PROPOSAL PENELITIAN
STRES DAN COPING LANSIA PADA MASA PENSIUN
Pembimbing :
dr. Rina K. Kusumaratna, M.Sc., Ph.D
Disusun oleh :
Christian Kevin (030.07.0)
Ervan Surya (030.07.085)
Fandi Ahmad (030.07.087)
Subash (030.06.347)
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
PUSKESMAS KECAMATAN TEBET
PERIODE 18 JUNI – 1 SEPTEMBER 2012
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
STRES DAN COPING LANSIA PADA MASA PENSIUN
BAB 1
PENDAHULUAN
3.1 Latar Belakang
Dalam kehidupan sosial masyarakat usia lanjut sering dihubungkan dengan
menurunnya kemampuan produktifitas dan aktifitas fisik, sudah layak pensiun dari
aktifitas pekerjaan, pantas untuk dimanjakan, cukup menunggu cucu, dan harus
dihormati untuk dimintai nasihat, pandangan, dan pemikiran yang lebih arif dan
bijaksana, seseorang yang makin pikun, berlaku sewenang-wenang, sulit
menyesuaikan diri dengan perubahan, makin meningkat kegiatan ibadah sesuai
agamanya serta terjadi kemunduran fungsi organ tubuh.(1)
Proses menua didalam perjalanan hidup manusia merupakan suatu hal yang
wajar yang akan dialami oleh semua orang yang dikaruniai umur panjang, proses ini
terjadi terus menerus dan berkelanjutan secara alamiah. Berdasarkan UU No.12
Tahun 1998 tentang usia lanjut disebutkan bahwa yang masuk dalam kategori lansia
adalah mereka yang berusia 60 tahun keatas. Namun yang terjadi di Indonesia
banyak individu yang berusia 56 tahun sudah pensiun dari pekerjaannya.(2)
Menurut Ronald (2005), persentase penduduk lanjut usia diatas 65 tahun pada
tahun 1998 di Swedia ada 17,4%, Belgia 16,4%, Inggris 16%, Jerman 15,9%, dan
Denmark 15,2%. Sedangkan di Indonesia pada tahun 1998 jumlah lansia ada 4,5%.
Pada tahun 2000 diperkirakan jumlah lansia meningkat 9,99 % dengan harapan hidup
65 sampai 70 tahun yang diperkirakan pada tahun 2020 terus meningkat menjadi
11,09 % dengan harapan hidup 70 sampai 75 tahun. Berdasarkan sensus penduduk
Indonesia tahun 2000 diperoleh data bahwa jumlah lansia mencapai 15,8 juta jiwa
atau 3,6% dan pada tahun 2005 diperkirakan jumlah lansia meningkat 18,2 juta jiwa
dan tidak menutup kemungkinan pada tahun 2015 menjadi 24,4 juta jiwa.
Banyak orang takut memasuki masa lanjut usia, karena asumsi mereka lansia
itu adalah tidak berguna, lemah, tidak punya semangat hidup, penyakitan, pelupa,
pikun, tidak diperhatikan oleh keluarga dan masyarakat, menjadi beban orang lain,
1
dan sebagainya. Pada kenyataannya, lansia mengalami berbagai perubahan, secara
fisik maupun mental. Akan tetapi, perubahan-perubahan tersebut dapat diantisipasi
sehingga tidak datang lebih dini. Proses penuaan pada setiap orang berbeda-beda,
tergantung pada sikap dan kemauan seseorang dalam mengendalikan atau menerima
proses penuaan itu.(3)
Kemunduran fisik dan psikologis pada lansia dapat memberikan masalah pada
lansia tersebut dan orang disekitarnya. Walaupun demikian menua tidak dianggap
suatu penyakit tetapi merupakan suatu proses berkurangnya daya tahan tubuh dalam
menghadapi rangsangan dari dalam maupun luar tubuh.(2)
Pada umumnya setelah orang memasuki usia lanjut maka ia akan mengalami
penurunan fungsi kognitif dan psikomotor. Penurunan fungsi kognitif meliputi proses
belajar, persepsi, pemahaman, pengertian, perhatian sehingga menyebabkan reaksi
dan perilaku lansia semakin lambat. Sementara penurunan fungsi psikomotorik
meliputi hal-hal yang berhubungan dengan dorongan kehendak seperti gerakan,
tindakan, koordinasi yang berakibat bahwa lansia menjadi kurang cekatan. Dan pada
umumnya perubahan ini diawali ketika masa pensiun.(4)
Dalam era modern seperti sekarang ini, pekerjaan merupakan salah satu faktor
terpenting yang bisa mendatangkan kepuasan (karena uang, jabatan, dan dapat
memperkuat harga diri). Pensiun seringkali dianggap sebagai kenyataan yang tidak
menyenangkan sehingga menjelang masanya tiba sebagian orang sudah merasa stres
karena tidak tahu kehidupan macam apa yang dihadapi. Stres adalah respon individu
terhadap keadaan atau kejadian yang memicu stres (stressor), yang mengancam dan
mengganggu seseorang untuk menanganinya. sumber stres dibagi tiga, yaitu, stres
yang bersumber dari diri sendiri, keluarga, dan masyarakat.(5)
Untuk mengatasi stres pada lansia pensiun, lansia membutuhkan mekanisme
pertahanan diri yang disebut koping. Menurut Hidayat (2004), coping adalah
pemecahan masalah yang digunakan untuk mengelola stres atau kejadian yang
dialami oleh lansia. Kemampuan coping dengan adaptasi terhadap stres merupakan
faktor penentu yang penting dalam kesejahteraan manusia.
