Prasasti Persumpahan Sriwijaya PRASASTI-PRASASTI PERSUMPAHAN SRIWIJAYA
oleh
NIA KURNIA SHOLIHAT IRFAN
TERLEBIH DAHULU perlu dijelaskan bahwa yang dimaksudkan dengan “prasasti”
(inscription) ialah sumber-sumber sejarah dari masa lampau yang tertulis di atas batu
atau logam. Sampai saat ini di daerah Sumatera bagian selatan telah ditemukan enam
buah prasasti dari Kerajaan Sriwijaya. Tiga di antaranya ditemukan di Palembang, yaitu
prasasti Kedukan Bukit, prasasti Talang Tuwo, dan prasasti Telaga Batu. Ketiga prasasti
lainnya adalah prasasti Kota Kapur di Bangka, prasasti Karang Berahi di Jambi, dan
prasasti Palas Pasemah di Lampung. Di samping keenam prasasti di atas, telah
ditemukan pula lima buah pecahan prasasti (fragmen prasasti yang tidak utuh) di
Palembang. Perlu juga diketahui bahwa semua prasasti Sriwijaya memakai huruf
Pallawa dan bahasa Melayu Kuno.
Dalam tulisan ini kita hanya akan membicarakan “prasasti-prasasti persumpahan”,
yaitu prasasti-prasasti yang berisikan kutukan dan ancaman bagi mereka yang
menentang atau tidak mau berbakti kepada raja Sriwijaya. Istilah “parsumpahan”
memang berasal dari raja Sriwijaya sendiri, sebagaimana tercantum dalam prasasti-
prasasti semacam itu. Prasasti Sriwijaya yang tergolong prasasti persumpahan adalah
prasasti-prasasti Telaga Batu, Kota Kapur, Karang Berahi, dan Palas Pasemah.
Barangkali pada masa mendatang masih akan ditemukan prasasti persumpahan yang
lain.
Prasasti TELAGA BATU ditemukan pada tahun 1935 di Telaga Batu, Sabukingking 2
Ilir, Palembang. Terdiri dari 28 baris, dihiasi lambang negara Sriwijaya berupa naga
berkepala tujuh. Kini tersimpan di Museum Pusat, Jakarta, dengan nomor D.155.
Prasasti ini untuk pertama kalinya diterbitkan oleh Prof. Dr. Johannes Gijsbertus de
Casparis dalam buku: J.G. de Casparis, Prasasti Indonesia II: Selected Inscriptions
from the 7th to the 9th Century A.D., Dinas Purbakala Republik Indonesia, Masa Baru,
Bandung, 1956.
Prasasti KOTA KAPUR ditemukan pada tahun 1892 di Kota Kapur, Pangkal Mundo,
pantai barat Pulau Bangka. Terdiri dari 10 baris, dan di Museum Pusat bernomor D.90.
Prasasti ini pertama kali dibahas oleh Prof. Dr. Hendrik Kern dalam artikel: H. Kern,
“De Inscriptie van Kota Kapur”, Bijdragen Koninklijk Instituut (BKI), deel 67, 1913.
Prasasti KARANG BERAHI ditemukan pada tahun 1904 di daerah Karang Berahi,
Jambi. Terdiri dari 16 baris, mula-mula ditranskripsikan oleh Prof. Dr. Nicholaas
Johannes Krom dalam artikel: N.J. Krom, “De Inscriptie van Karang Brahi”, Tijdschrift
Bataviaasch Genootschap (TBG), deel 59, 1920.
Prasasti PALAS PASEMAH ditemukan pada tahun 1957 di Palas Pasemah, daerah
Kalianda, Lampung. Terdiri dari 13 baris, namun baris ke-1 sampai ke-3 hilang. Isi
prasasti mula-mula dibahas oleh Prof. Dr. Buchari dalam artikel: Buchari, “An Old
Malay Inscription of Srivijaya at Palas Pasemah (South Lampung)”, Pra Seminar
Penelitian Sriwijaya, Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional, Jakarta,
1979.
Dari keempat buah prasasti persumpahan di atas, hanya satu yang berangka tahun,
yaitu prasasti Kota Kapur yang dipahat pada tahun 608 Saka (686 Masehi). Oleh karena
isi prasasti-prasasti ini hampir sama, maka sangat mungkin semua prasasti
persumpahan tersebut dipahat pada tahun yang sama.
Siapakah raja Sriwijaya yang mengeluarkan prasasti-prasasti persumpahan itu? Marilah
kita lihat isi prasasti Talang Tuwo yang dipahat dua tahun sebelumnya. Prasasti Talang
Tuwo diawali dengan kalimat:
swasti çri. çakawarsatita 606 dim dwitiya çuklapaksa wulan caitra, sana tatkalanya
parlak çriksetra ini niparwuat, parwan dapunta hyang çri jayanaça.
Terjemahan dalam bahasa sekarang:
“Bahagia, sukses. Tahun Saka berlalu 606 hari kedua paroterang bulan Caitra (= 23
Maret 684), itu waktunya taman Sriksetra ini diperbuat, titah Dapunta Hyang Sri
Jayanasa.”
