i
PROPOSAL PENELITIAN
PENGARUH BERBAGAI JENIS MULSA DAN
DOSIS PUPUK NITROGEN TERHADAP PERTUMBUHAN DAN
PRODUKSI TANAMAN MELON (Cucumis melo L.)
O l e h :
HARVIYADDIN
NIM. G2A1 011 007
PROGRAM STUDI AGRONOMI
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2012
ii
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Penelitian : Pengaruh Berbagai Jenis Mulsa dan Dosis Pupuk Nitrogen
terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Melon
(Cucumis melo L.)
Nama Mahasiswa : Harviyaddin
NIM : G2A1011007
Program Studi : Agronomi
Menyetujui:
Komisi Pembimbing
Prof. Dr.Sc.Agr. Ir. H. La Karimuna, M.Sc
Ketua
Dr. Ir. La Ode Safuan, M.P.
Anggota
Mengetahui:
Ketua Program Studi Agronomi,
Dr. Ir. Suaib, M.Sc.Agric.
NIP. 19571007 198303 1 002
1
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Melon (Cucumis melo L.) merupakan salah satu komoditas buah semusim
dari famili Cucurbitaceae. Buah ini populer sebagai juice dan kudapan karena
keunggulan rasa, warna daging bervariasi, bergizi, dan kadar air yang tinggi. Buah
dan biji melon penting bagi kesehatan sebagai sumber vitamin A, vitamin C dan
besi. Perdagangan melon prospektif, ekonomis, dan digemari masyarakat
Sulawesi Tenggara dibandingkan dengan buah lain dari famili Cucurbitaceae.
Sulawesi Tenggara pada Tahun 2010 memproduksi melon sebesar 8,3 ton
(BPS Sultra, 2011) sedangkan Tahun 2011 tidak terdapat laporan data produksi
padahal kebutuhan pasar cukup tinggi sehingga pedagang buah masih
mendatangkannya dari daerah lain. Kekurangan stock melon disebabkan produksi
buah yang rendah, berukuran kecil, dan cita rasa manis yang rendah. Masalah
utama adalah pemilihan jenis melon yang cocok dan metode budidaya seperti
pemulsaan dan pemupukan yang belum tepat. Peningkatan produksi buah yang
berkualitas dapat dilakukan melalui perluasan areal tanam dan perakitan
agroteknologi tepat guna.
Sulawesi Tenggara memiliki potensi sumber daya lahan yang luas untuk
mendukung pembangunan pertanian nasional khususnya pengembangan tanaman
melon seluas 182.377 ha (BPS Sultra, 2011), tetapi lahan pertanian tersebut,
didominasi oleh tanah Ultisol dengan tingkat kesuburan tanah yang rendah. Tanah
ini mengandung Nitrogen (N), Phosfor (P), dan Kalium (K) tersedia yang rendah
karena didominasi kation basa seperti Al, Fe, dan Mn yang dapat meracuni
2
tanaman, serta kapasitas tanah menahan air yang rendah. Peningkatan produksi
tanaman melon di Sulawesi Tenggara sensitif terhadap kahat N dan kelembaban
tanah yang rendah. Hara N cenderung mobile dalam tanah yaitu mudah
mengalami pencucian hara (leaching), menguap (volatilitation), dan denitrifikasi
akibat terpaan curah hujan dan radiasi pada permukaan tanah bahkan terbawa saat
panen. Curah hujan rendah dan tingginya radiasi surya menyebabkan evaporasi
yang tinggi sehingga kelembaban tanah yang rendah. Strategi agroteknologi untuk
menjaga air dan mengelola N dalam tanah agar tidak mudah menguap adalah
pemulsaan.
Mulsa berperan penting dalam menjaga ketersediaan air tanah bagi
tanaman. Ketersediaan air bagi tanaman sangat mutlak karena merupakan
komponen utama tanaman dan pelarut hara. Mulsa adalah materi yang
ditambahkan pada permukaan tanah untuk melindunginya dari curah hujan dan
radiasi surya yang berlebihan agar menjaga air, mengendalikan fluktuasi suhu,
mempertahankan aerasi, dan hara. Pemulsaan yang tepat dapat mempertahankan
kelembaban tanah, mengendalikan erosi, aliran permukaan, dan evaporasi
sehingga mengurangi pencucian hara dan volatilisasi NH3. Pemulsaan yang tidak
tepat dapat menyebabkan tanah basah dan tergenang sehingga memicu serangan
penyakit, akar menjadi busuk, meningkatkan denitrifikasi, dan ketersediaan hara
mikro menjadi rendah. Pemulsaan yang tepat dapat mendukung pertumbuhan dan
produksi tanaman melalui konservasi air dan hara yang optimal melalui
sedangkan pemulsaan yang tidak tepat dapat merugikan tanaman.
3
Pemilihan mulsa perlu mempertimbangkan karakteristik lahan, tehnik
budidaya, dan tanaman. Mulsa mempengaruhi fluktuasi suhu, tingkat kelembaban
tanah, besarnya kehilangan N melalui pencucian hara, volatilisasi NH3, dan
denitrifikasi yang ditentukan oleh jenis, jumlah, dan kualitasnya. Banyak hasil
penelitian yang menegaskan bahwa status hara tanaman dipengaruhi interaksi
kultivar dan kombinasi metode budidaya. Majkowska-Gadomska (2009)
melaporkan bahwa interaksi melon var. Seledyn F1 dan kombinasi mulsa dengan
penutup non-moven polypropylene menghasilkan rasio Ca : mg dan Ca : P
masing-masing 3,12 dan 1,94 lebih tinggi dibandingkan interaksi varietas dan
kombinasi teknik budidaya lainnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa pemulsaan
mempengaruhi status hara tanaman sedangkan pemupukan berimplikasi pada
pertumbuhan dan produksi tanaman.
Pemupukan N pada tanah Ultisol sering tidak efektif karena disamping
kelembaban tanah yang rendah, bereaksi masam, pemupukan dalam jumlah besar
dapat menganggu keseimbangan dan mengurangi serapan hara lain sedangkan
dalam jumlah kecil menyebabkan defisiensi N. Pemupukan N dalam jumlah besar
dapat meningkatkan kemasaman, merangsang keracunan Al, penjenuhan basa
rendah, defisiensi hara makro dan mikro. Pengasaman dapat mempengaruhi
ketersediaan hara dan aktivitas biologis di sekitar akar. Tanaman menyerap N
berupa NH₄⁺ atau NO₃
⁻, ketika penyerapan NH₄⁺ maka akar melepaskan H⁺
sehingga cenderung masam sedangkan penyerapan NO₃⁻ maka akar melepaskan
OH- yang menyebabkan tanah cenderung basa. Perubahan NH₄⁺ menjadi NO₃
- oleh
mikroorganisme merupakan sumber kemasaman. Penurunan pH meningkatkan
4
kelarutan Al, Fe, dan Mn yang dapat memfiksasi P sehingga tidak tersedia bagi
tanaman. Interaksi hara tanah di atas cenderung antagonistik, penyerapan NH4+
menurunkan pengambilan kation lain seperti Ca2+, Mg2+, dan K+ sambil
meningkatkan penyerapan H2PO4-, SO4
2-, dan Cl-. Penyerapan NO3- menurunkan
pengambilan anion lainnya. Kondisi tersebut merugikan tanaman.
Nitrogen sangat vital bagi tanaman karena sebagai salah satu komponen
DNA, RNA, asam amino, dan klorofil. Kelebihan N pada tanaman mengakibatkan
fase vegetatif lebih giat dibandingkan fase generatif dimana pembentukan cabang,
batang, dan daun tidak porporsional serta rentan rebah dan serangan penyakit.
Kekurangan N pada fase vegetatif dapat mengalami pertumbuhan yang kerdil dan
sistem perakaran yang terbatas, daun menjadi kuning atau hijau kekuningan dan
cenderung mudah gugur. Kekurangan N pada fase generatif berimplikasi pada
pertumbuhan buah tidak sempurna, kadar protein, dan serat daun yang rendah
sehingga mempengaruhi ukuran, warna, serta total padatan terlarut buah.
Kelebihan dan kekurangan N dapat diatur dan dipenuhi melalui
pemupukan. Pemupukan tepat dosis merupakan dasar kesehatan tanaman dan
tanah untuk mengganti pengambilan hara dan menghindari gangguan serapan hara
serta mendukung pertumbuhan dan produksi tanaman yang optimal. Penelitian
terbaru saat ini telah diarahkan mengevaluasi dampak penerapan N pada kualitas
buah. Castelanos et al. (2011) melaporkan bahwa melon var. Sancho pada tanah
Alfisol yang diberikan N 93 kg ha-1 mengurangi produksi buah 21%, pemupukan
N dosis 393 kg ha-1 diperoleh pertumbuhan vegetatif tertinggi sedangkan dosis
optimum diperoleh pada kisaran 90-100 kg ha-1.
5
Pemupukan N harus mempertimbangkan jenis mulsa agar pemupukan
lebih efektif dan efisien sehingga diperlukan rekomendasi pemupukan spesifik
jenis mulsa. Rekomendasi ini belum dipublikasikan dan dikembangkan di
Sulawesi Tenggara terutama pada tanaman melon yang memiliki nilai ekonomi
tinggi. Fokus penelitian ini adalah mengkaji rekomendasi pemupukan N pada
jenis mulsa yang berbeda pada tanaman melon.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Apakah terdapat interaksi pemberian berbagai jenis mulsa dengan berbagai
dosis pupuk N terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman melon,
2. Berapakah dosis pemupukan N yang optimal pada berbagai jenis mulsa dalam
pertumbuhan dan produksi tanaman melon,
3. Apakah pemberian berbagai jenis mulsa dapat memberikan pengaruh yang
berbeda terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman melon, dan
4. Apakah pemberian berbagai dosis pupuk N dapat memberikan pengaruh yang
berbeda terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman melon.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk:
1. Mengkaji pengaruh interaksi pemberian berbagai jenis mulsa dan berbagai
dosis pupuk N terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman melon,
2. Mempelajari pengaruh dosis pupuk N optimal pada berbagai jenis mulsa
terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman melon.
6
3. Mempelajari pengaruh jenis mulsa yang ideal terhadap pertumbuhan dan
produksi tanaman melon dan
4. Mempelajari pengaruh dosis pupuk N terhadap pertumbuhan dan produksi
tanaman melon.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini sebagai bahan referensi penelitian lanjutan yang
berkaitan dengan pemakaian dosis pupuk N pada jenis mulsa yang berbeda untuk
pertumbuhan dan produksi tanaman melon yang optimal. Hasil penelitian dapat
digunakan sebagai acuan pemakaian pemupukan N berdasarkan jenis mulsa pada
tanaman melon oleh petani yang berada di sekitar areal penelitian.
7
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Karakteristik dan Agroekologi Melon
1. Karakteristik Melon
Melon merupakan salah satu spesies penting Cucurbitaceae. Famili ini
terdiri atas 130 genus dan lebih dari 800 spesies (Dhiman et al., 2012). Genus
Cucumis memiliki lebih dari 50 spesies (Short dan Cowie, 2011), bahkan semakin
tahun terus ditemukan berbagai spesies liar. Jumlah kromosom melon adalah 2n
= 2x = 24 (Garcia-Mas et al., 2012). Melon merupakan tanaman C3 (Watson dan
Dallwitz, 2012) yang menghendaki kondisi suhu sejuk dan lembab sampai kondisi
panas dan lembab.