Individu dapat menanggulangi stres dengan menggunakan atau mengambil
sumber coping baik sosial, interpersonal, dan intrapersonal. Mekanisme coping yang
dapat dilakukan ada dua jenis yaitu reaksi yang berorientasi pada tugas (task oriented
2
reaction) dimana individu mencoba menghadapi kenyataan tuntutan stres dengan
menilai secara objektif ditujukan untuk mengatasi masalah, memulihkan konflik dan
memenuhi kebutuhan. Sedangkan reaksi yang berorientasi pada ego (ego oriented
reaction) sering kali digunakan untuk melindungi diri sendiri sehingga disebut
mekanisme pertahanan ego.(6)
Berdasarkan survei awal yang dilakukan peneliti di kelurahan Manggarai
Selatan Kecamatan Tebet, peneliti menemukan jumlah lansia sebanyak 130 orang
yang terdiri dari pensiunan dan bukan pensiunan. Pensiunan antara lain: pegawai
negeri sipil, pegawai swasta, wiraswasta, buruh/karyawan dan lain sebagainya.
Fenomena diatas menunjukkan bahwa sesungguhnya pensiun adalah situasi
yang merupakan stresor bagi lansia dan seringkali dianggap hal yang menakutkan.
Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang
stres dan coping lansia pada masa pensiun di Kelurahan Manggarai Selatan
Kecamatan Tebet.
3.2 Rumusan Masalah
Bagaimana coping pada lansia terhadap stres yang bersumber dari masalah
finansial, keluarga, pekerjaan, dan penurunan fungsional tubuh?
3.3 Tujuan Penelitian
Tujuan umum
Meningkatnya kualitas hidup lansia di Indonesia.
Tujuan Khusus
i. Mengidentifikasi bentuk stres dan coping yang digunakan lansia pada
masa pensiun yang bersumber dari masalah finansial
ii. Mengidentifikasi bentuk stres dan coping yang digunakan lansia pada
masa pensiun yang bersumber dari masalah keluarga.
iii. Mengidentifikasi bentuk stres dan coping yang digunakan lansia pada
masa pensiun yang bersumber dari masalah pekerjaan.
iv. Mengidentifikasi bentuk stres dan coping yang digunakan lansia pada
masa pensiun yang bersumber dari masalah fungsional tubuh.
3
3.4 Hipotesis
i. Bentuk stres masalah finansial berupa kelemahan finansial dan coping yang
digunakan adalah dengan mencari sumber uang, baik kerja sampingan
maupun pinjaman.
ii. Bentuk stres masalah keluarga berupa penelantaran dan coping yang
digunakan adalah dengan bersosialisasi dengan tetangga.
iii. Bentuk stres masalah pekerjaan berupa berkurangnya aktifitas rutin dan
coping yang digunakan adalah mencari kesibukan.
iv. Bentuk stres masalah fungsional tubuh berupa penurunan fungsi kognitif dan
psikomotor dan coping yang digunakan adalah dengan mengikuti kegiatan-
kegiatan di masyarakat.
3.5 Manfaat Penelitian
i. Bagi akademik/ilmiah
Memberikan informasi tentang stres yang dihadapi lansia pada masa
pensiun di Kelurahan Manggarai Selatan Kecamatan Tebet.
Memberikan informasi tentang coping pada lansia pada masa pensiun di
Kelurahan Manggarai Selatan Kecamatan Tebet.
ii. Bagi pelayanan masyarakat
Institusi yang berkaitan dengan pelayanan lansia dapat melakukan upaya
pendekatan terkait stres yang yang dihadapi lansia pada masa pensiun.
iii. Bagi pengembangan pendidikan
Memberikan informasi tentang jenis-jenis stres dan coping pansia pada
masa pensiun.
3.6 Ruang Lingkup
Ruang lingkup tempat
Lokasi penelitian adalah Kelurahan Manggarai Selatan Kecamatan Tebet.
Ruang lingkup waktu
Pada bulan Juli 2012.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Koping
Koping adalah perilaku pemecahan masalah yang secara langsung dapat
mempengaruhi atau menyeimbangkan keadaan menjadi lebih baik setelah mengalami
stress.(7) Koping didefinisikan sebagai pemikiran realistis dan fleksibel serta tindakan
penyelesaian masalah sehingga dapat mengurangi stres. Koping adalah suatu proses
pengolahan tuntunan eksternal dan internal yang dinilai sebagai beban atau melebihi
sumber yang dimiliki. Dalam kontek ini koping merupakan proses penyelesaian
masalah, tidak bersifat statis tetapi berubah dalam kualitas dan intensitas dengan
perubahan penilaian kognitif yang berkesinambungan.
Mekanisme koping menurut pada dasarnya adalah mekanisme pertahanan diri
terhadap perubahan yang terjadi baik dari dalam maupun luar diri. Ada dua macam
mekanisme koping yaitu:
a. Adaptif (7)
Tingkah laku yang adaptif adalah suatu tindakan yang dapat menyesuaikan
diri dan perilaku dengan konstruktif. Selain itu, individu tersebut lebih mampu
bertahan dan menagantisipasi kemungkinan adanya bahaya. Selanjutnya, yang
termasuk dalam mekanisme koping yang konstruktif adalah:
1) Mekanisme koping konstruktif survivol digunakan untuk kelangsungan hidup
dan berkaitan dengan suatu yang mengancam. Adapun yang merupakan tingkah
laku, misalnya memeriksakan kesehatan secara berkala ke puskesmas.
5
2) Mekanisme koping konstruktif memotivasi digunakan untuk dapat memotivasi,
misalnya apabila mempunyai masalah baru, bercerita kepada keluarga atau
mempunyai masalah dengan kesehatan baru memeriksakan diri.
b. Maladaptif
Pada tingkah laku yang maladaptif, individu tidak dapat menyesuaikan diri
sehingga cenderung muncul tingkah laku destruktif sehingga menyebabkan respon
maladaptif. Respon maladaptif dapat timbul pada kecemasan berat dan panik.
