PROBLEMATIK DAN SOLUSI PENANGANANKASUS PELANGGARAN HAM BERAT
Binsar Gultom, SH, SE, MH *
1. Temuan Komnas HAM Harus Dikembangkan Kejaksaan Agung
Di banyak Negara termasuk di Indonesia sering terjadi kecenderungan adanya penolakan untuk menyelidiki atau mengadili perkaraperkara masa lalu. Di berbagai negara tersebut sikap melindungi secara terangterangan dipertunjukkan oleh para penguasa yang warga negaranya terlibat dalam kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity). Perlindungan seperti itu tercermin dari kesengajaan rezim yang berkuasa untuk tidak membuat ketentuan perundangundangan yang berkaitan dengan pelanggaran HAM berat atau tidak menerapkan ketentuan perundangundangan yang sudah ada, atau memberikan interpretasi yang berbeda dengan apa yang dimaksud oleh peraturan perundangundangan mengenai kejahatan itu, sematamata hanyalah untuk menciptakan impunity 1 bagi para pelaku kejahatan itu.
Contoh kasus kejahatan pada Perang Dunia ke II: Adolf Hitler dan Mussolini selaku pihak yang bertanggung jawab dalam kejahatan perang waktu itu telah mati sebelum diadili, sementara Kaisar Hirohito – dengan berbagai pertimbangan, kasusnya tidak pernah terungkap dan tidak sempat diadili hingga yang bersangkutan wafat. Sedangkan contoh kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia yang terkesan ditutuptutupi adalah: kasus dugaan pelanggaran HAM berat Trisakti Semanggi I, II, Penculikan Paksa Aktivis Tahun 1997/1998, kasus Talangsari (di Lampung), kasus Waisor, Wamena (di Papua) yang telah selesai diselidiki oleh Komnas HAM selalu terganjal oleh berbagai kepentingan politis tertentu.
Konsekuensi Pemerintah RI dan DPR – RI mengeluarkan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, mestinya dapat mempermudah dan menuntaskan proses penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap dugaan pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum dan sesudah dikeluarkannya UU Pengadilan HAM tersebut. Namun dalam praktiknya,
1 Impunity (Impunitas) adalah suatu keadaan dimana pelaku dalam kejahatan tidak diadili baik karena “ketiadaan hukum”, “sistim hukum yang tidak memungkinkan” (misalnya karena pengadilan yang belum dibentuk atau tenaga/ahli atau hukum yang tidak tersedia) maupun karena “kesengajaan” dari rezim yang berkuasa untuk menutup-nutupi kejahatan itu.
1
berbagai kasus pelanggaran HAM berat tersebut diatas justru menjadi permainan “bola panas” antara Kejaksaan Agung dengan Komnas HAM setelah Jaksa Agung mengembalikan semua berkas pelanggaran HAM berat tersebut kepada Komnas HAM tertanggal 1 April 2008.
Dikembalikannya semua berkas tersebut, menurut Jaksa Agung selaku penyidik dan penuntut, karena berkas tersebut ‘masih kurang lengkap’, artinya belum memenuhi syarat formal dan materiil yang ditentukan. Namun sayangnya Jaksa Agung tanpa memberi petunjuk yang jelas di mana kekurangan hasil penyelidikan Komnas HAM tersebut.
Padahal menurut ketentuan Pasal 20 ayat (3) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, dalam hal ketidaklengkapan tersebut, Jaksa Agung wajib memberi petunjuk, perihal kekurangan hasil penyelidikan Komnas HAM. Bahkan sesuai Pasal 19 ayat (1) huruf (g) UU No. 26 Tahun 2000 penyidik Jaksa Agung dapat “mengembangkan” kasus tersebut dengan memerintahkan penyelidik Komnas HAM melakukan tindakan berupa: pemeriksaan surat, penggeledahan dan penyitaan, pemeriksaan setempat dan mendatangkan ahli dalam hubungannya dengan penyelidikan. Bila perlu Jaksa Agung sesuai wewenangnya dalam Pasal 11 ayat (1) dan Pasal 12 ayat (1) UU No. 26 Tahun 2000, “dapat melakukan penangkapan dan penahanan untuk kepentingan penyidikan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan pelanggaran HAM berat berdasarkan bukti permulaan yang cukup”.
Mengenai pemanggilan paksa (subpoena) seorang saksi karena tidak bersedia dipanggil oleh Komnas HAM, hal ini sudah jelas diatur oleh Pasal 95 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), yang mengatakan: “Apabila seseorang yang dipanggil tidak datang menghadap atau menolak memberikan keterangannya, Komnas HAM dapat meminta bantuan Pengadilan untuk pemenuhan panggilan secara paksa sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan”.
Argumentasi Jaksa Agung dan TNI yang meminta agar terlebih dahulu DPR menerbitkan rekomendasi pembentukan Pengadilan HAM Adhoc kepada Presiden perihal pemanggilan paksa seorang saksi dalam perkara pelanggaran HAM berat, menurut penulis adalah tergantung dari pada locus dan tempus delicti (tempat dan waktu peristiwa) apakah terjadi ‘sebelum’ atau ‘sesudah’ berlakunya UndangUndang Pengadilan HAM.
2
Sebelum berlakunya UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, DPR tak mungkin menerbitkan rekomendasi politik terlebih dahulu kepada TNI/Polri tanpa terlebih dahulu Komnas HAM melakukan pemanggilan terhadap saksisaksi terkait untuk mencari faktafakta berupa bukti ada tidaknya dugaan terjadinya pelanggaran HAM berat. Berdasarkan hasil investigasi/penyelidikan Komnas HAM inilah akan ditindaklanjuti oleh penyidik Jaksa Agung apakah telah terdapat bukti permulaan yang cukup untuk selanjutnya dikembangkan oleh Jaksa Agung.