Melon sangat populer dalam genus Cucumis. Kultivar melon yang
populer di Indonesia, yaitu Cucumis melo var. Reticulatus (musk Melon) Cucumis
melo var. Cantaloupensis (cantaloupe) dan Cucumis melo var. Inodorus (casaba-
melon) (Awaludin, 2009). Wang et al. (2007) mengelompokan dalam 6 (enam)
grup yaitu cantalupensis (cantaloupe), inodorus (winter melon), flexuosus (snake
melon), conomon (pickling melon), dudaim (pomegranate melon) dan momordica
(snap melon). Perbedaan karakteristik dikelompokkan atas jala kulit buah, daya
simpan buah, dan tekstur daging.
Melon dikenal sebagai tanaman semusim (annual) berbentuk terna yang
menjalar baik di atas tanah (Tepner, 2004; Short dan Cowie, 2011) maupun ajir.
Ajir untuk efisiensi ruang tumbuh. Sistem perakaran menyebar tetapi tidak dalam.
Perkembangan akar ke arah horizontal lebih cepat, cabang akar dan rambut akar
menyebar ke segala arah oleh karena disamping memiliki akar tunggang juga
8
diperkuat dengan akar primer, sekunder, dan tersier (Awaludin, 2009). Daya
jelajah akar tergantung pada kultivar. Cucumis melo ret, maksimum kedalaman
perakaran 135 cm, akan tetapi efektif pada kedalaman perakaran dan penyebaran
lateral masing-masing 60 dan 450 cm. Cucumis pepo L, memiliki kedalaman
perakaran maksimum 180 cm, bekerja pada kedalaman perakaran dan penyebaran
lateral masing-masing 120 dan 500 cm (Rechcigl, 1982). Arsitektur akar penting
untuk produktivitas tanaman daerah kering. Pentingnya arsitektur berhubungan
dengan kemampuan tanaman untuk pemanfaatan optimalisasi sumber hara dan air.
Melon bercabang banyak, batang hijau kebiruan (Kristianingsih, 2010)
berwarna hijau muda, berbentuk segi lima, berbulu halus, serta ruas sebagai
tempat muncul tunas, daun, dan buah. Batang memiliki alat pemegang (pilin)
(Kristianingsih, 2010) atau sulur pembelit (Awaludin, 2009) untuk merambat atau
menjalar (Jett, 2006) yang merupakan hasil modifikasi batang.
Melon memiliki warna daun hijau dengan permukaan berbulu, bentuk
lebar menjari agak pendek dengan lima sudut, tersusun berselang-seling pada ruas
batang (IPGRI, 2003). Warna hijau disebabkan zat hijau daun yang dipengaruhi
oleh N. Hasil penelitian Rosmiyani (2010) menemukan nilai konstanta daun
melon var. Amanta F1 yang ditanam pada altitude 53 m dpl sebesar 0,79.
Konstanta daun penting digunakan dalam menghitung luas daun. Luas daun
menunjukkan kemampuan tanaman dalam memanfaatkan radiasi surya dan
asimilasi CO2 untuk fotosintesis.
Melon berbunga pada ketiak daun. Melon berkelamin tunggal, berumah
satu (monoceous) artinya letak bunga jantan dan bunga betina terpisah tidak dalam
9
satu bunga, akan tetapi masih dalam satu tanaman bahkan dalam satu cabang
tanaman (Jett, 2006; Relf dan McDaniel, 2009; Short dan Cowie, 2011). Melon
umumnya menyerbuk silang (cross pollinated crop). Penyerbukan dapat dibantu
lebah (Relf dan McDaniel, 2009) atau angin.
Melon berbuah bulat, oval, sampai lonjong (IPGRI, 2003; Short dan
Cowie, 2011). Tipe kulit buah yakni berjaring (net), berjaring tidak jelas, dan
halus tanpa tanda jaring. Melon memiliki kemampuan untuk tidak menguningkan
daging buah ketika sudah masak fisiologis. Ciri-ciri buah siap dipanen apabila
dipukul menimbulkan bunyi nyaring (Soedarya, 2010), sulur pada buah menjadi
mati atau mengeriting (Relf dan McDaniel, 2009). Melon mempunyai warna
daging buah yang bervariasi seperti kuning, merah muda, jingga, hijau, dan putih
(IPGRI, 2003), tergantung varietas.
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa melon
merupakan salah satu spesies ekonomis Cucurbitaceae. Karakteristik tanaman ini
adalah menghendaki kondisi sejuk dan lembab sampai kondisi panas dan lembab,
tumbuh merambat melalui sulur, bentuk buah bulat dan bobot buah dapat
mencapai 4 kg, serta memiliki kemampuan untuk tidak menguningkan daging
buah ketika sudah masak fisiologis.
10
2. Agroekologi Melon
Melon berasal dari lembah Panas Persia atau daerah Mediterania yang
merupakan perbatasan antara Asia Barat dengan Eropa dan tanaman asli Afrika
(Wang et al., 2007). Indonesia merupakan salah satu daerah persebaran melon
(IPGRI, 2003). Persebaran ke Indonesia karena kandungan gizi dan harga yang
relatif bersaing dengan buah impor lainnya. Daerah pengembangan di Indonesia
seperti Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Banten (Mayunar dan Subrata,
2008) sedangkan di Sulawesi Tenggara dikembangkan di Kabupaten Kolaka dan
Kota Kendari (BPS, 2011).
Melon dapat ditemukan pada daerah yang sangat kering dan berbatu
(IPGRI, 2003). Tanah yang baik untuk pertumbuhan seperti tanah Andosol atau
tanah liat berpasir (Sudaryono, 2005), tanah kering dan berpasir (Relf dan
McDaniel, 2009), serta tanah Ultisol dengan tekstur lempung berdebu (Husma,
2010; Rosmiyani, 2010). Karakteristik tanah berhubungan erat dengan
kemampuan melón berproduksi. Melon dapat berproduksi pada dataran rendah
bahkan pada dataran tinggi. Melon dapat berproduksi baik pada ketinggian 7
meter dari permukaan laut (m dpl) (Krestiani, 2009) sampai ketinggian 1.950
MDPL (Ekinci dan Dursun, 2005). Produksi melon pada dataran rendah dan
tinggi dibatasi suhu rendah sehingga perlu pemulsaan untuk meningkatkan suhu
tanah agar mendukung pertumbuhan dan produksi tanaman.
Melon menghendaki sistem drainase yang baik untuk mendukung
pertumbuhan akar. Sistem drainase yang dikendaki adalah pada kondisi tanah
yang lembab akan tetapi tudak tergenang dengan suhu tanah yang tingi. Melon
11
dapat tumbuh pada pH 6,0-6,8 (Jett, 2006), 5,5-7,0 (Everhart et al., 2009), dan
6,0-6,5 (Rosen and Fritz, 2009). Berdasarkan hasil penelitian tersebut, melon
dapat beradaptasi dengan baik pada pH 5,5-7,0. Melon tidak tahan masam (pH
rendah), karena pada tanah masam, tanaman tumbuh kerdil, dan menghambat
pembungaan (Rosen and Fritz, 2009).
Melon membutuhkan iklim yang khas untuk pertumbuhan yang optimal
seperti suhu yang sejuk kering, curah hujan, dan radiasi surya. Melon dapat
tumbuh dengan suhu tanah 14,29-31,65˚C (Ekenci dan Dursun, 2009). Suhu tanah
yang rendah dan terlalu tinggi dapat merusak enzim serta menggangu
metabolisme tanaman. Suhu udara ideal untuk pertumbuhan berkisar 21,1-29,5˚C
(Relf dan McDaniel, 2009). Curah hujan yang ideal berkisar antara 150-250 mm
bulan-1 (Mayunar dan Subrata, 2008).
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa melon
merupakan tanaman daerah panas dan kering. Melon menghendaki suhu tanah
relatif tinggi dan pH netral akan tetapi membutuhkan air yang relatif banyak untuk
optimalisasi pertumbuhan dan produksi. Sulawesi Tenggara dapat dijadikan
daerah perluasan areal tanam dan produksi yang berkualitas karena ketersediaan
lahan dan kemiripan agroekologi melon dengan daerah asalnya namun demikian
harus didukung aplikasi agroteknologi yang sesuai seperti kombinasi pemulsaan
dan pemupukan yang tepat.
12
B. Pemulsaan
Mulsa (mulch) merupakan penutup tanah sebagai pelindung dengan
berbagai substansi seperti tanaman atau bahan kering organik atau batu untuk
mencegah penguapan, menjaga kelembaban, mengatur suhu tanah, dan
mengendalikan gulma (Miller dan Donahue, 1990; Reijntjes et al., 1992).
Pemulsaan merupakan teknik penting untuk memperbaiki iklim mikro tanaman,
meningkatkan kesuburan tanah, menjaga kelembabab tanah, mengurangi
pertumbuhan gulma, mencegah kerusakan akibat dampak radiasi surya dan curah
hujan, pengendalian erosi, dan aliran permukaan (Monde, 2010), serta mengurangi
kebutuhan pengolahan tanah (Reijntjes et al., 1992). Melon menghendaki kualitas
radiasi surya, suhu, dan kelembaban yang tepat untuk mendukung berbagai reaksi
fisiologi tanaman seperti halnya fotosintesis, respirasi, dan evapotranspirasi.
Komponen iklim mikro tersebut sangat penting dan mempengaruhi produksi serta
berkaitan dalam mewujudkan keadaan lingkungan optimal bagi tanaman.
1. Pengaruh Mulsa Terhadap Tanah dan Tanaman
Mulsa mempengaruhi sifat tanah baik langsung maupun tidak langsung
seperti air tanah; kontrol limpasan, peningkatan infiltrasi, mengurangi evaporasi,
dan pengendalian gulma, pengendalian suhu tanah; melindungi dari radiasi,
perangkap dan konduksi panas, dan nutrisi tanah; penambahan bahan organik,
nitrifikasi diferensial, dan kelarutan mineral; struktur tanah; sifat biologis tanah
melalui penambahan bahan organik, populasi mikroba dan fauna tanah, dan
distribusi akar tanaman; erodibilitas tanah, dan salinitas tanah melalui pencucian
13
hara dan kontrol evaporasi (Unger, 1995). Daerah pertanian kering dengan
dominasi tanah Ultisol seperti Sulawesi Tenggara peran mulsa yang penting
seperti air, suhu, struktur, kadar air, dan salinitas tanah dalam mendukung
pertumbuhan dan produksi tanaman yang optimal.