Adapun yang termasuk mekanisme koping maladaptif adalah koping destruktif,
misalnya marah marah, mudah tersinggung, menyerang dan depresi. Adpun yng
termasuk dalam mekanisme koping maladaptif adalah reaksi yang lambat atau
berlebihan, menghindar, mencederai diri dan minum alkohol.
c. Sumber koping
Sumber koping adalah evaluasi terhadap pilihan koping dan strategi
seseorang.(8) Sedangkan macam macam sumber koping yang dapat digunakan antara
lain: kemampuan personal, dukungan sosial, asset materi, dan keyakinan positif.
Setiap individu mempunyai mekanisme penanggulangan atau pertahanan untuk
menghadapi setiap stressor yang dapat berubah:
1) Mengadakan perubahan atau manipulasi pada situasi atau keadaan tersebut.
2) Menghindar dan menjauhkan diri dari situasi tersebut.
3) Berusaha dan belajar untuk hidup dengan ketidakamanan dan ketidakpuasan itu.
d. Mekanisme adaptasi psikologis
Merupakan proses penyesuaian secara psikologis akibat stressor yang ada,
dengan cara memberikan mekanisme pertahanan diri dengan harapan dapat
6
melindungi atau bertahan dari serangan serangan atau hal-hal yang tidak
menyenangkan.
Dalam proses adaptasi secara psikologis, ada dua cara untuk
mempertahankan diri dari stressor yaitu dengan cara melakukan koping atau
penanganan diantaranya berorientasi pada tugas (task oriented reaction) dan ego
oriented atau mekanisme pertahanan diri. (8)
1) Task Oriented Reaction (reaksi berorientasi ada tugas)
Reaksi ini merupakan koping yang digunakan dalam mengatasi masalah
dengan berorientasi pada proses penyelesaian masalah meliputi, afektif atau
perasaan, kognitif dan psikomotor. Reaksi ini dapat dilakukan seperti berbicara
dengan orang lain tentang masalah yang dihadapi untuk menemukan jalan
keluarnya, mencari tahu lebih banyak tentang keadaan yang dihadapi melalui buku
bacaan, ataupun orang ahli, dapat juga berhubungan dengan kekuatan supranatural,
melakukan latihan yang dapat mengurangi stres serta membuat alternatif pemecahan
masalah dengan menggunakan strategi prioritas masalah.
2) Ego Oriented Reaction (reaksi berorientasi pada ego)
Reaksi ini dikenal dengan mekanisme pertahanan diri secara psikologis agar
tidak mengganggu keadaan psikologis yang lebih dalam. Diantara mekanisme
pertahanan diri yang sering digunakan untuk melakukan adaptasi psikologis seperti
rasionalisasi, displacement, kompensasi, proyeksi, represi, supresi dan denial.
2.2 Lansia
2.2.1 Definisi(9)
Pengertian usia lanjut adalah mereka yang telah berusia 60 tahun atau lebih.
Belum ada kesepakatan tentang batasan umur lanjut usia disebabkan terlalu banyak
pendapat tentang batasan umur lanjut usia.
7
2.2.2 Batasan-batasan lansia(9)
Batasan lansia menurut WHO meliputi usia pertengahan (Middle age) antara
45-59 tahun, usia lanjut (Elderly) antara 60-74 tahun, dan usia lanjut tua (Old) antara
75-90 tahun, serta usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun.
Menurut Depkes RI batasan lansia terbagi dalam empat kelompok yaitu
pertengahan umur usia lanjut/virilitas yaitu masa persiapan usia lanjut yang
menampak keperkasaan fisik dan kematangan jiwa antara 45-54 tahun, usia lanjut
dini/prasenium yaitu kelompok yang mulai memasuki usia lanjut antara 55-64 tahun,
kelompok usia lanjut/ senium usia 65 tahun keatas dan usia lanjut dengan risiko
tinggi yaitu kelompok yang berusia lebih dari 70 tahun atau kelompok usia lanjut
yang hidup sendiri, terpencil, tinggal dipanti, menderita penyakit berat atau
cacat.Saat ini berlaku UU No 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia yang
menyebutkan lansia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun keatas.
2.2.3 Perubahan-perubahan yang terjadi pada lanjut usia
Adapun beberapa faktor yang dihadapi lansia yang sangat mempengaruhi
kesehatan jiwa mereka adalah perubahan kondisi fisik, perubahan fungsi dan potensi
seksual, perubahan aspek psikososial, perubahan yang berkaitan dengan pekerjaan,
dan perubahan peran sosial di masyarakat.
2.2.3.1 Perubahan Kondisi Fisik
Setelah orang memasuki masa lansia, umumnya mulai dihinggapi adanya
kondisi fisik yang bersifat patologis. Misalnya, tenaga berkurang, kulit makin
keriput, gigi makin rontok, tulang makin rapuh, berkurangnya fungsi indra
pendengaran, penglihatan, gerak fisik dan sebagainya maka muncul gangguan
fungsional atau bahkan kecacatan pada lansia misalnya badan menjadi bungkuk,
pendengaran berkurang, penglihatan kabur, sehingga menimbulkan keterasingan.
2.2.3.2 Perubahan Fungsi dan Potensi Seksual
Perubahan fungsi dan potensi seksual pada lanjut usia sering kali
berhubungan dengan berbagai gangguan fisik seperti gangguan jantung, gangguan
metabolisme, vaginitis, baru selesai operasi (prostatektomi), kekurangan gizi (karena
pencernaan kurang sempurna atau nafsu makan sangat kurang), penggunaan obat-
obatan tertentu (antihipertensi, golongan steroid, tranquilizer), dan faktor psikologis
8
yang menyertai lansia seperti rasa malu bila mempertahankan kehidupan seksual
pada lansia, sikap keluarga dan masyarakat yang kurang menunjang serta diperkuat
oleh tradisi dan budaya, kelelahan atau kebosanan karena kurang variasi dalam
kehidupannya, pasangan hidup telah meninggal dunia, dan disfungsi seksual karena
perubahan hormonal atau masalah kesehatan jiwa lainnya misalnya cemas, depresi,
pikun, dan sebagainya.
