Download - Referat Fix Bgt

Transcript

BAB IPENDAHULUANDiabetes melitus ( DM ) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Pada beberapa orang DM dapat jelas terlihat dan disebabkan karena interaksi genetik, faktor lingkungan, dan gaya hidup. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah.Di Negara berkembang, Diabetes mellitus sampai saat ini masih merupakan faktor yang terkait sebagai penyebab kematian sebanyak 4-5 kali lebih besar.Menurut estimasi data WHO maupun IDF, prevalensi Diabetes di Indonesia pada tahun 2000 adalah sebesar 5,6 juta penduduk, tetapi pada kenyataannyaternyatadidapatkan sebesar 8,2 juta. Tentu saja hal ini sangat mencengangkan para praktisi, sehingga perlu dilakukan upaya pencegahan secara komprehensif di setiap sektor terkait. Diabetes sendiri merupakan penyakit kronis yangakan diderita seumur hidupsehingga progresifitas penyakit akan terus berjalan, pada suatu saat dapat menimbulkan komplikasi. Diabetes Mellitus (DM)biasanya berjalan lambat dengan gejala-gejala yang ringansampai berat, bahkan dapat menyebabkan kematian akibat baik komplikasi akut maupun kronis.

BAB IIDIABETES MELITUS TIPE 22.1. DefinisiBerdasarkan definisi American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, diabetes mellitus (DM) adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena gangguan sekresi insulin, kerja insulin ataupun keduanya. Sedangkan menurut WHO 1980 dikatakan bahwa diabetes melitus merupakan sesuatu yang tidak dapat dituangkan dalam satu jawaban yang jelas dan singkat tapi secara umum dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi yang merupakan akibat dari sejumlah faktor di mana didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin. (konsensus)

2.2. PatofisiologiDM tipe 2 (DMT2) merupakan kondisi multifactorial. Sebagian besar pasien DMT2 adalah pasien obesitas atau dengan komponen lemak visceral yang menonjol. Keadaan ini berhubungan dengan resistensi insulin. Resistensi insulin terjadi beberapa dekade sebelum kejadian DMT2. Secara fisiologis tubuh dapat mengatasi resistensi insulin yang terjadi dengan meningkatkan jumlah sekresi insulin sehingga hiperglikemia tidak terjadi. Resistensi insulin yang terjadi secara bertahap dan perlahan menyebabkan hiperglikemia yang awalnya tidak menimbulkan gejala klasik diabetes.Pada suatu saat, gabungan antara defek sekresi insulin dan resistensi insulin menyebabkan terjadinya hiperglikemia. Periode di mana tubuh masih dapat mempertahankan kadar glukosa darah dalam batas normal (bukan DM, tidak termasuk dalam kriteria diagnosis DM maupun prediabetes) disebut stadium normoglikemia, sedangkan periode di mana telah terjadi peningkatan kadar glukosa darah disebut stadium hiperglikemia. Stadium hiperglikemia dapat dibedakan menjadi prediabetes dan DM. stadium prediabetes meliputi toleransi glukosa terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT).Saat DM terdiagnosis, diperkirakan pasien tersebut sudah mengalami kehilangan 50% massa sel beta pancreas, sehingga terjadi ketidakseimbangan antara sekresi insulin dan resistensi insulin itu. DM, khususnya dalam hal hiperglikemia, merupakan bagian sindrom metabolik atau sindrom resistensi insulin. Sindrom metabolic merupakan sekumpulan kelainan metabolik yang mengarah kepada risiko penyakit kardiovaskular dan diabetes.Secara klinis resistensi insulin dikenal dengan ditemukannya beberapa parameter klinis yang dikenal dengan sindrom metabolic. Adanya sindrom metabolik menunjukkan risiko DM dan penyakit kardiovaskular yang tinggi pada individu tersebut.

