Download - Problem Teoritik Dan Implikasi Praktis Atas Perubahan ...

Transcript
Page 1: Problem Teoritik Dan Implikasi Praktis Atas Perubahan ...

Tohadi, Frieda F., dan Dadang G. Problem Teoritik dan Implikasi Praktis... 499

Problem Teoritik Dan Implikasi Praktis Atas Perubahan

Keputusan Tata Usaha Negara

Tohadi, Frieda Fania dan Dadang Gandhi

Fakultas Hukum Universitas Pamulang

Jln. Surya Kencana No. 1 Pamulang

[email protected]; [email protected]; dan [email protected]

Received: 25 Agustus 2019; Accepted: 20 Januari 2020; Published: 17 Februari 2020

DOI: 10.20885/iustum.vol26.iss3.art4

Abstract

The change in the meaning of the State Administration Decree (KTUN) as stipulated in Article 87 of the Government Administration Act raises academic questions when the change had not been made through the amendment to the PTUN Law. This study discusses first, analysis on the change in the meaning of KTUN according to Law No. 30 of 2014 in terms of the theory of repeal and changes in legislation. Second, change in the meaning of KTUN according to Law No. 30 of 2014 in terms of the principles of the statutory rules. Third, implications of changing the meaning of KTUN according to Law No. 30 of 2014 against the absolute competence of PTUN. This is a normative study with qualitative analysis. The results of the study concluded, firstly, based on the theory of changes in legislation, the amendment to the provision of KTUN is not at all appropriate. Because it is done through a law that (the substantive content) is different. Second, the principles of statutory rules, namely lex specialis derogat legi generali, and lex posteriori derogat priori legi are not applicable to the enactment of Article 87 of Law No. 30 of 2014. Third, amendment to the provision of the KTUN according to Article 87 of Law No. 30 of 2014 has expanded the absolute authority of the PTUN to examine, to prosecute, and to decide the unlawful acts committed by the state officials that were previously the authority of the general court.

Keywords: KTUN; PTUN; Statutory Rules

Abstrak

Perubahan pengertian Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) sebagaimana diatur Pasal 87 UU Administrasi Pemerintahan menimbulkan pertanyaan akademik ketika perubahan itu tidak dilakukan melalui perubahan UU PTUN. Penelitian ini membahas: pertama, menganalisis perubahan pengertian KTUN menurut UU No. 30 Tahun 2014 ditinjau dari teori pencabutan dan perubahan peraturan perundang-undangan. Kedua, perubahan pengertian KTUN menurut UU No. 30 Tahun 2014 ditinjau dari asas-asas peraturan perundang-undangan. Ketiga, implikasi perubahan pengertian KTUN menurut UU No. 30 Tahun 2014 terhadap kompetensi absolut PTUN. Penelitian ini merupakan penelitian normatif dan analisis secara kualitatif. Hasil penelitian menyimpulkan, pertama, berdasarkan teori perubahan peraturan perundang-undangan, perubahan ketentuan KTUN tersebut tidak tepat. Karena dilakukan melalui undang-undang yang (materi muatannya) berbeda. Kedua, asas-asas peraturan perundang-undangan, yakni lex specialis derogat legi generali, dan lex posteriori derogat legi priori tidak dapat diberlakukan terhadap berlakunya Pasal 87 UU No. 30 Tahun 2014. Ketiga, perubahan ketentuan KTUN menurut Pasal 87 UU No. 30 Tahun 2014 memperluas kewenangan absolut PTUN yakni memeriksa, mengadili, dan memutus perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh penguasa yang sebelumnya menjadi kewenangan pengadilan umum.

Kata-kata Kunci: KTUN; PTUN; Perundang-undangan

Page 2: Problem Teoritik Dan Implikasi Praktis Atas Perubahan ...

500 Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM NO. 3 VOL. 26 SEPTEMBER 2019: 499 - 520

Pendahuluan

Lahirnya UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (disingkat

UU No. 30 Tahun 2014) sejalan dengan semangat untuk mewujudkan tegaknya negara

hukum Indonesia. Sebab, UU No. 30 Tahun 2014 ini dimaksudkan sebagai upaya

untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemerintahan di mana badan

dan/atau pejabat pemerintahan dalam menggunakan wewenang harus mengacu

pada asas-asas umum pemerintahan yang baik dan berdasarkan ketentuan peraturan

perundang-undangan.1 UU No. 30 Tahun 2014 khususnya Pasal 87 mengatur dan

mengubah pengertian Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) atau beschikking yang

ada dalam UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana

telah diubah dengan UU No. 9 Tahun 2004 dan UU No. 51 Tahun 2009, khususnya

Pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986 jo. Pasal 1 angka 9 UU No. 51 Tahun 2009.

Perubahan pengertian KTUN (beschikking) tersebut sebenarnya mempunyai

sisi positif jika dilihat dari perlindungan hak warga masyarakat. Antara lain,

adanya perubahan konstruksi atau rumusan hukum “Keputusan yang berpotensi

menimbulkan akibat hukum” dari semula “yang menimbulkan akibat hukum”

maka warga masyarakat dapat mengajukan keberatan melalui upaya administratif

atau mengajukan gugatan tata usaha negara tanpa harus benar-benar terkena

akibat hukum lebih dahulu dari suatu KTUN. Apabila sudah berpotensi

menimbulkan akibat hukum, sudah cukup alasan bagi warga masyarakat untuk

mengajukan keberatan melalui upaya administrasi atau mengajukan gugatan tata

usaha negara melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Hal demikian sangat

sesuai dengan esensi utama dari PTUN. Esensi utama kehadiran PTUN adalah

untuk menjaga harmoni antara kepentingan individu yang melekat dalam hak-hak

warga negara dan memberikan kepastian hukum terhadap kepentingan publik

yang pengelolaannya di bawah kontrol pemerintah.2

Keberadaan Peradilan Administrasi atau PTUN dituntut dapat menghasilkan

suatu putusan yang bersifat menyelesaikan sehingga dapat memberikan

pengayoman hukum dan kepastian hukum baik bagi rakyat maupun bagi

1 Lihat Konsideran UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. 2 Nicken Sarwo Rini, “Penyalahgunaan Kewenangan Administrasi Dalam Undang Undang Tindak Pidana

Korupsi”, Jurnal Penelitian Hukum De Jure, Vol.18 No. 2, Juni 2018, hlm. 260.

Page 3: Problem Teoritik Dan Implikasi Praktis Atas Perubahan ...

Tohadi, Frieda F., dan Dadang G. Problem Teoritik dan Implikasi Praktis... 501

administrasi negara (badan atau pejabat tata usaha negara). Dengan kata lain harus

mampu menciptakan keseimbangan kepentingan masyarakat dengan kepentingan

individu.3 Dalam pandangan M. Guntur Hamzah, Guru Besar Hukum Administrasi

Negara Fakultas Hukum Universitas Hasanudin, bahwa paradigma dalam UU No.

