USUL PENELITIAN
DOSEN MUDA
HUBUNGAN INDEKS INFEKSI TRANSOVARIAL VIRUS DENGUE
PADA NYAMUK Aedes aegypti DENGAN ANGKA INSIDENSI DEMAM
BERDARAH DENGUE
Studi Epidemiologi pada Penderita Kasus Baru dan Kasus Lama di Kota
Semarang
Oleh :
dr. Menik Sahariyani
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2010
1
HALAMAN PENGESAHAN
1. Judul Penelitian : Hubungan Indeks Infeksi Transovarial Virus
Dengue pada Nyamuk Aedes aegypti dengan Angka Insidensi Demam Berdarah Dengue (Studi Epidemiologi pada Penderita Kasus Baru dan Kasus Lama di Kota Semarang)
2. Bidang Penelitian : Kesehatan3. Peneliti
a. Nama Lengkap : Dr. Menik Sahariyanib. Jenis Kelamin : Perempuanc. NIP : 2010103074d. Disiplin Ilmu : Kedokteran e. Pangkat/Golongan : III b/Penata Mudaf. Jabatan : Asisten Ahlig. Fakultas/Jurusan : Kedokteran/Kedokteran Umumh. Alamat : Fakultas Kedokteran Universitas Islam
Sultan Agung Jl. Raya Kaligawe Km. 4 Semarang-50012
i. Telepon/Faks/E-mail: 024-6583584 / 024-6582455 j. Alamat Rumah : Jl. Jangli no. 2 D Semarang-50255k. Telepon/Faks/E-mail : 024-8317362 / [email protected]
4. Jumlah Anggota Peneliti : -5. Lokasi Penelitian : Kota Semarang dan Laboratorium
Parasitologi FK UNISSULA
6. Jumlah biaya diusulkan : Rp. 10.000.000,- (Sepuluh juta rupiah)
Semarang, 18 Maret 2010
Mengetahui, Peneliti,Dekan FK UNISSULA Semarang
Dr. dr. H. Taufiq R. Nasihun, M.Kes, Sp.And dr. Menik Sahariyani
Menyetujui,Ketua Lembaga Pengembangan Ilmu dan Pengabdian Masyarakat
2
Dr. H. Djauhari, SH, M.HumBab 1. Pendahuluan
Demam Berdarah Dengue (DBD) masih menjadi masalah kesehatan
hampir di seluruh dunia karena daerah endemis makin bertambah dan
daerah terkena wabah semakin luas (WHO, 1998). Penyakit ini juga masih
menjadi masalah prioritas di Indonesia karena sejak tahun 1968 sampai
sekarang insidensinya cenderung terus meningkat dan wilayah terjangkit
makin luas (Kandun, 2005). Angka insiden atau Incidence Rate (IR) DBD
dari tahun 2003 – tahun 2007 meningkat secara signifikan, namun
menurun pada tahun 2008. Meskipun demikian penurunan tersebut masih
menunjukkan angka relatif yang tinggi dibandingkan tahun-tahun
sebelumnya (Depkes RI, 2009).
Jawa Tengah termasuk dalam 11 propinsi yang dilanda KLB DBD
tahun 2006 dan 2007 (Depkes RI, 2008). Kota Semarang termasuk dalam
3 kota/kabupaten dengan IR tertinggi di propinsi Jawa Tengah pada KLB
tahun 2006 dengan IR 12,39 per-100.000 penduduk (Dinkes Jateng, 2007).
Jumlah kasus DBD di Kota Semarang pada tahun 2007 meningkat secara
signifikan dibanding dengan tahun 2006 dari 1.845 kasus menjadi 2.924
kasus. IR DBD pada tahun 2007 meningkat mencapai 19,64 per-100.000
penduduk. Jumlah kelurahan endemis DBD juga meningkat dari 143
kelurahan di tahun 2006 menjadi 154 kelurahan pada tahun 2007.
Kelurahan non endemis sebanyak 22 kelurahan dan tidak ada kelurahan
bebas DBD (Dinkes Kota Semarang, 2008).
Demam Berdarah Dengue menimbulkan kepanikan masyarakat karena
penyebarannya cepat dan dapat menyebabkan kematian (Depkes RI,
2008). Dampak ekonomi akibat DBD menyebabkan penderita dewasa atau
anak-anak yang mengalami rawat inap di rumah sakit terbebani oleh
adanya biaya langsung, seperti biaya rumah sakit dan obat, serta biaya tak
langsung, seperti transportasi dari rumah ke rumah sakit dan tidak bisa
3
mencari nafkah. Aktivitas penderita dewasa atau orang tua yang
menunggui anaknya juga terganggu (WHO, 1998).
Penyebab penyakit DBD adalah 4 serotipe virus Dengue yang dikenal
dengan DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 (Gubler, 1998). Vektor utama
penular penyakit ini adalah nyamuk Aedes aegypti betina, sedangkan
nyamuk Aedes albopictus masih terbukti sebagai vektor potensial (Sunarto
dkk., 1979). Penularan DBD dapat melalui transmisi horisontal maupun
transmisi vertikal atau transovarial (WHO, 1998). Transmisi transovarial
menyebabkan ancaman wabah DBD meningkat karena indeks penularan
transovarial makin tinggi pada nyamuk yang menetas dari telur yang lebih
lama tersimpan dalam suhu kamar akibat embrio mempunyai peluang
lebih lama untuk propagasi (Mourya & Joshi, 2002).
Umniyati (2004) membuktikan adanya penularan transovarial virus
Dengue pada nyamuk Aedes aegypti pasca KLB DBD 2004 di daerah
endemis di Kelurahan Klitren dan Terban Kecamatan Gondokusuman
Yogyakarta sebesar 27,27% dari habitat larva di sumur dan 20% dari
habitat larva di bak mandi dengan menggunakan metode imunositokimia
SPBC (Streptavidin-Biotin-Peroxidase-Complex) dengan antibodi
monoklonal DSSC7 sebagai antibodi primer yang memperlihatkan reaksi
positif antigen Dengue pada sediaan head squash. Yusuf dengan metode
yang sama juga membuktikan adanya penularan transovarial virus Dengue
pada nyamuk Aedes spesies bukan hanya di daerah endemis tinggi DBD,
tetapi juga di daerah endemis rendah DBD di Kota Semarang (Yusuf dkk.,
2007). Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut maka perlu dilakukan
penelitian lebih lanjut untuk mengetahui hubungan antara indeks infeksi
transovarial virus Dengue pada nyamuk Aedes aegypti dengan angka
insidensi Demam Berdarah Dengue di Kota Semarang.