2.2.3.3 Perubahan Aspek Psikososial
Pada umumnya setelah orang memasuki lansia maka ia mengalami penurunan
fungsi kognitif dan fungsi psikomotor. Fungsi kognitif meliputi proses belajar,
persepsi, pemahaman, pengertian, perhatian, dan lain-lain sehingga menyebabkan
reaksi dan perilaku lansia menjadi makin lambat. Sementara fungsi psikomotorik
(konatif) meliputi hal-hal yang berhubungan dengan dorongan kehendak seperti
gerakan, tindakan, koordinasi yang berakibat bahwa lansia menjadi kurang cekatan.
2.2.3.4 Perubahan yang berkaitan dengan pekerjaan
Pada umumnya perubahan ini diawali ketika masa pensiun. Meskipun tujuan
ideal pensiun adalah agar para lansia dapat menikmati hari tua atau jaminan hari tua,
namun dalam kenyataannya sering diartikan sebaliknya karena pensiun sering
diartikan kehilangan penghasilan, kedudukan, jabatan, peran, kegiatan, status, dan
harga diri.
2.2.3.5 Perubahan dalam peran sosial di masyarakat
Akibat berkurangnya fungsi indera pendengaran, penglihatanm gerak fisik,
dan sebagainya maka muncul gangguan fungsional atau bahkan kecacatan pada
lansia. Misalnya badannya menjadi bungkuk, pendengaran sangat berkurang,
penglihatan kabur, dan sebagainya sehingga sering menimbulkan keterasingan. Hal
itu sebaiknya dicegah dengan selalu mengajak mereka melakukan aktivitas, selama
yang bersangkutan masih sanggup, agar tidak merasa terasing atau diasingkan. Jika
keterasingan terjadi akan semakin menolak untuk berkomunikasi dengan orang lain
dan kadang-kadang terus muncul perilaku regresi seperti mudah menangis,
mengurung diri, mengumpulkan barang-barang tak berguna serta merengek-rengek
bila ketemu orang lain sehingga perilakunya seperti anak kecil.
2.2.4 Masalah kesehatan pada lansia
9
Adapun beberapa masalah kesehatan yang sering terjadi pada lansia berbeda
dari orang dewasa, yang menurut Kane & Ouslander sering disebut dengan istilah 14
I, yaitu Immobility (kurang bergerak), Instability (berdiri dan berjalan tidak stabil
atau mudah jatuh), Incontinence (beser buang air kecil dan atau buang air besar),
Intellectual impairment (gangguan intelektual/ dementia), Infection (infeksi),
Impairment of vision and hearing, taste, smell, communication, convalescence, skin
integrity (gangguan pancaindera, komunikasi, penyembuhan, dan kulit), Impaction
(sulit buang air besar), Isolation (depresi), Inanition (kurang gizi), Impecunity (tidak
punya uang), Iatrogenesis (menderita penyakit akibat obat-obatan), Insomnia
(gangguan tidur), Immune deficiency (daya tahan tubuh yang menurun), dan
Impotence (impotensi).
2.2.5 Status Kesehatan pada Lansia Indonesia
Membicarakan mengenai status kesehatan para lansia, penyakit atau keluhan
yang umum diderita adalah penyakit rematik, hipertensi, penyakit jantung, penyakit
paru-paru (bronkitis/ dispnea), diabetes mellitus, jatuh, paralisis/ lumpuh separuh
badan, TBC paru, patah tulang dan kanker. Lebih banyak wanita yang menderita/
mengeluhkan penyakit-penyakit tersebut daripada kaum pria, kecuali untuk bronkitis
(pengaruh rokok pada pria).
2.2 Stres(10)
3.2 PENGERTIAN STRES
Stres adalah stimulus atau situasi yang menimbulkan distres dan menciptakan
tuntutan fisik dan psikis pada seseorang. Stres membutuhkan koping dan adaptasi.
Sindrom adaptasi umum atau teori Selye, menggambarkan stres sebagai kerusakan
yang terjadi pada tubuh tanpa mempedulikan apakah penyebab stres tersebut positif
atau negatif. Respons tubuh dapat diprediksi tanpa memerhatikan stresor atau
penyebab tertentu (Isaacs, 2004).
Stres adalah reaksi/respons tubuh terhadap stresor psikososial (tekanan
mental/beban kehidupan). Stres dewasa ini digunakan secara bergantian untuk
menjelaskan berbagai stimulus dengan intensitas berlebihan yang tidak disukai
berupa respons fisiologis, perilaku, dan subjektif terhadap stres; konteks yang
10
menjembatani pertemuan antara individu dengan stimulus yang membuat stres;
semua sebagai suatu sistem.(10)
Stres adalah respon tubuh yang sifatnya nonspesifik terhadap setiap tuntutan
beban atasnya.(11) Bila seseorang setelah mengalami stres mengalami gangguan pada
satu atau lebih organ tubuh sehingga yang bersangkutan tidak lagi dapat menjalankan
fungsi pekerjaannya dengan baik, maka ia disebut mengalami distres. Pada gejala
stres, gejala yang dikeluhkan penderita didominasi oleh keluhan-keluhan somatik
(fisik), tetapi dapat pula disertai keluhan-keluhan psikis. Tidak semua bentuk stres
mempunyai konotasi negatif, cukup banyak yang bersifat positif, hal tersebut
dikatakan eustres.
Stresor adalah semua kondisi stimulasi yang berbahaya dan menghasilkan
reaksi stres, misalnya jumlah semua respons fisiologik nonspesifik yang
menyebabkan kerusakan dalam sistem biologis. Stressreaction acute (reaksi stres
akut) adalah gangguan sementara yang muncul pada seorang individu tanpa adanya
gangguan mental lain yang jelas, terjadi akibat stres fisik dan atau mental yang
sangat berat, biasanya mereda dalam beberapa jam atau hari. Kerentanan dan
kemampuan koping (copingcapacity) seseorang memainkan peranan dalam
terjadinya reaksi stres akut dan keparahannya.
