PRODUKSI BIBIT TERNAK BABI UNGGUL MELALUI
PERBAIKAN LINGKUNGAN UTERUS INDUK
SELAMA KEBUNTINGAN
DEBBY JACQUELINE JOCHEBED RAYER
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL xiii
DAFTAR GAMBAR xvi
DAFTAR LAMPIRAN xvii
1. PENDAHULUAN 1
Perumusan Masalah 4
Tujuan Penelitian 4
Manfaat Penelitian 5
Tingkat Kebaruan (Novelty) 5
2. TINJAUAN PUSTAKA 5
Pengaturan Fungsi Reproduksi 6
Pengaturan Hormonal pada Fase Kebuntingan 8
Kerangka Penelitian 13
3. PERBAIKAN FENOTIPE PERTUMBUHAN ANAK BABI LOKAL 17
MELALUI PENYUNTIKAN INDUK DENGAN PMSG DAN HCG
SEBELUM PENGAWINAN
Abstrak 17
Pendahuluan 18
Metode Penelitian 20
Analisis Data 20
Hasil dan Pembahasan 20
Simpulan 24
Saran 24
Daftar Pustaka 24
4. PERBAIKAN PERFORMANS PRODUKSI TERNAK BABI
MELALUI PENINGKATAN SEKRESI ENDOGEN HORMON
KEBUNTINGAN DENGAN CARA PENYUNTIKAN INDUK
DENGAN PMSG DAN HCG SEBELUM PENGAWINAN 28
Abstrak 28
Pendahuluan 29
Metode Penelitian 29
Hasil dan Pembahasan 30
Simpulan 38
Daftar Pustaka 38
5. PRODUKSI BIBIT TERNAK BABI UNGGUL MELALUI 39
PENINGKATAN SEKRESI HORMON KEBUNTINGAN
DENGAN CARA PENYUNTIKAN INDUK DENGAN
PMSG DAN HCG SEBELUM PENGAWINAN
Abstrak 39
Pendahuluan 41
Metode Penelitian 42
Hasil dan Pembahasan 44
Simpulan 48
Daftar Pustaka 48
PEMBAHASAN UMUM 50
SIMPULAN DAN SARAN 52
DAFTAR PUSTAKA 52
RIWAYAT HIDUP 52
PRODUKSI BIBIT TERNAK BABI UNGGUL MELALUI
PERBAIKAN LINGKUNGAN UTERUS INDUK
SELAMA KEBUNTINGAN
DEBBY JACQUELINE JOCHEBED RAYER
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Produksi Bibit Ternak
Babi Unggul Melalui Perbaikan Lingkungan Uterus Induk Selama Kebuntingan
adalah benar karya saya denganarahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2015
Debby J J Rayer
RINGKASAN
Debby Jacqueline Jochebed Rayer. Produksi Bibit Ternak Babi Unggul Melalui
Perbaikan Lingkungan Uterus Induk Selama Kebuntingan Dibimbing oleh
WASMEN MANALU, MULADNO dan HERA MAHESHWARI.
Suatu rangkaian tiga penelitian telah dilakukan untuk mempelajari pengaruh
perbaikanlingkungan uterusselama kebuntingan melalui penyuntikan
gonadotropin sebelum pengawinan pada perbaikan fenotipe pertumbuhan prenatal
dan postnatal anak babi dan kemudian mengevaluasi apakah perbaikan fenotipe
pertumbuhan tersebut dapat diwariskan kepada keturunanya. Dengan demikian,
teknologi ini diharapkan akan bisa digunakan untuk menghasilkan anak unggul,
baik sebagai bakalan maupun sebagai bibit unggul baik pada ternak babi ras
komersial maupun pada ternak babi lokal
Penelitian tahap pertama bertujuan mempelajari kualitas anak yang
dilahirkan oleh induk yang sekresi endogen hormon kebuntingannya diperbaiki
selama periode kebuntingan melalui penyuntikan pregnant mare serum
gonadotropin (PMSG) dan human chorionic gonadotropin (hCG) sebelum
pengawinan. Hewan percobaan yang digunakan adalah 10 ekor induk babi lokal
dengan bobot badan 30-40 kg. Sebelum pengawinan, siklus berahi induk babi
percobaan diserentakkan dengan menyuntik prostaglandin sebanyak 2 kali
masing-masing 0,5 mL dengan interval waktu 14 hari. Induk babi percobaan
kemudian dibagi ke dalam dua kelompok yang masing-masing terdiri atas 5 ekor.
Kelompok pertama disuntik PMSG dan hCG dengan dosis 200/100 IU pada saat
penyuntikan prostaglandin kedua, sementara kelompok kedua tidak disuntik
PMSG dan hCG sebagai kontrol. Setelah menunjukkan gejala estrus, induk babi
percobaan dicampur dengan pejantan untuk perkawinan secara alami. Induk babi
percobaan yang sudah bunting dipelihara sampai melahirkan dan penyapihan.
Parameter yang diukur ialah bobot badan anak dan ukuran tubuh pada saat lahir
dan penyapihan. Hasil pengamatan menunjukkan penyuntikan PMSG dan hCG
sebelum pengawinan memperbaiki pertumbuhan postnatal fetus dengan hasil
peningkatan bobot lahir sebesar 76,92% dan total bobot lahir anak hidup sebesar
2,65 kali. Anak yang dihasilkan oleh induk yang disuntik PMSG dan hCG
mempunyai daya tahan hidup yang lebih baik dengan mortalitas yang jauh lebih
rendah dengan pertumbuhan prasapih yang lebih baik sehingga secara drastis
meningkatkan total bobot sapih anak per ekor induk sebesar 1,07 kali
dibandingkan dengan kontrol. Disimpulkan bahwa fenotipe pertumbuhan anak
babi lokal dapat diperbaiki dengan cara perbaikan lingkungan uterus induk selama
kebuntingan.
Penelitian tahap kedua dilakukan untuk menghasilkan anak-anak babi
unggul dengan fenotipe pertumbuhan dan daya hidup yang lebih baik selama
pertumbuhan pascalahir dengan cara menyuntik induk babi dengan gonadotropin
PMSG dan hCG sebelum pengawinan. Penelitian terdiri atas dua tahapan. Pada
penelitian tahap pertama, 12 ekor induk babi dikelompokkan ke dalam 2
kelompok, 1) kelompok kontrol, yaitu induk yang disuntik dengan NaCl 0,9%
(NSO) dan 2) kelompok yang disuntik dengan PG600 sebelum pengawinan (SO).
Parameter yang diukur ialah fenotipe pertumbuhan dan daya hidup anak pada saat
lahir dan selama periode prasapih. Pada tahap kedua,24 anak babi lepas sapih dari
percobaan tahap pertama (umur 8 minggu) dipilih (6 jantan dan 6 betina dari
kelompok NSO dan 6 jantan dan 6 betina dari kelompok SO) untuk digunakan
dalam pengukuran kinerja pertumbuhan pascasapih. Babi percobaan dibesarkan
dan diamati sampai umur 28 minggu (7 bulan). Bobot badan diukur setiap bulan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbaikan lingkungan uterus dengan cara
penyuntikan induk dengan gonadotropin sebelum pengawinan secara dramatis
memperbaiki bobot lahir dengan peningkatan rataan bobot lahir perekor sebesar
31,09% (1,56 kg vs 1,19 kg) dan koefisien keragaman SO 7,27% yang jauh lebih
rendah dibandingkan dengan NSO (21,26%). Perbaikan bobot lahir dan
keseragaman bobot lahir akhirnya memperbaiki kinerja pertumbuhan prasapih dan
kelangsungan hidup anak yang pada akhirnya secara dramatis meningkatkan
bobot sapih 21,14% lebih tinggi dibandingkan dengan babi nonsuperovulasi yang
lahir dengan tingkat keragaman bobot sapi (1,97% dan 7,40%) masing-masing
pada babi yang disuperovulasi dan nonsuperovulasi dan peningkatan total bobot
anak yang disapih per ekor induk sebesar 21% dibandingkan dengan babi NSO.
Setelah penyapihan, anak babi yang dilahirkan oleh induk yang disuntik
gonadotropin tumbuh lebih cepat dengan bobot badan yang lebih tinggi sekitar 10
kg dibandingkan dengan kontrol pada umur 7 bulan. Disimpulkan bahwa anak
babi unggul dapat dihasilkan melalui penyuntikan gonadotropin sebelum
pengawinan.
Penelitian ketiga dirancang untuk mempelajari pewarisan perbaikan
fenotipe pertumbuhan pada babi yang dilahirkan oleh induk yang disuntik dengan
PMSG dan hCG sebelum pengawinan. Dua belas induk babi telah dikelompokkan
ke dalam suatu penelitian rancangan acak lengkap dengan 3 kelompok dan
masing-masing kelompok terdiri atas 4 ekor induk babi sebagai ulangan.
Kelompok pertama terdiri atas induk babi tanpa penyuntikan PMSG dan hCG
sebelum pengawinan sebagai kelompok kontrol (NSO). Kelompok kedua terdiri
atas induk babi yang disuntik dengan PMSG dan hCG sebelum pengawinan untuk
memperbaiki sekresi endogen hormon kebuntingan yang akan memperbaiki
pertumbuhan prenatal anak babi dan kelompok ini disebut sebagai kelompok
superovulasi (SO). Kelompok ketiga terdiri atas anak babi betina yang dilahirkan
oleh kelompok induk SO yang setelah dewasa kelamin dikawinkan tanpa
penyuntikan PMSG dan hCG sebelum pengawinan dan disebut sebagai turunan
F1 superovulasi (F1SO). Jumlah induk babi yang digunakan dalam setiap
kelompok terdiri atas 2 induk dengan litter size 11 dan 2 ekor induk dengan litter
size 12 sehingga jumlah total anak babi yang diamati pada penelitian ini
berjumlah 138 ekor. Selama penelitian, induk babi percobaan dipelihara dalam
kandang individu dan diberi makan dengan pakan komersial dan air minum
tersedia secara ad libitum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyuntikan
induk babi dengan PMSG dan hCG sebelum pengawinan memperbaiki fenotipe
pertumbuhan anak seperti bobot lahir anak babi SO dan F1SO meningkat masing-
masing sebesar 33,89 dan 32,00 % (P<0,05) dibandingkan bobot lahir anak babi
NSO.Panjang badan SO dan F1SO meningkat sebesar 7,1% dan 9,4%
dibandingkan dengan babi NSO (P,0,05), dan tinggi tungkai depan pada babi SO,
F1SO dan NSO sebesar 7,24%, 5,25% dan 5,41% dengan penurunan keragaman
bobot lahir antar anak babi SO (5,24%) dan F1SO (6,03%) secara signifikan lebih
rendah (P,0,05) dibandingkan dengan keragaman pada anak babi pada induk yang
sama yang pada akhirnya meningkatkan total bobot lahir hidup anak per ekor
induk meningkat sebesar 37,61 dan 32,20% dibandingkan dengan induk babi NSO.
Induk babi yang disuntik dengan PMSG dan hCG sebelum pengawinan
menghasilkan anak babi dengan laju pertumbuhan prasapih yang lebih baik
dengan daya hidup dan kelangsungan hidup yang lebih tinggi dengan hasil akhir
bobot sapih yang lebih tinggi dengan total bobot anak sapih per ekor induk yang
jauh lebih tinggi. Anak babi betina yang dilahirkan oleh induk babi yang
disuperovulasi setelah dewasa dikawinkan tanpa superovulasi menghasilkan anak
dengan fenotipe pertumbuhan yang sama dengan induknya yang secara signifikan
lebih tinggi dan lebih baik dibandingkan dengan fenotipe pertumbuhan anak babi
kontrol (NSO). Hasil penelitian ini secara jelas menguatkan bahwa perbaikan
lingkungan uterus dan plasenta melalui perbaikan sekresi endogen hormon
kebuntingan selama praimplantasi dan selama keseluruhan periode kebuntingan
melalui penyuntikan induk dengan PMSG dan hCG sebelum pengawinan
memperbaiki fenotipe pertumbuhan postnatal anak babi dan fenotipe pertumbuhan
yang diperbaiki itu ternyata diwariskan ke anak keturunannya. Disimpulkan
bahwa teknik sederhana dan yang relatif murah ini dapat digunakan untuk
memperbaiki ekspresi fenotipe pertumbuhan untuk menghasilkan anak babi
unggul yang dapat digunakan sebagai bakalan atau sebagai calon induk untuk
menghasilkan anak yang unggul.
Kata kunci: fenotipe pertumbuhan, babi unggul, PMSG, hCG
SUMMARY
Debby Jacqueline Jochebed Rayer. Production of Superior Pig Generation through
Improvement of Sow’s Uterus Enviroment during Pregnancy. Supervised by
WASMEN MANALU, MULADNO and HERA MAHESHWARI
.
Series of three experiments were conducted to study the effects of improved
uterine and placental environment during pregnancy by injection of the sows with
gonadotropin prior to mating on the improvement of pigs’ growth phenotypes and
then evaluated whether the improved growth phenotypes could be inherited into
their offspring. Therefore, this technology could be used to produce superior pigs
as finishers or as parent-stocks either in commercial or local swine breeds.
The first experiment was designed to study the growth phenotypes of pigs
born to sows injected with pregnant mare serum gonadotropin (PMSG) and
human chorionic gonadotropin (hCG) prior to mating to improve endogenous
secretions of pregnant hormones during pregnancy. The experimental sows used
were 10 local breed sows with body weight ranges of 30-40 kg. Before mating,
estrous cycles of the experimental sows were synchronized by injecting 0.5 mL
prostaglandin twice with 14 days interval. The experimental sows were then
divided into two groups, each consisted of 5 sows. The first group was injected
with PMSG and hCG with dosage of 200/100 IU per sow at the same time with
the second prostaglandin injection, while the second group was not injected with
PMSG and hCG as a control. After showing estrous behavior, the experimental
sows were mixed with selected boars for natural mating. The pregnant sows were
maintained until farrowing and weaning. Parameters measured were body
weights and body lengths and leg heights of the pigs at birth and weaning. The
results showed that improved endogenous secretion of pregnant hormone by
injection of the sows with PMSG and hCG prior to mating, improved prenatal
growth and development of the fetus with the final results of increased birth
weight by 76.92% and total birth weight of live pigs per sow by 2,65 twice as
compared to control pigs. Pigs born to sows injected with PMSG and hCG prior
to mating had higher survival rate with a dramatically decreased mortality and a
higher pre-weaning growth rate that finally increased total weight of weaned pigs
per sows dramatically by 1,07 as compared to control. It is concluded that the
growth phenotypes of local pigs could be improved by improving the sow’s uterus
environment during pregnancy.
The second experiment was conducted to produce superior pigs with
improved growth phenotypes and survival during postnatal growth by injecting
the sows with gonadotropin prior to mating. The experiment consisted of 2
stages. In the first stage, 12 sows were divided into 2 groups i.e., sows injected
with NaCl 0.9% as a control (NSO) and sows injected with PG 600 (SO) prior to
mating. Parameters measured were growth phenotypes and survival at birth and
during pre-weaning period. In the second stage, 24 of weaned pigs (age 8 weeks)
from the first stage were selected (6 males and 6 females from NSO group and 6
males and 6 females from SO group) to be used for measurement of growth
performance. The experimental pigs were raised and observed until the age of 28
weeks (7 month). The body weights were measured monthly. The results of the
experiment showed that improvement of uterine environment by gonadotropin
injection of the sows prior to mating dramatically improved birth weight with a
very homogenous birth weight within litter size. Improved birth weight and
within-litter variation of birth weight improved pre-weaning growth performance
and survival that finally dramatically increased weaning weight and total weight
of weaned pigs per sow. After weaning, pigs born to SO sows grew faster and
had around 10 kg higher body weight as compared to control at the age of 7
month. It was concluded that superior pigs could be produced by improving
endogenous secretion of pregnant hormone during pregnancy.
The third experiment was conducted to study the inheritance of improved
growth phenotypes in pigs born to sows injected with pregnant mare serum
gonadotropin (PMSG) and human chorionic gonadotropin (hCG) prior to mating.
Twelve sows were assigned into a randomized design with 3 groups and each
group consisted of 4 sows as replications. The first group consisted of sows
without PMSG and hCG injection prior to mating as a control group (NSO). The
second group consisted of sows injected with PMSG and hCG prior to mating to
improve endogenous secretion of pregnant hormones that improve prenatal
growth of the piglets (SO). The third group consisted of female pigs born to
PMSG and hCG-injected sows in SO group that were mated after maturity
without PMSG and hCG injection (F1SO). The number of sows used in each
group consisted of 2 sows with 11 litter size and 2 sows with 12 litter size at
parturition and total of born pigs observed in this study were 138 pigs. During the
experiment, the experimental sows were maintained in individual cage and fed
with commercial feed and water was available ad libitum. The results of
experiment showed that injection of the sows with PMSG and hCG prior to
mating improved birth weight, body length, and leg heights with decreased
within-litter variation that finally increased total weight of live born pigs per sow.
Sows injected with PMSG and hCG prior to mating produced pigs with higher
pre-weaning growth rate and higher survival rate with a higher weaning weight
and total weaned pigs per sow. The female pigs born to SO sows produced piglets
with similar growth phenotypes as pigs born to SO sows that was significantly
higher and better that the growth phenotypes of the pigs born to NSO sows. The
results of this experiment strongly confirm that the improvement of uterine and
placental environment by improving endogenous secretion of pregnant hormones
during pre-implantation and during the whole pregnancy by injecting the sows
with PMSG and hCG prior to mating improvedpostnatal growth phenotypes of
pigs and the improved growth phenotypes were inherited to their offspring. It
was concluded that this simple and relatively cheap technique could be used to
improve growth genotype expression to produce a superior pigs that could be used
either as a finisher or as a parent stock
Key word: growth phenotypes, superior piglets, PMSG, hCG
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Ilmu-ilmu Faal dan Khasiat Obat
PRODUKSI BIBIT TERNAK BABI UNGGUL MELALUI
PERBAIKAN LINGKUNGAN UTERUS INDUK SELAMA
KEBUNTINGAN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
DEBBY JACQUELINE JOCHEBED RAYER
Penguji pada Ujian Tertutup: Dr drh Damiana Rita Ekastuti, MS
Drh Ni Wayan Kurniani Karja MP, Ph.D
Penguji pada Ujian Terbuka: Dr Dra Nastiti Kusumorini, AIF
Prof Dr Revolson Alexsius Mege, MS
Judul Disertasi : Produksi Bibit Ternak Babi Unggul melalui Perbaikan
Lingkungan Uterus Induk Selama Kebuntingan
Nama : Debby Jacqueline Jochebed Rayer
NIM : B161090031
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Prof Ir Wasmen Manalu, Ph.D
Ketua
Prof Dr Ir Muladno, MSA
Anggota
Dr drh Hera Maheshwari, MSc.
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi:
Ilmu-ilmu Faal dan Khasiat Obat
Prof drh Agik Suprayogi,MSc,Ph.D
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 30 Januari 2015
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Tuhan membuat indah pada waktunya. Puji syukur dipanjatkan kepada
Tuhan kita Yesus Kristus atas perkenannya disertasi dengan judul: Produksi
Bibit Ternak Babi Unggul Melalui Perbaikan Lingkungan Uterus Induk Selama
Kebuntingan boleh terselesaikan dengan baik.
Penghargaan yang setinggi-tingginya penulis haturkan kepada para
pembimbing, Prof Ir Wasmen Manalu, Ph.D, Prof Dr Ir Muladno, MSA, dan
Dr drh Hera Maheshwari,MSc karena dukungan yang luar biasa sehingga
penelitian dan penulisan disertasi ini boleh selesai dengan baik.
Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis
sampaikan kepada Dr drh Damiana Rita Ekastuti, MS dan Drh Ni Wayan
Kurniani Karja MP, Ph.D, selaku penguji luar komisi pada ujian sidang tertutup
dan Dr dra Natiti Kusumorini, AIF dan Prof Dr Revolson Alexius Mege, MS
selaku penguji luar komisi pada sidang terbuka.
Penghargaan dan kasih penulis sampaikan kepada orang tua, kakak dan
adik, suami, John Karl Barth Damongilala, anak-anak Loulouren Ester
Damongilala. SE dan Andior Ezra Damongilala yang dengan penuh kasih dan doa
mendorong penulis dalam menyelesaikan studi di Sekolah Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor. Juga buat teman-teman yang membantu dalam penelitian serta
yang telah memotivasi penulis haturkan terima kasih. Tak ada yang dapat penulis
berikan atas segala bantuan terutama dukungan yang luar biasa yang penulis
terima, hanya ucapan terima kasih yang tulus kiranya berkat dan anugerah Tuhan
juga yang dapat membalas segala dukungan dan bimbingan yang diberikan
kepada penulis.
Syalom.
Bogor, Februari 2015
Debby Jacqueline Jochebed Rayer
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL xiii
DAFTAR GAMBAR xvi
DAFTAR LAMPIRAN xvii
1. PENDAHULUAN 1
Perumusan Masalah 4
Tujuan Penelitian 4
Manfaat Penelitian 5
Tingkat Kebaruan (Novelty) 5
2. TINJAUAN PUSTAKA 5
Pengaturan Fungsi Reproduksi 6
Pengaturan Hormonal pada Fase Kebuntingan 8
Kerangka Penelitian 13
3. PERBAIKAN FENOTIPE PERTUMBUHAN ANAK BABI LOKAL 17
MELALUI PENYUNTIKAN INDUK DENGAN PMSG DAN HCG
SEBELUM PENGAWINAN
Abstrak 17
Pendahuluan 18
Metode Penelitian 20
Analisis Data 20
Hasil dan Pembahasan 20
Simpulan 24
Saran 24
Daftar Pustaka 24
4. PERBAIKAN PERFORMANS PRODUKSI TERNAK BABI
MELALUI PENINGKATAN SEKRESI ENDOGEN HORMON
KEBUNTINGAN DENGAN CARA PENYUNTIKAN INDUK
DENGAN PMSG DAN HCG SEBELUM PENGAWINAN 28
Abstrak 28
Pendahuluan 29
Metode Penelitian 29
Hasil dan Pembahasan 30
Simpulan 38
Daftar Pustaka 38
5. PRODUKSI BIBIT TERNAK BABI UNGGUL MELALUI 39
PENINGKATAN SEKRESI HORMON KEBUNTINGAN
DENGAN CARA PENYUNTIKAN INDUK DENGAN
PMSG DAN HCG SEBELUM PENGAWINAN
Abstrak 39
Pendahuluan 41
Metode Penelitian 42
Hasil dan Pembahasan 44
Simpulan 48
Daftar Pustaka 48
PEMBAHASAN UMUM 50
SIMPULAN DAN SARAN 52
DAFTAR PUSTAKA 52
RIWAYAT HIDUP 52
DAFTAR TABEL
1. Bobot lahir, total bobot anak lahir hidup per induk, panjang badan,
tinggi tungkai pada anak babi yang dilahirkan oleh induk kontrol
(nonsuperovulasi) dan induk yang
disuperovulasi sebelum pengawinan. 21
2. Laju pertumbuhan prasapih dan mortalitas, bobot sapih dan
panjang badan, tinggi tungkai pada babi yang dilahirkan
oleh induk kontrol (nonsuperovulasi) dan induk yang
disuperovulasi sebelum pengawinan. 22
3. Bobot lahir, total bobot lahir hidup, panjang badan, tinggi tungkai
depan, dan tinggi tungkai belakang pada saat lahir pada babi
NSO dan SO. 31
4. Mortalitas prasapih rataan laju pertumbuhan prasapih dan dimensi
tubuh, dan total bobot sapih dan total bobot sapih per induk. 34
5. Bobot badan awal, bobot 28 minggu, pertambahan bobot,
jantan dan betina 35
6. Bobot badan, panjang badan, tinggi tungkai depan, tinggi tungkai
belakang lahir anak babi SO, NSO, dan F1SO 44
7. Bobot badan, panjang badan, tinggi tungkai depan, dan tinggi
tungkai belakang pada saat sapih pada anak babi SO, NSO, dan F1SO 45
8. Total bobot lahir hidup, mortalitas prasapih, rataan laju pertumbuhan,
total bobot badan babi sapih per induk pada babi SO, NSO, F1SO. 46
DAFTAR GAMBAR
1. Siklus estrus pada babi 7
2. Karakteristik periode ovulasi 8
3. Mekanisme hormonal ketika konseptus 10
4. Alur penelitian 16
5. Pertumbuhan bobot badan sebelum lepas sapih perminggu 33
6. Pertumbuhan bobot badan babi NSO dan SO periode lepas
sapih sampai 28 minggu 35
DAFTAR LAMPIRAN
1. Uji t Bobot Badan Lahir NSO dan SO 55
2. Uji t Rataan Total Bobot Lahir Hidup 55
3. Uji t Panjang Badan Lahir NSO dan SO 55
4. Uji t Tinggi Tungkai Depan NSO dan SO 55
5. Uji t Tinggi Tungkai Belakang NSO dan SO 55
6. Ujit t Laju Pertambahan Bobot Badan NSO danSO 56
7. Uji t Rataan Bobot Sapih NSO dan SO 56
8. Uji t Panjang Badan Sapih NSO dan SO 56
9. Uji t Panjang Badan Sapih NSO dan SO 56
10. Uji t Tinggi Tungkai Depan NSO dan SO 57
11. Uji t Tinggi Tungkai Belakang NSO dan SO 57
12. Analisis Varians Bobot Badan Lahir SO, NSO, dan F1SO 57
13. Analisis Varians Panjang Badan Lahir SO, NSO, dan F1SO 57
14. Analisis Varians Panjang Tungkai Depan Lahir SO,NSO,
dan F1SO 57
15. Analisis Varians Panjang Tungkai Belakang Lahir SO,
NSO, dan F1SO 58
16. Analisis Varians Bobot Badan Sapih SO, NSO, dan F1SO 58
17. Analisis Varians Panjang Badan Sapih SO, NSO, dan F1SO 58
18. Analisis Varians Panjang Tungkai Depan Sapih SO,
NSO, dan F1SO 58
19. Analisis Varians Tinggi Tungkai Belakang Sapih SO,
NSO, dan F1SO 58
1 PENDAHULUAN
Ketahanan pangan sangat berkaitan dengan upaya penyediaan produk
peternakan dalam rangka pemenuhan gizi masyarakat. Penyediaan daging
merupakan salah satu kegiatan penerapan hasil industri peternakan, dimana
komoditas daging yang dihasilkan seharusnya sebagai produk yang berkualitas
dan akhirnya akan memberikan nilai gizi yang baik untuk menopang kehidupan
pokok dalam tubuh, aktivitas, dan reproduksi serta ke depannya untuk
mendapatkan generasi bangsa yang sehat dan cerdas. Daging sebagai salah satu
bahan pangan asal hewan, kualitasnya ditentukan oleh penanganan yang baik
pada masa hidupnya, baik ketika masa prenatal maupun postnatal dengan
pengaturan sistem reproduksi serta penanganan yang baik pada masa pertumbuhan.