30 Tahun 2014 yang lebih menekankan pada partisipasi publik serta perlindungan

warga negara dan pejabat pemerintah secara paralel dapat dikatakan sebagai bentuk

pengembangan dari “administrative” model sebagaimana dikemukakan Javier

Barnes.4 “Administrative” model merupakan versi hybrid dari prosedur yang

merespon perubahan kebutuhan metode baru administrasi pemerintahan. Dalam

model ini, berbagai kebijakan inovasi berusaha untuk menciptakan bentuk-bentuk

partisipasi publik secara lebih efektif. Prosedur ini berlaku untuk pembuatan

keputusan individual maupun aturan sebagai sarana untuk menyalurkan berbagai

kebutuhan publik yang muncul dalam kebijakan publik modern.5

Perubahan pengertian KTUN (beschikking) menimbulkan pertanyaan

akademik karena tidak dilakukan melalui perubahan UU tentang Peradilan Tata

Usaha Negara, yaitu UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara

sebagaimana telah diubah dengan UU No. 9 Tahun 2004 dan UU No. 51 Tahun

2009, melainkan dituangkan atau dicantumkan dalam UU No. 30 Tahun 2014

tentang Administrasi Pemerintahan. Dalam ilmu perundang-undangan, jika akan

mengganti suatu UU atau ketentuan UU dilakukan melalui penggantian atau

perubahan UU atau ketentuan UU. Hal ini dikenal teori pencabutan dan perubahan

peraturan perundang-undangan. Di sisi lain, dalam asas hukum juga dikenal asas-

asas yang berkaitan dengan peraturan perundang-undangan untuk menjelaskan

perubahan UU atau ketentuan UU. Yaitu, utamanya, asas peraturan perundang-

undangan yang menyatakan bahwa hukum yang lebih tinggi mengalahkan atau

mengesampingkan hukum yang rendah (lex superior derogat legi inferiori), hukum

3 Maridjo, “Analisis Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara Mengenai Pemberhentian Kepala Desa di

Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang Nomor: 074/G/2015/PTUN-SMG)”, Serat Acitya – Jurnal Ilmiah UNTAG Semarang, Vol. 5 No. 2, 2016, hlm. 32-33.

4 M. Guntur Hamzah, “Paradigma Baru Penyelenggaraan Pemerintahan Berdasarkan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan (Kaitannya dengan Perkembangan Hukum Acara Peratun)”, Makalah disampaikan pada Seminar Sehari dalam rangka HUT Peradilan Tata Usaha Negara ke-26 dengan tema: Paradigma Baru Penyelenggaraan Pemerintahan Berdasarkan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, kaitannya dengan Perkembangan Hukum Acara Peratun, yang diselenggarakan di Hotel Mercure, Jakarta, 26 Januari 2016.

5 Ibid.

Page 4: Problem Teoritik Dan Implikasi Praktis Atas Perubahan ...

502 Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM NO. 3 VOL. 26 SEPTEMBER 2019: 499 - 520

yang baru mengalahkan atau mengesampingkan hukum yang lama (lex posterior

derogat legi priori), dan hukum yang khusus mengalahkan atau mengesampingkan

hukum yang umum (lex specialis derogat legi generali).6

Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti tertarik untuk meninjau perubahan

pengertian KTUN dimaksud dari sisi teori pencabutan dan perubahan peraturan

perundang-undangan maupun asas-asas peraturan perundang-undangan, dan

implikasinya terhadap kompetensi absolut Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Rumusan Masalah

Peneliti merumuskan masalah-masalah yang diteliti, sebagai berikut: pertama,

bagaimanakah perubahan pengertian KTUN (beschikking) menurut UU No. 30

Tahun 2014 ditinjau dari teori pencabutan dan perubahan peraturan perundang-

undangan? Kedua, bagaimanakah perubahan pengertian KTUN (beschikking)

menurut UU No. 30 Tahun 2014 ditinjau dari asas-asas peraturan perundang-

undangan? Ketiga, bagaimanakah implikasi perubahan pengertian KTUN

(beschikking) menurut UU No. 30 Tahun 2014 terhadap kompetensi absolut PTUN?

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan pertama untuk menganalisis perubahan pengertian

KTUN (beschikking) menurut UU No. 30 Tahun 2014 ditinjau dari teori pencabutan

dan perubahan peraturan perundang-undangan. Kedua, untuk menganalisis

perubahan pengertian KTUN (beschikking) menurut UU No. 30 Tahun 2014 ditinjau

dari asas-asas peraturan perundang-undangan. Ketiga, untuk menganalisis

implikasi perubahan pengertian KTUN (beschikking) menurut UU No. 30 Tahun

2014 terhadap kompetensi absolut PTUN.

6 Lihat M. Solly Lubis, Landasan dan Teknik Perundang-undangan, Cetakan Pertama, Alumni, Bandung, 1977, hlm.

125; Irawan Soejito, Teknik Membuat Undang-Undang, Cet. 4, Pradnya Paramita, Jakarta, 1988, hlm. 112; Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Perihal Kaedah Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, hlm. 7-11; Amiroeddin Syarif, Perundang-undangan, Dasar, Jenis dan Teknik Membuatnya, Bina Aksara, Jakarta, 1987, hlm. 78-84; dan Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Edisi Ketiga, Cetakan Pertama, Liberty, Yogyakarta, 1999, hlm. 72-74.

Page 5: Problem Teoritik Dan Implikasi Praktis Atas Perubahan ...

Tohadi, Frieda F., dan Dadang G. Problem Teoritik dan Implikasi Praktis... 503

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian normatif dengan melakukan penelitian

kepustakaan atau data sekunder.7 Sifat penelitian ini merupakan penelitian

deskriptif yang bertujuan menggambarkan secara lengkap ciri-ciri dari suatu

keadaan, perilaku pribadi dan perilaku kelompok, serta untuk menentukan

frekuensi suatu gejala.8

Penelitian ini menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan

(statute approach) dan pendekatan konsep (concept approach). Konsep yang dianalisis

khususnya mengenai KTUN. Sedangkan peraturan perundang-undangan yang

digunakan sebagai alat analisis terutama, yaitu UU No. 5 Tahun 1986 tentang

Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan UU No. 9 Tahun

2004 dan UU No. 51 Tahun 2009 serta UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi

Pemerintahan.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data

sekunder terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan

hukum tersier. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang mengikat,

yakni semua aturan atau produk yang dibuat oleh badan legislatif, eksekutif, badan

yudisial, seperti peraturan perundang-undangan, hukum adat, yurisprudensi dan

traktat. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan

terhadap bahan hukum primer seperti rancangan undang-undang, buku teks, hasil

penelitian, jurnal hukum, notulen, makalah, hasil seminar, bulletin, majalah hukum,

hasil karya dari ahli hukum dan seterusnya. Bahan hukum tertier amerupakan bahan

hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum

primer dan bahan hukum sekunder, misalnya ensiklopedia, indek kumulatif,

bibliografi, daftar pustaka, katalog-katalog penerbitan, dan sebagainya.9 Alat

pengumpulan data menggunakan studi dokumen.10

7 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Pers,

Jakarta, 2004, hlm. 13. 8 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1982, hlm. 49, 53, dan 96. 9 Lihat Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op. Cit., hlm. 13-14; Soerjono Soekanto, Op. Cit., hlm. 52;

dan Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum, Konsep dan Metode, Setara Press, Malang, 2013, hlm. 69-70. 10 Soerjono Soekanto, Loc. Cit.

Page 6: Problem Teoritik Dan Implikasi Praktis Atas Perubahan ...