Bab 2. Perumusan Masalah
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, maka
penelitian ini dilakukan untuk menjawab masalah apakah terdapat
4
hubungan antara indeks infeksi transovarial virus Dengue pada nyamuk
Aedes aegypti dengan angka insidensi Demam Berdarah Dengue di Kota
Semarang?
Bab 3. Tinjauan Pustaka
1. Insidensi Demam Berdarah Dengue
Incidence Rate (IR) atau angka insidensi DBD di Indonesia dalam 5
tahun terakhir meningkat secara signifikan. Angka tersebut terus
merangkak naik dari level 23,87 per 100.000 penduduk pada tahun 2003
hingga mencapai 71,78 per 100.000 penduduk pada tahun 2007, namun
pada tahun 2008 angkanya menurun menjadi 60,06 per-100.000 penduduk.
Penurunan tersebut masih menunjukkan angka relatif yang tinggi
dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Penurunan angka insiden diikuti
juga dengan penurunan angka kematian (CFR) sampai level 0,86%
(Depkes RI, 2009).
Interaksi antara suhu dan turunnya hujan adalah determinan penting
dari penularan DBD. Makin dingin suhu akan mempengaruhi ketahanan
hidup nyamuk dewasa, sehingga mempengaruhi laju penularan. Pola
makan dan reproduksi nyamuk yang berhubungan dengan peningkatan
kepadatan populasi nyamuk juga dipengaruhi oleh turunnya hujan dan
suhu (WHO, 1998). Pola demikian juga terjadi di Indonesia, dimana awal
musim penularan DBD biasanya terjadi pada awal musim hujan, yaitu
bulan Oktober. Puncak kasus DBD terjadi pada bulan Maret, namun di
perkotaan terjadi pada bulan April – Mei, dimana merupakan permulaan
musim kemarau tiap tahun di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya,
Yogyakarta, dan Bandung. Beberapa kota di Indonesia memperlihatkan
adanya dua puncak, yaitu pada musim hujan dan musim kemarau
(Kusriastuti, 2005).
Kota Semarang mempunyai luas wilayah sebesar 373,70 km2 yang
terbagi dalam 16 kecamatan dan 177 kelurahan. Kecamatan Mijen (57,55
km2) dan Kecamatan Gunungpati (54,11 km2) merupakan wilayah
5
kecamatan yang paling luas, dimana sebagian besar wilayahnya berupa
persawahan dan perkebunan. Kecamatan dengan luas terkecil adalah
Semarang Selatan (5,93 km2) dan kecamatan Semarang Tengah (6,14
km2), dimana sebagian besar wilayahnya berupa pusat perekonomian dan
bisnis Kota Semarang, seperti bangunan toko atau mal, pasar, perkantoran
dan sebagainya (Dinkes Kota Semarang, 2008).
Gambar 1. Peta wilayah endemisitas Demam Berdarah Dengue di Kota Semarang (Dinkes Kota Semarang, 2009).
Kejadian Luar Biasa (KLB) DBD pada tahun 2006 dan 2007 terjadi di
propinsi Jawa Tengah, dimana kota Semarang termasuk dalam 3
kota/kabupaten dengan IR tertinggi pada KLB tahun 2006, yaitu 12,39
per-10.000 penduduk (Dinkes Jateng, 2007; Depkes RI, 2008). Jumlah
kasus DBD di Kota Semarang pada tahun 2007 meningkat secara
signifikan dibanding dengan tahun 2006, sedangkan jumlah kelurahan
yang mengalami endemis juga meningkat dari 143 kelurahan pada tahun
2006 menjadi 154 kelurahan pada tahun 2007. Kelurahan yang non
endemis sebanyak 22 kelurahan dan tidak ada kelurahan yang bebas DBD
(Dinkes Kota Semarang, 2008). Kusriastuti (2005) menyebutkan bahwa
KLB ternyata tidak hanya terjadi di daerah endemis, namun juga di daerah
6
non endemis. Hal ini disebabkan karena kemungkinan besar daerah non
endemis luput dari pengamatan dan intensifikasi program pemerintah.
2. Vektor nyamuk Aedes aegypti
Aedes aegypti (Ae. aegypti) merupakan vektor utama penyakit Demam
Berdarah Dengue (DBD) dan merupakan spesies nyamuk tropis dan
subtropis yang ditemukan di dunia. Spesies nyamuk tersebut terdapat
hampir di seluruh pelosok Indonesia, kecuali tempat-tempat dengan
ketinggian lebih dari 1000 meter di atas permukaan laut (WHO, 1998).
Siklus hidup Ae. aegypti sama seperti nyamuk lainnya dimana
mengalami metamorfosis sempurna (holometabola), yaitu stadium telur,
stadium larva, stadium pupa, dan stadium dewasa. Stadium telur, larva,
dan pupa membutuhkan air untuk hidup, sedangkan stadium dewasa hidup
di udara (Soedarto, 1995). Telur nyamuk Ae. aegypti diletakkan di
sepanjang tepi dari air atau di dinding tempat perkembangbiakannya. Masa
inkubasi telur atau perkembangan embrionya berlangsung selama 2 – 3
hari. Telur akan tahan terhadap kekeringan selama beberapa bulan, namun
bila terendam air maka akan segera menetas menjadi larva (Pant & Self,
1993; Soedarto, 1995).
Larva mengalami pertumbuhan dan pergantian kulit sebanyak 4 kali
menjadi larva instar I sampai dengan larva instar IV dalam 6 – 8 hari
(Hoedojo, 2003). Waktu perkembangan dan pertumbuhan larva
dipengaruhi oleh temperatur, ketersediaan makanan dan kepadatan larva
pada kontainer tempat hidupnya (Pant & Self, 1993; Service, 1996). Larva
instar IV akan mengalami pupation yang selanjutnya akan berkembang
menjadi pupa. Stadium pupa berlangsung antara 2 – 3 hari, namun dapat
juga sampai 9 – 12 hari atau lebih pada daerah yang bersuhu rendah
(Service, 1996).