2.3. DiagnosisDiagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosaria. Guna penentuan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan darah utuh (wholeblood), vena, ataupun angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Sedangkan untuk tujuan pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glukometer.Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti dibawah ini: Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara:1. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM.2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa >126 mg/dL dengan adanya keluhan klasik.3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban 75g glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa, namun pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan karena membutuhkan persiapan khusus.Gambar 1. Algoritma diagnosis DM

Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, bergantung pada hasil yang diperoleh, maka dapat digolongkan ke dalam kelompok toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT).1. TGT: Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140-199 mg/dL (7,8-11,0 mmol/L).2. GDPT: Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma puasa didapatkan antara 100-125 mg/dL (5,6-6,9 mmol/L) dan pemeriksaan TTGO gula darah 2 jam 200 mg/dL (11,1 mmol/L)Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir.Atau

2. Gejala klasik DM+Kadar glukosa plasma puasa >126 mg/dL (7,0 mmol/L)Puasa diartikan pasien tak mendapatkan kalori tambahan sedikitnya 8 jam.Atau

3. Kadar gula plasma 2 jam pada TTGO >200 mg/dL (11,1 mmol/L)TTGO yang dilakukan secara standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75g glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air.

Cara pelaksanaan TTGO (WHO, 1994): Tiga hari sebelum pemeriksaan, pasien tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari (dengan karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti biasa. Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, minum air putih tanpa gula tetap diperbolehkan. Diperiksa kadar glukosa darah puasa. Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/kgBB (anak-anak), dilarutkan dalam air 250 mL dan diminum dalam waktu 5 menit. Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam setelah minum larutan glukosa selesai. Diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa. Selama proses pemeriksaan, subjek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok.Pemeriksaan penyaring dilakukan pada mereka yang mempunyai risiko DM, namun tidak menunjukkan adanya gejala DM. Pemeriksaan penyaring bertujuan untuk menemukan pasien dengan DM, TGT, maupun GDPT, sehingga dapat ditangani lebih dini secara tepat. Pasien dengan TGT dan GDPT juga disebut sebagai intoleransi glukosa, merupakan tahapan sementara menuju DM. kedua keadaan tersebut juga merupakan faktor risiko untuk terjadinya DM dan penyakit kardiovaskular dikemudian hari.Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa. Pemeriksaan penyaring untuk tujuan penjaringan masal (mass screening) tidak dianjurkan mengingat biaya yang mahal, yang pada umumnya tidak diikuti dengan rencana tindak lanjut bagi mereka yang diketemukan adanya kelainan. Pemeriksaan penyaring dianjurkan dikerjakan pada saat pemeriksaan untuk penyakit lain atau general check-up.Tabel 2. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring dan diagnosis DM (mg/dL)Bukan DMBelum pasti DMDM

Kadar glukosa darah sewaktu (mg/dL)Plasma vena200

Darah kapiler200

Kadar glukosa darah puasa (mg/dL)Plasma vena126

Darah kapiler100

2.4. TatalaksanaPilar penatalaksanaan DM1. EdukasiEdukasi mengenai pengertian DM, promosi perilaku hidup sehat, pemantauan glukosa darah mandiri, serta tanda dan gejala hipoglikemia beserta cara mengatasinya perlu dipahami oleh pasien.2. Terapi nutrisi medis (TNM)TNM merupakan aspek penting dari penatalaksanaan DM secara menyeluruh, yang membutuhkan keterlibatan multidisiplin (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan, pasien, serta keluarga pasien). Prinsip pengaturan diet pada penyandang DM adalah menu seimbang sesuai kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing pasien, serta perlu ditekankan pentingnya keteraturan jadwal, jenis dan jumlah makanan.Kebutuhan kalori dilakukan dengan memperhitungkan kalori basal. Kebutuhan kalori ini besarnya 25 kalori (perempuan) 30 kalori (laki-laki) / kgBB ideal, ditambah atau dikurangi tergantung dari beberapa faktor seperti jenis kelamin, umur, aktivitas, berat badan, dan lain-lain. Perhitungan berat badan ideal (BBI) dilakukan dengan rumus Broca yang dimodifikasi, yaitu: BBI = 90% x (tinggi badan dalam cm 100) x 1 kg Bagi pria dengan tinggi badan 15 mEq/L Anion gap normal