504 Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM NO. 3 VOL. 26 SEPTEMBER 2019: 499 - 520

Penelitian ini menggunakan analisis data atau analisis hasil secara kualitatif.

Data-data awal terlebih dahulu akan diedit sehingga kesalahan-kesalahan dapat

diperbaiki dan tidak ada keragu-raguan. Data-data kualitatif yang terkumpul

dipisah-pisahkan menurut kategori masing-masing untuk kemudian ditafsirkan

dalam usaha menjawab masalah penelitian.11

Hasil Penelitian dan Pembahasan

Perubahan Pengertian Keputusan Tata Usaha Negara (Beschikking) Menurut UU No. 30 Tahun 2014 Ditinjau dari Teori Pencabutan dan Perubahan Peraturan Perundang-undangan

Sebelum berlakunya ketentuan Pasal 87 UU No. 30 Tahun 2014 tentang

Administrasi Pemerintahan, pengertian KTUN (beschikking) diatur dalam UU No.

5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara jis. UU No. 9 Tahun 2004

tentang Perubahan Atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha

Negara dan UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 5 Tahun

1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Khususnya dalam Pasal 1 angka 3 UU

No. 5 Tahun 1986 jo. Pasal 1 angka 9 UU No. 51 Tahun 2009.

Pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986 jo. Pasal 1 angka 9 UU No. 51 Tahun

2009 menyebutkan:

Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Dalam Penjelasan Pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986 disebutkan dengan

rinci, sebagai berikut:

Istilah “penetapan tertulis” terutama menunjuk kepada isi dan bukan kepada bentuk keputusan yang dikeluakan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Keputusan itu memang diharuskan tertulis, namun yang disyaratkan tertulis bukanlah bentuk formalnya seperti surat keputusan pengangkatan dan sebagainya. Persyaratan tertulis itu diharuskan untuk kemudahan segi pembuktian. Oleh karena itu sebuah memo atau nota dapat memenuhi syarat tertulis tersebut dan akan merupakan suatuu Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara menurut undang-undang ini apabila sudah jelas :

11 Maria S.W. Sumardjono, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian, t.p., Yogyakarta, 1989, hlm. 24.

Page 7: Problem Teoritik Dan Implikasi Praktis Atas Perubahan ...

Tohadi, Frieda F., dan Dadang G. Problem Teoritik dan Implikasi Praktis... 505

a. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara mana yang mengeluarkannya; b. maksud serta mengenai hal apa isi tulisan itu; c. kepada siapa tulisan itu ditujukan dan apa yang ditetapkan di dalamnya. Badan atau pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat di pusat dan daerah yang melakukan kegiatan yang bersifat eksekutif. Tindakan hukum Tata Usaha Negara adalah perbuatan hukum Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersumber pada suatu ketentuan hukum Tata Usaha Negara yang dapat menimbulkan hak atau kewajiban pada orang lain. Bersifat konkret, artinya objek yang diputuskan dalam Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak abstrak, tetapi berwujud, tertentu atau dapat ditentukan, umpamanya keputusan mengenai rumah si A, izin usaha bagi si B, pemberhentian si A sebagai pegawai negeri. Bersifat individual artinya Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak ditujukan untuk umum, tetapi tertentu baik alamat maupun hal yang dituju. Kalau yang dituju itu lebih dari seorang, tiap-tiap nama orang yang terkena keputusan itu disebutkan. Umpamanya, keputusan tentang pembuatan atau pelebaran jalan dengan lampiran yang menyebutkan nama-nama orang yang terkena keputusan tersebut. Bersifat final artinya sudah definitif dan karenanya dapat menimbulkan akibat hukum. Keputusan yang masih memerlukan persetu-juan instansi atasan atau instansi lain belum bersifat final karenanya belum dapat menimbulkan suatu hak atau kewajiban pada pihak yang bersangkutan. Umpamanya, keputusan pengangkatan seorang pegawai negeri memerlu-kan persetujuan dari Badan Adminitrasi Kepegawaian Negara.

UU No. 51 Tahun 2009 mengubah Pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986.

Melalui UU No. 5 Tahun 2009 ini, pengertian KTUN diatur dalam Pasal 1 angka 9,

sebagaimana disebutkan:

Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Jika dibaca ketentuan Pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986 dengan Pasal 1

angka 9 UU No. 51 Tahun 2009 tidak ada perubahan redaksi sama sekali. Namun

Penjelasan Pasal 1 angka 9 UU No. 51 Tahun 2009 disebutkan “Cukup jelas”.

Dengan demikian, untuk memahami unsur-unsur pengertian KTUN, maka dapat

dibaca pada Penjelasan Pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986 jo. Pasal 1 angka 9

UU No. 51 Tahun 2009 yang menjelaskan unsur-unsur dari KTUN tersebut.

Page 8: Problem Teoritik Dan Implikasi Praktis Atas Perubahan ...

506 Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM NO. 3 VOL. 26 SEPTEMBER 2019: 499 - 520

Setelah berlakunya UU No. 30 Tahun 2014, KTUN mengalami perubahan.

Mengenai pengertian KTUN disebutkan dalam Pasal 87 UU No. 30 Tahun 2014,

yang berbunyi:

Dengan berlakunya UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan ini, Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang- Undang Nomor 51 Tahun 2009 harus dimaknai sebagai: a. Penetapan tertulis yang juga mencakup tindakan faktual; b. Keputusan Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan

eksekutif, legislatif, yudikatif, dan penyelenggara negara lainnya; c. Berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan AUPB; d. Bersifat final dalam arti lebih luas; e. Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum; dan/atau f. Keputusan yang berlaku bagi warga masyarakat.

Dalam Penjelasan Pasal 87 huruf d UU No. 30 Tahun 2014 disebutkan, “Yang

dimaksud dengan “final dalam arti luas” mencakup Keputusan yang diambil alih

oleh Atasan Pejabat yang berwenang.”

Pasal 87 UU No. 30 Tahun 2014 mengubah dan/atau memperluas makna

KTUN yang dimaksud dalam UU No. 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah

dengan UU No. 9 Tahun 2004 dan UU No. 51 Tahun 2009 meliputi hal-hal:

(1) Penetapan tertulis yang juga mencakup tindakan faktual, dari sebelumnya sebagai penetapan tertulis;

(2) Keputusan Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan penyelenggara negara lainnya, dari sebelumnya hanya di lingkungan eksekutif;

(3) Berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan AUPB (Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik), dari sebelumnya hanya berdasarkan ketentuan perundang-undangan;

(4) Bersifat final dalam arti lebih luas, dari sebelumnya hanya bersifat final; (5) Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum, dari

sebelumnya keputusan yang menimbulkan akibat hukum; (6) Keputusan yang berlaku bagi warga masyarakat, dari sebelumnya bagi

seseorang atau badan hukum perdata.

Unsur-unsur KTUN pasca berlakunya UU No. 30 Tahun 2014 khususnya

Pasal 87 terdiri dari hal-hal berikut ini:

(1) Penetapan tertulis termasuk tindakan faktual; (2) Dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara di lingkungan

eksekutif, legislatif, yudikatif, dan penyelenggara negara lainnya;

Page 9: Problem Teoritik Dan Implikasi Praktis Atas Perubahan ...

