DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA
------
RANCANGAN UNDANG-UNDANG
TENTANG
PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2007
TENTANG
PENANGGULANGAN BENCANA
JAKARTA
2017
i
DAFTAR ISI DAFTAR ISI i
BAGIAN KESATU: Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Pananggulangan Bencana
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang ……....………………………………………………….. 1
B. Perumusan Masalah..……………………………………….…………… 6
C. Tujuan dan Kegunaan Penyusunan Naskah Akademis………….. 7
D. Metode ……………….. …………………………………………………….. 8
BAB II KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS PENANGGULANGAN BENCANA 9
A. Kajian Teoretis ..…………………………………………………………… 9
1. Pengertian Bencana………………..………………………………….. 9
2. Pengertian Penaggulangan ……………………….………………….. 12
3. Model-Model Penanggulangan Bencana ……..…………………… 14
B. Praktik Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana
berdasarkan UU Nomor 24 Tahun 2007 dan Permasalahannya 16
C. Sistem Penanggulangan Bencana yang ingin dikembangkan ke
depan………………………………………………….……………………… 19
BAB III EVALUASI DAN ANALISIS KETERKAITAN PERATURAN TERKAIT PENANGGULANGAN BENCANA 21
A. Evaluasi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007.………………… 21
B. Analisis Keterkaitan Peraturan terkait Penanggulangan
Bencana………………………….. …………………………………………. 22
1. UUD Negara Republik Indonesia Tahunm1945…..…………….. 22
2. UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah…… 23
3. UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan……………….… 24
4. UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil……………………………………..… 24
5. UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang …….…… 24
6. UU Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi ……………………… 24
7. UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup …………………………….…….… 24
ii
8. UU Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan …………………………..…….… 25
9. UU Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya…………….. 25
C. Permasalahan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana ………………………………………………. 25
BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS 27
A. Landasan Filosofis ………………………………………………………. 27
B. Landaan Sosiologis ………………………………………………………. 27
C. Landasan Yuridis …………………………………………………………. 28
BAB V JANGKAUAN ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG 30
A. Jangkauan dan Arah Pengaturan……………………………………… 30
B. Ruang Lingkup Materi Muatan ………………………………………. 30
1. Ketentuan Umum………………………………………………………. 30
2. Materi Yang Diatur ……………………..……………………………… 32
BAB VI PENUTUP 48
A. Simpulan ……………………………………………………………………. 48
B. Saran …………………………………………………………………….... .. 50
DAFTAR PUSTAKA 51
BAGIAN KEDUA: Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA
------
BAGIAN KESATU
NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN UNDANG-UNDANG
TENTANG
PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2007
TENTANG
PENANGGULANGAN BENCANA
JAKARTA
2017
-1-
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
(Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007) telah memberikan landasan
hukum bagi penyelenggaraan penanggulangan bencana di tanah air.
Undang-Undang yang dilahirkan dari inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat
didorong semangat mengejawantahkan amanat Pembukaan UUD 1945
agar Negara Republik Indonesia melindungi segenap bangsa dan seluruh
tumpah darah Indonesia. Undang-Undang tersebut memberikan dasar
dan arah pembangunan sistem penanggulangan bencana di tanah air
yang memberikan landasan, asas, dan tujuan, menetapkan
penanggungjawab penyelenggaraan penanggulangan bencana serta
wewenangnya, mengatur kelembagaan, menjelaskan hak dan kewajiban
masyarakat, peran lembaga usaha dan lembaga internasional.
Undang-Undang tersebut juga memberikan garis besar penyelenggaraan
penanggulangan bencana, pendanaan dan pengelolaan bantuan bencana,
pengawasan, hingga penetapan ketentuan pidana. Untuk mendukung
pelaksanaan Undang-Undang tersebut, diterbitkan tiga Peraturan
Pemerintah yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, Peraturan Pemerintah Nomor
22 Tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana,
Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2008 tentang Peran Serta
Lembaga Internasional dan Lembaga Asing Non-pemerintah dalam
Penanggulangan Bencana. Selain itu juga ditetapkan Peraturan Presiden
Nomor 8 Tahun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana.
Adapun yang dimaksud dengan penyelenggaraan penanggulangan
bencana adalah suatu proses yang dinamis, terpadu dan berkelanjutan
untuk mengelola sumberdaya guna meningkatkan kualitas penanganan
bencana, yang terdiri dari rangkaian kegiatan yang meliputi pencegahan,
mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat, rehabilitasi dan pembangunan
kembali. Sesuai dengan pengertian tersebut, Undang-Undang nomor 24
Tahun 2007, mendorong tata kelola penanggulangan bencana di Indonesia
untuk tidak hanya fokus pada upaya penanganan respon darurat semata,
melainkan menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan risiko bencana secara
-2-
komprehensif. Selain itu, sesuai dengan prinsip-prinsip desentralisasi dan
otonomi daerah, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 juga diharapkan
dapat mendorong penguatan kapasitas pemerintah daerah selaku ujung-
tombak penanggulangan bencana di Indonesia. Kemudian, dengan
memahami bahwa “bencana adalah urusan semua orang”, Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2007 juga diharapkan dapat memfasilitasi
keterlibatan para-pihak, khususnya masyarakat sipil dan dunia usaha,
selain pemerintah selaku pemangku kewajiban, untuk terlibat dalam
pengarusutamaan pengurangan risiko bencana di Indonesia.1
Dalam kurun waktu satu dekade sejak Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2007 ini disahkan, telah banyak kemajuan-kemajuan yang berhasil diraih
dalam konteks penanggulangan bencana di Indonesia. Secara nasional,
dekade pertama sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2007 adalah fase penting dalam peletakkan penguatan komitmen serta
peletakkan pondasi dasar kelembagaan penanggulangan bencana di
Indonesia. Di antara kemajuan-kemajuan tersebut adalah
dicantumkannya penanggulangan bencana dalam Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 dan RPJMN 2015-2019.
Pada RPJMN 2010-2014, penanggulangan (pengelolaan) bencana bersama
dengan lingkungan hidup menjadi prioritas ke-9.
Sementara pada RPJMN 2015-2019, pengelolaan bencana, yang
digabungkan dengan pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup,
merupakan sub-agenda dari agenda ketujuh, sebagai bagian dari upaya
Mewujudkan Kemandirian Ekonomi dengan Menggerakkan Sektor-Sektor
Strategis Ekonomi Domestik. Sasaran kebijakan penanggulangan bencana
berdasarkan RPJMN 2010-2019 adalah menurunnya indeks risiko
bencana pada pusat-pusat pertumbuhan berisiko tinggi. Dengan tiga arah
kebijakan dan strategi, yakni (1) Internalisasi pengurangan risiko bencana
dalam kerangka pembangunan berkelanjutan di pusat dan daerah; (2)
Penurunan tingkat kerentanan terhadap bencana; dan (3) Peningkatan
kapasitas pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat dalam
penanggulangan bencana.2
1 Lihat. Parlan, Hening. “Chapter 4. Policy and Advocacy: Role of Civil Society in Disaster Management
Bill Processes in Indonesia” dalam Shaw, Rajib and Takako Izumi. 2014. Civil Society Organization and Disaster Risk Reduction: The Asian Dilemma. Springer. Tokyo.
2 Lihat Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019
-3-
Selain prestasi pada tingkat nasional, kontribusi Indonesia dalam
pengayaan khasanah pengetahuan dan kebijakan mengenai
penanggulangan bencana juga mulai mendapatkan apresiasi dari
komunitas internasional. Salah-satunya ditunjukkan dengan
penganugerahan Global Champion of Disaster Risk Reduction kepada
Presiden RI kelima Bapak DR. Susilo Bambang Yudhoyono. Selain itu,
Indonesia juga dipercaya menjadi tuan-rumah penyelenggaraan
Pertemuan Tingkat Menteri Asia Pasifik bidang Pengurangan Risiko
Bencana (AMCDRR) ke-5 pada tahun 2012 di Yogyakarta.
Perkembangan kebijakan penanggulangan bencana di Indonesia juga
dipengaruhi oleh sebuah pedoman umum atau Kerangka Aksi Hyogo
Pengurangan Risiko Bencana 2005-2015—Hyogo Framework for Action
atau selanjutnya disebut HFA—yang merupakan dokumen keluaran dari
Konferensi Dunia Mengenai Pengurangan Risiko Bencana pada 18-22
Januari 2005.3 Dalam beberapa hal, penyusunan UU No. 24 tahun 2007
juga dipengaruhi oleh Kerangka Aksi Hyogo.4
Indonesia secara rutin memberikan laporan kemajuan dalam
penanggulangan bencana dengan menggunakan HFA sebagai tolok-
ukurnya. Laporan-laporan tersebut tersedia secara on-line diportal
http://preventionweb.int. Laporan tersebut adalah hasil diskusi para
pihak yang terkait dalam penanggulangan bencana di Indonesia.
Rekapitulasi penilaian bersama atas capaian Indonesia dalam
penanggulangan bencana berdasarkan perspektif Kerangka Aksi Hyogo
tertuang dalam tabel di bawah ini.
3 Lihat UNISDR. Hyogo Framework for Action 2005-2015: Building the Resilience of Nation and
Communities to Disaster. Dokumen dapat diunduh dari http://www.unisdr.org/2005/wcdr/intergover/official-doc/L-docs/Hyogo-framework-for-action-english.pdf
4 Lihat UNDP. 2009. Lesson Learned: Disaster Management Legal Reform. Indonesian Experience. Dokumen dapat diunduh di http://www.preventionweb.net/publications/view/10468
-4-
Kemajuan Pengurangan Risiko Bencana di Indonesia berdasarkan
HFA5
No Prioritas Aksi 2007-09 2009-11 2011-13 2013-15
1 Kebijakan dan Kelembagaan 3.25 3.5 3.5 3.5
2 Pemahaman Risiko dan Peringatan Dini 3 4 3.75 4
3 Pengetahuan dan Pendidikan 2.5 3 4 4
4 Pengurangan Faktor Risiko Mendasar 3.16 3.5 3.33 3.33
5 Kesiapsiagaan dan Respon Efektif 3.25 2.75 3.5 3.5
Rata-Rata 3.03 3.35 3.61 3.66
Dengan membaca laporan tersebut, dapat disimpulkan “telah ada
beberapa komitmen dan kapasitas dalam pengurangan risiko bencana,
namun hasilnya belum substansial”, sebagai kesimpulan umum tentang
capaian Indonesia dalam pengurangan risiko bencana. Kesimpulan ini
mencerminkan perlunya meningkatkan investasi dalam peningkatan
kapasitas nasional dalam penanggulangan bencana.
Pada saat ini, tantangan-tantangan dalam penanggulangan bencana,
sesungguhnya juga telah mengalami perkembangan dibandingkan dengan
kondisi 10 (sepuluh) tahun yang lalu. Pada tingkat nasional,
pencantuman pengelolaan bencana dalam nawacita ketujuh yang lebih
bernuansa ekonomi, menunjukkan keinginan pemerintah pimpinan
Presiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla untuk mendorong penanggulangan
bencana sebagai investasi ekonomi untuk menyelamatkan atau
mengamankan hasil-hasil pembangunan. Hal ini tentu saja berbeda
dengan cara-pandang konvensional yang melihat penanggulangan
bencana sebagai aktivitas penyelematan nyawa (life-saving activities).
Kalimat “menurunnya indeks risiko bencana pada pusat-pusat
pertumbuhan berisiko tinggi” secara eksplisit menunjukkan kesadaran
5 Lihat UN-ISDR. 2008. Indicators of Progress: Guidance on Measuring the Reduction of Disaster Risk and the Implementation of HFA. Berdasarkan dokumen tersebut HFA menggunakan lima tingkatan penilaian dalam mengukur kemajuan. Tingkatan yang dimaksud adalah sebagai berikut:
Tingkat Deskripsi Umum Pencapaian
5 Telah diraih capaian yang komprehensif, disertai dengan komitmen dan kapasitas untuk menopang upaya keberlanjutannya di semua tingkatan.
4 Telah diraih capaian yang berkelanjutan, namun dengan adanya catatan pada komitmen, sumberdaya keuangan, atau kapasitas operasional.
3 Terdapat beberapa komitmen dan kapasitas dalam pencapaian pengurangan risiko bencana, namun kemajuannya masih belum substansial.
2 Ada beberapa kemajuan yang berhasil dibuat namun relative kecil dan belum lengkap, komitmen dan kapasitas juga terbatas.
1 Capaian masih kecil dan terdapat beberapa tanda pada perencanaan atau tindak-lanjut untuk meningkatkan keadaan.
-5-
pemerintah atas implikasi ekonomi akibat bencana, khususnya di negeri
yang memiliki karakteristik multi-ancaman seperti Indonesia.
Berdasarkan perkiraan kasar, tidak kurang rata-rata Rp 30 triliun
kerugian akibat bencana yang harus ditanggung Indonesia setiap tahun.
Jumlah kerugian ini tidak sebanding dengan dana yang disiapkan untuk
menanggulangi bencana.
Tantangan lain yang juga tidak kalah pelik adalah bagaimana melakukan
harmonisasi dengan Undang-Undang lain, seperti Undang-Undang No 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 12 ayat (1) Undang-
Undang 23 Tahun 2014 secara implisit menekankan penanggulangan
bencana adalah bagian dari urusan ketenteraman, ketertiban umum, dan
pelindungan masyarakat sebagai urusan wajib pemerintah daerah. 6
Dengan demikian, penanggulangan bencana secara resmi telah menjadi
urusan wajib daerah. Pada konteks ini, salah-satu fokus advokasi para
pelaku penanggulangan bencana sudah bisa dikatakan telah tercapai.
Akan tetapi, ketika penanggulangan bencana dipandang sebagai bagian
urusan ketenteraman, ketertiban umum, dan perlindungan masyarakat,
muncul kesan adanya “pengecilan” fungsi BPBD dengan adanya anggapan
bahwa selama fungsi penanggulangan bencana bisa dijalankan, maka
pembentukkan badan khusus untuk penanggulangan bencana tidak lagi
sebuah kewajiban. Masalah semakin melebar ketika Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 juga mengatur masalah penggunaan “dana
darurat” dalam kondisi bencana. 7 Dalam Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2007, ketentuan serupa dengan “dana darurat” disebut sebagai
“dana siap pakai”. 8 Pertanyaan yang mengemuka seputar masalah ini
adalah siapa yang akan menjadi penanggungjawab utama pengelolaan
dana darurat bencana?
Naskah Akademik penyusunan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007
menyatakan bahwa ketika Undang-Undang tersebut disusun, penanganan
bencana di Indonesia masih belum optimal dan terkesan lambat. Hal ini
disebabkan oleh berbagai hal, antara lain penanganan bencana yang
bersifat parsial, sektoral dan kurang terpadu. Pandangan umum yang
masih berorientasi pada upaya tanggap darurat yang dilakukan
6 Kejelasan posisi penanggulangan bencana terdapat dalam matrik Pembagian Urusan Pemerintahan
Konkuren antara Pemerintah Pusat dan Daera Provinsi dan Daerah Kabupaten Kota. 7 Lihat pasal 279, 295, dan 296 UU No. 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah. 8 Lihat pasal 6, pasal 62 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No. 24 tahun 2007.
-6-
pemerintah dan kebanyakan berupa pemberian bantuan fisik. Undang-
Undang tersebut diharapkan dapat menjadi suatu dasar hukum formal
yang mengatur fungsi dan peran berbagai pihak terkait dalam
penanganan bencana untuk mengurangi kegamangan pemerintah,
mendorong koordinasi yang lebih jelas sehingga menghasilkan
penanganan kedaruratan yang lebih efektif. Undang-undang tersebut
diharapkan menjadi adalah salah satu jalan keluar yang dapat ditempuh
untuk mengatasi berbagai persoalan seperti kelemahan koordinasi, mis-
komunikasi, tidak efektifnya penanganan yang bersifat sektoral dan
terfragmentasi9.
Selama kurang lebihsatu dekade pelaksanaan Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2007 beserta peraturan perundangan turunannya,disadari
bersama bahwa permasalahan-permasalahan yang diharapkan dapat
terperbaiki dengan lahirnya Undang-Undang tersebut ternyata masih
terus berlanjut. Permasalahan-permasalahan tersebut diantaranya
adalah masih adanya kelemahan koordinasi, mis-komunikasi,
penanganan yang bersifat sektoral dan terfragmentasi. Selain itu,
pandangan para pelaku penanggulangan bencana kunci pun masih
berorientasi pada upaya tanggap darurat dan masih berupa pemberian
bantuan fisik.