Penatalaksanaan1) Pengobatan utama adalah rehidrasi dengan menggunakan cairan, yaitu :a. NaCl isotonik atau hipotonik normal, diguyur 1.000 ml/jam sampai keadaan cairan intravaskular dan perfusi jaringan mulai membaik, baru diperhitungkan kekurangannya dan diberikan dalam 12-48 jam. Pemberian cairan isotonik harus dipertimbangkan untuk pasien dengan gagal jantung, penyakit ginjal, atau hipernatremia. b. Glukosa 5% diberikan pada waktu kadar glukosa darah sekitar 200-250 mg%. Infus glukosa 5% harus disesuaikan untuk mempertahankan kadar glukosa darah 250-300 mg% agar risiko edema serebri berkurang.2) Insulin Pada kenyataannya penggantian cairan dapat menurunkan hiperglikemia. Jumlah insulin yang lebih sedikit dari ketoasidosis diabetik mungkin dibutuhkan. Pengobatan dapat menggunakan skema mirip protokol ketoasidosis diabetik.3) Kalium Dengan ketiadaan asidosis, hiperkalemia pada mulanya mungkin tidak ada kecuali bila terdapat gagal ginjal. Kekurangan kalium total dan terapi kalium pengganti lebih sedikit dibandingkan dengan KAD. Bila terdapat tanda fungsi ginjal yang membaik, perhitungan kekurangan kalium harus segera diberikan.4) Menghindari infeksi sekunder.

Prognosis Angka kematian karena KHNK lebih banyak dibandingkan dengan KAD karena insidens lebih sering pada usia lanjut dan berhubungan dengan penyakit kardiovaskular atau penyakit utama lainnya, dan dehidrasi. Sebenarnya kematian ini tidak berhubungan dengan hiperosmolarnya sendiri. Angka kematian berkisar antara 30-50%.

3.4. Asidosis Laktat DefinisiAsidosis metabolik dapat dibagi menjadi asidosis dengan anion gap (AG) normal dan meningkat. Asidosis laktat merupakan asidosis yang paling sering menyebabkan peningkatan AG. Asidosis laktat pada dasarnya disebabkan oleh turunnya penyediaan oksigen jaringan, misalnya pada penderita dengan kolaps kardiovaskular atau gagal napas; kebutuhan jaringan lebih tinggi dari penyediaan, contoh ekstrim adalah pada status epileptikus; atau penurunan pemakaian laktat hati karena penyakit hati atau hipoperfusi.

Klasifikasi dan etiologiPada tahun 1976, Cohen dan Woods mengklasifikasikan asidosis laktat menjadi 2 kategori, yaitu :terjadinya asidosis laktat dihubungkan dengan adanya gangguan perfusi jaringan ataupun oksigenasi yang jelek (tipe A) dan tidak didapati adanya gangguan perfusi jaringan ataupun oksigenasi dalam hal terjadinya asidosis laktat.Tabel 5. Penyebab asidosis laktat (klasifikasi menurut kohen dan wood)Type ASyok ( kardiogenik, hipovolemi sepsis

Hipoperfusi setempat (hipoksia mesentrika)