Nyamuk dewasa yang keluar dari pupa kemudian akan beristirahat
pada dinding tempat perkembangbiakannya selama beberapa jam untuk
menguatkan rangka luar dan sayapnya. Nyamuk jantan dan nyamuk betina
akan kawin sekitar 24 jam setelah menetas, kemudian diikuti aktivitas
7
nyamuk betina yang mengisap darah untuk mendapatkan nutrisi bagi
perkembangan telurnya. Nyamuk betina yang gravid akan segera mencari
tempat yang sesuai untuk meletakkan telurnya (Pant & Self, 1993; Service,
1996).
Distribusi nyamuk Ae. aegypti sangat luas, dimana mencakup daerah
Asia Tenggara, Pasifik Barat, Afrika, dan benua Amerika. Nyamuk ini
bersifat antropofilik dan hanya nyamuk betina yang mengisap darah.
Nyamuk Ae. aegypti mempunyai kebiasaan menggigit dan mengisap darah
pada siang hari (diurnal) dan sore hari, dengan waktu puncak
menggigitnya terutama pada jam 08.00 – 13.00 dan jam 15.00 – 17.00
(Pant & Self, 1993).
Tempat perkembangbiakan nyamuk Ae. aegypti yaitu tempat yang
berisi air bersih dan biasanya di sekitar rumah, seperti pot bunga, ban
mobil bekas, ember, dan sampah-sampah seperti kaleng dan botol yang
berisi air hujan, serta kontainer tempat menyimpan air, seperti tempayan,
gentong, drum, bak mandi, bak semen, bahkan di septic tanks (Gubler,
1998). Nyamuk juga dapat berkembangbiak di tempat-tempat alamiah
seperti kelopak daun tanaman, tempurung kelapa, serta tonggak bambu
dan lubang pohon yang berisi air hujan (Djakaria, 2003).
Nyamuk Aedes spp mampu terbang sejauh 2 km, tetapi biasanya jarak
terbangnya hanya berkisar antara 40 – 100 meter dari tempat
perkembangbiakannya. Sifat yang khas ini dapat dijadikan pedoman dalam
program pengendalian vektor DBD, dimana vektor tidak akan berada jauh
dari lokasi penderita DBD. Nyamuk Ae. aegypti beristirahat pada semak-
semak atau tanaman rendah termasuk rerumputan yang terdapat di kebun
atau pekarangan rumah, benda-benda yang tergantung di dalam rumah
seperti pakaian, sarung, kopiah, dan sebagainya (Djakaria, 2003).
3. Penularan Virus Dengue
Virus Dengue termasuk Arbovirus yaitu virus yang ditularkan oleh
artropoda, dalam hal ini adalah nyamuk Ae. aegypti. Virus ini termasuk
famili Flaviviridae, dimana dengan metode serologi dapat dibedakan
8
menjadi 4 serotipe, yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Infeksi
pada manusia oleh salah satu serotipe menghasilkan imunitas sepanjang
hidup terhadap infeksi ulang oleh serotipe yang sama, namun terhadap
serotipe yang lain hanya menjadi perlindungan sementara dan parsial.
Virus Dengue merupakan virus dengan genom RNA rantai tunggal. Virus
Dengue merupakan partikel sferis yang dikelilingi nukleokapsid berbentuk
ikosahedral dan terbungkus oleh lapisan lipid sedalam 10 nm, sehingga
diameter virionnya sekitar 50 nm. Selubung virion berperan dalam
fenomena aglutinasi, netralisasi, dan interaksi antara virus dengan sel saat
awal infeksi (Henchal & Putnak, 1990; WHO, 1998).
Penularan atau transmisi virus Dengue dapat secara horisontal dengan
melalui vertebra infektif dan nyamuk, maupun secara vertikal atau
transovarial pada nyamuk (Halstead, 1990). Penularan horisontal pada
nyamuk Ae. aegypti dapat berlangsung di hutan (sylvan cycle) dengan
monyet sebagai inangnya dan di perkotaan (urban cycle) dengan manusia
sebagai inangnya. Penularan dapat terjadi apabila manusia digigit oleh
nyamuk Ae. aegypti betina yang terinfeksi virus Dengue dari manusia lain
yang di dalam darahnya mengandung virus Dengue (Halstead, 1990;
Gubler, 1998).
Penularan transovarial atau vertikal terjadi tanpa adanya perantara
inang. Mekanisme transmisi transovarial Arbovirus pada nyamuk menurut
Leake (1984) ada 3 macam, yaitu : a). Nyamuk betina yang belum
terinfeksi mengisap darah inang viremik, kemudian virus mengalami
replikasi dalam nyamuk. Telur yang terinfeksi tersebut menghasilkan larva
yang infeksiosa, b). Nyamuk betina yang belum terinfeksi kawin dengan
nyamuk jantan yang terinfeksi secara transovarial. Selama nyamuk kawin
terjadi penularan secara seksual yang berakibat ovarium nyamuk betina
terinfeksi virus, c). Jaringan ovarium nyamuk betina mengalami infeksi
virus dan kondisi ini terpelihara sampai generasi berikutnya secara
genetik.
9
Virus Dengue secara eksperimental pernah terbukti dapat ditransfer
dari induk yang terinfeksi ke kapsula dan sel telurnya. Virus tersebut juga
dapat diisolasi dari larva dan nyamuk generasi berikutnya (Rosen dkk.,
1983). Penemuan yang dilakukan oleh Khin dan Than (1983)
menyebutkan bahwa terdapat transmisi transovarial dari virus Dengue
secara alamiah di Birma, dimana virus diinokulasi dari larva nyamuk Ae.
aegypti.
Penelitian lain menunjukkan bahwa nyamuk yang telah terinfeksi
secara transovarial dapat menularkan virus secara oral. Penelitian ini juga
menunjukkan bahwa bila telur yang diperoleh dari betina infektif
ditetaskan pasca masa inkubasi selama beberapa minggu di ruangan
bertemperatur kamar maka persentase penularan transovarialnya akan
meningkat. Ini menunjukkan bahwa pada temperatur kamar virus
mempunyai kesempatan untuk memperbanyak diri dan meningkatkan
jumlah kopinya selama dalam fase embrional di dalam telur (Mourya &
Joshi, 2002). Penularan transovarial dapat berlangsung sampai generasi
ketujuh dari nyamuk yang telah diinfeksi oleh virus Dengue secara
parenteral (Joshi dkk., 2002).