Konsumsi pangan hewani meningkat sejalan dengan peningkatan daya beli
masyarakat serta kesadaran akan pentingnya kebutuhan gizi yang baik untuk
dikonsumsi.
Swasembada pangan hasil ternak belum mampu dicukupi oleh pemerintah,
sementara imbangan laju pemotongan ternak tidak diikuti dengan pertumbuhan
laju populasi, walaupun sebagian sudah dapat dilakukan untuk telur dan daging
ayam,sementara belum untuk daging sapi, kerbau, kambing, dan babi. Standar
yang ditetapkan FAO untuk konsumsi protein hewani Indonesia minimal sebesar
6 g/kapita/hari sementara untuk konsumsi protein hewani Indonesia baru
mencapai sebanyak 4,19 g/kapita/hari.Artinya, berdasarkan norma gizi minimal
bangsa ini baru mengkonsumsi 69,8% protein hewani yang direkomendasikan
FAO. Saat ini, masyarakat Indonesia baru bisa memenuhi konsumsi daging
sebanyak 5,25 kg, telur 3,5 kg, dan susu 5,5 kg/kapita/tahun (Deptan 2006). Jelas
sekali terlihat bahwa kesenjangan sekitar 30,2% masih merupakan tantangan yang
harus dihadapi guna memenuhinya.
Masih perlunya perbaikan percepatan produksi ternak dalam menghasilkan
produk hasil ternak yang mampu memenuhi kebutuhan pangan. Masih tingginya
angka impor daging (terdiri atas daging sapi, kambing domba, ayam, dan babi,
termasuk hati dan jeroan sapi) yang mencapai 634.315 ribu ton dan produk susu
mencapai 173.084 ribu ton (Direktorat Jendral Peternakan 2006) adalah hal yang
perlu dicermati untuk mengurangi ketergantungan atas impor daging dan olahan
lainnya.
Laju pertambahan penduduk sebesar 1,49 persen pertahun memberi arti
bahwa permintaan kebutuhan akan daging juga akan meningkat yang dapat dilihat
dari tingginya prediksi permintaan daging babi dalam kurun waktu 2010-2014,
yaitu 247,420 ribu ton (Renstra Deptan 2011). Dengan demikian, produksi daging
babi dalam negeri perlu dipacu agar mampu memenuhi salah satu kebutuhan
daging dalam negeri. Permintaan yang terus meningkat tidak diimbangi dengan
produksi ternak yang maksimal, sekalipun diakui sektor peternakan telah
mengalami kemajuan, namun dengan kemajuan pembangunan muncul pula
berbagai masalah dan tantangan yang sangat kompleks. Ketersediaan ruang untuk
pemeliharaan, penurunan populasi, produktivitas, dan terutama kualitas ternak
yang menurun. Rendahnya ketersediaan bibit akibat kurang tersedianya induk
yang berkualitas menyebabkan kelahiran anak dengan jumlah serta bobot badan
yang juga kurang.
2
Ternak babi merupakan hewan politokus yang dapat memberikan
sumbangan yang sangat berarti bagi peningkatan pemenuhan kebutuhan daging
dan secara ekonomis sangat menguntungkan karena dengan satu kelahiran banyak
dihasilkan anak babi. Upaya memaksimalkan status reproduksi diharapkan dapat
meningkatkan produktivitas ternak yang dihasilkan. Produktivitas ternak sangat
bergantung pada keberhasilan proses reproduksi, dimana produksi hormon-
hormon reproduksi berkaitan erat dengan tingkat keberhasilan dari suatu proses
kebuntingan. Masalah yang terjadi adalah rendahnya tingkat kebuntingan serta
tingginya kematian embrio dan fetus selama periode kebuntingan yang mencapai
30-40 persen, dan kematian tertinggi karena kegagalan implantasi, tingginya
keragaman jumlah anak sekelahiran serta rendahnya bobot lahir sejumlah anak
dari sekelahiran akibat penanganan produksi yang belum optimal (Mege et al.
2006).
Pengembangan produktivitas ternak diharapkan mampu menjawab
kekurangan ketersediaan pangan. Ketersediaan pangan menyangkut tersedianya
hewan yang selalu tersedia terus menerus dan itu berarti pemeliharaan ternak
menyangkut ketersediaan bibit sangat dibutuhkan. Investasi usaha industri ternak
tidak terlepas dari usaha penyediaan dari anak lahir sampai siap dipasarkan.
Dengan demikian, penyediaan bibit ternak untuk diperlihara sampai siap
dipasarkan adalah rangkaian pemilihan dari calon induk betina maupun pejantan
yang baik, bibit yang akan dihasilkan tidak terlepas dari kualitas induk sebagai
penghasil anak yang seyogianya merupakan ketersediaan sebagai rangkaian usaha
ternak. Disadari bahwa ketersediaan bibit merupakan suatu hal yang sangat
membutuhkan usaha perbaikan induk yang maksimal. Seiring dengan
berkembangnya bidang bioteknologi, berbagai metode dikembangkan dan
sebagai usaha memberdayakan potensi yang dimiliki hewan ternak dengan
memaksimalkan produksi hasil ternak. Stimulasi produktivitas ternak ditentukan
pada ketersediaan pakan, penyediaan bibit, bibit lepas sapih, hewan potong,
kesehatan ternak, serta manajemen keuangan.
Perbaikan kualitas ternak dapat dilakukan dengan teknologi sederhana, yaitu
dengan melakukan perbaikan sekresi endogen hormon-hormon kebuntingan.
Perbaikan sekresi endogen hormon kebuntingan dapat dilakukan dengan cara yang
sederhana dengan melakukan penyuntikan Pregnant Mare Serum Gonadotropin
(PMSG) dan human Chorionic Gonadotropin (hCG). Teknologi ini telah
dibuktikan meningkatkan sekresi endogen hormon kebuntingan (Manalu et al.
1995; Sumaryadi dan Manalu, 1996) sehingga memperbaiki lingkungan uterus
dan plasenta selama periode kebuntingan (Mege et al. 2007), memperbaiki
pertumbuhan embrio dan fetus (Manalu et al. 1998; Manalu et al. 2000a; Mege et
al. 2007; Geisert dan Schmitt, 2002), dan memperbaiki bobot lahir anak baik pada
kambing (Adriani et al, 2007), domba (Sumaryadi dan Manalu, 1996), babi
(Cornejo et al. 2006; Mege et al. 2006; Lapian et al. 2013), dan sapi (Supriatna et
al. 1998). Peningkatan sekresi endogen hormon kebuntingan terbukti
memperbaiki pertumbuhan dan perkembangan kelenjar susu (Manalu dan
Sumaryadi 1998; Sudjadmogo et al. 2001; Andriyanto dan Manalu 2011)
sehingga meningkatkan produksi susu pada masa laktasi (Manalu et al. 1998;
Manalu dan Sumaryadi 1998; Manalu et al. 2000b; Adriani et al. 2004; Lapian et
al. 2013) yang akhirnya memperbaiki pertumbuhan anak prasapih dan pascasapih.
Perbaikan pertumbuhan fase embrio dan fetus sampai pertumbuhan prasapih dan
3
pascasapih masih terus berlanjut pada perbaikan kualitas karkas dan usia potong
pada babi (Lapian et al. 2013).
Teknologi reproduksi diketahui dimanfaaatkan untuk meningkatkan
populasi dan mutu genetik sapi dan domba, terutama pada inseminasi buatan dan
embrio transfer. Perkembangan selanjutnya dilakukan untuk memperoleh embrio
yang memungkinkan proses transfer embrio yang memberikan keuntungan ganda
memfasilitasi peningkatan mutu genetik ternak sekaligus dapat memperoleh
hewan dengan kualitas genetik dalam jumlah besar baik dari pejantan unggul
maupun betina unggul (Gordon 1996; Perry et al. 2007).
Inovasi menyangkut produktivitas ternak, antara lain dengan cara
melakukan tindakan superovulasi sebagai upaya mengoptimalkan derajat ovulasi
serta efisiensi reproduksi. Superovulasi banyak dilakukan untuk hewan yang
beranak sedikit, juga seiring dengan berkembangannya bidang bioteknologi,
upaya melakukan superovulasi bertujuan mengoptimalkan ovarium sebagai
tempat sel telur dihasilkan, dan mekanisme keterlibatan yang menyangkut
hormon-hormon reproduksi FSH, LH estrogen serta progesteron ternyata
diketahui mampu memperbaiki performans hewan yang dihasilkan (Manalu et al.
1998; Manalu et al1996; Adriani, et al. 2007).
Penggunaan PMSG dan hCG sebagai agen ovulasi merupakan dua hormon
yang mempunyai kerja yang mirip FSH dan LH untuk merangsang pertumbuhan
dan perkembangan sel sel teka dan sel granulosa ovarium dan turunan luteinisasi
dari sel-sel ini. Sel-sel target, seperti folikel, korpus luteum, uterus, dan plasenta
diharapkan dapat mensintesis dan mensekresi hormon-hormon kebuntingan
seperti estrogen, progesteron, laktogen plasenta, relaksin, dan oksitosin yang pada
gilirannya disamping menstimulasi faktor-faktor pertumbuhan dan pemeliharaan
fetus selama kebuntingan, folikel selanjutnya korpus luteum dapat
memaksimalkan ekspresinya dalam perangsangan terhadap pertumbuhan anak
setelah lahir. Bahkan perangsangan dan pengaturan pertumbuhan dan peningkatan
kapasitas uterus, plasenta, dan fungsionalisasi kelenjar susu dalam rangka
pemeliharaan anakan selama embrio, fetus sampai prasapih sangat menentukan
pertumbuhan dan perkembangan pascasapih sampai dengan menjadi induk yang
dapat diunggulkan.
Efisiensi usaha ternak babi didefinisikan sebagai banyaknya babi yang
dihasilkan dibandingkan banyaknya pemasukan yang digunakan untuk
menghasilkan. Artinya efisiensi konsumsi pakan, tenaga kerja dibanding dengan
hasil yang didapat masih memungkinkan petani untuk mendapatkan keuntungan.
Walau demikian, banyak kendala yang dihadapi untuk peningkatan efisiensi
reproduksi, yaitu kurangnya jumlah anak sekelahiran yang dihasilkan, tingginya
kematian ketika dilahirkan serta kematian anak prasapih yang mencapai 18-28%.
Disamping itu, rendahnya bobot lahir sekelahiran yang dimiliki oleh anak
sekelahiran yang banyak merupakan faktor penyebab rendahnya efektivitas
produksi ternak babi (Belstra et al. 1999; Geisert dan Schmitt 2002; Mege et al.
2006; Sihombing 2006 ).
Superovulasi dengan penggunaan kombinasi hormon PMSG dan hCG
memperlihatkan peningkatan produksi ternak, korpus luteum pada tikus putih,
peningkatan anak, jumlah anak sekelahiran pada kambing, domba,dan babi.
Superovulasi dilakukan dengan dosis yang berbeda, dengan penyuntikan dosis
PMSG 600, 1200 meningkatkan jumlah anak sekelahiran, ukuran tubuh anak, dan
4
bobot badan (Manalu et al. 2000; Mege et al. 2006). Dengan demikian, ternak
babi sebagai hewan politokus dengan bobot lahir sekelahiran yang cenderung
rendah serta tingginya angka lahir mati, dan adanya penurunan fenotipe
memungkinkan untuk melakukan superovulasi yang diharapkan dengan
penggunaan hormon eksogen memacu hormon endogen serta lebih
mengoptimalkan aktivitas hormon tersebut diharapkan mendapatkan hasil ternak
yang lebih baik (Mege et al. 2006).
Penggunaan superovulasi juga memungkinkan memainkan peranan yang
terus dalam proses pembesaran anak menjadi bakal induk yang diharapkan
dimiliki terus dalam perkembangan anak menjadi individu. Hormon pertumbuhan
mempunyai peran penting dalam pengendalian pertumbuhan prenatal dan posnatal,
pertumbuhan sel, jaringan serta diferensiasi sel dari zigot sampai menjadi dewasa.
Pertumbuhan dan perkembangan prenatal akan berpengaruh pada perubahan
ukuran yang meliputi bobot lahir, bentuk dimensi linear, dan komposisi tubuh.
Peningkatan bobot badan tidak terlepas kaitannya dari pakan yang dikonsumsi
sebagai peran utama dalam mendorong pertumbuhan tubuh.
Perumusan Masalah
Pertumbuhan dan perkembangan anak mammalia setelah lahir sampai
dewasa ditentukan oleh bobot lahir yang ditentukan oleh tingkat pertumbuhan dan
perkembangan anak selama di kandungan. Pertumbuhan anak selama di
kandungan dipengaruhi oleh lingkungan uterus dan plasenta yang selanjutnya
ditentukan oleh ketersediaan dan kecukupan sekresi endogen hormon-hormon
kebuntingan selama periode kebuntingan. Perbaikan sekresi endogen hormon
kebuntingan selama periode kebuntingan telah terbukti memperbaiki pertumbuhan
dan perkembangan embrio dan fetus, bobot lahir, dan pertumbuhan anak
pascalahir sampai umur dewasa. Perbaikan fenotipe pertumbuhan ini tentunya
akan diwariskan ke anak yang dihasilkan sehingga dapat digunakan sebagai
strategi untuk menghasilkan bakalan atau bibit unggul.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari:
1. Anak-anak babi yang diperbaiki fenotipe pertumbuhannya melalui
perbaikan pertumbuhan dan perkembangannya selama fase embrio dan
fetus melalui perbaikan lingkungan uterus dan plasenta dengan cara
penyuntikan hormon-hormon PMSG dan hCG.
2. Performans fenotipe pertumbuhan yang baik dapat diwariskan kepada
anaknya sehingga dapat digunakan sebagai bakalan bibit unggul.
.
5
Manfaat Penelitian
1. Hasil penelitian diharapkan dapat menghasilkan suatu metode baru dan
cepat untuk menghasilkan anak unggul untuk digunakan sebagai bibit.
2. Hasil penelitian diharapkan dapat menghasilkan ternak yang mampu
bertumbuh dan berkembang biak dengan baik
Tingkat Kebaruan (Novelty)
Perbaikan uterus dan lingkungan plasenta selama fase embrio dan fetus
melalui penyuntikan hormon-hormon PMSG dan hCG sebelum pengawinan dapat
meningkatkan fenotipe pertumbuhan postnatal dan dapat diwariskan kepada
keturunannya merupakan penelitian yang pertama kali dilakukan.
2 TINJAUAN PUSTAKA
Babi dikembangkan berdasarkan tujuan untuk memperoleh keuntungan
yang memuaskan dari penjualan stok bibit, babi sapihan, babi potong, atau hasil
ternak babi, dan selanjutnya melestarikan tradisi keluarga, dan berpartisipasi
dalam pengadaan pangan nasional serta pemenuhan gizi yang baik menghasilkan
generasi yang sehat, cerdas, dan kuat (Sihombing 2006). Pemeliharaan ternak
rakyat bertujuan agar ternak babi yang dijual memiliki harga yang sesuai dan babi
mempunyai kualitas daging yang baik. Indonesia memiliki babi lokal, antara lain
babi Bali, babi Batak, dan babi Toraja untuk daerah tertentu yang banyak
dipelihara di peternakan rakyat, sementara peternakan yang lebih besar
memelihara babi varietas yang resmi kini dikenal dengan babi unggul. Ternak
babi lokal dipelihara oleh peternak kecil dengan sistem beternak tradisional
sebagai usaha sambilan yang dikerjakan oleh keluarga. Disadari bahwa ternak
lokal juga memainkan peranan dari segi ekonomi, karena banyak dimanfaatkan
sebagai penghasil daging untuk kebutuhan ketahanan pangan, walaupun
pemeliharaannya dalam skala kecil dengan jumlah kepemilikan 2–4 ekor babi.
Pengelolaan secara tradisional dengan pemberian pakan yang berasal dari sisa
makanan keluarga dan pemeliharaan kesehatan ternak merupakan faktor yang
menyebabkan penurunan produktivitas juga tingginya angka kematian. Perbaikan
dengan teknologi superovulasi yang dicoba dilakukan memungkinkan perbaikan
efisiensi produksi. Beberapa peternakan di Sulawesi Utara memelihara babi
Duroc, Yorkshire, dan Landrace yang mana bangsa babi tersebut merupakan hasil
seleksi dan persilangan beberapa bangsa babi sehingga dihasilkan bangsa baru
kemudian menyebar ke seluruh dunia.
Dari pengamatan di lapangan, khususnya di Sulawesi Utara, banyak
peternakan memelihara babi keturunan Landrace, Duroc, dan Yorkshire. Masalah
yang ada pada pemeliharaan ternak babi adalah rendahnya produk hasil ternak
yang disebabkan efisiensi reproduksi yang tidak maksimal menyebabkan
penurunan reproduksi yang diikuti dengan rendahnya sifat unggul yang dimiliki.
Diawali dengan mulainya masa reproduksi yang ditandai dengan pubertas, siklus
6
estrus, fertilisasi, zigot, dan selanjutnya berkembang terus menjadi embrio, fetus,
dan akhirnya menjadi anak membutuhkan penanganan yang optimal. Mekanisme
tersebut selain pemeliharaan ternak babi yang baik dengan pemberian makanan
yang sesuai dengan periode pertumbuhan juga tidak terlepas dari pengaruh
hormonal yang ada pada tubuh ternak, baik hormon metabolisme maupun hormon
reproduksi.
Daerah penyebaran ternak babi lokal adalah Sulawesi dan Indonesia bagian
timur, Maluku, Irian, Flores, Sumba, Timor, Rote, Semau, dan Pulau Simeuleu di
bagian barat Sumatera. Babi ini mendapat sebutan berdasarkan daerah
penyebarannya. Babi dewasa berukuran tinggi pundak sekitar 60 cm dan bobot
tubuh 40-70 kg. Babi jantan memiliki gigi taring sepanjang sekitar 10 cm dan tiga
pasang kutil pada bagian mukanya, sedang pada betina kurang menonjol atau
tidak ada. Warna bulu sewaktu muda terdapat garis-garis horizontal berwarna
cokelat dan putih di tubuhnya dan hilang ketika dewasa. Banyak anak
perkelahiran berkisar antara 3-8 ekor dengan lama bunting sekitar 4 bulan dan
kelahirannya terjadi sekitar bulan April – Mei. Perkembangan populasi ternak
menunjukkan perkembangan yang lambat, dengan rendahnya produktivitas yang
dihasilkan, dengan tingkat kematian yang tinggi (Sihombing 2006)
Pengaturan fungsi reproduksi
Reproduksi ternak pada umumnya sama, tetapi tiap spesies memiliki versi
reproduksinya sendiri. Sapi, dengan satu anak perkelahiran, domba dan kambing
beranak tidak lebih dari tiga ekor anak. Babi memiliki keunikan sendiri sebagai
hewan politokus yang melahirkan anak yang banyak pada setiap kelahiran dan
mempunyai waktu kebuntingan yang relatif singkat memungkinkan dua kali
beranak dalam setahun. Pemeliharaan ternak babi sebagai hewan politokus
memungkinkan kebutuhan akan daging dapat lebih cepat dipenuhi mengingat
untuk satu kelahiran dapat diperoleh anak yang banyak dibandingkan untuk sapi,
kambing, dan domba.
Pubertas adalah periode saat organ-organ reproduksi babi pertama kali
berfungsi dan menghasilkan telur atau sperma dewasa. Umur saat pubertas dicapai
berbeda antara bangsa-bangsa ternak dan juga anak babi sekelahiran. Faktor-
faktor hormonal yang merangsang pubertas pada babi jantan dan dara belum
banyak diketahui. Babi betina mencapai pubertas pada usia 5-6 bulan memiliki
siklus estrus dengan interval waktu 18 dan 22 hari (Campbell et al 2003).
Siklus estrus dapat dibagi menjadi empat tahap yang berbeda; proestrus
(fase perkembangan folikel), estrus (reseptif seksual), metesrus, dan diestrus (fase
luteal). Durasi follikulogenesis dari folikel primordial untuk ovulasi adalah sangat
konsisten antara domba dan sapi sekitar 4-6 bulan, tetapi pada babi lebih singkat
(Campbell et al. 2003). Menarik, bahwa dibandingkan dengan domba dan sapi,
babi memiliki fase folikuler diperpanjang dikaitkan dengan peningkatan jumlah
folikel. Perkembangan folikel dimulai segera setelah ovulasi dari siklus berahi
sebelumnya (0 hari). Pertumbuhan dan perkembangan yang baik mempengaruhi
pertumbuhan folikel di ovarium yang bergantung pada hadirnya hormon FSH dan
LH yang merupakan hormon gonadotropin. Regulasi sekresi gonadotropin terjadi
melalui mekanisme umpan balik melalui aktivitas rangsangan oleh hipotalamus
dan hipofisis(gambar 1).
7
Gambar 1 Siklus Estrus pada babi (Campbell et al 2003)
Selama waktu ini, perkembangan follikel bergantung pada gonadotropin
hipofisis, LH, dan FSH. Hormon-hormon ini sebagai mekanisme utama dalam
mengendalikan rekrutmen folikel, seleksi folikel melalui mekanisme inhibitori
feedback negatif dengan hipotalamus-hipofisis. FSH adalah hormon utama
mengendalikan pertumbuhan dan perkembangan folikel dan sekresi estradiol pada
sapi, domba, dan babi. Selanjutnya, kenaikan FSH pada saat regresi luteal
mestimulasi perkembangan sejumlah folikel antral yang dimulai hadirnya
sitokrom P450 dan aktivitas enzim sitokrom P450 aromaterase serta saat yang
dibutuhkan ketika dimulainya perkembangan seleksi folikuler dan aktifnya
reseptor LH pada sel-sel granulosa (Ginther et al. 2001; Webb et al. 2003).
Folikel mengalami perkembangan dan selanjutnya terjadi juga peningkatan
estrogen dari sekresi folikel yang pada gilirannya menyebabkan perubahan
fisiologi dan perilaku terkait dengan siklus estrus, terjadinya perubahan gambaran
vagina diikuti perubahan tingkah laku siap kawin. Peningkatan estrogen akhirnya
8
memicu peningkatan sekresi GnRH sehingga melepaskan hormon LH yang
dibutuhkan untuk proses ovulasi dan terlepasnya sel telur dari ovarium yang
terjadi rata-rata 48 jam setelah estrus (Spencer dan Bazer 2004) (gambar 2).
8-10 jam Interval gelombang estrus
36-48 jam Interval estrus ovulasi
72 jam lamanya estrus
CL
Ovulasi
pelepasan LH
PG2α 16 hari awal estrus akhir estrus
Sikuls estrus
Akhir Fase luteal
Gambar 2 Karakteristik periode ovulasi (Caardenas dan Pope 2002)
Ovulasi pada babi dara terjadi pada bagian akhir dari hari kedua
dimulainya estrus dan memungkinkan pelepasan 15 sampai 20 folikel. Hal ini
terjadi karena pada babi folikel yang lebih matang membantu perkembangan
folikel kurang matang, berbeda dari sapi di mana folikel yang matang
mendominasi persaingan folikel yang kurang matang dan mengeluarkan parakrin
dan autokrin yang menghalangi perkembangan folikel lainnya (Hunter et al. 2004).
Setelah ovulasi, folikel runtuh, darah cepat mengisi rongga sentral dari folikel dan
selanjutnya diganti dengan jaringan luteal yang berlangsung selama 5-6 hari.
Korpus luteum berfungsi menghasilkan progesteron yang merupakan hormon
steroid yang bertanggungjawab dalam perkembangan endometrium sebagai
stimulasi negatif terhadap pelepasan prostaglandin (PGF2α) selama fase luteal.
Fase luteal berlangsung sekitar 16 hari dengan ketinggian progesteron terjadi pada
2-4 hari setelah estrus dan meningkat terus mencapai maksimum selama
pertengahan akhir diestrus.Pada periode ini, babi tidak menerima pejantan.
Jika terjadi konsepsi, korpus luteum tetap berfungsi dan secara terus
menerus akan memproduksi dan mensekresi progesteron. Siklus berahi
bergantung pada uterus sebagai sumber luteolisin dan prostaglandin. Pada hewan
domestik, ovulasi spontan pada siklus estrus bergantung pada proses kebuntingan.
Siklus berahi bergantung pada uterus dimana luteolisin dan prostaglandin
bersumber dari uterus yang menyebabkan mekanisme siklus menjadi berulang.