Efektivitas mulsa alang-alang telah banyak diteliti. Pemberian mulsa
alang-alang lebih baik dibandingkan mulsa seresah jagung dan kacang tanah
dalam mendukung pertumbuhan dan produksi tanaman cabai (Muhammad Nur,
2000). Mulsa alang-alang juga dilaporkan efektif mengendalikan gulma tanaman
jagung (Nanu, 2003). Mulsa alang-alang memberikan pengaruh signifikan
terhadap land equivalen ratio (LER) tumpang sari jagung dan kacang hijau
(Diatmika, 2005). Menurut Fatmawati (2011), mikroba dan populasi fauna tanah
mengalami peningkatan dengan aplikasi mulsa dibandingkan tanpa mulsa pada
pertanaman terong (Solanum melongena L.). Berdasarkan uraian tersebut diatas,
mulsa alang-alang dapat mendukung pertumbuhan dan produksi tanaman yang
optimal.
Pengarusutamaan teknologi dan mulsa dalam bidang pertanian mendorong
para pakar pertanian mulai mengembangkan penelitian mulsa anorganik. Tahun
1985 mulsa anorganik mulai diuji dan dikembangkan seperti mulsa plastik hitam,
plastik hitam perak, plastik bening, silver, dan mulsa warna lainnya (Decoteau,
2008). Mulsa sintesis seperti mulsa plastik hitam digunakan pada tanaman
ekonomi penting (Unger, 1995) seperti mengendalikan gulma strawberry (Johnson
dan Fennimore, 2005) meningkatkan refleksi photosyntentically actiev radiation
pada strawberry (Locascio et al., 2005), efisiensi pemanfaatan pupuk N bagi
14
semangka (Goreta et al., 2005), dan melon (Kosterna et al., 2011). Mulsa plastik
warna hitam berpengaruh pada pertumbuhan dan produksi serta mengendalikan
hama dan penyakit cabai (Aripin dan Lubis, 2000). Mulsa mempertahankan suhu
tanah dan melindungi kontak langsung buah dengan tanah.
Salman (2005) melaporkan bahwa mulsa plastik hitam memberikan
kelembaban tanah dan udara masing-masing 61,59 dan 51,68%, suhu tanah dan
udara masing-masing 28,79 dan 27,79˚C, radiasi intersep, radiasi transmisi, dan
radiasi absorpsi masing-masing 363,40, 119,62, dan 308,89 Cal cm-2 hari-1. Mulsa
alang-alang memberikan kelembaban tanah dan udara masing-masing 49,30 dan
66,77%, suhu tanah dan udara masing-masing 27,08 dan 26,34˚C, radiasi intersep,
radiasi transmisi, dan radiasi absorpsi masing-masing 365,79, 117,27 dan 310,89
Cal cm-2 hari-1. Mulsa plastik hitam menghasilkan kelembaban tanah, suhu tanah,
suhu udara, dan radiasi transmisi lebih tinggi dibandikan mulsa alang-alang.
Mulsa alang-alang menghasilkan kelembaban udara, radiasi intersep, dan absorpsi
lebih tinggi dari pada mulsa plastik hitam pada budidaya jagung.
Ekenci dan Dursun (2009) melaporkan bahwa mulsa plastik bening dan
mulsa plastik hitam meningkatkan suhu tanah masing-masing 5-8 dan 1-4˚C
dibandingkan kontrol (tanpa mulsa) pada kedalaman 10 cm. Aplikasi mulsa
mempengaruhi pertumbuhan tanaman dibandingkan aplikasi tanpa mulsa seperti
diameter buah, panjang buah, bobot kering buah, total padatan terlarut, warna,
ketebalan kulit, ketebalan buah segar, tekstur buah, pH, dan gula total dari kultivar
diselidiki. Efek dari aplikasi mulsa yang signifikan tergantung pada kultivar.
Mulsa plastik bening dan mulsa plastik hitam meningkatkan rata-rata hasil panen
15
tahunan sekitar 25-28 dan 15% dibandingkan kontrol (tanpa mulsa). penelitian
tersebut pada tanaman melon var. Galia F1, Falez F1, Kırkağaç 589, Kırkağaç
637, dan Sempati F1 pada altitude 1.950 m dpl. Hasil yang sama juga dilaporkan
pada cabai (Iqbal et al., 2009; Kandari, 2006) bahwa mulsa plastik hitam lebih
baik dibandingkan mulsa plastik bening dalam mendukung pertumbuhan dan
produksi tanaman.
Krestiani (2009) melaporkan bahwa pemulsaan berpengaruh pada
pertumbuhan dan hasil tanaman melon var. Action 4304. Kombinasi perlakuan
pemulsaan plastik hitam perak dan letak duduk buah ke-11 memberikan hasil
buah tertinggi yaitu 2,22 kg dengan kadar gula 12,61 ˚brix. Perlakuan letak duduk
buah hanya berpengaruh pada hasil tetapi tidak berpengaruh pada komponen
pertumbuhan tanaman yang diamati.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pengaruh mulsa
tergantung pada substansi bahan mulsa. Unger (1995) mengungkapkan bahwa
hasil panen relatif tinggi diperoleh dengan kertas plastik karena banyak air tanah
yang tersimpan, namun agak mahal dan terkadang sulit mengelola, akibatnya
penggunaan terbatas pada tanaman ekonomis untuk area terbatas. Peningkatan
produksi tanaman sebagai implikasi tidak langsung dari mulsa adalah
mengkonservasi sejumlah air untuk kebutuhan tanaman dalam menghasilkan
panen ekonomi penting. Pengaruh langsung adalah menekan evapotranspirasi dan
menegarkan tanaman tumbuh serta berproduksi optimal.
Cabello et al. (2009) melaporkan bahwa cekaman air moderat tidak
mengurangi hasil dan irigation water use eficiency (IWUE) tinggi diperoleh pada
16
tanaman melon var. Sancho. Cekaman air yang parah, mengurangi hasil sebesar
22% karena penurunan berat buah. Hasil terbaik diperoleh dengan ETC 100%
pada dosis N 93 kg ha-1. Tekstur daging dan berat biji meningkat ketika tingkat
pengairan berkurang (Etc 60%). Nitrogen aplication eficiency (NAE) tertinggi
diperoleh dengan jumlah air hampir 100 ETC%. IWUE tertinggi diperoleh
dengan aplikasi N 90 kg ha-1. Hasil ini menunjukkan untuk menerapkan pengairan
defisit sedang, sekitar Etc 90%, dan input N 90 kg ha-1 tanpa mengurangi
produksi. Berdasarkan hal tersebut konservasi air sangat penting dalam
meningkatkan efisiensi pemupukan N.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, mulsa yang digunakan dalam
penelitian ini adalah mulsa organik dan mulsa sintesis. Mulsa organik yang
digunakan adalah mulsa alang-alang. Alang-alang merupakan tumbuhan yang
dijumpai di Sulawesi Tenggara pada areal luas. Mulsa tersebut digunakan pada
tanaman pangan seperti tanaman buah seperti cabai dan terung yang mendukung
pertumbuhan dan produksi tanaman akan tetapi belum diuji efektivitasnya pada
buah-buahan seperti tanaman melon. Mulsa sintesis yang digunakan adalah mulsa
plastik hitam perak. Mulsa ini telah diuji pada tanaman buah seperti cabai akan
tetapi belum teruji pada tanaman buah seperti tanaman melon. Kedua bahan mulsa
tersebut merupakan mulsa yang relatif lebih baik dalam mendukung pertumbuhan
dan produksi tanaman.
17
C. Pemupukan Nitrogen
1. Nitrogen Dalam Tanah
Nitrogen sebagian besar bersumber dari atmosfir, sekitar 79% (Gardner et
al., 1991), 78% (Salisbury dan Ross, 1995; Taiz dan Zeiger, 1991). Siklus N
adalah kompleks seperti fiksasi N, aminasi, ammonifikasi, nitrifikasi, volatilisasi,
dan denitrifikasi (Beever et al., 2007; Fitter dan Hay, 1998; Gardner et al., 1991;
Salisbury dan Ross, 1995; Taiz dan Zeiger, 1991; Havlin et al., 2005).
Transformasi tersebut dapat membuat N menjadi tersedia atau tidak tersedia bagi
tanaman. Aminasi, ammonifikasi, dan nitrifikasi merupakan bentuk transformasi
yang memperpanjang periode ketersediaan N sedangkan volatilisasi dan
denitrifikasi merupakan harus kehilangan yang harus dikendalikan untuk
memaksimalkan ketersediaan N.
Fiksasi N adalah proses alam, biologis atau abiotik yang mengubah N di
udara menjadi NH4+. Fiksasi alam terjadi saat petir sedangkan fiksasi biologis
terjadi pada tanaman legum. Fiksasi biologis dapat dilakukan bakteri yang hidup
bebas (non simbiotik) yaitu azotobakter pada kondisi aerobik dan clostridium jika
kondisi anaerobik. Melon secara genetik belum dapat melakukan proses tersebut
sehingga salah satu upaya memenuhi kebutuhan hara N melalui pemupukan.
Aminasi merupakan proses penguraian bahan organik sebagai sumber N
(protein) menjadi asam amino yang dikenal dengan ammonifikasi. Ammonifikasi
terjadi apabila tumbuhan atau hewan mati, N organik diubah menjadi NH4+ oleh
mikroorganisme (bakteri dan jamur) atau pembentukan senyawa ammonium dari
senyawa amina oleh mikroorganisme.
18
Nitrifikasi merupakan perubahan dari NH4+ atau dioksidasi menjadi nitrit
selanjutnya menjadi nitrat dengan bantuan bakteri autotrof nitrosomonas dan
nitrobacter (Havlin et al., 2005), serta nitrococus (Fitter dan Hay, 1998). Havlin
et al., (2005) menyatakan bahwa kondisi nitrifikasi dipengaruhi tata sumber NH4+,
populasi bakteri nitrifikasi, pH tanah, aerasi tanah, kelembaban tanah, dan suhu
tanah. Nitrifikasi berjalan baik pada keadaan tata udara baik, pada pH netral (8,5).
Suhu optimal sekitar 25-35˚C untuk perkembangan bakteri tersebut. Kondisi
lembab akan tetapi tidak tergenang, kapasitas lapangan atau 1/3 bar. Nitrat mudah
larut dalam air dan tercuci bersama pergerakan air hujan karena tidak dapat
dipegang koloid tanah. Proses konversi nitrit menjadi nitrat sangat penting karena
nitrit merupakan racun bagi kehidupan tanaman.
Kekuatan penyangga tanah sangat berbeda untuk setiap ion, tergantung
luas penyerapan tanah seperti halnya nitrat yang sangat mudah larut dan sedikit
tersimpan dalam tanah (Fitter dan Hay, 1998). NH4+ dapat direduksi menjadi
ammonia pada suhu selanjutnya menguap ke atmosfir. Ammonium yang diberikan
melalui pemupukan lebih dari 50% mengalami nitrifikasi dalam waktu 28 hari
dengan kadar air sekitar titik layu permanen, sedangkan tegangan air diturunkan
sekitar 7 bar, dalam waktu 21 hari 100% NH4+ berubah menjadi nitrit (Havlin et
al., 2005).
Denitrifikasi adalah proses reduksi nitrat untuk kembali menjadi gas N
sehingga tidak menjadi tersedia bagi tanaman (Miller dan Donahue, 1990).