Hipoksemia berat

Peningkatan karbon monoksida

Asma berat

Type B, terdiri dariType B1Diabetes melitus

Gangguan fungsi hati

Keganasan

Sepsis

Feokromasitoma

Defisiensi thiamin

Type B2Biguanid

Etanol

Metanol

Stilen glikol

Fruktosa

Sarbitol

Xilitol

Salisilat

Asetaminofen

Epinefrin

Ritodrin

Terbutalin

Sianida

Nitropusid

Isoniazid

Propilen glikol

Type 3Defisiensi glukosa 6 fosfat

Defisiensi fruktosa-1,6 di fosfatase

Defisiensi piruvat karboksilase

Defisiensi pirufat dehidroenase

Gangguan fosforilase oksidatif

Metformin sudah digunakan lebih dari 40 tahun dalam pengobatan DM tipe II Walaupun demikian, terdapat kekhawatiran akan efek samping dari metformin yang dapat menyebabkan timbulnya asidosis laktat, dimana angka mortalitasnya dapat mencapai 50%.Penyakit hati dan ginjal, alkoholisme, dan kondisi yang berkaitan dengan hipoksia (misalnya penyakit jantung dan paru, pembedahan) merupakan kontraindikasi penggunaan metformin. Faktor risiko lain asidosis laktat yang diinduksi oleh metformin adalah sepsis, dehidrasi, dosis tinggi dan usia tua. Asidosis laktat ihr mungkin disebabkan oleh pengaruh biguanid menyebabkan naiknya produksi dan penurunan klirens dari asam laktat yang mengakibatkan naiknya kadar laktat seluler. Potensial redoks inhaseluler akan beralih dari metabolisme aerobik ke anaerobik. Penurunan aktivitas piruvat karboksilase yang merupakan rate limiting enzyme pada pembentukan glukosa dari laktat dapat juga menurunkan metabolisme laktat di hati.Pada tahun 1998 Brown dkk membandingkan angka insidens dari asidosis laktat sebelum dan sesudah beredarnya Metfonnin di Amerika Serikat, mereka menemukan tidak ada perbedaan insidens. Sebelum adanya metformin, insidensnya sebesar 9,7-16,9 per 100.000. Pada suatu meta analisis oleh Salpeter, insidens asidosis laktat pada pasien DM tipe II yang menggunakan metformin sebesar 9,9 per 100.000, sedangkan yang tidak menggunakan metformin sebesar 8,1 per 100.000. Sepertinya memang tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara insindens asidosis laktat pada pengguna Metformin dengan insidens pada pasien dengan DM tipe II. Hal ini menunjukkan bahwa DM merupakan fakor risiko untuk terjadinya asidosis laktat, bukan penggunaan metformin.Sementara itu pada penelitian lain ditemukan bahwa kadar plasma metformin tidak berhubungan dengan kadar asam laktat dalam darah. Temuan ini tentunya semakin mempertanyakan hubungan kausal antara penggunaan metformin dan asidosis laktat.

Gambaran klinisTanda-tanda klinis biasanya memperlihatkan tanda-tanda hipoperfusi jaringan. Hipotensi berat, oliguria atau anuria, perubahan status mental, dan takipnu selalu dijumpai pada asidosis laktat yang disebabkan oleh hipoksemia jaringan.Gambaran klinis yang didapati bila terjadi gangguan perfusi jaringan juga terjadi hipotensi, penurunan kesadaran, vasokonstriksi perifer, dan oliguria. Manifestasi lanjut yang terjadi adalah syok, dan hal ini menjadi indikator keadaan hipoperfusi. Pada penderita juga terjadi takipnu, hipotensi, dan perubahan status mental.Manifestasi lain yang ditemukan adalah tipe pernapasan kussmaul yang menunjukkan suatu keadaan asidosis yang mengakibatkan terjadinya kompensasi pernapasan. Oleh karena sepsis sering didapati pada sebagian besar kasus asidosis laktat, demam (38,5oC) atau hipotermi (35C) menjadi gejala tambahan yang memperlihatkan kemungkinan sudah terjadi sepsis.

DiagnosisAsidosis laktat adalah suatu keadaan asidosis metabolik dengan peningkatan asam laktat dan nilai anion gap. Kriteria diagnosis asidosis laktat adalah kadar asam laktat darah sama atau lebih dari 7 mM, pH arteri lebih rendah dari 7.35, bikarbonat dibawah 15 mEq/1, dan AG meningkat (normal: 8-16 mM). Pada pasien sakit berat, nilai asam laktat masih dianggap normaL sampai kurang dari 2 mM.Pada penderita asidosis laktat dengan kadar albumin serum yang rendah atau kadar globulin yang tinggi dapat ditemukan pH dan AG yang normal. Hal tersebut disebabkan karena hilangnya anion negatif lebih banyak dari kation.Anion gap menggambarkan selisih antara nilai anion dan kation serum tak terukur dan bisa dihitung dengan rumus: Anion gap : Na - (Cl + HCo3.). Peningkatan niai anion gap sering terjadi akibat peningkatan anion tak terukur, misal akibat peningkatan anion organik seperti pada kasus asidosis laktat atau ketoasidosis dan nilai normalnya adalah sekitar 8 mM. Nilai anion gap yang meningkat disertai dengan penurunan pH serum lazim digunakan sebagai dasar diagnosis asidosis laktat meskipun pada prakteknya sering dijumpai keadaan dimana kadar asam laktat meningkat dalam serum namun tidak disertai dengan peningkatan nilai anion gap. Iberti dkk menunjukkan bahwa ternyata onion gap bukan merupakan parameter yang sensitif untuk menilai terjadinya asidosis laktat. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Mehta dkk. Nilai pH serum juga kurang sensitif untuk menilai keadaan asidosis laktat karena dalam beberapa kasus bisa didapatkan pH serum nomal pada pasien sakit berat, kemungkinan akibat kompensasi dari pernapasan atau pada saat bersamaan terjadi alkalosis metabolik.

