumatan adiksi opioid. Metadon diberikan setiap hari, sedangkan LAAM hanya 3 kali seminggu. Pemberian metadon dan LAAM pada terapi rumatan sangat membantu menekan prilaku kriminal. Untuk terapi maintenance, dosis metadon dapat ditingkatkan (biasanya 40-100mg/hari). Untuk menjaga pasien tetap menyenangkan dan diturunkan secara perlahan-lahan.

Buprenorphine dapat pula digunakan sebagai terapi ruwatan dengan dosis antara 2 mg-20 mg/hari.

Naltrexone digunakan untuk adiksi opioid yang mempunyai motivasi tinggi untuk berhenti. Naltrexone diberikan setiap hari 50-100 mg peroral untuk 2 3 kali seminggu.

5. Terapi after careMeliputi upaya pemantapan dalam bidang fisik, mental, keagamaan, komunikasi-interaksi sosial,edukasional, bertujuan untuk mencapai kondisi prilaku yang lebih baik dan fungsi yang lebih baik dari seorang mantan penyalahguna zat. Peranan keluarga pada saat ini sangat diperlukan.

h. Pemeriksaan Forensik

Pada korban hidup yang menunjukkan gejala keracunan narkotika, perlu dilakukan pengambilan darah dan urin untuk pemeriksaan laboratorium. Apabila hasil pemeriksaan laboratorium memastikan adanya narkotika, maka wajib dilaporkan pada pihak berwenang pada korban mati biasanya kematian disebabkan oleh pengguna-pengguna yang memakai heroin dalam bentuk intravena, baik karena overdosis atau karena pembunuhan dengan suntikan yang biasa menggunakan morfin/heroin dicampur acun lain seperti sianida. Biasanya pada pemeriksaan pada korban yang menggunakan secara intravena didapatkan adanya bekas-bekas suntikan, pembesaran kelenjar getah bening karena penggunaan alat suntik yang tidak steril, lepuh kulit yang juga disebabkan oleh penggunaan suntik. Sedangkan untuk korban mati akibat penggunaan secara inhalasi biasanya paling sering didapatkan perforasi septum nasi dan juga didapatkan adanya tanda-tanda kematian akibat asfiksia seperti keluarnya busa halus dari lubang hidung dan mulut yang berwarna putih, sianosis pada ujung-ujung jari dan bibir, perdarahan petekial pada konjungtiva. Sedangkan untuk pemeriksaan organ lain pada pengguna morfin atau heroin yang paling sering ditemukan adalah kelainan paru berupa edema paru. Namun penemuan ini biasanya paling sering didapatkan pada penggunaan secara intravena karena berdasarkan jangka waktu penyuntikan terakhir dengan kematian yang ditandai oleh adanya perubahan pada paru. i. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan urin

Untuk mengetahui zat yang dipakai penderita, urin harus diperoleh tidak lebih dari 24 jam setelah pemakaian terakhir. Jika kadar morfin dalam urin sebesar 55mg% berarti orang tersebut sudah menggunakan morfin/heroin dalam jumlah yang berlebihan. Bila kadar dalam urin sebesar 5-20mg% berarti sudah berada dalam tingkat toksik. Setelah urin diambil, urin disimpan dalam suhu kamar. Lalu celupkan secara vertikal strip pada spesimen urin selama 10-15 detik, jangan melebihi batas urin. Kemudian tunggu terbentuknya garis lalu baca hasil pada 5 10 menit. Lalu lihat hasilnya dengan interpretasi:

Positif : Hanya terbentuk pita pink pada Control (C)Negatif: Terbentuk dua pita pink pada Control (C) dan pada Test (T).Invalid:Tidak terbentuk pita pink pada Control (C) dan pada Test (T) atau terbentuk pita pink pada Test (T) sedangkan pada Control (C) tidak terbentuk pita pink.2. Pemeriksaan darahDitemukan monoasetilmorfin pada spesimen darah vena. Biasanya bertahan bisa sampai 72 jam setelah pemakaian terakhir.3. Pemeriksaan hapusan hidung pada mukosa hidung. Semprit bekas pakai dan sisa obat yang ditemukan harus dikirim ke laboratorium.