B. Perumusan Masalah
Secara garis besar permasalahan kunci dalam penyelenggaraan
penanggulangan bencana dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Pengayaan pemahaman tentang pengertian “bencana” dengan
memberikan pengertian bahwa sebuah peristiwa atau rangkaian
kejadian dapat dikatakan bencana jika dampaknya melampaui
kemampuan masyarakat terdampak; dan penambahan definisi
mengenai “status bencana” untuk memberikan kejelasan bagi
pemahaman bagi pelaku penanganan darurat bencana.
2. Penetapan status darurat bencana diperkaya dengan memuat
ketentuan tentang tujuan penetapan status bencana untuk
memberikan kepastian hukum dalam penyelenggaraan tanggap
darurat bencana.
3. Penguatan posisi BNPB sesuai ketentuan ketatanegaraan yaitu dengan
mengganti unsur pengarah menjadi Dewan Penanggulangan Bencana.
9 Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Penanggulangan Bencana, DPR RI, 2007.
-7-
Dengan demikian maka Pemerintah sebagaimana dimaksud pada
Pasal 5 membentuk Dewan Penanggulangan Bencana dan Badan
Penanggulangan Bencana. Keanggotaan Dewan Penanggulangan
Bencana yang ditunjuk Presiden terdiri dari pejabat pemerintah
setingkat menteri dan anggota masyarakat professional. Selain itu
untuk menguatkan posisi BNPB maka BNPB merupakan lembaga
pemerintah non kementerian yang dipimpin oleh seorang pejabat
setingkat menteri.
4. Menekankan fungsi BNPB sebagai koordinator dalam penyusunan
rencana penanggulangan bencana serta menunjuk pemerintah dan
pemerintah daerah sebagai subyek pelaksanaan rencana
penanggulangan bencana.
5. Ketentuan penganggaran program kegiatan penanggulangan bencana
dalam anggaran belanja Pemerintah dan Pemerintah Daerah
berdasarkan dokumen rencana penanggulangan bencana pada sektor
dan tataran masing-masing.
C. Tujuan dan Kegunaan Kegiatan Penyusunan Naskah Akademik
Sesuai dengan ruang lingkup identifikasi masalah yang dikemukakakn di
atas, tujuan penyusunan Naskas Akademik dirumuskan sebagai berikut:
1. Merumuskan permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan
berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat serta cara-cara mengatasi
permasalahan tersebut;
2. Merumuskan permasalahan hukum yag dihadapi sebagai alasan
pembentukan rancangan undang-undang sebagai dasar hukum
penyelesaian atau solusi permasalahan dalam kehidupan berbangsa,
bernegara, dan bermasyarakat;
3. Merumuskan pertimbangan atau landasa filososfis, sosiologis, yuridis
pembentukan rancangan undang-undang; dan
4. Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup
pengaturan, jangjauan, dan arah pengaturan dalam rancangan
uncang-undang.
Sementara itu kegunaan penyusunan NAskah Akademik adalah sebagai
acuan atau referensi penyusunan dan pembahasan rancangan undang-
undang.
-8-
D. Metode
Adapun teknik-teknik yang digunakan dalam penulisan Naskah Akademik
ini adalah :
1. Pengkajian literatur dan dokumen. Pengkajian ini dilakukan dengan
mengkaji berbagai literatur baik terkait dengan teoritis, aturan
perundangan, dokumenkenegaraan, dokumen departemen untuk
mendapatkan kajian lebih mendalam atas penyelenggaraan
penanggulangan bencana di Indonesia.
2. Workshop dan Focussed Group Discussion yang diselenggarakan
organisasi-organisasi masyarakat sipil praktisi dan pemerhati
kebijakan kebencanaan Indonesia. Worshop tersebut membahas
tentang berbagai pandangan bencana dari berbagai elemen
masyarakat, baik dari pemerintah, LSM, akademisi, dan anggota DPD
penyelenggaraan penanggulangan bencana di Indonesia.
3. Penelitian empiris di tiga provinsi, yakni Provinsi Jambi, Jawa Barat,
dan Kalimantan Timur sebagai upaya menjaring aspirasi dari
pemerintah dan pemangku kepentingan di daerah mengenai
pentingnya kebijakan penanggulangan bencana di Indonesia.
4. Rangkaian Rapat Dengar Pendapat Umum yang diselenggarakan oleh
Panitia Penyusun Undang-Undang DPD-RI dengan masyarakat sipil,
pimpinan Badan Nasional Penanggulangan Bencana, dan Pimpinan
dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah.
5. Analisis data dan fakta. Analisis kami lakukan untuk mendapatkan
kesimpulan dari penyelenggaraan penanggulangan bencana saat ini
dan mencari solusi agar tidak terjadi kembali dimasa yang akan
datang.
-9-
BAB II
KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTEK EMPIRIS
PENANGGULANGAN BENCANA
A. Teori Penanggulangan Bencana
1. Pengertian Bencana
Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan pengertian bencana
sebagai; (1) sesuatu yang menyebabkan (menimbulkan) kesusahan,
kerugian, atau penderitaan; kecelakaan; bahaya; (2) gangguan;
godaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia juga memberikan pengertian
atas “bencana alam” dengan pengertian yang sederhana, yakni
“bencana yang disebabkan oleh alam (seperti gempa bumi, angin
besar, dan banjir)”. 10 Dalam bahasa Indonesia istilah bencana
memiliki beberapa padanan kata. Bahasa Indonesia memiliki kata-
kata seperti “azab”, “musibah”, “bala”, atau “malapetaka” yang kerap
diasosiasikan dengan istilah atau kata “bencana”. Meski demikian,
memang tidak lazim menggunakan kata selain kata “bencana” saat
diasosiasikan dengan istilah penanggulangan. Dalam khazanah
publik, sepertinya jarang mendengar istilah seperti “penanggulangan
azab” atau “penanggulangan musibah”.
Kecuali istilah “bencana alam”, pada umumnya publik memahami
istilah “bencana”, “azab”, “musibah”, “bala”, dan “malapetaka”
sebagai akibat atau balasan atas ulah yang tidak sesuai dengan
aturan atau kelaziman. Masyarakat Indonesia pada umumnya
mempercayai adanya hubungan timbal-balik antara manusia dengan
alam atau manusia dengan Tuhan Maha Pencipta dari setiap
kejadian bencana yang dialami. Pemahaman ini juga dipengaruhi
oleh kondisi geografis Indonesia yang secara rutin terpapar oleh
berbagai jenis kejadian bencana. Pemahaman spiritual dan
tradisional mengenai bencana dan penanggulangan bencana
bersandingan dengan dengan pemahaman-pemahaman ilmiah yang
mulai tumbuh seiring dengan semakin populernya penelitian-
penelitian ilmiah tentang bencana dan penanggulangan bencana.
Beberapa penulis seperti Lyons (1999) mengklasifikasikan bencana
ke dalam dua jenis yaitu bencana alam (natural disaster) yang
disebabkan kejadian alam (natural) seperti gempa bumi dan gunung
10 Lihat http://kbbi.web.id/bencana
-10-
meletus, dan bencana buatan manusia (man-made disaster) yaitu
hasil dari tindakan secara langsung atau tidak langsung manusia
seperti perang, konflik antar penduduk, teroris, dan kegagalan
teknologi. Rice (1999) menambahkan satu kategori lagi yaitu bencana
teknologi.
Pembahasan tentang bencana biasanya diawali dengan, disatu pihak,
adanya suatu fenomena yang mempunyai potensi ANCAMAN
terhadap hidup dan kehidupan, kesejahteraan dan aset-aset manusia
(Smith, 1992 11 ; Carter, 1991 12 ). Beberapa ancaman mempunyai
peluang lebih tinggi dari yang lainnya untuk benar-benar menjadi
suatu peristiwa. Di pihak lain masyarakat mempunyai
KERENTANAN, yaitu keadaan dan ciri-ciri tertentu yang
mempertinggi kemungkinan mereka untuk tercederai oleh ancaman-
ancaman pada saat benar-benar menjadi suatu peristiwa yang
merusak. Pertemuan dari ancaman dan kerentanan inilah yang
disebut dengan peristiwa bencana. Singkatnya, alam semesta dan
isinya ini sejatinya bersifat netral (Cuny, 198313), hanya pada saat
tertentu ketika ancaman itu menjadi suatu peristiwa dan peristiwa
itu berdampak merugikan manusia maka peristiwa itu disebut
sebagai suatu bencana.
Carter(1992) 14 membagi penyebab bencana menjadi dua, yaitu
’ancaman tradisional’ seperti gejala-gejala alami termasuk
gempabumi, angin topan, letusan gunungapi, tsunami, kebakaran
hutan, banjir, tanah longsor, dan kekeringan. Sementara itu timbul
pula ’ancaman baru’ seperti kekerasan sosial, serangan terror,
kerusuhan sosial dan sebagainya. Dalam kategori ini juga didapati
ancaman dari penyimpanan, transportasi, pemrosesan dan
pembuangan limbah bahan-bahan berbahaya (hazardous materials),
ancaman nuklir baik dalam konteks penggunaan untuk tujuan
damai maupun peperangan.
Sekretariat Strategi Internasional untuk Pengurangan Bencana
(International Strategy for Disaster Reduction) Perserikatan Bangsa-
Bangsa (ISDR, 2004), menggeser penekanan pada pemaknaan
bencana dari yang tadinya bertumpu pada ”sebab-musabab” suatu
11 Smith. K., Environmental Hazards: Assessing Risk and Reducing Disaster, London, Routledge, 1992 12 ADB, ca. 1991, Disaster Management, A Disaster Manager's Handbook, Manila: ADB 13 Cuny.F.C. 1983. Disasters and Development. New York: Oxford University Press 14 Carter. Nick, Disaster management: A Disaster Manager’s Handbook, ADB, Manila, 1991
-11-
kejadian menjadi suatu pandangan yang menekankan pada
”dampak” kejadian tersebut pada manusia, dan menyusun suatu
definisi standar tentang bencana yang dimutakhirkan pada tanggal
31 Maret 2004, sebagai berikut:
suatu gangguan serius terhadap keberfungsian suatu [masyarakat] sehingga menyebabkan [kerugian] yang meluas pada kehidupan manusia dari segi materi, ekonomi atau lingkungan dan yang melampaui kemampuan [masyarakat] tersebut untuk mengatasi dengan menggunakan sumberdaya mereka sendiri (A serious disruption of the functioning of a community or a society causing widespread human, material, economic or environmental losses which exceed the ability of the affected community or society to cope using its own resources).(ISDR, 2004)
Definisi standar internasional ini tidak terlalu mempersoalkan
perbedaan bencana alam dari bencana sosial atau bencana teknologi,
selama suatu kejadian menimbulkan dampak seperti yang
didefinisikan, maka kejadian itu disebut sebagai bencana. Dalam
alur pikir yang sama, de Guzman (ca 2002 15 )berargumen bahwa
semua bencana pada hakekatnya adalah akibat dari tindakan atau
ketidakbertindakan manusia. Lebih jauh dia menganalisis bahwa
suatu peristiwa katastropik, baik yang ditimbulkan oleh gejala alam
ataupun diakibatkan oleh kegiatan manusia, baru menjadi keadaan
bencana ketika masyarakat yang terkena tidak mampu untuk
menanggulangi. Kerentanan manusia terhadap dampak gejala alam
sebagian besar ditentukan oleh tindakan atau ketidak-bertindakan
manusia itu sendiri. Bahkan peristiwa kekacauan iklim yang
dihubungkan dengan perubahan iklim global sekalipun kalau
dirunut akhirnya mengacu pada perbuatan manusia. Ditinjau dari
dampaknya, khususnya di Indonesia pada kurun dekade terakhir,
banyak bencana yang menimbulkan dampak pengungsian. Untuk
itu dipandang perlu untuk menyajikan suatu definisi pengungsi
internal sebagai berikut:
“Orang-orang atau kelompok-kelompok orang yang telah dipaksa atau terpaksa melarikan diri atau meninggalkan rumah mereka atau tempat mereka dahulu biasa tinggal, terutama sebagai akibat dari, atau dalam rangka menghindarkan diri dari, dampak-dampak konflik bersenjata, situasi-situasi rawan yang ditandai oleh maraknya tindak kekerasan secara umum, pelanggaran-pelanggaran hak-hak
15 De Guzman, Emmanuel, M., Towards Total Disaster Risk Maanagement Approach,
ADRC-UNOCHA – RDRA, ca. 2002
-12-
asasi manusia, bencana-bencana alam, atau bencana-bencana akibat ulah manusia, dan yang tidak melintasi perbatasan negara yang diakui secara internasional”16.
Definisi pengungsi internal ini tentu saja harus dibedakan dari
definisi pengungsi internasional yang didefinisikan sebagai berikut:
“Setiap orang yang berada diluar negara asalnya dan yang tidak bersedia atau tidak dapat untuk kembali [kesana] ataupun untuk menempatkan dirinya dibawah perlindungan [negara tersebut] disebabkan adanya rasa ketakutan yang sungguh ada sebagai akibat dari alasan ras, keyakinan agama, kebangsaan, keanggotaan dalam suatu kelompok sosial atau pendapat politik; atau suatu ancaman terhadap kehidupan atau keamanan sebagai hasil dari persengketaan bersenjata dan bentuk-bentuk kekerasan yang meluas lainnya yang secara serius mengganggu ketertiban umum.”17
2. Pengertian Penanggulangan
Penanggulangan bencana secara konseptual terdiri dari dua kata,
yakni “penanggulangan” yang merupakan padanan kata dari istilah
dalam bahasa Inggris, “managemen”, dengan istilah “bencana” yang
merupakan terjemahan dari istilah “disaster”. Dalam bahasa
Indonesia, terdapat beberapa padanan kata yang mengacu pada
istilah “penanggulangan”. Selain kata “manajemen” yang diserap dari
kata “management” dari Bahasa Inggris terdapat pula beberapa
istilah lain seperti “penanganan” atau “pengelolaan”. Oleh karenanya,
tidak heran jika istilah “penanggulangan”, “manajemen,”
pengelolaan”, dan “penanganan” kerap digunakan secara bergantian,
termasuk pada saat kata tersebut dilekatkan dengan kata
“bencana”.18
Kata “penanggulangan” berasal dari kata dasar “tanggulang” dengan
awalan pe- dan -an. Dalam istilah kebahasaan, awalan pe- dan -an
disebut sebagai konfiks, yaitu imbuhan yang diletakkan pada awal
dan akhir kata dasar. Secara umum, terdapat tiga fungsi imbuhan
pe- dan -an, yakni untuk menyatakan makna perbuatan (misalnya
kata “perdamaian”); menyatakan proses (misalnya kata “perubahan”);
atau menyatakan tempat (seperti kata “perkemahan”). Dalam konteks
16 Prinsip Prinsip Panduan Bagi Pengungsi Internal, Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (OCHA) Jakarta, ca. 2002, pp iv.
17 Terjemahan bebas: Handbook of Emergency, UNHCR Geneva, ca. 1996. pp. 12 18 Sebagai contoh, UU nomor 24 tahun 2007 menggunakan istilah “penanggulangan bencana”,
sementara Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2009-2014 dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019 menggunakan istilah “pengelolaan bencana”. Kedua istilah tersebut tidak perlu dipertentangkan karena memiliki pengertian yang sama.
-13-
istilah “penanggulangan”, imbuhan pe- dan -an yang dilekatkan pada
kata dasar “tanggulang” setidaknya berfungsi untuk menyatakan
makna perbuatan dan proses.
Dengan mengasumsikan bahwa istilah “penanggulangan” mengacu
pada pengertian “management”, maka istilah penanggulangan pada
dasarnya merupakan proses pengambilan keputusan yang dilakukan
oleh seorang atau sekelompok orang untuk mengarahkan dan
mengoordinasikan aktivitas-aktivitas guna mencapai tujuan bersama.