Jika pelanggaran HAM berat terjadi ‘sebelum’ berlakunya UndangUndang Pengadilan HAM, maka pemanggilan paksa seorang saksi belum bisa dilaksanakan oleh Pengadilan HAM, sebab Pengadilan HAM Adhocnya harus terlebih dahulu dibentuk atas usul DPR sesuai Pasal 43 ayat (2) UndangUndang Pengadilan HAM. Jika tetap dipaksakan pemanggilan saksi tersebut, akibat hukumnya pemanggilan itu tidak sah menurut hukum, alias “batal demi hukum”.
Yang bisa dilakukan Komnas HAM terhadap saksi yang tidak bersedia hadir terhadap kasus yang terjadi ‘sebelum’ berlakunya UndangUndang Pengadilan HAM Adhoc adalah, pertama: bersabar menunggu terbentuknya pengadilan HAM Adhocnya berdasarkan Keputusan Presiden. Kedua: demi penegakan hukum di bidang HAM, selaku warga negara yang baik dan taat hukum seharusnya saksi dimaksud secara ‘legowo’ menghadiri panggilan Komnas HAM tersebut. Ke tiga : jika saksi tidak memenuhi pemanggilan dimaksud, maka ketika sidangnya digelar, Majelis Hakim HAM dapat memanggil dia sebagai saksi dipersidangan, sekalipun dia tidak masuk dalam daftar Berita Acara Pemeriksaan (BAP) 2.
Contoh kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi ‘sebelum’ berlakunya UndangUndang Pengadilan HAM yang diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM Adhoc Jakarta adalah: pelanggaran HAM berat Timor Timur tahun 1999 dan pelanggaran HAM berat Tanjung Priok Tahun 1984.
2 Dalam praktik persidangan Pengadilan HAM Adhoc Jakarta, pemanggilan saksi mantan Presiden BJ. Habibie dalam kasus pelanggaran HAM Berat Timor Timur telah memberikan kesaksiannya, sekalipun BJ. Habibie tidak termasuk dalam berkas Berita Acara Pemeriksaan Perkara (BAP).
3
Sedangkan jika pelanggaran HAM berat itu terjadi ‘sesudah’ berlakunya UndangUndang Pengadilan HAM, pemanggilan paksa seorang saksi “dapat dilakukan” oleh Pengadilan HAM yang tidak bersedia hadir sesuai permohonan Komnas HAM (Vide Pasal 95 UU HAM). Disini tidak perlu mendapat rekomendasi pembentukan Pengadilan HAM oleh DPR kepada Presiden, karena dengan sendirinya Pengadilan HAM sudah ada seperti di Jakarta, Medan, Surabaya dan Makasar sebagaimana diatur dalam Pasal 45 UndangUndang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Dan nama pengadilannya di sini bukan Pengadilan HAM Adhoc, tetapi Pengadilan HAM saja (tanpa adhocnya).
Contoh kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi ‘sesudah’ terbentuk UndangUndang Pengadilan HAM adalah: pelanggaran HAM berat Abepura tahun 2000 yang pernah ditangani oleh Pengadilan HAM Makasar.
Adalah keliru besar, apabila ada yang berpendapat menurut Pasal 4 UndangUndang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) yang mengatakan hak setiap orang untuk tidak dituntut berdasarkan hukum yang berlaku surut. Menurut saya, karena di atas UndangUndang Hak Asasi Manusia tersebut masih ada undangundang yang lebih tinggi kedudukannya, yaitu UUD 1945 dalam Pasal 28 ayat (1) dan (2) huruf (j) mengatakan: “bahwa setiap orang wajib menghormati HAM orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Bahkan setiap orang wajib tunduk pada undangundang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil. Maka dalam rangka proses investigasi dugaan pelanggaran HAM, jika dalam hal Komnas HAM memanggil seseorang yang menolak untuk datang menghadap memberikan keterangannya, Komnas HAM sesuai kewenangannya dalam Pasal 95 UndangUndang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dapat memanggilnya secara paksa lewat bantuan Ketua Pengadilan HAM.
Aneh : Jaksa Agung justru meminta agar terlebih dahulu DPR menerbitkan rekomendasi pembentukan Pengadilan HAM Adhoc kepada Presiden. Dan menurut Ketua Komisi III DPR: Trimedya Panjaitan mengatakan: “secara prosedural kejaksaan baru bisa melakukan penyidikan setelah mendapat rekomendasi dari DPR”.3 Pendapat ini menurut penulis telah
3 Media Indonesia, Komisi III DPR Pesimistis, Tuntaskan Semanggi I, 13 Nopember 2007.4
“mengaburkan” makna dan penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Menurut penulis, mana mungkin DPR mengeluarkan rekomendasi kepada Presiden tanpa terlebih dahulu Jaksa Agung menindaklanjuti hasil temuan kesimpulan penyelidikan Komnas HAM? Sebab menurut penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU tersebut secara eksplisit mengatakan, bahwa “dalam hal DPRRI mengusulkan dibentuknya Pengadilan HAM Adhoc, DPR mendasarkan pada dugaan telah terjadinya pelanggaran HAM yang berat yang dibatasi pada locus dan tempus delicti tertentu yang terjadi sebelum diundangkannya UU ini”. Artinya, bahwa dasar DPR menyatakan adanya dugaan telah terjadinya pelanggaran HAM berat adalah didasarkan pada hasil penyelidikan Komnas HAM dan hasil penyidikan dari Jaksa Agung.