Progesteron dibutuhkan untuk mempersiapkan endometrium untuk implantasi dan
menghasilkan susu (laktogen) yang dibutuhkan embrio sebelum digantikan
progesteron yang dihasilkan di plasenta. Jika tidak dibuahi, korpus luteum
berhenti mensekresi progesteron dan kemudian menjadi korpus albikans yang
merupakan massa berserat bekas luka. Degenerasi korpus luteum dimulai pada
sekitar hari ke-15, bertepatan dengan peningkatan konsentrasi luteulisin dan
prostaglandin (PGF2α) yang berfungsi meregresi korpus luteum. Perkembangan
penurunan dan kenaikan konsentrasi LH dapat terjadi karena mekanisme umpan
balik negatif pembentukan estradiol (Evans et al. 2001). Pada beberapa spesies,
tikus dan sebagian primata, pematangan terakhir menyebabkan peningkatan
9
konsentrasi LH dan pubertas terjadi akibat rangsangan stimulasi positif aktivitas
hipotalamus melalui pusat komponen neuron GnRH (Ojeda 1991).
Mekanisme luteolisis pada endometrium dan epitel kelenjar duktus
membutuhkan efek berurutan dari progesteron, estrogen, dan oksitosin yang
bekerja melalui reseptor masing-masing (Spencer dan Bazer 2002; Spencer dan
Bazer 2004). Pada siklus estrus (0 hari), estrogen dari folikel de graff merangsang
peningkatan reseptor estrogen alpha (ERα) pada uterus, reseptor progesteron, dan
ekspresi reseptor oksitosin. Selama awal diestrus, progesteron dari korpus luteum
yang baru terbentuk merangsang akumulasi fosfolipid di endometrium dan saluran
kelenjar epitel yang dapat membebaskan asam arakidonat untuk sintesis dan
sekresi prostaglandin. Selama diestrus progesteron meningkat dan menghambat
reseptor estrogen α dan oksitosin di endometrium dan saluran kelenjar epitel.
Konsentrasi hormon reproduksi sangat berfluktuasi dengan pola reguler
dan tetap dan pola tersebut merupakan hasil integrasi dari sejumlah organ dengan
hormon. Pada jantan, masa dewasa kelamin lebih lama sekitar 5 sampai 8 bulan
pada bobot badan mencapai 75–110 kg. Jantan yang baik dapat diketahui ketika
dicoba dikawinkan dengan babi dara 2 sampai 3 kali dan menghasilkan
kebuntingan dengan anak sekelahiran di atas 8–10 ekor dianggap dapat dipakai
untuk menjadi pejantan.
Pengaturan hormonal pada fase kebuntingan
Estradiol, progesteron, laktogen plasenta, dan relaksin merupakan hormon-
hormon yang berperan penting selama kebuntingan. Estrogen penting untuk sel,
pertumbuhan diferensiasi, dan perkembangan baik pada jantan maupun betina.
Secara spesifik juga diferensiasi dan pengembangan jaringan reproduksi, termasuk
kelenjar susu, testis, epididimis, dan prostat pada jantan, serta perlindungan
terhadap osteoporosis melalui pemeliharaan kepadatan tulang, pengurangan kadar
lemak dan kolesterol darah dan bertindak sebagai hormon kardioprotektif,
perilaku reproduksi, dan homeostatis (Couse et al. 1997; Kurebayashi et al. 2000;
Osborne et al. 2000; Signoretti dan Loda 2001; Matthews dan Gustalsson 2003).
Estrogen dan molekul estrogen bekerja pada jaringan target dan mengubah
aktivitas sel dan perilaku dengan cara mengikat reseptor estrogen. Ada tiga jenis
estrogen, yaitu estradiol, estron, dan estriol. Estradiol dianggap sebagai estrogen
utama. Reseptor estrogen adalah faktor transkripsi ligan aktif yang dimiliki oleh
superfamili reseptor inti dan mediasi semua aktivitas biologis estrogen pada
jaringan target (Matthews dan Gustafsson 2003). Estrogen memiliki dua reseptor,
yaitu α dan β. Reseptor estrogen memiliki domain fungsional yang berbeda
disebut A sampai F dari superfamili reseptor inti (Couse et al. 1997). Reseptor
estrogen β adalah homolog untuk reseptor estrogen α dalam DNA dan domain
pengikatan ligan (Mosselman et al. 1996). Estrogen bertanggung jawab untuk
pertumbuhan dan perkembangan jaringan dan juga meningkatkan fungsi
progesteron.Kedua hormon ini sangat penting bagi kebuntingan. Estrogen
disekresi oleh ovarium dan juga dengan jumlah yang kecil disekresikan pada
kelenjar adrenal. Pada saat estrus, estrogen dari folikel merangsang peningkatan
reseptor estrogen alpha pada rahim, reseptor progesteron, dan ekspresi
kebuntingan adalah proses reproduksi yang sangat penting dalam suatu siklus
reproduksi.Terjadinya kebuntingan berkaitan dengan proses yang terjadi dari
10
siklus perkembangan suatu individu dari anak sampai dewasa kemudian
menghasilkan anak. Pada babi, selama kebuntingan interaksi antar hormon-
hormon kebuntingan estrogen, progesteron, faktor pertumbuhan, dan interferon
secara aktif mempertahankan sekresi kelenjar endometrium yang sangat
dibutuhkan untuk fungsi normal uterus dan meningkatkan kapasitas uterus sejalan
dengan peningkatan perkembangan embrio dan fetus (Young et al. 1990).
Perkembangan kebuntingan berkaitan erat dengan mekanisme hormonal
dalam kaitan dengan proses terbentuknya zigot, embrio, dan fetus hingga
dilahirkan. Adanya kebuntingan didapatkan ketika konsepsi yang terbentuk
blastokis mulai memanjang dari bola menjadi bentuk tubular dan filamen untuk
menghasilkan interferon yang merupakan signal untuk mencegah mekanisme
luteolisis endometrium, dimana progesteron sangat penting untuk menjaga
lingkungan rahim yang mendukung keberhasilan konseptus. Reseptor progesteron
memainkan peranan penting dalam pembentukan dan pemeliharaan kebuntingan.
Disemua uterus mamalia, progesteron diekspresikan dalam sel epitel endometrium
dan stroma selama awal fase luteal sehingga regulasi dari sejumlah gen oleh
progesteron melalui aktivasi reseptor progesteron. Paparan yang terus menerus
pada endometrium menurunkan regulasi ekspresi reseptor progesteron di
endomerium, dan ekspresi protein reseptor progesteron tidak terdeteksi pada
endometriun dan kelenjar epitel setelah hari ke-11 dan 13 kebuntingan,
selanjutnya reseptor progesteron terdeteksi pada stroma dan miometrium dan
keseluruhan kebuntingan. Peningkatan ekspresi reseptor oksitosin (OTR)
difasilitasi dengan peningkatan sekresi estrogen oleh ovarium (Spencer dan Bazer
2004). Progesteron sangat penting dalam proses pemeliharaan kebuntingan dan
ketidakcukupan hormon ini dapat menyebabkan kegagalan dalam proses
implantasi embrio. Progesteron diketahui dapat menekan produksi prostaglandin
(Wilson dan Conell 1991).
Gambar 3 Mekanisme hormonal ketika konseptus (Spencer dan Bazer 2004)
Progesteron dan estradiol berfungsi dalam pengaturan pertumbuhan dan
perkembangan kelenjar dan jaringan uterus untuk mempersiapkan lingkungan
11
uterus yang sesuai bagi perkembangan embrio (Donald 1980; Wilson dan Conell
1991).
Estradiol dan relaksin merangsang pertumbuhan dan perkembangan duktus
pada kelenjar susu, sedangkan progesteron merangsang peningkatan percabangan
duktus sehingga terjadi peningkatan lobus alveolar kelenjar susu (Wang et al.
1990; Rueda et al. 2000). Selama trimester pertama terminal duktus bercabang
dan memanjang. Sel-sel berproliferasi dari sel batang didistribusikan keseluruh
kelenjar. Selama trimester kedua, diferensiasi alveola terjadi dari ujung saluran
mendominasi alveola memiliki dua lapisan sel, sel luminal dan calon sel-sel
sekretoris, sedangkan lapisan basal adalah mioepitel dan memperluas proses
kontraktil dalam jaringan sekitar alveolus. Selama trimester ketiga, alveolus
menjadi dewasa, sel-sel epitel menjadi kubus, dengan retikulum endoplasma yang
luas (Hurley et al. 1991) Pada awal kebuntingan, sekresi estradiol melonjak
secara drastis mencapai konsentrasi tertinggi pada 16 hari kebuntingan disebabkan
peningkatan aktivitas sel-sel penghasil estradiol pada korpus luteum dan plasenta,
meskipun tidak dipengaruhi oleh jumlah korpus luteum dan peningkatan
progesteron pada hari ke empat kebuntingan dikarenakan sudah berfungsinya
korpus luteum. Pada babi, peningkatan konsentrasi progesteron pada umur
kebuntingan 15 hari dan meningkat terus sampai pada umur kebuntingan 70 hari.
Peningkatan progesteron domba dimulai pada umur 50 hari kebuntingan dan
meningkat terus kemudianmenurun sejalan dengan perkembangan kebuntingan
sampai kelahiran (Manalu 1996; Tuju dan Manalu 1996; Mege et al. 2007).
Dengan demikian, keberadaan dan kecukupan estrogen dan progesteron yang
memainkan peranan penting sangat dibutuhkan dalam proses pembesaran anak
dan meningkatkan kekebalan anak yang akan dibawa dalam proses pertumbuhan
dari embrio sampai pada umur sapih dan selanjutnya dalam proses pertumbuhan
dan perkembangan individu selanjutnya.
Selama kebuntingan, epitel kelenjar susu paling cepat berproliferasi. Hal
ini terjadi sebagai respons terhadap estrogen dan progesteron yang disekresi dari
korpus luteum pada awal kebuntingan, diikuti oleh hormon plasenta (estrogen,
progesteron, dan hormon pertumbuhan), prolaktin, adrenokortisol dari kelenjar
adrenal. Korpus luteum dipercaya sebagai satu-satunya sumber terpenting dari
progesteron selama kebuntingan, meskipun beberapa steroid disekresikan oleh
plasenta. Peningkatan konsentrasi progesteron mengindikasikan bahwa unit feto-
plasenta merupakan sumber utama estrogen. Meningkatnya kortisol fetus pada
kebuntingan akhir merangsang produksi enzim baru atau mengaktivasi enzim di
plasenta. Kemudian plasenta meningkatkan produksi estrogen, dengan cara
mempercepat produksi estrogen dan konversi progesteron. Sintesis estrogen di
plasenta dan produksi progesteron di korpus luteum merupakan sistem yang
independen dan peningkatan konversi progesteron menjadi estrogen.
Superovulasi merupakan suatu teknik untuk merangsang pembentukan
sejumlah besar folikel dalam ovarium dan meningkatkan derajat ovulasi dengan
mempercepat pematangan dari keadaan yang alamiah (Manalu et al. 2000,
Adriani et al. 2004). Superovulasi merupakan aspek penting dalam memperbaiki
sistem reproduksi ternak (Manalu dan Sumaryadi. 1997 ; Mege et al. 2006 ;
Mukomoto et al. 1995). Penggunaan PMSG dan hCG untuk superovulasi telah
dilakukan pada domba, kambing, mencit, dan sapi (Mege 2006 ; Cornejo et al.
2006). Superovulasi dengan PMSG dan hCG meningkatkan pertumbuhan jumlah
12
folikel sehingga terjadi peningkatan sekresi dan pembentukan steroidogenesis
untuk menghasilkan estradiol. Folikel tidak berkontribusi pada peningkatan
konsentrasi steroid plasma, tetapi peningkatan steroidogenesis folikel yang
disebabkan superovulasi. Hormon PMSG merangsang ekspresi pengkodean gen
enzim sitokrom P450 17 alfahidroksilase dan steroidogenik regulasi protein
(StAR). Hal ini terjadi dibawah pengendalian LH yang juga dimiliki oleh PMSG.
Secara keseluruhan, ini menunjukkan bahwa PMSG merangsang konversi
kolesterol menjadi progesteron (peningkatan StAR) dan konversi menjadi
androgen progestin (peningkatan P450 hidroksilase 17 alpha), unsur utama dari
jalur biosintesis progesteron. Peningkatan produksi androgen menciptakan
cadangan yang lebih besar daripada prekursor untuk sintesis estradiol (Soumano
1997). Mekanisme superovulasi mengoptimalkan daya kerja hormon yang
mengatur sekresi hormon reproduksi dan disamping itu juga memodulasi hormon-
hormon metobolisme dalam proses pertumbuhan. Pertumbuhan dan
perkembangan folikel yang dilakukan dengan penyuntikan PMSG dengan hCG
sebagai agen ovulasi telah dilakukan pada domba dengan dosis PMSG sebesar
750 IU menghasilkan 11 telur yang diovulasikan. Sudjatmogo (1991) melaporkan
rataan peningkatan jumlah ovum yang diovulasikan meningkat 40 persen
(Sudjatmogo 1999). Dosis PMSG dan hCG P 600 pada babi meningkatkan bobot
badan dan jumlah sekelahiran (Mege et al. 2006) pada sapi, kambing, kelinci, juga
meningkatkan angka kelahiran, dan peningkatan bobot badan (Adriani et al.
2007; Koen et al. 2005).
Selama awal kebuntingan, estrogen yang dihasilkan juga menstimulasi
produksi protein dan faktor pertumbuhan dalam lingkungan rahim yang memulai
implantasi (Geisert dan Yelich 1997; Geisert et al. 2006). Selanjutnya
perpanjangan konseptus memiliki pengaruh pada perkembangan plasenta, dan
pertumbuhan janin memiliki implikasi pada kapasitas uterus, litter size, dan
substrat yang akan digunakan dalam perkembangan posnatal (Dziuk 1985).
Faktor yang berhubungan dengan kematian embrio adalah waktu yang tidak tepat
untuk konsepsi, perkembangan endometrium dan kegagalan signal konsepsi
(Pope et al. 1986). Litter size merupakan faktor penting yang menentukan
produktivitas ternak, memiliki dampak ekonomi yang signifikan bagi industri
peternakan. Dua faktor yang membatasi ukuran litter size adalah angka ovulasi
dan kapasitas uterus (Bennet dan Leymaster 1989). Kelangsungan hidup,
pertumbuhan dan perkembangan anak setelah lahir dan lepas sapih terutama
sangat ditentukan oleh kesiapan kelenjar susu induk untuk memproduksi susu
selama laktasi (Tiesnamurti 1992; Sumaryadi et al. 1997; Manalu dan Sumaryadi
1998). Pertumbuhan dan diferensiasi sel juga dipengaruhi oleh hormon
pertumbuhan sebagian dengan merangsang pembentukan dan sekresi insulin-
likegrowth factor (somatomedin). GH secara langsung meningkatkan
pertumbuhan jaringan lunak dan tulang yang menyebabkan sel berdiferensiasi dan
di samping itu merangsang pembentukan somatomedin dalam memediasi
pertumbuhan sel prekusor. Somatomedin memiliki homologi struktural dengan
proinsulin dan memiliki aktivitas pertumbuhan mirip insulin yang dikenal dengan
insulin like growth factor I (IGF-I ). IGF-I mempunyai respons yang sama seperti
respons terhadap insulin sehingga memiliki potensi yang sama dalam mendorong
pertumbuhan (Marks et al. 2000).
13
Secara umum, peternakan babi yang intensif rataan induk melahirkan anak
1.7 sampai 1.9 kali pertahun dengan penyapihan anak pada umur 4-6 minggu
(Sihombing 2006; Almond et al. 1993). Walaupun demikian, banyak kendala
dalam proses pemeliharaan yang menunjukkan kematian anak babi sebelum
disapih berkisar 18-28% dari banyak anak yang lahir, dengan persentase
kematian tertinggi pada anak sekelahiran yang lebih banyak. Prinsip dasar
pendayagunaan ternak bahwa seseorang sebagai produsen ternak adalah
mengusahakan agar diperoleh keuntungan yang memuaskan dari penjualan stok
bibit, hewan sapihan, hewan potong, atau hasil ternak lainnya (Sihombing 2006).
Superovulasi dilakukan dengan penggunaan hormon gonadotropin yang
dilakukan pada ternak betina untuk merangsang pertumbuhan folikel sehingga
diperoleh jumlah sel telur yang diovulasi lebih baik. Penggunaan PMSG dalam
penelitian mempunyai respons yang baik seperti terjadinya peningkatan
performans anak kambing, domba, dan babi dengan ditandai jumlah anak
meningkat diikuti peningkatan bobot lahir serta menekan kematian anak mati lahir
(Manalu et al. 2000; Adriani et al. 2004; Mege et al. 2007). Dasar tindakan
mereka adalah untuk mengikat dan mengaktifkan reseptor FSH pada sel granulosa
dari folikel menengah dan kecil, dan merangsang pertumbuhan folikel, dan
menghambat apoptosis.
PMSG merupakan hormon gonadotropin yang dihasilkan dengan aktivitas
biologik menyerupai FSH dan LH. PMSG memiliki aktivitas biologis ganda, yaitu
serupa dengan FSH dan LH sehingga sering disebut gonadotropin sempurna.
Pengaruh yang ditimbulkan oleh PMSG antara lain (1) merangsang pertumbuhan
folikel; (2) menunjang produksi estrogen; (3) Ovulasi; (4) luteinisasi dan (5)
merangsang sintesis progesteron. PMSG terdiri atas sub unit α dan β dengan
kadar karbohidrat yang tinggi, yakni kadar asam sialat yang dapat mengakibatkan
waktu paruh PMSG yang cukup panjang dibandingkan dengan gonadotropin yang
lain. Dengan demikian, stimulasi perkembangan folikel meningkat sejalan dengan
aktivitas induksi PMSG dan hCG yang dibutuhkan untuk memperoleh
peningkatan konsepsi.
KERANGKA PENELITIAN
Penelitian dilakukan untuk menghasilkan anak-anak babi unggul dengan
fenotipe pertumbuhan dan daya hidup yang lebih baik selama pertumbuhan
pascalahir dengan cara penyuntikan induk dengan gonadotropin sebelum
pengawinan
14
Penelitian Tahap I
10 ekor babi induk Lokal
(NATIV)
5ekor induk babi lokal dilakukan
Penyuntikan PMSG dan hCG (SO)
Sinkronisasi estrus
5ekor induk babi lokal dilakukan
Penyuntikan NaCl 0.9% (kontrol)
(NSO)
1. Bobot badan lahir, sapih
2. Total bobot badan lahir dan sapih
3. Dimensi Tubuh (panjang badan,
tinggi tungkai depan, tinggi
tungkai belakang, lahir, sapih
4. Laju pertambahan bobot badan
5. Daya hidup
1. Bobot badan lahir, sapih
2 Total bobot badan lahir dan sapih
3. Dimensi Tubuh (panjang badan,
tinggi tungkai depan, tinggi tungkai
belakang, lahir, sapih
4. Laju pertambahan bobot badan
5. Daya hidup
KAWIN
15
PENELITIAN TAHAP II
6ekor induk dilakukan
Penyuntikan PMSG dan hCG (SO)
12 Induk Babi keturunan Landrace
(EKSOTIK)
6ekor induk dilakukan
Penyuntikan Nacl 0.9%
(kontrol)(NSO)
1. Bobot badan lahir, sapih
2. Total bobot badan lahir dan sapih
3. Dimensi Tubuh (panjang badan,
tinggi tungkai depan, tinggi
tungkai belakang, lahir, sapih
4. Laju pertambahan bobot badan
5. Daya hidup
1. Bobot badan lahir, sapih
2. Total bobot badan lahir dan sapih
3. Dimensi Tubuh (panjang badan,
tinggi tungkai depan, tinggi tungkai
belakang, lahir, sapih
4. Laju pertambahan bobot badan
5. Daya hidup
12 ekor anak sapih (8 minggu)
dipelihara sampai 28 minggu
12 ekor anak sapih (8 minggu)
dipelihara sampai 28 minggu
kawin
Sinkronisasi estrus Sinkronisasi estrus
Bobot badan tiap minggu sampai
28 minggu
16
PENELITIAN TAHAP III
Gambar 4. Alur Penelitian
12 ekor induk babi keturunan
Landrace
Sinkronisasi estrus
1. Bobot badan lahir, sapih
2. Total bobot badan lahir dan sapih
3. Dimensi Tubuh (panjang badan,
tinggi tungkai depan, tinggi
tungkai belakang, lahir, sapih
4. Laju pertambahan bobot badan
5. Daya hidup
4 ekor induk babi anak
dari induk yang
disuntik PMSG dan
hCG (F1SO)
4. ekor induk babi
disuntik NaCL 0.9%
(NSO)
4 ekor induk babi di
suntik PMSG dan hCG
(SO)
kawin
17
DAFTAR PUSTAKA
Adriani, Sudono A, Toha S, Manalu W, Sutama IK. 2007. Pertumbuhan prenatal
dalam kandungan kambing melalui superovulasi. Hayati 14(2): 44-48.
Adriani, Sutana K, Sudono A, Manalu W. 2004. Pengaruh superovulasi sebelum
perkawinan dan suplementasi seng terhadap produksi susu kambing peranakan
Etawa. J Animal Production 6(2): 86-94.
Almond G.W. Anatomical And Endocrine Changes Associated With The Porcine
Estrous Cycle. 1993. Proceedings Of The North Carolina Healthy Hogs.
Andriyanto, Manalu W. 2010. Prospek penerapan teknologi perbaikan sekresi
endogen hormon kebuntingan pada domba skala peternakan rakyat. Prosiding
Seminar Nasional “Peranan Teknologi Reproduksi Hewan dalam rangka
swaswembada Pangan Nasional, 2010 Hal 125-127.
Andriyanto, Manalu W. 2011. Increased goat productivity through the
improvemen of endogenous secretion of pregnant hormones by using follicle
stimulating hormone. J Animal Production 9(2): 89-93.
Bazer, F. W., W. W. Thatcher, F. Martinat-Botte, and M. Terqui.1988. Conceptus
-nese Meishan pigs. J. Reprod.
Fertil. 84:37–42
Belstra B 1999. Effect of length and estrous progesterone or estradiol on
embryonic survival in multipara sows. Journal Animal Science 77:48-54.
Bennett GL, Leymaster A. 1989. Integration of ovulation rate, potential
embryonic viability and uterine capacity into a model of litter size in swine. J
Animal Science 67:1230- 1241
Campbell B K, Souza C, Gong J, Webb R, Kendall N, Masters P, Robinson G,
Mitchel A, Telfer E E, Baird D T. 2000. Domestic ruminans as models for
elucidation of the mechanism controlling ovarian follicle development in
humans. Reproduction 61, 429-443.
Cornejo,M.A-cortes, C. Sanches-Torres.,J.C.Vazquez-Chagoyan.,H.M. Suarez-
Gomez.,G.Garrido-Farina and M.A Meraz-Rios.2006. Rat Embryo Quality
And Production Efficiency Are Dependent On Gonadotrophin dose in
Superovulatory. Laboratory Animals 40:87-95.
Couse, J. F., J. Lindzey, K. Grandien, J. Gustafsson, and K. S. Korach.1997.
Tissue distribution and quantitative analysis of estrogen receptor-α (ERα) and
estrogen receptor-β (ERβ) messenger ribonucleic acid inthe wild-type and
ERα-knockout mouse. Endocrinology 138: 4613- 4621.
Donald Mc L E 1980. Veterinary endocrinology and reproduction. 3rd
Edition Lea
and Febringer, Philadelphia pp 560
Dziuk P J. 1992. Embrionic development and fetal growth. Anim Repro Sci.
28:299-308.
Evans A C O, J V O’Doherty.2001. Endocrine change and management factors
affecting puberty in gilts. Livestock Production Sciense 68:1-2
Geisert R D and Smith R A M. 2002. Early embryonic survival in the pig: can it
be improved? J.Anim Sci 80:54-85.
Geisert, R. D., and J. V. Yelich. 1997. Regulation of conceptus de-velopment and
attachment in pigs. J. Reprod. Fertil. Suppl.52:133–149
18
Ginther, O.J.,Beg.M.A.,Bergfelt, D.R., Donadeu F.X.,Kot.K., 2001. Follicle
Selection In Monovular Species. Biol.Reprod 65:920-927.
Gordon I. 1996. Controlled Reproduction in Pigs. CAB International Wallingford.
Oxon.
Hurley, W.L., R.M. Doane, M.B. O’Day-Bowman, R.J.Winn,L.E. Mojonnier, and
O.D. Sherwood.1991. Effect Of Relaxin On Mmmary Development In
Ovariectomized Pregnant Gilts. Endocrinology 128:1285-1290.
Kurebayashi, J., T. Otsuki, H. Kunisue, K. Tanaka, S. Yamamoto, and H. Sonoo.
2000. Expression level of estrogen receptor-α, estrogen receptor-β, coactivators,
and corepressors in breast cancer. Clinical Cancer Research 6: 512-518.
Koen Hiroe, Atsushi Tohei, Ryoji Hokao, Motoo Shinoda.2005. Experomental
Animal Japanese Association For Laboratory Animal Sciece Vol 54. Issue 2
pages 185-187.
Lapian MTR, Polung HS, Manalu W, Priyanto R. 2013. Kualitas karkas babi
potong yang dilahirkan dari induk yang disuperovulasi sebelum pengawinan. J
Veteriner 14(3):350-357.
Manalu W, Sumaryadi M Y, Kusumorini N.1995. Maternal serum concentration
of several hormones in does bearing different fetal number. Bull. Anim. Sci.
Special edition: 225-229.
Manalu W, Sumaryadi M Y, Kusumorini N.1996. Effect of fetal number on the
cocntrations of circulating maternal serum progesteron and estradiol of does
during late pregnancy. Small Rum. Res (in press)
Manalu W, Sumaryadi MY, Sudjatmogo, Satyaningtijas AS. 1998. Effect of
superovulation on maternal serum progesterone concentration, uterine and fetal
weights at weeks 7 and 15 of pregnancy in Javanese thin-tail ewes. Small
Rumin Res 30:171-176.
Manalu W, Sumaryadi MY. 1998. Perubahan status energi pada induk domba
ekor tipis dengan bertambahnya umur kebuntingan dan jumlah fetus yang
dikandung. Buletin Peternakan 22:8-13.
