2
Progres, Partisipasi, Juga Kegagapan
Riset Penerapan UU Keterbukaan Informasi Publik
di beberapa lembaga pemerintahan nasional dan daerah
TEMPO INSTITUTE dengan Yayasan TIFA
April 2012
3
Progres, Partisipasi, Juga Kegagapan:
Riset Penerapan UU Keterbukaan Informasi Publik di beberapa lembaga
pemerintahan nasional dan daerah
Penanggung Jawab: Mardiyah Chamim Penyunting: Mardiyah Chamim, Philipus Parera, Bramantya Basuki Tim Riset: M.Z. Al-Faqih, M Syaifurohman, Imam Hidayah, Eman Suherman, Andri Wahyudin, Apsoro M, Ai Ratna Intan Solihah, Febri Dwi Tim Reporter: Angga Sukma Wijaya, Ananda Badudu (Jakarta), Ni Made Purnama (Bali) Tim Tempo Institute: Bimo Wicaksono, Maya Wuysang Desain cover: Eko S Bimantara (Serrum)
4
Daftar Isi
Halaman Judul 1
Daftar Isi 4
Daftar Tabel 5
Daftar Diagram 6
Daftar Gambar 7
Pengantar 8
Bab I: Pendahuluan 11
1.1. Latar Belakang 11
1.2. Tujuan 26
1.3. Pertanyaan Penelitian 27
1.4. Bagaimana Penelitian Dilakukan 27
1.5. Struktur Laporan 28
Bab II: Capaian Kementerian Kesehatan 30
2.1. Produk hukum 32
2.1.1. Peraturan Pelaksana 32
2.1.2. Temuan dan Analisis 38
2.2. Keberadaan PPID 39
2.2.1. Kondisi Obyektif 39
2.2.2. Temuan dan Analisis 43
2.3. Pelayanan Informasi Publik 44
2.3.1. Kondisi Obyektif 44
2.3.2. Temuan dan Analisis 47
2.4. Infrastruktur Pelayanan Informasi Publik 48
2.4.1. Kondisi Obyektif 48
2.4.2. Temuan dan Analisis 52
2.5. Kesimpulan dan Rekomendasi 53
Bab III: Capaian Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 54
3.1. Produk Hukum 55
3.1.1. Peraturan Pelaksana 55
3.1.2. Temuan dan Analisis 59
3.2. Keberadaan PPID 60
3.2.1. Kondisi Obyektif 60
5
3.2.2. Temuan dan Analisis 64
3.3. Pelayanan Informasi Publik 65
3.3.1. Kondisi Obyektif 65
3.3.2. Temuan dan Analisis 67
3.4. Infrastruktur Pelayanan Informasi Publik 68
3.4.1. Kondisi Obyektif 68
3.4.2. Temuan dan Analisis 73
3.5. Kesimpulan dan Rekomendasi 74
Bab IV: Capaian Pemerintah Kota Jakarta Selatan 76
4.1. Produk Hukum 77
4.2. Keberadaan PPID 77
4.3. Pelayanan Informasi Publik 78
4.3.1. Kondisi Obyektif 78
4.3.2. Temuan dan Analisis 78
4.4. Infrastruktur Pelayanan Informasi 79
4.4.1. Kondisi Obyektif 79
4.4.2. Temuan dan Analisis 80
4.5. Kesimpulan dan Rekomendasi 80
Bab V: Capaian Pemerintah Kabupaten Jembrana 82
5.1. Keberadaan PPID 83
5.2. Pelayanan Informasi Publik 83
5.2.1. Kondisi Obyektif 83
5.3.2. Temuan dan Analisis 84
5.3. Infrastruktur Pelayanan Informasi 86
5.3.1. Kondisi Obyektif 86
5.3.2. Temuan dan Analisis 90
5.4. Kesimpulan dan Rekomendasi 91
Bab VI: Melangkah Maju: Belajar dari Pengalaman 92
6.1. Kendala Umum 94
6.2. Teladan di Lapangan 96
6.3. Keterbatasan Penelitian dan Rekomendasi 98
Daftar Pustaka 99
6
Daftar Tabel
Tabel 1.1. Kewajiban Badan Publik Membentuk PPID 18
Tabel 1.2. Kewajiban badan publik dalam pelayanan informasi 21
Tabel 2.1. Klasifikasi Informasi di Kementerian Kesehatan 34
Tabel 3.1. Kategorisasi Informasi di Kementerian Pendidikan Kebudayaan 56
Tabel 3.2. Struktur Penetapan Pejabat PPID 62
7
Daftar Diagram
Diagram 1.1. Jumlah Permohonan Penyelesaian Sengketa Informasi ke
Komisi Informasi Pusat 14
Diagram 1.2. Prosentasi Kakus yang Tidak Layak Ditangani oleh Komisi
Informasi Pusat 15
Diagram 1.3. Prosentase Kategori Pemohon Sengketa Informasi ke Komisi
Informasi Pusat 15
Diagram 1.4. Prosentase Informasi yang Disengketakan ke Komisi Informasi
Pusat 16
Diagram 1.5. Perbandingan Jumlah Provinsi dan Komisi Informasi tingkat
Provinsi 17
Diagram 2.1. Sruktur Organisasi PPID Kementerian Kesehatan 40
Diagram 2.2. Jumlah Pemohon Informasi Kementerian Kesehatan Tahun 2011 45
Diagram 2.3. Jumlah Permohonan Informasi Publik Kemenkes tahun 2011 45
Diagram 2.5. Jumlah Pengakses PTRC tahun 2011 51
Diagram 3.1. Bagan Organisasi Pusat Informasi dan Hubungan Masyarakat 64
Diagram 3.2. Kategori Pemohon Informasi 66
Diagram 3.3. Kategori Organisasi Asal Pemohon Informasi 66
Diagram 3.4. Kategori Jenis Informasi yang Diminta 67
8
Daftar Gambar
Gambar 2.1. Papan Pengumuman Pojok Informasi Kementerian Kesehatan 49
Gambar 2.2. Meja Informasi di Pojok Informasi, Kementerian Kesehatan 49
Gambar 2.3. Ruangan Nyaman untuk Para Pemohon Informasi 50
Gambar 2.4. Tampilan Website PPID Kementerian Kesehatan 52
Gambar 3.2. Petugas Sedang Melayani Permohonan Informasi 69
Gambar 3.3. Meja Informasi dan Petugas Informasi di Gerai Informasi 70
Gambar 3.4. Ruangan untuk para pemohon informasi 70
Gambar 3.5. Rak majalah dan brosur terbitan Kemendikbud 71
Gambar 3.6. Tampilan Website Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan 72
Gambar 3.7. Perpustakaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 73
Gambar 5.1. Petugas sedang memeragakan ATM Palugada 89
Gambar 5.2. Mesin ATM Palugada 89
11
Bab I
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Sebuah langkah penting diayun Indonesia dalam hal keterbukaan
informasi. Undang Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan
Informasi Publik (KIP) secara resmi diberlakukan sejak 30 April 2010.
Pemberlakuan beleid ini mendapat sambutan positif dari masyarakat, baik
secara perorangan maupun dalam kelompok. Lapis demi lapis masyarakat
mulai memanfaatkan UU KIP untuk mendapatkan informasi terkait
kepentingan publik, kegiatan pembangunan, bahkan daftar kekayaan aparat
negara --sesuatu yang sebelumnya hampir mustahil bisa didapatkan publik.
Pada skala dunia, pemberlakuan undang-undang yang proses
penyusunannya didorong berbagai LSM (lembaga swadaya masyarakat) dan
perorangan yang tergabung dalam Koalisi Untuk Kebebasan Informasi ini,
membawa Indonesia masuk kategori free (warna hijau) dalam Freedom World
Map, bersama 68 negara lain. Ini peta yang dibuat Freedom House USA
berdasarkan hasil survei pemenuhan hak-hak politik dan kebebasan sipil di
seluruh dunia. Dalam peta tersebut 62 negara masih dalam kategori partly
free (warna kuning), dan 62 negara masuk kategori not free (warna merah). 1
Tergabung dalam kelompok 68 negara yang masuk kategori “free
information” tentulah prestasi yang patut dibanggakan. Namun, berbangga
saja tidaklah cukup. Kerja belum selesai. Bagian paling penting dari
pemberlakukan UU KIP adalah memastikan bahwa undang-undang ini
diimplementasikan secara benar. Implementasi aturan ini dengan sendirinya
akan mendorong penguatan institusi publik, meningkatkan partisipasi publik,
1 Laporan tahunan Komisi Informasi Pusat tahun 2010.
12
dan pada ujungnya bakal tercipta tata kelola pemerintahan yang baik (good
governance) di segala lini.
Merujuk definisi United Nation Development Project (UNDP), di dalam
good governance rakyat bukanlah obyek tetapi subyek kebijakan publik.2
Model ini membutuhkan sebuah sistem yang menjamin hak rakyat
mendapatkan akses terhadap semua informasi publik yang berkaitan dengan
penyelenggaraan negara. Di Indonesia, akses warga terhadap informasi
publik ini diatur dalam UU KIP. Pasal mengenai tujuan hukum UU KIP secara
eksplisit menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan
kebijakan publik, program kebijakan publik, proses pengambilan keputusan
publik, hingga alasan pengambilan suatu keputusan publik.3
Tentu saja kami percaya, negara yang diwakili oleh pemerintah
bersungguh-sungguh berupaya menjalankan UU KIP. Kami juga yakin bahwa
undang-undang ini merupakan politik hukum yang berpihak pada publik, yang
secara politis mengawali sebuah era baru penyelenggaraan negara yang
transparan, akuntabel, fair, dan demokratis. 4 Namun, patut kita soroti dengan
kritis bahwa setelah dua tahun resmi diberlakukan, masih banyak persoalan
berkaitan dengan kesiapan dan kesediaan lembaga publik melayani
kebutuhan masyarakat akan informasi. Kegagapan, terutama dalam hal teknis
penyediaan dan pelayanan informasi, muncul di sana-sini.
2 Miftah Thoha, Birokrasi dan Politik di Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005, hal 63-64
3 Tujuan UU KIP tertera dalam Pasal 3 yang berbunyi: “Undang-Undang ini bertujuan untuk: (a)
menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan
publik, dan proses pengambilan keputusan publik, serta alasan pengambilan suatu keputusan publik; (b)
mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik; (c) meningkatkan peran
aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik dan pengelolaan Badan Publik yang baik; (d)
mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, yaitu yang transparan, efektif dan efisien, akuntabel
serta dapat dipertanggungjawabkan; (e) mengetahui alasan kebijakan publik yang memengaruhi hajat
hidup Orang banyak; (f) mengembangkan ilmu pengetahuan dan mencerdaskan kehidupan bangsa; dan/
atau (g) meningkatkan pengelolaan dan pelayanan informasi di lingkungan Badan Publik untuk
menghasilkan layanan informasi yang berkualitas.”
4 Mahfud MD menjelaskan bahwa politik hukum adalah legal policy atau garis (kebijakan) resmi
tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan
penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan Negara. Lihat Moh. Mahfud MD, Politik
Hukum di Indonesia,. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2009, hal 1. Padmo Wahjono mendefinisikan
politik hukum sebagai kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk, maupun isi hukum yang akan
dibentuk. Sementara menurut Teuku Mohammad Radhie, politik hukum merupakan pernyataan
kehendak penguasa Negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya dan mengenai arah
perkembangan hukum yang akan dibangun. Lihat Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-Dasar
Politik Hukum, P.T. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2008, hal 26-27.
13
Kegagapan pelayanan publik tergambar dalam dua fakta berikut.
Pertama, meningkatnya jumlah sengketa informasi yang didaftarkan ke Komisi
Informasi belum diimbangi penyelesaian sengketa yang belum 100 persen.
Meskipun harus kita akui, keterbukaan informasi memang soal baru dan
lembaga publik masih harus belajar banyak untuk menyediakan informasi.
Pada satu sisi, masyarakat luas belum menggunakan hak untuk menuntut
ketersediaan informasi secara optimal. Pada sisi yang lain, lembaga publik
dan pemerintah belum terbiasa pro-aktif melayani permintaan dan
menyediakan informasi yang menjadi hak publik.
Secara statistik kita bisa menyoroti sengketa informasi yang ditangani
Komisi Informasi Pusat. Sepanjang paruh kedua tahun 2010, permohonan
penyelesaian sengketa informasi yang ditangani Komisi melonjak dari 15
permohonan (pada Juli) menjadi 40 permohonan pada Desember. Dari total
112 permohonan penyelesaian sengketa informasi yang diterima Komisi
Informasi Pusat pada periode tersebut, hanya tercatat 45 kasus (40,17
persen) yang bisa ditangani. Ada beberapa penyebab sengketa informasi
tidak bisa ditangani Komisi Informasi Pusat, antara lain karena dibatalkan oleh
si peminta, tidak memenuhi prosedur, atau dilimpahkan ke Komisi Informasi
Daerah.
Komisi Informasi Daerah (KID) juga tak kalah sibuk melayani
permintaan informasi. KID Jawa Barat, misalnya, baru dibentuk resmi pada
2011. Provinsi Jawa Barat, dengan penduduk sekitar 46 juta jiwa, hingga Mei
2012 sudah melayani 200 sengketa informasi.5 Tingginya angka sengketa
informasi ini menandai tingginya minat dan partisipasi publik, suatu modal
sosial yang patut membuat kita berbesar hati.
Patut kita catat pula, tidak semua sengketa informasi yang ditangani
oleh Komisi Informasi di pusat maupun daerah selesai dengan baik. Di Jawa
Tengah, misalnya, Lembaga Penelitian dan Aplikasi Wacana (LPAW) Blora
hingga kini belum mendapatkan dokumen perjanjian kerjasama antara PT
Blora Patragas Hulu dengan PT Anugerah Bangun Saran mengenai
5 Wawancara dengan Anggota Komisi Informasi Jawa Barat, Budiyoga Soebandi, Sabtu, 2 Juni 2012
14
pengelolaan saham milik Kabupaten Blora, di sumur minyak Cepu. 6
PT Blora,
perusahaan daerah, berkeras bahwa perjanjian kerjasama tersebut harus
dirahasiakan, meskipun Komite Informasi Jawa Tengah telah memerintahkan
mereka memberikan infomasi yang diminta LPAW.
Di Ibukota Negara, Indonesian Corruption Watch (ICW) memenangkan
sengketa infomasi publik melawan Markas Besar Kepolisian Republik
Indonesia. Komisi Informasi Pusat memutuskan Mabes Polri harus membuka
nama 17 perwira tinggi polisi yang menurut Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan (PPATK) diduga mempunyai rekening dengan transaksi
mencurigakan. 7
Tapi, sampai kini belum ada tanda-tanda Markas Besar Polri
bersedia membuka daftar rekening 17 perwira kepolisian yang
dipermasalahkan.
Diagram 1.1.
6 Pada 7 Oktober 2010, Komisi Informasi memutuskan dokumen perjanjian kerja sama antara PT Blora
dan PT Anugerah Bangun Sarana Jaya bukan rahasia sehingga harus diserahkan kepada LPAW. Tapi
PT Blora menolak. Komisi Informasi menyarankan LPAW melapor ke polisi, tapi LPAW belum
melakukannya (Koran Tempo Edisi Daerah Istimewa Yogyakarta & Jawa Tengah, 29 Desember 2010,
“LPAW Disarankan Melaporkan PT Blora ke Polisi”.).
7 ICW mengajukan permohonan sengketa informasi kepada Komisi Informasi Pusat (Tempo.Co, 21
Oktober 2010, “ICW Ajukan Sengketa Informasi Rekening Gendunt Polisi ke KIP.”) Hasilnya Komisi
Informasi Pusat memutuskan bahwa Mabes Polri harus menyerahkan informasi yang diminta ICW.
16
Diagram 1.4.
Kedua, kegagapan lembaga publik dalam penerapan UU KIP juga
tampak dalam ketidaksiapan teknis pelaksana. Beberapa pemerintah daerah
maupun lembaga publik masih mengabaikan Peraturan Pemerintah Nomor 61
tahun 2010 tentang Pelaksanaan UU KIP, yang mewajibkan mereka menunjuk
Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) paling lambat 23
Agustus 2011.
Data dari Dinas Komunikasi dan Informatika Provinsi Jawa Barat,
misalnya, menyatakan bahwa sepanjang tahun 2010 belum satu pun
kabupaten atau kota di Jawa Barat yang telah membentuk PPID. Bahkan di
pemerintahan pusat, hingga penelitian ini selesai dibuat, masih ada lima
kementerian yang belum memiliki PPID. Dan dari 33 provinsi di Indonesia
baru 14 provinsi (41%) yang sudah memiliki Komisi Informasi Daerah, sisanya
masih dalam proses pembentukan. Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa
kesiapan teknis lembaga publik dalam melayani informasi secara umum masih
jauh dari memadai.
17
Diagram 1.5.
Perbandingan Jumlah Provinsi dan Komisi Informasi tingkat Provinsi
Sumber : Laporan tahunan komisi informasi tahun 2010
Menurut Undang-Undang No. 14 Tahun 2008, PP No. 61 Tahun 2010,
dan Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2011, PPID berperan penting
dalam pelayanan informasi publik. Pejabat Pengelola Informasi dan
Dokumentasi harus menguasai seluk-beluk lembaga tempat dia bertugas,
terutama memahami siapa saja staf yang memiliki akses informasi, sehingga
yang bersangkutan bisa menyediakan informasi sesuai permintaan publik.
Dengan deskripsi tugas yang demikian, PPID membutuhkan penguasaan
pengetahuan dan juga otoritas yang memadai untuk menjamin ketersediaan
pelayanan informasi kepada publik.
Adapun dasar hukum pembentukan PPID dan kewajiban badan publik
dalam memberikan informasi publik dapat dilihat pada tabel berikut ini:
0
5
10
15
20
25
30
35
Perbandingan
Jumlah Provinsi
dan Komisi
Informasi tingkat
Provinsi
Jumlah Provinsi di Indonesia Jumlah Komisi Informasi di tingkat Provinsi
18
Tabel 1.1.
Kewajiban Badan Publik Membentuk PPID
No Perundangan Ketentuan
1. UU No. 14 Tahun 2008 Pasal 13 :
Untuk mewujudkan pelayanan cepat , tepat , dan
sederhana set iap Badan Publik:
a. menunjuk Pejabat Pengelola Informasi
dan Dokumentasi; dan
b. membuat dan mengembangkan sistem
penyediaan layanan informasi secara
cepat , mudah, dan wajar sesuai dengan
petunjuk teknis standar layanan
informasi publik yang berlaku secara
nasional.
• Pejabat Pengelola Informasi dan
Dokumentasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a dibantu oleh
pejabat fungsional.
2. PP No. 61 Tahun 2010 Pasal 21 butir (1) :
PPID harus sudah ditunjuk paling lama 1 (satu)
tahun terhitung sejak peraturan pemerintah ini
diundangkan.
3. Permendagri No. 35/2010 Pasal 7 ayat (1) : untuk mengelola pelayanan
informasi dan dokumentasi di lingkungan
Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintahan
Daerah ditetapkan PPID.
19
Pasal 8
• PPID di lingkungan Kementerian Dalam
Negeri bertanggung jawabkepada Menteri
Dalam Negeri melalui Sekretaris Jenderal.
• PPID di lingkungan Pemerintahan
Provinsi bertanggung jawab kepada
Gubernur melalui Sekretaris Daerah.
• PPID di lingkungan Pemerintahan
Kabupaten/Kota bertanggung jawab kepada
Bupati/Wali Kota melalui Sekretaris
Daerah.
• PPID di lingkungan Kementerian Dalam
Negeri dibantu oleh PPID Pembantu yang
berada di lingkungan Komponen dan/atau
Pejabat Fungsional.
• PPID di lingkungan Pemerintahan
Provinsi dibantu oleh PPID Pembantu yang
berada di lingkungan Satuan Kerja
Perangkat Daerah dan/atau Pejabat
Fungsional.
• PPID di lingkungan Pemerintahan
Kabupaten/Kota dibantu oleh PPID
Pembantu yang berada di lingkungan Satuan
Kerja Perangkat Daerah dan/atau Pejabat
Fungsional.
4. Peraturan KI No. 1 Tahun 2010 Pasal 4 :
Badan publik wajib :
(e) menunjuk dan mengangkat PPID untuk
melaksanakan tugas dan tanggung jawab
serta wewenangnya
20
Pasal 5 :
Badan Publik bisa menunjuk pejabat fungsional
dan/atau petugas informasi yang membantu
PPID dalam melaksanakan tugas, tanggung
jawab, dan wewenangnya sesuai dengan
kebutuhan dan ketersediaan anggaran.
21
Tabel 1.2.