Terhadap kasus yang terjadi ‘sebelum’ berlakunya UndangUndang Pengadilan HAM, DPR di sini tak boleh menolak atau memberi pendapat, bahwa temuan Komnas HAM dan Jaksa Agung bukan merupakan pelanggaran HAM berat, seperti yang pernah terjadi pada periode DPR tahun 19992004. Sebab kewenangan DPR di sini hanyalah memberi rekomendasi atau mengusulkan kepada Presiden agar diterbitkan Keputusan Presiden (Keppres) atas dugaan peristiwa pelanggaran HAM yang berat.
Berdasarkan ketentuan tersebut, jelaslah bahwa DPR tidak berwenang menetapkan ada tidaknya pelanggaran HAM Berat, namun yang berwenang menetapkan adatidaknya pelanggaran HAM berat adalah Pengadilan HAM Adhoc melalui proses pemeriksaan pokok perkara di persidangan. Soal apakah nantinya para pelaku dugaan pelanggaran HAM berat terbukti bersalah atau tidak adalah menjadi kewenangan Pengadilan HAM Adhoc.
Dalam praktik, rekomendasi/usul DPR tentang Pembentukan Pengadilan HAM Adhoc pelanggaran HAM berat Timor Timur dan Tanjung Priok dengan Kepres No. 53 yang di perbaharui No. 96 tahun 2001 dikeluarkan oleh DPR dan Presiden saat itu setelah hasil penyelidikan Komnas HAM dan penyidikan Jaksa Agung berdasarkan peristiwa tertentu di Timor Timur dan Tanjung Priok ‘diduga’ telah terjadi pelanggaran HAM yang berat.
5
Jika masih tetap terjadi silang pendapat antara DPR dan Jaksa Agung perihal pembentukan Pengadilan HAM Adhoc, penulis berharap sebaiknya Pasal 43 ayat (2) tersebut di “hapus” saja. Dengan ketentuan bahwa hasil penyelidikan Komnas HAM harus ditindak lanjuti oleh Jaksa Agung dengan batas waktu yang telah ditentukan oleh UU, untuk selanjutnya Jaksa Agung dapat secara langsung melimpahkan berkas tersebut ke Pengadilan HAM tanpa harus lewat rekomendasi DPR, atau perlu diberikan kewenangan yang lebih luas kepada Komnas HAM, yaitu dapat secara langsung melimpahkan berkas pelanggaran HAM berat ke Pengadilan HAM tanpa harus melalui Jaksa Agung dan tanpa rekomendasi DPR, sebagaimana layaknya Komisi Pemberantasan Korupsi selaku penyidik dapat secara langsung melimpahkan berkas korupsi ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
2. Pertanggungjawaban Komandan/Atasan
Negara tidak dapat menjalankan hak dan kewajibannya sendiri tanpa dilakukan oleh segenap instrumen (organnya) yang terdiri dari: para individu melalui institusi hukum atau institusi negara. Mereka yang menjalankan kewenangan negara dikenal sebagai aparatur negara dan aparatur penegak hukum. Berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh negara kepada aparatur negara atau aparatur penegak hukum yang didalamnya terdiri dari individu inilah yang bertindak mewakili untuk dan atas nama negara. Mereka yang kemudian melakukan tindakan salah dan menimbulkan kerugian, akibatnya harus dipertanggungjawabkan kepada negara dan hukum.
Sejumlah kasus yang membuktikan adanya peran institusi negara yang diwujudkan dalam suatu kebijakan (policy) yang “salah”, misalnya terlihat pada kasus apartheid mantan Presiden Afrika Selatan PW. Botha, dan disappearances mantan orang kuat Chile, Jenderal Augusto Pinochet serta pemberian Opsi 4 merdeka atau integrasi kepada Negara Kesatuan Republik
4 Suatu Kebijakan dan Keputusan yang berani dan mengejutkan yang dikeluarkan oleh mantan Presiden BJ. Habibie, karena Opsi I yang dikeluarkan tanggal 9 Juni 1998 mengenai tawaan otonomi luas kepada masyarakat Timor Timur, satu bulan setelah Presiden Soeharto mengundurkan diri sebagai presiden (21 Mei 1998). Belum final sosialisasi Opsi I, enam bulan kemudian yaitu tanggal 27 Januari 1999 BJ. Habibie kembali mengejutkan mengumumkan pemberian Opsi keII kepada masyarakat Timor Timur. Dalam Opsi keII ini jika mayoritas masyarakat Timor Timur menolak tawaran otonomi luas, maka Pemerintah Indonesia akan mengusulkan kepada Sidang Umum MPR yang baru terpilih tahun 1999 agar Timor Timur dapat “berpisah” dari pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) secara baik, terhormat, tertib dan Konstitusional. Menurut mantan Duta Besar RI untuk PBB: Nugroho Wisnumurti menggambarkan penawaran Opsi keII ini bagaikan halilintar di siangbolong. Termasuk mantan Menlu RI Ali Alatas dalam Sidang Kabinet hari itu tanggal 27 Januari 1999 sempat mempersoalkan gagasan Opsi keII karena belum sempat memberikan masukan kepada Presiden BJ. Habibie, dengan kata lain pemberian Opsi keII ini masih
6
Indonesia (NKRI) oleh mantan Presiden Republik Indonesia BJ. Habibie kepada masyarakat Timor Timur, melalui “jajak pendapat” (referendum) tanggal 30 Agustus 1999.
Dalam kasuskasus pelanggaran HAM berat, terdapat kecenderungan untuk menerapkan prinsip tanggung jawab pidana yang bersifat individual terhadap para pelaku. Sebab yang melaksanakan tugas kewenangan negara adalah para individu atas nama institusi negara.