Federasi Masyarakat Palang Merah dan Bulan Sabit Merah
Internasional (International Federation of Red Cross and Red Crescent
Society) memberikan panduan umum dalam memahami yang
dimaksud dengan penanggulangan bencana atau disaster
management sebagai berikut:
“Penanggulangan bencana dapat diartikan sebagai pengorganisasian atau pengelolaan sumberdaya dan tanggungjawab untuk menangani seluruh aspek kemanusiaan darurat, khususnya kesiapsiagaan, tanggapdarurat, dan pemulihan dalam rangka mengurangi dampak bencana.”19
Penanggulangan bencana tidak hanya melibatkan semua lapisan
pemerintahan. Organisasi nonpemerintah dan berbasis masyarakat
memainkan peran penting dalam prosesnya. Manajemen bencana
modern melampaui bantuan pascabencana. Sekarang mencakup
kegiatan perencanaan dan kesiapan pra-bencana, perencanaan
organisasi, pelatihan, manajemen informasi, hubungan masyarakat
19 Lihat About Disaster Management http://www.ifrc.org/en/what-we-do/disaster-
management/about-disaster-management/
-14-
dan bidang lainnya. Penanggulangan bencana dari perspektif
tradisional pada umumnya terfokus pada upaya memberikan
bantuan kemanusiaan segera (biasanya tim penyelamat, materi dan
layanan medis) secepat mungkin setelah terjadinya bencana. Telah
terjadi pergeseran paradigma selama dekade terakhir. Pandangan
modern mengenai penanggulangan bencana menekanpan pentingnya
langkah-langkah mitigasi sebelum bencana untuk menghindari atau
mengurangi dampak bencana. Langkah-langkah pra-bencana untuk
mencegah atau mengurangi bencana disebut Manajemen Resiko.
3. Model-Model Penanggulangan Bencana
Pemahaman mengenai model-model penanggulangan bencana juga
mengalami perkembangan cukup signifikan. Pendekatan
konvensional mengenai penanggulangan bencana adalah
memahaminya sebagai sebuah proses yang bersifat siklis.
Berdasarkan model ini, penanggulangan bencana dianggap sebagai
serangkaian tindakan yang berurut atau rangkaian yang bertahap.
Dalam model ini, manajemen bencana terjadi secara bertahap, secara
berurutan. Fokusnya lebih pada aktivitas segera sebelum dan
sesudah terjadinya kejadian bencana.
Model pendekatan penanggulangan bencana berikutnya adalah
model “contract-expand model”. Dalam model ini, manajemen
bencana dipandang sebagai proses yang berkesinambungan.
Terdapat serangkaian kegiatan yang berjalan sejajar satu sama lain
-15-
dan bukan sebagai urutan. Seperti diperlihatkan melalui gambar di
bawah ini, tindakan-tindakan dilakukan secara beriringan,
berkembang atau mengecil sesuai permintaan. Sebagai contoh segera
setelah bencana, untaian relief dan respon akan berkembang. Tapi
seiring dengan waktu aktivitas ini akan berkurang dan 'jalur
pemulihan dan rehabilitasi' akan berkembang. Bobot relatif untai
akan bervariasi tergantung pada hubungan antara kejadian bahaya
dan kerentanan masyarakat yang berisiko.
Model berikutnya adalah disebut sebagai “model kegentingan” atau
“crunch model”. Menurut model crunch, bencana terjadi hanya ketika
bahaya atau ancaman berdampak orang-orang yang rentan. Sebuah
bencana terjadi ketika kedua unsur itu, yakni ancaman dan
kerentanan, bertemu. Sebuah fenomena alam dengan sendirinya
bukanlah bencana. Begitu pula, populasi mungkin rentan selama
bertahun-tahun, namun tanpa "trigger event", tidak ada bencana.
-16-
Oleh karena itu, kita dapat melihat bahwa kerentanan - tekanan
yang berakar pada proses sosio-ekonomi dan politik - dibangun dan
harus ditangani, atau dilepaskan, untuk mengurangi risiko bencana.
Proses ini dapat mencakup kemiskinan, diskriminasi, diskriminasi,
dan eksploitasi terkait usia berdasarkan jenis kelamin, faktor etnis
atau agama. Hasilnya akan "aman" sebagai lawan dari "kondisi tidak
aman", "komunitas yang tangguh atau mampu" yang bertentangan
dengan "komunitas rentan" dan "penghidupan berkelanjutan" sebagai
lawan dari "penghidupan yang tidak berkelanjutan".
Perkembangan pada model-model penanggulangan bencana, mulai
dari model siklus hingga model crunch menunjukkan bahwa
khasanah pengetahuan tentang penanggulangan bencana tengah
mengalami perkembangan yang signifikan. Perkembangan ini, tentu
saja menunjukkan semakin baiknya pemahaman publik mengenai
bencana dan penanggulangan bencana.
B. Praktik Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana Berdasarkan UU
Nomor 24 Tahun 2007 dan Permasalahannya
Mengacu pada perumusan permasalahan seperti yang tertulis pada Bab I
butir B, maka praktek penyelenggaraan penanggulangan bencana
berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 serta permasalahan-
permasalahannya selama ini adalah sebagai berikut:
1) Pemahaman yang tidak tepat mengenai “bencana”
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 menyebutkan bahwa
bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam
dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang
disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun
faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa
manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak
psikologis. Definisi ini memunculkan makna ganda dan berimplikasi
pada salahnya penanganan maupun politisasi kejadian berdasarkan
kepentingan serta mengorbankan kepentingan untuk membangun
ketahanan dan ketangguhan masyarakat. Tidak setiap peristiwa atau
rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan
dan penghidupan masyarakat dapat disebut sebagai bencana. Hanya
jika dampak peristiwa tersebut melampaui kemampuan masyarakat
terdampak dapatlah disebut bencana.
-17-
2) Definisi “status bencana”
UU Nomor 24 Tahun 2007 belum menyebutkan definisi status
bencana. Penjelasan status bencana akan menjadi dasar bagi
Pemerintah dan pemerintah daerah dalam penanganan keadaan
darurat di wilayah terdampak. Definisi status bencana juga
ditujukan untuk menggantikan frasa “status dan tingkatan bencana”
untuk mengurangi kerumitan bagi Pemerintah atau pemerintah
daerah. Untuk suatu peristiwa atau rangkaian peristiwa yang
mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan
masyarakat, Pemerintah atau Pemerintah Daerah cukup menyatakan
hal tersebut sebagai “bencana” jika dampak peristiwa tersebut
melampaui kemampuan masyarakat terdampak atau “bukan
bencana” jika dampak peristiwa tersebut tidak melampaui
kemampuan masyarakat terdampak untuk mengatasinya. Setiap
kejadian bencana bersifat lokal, artinya pemerintah lokal-lah yang
menjadi penanggung jawab penyelenggaraan penanganan darurat
bencana dengan melibatkan secara aktif peran masyarakat lokal dan
para pemangku kepentingan lainnya.
Praktik yang terjadi saat ini dengan adanya “tingkatan bencana”
kabupaten/kota, provinsi dan nasional adalah adanya
kecenderungan pemerintah daerah untuk melempar permasalahan
penyelenggaraan penanganan darurat bencana kepada Pemerintah
Pusat. Akibatnya, tidak ada upaya yang sungguh-sungguh yang
dilakukan oleh pemerintah daerah untuk menangani dampak
bencana yang terjadi. Demikian pula pemerintah daerah sangat
tergantung kepada pemerintah pusat dan menjadi tidak mandiri
untuk mengelola dan menggunakan sumber daya yang ada di
wilayahnya masing-masing.
3) Penetapan status bencana
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 saat ini tidak menjelaskan
tujuan penetapan status bencana serta ketentuan tentang isi dari
status bencana yang meliputi status, luas wilayah, jangka waktu dan
tataran penyelenggaraanya yang diatur dengan peraturan
pemerintah. Pelaksanaan penyelenggaraan penanganan darurat
bencana yang selama ini berjalan berlaku secara elastis tanpa
ketentuan yang jelas, yang pada akhirnya akan berimplikasi pada
-18-
penggunaan dana siap pakai. Contoh praktik nyata adalah adanya
kecenderungan Pemerintah Daerah untuk menetapkan status siaga
darurat di wilayahnya tanpa kajian yang jelas sehingga masa siaga
darurat bisa dilakukan dalam jangka waktu yang panjang dan dana
siap pakai dapat terus digunakan. Dalam beberapa kasus
penanganan bencana, seringkali terjadi beberapa kali perpanjangan
masa darurat karena hanya untuk mendapatkan akses dana
daripada didasarkan atas kajian kesiapan masyarakat untuk
memulihkan kehidupan kearah kehidupan normal kembali.
4) Penguatan posisi BNPB sesuai ketentuan ketatanegaraan melalui
pembentukan Dewan Penanggulangan Bencana
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 menempatkan Pemerintah
melalui BNPB sebagai penanggung jawab dalam penyelenggaraan
penanggulangan bencana. BNPB terdiri atas unsur a) pengarah PB
dan b) pelaksana PB. Unsur pelaksana memiliki fungsi a) koordinasi;
b) komando; dan c) pelaksana dalam penyelenggaraan
penanggulangan bencana di wilayahnya. Dalam praktiknya, sebagai
sebuah lembaga nondepartemen setingkat menteri, BNPB mengalami
berbagai tantangan dan hambatan untuk menjalankan fungsi
koordinasi dan komandonya. Selain dari pada itu, unsur pengarah
yang menjadi bagian dari BNPB tidak dapat menjalankan tugasnya
secara optimal karena unsur pengarah menjadi bagian dari BNPB.
Sejatinya unsur pengarah memiliki tugas untuk: a) merumuskan
konsep kebijakan penanggulangan bencana; b) memantau; dan
c) mengevaluasi dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana.
Usulan pembentukan Dewan Penanggulangan Bencana yang
dipimpin Wakil Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden
serta penghapusan unsur pengarah diharapkan dapat menguatkan
BNPB dalam menjalankan fungsinya.
5) Penekanan fungsi BNPB sebagai koordinator penyusunan rencana
penanggulangan bencana serta penunjukkan pemerintah dan
pemerintah daerah sebagai subyek pelaksana rencana
penanggulangan bencana yang memadukan ketentuan-ketentuan di
dalamnya ke dalam rencana pembangunan dan rencana
pembangunan daerah.
-19-
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 menjelaskan peran BNPB
sebagai koordinator dalam penyusunan rencana penanggulangan
bencana, akan tetapi tidak menunjuk tanggung jawab Pemerintah
dan pemerintah daerah sebagai pelaksana rencana penanggulangan
bencana bersama pihak terkait lainnya. Selain itu belum ada
ketentuan yang menegaskan bahwa rencana penanggulangan
bencana adalah rencana yang perlu dikaitkan dengan rencana
pembangunan dan rencana pembangunan daerah.
6) Kewajiban pengalokasian anggaran penanggulangan bencana oleh
pemerintah dan pemerintah daerah.
Pasal 60 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 menyatakan bahwa
pemerintah dan pemerintah daerah mengalokasikan anggaran
penanggulangan bencana secara memadai, tetapi tidak mewajibkan
Pemerintah dan pemerintah daerah. Akibatnya banyak pemerintah
daerah tidak merasa memiliki kewajiban untuk membuat anggaran
yang dialokasikan untuk penanggulangan bencana khususnya untuk
kesiapsiagaan di wilayahnya. Penganggaran penanggulangan
bencana semestinya dialokasikan baik di APBN dan APBD sehingga
memastikan pemerintah disemua tingkatan dapat menjalankan tugas
tugasnya dalam penanganan bencana secara tepat, efektif dan
terkoordinasi.
C. Sistem Penanggulangan Bencana yang ingin dikembangkan ke depan
Sistem penanggulangan bencana yang ingin dikembangkan ke depan
adalah:
1) Sebuah sistem yang dibangun dengan dasar hukum formal yang
tidak berbenturan dengan peraturan perundangan lainnya, yang
mengatur fungsi dan peran berbagi pihak terkait dalam
penanggulangan bencana sehingga koordinasi dapat berjalan dengan
jelas untuk efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan penanggulangan
bencana;
2) Sebuah sistem yang dibangun dengan kelembagaan yang kuat baik di
tingkat pusat maupun daerah yang memiliki kemampuan koordinasi
sehingga penyelenggaraan penanggulangan bencana berjalan secara
komprehensif dan terpadu;
-20-
3) Sebuah sistem yang dibangun dengan pemikiran mendasar
pembangunan ketangguhan bangsa yang dimulai dari titik ujung
penanggulangan bencana yaitu di tingkat lokal/daerah. Pemerintah
daerah adalah penanggung jawab utama perlindungan masyarakat
yang dapat memobilisasi kapasitas daerah termasuk masyarakatnya,
termasuk pendanaan daerah. Pemerintah daerah bersama
masyarakat dan dunia usaha, seperti tersirat di dalam segitiga
oranye BNPB/BPBD adalah penanggung jawab utama
penanggulangan bencana yang juga memiliki kapasitas. Fungsi
pemerintah adalah mendukung upaya pemerintah daerah
membangun ketangguhannya.
4) Sebuah sistem yang dibangun dengan pemikiran tentang pentingnya
rencana penanggulangan bencana yang perlu dipadukan dengan
ketentuan-ketentuan lain dalam rencana pembangunan dan rencana
pembangunan daerah.
-21-
BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS KETERKAITAN PERATURAN
TERKAIT PENANGGULANGAN BENCANA
A. Evaluasi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007
Lahirnya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 yang diikuti dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 21 tentang Penyeleggaraan Penanggulangan
bencana, Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2008 tentang
Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana, dan Peraturan Pemerintah
Nomor 23 Tahun 2008 tentang Peran Serta Lembaga Internasional dan
Lembaga Asing Nonpemerintah Dalam Penanggulangan Bencana, telah
merubah paradigma pemikiran tentang penanggulangan bencana dari
aspek tanggap darurat menjadi aspek Pengurangan Risiko Bencana (PRB)
atau Mitigasi Bencana. Namun demikian, adanya perubahan paradigma
tersebut tidak selalu diikuti secara konsisten dan selaras dengan
implementasi dari UU PB dan Peraturan lainnya yang terkait dengan PRB.
Batasan (nomenklatur) tentang bencana perlu disempurnakan sesuai
dengan kesepatan internasional dan atau disesuaikan dengan kondisi
wilayah Indonesia. Batasan ilmiah tentang nomenklatur tetap penting,
namun dapat disesuaikan dengan batasan operasional, sehingga mudah
diimplementasikan. Dengan demikian harus jelas ruang lingkup tentang
UU PB tersebut (Bencana alam dan Bencana non-alam). Bencana alam
meliputi gempa bumi, tsunami, erupsi gunung berapi, banjir, kekeringan,
longsor, angin kencang/puting beliung, dan epidemi dan wabah penyakit.
Sedangkan bencana nonalam meliputi kegagalan teknologi, kebakaran,
dan kebakaran lahan dan hutan. Bencana sosial tidak termasuk dalam
UU PB karena sudah diatur dalam UU Penanganan Konflik Sosial, namun
penanganan pengungsi akibat bencana tetap menjadikan bagian dari
urusan BNPB.
Dalam Pasal 7 ayat (2) UU Nomor 24 Tahun 2007 mengatur bahwa
Penetapan status dan tingkatan bencana perlu segera diperkuat dengan
Peraturan Presiden, dimana pada Peraturan Presiden nantinya harus jelas
dan terukur indikatornya yang meliputi :
a. jumlah korban;
b. kerugian harta benda;
c. kerusakan prasarana dan sarana;
d. cakupan luas wilayah yang terkena dampak bencana; dan
-22-
e. dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan.
Tugas dan fungsi BNPB untuk mengkoordinasikan kegiatan PB pada
beberapa tahapan masih kurang optimal. Demikian juga fungsi unsur
pengarah, tenaga profesional, dan tenaga ahli masih kurang optimal.
Bahkan di beberapa daerah (BPBD) masih memandang bahwa unsur
pengarah belum dan atau tidak diperlukan. Salah satu alasannya adalah
alasan dalam pembiayaan tenaga tersebut. Dengan demikain hubungan
fungsional unsur pengarah BNPB dan BPBD tidak ada/belum optimal.
Pasal 33 UU Nomor 24 Tahun 2007 menyatakan bahwa penyelenggaraan
Penaggulangan Bencana terdiri dari 3 (tiga) tahap meliputi pra bencana,
bencana, dan pascabencana. Dalam konteks siklus pengelolaan bencana
tiga tahapan tersebut di atas harus merupakan siklus yang kontinyu
(continuous). Konsep ini sangat penting karena akan mempengaruhi pola
dan sistem kerja BNPB dan atau BPBD dalam melaksanakan program dan
kegiatannya, serta pendanaannya.
Minimnya peraturan yang terkait dengan .pengembangan sumber daya
manusia (SDM) dan optimalisasi jenjang keahlian/profesionalisme
Penaggulangan Bencana. Dengan demikian sistem dan kinerja
Penaggulangan Bencana di daerah khususnya belum/kurang optimal.