Denitrifikasi dilakukan spesies bakteri seperti pseudomonas dan bacillus dalam
kondisi anaerobik seperti tergenang, atau terbatasnya oksigen, drainase buruk atau
19
tata udara jelek. Eksudat karbon dari akar aktif mendukung pertumbuhan bakteri
denitrifikasi di rizosfer. Genangan menyebabkan denitrifikasi dengan
menghambat difusi O2 dalam tanah. Denitrifikasi dapat terjadi secara kimia yaitu
setelah terbentuk nitrit misalnya bereaksi dengan urea dengan demikian hal ini
merugikan tanaman.
Nitrogen dalam tanah dapat berasal dari pemupukan. Pemupukan pada
melon diberikan dalam bentuk bahan organik atau anorganik. Bahan organik
dalam bentuk cair (urin) mengandung N Organik 35-70% dan bentuk padat
mengandung N Organik 20-30%, urea (CO(NH2)2 mengandung N 45-46%
(Havlin et al., 2005). Hara N dapat bersumber dari pupuk kandang, pupuk guano,
pupuk bokashi, dan bahan organik lainnya. Melon menggunakan bahan organik
terlebih dahulu dimineralisasi sedangkan urea terlebih dahulu dihidrolisis dengan
enzim urease untuk menghasilkan ammonium. Selanjutnya NH4+ yang diberikan
ke tanah berubah menjadi nitrat. Ammonium (NH4+) dan nitrat (NO3
-) dapat
menurunkan kapasitas fiksasi K karena kation ini memenuhi ruang interlayer
sehingga mencegah fiksasi K dari larutan tanah. Ketidakseimbangan ini dapat
menganggu dan merugikan tanaman serapan NO3- mempengaruhi absorpsi K
dalam larutan tanah (Ramadiana, 2011).
Paduarti (2011) melaporkan bahwa pemberian pupuk hijau memberikan
pengaruh signifikan terhadap ketersediaan N dalam bentuk NO3- dan pengaruh
tidak signifikan terhadap ketersediaan N dalam bentuk NH4+. Hal tersebut sejalan
dengan hasil penelitian Fang et al. (2011) bahwa penerapan biomassa mulsa segar
mempengaruhi N tersedia untuk tanaman perkebunan.
20
2. Nitrogen dalam Tanaman
Melon memerlukan hara N untuk menyelesaikan siklus hidupnya.
Nitrogen merupakan bahan penyusun asam amino, amida, basa bernitrogen seperti
purin dan protein (Gardner et al., 1991). Melon dapat menyerap ion nitrat atau
ammonium dari tanah melalui rambut akarnya atau dalam bentuk terikat (dalam
bentuk senyawa dengan unsur lain). Aliran massa dan difusi adalah mekanisme
yang lazim bagi N. Menurut Foth (1995) serapan hara tanaman dipengaruhi
faktor-faktor seperti ketersediaan air, ketersediaan unsur hara dalam tanah,
distribusi, dan kerapatan akar tanaman. Penyerapan NH4+ terbaik pada pH netral
dan tertekan dengan meningkatkan keasaman. Penyerapan NH4+ mengurangi
serapan Ca2+, Mg2+, dan K+ sambil meningkatkan H2PO4-, SO4
2-, dan penyerapan
Cl-. pH rizosfer menurun dengan serapan NH4+, disebabkan H+ yang keluar dari
akar untuk menjaga netralitas elektro atau keseimbangan muatan di dalam
tanaman (Havlin et al., 2005).
Sumber utama N bagi tanaman adalah nitrat dan amonium. Nitrat yang
diserap akar dapat diasimilasikan pada akar maupun daun, tergantung
ketersediaan nitrat dan spesies tanaman. Asimilasi nitrat mencakup reduksi nitrat
menjadi nitrit dalam sitoplasma oleh enzim nitratreduktase, yang diikuti dengan
reduksi nitrit menjadi amonium oleh enzim nitritreduktase di Kloroplas (Havlin et
al., 2005). Amonium, baik yang berasal dari serapan akar atau hasil reduksi nitrat
atau fotorespirasi, dikonversi menjadi glutamin dan glutamat melalui reaksi
bertahap oleh glutaminsintase dan glutamatsintase yang berada di sitosol dan
plastida akar atau kloroplas. Setelah diasimilasikan menjadi glutamin atau
21
glutamat, N dapat ditransfer menjadi senyawa N-organik lain melalui reaksi
transaminasi. Interkonversi antara glutamin dan asparagin oleh asparaginsintase
berperan sebagai penyeimbang metabolisme C dan metabolisme N dalam tanaman
(Taiz dan Zeiger, 1991).
Melon merespon perubahan nutrisi N dengan mengatur ekspresi M-GS1
(glutamin sintetase, aksesi No DQ851867), mengandung 1494 nukleotida.
Ekspresi M-GS1 secara signifikan disebabkan oleh amonium atau nitrat tetapi
sangat tertekan oleh glutamat. Dengan meningkatkan konsentrasi N dari 0,75
sampai 3,75 atau 7,50 mM, tingkat mRNA ditingkatkan sekitar 300% dalam
pemberian amonium, 200 atau 300%, dengan nitrat, tetapi mengalami penurunan
sekitar 30 atau 60%, bila glutamat yang dominan. Ekspresi M-GS1 tertekan kuat
oleh glutamat pada akar tetapi tidak terpengaruh dalam batang dan daun. Hal ini
akan memungkinkan asimilasi N untuk melanjutkan menurut status metabolik dan
biosintetik kebutuhan tanaman (Deng et al., 2011).
Hara N berfungsi sebagai salah satu komponen asam amino dalam
pembentukan protein dan merupakan unit struktural butir hijau klorofil (Gardner
et al., 1991), penyusun enzim, komponen DNA dan RNA (Beever et al., 2007)
penyusun protein dan asam nukleat (Havlin et al., 2005). Berdasarkan uraian
tersebut di atas, N sangat penting dalam pertumbuhan dan produksi melon. Hal ini
disebabkan karena N dapat berupa asam amino, amida, dan amin yang berfungsi
sebagai kerangka (building blocks) dan senyawa antara (intermediary
compounds).
22
Senyawa ammonium tidak harus direduksi dalam tanaman sehingga
menghemat energi. Senyawa nitrat harus direduksi terlebih dahulu dalam tanaman
sebelum disintesis menjadi asam amino dan senyawa kimia kombinasi -N lainnya
(Gardner et al., 1991). Jika kadar NH4+ tinggi dapat bersifat meracuni tanaman
sedangkan jika kelebihan NO3- dapat aman disimpan dalam vakuola.
N sangat mobile dalam jaringan tanaman, dapat berpindah dari daun yang
tua ke daun yang muda. Kebutuhan melon yang tinggi dan ketersediaan N tersedia
dalam tanah yang rendah menyebabkan melon mengalami kekurangan.
Kekurangan N mengakibatkan daun berwarna hijau pucat sampai menguning
(yellowing) yang dikenal dengan klorosis daun dan terjadi pengeringan dari bawah
ke atas, penurunan total masa akar serta jangkauan akar (Beever et al., 2007).
Defisiensi N menyebabkan penurunan hasil yang parah dan kualitas protein
tanaman rendah. Tanaman kekurangan N, tumbuh kerdil dan sistem perakaran
yang terbatas, daun menjadi kuning atau hijau kekuningan (Havlin et al., 2005),
dan cenderung mudah gugur, pertumbuhan buah tidak sempurna, pemasakan buah
dipercepat, kadar protein rendah, serta serat daun (Buckman dan Brady, 1982).
Keadaan tersebut tentunya tidak menguntungkan bagi tanaman oleh karena itu
melon dapat tumbun dan berproduksi optimal maka hara N harus dalam jumlah
yang cukup.
Kelebihan hara N dalam tanaman dapat memacu pertumbuhan vegetatif
tanaman (daun, akar, dan batang), meningkatkan sintesa karbohidrat yang
kemudian diubah menjadi protein, dan meningkatkan pembentukan sel, serta
menambah ukuran sel yang menyebabkan sel bersifat sekulen (Buckman dan
23
Brady, 1982). Keadaan ini dapat berimplikasi pada pertumbuhan tanaman yang
tidak dikehendaki bahkan berpotensi terhadap serangan penyakit dengan demikian
merugikan bagi tanaman.
Lucascio et al. (1984) menyatakan bahwa N mempengaruhi penampilan
buah, terutama karena mempengaruhi ukuran, warna, dan karakteristik kulitnya
Daya simpan dan kualitas buah segar dan produk olahan dapat dipengaruhi oleh
N. Karakter komposisi yang mempengaruhi kualitas buah termasuk daging atau
warna jus, padatan terlarut, asam organik, vitamin C, dan kandungan glikosida,
ester, dan alkalin yang memberikan rasa khusus buah. Hal ini mendorong
tingginya tingkat aplikasi N karena keuntungan didasarkan pada produksi padatan
terlarut.
Melon tidak dapat tumbuh tanpa N oleh karena berfungsi sebagai salah
satu komponen utama asam amino dalam pembentukan protein dan merupakan
unit struktural dari butir hijau klorofil sehingga menentukan kualitas buah. Hara N
banyak diberikan melalui pemupukan karena ketidakmampuan melon memfiksasi
N dari atmosfir. Kekurangan N mengakibatkan daun berwarna hijau pucat sampai
menguning (yellowing) dan terjadi pengeringan dari bawah ke atas daun. Hal ini
berimplikasi pada percepatan pemasakan buah, kadar protein rendah, dan
menghasilkan kualitas buah yang rendah.
3. Pemupukan pada Melon
Pemupukan merupakan upaya menambahkan hara tanah agar tanaman
dapat memperoleh hara makro dan hara mikro dengan baik. Pemupukan pada
melon dapat berupa bahan organik, bahan anorganik, dan kombinasi keduanya.
24
Pemupukan harus tepat dosis agar keseimbangan hara terjaga dan menghindari
kelebihan serta defisiensi hara tanaman sehingga dapat mendukung pertumbuhan
dan produksi tanaman yang optimal. Ketersediaan hara melalui pemupukan N
yang tepat dosis berdasarkan teknik budidaya melon.
Saido (2008) melaporkan bahwa pemberian kotoran ayam dosis 10.000 kg
ha-1 setara dengan 450 g tanaman-1 memberikan pengaruh terbaik terhadap bobot
dan diameter buah melon var. Orlondo 47 masing-masing 2,3 kg dan 25,69 cm.
Pemberian pupuk cap rusa dengan dosis 1.500 kg ha-1 memberikan nilai produksi
tertinggi sebesar 33,51 kg ha-1 berbeda signifikan dengan perlakuan lainnya.
Pemberian urea 225 kg ha-1 setara 10,10 g tanaman-1, SP-36 sebanyak 325 kg ha-1
setara 14,60 g tanaman-1, KCl 400 kg ha-1 setara 18,00 g tanaman-1, kotoran ayam
5.000 kg ha-1 setara 225,00 g tanaman-1 memberikan hasil terendah sebesar 1,8 kg
buah-1 atau 26,46 kg ha-1 dan berbeda signifikan dengan perlakuan lainnya. Hasil
tersebut diperoleh pada jarak tanam 60x75 cm. Pemberian pupuk organik
memberikan pengaruh yang lebih baik terhadap pertumbuhan dan produksi melon
dibandingkan pupuk organik. Hal ini sebabkan karena pupuk organik
mengandung hara makro dan hara mikro sedangkan pupuk anorganik tersebut di
atas hanya mengandung hara makro.