Manalu W, Sumaryadi MY, Sudjatmogo, Satyaningtijas AS. 2000a. Effect of
superovulation prior to mating on milk production performances during
lactation in ewes. J Dairy Science 83:477-483.
Manalu W, Sumaryadi MY, Sudjatmogo, Satyaningtyas AS. 2000b. The effects of
superovulation of Javanese thin-tail ewes prior to mating on lamb birth weight
and preweaning growth. Asian-Australasian J Animal Science 13:292-299.
Marks D.B., Allan D. Marks, Collen M. Smith. Basic Medical Biochemestry.
2000. Editor bahasa Indonesia, Joko Suyono, Vivi Sadikin, Lydia Mandera
Jakarta:EGC
Matthews, J., and J. Gustafsson. 2003. Estrogen signaling: a subtle balance
between ERα and ERβ. Molecular Interventions 3: 281-292.
Mege RA, NasutionSH, KusumoriniN, Manalu W. 2006. Pengaruh superovulasi
terhadap produksi anak babi. Jurnal Animal Production 8:8-15.
Mege RA, Manalu W, Nasution SH, Kusumorini N. 2007. Pertumbuhan dan
perkembangan uterus dan plasenta babi dengan superovulasi. Hayati 14: 1-6.
Mukumoto S, Mori K, Ishikawa H 1995. Efficient induction pf superovulation in
adult rats by PMSG and hCG. Exp. Animal 44(2):111-118.
Ojeda, S.R.1991. The Mystery Of Mammalian Puberty; How Much Do We
Know?. Persp.Biol. Med 34, 365-385.
19
Osborne, C. K., H. Zhao, S. A. W. Fuqua. 2000. Selective estrogen receptor
modulators: structure, function, and clinical use. Journal of Clinical Oncology
18: 3172-3186.
Perry JS. 1981. The Mammalian fetal membranes. J. Fertil Reprod. Dev. 62:321 –
335.
Pope W F, First N L 1985. Factor affecting the survival of pig embryos.
Theriogenology 23:91-105.
Rueda B et al. 2000. Decreased progesterone levels and progesterone receptor
antagonists promote apoptotic cell death in bovine luteal cells. Biol.Reprod.
62:269-276.
Sihombing, DTH. 2006 Ilmu Peternakan Babi. Gajah Mada University Press,
Yogyakarta Cetakan kedua.
Signoretti, S., and M. Loda. 2001. Estrogen receptor β in prostate cancer: brake
pedal or accelerator? American Journal of Pathology 159:13-16.
Smith AL, Stalder KJ, Serenius TV, Baas TJ, Mabry JW. 2007. Effect of piglet
birth weight on weights at weaning and 42 days post weaning. J Swine Health
Prod. 15: 213–218.
Sudjatmogo, Utomo B, Subhiarta, Manalu W, Ramelan. 2001. Tampilan
produksi susu akibat peningkatan pertumbuhan ambing sapi perah Friesian
Holstein yang disuntik pregnant mare serum gonadotrophin pada program
perkawinannya. J Pengembangan Peternakan Tropis 26:8-13.
Sudjatmogo, Manalu W. 1999. Tampilan peningkatan potensi reproduksi dan
indicator pertumbuhan kelenjar ambing domba akibat superovulasi dan
peningkatan kualitas pakan. Jurnal Pengembangan Peternakan Tropis 24:68-75.
Sumaryadi dan Manalu 1996. Profil progesterone dan estradiol pada domba yang
disuntik prostaglandin pada akhir kebuntingan. Media Veteriner 3(2):13-21.
Supriatna I, Tuty Lasuardi Yusuf, Bambang Purwantara, Gosali Moekti dan Lies
Parede Hernomoadi 1998. Kajian Pemberian Human Chorionic Gonadotrophin
(hCG) pada Sapi Perah Yang Telah Disuperovulasi Dengan Pregnant Mare
Serum Gonadotrophin Monoclonal Antibody (PMSG-MaAB) anti PMSG.
Media Veteriner 5:15-20. Soumano K, Price CA. Ovarian follicular steroidogenic acute regulatory protein, low-
densitylipoprotein receptor, and cytochrome P450 side-chain cleavage messenger
ribonucleic acids incattle undergoing superovulation. 1997. Biol Reprod;56:516-
522.
Spencer T E, Bazer F W 2002. Biology of progesterone action during pregnancy
recognition and maintenance of pregnancy. Front Biosci 7:1879-1898
Spencer TE, Bazer FW. 2004. Uterine and placental factors regulating conceptus
growth in domestic animals. J Animal Science 82:E4-E13.
Tiesnamurti B. 1992. Reducing the preweaning mortality rate of Javanese thin-tail
sheep. Internaional regulation of fetal adipose development. J. Endocrinol.
179:293-299.
Tuju E.A. Manalu, W, 1996. Hubungan Antara Peningkatan Konsentrasi Estradiol
dan Progesteron Dalam Serum Induk Dengan Perkembangan Fetus dan
Kelenjar Susus Selama Kebuntingan Pada Tikus Putih (Rattus Sp). Biofera
5:26-36
Wang S.,L.J Counterman and S.Z. Haslam, 1990 Progestreon Action In Mammary
Gland. Bio. Rprod. 11:117-121.
20
Webb, R., Nicholas, B., Gong, J.G., Campbell, B.K., Gutierrez, C.G., Garverick,
H.A., Armstrong, D.G., 2003.Mechanisms regulating follicular development
and selection of the dominant follicle. Reproduction 61, 71–90.
Wilson LJr and J.L Mc Connel 1991. In Vivo Effect Of Progesterone and
Estradiol On Uterine Prostaglandin Production In pregnant Rat. Bio. Reprod.
45:290-294 choll Of Agricultute Kyoti University Kyoto Japan.
Young KH, Kraeling RR, Bazer FW. Effect of pregnancy and exogenous ovarian
steroids on endometrial prolactin receptor ontogeny and uterine secretory
response in pigs. Biol Reprod. 1990;43:592–599.
21
3. PERBAIKAN FENOTIPE PERTUMBUHAN ANAK BABI LOKAL
MELALUI PENYUNTIKAN INDUK DENGAN PMSG DAN HCG
SEBELUM PENGAWINAN
ABSTRAK
Penelitian bertujuan untuk mempelajari kualitas anak yang dilahirkan oleh
induk yang sekresi endogen hormon kebuntingannya diperbaiki selama periode
kebuntingan melalui penyuntikan PMSG dan hCG sebelum pengawinan. Hewan
percobaan yang digunakan adalah 10 ekor induk babi lokal dengan bobot badan
30-40 kg. Sebelum pengawinan, siklus berahi induk babi percobaan
diserentakkan dengan penyuntikan prostaglandin sebanyak 2 kali masing-masing
0.5 mL dengan interval waktu 14 hari. Induk babi percobaan kemudian dibagi ke
dalam dua kelompok yang masing-masing terdiri atas 5 ekor. Kelompok pertama
disuntik PMSG dan hCG dengan dosis 200/100 IU pada saat penyuntikan
prostaglandin kedua, sementara kelompok kedua tidak disuntik PMSG dan hCG
sebagai kontrol. Setelah menunjukkan gejala estrus, induk babi percobaan
dicampur dengan pejantan untuk perkawinan secara alami. Induk babi percobaan
yang sudah bunting dipelihara sampai melahirkan dan penyapihan. Parameter
yang diukur ialah bobot badan anak dan ukuran tubuh pada saat lahir dan
penyapihan. Hasil pengamatan menunjukkan perbaikan sekresi endogen hormon
kebuntingan melalui penyuntikan PMSG dan hCG sebelum pengawinan
memperbaiki pertumbuhan prenatal fetus dengan hasil peningkatan bobot lahir
sebesar 76.92% dan total bobot lahir anak hidup sebesar 2,65 kali. Anak yang
dihasilkan oleh induk yang disuntik PMSG dan hCG mempunyai daya tahan
hidup yang lebih baik dengan mortalitas yang jauh lebih rendah dengan
pertumbuhan prasapih yang lebih baik sehingga secara drastis meningkatkan total
bobot sapih anak per ekor induk sebesar 1,07 kali dibandingkan dengan kontrol.
Disimpulkan bahwa fenotipe pertumbuhan anak babi lokal dapat diperbaiki
dengan cara perbaikan lingkungan uterus induk selama kebuntingan.
Kata kunci: superovulasi, PMSG, hCG, bobot lahir, bobot sapih, babi lokal
22
IMPROVEMENT OF GROWTH PHENOTYPE OF LOCAL PIG BY
PMSG AND HCG INJECTIONS OF SOW PRIOR TO MATING
ABSTRACT
An experiment was designed to study the growth phenotypes of pigs born
to sows injected with PMSG and hCG prior to mating to improve endogenous
secretions of pregnant hormones during pregnancy. The experimental sows used
were 10 local breed sows with body weight ranges of 30-40 kg. Before mating,
estrous cycles of the experimental sows were synchronized by injecting 0.5 mL
prostaglandin twice with 14 days interval. The experimental sows were then
divided into two groups, each consisted of 5 sows. The first group was injected
with PMSG and hCGwith dosage of 200/100 IUper sow at the same time with the
second prostaglandin injection, while the second group was not injected with
PMSG and hCG as a control. After showing estrous behavior, the experimental
sows were mixed with selected boars for natural mating. The pregnant sows were
maintained until farrowing and weaning. Parameters measured were body
weights and body lengths and leg heights of the pigs at birth and weaning. The
results showed that improved endogenous secretion of pregnant hormone by
injection of the sows with PMSG and hCG prior to mating, improved prenatal
growth and development of the fetus with the final results of increased birth
weight by 76.92% and total birth weight of live pigs per sow by 2,65 twice as
compared to control pigs. Pigs born to sows injected with PMSG and hCG prior
to mating had higher survival rate with a dramatically decreased mortality and a
higher pre-weaning growth rate that finally increased total weight of weanedpigs
per sows dramatically by 1,07times as compared to control.It is concluded that the
growth phenotypes of local pigs could be improved by improving the sow’s uterus
environment during pregnancy.
Key words: superovulation, PMSG, hCG, birth weight, weaning weight, local pig
PENDAHULUAN
Ternak babi merupakan hewan politokus yang dapat memberikan
sumbangan yang sangat berarti bagi peningkatan pemenuhan kebutuhan daging
dan secara ekonomis sangat menguntungkan karena dengan satu kelahiran banyak
dihasilkan anak babi. Upaya memaksimalkan status reproduksi diharapkan dapat
meningkatkan produktivitas ternak yang dihasilkan. Produktivitas ternak sangat
23
bergantung pada keberhasilan proses reproduksi, dan produksi hormon-hormon
reproduksi ini sangat menentukan tingkat keberhasilan suatu proses kebuntingan.
Ternak babi lokal adalah ternak yang sudah mengalami domestikasi yang
sudah lama dan mempunyai adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan setempat.
Selain pemeliharaan yang mudah, ternak babi lokal memiliki rasa daging yang
lebih gurih dibandingkan dengan rasa daging babi keturunan Landrace, Duroc,
dan yang lainnya. Ternak babi lokal dikembangkan untuk tujuan untuk
memperoleh keuntungan dari penjualan bibit, babi sapihan, dan babi potong serta
selanjutnya melestarikan tradisi keluarga dan berpartisipasi dalam pengadaan
pangan nasional serta pemenuhan gizi yang baik untuk menghasilkan generasi
yang sehat, kuat, dan cerdas (Sihombing, 2006).
Daerah-daerah tertentu di Indonesia, seperti Sulawesi Utara, Batak, Bali,
dan Toraja memiliki ternak lokal tertentu yang khas daerah tersebut. Ternak babi
lokal dipelihara oleh peternak kecil dengan sistem tradisional sebagai usaha
sambilan dan merupakan penyangga ekonomi keluarga. Pemeliharaan umumnya
sangat mudah dengan pemberian sisa-sisa (limbah) rumah tangga dengan sistem
perkandangan yang sederhana. Daging yang dihasilkan memiliki keunggulan rasa
yang gurih. Di satu sisi, banyak masalah yang dihadapi untuk peningkatan
efisiensi reproduksi. Pertumbuhan dan perkembangan ternak babi lokal yang
sangat lambat dan mempunyai tingkat kematian yang tinggi, bobot badan lahir
rendah, tingginya keragaman jumlah anak sekelahiran menyebabkan rendahnya
produktivitas ternak babi lokal.
Perbaikan kualitas ternak babi lokal dapat dilakukan dengan teknologi
sederhana, yaitu dengan perbaikan sekresi endogen hormon-hormon kebuntingan.
Perbaikan sekresi endogen hormon kebuntingan dapat dilakukan dengan cara yang
sederhana dengan penyuntikan gonadotropin, seperti Pregnant Mare Serum
Gonadotropin (PMSG) dan human Chorionic Gonadotropin (hCG). Teknologi
ini telah dibuktikan meningkatkan sekresi endogen hormon kebuntingan dan
memperbaiki lingkungan uterus dan plasenta selama periode kebuntingan
sehingga memperbaiki pertumbuhan embrio dan fetus (Manalu et al. 1998;
Adriani et al. 2007; Mege et al. 2007) yang akhirnya memperbaiki bobot lahir
anak (Manalu et al. 2000b; Mege et al. 2006; Adriani et al. 2007; Lapian et al.
2013). Peningkatan sekresi endogen hormon kebuntingan terbukti memperbaiki
pertumbuhan dan perkembangan kelenjar susu sehingga meningkatkan produksi
susu pada masa laktasi (Manalu et al. 2000a; Sudjatmogo et al. 2001; Adriani et
al. 2004;Lapian et al. 2013) yang akhirnya memperbaiki pertumbuhan anak
prasapih dan pascasapih (Andriyanto dan Manalu, 2011; Lapian et al. 2013).
Perbaikan pertumbuhan fase embrio dan fetus sampai pertumbuhan prasapih dan
pascasapih masih terus berlanjut pada perbaikan kualitas karkas dan percepatan
umur potong pada babi (Lapian et al. 2013).
Penelitian ini bertujuan mempelajari respons perbaikan fenotipe
pertumbuhan setelah induknya disuperovulasi dengan PMSG dan HCG untuk
perbaikan sekresi endogen hormon kebuntingan selama periode kebuntingan pada
uterus dan plasenta babi lokal dengan mengembangkan metode sederhana dan
cepat untuk memperbaiki pertumbuhan postnatal akan menghasilkan anak yang
lebih unggul dengan daya tahan hidup lebih baik dengan laju prasapih dan
pascasapih yang lebih baik sehingga meningkatkan produktivitas induk babi lokal.
24
METODE PENELITIAN
Percobaan menggunakan 10 ekor induk babi lokal dengan bobot badan
30-40 kg. Hormon yang digunakan untuk meningkatkan sekresi endogen hormon
kebuntingan adalah PMSG dan hCG (PG 600, Intervet, The Nederlands).
Sinkronisasi berahi dilakukan dengan menggunakan prostaglandin (PGF2α)
(Lutalyse, Intervet, The Nederlands).
Pelaksanaan Penelitian
Penelitian dimulai dari sinkronisasi berahi babi percobaan sebelum
pengawinan. Siklus berahi babi percobaan diseragamkan dengan cara
penyuntikan prostaglandin dengan dosis masing-masing 0,5 ml yang dilakukan
sebanyak 2 kali dengan interval waktu 14 hari. Pada penyuntikan prostaglandin
kedua atau 3 hari sebelum berahi, induk babi dibagi ke dalam dua kelompok yang
masing-masing terdiri atas 5 ekor induk. Induk babi kelompok pertama disuntik
PG 600 dengan dosis 200 IU PMSG dan 100 IU hCG secara intramuskuler dan
induk babi kelompok kedua disuntik dengan NaCl fisiologis 0,9% sebagai kontrol.
Induk babi yang menunjukkan gejala berahi dikawinkan secara alami dengan cara
mencampur dengan pejantan. Selama kebuntingan dan laktasi, babi percobaan
dipelihara sesuai dengan manajemen peternak setempat. Parameter yang diamati
adalah bobot badan, panjang badan, dan panjang tungkai depan anak babi pada
saat lahir dan sapih.
Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis sidik ragam (ANOVA)
dengan uji t menggunakan program SPSS 16.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak babi yang dilahirkan oleh induk
yang disuperovulasi memiliki bobot badan yang lebih besar dan ukuran
morfometri tubuh yang lebih panjang (Tabel 1). Anak babi yang dilahirkan oleh
induk yang disuperovulasi mempunyai bobot badan lahir yang lebih besar sekitar
76,92% (tα0.05) dibandingkan dengan anak babi yang dilahirkan oleh induk babi
kontrol tanpa superovulasi. Keragaman bobot badan pada saat lahir juga lebih
rendah pada anak babi yang dilahirkan oleh induk yang disuperovulasi, yaitu 9,35
dan 17.94%, untuk anak yang dihasilkan oleh induk yang disuperovulasi dan
kontrol. Anak babi yang dihasilkan oleh induk yang disuperovulasi mempunyai
ukuran tubuh yang lebih panjang pada saat lahir, yaitu lebih panjang 17,83%
dibandingkan dengan anak babi yang dihasilkan oleh induk kontrol dengan
keragaman yang lebih rendah, yaitu 3,24% dibandingkan dengan 7,28% untuk
anak babi kontrol. Panjang tungkai depan pada anak babi yang dilahirkan oleh
25
induk yang disuperovulasi juga lebih tinggi sebesar 23,39% dibandingkan dengan
babi kontrol dengan keragaman yang juga lebih rendah (4,96% vs 7,82%).
Perbaikan lingkungan uterus induk dengan superovulasi juga secara dramatis
meningkatkan total bobot anak yang lahir hidup per ekor induk sebesar 265,6%
(3,51 vs 0,96 kg/induk) (Tabel 1).
Tabel 1 Bobot lahir, total bobot anak lahir hidup per induk, panjang badan, tinggi
tungkai pada anak babi yang dilahirkan oleh induk kontrol
(nonsuperovulasi) dan induk yang disuperovulasi sebelum pengawinan.
Parameter
Kelompok
NSO1
SO2
Rataan Jumlah anak/induk
Bobot lahir (kg/ekor)
5,6±1,3
0,39±0,22a
3,2±1,5
0,69±0,04b
Total bobot anak lahir hidup (kg/induk) 0,96±0.36a
3,51±1,16b
Panjang badan pada saat lahir (cm) 18,33±0.20a
21,60±0,16a
Tinggi tungkai pada saat lahir (cm) 9,15±0,35b
11,29±0,46b
1NSO adalah kelompok induk babi kontrol yang tidak disuntik PMSG dan hCG
sebelum pengawinan. 2SO adalah kelompok induk babi yang disuntik PMSG dan hCG sebelum
pengawinan. a,b
Rataan dengan superskrip yang berbeda pada baris yang sama berbeda secara
nyata.
Perbaikan fenotipe pertumbuhan pada anak babi yang baru lahir berkaitan
erat dengan pertumbuhan dan perkembangan yang baik selama periode embrio
dan fetus selama kebuntingan. Penyuntikan PMSG dan hCG sebelum pengawinan
meningkatkan sekresi endogen hormon kebuntingan yang merupakan signal kunci
dan penting untuk memperbaiki lingkungan uterus dan plasenta sehingga
memberikan lingkungan yang baik untuk perkembangan dan pertumbuhan embrio
dan fetus (Manalu et al. 1998; Mege et al.2006; Adriani et al. 2007). Faktor
lingkungan prenatal dan postnatal memiliki kemampuan mempengaruhi
kelangsungan hidup babi. Lingkungan rahim, aliran darah ke rahim, efisiensi
plasenta, kemampuan pasokan nutrisi yang dibawa aliran darah dari plasenta ke
rahim yang mampu masuk ke dalam embrio memberi dampak perkembangan
embrio yang optimum (Reynolds dan Redmer 1995). Bobot lahir dan keragaman
bobot lahir dalam satu induk memiliki pengaruh yang sangat signifikan pada
kemampuan babi untuk bertahan hidup. Kemampuan dan persaingan untuk
menyusu, dan kemampuan bertahan hidup merupakan kontribusi yang utama
dalam masa prasapih sampai usia prasapih (Milligan et al. 2001; Milligan et
al.2002; Zindove et al. 2014). Bobot badan lahir yang rendah berdampak pada
tingkat kematian yang tinggi serta kemampuan bertahan hidup yang rendah dan
laju pertumbuhan yang rendah (Roehe dan Kalm 2000; Tuchscherer et al. 2000;
Milligan et al. 2002; Quiniou et al. 2002; Smith et al. 2007; Cabrera et al. 2012).
Bobot lahir yang lebih baik dengan keragaman bobot lahir yang rendah, anak babi
26
yang dilahirkan oleh induk yang disuperovulasi mempunyai laju pertambahan
bobot badan prasapih yang lebih tinggi sebesar 12% (P<0.05) dibandingkan
dengan babi yang dilahirkan oleh induk kontrol (Tabel 2). Anak babi yang
dilahirkan oleh induk yang disuperovulasi mempunyai kisaran laju pertumbuhan
harian sekitar 51,43-54,05 g/ekor/hari sementara anak babi kontrol berkisar dari
36,67-51,67 g/ekor/hari. Dengan laju pertumbuhan prasapih yang lebih tinggi,
anak babi yang dilahirkan oleh induk babi yang disuntik PMSG dan hCG sebelum
pengawinan mempunyai bobot badan sapih yang lebih tinggi sebesar 30,23%
(Tabel 2) dibandingkan dengan anak babi yang dilahirkan oleh induk yang tidak
disuperovulasi dengan keragaman masing-masing 4.11 dan 3,91%.
Tabel 2 Laju pertumbuhan prasapih dan mortalitas, bobot sapih dan panjang
badan, tinggi tungkai pada babi yang dilahirkan oleh induk kontrol
(nonsuperovulasi) dan induk yang disuperovulasi sebelum
pengawinan.
Parameter
Kelompok
NSO1
SO2
Mortalitas prasapih (%) 23,32±32,37a
8,30±11,78b
Laju pertumbuhan prasapih (g/hari)/ekor
Bobot sapih (kg/ekor)
48,28±2,90a
3,11±0,38a
54,05±2,85b
4,05±0,04b
Total bobot sapih per induk (kg) 8.60±4.00a
17,84±6,76b
Panjang badan pada saat penyapihan (cm) 34,50±0,41a
41,84±1,30b
Tinggi tungkai pada saat penyapihan
(cm)
15,25±0,29a
17,55±0,11b
1NSO adalah kelompok induk babi kontrol yang tidak disuntik PMSG dan
hCG sebelum pengawinan. 2SO adalah kelompok induk babi yang disuntik PMSG dan hCG sebelum
pengawinan. a,b
Rataan dengan superskrip yang berbeda pada baris yang sama berbeda
secara nyata (tα0.05).
Pada waktu penyapihan, anak babi yang dilahirkan oleh induk yang
disuperovulasi mempunyai badan yang lebih panjang sebesar 21,28%. Panjang
tungkai pada waktu penyapihan juga meningkat sebesar 15,08% pada anak babi
yang dilahirkan oleh induk yang disuperovulasi dibandingkan dengan anak babi
kontrol. Dengan bobot lahir yang lebih baik, tingkat kematian anak babi yang
dilahirkan oleh induk yang disuntik PMSG dan hCG sebelum pengawinan
menurun sebesar 64,41% dibandingkan dengan anak yang dihasilkan oleh induk
kontrol. Dengan laju pertumbuhan anak yang lebih baik dan laju mortalitas yang
27
rendah maka total bobot sapih anak per induk meningkat sebesar 1,07 kali
dibandingkan dengan induk kontrol (Tabel 2).
Hasil penelitian menunjukkan anak babi yang dilahirkan oleh induk yang
disuperovulasi memiliki laju pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan
anak yang dihasilkan oleh induk babi kontrol. Perbedaan ini menunjukkan bahwa
peningkatan sekresi endogen hormon kebuntingan melalui penyuntikan PMSG
dan hCG sebelum pengawinan berhasil memperbaiki lingkungan uterus dan
plasenta sehingga memberikan lingkungan yang lebih baik untuk perkembangan
dan pertumbuhan embrio dan fetus (Manalu et al. 1998; Andriani et al. 2007;
Mege et al. 2007). Lingkungan uterus yang baik selama kebuntingan akan
mendukung ketersediaan bahan-bahan yang dibutuhkan oleh embrio dan fetus
untuk berkembang optimum sesuai dengan potensi genetiknya. Bobot lahir
merupakan hasil akhir suatu proses yang kompleks dan rumit di dalam uterus dan
rahim selama kebuntingan (Foxcroft et al. 2006, Foxcroft et al. 2009).
Pertumbuhan dan perkembangan embrio dan fetus selama kebuntingan ditentukan
oleh pertumbuhan dan perkembangan uterus dan plasenta (Spencer dan Bazer
2004; Fowden et al. 2008) dan sistem pembuluh darah pada uterus dan plasenta
(Reynolds dan Redmer 1995) yang menentukan penyediaan nutrien dan oksigen
bagi fetus yang sedang tumbuh (Fowden et al. 2006). Komponen hormon dan
faktor lokal akan mengatur pertumbuhan dan perkembangan uterus dan plasenta
(Fowden et al. 2005) yang pada akhirnya akan menentukan pertumbuhan dan
perkembangan fetus.
Pertumbuhan dan perkembangan ternak babi yang dilahirkan oleh induk
yang disuperovulasi menunjukkan hasil yang secara fenotipik berbeda sangat
nyata dibandingkan dengan kontrol yang dapat dilihat dari nilai rataan bobot
lahir, rataan bobot sapih, panjang badan lahir dan sapih, panjang tungkai pada
saat lahir dan sapih. Dengan demikian, perbaikan lingkungan uterus akan
mempengaruhi tingkat pertumbuhan dan perkembangan ternak yang dihasilkan
serta mempengaruhi keberhasilan kehamilan (Vallet et al. 2000). Penelitian ini
membuktikan bahwa peningkatan sekresi endogen hormon-hormon kebuntingan
selama periode kebuntingan pada induk yang disuperovulasi meningkatkan
ekspresi gen pertumbuhan, memperbaiki bobot lahir, dan fenotipe pertumbuhan
anak sebagai bakalan atau bibit yang mempunyai keunggulan pertumbuhan
(Manalu et a. 2000b, Mege et al. 2006).