Kewajiban badan publik dalam pelayanan informasi
No Perundangan Ketentuan
1. UU No. 14 Tahun 2008 Pasal 7 :
• Badan Publik wajib menyediakan, memberikan
dan/ atau menerbitkan Informasi Publik yang
berada dibawah kewenangannya kepada Pemohon
Informasi Publik, selain informasi yang
dikecualikan sesuai dengan ketentuan.
• Badan Publik wajib menyediakan Informasi
Publik yang akurat, benar, dan tidak menyesatkan.
• Untuk melaksanakan kewajiban sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) , Badan Publik harus
membangun dan mengembangkan sistem informasi
dan dokumentasi untuk mengelola Informasi
Publik secara baik dan efisien sehingga dapat
diakses dengan mudah.
• Badan Publik wajib membuat pertimbangan
secara tertulis set iap kebijakan yang diambil untuk
memenuhi hak set iap Orang atas Informasi Publik.
• Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) antara lain memuat pert imbangan politik,
ekonomi, sosial, budaya, dan/ atau pertahanan dan
keamanan negara.
• Dalam rangka memenuhi kewajiban ayat (1)
sampai dengan ayat (4) Badan Publik dapat
memanfaatkan sarana dan/ atau media elektronik
dan nonelektronik.
22
2. PP No. 61 Tahun 2010 Pasal 2 :
• Dalam hal ada permintaan Informasi Publik
oleh Pemohon Informasi Publik, Badan Publik
wajib membuat pertimbangan tertulis atas setiap
kebijakan yang diambil untuk memenuhi hak setiap
Pemohon Informasi Publik.
• Pertimbangan tertulis sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan oleh PPID atas persetujuan
pimpinan Badan Publik yang bersangkutan.
• Pertimbangan tertulis sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat diakses oleh setiap Pemohon
Informasi Publik.
3. Peraturan Menteri Dalam
Negeri No. 35 Tahun
2010
Pasal 6 :
• Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintahan
Daerah wajib menyediakan, memberikan dan/atau
menerbitkan Informasi Publik yang berada di
bawah kewenangannya kepada Pemohon Informasi
Publik, selain informasi yang dikecualikan sesuai
peraturan perundang-undangan.
• Untuk melaksanakan kewajiban sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Kementerian Dalam
Negeri dan Pemerintahan Daerah membangun dan
mengembangkan sistem informasi dan
dokumentasi pengelolaan Informasi Publik yang
dapat diakses dengan mudah.
23
4. Peraturan Komisi
Informasi No. 1 Tahun
2010
Pasal 4 : Badan Publik wajib:
• Menyediakan dan memberikan Informasi Publik
sebagaimana diatur di dalam Peraturan ini.
• Membangun dan mengembangkan sistem informasi
dan dokumentasi untuk mengelola Informasi Publik
secara baik dan efisien;
• Menetapkan peraturan mengenai standar prosedur
operasional layanan Informasi Publik sesuai dengan
Peraturan ini;
• Menetapkan dan memutakhirkan secara berkala
Daftar Informasi Publik atas seluruh Informasi
Publik yang dikelola;
• Menunjuk dan mengangkat PPID untuk
melaksanakan tugas dan tanggung jawab serta
wewenangnya;
• Menyediakan sarana dan prasarana layanan
Informasi Publik, termasuk papan pengumuman
dan meja informasi di setiap kantor Badan Publik,
serta situs resmi bagi Badan Publik Negara;
• Menetapkan standar biaya perolehan salinan
Informasi Publik;
• Menganggarkan pembiayaan secara memadai bagi
layanan Informasi Publik sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
• Memberikan tanggapan atas keberatan yang
diajukan oleh Pemohon Informasi Publik yang
mengajukan keberatan;
• Membuat dan mengumumkan laporan tentang
layanan Informasi Publik sesuai dengan Peraturan
ini serta menyampaikan salinan laporan kepada
Komisi Informasi; dan
• Melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap
pelaksanaan layanan Informasi Publik pada
instansinya.
24
Berkaca pada serangkaian fakta kegagapan dan ketidaksiapan
lembaga publik menyediakan informasi, Yayasan Tifa dan Tempo Institute
bekerja sama melakukan penelitian ini. Kami bermaksud memotret
implementasi UU KIP oleh badan-badan publik di sektor pemerintahan:
apakah sudah sesuai dengan tuntutan UU dan peraturan pelaksanaan yang
telah ditetapkan atau belum.
Penelitian ini tidak dimaksudkan mengukur sukses atau gagalnya
implementasi UU KIP, mengingat undang-undang ini baru diberlakukan
selama dua tahun. Kami membatasi diri pada telaah faktual dan analitik, untuk
mencari tahu hal-hal baik maupun buruk yang telah dilakukan dalam
pelayanan informasi publik oleh lembaga-lembaga publik, dan apakah semua
itu sudah sesuai dengan aturan atau belum. Selanjutnya kami akan
merekomendasikan langkah-langkah praktis maupun strategis yang perlu
diambil untuk memaksimalkan penerapan UU KIP.
Pada riset ini kami memilih empat obyek penelitian, yakni :
1. Kementerian Pendidikan Nasional,
2. Kementerian Kesehatan,
3. Pemerintah Kabupaten Jembrana,
4. Pemerintah Kota Administrasi Jakarta Selatan.
Pada tingkat nasional, kami memilih Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan serta Kementerian Kesehatan sebagai obyek riset. Ada dua
alasan yang mendasari pemilihan ini. Pertama, kedua kementerian ini
memiliki bidang kerja yang langsung berhubungan dengan publik, dan area
pelayanan mereka langsung bersentuhan dengan hajat hidup masyarakat
luas, yakni pendidikan dan kesehatan. Tak jarang masyarakat rela
mengeluarkan biaya tak terbatas untuk mengakses pelayanan publik pada
dua bidang ini, sehingga keterbukaan informasi sangat dibutuhkan. Alasan
berikutnya, kedua kementerian mendapatkan porsi belanja yang cukup besar
dari APBN. Pada 2011, kedua kementerian ini mendapat porsi anggaran
belanja masing-masing lebih dari Rp 20 triliun.
25
Adapun Kabupaten Jembrana dan Kodya Jakarta Selatan kami pilih
sebagai obyek penelitian dengan asumsi bahwa infrastruktur pemerintahan di
kedua wilayah ini tergolong cukup baik. Jembrana mewakili pemerintahan
daerah karena telah memiliki pelayanan publik terbaik. Kabupaten ini sudah
membangun infrastruktur pelayanan informasi publik sejak awal 2000. Dengan
demikian, menarik untuk ditelaah bagaimana keberlanjutan sistem pelayanan
informasi di Jembrana seiring dengan terbitnya UU KIP.
Selanjutnya, Pemerintah Kota Administrasi Jakarta Selatan kami pilih
karena memiliki Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tertinggi di Indonesia.
Pemerintah Kota Jakarta Selatan juga berada di bawah naungan pemerintah
Provinsi DKI Jakarta yang di tahun 2004 dinilai oleh Asian Development Bank
sebagai provinsi dengan layanan publik yang baik, penyediaan infrastruktur
yang baik, dan partisipasi politik warga di daerahnya yang cukup baik.8
Ini bukan penelitian pertama yang dilakukan untuk memotret
implementasi UU KIP. Pada 2010, Article 19 bersama Tifa, bekerja sama
dengan peneliti dari Bappeda Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Yayasan PIAR
NTT, membuat riset berjudul “Penilaian Awal Akses Informasi Publik di Nusa
Tenggara Timur”. Subyek penelitian adalah penerapan UU KIP pada
Pemerintah Provinsi NTT, Pemerintah Kota Kupang, dan Pemerintah
Kabupaten Timor Tengah Selatan. Fokus penelitian ini pada bagaimana publik
dapat mengakses informasi dan bagaimana badan publik melayani
permohonan informasi.
Temuan penelitian tersebut, antara lain, belum ada peraturan lokal
sebagai implementasi UU KIP di tiga pemerintahan tersebut, belum
terbentuknya Komisi Informasi Daerah, tidak adanya standar dalam
penerapan layanan informasi publik, belum terbentuknya PPID, dan adanya
subyektivitas pejabat publik dalam penentuan informasi yang dikecualikan.
Penelitian ini memotret penanganan informasi serta jumlah keberatan dan
sengketa informasi yang diajukan publik di tiga pemerintahan tersebut. Juga
tidak digali alasan-alasan yang menjelaskan mengapa pada dua lembaga
8 Sofyan Effendi dalam Agus Pramusinto dan Wahyudi Kumorotomo, Governance Reform di
Indonesia: Mencari arah kelembagaan politik yang demokratis dan birokrasi yang profesional., Gava
Media dan MAP UGM, Yogyakarta, 2009, hal 99.
26
publik yang diteliti PPID belum terbentuk dan tidak ada Standar Layanan
Informasi Publik.
Kontras bekerjasama dengan Yayasan Tifa juga pernah meneliti di
institusi Kepolisian Republik Indonesia pada 2011. Mereka mengukur capaian
implementasi UU KIP pada instansi kepolisian di wilayah Nanggroe Aceh
Darussalam, DKI Jakarta, Nusa Tenggara Timur, Sumatera Utara, Jawa
Timur, Sulawesi Selatan dan Barat, dan Papua. Penelitian ini menggunakan
metode partisipatif dengan cara mengajukan permohonan informasi ke semua
institusi tersebut kemudian menilai pelayanan yang diberikan.
Penelitian yang cukup komprehesif, dilakukan oleh Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Mengambil obyek
penelitian Provinsi Aceh, DKI Jakarta, Jawa Timur, Papua Barat, Kota Banda
Aceh, Kota Surabaya, dan Kabupaten Manokwari mereka memotret hal
pokok: 1) kemajuan dalam keterbukaan informasi publik; 2) enabling and
constraining factors dalam implementasi keterbukaan informasi publik, dan; 3)
peta inovasi atau terobosan di daerah terkait keterbukaan informasi publik.
Dari sekian banyak penelitian yang dibuat, belum ada yang meneliti
implementasi UU KIP pada lembaga negara di tingkat pusat. Kekosongan
inilah yang kami coba mengisinya dengan memotret implementasi UU KIP di
Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
1.2. Tujuan
Riset ini memiliki tujuan umum dan tujuan khusus.
Tujuan Umum:
• Mendorong terwujudnya keterbukaan informasi publik di Indonesia demi
mendukung terciptanya tata kelola pemerintahan yang baik (good
governance).
• Mendorong terwujudnya demokratisasi informasi di Indonesia yang
menjamin terpenuhinya Hak Asasi Manusia warga negara Indonesia di
bidang informasi publik oleh negara
• Mendorong terwujudnya masyarakat informasi di Indonesia.
27
Tujuan khusus:
• Mengetahui implementasi Undang-Undang KIP oleh badan publik.
• Memahami proses penyediaan informasi publik oleh badan publik
menurut Undang-Undang KIP dan Peraturan Komisi Informasi Nomor 1
Tahun 2010
1.3. Pertanyaan Penelitian
Ada empat pertanyaan pokok penelitian, yang hendak dijawab dalam ini:
1. Apakah badan publik sudah membuat kebijakan publik di bidang informasi
dalam bentuk peraturan dan keputusan-keputusan sebagai implementasi
UU KIP?
2. Apakah di badan publik sudah terbentuk Pejabat Pengelola Informasi dan
Dokumentasi ?
3. Apakah Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi di badan publik
sudah memberikan pelayanan informasi publik sebagaimana yang
diwajibkan peraturan perundang-undangan?
4. Apa saja bentuk media dan sarana yang digunakan badan publik dalam
pelayanan informasi publik?
1.4. Bagaimana Penelitian Dilakukan
Penelitian ini merupakan sebuah studi kasus dengan pendekatan
kualitatif, yang membahas secara mendalam temuan-temuan penelitian di
lembaga-lembaga publik yang menjadi subjek penelitian.9 Seluruhnya ada
enam tahapan dalam penelitian ini, dari pengumpulan data awal hingga
penulisan laporan penelitian, berlangsung sejak 25 April 2011 sampai 31
Desember 2011.
Tahap 1, Pengumpulan Data Awal. Dalam pengumpulan data dan
informasi awal, tim peneliti mempelajari profil badan-badan publik yang diteliti
9 Lihat Michael Quinn Patton, Qualitative Evaluation ad Research Methods, New Delhi, SAGE
PUBLICATION, 1990, hal 13 dan John W. Creswel, Qualitative Inquiry and Research Design,
Choosing Among Five Tradition, New Delhi, SAGE PUBLICATION, 1998, Hal 61
28
menggunakan bantuan internet, sebagai bahan untuk menyusun Laporan
Pendahuluan. Ini dilakukan agar penelitian fokus pada masalah yang diteliti
serta memiliki pedoman dan arah yang jelas.
Tahap 2, Diskusi Group Terfokus (FGD) #1. Pada tahap ini
diselenggarakan diskusi terfokus dengan menghadirkan narasumber dari
instansi yang akan diteliti, dan dari Komisi Informasi Pusat. Narasumber yang
diundang dalam FGD ini akan diminta memberikan penilaian dan saran atas
Laporan Pendahuluan yang telah disusun Tim Peneliti, serta ikut
mempertajam perumusan masalah yang akan diteliti.
Tahap 3, Pelaksanaan Riset Lapangan. Kami menerjunkan tim untuk
mengumpulkan data primer dan sekunder. Data primer dimaksud adalah
keterangan dari informan kunci yang diwawancarai secara mendalam (indepth
interview) mengenai implementasi UU KIP di setiap badan publik yang
menjadi subjek penelitian. Adapun data sekunder adalah peraturan-peraturan
dan keputusan-keputusan yang dikeluarkan badan publik yang menjadi
subyek penelitian, juga data-data lain yang relevan.
Tahap 4, Pengolahan Data Hasil Riset. Semua data dan informasi yang
diperoleh akan diklasifikasikan lalu dianalisis oleh Tim Peneliti. Pada tahap ini
informasi yang tidak relevan dengan pertanyaan penelitian akan
dikesampingkan.
Tahap 5, Diskusi Grup Terfokus ke-2. Narasumber dalam FGD kali
adalah PPID dari Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian
Kesehatan.
Tahap 6, Penyusunan laporan akhir.
1.5. Struktur Laporan
Agar temuan di setiap lembaga publik yang menjadi subjek penelitian
terekam secara detail dan komprehensif dalam laporan ini, maka kami mula-
29
mula akan menyajikan temuan di Kementerian Kesehatan, Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, serta di Pemerintah Daerah Jembrana dan
Jakarta Selatan, dalam empat bab terpisah. Kemudian akan dilakukan telah
kritis terhadap pola maupun praktek pelayanan informasi publik di lembaga-
lembaga tersebut, menggunakan pendekatan dan teori lintas ilmu serta
berbagai peraturan dan UU tentang informasi publik. Laporan akan ditutup
dengan kesimpulan dan rekomendasi.
Secara lebih rinci, laporan ini akan disajikan dalam bab-bab sebagai
berikut. Setelah Bab I Pendahuluan ini, Bab II berisi profil Kementerian
Kesehatan dan uraian temuan-temuan yang diperoleh Tim Peneliti di
Kementerian Kesehatan, mengaku kepada pertanyaan penelitian. Bab III
berisi profil Kementerian Pendidikan Nasional dan uraian temuan-temuan
yang diperoleh tim peneliti di kementrian ini. Bab IV berisi profil Pemerintah
Kota Jakarta Selatan dan temuan-temuan yang diperoleh tim peneliti di sana.
Bab V berisi profil Pemerintah Kabupaten Jembrana Provinsi Bali dan
temuan-temuan penelitian di sana. Lalu dalam Bab VI kami mendiskusikan
secara kritis temuan di keempat instansi yang menjadi subjek penelitian. Bab
ini juga berisi kesimpulan penelitian dan rekomendasi untuk perbaikan
pelayanan informasi publik di Indonesia.
30
Bab II
Capaian Kementerian Kesehatan
Kinerja Kementerian Kesehatan, pada masa almarhumah Menteri
Endang Sedyawati, difokuskan pada program preventif dan promosi
kesehatan. Dua jurus utama yang bersandar pada pelayanan dan
ketersediaan informasi. Lembaga ini agaknya paham benar dengan
pentingnya informasi. Itulah sebabnya, secara umum Kementerian Kesehatan
tidak menghadapi hambatan serius pada penerapan UU Keterbukaan
Informasi Publik.
Merespon pemberlakuan UU KIP dan peraturan pelaksanaannya,
Kementerian Kesehatan melakukan koordinasi kelembagaan, baik internal
maupun eksternal. Koordinasi internal dilakukan antar instansi di lingkungan
Kementerian Kesehatan. Sedangkan koordinasi eksternal antara lain
dilakukan dengan Kementerian Komunikasi dan Informasi, dengan tujuan
memperkuat pemahaman aparatur Kementerian Kesehatan mengenai UU
KIP. Selanjutnya Kementerian Kesehatan menjalin kerjasama dengan sebuah
lembaga yang didanai asing dalam rangka advokasi implementasi UU KIP.10
Dana untuk pelayanan informasi publik di Kementerian ini sudah mulai
dianggarkan sejak tahun 2010.11 Pada tahun pertama implementasi UU KIP,
sebagian besar budget digunakan untuk sosialisasi undang-undang ini dan
peraturan pelaksananya, di internal Kementerian Kesehatan. Tujuannya
membekali birokrat dengan pengetahuan tentang prinsip-prinsip keterbukaan
10
Wawancara dengan Doddy Riyadi, pegawai Kementerian Kesehatan, pada 4 Mei 2011. Sebagian
besar pejabat di Kementerian Kesehatan kurang bersimpati terhadap lembaga-lembaga yang didanai
asing. Lembaga-lembaga ini dicurigai memiliki agenda tertentu, 11 Wawancara dengan Prawito, Kepala Sub Bidang (Kasubbid) Publikasi dan Layanan Informasi
Kementerian Kesehatan, pada 16 Mei 2012. Tahun 2010 dialokasikan anggaran Rp. 443.080.000 untuk
sosialisasi UU KIP bagi Dinas Kesehatan Propinsi seluruh Indonesia dan rapat koordinasi. Pada tahun
2011 dialokasikan Rp 535.700.000 untuk kegiatan sosialisasi bagi pejabat humas, penyusunan pedoman
dan rapat-rapat koordinasi.
31
informasi publik. Bersamaan dengan sosialisasi internal, Kementerian
membentuk PPID, membangun infrastruktur pelayanan informasi publik,
membuat Standar Operasional Prosedur (SOP), dan mulai melayani
permintaan informasi publik.
Atas semua capaian ini, Komisi Informasi Pusat menganugerahkan
Kementerian Kesehatan penghargaan sebagai badan publik yang responsif
dan aktif dalam persiapan dan implementasi UU KIP, dan memilih
Kementerian ini sebagai salah satu dari 10 badan publik terbaik dalam hal
pelaksanaan UU KIP di tahun 2010.
Sosialisasi yang lebih luas dilakukan pada tahun 2011. Pertama,
sosialisasi kepada Unit Pelaksana Teknis (UPT) vertikal yang berada di
bawah Koordinasi Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan, yaitu Kantor Kesehatan Pelabuhan. Sosialisasi ini
diselenggarakan di 10 Provinsi, yakni: Jawa Timur, Jawa Tengah, DKI
Jakarta, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi
Selatan, Kalimantan Selatan, Maluku, dan Batam.12
Kedua, sosialisasi ditujukan kepada pejabat struktural dan pegawai di
Rumah Sakit yang berada di bawah koordinasi Direktorat Jenderal Bina
Upaya Kesehatan Masyarakat. Sosialisasi ini diselenggarakan di Rumah Sakit
Jantung Harapan Kita dan Rumah Sakit Persahabatan.13 Ketiga, sosialisasi
keapda pejabat Humas Rumah Sakit yang berada di bawah Koordinasi
Kementerian Kesehatan. Yang terakhir ini dihadiri para pejabat humas wakil
dari 33 Rumah Sakit di seluruh Indonesia.14
Secara umum implementasi UU KIP dan peraturan pelaksanaannya di
Kementerian Kesehatan memang sudah cukup baik. Namun demikian, kami
menemukan ada kelemahan yang perlu segera diperbaiki. Pertama, sampai
dengan bulan Mei 2011 masih ada unit pelaksana teknis di lingkungan
Kementerian Kesehatan yang belum membentuk PPID.
Kedua, belum ada aturan pasti mengenai informasi yang dikecualikan
di Kementerian ini. Dalam diskusi terfokus yang kami selenggarakan (pada 31
12 Wawancara dengan Prawito, Kasubbid Publikasi dan Layanan Informasi Kementerian Kesehatan
pada tanggal 16 Mei 2012 13
Ibid 14
Ibid
32
Januari 2012), Ria Purwanti dan Dyah Yuniar dari Pusat Komunikasi
Kementerian Kesehatan mengungkapkan masih adanya kebingungan
menentukan mana informasi yang dikecualikan dari layanan kepada publik.