4. Deteksi Virus Dengue
Metode imunofluoresensi pada sediaan head squash nyamuk
merupakan metode pendeteksian antigen Dengue yang pertama kali
dikembangkan oleh Rosen dan Gubler (1974). Antigen Dengue terdeteksi
secara mikroskopis di bawah mikroskop fluoresen sebagai granula
fluoresen yang menyebar di jaringan otak ataupun sebagai cincin
fluoresen di bagian sitoplasma sel dengan menggunakan metode ini
(Rosen & Gubler, 1974).
Beberapa tahun terakhir ini beberapa metode baru pendeteksian virus
Dengue telah dikembangkan. Metode-metode tersebut terbukti berguna
untuk diagnosis Dengue. RT-PCR (Reverse Transcriptase-Polymerase
Chain Reaction) dan imunositokimia SBPC (Streptavidin-Biotin-
Peroxidase-Complex) adalah diantaranya (WHO, 1998).
10
Metode imunositokimia SBPC menggunakan antibodi sekunder yang
dilabel biotin dimana dapat mengenal antibodi primer, baik berupa
antibodi monoklonal ataupun antibodi poliklonal. SBPC menggunakan
konjugat streptavidin yang dilabel enzim horseradish peroxidase dan
campuran substrat kromogen untuk mendeteksi antigen pada sel atau
jaringan. Sensifitas metode ini sangat tinggi sehingga antigen dengan
kadar rendah pun dapat terdeteksi. Dasar utama reaksi SBPC adalah
ikatan yang sangat kuat antara streptavidin dengan biotin. Hasil positif
dari metode imunositokimia SBPC ditunjukkan dengan adanya warna
coklat pada irisan jaringan yang intensitas warnanya tergantung dari
jumlah kromogen yang bereaksi dengan enzim peroksidase (Anonim,
2005).
Metode imunositokimia SBPC dengan menggunakan antibodi
monoklonal DSSC7 telah terbukti dapat mendeteksi virus Dengue pada
sediaan head squash nyamuk Ae. aegypti. Hasil sensitivitas tes diagnostik
tersebut adalah 79,31%, sedangkan spesifitasnya adalah 90,9%. Uji
kesahihan dan keterhandalan menunjukkan bahwa hasil pemeriksaan
mikroskopis pada perbesaran 400x terhadap antigen Dengue berdasarkan
imunositokimia SBPC dengan menggunakan antibodi monoklonal DSSC7
sebagai antibodi primer adalah sahih dan handal (Umniyati, 2009).
Bab 4. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk membuktikan dan mengetahui :
a. Indeks infeksi transovarial virus Dengue pada nyamuk Aedes
aegypti di daerah endemis tinggi Demam Berdarah Dengue Kota
Semarang
b. Indeks infeksi transovarial virus Dengue pada nyamuk Aedes
aegypti di daerah endemis sedang Demam Berdarah Dengue Kota
Semarang
11
c. Indeks infeksi transovarial virus Dengue pada nyamuk Aedes
aegypti di daerah endemis rendah Demam Berdarah Dengue Kota
Semarang
d. Indeks infeksi transovarial virus Dengue pada nyamuk Aedes
aegypti di daerah non endemis Demam Berdarah Dengue Kota
Semarang
e. Hubungan antara indeks infeksi transovarial virus Dengue dan
angka insidensi Demam Berdarah Dengue di Kota Semarang
Bab 5. Metode Penelitian
1. Desain Penelitian
Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian analitik cross
sectional.
2. Populasi dan Sampel Penelitian
a. Populasi
Subyek penelitian ini adalah nyamuk Ae. aegypti dari tetasan telur
nyamuk Aedes spesies yang dijumpai di wilayah kelurahan endemis DBD
dan non endemis DBD di Kota Semarang, berdasarkan data kasus lama
dan kasus baru penderita DBD. Pengambilan sampel telur nyamuk
menurut Mardihusodo dkk. (2007) dengan cara setiap lokasi kasus DBD
dipasang 30 buah ovitrap pada 15 rumah dalam radius 100 meter di
sekitar titik utama dimana pernah terdapat kasus DBD. Ovitrap dipasang
di dalam rumah dan di luar rumah. Telur yang didapat kemudian
ditetaskan dan dipelihara di Laboratorium Parasitologi Fakultas
Kedokteran Universitas Islam Sultan Agung (FK-UNISSULA) Semarang
sampai menjadi nyamuk pada sangkar yang berbeda menurut lokasi
penelitiannya.
Kriteria inklusi sampel yaitu nyamuk Ae. aegypti dalam keadaan
hidup sebelum dimatikan dan nyamuk belum pernah mengisap darah.
Kriteria eksklusinya yaitu morfologi nyamuk tidak utuh.
b. Sampel
12
Bailey menyatakan bahwa untuk penelitian yang menggunakan
analisis data statistik, ukuran sampel yang paling minimum adalah 30. Gay
berpendapat bahwa ukuran minimum sampel yang dapat diterima
berdasarkan pada metode penelitian yang digunakan yaitu metode
deskriptif korelasional minimal 30 subyek (Hasan, 2002).
Sampel didapatkan dari 3 daerah domisili pasien kasus DBD baru dan
3 daerah domisili pasien kasus DBD lama di daerah endemis tinggi, 3
daerah domisili pasien kasus DBD baru dan 3 daerah domisili pasien kasus
DBD lama di daerah endemis sedang, 3 daerah domisili pasien kasus DBD
baru dan 3 daerah domisili pasien kasus DBD lama di daerah endemis
rendah, serta 3 wilayah non endemis DBD di Kota Semarang. Masing-
masing lokasi atau wilayah diambil sampel sebanyak 30 subyek. Jumlah
keseluruhan sampel pada penelitian ini adalah 630 subyek.