B. Analisis Keterkaitan Peraturan Terkait Penanggulangan Bencana
Implementasi UU Nomor 24 Tahun 2007 dan peraturan pelaksanaannya
sangat memiliki keterkaitan dengan berbagai macam peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan kebencanaan, di antaranya
adalah:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yang menyebutkan:
“Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia...”
Secara tegas telah menggambarkan bahwa salah satu dasar
pembentukan Pemerintah Negara Republik Indonesia yakni untuk
melindungi segenap bangsa Indonesia. Makna dari kata melindungi
dapat dilihat dari sisi bahwa pemerintahan yang dibentuk memiliki
kewajiban untuk melindungi segenap masyarakatnya guna mencapai
-23-
tujuan kehidupan berbangsa, tidak terkecuali dalam hal melindungi
dari segala bentuk ancaman baik yang bersifat alamiah maupun
ancaman yang disebabkan oleh manusianya itu sendiri.
Sebagai negara yang memiliki ragam adat istiadat dan budaya,
Indonesia juga memiliki kekayaan alam yang luar biasa. Indonesia
dikenal sebagai salah satu negara penghasil minyak dunia dan
sebagai negara yang memiliki kekayaan alam berupa mineral dan
batu bara yang belimpah. Namun, dari beberapa kelebihan alam
tersebut, Indonesia juga dikenal sebagai negara yang berada dalam
posisi rawan bencana (hazard zone), hal ini merupakan dampak
negatif dari kekayaan alam yang dimiliki Indonesia.
Mengacu pada kondisi sebagai disebutkan diatas maka sebagai
negara hukum tenunya diperlukan sebuah sistem hukum yang dapat
memberikan jaminan bagi masyarakatnya untuk mendapatkan
perlindungan dari pemerintah terhadap berbagai ancaman bencana
alam yang sewaktu-waktu dapat terjadi.
b. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah;
Undang-Undang Penanggulangan Bencana mempunyai keterkaitan
erat dengan Undang-Undang Pemerintahan Daerah. Pada waktu
berlakunya Nomor 24 Tahun 2007, UU Pemerintahan Daerah yang
berlaku adalah UU Nomor 32 Tahun 2004. Dalam UU Nomor 32
Tahun 2004 kebencanaan tidak diatur secara khusus. Meskipun
begitu, pengaturan kebencanaan dalam UU Nomor 24 Tahun 2007
banyak terkait dengan UU Nomor 32 Tahun 2004. Kini, UU Nomor 32
Tahun 2004 telah diganti menjadi UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah. Penanggulangan bencana masuk menjadi sub
urusan dari urusan pemerintahan bidang ketentraman dan
ketertiban umum serta perlindungan masyarakat. Keterkaitan UU
Penanggulangan Bencana dengan UU Pemerintahan Daerah adalah
pada penetapan status darurat dan tingkatan bencana, penaggung
jawab peanggulangan bencana, mengalokasikan dana
penanggulangan bencana dalam APBD, dan membentuk badan
satuan perangkat daerah yang mengurusi bencana.
-24-
c. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan;
Hutan, sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan dan
sumber kemakmuran rakyat, cenderung menurun kondisinya.
Penurunan kondisi tersebut dapat disebabkan oleh faktor manusia
maupun faktor bencana alam, sehingga Undang-Undang
Penanggulangan Bencana sangat penting bagi optimalisasi,
penjagaan dan kelestarian keberadaan hutan.
d. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (UU PWP3K);
Undang-undang tersebut telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-ulau Kecil.
Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang dikuasai oleh rentan
terhadap bencana seperti tsunami dan banjir. Oleh karena itu
Undang-Undang Penaggulangan Bencana arah jangkauannya sampai
pada wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tersebut agar kualitas
kehidupan dan penghidupan tetap terjaga.
e. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang;
Bencana alam maupun nonalam, sangat mungkin berpengaruh
terhadap tata ruang wilayah yang sudah ditetapkan, baik oleh
Pemerintah maupun pemerintah daerah. Oleh karena itu, UU
Penanggulangan Bencana mempunyai keterkaitan langsung dengan
UU Penataan Ruang, dimana arah jangkau yang meliputi ruang
darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi,
maupun sebagai sumber daya, sehingga kualitas ruang wilayah
nasional dapat terjaga keberlanjutannya demi terwujudnya
kesejahteraan umum dan keadilan sosial.
f. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi;
Peranan energi begitu penting bagi peningkatan ekonomi dan
ketahanan nasional sehingga kegiatan penanggulangan bencana
harus diarahkan bagi tetap terjaminnya pemanfaatannya dan
pengusahaannya secara berkeadilan dan berkelanjutan.
g. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengeloaan Lingkungan Hidup;
Undang-undang tersebut juga telah diubah dengan Undang-Undang
Noor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
-25-
Lingkungan Hidup. Bencana alam dapat menurunkan kualitas
lingkungan hidup dan mengancam kelangsungan perikehidupan
manusia. Oleh karena itu, UU Perlindungan Bancana harus turut
memberikan kepastian hukum dalam perlindungan ekosistem.
h. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan;
Bencana alam seperti banjir, tanah longsor, gunung meletus, dapat
mengurangi kualitas dan kuantitas lahan pertanian. Penanganan
Bencana sangat terkait dengan keberadaaan dan keberlanjutan
fungsi lahan pertanian sebagai sumber pekerjaan dan penghidupan
masyarakat.
i. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya;
Bencana alam dapat berakibat pada rusaknya cagar budaya yang
merupakan kekayaan budaya bangsa. Oleh karena penanggulangan
bencana tidak boleh mengabaikan keberadaan cagar budaya bahkan
harus menjadi tetap prioritas dalam penanggulangan bencana.
C. Permasalahan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana
Meskipun secara umum Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 telah
mengatur aspek-aspek yang terkait dengan Penanggulangan Bencana,
namun secara nasional dan tingkat daerah masih banyak kelemahan-
kelemahannya, antara lain:
a. Pada prinsipnya penanggulangan bencana merupakan urusan
pemerintah-masyarakat-dan swasta, namun belum optimalnya peran
swasta dalam hal ini, sebagai akibat belum adanya sistem informasi
yang lengkap (SOP) tentang penanggulangan bencana terutama
dalam masalah pendanaan. Tata kelola keuangan dalam
penaggulangan bencana perlu diperbaiki. Untuk itu sangat
diperlukan peraturan pemerintah yang mengharuskan adanya
alokasi anggaran untuk penaggulangan bencana dalam Sistem
Pembangunan Nasional (RPJM).
b. Masih adanya kesulitan dan kelemahan dalam koordinasi dan
sinkronimasi program dan kegiatan penaggulangan bencana antara
Kementerian/Lembaga, dan Dinas SKPD di daerah. Oleh karena itu,
perlu evaluasi dalam bidang kelembagaan penanggulangan bencana.
-26-
c. Konsep Sistem penaggulangan bencana secara nasional perlu
diimplementasi secara lebih baik terutama yang menyangkut Analisis
Risiko Lingkungan selain Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
pada Wilayah Strategis Nasional, Wilayah Pengembangan Ekonomi,
dan Wilayah Rawan Bencana secara berkelanjutan.
-27-
BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS
A. Landasan Filosofis
Landasan Filosofis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan
pandangan hidup. Kesadaran, dan cita-cita hukum yang meliputi suasana
kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang berumber dari Pancasila
dan Pembukaan UUD 1945.
x Pancasila
x Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang kemudian terkirstalisasi dalam
sila-sila Pancasila menjiwai dalam penyelenggaraan berbangsa dan
bernegara, termasuk dalam penyelenggaraan hukum dalam rangka
mewujudkan keadilan. Seluruh sila dalam Pancasila menjadi landasan
filosofis dalam penanggulangan bencana, sementara tujuan bernegara
yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah
sebagaimana dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945 juga menjadi landasan filosofis dalam penanggulangan
bencana.
B. Landasan Sosiologis
Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Landasan sosiologis
sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan dan
kebutuhan masyarakat dan negara.
x Keamanan masyarakat/perlindungan masyarakat terhadap bencana.
x Masyarakat merasa lebih aman, nyaman, dan semakin sejahtera.
x Mewujudkan masyarakat dalam arti luas yang tangguh bencana.
x Mewujudkan kepedulian sektor swasta dalam upaya-upaya
Pengurangan Risiko Bencana (PRB).
x Negara dan Pemerintahan semakin efektif dan efisien dalam
penyelenggaraan PRB.
-28-
x Mendorong dan menguatkan rasa kebersamaan dan semangat
kegotongroyongan yang menjadi ciri bangsa Indonesia terus didorong
dan dikuatkan.
C. Landasan Yuridis
Landasan yuridis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa perturan yang dibentuk untuk mengatasi
permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan
mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang
akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan
masyarakat. Landasan yuridis menyangkut persoalan hukum yang
berkaitan dengan substansi atau materi yang diatur, sehingga perlu
dibentuk peraturan perundangan undangan yang baru. Beberapa
persoalan hukum itu antara lain, peraturan yang sudah ketinggalan,
peraturan yang tidak harmonis atau tumpang tindih, jenis peraturan yang
lebih rendah dari Undang-Undang sehingga daya berlakunya lemah,
peraturannya sudah ada tetapi tidak memadahi, atau peraturannya
memang sama sekali belum ada.
x Meningkatkan tugas pokok dan fungsi pemerintahan dalam
Pengurangan Risiko Bencana, terutama dari aspek koordinasi dan
komando dalam berbagai kondisi sesuai dengan tahapan (siklus)
penanggulangan bencana.
x Aspek kelembagaan penanggulangan bencana antara Pemerintah dan
pemerintah daerah belum optimal, sehingga perlu peraturan yang jelas
hubungan tersebut.
x Pengembangan sumber daya manusia sebagai tenaga ahli yang
diperlukan dalam penanggulangan bencana antara lain Ketua/Kepala
BNPB/BPBD yang mempunyai ”strong leadership” dan manajemen.
spesifikasi tenaga ahli sebagai Komando Operasi Tanggap Darurat
(Incident Commander) memerlukan seleksi yang ketat dengan melalui
jalur sertifikasi yang diadakan oleh LSP PB BNPB atau Lembaga
Sertifikasi lainnya (Luar Negeri) yang secara internasional telah diakui.
x Peningkatan tenaga ahli dan relawan penanggulangan bencana perlu
lebih ditingkatkan dalam merespon berbagai jenis bencana di
Indonesia (multi-hazards) melalui peningkatan kemampuan personil
dan atau tim.
-29-
x Pengembangan Sistem Peringatan Dini dan SOP untuk setiap jenis
bencana merupakan prioritas PRB terutama pada wilayah yang
mempunyai Indeks Risiko Bencana yang tinggi dan sangat tinggi.
x Sistem Penganggaran PB yang sangat terbatas, menyebabkan kinerja
BNPB dan BPBD serta Kementerian/Lembaga masih terbatas. Urgensi
dan prioritas PRB menjadi sangat penting, sehingga perlu aturan yang
jelas tentang sistem dan mekanisme pendanaan secara nasional
(APBN) maupun daerah (APBD).
-30-
BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN DAN
RUANG LINGKUP MATERI MUATAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG 24 TAHUN 2007 TENTANG PENANGGULANGAN BENCANA
A. Jangkauan dan Arah Pengaturan
Jangkauan pengaturan dari RUU tentang perubahan atas Undang-undang
Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana adalah
penyempurnaan terhadap rumusan dan pengertian, menegaskan peran dan
tanggungjawab para pihak yang terlibat dalam penanggulangan bencana,
menguatkan kelembagaan terutama dalam kordinasi, komando dan
pelaksaan dalam penanganan bencana di daerah, serta hal-hal lain yang
belum terakomodasi dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007.
Dengan demikian, jangkauannya adalah memperjelas substansi yang
sudah terdapat dalam Undang-undang 24 Tahun 2007, sejak dari
perumusan kebijakan di tingkat nasional, koordinasi hingga
pelaksanaannya di daerah.
Sedangkan arah pengaturannya memperjelas rumusan-rumusan yang
sebelumnya dirumuskan secara sumir, pembagian kewenangan antara
nasional, provinsi dan kabupaten/kota, penguatan kelembagaan dalam
penetapan kebijakan dan koordinasi pelaksanaannya, penyesuaian
kelembagaan terutama di daerah sesuai dengan Undang-undang Nomor 23
Tahun 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, peningkatan peran
serta masyarakat dan jaminan ketersediaan pendanaan untuk
penyelenggaraan penanggulangan bencana.
B. Ruang Lingkup Materi Muatan
Adapun ruang lingkup materi muatan RUU Perubahan Undang-undang
Nomor 24 Tahun 2007 adalah sebagai berikut:
1. Ketentuan umum: 1. Mengubah definisi atau pengertian tentang “bencana” pada Pasal
1 butir 1, dengan memasukkan aspek kapasitas dan ketangguhan
masyarakat dalam menghadapi bencana, sehingga menjadi:
1. Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau
-31-
faktor nonalam, sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dampak sosial dan dampak psikologis, yang melampaui kemampuan dan sumber daya masyarakat yang terdampak untuk menghadapi.
Alasan perubahannya adalah karena tidak semua kejadian atau
peristiwa yang terjadi itu selalu disebut bencana, akan tetapi harus
dilihat dari faktor kemampuan masyarakat untuk mengatasi.
Apabila masyarakat yang terdampak itu mampu mengatasinya,
maka kejadian atau peristiwa tersebut belum disebut bencana.
Kemampuan ini sangat diharapkan dalam menghadapi bencana,
yang disebut dengan ketangguhan (resiliency). Penambahan
kalimat akhir pada definisi ini dapat digunakan untuk mengukur
kemampuan masyarakat atau daerah. Hal ini sejalan dengan visi
penanggulangan bencana Indonesia yang menginginkan
ketangguhan masyarakat dalam menghadapi bencana.
Mengubah kata pada Pasal 1 butir 2, menjadi: 2. Bencana alam adalah bencana yang disebabkan oleh peristiwa
atau rangkaian peristiwa alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, tanah longsor, epidemi, dan wabah penyakit.
Alasan perubahannya adalah gempabumi, tsunami dan sebagainya
itu adalah faktor penyebab bencana, oleh karena itu kata
“diakibatkan” diubah dengan kata “disebabkan”.
Mengubah kata dan menambah kata pada Pasal 1 butir 2, menjadi: 3. Bencana nonalam adalah bencana yang disebabkan oleh
perbuatan manusia yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, kebakaran hutan dan lahan.
Alasan perubahannya adalah karena bencana nonalam sering juga
disebut bencana ulah manusia (human induced disaster), yang
disebabkan oleh perbuatan manusia. Dalam contoh ditambahkan
juga kebakaran hutan dan lahan yang masuk sebagai nonalam.
Menghapus Pasal 1 butir 4, yang berbunyi: 4. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa
atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia
-32-
yang meliputi konflik sosial antarkelompok atau antarkomunitas masyarakat, dan teror.
Alasan penghapusan butir ini karena bencana sosial sudah diatur
dan ditangani oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang
Penanganan Konflik Sosial.
Mengubah Pasal 1 butir 5, yang berbunyi: 5. Penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian
upaya yang meliputi tahap prabencana, saat tanggap darurat, dan pasca bencana.
Alasan perubahan tersebut didasarkan atas pokok–pokok
penyelenggaraan penanggulangan bencana yang terdiri dari
tahapan prabencana, tanggap darurat, dan pasca bencana.
Menghapus Pasal 1 butir 6, yang berbunyi: 6. Kegiatan pencegahan bencana adalah serangkaian kegiatan yang
dilakukan sebagai upaya untuk menghilangkan dan/atau mengurangi ancaman bencana.
Alasan penghapusannya, karena butir ini sama pengertiannya
dengan Pasal 1 butir 16. Oleh karena itu butir 6 ini dihapuskan
supaya tidak terjadi pengulangan penulisan.
2. Materi yang akan diatur:
2. Memperbaiki kesalahan istilah pada Pasal 2 butir g, yang tertulis:
g. nonproletisi menjadi nonproselitis Alasan perbaikan karena setelah diverifikasi dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, tidak dijumpai kata nonpreletisi tetapi yang
benar adalah nonproselitis yang artinya tidak memaksakan agama.
3. Memperbaiki pengertian pada Pasal 7 ayat (1) huruf c, menjadi:
c. penetapan status keadaan darurat bencana dan tingkatan bencana nasional dan daerah;
Alasannya adalah status dan tingkatan bencana adalah dua hal
yang berbeda. Status selalu dikaitkan dengan kondisi kedaruratan
yang terjadi di lokasi kejadian, yang mempunyai gradasi: normal
atau aman, waspada, siaga dan awas. Oleh karena itu harus
-33-
ditegaskan yang dimaksud status di sini bukan status bencana,
akan tetapi status keadaan darurat bencana. Hal ini konsisten
dengan Pasal 51 dalam UU No. 24/2007.