Berbeda dengan perkara pidana (biasa) pembunuhan terhadap aktivis MUNIR yang membebaskan terdakwa H. Muchdi Purwopranjono dari semua dakwaan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, sebab proses persidangannya bukan di Pengadilan HAM. Jika kasus pembunuhan MUNIR ini diselesaikan melalui mekanisme Peradilan HAM pasti lebih mudah mencari siapa yang lebih bertanggung jawab atas pembunuhan tersebut. Sebab pertanggungjawaban pidana tidak hanya ditujukan kepada komandan militer, tetapi juga terhadap atasan/Sipil. Untuk kasus pembunuhan (pidana biasa) dan penyertaan dalam tindak pidana telah diatur secara jelas didalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP), yaitu pasal 340 jo 338 jo 55 KUHP (yang melakukan, menyuruh melakukan, turut serta melakukan, yang memberi/menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat. Unsurunsur pidana pada ketentuan tersebut harus terbukti.
Mengenai pertanggungjawaban komandan/atasan ini diatur secara spesifik dalam Statuta Roma yaitu dalam Pasal 285 yang kemudian diadopsi
“premature” sebagaimana dilansir dalam The Jakarta Post, 2 Nopember 1999 dan buku Penyelesaian Masalah Timor Timur dalam Lintas Sejarah, suntingan Dino Patti Djalal. Juga penjelasan ini diterangkan Ali Alatas sebagai saksi pada persidangan Pengadilan HAM adhoc Jakarta pada kasus pelanggaran HAM berat Timor Timur atas nama Terdakwa Brigjen Tono Suratman (mantan Danrem Wiradharma Timor Timur).
5 Adapun bunyi lengkap dari Pasal 28 Statuta Roma ini adalah sebagai berikut:Responsibility of commanders and other superiors.
In addition to other grounds of criminal responsibility under this Statute for crimes within the jurisdiction of the Court:
A military commader or person effectively acting as a military commander shall be criminally resposible for crimes within the jurisdiction of the Court committed by forces under his or her effective command and control, or effective authority and control as the case may be, as a result of this or her failure to exercise control properly over such forces, where:
That military commander or person either knew or, owing to the circumstances at the time, should have known that the forces were committinfg or about to commit such crimes; and that military commander or person failed to take all necessary and reasonable measures within his or her power to preven or repress their commission or to submit the matter to the competent authorities for investigation and prosecution.
With respect to superior and subordinate relationship not described in paragraph (a), a superior shall be criminally responsible for crimes within the jurisdiction of the Court committed by subordinates under his or her effective
7
oleh UndangUndang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang terdapat dalam Pasal 42.
Menurut praktik Peradilan Internasional, dalam kasus pertanggung jawaban (commander’s responsibility), maka pihak yang bertanggungjawab secara hukum untuk “militer” adalah “komandan” (commander’s), sedangkan “atasan lainnya adalah: untuk “polisi” dan “sipil” (responsibility of other superiors). Bagi Negara Indonesia, maka yang dimaksud dengan Komandan “militer” adalah Tentara Nasional Indonesia (TNI) di lingkungan Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara,6 sedangkan istilah “atasan lainnya:” adalah untuk kepolisian dan sipil dan disingkat dengan “atasan” saja.
Ketika digelar persidangan kasus pelanggaran HAM berat Timor Timur
di Pengadilan HAM Adhoc Jakarta pada tahun 2002 – 2004, ternyata pertanggungjawaban komandan/atasan tersebut diatas telah menimbulkanmultitafsir yang berbeda antara hakim, jaksa penuntut umum, pembela, saksi ahli dan terdakwa. Hal itu terjadi karena menurut Pasal 9 UndangUndang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM menyebutkan kata “ditujukan secara langsung” (directed).
Hal ini dapat diinterpretasikan “hanya bagi para pelaku yang melakukan perbuatan secara langsung yang dapat dimintai pertanggungjawaban secara pidana”, sedangkan yang “tidak melakukan perbuatan secara langsung” (indirected) tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Sementara menurut Pasal 42 UndangUndang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM tersebut, secara khusus mengatur pertanggungjawaban komandan/ atasan terhadap perbuatan pasukan/bawahan yang dilakukan secara tidak langsung (indirected) atau delict by omission, dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana adalah menjadi kontroversial dengan Pasal 9 tersebut.
authority and control, as a result of his or the failure to exercise control properly over such subordinates, where:The superior either knew, or consciously disregarded information which clearly indicated, that the subordinates
were committing or about to commit such crimes:The crimes concerned activities that were within the effective responsibility and control of the superior; and the superior failed to take all necessary and reasonable measures within his or her power to prevent or repress their commission or to submit the matter to the competent authorities for investigation and prosecution.
6 POLRI (Kepolisian Republik Indonesia) tidak masuk lagi dalam lingkungan TNI berdasarkan Ketetapan MPRRI Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
8
Dalam kasus pertanggungjawaban komandan/atasan sebagaimana diatur dalam Pasal 42 UU Pengadilan HAM, dikaitkan dengan fakta yang terungkap dalam kasus para terdakwa pelanggaran HAM berat Timor Timur pada persidangan di Pengadilan HAM Adhoc Jakarta, ternyata perbuatan komandan/atasan tidak dilakukan secara langsung/aktif, melainkan karena “tidak dilakukan pengendalian pasukan/bawahan secara patut”, artinya komandan/atasan itu mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa pasukan/bawahan sedang melakukan pelanggaran HAM berat, tetapi dia tidak mencegahnya secara patut dan layak.