Tohadi, Frieda F., dan Dadang G. Problem Teoritik dan Implikasi Praktis... 507

(3 Berisi tindakan hukum tata usaha negara; (4) Berdasarkan peraturan perundang-undangan dan AUPB (Asas-Asas

Umum Pemerintahan yang baik); (5) Bersifat konkret, individual, dan final dalam arti luas; (6) Berpotensi menimbulkan akibat hukum; dan (7) Berlaku bagi warga masyarakat.

Perbedaan Keputusan Tata Usaha Negara pasca berlakunya UU No. 30 Tahun

2014 digambarkan dalam tabel sebagai berikut:

Tabel

Pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986 jo. Pasal 1 angka 9

UU No. 51 Tahun 2009 Pasal 87 UU No. 30 Tahun 2014

(1) Penetapan tertulis; (2) Dikeluarkan oleh badan

atau pejabat tata usaha negara;

(3) Berisi tindakan hukum tata usaha negara;

(4) Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

(5) Bersifat konkret, individual, dan final; dan

(6) Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

1) Penetapan tertulis termasuk tindakan faktual;

2) Dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara di lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan penyelenggara negara lainnya;

3) Berisi tindakan hukum tata usaha negara; 4) Berdasarkan peraturan perundang-

undangan dan AUPB (Asas-Asas Umum Pemerintahan yang baik);

5) Bersifat konkret, individual, dan final dalam arti luas;

6) Berpotensi menimbulkan akibat hukum; dan 7) Berlaku bagi warga masyarakat.

Ilmu perundang-undangan mengenal cara mengganti undang-undang atau

ketentuan undang-undang, yaitu melalui pencabutan undang-undang dan perubahan

undang-undang.12 Maria Farida Indrati membedakan pengertian pencabutan

peraturan perundang-undangan dengan pengertian perubahan peraturan

perundang-undangan. Oleh karenanya, pencabutan peraturan perundang-undangan

bukan sebagai bagian dari perubahan peraturan perundang-undangan.13

Irawan Soejito menggunakan istilah “meniadakan suatu peraturan

perundang-undangan”. Menurutnya, setiap peraturan perundang-undangan

umum (Undang-undang, Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-

12 Lihat Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-undangan Proses dan Teknik Pembentukannya, Cetakan ke-5,

Kanisius, Yogyakarta, 2011, hlm. 174-181 13Ibid., hlm. 174.

Page 10: Problem Teoritik Dan Implikasi Praktis Atas Perubahan ...

508 Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM NO. 3 VOL. 26 SEPTEMBER 2019: 499 - 520

undang dan Peraturan Pemerintah), baik yang sudah mulai berlaku, maupun yang

belum, dapat ditiadakan, apabila:

1). Masalah yang diatur di dalamnya itu kemudian diatur kembali seluruhnya dalam suatu peraturan perundang-undangan umum baru;

2). Masalah yang diatur di dalamnya itu sudah tidak dipandang perlu lagi oleh masyarakat.14

Dilihat dari ilmu perundang-undangan, sebagaimana dikemukakan Maria

Farida Indrati dan Irawan Soejito, maka berlakunya UU No. 30 Tahun 2014 bukan

dengan melakukan pencabutan, tetapi melakukan perubahan terhadap UU No. 5

Tahun 1986 jis. UU No. 9 Tahun 2004 dan UU No. 51 Tahun 2009. Karena dengan

berlakunya UU No. 30 Tahun 2014 tidak berakibat terhadap tidak berlakunya UU

No. 5 Tahun 1986 jis. UU No. 9 Tahun 2004 dan UU No. 51 Tahun 2009. Dengan

adanya UU No. 30 Tahun 2014, maka tetap berlaku UU No. 5 Tahun 1986 jis. UU

No. 9 Tahun 2004 dan UU No. 51 Tahun 2009.

Berlakunya ketentuan Pasal 87 UU No. 30 Tahun 2014 bukan melakukan

pencabutan, tetapi melakukan perubahan terhadap ketentuan KTUN sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986 jo. Pasal 1 angka 9 UU No.

51 Tahun 2009. Ketentuan Pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986 jo. Pasal 1 angka 9

UU No. 51 Rahun 2009 tetap berlaku. Hanya saja, ketentuan KTUN sebagaimana

dalam Ketentuan Pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986 jo. Pasal 1 angka 9 UU No.

51 Tahun 2009 pengertiannya diubah dan/atau maknanya diperluas.

Berdasarkan teori perubahan peraturan perundang-undangan, bahwa

perubahan suatu peraturan perundang-undangan dilakukan, apabila terdapat

ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan tersebut yang tidak

sesuai lagi dengan situasi atau kondisi yang berlaku dalam masyarakat.15 Menurut

pendapat Irawan Soejito, mengubah adalah membuat sesuatu berbeda bentuknya

dari bentuk yang semula, sehingga di dalam merubah termasuk pula menambah

atau mengurangi, dan mengganti sebagian dari padanya.16 Lebih lanjut Irawan

Soejito menyatakan perubahan itu dapat berupa:

14 Irawan Soejito, Op. Cit., hlm. 111. 15 Ibid., hlm. 179. 16 Irawan Soejito, Op. Cit., hlm. 145.

Page 11: Problem Teoritik Dan Implikasi Praktis Atas Perubahan ...

Tohadi, Frieda F., dan Dadang G. Problem Teoritik dan Implikasi Praktis... 509

a. menambah ketentuan baru, baik berbentuk bab, bagian, paragraf atau pasal baru, maupun ayat baru pada pasal lama;

b. mengubah bunyi pasal atau ayat lama; c. menyisipkan suatu ketentuan atau perkataan; d. menghapuskan bab, bagian, paragraf, pasal, ayat, kalimat, bagian kalimat

atau perkataan tertentu; dan lain sebagainya.17

Menurut Maria Farida Indrati S., perubahan suatu peraturan perundang-

undangan dapat meliputi hal-hal sebagai berikut:

1. Menambah atau menyisipkan ketentuan baru, menyempurnakan atau menghapus ketentuan yang sudah ada, baik yang berbentuk bab, bagian, paragraf, pasal, ayat, maupun perkataan, angka, huruf, tanda baca dan lain-lainnya.

2. Mengganti suatu ketentuan dengan ketentuan lain, baik yang berbentuk Bab, bagian, paragraf, pasal, ayat, maupun perkataan, angka, huruf, tanda baca dan lain-lainnya.18

Dalam mengadakan perubahan terhadap suatu peraturan perundang-

undangan, Maria Farida Indrati S., memberikan catatan hal-hal yang harus

diperhatikan, yaitu:

a. Perubahan suatu peraturan perundang-undangan dilakukan oleh pejabat yang berwenang membentuknya, berdasarkan pada prosedur yang berlaku, dan dengan suatu peraturan perundang-undangan yang sejenis (atau setingkat).

b. Perubahan suatu peraturan perundang-undangan diharapkan dilakukan secara baik tanpa mengubah sistematika dari peraturan perundang-undangan yang diubah.

c. Dalam suatu peraturan perubahan, perumusan judul hendaknya disebut peraturan perundang-undangan mana yang diubah dan untuk perubahan yang kedua kali dan selanjutnya disebutkan dengan jelas perubahan yang keberapa kalinya.

d. Dalam konsideran dari peraturan perundang-undangan yang diubah harus dikemukakan alasan-alasan atau pertimbangan-pertimbangan lainnya mengapa peraturan yang lama perlu diadakan perubahan.

e. Batang tubuh suatu peraturan perundang-undangan yang diubah hanya terdiri atas dua pasal yang ditulis dengan angka Romawi. Dalam kedua Pasal tersebut dimuat ketentuan sebagai berikut: 1) Pasal I memuat segala sesuatu perubahan, dengan diawali penyebutan

peraturan perundang-undangan yang diubah, dan urutan perubahan-perubahan tersebut hendaknya ditulis dengan angka Arab 1, 2, 3 dan selanjutnya.