2.2.2 Kajian mengenai stres
Konsep milieu interieur (lingkungan internal tubuh), yang pertama kali
diajukan oleh Fisiologis Perancis, Claude Bernard. Dalam konsep ini, ia
menggambarkan prinsip-prinsip keseimbangan dinamis. Dalam keseimbangan
dinamis, kekonstanan, kondisi mapan (situasi) di lingkungan badan internal, sangat
penting untuk bertahan hidup.Oleh karena itu, perubahan dalam lingkungan eksternal
atau kekuatan eksternal yang mengubah keseimbangan internal harus bereaksi dan
mengkompensasi supaya organisme dapat bertahan hidup. Contoh kekuatan eksternal
adalah seperti suhu, konsentrasi oksigen di udara, pengeluaran energi, dan
keberadaan predator. Selain itu, penyakit juga stres yang mengancam keseimbangan
lingkungan internal tubuh.
11
2.2.3 Jenis-jenis stres
Terdapat dua jenis stres, yaitu eustres dan distres.(12)
Eustres, yaitu hasil dari respon terhadap stres yang bersifat sehat, positif, dan
konstruktif (bersifat membangun).(12) Hal tersebut termasuk kesejahteraan individu
dan juga organisasi yang diasosiasikan dengan pertumbuhan, fleksibilitas,
kemampuan adaptasi, dan tingkat performance yang tinggi. Ini adalah semua bentuk
stres yang mendorong tubuh untuk beradaptasi dan meningkatkan kemampuan untuk
beradaptasi. Ketika tubuh mampu menggunakan stres yang dialami untuk membantu
melewati sebuah hambatan dan meningkatkan performa, stres tersebut bersifat
positif, sehat, dan menantang .
Di sisi lain, distres, yaitu hasil dari respon terhadap stres yang bersifat tidak
sehat, negatif, dan destruktif (bersifat merusak). Hal tersebut termasuk konsekuensi
individu terhadap penyakit sistemik dan tingkat ketidakhadiran (absenteeism) yang
tinggi, yang diasosiasikan dengan keadaan sakit, penurunan, dan kematian. Distres
adalah semua bentuk stres yang melebihi kemampuan untuk mengatasinya,
membebani tubuh, dan menyebabkan masalah fisik atau psikologis. Ketika seseorang
mengalami distres, orang tersebut akan cenderung bereaksi secara berlebihan,
bingung, dan tidak dapat berperforma secara maksimal.(12)
2.2.4 Sumber stres
Sumber stres atau penyebab stres dikenali sebagai stresor. Antara
penyebabnya adalah, fisik, psikologis, dan sosial. Stresor fisik berasal dari luar diri
individu, seperti suara, polusi, radiasi, suhu udara, makanan, zat kimia, trauma, dan
latihan fisik yang terpaksa. Pada stresor psikologis tekanan dari dalam diri individu
dalam respon terhadap stres. Pelepasan neurotransmiter menyebabkan efek fisiologis
terlihat pada respon "fight or flight", misalnya, denyut jantung yang cepat,
peningkatan kewaspadaan, dan lain-lain.
Stres biasanya yang bersifat negatif seperti frustasi, kecemasan (anxiety), rasa
bersalah, kuatir berlebihan, marah, benci, sedih, cemburu, rasa kasihan pada diri
sendiri, serta rasa rendah diri, sedangkan stresor sosial yaitu tekanan dari luar
disebabkan oleh interaksi individu dengan lingkungannya. Banyak stresor sosial
yang bersifat traumatic yang tak dapat dihindari, seperti kehilangan orang yang
12
dicintai, kehilangan pekerjaan, pension, perceraian, masalah keuangan, pindah rumah
dan lain-lain.
Stres pada lansia biasanya disebabkan oleh masalah-masalah sebagai berikut :
Keluarga
Keluarga berperan besar dalam kejadian stress pada lansia. Jika terdapat
masalah dalam keluarga, hal ini dapat menjadi pemicu stress bagi lansia, misalnya
adanya konflik dalam keluarga, hubungan yang tidak harmonis, merasa jadi beban
keluarga. Sebaliknya, peran keluarga juga sangat besar dalam menjauhkan stress
pada lansia. Dukungan, penghargaan, rasa hormat, rasa peduli dan lain-lain sangat
besar pengaruhnya untuk menjauhkan atau meredakan stres pada lansia.
Lingkungan
Stress juga dapat dipicu oleh hubungan sosial dengan orang lain di sekitarnya
atau akibat situasi sosial lainnya. Contohnya seperti stres adaptasi lingkungan baru,
teman-teman yang sudah tidak ada lagi, dan lain-lain. Lansia juga bisa terkena stress
karena lingkungan tempat tinggalnya. Lingkungan yang padat, macet, dan bising bisa
menjadi sumber stress. Selain itu, lingkungan yang kotor, buruk, penuh dengan
pencemaran juga dapat membuat merasa tidak nyaman dan pikiran selalu was-was
akan dampak buruk pencemaran pada kesehatannya, sehingga lama-kelamaan dapat
membuat lansia stress.
Pekerjaan
Pekerjaan dapat menjadi pemicu stres bagi lansia. Penurunan kondisi fisik
dan psikis berpengaruh pada turunnya produktifitas para lansia. Jika pada waktu
mudanya ia telah mempersiapkan cukup "bekal" untuk masa tua, maka ia bisa
menikmati masa pensiunnya.Tetapi jika lansia merasa belum cukup mempersiapkan
bekalnya untuk masa pensiun, maka ia dituntut untuk terus bekerja.Beban kerja yang
tidak didukung oleh kondisi fisik dan psikis dapat memicu lansia stress. Apalagi
adanya tuntutan untuk pemenuhan nafkah keluarga.Jika lansia memilih bekerja,
pilihlah pekerjaan yang tidak terlalu berat, tidak perlu target-targetan, tidak perlu
persaingan, deadline, dll. Misalnya memelihara ayam atau ternak lain, atau berkebun,
buat kolam ikan di belakang rumah, sangat baik bagi lansia, selain sehat berolahraga
ada juga pendapatan bagi keluarga.