Masih dalam diskusi yang sama, Abdul Rahman Ma’mun, anggota
Komisi Informasi Pusat, membenarkan bahwa kebingungan menentukan
ragam informasi yang dikecualikan memang terjadi di berbagai instansi. Pada
proses perancangan UU KIP, menurut Abdul Rahman, kategorisasi informasi
yang dikecualikan ini memang tidak diatur secara rinci. Alasannya, setiap
instansi dan lembaga publik memiliki kekhasan dan kadar kerahasiaan
informasi tersendiri. Oleh karena itu dibutuhkan pembicaraan yang khusus di
setiap lembaga untuk menentukan rambu-rambu mana informasi yang
dikecualikan.
Berikut rincian temuan penelitian tentang capaian implementasi
keterbukaan informasi di Kementerian Kesehatan. Ukuran yang digunakan
untuk memotret capaian ini adalah ukuran yang terdapat di UU KIP dan
peraturan pelaksananya, yakni: produk hukum sebagai pelaksanaan UU KIP,
keberadaan PPID, pelayanan permohonan informasi publik, dan infrastruktur
pelayanan informasi.
2.1. Produk hukum
2.1.1. Peraturan Pelaksana
Indikator pertama untuk menilai keberhasilan impelementasi UU KIP
adalah tersedianya produk hukum sebagai aturan pelaksanaan UU KIP.
Indikator ini penting karena pada lembaga-lembaga pemerintahan, aturan
pelaksanaan merupakan pedoman teknis yang mengatur operasionalisasi
produk-produk hukum yang lebih tinggi. Dengan asumsi ini, lembaga yang
tidak atau belum memiliki aturan pelaksaan bisa disimpulkan belum siap
menerapkan UU KIP.
Kementerian Kesehatan telah mulai menerbitkan aturan pelaksaan UU
KIP sejak 2010. Produk hukum pertama mereka adalah Keputusan Menteri
Nomor 708/Menkes/SK/VI/2010 tentang Pejabat Pengelola Informasi dan
Dokumentasi Kementerian Kesehatan. Aturan ini menjadi dasar pembentukan
33
PPID di kementerian tersebut. Belakangan, pada tahun kedua pelaksanaan
UU KIP, Menteri Kesehatan mencabut Keputusan Menteri Nomor 708 dan
menggantinya dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
1625/Menkes/SK/VIII/2011 tentang hal yang sama.
Selanjutnya dikeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
2166/Menkes/Per/X/2011 tentang Standar Layanan Informasi Publik.
Peraturan ini mengatur soal:
1) Kategorisasi informasi publik di Lingkungan Kementerian Kesehatan;
2) Mekanisme Koordinasi Pelayanan Informasi antar Unit Utama dan
Unit Pelaksana Teknis di Lingkungan Kementerian Kesehatan;
3) Mekanisme Pelayanan Informasi;
4) Prosedur pelayanan dan penyampaian salinan informasi;
5) Mekanisme pelayanan Informasi Publik;
6) Tata Cara Pengecualian Informasi Publik;
7) Mekanisme uji konsekuensi, dan;
8) Mekanisme penanganan keberatan terhadap pelayanan informasi
publik.
Ada empat kategori informasi di Kementerian Kesehatan menurut
aturan ini. Pertama, informasi yang wajib disediakan dan diumumkan secara
berkala. Kedua, informasi yang wajib diumumkan secara serta merta. Ketiga,
informasi yang wajib tersedia setiap saat. Dan keempat, informasi yang
dikecualikan. Kategorisasi ini merujuk kepada kategorisasi dalam UU KIP
tetapi disesuaikan dengan ruang lingkup Kementerian Kesehatan.
34
Tabel 2.1.
Klasifikasi Informasi di Kementerian Kesehatan
No Kategorisasi Jenis Informasi
1. Informasi yang wajib
disediakan dan diumumkan
secara berkala
• Informasi tentang profil Kementerian
Kesehatan
• Ringkasan informasi tentang program
dan/atau kegiatan yang sedang dijalankan
dalam lingkup Kementerian Kesehatan
• Ringkasan informasi tentang kinerja dalam
lingkup Kementerian Kesehatan berupa
narasi tentang realisasi kegiatan yang telah
maupun sedang dijalankan beserta
capaiannya, seperti Laporan Akuntabilitas
Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP)
• Ringkasan laporan keuangan Kementerian
Kesehatan yang sudah diaudit
• Ringkasan informasi spesifik tentang
laporan program atau kegiatan yang
berkaitan langsung dengan kepentingan
masyarakat banyak
• Informasi lain yang dimandatkan oleh
peraturan perundang-undangan untuk
diumumkan kepada publik secara berkala
• Informasi tentang hak dan tata cara
memperoleh informasi publik, serta tata cara
pengajuan keberatan serta proses
penyelesaian sengketa Informasi Publik
• Informasi tentang pengumuman pengadaan
barang dan jasa sesuai dengan peraturan
perundang-undangan terkait
• Informasi tentang prosedur peringatan dini
dan prosedur evakuasi keadaan darurat di
kantor Kementerian Kesehatan
35
2. Informasi yang wajib
diumumkan secara serta
merta
• Informasi mengenai epidemi dan pandemi
penyakit, sekaligus obat yang dibutuhkan
untuk menangkalnya
• Informasi penanganan kesehatan dalam
situasi krisis/bencana alam, kegagalan
teknologi dan bencana sosial, seperti banjir,
gempa bumi, tsunami, gunung meletus dan
tanah longsor
• Informasi tentang kebocoran/pelepasan
bahan-bahan berbahaya, seperti asap
beracun dalam kebakaran hutan.
• Informasi soal keracunan obat dan makanan,
serta alat kesehatan dan Perbekalan
Kesehatan Rumah Tangga (PRKT)
• Informasi jenis, persebaran dan daerah yang
menjadi sumber penyakit, yang berpotensi
menjadi wabah atau Kejadian Luar Biasa
• Informasi lain yang sifat urgensinya akan
ditetapkan oleh Menteri Kesehatan
36
3. Informasi yang wajib
tersedia setiap saat
• Daftar seluruh informasi publik yang berada di
bawah penguasaan Kementerian Kesehatan, tidak
termasuk informasi yang dikecualikan
• Rencana strategis (renstra), dan rencana kerja
(renja) Kementrian
• Syarat-syarat perizinan, izin yang diterbitkan
dan/atau dikeluarkan.
• Peraturan, keputusan dan/atau kebijakan serta
surat edaran yang telah diterbitkan
• Data perbendaharaan atau inventaris yang sudah
diaudit
• Informasi perjanjian kerjasama Kementerian
Kesehatan dengan pihak ketiga berikut dokumen
pendukungnya, tidak termasuk informasi yang
dikecualikan
• Sambutan Menteri atau pejabat yang
mewakilinya, baik berupa tulisan maupun
rekaman audio yang sudah dipublikasikan
• Jumlah, jenis, dan gambaran umum pelanggaran
yang ditemukan dalam pengawasan internal serta
laporan tindak lanjut
• Jumlah, jenis, dan gambaran umum pelanggaran
yang dilaporkan oleh masyarakat serta tindak
lanjutnya
• Daftar, serta hasil-hasil penelitian yang dilakukan
• Informasi dan kebijakan yang disampaikan
pejabat publik dalam pertemuan yang terbuka
untuk umum
• Organisasi, administrasi, kepegawaian dan
keuangan Kementerian Kesehatan
4. Informasi yang
dikecualikan
Akan diatur dalam peraturan tersendiri
37
Peraturan ini mengharuskan Kementerian Kesehatan mengumumkan
“Informasi yang wajib disediakan dan diumumkan secara berkala” melalui
berbagai saluran komunikasi, setidaknya setahun sekali. Media yang
digunakan bisa berupa website, leaflet, media internal dan atau papan
pengumuman. Informasi dengan kategori seperti ini wajib diumumkan tanpa
harus didahului oleh permintaan informasi dari publik.
PPID Kementerian Kesehatan juga diwajibkan mengumumkan layanan
informasi yang telah mereka berikan. Ini meliputi jumlah permintaan informasi
yang mereka terima, waktu yang diperlukan untuk memenuhi setiap
permintaan informasi, jumlah pemberian dan penolakan permintaan informasi,
dan alasan penolakan permintaan informasi.15 Informasi mengenai “layanan
informasi publik” ini, dan “Informasi yang wajib disediakan dan diumumkan
secara berkala”, masuk golongan informasi proaktif yang menurut aturan
Menteri Kesehatan harus diumumkan secara serta merta melalui berbagai
media komunikasi massa berupa situs resmi, surat edaran, media massa baik
cetak dan elektronik.16
Hal penting lain yang diatur dalam Peraturan Menteri Nomor 2166 ini
adalah mengenai penentuan informasi yang masuk kategori dikecualikan.
Ditegaskan bahwa pengecualian Informasi harus melalui uji konsekuensi
publik yang mengacu kepada batasan-batasan normatif di Pasal 17 UU KIP.17
Petugas Pengelola Informasi dan Dokumentasi di Lingkungan Kementerian
Kesehatan tidak dibenarkan membuat pertimbangan pengecualian informasi
berdasarkan alasan-alasan subyektif.
Terakhir, aturan ini memberian hak kepada pemohon informasi untuk
mengajukan keberatan atas pelayanan informasi publik yang mereka terima.
Keberatan bisa diajukan jika: pertama, permohonan informasi pemohon
15
Lampiran Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2166/Menkes/Per/X/2011 16 Lampiran Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2166/Menkes/Per/X/2011 17
Pasal 17 UU KIP menetapkan sepuluh jenis informasi yang dikecualikan , hurup a sampai j.
Sedangkan Pasal 19 mewajibkan PPID di setiap instansi publik untuk melakukan uji konsekuensi
sebelum menyatakan informasi publik tertentu dikecualikan.
38
ditolak; kedua, permohonan informasi pemohon tidak ditanggapi; ketiga, jika
ada aparatur Kemetrian yang meminta biaya penggantian salinan dokumen
yang jumlahnya tidak wajar.18
2.1.2. Temuan dan Analisis
Persoalan utama dalam pengaturan pelayanan informasi publik di
Kementerian Kesehatan adalah belum ditetapkannya informasi yang masuk
kategori dikecualikan, berdasarkan ruang lingkup Kementerian Kesehatan.
Karena belum ada batasan yang spesifik dalam menetapkan informasi yang
dikecualikan PPID akhirnya menggunakan batasan umum yang diatur dalam
UU KIP. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2166/Menkes/Per/X/2011
tentang Standar Layanan Informasi Publik menyatakan bahwa mengenai
informasi yang dikecualikan, akan diatur tersendiri di dalam peraturan lain.
Namun hingga penelitian ini selesai dibuat aturan mengenai informasi yang
dikecualikan belum ada.
Tak ditemukan alasan yang pasti mengenai belum tersusunnya daftar
informasi publik yang dikecualikan. Bisa jadi ini karena lemahnya koordinasi
antara PPID Utama dan PPID Pelaksana, dan belum samanya pemahaman
para pejabat UPT mengenai kategorisasi infomasi.19 Tapi bisa juga karena
alasan yang sangat sederhana, yakni ketiadaan anggaran.20
Karena belum ada peraturan yang dibuat tentang biaya penggantian
salinan dokumen, dalam pelayanan informasi publik Kementerian tidak
meminta bayaran dari pemohon informasi. Ketiadaan aturan ini menyebabkan
Kementerian pada akhirnya juga mengeluarkan dana untuk pengadaan
salinan dokumen. Baiknya, ini cuma untuk salinan-salinan yang pendek. Untuk
18
Sesuai harga yang disepakati oleh pemohon dan penyedia informasi dan dianggap wajar sesuai
dengan harga fotokopi di daerah bersangkutan.
19 Wawancara dengan Prawito, Kasubbid Publikasi dan Layanan Informasi Kementerian Kesehatan,
pada tanggal 13 Juli 2011. 20
Laporan Tahunan Layanan Informasi Kementerian Kesehatan Tahun 2011
39
dokumen yang panjang/banyak, Kementerian memutuskan untuk
memberikannya dalam bentuk soft file.21
Lepas dari berbagai kekurangan di atas, tim peneliti berpendapat
bahwa Kementerian Kesehatan telah cukup baik dalam mengoperasionalkan
aturan UU KIP. Bahkan beberapa poin dalam Peraturan Menteri Kesehatan,
menurut kami cukup progresif, dalam arti sudah mengantisipasi potensi
penyelewengan yang mungkin dilakukan oleh pejabat PPID yang tidak
memiliki komitmen terhadap keterbukaan informasi. Di antaranya, yang
terpenting, PPID dilarang membuat pertimbangan pengecualian informasi
berdasarkan alasan-alasan subyektif, tanpa merujuk pada ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
2.2. Keberadaan PPID
2.2.1. Kondisi Obyektif
Petugas Pengelola Informasi dan Dokumentasi adalah aktor sentral
dalam pelayanan informasi publik di sebuah badan publik. Ketiadaan PPID
dapat menghambat pelayanan informasi publik dan menjadi penyebab tidak
terpenuhinya hak-hak publik di bidang informasi publik. Di Kementerian
Kesehatan PPID sudah terbentuk dan mulai bekerja sejak tahun 2010. Dasar
hukum pembentukannya adalah Keputusan Menteri Nomor
708/Menkes/SK/VI/2010 tentang Pejabat Pengelola Informasi dan
Dokumentasi Kementerian Kesehatan, yang kemudian dicabut oleh
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1625/MENKES/SK/VIII/2011.
Organisasi PPID di Kementerian Kesehatan terdiri dari Pembina PPID,
PPID Utama, Atasan PPID Pelaksana, PPID Pelaksana, Koordinator
Pelayanan Informasi, dan Petugas Informasi.22 Setiap jabatan memiliki tugas
dan kewenangan berbeda. Pembina PPID berwenang menetapkan dan
mengevaluasi kebijakan akses publik di lingkungan Kementerian Kesehatan
21
Wawancara dengan Prawito, Kasubbid Publikasi dan Layanan Informasi Kementerian Kesehatan,
pada tanggal 16 Mei 2012 22
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1625/Menkes/SK/VIII/2011
40
dan membina PPID Utama. Jabatan Pembina PPID ini dipegang oleh Menteri
Kesehatan, sedangkan Jabatan PPID Utama dipegang Sekretaris Jenderal
Kementerian Kesehatan.23 Sruktur Organisasi PPID di Lingkungan
Kementerian Kesehatan dapat dilihat di tabel berikut.
Diagram 2.1.
Sruktur Organisasi PPID Kementerian Kesehatan
Sumber: Kementrian Kesehatan
23
Ibid
41
PPID Utama bertugas:
1. Mengkoordinasikan penyimpanan, pendokumentasian, penyediaan,
dan pelayanan informasi publik yang dihasilkan, disimpan, dikelola,
dikirim, dan atau diterima.
2. Mengkoordinasikan PPID Pelaksana dalam melaksanakan pelayanan
informasi publik.
3. Mendelegasikan sebagian kewenangan pengelolaan dan pelayanan
informasi publik kepada PPID Pelaksana, selain kewenangan
melakukan uji konsekuensi.
4. Menetapkan daftar informasi yang dikecualikan.
5. Membuat laporan secara berkala dan setiap saat diperlukan, kepada
pembina.24
Dalam bertugas PPID Utama dibantu Tim Pengelolaan dan Pelayanan
Informasi. Tim ini terdiri dari Kepala Pusat Komunikasi Publik, Kepala Pusat
Data dan Informasi, dan Kepala Biro Hukum dan Organisasi. Di bawah PPID
Utama tedapat struktur yang bernama Atasan PPID Pelaksana, dijabat oleh
eselon I, dan bertanggungjawab kepada PPID utama.
Tugas Atasan PPID Pelaksana sebagai berikut:
1. Mengoordinir PPID pelaksana dalam melaksanakan pelayanan
informasi publik.
2. Mengetahui dan memberikan persetujuan atas setiap informasi yang
dikeluarkan oleh PPID Pelaksana di unitnya masing-masing.
3. Memberikan persetujuan atas penetapan daftar informasi yang
dikecualikan.
4. Menyampaikan laporan rutin maupun berkala yang disampaikan oleh
PPID Pelaksana, kepada PPID Utama.25
Di bawah Atasan PPID Pelaksana terdapat PPID Pelaksana yang
terdiri dari PPID Pelaksana Kantor Pusat/Koordinator PPID Pelaksana Unit
Pelaksana Teknis (UPT) dan PPID Pelaksana UPT. Tugas PPID Pelaksana
Kantor Pusat/Koordinator PPID UPT sebagai berikut:
24
Lampiran Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1625/Menkes/SK/VIII/2011 25
Ibid
42
1. Melaksanakan penyimpanan, pendokumentasian, penyediaan, dan
pelayanan informasi publik yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim,
dan/atau diterima di lingkungan unit kerjanya.
2. Melaksanakan kewenangan Atasan PPID Pelaksana yang
didelegasikan kepadanya.
3. Menetapkan kategorisasi informasi di lingkungan unit kerjanya.
4. Menyampaikan informasi kategori yang dikecualikan kepada Atasan
PPID Pelaksana.
5. Melaksanakan pelayanan informasi publik.
6. Melaksanakan koordinasi dan pembinaan kepada PPID Pelaksana
UPT, dan membuat laporan secara berkala dan setiap saat jika
diperlukan.26
PPID Pelaksana membawahi Koordinator Pelayanan Informasi, yang
dijabat oleh eselon III atau eselon IV. Struktur ini berada di masing-masing
unit utama atau UPT yang menangani pekerjaan kehumasan. Tugasnya
sebagai berikut :
1. Melaksanakan penyimpanan, pendokumentasian, penyediaan, dan
pelayanan informasi publik yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim,
dan atau diterima di lingkungan unit kerjanya.
2. Melaksanakan kewenangan PPID Pelaksana Kantor Pusat/Koordinator
PPID Pelaksana UPT dan PPID Pelaksana UPT yang didelegasikan
kepadanya.
3. Melaksanakan pelayanan informasi publik
4. Membuat laporan berkala kepada PPID Pelaksana Kantor
Pusat/Koordinator PPID Pelaksana UPT dan PPID Pelaksana UPT
masing-masing.27
Petugas Informasi berada pada bagian terbawah struktur PPID di
Kementerian Kesehatan. Mereka terdiri dari staf di bagian kehumasan, para
pejabat fungsional pranata humas, dan pustakawan di masing-masing unit
utama UPT. Tugas mereka adalah :
26
Ibid 27
Ibid
43
1. Menerima permohonan informasi dan memberikan informasi yang
diminta oleh pemohon,
2. Meneruskan permohonan informasi kepada Koordinator Pelayanan
Informasi
3. Melakukan pendataan dan rekapitulasi secara berkala terhadap
permohonan informasi yang masuk maupun informasi yang sudah
dikeluarkan.28
Di Kementerian Kesehatan, ujung tombak penyebarluasan dan
pelayanan informasi publik ada pada Tim Pengelolaan dan Pelayanan
Informasi. Meskipun, secara struktural tim ini tidak merupakan bagian dari
hirarki PPID. Dalam tim ini ada Pusat Komunikasi Publik dan Pusat Data dan
Informasi. Pusat Komunikasi Publik memberi pelayanan dan pengelolaan
informasi, sedangkan Pusat Data dan Informasi menyediakan sarana
informasi.
Pemohon informasi yang datang ke Kementerian Kesehatan akan
berhadapan petugas Bidang Pelayanan Informasi Publik, pada Pusat
Komuniasi Publik. Seluruhnya ada 15 orang petugas informasi yang bertugas
setiap hari: 12 orang bertugas di Pojok Informasi dan 3 orang di Pusat
Tanggap dan Respon Cepat (PTRC) Kementerian Kesehatan.29 Semua
petugas informasi ini telah mendapat pelatihan yang berkaitan dengan
kebijakan Kementerian Kesehatan dan teknik menghadapi berbagai pemohon
dan permohonan informasi.30
2.2.2. Temuan dan Analisis
Sampai dengan bulan Mei tahun 2011, PPID di semua Unit Utama
sudah terbentuk. Pembentukan ini berdasarkan Surat Keputusan yang
diterbitkan masing-masing Unit Utama. Tapi, pada periode yang sama, PPID
28
Ibid 29 Wawancara dengan Prawito, Kasubbid Publikasi dan Layanan Informasi Kementerian Kesehatan
pada tanggal 16 Mei 2012. 30
Wawancara dengan Prawito, Kasubbid Publikasi dan Layanan Informasi Kementerian Kesehatan
pada tanggal 13 Juli 2011.