Kinerja pertumbuhan yang baik semasa pranatal akan meningkatkan
kelangsungan hidup yang baik pada masa postnatal. Tingkat pertumbuhan pada
babi yang dilahirkan oleh induk yang disuperovulasi memiliki pertumbuhan yang
lebih cepat selama periode prasapih dibandingkan dengan pada babi yang
dilahirkan oleh induk kontrol dengan angka kematian yang sangat rendah. Pada
ternak babi lokal, tingkat kematian sangat tinggi karena bobot lahir sangat rendah
yang menyebabkan ketidakmampuan anak berinteraksi dengan lingkungan,
kurangnya kemampuan untuk merangsang puting untuk menghasilkan susu, dan
kurangnyadaya saing dengan sesama babi yang lahir dengan bobot badan yang
tinggi (Milligan et al.2002).
Teknik perbaikan lingkungan uterus selama kebuntingan ini bisa
memperbaiki fenotipe pertumbuhan pada babi kampung atau lokal dengan daya
hidup anak yang jauh lebih baik sehingga secara keseluruhan meningkatkan
produktivitas induk. Hal yang menonjol dari teknologi yang sedang
28
dikembangkan ini ialah tanpa perbaikan manajemen dan kualitas pakan, teknologi
ini tetap bisa memperbaiki fenotipe pertumbuhan anak dan produktivitas induk
secara keseluruhan.
SIMPULAN
Penggunaan superovulasi pada induk babi kampung sebelum pengawinan
meningkatkan bobot badan lahir, bobot badan sapih, dan peningkatan
pertumbuhan prasapih dengan meningkatkan daya hidup anak babi usia prasapih
yang pada akhirnya akan meningkatkan produktivitas induk dan hasil ekonomis
peternak. Teknologi perbaikan lingkungan uterus induk selama kebuntingan
sangat prospektif digunakan untuk menghasilkan anak-anak dengan fenotipe
pertumbuhan yang lebih baik pada ternak lokal Indonesia yang sudah beradaptasi
baik dengan lingkungan tropika lembap.
SARAN
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut pada berbagai jenis ternak lokal
Indonesia yang sudah beradaptasi dengan lingkungan tropika lembap dan
manajemen pemeliharaan yang tradisional.
DAFTAR PUSTAKA
Adriani, SudonoA, Toha S, Manalu W, Sutama IK. 2007. Pertumbuhan prenatal
dalam kandungan kambing melalui superovulasi. Hayati 14(2): 44-48.
Adriani, Sutana K, Sudono A, Manalu W. 2004. Pengaruh superovulasi sebelum
perkawinan dan suplementasi seng terhadap produksi susu kambing peranakan
Etawa. J Animal Production 6(2): 86-94.
Almond G.W. Anatomical And Endocrine Changes Associated With The Porcine
Estrous Cycle. 1993. Proceedings Of The North Carolina Healthy Hogs.
Andriyanto, Manalu W. 2011. Increased goat productivity through the
improvemen of endogenous secretion of pregnant hormones by using follicle
stimulating hormone. J Animal Production 9(2): 89-93.
Cabrera RA, LinX, Campbell J M, Moeser A J, Odle J. 2012. Influence of birth
order, birth weight, colostrum and serum immunoglobulin G on neonatal piglet
survival. J Animal Science and Biotechnology 3:42.
Fowden AL, Forhead AJ, Coan PM, Burton GJ. 2008. The placenta and
intrauterine programming. J Neuroendocrinology 20:439–450.
Fowden AL,Ward JW, Wooding FPB, Forhead AJ, Constancia M. 2006.
Programming placental nutrient transport capacity. J Physiology 572: 5–15.
29
Foxcroft G R, DixonW T, DyckM K, NovakS, Harding J C, Almeida F C. 2009.
Prenatal programming of postnatal development in the pig. Soc. Reprod. Fertil.
Suppl. 66:213-31.
Foxcroft GR, Dixon WT, NovakS, Putman CT, Town SC, Vinsky MDA. 2006.
The biological basis for prenatal programming of postnatal performance in pigs.
J Animal Science 84: E105-E112.
Lapian MTR, Polung HS, Manalu W, Priyanto R. 2013. Kualitas karkas babi
potong yang dilahirkan dari induk yang disuperovulasi sebelum pengawinan. J
Veteriner 14(3):350-357.
Manalu W, Sumaryadi MY, Sudjatmogo, Satyaningtijas AS. 1998. Effect of
superovulation on maternal serum progesterone concentration, uterine and fetal
weights at weeks 7 and 15 of pregnancy in Javanese thin-tail ewes. Small
Rumin Res 30:171-176.
Manalu W, Sumaryadi MY, Sudjatmogo, Satyaningtijas AS. 2000a. Effect of
superovulation prior to mating on milk production performances during
lactation in ewes. J Dairy Science 83:477-483.
Manalu W, Sumaryadi MY, Sudjatmogo, Satyaningtyas AS. 2000b. The effects of
superovulation of Javanese thin-tail ewes prior to mating on lamb birth weight
and preweaning growth. Asian-Australasian J Animal Science 13:292-299.
Mege RA, Nasution SH, Kusumorini N, Manalu W. 2006. Pengaruh
superovulasi terhadap produksi anak babi. Jurnal Animal Production 8:8-15.
Mege RA, Manalu W, Nasution SH, Kusumorini N. 2007. Pertumbuhan dan
perkembangan uterus dan plasenta babi dengan superovulasi. Hayati 14: 1-6.
Milligan B, David F, Kramer DL. 2002. Within litter birth weight variation in
domestic pig and relation to preweaning survival, weight gain and variation in
weaning weight. Livestock Production Science 76: 181-191.
Milligan B, David F, Kramer DL. 2001. Birth weight variation in domestic pig:
effects on offspring survival, weight gain and suckling behavior.Applied
Animal Behaviour Science 73: 173-191.
Quiniou N, Dagorn J, Gaudre D. 2002. Variation of piglets’ birth weight and
consequences on subsequent performance. Livestock Production Science
78:63–70.
Reynolds LP, Redmer DA. 1995. Utero-placental vascular development and
placental function. J Animal Science 73:1839-1851.
Roehe R, Kalm E. 2000. Estimation of genetic and environmental risk factors
associated with pre-weaning mortality in piglets using generalized linear mixed
models. Animal Science 70:227–240.
Sihombing, DTH. 2006 Ilmu Peternakan Babi. Gajah Mada University Press,
Yogyakarta Cetakan kedua.
Sudjatmogo, Utomo B, Subhiarta, Manalu W, Ramelan. 2001. Tampilan
produksi susu akibat peningkatan pertumbuhan ambing sapi perah Friesian
Holstein yang disuntik pregnant mare serum gonadotrophin pada program
perkawinannya. J Pengembangan Peternakan Tropis 26:8-13.
Smith AL, Stalder KJ, Serenius TV, Baas TJ, Mabry JW. 2007. Effect of piglet
birth weight on weights at weaning and 42 days post weaning. J Swine Health
Prod. 15: 213–218.
Spencer TE, Bazer FW. 2004. Uterine and placental factors regulating conceptus
growth in domestic animals. J Animal Science 82:E4-E13.
30
Tuchscherer M, Puppe B, Tuchscherer A, Tiemann U. 2000. Early identification
of neonates at risk: Traits of newborn piglets with respect to survival.
Theriogenology 54:371–388.
Vallet JL, Leymaster KA, Christenson RK. 2003. The influence uterine fuction on
embryonic and fetal survival. J Animal Science 80: 67-74.
Zindove TJ, Dzomba EF, Kanengoni AT, Chimonyo M. 2014. Variation in
individual piglet birth weights in a Large White × Landrace sow herd.
SouthAfrican J Animal Science 44: 80-84.
.
4. PERBAIKAN PERFORMANS PRODUKSI TERNAK BABI
MELALUI PENINGKATAN SEKRESI ENDOGEN HORMON
KEBUNTINGAN DENGAN CARA PENYUNTIKAN INDUK
DENGAN PMSG DAN HCG SEBELUM PENGAWINAN
ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk menghasilkan anak-anak babi unggul dengan
fenotipe pertumbuhan dan daya hidup yang lebih baik selama pertumbuhan
pascalahir dengan cara menyuntik induk babi dengan gonadotropin sebelum
pengawinan. Penelitian terdiri atas dua tahapan. Pada penelitian tahap pertama,
12 ekor induk babi dikelompokkan ke dalam 2 kelompok, 1) kelompok kontrol,
yaitu induk yang disuntik dengan NaCl 0,9% (NSO) dan 2) kelompok yang
disuntik dengan PG600 sebelum pengawinan (SO). Parameter yang diukur ialah
fenotipe pertumbuhan dan daya hidup anak pada saat lahir dan selama periode
prasapih. Pada tahap kedua, 24 anak babi lepas sapih dari percobaan tahap
pertama (umur 8 minggu) dipilih (6 jantan) dan (6 betina) dari kelompok NSO
dan 6 jantan dan 6 betina dari kelompok SO) untuk digunakan dalam pengukuran
kinerja pertumbuhan pascasapih. Babi percobaan dibesarkan dan diamati sampai
umur 28 minggu (7 bulan). Bobot badan diukur setiap bulan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa perbaikan lingkungan uterus dengan cara penyuntikan induk
dengan gonadotropin sebelum pengawinan secara dramatis memperbaiki bobot
lahir anak dengan bobot lahir per induk yang lebih seragam. Perbaikan bobot
lahir dan keseragaman bobot lahir akhirnya memperbaiki kinerja pertumbuhan
prasapih dan kelangsungan hidup anak yang pada akhirnya secara dramatis
meningkatkan bobot sapih dan total bobot anak yang disapih per ekor induk.
Setelah penyapihan, anak babi yang dilahirkan oleh induk yang disuntik
gonadotropin tumbuh lebih cepat dengan bobot badan yang lebih tinggi sekitar 10
kg dibandingkan dengan kontrol pada umur 7 bulan. Disimpulkan bahwa anak
babi unggul dapat dihasilkan melalui perbaikan sekresi endogen hormon
kebuntingan selama kebuntingan.
Kata kunci: Bobot lahir, fenotipe pertumbuhan, daya hidup anak, pertumbuhan
postnatal, pertumbuhan pascalahir
30
Tuchscherer M, Puppe B, Tuchscherer A, Tiemann U. 2000. Early identification
of neonates at risk: Traits of newborn piglets with respect to survival.
Theriogenology 54:371–388.
Vallet JL, Leymaster KA, Christenson RK. 2003. The influence uterine fuction on
embryonic and fetal survival. J Animal Science 80: 67-74.
Zindove TJ, Dzomba EF, Kanengoni AT, Chimonyo M. 2014. Variation in
individual piglet birth weights in a Large White × Landrace sow herd.
SouthAfrican J Animal Science 44: 80-84.
.
4. PERBAIKAN PERFORMANS PRODUKSI TERNAK BABI
MELALUI PENINGKATAN SEKRESI ENDOGEN HORMON
KEBUNTINGAN DENGAN CARA PENYUNTIKAN INDUK
DENGAN PMSG DAN HCG SEBELUM PENGAWINAN
ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk menghasilkan anak-anak babi unggul dengan
fenotipe pertumbuhan dan daya hidup yang lebih baik selama pertumbuhan
pascalahir dengan cara menyuntik induk babi dengan gonadotropin sebelum
pengawinan. Penelitian terdiri atas dua tahapan. Pada penelitian tahap pertama,
12 ekor induk babi dikelompokkan ke dalam 2 kelompok, 1) kelompok kontrol,
yaitu induk yang disuntik dengan NaCl 0,9% (NSO) dan 2) kelompok yang
disuntik dengan PG600 sebelum pengawinan (SO). Parameter yang diukur ialah
fenotipe pertumbuhan dan daya hidup anak pada saat lahir dan selama periode
prasapih. Pada tahap kedua, 24 anak babi lepas sapih dari percobaan tahap
pertama (umur 8 minggu) dipilih (6 jantan) dan (6 betina) dari kelompok NSO
dan 6 jantan dan 6 betina dari kelompok SO) untuk digunakan dalam pengukuran
kinerja pertumbuhan pascasapih. Babi percobaan dibesarkan dan diamati sampai
umur 28 minggu (7 bulan). Bobot badan diukur setiap bulan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa perbaikan lingkungan uterus dengan cara penyuntikan induk
dengan gonadotropin sebelum pengawinan secara dramatis memperbaiki bobot
lahir anak dengan bobot lahir per induk yang lebih seragam. Perbaikan bobot
lahir dan keseragaman bobot lahir akhirnya memperbaiki kinerja pertumbuhan
prasapih dan kelangsungan hidup anak yang pada akhirnya secara dramatis
meningkatkan bobot sapih dan total bobot anak yang disapih per ekor induk.
Setelah penyapihan, anak babi yang dilahirkan oleh induk yang disuntik
gonadotropin tumbuh lebih cepat dengan bobot badan yang lebih tinggi sekitar 10
kg dibandingkan dengan kontrol pada umur 7 bulan. Disimpulkan bahwa anak
babi unggul dapat dihasilkan melalui perbaikan sekresi endogen hormon
kebuntingan selama kebuntingan.
Kata kunci: Bobot lahir, fenotipe pertumbuhan, daya hidup anak, pertumbuhan
postnatal, pertumbuhan pascalahir
31
IMPROVEMENT OF PIGLET PRODUCTION PERFORMANCE
THROUGH INCREASING OF ENDOGENOUS SECRETION OF
PREGNANT HORMONES BY INJECTION OF SOWS WITH PMSG AND
HCG BEFORE MATING
ABSTRACT
An experiment was conducted to produce superior pigs with improved
growth phenotypes and survival during postnatal growth by injecting the sows
with gonadotropin prior to mating. The experiment consisted of 2 stages. In the
first stage, 12 sows were divided into 2 groups i.e., sows injected with NaCl0.95%
as a control (NSO) and sows injected with PG600 (SO) prior to mating.
Parameters measured were growth phenotypes and survival at birth and during
pre-weaning period. In the second stage, 24 of weaned pigs (age 8 weeks) from
the first stage were selected (6 males and 6 females from NSO group and 6 males
and 6 females from SO group) to be used for measurement of growth performance.
The experimental pigs were raised and observed until the age of 28 weeks (7
month). The body weights were measured monthly. The results of the
experiment showed that improvement of uterine environment by gonadotropin
injection of the sows prior to mating dramatically improved birth weight with a
very homogenous birth weight within litter size. Improved birth weight and
within-litter variation of birth weight improved pre-weaning growth performance
and survival that finally dramatically increased weaning weight and total weight
of weaned pigs per sow. After weaning, pigs born to SO sows grew faster and
had around 10 kg higher body weight as compared to control at the age of 7
month. It was concluded that superior pigs could be produced by improving
endogenous secretion of pregnant hormone during pregnancy.
Keywords: Birth weight, growth phenotypes, survival, prenatal growth, postnatal
growth
PENDAHULUAN
Pada hewan mammalia, produktivitas ditentukan oleh keberhasilan
reproduksi untuk menghasilkan anak dan keturunan yang akan digunakan sebagai
induk atau untuk dipotong sebagai penghasil daging. Pembatas utama dalam
produksi ternak mammalia ialah bobot badan lahir yang rendah di bawah normal
dengan konsekuensi daya tahan hidup yang rendah dengan tingkat mortalitas yang
tinggi sebelum penyapihan. Bobot badan lahir yang rendah dan keragaman bobot
lahir yang tinggi antar anak dalam satu induk sangat berkorelasi dengan
penurunan daya tahan hidup dengan laju pertumbuhan pascalahir yang rendah
(Milligan et al., 2002; Quiniou et al. 2002). Bobot lahir pada hewan mammalia
merupakan hasil akhir dari suatu proses pertumbuhan dan perkembangan prenatal
yang kompleks di dalam uterus selama periode kebuntingan (Foxcroft et al. 2009,
2006). Pertumbuhan dan perkembangan embrio dan fetus selama kebuntingan
32
ditentukan oleh pertumbuhan dan perkembangan uterus dan plasenta (Fowden et
al, 2008, Spencer dan Bazer, 2004) dan perkembangan sistem pembuluh darah
pada utero-plasenta (Reynolds dan Redmer, 1995) yang akan mempengaruhi dan
menentukan aliran nutrien dan oksigen ke fetus yang sedang berkembang
(Fowden et al. 2006). Berbagai macam hormon dan faktor pertumbuhan lokal
akan mempengaruhi dan mengatur pertumbuhan dan perkembangan uterus dan
plasenta (Fowden et al. 2005) yang pada akhirnya akan menentukan pertumbuhan
dan perkembangan fetus.
Estrogen dan progesteron adalah hormon kunci dalam pengaturan
pertumbuhan dan perkembangan uterus pada hewan mammalia. Selama siklus
estrus, estrogen disintesis oleh follikel yang sedang tumbuh dan berkembang dan
kemudian, setelah ovulasi, progesteron disintesis dan disekresi oleh korpus luteum
dan oleh plasenta setelah plasentasi (Ash dan Heap 1975; Flowers et al. 1991;
Przała et al. 1985). Hormon-hormon inilah yang mengawali perubahan histologis
awal pada jaringan uterus sebagai persiapan untuk implantasi dan pertumbuhan
dan perkembangan uterus dan embrio pada awal kebuntingan yang diikuti oleh
pertumbuhan dan perkembangan fetus dan plasenta sampai kelahiran (Gray et al.
2001; Spencer dan Bazer 2004, 2002; Spencer et al. 2004). Pertumbuhan uterus
dan plasenta yang rendah dan kurang optimum akan membatasi pertumbuhan dan
perkembangan embrio dan fetus dan yang pada akhirnya menurunkan bobot lahir
dan daya tahan hidup anak yang baru lahir (Ohtaki et al. 2012).
Pada hewan politokus, peningkatan jumlah folikel dan korpus luteum yang
tumbuh dan berkembang dan jumlah fetus di dalam uterus tidak linear dengan
peningkatan sekresi endogen hormon kebuntingan. Terdapat indikasi penurunan
rasio hormon kebuntingan (progesteron dan estrogen) per fetus selama periode
kebuntingan yang berkaitan dengan penurunan bobot lahir dengan meningkatnya
jumlah anak sekelahiran atau litter size. Dengan demikian, perbaikan sekresi
hormon kebuntingan selama periode kebuntingan diharapkan akan dapat
memperbaiki persiapan uterus untuk implantasi dan untuk pertumbuhan dan
perkembangan uterus untuk mendukung pertumbuhan prenatal fetus.
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa suplementasi estradiol dan
progesteron secara intravaginal terbukti memperbaiki perkembangan embrio
(Chlopek et al.2008) dan penambahan progesteron dan estrogen secara eksogen
terbukti memperbaiki perkembangan plasenta (Dalton dan Knight 1983) yang
pada akhirnya mendukung pertumbuhan prenatal yang optimum. Perbaikan
sekresi endogen hormon kebuntingan dengan cara penyuntikan induk babi dengan
gonadotropin seperti SH, LH, PMSG, dan HCG sebelum pengawinan
menunjukkan pengaruh yang positif pada pertumbuhan dan perkembangan uterus
dan fetus selama periode kebuntingan (Mege et al. 2007) yang pada akhirnya
memperbaiki bobot lahir, pertumbuhan anak pascalahir, dan daya tahan hidup dan
survival anak (Lapian et al. 2013; Mege et al. 2006).
Penelitian bertujuan untuk mempelajari pengaruh perbaikan sekresi
endogen hormon kebuntingan melalui penyuntikan induk dengan gonadotropin
sebelum pengawinan pada pertumbuhan dan perkembangan prenatal fetus yang
akan diwujudkan dalam perbaikan fenotipe pertumbuhan anak babi pada saat lahir.
Pengaruh perbaikan pertumbuhan dan perkembangan prenatal fetus telah
dievaluasi pada pertumbuhan dan kelangsungan hidup anak setelah lahir sampai
dewasa.
33
METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan di peternakan babi Kalasey, Kecamatan Pineleng,
Kabupaten Minahasa, Provinsi Sulawesi Utara. Babi percobaan yang digunakan
adalah 36 ekor induk babi keturunan Landrace dengan kisaran bobot badan 100-
120 kg. Hormon yang digunakan untuk meningkatkan sekresi endogen hormon
kebuntingan adalah PMSG dan hCG (PG 600 intervet Netherland) dan untuk
peneyerentakan berahi digunakan prostaglandin (Lutalyse, Intervet Netherland).
Induk dipelihara di kandang individu dan diberikan pakan pagi dan sore hari dan
air minum ad libitum.
Tahapan Pelaksanaan Penelitian:
Penelitian terdiri atas 2 tahap. Pada tahap pertama 12 ekor babi disuntik
dengan 1 mL prostaglandin (PGF2α) dua kali dengan interval waktu 14 hari untuk
melakukan sinkronisasi estrus. Pada suntikan kedua atau 3 hari sebelum estrus,
babi percobaan dibagi menjadi 2 kelompok; masing-masing kelompok terdiri atas
6 ekor induk babi. Kelompok pertama disuntik secara intramuskuler dengan NaCl
0.9% dan digunakan sebagi kontrol. Kelompok kedua disuntik secara
intramuskuler dengan PMSG dan hCG dengan dosis 400/200 IU (SO). Babi
percobaan yang menunjukkan gejala berahi dikawinkan dengan cara mencampur
dengan pejantan. Parameter yang diukur adalah bobot badan yang lahir hidup dan
bobot badan mingguan sampai penyapihan. Panjang badan, tinggi tungkai depan,
dan tinggi tungkai belakang saat lahir dan sapih juga diukur.
Pada tahap kedua, 24 babi yang disapih (8 minggu) dari tahap pertama
dipilih untuk digunakan untuk pengukuran kinerja pertumbuhan selama periode
pascasapih untuk digunakan dalam pengukuran kinerja pertumbuhan selama
periode pascasapih. Dua belas babi jantan dan betina dipilih dari babi yang
dilahirkan oleh induk SO dan 12 ekor babi jantan dan betina dari babi yang
dilahirkan oleh induk NSO. Babi percobaan dibesarkan dan diamati sampai umur
28 mnggu (7 bulan). Selama pengamatan, bobot badan diukur setiap bulan.
Perbedaan antara parameter yang diukur pada kedua kelompok eksperimen diuji
dengan analisis varians.
3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa superovulasi dengan
menggunakan PMSG dan hCG meningkatkan rataan bobot lahir per ekor sebesar
31,09% (1,56 kg vs 1,19kg) (Tabel 3) dan koefisien keragaman SO sebesar
7,27% yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan NSO(21,26%). Selain itu,
babi yang disuntik dengan PMSG dan hCG sebelum kawin memiliki total babi
lahir hidup jauh lebih tinggi per induk (54,68%) dibandingkan dengan babi
nonsuperovulasi (Tabel 3).
34
Tabel 3 Bobot lahir, total bobot lahir hidup, panjang badan, tinggi tungkai
depan, dan tinggi tungkai belakang pada saat lahir pada babi NSO dan
SO.
Parameters
Kelompok
NSO1
SO2
Bobot lahir (kg/ekor)
1,19±0,12a
1,56±0,07b
Totalbobot lahir hidup (kg/induk) 11,65±2,08a 18,02±1,49
b
Panjang badan lahir (cm) 31,04±1,64a
33,08±1,17b
Tinggi tungkai depan lahir (cm) 11,59±1,07a
12,93±1,12b
Tinggi tungkai belakang lahir (cm)
12,78±1,20a
14,90±1,28b
1NSO adalah kelompok induk babi kontrol yang tidak disuntik PMSG dan
hCG sebelum pengawinan. 2SO adalah kelompok induk babi yang disuntik PMSG dan hCG sebelum
pengawinan. a,b
Rataan dengan superskrip yang berbeda pada baris yang sama berbeda
secara nyata (P<0,05).
Keragaman total bobot lahir hidup sangat rendah pada anak babi SO,yaitu
sebesar 3,92% sementara untuk NSO adalah 20,16%. Babi yang disuperovulasi
memiliki tubuh yang lebih panjang sebesar 6,56% dibandingkan dengan anak babi
yang dilahirkan oleh induk nonsuperovulasi dengan keragaman panjang tubuh
lebih homogen dan lebih rendah (4,18% vs 8,58%) (P<0,05). Tungkai depan anak
babi SO lebih tinggi sebesar 11,56% dibandingkan dengan tungkai depan anak
babi NSO dengan keragaman 4,33% dan 7,83%. Ketinggian tungkai belakang
untuk babi yang dilahirkan oleh induk yang disuperovulasi lebih tinggi 16,59%
dibandingkan anak babi yang dilahirkan oleh induk nonsuperovulasi dengan
keragaman masing-masing 5,21% dan 7,70% (P<0,05).
Faktor prenatal dan postnatal berpengaruh pada kelangsungan hidup babi.
Lingkungan rahim pada induk babi sebelum kelahiran sangat penting bagi
kelangsungan hidup anak babi. Pada babi, sekresi uterus, faktor pertumbuhan dan
pengiriman nutrisi oleh rahim mempengaruhi tingkat pertumbuhan,
perkembangan, dan daya hidup. Kenaikan hormon progesteron pada awal
kehamilan mempercepat sekresi protein, meningkatkan sekresi estrogen dan
konsepsi, dan memperbesar ukuran embrio (Vallet et al. 2002). Dengan demikian,
penelitian dengan penyuntikan PMSG dan hCG sebelum pengawinan
meningkatkan progesteron dan estrogen pada induk yang disuperovulasi juga
menstimulasi peningkatan pertumbuhan prenatal dan perbaikan lingkungan uterus
dan plasenta. Superovulasi dengan PMSG dan hCG secara signifikan
meningkatkan sekresi endogen estrogen dan progesteron dan tiroksin selama
kebuntingan dan selanjutnya meningkatkan pertumbuhan rahim dan plasenta yang
mendukung pertumbuhan dan perkembangan embrio dan fetus yang pada
akhirnya meningkatkan bobot lahir dan kelangsungan hidup (Mege et al. 2006,
2007).