2.2.5 Mekanisme stres
13
Empat variabel psikologik yang mempengaruhi mekanisme respons stres:
1. Kontrol: keyakinan bahwa seseorang memiliki kontrol terhadap stresor
yang mengurangi intensitas respons stres.
2. Prediktabilitas: stresor yang dapat diprediksi menimbulkan respons stres
yang tidak begitu berat dibandingkan stresor yang tidak dapat diprediksi.
3. Persepsi: pandangan individu tentang dunia dan persepsi stresor saat ini
dapat meningkatkan atau menurunkan intensitas respons stres.
4. Respons koping: ketersediaan dan efektivitas mekanisme mengikat
ansietas dapat menambah atau mengurangi respons stres.
2.2.6 Gejala stres(13)
Berikut ini adalah gejala-gejala psikologis stres : kecemasan, ketegangan,
kebingungan dan mudah tersinggung, perasaan frustrasi, rasa marah, dan dendam
(kebencian), sensitif dan hyperreactivity, memendam perasaan, penarikan diri
depresi, komunikasi yang tidak efektif, perasaan terkucil dan terasing, kebosanan dan
ketidakpuasan kerja, kelelahan mental, penurunan fungsi intelektual, dan kehilangan
konsentrasi, kehilangan spontanitas dan kreativitas serta menurunnya rasa percaya
diri.
Gejala-gejala fisiologis yang utama dari stres adalah: meningkatnya denyut
jantung, tekanan darah, dan kecenderungan mengalami penyakit kardiovaskular,
meningkatnya sekresi dari hormon stres (contoh: adrenalin dan noradrenalin),gangguan
gastrointestinal (misalnya gangguan lambung), meningkatnya frekuensi dari luka fisik
dan kecelakaan, kelelahan secara fisik dan kemungkinan mengalami sindrom kelelahan
yang kronis (chronic fatigue syndrome), gangguan pernapasan, termasuk gangguan dari
kondisi yang ada, gangguan pada kulit, sakit kepala, sakit pada punggung bagian bawah,
ketegangan otot, gangguan tidur, rusaknya fungsi imun tubuh, termasuk risiko tinggi
kemungkinan terkena kanker.
Gejala-gejala perilaku dari stres adalah: menunda, menghindari pekerjaan, dan
absen dari pekerjaan, menurunnya prestasi (performance) dan produktivitas,
meningkatnya penggunaan minuman keras dan obat-obatan, perilaku sabotaj dalam
pekerjaan, perilaku makan yang tidak normal (kebanyakan), mengarah ke obesitas,
perilaku makan yang tidak normal (kekurangan) sebagai bentuk penarikan diri dan
kehilangan berat badan secara tiba-tiba, kemungkinan berkombinasi dengan tanda-tanda
14
depresi, meningkatnya kecenderungan berperilaku beresiko tinggi, seperti menyetir
dengan tidak hati-hati dan berjudi, meningkatnya agresivitas, vandalisme, dan
kriminalitas, menurunnya kualitas hubungan interpersonal dengan keluarga dan teman
serta kecenderungan untuk melakukan bunuh diri.
Pengalaman stres sangat individual. Stres yang luar biasa untuk satu orang tidak
semestinya dianggap sebagai stres oleh yang lain. Demikian pula, gejala dan tanda-tanda
stres akan berbeda pada setiap individu.
2.3 Tahapan Stres
Gejala-gejala stres pada diri seseorang seringkali tidak disadari karena
perjalanan awal tahapan stres timbul secara lambat, dan baru dirasakan bilamana
tahapan gejala sudah lanjut dan mengganggu fungsi kehidupannya sehari-hari baik di
rumah, di tempat kerja ataupun pergaulan lingkungan sosialnya. Dr. Robert J. an
Amberg (1979) dalam penelitiannya terdapat dalam Hawari (2001) membagi
tahapan-tahapan stres sebagai berikut :
Stres tahap I
Tahapan ini merupakan tahapan stres yang paling ringan dan biasanya
disertai dengan perasaan-perasaan sebagai berikut:
1) Semangat bekerja besar, berlebihan (over acting);
2) Penglihatan “tajam” tidak sebagaimana biasanya;
3) Merasa mampu menyelesaikan pekerjaan lebih dari biasanya, namun tanpa
disadari cadangan energi semakin menipis.
Stres tahap II
Dalam tahapan ini dampak stres yang semula “menyenangkan” sebagaimana
diuraikan pada tahap I di atas mulai menghilang, dan timbul keluhan-keluhan yang
disebabkan karena cadangan energi yang tidak lagi cukup sepanjang hari, karena
tidak cukup waktu untuk beristirahat. Istirahat yang dimaksud antara lain dengan
tidur yang cukup, bermanfaat untuk mengisi atau memulihkan cadangan energi yang
mengalami defisit. Keluhan-keluhan yang sering dikemukakan oleh seseorang yang
berada pada stres tahap II adalah sebagai berikut:
1) Merasa letih sewaktu bangun pagi yang seharusnya merasa segar;
15
2) Merasa mudah lelah sesudah makan siang;
3) Lekas merasa capai menjelang sore hari;
4) Sering mengeluh lambung/perut tidak nyaman (bowel discomfort);
5) Detakan jantung lebih keras dari biasanya (berdebar-debar);
6) Otot-otot punggung dan tengkuk terasa tegang;
7) Tidak bisa santai.