TatalaksanaPengobatan asidosis laktat selalu difokuskan kepada koreksi pH arteri. Dapat dikatakan bahwa asidosis laktat semata-mata bertanggung jawab terhadap penurunan curah jantung, penurunan respons katekolamin, gangguan metabolisme hati, dan meningkatkan aritmia, di mana faktor-faktor tersebut memperburuk survival rate. Faktor lain yang perlu ditanggulangi adalah mengobati penyakit dasarnya, gagal organ, atau pemberian epinefrin. Jika ditemukan defisiensi dapat diberikan tiamin, maagnesium atau vitamin lainnya. Mempertahankan curah jantung merupakan hal yang sangat penting.

BAB IVKOMPLIKASI KRONIK DIABETES MELITUS TIPE 24.1. Mikroangiopati4.1.1. Retinopati DiabetikRetinopati diabetik adalah proses degenerasi akibat hipoksia di retina karena penyakit diabetes mellitus. Diagnosis retinopati diabetika ditegakkan secara klinis jika dengan pemeriksaan angiografi flurosensi fundus sudah didapatkan mikroaneurisma atau perdarahan pada retina di satu mata, baik dengan atau tanpa eksudat lunak ataupun keras, abnormalitas mikrovaskular intra retina atau hal-hal lain yang telah diketahui sebagai penyebab perubahan-perubahan tersebut.Gejala klinik : Makula udema Eksudat Viterus hemorhage (perdarahan vitreus) Neovascularisasi Ablasi retina Jaringan ikat vitreo retinal Perdarahan di subhyaloidGambar 3. Mekanisme terjadinya Retinopati Diabetik

4.1.2. Nefropati DiabetikNefropati diabetic adalah kelainan ginjal yang dapat muncul sebagai akibat dari komplikasi diabetes mellitus (DM) baik tipe 1 maupun 2, ditandai dengan adanya albuminuria (mikro/makroalbuminuria).Nefropati diabetic dapat menyebabkan gagal ginjal hingga tahap akhir (GGT = Gagal Ginjal Terminal). Oleh karenanya penanganan kasus ini harus dilakukan secara optimal agar dapat mencegah perusakan ginjal ke tahap yang lebih buruk.Progresifitas kelainan ginjal pada diabetes militusdapat dibedakan dalam 5 tahap: Diagnosis Nefropati Diabetik dapat dibuat apabila dipenuhi persyaratan seperti di bawah ini : Riwayat Diabetes Mellitus Kronis Retinopati Diabetika Proteinuria yang persisten selama pemeriksaan interval 2 minggu tanpa penyebab proteinuria yang lain, atau proteinuria 1x pemeriksaan plus kadar kreatinin serum 2.5 mg/dL.Gambar 4. Mekanisme terjadinya Nefropati Diabetik