Jaya (2009) mengungkapkan bahwa perlakuan berbagai jenis pupuk
bokashi berpengaruh sangat signifikan terhadap tinggi tanaman diameter batang,
jumlah daun umur 14, 28, dan 42 hst, berat buah, serta diameter buah melon var,
Sakata 144. Perlakuan pupuk bokashi krinyu memberikan pertumbuhan dan
produksi tanaman melon yang sangat baik dari jenis bokashi lainnya dengan berat
25
buah 0,83 kg buah-1. Hasil tersebut diperoleh dengan pemberian Urea, SP-36, dan
KCl masing-masing 2,8, 5,6, dan 4,5 g polibeg-1.
Elmayanti (2009) melaporkan bahwa terdapat interaksi antara isi rumen
sapi dan kapur dolomit terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman melon var.
Cantika. Pemberian isi rumen sapi 20 ton ha-1 dan kapur 5 ton ha-1 memberikan
hasil tertinggi (1,5 kg tanaman-1) akan tetapi tidak berbeda signifikan dengan
pemberian isi rumen sapi 15 ton ha-1. Interaksi sangat signifikan pada diameter
batang umur 60 hst dan jumlah buah. Interaksi signifikan pada jumlah daun,
jumlah cabang, dan panjang ruas umur masing-masing umur 60 hst, diameter,
berat, ketebalan daging dan kulit buah.
Siswanto et al. (2010) melaporkan bahwa untuk mendapatkan kualitas
buah melon terbaik maka diberikan pengapuran, bahan organik, pupuk kalium,
dan diikuti penggunaan mulsa plastik hitam perak. Penggunaan bahan organik
pada budidaya melon yang diikuti dengan sterilisasi mampu menekan penggunaan
pupuk buatan pabrik KCl, Urea, dan SP-36 masing-masing sampai 25,0, 12,5, dan
63,6%. Penggunaan dolomit mampu meningkatkan kadar gula buah meskipun
pengaruhnya tidak signifikan akan tetapi mampu mendukung pertumbuhan dan
produksi tanaman.
Hanifia (2011) melaporkan bahwa pemberian pupuk organik cair dosis 375
l ha-1 memberikan pengaruh lebih baik terhadap ILD umur 25 dan 45 HST
masing-masing 1,02 dan 2,11, serta percepatan umur berbunga hanya 21 hari
dibandingkan kontrol. Dosis 75 l ha-1 memberikan pengaruh yang lebih baik pada
produksi melon var. Amanta F1 yaitu 1,69 kg buah-1.
26
Imran (2011) melaporkan bahwa pemberian pupuk NPK memberikan
kadar N lebih tinggi dibandingkan dengan Ca, P, dan K pada daun namun
memberikan pengaruh tidak signifikan terhadap tinggi tanaman umur 15 dan 30
hst, jumlah daun umur 15 hst, lingkar, panjang, dan berat buah. Pemupukan
memberikan pengaruh sangat signifikan terhadap luas daun umur 15 dan 30 hst,
jumlah daun, dan diameter batang umur masing-masing umur 30 hst. Dosis pupuk
NPK 600 kg ha-1 diperoleh produksi 37,78 ton ha-1. Hasil tersebut diperoleh
dengan jarak tanam 60x60 cm, kapur dolomit 1 ton ha-1, dan pupuk kandang
kotoran ayam sebanyak 10 ha-1 atau 3.600 g petak-1 serta menggunakan melon var.
Amanta F1.
Pemberian pupuk N selain meningkatkan produksi buah juga
meningkatkan kadar padatan terlarut melon (Srinivas dan Prabhakar, 1994).
Cabello et al. (2006) menyatakan bahwa serapan N bervariasi selama siklus
tanaman, penyerapan N adalah linier. Melon dapat dipupuk N dengan jumlah
yang konstan sampai 2-3 minggu sebelum panen terakhir karena NH4+ dan NO3
-
menjadi tersedia untuk tanaman antara 2 dan 2,5 minggu setelah penerapannya.
Menurut Ferrante et al. (2008), produksi buah melon dan kandungan N buah
meningkat linear dengan tingkat N mulai dari 0-165 kg ha-1. Senyawa antioksidan
seperti karotenoid total, fenol total, dan asam askorbat (ASA) menurun setelah
penyimpanan pada suhu 10˚C selama 8 hari tetapi tidak dipengaruhi tingkat
pemupukan N. Semua parameter kualitas tampaknya tidak terpengaruh tingkat N
baik pada waktu panen atau setelah penyimpanan, oleh karena itu disarankan
27
untuk mengurangi input N untuk budidaya tanpa mengorbankan kualitas dan
hasil. Input N harus sesuai dengan kebutuhan tanaman.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut di atas maka penelitian pupuk
majemuk menjadi pintu masuk penelitian pemupukan dosis tunggal. Rosmiyani
(2010) melaporkan bahwa dosis P yang optimal adalah 114,29 kg ha-1. Dosis
tersebut menghasilkan bobot buah segar sebesar 1,32 kg buah-1 atau 2,64 kg
pohon-1 setara 55,44 ton ha-1. Produksi optimal apabila dilakukan dengan
pemberian bahan organik dan kapur dolomit masing-masing 10,43 dan 1 ton ha-1,
diikuti dengan pemberian N dan K2O masing-masing 130 dan 150 kg ha-1, jarak
tanam 50x60 cm, menyisahkan dua buah pertanaman, serta penggunaan mulsa
plastik hitam perak dan melon var. Amanta F1.
Husma (2010) melaporkan bahwa interaksi bahan organik dan pupuk
Kalium tidak memberikan pengaruh terhadap semua variabel pengamatan.
Pemberian bahan organik dosis 10-15 ton ha-1 dan K2O sebanyak 50-150 kg ha-1
dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi. Dosis bahan organik yang
optimal 12,25 ton ha-1 menghasilkan bobot buah 1,2 kg atau 2,4 kg pohon-1 setara
50,40 ton ha-1 sedangkan dosis pupuk K yang optimal adalah 150 kg ha-1. Dosis
tersebut menghasilkan buah segar sebesar 1,14 kg atau 2,28 kg pohon-1 atau 47,88
ton ha-1. Hasil diperoleh dengan pemberian N dan P masing-masing 130 dan 150
kg ha-1, kapur dolomit 1 ton ha-1, jarak tanam 50x60 cm, menyisahkan dua buah
pertanaman, serta penggunaan mulsa plastik hitam perak dan melon var. Amanta
F1.
28
Pemupukan N yang melebihi kebutuhan tanaman diperoleh kualitas buah
melon yang rendah sedangkan pada pemupukan yang dibawah kebutuhan tanaman
diperoleh kualitas melon yang rendah. Pemupukan harus spesifik dosis sesuai
teknik budidaya yang diterapkan seperti pengapuran dan pemulsaan. Pemulsaan
mendukung pemupukan melalui konservasi air dan hara sehingga lebih efektif dan
efisien dalam mendukung pertumbuhan dan produksi tanaman. Pemupukan N
pada tanaman harus berdasarkan jenis mulsa yang digunakan.
D. Pemulsaan dan Pemupukan pada Tanaman
Ketersediaan unsur hara bagi tanaman selama pertumbuhan sangat
diperlukan, karena unsur hara merupakan pembatas utama dalam sistem produksi
tanaman. Penambahan unsur hara yang tepat dapat memperbaiki status hara tanah
yang menunjang optimalisasi pertumbuhan tanaman. Optimalisasi tersebut
didukung dengan pemulsaan yang dapat mengkonservasi air, mengurangi
pencucian hara, dan mengendalikan fluktuasi suhu sehingga memperpanjang
periode ketersediaan hara.
Sudjinato dan Krestiani (2009) melaporkan bahwa pemulsaan
menggunakan plastik hitam perak menghasilkan bobot dan kadar gula buah
tertinggi dibandingkan tanpa mulsa dan mulsa jerami. Pemberian NPK dosis 80 g
tanaman-1 memberikan bobot dan kadar gula tertinggi dibandingkan dosis masing-
masing 40 dan 120 g tanaman-1. Perlakuan tanpa pemulsaan dengan dosis pupuk
NPK 40 g tanaman-1 memberikan hasil yang terendah. Penelitian ini belum terjadi
interaksi antara dua faktor yang dicobakan terhadap pertumbuhan dan hasil
29
tanaman. Penelitian tersebut menggunakan melon var. Action 4304 pada altitude
7 m dpl, dengan jenis tanah Latosol, dan pH 6,5.
Majkowska-Gadomska (2009) melaporkan bahwa hara seperti N, P, K Ca,
dan Mg serta hara makro seperti Fe da Cu secara signifikan dipengaruhi oleh
kultivar, metode budidaya yang diterapkan, dan interaksi antara faktor-faktor
eksperimental. Variasi yang signifikan dalam jumlah hara makro dan mikro pada
buah dipengaruhi metode budidaya yang diterapkan. Kandungan N tertinggi pada
melon var. Oliwin dengan penggunaan mulsa polyethylene. Hasil penelitian
tersebut dilakukan pada pH H2O 5,9 dan konsentrasi garam 1,5 g dm-3 dengan
menggunakan melon var. Malaga F1, Melba, Oliwin, dan Seledyn F1.
30
BAB III. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
A. Kerangka Pemikiran
Melon merupakan sumber vitaman A dan C. Perdagangan buah ini
prospektif, ekonomis, dan digemari masyarakat Sulawesi Tenggara. Produksi
melon di Sulawesi Tenggara masih relatif rendah, dengan buah yang berukuran
kecil dan cita rasa manis yang rendah. Hal ini dipengaruhi teknik budidaya melon
yang belum tepat pada tanah Ultisol yang sensitif kelembaban dan kahat N.
Peningkatan produksi buah berkualitas dapat dilakukan melalui perluasan areal
tanam dan perakitan agroteknologi tepat guna.
Pemupukan N merupakan upaya memenuhi kesenjangan antara hara dalam
tanah dan kebutuhan tanaman akan tetapi dalam jumlah besar dapat menganggu
keseimbangan dan mengurangi serapan hara lain sedangkan dalam jumlah kecil
menyebabkan defisiensi N sehingga merugikan tanaman. Pemupukan N dalam
jumlah besar dapat meningkatkan kemasaman, merangsang keracunan Al,
penjenuhan basa yang rendah, serta defisiensi Ca, K, dan Mg. Perubahan tersebut
mempengaruhi daya larut hara dan ketersediaan bagi tanaman bahkan interaksi
cenderung antagonistik, penyerapan NH4+ menurunkan pengambilan kation lain
dan penyerapan NO3- menurunkan pengambilan anion lainnya.