44
di UPT-UPT belum juga terbentuk.31 Terlambatnya pembentukan PPID di
UPT-UPT ini harusnya tidak terjadi mengingat PP 61 Tahun 2010 telah
dengan tegas mewajibkan badan publik membentuk PPID paling lambat
tanggal 23 Agustus 2011. Ketiadaan PPID di UPT-UPT dapat menghambat
pelayanan informasi kepada masyarakat.
2.3. Pelayanan Informasi Publik
2.3.1. Kondisi Obyektif
Selama tahun 2011 fluktuasi jumlah pemohon informasi di Kementerian
Kesehatan mirip pola pelana kuda, banyak di awal tahun, lalu terus berkurang
hingga cuma satu pemohon di bulan September, dan mencapai puncaknya di
akhir tahun. Ini bertolak belakang dengan pola jumlah permohonan informasi
yang terus meningkat dari awal bulan hingga mencapai puncak pada bulan
Agustus, lalu kembali berkurang.
Total selama 2011 ada 925 permohonan informasi yang diajukan oleh
114 pemohon. Meski jumlah permohonan informasi cukup banyak, kedua pola
ini menunjukkan bahwa kesadaran dan kepedulian warga untuk mendapatkan
informasi publik di Kementerian Kesehatan masih rendah. Atau, sebagian
besar masyarakat belum mengerti prosedur dan fasilitas pelayanan informasi
publik di Kementrian Kesehatan. Sebagai contoh, 170 permohonan informasi
pada Agustus ternyata diajukan hanya oleh lima pemohon. Angka 170
pemohon didapat dari mereka yang mengisi daftar hadir yang ada di pusat
informasi Kementrian Kesehatan. Bisa saja orang yang sekedar mengambil
flyer, edaran atau bertanya langsung ke pusat informasi. Sedangkan lima
orang pemohon adalah mereka yang betul-betul serius memohon informasi
dengan menggunakan surat resmi dan persyaratan lainnya.32
31 Wawancara dengan Prawito, Kasubbid Publikasi dan Layanan Informasi Kementerian Kesehatan
pada tanggal 13 Juli 2011. 32
Wawancara dengan Prawito, Kasubbid Publikasi dan Layanan Informasi Kementerian Kesehatan
pada tanggal 5 Juni 2012.
45
Diagram 2.2.
Jumlah Pemohon Informasi Kementerian Kesehatan Tahun 2011
Sumber: Laporan Tahunan Layanan Informasi Kementerian Kesehatan Tahun 2011
Diagram 2.3.
Jumlah Permohonan Informasi Publik Kementerian Kesehatan tahun
2011
Sumber: Laporan Tahunan Layanan Informasi Kementerian Kesehatan Tahun 2011
46
Hampir semua permohonan informasi selama 2011 dapat dipenuhi oleh
Kementerian Kesehatan secara langsung. Cuma lima permohonan dari dua
pemohon yang harus diselesaikan di meja mediasi, dengan mediator Komisi
Informasi Pusat. Ada empat permohonan yang diajukan oleh satu pemohon
tidak dipenuhi dan satu permohonan dari seorang pemohon ditolak.
Permintaan Informasi tidak dipenuhi ketika pemohon tidak mendapatkan
jawaban. Sedangkan permohonan informasi ditolak ketika informasi yang
bersangkutan termasuk dikecualikan atau tidak disediakan organisasi yang
bersangkutan.
Permohonan yang tidak dipenuhi berkaitan dengan: data tentang
penelitian makanan, data bahan-bahan makanan berbahaya, data Jaminam
Kesehatan Masyarakat, dan data informasi publik di website Kementerian
Kesehatan. Adapun satu permohoan ditolak dengan alasan informasi yang
diminta masuk dalam kategori informasi yang dikecualikan berdasar ketentuan
UU KIP.33 Tapi pengecualian informasi ini ternyata tidak melalui proses uji
konsekuensi sesuai ketentuan UU KIP. PPIP Kementrian Kesehatan
mengganggap mekanisme ajudikasi non litigasi dengan mediator Komisi
Informasi Pusat sebagai foum uji konsekuensi.34
Mediasi terhadap empat permohonan yang tidak dipenuhi berlangsung
sebanyak dua kali, pada 8 April 2011 dan pada 21 April 20101. Kementerian
Kesehatan akhirnya bersedia memberikan informasi yang diminta oleh
pemohon. Adapun mediasi menyangkut permohonan informasi yang ditolak
diadakan pada tanggal 10 November 2011 dan 23 November 2011. Tapi pihak
Kementerian Kesehatan tetap tidak mau memenuhi permintaan informasi
publik tersebut, dengan alasan informasi itu masuk dalam kategori informasi
yang dikecualikan.35
33
Wawancara dengan Kunto, pegawai di Kementerian Kesehatan, pada tanggal 13 Juli 2011. 34 Wawancara dengan Prawito, Kasubbid Publikasi dan Layanan Informasi Kementerian Kesehatan,
pada tanggal 16 Mei 2012 35
Tim Peneliti sudah meminta detail informasi yang ditolak pada saat wawancara tanggal 16 Mei 2012
tapi hingga laporan ini dibuat Kementerian Kesehatan belum bersedia memberikannya.
47
2.3.2. Temuan dan Analisis
Secara statistik, kinerja Kementerian Kesehatan dalam pelayanan
informasi publik telah cukup baik. Dari 925 permohonan informasi publik,
sebanyak 920 atau 99, 5 persen berhasil dipenuhi. Capaian ini tidak terlepas
dari peran Pusat Komunikasi Publik, Pusat Data dan Informasi, dan Petugas
Informasi. Keputusan Pusat Komunikasi Publik melalui Bidang Publikasi dan
Layanan Informasi untuk memanfaatkan teknologi dalam pelayanan informasi
publik, telah membuka lebar peluang bagi masyarakat untuk mengakses
informasi publik di Kementerian Kesehatan. Menurut data yang kami
dapatkan, semua permohonan layanan informasi publik yang diterima
Kementrian Kesehatan, masuk melalui Pusat Tanggap Respon Cepat. Ini
berarti permintaan informasi masuk melalui telpon, faksimili, Short Message
Service, surat elektronik, jaringan sosial (facebook, Flicker dan twitter), atau
surat.
Faktor lain yang membuat pelayanan informasi berjalan dengan baik
adalah kekhawatiran pejabat PPID dan Petugas Informasi terhadap sanksi
yang diatur dalam UU KIP.36 Kekhawatiran ini yang telah menggiatkan pejabat
PPID dan petugas informasi dalam pelayanan informasi publik. Dalam konteks
ini, UU KIP cukup ternyata efektif mendorong aparatur menjadi pelayan publik
yang baik dan bertanggungjawab.
Namun demikian, peneliti mencatat adanya kecenderungan yang bisa
berpotensi mengkhawatirkan, yakni Kementerian Kesehatan telah membuat
pengecualian informasi tanpa melalui prosedur yang diatur di dalam UU KIP.
Ada satu permintaan informasi publik yang ditolak tanpa uji konsekuensi
terlebih dahulu. Sayangnya evaluasi lebih jauh mengenai kasus ini tidak bisa
dilakukan karena hingga penelitian ini berakhir, Tim Peneliti tak juga bisa
mendapatkan informasi yang lengkap dari Kementerian Kesehatan mengenai
kasus penolakan permohonan informasi ini.
36
Wawancara dengan Prawito, Kasubbid Publikasi dan Layanan Informasi Kementerian Kesehatan
pada tanggal 13 Juli 2011. Prawito menjelaskan bahwa UU KIP dilihat oleh sebagian besar pegawai
Kementerian Kesehatan menakutkan, karena memuat banyak sanksi. Ini terungkap dalam berbagai
forum sosialisasi yang diselenggarakan oleh Kementerian Kesehatan. Doddy Riyadi, pegawai
Kementerian kesehatan menambahkan, sanksi yang ditakutkan adalah sanksi pidana. Wawancara pada
tanggal 13 Juli 2011
48
2.4. Infrastruktur Pelayanan Informasi Publik
2.4.1. Kondisi Obyektif
Untuk mempermudah para pemohon informasi mendapatkan informasi
publik, Kementerian Kesehatan membangun beberapa infrastruktur pelayanan
informasi publik. Infrastruktur tersebut adalah: Pojok Informasi, Pusat Tanggap
Respon Cepat, Laman PPID di internet, dan Perpustakaan.
Pojok Informasi disediakan bagi anggota masyarakat yang datang ke
kantor Kementerian Kesehatan untuk meminta informasi ataupun meminta
penjelasan mengenai hal-hal yang tidak dipahami. Pojok Informasi ini terletak
di lobi Kantor Kementerian Kesehatan. Berukuran 5 x 5 m, ruangan tersebut
tampak tertata apik. Di dalam ruangan itu ada meja informasi, sofa untuk
tamu, dan papan pengumuman dengan didesign menarik. Para tamu dan
pemohon informasi yang datang dilayani oleh dua orang petugas yang
menguasai prosedur pelayanan informasi.
Mekanisme pelayanan di pojok informasi sebagai berikut. Mula-mula
pemohon informasi yang datang akan dilayani oleh petugas. Jika permohonan
informasi tersebut diterima, petugas di lobi akan meneruskan permohonan
tersebut ke back office yang berada di bawah koordinasi Kepala Sub Bidang
(Kasubbid) Publikasi dan Pelayanan Informasi. Biasanya informasi yang
mudah disediakan akan diberikan saat itu juga. Namun Jika informasi yang
diminta perlu dicari ke unit-unit utama, maka pemohon infomasi akan diminta
menunggu sesuai dengan batas waktu yang diatur UU KIP.
Pemohon yang ingin diskusi dan memerlukan tanya jawab, akan
dilayani secara langsung oleh Kepala Sub Bidang Publikasi dan Layanan
Informasi. Sesuai keterangan yang dikumpulkan, infomasi yang paling sering
diminta adalah mengenai Program Kementerian dan Peraturan Perundang-
Undangan.37
37
Wawancara dengan Prawito, Kasubbid Publikasi dan Layanan Informasi Kementerian Kesehatan
pada tanggal 13 Juli .2011
49
Gambar 2.1.
Papan Pengumuman Pojok Informasi Kementerian Kesehatan
Gambar 2.2.
Meja Informasi di Pojok Informasi, Kementerian Kesehatan
50
Gambar 2.3.
Ruangan Nyaman untuk Para Pemohon Informasi
Pusat Tanggap Respon Cepat dibentuk untuk melayani permohonan
informasi yang disampaikan melalui telpon, faksimili, Short Message Service,
surat elektronik, jaringan sosial (facebook, Flicker dan twitter), dan surat.
Aduan melalui telpon ditujukan ke nomor (021) 500567, faksimili (021)
52921669, Short Message Service 081281562620, surat elektronik
[email protected] dan surat ditujukan ke PTRC Kementerian Kesehatan,
Pusat Komunikasi Publik, jalan Rasuna Said X-5 Kav. 4-9 Kuningan Jakarta
Selatan 12750.
PTRC melayani informasi publik setiap hari, Senin sampai Minggu,
mulai pukul 08.00 hingga 21.00 WIB. Sebuah posko layanan yang patut
diapresiasi karena bekerja penuh sepanjang pekan. Berikut jumlah
masyarakat yang mengakses PTRC selama periode Januari sampai dengan
Desember 2011.
51
Diagram 2.5.
Sumber: PTRC Kementerian Kesehatan RI, 2011
Selama tahun 2011, PTRC melayani 1.171 pengakses. Paling besar,
sebanyak 925 pengakses atau 78,99%, meminta pelayanan informasi. Lalu
ada 227 pengakses (19,39%) yang mengadu berkaitan dengan bidang
kesehatan. Sisanya, 19 pengakses atau 1,62%, memberikan saran dan
masukan bagi Kementerian Kesehatan.
Infrastruktur lain yang digunakan untuk memberikan pelayanan
informasi publik adalah situs atau laman PPID www.ppid.depkes.go.id. Laman
ini diluncurkan pada bulan Oktober 2011, berisi sembilan kanal: beranda,
profil, informasi publik, pelayanan info, tanya jawab, media online, link, kontak,
dan download. Dalam laman PPID ini publik diberikan kesempatan untuk
meminta informasi dengan mengisi formulir secara online, juga dibuka ruang
untuk konsultasi.
52
Gambar 2.4.
Tampilan Website PPID Kementerian Kesehatan
Sumber: www.ppid.depkes.go.id
2.4.2. Temuan dan Analisis
Proses pelayanan informasi publik di Kementrian Kesehatan tak bisa
berlangsung cepat dan mudah. Hal ini karena belum terbangunnya sistem
informasi terpusat yang menyediakan data seluruh unit-unit utama.
Kami menemukan, informasi publik masih dikuasai oleh unit-unit utama
dan UPT-UPT secara terpisah. Akibatnya, setiap ada permintaan informasi,
Petugas Informasi dan back office pada setiap gerai informasi di Kementrian
Kesehatan harus berkoordinasi dengan unit-unit utama, sehingga
menghambat pelayanan.38 Data-yang tersebar di UPT-UPT dan unit-unit
utama, sementara letak UPT-UPT jauh dari ibukota, menjadi alasan sulitnya
data dikumpulkan. Alasan lain, menurut petugas, adalah keterbatasan dana
yang tersedia.
38
Wawancara dengan Doddy Riyadi, Pegawai Kementerian Kesehatan, pada tanggal 13 Juli 2011
53
Namun, lepas dari masalah belum adanya sistem informasi terpusat,
kami menemukan bahwa semua infrastruktur pelayanan informasi di
Kementerian ini -- Pojok Informasi, Pusat Tanggap Respon Cepat, Laman
PPID di internet, dan Perpustakaan -- telah beroperasi dengan baik.
Kalaupun ada kendala menyangkut permohonan informasi yang ditolak, itu
lebih karena persoalan policy, bukan masalah teknis pelayanan di infrastruktur
pelayanan informasi.
2.5. Kesimpulan dan Rekomendasi
Secara prosedural, Kementerian Kesehatan telah menjalankan hampir
semua hal yang diatur dalam UU KIP dan aturan pelaksanaannya dengan
baik. Mereka sudah punya panduan operasional yang cukup detail melalui
ketetapan dan peraturan Menteri, organisasi PPID juga sudah dibentuk, sudah
mulai melakukan pelayanan informasi publik, dan memiliki infrastruktur
pelayanan informasi publik yang bagus. Meski demikian, menurut kami
beberapa perbaikan tetap perlu dilakukan agar kinerja Kementrian Kesehatan
dalam hal pelayanan informasi publik bisa lebih baik. Pertama, perlu segera
dirampungkan kategorisasi informasi, terutama ketetapan mengenai informasi
yang dikecualikan. Kedua, perlu segera dibentuk PPID pada UPT-UPT di
lingkungan Kementerian Kesehatan. Ketiga akan lebih baik jika bisa dibangun
sistem informasi terpusat yang menampung semua data publik di Kementerian
Kesehatan dalam satu tempat yang sama.
54
Bab III
Capaian Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan
Pendidikan adalah sektor yang menuntut ketersediaan informasi secara
memadai. Namun, setidaknya pada tahun 2010, belum tampak derap program
yang progresif terencana di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk
mengimplementasikan UU KIP dan peraturan pelaksananya. Hal ini tercermin
pada postur anggaran kementerian, yakni tidak ada anggaran yang
dialokasikan untuk program implementasi UU KIP pada 2010 hingga 2011.
Meski demikian, kepada Tim Peneliti, Kepala Sub Bidang Pengelolaan
Aspirasi Masyarakat di Kementerian ini, Srie Indiyani mengatakan, mereka
sudah mulai melayani permohonan informasi publik sejak 2010.39 Selain itu,
setidaknya ada empat hal pokok yang menurut dia sudah dilakukan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Pertama, sosialisasi peraturan
mengenai keterbukaan informasi publik kepada jajaran aparatur birokrasi di
lingkungan Kementerian. Sosialisasi ini diadakan di berbagai daerah, antara
lain: Yogyakarta, Semarang, Riau, Makassar, Surabaya, Palembang,
Bandung, Lampung, Gorontalo, dan Banten. Kedua, pembentukan PPID pada
tahun 2010. Ketiga, pengadaan infrastruktur pelayanan informasi publik. Dan,
keempat, penyusunan Standar Operasional Prosedur (SOP) pelayanan
informasi publik.
Memperhatikan semua data dan informasi yang berhasil dikumpulkan,
Tim Peneliti berpendapat masih terdapat banyak kelemahan dalam
implementasi UU KIP dan peraturan pelaksananya di Kementerian ini. Antara
lain, yang paling penting adalah, kategorisasi informasi publik yang masih jauh
dari sempurna dan belum terbentuknya PPID di seluruh Perguruan Tinggi se-
39
Wawancara dengan Srie Indiyani, Kepala Sub Bidang Pengelolaan Aspirasi Masyarakat , pada
tanggal 16 Mei 2012
55
Indonesia, PPID Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta se-Indonesia, dan PPID
Unit Pelaksana Teknis.
Selanjutnya akan kami paparkan temuan lengkap penelitian di
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Seperti pada instasi pemerintah
yang lain, kami menggunakan empat ukuran untuk menilai capaian
Kementerian ini dalam implementasi UU KIP dan peraturan pelaksananya.
Ukuran itu adalah: produk hukum sebagai pelaksanaan UU KIP, keberadaan
PPID, pelayanan permohonan informasi publik, dan infrastruktur pelayanan
informasi.
3.1. Produk Hukum
3.1.1. Peraturan Pelaksana
Produk hukum pertama yang dikeluarkan Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan berkaitan dengan implementasi UU KIP adalah Keputusan
Menteri Nomor 094/P/2010 Tentang Pejabat Pengelola Informasi dan
Dokumentasi di Lingkungan Kementerian Pendidikan Nasional. Menyusul
Keputusan ini, PPID Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dibentuk pada
6 September 2010.
Setelah itu, muncul Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Nomor 50 Tahun 2011 tentang Layanan Informasi Publik di Lingkungan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.40 Peraturan ini mengatur bentuk
organisasi PPID, kategori informasi, tata cara pengelolaan informasi publik,
penyelesaian sengketa Informasi, pelaporan informasi dan pembiayaan
pengelolaan informasi.
Aturan ini membagi informasi publik di lingkup Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan dalam dua kategori, informasi terbuka dan informasi
dikecualikan. Informasi terbuka terdiri atas: informasi yang wajib disediakan
dan diumumkan secara berkala, Informasi yang wajib diumumkan secara
serta merta, dan Informasi yang wajib tersedia setiap saat.41
40
Peraturan ini juga sebagai standar operasional prosedur sebagaimana diwajibkan oleh peraturan
Komisi Informasi Nomor 01 Tahun 2010. 41
Pasal 12 Peraturan Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 50 Tahun 2011
56
Tabel 3.1.
Kategorisasi Informasi di Kementerian Pendidikan Kebudayaan
No Kategorisasi Jenis Informasi
1. Informasi yang
wajib disediakan
dan diumumkan
secara berkala
• Informasi tentang profil Kementerian, perguruan tinggi
negeri, koordinasi perguruan tinggi swasta, atau unit
pelaksana teknis
• Ringkasan informasi tentang program dan/atau kegiatan
yang sedang dijalankan dalam lingkup PPID
• Ringkasan informasi tentang kinerja dalam lingkup
Kementerian berupa narasi tentang realisasi kegiatan
yang telah maupun sedang dijalankan beserta
capaiannya.
• Ringkasan laporan keuangan
• Ringkasan laporan akses informasi publik
• Informasi tentang peraturan, keputusan, dan/atau
kebijakan yang mengikat dan/atau berdampak bagi
publik di lingkungan PPID masing-masing
• Informasi tentang hak dan tata cara memperoleh
informasi publik, serta tata cara pengajuan keberatan
serta proses penyelesaian sengketa informasi publik
berikut pihak-pihak yang bertanggungjawab yang dapat
dihubungi
• Informasi tentang tata cara pengaduan penyalahgunaan
wewenang atau pelanggaran yang dilakukan baik oleh
pejabat yang mencakup tugas dan wewenang PPID yang
bersangkutan maupun pihak yang mendapatkan izin atau
perjanjian kerja dari unit kerja di lingkungan PPID yang
bersangkutan
• Informasi tentang pengumuman pengadaan barang dan
jasa sesuai dengan peraturan perundang-undangan
• Informasi tentang prosedur peringatan dini dan prosedur
evakuasi keadaan darurat pada unit kerja di lingkungan
PPID yang bersangkutan.