4.1.3. Neuropati DiabetikNeuropati diabetikum melibatkan baik saraf perifer maupun sistem saraf pusat.Dahulu perubahan neurologis ini dianggap sebagai efek sekunder karena perubahan vasa nervosum.Penelitian terbaru menunjukkan bahwa neuropati perifer pada pasien DM disebabkan karena abnormalitas metabolisme intrinsik sel Schwan yang melibatkan lebih dari satu enzim.Nilai ambang proteksi kaki ditentukan oleh normal tidaknya fungsi saraf sensoris kaki. Pada keadaan normal, rangsang nyeri yang diterima kaki cepat mendapat respon dengan cara merubah posisi kaki untuk mencegah terjadinya kerusakan yang lebih besar. Neuropaty terjadi hampir pada 50% pasien diabetes, berdampak pada defisit fungsi sensori.Destruksi serabut saraf kecil memulai terhadap nyeri diabetes neuropati dan hampir sering disertai dengan disturbansi sensorik dan memacu progresi kearah ulkus kaki.Patogenesis neuropati diabetikum belum diketahui jelas.Ada beberapa teori yang beredar seperti teori metabolik, radikal bebas, autoimun, dan neurotrophic growth factor.Pada teori metabolik, hiperglikemia menjadi biang keladi utama.Hiperglikemia mengakibatkan peningkatan glukosa intraselular dalam saraf sehingga memicu saturasi pada jalur glikolitik normal. Glukosa yang berlebih akan masuk ke dalam jalur polyol dan diubah menjadi sorbitol dan fruktosa oleh enzim aldose reduktase dan sorbitol dehidrogenase. Akumulasi sorbitol dan fruktosa menyebabkan berkurangnya saraf myoinositol melalui mekanisme yang belum jelas.Meskipun terjadi penurunan aktivitas membran Na+/K+ ATPase, kerusakan transport aksonal, dan kerusakan struktur saraf.Akhir dari semua itu adalah terganggunya perambatan potensial aksi saraf.

4.2. Makroangiopati4.2.1. Penyakit Jantung KoronerBerdasarkan studi epidemiologis, maka diabetes merupakan suatu faktorrisiko penyakit jantung koroner.Aterosklerosis koroner ditemukan pada 50-70% penderita Diabetes. Akibat gangguan pada koroner timbulinsufisiensi koroner atau angina pektoris (nyeri dada paroksismal seperti tertindih benda berat dirasakan didaerah rahang bawah, bahu, lengan hingga pergelangan tangan) yang timbul saat beraktifitas atau emosi dan akan mereda setelah beristirahat atau mendapat nitrat sublingual.Akibat yang paling serius adalah infark miokardium, di mana nyeri menetap dan lebih hebat dan tidak mereda dengan pembenian nitrat.Namun gejala-gejala ini dapat tidak timbul pada penderita diabetes sehingga perlu perhatian yang lebih teliti.Tidak semua aterosklerosis pada Diabetes Mellitus menunjukkan gejala. Pada penelitian yang dilakukan, hampir tiga perempat penderita DM tidak menunjukkan gejala klinis penyakit arteri koroner dan 50 % individu yang asimptomatik memiliki penyakit dan juga prevalensi pada penderita yang asimptomatik cukup tinggi yaitu sekitar 20 50% pasien. Guideline dari American College of Cardiology / American Heart Association (ACC/AHA) merekomendasikan graded exercise testing pada penderita diabetes yang akan mendapatkan program latihan intensitas sedang atau tinggi, serta dengan pasien yang memiliki faktor resiko sebagai berikut : Usia > 35 tahun Usia > 25 tahun dengan DM tipe 2 selama > 10 tahun atau DM tipe 1 selama > 15 tahun Adanya kelainan mikrovaskular seperti retinopati atau nefropati Neuropati autonomik Penyakit vaskular perifer.Dislipidemia pada penderita Diabetes Mellitus juga lebih meningkatkan resiko terjadinya penyakit kardiovaskular.Oleh karena itu, pemeriksaan profil lipid dilakukan setahun sekali atau jika diperlukan.

