BAB IPENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Persyaratan bahwa pangan harus dapat diterima konsumen dan aman untuk
dikonsumsi sangat penting kaitanya dengan ketahanan pangan. Menurut pengertiannya,
pangan layak dikonsumsi adalah pangan yang bermutu, yaitu mempunyai karakteristik
sebagaimana halnya pangan yang normal seperti warna, tekstur,cita rasa dan karakteristik
lainnya tidak menyimpang dari karakteristik yang seharusnya oleh suatu jenis pangan.
Sedangkan pangan yang aman dikonsumsi artinya pangan tersebut “bebas” (bibawah
toleransi maksimum yang dipersyaratkan) dari cemarn berbahaya seperti cemaran biologis,
kimia, dan benda asing yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan
manusia. (Fardias, 2003)
Berdasarkan hasil penelitian makanan jajanan oleh Balai Pengawasan Obat dan
Makanan (BPOM) kota Jakarta tahun 2013 dari pengujian sebanyak 2.256 sampel. Dengan
rincian 1.959 sampel atau sebesar 86,84 % memenuhi syarat aman untuk dikonsumsi dan 297
sampel atau 13,16 % tidak memenuhi syarat aman untuk dikonsumsi karena mengandung
bahan berbahaya yaitu antara lain formalin, boraks, rhodamin-B, methanyl yellow, dan
penggunaan pemanis buatan siklamat yang melebihi batas. Pada tahun 2011 ditemukan 560
sampel atau 21,27 % pangan yang tidak memenuhi syarat aman untuk dikonsumsi. Tahun
2012 menurun menjadi 464 sampel atau 18,29 % tidak memenuhi syarat aman untuk
dikonsumsi. Selain mi basah, jenis pangan yang terbukti mengandung formalin adalah sate
ikan, siomay ikan, tahu, ikan asin, asinan, es cendol, es cincau dan es pisang ijo. Untuk
boraks banyak ditemukan di bakso, es cendol, pempek, kerupuk, mie basah dan rumput laut.
Untuk rhodamin-B banyak ditemukan di mutiara, pacar cina, cendol delima, kolang kaling
merah, es sirup, rumput laut, agar-agar merah, kerupuk merah, kue apem dan smbal terasi.
Sedangkan sakarin banyak ditemukan dalam es campur, es pisang ijo, kue lapis dan talam.
Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (BBPOM) Yogya, dari 11 uji sampling
yang dilakukan, tujuh makanan di antaranya positif menggunakan pewarna tekstil
Rhodamine-B yang berbahaya bagi kesehatan. 11 sampling yang diperiksa BBPOM
merupakan berbagai makanan kering berwarna merah, merah muda dan orange yang sering
dikonsumsi masyarakat misalnya kerupuk ketela, slondok dan kerupuk lanting. Makanan
kering berwarna mencolok memang rentan menggunakan bahan pewarna tekstil (Rhodamine-
B) agar hasilnya menarik. Berdasarkan uji laboratorium yang dilakukan di lokasi tersebut,
terbukti makanan berwarna merah mencolok tersebut memang menggunakan bahan pewarna
berbahaya.
Penggunaan zat pewarna buatan berbahaya bagi kesehatan karena adanya residu
logam berat pada pewarna tersebut (Winarno,2004). Zat pewarna sintetis dianggap berbahaya
karena telah terbukti bersifat karsinogenik dan dapat merusak hati. Zat pewarna sebetulnya
bisa diperoleh dari pangan lain yang bewarna sejenis dengan yang diinginkan seperti buah
naga yang juga dapat memberikan warna merah.
Buah naga yang sering disebut dengan kaktus manis atau kaktus madu, adalah buah
yang sudah terkenal di Indonesia. Buah ini banyak mengandung gizi dan vitamin yang sangat
berfungsi bagi tubuh, kandungan gizi secara umum yang ditemukan dalam buah ini adalah
berupa potassium, ferum, serat, kalsium dan sodium. Kandungan vitamin pada buah ini juga
besar dan beragam, secara umum buah naga mengandung vitamin B1, B2 dan B3. Bukan
hanya buahnya saja yang berkhasiat untuk mencegah kanker usus, kencing manis dan
berbagai penyakit, tetapi khasiat juga ditemukan pada daun dan kulit buah naga maka dari itu
sangat disayangkan apabila kulit buah naga yang memiliki khasiat tidak dapat digunakan
sebagai bahan tambahan dalam makanan. (Rekna wahyuni 2010)
Kelebihan kulit buah naga sangat bermanfaat bagi kesehatan namun pada
kenyataannya hanya dianggap sebagai limbah hasil pertanian yang selama ini belum
dimanfaatkan secara baik, padahal kulit buah naga mengandung zat warna alami betasianin
cukup tinggi. Betasianin merupakan zat warna yang berperan memberikan warna merah dan
merupakan golongan betalain yang berpotensi menjadi pewarna alami untuk pangan dan
dapat dijadikan alternatif pengganti pewarna sintetik yang lebih aman bagi kesehatan. Kulit
buah naga (Hylocereus Polyrhizus) dapat diaplikasikan sebagai pewarna alami pangan dan
sebagai bahan tambahan untuk meningkatkan nilai gizi produk. Selain itu, kulit buah naga
juga memiliki kemampuan sebagai antioksidan. (Anastasia, 2010)
Kerupuk merupakan suatu jenis makanan kecil yang sudah lama dikenal
oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Kerupuk dapat dikonsumsi sebagai
makanan selingan maupun sebagai variasi dalam lauk pauk. Sebagai komoditi dagangan
kerupuk termasuk kedalam jenis produk industri yang mempunyai potensi cukup baik. Saat
ini pemasarannya berkembang tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri
seperti Belanda, Singapura, Hongkong, Jepang, Suriname dan Amerikan Serikat.