35
Peningkatan pertumbuhan prenatal dan bobot badan lahir pada babi SO
akhirnya meningkatkan kinerja pertumbuhan postnatal dan kelangsungan hidup
keterunan sampai menyapih dan dewasa. Babi yang lahir dari induk yang
disuperovulasi memiliki tingkat pertumbuhan yang lebih cepat selama periode
prasapih dibandingkan dengan babin yang lahir dari induk nonsuperovulasi (tabel
6), seperti yang ditunjukan oleh kemiringan yang lebih tinggi dari regresi laju
pertumbuhan.
Gambar 5 Pertumbuhan bobot badan sebelum lepas sapih perminggu
Dengan bobot lahir yang lebih baik dan kinerja pertumbuhan prasapih, maka
kinerja reproduksi juga meningkat yang akhirnya mempengaruhi produktivitas
ternak. Hasil penelitian menunjukan bahwa tidak berbeda tingkat pertumbuhan
babi jantan dan betina pada SO dan juga untuk jantan dan betina NSO tidak
berbeda, meskipun untuk pertumbuhan secara numerik lebih tinggi pada babi
jantan dari betina. Pada anak babi yang dilahirkan oleh induk babi SO
menunjukkan tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi secara signifikan setelah
penyapihan (P<0,05) dibandingkan dengan NSO.
Tingkat pertumbuhan pada babi yang induknya disuperovulasi dan
nonsuperovulasi diperkirakan adalah masing-masing 1,80 dan 1,54 kg/minggu.
Kisaran tingkat pertumbuhan prasapih babi yang lahir dari induk yang
disuperovulasi adalah 250,34-263,61 g/babi/hari, sedangkan babi yang lahir dari
induk NSO adalah 181,63-240,20 g/babi/hari. Dengan tingkat pertumbuhan yang
lebih cepat, babi SO memiliki bobot badan sapih 21,14% lebih tinggi
dibandingkan dengan babi nonsuperovulasi yang lahir dengan tingkat keragaman
bobot sapih (1,97% dan 7,40%) (P<0,05) masing-masing pada babi yang
disuperovulasi dan nonsuperovulasi. Selama pertumbuhan prasapih, babi SO yang
y = 1.8001x + 0.5105
R² = 0.9701
y = 1.5355x + 0.4396
R² = 0.9773
0
2
4
6
8
10
12
14
16
0 2 4 6 8
bo
bo
t b
ad
an
(k
g)
umur pascalahir (minggu)
SO
NSO
Linear (SO)
Linear (NSO)
36
lahir memiliki angka kematian yang lebih rendah (9,07% vs 36,75%) dengan
tingkat hidup yang tinggi (90,93% vs 63,25%) (P<0,05). Peningkatan bobot lahir,
prasapih, kelangsungan hidup prasapih akhirnya meningkatkan pertumbuhan dan
produktivitas total sapih seperti yang ditunjukkan oleh peningkatan total bobot
sapih perinduk SO sebesar 21% dibandingkan dengan babi yang NSO (Tabel 3).
Kenaikan bobot sapih yang tinggi tidak disumbangkan oleh tinggi tungkai
depan dan tinggi tungkai belakang selama periode prasapih. Ukuran linear tubuh
anak babi NSO dan SO tidak berbeda secara statistik, meskipun pertumbuhan babi
SO lebih tinggi dibandingkan dengan babi NSO. Laju pertumbuhan panjang tubuh
selama periode prasapih pada anak babi SO berkisar 0,35-0,64 cm/babi/hari,
sedangkan pada babi nonsuperovulasi berkisar 0,35-0,61 cm/babi/hari.
Prediksi tingkat pertumbuhan panjang badan anak babi SO dan NSO adalah
3,37 dan 3,34 cm/babi/minggu. Laju pertumbuhan tinggi tungkai depan selama
periode prasapih pada anak babi SO berkisar 0.24-0.36 cm/babi/hari, sedangkan
pada anak babi NSO berkisar 0,21-0,34 cm/babi/hari. Prediksi tingkat
pertumbuhan tungkai depan NSO yang lahir masing-masing berkisar 2,16 dan
2,02 cm/babi/minggu. Tinggi tungkai belakang anak babi SO berkisar 0,25 – 0,39
cm/babi/hari, sedangkan pada anak babi NSO berkisar 0,24-0,35 cm /babi/hari.
Tabel 4 Mortalitas prasapih rataan laju pertambahan bobot badan dan dimensi
tubuh, dan total bobot sapih dan total bobot sapih per induk.
Parameter
Kelompok
NSO1
SO2
Mortalitas (%) 36,75±21,22a 9,70±15,5
b
Laju Pertambahan bobot badan
(g/h)/ekor
Bobot sapih (kg/ekor)
215,32±17,41b
11,78±0,87b
259,26±4,81a
14,27±0,28a
Total bobot badan sapih (kg/induk) 91,97±12,64b 111,2±1,49
a
Panjang badan sapih (cm) 45,23±1,29a
48,85±1,58a
Tinggi tungkai depan sapih (cm) 22,04±2,68a
24,51±1,14a
Tinggi tungkai belakang sapih (cm)
23,81±2,43a
26,43±1,45a
1NSO adalah kelompok induk babi kontrol yang tidak disuntik PMSG dan
hCG sebelum pengawinan. 2SO adalah kelompok induk babi yang disuntik PMSG dan hCG sebelum
pengawinan. a,b
Rataan dengan superskrip yang berbeda pada baris yang sama berbeda
secara nyata (P<0.05).
Prediksi tingkat pertumbuhan tungkai belakang anak babi SO dan anak babi NSO
masing-masing adalah 2,23 dan 2,18 cm/babi/minggu.
37
Gambar 6. Pertumbuhan bobot badan babi NSO dan SO periode lepas sapih
sampai 28 minggu
Dengan bobot lahir dan kinerja pertumbuhan prasapih yang lebih baik,
kinerja pertumbuhan babi sampai umur 7 bulan telah dievaluasi. Secara umum,
hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan bobot badan mingguan
dan laju pertumbuhan antara babi jantan dan betina baik yang dilahirkan oleh
induk yang disuperovulasi maupun kontrol, meskipun secara numerik babi jantan
mempunyai angka yang lebih tinggi dibandingkan dengan babi betina. Akan
tetapi, babi yang dilahirkan oleh induk yang disuperovulasi mempunyai laju
pertumbuhan pascasapih yang jauh lebih tinggi (P<0,05) (Gambar 6).
Hasil penelitian yang diamati dalam penelitian ini yaitu bobot badan lahir
dan bobot badan pada umur 28 minggu anak babi jantan dan betina dari induk
super ovulasi dan induk non superovulasi.
Tabel 5 Bobot awal, bobot umur 28 minggu, pertambahan bobot badan Jantan
dan betina
Parameter SUPEROVULASI
BETINA KK JANTAN KK
BOBOT AWAL 1.82 + 0.17a 9.34 1.72 + 0.17a 9.88
BOBOT UMUR 28
MINGGU
124,45 + 4,91a 3.95 123,43 + 7,41a 6.00
PERTAMBAHAN BOBOT
BADAN/g/hari
625.68 + 24.64a 3.94 620.49 + 37.40a 6.03
NONSUPEROVULASI
BETINA KK JANTAN KK
BOBOT AWAL 1.57 + 0.20b 13.12 1.55 + 0.23b 14.84
BOBOT UMUR 28
MINGGU
112,28 3,48b 7.41 114,58 + 3,97b 3.46
PERTAMBAHAN BOBOT
BADAN/g/hari
564.88 + 17.13b 3.03 576.70 + 19.55b 3.39
y = 4.9501x - 24.723
R² = 0.9993
y = 5.2566x - 24.208
R² = 0.9995
0
20
40
60
80
100
120
140
0 10 20 30
Bo
bo
t b
ad
an
(k
g)
umur pascalahir (minggu)
NSO
SO
Linear (NSO)
Linear (SO)
38
Hasil analisis sidik ragam (ANOVA) (Tabel 5) menunjukkan pemberian
superovulasi pada induk babi tidak menyebabkan perbedaan bobot badan lahir
antara anak babi jantan dan betina. Bobot lahir anak babi jantan dan betina dari
induk yang diberikan superovulasi berbeda tidak nyata (P>0.05), demikian pun
untuk induk yang tidak diberi superovulasi bobot lahir anak jantan dan betina
terdapat perbedaan yang tidak nyata (P>0.05) pada bobot badan lahir anak babi
jantan dan betina. Jadi pemberian superovulasi pada induk babi menghasilkan
perbedaan yang sangat nyata (P<0.01) terhadap bobot badan lahir anak babi
dibandingkan dengan induk yang tanpa pemberian superovulasi. PMSG dan hCG
merupakan dua hormon yang memiliki kerja yang mirip FSH dan LH, yaitu
merangsang pertumbuhan sel-sel teka dan sel-sel granulosa ovarium dan turunan
luteinisasi dari sel-sel ini. Sel-sel target seperti folikel, korpus luteum, uterus dan
plasenta dapat mensintesis dan mensekresi hormon-hormon kebuntingan seperti
estrogen, progesteron, laktogen plasenta, relaksin, dan oksitosin yang pada
gilirannya disamping menstimulasi faktor-faktor pertumbuhan dan pemeliharaan
fetus selama kebuntingan, folikel selanjutnya korpus lutem dapat memaksimalkan
ekspresinya dalam perangsangan terhadap pertumbuhan embrio dan fetus sampai
embrio lahir (Bates el al. 1991; Caardenas dan Pope 2002; Estiene dan Harper
2001). Pertumbuhan dan perkembangan yang baik semasa embrio dan fetus
dikarenakan penyuntikan PMSG dan hCG memberikan respons yang baik secara
fisiologis, sekresi estrogen dan progesteron juga menstimulasi perbaikan dan
perkembangan uterus yang terus meningkat sampai akhir kebuntingan dan
memberikan nutrisi yang baik dimana fetus berada dengan tidak membedakan
kelamin jantan dan betina. Pertumbuhan dan perkembangan embrio dan fetus
selama di kandungan yang optimum dapat digambarkan oleh bobot lahir dengan
segala ukuran anak dari prasapih pertumbuhan sapih) Manalu et al. 1998, Manalu
dan Sumaryadi 1999).
Bobot badan babi pada umur 28 minggu dari induk yang diberi superovulasi
berkisar 115,50 hingga 131,50 g/ekor/hari, sedangkan babi dari induk yang tanpa
diberi superovulasi berkisar 107,80 hingga 121,90 g/ekor/hari. Pertumbuhan dan
perkembangan yang baik dari ternak yang dihasilkan mempunyai implikasi
penting untuk produksi hewan karena berpengaruh secara signifikan terhadap nilai
hewan yang diproduksi.Pemberian superovulasi pada induk babi tidak
menyebabkan perbedaan bobot badan anak babi umur 28 minggu jantan dan
betina. Jadi bobot badan pada umur 28 minggu babi jantan dan betina dari induk
yang diberikan superovulasi berbeda tidak nyata (P>0.05). Demikian pun untuk
induk yang tidak diberi superovulasi bobot anak pada umur 28 minggu antara
jantan dan betina terdapat perbedaan yang tidak nyata (P>0.05) pada bobot badan
lahir anak babi jantan dan betina.Namun bobot badan babi pada umur 28 minggu
dari induk yang diberisuperovulasi berbeda sangat nyata (P<0,01) dibandingkan
dengan induk yang tidak diberi superovulasi.
Pemberian superovulasi pada induk babi sangat nyata menghasilkan bobot
badan anak babi jantan lebih tinggi dibandingkan anak babi jantan yang dilahirkan
dari induk non superovulasi sejak minggu ke delapan sampai dengan minggu ke
dua puluh delapan. Hormon-hormon superovulasi adalah Pregnant Mare Serum
(PMSG) atau Follicle Stimulating Hormone (FSH), untuk merangsang
pertumbuhan folikular yang di ikuti oleh luteinizing hormone (LH) atau human
chorionic gonadotrophin (HCG) untuk merangsang ovulasi (Frandson,1992).
39
Laju pertumbuhan pascasapih pada babi yang dilahirkan oleh induk yang
disuperovulasi sebelum pengawinan adalah 5,26 kg/bulan dan untuk babi kontrol
hanya 4,50 kg/bulan. Pada umur 7 bulan (28 minggu) postpartum, babi yang
dilahirkan oleh induk yang disuperovulasi sebelum pengawinan mempunyai bobot
badan 123,94 kg sementara babi yang dilahirkan oleh induk kontrol hanya
mencapai bobot 113,43 kg, terdapat selisih sekitar 10 kg. Jika total anak babi
yang berhasil mencapai umur potong adalah sekitar 10 ekor, peningkatan jumlah
bobot potong anak yang dihasilkan oleh seekor induk akan meningkat sekitar 100
kg. Peningkatan ini akan secara signifikan meningkatkan pendapatan peternak
selain peningkatan produktivitas secara keseluruhan.
Bobot lahir memiliki pengaruh yang signifikan pada kemampuan babi
untuk bertahan dan bersaing untuk menyusu, kemampuan termoregulasi, dan
memiliki daya kompetisi yang tinggi antarbabi dengan bobot babi yang lebih
rendah dan bobot babi yang lebih tinggi. Variasi bobot lahir juga berkontribusi
utama pada pertumbuhan prasapih, babi yang lahir dengan bobot rendah memiliki
kinerja prasapih yang lebih buruk dan bertahan hidup, meskipun litter size yang
lebih besar menghasilkan lebih banyak babi lahir rendah (Milligan et al. 2002).
Hasil penelitian ini secara umum sangat menguatkan bahwa anak babi
yang dilahirkan oleh induk yang disuperovulasi sebelum pengawinan secara
konsisten mempunyai laju pertumbuhan yang lebih tinggi selama periode
pertumbuhan pascasapih. Perbaikan laju pertumbuhan selama periode
pertumbuhan prasapih pada anak babi yang dilahirkan oleh induk yang
disuperovulasi tidak hanya disumbangkan oleh peningkatan produksi susu induk
selama laktasi (Lapian et al. 2013) karena laju pertumbuhan yang lebih tinggi
terus berlangsung selama periode pertumbuhan pascasapih pada anak babi yang
dilahirkan oleh induk yang disuperovulasi. Hal ini memberikan makna bahwa
fenotip pertumbuhan anak babi yang dihasilkan oleh induk yang disuperovulasi
mengalami perbaikan melalui perbaikan lingkungan uterus pada saat pertumbuhan
prenatal selama periode kebuntingan.Peningkatan kinerja pertumbuhan pascasapih
pada anak babi yang dilahirkan oleh induk yang disuperovulasi berkaitan dengan
perbaikan fenotip pertumbuhan selama pertumbuhan dan perkembangan fetus
selama kebuntingan yang tercermin dalam bobot lahir yang optimum dengan
bobot lahir seperindukan yang lebih homogen. Bobot lahir yang rendah dengan
variasi keragaman bobot lahir anak seperindukan yang tinggi berkorelasi tinggi
dengan penurunan daya hidup anak dan laju pertumbuhan pascalahir (Milligan et
al. 2002; Quiniou et al. 2002). Lingkungan makro dan mikro uterus dan plasenta
(nutrisi, hormonal,danfaktor-faktor lokal) diasumsikan akan berfungsi sebagai
faktor epigenetik yang mempengaruhi ekspressi genetik suatu fenotipe
tertentuyang akhirnya dapat mempengaruhi ekspresi gen pada periode hidup
individu tersebut selanjutnya (Fowden et al.2008; Foxcroft et al. 2009, 2006).
Perbaikan sekresi endogen hormon kebuntingan melalui perangsangan
pertumbuhan dan perkembangan folikel dan korpus luteum melalui penyuntikan
induk babi dengan gonadotropin eksogen seperti FSH, PMSG, atau HCG,
sebelum pengawinan meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan uterus dan
plasenta dan selanjutnya memperbaiki pertumbuhan embrio dan fetus (Mege et al.
2007) dan akhirnya memperbaiki bobot lahir dan kinerja pertumbuhan pascalahir
dan kelangsungan hidup anak (Lapian et al. 2013; Mege et al. 2006). Anak babi
yang dilahirkan oleh induk yang disuperovulasi sebelum pengawinan mencapai
40
bobot potong 95 kg lebih cepat sekitar 2 minggu dibandingkan dengan anak babi
kontrol dengan kualitas karkas dan daging yang lebih baik(Lapian et al. 2013).
SIMPULAN
Perbaikan lngkungan uterus selama kebuntingan dapat memperbaiki
ekspresi fenotip pertumbuhan yang pada akhirnya memperbaiki laju pertumbuhan
pascalahir dan kelangsungan hidup dan daya tahan hidup anak. Penyuntikan
gonadotropin induk sebelum pengawinan dapat menghasilkan anak unggul yang
dapat digunakan sebagai bakalan dan bibit.
DAFTAR PUSTAKA
Ash RW and RB Heap. 1975. Oestrogen, progesterone and corticosteroid
concentrations in peripheral plasma of sows during pregnancy, parturition,
lactation and after weaning. Jurnal Endocrinol. 64:141-154.
Bates RO, Day BN, Britt JH, Clark LK, Brauer MA.1991. Reproductive
performance of sows treated with a combination of pregnant mare’s serum
gonadotropin and prostaglandins during lactation.J.Anim.Sci.69:894-898.
Cardenas H, Pope WF 2002 Control of ovulation rate in swine. J.Anim.Sci.80:36-
46.
Chłopek J, P Gilun, A Tabecka-Lonczyńska, M Koziorowski andS Stefańczyk-
Krzymowska.2008. The effect of intravaginal application of estradiol and
progesterone on porcine embryo development. Pol. J. Vet. Sci.11:287-93.
Dalton DL and JW Knight. 1983. Effects of exogenous progesterone and estrone
on conceptus development in swine. J. Anim. Sci. 56:1354-1361.
Flowers B, TC Cantley, MJ Martin and BN Day. 1991. Episodic secretion of
gonadotrophins and ovarian steroids in jugular and utero-ovarian vein plasma
during the follicular phase of the oestrous cycle in gilts. J. Reprod. Fertil.
91:101-112.
FowdenAL, DA Giussani and AJ Forhead. 2005. Endocrine and metabolic
programming during intrauterine development. Early Hum. Dev.81:723–734.
Fowden AL, AJ Forhead, PM Coan and GJ Burton. 2008. The placenta and
intrauterine programming. J. Neuroendocrinol. 20:439–450.
Fowden AL, JW Ward, FPB Wooding, AJ Forheadand M Constancia. 2006.
Programming placental nutrient transport capacity. J. Physiol. 572: 5–15.
Foxcroft GR,WT Dixon, MK Dyck, S Novak, JC Harding and FC Almeida. 2009.
Prenatal programming of postnatal development in the pig. Soc. Reprod. Fertil.
Suppl. 66:213-31.
Foxcroft GR, WT Dixon, S Novak, CT Putman, SC Townand MDA Vinsky.
2006. The biological basis for prenatal programming of postnatal performance
in pigs. J. Anim. Sci. 84: E105-E112.
41
Gray CA, GA Johnson, FF Bartol, BJ Tarleton, AA Wiley, FW Bazer and TE
Spencer. 2001. Developmental biology of uterine glands. Biol. Reprod.
65:1311–1323.
Lapian MTR, PH Siagian, W Manalu and R Priyanto. 2013. Carcass qualities of
finisher pig born to superovulated sows before mating. J. Veteriner 14:350-
357.
Mege RA, SH Nasution, N Kusumorini and W Manalu. 2007. Growth and
development of the uterus and placenta of superovulated gilts. Hayati J.
Biosciences 14:1-6.
Mege RA, W Manalu, N Kusumorini and SH Nasution. 2006. Effect of
superovulation on piglet production. Animal Production 8:8-15.
Milligan BN, D Fraser and DL Kramer. 2002. Within-litter birth weight variation
in the domestic pig and its relation to pre-weaning survival, weight gain, and
variation in weaning weights. Livest. Prod. Sci. 76:181–191.
Ohtaki T, M Moriyoshi, K Nakada, T Nakao and Y Sawamukai. 2012.
Relationships among steroid hormone levels in newborn piglets, birth weight,
placental weight, vitality of offspring and litter size. Anim. Sci. J. 83:644-649.
Przała J, A Grazul, T Wiesak, A Muszyńska and L Dusza. 1985. Steroid
hormones and prolactin in porcine follicular fluid in estrous cycle and early
pregnancy. Exp. Clin. Endocrinol. 86:291-296.
Quiniou N, J Dagorn and D Gaudre.2002. Variation of piglets’ birth weight and
consequences on subsequent performance. Livest. Prod. Sci. 78:63–70.
Reynolds LP and DA Redmer. 1995. Utero-placental vascular development and
placental function. J. Anim. Sci. 73:1839-1851.
Spencer TE and FW Bazer.2002. Biology of progesterone action during
pregnancy recognition and maintenance of pregnancy. Front Biosci. 7:d1879–
1898.
Spencer TE and FW Bazer. 2004. Uterine and placental factors regulating
conceptus growth in domestic animals. J. Anim. Sci. 82:E4-E13.
Spencer TE, GA Johnson, RC Burghardt and FW Bazer. 2004. Progesterone and
placental hormone actions on the uterus: Insights from domestic animals. Biol.
Reprod. 71:2–10.
Vallet JL, Leymaster KA, Christenson RK. 2002. The influence uterine fuction on
embryonic and fetal survival. J Animal Science 80: 67-74.
5. PRODUKSI TERNAK BABI UNGGUL MELALUI
PENINGKATAN SEKRESI HORMON KEBUNTINGAN
DENGAN CARA PENYUNTIKAN INDUK DENGAN
PMSG DAN HCG SEBELUM PENGAWINAN
ABSTRAK
Penelitian ini dirancang untuk mempelajari pewarisan perbaikan fenotipe
pertumbuhan pada babi yang dilahirkan oleh induk yang disuntik dengan PMSG
41
Gray CA, GA Johnson, FF Bartol, BJ Tarleton, AA Wiley, FW Bazer and TE
Spencer. 2001. Developmental biology of uterine glands. Biol. Reprod.
65:1311–1323.
Lapian MTR, PH Siagian, W Manalu and R Priyanto. 2013. Carcass qualities of
finisher pig born to superovulated sows before mating. J. Veteriner 14:350-
357.
Mege RA, SH Nasution, N Kusumorini and W Manalu. 2007. Growth and
development of the uterus and placenta of superovulated gilts. Hayati J.
Biosciences 14:1-6.
Mege RA, W Manalu, N Kusumorini and SH Nasution. 2006. Effect of
superovulation on piglet production. Animal Production 8:8-15.
Milligan BN, D Fraser and DL Kramer. 2002. Within-litter birth weight variation
in the domestic pig and its relation to pre-weaning survival, weight gain, and
variation in weaning weights. Livest. Prod. Sci. 76:181–191.
Ohtaki T, M Moriyoshi, K Nakada, T Nakao and Y Sawamukai. 2012.
Relationships among steroid hormone levels in newborn piglets, birth weight,
placental weight, vitality of offspring and litter size. Anim. Sci. J. 83:644-649.
Przała J, A Grazul, T Wiesak, A Muszyńska and L Dusza. 1985. Steroid
hormones and prolactin in porcine follicular fluid in estrous cycle and early
pregnancy. Exp. Clin. Endocrinol. 86:291-296.
Quiniou N, J Dagorn and D Gaudre.2002. Variation of piglets’ birth weight and
consequences on subsequent performance. Livest. Prod. Sci. 78:63–70.
Reynolds LP and DA Redmer. 1995. Utero-placental vascular development and
placental function. J. Anim. Sci. 73:1839-1851.
Spencer TE and FW Bazer.2002. Biology of progesterone action during
pregnancy recognition and maintenance of pregnancy. Front Biosci. 7:d1879–
1898.
Spencer TE and FW Bazer. 2004. Uterine and placental factors regulating
conceptus growth in domestic animals. J. Anim. Sci. 82:E4-E13.
Spencer TE, GA Johnson, RC Burghardt and FW Bazer. 2004. Progesterone and
placental hormone actions on the uterus: Insights from domestic animals. Biol.
Reprod. 71:2–10.
Vallet JL, Leymaster KA, Christenson RK. 2002. The influence uterine fuction on
embryonic and fetal survival. J Animal Science 80: 67-74.