Sedangkan pengertian tingkatan bencana merujuk pada intensitas,
magnitude dari suatu peristiwa bencana yang berdampak pada
wilayah administratif, misalnya bencana nasional, bencana
provinsi dan bencana kabupaten/kota.
Menambah ayat baru pada Pasal 7, setelah ayat (1) sehingga menjadi: (1a) Penetapan status keadaan darurat bencana dan
tingkatan bencana nasional dan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dalam penyelenggaraan tanggap darurat bencana.
Alasannya adalah untuk menentukan indikator secara rinci
seperti: jumlah korban, kerugian harta benda, kerusakan
prasarana dan sarana, cakupan luas wilayah yang terkena
bencana, dan dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan, adalah
sangat teknis dan membatasi, yang sebaiknya tidak perlu
dimunculkan dalam undang-undang. Oleh karena itu indikator
tersebut dihapus dan diubah yang diarahkan pada tujuan
menetapkan status keadaan darurat dan tingkatan bencana, yakni
guna memperjelas kewenangan dan kepastian hukum dalam
penanganannya.
Mengubah ayat (2) Pasal 7 sehingga menjadi:
(2) Penetapan status keadaan darurat bencana dan tingkatan bencana nasional dan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi: a. jenis bencana; b. cakupan wilayah terdampak; c. jangka waktu; dan d. tataran penyelenggaraanya.
Alasannya adalah dalam penetapan status keadaan darurat
bencana oleh Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota perlu kejelasan
tentang keadaan darurat bencana tersebut, antara lain meliputi:
jenis bencana, cakupan wilayah terdampak, jangka waktu dan
tataran penyelenggaraan.
-34-
Memperbaiki redaksional Pasal 7 ayat (3) menjadi: (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan status keadaan
darurat bencana dan tingkatan bencana nasional dan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan presiden.
Alasan perbaikan ini adalah untuk konsistensi istilah atau
pengertian yang digunakan dari status dan tingkatan bencana,
menjadi status keadaan darurat bencana dan tingkatan bencana
nasional dan daerah.
4. Mengubah judul Bagian Kesatu BAB IV KELEMBAGAAN, sehingga
menjadi sebagai berikut:
BAB IV KELEMBAGAAN
Bagian Kesatu
Kelembagaan Pusat
5. Menyisipkan 3 (tiga) pasal yakni Pasal 9A, Pasal 9B, dan Pasal 9C
diantara Pasal 9 dan Pasal 10 sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 9A Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 membentuk: a. Dewan Penanggulangan Bencana; dan b. Badan Nasional Penanggulangan Bencana.
Alasannya adalah karena penanggulangan bencana itu merupakan
kegiatan yang multisektor, maka untuk melakukan koordinasi
antar sektor yang terlibat di dalam penanggulangan bencana, perlu
dibentuk suatu forum koordinasi (dalam hal ini disebut Dewan
atau Badan Koordinasi), yang mempunyai fungsi pengarah dan
koordinasi kebijakan, sedangkan kelembagaan berbentuk Badan
lebih bersifat pelaksana (implementasi) kebijakan.
Menambah 1 (satu) paragraf, 2 (dua) pasal dan 7 (tujuh) ayat, sehingga menjadi:
Paragraf 1 Dewan Penanggulangan Bencana
Pasal 9B
(1) Dewan Penanggulangan Bencana berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
(2) Dewan Penanggulangan Bencana memiliki fungsi:
-35-
a. menetapkan kebijakan nasional penanggulangan bencana;
b. melakukan koordinasi; c. melakukan komando; d. memantau; dan e. mengevaluasi dalam penyelenggaraan
penanggulangan bencana. (3) Susunan organisasi Dewan Penanggulangan Bencana
terdiri atas: a. Ketua: Wakil Presiden; b. Wakil Ketua: Menteri Koordinator yang membidangi
urusan sosial; c. Sekretaris: Kepala Badan Nasional Penanggulangan
Bencana; d. Anggota:
1. menteri yang membidangi urusan: a) dalam negeri; b) sosial; c) pekerjaan umum; d) kesehatan; e) keuangan; f) perhubungan; g) energi; h) pertambangan; i) pendidikan; dan j) lingkungan hidup;
2. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia; 3. Panglima Tentara Nasional Indonesia; 4. Ketua Umum Palang Merah Indonesia; dan 5. 9 (sembilan) anggota masyarakat profesional.
(4) Susunan organisasi Dewan Penanggulangan Bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a sampai dengan huruf d angka 4 melekat pada jabatan.
(5) Susunan organisasi Dewan Penanggulangan Bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d angka 5 dipilih melalui uji kepatutan yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Pasal 9C
(1) Tugas dan tata kerja Dewan Penanggulangan Bencana sebagaimana diatur dalam Pasal 9B ayat (1) lebih lanjut diatur dalam Peraturan Presiden.
(2) Susunan organisasi dan keanggotaan Dewan Penanggulangan Bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9B ayat (3) ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
Alasan penambahannya adalah memberikan kejelasan tentang
kedudukan, fungsi, dan susunan organisasi dan tata kerja dari
Dewan Penanggulangan Bencana.
-36-
Jika dipandang pasal-pasal ini terlalu rinci untuk dimuat di dalam
undang-undang, maka dapat dijelaskan dalam penjelasan undang-
undang.
6. Mengganti ketentuan Pasal 11
Pasal 11 (1) Badan Nasional Penanggulangan Bencana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9A berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
(2) Badan Nasional Penanggulangan Bencana memiliki fungsi pelaksana penanggulangan bencana yang meliputi: a. melaksanakan kebijakan nasional penanggulangan
bencana; dan b. melaksanakan koordinasi kegiatan penanggulangan
bencana secara terencana, terpadu, dan menyeluruh.
(3) Susunan Organisasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana terdiri atas: a. Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana; b. Sekretariat Utama; c. deputi; d. Inspektorat Utama; e. pusat; dan f. unit pelaksana teknis.
Alasan penghapusan karena unsur pengarah sudah ditingkatkan
menjadi Dewan Penanggulangan Bencana, sehingga Badan
Nasional Penanggulangan Bencana menjadi unsur pelaksana.
7. Ketentuan huruf h Pasal 12 diubah, sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 12 Badan Nasional Penanggulangan Bencana mempunyai tugas : a. memberikan pedoman dan pengarahan terhadap usaha
penanggulangan bencana yang mencakup pencegahan bencana, penanganan tanggap darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi secara adil dan setara;
b. menetapkan standardisasi dan kebutuhan penyelenggaraan penanggulangan bencana berdasarkan peraturan perundang-undangan;
c. menyampaikan informasi kegiatan kepada masyarakat; d. melaporkan penyelenggaraan penanggulangan bencana
kepada Presiden setiap sebulan sekali dalam kondisi normal dan pada setiap saat dalam kondisi darurat bencana;
e. menggunakan dan mempertanggungjawabkan sumbangan/bantuan nasional dan internasional;
-37-
f. mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari anggaran pendapatan dan belanja negara;
g. melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan
h. perangkat daerah yang membidangi sub urusan bencana.
Alasan dari perubahan tersebut yakni menyesuaiakn perubahan
nomenklatur perangkat daerah yang membidangi sub urusan
bencana sebagaimana tercantum dalam perubahan ini.
8. Menghapus Pasal 13.
9. Menghapus Pasal 14.
10. Menghapus Pasal 15.
Alasan dihapusnya pasal-pasal tersebut dikarenakan fungsi dan
tugas Badan Nasional Penanggulangan Bencana lebih
dimaksimalkan untuk menjalani fungsi pelaksana kebijakan
penaggulangan bencana.
11. Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga menjadi:
Pasal 16 Untuk melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf b, Badan Nasional Penanggulangan Bencana mempunyai tugas secara terintegrasi yang meliputi: a. prabencana; b. saat tanggap darurat; dan c. pascabencana.
Alasan diubahnya ketentuan pasal tersebut dikarenakan acuan
Pasal yang berubah sehingga ketentuan acuan pasal yang terdapat
dalam Pasal 16 tersebut perlu untuk diubah.
12. Mengubah Bagian Kedua dan Pasal 18, sehingga menjadi:
Bagian Kedua Kelembagaan Daerah
Alasannya adalah kelembagaan daerah akan disesuaikan dengan
pengaturan kelembagaan pada Undang-undang Nomor 23 Tahun
2014 dan untuk memperkuat kelembagaan ditambahkan kordinasi
-38-
kelembagaan lintas sektor yang langsung di bawah kepala daerah.
Sedangkan untuk operasional, penanggulangan bencana tetap
dilaksanakan oleh perangkat daerah yang membidangi
penanggulangan bencana dan perangkat daerah lain yang terlibat
dalam penanggulangan bencana.
13. Mengubah ketentuan ayat (1) dan ayat (2) serta menyisipkan 1
(satu) ayat baru diantara ayat (1) dan ayat (2) dan setalah ayat (2)
ditambahkan 2 (dua) ayat baru, sehingga menjadi:
Pasal 18 (1) Pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
membentuk: a. tim koordinasi penaggulangan bencana daerah; dan b. perangkat daerah yang membidangi sub urusan
bencana. (1a) Tim koordinasi penanggulangan bencana daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas: a. Tim Koordinasi Penanggulangan Bencana Provinsi
pada tingkat provinsi; dan b. Tim Koordinasi Penanggulangan Bencana
Kabupaten/Kota pada tingkat kabupaten/kota. (2) Perangkat daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b terdiri atas: a. Dinas atau badan pada tingkat provinsi; dan b. Dinas atau badan pada tingkat kabupaten/kota.
(3) Dinas atau badan pada tingkat provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh seorang pejabat sesuai peraturan perundang-undangan yang memiliki sertifikat kompetensi di bidang bencana.
(4) Dinas atau badan pada tingkat kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh seorang pejabat sesuai peraturan perundang-undangan yang memiliki sertifikat kompetensi di bidang bencana.
Alasan perubahan adalah penyesuaian dengan kelembagaan baru
sebagaimana implementasi dari Undang-undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Dalam hal ini Tim Koordinasi penanggulangan bencana daerah
yang akan dibentuk mempunyai 2 (dua) tingkatan yang berbeda,
yakni provinsi dan kabupaten/kota.
Sedangkan untuk pimpinan dinas atau badan yang berada
ditingkat provinsi dan kabupaten/kota sebaiknya dipimpin oleh
-39-
pejabat yang memiliki kompetensi dibidang penanggulangan
bencana.
14. Menyisipkan 3 (tiga) pasal baru diantara Pasla 18 dan Pasal 19
yakni Pasal 18A, Pasal 18B, dan Pasal 18C, sehingga menjadi:
Pasal 18A (1) Tim Koordinasi Penanggulangan Bencana
Provinsi/Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1a) huruf a berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada gubernur bagi provinsi dan bupati/walikota bagi kabupaten/Kota.
(2) Tim Koordinasi Penanggulangan Bencana Provinsi/Kabupaten/kota memiliki fungsi: a. menetapkan kebijakan penanggulangan bencana
provinsi bagi provinsi, dan menetapkan kebijakan penanggulangan bencana kabupaten/kota bagi kabupaten/kota;
b. melakukan koordinasi; c. melakukan komando; d. memantau; dan e. mengevaluasi dalam penyelenggaraan
penanggulangan bencana provinsi/kabupaten/kota.
Pasal 18B (1) Susunan organisasi Tim Koordinasi Penanggulangan
Bencana Provinsi terdiri atas: a. Ketua: Wakil Gubernur; b. Wakil Ketua: Sekretaris Daerah Provinsi; c. Sekretaris: Kepala Dinas atau Badan yang
membidangi sub urusan bencana; d. Anggota :
1. perangkat daerah dan badan usaha daerah yang terkait dengan penanggulangan bencana;
2. unsur Kepolisian Negara Republik Indonesia; 3. unsur Tentara Nasional Indonesia; 4. unsur Palang Merah Indonesia; dan 5. unsur masyarakat professional.
(2) Susunan organisasi Tim Koordinasi Penanggulangan Bencana Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf d angka 4 melekat pada jabatan.
(3) Susunan organisasi Tim Koordinasi Penanggulangan Bencana Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d angka 5 diangkat oleh Gubernur berdasarkan hasil penjaringan dan penilaian panitia seleksi yang ditetapkan Gubernur.
(4) Tugas dan tata kerja Tim Koordinasi Penanggulangan Bencana Provinsi lebih lanjut diatur dalam Peraturan Daerah provinsi.
(5) Susunan organisasi dan keanggotaan Tim Koordinasi Penanggulangan Bencana Provinsi sebagaimana
-40-
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Gubernur.
Pasal 18C
(1) Susunan organisasi Tim Koordinasi Penanggulangan Bencana Kabupaten/Kota terdiri atas: a. Ketua : Wakil Bupati/Wakil Walikota; b. Wakil Ketua: Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota; c. Sekretaris: Kepala Dinas atau Badan yang
membidangi sub urusan bencana; d. Anggota:
1. perangkat daerah dan badan usaha daerah yang terkait dengan penanggulangan bencana;
2. unsur Kepolisian Negara Republik Indonesia; 3. unsur Tentara Nasional Indonesia; 4. unsur Palang Merah Indonesia; dan 5. unsur masyarakat professional.
(2) Susunan organisasi Tim Koordinasi Penanggulangan Bencana Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf d angka 4 melekat pada jabatan.
(3) Susunan organisasi Tim Koordinasi Penanggulangan Bencana Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d angka 5 diangkat oleh Bupati/Walikota berdasarkan hasil penjaringan dan penilaian panitia seleksi yang ditetapkan Bupati/Walikota.
(4) Tugas dan tata kerja Tim Koordinasi Penanggulangan Bencana Kabupaten/Kota lebih lanjut diatur dalam Peraturan Daerah kabupaten/kota.
(5) Susunan organisasi dan keanggotaan Tim Koordinasi Penanggulangan Bencana Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Bupati/Walikota.
Alasannya adalah selama ini Kepala Pelaksana BPBD bahkan
Sekretaris Daerah selaku ex-officio Kepala BPBD tidak dapat
mengkoordinasikan unsur-unsur di luar SKPD, seperti TNI dan
POLRI. Oleh karena itu diusulkan agar dibentuk Tim Koordinasi
Penanggulangan Bencana yang langsung dipimpin oleh Kepala
Daerah. Untuk tingkat provinsi dipimpin oleh Gubernur yang
dalam hal ini didelegasikan kepada Wakil Gubernur. Sedangkan
untuk tingkat Kabupaten/Kota dipimpin oleh Bupati/Walikota
yang didelegasikan kepada Wakil Bupati/Wakil Walikota.
Pendelegasian ini dimaksudkan untuk tidak menambah beban
kerja Gubernur/Bupati/Walikota.
-41-
15. Mengubah Pasal 20, sehingga menjadi:
Pasal 20 Dinas atau badan yang membidangi sub urusan bencana provinsi dan kabupaten/kota mempunyai fungsi: a. melaksanakan kebijakan penanggulangan bencana
provinsi bagi Dinas atau badan yang membidangi sub urusan bencana provinsi, dan melaksanakan kebijakan penanggulangan bencana kabupaten/kota bagi Dinas atau badan yang membidangi sub urusan bencana kabupaten/kota;
b. melaksanakan koordinasi kegiatan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, dan menyeluruh di provinsi bagi Dinas atau badan yang membidangi sub urusan bencana provinsi; dan
c. melaksanakan koordinasi kegiatan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, dan menyeluruh di kabupaten/kota bagi Dinas atau badan yang membidangi sub urusan bencana kabupaten/kota.
Alasannya adalah fungsi dinas atau badan di daerah itu
merupakan pelaksana kebijakan, bukan pembuat kebijakan di
bidang penanggulangan bencana. Sedangkan koordinasi yang
dilakukan Dinas atau Badan adalah koordinasi kegiatan yang
dilakukan oleh perangkat daerah dan pihak-pihak lain yang
terlibat dalam menangani bencana.