17 Ibid. 18 Maria Farida Indrati S., Loc. Cit.

Page 12: Problem Teoritik Dan Implikasi Praktis Atas Perubahan ...

510 Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM NO. 3 VOL. 26 SEPTEMBER 2019: 499 - 520

2) Pasal II memuat ketentuan mengenai mulai berlakunya peraturan

perubahan tersebut. f. Apabila suatu peraturan perundang-undangan sudah mengalami

perubahan berulang kali, maka sebaiknya peraturan perundang-undangan tersebut dicabut dan diganti dengan peraturan perundang-undangan yang baru.

g. Apabila pembuat peraturan perundang-undangan berniat mengubah suatu peraturan perundang-undangan secara besar-besaran, maka demi kepentingan pemakai peraturan perundang-undangan tersebut dipandang lebih baik apabila dibentuk peraturan perundang-undangan yang baru.19

Berdasarkan teori perubahan peraturan perundang-undangan tersebut,

mengubah pengertian dan/atau memperluas makna KTUN yang ada dalam

ketentuan Pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986 jo. Pasal 1 angka 9 UU No. 51

Tahun 2009 dibenarkan. Namun demikian, hemat peneliti, perubahan tersebut

selain harus dilakukan dengan suatu peraturan perundang-undangan yang sejenis

(atau setingkat) dalam hal ini diubah dengan jenis dan tingkat yang sama yaitu

undang-undang, juga harus dilakukan dalam undang-undang yang memuat

materi yang sama (materi muatannya sama).

Sebagaimana telah dikemukakan oleh Maria Farida Indrati di atas, bahwa

perubahan suatu peraturan perundang-undangan dilakukan oleh pejabat yang

berwenang membentuknya, berdasarkan pada prosedur yang berlaku, dan dengan

suatu peraturan perundang-undangan yang sejenis (atau setingkat). 20

Merujuk pada UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan (UU No. 12 Tahun 2011) pada Pasal 7 ayat (1), pengertian

jenis dan tingkat (hierarki) peraturan perundang-undangan meliputi Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia (1945 UUD 1945), Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR), Undang-Undang (UU)/Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu), Peraturan Pemerintah (PP),

Peraturan Presiden (Perpres), Peraturan Daerah Provinsi (Perda Provinsi), dan

Peraturan Daerah Kabupaten/Kota (Perda Kabupaten/Kota). Selain itu, mengacu

Pasal 8 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011, jenis Peraturan Perundang-undangan

mencakup peraturan yang ditetapkan oleh MPR, DPR, DPD, MA, MK, BPK, KY,

19 Maria Farida Indrati S., Ibid., hlm. 179-180. 20 Maria Farida Indrati S., Ibid., hlm. 180.

Page 13: Problem Teoritik Dan Implikasi Praktis Atas Perubahan ...

Tohadi, Frieda F., dan Dadang G. Problem Teoritik dan Implikasi Praktis... 511

Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang

dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-

Undang, DPRD Provinsi, Gubernur, DPRD Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota,

Kepala Desa atau yang setingkat.

Pendapat Maria Farida Indrati S dikaitkan dengan ketentuan Pasal 7 ayat (1)

dan Pasal 8 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011, menurut hemat peneliti, pasal tersebut

menjelaskan bahwa perubahan undang-undang harus dilakukan dengan

peraturan perundang-undangan yang sejenis, yaitu melalui undang-undang. Atau

perubahan undang-undang harus dilakukan dengan peraturan perundang-

undangan yang setingkat, yaitu melalui undang-undang atau melalui Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Perppu sesuai ketentuan Pasal 7

ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 merupakan peraturan perundang-undangan yang

setingkat dengan UU.

Maria Farida Indrati mengemukakan bahwa dalam suatu peraturan

perubahan, perumusan judul hendaknya disebut peraturan perundang-undangan

mana yang diubah dan untuk perubahan yang kedua kali dan selanjutnya

disebutkan dengan jelas perubahan yang keberapa kalinya. 21 Pernyataan Maria

Farida Indrati menurut hemat peneliti menunjukkan bahwa dalam perubahan

peraturan perundang-undangan harus dilakukan, pertama, melalui peraturan

perundang-undangan yang (materi muatannya) sama dan kedua, dengan

merumuskan judul perubahan atas peraturan perundang-undangan perubahan

tersebut untuk yang keberapa kalinya.

Hal tersebut dikuatkan dengan adanya ketentuan Pasal 5 huruf c UU No. 12

Tahun 2011 yang menyatakan bahwa dalam membentuk peraturan perundang-

undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas pembentukan peraturan

perundang-undangan yang baik, yang meliputi kesesuaian antara jenis, hierarki,

dan materi muatan. Materi muatan dalam batang tubuh peraturan perundang-

undangan pada umumnya dikelompokkan ke dalam: a. ketentuan umum; b. materi

21 Maria Farida Indrati S., Ibid., hlm. 180.

Page 14: Problem Teoritik Dan Implikasi Praktis Atas Perubahan ...

512 Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM NO. 3 VOL. 26 SEPTEMBER 2019: 499 - 520

pokok yang diatur; c. ketentuan pidana (jika diperlukan); d. ketentuan peralihan

(jika diperlukan); dan e. ketentuan penutup.22

Perubahan ketentuan KTUN sebagaimana dalam Pasal 1 angka 3 UU No. 5

Tahun 1986 jo. Pasal 1 angka 9 UU No. Tahun 2009 yang dilakukan dengan

pengaturan melalui Pasal 87 UU No. 30 Tahun 2014 adalah tidak tepat. Hal tersebut

disebabkan perubahannya dilakukan melalui pengaturan undang-undang yang

(materi muatannya) berbeda. Perubahan pengaturan mengenai KTUN dilakukan

di dalam UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, bukan

melalui perubahan selanjutnya dalam UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata

Usaha Negara yang mengatur pengertian KTUN sebelumnya.

UU No. 5 Tahun 1986 memuat materi pokok mengenai Peradilan Tata Usaha

Negara, maka perubahan atas UU No. 5 Tahun 1986 harus dilakukan melalui UU

yang memuat materi pokok yang sama dalam hal ini PTUN. Bukan dilakukan

melalui UU yang memuat materi pokok yang berlainan dalam hal ini UU No. 30

Tahun 2014 yang memuat materi pokok mengenai Administrasi Pemerintahan.