4. Uji Marquis

Untuk heroin, dapat dilakukan pengujian yang lebih khas:

10 tetes campuran asam nitrit pekat dan 85% asam fosfor yang memiliki perbandingan 12:38 diletakkan dalam tabung centrifuge ukuran 5 ml, kemudian ditambahkan 3,25 ml kloroform dan diputar selama 30 detik.

Perhatikan lapisan warna di dasar tabung yang timbul setelah 10 menit:

Hijau muda= negatif.

Kuning muda= 10 mikro gram.

Kuning coklat= 1 mg.

Merah coklat gelap= 10 mg.

KESIMPULANNarkoba atau NAPZA adalah bahan atau zat yang dapat mempengaruhi kondisi kejiwaan maupun psikologi seseorang (pikiran, perasaan dan perilaku) serta dapat menimbulkan ketergantungan fisik dan psikologi. Yang termasuk dalam NAPZA adalah: Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya. Penggunaan zat-zat ini dapat melalui berbagai cara, melalui suntikan, dihirup baik melalui hidung maupun mulut, dimasukkan melalui dubur, dan diminum. Penggunaan narkoba secara inhalasi dapat melalui berbagai cara yang dikenal dengan istilah sniffing, huffing, dan bagging.Heroin merupakan salah satu jenis narkoba yang dapat dikonsumsi melalui cara inhalasi. Heroin mempunyai efek jangka pendek dan jangka panjang bagi pemakainya yang bila dibiarkan akan menyebabkan gangguan kesehatan sampai dengan dengan kematian. Untuk membuktikan kasus kematian akibat penggunaan heroin dapat dilakukan pemeriksaan dalam maupun luar. Penting untuk dicari dari pemeriksaan luar adanya tanda-tanda keberadaan zat narkoba yang menempel pada tubuh. Pada pemeriksaan dalam dan pemeriksaan penunjang perlu dibuktikan adanya zat heroin atau bentuk zat aktifnya pada tubuh korban.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ruttenberg AJ. Etiology heroin, related death. Journal of Forensic Science, 35(4) Juli 1990; 890-900.2. Narkotika dan Psikotropika. Available at: http://www.ut.ac.id/html/suplemen/peki4422/bag%203.htm. Accessed on: 28 February 2014.

3. Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S, Munim W.A, Sidhi, dkk. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik, 1997. Hlm 132, 133-6.

4. Alsagaff, H., Mukty, A. 2009. Anatomi dan Faal Pernapasan dalam Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru, Edisi 6. Airlangga University Press: Surabaya

5. Huffing, Sniffing, Dusting & Bagging. Available at: http://www.inhalant.org/inhalant-abuse/huffing-sniffing-dusting-bagging/. Accessed on: 2 March 2014.

6. Cohan, SL, central nervous system disturbances and brain death narcotics in clinical management of poisoning and drug overdose, ed. By Haddad LM. 2nd ed. Philadelphia: WB Saunders, 1990 (11) : 223-7.7. Way EL. Drugs of abuse basic and clinical pharmacology. Katzung BG (ed). 7th e. Stamfort: Appleton, 1998 (32): 518-9

8. Way WL. Opioid analgesics and antagonist in basic and clinical pharmacology. Katzung BG (ed). 7th e. Stamfort: Appleton, 1998 (31): 496-514.

9. Hubbell KC. Opiats and narcotics in clinical management of poisoning and drug overdose, ed. By Haddad LM. 2nd ed. Philadelphia: WB Saunders, 1990 (38): 706-16.10. Kriegstein. Chasing the dragon heroin use can damage brain. New York: Reuteut Health, 1999.11. Ruttenberg AJ. Etiology heroin, related death. Journal of Forensic Science, 35 (4) July 1990; 890-900.19