Download - RABU, 18 AGUSTUS 2010 | MEDIA INDONESIA Jalan Tikus itu ...ftp.unpad.ac.id/koran/mediaindonesia/2010-08-18/mediaindonesia_2010-08...MENYEBERANG: Seorang pria menggendong anaknya melintas

Transcript
Page 1: RABU, 18 AGUSTUS 2010 | MEDIA INDONESIA Jalan Tikus itu ...ftp.unpad.ac.id/koran/mediaindonesia/2010-08-18/mediaindonesia_2010-08...MENYEBERANG: Seorang pria menggendong anaknya melintas

MI instan, roti, beras, sabun, dan bahan bakar. Barang-ba-rang tersebut pa-

ling sering diselundupkan warga Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT), ke Timor Leste, dalam 11 tahun terakhir.

Itu pun kalau beruntung. Kalau sedang ‘sial’, kebutuhan

pokok tersebut tidak sampai kepada penerimanya. Bahkan penyelundup terpaksa berurus-an dengan aparat dan harus merelakan barangnya itu di-musnahkan.

Untuk memastikan situasi benar-benar aman, sebelum memutuskan untuk menye-berangi garis perbatasan Indo-nesia-Timor Leste, penyelundup biasa bergerak bersama-sama kelompoknya melewati jalan

setapak yang menghubungkan kedua negara. Dekat tapal batas, mereka mengendap dan ber-sembunyi di balik semak.

Kalau tidak ada aparat keamanan yang patroli, barulah kelompok itu menyeberang. Oleh mereka, jalan setapak semacam itu populer disebut jalan tikus.

Sekarang jalan itu sepi. Tidak terlihat lagi aksi pengejaran penyelundup oleh pasukan penjaga perbatasan.

“Jalan-jalan tikus yang dulu-nya ramai mulai dini hari sam-pai fajar menyingsing, kini tinggal kenangan,” kisah Agusti-nus de Rasario, warga Mota’ain, Desa Silawan, Kecamatan Kaku-luk Mesak, Kabupaten Belu, NTT, awal Agustus.

Sesungguhnya Agustinus bukanlah penyelundup profe-sional. Dia kerap membawa satu atau dua bahan makanan untuk saudara-saudaranya yang bermukim di Batugade, wilayah di seberang tapal batas yang berbatasan dengan Desa Silawan.

Ia dan saudaranya terpisah sejak September 1999, setelah berlangsung jajak pendapat di bekas provinsi Timor-Timur yang dimenangi kubu proke-merdekaan. Agustinus bersama keluarga yang prointegrasi memilih bergeser ke Belu.

Mulai 28 Juli 2010, pas lintas batas (PLB) antara Indonesia-Timor Leste diberlakukan seba-gai tindak lanjut dari nota ke-sepahaman, tujuh tahun lalu.

Agustinus termasuk salah satu warga yang senang sebab PLB memungkinkan warga

kedua negara yang bermukim di perbatasan dan masih memi-liki ikatan keluarga untuk saling mengunjungi tanpa harus memiliki paspor dan membayar visa. Warga juga bebas mem-bawa barang-barang kebutuhan pokok kecuali bahan bakar minyak untuk diperdagangkan di pasar tradisional.

“Selama ini kami sulit ber-temu keluarga di Batugade karena berbeda negara. Seka-rang kami senang karena bebas ke sana kapan saja,” ujarnya.

Pasar bersamaPasar antarnegara dibangun

tidak jauh dari garis perbatasan untuk memberikan peluang bagi warga berbelanja kebu-tuhan sehari-hari tanpa harus merasa waswas. Meski begitu, pengunjung dilarang mening-galkan garis perbatasan lebih dari 10 kilometer.

Mereka hanya boleh melepas kangen bersama keluarga, ber-belanja, atau menghadiri sere-moni adat, upacara perkawinan, atau kematian.

Biar begitu, pemberlakuan PLB menyenangkan hati Agusti-nus karena menurutnya metode ini pas dan menolong warga untuk saling bertukar pangan, terutama saat musim paceklik.

Petugas imigrasi di perlin-tasan Mota’ain Ferry Kiswan-toro mengatakan ongkos PLB hanya sebesar Rp15.000, lebih murah daripada pengurus an visa yang sebesar US$30.

Untuk mengurus PLB, warga hanya perlu menyertakan kartu tanda penduduk, akta kelahir-an, surat keterangan dari kepala desa, dan foto. Satu lembar PLB berlaku 10 hari dan bisa diper-panjang selama 10 hari.

Sejak pemberlakuan PLB, kata Ferry, warga kedua negara yang saling berkunjung mele-wati Mota’ain berkisar 200 orang setiap harinya.

Pemerintah dan aparat keamanan mengaku terus meng awasi pelintas batas guna menghindari munculnya hal-hal yang merusak hubungan kedua negara.

Pasalnya, sesuai dengan catat-an Korem 161/Wirasakti, ada empat persoalan krusial yang terus membayangi perbatasan kedua negara. Empat persoalan itu adalah penyu supan manu-sia, perlintasan imigran gelap, penyelundupan, dan pelanggar-an lintas batas.

Personel TNI yang bertugas di perbatasan memberikan per-hatian serius terhadap empat persoalan tersebut, termasuk meminta dukungan seluruh ele-men masyarakat. (N-4)

[email protected]

Nyaris sebulan pas lintas batas Indonesia-Timor Leste diberlakukan sebagai tindak lanjut dari nota kesepahaman kedua negara.

Palce Amalo

Jalan Tikus itu Tinggal Kenangan

MENYEBERANG: Seorang pria menggendong anaknya melintas di garis perbatasan RI-Timor Leste di Mota’ain, Kabupaten Belu, NTT (atas). Sebelum pemberlakuan pas lintas batas, banyak warga menyeberangi tapal perbatasan untuk menjual minyak goreng kepada warga Timor Leste. Salah satunya perempuan yang menjunjung minyak goreng yang dibungkus karung ini, ia melintas di jalan tikus yang hanya dibatasi pagar pembatas di perbatasan RI-Timor Leste di Kabupaten Belu, NTT (bawah).

Ongkos PLB hanya sebesar Rp15.000, lebih murah daripada pengurusan visa.”

Ferry KiswantoroPetugas imigrasi di Mota’ain

Nusantara | 7RABU, 18 AGUSTUS 2010 | MEDIA INDONESIA

FOTO-FOTO: MI/PALCE AMALO