57
2. Informasi publik
yang wajib
diumumkan secara
serta merta
Informasi publik yang wajib diumumkan secara serta
merta meliputi informasi yang dapat mengancam hajat
hidup orang banyak dan ketertiban umum sebagai akibat
seperti bencana alam, bencana non-alam, bencana sosial,
penyebaran penyakit, racun pada bahan makanan,
gangguan terhadap utilitas publik. Informasi ini
diumumkan melalui laman PPID yang bersangkutan dan
media elektronik
3. Informasi yang
wajib tersedia
setiap saat
• Seluruh informasi lengkap yang wajib disediakan dan
diumumkan secara berkala sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13.
• Surat-surat perjanjian dengan pihak ketiga berikut
dokumen pendukungnya
• Surat menyurat pimpinan atau pejabat di lingkungan
PPID yang bersangkutan dalam rangka pelaksanaan
tugas pokok dan fungsinya
• Syarat-syarat perizinan, izin yang diterbitkan dan/atau
dikeluarkan berikut dokumen pendukungnya, dan
laporan penataan izin yang diberikan
• Data perbendaharaan dan inventaris
• Rencana strategis dan rencana kerja Kementerian
• Agenda kerja pimpinan satuan kerja
• Informasi mengenai kegiatan pelayanan informasi
publik yang dilaksanakan, sarana dan prasarana layanan
informasi publik yang dimiliki beserta kondisinya,
sumberdaya manusia yang menangani layanan
informasi publik beserta kualifikasinya, anggaran
layanan informasi publik serta laporan penggunaanya
58
4. Informasi yang
dikecualikan
1.Informasi yang berkaitan dengan rahasia jabatan
2.Informasi yang dapat mengungkapkan isi akta otentik
yang bersifaf pribadi dan kemauan terakhir ataupun
wasiat seseorang
3.Informasi yang dapat mengungkapkan rahasia pribadi,
memorandum atau surat-surat badan publik atau intra
badan publik yang menurut sifatnya dirahasiakan
4.Informasi yang tidak boleh diungkap berdasarkan
peraturan perundang-undangan
5.Informasi yang diminta belum dikuasai atau
didokumentasi
6.Informasi yang bersifat rahasia yang digunakan untuk
mengetahui penilaian prestasi peserta didik, dan soal
ujian dalam penyaringan penerimaan pegawai negeri
sipil
7.Informasi yang ditentukan kemudian oleh PPID
Kementerian atas persetujuan atasan PPID
Kementerian
8.Informasi yang ditentukan kemudian oleh PPID
perguruan tinggi negeri, PPID koordinasi perguruan
tinggi swasta, dan PPID unit pelaksana teknis atas
persetujuan atasan PPID yang bersangkutan.
Dalam hal pelayanan informasi, peraturan ini memberikan peluang bagi
pemohon informasi untuk mengajukan keberatan. Alasan hukum yang dapat
dijadikan dasar pengajuan keberatan ini adalah: penolakan PPID atas
permohonan informasi, tidak tersedianya informasi secara berkala oleh PPID,
permohonan informasi tidak ditanggapi oleh PPID, pemohon informasi dimintai
pengganti biaya salinan dokumen yang tidak wajar, dan jangka waktu
pelayanan informasi publik melebihi batas waktu yang ditentukan oleh UU
KIP.42
42
Pasal 22 ayat (1) Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 50 Tahun 2011
59
3.1.2. Temuan dan Analisis
Meski peraturan ini sudah mengatur mengenai kategorisasi informasi
publik, dalam kenyataannya hingga akhir tahun 2011 belum tersusun
kategorisasi informasi publik sebagaimana diminta oleh UU KIP dan Peraturan
ini.43 Fenomena ini membenarkan pendapat pegawai gerai informasi bahwa
UU KIP belum secara merata dipahami oleh aparatur Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan, walaupun upaya sosialisasi sudah sering dilakukan.44
Adapun dalam hal informasi publik yang wajib diumumkan secara serta
merta, peraturan ini tidak specifik. Dia hanya memberikan batasan atau
definisi tanpa rincian yang bisa menjadi pedoman bagi PPID untuk bekerja.
Perhatian khusus barangkali perlu diberikan pada bagian yang
mengatur soal informasi yang dikecualikan. Selain belum menggunakan
batas-batas yang spesifik sesuai dengan ruang lingkup Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, peraturan ini memberikan kewenangan
sukbyektif kepada PPID, dengan persetujuan atasan PPID, untuk menentukan
informasi yang ingin dikecualikan, yang belum diatur oleh UU KIP.45
Menurut kami, pemberian kewenangan subyektif tanpa batas-batas
yang jelas ini berpotensi disalahgunakan oleh pejabat PPID maupun oleh
institusi dalam lingkup Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yang tidak
punya komitmen terhadap keterbukaan informasi. Bahkan, Pasal 18 Peraturan
Menteri Nomor 50 tahun 2011 ini menyiratkan keengganan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan untuk diawasi dan dinilai oleh publik. Pasal ini
menyebutkan bahwa informasi yang akan menjalani uji konsekuensi dan
dikecualikan adalah informasi yang apabila dibuka berpotensi mengganggu
citra Kementerian, kinerja Kementerian, dan mengganggu ketertiban umum.
Norma ini adalah cerminan dari sikap sebagian besar aparatur birokrasi di
Indonesia yang tidak ingin citranya jatuh meski kinerjanya buruk. Penggunaan
43
Wawancara dengan Srie Indriyani, Kepala Subbidang Pengelolaan Aspirasi Masyarakat, pada
tanggal 16 Mei 2012 44
Wawancara dengan Erna, Pegawai di Gerai Informasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,
pada tanggal 27 Juni 2011 45
Pasal Pasal 12 ayat 3 Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 50 Tahun 2011
60
citra sebagai ukuran, yang tentu saja relatif, dibanding kepentingan publik bisa
dianggap sebagai pengingkaran terhadap kedaulatan publik itu sendiri.
Hal positif dari aturan ini adalah jaminan terhadap hak publik atas
informasi publik. Artinya, publik diberikan kewenangan untuk mengajukan
keberatan kepada atasan PPID jika ada yang kurang beres dalam pelayanan
informasi publik yang diterima.46
3.2. Keberadaan PPID
3.2.1. Kondisi Obyektif
Di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, PPID sudah terbentuk
sejak tanggal 6 September 2010. Keberadaan PPID ini didasarkan pada
Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor
094/P/2010 Tentang Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi di
Lingkungan Kementerian Pendidikan Nasional. Mengaku kepada Keputusan
Menteri ini, organisasi PPID di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
masih sederhana. Struktur PPID hanya terdiri dari Pusat Informasi dan
Hubungan Masyarakat. Selain struktur, Keputusan Menteri ini juga
menguraikan tugas-tugas PPID. Pejabat PPID bertanggungjawab kepada
Menteri Pendidikan Nasional yang sekarang sudah berganti menjadi Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan.
Ada tiga tugas pokok PPID di Lingkungan Kementerian Pendidikan
Nasional menurut keputusan ini. Pertama, mengkoordinasikan penyimpanan,
pendokumentasian, penyediaan, dan pelayanan informasi publik yang
dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh Kementerian
Pendidikan Nasional sesuai dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008
tentang Keterbukaan Informasi Publik. Kedua, menyiapkan sistem, prosedur,
dan sumber daya yang diperlukan untuk melaksanakan tugasnya. Ketiga,
melaporkan pekerjaannya kepada Menteri Pendidikan Nasional.
46
Pasal 22 ayat (1) Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 50 Tahun 2011
61
Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor
094/P/2010 hingga saat ini masih berlaku dan belum pernah dicabut walaupun
nama Kementerian Pendidikan Nasional sudah berubah menjadi Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan.47
Belakangan struktur PPID ini dikembangkan dan disempurnakan sesuai
dengan kebutuhan objektif di lingkungan Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan. Kebutuhan objektif ini meliputi adanya potensi pengajuan
keberatan dari pemohon informasi publik, adanya sengketa informasi dari
pemohon informasi publik, dan adanya permintaan informasi publik dari
masyarakat terhadap unit-unit pelaksana teknis dan jajaran instansi di dalam
ruang lingkup Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Alasan-alasan obyektif inilah yang menjadi dasar perombakan,
pengembangan, dan penyempurnaan struktur PPID di Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan. PPID tidak lagi hanya terdiri dari PPID
Kementerian yang menunjuk Pusat Informasi dan Hubungan Masyarakat,
tetapi ada struktur tambahan lain yaitu PPID Perguruan Tinggi, PPID
Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta, PPID Unit Pelaksana Teknis, Atasan
PPID, dan Tim Pertimbangan Pelayanan Informasi. Perombakan,
penambahan dan penyempurnaan struktur PPID ini diatur di dalam Peraturan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 50 Tahun 2011 Tentang Layanan
Informasi Publik di Lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Di dalam peraturan ini, PPID Kementerian masih dijabat oleh Kepala
Pusat Informasi dan Humas yang ditetapkan oleh Menteri. PPID perguruan
tinggi negeri dijabat oleh Pejabat yang ditunjuk pemimpin perguruan tinggi
negeri yang ditetapkan oleh Rektor/Ketua/Direktur perguruan tinggi negeri.
PPID Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta dijabat oleh pejabat yang ditunjuk
dan ditetapkan oleh koordinator koordinasi perguruan tinggi swasta. PPID unit
47
Perubahan ini diatur di Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 48
tahun 2011 Tentang Perubahan Penggunaan Nama Kementerian Pendidikan Nasional Menjadi
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
62
pelaksana teknis dijabat oleh pejabat yang ditunjuk dan ditetapkan oleh
pemimpin unit pelaksana teknis.48
Tabel 3.2.
Struktur Penetapan Pejabat PPID
PPID Dijabat Oleh Ditetapkan Oleh Atasan PPID
Kementerian Kepala PIH Menteri Sekretaris Jenderal
Perguruan Tinggi
Negeri
Pejabat yang ditunjuk
oleh Pemimpin PTN
Rektor/Ketua/
Direktur
Rektor/Ketua/
Direktur
Kopertis Pejabat yang ditunjuk
oleh Koordinator
Kopertis
Koordinator
Kopertis
Koordinator Kopertis
UPT Pejabat yang ditunjuk
oleh Pemimpin UPT
Pemimpin UPT Pemimpin UPT
Sumber: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Tugas dan tanggungjawab PPID Kementerian adalah sebagai berikut;
6. Mengkoordinasikan pengelolaan informasi publik di lingkungan
Kementerian
7. Melakukan uji konsekuensi terhadap informasi yang akan dikecualikan
8. Menyediakan, mengumumkan, memberikan layanan informasi publik
yang bersifat terbuka
9. Menyelesaikan sengketa informasi publik.49
Tugas dan tanggungjawab PPID perguruan tinggi negeri, PPID koordinasi
perguruan tinggi swasta, dan PPID unit pelaksana teknis bertugas dan
bertanggung jawab adalah:
5. Mengkoordinasikan pengelolaan informasi publik di lingkungan
masingmasing
6. Melakukan uji konsekuensi terhadap informasi yang akan dikecualikan
7. Menyediakan, mengumumkan, memberikan layanan informasi publik
8. Yang bersifat terbuka
9. Menyelesaikan sengketa informasi publik.50 48
Pasal 3 ayat (2), (3), (4), (5) Juncto pasal 4 Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 50
Tahun 2011 49
Pasal 9 Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 50 Tahun 2011
63
Dalam melaksanaan kewenangan dan tugasnya, semua PPID di
lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dibantu oleh pejabat
fungsional pengelola informasi dan dokumentasi. Pejabat fungsional ini
diangkat oleh pejabat PPID. Selain itu, PPID dibantu oleh Tim Pertimbangan
Pelayanan Informasi. Tim ini bertugas memberikan pertimbangan kepada
atasan PPID dalam proses penyelesaian sengketa yang diajukan oleh
pemohon informasi kepada atasan PPID.
Meski demikian, hingga penelitian ini selesai dibuat, struktur dan
organisasi PPID di Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan belum
disesuaikan dengan Keputusan Menteri yang terbaru, dan masih
menggunakan nama Pusat Informasi dan Hubungan Masyarakat.
50
Pasal 10 Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 50 Tahun 2011
64
Diagram 3.1.
Sumber: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Sumber: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
3.2.2. Temuan dan Analisis
Sampai akhir tahun 2011 PPID Perguruan Tinggi Negeri, PPID
Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta, dan PPID Unit pelaksana Teknis di
lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan belum terbentuk.51 Ini
dapat dipahami mengingat Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2011 Tentang Layanan Informasi Publik
di Lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan baru terbit pada
tanggal 30 November 2011.
Sepanjang tahun 2010 hingga 2011 PPID yang ada hanya PPID
Kementerian yang bernama Pusat Informasi dan Humas. Keterlambatan
pembentukan PPID di seluruh Perguruan Tinggi seluruh Indonesia, PPID
51
Wawancara dengan Srie Indriyani, Kepala Subbidang Pengelolaan Aspirasi Masyarakat, pada
tanggal 16 Mei 2012
PUSAT INFORMASI DAN
HUBUNGAN MASYARAKAT
BIDANG
PENCITRAAN
SUBBAGIAN
RUMAH TANGGA
SUBBAGIANTATALAKSANA DAN
KEPEGAWAIANSUBBAGIAN KEUANGAN
BIDANG
INFORMASI
BIDANG
PENGEMBANGAN KEMITRAAN
SUBBIDANG
PERPUSTAKAAN
SUBBIDANG ARSIP DAN
DOKUMENTASI
SUBBIDANG
INTEGRASI
I NFORMASI
SUBBIDANG
KEM ITRAAN
M EDIA
SUBBIDANG
KEM ITRAAN
LEMBAGA
NEGARA
SU BBID ANG
PE NG ELO LAA N
AS PIRA SI
M AS YAR AK AT
SUBBIDANG
PENG ELOLAAN
KONTEN
MEDIA
SUBBIDANG
PUBLIKASI
SUBBIDANG
KEMITRAAN
LEM BAGA
MASYARAKAT
BAGIAN TATA USAHA
KELOMPOKJABATAN
FUNGSIONAL
BAGAN ORGANISASI PUSAT INFORMASI DAN HUBUNGAN MASYARAKAT
65
Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta seluruh Indonesia, dan PPID Unit
Pelaksana Teknis merupakan pelanggaran terhadap ketentuan PP 61 tahun
2010.
Di dalam PP tersebut disebutkan bahwa PPID sudah harus dibentuk
paling lambat tanggal 23 Agustus 2011. Keterlambatan dapat disebabkan
karena penguasaan pejabat publik mengenai UU KIP lemah. Ini dihubungkan
dengan frekuensi sosialisasi UU KIP yang sedikit ke instansi-instansi di
lingkungan Kementerian dan Kebudayaan. Sampai akhir tahun 2011
sosialisasi baru dilakukan di 10 provinsi di Indonesia. Persebarannya sebagai
berikut; Yogyakarta, Semarang, Riau, Makassar, Surabaya, Palembang,
Bandung, Lampung, Gorontalo, dan Banten.52 Sayangnya, sosialisasi di
masing-masing provinsi ini diselenggarakan hanya satu kali kegiatan.
Akibat belum rampungnya struktur dan organisasi PPID, pelayanan
informasi publik di kementerian ini terhambat. Hal ini antara lain dapat dilihat
dari minimnya jumlah permohonan informasi yang masuk pada periode Juli
2010 hingga Juni 2011, yakni cuma 124 permohonan informasi.
3.3. Pelayanan Informasi Publik
3.3.1. Kondisi Obyektif
Permohonan informasi yang masuk ke Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan dari bulan Juli tahun 2010 hingga bulan Juni tahun 2011
sebanyak 124 permohonan, berasal dari 81 pemohon. Dari 124 permohonan
itu sebanyak 122 permohonan bisa dipenuhi, sisanya tidak dapat dipenuhi dan
menjadi sengketa informasi.
52
Wawancara dengan Srie Indiyani, Kepala Subbidang Pengelolaan Aspirasi Masyarakat, pada
tanggal 16 Mei 2012
66
Diagram 3.2.
Kategori Pemohon Informasi
Sumber: Gerai Informasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Dilihat dari kategori pemohon informasi, informasi publik di
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ternyata lebih dibutuhkan atau
diminati oleh perorangan. Sedangkan badan hukum yang mengajukan
permohonan informasi kebanyakan merupakan instansi pemerintah atau
negara, sebagaimana ditunjukkan oleh diagram berikut:
Diagram 3.3.
Kategori Organisasi Asal Pemohon Informasi
Sumber: Gerai Informasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
67
Variasi yang lebih luas tampak pada jenis informasi yang diminta.
Setidaknya, 124 informasi publik yang dipinta oleh 81 pemohon bisa
dikategorikan dalam 14 jenis kelompok informasi yang berbeda. Yang paling
banyak diminta adalah informasi yang berkaitan dengan data statistik/data
base (22 permohonan informasi atau 17,7 %). Adapun informasi yang paling
sedikit diminta adalah data kelulusan dan harta kekayaan aparatur (2
permohonan informasi atau 1.6 %).
Diagram 3.4.
Kategori Jenis Informasi yang Diminta
Sumber: Gerai Informasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
3.3.2. Temuan dan Analisis
Dalam hal pelayanan informasi publik, kinerja Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan tergolong baik. Prestasi ini tergambar pada prosentase
terpenuhinya permintaan informasi publik dari masyarakat.53 Dari 124
53
Wawancara dengan Erna, Pegawai di Gerai Informasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,
pada tanggal 27 Juni 2011
68
permohonan informasi yang masuk, 122 (98,5 %) diantaranya dapat dilayani
dengan baik, dan hanya dua yang diselesaikan melalui ajudikasi.
Capaian prestasi ini tidak terlepas dari peran petugas di gerai informasi.
Penguasaan mereka terhadap UU KIP dan prosedur pelayanan informasi
publik cukup baik. Mereka mampu menjelaskan prosedur pelayanan informasi
publik.54 Mereka juga memahami berbagai konsekuensi hukum yang akan
muncul jika permintaan informasi publik tidak dipenuhi.55 Dalam konteks ini,
UU KIP cukup efektif mendorong perilaku aparatur menjadi pelayan publik
yang baik.
Meski demikian, karena setiap pemberian informasi publik di
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan harus melalui telaah dan izin
pejabat PPID, petugas di gerai informasi tidak bisa memproses setiap
permohonan informasi publik dengan cepat dan mudah.
3.4. Infrastruktur Pelayanan Informasi Publik
3.4.1. Kondisi Obyektif
Terdapat empat infratrusktur pelayanan informasi publik di Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan. Infrastruktur tersebut adalah: Gerai Informasi,
layanan informasi tidak tatap muka, laman Kementerian di internet, dan
perpustakaan.
Gerai informasi disediakan bagi anggota masyarakat yang datang ke
kantor Kementerian Kesehatan untuk meminta informasi atau pun meminta
penjelasan atas sesuatu hal yang tidak dipahami. Gerai ini berlokasi di lobi
Kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Gerai ini ruangannya
tertata rapi. Petugas yang melayani cukup ramah. Di dalamnya terdapat meja
informasi, sofa untuk tamu, majalah, koran, serta berbagai terbitan
Kementerian yang tertata dengan baik.
54
Erna, pegawai yang bertugas di Gerai Informasi, cukup fasih menjelaskan pasal-pasal yang terdapat
di UU KIP, yang berkaitan dengan kewajiban badan publik dalam pelayanan informasi publik.
Wawancara pada tanggal 27 Juni 2011. Dina Amelia, pegawai di Gerai Informasi Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, juga cukup fasih menjelaskan prosedur pelayanan informasi publik
berdasarkan UU KIP. Wawancara pada tanggal 27 Juni 2011 55
Wawancara dengan Erna, Pegawai di Gerai Informasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,
pada tanggal 27 Juni 2011
69
Setiap pemohon informasi yang datang ke gerai akan ditanyai petugas
maksud dan tujuan kedatangannya. Setelah keperluannya jelas, pemohon
akan disodori formulir untuk diisi. Formulir berisi kolom identitas pemohon dan
kolom mengenai uraian informasi yang dibutuhkan. Jika informasi yang dipinta
datanya tersedia di meja petugas dan di folder komputer petugas, maka
informasi yang dipinta akan diberikan saat itu juga. Namun jika informasi yang
diminta ada di unit-unit utama maka petugas akan berkoordinasi dengan unit-
unit utama dan pemohon diminta menunggu jawaban dari Kementerian sesuai
dengan batas waktu yang ditetapkan UU KIP. Pemohon yang memerlukan
penjelasan berkaitan dengan kebijakan tidak dilayani oleh petugas, tapi
dipertemukan dengan Kepala Sub Bidang Pengelolaan Aspirasi Masyarakat,
yang saat ini dijabat oleh Srie Indriyani. Secara umum pelayanan informasi di
Gerai sudah sesuai dengan standar UU KIP dan Peraturan Komisi Informasi
Nomor 01 Tahun 2010.
Gambar 3.2.