5. PRODUKSI TERNAK BABI UNGGUL MELALUI
PENINGKATAN SEKRESI HORMON KEBUNTINGAN
DENGAN CARA PENYUNTIKAN INDUK DENGAN
PMSG DAN HCG SEBELUM PENGAWINAN
ABSTRAK
Penelitian ini dirancang untuk mempelajari pewarisan perbaikan fenotipe
pertumbuhan pada babi yang dilahirkan oleh induk yang disuntik dengan PMSG
42
dan hCG sebelum pengawinan. Dua belas induk babi telah dikelompokkan ke
dalam suatu penelitian rancangan acak lengkap dengan 3 kelompok dan masing-
masing kelompok terdiri atas 4 ekor induk babi sebagai ulangan. Kelompok
pertama terdiri atas induk babi tanpa penyuntikan PMSG dan hCG sebelum
pengawinan sebagai kelompok kontrol (NSO). Kelompok kedua terdiri atas induk
babi yang disuntik dengan PMSG dan hCG sebelum pengawinan untuk
memperbaiki sekresi endogen hormon kebuntingan yang akan memperbaiki
pertumbuhan prenatal anak babi dan kelompok ini disebut sebagai kelompok
superovulasi (SO). Kelompok ketiga terdiri atas anak babi betina yang dilahirkan
oleh kelompok induk SO yang setelah dewasa kelamin dikawinkan tanpa
penyuntikan PMSG dan hCG sebelum pengawinan dan disebut sebagai turunan
F1 superovulasi (F1SO). Jumlah induk babi yang digunakan dalam setiap
kelompok terdiri atas 2 induk dengan litter size 11 dan 2 ekor induk dengan litter
size 12 sehingga jumlah total anak babi yang diamati pada penelitian ini
berjumlah 138 ekor. Selama penelitian, induk babi percobaan dipelihara dalam
kandang individu dan diberi makan dengan pakan komersial dan air minum
tersedia secara ad libitum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyuntikan
induk babi dengan PMSG dan hCG sebelum pengawinan memperbaiki fenotip
pertumbuhan anak seperti bobot lahir, panjang badan, dan tinggi tungkai dengan
penurunan keragaman bobot lahir antaranak babi pada induk yang sama yang pada
akhirnya meningkatkan total bobot lahir hidup anak per ekor induk. Induk babi
yang disuntik dengan PMSG dan hCG sebelum pengawinan menghasilkan anak
babi dengan laju pertumbuhan prasapih yang lebih baik dengan daya hidup dan
kelangsungan hidup yang lebih tinggi dengan hasil akhir bobot sapih yang lebih
tinggi dengan total bobot anak sapih per ekor induk yang jauh lebih tinggi. Anak
babi betina yang dilahirkan oleh induk babi yang disuperovulasi setelah dewasa
dikawinkan tanpa superovulasi menghasilkan anak dengan fenotip pertumbuhan
yang sama dengan induknya yang secara signifikan lebih tinggi dan lebih baik
dibandingkan dengan fenotipe pertumbuhan anak babi kontrol (NSO). Hasil
penelitian ini secara jelas menguatkan bahwa perbaikan lingkungan uterus dan
plasenta melalui perbaikan sekresi endogen hormon kebuntingan selama
praimplantasi dan selama keseluruhan periode kebuntingan melalui penyuntikan
induk dengan PMSG dan hCG sebelum pengawinan memperbaiki fenotipe
pertumbuhan prenatal dan postnatal anak babi dan fenotipe pertumbuhan yang
diperbaiki itu ternyata diwariskan ke anak keturunannya. Disimpulkan bahwa
teknik sederhana dan yang relatif murah ini dapat digunakan untuk memperbaiki
ekspresi fenotip pertumbuhan untuk menghasilkan anak babi unggul yang dapat
digunakan sebagai bakalan atau sebagai calon induk untuk menghasilkan anak
yang unggul.
Kata kunci: PMSG, hCG, babi unggul
43
PRODUCTION OF SUPERIOR PIGLET THROUGH IMPROVEMENT
OF ENDOGENOUS SECRETION OF PREGNANT HORMONES BY
INJECTION OF THE SOWS WITH PMSG AND HCG BEFORE MATING
ABSTRACT
An experiment was conducted to study the inheritance of improved growth
phenotypes in pigs born to sows injected with pregnant mare serum gonadotropin
(PMSG) and human chorionic gonadotropin (hCG) prior to mating. Twelve sows
were assigned into a randomized design with 3 groups and each group consisted
of 4 sows as replications. The first group consisted of sows without PMSG and
hCG injection prior to mating as a control group (NSO). The second group
consisted of sows injected with PMSG and hCG prior to mating to improve
endogenous secretion of pregnant hormones that improve prenatal growth of the
piglets (SO). The third group consisted of female pigs born to PMSG and hCG-
injected sows in SO group that were mated after maturity without PMSG and hCG
injection (F1SO). The number of sows used in each group consisted of 2 sows
with 11 litter size and 2 sows with 12 litter size at parturition and total of born
pigs observed in this study were 138 pigs. During the experiment, the
experimental sows were maintained in individual cage and fed with commercial
feed and water was available ad libitum. The results of experiment showed that
injection of the sows with PMSG and hCG prior to mating improved birth weight,
body length, and leg heights with decreased within-litter variation that finally
increased total weight of live born pigs per sow. Sows injected with PMSG and
hCG prior to mating produced pigs with higher pre-weaning growth rate and
higher survival rate with a higher weaning weight and total weaned pigs per sow.
The female pigs born to SO sows produced piglets with similar growth
phenotypes as pigs born to SO sows that was significantly higher and better that
the growth phenotypes of the pigs born to NSO sows. The results of this
experiment strongly confirm that the improvement of uterine and placental
environment by improving endogenous secretion of pregnant hormones during
pre-implantation and during the whole pregnancy by injecting the sows with
PMSG and hCG prior to mating improved prenatal and postnatal growth
phenotypes of pigs and the improved growth phenotypes were inherited to their
offspring. It was concluded that this simple and relatively cheap technique could
be used to improve growth genotype expression to produce a superior pigs that
could be used either as a finisher or as a parent stock.
Key Word: PMSG, hCG, piglet, superior piglet
PENDAHULUAN
Bobot lahir telah digunakan sebagai parameter seleksi untuk seleksi
bakalan atau bibit unggul. Bobot lahir ditentukan dan dipengaruhi oleh proses
44
pertumbuhan dan perkembangan prenatal yang sangat rumit di dalam uterus
(Foxcroft et al. 2006; Foxcroft et al. 2009). Bobot lahir yang rendah dan
keragaman yang tinggi pada bobot lahir antaranak dalam satu induk berkorelasi
tinggi dengan penurunan kelangsungan dan daya tahan hidup anak dan
pertumbuhan pascalahir yang rendah (Milligan et al. 2002; Quiniou et al. 2002;).
Pertumbuhan dan perkembangan embrio dan fetus selama kebuntingan ditentukan
oleh tingkat pertumbuhan dan perkembangan uterus dan plasenta (Spencer dan
Bazer 2004; Fowden et al. 2008). Faktor hormon dan faktor pertumbuhan lokal
akan mempengaruhi dan mengatur pertumbuhan dan perkembangan uterus dan
plasenta (Fowden et al. 2005).
Perbaikan sekresi endogen hormon estrogen dan progesteron induk dengan
cara penyuntikan induk babi dengan gonadotropin seperti FSH, PMSG, atau hCG
sebelum pengawinan akan meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan uterus
dan plasenta dan juga pertumbuhan dan perkembangan embrio dan fetus (Mege et
al. 2007) yang pada akhirnya memperbaiki bobot lahir dan kinerja pertumbuhan
pascalahir dan daya tahan dan kelangsungan hidup anak (Mege et al. 2006; Lapian
et al.2013). Anak babi yang dilahirkan oleh induk yang disuperovulasi mencapai
bobot potong (95 kg) 2 minggu lebih awal dibandingkan dengan babi yang
dilahirkan oleh induk kontrol tanpa superovulasi (Lapian et al. 2013).
Fenomena ini mempunyai implikasi bahwa perbaikan sekresi endogen
hormon kebuntingan selama periode kebuntingan memperbaiki lingkungan uterus
dan plasenta yang pada akhirnya akan memperbaiki pertumbuhan dan
perkembangan prenatal dan postnatal dan kelangsungan hidup dan daya tahan
anak yang pada akhirnya akan terbukti pada perbaikan ekspresi fenotipe
pertumbuhan pada anak. Penelitian ini dirancang untuk mengevaluasi apakah
performans pertumbuhan yang lebih baik pada anak yang dilahirkan oleh induk
yang sekresi endogen hormon kebuntingannya selama kebuntingan diperbaiki
melalui superovulasi sebelum pengawinan dapat diwariskan ke keturunannya.
Penelitian ini merupakan penelitian pertama yang melaporkan kemungkinan
produksi anak-anak unggul dengan metode epigenetik.
METODE PENELITIAN
Bahan
Penelitian ini dimulai dari bulan Desember 2012 sampai April di Peternakan
Kalasey Kecamatan Pineleng, Kabupaten Minahasa, Provinsi Sulawesi Utara.
Percobaan yang digunakan dalam penelitian ini ialah 24 induk babi keturunan
Landrace dengan bobot badan berkisar 100-120 kg. Hormon yang digunakan
untuk meningkatkan sekresi endogen adalah PMSG dan hCG (PG600 Intervet,
The Netherland) dan untuk penyerentakan berahi dipergunakan prostaglandin
(Lutalyse, Intervet, The Netherland). Induk babi dipelihara di kandang individu
dan diberikan pakan pagi dan sore hari dan air minum diberikan secara ad libitum.
Hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini ialah: 24 ekor babi
induk dari keturunan Landrace dengan bobot badan berkisar 100-120 kg. Hormon
yang digunakan untuk meningkatkan sekresi endogen hormon kebuntingan adalah
45
PMSG dan hCG (PG 600,Intervet,The Netherland) dan untuk penyerentakan
berahi dipergunakan prostaglandin (Lutalyse,Intervet,The Netherland).
Tahapan Pelaksanaan Penelitian.
Penelitian ini terdiri atas dua tahapan. Pada tahap pertama, 12 induk babi
diserentakkan berahinya dengan menyuntikkan prostaglandin (PGF2α) sebanyak
dua kali masing-masing tiap penyuntikan sebanyak satu mililiter dengan interval
waktu 14 hari. Pada penyuntikan PGF2α kedua, atau 3 hari sebelum berahi, induk
babi dibagi dua, masing-masing terdiri atas 6 ekor induk. Induk babi kelompok
pertama disuntik PG 600 dosis 400/200 IU secara intramuskuler dan kelompok
kedua disuntik dengan NaCl fisiologis 0,9% sebagai kontrol. Induk babi yang
menunjukkan gejala berahi dikawinkan dengan cara mencampur dengan
pejantan.Selama kebuntingan dan laktasi, babi percobaan dipelihara sesuai
manajemen peternak setempat. Parameter yang diamati adalah bobot badan lahir,
bobot badan sapih, dan dimensi tubuh anak. Bobot badan lahir per ekor diperoleh
dengan cara menimbang semua anak babi yang lahir dari seperindukan. Bobot
badan sapih perekor diperoleh dengan cara menimbang semua anak babi pada
periode penyapihan. Dimensi tubuh anak meliputi panjang badan, panjang
tungkai depan, dan panjang tungkai belakang baik pada saat lahir maupun pada
saat penyapihan.
Pada tahap kedua, 12 ekor babi dibagi kedalam 3 kelompok masing-
masing 4 ekor. Kelompok pertama (kontrol) adalah induk babi yang disuntik
dengan NaCl 0.9% (NSO). Kelompok kedua adalah induk babi yang disuntik
dengan PMSG dan hCG 400/200 IU (SO). Kelompok ketiga adalah 4 ekor induk
babi dari anak hasil superovulasi (F1SO). Sebelum pengawinan, siklus berahi babi
percobaan diserentakkan dengan penyuntikan PGF2α sebanyak dua kali masing-
masing 1 mL dengan interval waktu 14 hari. Ketika menunjukkan gejala berahi,
pejantan dimasukkan ke dalam kandang betina siap untuk mengawini babi berahi.
Selama masa kebuntingan, babi dipelihara di kandang individu yang dilengkapi
tempat makan dan minum sampai beranak dan siap disapih. Parameter yang
diamati adalah bobot badan lahir, bobot badan sapih, dan dimensi tubuh anak.
Bobot badan lahir per ekor diperoleh dengan cara menimbang semua anak babi
yang lahir dari seperindukan. Bobot badan sapih perekor diperoleh dengan
menimbang anak pada periode penyapihan. Dimensi tubuh anak yang meliputi
panjang badan, panjang tungkai depan, dan panjang tungkai belakang diukur pada
saat lahir dan penyapihan.
Prosedur Analisis Data
Data dianalisis dengan Analysis of Variance (ANOVA) dan dilanjutkan
dengan uji Duncan dengan selang kepercayaan 95% (α=0.05). Analisis
keseluruhan dengan menggunakan perangkat lunak Minitab 16.
46
HASIL DAN PEMBAHASAN
Rataan bobot badan lahir, panjang badan lahir, tinggi tungkai depan lahir
dan tinggi tungkai belakang lahir disajikan pada Tabel 5. Bobot badan lahir anak
babi SO dan F1SO meningkat masing-masing sebesar 33,89 dan 32,00% (P<
0,05), dibandingkan dengan bobot badan lahir anak babi NSO. Koefisien
keragaman bobot badan lahir pada babi SO (5,24%) dan F1SO (6,03%)secara
signifikan lebih rendah (P<0,05) dibandingkan dengan keragaman pada anak babi
NSO (23,25%). Perbaikan dan homogenitas parameter pertumbuhan pada anak
babi yang dilahirkan oleh indukSO diwariskan kepada keturunannya (F1SO).
Bobot badan lahir yang lebih tinggi pada anak babi SO dan F1SO juga disertai
dengan peningkatan panjang badan. Peningkatan panjang tubuh dan tinggi tungkai
depan antara SO dan F1SO lebih homogen dibandingkan babi NSO (P<0.05).
Panjang badan lahir anak babi SO dan F1SO meningkat sebesar 7,1 dan 9,4%
dibandingkan dengan babi NSO (P<0,05). Panjang badan anak babi SO dan F1SO
lebih homogen dibandingkan dengan anak babi NSO. Keragaman panjang tubuh
pada anak babi NSO adalah 7,22%. Tinggi tungkai depan pada anak babi SO dan
F1SO meningkat masing-masing 20,30 dan 21,07% dibandingkan tinggi tungkai
depan babi NSO(P<0,05). Keragaman ketinggian tungkai depan saat lahir pada
anak babi SO, F1SO, dan NSO secara berturut-turut adalah 7,24, 5,25, dan 5,41%.
Ketinggian tungkai belakang saat lahir di SO dan F1SO babi juga meningkat
20,31% dan 21,07% dibandingkan dengan babi NSO (P<0,05). Keragaman tinggi
tungkai belakang di NSO, SO, dan F1SO masing-masing adalah 9,54, 6,19, dan
6,16%.
Pada saat penyapihan, anak babi pada kelompok SO dan F1SO memiliki
bobot badan yang sama dan secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan
babi NSO (Tabel 6). Peningkatan bobot badan sapih pada anak babi SO
diwariskan kepada keturunannya F1SO. Bobot badan sapih anak babi SO dan
F1SO meningkat sebesar 19,76 dan 141% dibandingkan dengan anak babi
NSO(P<0,05). Keragaman bobot sapih pada babi NSO (9.05%) lebih tinggi
dibandingkan dengan babi SO (4,58%) dan F1SO (3,87%).
Tabel 6 Bobot badan, panjang badan, tinggi tungkai depan, tinggi tungkai
belakang lahir anak babi SO, NSO, dan F1SO
Parameter
Kelompok
SO1
NSO2
F1SO3
Bobot badan lahir (kg/ekor)
1,58±0,074
a
1,17±0,13b
1,55±0,005
a Panjang badan lahir (cm) 33,96±0,98
a 31,69±1,48b 34,69±0,40
a Tinggi tungkai depan (cm) 14,16±0,35
a 11,77±0,75b 14,25±0,38
a Tinggi tungkai belakang
(cm)
16,01±0,76a
12,98±0,62
b
16,15±0,40
a
47
abSuperskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang
signifikan (P<0,05), 1SO induk yang disuntik PMSG dan hCG sebelum pengawinan,
2NSO sebagai kontrol adalah induk tanpa penyuntikan PMSG dan HCG sebelum
pengawinan, 3F1SO induk babi keturunan dari induk SO yang disuntik PMSG dan hCG
sebelum pengawinan,
Perbedaan panjang tubuh dan ketinggian tungkai depan sapih antara babi
SO, F1SO, dan NSO lebih kecil dibandingkan dengan bobot badan lahir.
Meskipun bobot badan sapih masih lebih tinggi pada babi SO dan F1SO, kenaikan
panjang badan, tinggi tungkai depan, dan tinggi tungkai belakang babi sapih
secara statistik tidak signifikan dibandingkan dengan babi NSO (P>0,05).
Peningkatan panjang badan, tinggi tungkai depan, dan tinggi tungkai belakang
pada saat penyapihan tidak diwariskan kepada keturunan F1SO. Meskipun secara
statistik tidak signifikan, panjang tubuh dan tinggi tungkai saat penyapihan lebih
rendah pada keturunan F1SO dibandingkan dengan SO. Panjang badan sapih pada
SO dan F1SO hanya meningkat sebesar 0,83 dan 1,096% dibandingkan dengan
babi NSO.
Keragaman panjang tubuh sapih pada anak babi NSO (6,24%) secara
angka lebih tinggi dibandingkan dengan anak babi SO (5,14% dan F1SO (4,57%).
Ketinggian tungkai depan saat penyapihan pada anak babi SO hanya meningkat
masing-masing sebesar 6,43 dan 4,39% dibandingkan dengan anak babi NSO.
Keragaman ketinggian tungkai depan saat penyapihan pada babi NSO,SO, dan
F1SO masing-masing adalah 5,46,4,43, dan 4,83%. Ketinggian tungkai belakang
saat penyapihan pada anak babi SO dan F1SO hanya meningkat sebesar 7,83 dan
5,51% dibandingkan dengan anak babi NSO. Keragaman ketinggian tungkai
belakang saat penyapihan pada babi NSO, SO, dan F1SO masing-masing adalah
5,50, 4,57, dan 4,82%. Produktivitas induk babi dievaluasi dengan
membandingkan total bobot badan babi lahir hidup per kelahiran, total bobot
sapih per induk babi, tingkat pertumbuhan prasapih, mortalitas prasapih pada babi
NSO, SO, dan F1SO (Tabel 6).
Tabel 7 Bobot badan, panjang badan, tinggi tungkai depan, dan tinggi tungkai
belakang pada saat sapih pada anak babi SO, NSO, dan F1SO.
Parameter
KELOMPOK
SO
1 NSO
2 F1SO
3
Bobot badan sapih (kg)
14,30±0,42
a
11,94±1,31b
13,78±0,43
a Panjang badan sapih (cm) 48,77±2,11
a 48,37±5,22a 48,90±1,54
a Tinggi tungkai depan sapih
(cm) 24,30±1,55
a 22,83±1,25a 23,88±1,30
a
Tinggi tungkai belakang
sapih (cm) 26,42±1,39
a 24,50±0,72a 25,85±1,32
a
48
abSuperskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang
signifikan (P<0.05). 1SO induk yang disuntik PMSGdan hCG sebelum pengawinan.
2NSO sebagai kontrol adalah induk tanpa penyuntikan PMSG dan HCG sebelum
pengawinan. 3F1SO induk babi keturunan dari induk SO yang disuntik PMSG dan hCG
sebelum pengawinan.
. Secara umum, bobot total anak babi lahir hidup per kelahiran, total bobot
badan sapih per induk dan tingkat pertumbuhan prasapih dari babi SO dan F1SO
secara konsisten sama dan lebih tinggi dibandingkan dengan anak babi NSO
(P<0.05). Data ini sangat menunjukkan bahwa fenotip pertumbuhan yang baik
saat lahir meningkatkan pertumbuhan prasapih dan kelangsungan hidup yang
akhirnya meningkatkan produktivitas induk babi dan fenotippertumbuhan yang
diwariskan kepada keturunannya.
Total bobot babi lahir hidup per induk babi SO dan F1SO meningkat
masing-masing sebesar 37,61 dan 32,20% dibandingkan dengan induk babi NSO.
Keragaman babi lahir hidup perkelahiran pada induk SO (5,24%) dan F1SO
(6,03%) secara dramatis lebih rendah dibandingkan dengan NSO (23,25%).
Kelangsungan hidup dan tingkat pertumbuhan babi selama periode prasapih pada
anak babi yang dilahirkan oleh induk SO dan F1SO meningkat secara signifikan.
Mortalitas prasapih pada anak babi SO dan F1SO adalah sama dan secara
dramatis menurun masing-masing sebesar 67,59 dan 79,10% dibandingkan
dengan anak babi yang dilahirkan oleh induk NSO. Penurunan angka kematian
prasapih meningkat secara signifikan dan daya hidup prasapih babi anak babi SO
(42,44%) dan F1SO (49,67%) lebih tinggi dibandingkan dengan anak babi NSO
(P<0,05). Keragaman mortalitas prasapih babi NSO (38,57%) lebih tinggi
dibandingkan babi SO (12,50% dan F1SO (8,06%).. Tingkat pertumbuhan
prasapih pada anak babi SO dan F1SO meningkat masing-masing sebesar 17,07
dan 13,32%, dibandingkan dengan anak babi NSO (P<0,05). Keragaman tingkat
pertumbuhan prasapih pada anak babi NSO (20,67%) lebih tinggi dibandingkan
dengan anak babi SO (8,08% dan F1SO (7,85).
Kesamaan tingkat pertumbuhan prasapih antara babi SO dan F1SO dalam
percobaan ini sangat menguatkan bahwa fenotip pertumbuhan yang baik yang
dihasilkan oleh kondisi prenatal yang baik pada babi SO yang diwariskan kepada
keturunannya. Sebagai hasil pertumbuhan fenotip pada SO dan F1SO meningkat
secara dramatis masing-masing sebesar 46,23% dan 47,86% dibandingkan dengan
babi NSO. Keragaman bobot total anak yang disapih per induk babi NSO, SO,
dan F1SO adalah 9,07, 4,56, dan 6,08%.
Hasil penelitian menggambarkan bahwa perbaikan lingkungan uterus dan
plasenta melalui peyuntikan gonadotropin sebelum pengawinan meningkatkan
pertumbuhan dan perkembangan anak yang dilahirkan. PMSG dan hCG
merupakan hormon yang aktivitas keduanya mirip dengan FSH dan LH yang
berfungsi merangsang pertumbuhan dan perkembangan serta meningkatkan
derajat ovulasi dalam perkembangannya merangsang proliferasi sel granulosa
menstimulasi sintesis estrogen dan selanjutnya bersama merangsang proses
ovulasi (Estiene dan Harper 2003).
49
Tabel 8 Total bobot lahir hidup, mortalitas prasapih, rataan laju pertumbuhan, dan
total bobot badan babi sapih per induk pada babi SO, NSO,dan F1SO.
.
Parameter
Kelompok
SO1
NSO2
F1SO3
Total bobot badan lahir hidup
(kg/induk)
17,83±1,52
a
12,95±2,009b
17,12±1,10
a
Mortalitas prasapih (%)
12,50±9,57
a 38,57±21,44
b 8,06±10,56
a Rataan laju pertumbuhan (g/hari)
257,12±11,21
a 219,62±26,09
b 248,87±8,47
a Total bobot badan sapih
(kg/induk)
146,60±7,98
a 100,25±15,68
b 148,23±11,63
a
abSuperskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaanyang
signifikan (P<0.05). 1SO induk yang disuntik PMSGdan hCG sebelum pengawinan.
2NSO sebagai kontrol adalah induk tanpa penyuntikan PMSG dan HCG
sebelumpengawinan. 3F1SO induk babi keturunan dari induk SO yang disuntik PMSG dan hCG
sebelum pengawinan.
Perkembangan korpus luteum selanjutnya mensintesis progesterone yang
merupakan hormon penting untuk implantasi dan plasentasi.
Selama kebuntingan, progesteron berperan untuk mempertahankan
kebuntingan dan fungsi semua sistem kebuntingan untuk mempertahankan dan
mensekresi serta mengangkut nutrisi ke dalam lumen uterus untuk mendukung
pertumbuhan dan perkembangan embrio dan fetus (Dunlap dan Stromshak 2004).
Pertumbuhan fetus selama di dalam kandungan digambarkan oleh bobot embrio
dan peningkatan plasenta, bobot lahir tinggi, tinggi dan panjang badan anak
(Mege et al. 2007,2006; Lapian et al. 2013). Peningkatan plasenta dan janin
merupakan refleksi dari ekspresi gen pertumbuhan yang ditunjukkan dengan
bobot lahir yang lebih baik dan tingkat keragaman yang kecil.
Pertumbuhan prasapih meningkat pada anak babi yang dilahirkan oleh induk
yang mengalami superovulasi sebelum perkawinan.Variasi bobot lahir
berkontribusi pada kelangsungan anak sampai usia sapih, dengan bobot lahir yang
lebih ringan memiliki tingkat pertumbuhan yang rendah dan lebih lambat untuk
mencapai bobot potong (Milligan et al. 2001).Peningkatan bobot lahir yang baik
terjadi karena peningkatan sekresi endogen hormonkebuntingan yang akan
memperbaiki lingkungan uterus dan plasenta. Perbaikan plasenta juga akan
memperbaiki aliran darah sehingga meningkatkan transportasi nutrisi yang baik
yang disebabkan karena peningkatan aliran darah dengan demikian nutrisi ke
janin juga meningkat selama perkembangan prenatal (Milligan et al. 2002;
Quiniou et al. 2002).
50
Fenotipe pertumbuhan anak babi lahir dapat ditingkatkan melalui proses
epigenetik dengan meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan uterus dan
plasenta. Perkembangan embrio bergantung pada keterkaitan antara nutrisi dan
regulasi hormon dan faktor pertumbuhan (Fix et al. 2010). Bobot badan lahir
rendah berimplikasi pada kinerja pertumbuhan prasapih yang rendah, memiliki
laju pertumbuhan rendah dan lebih lambat mencapai bobot sapih yang baik.
Sebaliknya, kinerja bobot badan lahir yang tinggi memiliki kinerja pertumbuhan
prasapih yang baik seperti yang dapat dilihat pada penelitian ini. Keragaman
bobot badan lahir merupakan kontribusi yang baik dimana kinerja bobot lahir
yang baik memberikan kelangsungan hidup anak yang baik, peningkatan bobot
sapih, usia potong, dan kualitas karkas yang baik yang pada gilirannya
meningkatkan produktivitas babi (Milligan et al. 2001; Lapian et al. 2013).