Asal mula kerupuk tidak jelas. Karena jenis makanan ini tidak hanya di kenal dan
dikonsumsi di negara kita, tetapi juga di negara–negara Asia lainnya seperti Malaysia,
Singapura, Cina dan lain- lain. Namun, besar kemungkinan jenis produk ini berasal dari Cina,
yang kemudian disebar-luaskan berkat adanya hubungan dagang dan perpindahan penduduk
dari negeri Cina ke negara-negara Asia lainnya.
Pada umumnya kerupuk dikonsumsi sebagai makanan tambahan untuk lauk
pauk atau sebagai makanan kecil. Salah satu faktor utama yang menentukan mutu
kerupuk adalah kerenyahannya dan warnanya. Semua konsumen menginginkan kerupuk
yang renyah, dan warna yang menarik.
Kerupuk merah merupakan salah satu jenis kerupuk yang mempunyai warna yang
menarik dan renyah. Pembuatan kerupuk merah pada umumnya menggunakan pewarna
sintetis yaitu rhodamin-B. Sebanyak 80 persen dari sampel kerupuk merah yang beredar di
Kota Surakarta, Jawa Tengah terindikasi mengandung rhodamin.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sumbar, Dinas Kesehatan (Dinkes)
dan Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Padang tahun 2012, memeriksa
sampel kerupuk merah yang beredar di daerah ini. Beberapa sampel kerupuk merah yang
diperiksa sebagian ada yang ditemukan menggunakan bahan pewarna tekstil (Rhodamine-B)
dan ada juga yang tidak memakai pewarna tekstil.
Berdasarkan hal diatas penulis tertarik melakukan penelitian tentang “Pemanfaatan
Ekstrak Kulit Buah Naga (Hylocereus Polyrhizus) sebagai Pewarna Makanan Alami
Pada Pembuatan Kerupuk Merah dan Mutu Organoleptiknya”.
1.2 Perumusan Masalah
Bagaimana Pemanfaatan Ekstrak Kulit Buah Naga (Hylocereus Polyrhizus) sebagai
Pewarna Makanan Alami Pada Pembuatan Kerupuk Merah dan Mutu Organoleptiknya.
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui Pemanfaatan Ekstrak Kulit Buah Naga (Hylocereus Polyrhizus)
sebagai Pewarna Makanan Alami Pada Pembuatan Kerupuk Merah dan Mutu
Organoleptiknya.
1.3.2 Tujuan Khusus
1.3.2.1 Diketahuinya cara pembuatan ekstrak kulit buah Naga (Hylocereus Polyrhizus) secara
alami.
1.3.2.2 Diketahuinya pengaruh penggunaan ekstrak kulit buah Naga (Hylocereus Polyrhizus)
terhadap rasa Kerupuk Merah.
1.3.2.3 Diketahuinya pengaruh penggunaan ekstrak kulit buah Naga (Hylocereus Polyrhizus)
terhadap aroma Kerupuk Merah.
1.3.2.4 Diketahuinya pengaruh penggunaan ekstrak kulit buah Naga (Hylocereus Polyrhizus)
terhadap tekstur Kerupuk Merah.
1.3.2.5 Diketahuinya pengaruh penggunaan ekstrak kulit buah Naga (Hylocereus Polyrhizus)
terhadap warna Kerupuk Merah.
1.3.2.6 Diketahuinya kadar pemberian ekstrak kulit buah Naga (Hylocereus Polyrhizus) yang
terbaik pada Kerupuk Merah.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Memberikan Informasi pada produsen dan konsumen tentang pembuatan Kerupuk
Merah yang memakai pewarna alami dari ekstrak kulit buah Naga.
1.4.2 Memberikan Informasi pada produsen dan konsumen tentang mutu organoleptik
Kerupuk Merah yang memakai pewarna alami dari ekstrak kulit buah Naga.
1.4.3 Menambah wawasan dan keterampilan penulis dalam dalam menerapkan ilmu teknologi
pangan, tentang cara pembuatan pewarna makanan dengan cara ekstraksi dan
pemanfaatan bahan pangan yang mengandung nilai gizi tinggi.
Top Related