Stres Tahap III
Apabila seseorang tetap memaksakan diri dalam pekerjaannya tanpa
menghiraukan keluhan-keluhan pada stres tahap II, maka akan menunjukkan
keluhan-keluhan yang semakin nyata dan mengganggu, yaitu:
a. Gangguan lambung dan usus semakin nyata; misalnya keluhan
“maag”(gastritis), buang air besar tidak teratur (diare);
b. Ketegangan otot-otot semakin terasa;
c. Perasaan ketidaktenangan dan ketegangan emosional semakin meningkat;
d. Gangguan pola tidur (insomnia), misalnya sukar untuk mulai masuk tidur
(early insomnia), atau terbangun tengah malam dan sukar kembali tidur
(middle insomnia), atau bangun terlalu pagi atau dini hari dan tidak dapat
kembali tidur (Late insomnia); 5) Koordinasi tubuh terganggu (badan
terasa oyong dan serasa mau pingsan).
Pada tahapan ini seseorang sudah harus berkonsultasi pada dokter untuk
memperoleh terapi, atau bisa juga beban stres hendaknya dikurangi dan tubuh
memperoleh kesempatan untuk beristirahat guna menambah suplai energi yang
mengalami defisit.
Stres Tahap IV
Gejala stres tahap IV, akan muncul:
3.1 Untuk bertahan sepanjang hari saja sudah terasa amat sulit;
3.2 Aktivitas pekerjaan yang semula menyenangkan dan mudah diselesaikan
menjadi membosankan dan terasa lebih sulit;
3.3 Yang semula tanggap terhadap situasi menjadi kehilangan kemampuan
untuk merespons secara memadai (adequate);
16
3.4 Ketidakmampuan untuk melaksanakan kegiatan rutin sehari-hari;
3.5 Gangguan pola tidur disertai dengan mimpi-mimpi yang menegangkan,
Seringkali menolak ajakan (negativism) karena tiada semangat dan
kegairahan;
3.6 Daya konsentrasi daya ingat menurun;
3.7 Timbul perasaan ketakutan dan kecemasan yang tidak dapat dijelaskan apa
penyebabnya.
Stres Tahap V
Bila keadaan berlanjut, maka seseorang itu akan jatuh dalam stres tahap V,
yang ditandai dengan hal-hal sebagai berikut:
a. Kelelahan fisik dan mental yang semakin mendalam (physical dan
psychological exhaustion);
b. Ketidakmampuan untuk menyelesaikan pekerjaan sehari-hari yang ringan
dan sederhana;
c. Gangguan sistem pencernaan semakin berat (gastrointestinal disorder);
d. Timbul perasaan ketakutan, kecemasan yang semakinmeningkat, mudah
bingung dan panik.
Stres Tahap VI
Tahapan ini merupakan tahapan klimaks, seseorang mengalami serangan
panik (panic attack) dan perasaan takut mati. Tidak jarang orang yang mengalami
stres tahap VI ini berulang dibawa ke Unit Gawat Darurat bahkan ICCU, meskipun
pada akhirnya dipulangkan karena tidak ditemukan kelainan fisik organ tubuh.
Gambaran stres tahap VI ini adalah sebagai berikut:
1. Debaran jantung teramat keras;
2. Susah bernapas (sesak dan megap-megap);
3. Sekujur badan terasa gemetar, dingin dan keringat bercucuran;
4. Ketiadaan tenaga untuk hal-hal yang ringan;
5. Pingsan atau kolaps (collapse).
Bila dikaji maka keluhan atau gejala sebagaimana digambarkan di atas lebih
didominasi oleh keluhan-keluhan fisik yang disebabkan oleh gangguan faal
17
(fungsional) organ tubuh, sebagai akibat stresor psikososial yang melebihi
kemampuan seseorang untuk mengatasinya.
2.3 Kerangka Teori
BAB III
KERANGKA KONSEP PENELITIAN
3.1 Kerangka Konsep
18
Ego Oriented Reaction
Denial
Projeksi
Regresi
Displacement
Mencari dukungan
Spiritual
Sosial
Reframing
Task Oriented Reaction
Agresif
Menarik diri
Kompromi
Perubahan Kondisi fisik
Penurunan fungsi organ
Perubahan Seksual
Perubahan kognitif
Proses belajarPersepsiPemahamanPengertianPerhatianMemori
Pekerjaan
Masalah keuangan
Masalah kesehatan
Perubahan Sosial dalam masyarakat
Keluarga
Lingkungan
Perubahan Psikomotor
Gerakan
Koordinasi
Lansia
STRESSOR
Keluarga
Pekerjaan
Keuangan
LANSIA COPING
EGOTASK
3.2 Variabel Penelitian
Dependent/ tergantung : lansia yang pensiunBebas :
- umur- jenis kelamin- coping- pekerjaan - pendidikan- finansial- keluarga- fungsional tubuh
4.1 Definisi Operasional
Tabel 1. Definisi Operasional
No Variabel DefinisiAlat Ukur
dan Cara Ukur
Hasil UkurSkala Ukur
Kepustakaan
1. UmurUsia responden saat dilakukan penelitian.
Kuesioner
Cara Ukur: Wawancara
Umur > 60 tahun Nominal
2.Jenis
Kelamin
Ciri atau karakteristik yang menunjukkan bahwa seseorang adalah laki-laki atau perempuan.
Kuesioner
Cara Ukur:Wawancara
1. Laki-laki2. Perempuan
Nominal
3. CopingBentuk mekanisme pertahanan diri.
Kuesioner
Cara Ukur:Wawancara
1. Coping2. Tidak coping
Nominal
4. PekerjaanPekerjaan terakhir responden sebelum pensiun.
Kuesioner
Cara Ukur:Wawancara
1. PNS2. Pegawai swasta3. Wiraswasta4. Buruh/karyawan
Nominal
19
5. Pendidikan
Tingkat pendidikan formal terakhir yang diselesaikan responden.