Mestinya menurut ketentuan Pasal 42 tersebut perbuatan komandan/ atasan yang dilakukan secara tidak langsungpun tetap dapat dimintakan pertanggung jawaban pidana. Karena menurut doktrin Pertanggung jawaban Komandan/atasan secara internasional, perbuatan tidak langsungpun (indirect) atau yang disebut perbuatan pasif (delict by omission) tetap dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku pelanggaran HAM berat, artinya pasukan tersebut tidak melakukan pencegahan atau gagal untuk menghentikan terjadinya pelanggaran HAM berat, pasukan tersebut sudah termasuk sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran HAM berat.7
Mengenai pertanggungjawaban pidana dari komandan/ atasan yang menyimpang dari pertanggungjawaban pidana harus diketahui hubungan antara “posisi” komandan/atasan dengan “perbuatan” yang didakwakan kepadanya. Artinya makna tanggungjawab komandan/atasan tidak hanya bertanggung jawab kepada bawahan saja, tetapi bertanggung jawab kepada sikap komandan yang “membiarkan” (crimes by omission) perbuatan melawan hukum dari pasukan/bawahannya atau tidak melakuan upaya yang diperlukan dalam rangka penyelidikan, penyidikan dan penuntutan atas perbuatan itu.
Rumusan pertanggungjawaban komandan berdasarkan Hukum Pidana Indonesia dan Hukum Internasional adalah: Jika komandan/atasan memberikan perintah yang langsung ditujukan kepada pasukan/bawahan dan
7 Lihat Putusan Pengadilan HAM Adhoc Jakarta atas nama Terdakwa Letkol. Inf. Soedjarwo No. 08/Pid. HAM/Ad.Hoc/2002/PN. JKT.PST, hlm. 53. Bandingkan dengan Prinsip hukum yang dianut dalam praktik penerapan tanggung jawab komando pada peradilan Nuremberg (The Nuremberg Tribunal), menyatakan: Seorang komandan yang bertanggung jawab secara efektif terhadap pasukannya atau bawahannya yang efektif, dapat diadili sekalipun ia tidak memerintahkan kejahatan tersebut, tetapi mengetahui atau mesti harus mengetahui tindakan kejahatan yang dilakukan oleh anak buahnya yang efektif tersebut, namun gagal untuk mengambil tindakan yang semestinya (reasonable action) untuk mencegah menindak dan menghukumnya.
9
ternyata perintah itu merupakan perintah yang bersifat melawan hukum,8
maka tanggungjawab pidana dari komandan/atasan itu adalah tanggungjawab langsung (direct responsibility). Sebaliknya jika yang melakukan perbuatan melawan hukum adalah pasukan/bawahan dari komandan/atasan tersebut (tanpa adanya perintah untuk melakukan perbuatan itu dari komandan/atasan), maka tanggungjawab komandan/atasan adalah atas dasar “delict by omission” (culpable omissions), artinya kejahatan yang dilakukan oleh pasukan/bawahannya, tetap dapat dimintakan pertanggungjawaban komandan/atasan, karena ia harus dianggap sepatutnya mengetahui perbuatan pasukan/ bawahannya telah “membiarkan” terjadinya pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh pasukan/bawahannya (indirect command responsibility).
Di sini harus dibedakan pula mengenai pertanggungjawaban komandan/atasan yaitu “perbuatan yang didasarkan pada perintah komandan/atasan yang melawan hukum” dan “perbuatan pasukan/bawahan yang melawan hukum, tetapi tidak berdasarkan perintah komandan/atasan”. Jika perbuatan melawan hukum yang terjadi itu adalah karena adanya perintah komandan/atasan, maka yang harus dibuktikan terlebih dahulu adalah “adanya perintah komandan/atasan yang melawan hukum itu”. Sementara jika perbuatan itu tanpa adanya perintah komandan, maka yang harus dibuktikan terlebih dahulu adalah adanya perbuatan melawan hukum dari pasukan/bawahan itu sendiri, baru kemudian membuktikan sejauh mana komandan/atasan melakukan “pembiaran” terhadap perbuatan itu.
Dengan melihat pada unsurunsur yang harus dibuktikan dalam kasus pertanggungjawaban komandan/atasan itu, maka unsurunsur “perbuatan” (unsur material, actus reus) dan unsurunsur “tidak berbuat secara langsung” (by omission) harus dibuktikan secara berurutan (chronologically), yaitu mulai dari komandan/atasan hingga bawahan/pasukan. Jika hal itu terbukti, atas dasar itulah baru dikatakan adanya kasus pelanggaran HAM berat yang berhubungan dengan tanggung jawab komandan/atasan.
Dalam pertanggungjawaban komandan, garis komando bisa ditarik garis ke atas dengan syarat harus memenuhi elemen/unsurunsur sebagai berikut:9
8 Pengertian perbuatan melawan hukum disini adalah dalam arti formil, yaitu suatu perbuatan yang bertentangan dengan ketentuanketentuan yang diatur secara tertulis.
9 Penjelasan PLT. Sihombing, Op.cit, hlm. 90.10
1. Harus terlebih dahulu terbukti anggotanya melakukan pelanggaran HAM berat. Jika tidak terbukti, maka tidak akan ada pertanggungjawaban komando.
2. Harus ada hubungan sub ordinasi antara komandan dengan pelaku dan hubungan sub ordinasi ini tidak hanya komandan langsung, tetapi dapat juga komandan tidak langsung. Dari sini dapat diketahui dasar penentuan, sampai sejauhmana yang harus dapat dipertanggungjawabkan itu adalah setiap komandan yang ada pada rantai komando, mulai dari yang terendah sampai yang tertinggi.
3. Komandan tidak melaksanakan atau gagal melaksanakan kekuasaan yang ada padanya untuk menghentikan atau menyerahkan kepada yang berwajib. Contoh, jika Komandan Kodimnya tidak berbuat sesuatu, maka dia harus bertanggung jawab akan hal itu, kemudian diusut ke atas. Kalau Danremnya juga tidak berbuat sesuatu, maka dia harus bertanggung jawab begitu berturutturut sampai ke Pangdam, ke atas.