Nitrogen berfungsi sebagai salah satu komponen asam amino untuk
pembentukan protein dan unit struktural butir hijau klorofil, komponen DNA, dan
RNA. Nutrisi ini berperan dalam fase vegetatif dan berimplikasi pada produksi
tanaman seperti ukuran, warna, dan total padatan terlarut buah. Kelebihan N pada
tanaman mengakibatkan fase vegetatif lebih giat dibandingkan fase generatif
31
dimana pembentukan cabang, batang, dan daun tidak porporsional Defisiensi N
menyebabkan penurunan hasil yang parah dan kualitas protein buah rendah
sehingga mengakibatkan total padatan terlarut yang rendah. Kelebihan dan
kekurangan N dapat diatur melalui pemupukan.
Pemupukan N pada tanah Ultisol sering tidak efektif karena disamping
kelembaban tanah yang rendah, N cenderung mobile dalam tanah yaitu mudah
mengalami pencucian hara (leaching), menguap (volatilitation), dan denitrifikasi
akibat terpaan curah hujan dan radiasi pada permukaan tanah bahkan terbawa saat
panen. Strategi agroteknologi mengelola air dan N dalam tanah agar tidak mudah
tersedia bagi tanaman adalah pemulsaan. Pemulsaan yang tepat dapat
mempertahankan kelembaban tanah, mengendalikan erosi, aliran permukaan, dan
evaporasi sehingga mengurangi pencucian hara. Pengendalian fluktuasi suhu dan
perbaikan aerasi tanah dapat mengurangi volatilisasi NH3. Pemulsaan yang tidak
tepat dapat menyebabkan tanah tergenang sehingga memicu serangan penyakit,
dan denitrifikasi. Kondisi ini dapat merugikan tanaman.
Pemilihan mulsa dan pemupukan perlu mempertimbangkan karakteristik
lahan dan tanaman untuk mendukung efisiensi pemupukan. Dosis pemupukan
bukan hanya berdasarkan status hara tanah dan kebutuhan tanaman akan tetapi
bahan mulsa juga dapat menjadi pertimbangan. Jenis, jumlah, dan kaulitas mulsa
mempengaruhi efektivitas pemupukan karena tanaman pada bahan mulsa yang
berbeda membutuhkan dosis pemupukan yang berbeda. Kerangka pikir penelitian
ini disajikan dalam bagan alir sebagai berikut:
32
Gambar 3.1. Bagan Alir Kerangka Pemikiran
Produksi Melon pada
tanah Ultisol rendah
Perlu pemupukan N untuk
menambah ketersediaan N
Kelebihan pupuk dapat menimbulkan kemasaman tanah dan menggangu
kesetimbangan hara
Mulsa yang tepat dapat mengendalikan
volatilisasi, denitrifikasi, dan
leaching
Pemulsaan dan pemupukan N pada tanaman melon menjadi efektif dan efisien
Hara N pada kurang tersedia karena mengalami volatilisasi, denitrifikasi, dan
leaching
Perlu dicari dosis N yang optimal berdasarkan jenis mulsa
Pertumbuhan dan produksi tanaman melon optimal
Kekurangan pupuk maka
tanaman defisiensi N
Mulsa tidak tepat dapat
meningkatkan
denitrifikasi
Perlu pemulsaan untuk mengurangi kehilangan air
dan N
33
B. Hipotesis
Berdasarkan latar belakang maka diajukan hipotesis sebagai berikut: (1)
Interaksi antara mulsa dan pupuk N memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan
dan produksi tanaman melon, (2) Dosis pemupukan N yang optimal berbeda pada
berbagai jenis mulsa dalam pertumbuhan dan produksi tanaman melon, (3)
Pemberian berbagai jenis mulsa dapat memberikan pengaruh yang berbeda
terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman melon, dan (4) Pemberian berbagai
dosis pupuk N dapat memberikan pengaruh yang berbeda terhadap pertumbuhan
dan produksi tanaman melon.
34
BAB IV. METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu
Tempat penelitian di Kelurahan Kambu Kecamatan Poasia Kota Kendari
Provinsi Sulawesi Tenggara. Lahan tersebut merupakan lahan ubi kayu dan
pisang. Penelitian dilaksanakan bulan Januari sampai Maret 2012.
B. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah benih melon var. Amanta
F1 (Deskripsi pada Lampiran 1), pupuk Urea (N 45%), SP-36 (P2O5 28%), KCl
(K2O 60%), mulsa plastik hitam perak, mulsa alang-alang, propamokarb
hidroklorida, ajir, dan bokashi kotoran sapi. Alat yang digunakan adalah cangkul,
kaleng susu, alat ukur, alat tulis menulis, alat siram, dan alat timbang.. Alat ukur
yang digunakan yaitu meter, jangka sorong, handrefraktormeter, termometer,
observatorium, dan soil moisture meter tipe luktron. Alat tulis menulis seperti
polpen dan spidol. Alat siram seperti gembor dan hand sprayer. Alat timbang
seperti timbangan analitik dan timbangan duduk.
C. Prosedur Penelitian
Prosedur pelaksanaan penelitian ini terdiri atas pengolahan tanah dan
pengapuran, persiapan dan penyemaian benih, pemulsaan, penanaman, dan
pemupukan, dan pemeliharaan tanaman. Rincian teknis prosedur pelaksanaan
penelitian diuraian sebagai berikut:
35
1. Pengolahan Tanah dan Pengapuran
Melon membutuhkan kondisi tanah yang gembur oleh karena itu sebelum
penanaman dilakukan pengolahan tanah. Pengambilan sampel tanah sebelum
pengolahan tanah dan setelah panen untuk keperluan analisis sifat tanah. Lahan
dibersihkan dari sisa tanaman dan sampah panen. Tanah diolah dengan
menggunakan cangkul sedalam 20 cm, dibiarkan selama tujuh hari. Bongkahan
tanah dihaluskan sampai gembur dan dibiarkan selama tujuh hari. Selanjutnya
membuat bedengan atau petakan. Petakan diberi label sesuai kode perlakuan (lay
out petakan pada Lampiran 2).
Melon membutuhkan pH tanah yang netral, oleh karena penelitian ini pada
tanah Ultisol yang dikenal bereaksi masam maka diberikan kapur dosis satu kali
Al-dd. Pemberian kapur, dengan menaburkan kapur secara merata di atas
petakan. Selanjutnya dicangkul sampai kapur tercampur merata dengan tanah.
2. Persiapan dan Penyemaian Benih
Benih melon harus diberikan perlakuan sebelum disemaikan. Persiapan
benih diawali dengan merendam benih dalam air. Benih yang baik berada di dasar
air, sedangkan benih yang mengapung tergolong benih rusak sehingga tidak perlu
untuk disemaikan. Benih terpilih direndam dalam air hangat kuku (± 40˚C) yang
telah dicampur fungisida berbahan aktif propamokarb hidroklorida konsentrasi 2
ml liter-1. Benih ditiriskan dan diletakan di atas kertas koran basah selama 36 jam
(1 hari 2 malam) pada suhu 25-35˚C. Suhu tersebut diperoleh dengan
menggunakan lampu pijar 15 watt pada jarak 30 cm dari benih. Benih melon yang
telah siap tanam selanjutnya disemaikan pada polibeg.
36
Media tanam untuk penyemain benih berupa campuran tanah dan pupuk
kandang dengan perbandingan 2:1, yang dimasukkan dalam polibag berukuran
8x10 cm. Kondisi media saat tanam dalam keadaan lembab. Benih yang runcing
berada di bagian bawah. Polibag dimasukkan dalam sungkup yang terbuat dari
rangka bambu. Penyiraman menggunakan gembor untuk menjaga kondisi media
tumbuh agar bibit tumbuh normal. Bibit yang tumbuh normal dan seragam
dikumpulkan menjadi satu untuk ditanam, sedangkan bibit yang tumbuh merana
tidak ditanam.
3. Pemulsaan, Penanaman dan Pemupukan
Mulsa yang digunakan adalah plastik hitam perak berukuran lebar 125 cm
dan mulsa alang-alang. Pemasangan mulsa plastik hitam perak, bagian plastik
berwarna perak menghadap ke atas, sedangkan sisi yang berwarna hitam
menghadap ke bawah. Pemasangan mulsa saat matahari terik dan tanah dalam
keadaan basah. Sisi mulsa dikaitkan pada bedengan menggunakan pasak
penjempit dari bambu. Pemasangan mulsa alang-alang dengan menghamparkan
potongan alang-alang ukuran 5-7 cm pada permukaan tanah sebanyak 10 ton ha-1
atau 3,6 kg petak-1.
Penanaman diawali dengan pembuatan lubang tanam. Pembuatan lubang
di atas mulsa plastik hitam perak menggunakan kaleng susu bekas berdiameter 10
cm yang dipanaskan, dengan jarak antar lubang 50x60 cm. Lubang tanam dibuat
sedalam 5-7 cm. Setiap lubang tanam diikuti pemasang ajir setinggi 2 meter.
Bagian ajir yang masuk dalam tanah sekitar 20 cm. Pemindahan bibit ke lapangan
ketika umur 10 hari setelah semai atau memiliki 2-3 pasang daun. Penanaman
37
bibit dilakukan sore hari. Media bibit disiram sebelum tanam agar media tidak
pecah saat polibag dibuka. Polibag dilepaskan dari media bibit secara hati-hati.
Bibit ditanam pada lubang yang disiapkan dan diupayakan media tanam bibit tetap
kompak atau tidak pecah. Bibit diusahakan berdiri tegak dan memastikan bibit
tidak menyentuh mulsa plastik hitam perak.
Melon membutuhkan nutrisi yang lengkap dalam pertumbuhan dan
produksi. Nutrisi dapat berasal dari pupuk dan bokashi kotoran sapi. Pupuk dan
bokashisapi yang diberikan sebelum pemasangan mulsa dengan cara disebar
merata ke permukaan bedengan, dicangkul merata dengan tanah. Pemberian
pupuk SP-36 sebanyak 200 kg ha-1 atau 72 g petak-1 dan KCl sebanyak 150 kg ha-
1 atau 54 g petak-1. Bokashi kotoran sapi diberikan dengan dosis 5 ton ha-1 atau
1,3 kg petak-1. Pemberian pupuk N disesuaikan dengan dosis yang diuji
(Lampiran 2).
4. Pemeliharaan Tanaman
Melon dipelihara dengan penyiraman, penyulaman, pemangkasan,
pengendalian hama, pengendalian penyakit dan pengendalian gulma.
Pemeliharaan sejak benih berkecambah untuk mendapatkan bibit tumbuh normal
dan sehat. Penyiraman menggunakan gembor dilakukan apabila tidak terjadi
hujan. Penyulaman dilakukan sore hari agar tanaman dapat beradaptasi dengan
lingkungan baru. Pemangkasan menggunakan gunting pangkas terhadap cabang
yang menjalar dekat permukaan tanah. Pemeliharaan buah menyisakan satu buah
setiap tanaman antara ruas ke-9 sampai ruas ke-12. Pengendalian hama dan
penyakit menggunakan pestisida disesuaikan dengan hama dan gejala penyakit
38
yang muncul berdasarkan dosis anjuran. Pengendalian gulma dengan mencabut
setiap gulma yang tumbuh.