Petugas Sedang Melayani Permohonan Informasi
70
Gambar 3.3.
Meja Informasi dan petugas Informasi di Gerai Informasi
Gambar 3.4.
Ruangan untuk para pemohon informasi
71
Gambar 3.5.
Rak majalah dan brosur terbitan Kemendikbud
Infrastruktur lain yang sudah dibangun oleh Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan adalah layanan informasi tidak tatap muka. Fasilitas ini untuk
memberikan pelayanan informasi bagi anggota masyarakat melalui telpon,
faksimili, Short Message Service, surat elektronik (email), dan surat.
Permintaan informasi melalui telpon ditujukan ke nomor call centre 177 dan
nomor (021) 5703303, faksimili (021) 5733125, Short Message Service
0811976929, surat elektronik (email) [email protected], dan surat
ditujukan ke kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.56
Masyarakat juga dapat mengakses informasi publik melalui laman
internet www.kemendiknas.go.id. Di dalamnya ada informasi mengenai
Bantuan Operasional Sekolah, beasiswa Bidikmisi, beasiswa unggulan,
hingga portal berisi layanan buku sekolah elektronik. Situs ini dibuat untuk
menjadi salah satu bentuk pelayanan informasi publik yang mudah diakses
oleh masyarakat.
56
Wawancara dengan Srie Indriyani, Kepala Subbidang Pengelolaan Aspirasi Masyarakat, pada
tanggal 16 Mei 2012
72
Gambar 3.6.
Tampilan Website Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan
Sumber: http://www.kemdiknas.go.id
Infrastruktur lainnya adalah perpustakaan. Infrastruktur ini dibangun
oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk memenuhi kebutuhan
anggota masyarakat akan informasi lebih mendalam. Koleksi buku di
perpustakaan ini tertata rapih, umumnya buku-buku yang diterbitkan oleh
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Perpustakaan ini berada di dalam
gerai informasi.
73
Gambar 3.7.
Perpustakaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
3.4.2. Temuan dan Analisis
Pelayanan informasi publik di Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan tidak bisa berlangsung cepat dan mudah karena belum
terbangun sistem informasi terpusat yang menyediakan data seluruh unit-unit
utama. Hampir setiap waktu petugas informasi harus berkoordinasi dengan
unit-unit utama karena tidak semua informasi yang diminta publik tersedia
dalam data base yang bisa mereka akses seketika.
Kami juga menemukan bahwa laman milik Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan ternyata dikelola oleh pihak luar, yakni outsourcing. Petugas
dari Kementerian hanya membantu secara teknis. 57 Ini disayangkan karena
dari sisi pendanaan merupakan penghamburan uang negara, dan
memperlihatkan bahwa terdapat kekurangan sumber daya manusia yang ahli
57
Wawancara dengan Erna, Pegawai di Gerai Informasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,
pada tanggal 27 Juni 2011
74
di bidang penyediaan informasi melalui media on-line di Kementerian ini.58
Seharusnya laman ini dikelola sendiri oleh pegawai Kementerian.
3.5. Kesimpulan dan Rekomendasi
Capaian Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam
implementasi UU KIP dan peraturan pelaksananya belum maksimal, meski
keempat indikator sudah dipenuhi. Keterlambatan dalam penyesuaian struktur
dan organisasi PPID dengan aturan Menteri yang terbaru menunjukkan
ketidakseriusan Kementerian dalam hal pelayanan informasi publik. Ada
kesan PPID hanya ditempelkan pada struktur kehumasan yang sudah ada
untuk mempelihatkan bahwa secara prosedural Kementerian telah
melaksanakan UU KIP. Kesimpulkan ini dikuatkan oleh kenyataan bahwa
selama periode 2010 – 2011, Kementerian sama sekali tidak mengalokasikan
dana untuk kepentingan pelayanan informasi publik.
Setidaknya ada enam hal yang menurut kami perlu segera dilakukan
oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk memperbaiki kualitas
pelayanan informasi publiknya.
1) Merampungkan kategorisasi informasi sebagaimana disyaratkan UU
KIP dan peraturan pelaksananya.
2) Membentuk PPID Perguruan Tinggi di seluruh Perguruan Tinggi se-
Indonesia, PPID Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta se-Indonesia,
dan PPID Unit Pelaksana Teknis.
3) Mempercayakan pengelolaan laman Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan kepada pegawai sendiri dan bukan pihak luar.
4) Menambah dan memperdalam pengetahuan aparatur di lingkungan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tentang UU KIP dan
peraturan pelaksananya.
5) Membangun sistem informasi yang terpusat.
58
Wawancara dengan Jusman Sihombing, Subbidang Pengelolaan Konten Media, pada tanggal 12
Agustus 2011
75
6) Merevisi Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia Nomor 50 Tahun 2011 tentang Layanan Informasi Publik
di Lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Khusus mengenai revisi Peraturan Menteri, ada dua hal yang kami
anggap penting. Pertama, memasukkan batasan-batasan informasi yang
dikecualikan berdasarkan ruang lingkup Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan. Hal ini ditujukan untuk memperjelas kategori informasi sehingga
menghindari kebingungan dari pejabat PPID maupun pemohon informasi
publik. Kedua, merevisi pasal yang membolehkan pengecualian informasi
tanpa uji konsekuensi sebagaimana yang diatur dalam UU KIP. Adapun tujuan
dari revisi tersebut untuk mencegah potensi penyalahgunaan pembatasan
informasi publik oleh pejabat PPID. Di lain sisi, revisi ini diperlukan untuk
menjamin komitmen Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan dalam
keterbukaan informasi.
76
Bab IV
Capaian Pemerintah Kota Jakarta Selatan
Dari empat ukuran yang dipakai untuk memotret capaian implementasi
UU KIP dan peraturan pelaksanaannya -- yakni produk hukum, keberadaan
PPID, pelayanan permohonan informasi publik, dan infrastruktur pelayanan
informasi -- hanya dua yang menurut Tim Peneliti dipenuhi oleh Pemerintah
Kota Jakarta Selatan. Dua ukuran yang sudah terpenuhi itu adalah
pembentukan PPID dan infrastuktur. Itu pun dengan sejumlah kekurangan di
sana-sini. Padahal, sebagai badan publik, Pemerintah Kota Jakarta Selatan
wajib menerapkan UU KIP dan peraturan pelaksananya.
Semenjak UU KIP resmi diberlakukan pada April 2010 Pemerintah Kota
Jakarta selatan yang berada di bawah koordinasi Pemerintah Provinsi Daerah
Khusus Ibukota Jakarta telah melakukan dua kali program sosialisasi.
Sosialisasi pertama menghadirkan redaktur salah satu surat kabar harian dan
Wakil Ketua Komisi Informasi Pusat Henny S. Widyaningsih, dengan materi
utama penyusunan kategorisasi informasi sebagaimana diwajibkan UU KIP.
Sosialisasi kedua diselenggarakan secara internal dengan fokus memberikan
pemahaman kepada pejabat Pemerintah Kota Jakarta Selatan mengenai
prosedur pelayanan informasi.
PPID dan infrastruktur pelayanan informasi publik di Kota Jakarta
Selatan dibentuk pada 2011. Seharusnya, sejak itu pelayanan informasi publik
di Kota Jakarta Selatan mulai bergulir.59 Berdasarkan keterangan Anita
Indrawati, hal ini belum dilakukan. Di Jakarta Selatan juga belum tersedia
anggaran untuk penyebarluasan dan pelayanan informasi publik. Anita
Indrawati menjelaskan, sampai dengan tahun 2012, Unit-Unit/SKPD di
59
Wawancara dengan Anita Indrawati Kepala Seksi Humas Wali Kota Jakarta Selatan pada tanggal 8
Agustus 2011.
77
lingkungan Kantor Kota Administrasi Jakarta Selatan termasuk suku dinas
komunikasi, informatika dan kehumasan Kota Administrasi Jakarta Selatan
belum mengalokasikan anggaran untuk implementasi UU KIP. Di
Pemerintahan Jakarta Selatan Juga belum terbangun sistem informasi yang
terpusat. 60 Berikut paparan lengkap temuan Tim Peneliti di Kota Jakarta
Selatan.
4.1. Produk Hukum
Hingga penelitian ini berakhir, kami tidak menemukan adanya produk
hukum yang berkaitan dengan operasionalisasi UU KIP di lingkup
Pemerintahan Kota Jakarta Selantan. Satu-satunya produk hukum yang
digunakan sebagai dasar pelayanan informasi publik di Kota ini adalah Surat
Keputusan Gubernur DKI Jakarta (yang belum diketahui detailnya) yang
menjadi dasar pembentukan PPID di Pemerintahan Kota. Padahal
sebagaimana yang terjadi di beberapa instansi publik lain, disamping untuk
membentuk PPID produk hukum internal sangat dibutuhkan sebagai acuan
kategorisasi informasi publik sebagaimana diminta oleh UU KIP. Selain itu,
Pemerintah Kota Jakarta Selatan juga belum memiliki standar operasional
prosedur pelayanan informasi publik. Tapi pejabat humas Pemerintah Kota
Jakarta Selatan menuturkan, kategorisasi informasi dan standar operasional
prosedur baru bisa mereka rampungkan jika sudah ada peraturan Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta tentang Standar Layanan Informasi publik.61
4.2. Keberadaan PPID
PPID di Pemerintah Kota Jakarta Selatan sudah terbentuk pada tahun
2011 dengan dasar Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta (tim peneliti tidak
bisa menjelaskan secara detail tentang PPID, karena tim peneliti tidak
memiliki SK PPID). Pejabat PPID dipegang oleh Kepala Bagian Umum dan
Protokol Pemerintah Kota Jakarta Selatan. Tapi yang sudah terbentuk hanya
60 Wawancara dengan Anita Indrawati Kepala Seksi Humas Walikota Jakarta Selatan pada tanggal 14
Juni 2012 61
Wawancara dengan Anita Indrawati Kepala Seksi Humas Wali Kota Jakarta Selatan pada tanggal 8
Agustus 2011
78
PPID di kantor walikota, sementara PPID di tingkat kecamatan dan kelurahan
belum terbentuk. Padahal, bagi pemerintahan kota/kabupaten, di mana
pelayanan publik lebih banyak dilakukan di kantor-kantor kecamatan dan
keluarahan, urgensi PPID di tingkat kecamatan dan kelurahan tak
terbantahkan. Dengan kehadiran PPID di kantor kecamatan atau kelurahan,
warga kota bisa lebih mudah dan cepat dalam mengakses informasi publik
yang mereka butuhkan.
4.3. Pelayanan Informasi Publik
4.3.1. Kondisi Obyektif
Dalam hal pelayanan informasi publik, pemerintah Kota Jakarta Selatan
termasuk pemerintahan dengan pelayanan informasi yang buruk. Ini berdasar
temuan Ketua Dewan Kota Jakarta Selatan Firdaus Turmudzi.62 Dia
mencontohkan, dalam sebuah pertemuan yang melibatkan ketua RT dan RW
di daerah Gandaria Utara, terungkap bahwa informasi mengenai program-
program yang sudah dilaksanakan Pemerintah Kota Jakarta Selatan belum
tersampaikan ke semua Rukun Tetangga dan Rukun Warga tersebut. Bahkan
menurut Firdaus, informasi-informasi publik yang sifatnya mendasar, di Kota
ini, belum sepenuhnya tersebar luas ke seluruh warga. Semisal informasi
tentang Kartu Tanda Penduduk dan Informasi mengenai Kartu Keluarga.63
Informasi publik di Jakarta Selatan masih menjadi barang mewah,
karena hanya bisa diakses oleh kelas menengah yang sadar teknologi,
misalnya melalui internet. (Tim peneliti tidak bisa menggambarkan secara
lengkap jumlah pengajuan informasi, penanganan informasi, dan sengketa
informasi. Data tidak tersedia. Tim peneliti juga tidak bisa menceritakan
tentang peraturan-peraturan yang menjadi dasar hukum pelayanan informasi,
karena data tidak tersedia.)
62
Wawancara dengan Firdaus Turmudzi, Ketua Dewan Kota Jakarta Selatan pada tanggal 28 Mei
2012. 63
Wawancara dengan Firdaus Turmudzi, Ketua Dewan Kota Jakarta Selatan pada tanggal 28 Mei 2012
79
4.3.2. Temuan dan Analisis
Tidak adanya peraturan yang menjadi dasar bagi pelayanan informasi
publik di lingkup Pemerintahan Kota Jakarta Selatan, ditengarai sebagai
pangkal semua ketidakberesan dalam pelayanan informasi publik di Kota
Jakarta Selatan. UU KIP misalnya mengamanatkan adanya informasi yang
“wajib disediakan dan diumumkan secara berkala”. Di lembaga publik lain,
masuk kategori ini adalah informasi mengenai berapa jumlah permohonan
informasi yang diajukan publik dan bagaimana mekanisme pelayanan dan
penangannya. Namun, bahkan untuk penelitian ini, kami kesulitan
menemukan data yang sistematis dan valid menyangkut jumlah dan
mekanisme pelayanan informasi publik di sana.
Lantaran ketiadaan petunjuk teknis ini, terutama soal kategorisasi
informasi, bisa mengerti kalau banyak aparatur Pemerintah Kota Jakarta
Selatan seolah tidak siap memberikan pelayanan informasi publik sesuai
yang ditetapkan oleh UU KIP. Kami juga menemukan ada sebagian aparatur
yang tampak enggan mengimplementasikan UU KIP dan masih
mempersoalkan apakah semua informasi harus terbuka.64 Para aparatur ini
belum memahami bahwa informasi publik adalah hak konstitusional warga
negara.
Buruknya pelayanan informasi ini karena pemerintah Kota Selatan tidak
memiliki political will yang baik. Ini tergambar dari tidak adanya anggaran,
tidak adanya program pengembangan sumber daya manusia, dan masih
banyaknya aparatur yang kurang setuju dengan keterbukaan informasi. Ini
tergambar dari belum diikutinya batasan hari yang ditetapkan UU KIP dalam
pelayanan informasi.65
64
Wawancara dengan Anita Indrawati Kepala Seksi Humas Wali Kota Jakarta Selatan pada tanggal 8
Agustus 2011 65
Wawancara dengan Anita Indrawati Kepala Seksi Humas Walikota Jakarta Selatan pada tanggal 14
Juni 2012
80
4.4. Infrastruktur Pelayanan Informasi
4.4.1. Kondisi Obyektif
Infrastruktur pelayanan informasi yang sudah dibangun oleh
Pemerintah Kota Jakarta adalah alat informasi mengunakan komputer layar
sentuh yang terdapat di kantor humas pemerintah kota Jakarta Selatan, dan
laman internet. Informasi yang tersaji dan disediakan komputer layar sentuh
ini adalah informasi tentang profil dan program dari satuan kerja perangkat
daerah di lingkungan pemerintahan Kota Jakarta Selatan.
Situs www.selatan.jakarta.go.id juga dikelola sebagai salah satu upaya
pelayanan informasi publik. Laman memiliki beberapa halaman informasi
antara lain: home, profil wilayah pemerintahan, statistik, pariwisata, agenda
walikota, pelayanan, dan kotak saran. Pada link profil wilayah tersedia
informasi mengenai geografi, demografi, kecamatan dan kelurahan, serta
potensi kota. Sementara jika kita masuk ke saluran statistik, tersedia informasi
mengenai statistik pemerintahan dan ketertiban, penduduk dan
ketenagakerjaan, sosial, perdagangan dan pariwisata. Di saluran pariwisata
tersedia informasi mengenai tempat wisata, budaya betawi, hotel, tempat
belanja dan restoran. Jadwal kegiatan Walikota Jakarta Selatan dapat dilihat
pada link agenda walikota, sedangkan di saluran pelayanan tersedia informasi
mengenai pelayanan UPT dan pelayanan Samsat. Pengaduan, masuka dan
saran perbaikan bagi penyelenggaraan pemerintah Kota dapat diberikan
melalui kanal kotak saran. (Tim Peneliti tidak bisa menceritakan secara
lengkap mekanisme operasional infrastuktur dan SDM yang menopangnya,
karena data tidak tersedia) Di pemerintahan Kota Jakarta Selatan juga belum
terbangun sistem informasi terpusat.
4.4.2. Temuan dan Analisis
Meski memiliki laman internet sendiri, Pemerintah Kota Jakarta Selatan
ternyata belum memuat informasi yang wajib disediakan dan diumumkan
secara berkala sebagaimana diatur dalam UU KIP. Laman ini hanya berisi
informasi-informasi umum tentang Pemerintahan Kota dan keadaan Kota
Jakarta Selatan. Contoh, di laman ini hanya ada agenda walikota, padahal UU
81
KIP meminta badan publik secara berkala mengumumkan informasi mengenai
kegiatan dan kinerjanya. Di laman ini juga tidak disediakan penjelasan kinerja
dan laporan keuangan yang sudah digunakan oleh pemerintahan kota Jakarta
Selatan.66
4.5. Kesimpulan dan Rekomendasi
Tim Peneliti berpendapat, Pemerintah Kota Jakarta Selatan belum
berhasil mengimplementasikan UU KIP dan peraturan pelaksananya secara
baik. Dari empat indikator yang kami pakai sebagai ukuran keberhasilan,
hanya dua indikator yang dipenuhi. Yakni, terbentuknya PPID dan infrastruktur
pelayanan informasi. Tapi ini pun belum sempurna. PPID hanya ada di tingkat
walikota, padahal warga kota sehari-hari lebih banyak berurusan dengan
kantor kecamatan dan kelurahan. Demikian pula, infrastruktur informasi,
terkesan hanya sekadar ada, tanpa fasilitas bagi warga untuk mengajukan
permohonan informasi publik. Dari temuan-temuan ini, kami menyimpulkan
Pemerintah Kota Jakarta Selatan tidak punya kemauan yang sungguh untuk
menerapkan UU KIP.
Untuk perbaikan pelayanan informasi di lembaga publik ini, kami
merekomendasikan beberapa hal. Pertama, segera ditetapkan kategorisasi
informasi publik dalam ruang lingkup Pemerintahan Kota Jakarta Selatan
sebagaimana disyaratkan UU KIP dan peraturan pelaksananya. Kedua, perlu
segera dibuat peraturan mengenai standar layanan informasi dan standar
operasional prosedur pelayanan informasi publik. Ketiga, secepatnya dibentuk
PPID di tingkat kecamatan dan kelurahan. Keempat, perlu dibangun sistem
informasi terpusat untuk memberikan pelayanan yang cepat dan efisien
kepada warga pemohon informasi publik. Kelima, perlu diadakan sosialisasi
secara berkala kepada aparatur birokrasi untuk menguatkan pemahaman
aparatur birokrasi tentang UU KIP dan keterbukaan informasi. Keenam, laman
milik Pemerintah Kota Jakarta Selatan perlu dibenahi dan isinya sebaiknya
disesuaikan dengan UU KIP.
66
Kewajiban ini tercantum di dalam pasal 9 UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi
Publik
82
Bab V
Capaian Pemerintah Kabupaten
Jembrana
Meski tidak ada produk hukum internal, dan PPID yang sudah
terbentuk belum memiliki struktur kelengkapan organisasi. Penelitian ini
menemukan dalam upaya implementasi UU KIP, beberapa upaya sudah
dilakukan Pemerintah Kabupaten Jembrana. Diantaranya adalah sosialisasi
sudah dilakukan tiga kali. Sosialisasi pertama kepada Kepala SKPD di
lingkungan Pemerintah Kabupaten Jembrana, dengan pemberi materi Kepala
Dinas Hubkominfo Kabupaten Jembrana. Materi yang dibahas mengenai
kewajiban Badan Publik dalam pelayanan informasi publik. Sosialisasi kedua
pesertanya pegawai di lingkungan pemerintah Kabupaten Jembrana, Materi
yang dibahas isi UU KIP. Sosialisasi ketiga ditujukan kepada organisasi
wanita di Kecamatan Mendoyo dan Pekutatan.. Pelayanan informasi publik
oleh Pemerintah Kabupaten Jembrata telah cukup baik. Mereka juga memiliki
infrastruktur pelayanan informasi yang menjangkau hampir seluruh warga
kabupaten dan sistem informasi yang terpusat. Semua ini dimungkinkan
karena ada dukungan finansial dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) untuk pengadaan infrastuktur informasi dan keseriusan
aparatur pemerintah dalam menyelenggarakan pelayanan informasi.
Di luar fakta positif tersebut di atas, terdapat kelemahan dalam
implementasi UU KIP dan peraturan pelaksananya oleh Pemerintah
Kabupaten yang berada di bawah koordinasi Pemerintah Provinsi Bali. Paling
pokok, pemerintah belum membuat Standar Operasional Prosedur dan belum
memiliki kategori informasi yang pasti untuk pelayanan informasi publik dalam
ruang lingkup Pemerintahan Kabupaten Jembrana.67
67
Wawancara dengan Kepala Bidang Humas Dinas Hubkominfo Pemkab Jembrana, Komang
Supartapada tanggal 21 Juli 2011
83
Dalam bab ini kami akan menyajian temuan penelitian tentang capaian
Pemerintah Kabupaten Jembrana dalam implementasi keterbukaan informasi.