Mengacu kepada doktrin pertanggungjawaban komandan/ atasan langsung maupun tidak langsung, komandan yang melakukan pembiaran atau gagal bertindak atas kejahatan yang terjadi di dalam pengendaliannya yang efektif tetap dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pidana.10 Hal ini karena ada 4 (empat) elemen/unsur utama pertanggungjawaban komando, antara lain:11
1. Adanya hubungan langsung antara bawahan dengan atasan baik secara de jure maupun de facto.
2. Atasan mengetahui atau beralasan untuk mengetahui bahwa telah terjadi atau sedang dilakukan tindak pidana.
3. Atasan memiliki kewenangan atau kekuasaan untuk mencegah dan menahan terjadinya tindak pidana.
4. Atasan gagal mengambil langkahlangkah yang diperlukan guna mencegah atau menghentikan tindak pidana.
10 Lihat Pasal 28 Statuta Roma 1988 yang diadopsi oleh Pemerintah Indonesia kedalam Pasal 42 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
11 Lihat Putusan Pengadilan HAM Adhoc Jakarta Pusat atas nama Terdakwa Letkol Inf. Soedjarwo, Op.cit, hlm. 42 – 43.
11
Khusus elemen “mengetahui” (had knowledge) di sini, Prof. Bantekas merinci tanggung jawab komandan itu menjadi 3 hal, antara lain:12
1. Apabila Komandan telah mengetahui (had knowledge) bahwa kejahatan telah atau akan dilakukan dan tidak mencegah atau menghukum pelakunya. Di sini terdapat elemen “actual knowledge” (betulbetul mengetahui).
2. Apabila seorang Komandan seharusnya mengetahui. Di sini terdapat elemen “dianggap mengetahui” (presumtion of knowledge).
3. Seorang Komandan seharusnya sudah menjadikan tugasnya untuk mengetahui apa yang sedang dilakukan pasukannya atau orang lain yang berada dalam pengendaliannya. Di sini terdapat “alasan untuk mengetahui” yang disebut the reason to know element of knowledge.
Dalam kasus pertanggungjawaban komandan/atasan, maka standar “mengetahui” dari seorang komandan/atasan – terhadap pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh pasukan/bawahannya – merupakan pertimbangan penting untuk menentukan sejauh mana tanggung jawab komandan/atasan itu. Sebab semakin tinggi pangkat komandan/atasan tersebut semakin tinggi persyaratan untuk “mengetahui” suatu keadaan. Terminologi “mengetahui” dalam kasuskasus pertanggungjawaban komandan/atasan mengenal beberapa tingkatan, di mana tingkatan paling rendah adalah “actual knowledge” (mengetahui secara pasti), sampai pada tingkatan yang lebih tinggi seperti “had reason to know” (memiliki alasan untuk mengetahui) atau “should have known” (seharusnya mengetahui).
Menurut Brigjen PLT. Sihombing,13 selaku saksi ahli pada persidangan Pengadilan HAM Adhoc Jakarta atas nama terdakwa Mayjen Adam R. Damiri mengatakan, bahwa untuk “elemen pengetahuan komandan” telah terjadi atau sedang terjadi pelanggaran HAM berat, tidak mesti komandan itu mengetahuinya berdasarkan laporan resmi dari bawahan, tetapi misalnya pemberitaan di media massa baik cetak atau elektronika yang menyatakan telah terjadi pelanggaran HAM, maka hal itu sudah dapat dijadikan sebagai bukti sudah terjadi pelanggaran HAM berat.
12 Eddy Djunaedi, Perkembangan Doktrin Command Responsibility, Jakarta: LPPHAN, 2003, hlm. 5.13 Lihat putusan Pengadilan HAM Adhoc Jakarta No. 09/PID.HAM/AD.HOC/ 2002.PN. JKT.PST, hlm. 92.
12
Ilias Bantekas14 menganalisis situasisituasi dalam hal mana komandan/atasan bertanggung jawab terhadap tindakantindakan pasukan/bawahannya, yaitu:
“International humanitarian law recognizes two distinct duties that are incumbent on superiors: the duties to prevent and punish the crimes of one’s subordinates” (Hukum kemanusiaan internasional mengakui adanya kewajiban yang muncul berupa pertanggungjawaban komandan/atasan yaitu kewajiban untuk mencegah dan menghukum kejahatan yang dilakukan oleh anak buah/bawahannya).
Bantekas15 juga menambahkan: “………….military and civilian superiors are criminally liable for the crimes of their subordinates where they have either failed to prevent their occurrence, or punish them once they have taken place”. (Komandan militer dan atasan sipil secara pidana bertanggung jawab atas kejahatan anak buahnya ketika anak buah tersebut gagal untuk mencegah tindakan mereka ataupun menghukum anak buah tersebut ketika suatau kejahatan terjadi).
Dengan demikian, terdapat dua unsur penting dalam pertanggungjawaban komandan/atasan ini yaitu “tugas untuk mencegah perbuatan itu” dan “untuk menghukum pasukan/ bawahan yang melakukannya”.
Pandangan Banteks ini sejalan dengan apa yang diatur dalam Pasal 28 Statuta Roma 1988 dan Pasal 42 UndangUndang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM mengenai tanggung jawab komandan/atasan.
Menurut penulis, berdasarkan doktrin tersebut ada jaminan dari terdakwa (selaku komandan) untuk mencegah atau menghukum setiap penyalahgunaan wewenang yang dilakukan pasukan/anak buah) baik secara langsung maupun tidak langsung. Dan langkah pertama yang akan menentukan apakah “pelaku langsung atau tidak langsung” dari kejahatan itu benarbenar melakukan perbuatan penyalahgunaan wewenang kekuasaan (abuse of power) atau gagal bertindak dalam pengendaliannya yang efektif, terlebih setelah diterapkannya keadaan darurat militer dalam wilayah tertentu sebagaimana
14 Ilias Bantekas, Principles of Direst and Superior Responsibility in International Humanitarian Law, Manchester University Press, Manchester, UK, 2002, hlm. 94.