Perubahan Pengertian Keputusan Tata Usaha Negara (Beschikking) Menurut UU No. 30 Tahun 2014 Ditinjau dari Asas-Asas Peraturan Perundang-undangan

Peneliti pada bagian ini menggunakan asas-asas peraturan perundang-

undangan untuk meninjau perubahan pengertian KTUN dan/atau perluasan

maknanya atas ketentuan Pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986 jo. Pasal 1 angka 9

UU No. 51 Tahun 2009 menyusul berlakunya Pasal 87 UU No. 30 Tahun 2014. Asas-

asas tersebut diantaranya, yaitu asas peraturan perundang-undangan yang lebih

tinggi mengalahkan yang lebih rendah (lex superior derogat legi inferiori), asas

peraturan yang khusus akan melumpuhkan peraturan yang umum (lex specialis

derogat legi generali), dan asas peraturan yang baru mengalahkan atau

melumpuhkan peraturan yang lama (lex posteriori derogat legi priori). Namun,

karena perubahan Pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986 jo. Pasal 1 angka 9 UU No.

51 Tahun 2009 dilakukan dengan peraturan perundang-undangan yang setingkat,

yaitu melalui Pasal 87 UU No. 30 Tahun 2014, maka asas peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi mengalahkan yang lebih rendah (lex superior derogat

22 Lihat Lampiran II UU No. 12 Tahun 2011 mengenai Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-

undangan, Bab I Kerangka Peraturan Perundang-Undangan, huruf C Batang Tubuh, angka 62

Page 15: Problem Teoritik Dan Implikasi Praktis Atas Perubahan ...

Tohadi, Frieda F., dan Dadang G. Problem Teoritik dan Implikasi Praktis... 513

legi inferiori) tidak dapat digunakan untuk menganalisis perubahan dan/atau

perluasan pengertian KTUN tersebut.

Asas peraturan perundang-undangan yang mengatur peraturan yang khusus

akan melumpuhkan peraturan yang umum sifatnya (lex specialis derogat legi

generalis) diterapkan jika ada ketentuan yang bersifat khusus berlawanan dengan

ketentuan yang bersifat umum. Dan ketentuan yang bersifat khusus-lah yang

didahulukan berlakunya. Oleh karena pengaturan KTUN dalam Pasal 87 UU No.

30 Tahun 2014 secara kategoris tidaklah berlawanan, melainkan mengubah

pengertian dan/atau memperluas maknanya, maka asas lex specialis derogat legi

generalis tidak dapat diberlakukan untuk meniadakan berlakunya ketentuan Pasal

1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986 jo. Pasal 1 angka 9 UU No. 51 Tahun 2009.

Jika diundangkan peraturan baru yang tidak mencabut peraturan yang lama

yang mengatur materi yang sama, sedangkan kedua-duanya saling bertentangan

satu sama lain, maka peraturan yang baru mengalahkan atau melumpuhkan

peraturan yang lama. Ini dinamakan asas lex posteriori derogat legi priori.

Mengenai adanya ketentuan Pasal 87 UU 30/2014 ini, H.M. Laica Marzuki,

berpendapat:23

Secara mutatis mutandis, hanya perlu diadakan penyesuaian (aanpassing) terhadap UU No. 30 Tahun 2014 dimaksud sepanjang berkaitan dengan kekhususan prosedural daripadanya. Asas lex posterior derogat legi priori (= undang-undang yang datang kemudian menyampingkan undang-undang terdahulu) tidak relevan dengan pemberlakuan UU No. 30 Tahun 2014.

Menurut M. Laica Marzuki, 24 bahwa dengan berlakunya UU No. 30 Tahun

2014, maka ketentuan yang ada pada UU No. 5 Tahun 1986 jis. UU No. 9 Tahun

2004 dan UU No. 51 Tahun 2009 hanya perlu menyesuaikan (aanpassing) dengan

ketentuan yang ada pada UU No. 30 Tahun 2014. Pemberlakuan UU No. 30 Tahun

2014, menurutnya, tidak menyampingkan UU No. 5 Tahun 1986 1986 jis. UU No. 9

23 M. Laica Marzuki, “Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi

Pemerintahan dalam Konteks Perkembangan Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara RI”, dalam http://ptun-jakarta.go.id/wp-content/uploads/file/makalah_narasumber_hut_peratun_2017/prof_dr_hm_laica_ marzuki_sh/Pemberlakuan%20UU%20NO.%2030%20Tahun%202014%20Tentang%20Administrasi%20Pemerintahan%20.pdf, diakses tanggal 10 Mei 2017.

24Ibid.

Page 16: Problem Teoritik Dan Implikasi Praktis Atas Perubahan ...

514 Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM NO. 3 VOL. 26 SEPTEMBER 2019: 499 - 520

Tahun 2004 dan UU No. 51 Tahun 2009. Dengan demikian, asas lex posteriori derogat

legi priori tidak dapat diberlakukan. Peneliti sependapat dengan M. Laica Marzuki,

bahwa terkait pengaturan ketentuan KTUN dalam Pasal 87 UU No. 30 Tahun 2014

tidak dimaksudkan untuk meniadakan ketentuan KTUN dalam UU No. 5 Tahun

1986 jis. UU No. 9 Tahun 2004 dan UU No. 51 Tahun 2009 khususnya Pasal 1 angka

3 UU No. 5 Tahun 1986 jo. Pasal 1 angka 9 UU No. 51 Tahun 2009.

Berdasarkan paparan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa asas-asas

peraturan perundang-undangan, yakni asas peraturan perundang-undangan yang

lebih tinggi mengalahkan yang lebih rendah (lex superior derogat legi inferiori), asas

peraturan yang khusus akan melumpuhkan peraturan yang umum (lex specialis

derogat legi generali), dan asas peraturan yang baru mengalahkan atau

melumpuhkan peraturan yang lama (lex posteriori derogat legi priori) tidak dapat

diberlakukan untuk meninjau secara akademik berlakunya Pasal 87 UU No. 30

Tahun 2014 terhadap ketentuan Pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986 jo. Pasal 1

angka 9 UU No. 51 Tahun 2009. Secara prinsip, berlakunya Pasal 87 UU No. 30

Tahun 2014 tidak meniadakan, melainkan hanya mengubah pengertian dan/atau

memperluas makna ketentuan KTUN yang ada dalam Pasal 1 angka 3 UU No. 5

Tahun 1986 jo. Pasal 1 angka 9 UU No. 51 Tahun 2009 tersebut.

Implikasi Perubahan Pengertian Keputusan Tata Usaha Negara (Beschikking) Menurut UU No. 30 Tahun 2014 Terhadap Kompetensi Absolut Pengadilan Tata Usaha Negara

Merujuk pada pengertian KTUN atau beschikking sebagaimana dalam UU No.

5 Tahun 1986 jis. UU No. 9 Tahun 2004 dan UU No. 51 Tahun 2009 khususnya Pasal

1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986 jo. Pasal 1 angka 9 UU No. 51 Tahun 2009

dihubungkan dengan ketentuan Pasal 1 angka 4 UU No. 5 Tahun 1986 jo. Pasal 1

angka 10 UU No. 51 Tahun 2009, maka kompetensi absolut PTUN adalah

memeriksa, mengadili, dan memutus sengketa tata usaha negara (sengketa TUN).

Pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986 jo. Pasal 1 angka 9 UU No. 51 Tahun

2009 menyatakan:

Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat

Page 17: Problem Teoritik Dan Implikasi Praktis Atas Perubahan ...