3. Variabel Penelitian
a. Variabel bebas : Indeks transmisi transovarial virus Dengue
b. Variabel tergantung : Angka insiden Demam Berdarah Dengue
4. Instrumen Penelitian
Bahan dan alat yang digunakan pada penelitian lapangan yaitu untuk
mengumpulkan atau koleksi telur nyamuk Aedes spesies. Bahan dan alat
tersebut meliputi gelas plastik atau gelas kaca isi 250 ml dicat hitam pada
bagian luarnya sebagai perangkap telur (ovitrap), kertas saring dipotong
ukuran 5 cm x 20 cm sebagai ovistrip, dan kertas label penanda ovitrap.
Bahan dan alat penelitian laboratorium yang digunakan untuk
kolonisasi nyamuk Ae. aegypti meliputi tray atau nampan plastik ukuran
(20 x 12,5 x 5) cm, sangkar nyamuk ukuran (35 x 35 x 35) cm3, kertas
label, gelas plastik, pipet plastik, pakan hati ayam, larutan gula 10%
(Mardihusodo, 1993).
Bahan dan alat penelitian laboratorium untuk mendeteksi antigen
Dengue pada nyamuk Ae. aegypti dengan metode imunositokimia SBPC
yang dibakukan oleh Umniyati (2004). Bahan dan alat tersebut meliputi
nyamuk Ae. aegypti dari sampel telur nyamuk Aedes sp dari lokasi
13
penelitian yang telah ditetaskan di Laboratorium Parasitologi Fakultas
Kedokteran Universitas Islam Sultan Agung (FK-UNISSULA) Semarang,
kaca preparat, kaca penutup preparat ukuran 24 mm x 50 mm, pipet 200
µm dan 10 µm, yellow tip, kertas label, methanol absolute, H2O2 (hidrogen
peroksida), dan Novostain Universal Detection Kit NCL-RTU-D. RTU
Novostain Universal Detection Kit mengandung tiga reagen siap pakai
yang harus disimpan pada suhu 2 – 8 ºC bila tidak sedang digunakan, yaitu
prediluted normal horse serum, prediluted biotynilated secondary
antibody yang mengenal serum kelinci (Imunoglobulin G) dan serum
mencit (Imunoglobulin G dan Imunoglobulin M), dan prediluted
streptavidin peroxidase conjugate.
Bahan lainnya yang perlu disediakan yaitu chromogen counterstain
DAB (diaminobenzidine tetrachloride), kaca preparat yang telah disalut
Poly L Lysin dan ditempatkan pada wadah lembab selama proses inkubasi
misalkan nampan berlapis tisu basah. Preparasi bahan yang dibutuhkan
yaitu : a). Peroxydase blocking solution : satu bagian hidrogen peroksida
30% ditambah sembilan bagian metanol absolut, 2). Phosphat buffer
saline (PBS) BA 0,5% (segar) atau PBS yang mengandung 5% dilute
blocking serum (NCL-H-Serum) untuk mengencerkan antibodi primer, 3).
Antibodi monoklonal anti Dengue komersial 1:200, 4). Satu tablet DAB
diencerkan dengan akuades 15 ml segera sebelum digunakan dengan hati-
hati karena bersifat karsinogenik.
5. Cara penelitian
a. Lokasi penelitian
Lokasi penelitian ditetapkan berdasarkan atas penghitungan
endemisitas dan penderita DBD kasus baru dan kasus lama. Data
endemisitas diambil dari data sekunder Dinas Kesehatan Kota Semarang,
kemudian ditentukan wilayah kelurahan endemis rendah DBD, endemis
sedang DBD, endemis tinggi, dan non endemis DBD. Data penderita
DBD kasus lama dan kasus baru diambil dari data sekunder Dinas
Kesehatan Kota Semarang dan data penderita sesuai kriteria penelitian di
14
beberapa rumah sakit di Kota Semarang. Nama dan alamat penderita
dicatat sebagai pedoman pengambilan sampel telur nyamuk Aedes
spesies. Lokasi titik utama pemasangan ovitrap diambil dari kasus positif
DBD dan Sindrom Syok Dengue (SSD). Penderita DBD dan SSD
diutamakan masih anak (umur di bawah 5 tahun) dengan tujuan untuk
menghindari kasus impor karena mobilitas tinggi pada penderita dewasa.
b. Penelitian Lapangan
Kegiatan mengumpulkan telur nyamuk Aedes spesies menggunakan
perangkap telur (ovitrap). Setiap rumah yang ditentukan dipasang ovitrap
masing-masing dua buah, satu di dalam rumah dan satu lagi di luar rumah.
Pemasangan ovitrap di dalam rumah dilakukan di tempat-tempat yang
diperkirakan berpotensi menjadi tempat bertelurnya nyamuk Ae. aegypti,
seperti di bawah tempat tidur, kamar mandi atau wc, dan dapur. Ovitrap
di luar rumah dipasang di tempat-tempat yang tidak terkena langsung
cahaya matahari dan air hujan. Lama pemasangan ovitrap adalah
seminggu dan dilakukan hanya satu kali selama penelitian di masing-
masing lokasi penelitian. Kertas saring (ovistrip) diperiksa setelah
seminggu pemasangan ovitrap untuk mengetahui adanya telur nyamuk,
kemudian dihitung Ovitrap Index (OI). Telur nyamuk selanjutnya dibawa
ke Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Islam
Sultan Agung (FK-UNISSULA) Semarang.
c. Kolonisasi Nyamuk
Ovistrip kering yang didapatkan dari lapangan direndam dalam
nampan plastik yang berisi air sumur dan diberi label berdasarkan lokasi
pengambilan telur, kemudian dibiarkan selama 1 – 2 hari sampai menetas
menjadi larva. Pemeliharaan larva agar bertahan hidup sampai menjadi
pupa memerlukan pakan hati ayam sebagai makanan larva nyamuk
tersebut. Hari ke-0 larva diberi makan 0,5 gr pakan hati ayam, kemudian
hari pertama sampai hari ke-5 atau sebelum sempurna menjadi pupa diberi
1 gr pakan hati ayam. Sekam yang sering terdapat pada permukaan air
harus segera dibersihkan sebelum larva diberi pakan. Penggantian air
15
dalam nampan sebanyak 2 – 3 kali seminggu. Larva akan menjadi pupa
kira-kira dalam 4 – 5 hari lebih. Proses pengumpulan pupa dari nampan
pembiakan dengan menggunakan pipet dan sebagai wadah pengumpulan
pupa digunakan mangkok plastik atau bisa juga dengan paper cup yang
kemudian diisi air sumur. Mangkok plastik atau paper cup selanjutnya
dimasukkan ke dalam sangkar nyamuk dewasa, sehingga apabila kira-kira
dalam 2 hari pupa menjadi nyamuk dewasa dapat dibedakan dengan
sangkar lainnya. Nyamuk dibiarkan hidup selama seminggu dan sebagai
pertahanan hidup diberi larutan air gula 10% dengan metode sumbu
terbuat dari kapas ke dalam sangkar. Identifikasi spesies dapat dilakukan
pada saat larva instar-4 dan pada stadium imago.