16. Mengubah dan menambah ketentuan Pasal 21, sehingga menjadi:
Pasal 21 Dinas atau badan yang membidangi sub urusan bencana provinsi dan kabupaten/kota sesuai wewenangnya mempunyai tugas: a. melaksanakan kebijakan nasional penanggulangan
bencana di daerah; a.a melaksanakan kebijakan penanggulangan bencana
provinsi dan kabupaten/kota; b. menetapkan standardisasi serta kebutuhan penyelenggaraan
penanggulangan bencana berdasarkan peraturan perundang-undangan;
c. menyusun, menetapkan, dan menginformasikan peta rawan bencana;
d. menyusun dan menetapkan prosedur tetap penanganan bencana;
e. melaksanakan penyelenggaraan penanggulangan bencana pada wilayahnya;
f. melaporkan penyelenggaraan penanggulangan bencana kepada kepala daerah setiap sebulan sekali dalam kondisi normal dan setiap saat dalam kondisi darurat bencana;
g. mengendalikan pengumpulan dan penyaluran uang dan barang;
-42-
h. mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari anggaran pendapatan belanja daerah; dan
i. melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Alasannya adalah menyesuaikan dengan ketentuan kelembagaan
yang diatur pada Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
17. Mengganti ketentuan Pasal 22, sehingga menjadi:
Pasal 22 Pembentukan, susunan organisasi dan tata kerja Dinas atau badan yang membidangi sub urusan bencana provinsi dan kabupaten/kota dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perangkat daerah. Alasan penggantian ketentuan Pasal 22 ini adalah untuk
memberikan kepastian hukum terhadap pembentukan, susunan
organisasi, dan tata kerja dinas atau badan yang akan
menjalankan penyelenggaraan penanggulanagn bencana di tingkat
daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota.
18. Pasal 23 dihapus.
19. Mengubah Pasal 24, sehingga menjadi:
Pasal 24 Fungsi dan tugas dinas atau badan provinsi dan kabupaten/kota yang membidangi sub urusan bencana harus dilakukan secara terintegrasi yang meliputi : a. prabencana; b. saat tanggap darurat; dan c. pascabencana.
Alasan perubahan ketentuan Pasal 24 ini adalah penyesuaian
nomenklatur dinas atau badan provinsi dan kabupaten/kota yang
membidangi sub urusan bencana sebagaimana diatur dalam
perubahan undang-undang ini.
20. Mengubah Pasal 25, sehingga menjadi:
Pasal 25 Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan, fungsi, tugas, struktur organisasi, dan tata kerja dinas atau badan yang
-43-
membidangi sub urusan bencana diatur dengan peraturan daerah. Alasan perubahan ketentuan Pasal 25 ini adalah penyesuaian
nomenklatur dinas atau badan provinsi dan kabupaten/kota yang
membidangi sub urusan bencana sebagaimana diatur dalam
perubahan undang-undang ini.
21. Mengubah Judul BAB V, sehingga berbunyi sebagai berikut:
BAB V
HAK, KEWAJIBAN DAN PERAN SERTA MASYARAKAT
Alasannya adalah masyarakat merupakan salah satu komponen
penanggulangan bencana yang mempunyai potensi sumberdaya
yang sangat besar. Oleh karena itu tidak cukup hanya dengan
mengatur hak dan kewajiban saja, akan tetapi perlu ditambahkan
dengan keterlibatan atau peran sertanya. Sehingga dalam Bab V
ini ditambahkan Peran Serta Masyarakat yang mengakomodasi
peran masyarakat sebagai relawan, forum, dan berbagai inisiatif
kelembagaan yang berasal dari masyarakat.
22. Menambah 1 (satu) bagian dan 1 (satu) pasal pada Bab V, sehingga
menjadi:
Bagian Ketiga Peran Serta Masyarakat
Pasal 27A
(1) Masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana.
(2) Untuk mendorong peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan kegiatan yang menumbuhkan dan mengembangkan inisiatif serta kapasitas masyarakat dalam penanggulangan bencana.
(3) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan memperhatikan kearifan masyarakat setempat.
(4) Untuk meningkatkan peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat, (2), dan ayat (3) dapat dibentuk forum pengurangan risiko bencana sebagai wadah kerjasama masyarakat dalam penanggulangan bencana.
(5) Forum sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat dibentuk di provinsi dan/atau kabupaten/kota.
-44-
(6) Forum sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Daerah.
Alasan penambahan pasal ini adalah memberikan ruang bagi
peran serta masyarakat yang memang nyata-nyata mempunyai
peran yang besar bagi penanggulangan bencana. Untuk itu
pembentukan forum pengurangan risiko bencana yang melibatkan
para pihak, seperti masyarakat sipil, lembaga usaha, academia dan
media sangat diperlukan sebagai mitra pemerintah dan pemerintah
daerah dalam menanggulangi bencana.
23. Mengubah Pasal 50 ayat (1), sehingga menjadi:
Pasal 50 (1) Dalam hal status keadaan darurat bencana ditetapkan, Badan
Nasional Penanggulangan Bencana dan perangkat daerah yang membidangi sub urusan bencana mempunyai kemudahan akses yang meliputi: a. pengerahan sumber daya manusia; b. pengerahan peralatan; c. pengerahan logistik; d. imigrasi, cukai, dan karantina; e. perizinan; f. pengadaan barang/jasa; g. pengelolaan dan pertanggungjawaban uang dan/atau
barang; h. penyelamatan; dan i. komando untuk memerintahkan sektor/lembaga.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kemudahan akses sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
Alasannya adalah menyesuaikan dengan ketentuan kelembagaan
yang diatur pada Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah diubah menjadi
Perangkat Daerah yang membidangi sub urusan bencana.
24. Mengubah Pasal 51, sehingga menjadi sebagai berikut:
Pasal 51
(1) Penetapan status keadaan darurat bencana dilaksanakan oleh pemerintah sesuai dengan tingkatan bencana nasional dan daerah.
(2) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk tingkatan bencana nasional dilakukan oleh Presiden,
-45-
tingkatan bencana daerah provinsi dilakukan oleh gubernur, dan tingkatan bencana daerah kabupaten/kota dilakukan oleh bupati/walikota.
Alasan perubahan adalah untuk menyamakan istilah atau
pengertian supaya konsisten dengan yang telah digunakan pada
Pasal-pasal sebelumnya. Antara lain status bencana dan status
darurat bencana menjadi status keadaan darurat bencana.
Demikian pula skala bencana disamakan menjadi tingkatan
bencana (nasional, provinsi dan kabupaten/kota).
25. Mengubah ketentuan Pasal 61, sehingga menjadi:
Pasal 61
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah mengalokasikan dana penanggulangan bencana sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 60 paling sedikit 1 (satu) persen dalam anggaran pendapatan dan belanja negara, dan anggaran pendapatan dan belanja daerah.
Alasannya adalah alokasi dana penanggulangan bencana secara
memadai kurang memberikan besaran secara jelas, oleh karena itu
perlu ada standar yang dapat dijadikan ukuran besaran alokasi
dana tersebut yakni 1%. Angka ini diperoleh dari Hasil Pertemuan
Global PBB tentang pengurangan risiko bencana (Global Platform
for DRR) tahun 2009.
Menyisipkan 2 (dua) ayat di antara ayat (1) dan ayat (2), sehingga berbunyi:
(1a) Pemerintah dapat menganggarkan dana alokasi khusus
untuk penanggulangan bencana dalam anggaran pendapatan dan belanja negara kepada daerah berdasarkan tingkat risiko bencana.
(1b) Anggaran penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) disediakan untuk tahap pra bencana, saat tanggap darurat dan pasca bencana.
Alasannya penambahan ayat ini setelah memperhatikan
keterbatasan keuangan daerah, terutama daerah kabupaten/kota
yang memiliki tingkat risiko bencana tinggi dan sangat tinggi,
maka Pemerintah dipandang perlu untuk memberikan bantuan
-46-
dalam bentuk Dana Alokasi Khusus Penanggulangan Bencana
(DAK-PB). Dasar pemberian DAK-PB ini diatur menggunakan hasil
kajian risiko bencana.
Alasan penambahan ayat berikutnya (1b), sebagai penegasan
bahwa anggaran penanggulangan bencana tidak hanya untuk
penanganan darurat bencana, tetapi juga meliputi prabencana dan
pasca bencana
Menghapus ketentuan ayat (2) Pasal 61
Alasannya, bahwa ketentuan ayat (2) Pasal 61 tersebut bersifat
umum dan baku, yang tanpa disebutkan juga akan dilaksanakan
sesuai aturan penggunaan yang ada. Bahwa Dana Penanggulangan
Bencana dapat digunakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah,
Badan Nasional Penanggulangan Bencana dan satuan kerja
perangkat daerah itu tidak memberikan pengaturan yang spesifik.
26. Ketentuan Pasal 66 diubah, sehingga menjadi:
Pasal 66 Pemerintah, pemerintah daerah, Badan Nasional Penanggulangan Bencana dan perangkat daerah yang membidangi sub urusan bencana melakukan pengelolaan sumber daya bantuan bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 pada semua tahap bencana sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Alasan perubahan yakni menyesuaikan dengan nomenklatur
perangkat daerah yang membidangi sub urusan bencana yang
dibentuk ditingkat daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota.
27. Ketentuan Pasal 82 diganti sehingga menjadi:
Pasal 82 (1) Sebelum Dewan Penanggulangan Bencana terbentuk,
Badan Nasional Penanggulangan Bencana tetap dapat melaksanakan tugasnya.
(2) Setelah Dewan Penanggulangan Bencana dibentuk, Badan Nasional Penanggulangan Bencana melaksanakan fungsi dan tugas sebagaimana ditentukan Undang-Undang ini.
-47-
Alasan perubahan karena proses perubahan ini memerlukan
waktu, maka perlu ada tenggang waktu untuk mempersiapkan
kelembagaan baru yang akan dibentuk.
28. Menyisipkan 1 (satu) pasal baru diantara Pasal 82 dan Pasal 83
yakni Pasal 82A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 82A
Badan Penanggulangan Bencana Daerah yang terbentuk sebelum Undang-Undang ini, tetap menjalankan tugas sampai dengan dilakukan penyesuaian dengan ketentuan Undang-Undang ini.
Alasan perubahan karena proses perubahan ini memerlukan
waktu, maka perlu ada tenggang waktu untuk mempersiapkan
kelembagaan baru yang akan dibentuk.
29. Mengubah Pasal 83, sehingga menjadi:
Pasal 83 Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, paling lambat 6 (enam) bulan, Dewan Penanggulangan Bencana sudah dibentuk dan perangkat daerah yang membidangi sub urusan bencana paling lambat 1 (satu) tahun sudah terbentuk. Alasannya adalah pembentukan Dewan Penanggulangan Bencana
relatif cepat dapat dilakukan, sedangkan pembentukan Perangkat
Daerah yang membidangi sub urusan bencana sangat banyak
tersebar di lebih 500 kabupaten kota dan 34 provinsi. Oleh karena
itu waktu yang diberikan untuk pembentukan lembaga tingkat
daerah diberikan waktu lebih lama.
-48-
BAB VI PENUTUP
Demikian uraian tentang Naskah Akademis Rancangan Undang-undang
Perubahan Atas Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana, mulai dari kajian teoretis dan praktik empiris,
evaluasi dan analisis peraturan perundang-undangan terkait, landasan
filosofis, sosiologis dan yuridis, hingga jangkauan, arah pengaturan dan ruang
lingkup materi muatan undang-undang yang diajukan.
Dari uraian tersebut di atas, dapat diambil simpulan dan saran sebagai
berikut:
A. Simpulan 1. Rancangan perubahan undang-undang ini memfokuskan pada 4 (empat)
hal, yakni:
a. Pengertian dan jenis bencana
b. Penetapan status keadaan darurat bencana dan tingkatan
bencana
c. Kelembagaan
d. Peran Serta Masyarakat; dan
e. Pendanaan
2. Kejelasan tentang pengertian, jenis dan tingkatan bencana belum secara
tegas ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 24 tahun 2007,
sehingga hal ini menimbulkan kerancuan dan kebingungan dalam
praktik penanganannya di lapangan. Dalam rancangan perubahan UU
ini ditegaskan bahwa yang termasuk dalam lingkup bencana adalah
bencana alam dan nonalam, sehingga bencana sosial yang di dalamnya
terdapat terorisme dan konflik sosial tidak termasuk dalam cakupan
undang-undang ini. Permasalahan ini sudah ditangani oleh UU Nomor 7
Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial. Sehingga hal ini akan
memastikan tugas pemerintah daerah dalam menangani bencana.
3. Belum terselesaikannya Peraturan Presiden tentang Penetapan Status
dan Tingkatan Bencana sebagaimana diamanatkan oleh UU No.
24/2007, antara lain disebabkan oleh ketidakjelasan pengertian status
tersebut. Apakah itu status bencana atau status keadaan darurat
bencana? Ditambah lagi dengan penyebutan kriteria yang semakin
menyulitkan kita untuk membagi status dan tingkatan bencana
-49-
tersebut. Oleh karena itu dalam perubahan ini diusulkan kepastian
yang disebut dengan Status Keadaan Darurat Bencana dan juga
pengaturan yang simpel tentang Penetapan Tingkatan Bencana.
4. Kelembagaan penyelenggaraan penanggulangan bencana perlu kejelasan
tentang tugas dan kewenangan tingkat pusat, provinsi dan
kabupaten/kota. Demikian pula fungsinya dalam penetapan kebijakan,
koordinasi dan komando pelaksanaan dan lembaga pelaksananya.
Dalam perubahan ini diusulkan lembaga / dewan pengarah kebijakan
yang bersifat multisektor. Penanggulangan bencana merupakan urusan
bersama yang melibatkan multi-pihak, multi-disiplin dan multi-sektor.
Hal ini untuk memisahkan tugas sebagai penentu kebijakan, koordinasi
dan pelaksana kebijakan yang semua ditumpukan kepada BNPB.
Khusus kelembagaan penyelenggaraan penanggulangan bencana di
daerah. Perubahan undang-undang ini ingin memastikan bahwa sesuai
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,
penanggulangan bencana adalah urusan wajib daerah, yang dalam hal
ini adalah sub urusan bencana. Untuk perangkat di daerah dilakukan
oleh Dinas yang membidangi sub urusan bencana (sesuai PP No.
18/2016). Revisi ini bertujuan untuk mengakomodasi kelembagaan
yang telah diatur oleh PP tersebut, agar tidak menimbulkan
kebingungan di daerah.
5. Peran masyarakat di dalam penanggulangan bencana sangat besar. Oleh
karena itu, tidak cukup hanya dengan menyebutkan hak dan kewajiban
masyarakat, tanpa menyebutkan peran sertanya. Dalam perubahan
undang-undang ini diusulkan penambahan Peran Serta Masyarakat
yang selanjutnya akan diatur secara lebih mendalam dalam Peraturan
Pemerintah tersendiri.
6. Pendanaan penanggulangan bencana perlu didorong dan didekatkan ke
daerah, terutama daerah yang berisiko tinggi dan tingkat
kemampuannya rendah dalam penanggulangan bencana. Mengingat
keterbatasan daerah tersebut, maka perlu mekanisme pengaturan
pendanaan penanggulangan bencana. Misalnya dengan keharusan
menyediakan alokasi dana APBD yang ditetapkan besarannya 1%. Di
samping itu juga dimungkinkan adanya Dana Alokasi Khusus tentang
Penanggulangan Bencana.
-50-
B. Saran
1. Substansi yang diusulkan dalam Naskah Akademis Rancangan
Perubahan Undang-undang ini terbatas pada beberapa pasal dan ayat
dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007. Adapun pengaturan yang
lebih rinci dari substansi yang diusulkan akan diakomodasi pada
peraturan perundangan di bawahnya.
2. Naskah Akademis ini merekomendasikan agar Rancangan Perubahan ini
dapat segera masuk dalam Program Legislasi Nasional, mengingat
permasalahan bencana yang terus berlangsung dan memerlukan
penanganan yang serius.
3. Guna menyempurnakan Naskah Akademis ini, perlu dilakukan upaya
sosialisasi, uji sahih ke beberapa pemangku kepetingan, baik di tingkat
nasional, provinsi maupun kabupaten/kota.
-51-
DAFTAR PUSTAKA BUKU Smith. K., 1992, Environmental Hazards: Assessing Risk and Reducing
Disaster, London, Routledge. ADB, ca. 1991, Disaster Management, A Disaster Manager's
Handbook, Manila: ADB Cuny.F.C. 1983. Disasters and Development. New York: Oxford
University Press Carter. Nick, 1991, Disaster management: A Disaster Manager’s
Handbook, Manila, ADB. De Guzman, Emmanuel, M., 2002, Towards Total Disaster Risk
Maanagement Approach, Ca, ADRC-UNOCHA – RDRA. Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (OCHA), 2002,
Prinsip Prinsip Panduan Bagi Pengungsi Internal, Jakarta. Handbook of Emergency, 1996, UNHCR Geneva. Parlan, Hening, 2014, Shaw, Rajib and Takako Izumi “Chapter 4.