Tohadi, Frieda F., dan Dadang G. Problem Teoritik dan Implikasi Praktis... 515

dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Merujuk pada ketentuan di atas, orang atau badan hukum perdata yang

kepentingannya dirugikan oleh suatu KTUN, maka yang bersangkutan

mengajukan hak gugat pada PTUN.

KTUN di sini sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986

jo. Pasal 1 angka 9 UU No. 51 Tahun 2009 dan telah diulas sebelumnya, memiliki

unsur-unsur:

(1)Penetapan tertulis; (2)Dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara; (3)Berisi tindakan hukum tata usaha negara; (4)Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; (5)Bersifat konkret, individual, dan final; dan (6)Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata

Namun demikian, jika yang merugikan kepentingan orang atau badan

hukum perdata tersebut berupa tindakan faktual, bukan penetapan tertulis, dari

badan atau pejabat tata usaha negara, maka bukanlah merupakan komptenensi

absolut dari PTUN. Melainkan komptensi absolut pengadilan umum atau

Pengadilan Negeri (PN). Jadi, jika ada perbuatan melawan hukum yang dilakukan

oleh penguasa atau badan atau pejabat tata usaha negara (onrechtmatige overheids

daad) yang merugikan orang atau badan hukum perdata harus diajukan pada PN.

Seiring dengan adanya ketentuan Pasal 87 UU No. 30 Tahun 2014 yang

mengubah pengertian KTUN sebagaimana dalam ketentuan Pasal 1 angka 3 UU

No. 5 Tahun1986 jo. Pasal 1 angka 9 UU No. 51 Tahun 2009 a quo, maka kompetensi

absolut dari PTUN mengalami perubahan atau perluasan.

Hemat peneliti, ada dua hal pokok perubahan atau perluasan kompetensi

absolut PTUN sebagai implikasi dari perubahan dan/atau perluasan pengertian

KTUN dimaksud. Pertama, kompetensi absolut PTUN tidak hanya memeriksa,

mengadili dan memutus sengketa keputusan administrasi pemerintahan atau

KTUN, tetapi juga termasuk memeriksa, mengadili dan memutus sengketa

tindakan administrasi pemerintahan. Hal ini oleh karena unsur “penetapan

tertulis” dalam pengertian KTUN sebelumnya berubah dan diperluas menjadi

Page 18: Problem Teoritik Dan Implikasi Praktis Atas Perubahan ...

516 Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM NO. 3 VOL. 26 SEPTEMBER 2019: 499 - 520

“termasuk tindakan faktual”. Jika ada tindakan faktual dari penguasa atau badan

atau pejabat tata usaha negara yang melawan hukum atau merugikan kepentingan

seseorang atau badan hukum perdata (onrechtmatige overheids daad), maka merujuk

pada ketentuan Pasal 87 UU No. 30 Tahun 2014 kini menjadi kompetensi absolut

PTUN dari sebelumnya menjadi kompetensi absolut PN.

Sejalan dengan pendapat peneliti, Dola Riza menyatakan apabila

dibandingkan, UU No. 30 Tahun 2014, memperluas objek sengketa tata usaha

negara yakni dengan menjadikan perbuatan materiil (materiele daad) sebagai bagian

dari pengertian keputusan tata usaha negara, sehingga tidak hanya terbatas dalam

ranah pembuatan, penerbitan dan keabsahan keputusan tata usaha negara,

melainkan juga telah memasukkan tindakan faktual (materiil) dalam rangka

pelaksanaan keputusan tata usaha negara dalam menjalankan fungsi

pemerintahan.25 Dengan maksud yang sama, Kartika Widya Utama berpendapat,

dalam UU No. 30 Tahun 2014, terdapat upaya memperluas kewenangan PTUN,

yang tidak hanya terbatas dalam ranah pembuatan, penerbitan dan keabsahan

Keputusan/Surat Keputusan Tata Usaha Negara melainkan juga telah

memasukkan tindakan faktual (materiil) dalam rangka pelaksanaan keputusan tata

usaha negara dalam menjalankan fungsi pemerintahan.26 Dan menurutnya,

perluasan kewenangan ini sesuai dengan tujuan dibentuknya PTUN sebagai sarana

kontrol hukum yang utuh di bidang administrasi pemerintahan.27

Yodi Martono Wahyunadi berpendapat, bahwa PTUN menangani obyek

berupa tindakan administrasi pemerintahan (Pasal 1 angka 8 UU No. 30 Tahun

2014) yang semula diuji oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum melalui

Perbuatan Melawan Hukum oleh Pejabat (PMHP) menggunakan Pasal 1365 KUH

Perdata.28 Selain adanya obyek sengketa baru berupa tindakan faktual, menurut

Yodi, dengan adanya UU No. 30 Tahun 2014 (bukan hanya karena perubahan

25 Dola Riza, “Keputusan Tata Usaha Negara Menurut Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara dan

Undang-Undang Admnistrasi Pemerintahan”, Jurnal Bina Mulia Hukum, Volume 3, Nomor 1, September 2018, hlm. 94.

26 Lihat Pasal 1 angka 1 jo. Pasal 87 huruf a UU No. 30 Tahun 2014. 27 Kartika Widya Utama, “Surat Keputusan Tata Usaha Negara Yang Bersifat Fiktif Positif”, Jurnal Notarius,

Edisi 08 Nomor 2 September (2015), hlm. 145-146. 28 Yodi Martono Wahyunadi, “Kompetensi Absolut Pengadilan Tata Usaha Negara Dalam Konteks

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan” Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016, hlm. 141.

Page 19: Problem Teoritik Dan Implikasi Praktis Atas Perubahan ...

Tohadi, Frieda F., dan Dadang G. Problem Teoritik dan Implikasi Praktis... 517

pengertian KTUN), kompetensi PTUN menilai unsur penyalahgunaan wewenang

(Pasal 21 UU No. 30 Tahun 2014) dan memeriksa permohonan keputusan fiktif

positif (Pasal 53 UU No. 30 Tahun 2014), serta kompetensi PTUN terhadap

keputusan pejabat atau badan pemerintahan hasil upaya administratif

sebagaimana diatur dalam Pasal 76 ayat (3) UU No. 30 Tahun 2014.29

Implikasi kedua, kompetensi absolut PTUN memeriksa, mengadili dan

memutus baik KTUN maupun tindakan administrasi pemerintahan yang tidak

hanya dilakukan oleh badan atau pejabat tata usaha negara di lingkungan

eksekutif, tetapi juga badan atau pejabat tata usaha negara di lingkungan eksekutif,

legislatif, yudikatif, dan penyelenggara negara lainnya. Ini sebagai konsekuensi

perubahan dan/atau perluasan pengertian KTUN sebagaimana disebutkan dalam

Pasal 87 UU No. 30 Tahun 2014.

Penutup

Berdasarkan pada hasil dan pembahasan penelitian di atas, dapat ditarik

kesimpulan sebagai berikut. Pertama, dilihat dari ilmu perundang-undangan,

berlakunya ketentuan Pasal 87 UU No. 30 Tahun 2014 bukan melakukan

pencabutan, tetapi melakukan perubahan terhadap ketentuan KTUN sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986 jo. Pasal 1 angka 9 UU No.