d. Identifikasi Spesies Nyamuk Aedes
Identifikasi berdasarkan perbedaan selongsong larva instar-4 dan
imago. Selongsong larva diambil dengan pipet kemudian diletakkan di
atas kaca preparat dan ditutup dengan kaca penutup. Pemeriksaan
dilakukan di bawah mikroskop binokuler dengan perbesaran 100x.
Sisir pada abdomen segmen ke-8 larva Ae. aegypti khas dengan sisik-
sisik berduri lateral, sedangkan Ae. albopictus sisik-sisiknya tanpa duri.
Bagian mesonotum stadium imago Ae. aegypti terdapat gambaran hitam
putih menyerupai bentuk harpa (lyre shape), sedangkan Ae. albopictus
berupa gambaran pita longitudinal berwarna putih.
e. Pembuatan Preparat Head Squash dan Abdomen Squash
Nyamuk yang telah menetas dari telur dan telah dipelihara sampai
stadium imago diberi pakan gula 10% tanpa diberi kesempatan untuk
mengisap darah sampai umur seminggu, kemudian nyamuk dibunuh
dengan chloroform untuk pembuatan sediaan head squash.
Caput nyamuk dipisahkan dari cervix dengan menggunakan jarum
bedah nyamuk pada kaca preparat. Caput diletakkan di atas kaca preparat
yang lain, kemudian dengan kaca penutup. Tekan-tekan kaca penutup
dengan menggunakan pensil yang ada penghapusnya. Kaca penutup
diambil kemudian dimasukkan ke dalam botol yang berisi alkohol 70%.
16
Jaringan kasar pada kaca preparat diambil kemudian dimasukkan ke
dalam botol yang berisi alkohol 70%. Sediaan dibiarkan mengering pada
suhu kamar kurang lebih selama 30 menit. Preparat difiksasi dengan
aceton dingin di dalam freezer selama 3 – 5 menit kemudian dikeringkan
di laminar flow hood. Sediaan yang telah siap diidentifikasi diberi
pewarnaan, sedangkan yang belum siap diidentifikasi dibungkus dalam
aluminium foil dan disimpan dalam freezer paling lama selama 1 minggu.
f. Pewarnaan
Sediaan head squash yang sudah difiksasi dicuci dengan PBS selama
5 menit di atas shaker, kemudian direndam dalam peroxydase blocking
solution pada suhu kamar selama 5 – 15 menit, kemudian dicuci kembali
dengan PBS selama 5 menit. Reagen serum blocking solution 100 µl
ditambahkan per-preparat dan diinkubasikan selama 10 menit pada suhu
kamar. Antibodi monoklonal spesifik Dengue-3 sebanyak 100 µl per-
preparat berturut-turut ditambahkan pada preparat Ae. aegypti jantan yang
diinfeksi dengan virus Dengue-3 intra torakal sebagai kontrol positif,
sedangkan sebagai kontrol negatif hanya diberi pengencer antibodi (PBS
BA 1%). Preparat head squash ditetesi dengan antibodi monoklonal
spesifik Dengue dengan konsentrasi 1:50. Preparat diinkubasikan pada
nampan lembab pada temperatur kamar selama 60 menit atau semalam di
mesin pendingin (kulkas). Preparat selanjutnya dicuci dengan PBS selama
5 menit.
Biotynilated secondary antibody 100 µl ditambahkan per-preparat,
selanjutnya preparat diinkubasikan pada temperatur kamar selama 30
menit dan dicuci dengan PBS selama 5 menit. Konjugat streptavidin
peroksidase 100 µl ditambahkan per-preparat, kemudian preparat
diinkubasikan pada temperatur kamar selama 30 menit dan dicuci dengan
PBS selama 5 menit.
Campuran substrat kromogen DAB 100 µl ditambahkan per-preparat,
kemudian preparat diinkubasikan pada temperatur kamar selama 3 – 18
menit dan dicuci dengan akuades. Hematoksilin sebanyak 100 µl
17
ditambahkan per-preparat, kemudian preparat diinkubasikan pada
temperatur kamar selama 1 – 3 menit dan kemudian dicuci di bawah air
kran, dicelupkan ke dalam alkohol, dibersihkan, kemudian dicelupkan
kembali ke dalam xylol.
Preparat selanjutnya ditetesi dengan mounting media dan ditutup
dengan kaca penutup. Preparat siap diperiksa di bawah mikroskop setelah
kering dengan perbesaran 40x, 100x, 400x, dan 1000x. Dokumentasi
dengan menggunakan mikroskop yang dilengkapi dengan monitor dan
kamera di Laboratorium Parasitologi FK UNISSULA.
g. Identifikasi Infeksi Transovarial Virus Dengue
Preparat yang memperlihatkan warna coklat berarti positif antigen
Dengue, sedangkan preparat yang menunjukkan warna biru atau pucat
sebagaimana kontrol negatif berarti tidak mengandung antigen Dengue.