15 Ibid.13
dalam dakwaan/tuntutan Jaksa, “harus dapat dibuktikan dalam proses persidangan”.
Dalam praktik persidangan kasus pelanggaran HAM berat Timor Timur di Pengadilan HAM Adhoc Jakarta tahun 20022004, masalah pertanggungjawaban komandan/atasan tersebut pernah menimbulkan silang pendapat antara hakim, jaksa penuntut umum, advokat, saksi dan terdakwa. Hal itu terjadi karena belum ada defenisi dan penjelasan yang pasti tentang pertanggungjawaban komandan/atasan di dalam Pasal 42 UU Pengadilan HAM. Menurut penjelasan Pasal 42 UU Pengadilan HAM hanya menyatakan “Cukup Jelas” terhadap ketentuan ini, sementara permasalahan hukum yang terdapat dalam ketentuan itu sangat kompleks. Akhirnya penafsiran hukum terhadap rumusan pertanggung jawaban komandan/atasan tersebut sangat tergantung dari pandangan subyektif Hakim tingkat pertama, banding dan kasasi di Mahkamah Agung yang satu sama lain putusannya saling kontradiktif .
Contoh kasus sebagai sampel dari pihak TNI yang dibebaskan oleh Mahkamah Agung, adalah terdakwa Letkol Inf. Soedjarwo (mantan Dandim 1627 Dili) Terdakwa Brigjen Mohammad Noer Muis (mantan Dandrem Timor Timur) dan terdakwa Mayjen (TNI) Adam R. Damiri (mantan Pangdam Udayana) dalam kasus Pelanggaran HAM berat Timor Timur tentang pertanggungjawaban komandan militer di Pengadilan HAM Adhoc Jakarta pada tahun 2002 – 2004, masingmasing telah divonis bersalah 5 tahun.16 Penjara, karena terbukti melakukan Pelanggaran HAM berat berupa: “kejahatan terhadap kemanusiaan pada tingkat pertama.
Kesalahan Terdakwa Soedjarwo ketika itu secara “tibatiba menarik pasukan” dari kediaman Uskup Belo pada tanggal 5 September 1999 sekitar pukul 06.00 WIB yang sebelumnya telah dijaga ketat oleh petugas keamanan dua peleton pasukan sebanyak 60 orang setelah pengumuman jajak pendapat Timor Timur tanggal 4 September 1999. Alasan penarikan pasukan tersebut menurut Kapten Hartono (Pasi Ops) dan Mayor Salman Manafe (Kasdim) selaku anak buah terdakwa Soedjarwo, karena akan diadakan “missa kudus” pada pagi hari itu. Namun berselang ± 2 jam pihak prointegrasi (pihak yang kalah dalam pengumuman jajak pendapat) langsung melakukan penyerangan
16 Lihat Putusan Pengadilan HAM Adhoc Jakarta Pusat atas nama Terdakwa Letkol Inf. Soedjarwo No. Perkara: 08/PID.HAM/AD.HOC/2002/PN.JKT.PST, atas nama Terdakwa Mohammad Noer Muis No. Perkara: 12/PID.HAM/AD.HOC/2002/PN. JKT.PST dan atas nama Terdakwa Adam R. Damiri No. Perkara: 09/PID.HAM/AD.HOC/2002/PN. JKT. PST.
14
secara membabi buta di kediaman Uskup Belo yang menelan banyak korban. Penarikan pasukan itu ternyata tidak dilaporkan Terdakwa Soedjarwo kepada atasannya atau tanpa sepengetahuan terdakwa Mohammad Noer Muis (Dandrem Timor Timur) dan Terdakwa Adam R. Damiri (Pangdam Udayana IX) selaku atasan Terdakwa Soedjarwo.17
Majelis Hakim tingkat pertama berpendapat bahwa terdakwa Soedjarwo harus dimintai pertanggungjawaban “pembiaran” (delict by omission) terhadap kejahatan terhadap kemanusiaan. Sedangkan terhadap Terdakwa Mohammad Noer Muis dan Terdakwa Adam R. Damiri selaku atasan Terdakwa Soedjarwo, sekalipun dalam jawaban mereka tidak mengetahui penarikan pasukan tersebut, namun menurut doktrin pertanggungjawaban komandan terdakwa Mohammad Noer Muis dan Adam R. Damiri selaku Komandan “sepatutnya mengetahui atau beralasan untuk mengetahui tindak pidana yang terjadi atau yang akan terjadi. Dengan demikian mata rantai Komandan tersebut tetap dapat dimintai pertanggung jawaban komandan militer, yaitu perbuatan pembiaran (delict by omission),18 karena secara institusi Terdakwa Soedjarwo selaku Dandim Dili, berada di bawah wewenang kekuasaan terdakwa Mohammad Noer Muis dan Adam R. Damiri.