Dengan demikian, peningkatan sekresi endogen hormon-hormon
kebuntingan selama periode kebuntingan pada induk yang disuperovulasi
meningkatkan ekspresi gen pertumbuhan dan pada babi superovulasi memperbaiki
bobot lahir dan fenotipe pertumbuhan anak dan diwariskan serta memberi
kontribusi penyediaan bibit unggul yang berkualitas. Penelitian sebelumnya
menunjukkan bahwa penggunaan gonadotropin eksogen atau superovulasi
meningkatkan perkembangan folikel dan ovulasi dan perkembangan korpus lutea
yang meningkatkan sekresi endogen estrogen dan progesteron. Peningkatan
sintesis estrogen dan progesteron memperbaikilingkungan uterus dan kualitas
embrio dan meningkatkan keberhasilan transfer embrio dan peningkatan kinerja
reproduksi pada babi (Angel et al. 2014; Arlaud et al. 2010; Hazelegeret et al.
2000)
SIMPULAN
Perbaikan sekresi endogen hormon kebuntingan melalui penyuntikan PMSG
dan hCG dapat memperbaiki fenotipe pertumbuhan anak yang diturunkan ke
anaknya sehingga dapat digunakan untuk menghasilkan bibit unggul.
DAFTAR PUSTAKA
Angel, M.A., Gil, M.A., Cuello, C., Sanchez-Osorio,J., Gomis, J., Parrilla, I., Vila,
J., Colina, I., Diaz, M., Reixach, J., Vazquez, J.L., Vazquez, J.M., Roca, J.,
Martinez, E.A. 2014. The effects of superovulation of donor sows on ovarian
response and embryo development after nonsurgical deep-uterine embryo
transfer. Theriogenology. 81, 832-839.
Arlaud, J.J., Baker, L., Williams, R.L., French, A.J., 2010. Oestrous
synchronization, ovarian superovulation and intraspecific transfers from a
closed breeding colony of inbred SLA miniature pigs. Reprod. Domest. Anim.
45, 951-958.
Dunlap K A, Stomshak F.2004. Nongenomic inhibition of oxytocin binding by
progesterone in the ovine uterus. Biol.Rep.79:65-68.
51
Estiene J M Harper A F, 2003. Uses of PG600 in swine breeding herd
management http://ext.vt.edu/news/livestock/aps-0344.html.
Fix J S, Cassady J P, Holl J W, Herring W O, Culbertson M S, See M T. 2010.
Effect of piglet birth weight on survival and quality of commercial market
swine. Livest Prod. Sci, 132:98-106.
Fowden A L, Giussani D A, Forhead, A J. 2005. Endocrine and metabolic
programming during intrauterine development. Early Hum. Dev. 81, 723-734.
Fowden, A.L., Forhead, A.J., Coan, P.M., Burton, G.J., 2008. The placenta and
intrauterine programming. J.Neuroendocrinol. 20: 439–450.
FowdenA.L.,Ward, J.W.,Wooding, F.P.B., Forhead, A.J., Constancia, M., 2006.
Programming placental nutrient transport capacity. J. Physiol. 572: 5–15.
Foxcroft, G.R., 2012. Reproduction in farm animals in an era of rapid genetic
change: will genetic change outpace our knowledge of physiology?
Reprod.Domest. Anim. 47 Suppl 4: 313-319.
Foxcroft, G.R., Dixon, W.T., Dyck, M.K., Novak, S., Harding, J.C., Almeida, F.C.
2009. Prenatal programming of postnatal development in the pig. Soc. Reprod.
Fertil.Suppl. 66: 213-31.
Foxcroft, G.R., Dixon, W.T., Novak, S., Putman, C.T., Town, S.C., Vinsky,
M.D.A., 2006. The biological basis for prenatal programming of postnatal
performance in pigs. J. Anim. Sci 84, E105-E112.
Hazelegert, W., Bouwman, E.G., Noordhuizen, J.P., Kemp, B., 2000. Effect of
superovulation induction on embryonic development on day 5 and subsequent
development and survival after nonsurgical embryo transfer in
pigs.Theriogenology 53: 1063-1070.
Lapian, M.T.R., Siagian, P.H., Manalu, W., Priyanto, R., 2013.Carcass qualities
of finisher pig born to superovulated sows before mating. J. Veteriner 14: 350-
357.
Mege, R.A., Manalu, W., Kusumorini, N., Nasution, S.H., 2006. Effect of
superovulation on piglet production. Animal Production 8: 8-15.
Mege, R.A., Nasution, S.H., Kusumorini, N., Manalu, W., 2007. Growth and
development of the uterus and placenta of superovulated gilts. Hayati J.
Biosciences 14: 1-6.
Milligan, B. N., Fraser, D., Kramer, D.L., 2001. Birth weight variation in the
domestic pig: effect on spring survival, weight gain and suckling behavior.
Applied Animal Behaviour Science 73: 179-191.
Milligan, B. N., Fraser, D., Kramer, D.L., 2002. Within-litter birth weight
variation in the domestic pig and its relation to pre-weaning survival, weight
gain, and variation in weaning weights. Livest. Prod. Sci. 76, 181–191.
Ohtaki, T., Moriyoshi, M., Nakada, K., Nakao, T., Sawamukai, Y., 2012.
Relationships among steroid hormone levels in newborn piglets, birth weight,
placental weight, vitality of offspring and litter size. Anim. Sci. J. 83: 644-649.
Quiniou, N., Dagorn, J., Gaudre, D., 2002. Variation of piglets’ birth weight and
consequences on subsequent performance. Livest. Prod. Sci. 78: 63–70.
Reynolds, L.P.,Redmer,.D.A., 1995. Utero-placental vascular development and
placental function. J. Anim. Sci.73: 1839-1851.
Spencer, T.E., Bazer, F.W., 2002. Biology of progesterone action during
pregnancy recognition and maintenance of pregnancy. Front Biosci. 7: d1879–
1898.
52
Spencer, T.E.,Bazer, F.W., 2004. Uterine and placental factors regulating
conceptus growth in domestic animals. J. Anim. Sci.82: E4-E13.
Spencer, T.E., Johnson, G.A., Burghardt, R.C., Bazer, F.W., 2004. Progesterone
and placental hormone actions on the uterus: Insights from domestic animals.
Biol.Reprod. 71: 2–10.
PEMBAHASAN UMUM
Penelitian dengan menggunakan perlakuan superovulasi pada induk babi
kampung (native) dan eksotik terbukti telah mampu memperbaiki lingkungan
uterus yang berakibat pada peningkatan bobot badan lahir, daya hidup dan laju
pertumbuhan prasapih, bobot sapih serta total bobot sapih perekor induk. Pada
hewan mamalia, produktivitas ditentukan oleh keberhasilan reproduksi untuk
menghasilkan anak dan keturunannya.
PMSG dan hCG sebagai hormon eksogen merupakan hormon
gonadotropin yang dihasilkan dengan aktivitas biologik “like” FSH dan hCG
berfungsi meningkatkan aktivitas FSH dan LH endogen dalam proses
folikulogenesis. PMSG memiliki kadar asam sialat yang tinggi yang dapat
mengakibatkan waktu paruh yang cukup panjang dibandingkan dengan
gonadotropin endogen. Dengan demikian pada babi memiliki kemampuan dimana
folikel matang membantu perkembangan folikel kurang matang, olehnya aktivitas
tersebut didukung oleh kemampuan hormon PMSG yang mempunyai waktu
paruh yang lebih lama olehnya menyebabkan lebih banyak jumlah folikel yang
matang untuk selanjut terjadi peningkatan derajat ovulasi, kemudian selanjutnya
mekanisme sekresi estrogen dan progesteron terjadi peningkatan.
Estrogen dan progesteron adalah hormon kunci dalam pengaturan dan
perkembangan uterus pada mamalia. Hormon-hormon inilah yang mengawali
perubahan histologis awal pada jaringan uterus sebagai persiapan untuk implantasi
dan pertumbuhan uterus dan embrio pada awal kebuntingan yang diikuti dengan
pertumbuhan dan perkembangan fetus dan plasenta sampai kelahiran.
Pertumbuhan uterus dan plasenta yang rendah dan kurang optimum akan
membatasi pertumbuhan dan perkembangan embrio dan fetus dan yang pada
akhirnya menurunkan bobot badan lahir dan daya tahan hidup anak yang baru
lahir.
Pada hewan politokus, peningkatan jumlah folikel dan korpus luteum yang
tumbuh dan berkembang dan jumlah fetus di dalam uterus tidak linear dengan
peningkatan sekresi kebuntingan. Terdapat indikasi penurunan rasio hormon
kebuntingan (progesteron dan estrogen) per fetus selama periode kebuntingan
yang berkaitan dengan penurunan bobot lahir dengan meningkatnya jumlah anak
sekelahiran atau litter size. Dengan demikian, perbaikan sekresi hormon
kebuntingan selama periode kebuntingan dapat memperbaiki persiapan uterus
untuk implantasi dan untuk pertumbuhan dan perkembangan uterus untuk
mendukung pertumbuhan prenatal. Faktor prenatal dan postnatal berpengaruh
pada kelangsungan hidup babi. Lingkungan rahim pada induk babi sebelum
kelahiran sangat penting bagi kelangsungan hidup anak babi. Pada babi sekresi
52
Spencer, T.E.,Bazer, F.W., 2004. Uterine and placental factors regulating
conceptus growth in domestic animals. J. Anim. Sci.82: E4-E13.
Spencer, T.E., Johnson, G.A., Burghardt, R.C., Bazer, F.W., 2004. Progesterone
and placental hormone actions on the uterus: Insights from domestic animals.
Biol.Reprod. 71: 2–10.
PEMBAHASAN UMUM
Penelitian dengan menggunakan perlakuan superovulasi pada induk babi
kampung (native) dan eksotik terbukti telah mampu memperbaiki lingkungan
uterus yang berakibat pada peningkatan bobot badan lahir, daya hidup dan laju
pertumbuhan prasapih, bobot sapih serta total bobot sapih perekor induk. Pada
hewan mamalia, produktivitas ditentukan oleh keberhasilan reproduksi untuk
menghasilkan anak dan keturunannya.
PMSG dan hCG sebagai hormon eksogen merupakan hormon
gonadotropin yang dihasilkan dengan aktivitas biologik “like” FSH dan hCG
berfungsi meningkatkan aktivitas FSH dan LH endogen dalam proses
folikulogenesis. PMSG memiliki kadar asam sialat yang tinggi yang dapat
mengakibatkan waktu paruh yang cukup panjang dibandingkan dengan
gonadotropin endogen. Dengan demikian pada babi memiliki kemampuan dimana
folikel matang membantu perkembangan folikel kurang matang, olehnya aktivitas
tersebut didukung oleh kemampuan hormon PMSG yang mempunyai waktu
paruh yang lebih lama olehnya menyebabkan lebih banyak jumlah folikel yang
matang untuk selanjut terjadi peningkatan derajat ovulasi, kemudian selanjutnya
mekanisme sekresi estrogen dan progesteron terjadi peningkatan.
Estrogen dan progesteron adalah hormon kunci dalam pengaturan dan
perkembangan uterus pada mamalia. Hormon-hormon inilah yang mengawali
perubahan histologis awal pada jaringan uterus sebagai persiapan untuk implantasi
dan pertumbuhan uterus dan embrio pada awal kebuntingan yang diikuti dengan
pertumbuhan dan perkembangan fetus dan plasenta sampai kelahiran.
Pertumbuhan uterus dan plasenta yang rendah dan kurang optimum akan
membatasi pertumbuhan dan perkembangan embrio dan fetus dan yang pada
akhirnya menurunkan bobot badan lahir dan daya tahan hidup anak yang baru
lahir.
Pada hewan politokus, peningkatan jumlah folikel dan korpus luteum yang
tumbuh dan berkembang dan jumlah fetus di dalam uterus tidak linear dengan
peningkatan sekresi kebuntingan. Terdapat indikasi penurunan rasio hormon
kebuntingan (progesteron dan estrogen) per fetus selama periode kebuntingan
yang berkaitan dengan penurunan bobot lahir dengan meningkatnya jumlah anak
sekelahiran atau litter size. Dengan demikian, perbaikan sekresi hormon
kebuntingan selama periode kebuntingan dapat memperbaiki persiapan uterus
untuk implantasi dan untuk pertumbuhan dan perkembangan uterus untuk
mendukung pertumbuhan prenatal. Faktor prenatal dan postnatal berpengaruh
pada kelangsungan hidup babi. Lingkungan rahim pada induk babi sebelum
kelahiran sangat penting bagi kelangsungan hidup anak babi. Pada babi sekresi
53
uterus, faktor pertumbuhan, pengiriman nutrisi oleh rahim mempengaruhi tingkat
pertumbuhan, perkembangan dan daya hidup. Kenaikan hormon progesteron pada
awal kehamilan mempercepat sekresi protein, meningkatkan sekresi estrogen dan
konsepsi dan memperbesar ukuran embrio. Dengan demikian penelitian dengan
penyuntikan PMSG dan hCG sebelum pengawinan meningkatkan progesterone
dan estrogen pada induk yang disuperovulasi juga menstimulasi peningkatan
pertumbuhan prenatal dan perbaikan uterus dan plasenta. Superovulasi dengan
PMSG dan hCG secara signifikan meningkatkan sekresi endogen estrogen dan
progesterone dan selama kebuntingan dan selanjutnya meningkatkan
pertumbuhan rahim dan plasenta yang mendukung pertumbuhan dan
perkembangan embrio dan fetus yang pada akhirnya meningkatkan bobot lahir
dan kelangsungan hidup. Bobot lahir telah digunakan sebagai parameter seleksi
untuk seleksi bakalan atau ternak unggul. Bobot lahir ditentukkan dan dipengaruhi
oleh pertumbuhan dan perkembangan prenatal yang sangat rumit di dalam uterus.
Pada penelitian selanjutnya terhadap F1SO (dari turunan anak induknya
disuperovulasi yang kemudian telah menjadi induk) kemudian dikawinkan tanpa
dilakukan superovulasi, juga anak-anak yang dihasilkan memiliki bobot badan
lahir, bobot badan sapih dan laju pertumbuhan prasapih yang tidak berbeda nyata
dengan hasil dari induk yang disuperovulasi. Fenomena ini menarik untuk
dipelajari lebih lanjut karena didapatkannya perbaikan fenotipe pertumbuhan dan
peningkatan produktivitas induk yang meningkat drastic tanpa perbaikan
managemen dan kualitas pakan secara umum.
Efektivitas peningkatan sekresi hormon kebuntingan melalui superovulasi
untuk meningkatkan ekspresi gen pertumbuhan selama fase differensiasi
embrional babi dan meningkatkan fenotipe pertumbuhan pascalahir. Estrogen dan
progesteron memegang peranan penting dalam mengendalikan pertumbuhan
uterus dan plasenta serta perkembangan. Peningkatan estrogen dan sekresi selama
siklus estrus diikuti dengan peningkatan sintesis dan sekresi progesteron dan
korpus luteum setelah ovulasi oleh plasenta (Ash dan Heap 1975; Flawers et
al.1991; Przala et al. 1985). Hormon-hormon memprakarsai perubahan histologis
dalam uterus dalam persiapan implantasi dan pertumbuhan dan perkembangan
uterus dan embrio pada awal kehamilan diikuti oleh pertumbuhan dan
perkembangan embrio dan plasenta sampai partus (Gray et al.2001; Spencer dan
Bazer 2004, 2002; Spencer et al. 2004). Uterus dan plasenta yang kurang baik
akan menurunkan bobot lahir dan vitalitas neonatal (Ohtaki et al. 2012). Bobot
lahir memiliki pengaruh yang sangat signifikan pada kemampuan bertahan hidup,
kompetitif antarsesamanya dalam usaha memperoleh susu, kemampuan bertahap
terhadap lingkungan dan jika berat lahir kurang maka mempengaruhi kinerja dan
menurunkan tingkat produktivitas ternak (Milligan etal. 2001; Fix et al. 2010).
Peningkatan sekresi endogen hormon kebuntingan melalui penyuntikan
hormon eksogen gonadotropin, seperti FSH, PMSG, dan HCG sebelum
pengawinan meningkatkan pertumbuhan uterus dan plasenta dengan pertumbuhan
dan perkembangan embrio dan fetus. Pertumbuhan fetus selama di dalam
kandungan yang digambarkan oleh bobot lahir, tinggi dan panjang badan anak,
dan pertumbuhan prasapih meningkat pada anak babi yang dilahirkan oleh induk
yang mengalami superovulasi sebelum perkawinan. Penelitian ini membuktikan
bahwa peningkatan sekresi endogen hormon-hormon kebuntingan selama periode
kebuntingan pada induk yang disuperovulasi meningkatkan ekspresi gen
54
pertumbuhan. Pada ternak babi politokus, superovulasi tetap dapat digunakan
untuk memperbaiki bobot lahir dan fenotipik pertumbuhan anak sebagai bakalan
atau bibit yang mempunyai keunggulan pertumbuhan.
Ternak babi adalah hewan yang memiliki kemampuan dengan satu kelahiran
menghasilkan sejumlah anak. Walaupun demikian, produktivitas pada ternak
prolifik belum maksimal yang dapat digambarkan dengan tingginya kematian
embrio selama periode kebuntingan, tingginya keragaman jumlah anak
sekelahiran perinduk serta rendahnya bobot lahir anak sekelahiran dan tingginya
mortalitas prasapih menjadikan penurunan fenotipik pertumbuhan.
Perbaikan sekresi endogen hormon kebuntingan dapat dilakukan dengan
cara sederhana melalui penyuntikan gonadotropin, misalnya PMSG (pregnant
mare serum gonadotropin) dan hCG (human chorionic gonadotropin). Teknologi
sederhana ini bertujuan meningkatkan derajat ovulasi dan menstimulasi
pertumbuhan dan perkembangan folikel mensekresi estrogen dan peningkatan
ovulasi dan sekresi progesteron yang selanjutnya memperbaiki lingkungan uterus
dan proses plasentasi. Penelitian penggunaan PMSG dan HCG telah dilakukan
memperbaiki pertumbuhan embrio dan fetus (Manalu et al. 1998, Adriani et al.
2007, Mege et al. 2006, 2007) dan meningkatkan pertumbuhan bobot lahir dan
memperpendek usia potong (Lapian et al. 2013).
Hasil penelitian pada babi lokal (Tabel 1) menunjukkan perbaikan fenotipe
pertumbuhan yang sangat tinggi dibandingkan dengan kontrol. Hasil ini secara
umum meningkatkan daya tahan hidup, laju pertumbuhan prasapih, dan bobot
sapih serta total bobot sapih per ekor induk pada babi lokal. Hasil ini
menunjukkan bahwa teknologi ini sangat efektif digunakan pada babi lokal
dengan tingkat litter size yang rendah dengan keberhasilan reproduksi yang secara
umum lebih rendah dibandingkan dengan babi ras. Perbaikan kinerja reproduksi
ini akan memberi dampak ekonomi yang baik pada peternak. Dengan bobot lahir
yang baik, kelangsungan hidup dan bobot sapih yang tinggi sangat
menguntungkan bagi usaha peternakan dengan produktivitas reproduksi yang
tinggi.
Pengembangan produktivititas ternak ditentukan oleh kualitas bibit yang
ada. Produksi bibit biasanya membutuhkan seleksi dan program pemuliaan yang
rumit dan lama. Dengan demikian, penyediaan bibit ternak untuk dipelihara
sampai siap dipasarkan sangat menentukan keberhasilan produksi. Perbaikan
lingkungan uterus dan plasenta selama perkembangan embrio dan fetus ternak
mamalia akan mempengaruhi perkembangan dan diferensiasi sel-sel dan ekspresi
gen yang selanjutnya akan mempengaruhi kualitas hidup dan ekspresi gen anak
yang dihasilkan. Perbaikan ekspresi gen selama perkembangan embrio dan fetus
diharapkan akanterus diwariskan kepada anaknya sehingga bisa diwariskan pada
keturunan selanjutnya. Dari penelitian ini disimpulkan bahwa fenotipe
pertumbuhan anak dapat ditingkatkan melalui proses epigenetik dimana
fenotippertumbuhan yang lebih baik itu bisa diwariskan ke keturunannya. Teknik
ini akan lebih penting lagi digunakan untuk memperbaiki genotip pertumbuhan
ternak lokal Indonesia yang sudah beradaptasi dengan lingkungan tropika lembap
Indonesia. Dengan daya adaptasi yang sudah baik ini akan mendukung
produktivitas melalui perbaikan ekspresi genotip pertumbuhan dan lingkungan.
Satu aspek yang menonjol dari penelitian ini ialah bahwa didapatkan
perbaikan fenotipe pertumbuhan dan produktivitas induk yang meningkat drastis
55
tanpa perbaikan manajemen dan kualitas pakan secara umum. Walaupun hasil
penelitian Lapian et al. (2013) menunjukkan bahwa induk babi menunjukkan
peningkatan konsumsi pakan, tapi anak babi hasil superovulasi tumbuh dengan
laju yang lebih baik tanpa peningkatan konsumsi pakan yang signifikan. Selain
itu juga, teknologi ini tidak memerlukan perbaikan manajemen. Dengan
demikian, teknologi ini dapat diterapkan pada peternak kecil tradisional dan juga
pada pemeliharaan secara ekstensif. Penelitian awal pada kambing kacang yang
dilepas liar tanpa pemberian pakan di Kabupaten Kupang menunjukkan hasil yang
tetap tinggi, yaitu produktivitas induk meningkat hampir dua kali lipat pada induk
kambing yang disuperovulasi sebelum pengawinan (Andriyanto et al. 2014,
pengamatan yang belum diterbitkan).
SIMPULAN DAN SARAN
1. Perbaikan sekresi endogen hormon kebuntingan memperbaiki bobot
badan lahir, bobot badan sapih dan peningkatan kinerja hidup prasapih
dengan peningkatan daya hidup anak babi usia sapih
2. Sifat unggul yang dimiliki memiliki sifat pengulangan dari induk kepada
anak-anak babi ke generasi berikutnya.
SARAN
Modifikasi mekanisme perbaikan lingkungan rahim yang baik
meningkatkan ekspresi genotip pertumbuhan memerlukan penelitian lanjut pada
tingkat DNA.
Superovulasi dengan penggunaan hormon PMSG dan hCG ini ternyata
bisa memperbaiki uterus diharapkan menjadi inspirasi untuk menggali pengganti
hormon yang diharapkan juga memiliki fenomena dari hasil penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Adriani, S Adi, S Toha, W Manalu, I K Sutama. 2007. Pertumbuhan prenatal
dalam kandungan kambing melalui superovulasi. Hayati 14(2):44-48.
Ash, R.W., Heap, R.B. 1975. Oestrogen, progesterone and corticosteroid
concentrations in peripheral plasma of sows during pregnancy, parturition,
lactation and after weaning. J Endocrinol.64: 141-154.
Fix J S, Cassady J P, Holl J W, Herring W O, Culbertson M S, See M T. 2010.
Effect of piglet birth weight on survival and quality of commercial market
swine. Livest Prod. Sci, 132:98-106.
Flowers, B., Cantley, T.C., Martin, M.J., Day, B.N. 1991.Episodic secretion of
gonadotrophins and ovarian steroids in jugular and utero-ovarian vein plasma
during the follicular phase of the oestrous cycle in gilts.
J.Reprod.Fertil.91:101-112.
56
Gray, C.A., Johnson, G.A., Bartol, F.F., Tarleton, B.J., Wiley, A.A., Bazer, F.W.,
Spencer, T.E., 2001. Developmental biology of uterine glands. Biol.Reprod.
65: 1311–1323.
Lapian, M.T.R., Siagian, P.H., Manalu, W., Priyanto, R., 2013. Carcass qualities
of finisher pig born to superovulated sows before mating. J. Veteriner 14:350-
357.
Manalu W dan M Y Sumaryadi 1998. Mammary gland onces at the end of
lactation in Javanese thin-thail ewes with different litter sizes. AJAS 11(6):
646-654.
Mege, R.A., Manalu, W., Kusumorini, N., Nasution, S.H., 2006. Effect of
superovulation on piglet production. Animal Production 8:8-15.
Mege, R.A., Nasution, S.H., Kusumorini, N., Manalu, W., 2007. Growth and
development of the uterus and placenta of superovulated gilts. Hayati J.
Biosciences 14:1-6.
Milligan, B. N., Fraser, D., Kramer, D.L., 2001. Birth weight variation in the
domestic pig: effect on spring survival, weight gain and suckling behavior.
Applied Animal Behaviour Science 73: 179-191.
Ohtaki, T., Moriyoshi, M., Nakada, K., Nakao, T., Sawamukai, Y., 2012.
Relationships among steroid hormone levels in newborn piglets, birth weight,
placental weight, vitality of offspring and litter size. Anim. Sci. J. 83: 644-649.
Przała, J., Grazul, A., Wiesak, T., Muszyńska, A., Dusza, L., 1985. Steroid
hormones and prolactin in porcine follicular fluid in estrous cycle and early
pregnancy. Exp.Clin.Endocrinol. 86: 291-296.
Spencer, T.E., Bazer, F.W., 2002. Biology of progesterone action during
pregnancy recognition and maintenance of pregnancy. Front Biosci. 7: d1879–
1898.
Spencer, T.E.,Bazer, F.W., 2004. Uterine and placental factors regulating
conceptus growth in domestic animals. J. Anim. Sci. 82: E4-E13.
Spencer, T.E., Johnson, G.A., Burghardt, R.C., Bazer, F.W., 2004. Progesterone
and placental hormone actions on the uterus: Insights from domestic animals.
Biol.Reprod. 71: 2–10.
57
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta, 16 September 1962 dari orang tua W.E Rayer
dan Clara Kountul. Pendidikan sarjana ditempuh di jurusan pendidikan biologi
FPMIPA IKIP Negeri Manado masuk tahun 1981 dan menyelesaikan studi tahun
1985. Pada tahun 1991 diterima di program S-2 pada program studi Biologi
Reproduksi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan menamatkan pada
tahun 1994. Kesempatan untuk melanjutkan program doktor pada program studi
Ilmu-ilmu Faal dan Khasiat Obat (IFO) Departemen Anatomi Fisiologi dan
Farmakologi Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor pada tahun 2009, mendapatkan beasiswa pendidikan diperoleh
dari Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Penulis bekerja sebagai dosen di
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Manado.
Top Related