Tabel 1. Kriteria tingkatan infeksi Dengue pada sediaan head squash
Aedes sp
Tingkatan Infeksi
Deskripsi Interpretasi
-Tidak ada gambaran coklat kecuali sisik dan jaringan sitinous nyamuk lainnya yang dapat dibedakan dengan sel infeksiosa
Negatif
±Tidak ada gambaran kecoklatan kecuali latar belakang dan sel-sel yang mati yang dapat dibedakan dengan sel infeksiosa
Negatif
+
Butiran-butiran pasir berwarna kecoklatan tersebar di antara jaringan otak , namun hampir tak ada sel yang memperlihatkan warna coklat di bagian sitoplasmanya pada perbesaran 400x
Positif
++
Butiran-butiran pasir semakin menyebar dan ditemukan 1 – 10 sel yang memperlihatkan warna coklat di bagian sitoplasmanya per bidang pandangan pada perbesaran 400x
Positif
+++
Distribusi granul semakin meluas dan ditemukan 10 – 100 sel yang memperlihatkan warna coklat di bagian sitoplasmanya sehingga infeksi dapat dilihat pada perbesaran 100x
Positif
++++
Preparat berwarna kecoklatan seluruhnya dan ditemukan lebih dari 100 sel yang memperlihatkan warna coklat di bagian sitoplasmanya, sehingga dengan mudah dapat dilihat pada perbesaran 100x
Positif
18
6. Analisa data
Perbedaan indeks infeksi transovarial virus Dengue pada nyamuk
Aedes aegypti di daerah endemis tinggi DBD, endemis sedang DBD,
endemis rendah DBD, dan non endemis di Kota Semarang dianalisa
menggunakan uji hipotesis Chi-square dengan interval kepercayaan 95%.
Perbedaan dianggap bermakna bila p < 0,05.
Hubungan antara indeks infeksi transovarial virus Dengue dengan
angka insidensi dianalisis dengan uji korelasi product moment Pearson
dengan diagram pancar.
7. Waktu dan tempat penelitian
a. Waktu : Juli 2010 – Juni 2011
b. Tempat : Laboratorium Parasitologi FK UNISSULA Semarang
Bab 6. Jadwal Pelaksanaan
KegiatanBulan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12Administrasi dan Perijinan
X X
Pengambilan data sekunder
X X X X X
Pemasangan dan pengambilan ovitrap
X X X X X
Penelitian laboratorium
X X X X X X
Pengumpulan data
X
Analisis data XPenulisan laporan
X
Seminar hasil penelitian
X
19
Bab 7. Personalia Penelitian
a. Nama lengkap :
Menik Sahariyani
b. Jenis Kelamin :
Perempuan
c. NIK :
210103074
d. Disiplin Ilmu :
Parasitologi
e. Pangkat/Golongan :
Penata Muda Tk I/IIIb
f. Jabatan fungsional/struktural :
Asisten Ahli
g. Fakultas/Jurusan :
Kedokteran Umum
h. Waktu untuk penelitian : 6
jam/minggu
Bab 8. Perkiraan Biaya Penelitian
NO PENGELUARAN UNIT/JUMLAH HARGA (Rp.)1. Bahan dan alat habis pakai :
Reagen imunositokimia 1 kit 5.000.000 Object glass 10 set 250.000 Object glass poly L lysine
coated10 set 465.000
Blue tip 1 bag 350.000 Yellow tip 1 bag 350.000 Alkohol 70 % 500 cc 250.000 Metanol 250 cc 250.000 Chloroform 250 cc 100.000 Xylol 1 liter 200.000 Mounting media 250 cc 300.000 Eosin 250 cc 200.000 Entellan 1 botol 500.000 Pakan larva Ae. aegypti - 50.000 Kertas saring kasar 30 lembar 100.000 Gelas plastik 1000 buah 200.000
20
Cat hitam 1 kaleng 30.000 Kasa gulung 5 box 5.000 Gloves 1 box 50.000
2. ATK dan perijinan 300.000
3.Perjalanan : Biaya perjalanan 250.000 Konsumsi dan akomodasi 200.000
4.
Laporan penelitian dan seminar :
Penggandaan 100.000
Pengiriman 100.000
Biaya penyelenggaraan dan konsumsi
200.000
Total biaya 10.000.000
Lampiran-lampiran
1. Daftar Pustaka
Anonim. 2005. Histology and Immunocytochemistry. Available at website:
(URL www.hmds.org.uk/histology. html
Budioro, B. 1997. Pengantar Epidemiologi. Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, Semarang.
Depkes RI. 1995. Membina Gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam
Berdarah Dengue (PSN DBD). Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta.
Depkes RI. 2008. Profil Kesehatan Indonesia 2007. Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, Jakarta.
Dinkes Jateng. 2007. Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2006.
Dinas Kesahatan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, Semarang.
Dinkes Kota Semarang. 2008. Profil Kesehatan Kota Semarang Tahun 2007.
Dinas Kesehatan Kota, Semarang.
Dinkes Kota Semarang. 2009. Profil Kesehatan Kota Semarang Tahun 2007.
Dinas Kesehatan Kota, Semarang.
Djakaria, S. 2003. Vektor penyakit virus, riketsia, spiroketa dan bakteri.
Dalam Gandahusada, S., Ilahude, H.D., dan Wita, P. (eds.) Parasitologi
Kedokteran. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
21
Faust, E.C., Russel, P.F., Jung, R.C. 1970. Craig and Faust’s Clinical
Parasitology 8th ed. Lea and Febiger, Philadelphia.
Gionar, R.Y., Rusmiarto, S., Susapto, D., Elyazar, I.R.F., dan Bangs, M.J,
2001, Sumur sebagai Habitat yang Penting untuk Perkembangan
Nyamuk Aedes aegypti L, Bulletin Penelitian Kesehatan, 29(1), 22-30.
Halstead, S.B. 1990. Dengue. In Warren, K.S. and Mahmoud, A.A.F. (eds.)
Tropical and Geographical Medicine. pp 675-685.
Hasan, M.I. 2002. Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian dan
Aplikasinya. Ghalia Indonesia. Jakarta.
Henchal, E.A. and Putnak, J.R, 1990, The Dengue Viruses, Clin. Microbiol.
Rev., 3, 376-396.
Hoedojo, R. 2003. Morfologi, daur hidup dan perilaku nyamuk. Dalam
Gandahusada, S., Ilahude, H.D., dan Wita, P. (eds.) Parasitologi
Kedokteran. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Joshi, V., Mourya, D.T., and Sharma, R.C., 2002, Persistence of Dengue-3
Virus Through Transovarial Transmission Passage In Successive
Generations of Aedes aegypti Mosquitoes, Am. J. Trop. Med. Hyg., 67,
158-161.