Ukuran yang digunakan untuk memotret capaian ini adalah ukuran yang
terdapat di UU KIP dan peraturan pelaksananya, yakni: keberadaan PPID,
pelayanan permohonan informasi publik, dan infrastruktur pelayanan
informasi.
5.1. Keberadaan PPID
Di kabupaten Jembrana PPID sudah terbentuk sejak tanggal 10
November 2010. Pembentukan ini berdasar Surat Keputusan Bupati
Jembrana Nomor: 1032/Hubkominfo/2010 tanggal 10 Nopember 2010 tentang
Penetapan Petugas Pengelola Informasi Dan Dokumentasi ( PPID ). Pejabat
PPID di Kabupaten Jembrana adalah kepala Dinas Perhubungan Komunikasi
dan Informatika kabupaten Jembrana. Struktur kelembagaan PPID belum
terbentuk.(Tim peneliti tidak bisa menceritakan secara lengkap karena data-
datanya tidak tersedia)
PPID sudah terbentuk, namun masih terdapat kekurangan, struktur
organisasi kelembagaannya belum terbentuk. Selain itu, pemerintah
Kabupaten Jembrana juga belum membuat produk hukum yang mengatur
kategorisasi informasi publik sebagaimana diminta oleh UU KIP. Juga belum
ada aturan mengenai standar operasional prosedur pelayanan informasi
publik sebagaimana diminta oleh Peraturan Komisi Informasi Nomor 01 Tahun
2010. Penyebab semua ini karena sebagian besar aparatur kurang menguasai
UU KIP dan peraturan pelaksananya. Ini dapat dipahami mengingat
Bimbingan teknis kepada aparatur mengenai UU KIP belum pernah
diselenggarakan oleh pemerintah Kabupaten Jembrana.68
68
Wawancara pada tanggal DS Surya, Humas Kabupaten Jembrana. Senin, 18 Juni 2012
84
5.2. Pelayanan Informasi Publik
5.2.1. Kondisi Obyektif
Pemerintah Kabupaten Jembrana telah melayani permohonan
informasi dari masyarakat, baik pemohon infomasi yang datang ke kantor
pemerintahan ataupun yang menyampaikan permohonan melalui saluran-
saluran pelayanan informasi yang mereka sediakan. Di Jembrana, warga bisa
mengakses informasi publik melalui telepon, faksimili, short message service,
dan surat elektronik. Setiap permintaan informasi diproses dengan cepat.
Dalam pelayanan informasi publik ini, yang menjadi ujung tombak
adalah pejabat di bidang hubungan masyarakat dan petugas informasi yang
berada di bawah koordinasinya, operator yang ditugaskan mengoperasikan
infrastuktur informasi, dan aparatur desa. Mekanisme pelayanan informasi
diselenggarakan sebagai berikut; pemohon yang memohon informasi diminta
membuat surat permohonan data atau dokumen. Pejabat PPID kemudian
mencatat semua hal yang dimohonkan. Setelah itu pemohon akan diberikan
bukti nomor pendaftaran. Tahap akhir, PPID akan memberikan data yang
dipinta.69
Para pejabat humas yang melayani permintaan informasi secara
umum, cukup menguasai prosedur pelayanan informasi dan permasalahan
pemerintahan Kabupaten Jembrana. Data-data berbagai satuan kerja
pemerintahan Kabupaten Jembrana dikuasai dengan baik. Misal, data
mengenai kependudukan, data mengenai layanan kesehatan, data mengenai
pendidikan, dan data mengenai kemiskinan. Selain itu, para pejabat ini juga
menguasai prosedur pelayanan informasi, sistem informasi, dan cara kerja
sistem tersebut.70.
Kami mendapat kesan, petugas informasi dan operator infrastruktur
informasi memiliki semangat untuk melayani permintaan informasi dari publik.
Setiap anggota masyarakat yang datang memohon informasi, selalu dilayani
dengan sigap dan cekatan. Ini dapat dimengerti karena para petugas tersebut
telah mengikuti program pendidikan dan latihan mengenai prosedur pelayanan
69
Wawancara Wawancara pada tanggal DS Surya, Humas Kabupaten Jembrana. Senin, 18 Juni 2012 70
Kepala Bidang Humas Pemerintahan Kabupaten Jembrana dan aparatur di bawahnya cukup fasih
menerangkan tentang angka kemiskinan, pertumbuhan penduduk, potensi kabupaten, dan berbagai
kebijakan publik lainnya. Wawancara pada tanggal 21 Juli 2011
85
informasi dan cara mengoperasikan infrastruktur informasi. Pendidikan dan
pelatihan ini diselenggarakan oleh Kantor Pendidikan dan Pelatihan
Pemerintah Kabupeten Jembrana. Biaya pendidikan dan pelatihan ini menjadi
tanggungan Kantor Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kabupaten Jembrana.71
Pelatihan serupa juga diberikan kepada para apatur desa se-Kabupaten
Jembrana. Setiap desa mengirim utusan sebanyak dua orang. Selesai
mengikuti pendidikan dan pelatihan mereka diangkat menjadi operator
infrastruktur informasi di desa-desa, yang sekaligus juga menjadi petugas
informasi.72
Berikut dipaparkan data permohonan informasi yang masuk ke
pemerintah kabupaten Jembrana sejak tahun 2010 hingga tahun 2011. Pada
Tahun 2010, tidak terdapat permohonan informasi. Di tahun 2011, terdapat 15
permohonan informasi yang disampaikan oleh satu pemohon, Forum
Jembrana Transparansi (FJTA). Permohonan ini disampaikan pada bulan
Nopember 2011 dan dapat dipenuhi di bulan Januari 2012. Di tahun 2012
tidak terdapat permohonan informasi.73
15 jenis permohonan informasi yang dimohonkan tersebut adalah 5
jenis dengan rincian :RPJMD Jembrana 2011-2015, RKPD Jembrana
2010,2011,2012, KUA Jembrana tahun 2010,2011,2012, KUA Perubahan
Jembrana tahun 210 dan 2011,PPAS Jembrana tahun 2010,2011,2012, PPAS
Perubahan 2010,2011,Penjabaran APBD Kabupaten Jembrana tahun
2010,2011,2012, Penjabaran APBD Perubahan Kabupaten Jembrana tahun
2010,2011,Penjabaran APBD Realisasi Kabupaten Jembrana tahun 2010,
LPJ Penggunaan APBD tahun 2009 dan 2010 Kabupaten Jembrana,Profil
Sektor Pendidikan,Kesehatan dan Pertanian Kabupaten Jembrana, Renstra
SKPD Dinas PKL Kabupaten Jembrana 2011,2012, Renstra Dinas
Perindustrian, Perdagangan dan Koerasi Kabupaten Jembrana tahun 2011
dan 2012, Renstra Dinas Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial kabupaten
Jembrana tahun 2011 dan 2012, dan Renstra Dinas Pendidikan pemuda Olah
71
Wawancara dengan Kepala Bidang Humas Dinas Hubkominfo Pemkab Jembrana, Komang
Supartapada tanggal 21 Juli 2011 72
Ibid 73
Wawancara Wawancara pada tanggal DS Surya, Humas Kabupaten Jembrana. Senin, 18 Juni 2012
86
raga, Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Jembrana tahun 2011 dan
2012.74
5.2.2. Temuan dan Analisis
Pemerintahan Kabupaten Jembrana sudah berupaya untuk melakukan
pelayanan informasi publik dengan baik. Pendidikan dan pelatihan untuk para
petugas pelayanan informasi publik, juga aparatur desa, memperlihatkan
bahwa pemerintah Kabupaten Jembrana sangat serius dalam melayani
permohonan informasi dari publik. Dari sisi lain, ikut sertanya aparatur desa
dalam pendidikan dan pelatihan pelayanan informasi menunjukkan bahwa
pemahaman mengenai keterbukaan informasi publik di kalangan di kalangan
aparatur pemerintahan Jembrana sudah sangat merata.
Kesigapan dan kecekatan petugas informasi dan operator informasi di
pusat-pusat pelayanan informasi di lingkungan pemerintahan Kabupaten
Jembrana merupakan bukti kongkrit keberhasilan Pusat Pendidikan dan
Pelatihan Pemerintah Kabupaten Jembrana dalam mempersiapkan petugas
pelayanan informasi.
Para pejabat humas dan petugas informasi di Pemerintah Kabupaten
Jembrana merupakan potret yang tidak umum dalam birokrasi Indonesia.
Umumnya, sebagian besar aparatur birokrasi di Indonesia kurang menguasai
masalah yang berada di bawah otoritasnya. Di Jembrana Tim Peneliti
menemukan, para pejabat humas dan petugas informasi sangat menguasai
bidang kerjanya, dan memiliki pengetahuan yang komprehensif mengenai
berbagai informasi dan masalah dalam lingkup pemerintahan Kabupaten
Jembrana. Temuan ini menggugurkan hipotesis umum bahwa aparatur
birokrasi sulit melayani tapi ingin dilayani.
Sebagai efek langsung dari keseriusan dan kemauan bersama inilah,
Informasi publik sebagian besar telah tersebar secara merata ke seluruh
warga kabupaten. Capaian prestasi ini tidak terlepas dari peran Bidang
Hubungan Masyarakat pada Pemerintah Kabupaten Jembrana sebagai
pelayan informasi publik, Bidang Komunikasi dan Informasi yang mengelola
74
Ibid
87
sistem dan infrastruktur informasi publik, petugas informasi dan operator
infrastruktur informasi, serta aparat desa yang terlibat menjadi petugas dan
operator informasi.
Sisi lainnya, pelayanan informasi masih belum memenuhi ketentuan
UU KIP. Batas waktu yang diminta UU KIP belum dipenuhi. Penyebabnya
adalah informasi masih dikuasai oleh SKPD-SKPD, dan para petugas belum
sepenuhnya memahami tentang tugas, kewajiban dan wewenangnya sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.
5.3. Infrastruktur Pelayanan Informasi
5.3.1. Kondisi Obyektif
Infrastruktur pelayanan informasi yang sudah dibangun oleh
Pemerintah Kabupaten Jembrana adalah J.Net yang merupakan singkatan
dari Jimbarwana Networking. Yang dimaksud dengan J.Net adalah Jaringan
internet yang mengintegrasikan Kecamatan, desa-desa, sekolah, dan
lembaga lain se-Kabupaten Jembrana. Pembangunan J.Net ini dimaksudkan
untuk meningkatan kualitas pelayanan publik dan kualitas pendidikan, serta
diseminasi kemajuan teknologi informasi dan komunikasi kepada kalangan
masyarakat.75
Sistem J.Net ini terdiri dari infrastruktur berupa perangkat komputer dan
jaringan internet di pusat pemerintahan, yang terhubung dengan komputer
dan jaringan internet di setiap instansi di bawah koordinasi pemerintahan
Kabupaten Jembrana.
Awalnya J.Net dibangun oleh Pemerintah Kabupaten Jembrana. Tapi
infrastruktur ini kemudian dihibahkan kepada instansi-instansi terkait seperti
sekolah, desa, dan yang lain. Kini pemeliharaan J.Net dilakukan secara
swadaya oleh masyarakat menggunakan anggaran desa.
Pembangunan J.Net tidak menghabiskan banyak biaya karena
Pegawai Negeri Sipil di instansi-instansi terkait ikut dilibatkan sebagai
75
Ibid
88
operator. Pelatihan cara mengoperasikan infrastruktur ini pun tak memerlukan
anggaran besar karena para instruktur didatangkan dari Bidang Komunikasi
dan Informasi Pemerintah Kabupaten Jembrana.
J.Net setidaknya memberikan tiga manfaat. Pertama, terbangunnya
sistem informasi yang terpusat. Kedua, koordinasi antara bupati dengan
instansi-instansi yang ada di bawahnya menjadi lebih mudah. Ketiga,
pemegang kebijakan dapat lebih cepat menangkap aspirasi yang disampaikan
anggota masyarakat di akar rumput. Bupati Jembrana sering mengadakan
tatap muka virtual dengan aparat desa dan anggota masyarakat melalui J.Net.
Instansi-instansi yang berada di bawah koordinasi Pemerintah Kabupaten
Jembrana pun dapat mengakses kebijakan yang telah disusun bupati lewat
jaringan ini.76
Pada awal pembangunannya J-Net tidak mengalami masalah.
Segalanya berjalan dengan baik. J-Net telah menjadi inovasi baru dalam
pelayanan informasi bagi publik. inovasi yang belum pernah ada di tempat
lain. Dalam perkembangannya, J-Net mengalami masalah. Instansi-instansi
yang dihibahkan perangkat J-Net tidak mampu membiayai pemeliharaan
infrastruktur ini. Perangkat J-Net di sebagian besar sekolah dasar di
Kabupaten Jembrana tidak berfungsi, karena tidak terawat dan terbelengkalai.
Hal ini dibenarkan oleh Kepala Dinas Dikporaparbud Kabupaten Jembrana.
Bahkan beliau mengatakan kondisi tiang penyangga fasilitas internet tersebut
keropos dan dikhawatirkan roboh.77 Bali post melaporkan tower J-Net pernah
ada yang menimpa rumah penduduk.78
Pemerintah Kabupaten Jembrana pernah mewacanakan untuk
membiayai pengelolaan J-Net dari dana BOS, di kemudian hari wacana itu
tidak jadi dilaksanakan. Pertimbangannya, setelah dikalkulasi, biaya yang
dibutuhkan sangat besar. Bupati Kabupaten Jembrana, I Putu Artha, lebih
memprioritaskan membangun gedung sekolah, laboratorium, dan alat sekolah
lainnya, seperti meja dan kursi.79 Banyaknya perangkat J-Net yang rusak dan
tidak terawat ini mengundang kritik dari ketua Komisi C DPRD Kabupaten 76
Ibid 77 http://bali.antaranews.com/berita/15055/perangkat-j-net-di-jembrana-terbengkalai 78
Bali Post, Jumat, 1 Juli 2011 79
Ibid. Keluhan terhadap J-Net ini juga disampaikan anggota masyarakat melalui laman milik
pemerintah Kabupaten Jembrana
89
Jembrana. Kritiknya, seharusnya biaya pemeliharaan J-Net dianggarkan
dalam anggaran satuan Kerja Perangkat daerah (SKPD), masyakarat jangan
dibebani untuk pemeliharaan ini.80
Infrastruktur lain yang sudah dibangun dalam rangka pelayanan
informasi publik adalah laman di internet. Nama situsnya
www.jembranakab.go.id. Di laman ini terdapat berbagai saluran antara lain:
profil, fasilitas, pemerintahan, pariwisata, galeri, berita, dan informasi publik.
Kanal profil berisi informasi tata ruang, infrastruktur, kependudukan, ekonomi,
sosial budaya, sejarah, arti lambang, pendidikan, dan kesehatan. Di saluran
fasilitas tersedia informasi fasilitas pendidikan, kesehatan, keamanan,
olahraga, dan pertemuan. Informasi tentang eksekutif, produk hukum, APBD
dan PAD, aparatur pemerintahan, dapat ditemukan di kanal pemerintahan.
Sedangkan informasi mengenai akomodasi, objek wisata, dan event, tersedia
di kanal pariwisata. Di saluran Galeri tersedia foto dan video dan foto kegiatan
pemerintahan. Kanal berita menyediakan berita mengenai Jembrana, SKPD,
agenda pemerintahan, atau pengumuman yang berhubungan dengan
kepentingan masyarakat. Akhnirnya, pada saluran informasi publik, tersedia
informasi tentang profil Jembrana, perizinan, beasiswa, lowongan kerja, harga
pasar, dan Jaminan Kesehatan Bali Mandara.
Infrastruktur informasi lain yang sudah dibangun adalah Media
Informasi Touch Screen. Media Informasi ini berisi data profil jembrana,
potensi wisata, dan syarat-syarat perijinan. Media ini ditempatkan di
kabupaten dan kecamatan-kecamatan untuk mempermudah masyarakat
memperoleh informasi.
80
Bali Post, Jumat, 1 Juli 2011
90
Gambar 5.1.
Media Touch Screen
Infrastruktur lainnya yang sudah dibangun adalah SMS Center and
Broadcast. Infrastruktur ini dibangun untuk memberikan informasi kepada
masyarakat apabila terdapat kegiatan yang melibatkan partisipasi masyarakat.
Sampai saat ini database di SMS Center and Broadcast menyimpan Nomor
195.543 nomor mobile phone milik masyarakat kabupaten Jembrana.81
Infrastruktur pelayanan informasi lain yang sudah dibangun adalah
ATM Palugada. Di dalam alat ini terintegrasi beberapa database SKPD-SKPD.
ATM ini berisi data kependudukan, kepegawaian, perizinan, dan pelayanan
81
Wawancara Wawancara pada tanggal DS Surya, Humas Kabupaten Jembrana. Senin, 18 Juni 2012
91
rumah sakit.. ATM ini bekerja dengan cara membaca chip yang ada pada
KTP.82
ATM ini berfungsi untuk memenuhi kebutuhan informasi masyarakat
dalam waktu cepat. Dia berisi data pribadi dan dokumen seluruh penduduk
Kabupaten Jembrana. Tujuan pengadaan infrastruktur ini untuk
mempermudah pengurusan perizinan, terutama saat dokumen-dokumen yang
disyaratkan dalam sebuah urusan tidak dibawa. Warga yang kehilangan
dokumen pribadi bisa mendapatkan back up informasi dari mesin ini. Melalui
bantuan ATM ini informasi yang dibutuhkan dapat dicetak saat itu juga melalui
bantuan petugas informasi dan operator infrastruktur. Cara menggunakannya
sangat mudah, cukup dengan memasukkan Kartu Tanda Penduduk ke dalam
mesin.
Gambar 5.2.
Petugas sedang memeragakan ATM Palugada
82
Wawancara Wawancara pada tanggal DS Surya, Humas Kabupaten Jembrana. Senin, 18 Juni 2012
92
Gambar 5.3.
Mesin ATM Palugada
Infrastruktur lainnya yang sudah dibangun adalah papan-papan
informasi yang mudah diakses oleh publik. Papan ini sengaja disediakan di
tempat-tempat yang mudah terlihat publik. berikut gambar papan informasi.
93
Gambar 5.4.
Papan Informasi Pemerintah Kabupaten Jembrana (1)
Gambar 5.5.
Papan Informasi Pemerintah Kabupaten Jembrana (2)
94
Gambar 5.6.
Papan Informasi Perizinan Pemerintah Kabupaten Jembrana
Infrastruktur lainnya yang sudah terbangun adalah, infrastruktur
informasi terpusat di NOC Kantor Bupati. Seluruh server dari aplikasi yang
ada di Pemkab Jembrana sudah diletakan di NOC (Net Operation Countrol)
yang berada di salah satu ruangan khusus pada Dinas perhubungan
Komunikasi dan Informatika Kabupaten Jembrana.83
5.3.2. Temuan dan Analisis
J.Net merupakan inovasi Pemerintah Kabupaten Jembrana dalam hal
manejemen informasi yang menurut Tim Peneliti telah sangat membantu
terbentuknya sistem birokrasi kabupaten yang efektif dan efisien. Semua
informasi mengenai pemerintahan dan penduduk terdata dengan baik sistem
jaringan informasi ini. Sistem ini memudahkan bupati untuk mengawasi
bawahannya, dan memungkinkan masyarakat memantau secara langsung
kinerja bupati. Melalui jaringan ini bupati juga lebih mudah menyerap aspirasi
83
Wawancara Wawancara pada tanggal DS Surya, Humas Kabupaten Jembrana. Senin, 18 Juni 2012
95
warga secara langsung. Dengan J.Net, Pemerintah Kabupaten Jembrana
telah membangun kultur birokrasi yang transparan dan akuntabel. Ini inovasi
yang layak dicontoh oleh penyelenggara pemerintahan lain di Indonesia.
Meskipun demikian tetap ada hal yang perlu dijadikan catatan penting.
Dalam perkembangannya J-Net tidak terawat dan terbelengkalai karena
instansi-instansi yang dihibahkan perangkat ini tak sanggup membiayai
infrastruktur J-Net. Kesalahan ini ada di pihak pemerintah Kabupaten
Jembrana, yang tidak memperhitungkan dengan cermat pengadaan
infrastruktur ini. Seharusnya sejak awal sudah dilakukan kajian akademis yang
matang dan terukur sebelum pembangunan infrastruktur dilaksanakan.