4.2.2. Penyakit Cerebro Vascular (CVA)Aterosklerosis serebri merupakan penyebab mortalitas kedua terseringpadapenderita diabetes.Kira-kira sepertiga penderita stroke juga menderita diabetes.Stroke lebih sering timbul dandengan prognosis yang lebih serius untuk penderitadiabetes. Akibat berkurangnya aliran atrteri karotis internadan arteri vertebralistimbul gangguan neurologis akibat iskemia, berupa: Pusing, sinkop Hemiplegia : partial atau total Afasia sensorik dan motorik Keadaan pseudo dementiaHiperglikemia pada stroke dapat merupakantanda diabetes melitus, tetapi dapat pula merupakantanda respon neuroendokrin terhadap stres.Penelitian pada binatang yang dibuat hiperglikemiasebelum terjadinya iskemia serebral menunjukkanadanya defisit neurologik yang lebih berat.Demikian pula apabila konsentrasi gula darah tinggipada saat iskemia-hipoksia otak merupakan salahsatu variabel yang akan mempengaruhi beratnyakerusakan otak.Penelitian lainmembuktikanbahwa hiperglikemia saat masuk rumah sakitmempunyai hubungan dengan prognosis yangburuk.Pada awal iskemia, hiperglikemia dapatbersifat neuroprotektif, yaitu mengurangidepolarisasi iskemik dengan cara memperlambatkerusakan gradien ion transmembran melaluiglikolisis anaerob. Bila iskemia berlanjut,hiperglikemia menghasilkan asidosis selular karenasubstrat glukosa yang berlebihan untuk glikolisisanaerob pada jaringan iskemik.Bila nilai batasasidosis tercapai, kondisi hiperglikemia menjadimerugikan. Asidosis selular akan menyebabkandisfungsi enzim, peningkatan produksi radikal bebas(lipid peroksidase) dan induksi endonuklease yangmengawali programmed cell deathdan edemaselular.Pada kondisi iskemia juga terjadi peningkatankonsentrasi neurotransmitter glutamat dan aspartat(keduanya bersifat eksitatorik dan neurotoksik) diekstra selular.Dalam kondisi hiperglikemia danhipoksia, konsentrasi ekstraselular keduaneurotransmitter tersebut makin meningkat karenapelepasan yang berlebihan dan kegagalan ambilansehingga terjadi hiperstimulasi pada neuron postsinaptik dan menyebabkan kematian neuron.Kondisi iskemia, hiperglikemia dan hiperstimulasineuron juga menyebabkan peningkatan kalsiumintraselular yang menyebabkan kerusakan neuron.Hiperglikemiameningkatkan ukuran infark pada jaringan otakiskemik yang mengalami reperfusi, tetapi tidak padalesi tanpa reperfusi (infark lakunar).Pada lesiinfark tanpa reperfusi, glukosa yang mencapai selkurang sehingga tidak menambah akumulasi laktatdan asidosis.Jadi daerah iskemik dengan sirkulasikolateral lebih rentan terhadap efek hiperglikemiadari pada daerah distribusi end-artery(infarklakunar).Pada perdarahan intraserebral,hiperglikemia juga memperburuk keadaan denganmekanisme yang sama yaitu produksi laktatberlebihan pada daerah iskemik disekitar lokasiperdarahan.

4.2.3. Penyakit Kaki DiabetikKaki diabetik adalah kelainan pada tungkai bawah yang merupakan komplikasi kronik diabetes mellitus. Suatu penyakit pada penderita diabetes bagian kaki, dengan gejala dan tanda sebagai berikut :1. Sering kesemutan/gringgingan (asmiptomatus).2. Jarak tampak menjadi lebih pendek (klaudilasio intermil).3. Nyeri saat istirahat.4. Kerusakan jaringan (necrosis, ulkus).Salah satu komplikasi yang sangat ditakuti penderita diabetes adalah kaki diabetik. Komplikasi ini terjadi karena terjadinya kerusakan saraf, pasien tidak dapat membedakan suhu panas dan dingin, rasa sakit pun berkurang.

Patofisiologi dan Patogenesis Kaki DiabetikKaki Diabetik akibat angiopati / iskemiaPenderita hiperglikemia yang lama akan menyebabkan perubahan patologi pada pembuluh darah. Ini dapat menyebabkan penebalan tunika intima hiperplasia membran basalis arteria, oklusi (penyumbatan) arteria, dan hiperkeragulabilitas atau abnormalitas tromborsit, sehingga menghantarkan pelekatan (adhesi) dan pembekuan (agregasi). Selain itu, hiperglikemia juga menyebabkan lekosit DM tidak normal sehingga fungsi khemotoksis di lokasi radang terganggu. Demikian pula fungsi fagositosis dan bakterisid intrasel menurun sehingga bila ada infeksi mikroorganisme (bakteri), sukar untuk dimusnahkan oleh sistem plagositosis-bakterisid intraseluler. Hal tersebut akan diperoleh lagi oleh tidak saja kekakuan arteri, namun juga diperberat oleh rheologi darah yang tidak normal.Manifestasi angiopati pada pembuluh darah penderita DM antara lain berupa penyempitan dan penyumbatan pembuluh darah perifer (yang utama). Sering terjadi pada tungkai bawah (terutama kaki). Akibatnya, perfusi jaringan bagian distal dari tungkai menjadi kurang baik dan timbul ulkus yang kemudian dapat berkembang menjadi nekrosis/gangren yang sangat sulit diatasi dan tidak jarang memerlukan/tindakan amputasi.