Kuesioner
Cara Ukur: Wawancara
1. Pendidikan rendah (Tidak sekolah, SD, SLTP)
2. Pendidikan sedang (SMU)
3. Pendidikan tinggi (Akademi, Universitas)
Nominal
6. Finansial Kondisi keuangan.
Kuesioner
Cara Ukur: Wawancara
1. Lebih2. Cukup3. Kurang
Nominal
7. Keluarga
Anggota rumah tangga yang saling berhubungan melalui pertalian darah/perkawinan.
Kuesioner
Cara Ukur: Wawancara
1. Merawat2. Tidak merawat
Nominal WHO
8.Fungsional
tubuh
Kemampuan tubuh untuk melaksanakan aktivitas.
Kuesioner
Cara Ukur: Wawancara
1. aktif2. kurang aktif
Nominal
BAB IV
METODE PENELITIAN
20
4.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian purposif kualitatif yang menggunakan metode
survei dengan pendekatan cross-sectional atau pendekatan rancangan potong silang
untuk mengetahui stres dan coping lansia pada masa pensiun.
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
4.2.1 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di puskesmas Tebet, Jakarta Selatan yang terdiri dari
subjek yang tinggal di Kelurahan Manggarai Selatan. Pemilihan populasi di
daerah ini karena populasi lanjut usia di daerah ini dianggap mampu
mewakili keadaan lansia secara keseluruhan di samping kondisi
masyarakatnya yang cukup padat.
4.2.2 Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan dari Juli 2012.
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian
4.3.1 Populasi Penelitian
Populasi penelitian ini adalah lansia berumur lebih dari 60 tahun yang sudah
pensiun sebanyak dari 130 orang lansia di Kelurahan Manggarai Selatan,
Jakarta Selatan per tahun 2012.
4.3.2 Kriteria inklusi dan eksklusi
Kriteria inklusi lansia:
Berusia lebih dari 60 tahun dengan riwayat pensiun.
Lansia bersedia berpartisipasi dalam penelitian.
Kriteria eksklusi lansia:
Lansia dengan gangguan jiwa.
Lansia dengan gangguan pendengaran.
Lansia dengan gangguan bicara.
21
4.3.3 Sampel Penelitian
Sampel penelitian diambil sebanyak 32 orang lansia dari jumlah populasi
penelitian lansia sebanyak dari 130 orang lansia yang berumur lebih dari 60
tahun yang sudah pensiun di Kelurahan Manggarai Selatan, Jakarta Selatan
per tahun 2012.
4.5.1 Instrumen penelitian
Instrumen penelitian diambil dengan menggunakan wawancara langsung
menggunakan kuisioner.
4.5 Pelaksanaan Penelitian dan Pengumpulan Data
22
Peneliti mengajukan Proposal
Proposal disetujui
Peneliti ke Kelurahan Manggarai Selatan sewaktu sesi posyandu
lansia
Peneliti mengumpulkan data dengan wawancara
Peneliti mengumpulkan data
Peneliti mengolah dan menganalisis data
Penyajian data dalam bentuk presentasi
4.5.1 Data Primer
Data yang diperoleh dengan cara langsung yaitu dengan menggunakan alat
bantu berupa kuesioner kepada lanjut usia yang mengikuti posyandu lansia.
Daftar pertanyaan yang digunakan adalah pertanyaan yang berkaitan dengan
variabel yang diteliti.
4.7 Rencana Manajemen dan Analisis Data
Data yang telah berhasil diperoleh diolah secara elektronik setelah melalui
proses penyuntingan, pemindahan data ke komputer dan tabulasi. Data yang
terkumpul dari hasil kuesioner diolah, dianalisis.
Analisis Univariat
Dilakukan secara deskriptif masing-masing variabel dengan analisis pada
distribusi frekuensi.
4.7 Penyajian Data
Data yang telah terkumpul dan diolah akan disajikan dalam bentuk:
Tabular : penyajian data hasil penelitian dengan menggunakan tabel
Tekstular : penyajian data hasil penelitian dengan menggunakan kalimat
Grafik : penyajian data hasil penelitian dengan menggunakan diagram
batang yang menggambarkan sifat-sifat yang dimiliki.
DAFTAR PUSTAKA
1. Samino. Sikap Hidup Dihari Senja. Jakarta: Salemba Medika; 2010. p. 20.
2. Nugroho W. Perawatan Lansia. Jakarta: EGC; 2008. p. 15.
3. Wirakusuma. Tetap bugar Di Usia Lanjut. Jakarta: EGC; 2008. p. 25.
4. Kuntjoro. Memahami Mitos dan Realita Tentang Lansia. Available at
http://www.e-psikologi.com/usia/lansia.html. Accessed on 23th July 2011.
23
5. Hidayat. Model Konsep dan Teori Keperawatan. Jakarta: EGC; 2004. p. 52-3.
6. Suliswati. Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC; 2007. p.
34-6.
7. Indriana Y, Kristinaa IF, Sonda AA, Intanirian A. Tingkat Stress Lansia di Panti
Wredha Pucang Gading, Semarang. Jurnal Fakultas Psikologi Universitas
Diponegoro 8:2;87-91.
8. Stuart GW, Sundeen SJ. Principles & Practices of Psychiatric Nursing. 6th Ed. St.
Louis Washington DC.
9. Lazarus RS, Folkman S. Stress, Appraisal, and Coping. New York.
10. Souza-Talarico JN, Chaves EC, Nitrini R, Caramelli P. 2009. Stress and coping
in older people with Alzheimer´s disease. J Clin Nurs. 18(3):457-65
11. Oniye AO. Retirement stress and Management Strategies Among Retired Civil
Servants in Kwara State. Counselling Implications and Interventions.
International Journal of Educational Management.
12. Schnurr, Lunney PP, Sengupta, Anjana, Avron. A Longitudinal Study of
Retirement in Older Male Veterans. Journal of Consulting and Clinical
Psychology. June 2005. 561-6.
13. Mein G, Higgs P, Ferrie, Stansfeld. Paradigm of Retirement: The importance of
Health and Ageing in the Whitehall Study. Departement of Epidermiology and
Public Health, University College London.
24
Top Related