Policy and Advocacy: Role of Civil Society in Disaster Management Bill Processes in Indonesia”, Civil Society Organization and Disaster Risk Reduction: The Asian Dilemma. Springer. Tokyo.
WEBSITE
About Disaster Management, Maret 2017, http://www.ifrc.org/en/what-we-do/disaster-management/about-disaster-management/ Sumurdo, Ambarhalim, 2013, Kamus Besar Indonesia, April 2017, http://www.ahlibahasa.com/search?updated-max=2015-10-17T01:36:00-07:00&max-results=20&reverse-paginate=true UN-ISDR, Hyogo Framework for Action 2005-2015: Building the Resilience of Nation and Communities to Disaster. Maret 2017, http://www.unisdr.org/2005/wcdr/intergover/official-doc/L-docs/Hyogo-framework-for-action-english.pdf UNDP, 2009. Lesson Learned: Disaster Management Legal Reform. Indonesian Experience, Maret 2017, http://www.preventionweb.net/publications/view/10468
-52-
UN-ISDR, 2008. Indicators of Progress: Guidance on Measuring the Reduction of Disaster Risk and the Implementation of HFA.
PERUNDANG-UNDANGAN
Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana, UU No. 12, LN No. 66 Tahun 2007, TLN NO. 4723.
Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 23, LN No. 244 Tahun 2014, TLN NO. 5587.
DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA
------
BAGIAN KEDUA
RANCANGAN UNDANG-UNDANG
TENTANG
PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2007
TENTANG
PENANGGULANGAN BENCANA
JAKARTA
2017
draf RUU_bahan Uji Sahih
RANCANGAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR ... TAHUN ...
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG
NOMOR 24 TAHUN 2007 TENTANG PENANGGULANGAN BENCANA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa penyelenggaraan penanggulangan bencana perlu
disesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan
dalam rangka menjalankan fungsi Negara untuk
melindungi segenap bangsa Indonesia sebagaimana
diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa dalam rangka menyesuaikan perkembangan dan
kebutuhan dalam penanggulangan bencana
sebagaimana dimaksud dalam huruf a perlu melakukan
perubahan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007
tentang Penanggulangan Bencana terkait dengan
konsepsi penanggulangan bencana, kelembagaan,
pendanaan penanggulangan bencana, dan
memaksimalkan peran serta masyarakat;
c. bahwa sebagaimana pertimbangan dimaksud dalam huruf a
dan huruf b perlu membentuk Undang-Undang tentang
-2-
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana;
Mengingat : 1. Pasal 20, dan Pasal 22D ayat (1) dan ayat (2) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
dan
2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 66, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4723);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-
UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2007 TENTANG
PENANGGULANGAN BENCANA.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2007 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4723) diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan angka 1, angka 2, angka 3, dan angka 5 diubah, angka 4,
dan angka 6 dihapus Pasal 1 sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang
mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan
-3-
masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau
faktor nonalam sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa
manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dampak
sosial dan dampak psikologis, yang melampaui kemampuan dan
sumber daya masyarakat yang terdampak untuk mengatasinya.
2. Bencana alam adalah bencana yang disebabkan oleh peristiwa
atau rangkaian peristiwa alam antara lain berupa gempa bumi,
tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, tanah
langsor, epidemi, dan wabah penyakit.
3. Bencana nonalam adalah bencana yang disebabkan oleh
perbuatan manusia yang antara lain berupa gagal teknologi,
kebakaran, dan kebakaran hutan dan lahan.
4. Dihapus.
5. Penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian
upaya yang meliputi tahap prabencana, saat tanggap darurat, dan
pasca bencana.
6. Dihapus.
7. Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk
mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui
langkah yang tepat guna dan berdaya guna.
8. Peringatan dini adalah serangkaian kegiatan pemberian peringatan
sesegera mungkin kepada masyarakat tentang kemungkinan
terjadinya bencana pada suatu tempat oleh lembaga yang
berwenang.
9. Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko
bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran
dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.
10. Tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang
dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk
menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi
kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda,
-4-
pemenuhan kebutuhan dasar, pelindungan, pengurusan
pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana.
11. Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek
pelayanan publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai
pada wilayah pascabencana dengan sasaran utama untuk
normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek
pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah
pascabencana.
12. Rekonstruksi adalah pembangunan kembali semua prasarana dan
sarana, kelembagaan pada wilayah pascabencana, baik pada
tingkat pemerintahan maupun masyarakat dengan sasaran utama
tumbuh dan berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial dan
budaya, tegaknya hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran
serta masyarakat dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat
pada wilayah pascabencana.
13. Ancaman bencana adalah suatu kejadian atau peristiwa yang bisa
menimbulkan bencana.
14. Rawan bencana adalah kondisi atau karakteristik geologis,
biologis, hidrologis, klimatologis, geografis, sosial, budaya, politik,
ekonomi, dan teknologi pada suatu wilayah untuk jangka waktu
tertentu yang mengurangi kemampuan mencegah, meredam,
mencapai kesiapan, dan mengurangi kemampuan untuk
menanggapi dampak buruk bahaya tertentu.
15. Pemulihan adalah serangkaian kegiatan untuk mengembalikan
kondisi masyarakat dan lingkungan hidup yang terkena bencana
dengan memfungsikan kembali kelembagaan, prasarana, dan
sarana dengan melakukan upaya rehabilitasi.
16. Pencegahan bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan
untuk mengurangi atau menghilangkan risiko bencana, baik
melalui pengurangan ancaman bencana maupun kerentanan
pihak yang terancam bencana.
-5-
17. Risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat
bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat
berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman,
mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan
kegiatan masyarakat.
18. Bantuan darurat bencana adalah upaya memberikan bantuan
untuk memenuhi kebutuhan dasar pada saat keadaan darurat.
19. Status keadaan darurat bencana adalah suatu keadaan yang
ditetapkan oleh Pemerintah untuk jangka waktu tertentu atas
dasar rekomendasi Badan yang diberi tugas untuk menanggulangi
bencana.
20. Pengungsi adalah orang atau kelompok orang yang terpaksa atau
dipaksa keluar dari tempat tinggalnya untuk jangka waktu yang
belum pasti sebagai akibat dampak buruk bencana.
21. Setiap orang adalah orang perseorangan, kelompok orang,
dan/atau badan hukum.
22. Korban bencana adalah orang atau sekelompok orang yang
menderita atau meninggal dunia akibat bencana.
23. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah
Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan
pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
24. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati/walikota, atau
perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan
daerah.
25. Lembaga usaha adalah setiap badan hukum yang dapat berbentuk
badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, koperasi,
atau swasta yang didirikan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang menjalankan jenis usaha tetap dan
terus menerus yang bekerja dan berkedudukan dalam wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
-6-
26. Lembaga internasional adalah organisasi yang berada dalam
lingkup struktur organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa atau
yang menjalankan tugas mewakili Perserikatan Bangsa-Bangsa
atau organisasi internasional lainnya dan lembaga asing
nonpemerintah dari negara lain di luar Perserikatan Bangsa-
Bangsa.
2. Ketentuan huruf g ayat (2) Pasal 3 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 3
(1) Penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
berasaskan :
a. kemanusiaan;
b. keadilan;
c. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
d. keseimbangan, keselarasan, dan keserasian;
e. ketertiban dan kepastian hukum;
f. kebersamaan;
g. kelestarian lingkungan hidup; dan
h. ilmu pengetahuan dan teknologi
(2) Prinsip-prinsip dalam penanggulangan bencana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2, yaitu :
a. cepat dan tepat;
b. prioritas;
c. koordinasi dan keterpaduan;
d. berdaya guna dan berhasil guna;
e. transparansi dan akuntabilitas;
f. kemitraan;
g. nonproselitis.
-7-
3. Ketentuan ayat (1) huruf c diubah, diantara ayat (1) dan ayat (2)
ditambah 1 (satu) ayat yakni ayat (1a), ayat (2) dan ayat (3) Pasal 7
diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 7
(1) Wewenang Pemerintah dalam penyelenggaraan penanggulangan
bencana meliputi:
a. penetapan kebijakan penanggulangan bencana selaras
dengan kebijakan pembangunan nasional;
b. pembuatan perencanaan pembangunan yang memasukkan
unsur-unsur kebijakan penanggulangan bencana;
c. penetapan status keadaan darurat bencana dan tingkatan
bencana nasional dan daerah;
d. penentuan kebijakan kerja sama dalam penanggulangan
bencana dengan negara lain, badan-badan, atau pihak-pihak
internasional lain;
e. perumusan kebijakan tentang penggunaan teknologi yang
berpotensi sebagai sumber ancaman atau bahaya bencana;
f. perumusan kebijakan mencegah penguasaan dan pengurasan
sumber daya alam yang melebihi kemampuan alam untuk
melakukan pemulihan; dan
g. pengendalian pengumpulan uang atau barang yang bersifat
nasional.
(1a) Penetapan status keadaan darurat bencana dan tingkatan
bencana nasional dan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf c bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dalam
penyelenggaraan tanggap darurat bencana.
(2) Penetapan status keadaan darurat bencana dan tingkatan
bencana nasional dan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf c meliputi:
a. jenis bencana;
b. cakupan wilayah terdampak;
c. jangka waktu; dan
-8-
d. tataran penyelenggaraaanya.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan status keadaan
darurat bencana dan tingkatan bencana nasional dan daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan
presiden.
4. Judul Bagian Kesatu BAB IV diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Bagian Kesatu
Kelembagaan Pusat
5. Diantara Pasal 9 dan Pasal 10 disisipkan 3 (tiga) pasal yakni Pasal 9A,
Pasal 9B, dan Pasal 9C sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 9A
Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 membentuk:
a. Dewan Penanggulangan Bencana; dan
b. Badan Nasional Penanggulangan Bencana.
Paragraf 1
Dewan Penanggulangan Bencana
Pasal 9B
(1) Dewan Penanggulangan Bencana berada di bawah dan
bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
(2) Dewan Penanggulangan Bencana memiliki fungsi:
a. menetapkan kebijakan nasional penanggulangan bencana;
b. melakukan koordinasi;
c. melakukan komando;
d. memantau; dan
e. mengevaluasi dalam penyelenggaraan penanggulangan
bencana.
(3) Susunan organisasi Dewan Penanggulangan Bencana terdiri atas:
-9-
a. Ketua: Wakil Presiden;
b. Wakil Ketua: Menteri Koordinator yang membidangi urusan
sosial;
c. Sekretaris: Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana;
d. Anggota:
1. menteri yang membidangi urusan:
a) dalam negeri;
b) sosial;
c) pekerjaan umum;
d) kesehatan;
e) keuangan;
f) perhubungan;
g) energi;
h) pertambangan;
i) pendidikan; dan
j) lingkungan hidup;
2. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia;
3. Panglima Tentara Nasional Indonesia;
4. Ketua Umum Palang Merah Indonesia; dan
5. 9 (sembilan) anggota masyarakat profesional.
(4) Susunan organisasi Dewan Penanggulangan Bencana
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a sampai dengan
huruf d angka 4 melekat pada jabatan.
(5) Susunan organisasi Dewan Penanggulangan Bencana
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d angka 5 dipilih
melalui uji kepatutan yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia.
Pasal 9C
(1) Tugas dan tata kerja Dewan Penanggulangan Bencana
sebagaimana diatur dalam Pasal 9B ayat (1) lebih lanjut diatur
dalam Peraturan Presiden.
-10-
(2) Susunan organisasi dan keanggotaan Dewan Penanggulangan
Bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9B ayat (3)
ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
6. Ketentuan Pasal 11 diganti sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 11
(1) Badan Nasional Penanggulangan Bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9A berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
(2) Badan Nasional Penanggulangan Bencana memiliki fungsi pelaksana penanggulangan bencana yang meliputi:
a. melaksanakan kebijakan nasional penanggulangan bencana;
dan
b. melaksanakan koordinasi kegiatan penanggulangan bencana
secara terencana, terpadu, dan menyeluruh.
(3) Susunan Organisasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana terdiri atas:
a. Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana;
b. Sekretariat Utama;
c. deputi;
d. Inspektorat Utama;
e. pusat; dan
f. unit pelaksana teknis.
7. Ketentuan huruf h Pasal 12 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 12
Badan Nasional Penanggulangan Bencana mempunyai tugas :
a. memberikan pedoman dan pengarahan terhadap usaha
penanggulangan bencana yang mencakup pencegahan bencana,
penanganan tanggap darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi secara
adil dan setara;
-11-
b. menetapkan standardisasi dan kebutuhan penyelenggaraan
penanggulangan bencana berdasarkan peraturan perundang-
undangan;
c. menyampaikan informasi kegiatan kepada masyarakat;
d. melaporkan penyelenggaraan penanggulangan bencana kepada
Presiden setiap sebulan sekali dalam kondisi normal dan pada
setiap saat dalam kondisi darurat bencana;
e. menggunakan dan mempertanggungjawabkan
sumbangan/bantuan nasional dan internasional;
f. mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima
dari anggaran pendapatan dan belanja negara;
g. melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan peraturan
perundang-undangan; dan
h. perangkat daerah yang membidangi sub urusan bencana.
8. Pasal 13 dihapus.
9. Pasal 14 dihapus.
10. Pasal 15 dihapus.
11. Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 16
Untuk melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
ayat (2) huruf b, Badan Nasional Penanggulangan Bencana mempunyai
tugas secara terintegrasi yang meliputi:
a. prabencana;
b. saat tanggap darurat; dan
c. pascabencana.
-12-
12. Judul Bagian Kedua BAB IV diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Bagian Kedua
Kelembagaan Daerah
13. Ketentuan ayat (1) dan ayat (2) diubah, diantara ayat (1) dan ayat (2)
disisipkan 1 (satu) ayat baru, dan setelah ayat (2) Pasal 18
ditambahkan 2 (dua) ayat baru yakni ayat (3) dan ayat (4) sehingga
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 18
(1) Pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
membentuk:
a. tim koordinasi penanggulangan bencana daerah; dan
b. perangkat daerah yang membidangi sub urusan bencana.
(1a) Tim koordinasi penanggulangan bencana daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas:
a. Tim Koordinasi Penanggulangan Bencana Provinsi pada
tingkat provinsi; dan
b. Tim Koordinasi Penanggulangan Bencana Kabupaten/Kota
pada tingkat kabupaten/kota.
(2) Perangkat daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
terdiri atas:
a. Dinas atau badan pada tingkat provinsi; dan
b. Dinas atau badan pada tingkat kabupaten/kota.
(3) Dinas atau badan pada tingkat provinsi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dipimpin oleh seorang pejabat sesuai peraturan
perundang-undangan yang memiliki sertifikat kompetensi di
bidang bencana.
(4) Dinas atau badan pada tingkat kabupaten/kota sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh seorang pejabat sesuai
peraturan perundang-undangan yang memiliki sertifikat
kompetensi di bidang bencana.
-13-
14. Diantara Pasal 18 dan Pasal 19 disisipkan 3 (tiga) pasal baru yakni
Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 18C sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 18A
(1) Tim Koordinasi Penanggulangan Bencana
Provinsi/Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18
ayat (1a) huruf a berada di bawah dan bertanggung jawab
langsung kepada gubernur bagi provinsi dan bupati/walikota bagi
kabupaten/Kota.
(2) Tim Koordinasi Penanggulangan Bencana
Provinsi/Kabupaten/kota memiliki fungsi:
a. menetapkan kebijakan penanggulangan bencana provinsi
bagi provinsi, dan menetapkan kebijakan penanggulangan
bencana kabupaten/kota bagi kabupaten/kota;
b. melakukan koordinasi;
c. melakukan komando;
d. memantau; dan
e. mengevaluasi dalam penyelenggaraan penanggulangan
bencana provinsi/kabupaten/kota.
Pasal 18B
(1) Susunan organisasi Tim Koordinasi Penanggulangan Bencana
Provinsi terdiri atas:
a. Ketua: Wakil Gubernur;
b. Wakil Ketua: Sekretaris Daerah Provinsi;
c. Sekretaris: Kepala Dinas atau Badan yang membidangi sub
urusan bencana;
d. Anggota :
1. perangkat daerah dan badan usaha daerah yang terkait
dengan penanggulangan bencana;
2. unsur Kepolisian Negara Republik Indonesia;
3. unsur Tentara Nasional Indonesia;
4. unsur Palang Merah Indonesia; dan
-14-
5. unsur masyarakat professional.