D. Rancangan Penelitian
Penelitian disusun berdasarkan rancangan petak terpisah (Split Plot
Design) dalam rancangan acak kelompok yang terdiri atas dua faktor yaitu mulsa
dan dosis pupuk N. Faktor pertama adalah pemberian berbagai jenis mulsa,
ditempatkan sebagai petak utama yang terdiri atas tiga taraf perlakuan yaitu tanpa
mulsa (M0), mulsa alang-alang (M1) dan mulsa plastik hitam perak (M2). Faktor
kedua dalam penelitian ini adalah dosis pupuk N, ditempatkan sebagai anak petak
yang terdiri atas enam taraf perlakuan yaitu N dosis 0 kg ha-1 (N0), N dosis 50 kg
ha-1 (N1), N dosis 100 kg ha-1 (N2), N dosis 150 kg ha-1(N3), N dosis 200 kg ha-1
(N4), dan N dosis 250 kg ha-1 (N5). Perlakuan diulang sebanyak tiga kali maka
terdapat 54 unit percobaan (Desain penempatan unit percobaan dan dosis
pemupukan pada Lampiran 2).
E. Variabel Penelitian
Variabel penelitian terhadap karakter vegetatif, generatif, dan komponen
iklim mikro tanaman meliputi :
1. Tinggi tanaman (cm), diukur mulai dari ruas pertama sampai tinggi tanaman
terakhir pada umur 14 dan 28 Hari Sesudah Pindah Tanam (HSTP),
2. Diameter batang (cm), diukur antara ruas ke-10 sampai ruas ke-11 pada umur
14 dan 28 HSTP,
39
3. Jumlah daun (helai), dihitung mulai dari ruas ke-1 sampai daun terakhir pada
umur 14 dan 28 HSPT,
4. Luas daun (cm2), diukur duan yang telah membuka sempurna umur 14 dan 28
HSPT,
5. Umur tanaman berbunga (hari), dihitung apabila 50% populasi telah mekar
bunga pertama,
6. Umur panen (hari), dihitung waktu yang dibutuhkan untuk panen,
7. Bobot buah panen segar (kg) ditimbang bobot buah segar panen,
8. Kadar total padatan terlarut (˚brix), diukur pada sampel daging buah bagian
tengah dan bagian lekukan buah kemudian dihitung rataannya,
9. Lingkar (cm), diukur pada bagian tengah buah,
10. Ketebalan daging (cm), diukur pada bagian tengah dan dua lekukan buah
kemudian dihitung rataannya
11. Kandungan air tanah (%), diukur setiap tiga hari pada unit percobaan, dan
12. Suhu tanah dan udara (˚C), diukur pada kedalaman 10 cm pada pukul 07.30,
12.30, dan 16.30 WITA setiap unit percobaan.
13. Curah hujan (mm) diukur setiap pukul 07.00 WITA.
F. Analisa Data dan Penarikan Kesimpulan
Data hasil pengamatan variabel vegetatif dan generatif dianalisis melalui
sidik ragam untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap variabel yang
diamati. Hasil analisis yang menunjukkan pengaruh signifikan pada taraf α = 0,05,
dilanjutkan dengan uji DMRT (Duncan Multiple Range Test) untuk mengetahui
40
perbedaan pengaruh antar perlakuan. Dosis pupuk N yang optimal pada berbagai
jenis mulsa diketahui melalui analisis regresi. Data hasil pengukuran iklim mikro
tanaman ditabulasi dan disajikan dalam bentuk grafik selanjutnya dianalisis secara
deskripsi.
41
DAFTAR PUSTAKA
Aripin K. dan Lubis L., 2000. Teknik Pengelolaan Hama Terpadu (PHT) pada
Tanaman Cabai (Capsicum annum) di Dataran Rendah. Laporan
Penelitian Fakultas Pertanian Jurusan Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan Universitas Sumatera Utara. Digitized by USU digital library, diakses 5 Juli 2012.
Awaludin R., 2009. Evaluasi Karakteristik Hortikultura 24 Hibrida Melon
(Cucumis melo L.) PKBT IPB. Skripsi Departemen Agronomi dan hortikultura Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Beever D., Brentrup F., Eveillard F., Fixen P., Heffer P., Herz B., Larson R. and Pallière C., 2007. Sustainable Management of the Nitrogen Cycle in
Agriculture and Mitigation of Reactive Nitrogen Side Effects., in Sustainable Management of the Nitrogen Cycle in Agriculture and Mitigation of Reactive Nitrogen Side Effects First edition, IFA, Paris, France.
BPS Sultra, 2011. Sulawesi Tenggara dalam Angka. Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Tenggara. Kendari.
Buckman H.O. dan Brandy N.C., 1982. Ilmu Tanah (Terjemahan Soegiman). Bharata Karya. Jakarta.
Cabello M.J., Castellanos M.T., Romojaro F., Martínez-Madrid C. and Ribas F., 2009. Yield and Quality of Melon Grown Under Different Irrigation and
Nitrogen Rates. Agricultural Water Management 96(5): 866-874.
Cabello M.J., Castellanos M.T., Tarquis A.M., Cartagena M.C., Arce A. and Ribas F., 2006. Determination of the Uptake and Translocation of
Nitrogen Applied at Different Growth Stages of a Melon Crop (Cucumis
melo L.) Using 15
N Isotope. Scientia Horticulturae 130(3): 541-550.
Castellanos M.T., Cabello M.J., Cartagena M.D.C., Tarquis A.M., Arce A. and Ribas F., 2011. Growth Dynamics and Yield of Melon as Influenced by
Nitrogen Fertilizer. Sci. Agric. (Piracicaba, Braz.) 68(2): 191-199.
Decoteau, 2008. Colored Reflective Mulch Technology. Recent Advances in Agriculture. Kerala, India.
Dhiman K., Gupta A., Sharma D.K., Gill N.S. and Goyal A., 2012. A Review on
the Medicinally Important Plants of the Family Cucurbitaceae. Asian Journal of Clinical Nutrition 4:16-26.
Deng Y.-W., Zhang Y.-D., Guan S.-Q., Chen Y., Jiang W., Tang D.-M. and Huang D.-F., 2011. Molecular Cloning and Characterization of Nitrogen
Source Responsive GS1 Gene from Melon. Biologia Plantarum 55(1): 61-67.
42
Ekinci M. and Dursun A., 2009. Effects of Different Mulch Materials on Plant
Growth, Some Quality Parameters and Yield in Melon (Cucumis melo L.) Cultivars in High Altitude Environmental Condition Pak. J. Bot 41(4): 1891-1901.
Elmayanti 2009. Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Melon (Cucumis melo L.) pada Tanah Ultisol yang Diberi Isi Rumen Sapi dan Kapur Dolomit. Skripsi Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo. Kendari.
Everhart E., Haynes C. and Taber H., 2009. Melons. Iowa State University, University Extension. PM 1892 Revised May 2009. Hort and LA 2-3 and 2-9.
Fang S., Xie B., Dong L. and Jiujun L., 2011. Effects of Mulching Materials on
Nitrogen Mineralization, Nitrogen Availability and Poplar Growth on
Degraded Agricultural Soil. New Forests 41(2): 147-162.
Fatmawati, 2011. Pengaruh Berbagai Jenis Mulsa dan Pupuk Organik Cair
Terhadap Produksi Tanaman Terong (Solanum molongena L.) dan
Fauna Tanah. Tesis Program Pascasarjana Universitas Haluoleo. Kendari.
Ferrante A., Spinardi A., Maggiore T., Testoni A. and Gallina P.M., 2008. Effect
of Nitrogen Fertilisation Levels on Melon Fruit Quality at the Harvest
Time and During Storage. Journal of the Science of Food and Agriculture 88(4): 707-713.
Fitter A.H. dan Hay R.K.M., 1998. Fisiologi Lingkungan Tanaman (Terjemahan Sri Andani dan E.D. Purbayanti). Gadja Mada University Press. Yogyakarta.
Foth H.D., 1995. Dasar-Dasar Ilmu Tanah (Terjemahan Purbayanti, E. Lukiwati, dan R. Trimulatsi). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Garcia-Masa J., Benjaka A., Sanseverinoa W., Bourgeoisa M., Mira G., Gonzálezb V.M., Hénaffb E., Câmarac F., Cozzutoc L., Lowyc E., Aliotod T, Capella-Gutiérrezc S, Blancae J, Cañizarese J, Ziarsoloe P., Gonzalez-Ibeasf D., Rodríguez-Morenof L., Droegeg M., Duh L., Alvarez-Tejadoi M., Lorente-Galdos B., Meléc B., Yangk L., Wengk Y., Navarroj A., Marques-Bonetj T., Arandaf M.A., Nueze F, Picóe B., Gabaldónc T., Romac G., Guigóc R., Casacubertab J.M., Arúsa P. and Puigdomènechb P., 2012. The Genome of Melon (Cucumis melo L.). www.pnas.org/cgi/doi/10.1073/pnas.1205415109, PNAS Early Edition, Plant biology.
Gardner F.P., Pearce R.B. dan Mitchell R.L., 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya (Terjemahan Herawati Susilo). UI Press. Jakarta.
Goreta S., Perica S., Dumicic G., Bucan L. and Zanic K., 2005. Growth and Yield
of Watermelon on Polyethylene Mulch with Different Spacings and
Nitrogen Rates. Hortscience 40(2): 366-369.
43
Hanifia W.O., 2011. Pengaruh Pemberian Pupuk Organik Cair Terhadap
Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Melon (Cucumis melo L.). Skripsi Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo. Kendari.
Havlin J.L., Beaton J.D., Tisdale S.L. and Nelson W.L., 2005. Soil Fertility and
Fertilizers, an Introduction to Nutrient Management. 10th edition. Pearson Education, Inc. New Jersey.
Husma M., 2010. Pengaruh Bahan Organik dan Pupuk Kalium Terhadap
Pertumbuhan dan Produksi Melon (Cucumis melo L.). Tesis Program Pascasarjana Universitas Haluoleo. Kendari.
Imran A., 2011. Pertumbuhan dan Produksi Melon (Cucumis melo L.) yang diberi
Berbagai Dosis Pupuk NPK. Skripsi Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo. Kendari.
IPGRI, 2003. Descriptors for Melon (Cucumis melo L.). International Plant Genetic Resources Institute, Rome, Italy. http://www.bioversityinternational.org/publications/pubfile.asp?ID_PUB=906, diakses tanggal 30 Mei 2012.
Iqbal Q., Amjad M., Asi M.R. and Ahmad R., 2009. Vegetative and Reproductive
Evaluation of Hot Peppers Under Different Plastic Mulches in
Poly/Plastic Tunnel. Pak. J. Agri. Sci., 46(2): 113-118.
Jaya A.H., 2009. Pengaruh Berbagai Jenis Pupuk Bokashi Terhadap
Pertumbuhan dan Produksi Melon (Cucumis melo L.). Skripsi Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo. Kendari.
Jett L.W., 2006. High Tunnel Melon and Watermelon Production. University of Missouri Extension. M173, New February 2006.
Johnson M.S. and Fennimore S.A., 2005. Weed and Crop Response to Colored
Plastic Mulches in Strawberry Production. Hortscience 40(5): 1371-1375.