Sehingga pengadaan infrastruktur ini tidak membebani masyarakat. Temuan
ini memperlihatkan bahwa pemerintah kabupaten Jembrana memiliki
semangat pelayanan tapi kurang cermat dalam perencanaan.
Temuan lain yang tak kalah menarik adalah ATM Palugada, yang kerap
dikelakarkan menjadi “apa yang lu mau gua ada”. ATM ini telah memudahkan
masyarakat mengakses data dirinya tanpa melalui prosedur yang rumit.
Melalui jasa mesin ini hambatan-hambatan pelayanan informasi berkaitan
dengan data diri seseorang, dapat teratasi dengan baik.
Temuan lainnya adalah adanya papan informasi yang ditempatkan
diberbagai tempat yang mudah diakses. Adanya media touch screen yang
mempermudah masyarakat di kecamatan-kecamatan dalam mengakses
kebijakan pemerintah tanpa harus datang ke kantor-kantor pemerintahan.
Kemudian terdapat SMS center and broadcast yang semakin mendekatkan
pemerintah dengan masyarakat. Melalui sms yang disebar, anggota
masyarakat menjadi tahu apa yang sedang dikerjakan oleh pemerintahnya. Ini
bentuk perwujudan good governance dimana terdapat keterlibatan publik
dalam penyelenggaraan negara. Terakhir, dengan adanya Net Operation
control (NOC) sistem informasi telah terbangun secara terpusat.
Meski demikian tidak berarti Pemerintah Kabupaten Jembrana telah
sepenuhnya menjalankan amanat UU KIP. Laman internet yang dikelola oleh
Pemerintah Kabupaten Jembrana, misalnya, belum memuat informasi yang
96
wajib disediakan dan diumumkan secara berkala, sebagaimana yang diminta
UU KIP. Laman ini juga belum berisi informasi laporan keuangan yang sudah
digunakan oleh pemerintahan Kabupaten Jembrana.84 Hal lainnya, belum
tersedianya data yang lengkap dari SKPD-SKPD di NOC. Data-data sebagian
besar masih dikuasai oleh SKPD-SKPD.
5.4. Kesimpulan dan Rekomendasi
Capaian Pemerintah Kabupaten Jembrana dalam implementasi UU KIP
dan peraturan pelaksananya secara umum sudah baik. Dari empat indikator,
tiga indikator sudah dipenuhi. Yakni adanya PPID, pelayanan informasi yang
baik dan adanya infrastruktur pelayanan informasi. Kualitas pelayanan
informasi dan infrastruktur pelayanan informasi di Kabupaten Jembrana
termasuk yang terbaik, jika dibandingkan dengan tiga lembaga publik lain
yang menjadi subjek teliti dalam penelitian ini.
Berikut rekomendasi kami untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan
dalam implementasi UU KIP di Jembrana. Pertama, perlu segera dibuat
kategorisasi informasi dalam ruang lingkup Pemerintahan Kabupaten
Jembrana, sebagaimana disyaratkan UU KIP dan peraturan pelaksananya.
Kedua, perlu segera dibentuk peraturan tentang Standar layanan informasi
dan Standar operasional prosedur pelayanan informasi publik. Ketiga, isi
laman milik Pemerintah Kabupaten Jembrana perlu disesuaikan dengan
ketentuan yang terdapat di dalam UU KIP. Keempat, perlu dialokasikan
anggaran untuk pemeliharaan J-Net di semua instansi di bawah koordinasi
pemerintah Kabupaten Jembrana. Agar masyarakat tidak terbebani
pemeliharaan infrastruktur ini. Kelima, perlu dilengkapi data-data SKPD yang
terpusat di NOC. Keenam, perlu diselenggarakan Bimbingan Teknik secara
reguler kepada aparatur agar memahami secara lengkap UU KIP.
84
Kewajiban ini tercantum di dalam pasal 9 UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi
Publik
97
Bab VI
Melangkah Maju: Belajar dari Pengalaman
Manakala merancang penelitian ini, kami bersandar pada asumsi yang
sangat sederhana bahwa implementasi UU KIP cuma persoalan teknis, dari
membuat aturan pelaksanaan, membentuk struktur dan organisasi PPID,
menentukan kategori informasi, membangun gerai informasi, hingga
menyediakan petugas informasi. Ternyata temuan di keempat subjek
penelitian – Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, Pemerintah Kota Jakarta Selatan dan Pemerintah Kabupaten
Jembrana – menunjukkan ada pengaruh berbagai aspek lain pada
keberhasilan atau kekurangberahasilan sebuah lembaga publik
menyelenggarakan pelayanan informasi publik yang baik sesuai undang-
undang.
Ada pengaruh politik, misalnya tampak pada kasus Pemerintahan Kota
Jakarta Selatan. Ketika kami menanyakan alasan mengapa mereka belum
memiliki kategori informasi publik yang baku, pejabat di sana menjawab
mereka menunggu keputusan Gubernur DKI Jakarta mengenai hal tersebut.85
Ini dapat dipahami karena ada relasi kekuasaan yang bersifat struktural antara
Provinsi DKI Jakarta dengan Kota Jakarta Selatan. Undang-undang Nomor 29
Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta
melekatkan otonomi pada level provinsi, di mana para kepala daerah
administrasi/kabupaten dalam wilayah DKI diangkat dan diberhentikan oleh
gubernur atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dalam konteks
ini Walikota Jakarta Selatan adalah bawahan dari Gubernur DKI Jakarta.
85 Wawancara dengan Anita Indrawati Kepala Seksi Humas Wali Kota Jakarta Selatan pada tanggal 8
agustus 2011
98
Fenomena Kota Jakarta Selatan ini amat berbeda dengan Kabupaten
Jembrana. Meski masuk wilayah Provinsi Bali, Jembrana merupakan daerah
otonom dengan kewenangan politis yang lebih besar dibandingkan Jakarta
Selatan di bawah DKI. Bupati Jembrana juga dipilih langsung oleh warga
melalui pemungutan suara lima tahun sekali. Perbedaan natur politik inilah
yang kami pandang menjadi sebab mengapa Jembrana memiliki ruang untuk
berkreasi dan berinovasi yang lebih luas dibandingkan dengan Jakarta
Selatan.
Pada lembaga publik yang otonom, yang memiliki kewenangan yang
cukup luas untuk mengatur dirinya – dalam penelitian ini Kementerian
Kesehatan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta Pemerintah
Kabupaten Jembrana – kami percaya pemimpin menjadi faktor penting yang
menentukan maju mundurnya institusi tersebut dalam implementasi UU KIP.
Itu sebabnya kami menduga, perbedaan kebijakan dalam implementasi UU
KIP di Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pertanian, dalam batas-
batas tertentu, merupakan cerminan dari perbedaan karakter Menteri
Kesehatan almarhumah Endang Rahayu Sedyaningsih dengan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh. Mungkin perlu penelitian
tersendiri untuk menguji hipotesa ini.
Bicara soal karakter aparatur, ada temuan menarik lain yang juga
memunculkan pertanyaan baru, yakni: apa yang membuat aparatur dan
petugas informasi di Jembarana tampak begitu spontan dan tulus melayani
permintaan informasi dari warga, sementara aparatur di instansi lain, dalam
hal ini Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, mengaku terpaksa melakukan pelayanan karena takut pada
ancaman UU KIP Nomor 14 Tahun 2008.86 Meski pada akhirnya mereka
menghasilkan output yang sama, Tim Peneliti berkeyakinan, kualitas
pelayanan yang diberikan oleh kedua tipe aparatur ini berbeda.
86 Dalam wawancara tanggal 13 Juli 2011, Kepala Sub Bidang Publikasi dan Layanan Informasi
Kementerian Prawito menjelaskan bahwa UU KIP menakutkan bagi sebagian besar pegawai
Kementerian Kesehatan, karena memuat banyak sanksi. Doddy Riyadi, pegawai Kementerian
kesehatan yang diwawancarai pada hari yang sama menambahkan,sanksi yang ditakutkan adalah
sanksi pidana. Sedangkan Erna, pegawai di Gerai Informasi Kementerian Pendidikan yang
diwawancarai pada 27 Juni 2011 mengatakan, mereka sangat paham dengan konsekuensi hukum
terhadap mereka jika permintaan informasi publik tidak dipenuhi.
99
Tentu saja masih ada banyak aspek lain yang mempengaruhi berbagai
pilihan dan keputusan di setiap instansi subjek penelitian, dalam
implementasi UU KIP. Antara lain, misalnya, kekuatiran lembaga bahwa
penerapkan UU KIP bisa menjadi bumerang bagi mereka. Aspek psikologis ini
tampak pada kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dalam hal
infomasi yang dikecualikan. Pasal 18 Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 50
Tahun 2011 misalnya menegaskan bahwa, terhadap informasi yang kalau
dibuka berpotensi mengganggu citra Kementerian akan dikenakan uji
konsekuensi.
Berikut ringkasan hasil penelitian ini, yang kami harapkan bisa menjadi
semacam peta kecil untuk memahami dinamika implementasi UU KIP di
lembaga-lembaga publik.
6.1. Kendala Umum
Setidaknya ada enam hal atau faktor yang kami catat menjadi sebab
rendahnya pencapain subjek penelitian dalam hal implementasi UU KIP.
Pertama, faktor PPID yang belum terbentuk. Ini kasus Jakarta Selantan dan
Jembrana. Dengan catatan, untuk Jembrana, meski belum memiliki PPID,
pemerintah kabupaten ini telah berhasil membangun sistem pelayanan
informasi yang menjangkau hingga wilayah pedesaan. Hal lain, harusnya
PPID dan serta petugas informasi tersedia hingga pada unit pelaksana teknis,
tapi dalam kasus Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan ini belum sepenuhnya terlaksana.
Kedua, faktor kategorisasi informasi. Tidak adanya, atau kurang
lengkapnya pengaturan soal kategori informasi sering menyebabkan petugas
informasi bingung dalam melakukan pelayanan informasi publik. Juga, instansi
akhirnya tidak dapat menjalankan perintah UU KIP, misalkan dalam hal
mengumumkan informasi-informasi yang bekaitan denga program kerja
institusi atau penggunaan anggaran. Hal ini dialami semua subjek penelitian.
Kementerian Kesehatan bermasalah dengan informasi yang dikecualikan.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan juga belum memiliki kategorisasi
yang tegas dan spesifik soal informasi yang dikecualikan, dan kurang jelas
100
pada bagian informasi publik yang perlu diumumkan secara serta merta.
Pemerintah Kota Jakarta Selatan dan Pemerintah Kabupaten Jembrana
bahkan sama sekali belum membuat kategorisasi informasi. Tim Peneliti
menduga ini terjadi karena instasi tidak memiliki otonomi dan menunggu
keputusan dari lembaga publik yang berkedudukan lebih tinggi (Jakarta
Selatan), ada kekhawatiran keterbukaan informasi bisa berimplikasi buruk
terhadap lembaga dan aparatur lembaga publik (Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan), lemahnya koordinasi antar pejabat PPID (Kementerian
Kesehatan)87, atau untuk alasan yang belum diketahui (Kabupaten Jembrana).
Ketiga, faktor standard operasional prosedur pelayanan informasi
publik dan standard layanan informasi. Baru Kementerian Kesehatan yang
memiliki standard-standard seperti yang diatur dalam Peraturan Komisi
Informasi Nomor 01 Tahun 2010. Akibatnya, sistem dan prosedur pelayanan
di Kementerian Kesehatan lebih teratur dan lebih baik dibandingkan dengan di
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan di Pemerintah Jakarta
Selatan. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berusaha efisien dengan
sekadar mengubah struktur kehumasan menjadi PPID. Cuma, karena yang
diubah hanya nama, sementara organisasi dan fungsinya tampak tidak ditata
ulang, inovasi ini tidak memberikan hasil yang memuaskan. Anomali terjadi
pada Pemerintah Kabupaten Jembrana. Meski belum menetapkan standard
layanan informasi sesuai ketentuan Komisi Informasi, pelayanan informasi
publik di Jembrana ternyata lebih cepat dan lebih efektif dibanding tiga
lembaga publik lain yang diteliti. Ini antara lain karena Pemerintah Jembrana
memiliki petugas informasi di hampir setiap kantor pemerintahan, di samping
kenyataan bahwa informasi terkait publik dan aktivitas pemerintah di
Jembrana sudah terpusat. Di sisi lain, Lembaga Pendidikan dan Pelatihan
Pemerintah Kabupaten Jembrana punya andil besar dalam mempersiapkan
petugas informasi yang handal.
Keempat, faktor sistem informasi terpusat. Manfaat sistem informasi
terpusat bisa dilihat pada praktek pengelolaan informasi publik di Kabupaten
Jembrana. Terutama, pelayanan informasi menjadi lebih cepat, mudah, dan
87 Wawancara dengan Prawito, Kasubbid Publikasi dan Layanan Informasi Kementerian Kesehatan,
pada tanggal 13 Juli 2011.
101
efisien. Malah, dengan sistem jaringan atau J.Net dan ATM Palugada, layanan
informasi pada pemerintahan Jembrana bisa realtime.
Kelima, faktor alokasi dana untuk pelayanan informasi publik. Kami
mengamati, meski bukan merupakan penentu utama dana ikut menunjang
keberhasilan implementasi UU KIP di lembaga-lembaga subjek penelitian.
Kementerian Kesehatan dan Pemerintah Kabupaten Jembran yang secara
khusus mengalokasikan dana untuk pelayanan informasi publik, ternyata
memiliki profil pelayanan informasi yang lebih baik dibandingkan dengan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Pemerintah Kota Jakarta
Selatan yang tidak memiliki anggaran khusus untuk pelayanan informasi
publik.
Keenam, faktor aturan hukum. Dari semua kendala yang kami temukan,
aturan hukum merupakan poin utama yang menentukan baik-buruknya
implementasi UU KIP di keempat subjek penelitian. Pada Kementerian
Kesehatan dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, tampak jelas
bahwa ketetapan dan peraturan menteri menjadi motor bagi implementasi UU
KIP di masing-masing kementerian. Sebaliknya pada Kota Jakarta Selatan
dan Pemerintah Kabupaten Jembrana, kekosongan produk hukum telah
menyebabkan kedua lembaga publik ini gagal memenuhi tuntutan UU KIP dan
aturan pelaksanaannya, antara lain menyangkut pembetukan PPID,
penetapan kategori informasi, dan penetapan standard operasional prosedur
pelayanan informasi publik dan standard layanan informasi. Dengan dua fakta
sederhana ini bisa disimpulkan bahwa aturan hukum internal harusnya bisa
menjadi jalan masuk utama utama untuk meningkatkan kualitas serta
kuantitas pelayanan informasi di lembaga-lembaga publik.
6.2. Teladan di Lapangan
Meskipun lembaga-lembaga publik yang menjadi subjek penelitian
belum lama menerapkan UU KIP di lingkup kerjanya masing-masing,
beberapa dari mereka ternyata berhasil mengembangkan pola dan sistem
kerja yang patut dicontoh. Pertama, Pojok Informasi di Kementerian
102
Kesehatan dan Gerai Informas di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Kami berpendapat fasilitas ini sangat berguna, bukan cuma untuk melayani
permintaan informasi tapi sekaligus menjadi beranda yang mempertemukan
publik dan lembaga publik dalam interaksi yang humanis dan konstruktif.
Fasilitas seperti ini perlu diperbanyak, jika mungkin di setiap kantor pelayanan
publik. Disamping itu, petugas informasi di Pojok atau pun Gerai Informasi
harus sepenuhnya paham dan mengerti aturan serta semangat UU KIP.
Kedua, Pusat Tanggap Respon Cepat di Kementerian Kesehatan dan
Layanan Informasi Tidak Tatap Muka di Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan. Fasilitas semacam ini layak untuk direplikasi di lembaga publik
lain, mengingat telah terbukti sangat efektif dan paling populer sebagai jalur
komunikasi informasi publik. Sebagai contoh, semua permohonan informasi
publik yang diterima Kementerian Kesehatan pada periode 2011, masuk
melalui jalur ini.
Ketiga, ATM Palugada di Jembrana. Inovasi unik ini memudahkan
warga, sekaligus memangkas kerumitan birokrasi dan korupsi yang sering
muncul dalam urusan administrasi kemasyarakatan. Model ini bisa ditiru
mengingat mulai tahun 2013 seluruh warga Indonesia diproyeksikan telah
mulai menggunakan Kartu Tanda Penduduk elektronik.
Terakhir, Jimbarwana Networking alias J.Net. Di Kabupaten Jembrana,
inovasi dalam hal manejemen informasi ini sangat efektif dan efisien. Bupati
bisa mengawasi bawahannya melalui jaringan ini, sebaliknya masyarakat bisa
menggunakan jaringan ini untuk memantau secara langsung kinerja bupati,
dan menyampaikan aspirasi mereka. J.Net menurut kami memadukan dua hal
penting dalam pelayanan informasi: akses dan kekuatan jaringan.88 Ini inovasi
yang layak dicontoh. Meskipun harus tetap diberi catatan perihal
perkembangan infrastruktur J.Net yang terbengkalai dan kurang diperhatikan
oleh Pemerintah Kabupaten Jembrana.
88 Hukum Metcalfe menyebutkan, nilai sebuah jaringan telekomunikasi akan meningkat secara
kuadratik, proporsional terhadap jumlah peserta jaringan, sementara biaya yang dibutuhkan paling
banyak akan tumbuh secara linear.
103
6.3. Keterbatasan Penelitian dan Rekomendasi
Penelitian ini hanya menggunakan data sekunder terutama yang
diperoleh dari keempat lembaga publik subjek penelitian, dan informasi dari
wawancara serta focus group discussion dengan para aparatur di lembaga-
lembaga tersebut. Konsekuensi dari pilihan ini, capaian subjek penelitian
dalam hal penerapan UU KIP hanya kami takar secara normatif dengan
menggunakan alat ukur yang telah ditetapkan oleh undang-udang, yakni ada
tidaknya: produk hukum sebagai aturan pelaksanaan UU KIP, PPID,
pelayanan permohonan informasi publik, dan infrastruktur pelayanan
informasi. Karena itu kami merekomendasikan agar dibuat penelitian lain yang
mengukur capaian implementasi UU KIP secara lebih subtantif seperti: tingkat
kepuasan masyarakat terhadap pelayanan informasi publik, serta impak dari
pelaksanaan undang-undang ini terhadap pelayanan publik dan tingkat
partisipasi publik dalam penyelenggaraan negara. Penelitian lanjutan ini, jika
dilakukan, juga akan menjelaskan apakah praktek pelayanan informasi yang
telah dilakukan lembaga-lembaga publik ini, sungguh mendorong
terbentuknya sebuah sistem yang menjamin hak rakyat untuk mendapatkan
akses terhadap semua informasi publik yang berkaitan dengan
penyelenggaraan negara.
104
Daftar Pustaka
Buku:
Agus Pramusinto dan Wahyudi Kumorotomo. Governance Reform di
Indonesia: Mencari Arah Kelembagaan Politik Yang
Demokratis dan Birokrasi Yang Professional.Yogyakarta:
Magister Administrasi Publik UGM kerjasama dengan Gava
Media, 2009.
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum. Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2008.
John W. Creswel, Qualitative Inquiry and Research Design:Choosing Among
Five Traditions. London: Sage Publications. 1998.
Mahfud MD. Politik Hukum di Indonesia Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2009
Michael Quinn Patton. Qualitative Evaluation Methods. London: Sage
Publications, 1990.
Miftah Thoha. 2005. Birokrasi dan Politik di Indonesia, Jakarta: Rajagrafindo
Persada, 2005
Artikel dan Jurnal:
Antaranews.com. Selasa, 13 Oktober 2011. “Perangkat J.Net di Jembrana
Terbelengkalai”
Bali Post. Jumat, 1 Juli 2011. “Pelayanan KTP ‘Online” Ngadat”
Koran Tempo Edisi Daerah Istimewa Yogyakarta & Jawa Tengah. 29
Desember 2010. “LPAW Disarankan Melaporkan PT Blora
ke Polisi”
Laporan tahunan Komisi Informasi Pusat tahun 2010
Tempo.co. 21 Oktober 2010. “ICW Ajukan Sengketa Informasi Rekening
Gendunt Polisi ke KIP.”
105
Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah:
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi
Publik
Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan UU
Nomor 14 Tahun 2008
Peraturan Komisi Informasi nomor 01 Tahun 2010 Tentang Standar Layanan
Informasi Publik
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2166/Menkes/Per/X/2011
Peraturan Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 50 Tahun 2011
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 50 Tahun 2011
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 48
tahun 2011 Tentang Perubahan Penggunaan Nama Kementerian Pendidikan
Nasional Menjadi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1625/Menkes/SK/VIII/2011
Top Related