Kandun, I.N. 2005. Keynote speech Dirjen pada Seminar Nasional
Parasitologi dan Entomologi dalam rangka Peringatan Hari Nyamuk V,
Bandung.
Khin, M.M, and Than, K.A, 1983, Transovarial Transmission of Dengue 2
Virus by Aedes aegypti in Nature, Am. J. Trop. Med. Hyg., 32, 590-594.
Kusriastuti, R. 2005. Epidemiologi Penyakit Demam Berdarah Dengue dan
Kebijaksanaan Penanggulangannya di Indonesia. Dalam Simposium
Dengue Control Up Date. Ditjen P2M-PL Depkes RI, Jakarta.
Leake, C.J. 1984. Transovarial Transmission of Arbovirus by Mosquitoes. In
Mayo, M.A. and Harrap, K.A. (eds.) Vectors in Virus Biology. Society
for General Microbiology, Academic Press, Sydney.
22
Lee, H.L, and Rohani, A., 2005, Transovarial Transmission of Dengue Virus
In Aedes sp aegypti and Aedes sp albopictus In Relation to Dengue
Outbreak In An Urban Area In Malaysia, Dengue Bull., 106-111.
Malavige, G.N., Fernando, S., Fernando, D.J., and Seneviratne, S.L., 2004,
Dengue Viral Infections, Postgrad. Med. J., 80, 588-601
Mao, S., Javois, L.C., and Kent, U.M. 1999. Overview of Antibody Use in
Immunocytochemistry. In Javois, L.C. Immunocytochemical Methods
and Protocols 2th ed. Humana Press Inc., Washington DC.
Mardihusodo, S.J. 1993. Laporan Penelitian Deteksi Dini Resistensi Aedes
aegypti terhadap Malathion dan Temephos. Lembaga Penelitian
Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Mardihusodo, S.J. 2005. Manajemen Pengendalian Vektor Demam Dengue.
Dalam Simposium Dengue Control Update. Pusat Kedokteran Tropis,
Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Mourya, D.T, and Joshi, V. 2002. Horizontal and Vertical Transmission of
Dengue Virus in Aedes sp aegypti Mosquitoes and Its Persistence In
Successive Generations. In 6th International Symposium on Vectors
and Vector Borne Disease. National Academy of Vector Borne Disease
and Regional Medical Research Center, Bhubaneswar, India.
Neva, F.A. and Brown, H.W. 1994. Basic Clinical Parasitology 6th ed.
Prentice-Hall International Inc., London.
Pant, C.P. and Self, L.S. 1993. Vector Ecology and Bionomics. In
Thongcharoen, P. Monograph on Dengue/Dengue Hemorrhagic Fever.
SEARO No. 22. WHO, New Delhi.
Rosen, L., and Gubler, D.J., 1974, The use of mosquitoes to detect and
propagate Dengue viruses, Am. J. Trop. Med. Hyg., 21, 1153-1160.
Rosen, L., Shroyer, D.A., Tesh, R.B., Freier , J . E ., and Lien , J . C ., 1983,
Transovarial transmission of dengue viruses by mosquitoes : Aedes
albopictus and Aedes aegypti, Am. J. Trop. Med. Hyg., 32, 1108-1119.
Service, M.W. 1996. Medical Entomology for Student. Chapman and Hall,
London.
23
Soedarto. 1995. Entomologi Kedokteran. ed 3. EGC, Jakarta.
Soegijanto, S., Sustini, F., dan Wirahjanto, A. 2006. Epidemiologi Demam
Berdarah Dengue. Dalam Soegijanto, S. (eds.) Demam Berdarah
Dengue. Airlangga University Press, Surabaya
Sunarto, J., Gubler, D.J., Nalim, S., Eram, S., and Saroso, J.S., 1979,
Epidemic Dengue Hemorrhagic Fever in rural Indonesia, Am. J. Trop.
Med. Hyg., 28, 717-724.
Umniyati, S.R. 2004. Preliminary Investigation on The Transovarial
Transmission of Dengue Virus in The Population Aedes sp aegypti in
The Well. Seminar Peringatan Hari Nyamuk IV. Surabaya.
Umniyati, S.R. 2009. Tehnik Imunositokimia dengan Antibodi Monoklonal
DSSC7 untuk Kajian Pathogenesis Infeksi dan Penularan Transovarial
Virus Dengue serta Surveilensi Virologis Vektor Dengue. Disertasi.
UGM. Yogyakarta.
WHO. 1998. Demam Berdarah Dengue : Diagnosis, Pengobatan,
Pencegahan, dan Pengendalian. Ed. 2. EGC, Jakarta.
Yusuf, I., Mashoedi, I.D., dan Djam’an, Q. 2007. Analisa Serotipe Virus
Dengue pada Vektor Nyamuk Aedes spesies di Daerah Endemis
Penyakit DBD Sebagai Dasar Pengendalian Vektor Penyakit DBD.
Laporan Penelitian Hibah Bersaing Tahun I. Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sultan Agung, Semarang.
2. Riwayat Hidup Peneliti
Nama : Menik Sahariyani, dr.
Tempat, Tanggal lahir : Tegal, 4 November 1975
Pendidikan :
Lulus SD Negeri Randusari II Semarang tahun 1988
Lulus SMP Negeri 2 Semarang tahun 1991
Lulus SMA Negeri I Semarang tahun 1994
Lulus Dokter Umum Fakultas Kedokteran UNISSULA Semarang tahun
2002
24
Riwayat Pekerjaan :
Asisten praktikum mata kuliah Patologi Klinik FK UNISSULA
Semarang tahun 1998 – 2001
Dosen Parasitologi Fakultas Kedokteran UNISSULA Semarang tahun
2003 – sekarang
Pengalaman Penelitian :
Pengaruh pemberian sari buah merah (Pandanus conoideus lam)
terhadap sel-sel hepar tikus terinduksi CCl4, (Tinjauan secara patologis)
Perbedaan efektifitas antara infusa dan rebusan akar tuba (Derris
elliptica) terhadap kematian larva Aedes aegypti
Uji efikasi abu daun dan batang sereh (Cymbopogan nardus)
sebagai larvasida Culex quinquefasciatus di laboratorium
25