Kandari A.M., 2006. Iklim Mikro dan Pertumbuhan serta Produksi Tanaman
Cabai Besar (Capsicum annum L.) pada Lahan Kering yang diberi
Berbagi Warna Mulsa Plastik. Jurnal Agriplus 16(03): 242-253.
Kosterna E., Zaniewicz-Bajkowska A., Franczuk J., Rosa R., Chromińska K., Borysiak-Marciniak I. and Panasz M., 2011. Effect of Synthetic Mulches
on Melon (Cucumis melo L.) Yielding. Folia Hort., 23(2): 151-156.
Krestiani V., 2009. Kajian Pemulsaan dan Letak Duduk Buah Terhadap Hasil
Melon (Cucumis sativus L.). Jurnal Sains dan Teknologi 2(2): 1-7.
Kristianingsih I.D., 2010. Produksi Benih Melon (Cucumis melo L.) Unggul di
Multi Global Agrindo (MGA), Karangpandan, Karanganyar. Tugas Akhir Jurusan/Program Studi Agribisnis Hortikultura dan Arsitektur Pertamanan. Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
44
Locascio S.J, Gilreath J.P, Olson S., Hutchinson C.M. and Chase C.A. 2005. Red and Black Mulch Color Affects Production of Florida Strawberries. Hortscience 40(1): 69-71.
Lucascio S.J., Witbank W.J., Gull D.D. and Maynard D.N., 1984. Fruit and
Vegetable Quality as a Affectef by Nitrogen Nutrition, in Hauch R.D., Nitrogen in Crop Production. American Society of Agronomy. Wisconsin USA.
Majkowska-Gadomska J., 2009. Mineral Content of Melon Fruit (Cucumis
melo L.). Journal of Elementol 14(4): 717-727.
Mayunar dan Subrata, 2008. Budidaya Melon di Lahan Sawah. http://banten.litbang.deptan.go.id/index.Php, diakses tanggal 30 Mei
2012.
Miller R.W. and Donahue R.L., 1990. Soil: Introduction to Soil and Plant
Growth. Sixth edition. A divisio of Simon and Schuster Englewood Cliffs, New Jersey 07623.
Monde A., 2010. Pengendalian Aliran Permukaan dan Erosi pada Lahan
Berbasis Kakao di DAS Gumbasa, Sulawesi Tengah. Media Litbang Sulteng III(2): 131-136.
Muhammad Nur, 2000. Pengaruh Jenis dan Ketebalan Mulsa Terhadap
Pertumbuhan dan Produksi Cabai (Capsicum annum L.). Skripsi Program Studi Agronomi Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo. Kendari.
Nanu, 2003. Pengaruh Pemberian Mulsa Alang-alang dan Herbisida DMA-6
Tergadap Pengendalian Gulma dan Peningkatan Produksi Jagung Manis (Zea mays Saccharata sturt.). Skripsi Program Studi Agronomi Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo. Kendari.
Paduarti R., 2011. Pengaruh Pupuh Hijau pada Tanah Bekas Tambang Nikel
dalam Meningkatkan Ketersediaan Nitrogen Tanah dan Pertumbuhan
Tanaman Jagung (Zea Masy L.) Skripsi Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo. Kendari.
Ramadiana S., 2011. The Aplication of Rice Hull Mulch and Potassium Nitrate on
Growth and Yield of Kailan (Brassica oleraceae var. Long Leaf). Journal of Tropical Soil 16(2): 145-150.
Rechcigl M., 1982. Hand Book of Agricultural Produtivity, Vol I. CRC press, Inc. Boca Raton, Florida.
Reijntjes C., Haverkort B. dan Ann Water-Bayer., 1999. Pertanian Masa Depan;
Pengantar untuk Pertanian Berkelanjutan dengan Input Luar Rendah (Terjemahan Sukoco S.S.). Kanisius. Jakarta.
Relf D. and McDaniel A., 2009. Cucumbers, Melons, and Squash. Virginia Coorperative Extention-Virginia State University, publication 426-406.
45
Rosen C. and Fritz V., 2009. Growing Melons (Cantaloupe, Watermelon,
Honeydew) in Minnesota Home Gardens. M1262. Regents of the University of Minnesota.
Rosmiyani, 2010. Pengaruh Bahan Organik dan Pupuk Fosfor Terhadap
Pertumbuhan dan Produksi Melon (Cucumis melo L.). Tesis Program Pascasarjana Universitas Haluoleo. Kendari.
Saido H., 2008. Pengaruh Beberapa Jenis Pupuk Terhadap Pertumbuhan dan
Produksi Melon (Cucumis melo L.) Varietas F1 Orlondo 464 pada Lahan
Marjinal di Kelurahan Andonouhu. Skripsi Program Studi Ilmu Tanah. Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo. Kendari.
Salisbury F.B. dan Ross C.W., 1995. Fisiologi Tumbuhan, Jilid 2 (Terjemahan R. Lukman dan Sumaryono). ITB. Bandung.
Salman, 2005. Iklim Mikro dan Pertumbuhan serta Produksi Tanaman Cabai
Besar (Capsicum annum var. Longum L.) pada Penggunaan Mulsa
Alang-alang dan Mulsa Plastik. Skripsi Program Studi Agronomi Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo. Kendari.
Short P.S. and Cowie I.D., 2011. Flora of the Darwin Region I. Series: Northern Territory Botanical Bulletin No. 37. National Library of Australia Cataloguing-in-publication entry (PDF).
Siswanto, Wisnu B. dan Purwadi., 2010. Karakteristik Lahan untuk Tanaman
Melon (Cucumis melo L.) dalam Kaitannya dengan Peningkatan Kadar
Gula. Jurnal Pertanian Mapeta XII(2): 72-144.
Soedarya A., 2010. Agribisnis Melon. Pustaka Grafika. Bandung.
Srinivas K. and Prabhakar B.S., 1994. Response of Muks Melon (Cucumis melo
L.) Varyed Lands of Spacing and Fertilizers. Singapore Juornal Primary Industries 2: 36-61.
Sudaryono, 2005. Naungan dan Pemberian Mulsa Terhadap Produksi Buah
Melon (Cucumis melo L.) (Studi Kasus di Pantai Bugel, Kabupaten
Kulon Progo). J. Tek. Lingk. P3TL-BPPT 6(3): 456-462.
Sudjianto U. dan Krestiani V., 2009. Studi Pemulsaan dan Dosis NPK pada Hasil Buah Melon (Cucumis melo L.). Jurnal Sains dan Teknologi 2(2): 1-7.
Taiz L. and Zeiger E., 1991. Plant Physiology. The Benjamin/Cumming Publishing Company, Inc. California.
Teppner H., 2004. Notes on Lagenaria and Cucurbita (Cucurbitaceae), Review
and New Contributions. Phyton (Horn, Austria) 44(2): 245-308.
Unger P.W., 1995. Role of Mulches in Dryland Agriculture. in Gupta U.S., Production and Improvement of Crops for Drylands. Science published, Inc. 52 laBombard Road Nort Lebanon, NH 03766, USA.
46
Wang H.Y., Joobeur T., Dean R.A. and Staub J.E., 2007. Cucurbits. in Genomic Mapping and Molecular Breeding in Plant 5 Vegetables. C. Kole (Ed.). Springer-Verleg Berlin Heidelberg.
Watson L. and Dallwitz M.J., 1992. The Families of Flowering Plants,
Cucurbitaceae Juss. http://delta-intkey.com, diakses tanggal 25 September 2012.
47
Lampiran 1. Deskripsi Tanaman Melon var. Amanta (F1)
Silsilah : ME 1400 (F) x ME 794 (M) Golongan varietas : Hibrida Tipe tanaman : Merambat Bentuk penampakan batang : Bulat Sistem batang : 1,8-2,2 cm Warna batang : Hijau Warna daun : Bulat berlekuk menjari Bentuk daun : Panjang 17-19 cm, lebar 15-18 cm Tepi daun : Hijau Bentuk ujung daun : Bergelombang Permukaan daun : Lancip Bentuk daun : Kasap Bentuk bunga : Seperti terompet Warna kelopak bunga : Hijau Warna mahkota bunga : Kuning Warna kepala putik : Hijau muda Warna benang sari : Kuning Umur mulai berbunga : 23-24 hari setelah tanam Umur panen : 60-65 hari setelah tanam Bentuk buah : Bulat Ukuran buah : Tinggi 16,0-18,5 cm, diameter 16,2-18,3 cm Warna kulir buah muda : Hijau Warna kulir buah tua : Kuning Tipe kulit buah : Berjaring rapat Ketebalan daging buah : 6-8 cm Warna daging buah : Putih kehijauan Tekstur daging buah : Halus Rasa daging buah : Manis Aroma buah : Harum Kadar gula : 11-13 ˚brix Berat per buah : 2,2-3,5 kg Berat 1000 biji : 24,2-25,0 g Daging buah yang dikonsumsi : 60 - 80% Daya simpan buah suhu kamar : 29-31 ˚C siang, 25-27 ˚C malam Ketahanan terhadap penyakit : Agak tahan terhadap serangan busuk batang Hasil buah : 49-58 ton ha-1 Populasi per petak : 25.000 tanaman Kebutuhan benih per hektar : 480-486 g Keterangan : Beradaptasi dengan baik pada altitude 50-200
m dpl Pengusul : PT. East West Seed Indonesia Peneliti : Fatkhu Rahman (PT. East West Seed
Indonesia)
48
Lampiran 2. Desain Penempatan Unit Percobaan
I
U
II
III
Keterangan : Panjang bedengan : 300 cm Lebar bedengan : 120 cm Tinggi bedengan : 40 cm Jarak antar bedengan : 50 cm Jarak antar kelompok : 100 cm Kelompok : I, II, dan III M0 = Tanpa mulsa M1 = Mulsa alang-alang, 10 ton ha-1 atau 3,6 kg petak-1 M2 = Mulsa plastik hitam perak N0 = Tanpa pupuk N N1 = N 50 kg ha-1 atau 18 g petak-1 (Urea 111,11 kg ha-1 atau 40 g petak-1) N2 = N 100 kg ha-1 atau 36 g petak-1 (Urea 222,22 kg ha-1 atau 80 g petak-1) N3 = N 150 kg ha-1 atau 54 g petak-1 (Urea 333,33 kg ha-1 atau 120 g petak-1) N4 = N 200 kg ha-1 atau 72 g petak-1 (Urea 444,44 kg ha-1 atau 160 g petak-1) N5 = N 250 kg ha-1 atau 90 g petak-1 (Urea 555,56 kg ha-1 atau 200 g petak-1)
M2N4
M1N1
M2N5
M1N0
M2N3
M1N2
M2N3
M1N3
M2N5
M1N1
M2N2
M1N4
M2N2
M1N3
M2N1
M1N0
M2N2 M2N0 M2N4
M1N2 M1N1 M1N0 M1N3
M2N3
M1N4
M2N5
M2N1
M1N4
M2N4
M1N2
M0N4 M0N5 M0N2 M0N1 M0N0
M0N5 M0N0 M0N4 M0N3 M0N1
M0N2 M0N5 M0N4 M0N0 M0N1
M1N5
M2N1
M0N3
M2N0
M1N5
M0N2
M2N0
M1N5
M0N3