Namun, putusan Pengadilan Tingkat Banding dan Kasasi di Mahkamah Agung telah membatalkan putusan majelis hakim tingkat pertama tersebut, yaitu membebaskan semuanya terdakwa dengan alasan “tidak terbukti” melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan di Timor Timur.19
Contoh kasus serupa pernah dipraktikkan dalam sebuah kasus yang sangat dikenal luas setelah Perang Dunia keII, yaitu kasus kejahatan perang yang dilakukan oleh terdakwa Jenderal Yamashita dari Tokyo – Jepang.20
Yamashita adalah seorang Jenderal yang memimpin pasukan Jepang waktu menduduki kepulauan Filipina pada Perang Dunia keII. Yamashita sebagai seorang Jenderal gagal untuk mencegah tindakan pasukannya di wilayah Filipina hingga terjadi pelanggaran HAM berat seperti pemerkosaan, pembunuhan, dan pembumi hangusan pemukiman penduduk di wilayah
17 Ibid.18 Ibid.19 Sesuai amar putusan Pengadilan Tingkat banding dan kasasi atas nama Terdakwa Letkol Inf. Soedjarwo,
Mohammad Noer Muis dan Adam R. Damiri.20 Victor Hansen, Ghraib: Time For The United States to Adopt A Standard of Command Responsibility Towards
Its Own, Gonzaga Law Review, 20062007, hlm. 10. 15
Filipina dan ibukota Manila. Kejadian berdarah yang terjadi dalam rentang waktu antara 9 Oktober 1944 hingga 3 September 1945 itu telah menelan ribuan korban jiwa baik di pihak sipil Filipina maupun militer Amerika saat itu.
Dalam persidangan Mahkamah Militer Amerika Serikat, Yamashita memberikan pembelaan bahwa pasukannya dalam keadaan kacaubalau, dan bahwa ia berada jauh dari pasukannya dan terputus hubungan komunikasinya dari pasukan yang melakukan kejahatankejahatan. Dan tidak ada cara apapun untuk mengetahui perbuatan pasukannya yang jaraknya ratusan mil dari tempatnya. Namun Mahkamah Militer tetap mengatakan bahwa Yamashita bertanggung jawab atas perbuatanperbuatan pasukannya itu “hanya” dengan pertimbangan bahwa ia adalah komandan (superior) pasukan tersebut, karena tidak mengambil langkahlangkah untuk mencegah kejahatan atau menghukum kejahatan yang dilakukan oleh para pelaku.21
Dalam Putusan Mahkamah Militer telah mempertimbangkan bahwa ia mengetahui atau seharusnya sadar (aware) bahwa kejahatan itu begitu hebat (notorius) dan menyebar. Untuk kejahatan itu Yamashita telah dihukum dengan “Pidana Mati”, dan putusan tersebut dikuatkan oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat.22
Dalam kasus berikutnya, Slobodan Milosevic (mantan Presiden Bosnia di Yugoslavia)23 gagal mencegah terjadinya pelanggaran HAM berat internasional berdasarkan kesaksian dari Komandan Nato Wesley Clark mengatakan bahwa pada tahun 1995 di Srebenica yang menyebabkan lebih dari 8.000 jiwa tereksekusi dan kirakira 354 orang lainnya terbunuh.
21 Dalam pembelaan tersebut ia mengatakan bahwa ia telah kehilangan kontak dengan pasukannya oleh karena sistem komunikasinya telah hancur. Dan sebelumnya telah membagi tanggung jawab militer kepada beberapa perwira tinggi bawahannya dan memerintahkan para perwiranya (pasukannya) untuk meninggalkan Manila dan tidak melakukan kejahatan perang dan tidak mengganggu orang sipil. Namun dengan terbunuhnya sekitar 25.000 orang Pilipina dan menelantarkan 7.000 orang lukaluka, ia tetap dipersalahkan sebagai atasan bertanggung jawab atas perbuatan bawahannya. Ia juga dipersalahkan atas perbuatan bawahannya karena melakukan pembakaran bangunan sipil, memperlakukan 1.500 tawanan perang Amerika dengan tidak manusiawi. Padahal ia sendiri baru menjabat komandan militer hanya 9 hari sebelum pasukan Amerika Serikat menduduki Filipina.
22 Kasus Jenderal Yamashita merupakan contoh kasus terkenal adanya. “Strict Liability” pada seorang komandan militer, di mana ia tetap dipersalahkan sebagai atasan bertanggung jawab atas perbuatan bawahannya yang melakukan kejahatan perang dengan mengabaikan perintahnya dan ia tidak mengetahui perbuatan bawahannya dengan alasan hubungan komunikasi telah terputus. Pakar hukum Internasional Prof. Lauterpacht sendiri dalam pembicaraan untuk menyusun Charter IMT Nuremburg mengusulkan agar bawahan yang beritikad baik yang mengikuti perintah atasan harus dilindungi, kecuali kalau perintah itu betulbetul melanggar hukum, namun usulan itu ditolak.
23 Jared Olanoff, Holding A Head of State Liable for War Crimes: Command Responsibility and The Milosevic Trial, Suffolk Transnational Law Review, Summer 2004, hlm. 6.
16
Milosovic gagal menghukum semua pelaku yang bertanggung jawab terhadap pelaku pembantaian tersebut. Dan Milosovic juga gagal mengirim para pelaku pembantaian itu ke Pengadilan. Namun sangat disayangkan, sebelum kasus ini diputus oleh Pengadilan, Milosovic meninggal dunia, karena sakit jantung.
Berdasarkan doktrin pertanggungjawaban komandan/atasan tersebut, maka keprofesionalitasan seorang Hakim di sini dituntut memiliki pengetahuan di bidang HAM dan memiliki latar belakang konsentrasi hukum pidana dan Tata Negara, serta hubungan internasional, karena konsentrasi ilmu pengetahuan tersebut akan seiring sejalan dalam melahirkan suatu putusan HAM yang berkualitas, manusiawi, berhati nurani dan independen.
Makalah ini disajikan pada acara Focus Group Discussion (FGD) dengan tema : “Hak Memperoleh Keadilan Dalam Perkara Pidana Ditinjau dari Perspektif HAM” oleh Komnas HAM di Hotel Swiss Belhotel Medan tanggal 28 Maret 2009.
* Penulis adalah Ketua Pengadilan Negeri Simalungun dan Hakim HAM pada Pengadilan HAM Adhoc Jakarta
17