51 Tahun 2009. Dilihat dari sisi teori perubahan peraturan perundang-undangan

tersebut, perubahan ketentuan KTUN sebagaimana dalam Pasal 1 angka 3 UU No.

5 Tahun 1986 jo. Pasal 1 angka 9 UU No. 51 Tahun 2009 yang dilakukan dengan

pengaturan melalui Pasal 87 UU No. 30 Tahun 2014 adalah tidak tepat. Karena

dilakukan pengaturannya melalui undang-undang yang (materi muatannya)

berbeda dalam hal ini UU No. 30 Tahun 2014, bukan melalui perubahan

selanjutnya dalam UU No. 5 Tahun 1986.

Kedua, asas-asas peraturan perundang-undangan, yakni asas peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi mengalahkan yang lebih rendah (lex superior

derogat legi inferiori), asas peraturan yang khusus akan melumpuhkan peraturan yang

umum (lex specialis derogat legi generali), dan asas peraturan yang baru mengalahkan

29 Ibid.

Page 20: Problem Teoritik Dan Implikasi Praktis Atas Perubahan ...

518 Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM NO. 3 VOL. 26 SEPTEMBER 2019: 499 - 520

atau melumpuhkan peraturan yang lama (lex posteriori derogat legi priori) tidak dapat

diberlakukan untuk meninjau secara akademik berlakunya Pasal 87 UU No. 30 Tahun

2014 terhadap ketentuan Pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986 jo. Pasal 1 angka 9 UU

No. 51 Tahun 2009. Sebab, secara prinsip, berlakunya Pasal 87 UU No. 30 Tahun 2014

tidak meniadakan, melainkan hanya mengubah pengertian dan/atau memperluas

makna ketentuan KTUN yang ada sebeleumnya dalam Pasal 1 angka 3 UU No. 5

Tahun 1986 jo. Pasal 1 angka 9 UU No. 51 Tahun 2009.

Ketiga, kompetensi absolut Pengadilan Tata Usaha Negara mengalami

perubahan. Seiring adanya perubahan ketentuan KTUN menurut Pasal 87 UU No.

30 Tahun 2014 tersebut, maka kompetensi absolut PTUN mencakup juga

memeriksa, mengadili, dan memutus perbuatan melawan hukum yang dilakukan

oleh penguasa (onrechtmatige overheids daad) yang sebelumnya menjadi kompetensi

pengadilan umum atau Pengadilan Negeri (PN).

Merujuk pada hasil dan pembahasan penelitian serta kesimpulan yang telah

diuraikan di atas, peneliti perlu memberikan saran-saran, yaitu satu, pembentuk

undang-undang dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden

harus segera melakukan sinkronisasi khususnya mengenai ketentuan KTUN yang

ada pada UU No. 5 Tahun 1986 jis. UU No. 9 Tahun 2004 dan UU No. 51 Tahun

2009 dengan yang ada pada Undang-Undang No. 30 Tahun 2014. Dua, terkait hal

di atas, perlu segera dilakukan perubahan terhadap UU No. 5 Tahun 1986 jis. UU

No. 9 Tahun 2004 dan UU No. 51 Tahun 2009 maupun UU No. 30 Tahun 2014

khususnya mengenai ketentuan KTUN dan yang terkait dengannya. Tiga, jika

belum dapat dilakukan bersamaan, maka harus didahulukan adanya perubahan

atas UU No. 5 Tahun 1986 jis. UU No. 9 Tahun 2004 dan UU No. 51 Tahun 2009

terutama Pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986 jo. Pasal 1 angka 9 UU No. 51 Tahun

2009 untuk melakukan penyesuaian (aanpassing) terhadap UU No. 30 Tahun 2014

terutama Pasal 87.

Daftar Pustaka

Buku

Farida Indrati S., Maria, Ilmu Perundang-undangan Proses dan Teknik Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta, 2011.

Lubis, M. Solly, Landasan dan Teknik Perundang-undangan, Alumni, Bandung, 1977.

Page 21: Problem Teoritik Dan Implikasi Praktis Atas Perubahan ...

Tohadi, Frieda F., dan Dadang G. Problem Teoritik dan Implikasi Praktis... 519

Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, 1999.

Purbacaraka, Purnadi dan Soekanto, Soerjono, Perihal Kaedah Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993.

Soejito, Irawan, Teknik Membuat Undang-Undang, Pradnya Paramita, Jakarta 1988.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1982.

_______, dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Pers, Jakarta, 2004.

Sumardjono, Maria S.W., Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian, t.p., Yogyakarta, 1989.

Syarif, Amiroeddin, Perundang-undangan, Dasar, Jenis dan Teknik Membuatnya, Bina Aksara, Jakarta, 1987.

Wignjosoebroto, Soetandyo, Hukum, Konsep dan Metode, Setara Press, Malang, 2013.

Jurnal

Maridjo, “Analisis Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara Mengenai Pemberhentian Kepala Desa di Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang Nomor: 074/G/2015/PTUN-SMG)”, Serat Acitya – Jurnal Ilmiah UNTAG Semarang, Vol. 5 No. 2, 2016.

Rini, Nicken Sarwo, “Penyalahgunaan Kewenangan Administrasi Dalam Undang Undang Tindak Pidana Korupsi”, Jurnal Penelitian Hukum De Jure, Vol.18 No. 2, Juni 2018.

Riza, Dola, “Keputusan Tata Usaha Negara Menurut Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara dan Undang-Undang Admnistrasi Pemerintahan”, Jurnal Bina Mulia Hukum, Volume 3, Nomor 1, September 2018.

Utama, Kartika Widya, “Surat Keputusan Tata Usaha Negara Yang Bersifat Fiktif Positif”, Jurnal Notarius, Edisi 08 Nomor 2 September (2015).

Wahyunadi, Yodi Martono, “Kompetensi Absolut Pengadilan Tata Usaha Negara Dalam Konteks Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan”, Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016.

Makalah/Pidato

M. Guntur Hamzah, “Paradigma Baru Penyelenggaraan Pemerintahan Berdasarkan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan (Kaitannya dengan Perkembangan Hukum Acara Peratun)”, makalah disampaikan pada Seminar Sehari dalam rangka HUT Peradilan Tata Usaha Negara ke-26 dengan tema: Paradigma Baru Penyelenggaraan Pemerintahan Berdasarkan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, kaitannya dengan Perkembangan

Page 22: Problem Teoritik Dan Implikasi Praktis Atas Perubahan ...

520 Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM NO. 3 VOL. 26 SEPTEMBER 2019: 499 - 520

Hukum Acara Peratun, yang diselenggarakan di Hotel Mercure, Jakarta, 26 Januari 2016.

Internet

HM. Laica Marzuki, “Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dalam Konteks Perkembangan Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara RI”, diakses melalui http://ptun-jakarta.go.id/wp-content/uploads/file/makalah_ narasumber_hut_peratun_2017/prof_dr_hm_laica_marzuki_sh/Pemberlakuan%20UU%20NO.%2030%20Tahun%202014%20Tentang%20Administrasi%20Pemerintahan%20.pdf, tanggal 10 Mei 2017.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 77; Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3344.

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara; Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 35, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4380.

Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara; Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 160, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 5079.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82; Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 5234.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 292; Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 5601.