Kaki Diabetik akibat neuropatiPasien diabetes mellitus sering mengalami neuropati perifer, terutama pada pasien dengan gula darah yang tidak terkontrol. Neuropati diabetik dapat menyebabkan insensitivitas atau hilangnya kemampuan untuk merasakan nyeri, panas, dan dingin. Diabetes yang menderita neuropati dapat berkembang menjadi luka, parut, lepuh, atau luka karena tekanan yang tidak disadari akibat adanya insensitivitas. Apabila cedera kecil ini tidak ditangani, maka akibatnya dapat terjadi komplikasi dan menyebabkan ulserasi dan bahkan amputasi. Secara klinis dijumpai parestesi, hiperestesi, nyeri radikuler, hilangnya reflek tendon, hilangnya sensibilitas, anhidrosis, pembentukan kalus, ulkus tropik, perubahan bentuk kaki karena atrofi otot ataupun perubahan tulang dan sendi seperti Bunion, Hammer Toes (ibujari martil), dan Charcot Foot. Secara radiologis akan nampak adanya demineralisasi, osteolisis atau sendi Charcot.Gambar 5. Patofisiologi ternyadinya kaki diabetik

BAB VKESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA1. Cahill F Goerge. Diabetes Mellitus. Cecil Textbook Of Medicine. 5th. W.B. Saunders Company. Philadelphia, London, Toronto: 1979; 1969; 1969-89.2. Davey Patrick. Diabetes Melitus. At a Glance Medicine. Erlangga. Jakarta: 266-70.3. Fauci,. Braunwald,. Kasper,. Et al. Diabetes Mellitus in : Principle of Internal medicine. Mc Graw-Hill: Philadeiphia.4. Gustaviani Reno. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4th . Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2006; 1879-81.5. Guyton C Arthur, Hall E John. Diabetes Melitus. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 9th. EGC. Jakarta: 1997; 1234-8.6. Guyton, A,. Hall, J,. 2006. Insulin, Glucagon, and Diabetes Mellitus in: Medical Physiology. Elsevier Saunder: Philadelphia. 974-975.7. http://care.diabetesjournals.org/content/27/suppl_1/s5.full8. http://www.medicastore.com.9. http://www.merck.com10. http://www.prodia.co.id11. http://www.staff.ncl.ac.uk/philip.home/who_dmc.htm12. Januarman,. 2011. Ulkus Diabetikum. ( diakses dari : medlinux.blogspot.com)13. Maffin, G. 2005. Patophysiology Concept of Altered Health States. Lippincott:Newyork. 569.14. Mansjoer Arif, Triyanti Kuspuji. Diabetes Melitus. Kapita Selekta Kedokteran. 3rd. Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2001; 580-6.15. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2 Di Indonesia. Semarang: 2002.16. Permana, H. 2011. Komplikasi Kronik dan Penyakit Penyerta pada Diabetes.( diakses dari : pustaka.unpad.ac.id)17. Powers C Alvin. Diabetes Mellitus. Harrisons Principles Of Internal Medicine. 16th. Medical Publishing Division Mc Graw-Hill. North America: 2005; 2152-80.18. Silbernagi,. Lang,. 2000. Acute Effect of Insulin Deficiency in: Color Atlas of pathophysiology. Thieme: Newyork. 288.19. Silbernagi,. Lang,. 2000. Causes of Diabetes Mellitus in: Color Atlas of pathophysiology. Thieme: Newyork. 287.20. Soegondo Sidartawan. Farmakoterapi Pada Pengendalian Glikemia Diabetes Melitus Tipe 2. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4th . Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2006; 1882-5.21. Soegondo, Suwondo, Soebekti. 2011. Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu. FK UI press: Jakarta. 151-175.22. Suryono Slamet. Diabetes Melitus Di Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4th . Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2006; 1874-8.23. Yunir Em, Soebardi Suharko. Terapi Non Farmakologi Pada Diabetes Melitus. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4th . Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2006; 1886-9.38