(2) Susunan organisasi Tim Koordinasi Penanggulangan Bencana
Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai
dengan huruf d angka 4 melekat pada jabatan.
(3) Susunan organisasi Tim Koordinasi Penanggulangan Bencana
Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d angka 5
diangkat oleh Gubernur berdasarkan hasil penjaringan dan
penilaian panitia seleksi yang ditetapkan Gubernur.
(4) Tugas dan tata kerja Tim Koordinasi Penanggulangan Bencana
Provinsi lebih lanjut diatur dalam Peraturan Daerah provinsi.
(5) Susunan organisasi dan keanggotaan Tim Koordinasi
Penanggulangan Bencana Provinsi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Gubernur.
Pasal 18C
(1) Susunan organisasi Tim Koordinasi Penanggulangan Bencana
Kabupaten/Kota terdiri atas:
a. Ketua : Wakil Bupati/Wakil Walikota;
b. Wakil Ketua: Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota;
c. Sekretaris : Kepala Dinas atau Badan yang membidangi sub
urusan bencana;
d. Anggota :
1. perangkat daerah dan badan usaha daerah yang terkait
dengan penanggulangan bencana;
2. unsur Kepolisian Negara Republik Indonesia;
3. unsur Tentara Nasional Indonesia;
4. unsur Palang Merah Indonesia; dan
5. unsur masyarakat professional.
(2) Susunan organisasi Tim Koordinasi Penanggulangan Bencana
Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
sampai dengan huruf d angka 4 melekat pada jabatan.
(3) Susunan organisasi Tim Koordinasi Penanggulangan Bencana
-15-
Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d
angka 5 diangkat oleh Bupati/Walikota berdasarkan hasil
penjaringan dan penilaian panitia seleksi yang ditetapkan
Bupati/Walikota.
(4) Tugas dan tata kerja Tim Koordinasi Penanggulangan Bencana
Kabupaten/Kota lebih lanjut diatur dalam Peraturan Daerah
kabupaten/kota.
(5) Susunan organisasi dan keanggotaan Tim Koordinasi
Penanggulangan Bencana Provinsi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Bupati/Walikota.
15. Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 20
Dinas atau badan yang membidangi sub urusan bencana provinsi dan
kabupaten/kota mempunyai fungsi:
a. melaksanakan kebijakan penanggulangan bencana provinsi bagi
Dinas atau badan yang membidangi sub urusan bencana provinsi,
dan melaksanakan kebijakan penanggulangan bencana
kabupaten/kota bagi Dinas atau badan yang membidangi sub
urusan bencana kabupaten/kota;
b. melaksanakan koordinasi kegiatan penanggulangan bencana
secara terencana, terpadu, dan menyeluruh di provinsi bagi Dinas
atau badan yang membidangi sub urusan bencana provinsi; dan
c. melaksanakan koordinasi kegiatan penanggulangan bencana
secara terencana, terpadu, dan menyeluruh di kabupaten/kota
bagi Dinas atau badan yang membidangi sub urusan bencana
kabupaten/kota.
16. Ketentuan huruf a diubah dan diantara huruf a dan huruf b Pasal 21
disisipkan 1 (satu) huruf yakni huruf a.a sehingga berbunyi sebagai
berikut:
-16-
Pasal 21
Dinas atau badan yang membidangi sub urusan bencana provinsi dan
kabupaten/kota sesuai wewenangnya mempunyai tugas:
a. melaksanakan kebijakan nasional penanggulangan bencana di
daerah;
a.a melaksanakan kebijakan penanggulangan bencana provinsi dan
kabupaten/kota;
b. menetapkan standardisasi serta kebutuhan penyelenggaraan
penanggulangan bencana berdasarkan peraturan perundang-
undangan;
c. menyusun, menetapkan, dan menginformasikan peta rawan
bencana;
d. menyusun dan menetapkan prosedur tetap penanganan bencana;
e. melaksanakan penyelenggaraan penanggulangan bencana pada
wilayahnya;
f. melaporkan penyelenggaraan penanggulangan bencana kepada
kepala daerah setiap sebulan sekali dalam kondisi normal dan
setiap saat dalam kondisi darurat bencana;
g. mengendalikan pengumpulan dan penyaluran uang dan barang;
h. mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima
dari anggaran pendapatan belanja daerah; dan
i. melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
17. Ketentuan Pasal 22 diganti sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 22
Pembentukan, susunan organisasi dan tata kerja Dinas atau badan
yang membidangi sub urusan bencana provinsi dan kabupaten/kota
dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang mengatur mengenai perangkat daerah.
-17-
18. Pasal 23 dihapus.
19. Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 24
Fungsi dan tugas dinas atau badan provinsi dan kabupaten/kota yang
membidangi sub urusan bencana harus dilakukan secara terintegrasi
yang meliputi:
a. prabencana;
b. saat tanggap darurat; dan
c. pascabencana.
20. Ketentuan Pasal 25 diubah sehiangga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 25
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan, fungsi, tugas, struktur
organisasi, dan tata kerja dinas atau badan yang membidangi sub
urusan bencana diatur dengan peraturan daerah.
21. Judul BAB V diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :
BAB V
HAK, KEWAJIBAN DAN PERAN SERTA MASYARAKAT
22. Diantara Pasal 27 dan Pasal 28 ditambah 1 (satu) bagian dan
disisipkan 1 (satu) pasal yakni Bagian Ketiga dan Pasal 27A, sehingga
berbunyi sebagai berikut:
Bagian Ketiga
Peran Serta Masyarakat
Pasal 27A
(1) Masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk berperan serta
dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan dalam
penyelenggaraan penanggulangan bencana.
-18-
(2) Untuk mendorong peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan kegiatan yang menumbuhkan dan
mengembangkan inisiatif serta kapasitas masyarakat dalam
penanggulangan bencana.
(3) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan
memperhatikan kearifan masyarakat setempat.
(4) Untuk meningkatkan peran serta masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat, (2), dan ayat (3) dapat dibentuk
forum pengurangan risiko bencana sebagai wadah kerjasama
masyarakat dalam penanggulangan bencana.
(5) Forum sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat dibentuk di
provinsi dan/atau kabupaten/kota.
(6) Forum sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur lebih lanjut
dalam Peraturan Daerah.
23. Ketentuan ayat (1) Pasal 50 diubah sehingga berbunyai sebagai berikut:
Pasal 50
(1) Dalam hal status keadaan darurat bencana ditetapkan, Badan
Nasional Penanggulangan Bencana dan perangkat daerah yang
membidangi sub urusan bencana mempunyai kemudahan akses
yang meliputi:
a. pengerahan sumber daya manusia;
b. pengerahan peralatan;
c. pengerahan logistik;
d. imigrasi, cukai, dan karantina;
e. perizinan;
f. pengadaan barang/jasa;
g. pengelolaan dan pertanggungjawaban uang dan/atau barang;
h. penyelamatan; dan
i. komando untuk memerintahkan sektor/lembaga.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kemudahan akses sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
-19-
24. Ketentuan Pasal 51 diubah sehingga berbunyai sebagai berikut:
Pasal 51
(1) Penetapan status keadaan darurat bencana dilaksanakan oleh
pemerintah sesuai dengan tingkatan bencana nasional dan
daerah.
(2) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk tingkatan
bencana nasional dilakukan oleh Presiden, tingkatan bencana
daerah provinsi dilakukan oleh gubernur, dan tingkatan bencana
daerah kabupaten/kota dilakukan oleh bupati/walikota.
25. Ketentuan ayat (1) diubah, diantara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 2
(dua) ayat yakni ayat (1a) dan ayat (1b) dan ayat (2) Pasal 61 dihapus,
sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 61
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah mengalokasikan dana
penanggulangan bencana sebagaimana yang dimaksud dalam
Pasal 60 paling sedikit 1 (satu) persen dalam anggaran pendapatan
dan belanja negara, dan anggaran pendapatan dan belanja daerah.
(1a) Pemerintah dapat menganggarkan dana alokasi khusus untuk
penanggulangan bencana dalam anggaran pendapatan dan belanja
negara kepada daerah berdasarkan tingkat risiko bencana.
(1b) Anggaran penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan (2) disediakan untuk tahap pra bencana, saat tanggap
darurat dan pasca bencana.
(2) Dihapus.
26. Ketentuan Pasal 66 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 66
Pemerintah, pemerintah daerah, Badan Nasional Penanggulangan
Bencana dan perangkat daerah yang membidangi sub urusan bencana
melakukan pengelolaan sumber daya bantuan bencana sebagaimana
-20-
dimaksud dalam Pasal 65 pada semua tahap bencana sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
27. Ketentuan Pasal 82 diganti sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 82
(1) Sebelum Dewan Penanggulangan Bencana terbentuk, Badan
Nasional Penanggulangan Bencana tetap dapat melaksanakan
tugasnya.
(2) Setelah Dewan Penanggulangan Bencana dibentuk, Badan
Nasional Penanggulangan Bencana melaksanakan fungsi dan
tugas sebagaimana ditentukan Undang-Undang ini.
28. Diantara Pasal 82 dan Pasal 83 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal
82A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 82A
Badan Penanggulangan Bencana Daerah yang terbentuk sebelum
Undang-Undang ini, tetap menjalankan tugas sampai dengan
dilakukan penyesuaian dengan ketentuan Undang-Undang ini.
29. Ketentuan Pasal 83 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 83
Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, paling lambat 6 (enam)
bulan, Dewan Penanggulangan Bencana sudah dibentuk dan perangkat
daerah yang membidangi sub urusan bencana paling lambat 1 (satu)
tahun sudah terbentuk.
-21-
Pasal II
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agara setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-
Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Disahkan di Jakarta
Pada tanggal ...
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
JOKO WIDODO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal ...
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H.M. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN ... NOMOR ...
-22-
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR ... TAHUN ...
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG
NOMOR 24 TAHUN 2007 TENTANG PENANGGULANGAN BENCANA
I. UMUM
Lahirnya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 yang diikuti dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 21 tentang Penyeleggaraan
Penanggulangan bencana, Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun
2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana, dan
Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2008 tentang Peran Serta
Lembaga Internasional dan Lembaga Asing Nonpemerintah Dalam
Penanggulangan Bencana, telah merubah paradigma pemikiran tentang
penanggulangan bencana dari aspek tanggap darurat menjadi aspek
Pengurangan Risiko Bencana (PRB) atau Mitigasi Bencana. Namun
demikian, adanya perubahan paradigma tersebut tidak selalu diikuti
secara konsisten dan selaras dengan implementasi dari UU PB dan
Peraturan lainnya yang terkait dengan PRB.
Batasan (nomenklatur) tentang bencana perlu disempurnakan sesuai
dengan kesepatan internasional dan atau disesuaikan dengan kondisi
wilayah Indonesia. Batasan ilmiah tentang nomenklatur tetap penting,
namun dapat disesuaikan dengan batasan operasional, sehingga
mudah diimplementasikan. Dengan demikian harus jelas ruang lingkup
tentang UU PB tersebut (Bencana alam dan Bencana non-alam).
Bencana alam meliputi gempa bumi, tsunami, erupsi gunung berapi,
banjir, kekeringan, longsor, angin kencang/puting beliung, dan epidemi
dan wabah penyakit. Sedangkan bencana nonalam meliputi kegagalan
teknologi, kebakaran, dan kebakaran lahan dan hutan. Bencana sosial
tidak termasuk dalam UU PB karena sudah diatur dalam UU
-23-
Penanganan Konflik Sosial, namun penanganan pengungsi akibat
bencana tetap menjadikan bagian dari urusan BNPB.
Dalam Pasal 7 ayat (2) UU Nomor 24 Tahun 2007 mengatur bahwa
Penetapan status dan tingkatan bencana perlu segera diperkuat
dengan Peraturan Presiden, dimana pada Peraturan Presiden nantinya
harus jelas dan terukur indikatornya yang meliputi :
a. jumlah korban;
b. kerugian harta benda;
c. kerusakan prasarana dan sarana;
d. cakupan luas wilayah yang terkena dampak bencana; dan
e. dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan.
Tugas dan fungsi BNPB untuk mengkoordinasikan kegiatan PB pada
beberapa tahapan masih kurang optimal. Demikian juga fungsi unsur
pengarah, tenaga profesional, dan tenaga ahli masih kurang optimal.
Bahkan di beberapa daerah (BPBD) masih memandang bahwa unsur
pengarah belum dan atau tidak diperlukan. Salah satu alasannya
adalah alasan dalam pembiayaan tenaga tersebut. Dengan demikain
hubungan fungsional unsur pengarah BNPB dan BPBD tidak
ada/belum optimal.
Pasal 33 UU Nomor 24 Tahun 2007 menyatakan bahwa
penyelenggaraan Penaggulangan Bencana terdiri dari 3 (tiga) tahap
meliputi pra bencana, bencana, dan pascabencana. Dalam konteks
siklus pengelolaan bencana tiga tahapan tersebut di atas harus
merupakan siklus yang kontinyu (continuous). Konsep ini sangat
penting karena akan mempengaruhi pola dan sistem kerja BNPB dan
atau BPBD dalam melaksanakan program dan kegiatannya, serta
pendanaannya.
Minimnya peraturan yang terkait dengan .pengembangan sumber daya
manusia (SDM) dan optimalisasi jenjang keahlian/profesionalisme
Penaggulangan Bencana. Dengan demikian sistem dan kinerja
Penaggulangan Bencana di daerah khususnya belum/kurang optimal.
-24-
Meskipun secara umum Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 telah
mengatur aspek-aspek yang terkait dengan Penanggulangan Bencana,
namun secara nasional dan tingkat daerah masih banyak kelemahan-
kelemahannya, antara lain:
a. Pada prinsipnya penanggulangan bencana merupakan urusan
pemerintah-masyarakat-dan swasta, namun belum optimalnya
peran swasta dalam hal ini, sebagai akibat belum adanya sistem
informasi yang lengkap (SOP) tentang penanggulangan bencana
terutama dalam masalah pendanaan. Tata kelola keuangan dalam
penaggulangan bencana perlu diperbaiki. Untuk itu sangat
diperlukan peraturan pemerintah yang mengharuskan adanya
alokasi anggaran untuk penaggulangan bencana dalam Sistem
Pembangunan Nasional (RPJM).
b. Masih adanya kesulitan dan kelemahan dalam koordinasi dan
sinkronimasi program dan kegiatan penaggulangan bencana
antara Kementerian/Lembaga, dan Dinas SKPD di daerah. Oleh
karena itu, perlu evaluasi dalam bidang kelembagaan
penanggulangan bencana.
c. Konsep Sistem penaggulangan bencana secara nasional perlu
diimplementasi secara lebih baik terutama yang menyangkut
Analisis Risiko Lingkungan selain Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan pada Wilayah Strategis Nasional, Wilayah
Pengembangan Ekonomi, dan Wilayah Rawan Bencana secara
berkelanjutan.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
-25-
Angka 2
Pasal 3
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 7
Cukup jelas.
Angka 4
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 9A
Cukup jelas.
Pasal 9B
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
-26-
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Cukup jelas.
Angka 5
Unsur Dewan Penanggulangan Bencana
yang berasal dari anggota masyarakat
profesional merupakan seseorang yang
salah satunya memiliki sertifikat keahlian
penanggulangan bencana. Pasal 9C
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 11
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 12
Cukup jelas.
Angka 8
Cukup jelas.
Angka 9
Cukup jelas.
Angka 10
Cukup jelas.
-27-
Angka 11
Pasal 16
Cukup jelas.
Angka 12
Cukup jelas.
Angka 13
Pasal 18
Cukup jelas.
Angka 14
Pasal 18A
Cukup jelas.
Pasal 18B
Cukup jelas.
Pasal 18C
Cukup jelas.
Angka 15
Pasal 20
Cukup jelas.
Angka 16
Pasal 21
Cukup jelas.
Angka 17
Pasal 22
Cukup jelas.
-28-
Angka 18
Cukup jelas.
Angka 19
Pasal 24
Cukup jelas.
Angka 20
Pasal 25
Cukup jelas.
Angka 21
Cukup jelas.
Angka 22
Pasal 27A
Cukup jelas.
Angka 23
Pasal 50
Cukup jelas.
Angka 24
Pasal 51
Cukup jelas.
Angka 25
Pasal 61
Cukup jelas.
Top Related