Di sini kita memperoleh nama lengkap raja Sriwijaya: Dapunta Hyang Sri
Jayanasa. Jika antara tahun 684 dan 686 tidak ada pergantian raja, maka kiranya dia
itulah yang mengeluarkan prasasti-prasasti persumpahan.
Pada baris terakhir prasasti Kota Kapur tercantum keterangan sebagai berikut:
çakawarsatita 608 dim pratipada çuklapaksa wulan waiçakha, tatkalanya yang
mangmang sumpah ini nipahat, di welanya yang wala çriwijaya kaliwat manapik
yang bhumi jawa tida bhakti ka çriwijaya.
“Tahun Saka berlalu 608 hari pertama paroterang bulan Waisaka (= 28 Februari 686),
waktunya mantra sumpah ini dipahat, ketika tentara Sriwijaya berlewat menyerbu
Tanah Jawa yang tidak berbakti kepada Sriwijaya.”
Keterangan di atas menunjukkan latar belakang dan motivasi pengeluaran prasasti-
prasasti persumpahan oleh raja Sriwijaya. Rupanya Dapunta Hyang Sri Jayanasa kuatir
kalau-kalau timbul pemberontakan dalam wilayah kekuasaan Sriwijaya pada saat
tentara Sriwijaya sedang dikerahkan menyerbu Pulau Jawa. Sebagai tindakan preventif,
Dapunta Hyang mengeluarkan peringatan tegas di seantero wilayah kekuasaannya,
sebagaimana dapat kita baca pada semua prasasti persumpahan:
kadaci yang urang di dalamnya bhumi ajnyanya kadatuan ini parawis, drohaka
wangun, samawuddhi lawan drohaka, mangujari drohaka, niujari drohaka, tahu dim
drohaka, tida ya marpadah, tida ya bhakti, tida ya tatwarjawa di aku dangan di yang
nigalarku sanyasa datua, dhawa wuatnya urang inan, niwunuh ya sumpah, nisuruh
tapik ya mulang parwandan datu çriwijaya, talu muah ya dangan gotrasantananya.
“Manakala ada orang di dalam daerah kekuasaan kerajaan ini seluruhnya, membangun
kedurhakaan (pemberontakan), kerjasama dengan pendurhaka, menegur pendurhaka,
ditegur pendurhaka, sepaham dengan pendurhaka, dia tidak patuh, dia tidak berbakti,
dia tidak setia kepadaku dengan kepada yang kugelari pemimpin wilayah, jahatlah
perbuatan orang itu, dia akan dibunuh sumpah, dia akan disuruh gempur atas perintah
raja Sriwijaya, akan ditumpas dia dengan segenap keluarganya.”
Membaca isi prasasti persumpahan di atas, dapatlah dibayangkan bahwa Dapunta
Hyang merupakan seorang politikus ulung. Sebelum dia melancarkan perluasan wilayah
ke mancanegara, stabilitas dalam negeri sangat diperhatikannya. Sudah tentu prasasti-
prasasti persumpahan itu ditempatkan di negeri-negeri yang memungkinkan timbulnya
pemberontakan. Sampai saat ini prasasti persumpahan baru ditemukan di Palembang,
Bangka, Jambi, dan Lampung. Hal ini menunjukkan bahwa pada tahun 686 kekuasaan
Sriwijaya sekurang-kurangnya sudah meliputi daerah-daerah tersebut.
Adanya prasasti persumpahan Telaga Batu di Palembang menyebabkan Prof. Dr.
Sukmono menolak lokasi ibukota Sriwijaya di Palembang. Dalam tulisannya “Tentang
Lokalisasi Sriwijaya”, Laporan Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional Pertama, Volume
5, Madjelis Ilmu Pengetahuan Indonesia, Djakarta, 1958, Sukmono mengajukan
pertanyaan sebagai berikut (disesuaikan dengan EYD 1972): “Kalau Palembang
memanglah ibukota Sriwijaya, dapatkah masuk akal bahwa kutukan-kutukan yang
berupa ancaman sangat mengerikan itu justru diabadikan di ibukota? Mungkinkah
warga ibukota sendiri diancam secara demikian oleh rajanya?”
Pertanyaan Prof. Sukmono ini perlu dijawab dengan pertanyaan juga: “Tidakkah masuk
akal bahwa pemberontakan dapat terjadi di ibukota? Bukankah saat itu ibukota kosong
tanpa kekuatan, lantaran tentara sedang dikerahkan untuk menyerbu Tanah Jawa?”
Pemberontakan di ibukota justru lebih berbahaya daripada pemberontakan di negeri-
negeri bawahan, karena mungkin dilakukan oleh orang-orang yang dekat dengan
Dapunta Hyang dan langsung menyangkut pusat pemerintahan. Dapunta Hyang tentu
tidak mengabaikan adanya semacam kudeta dari “koalisi besar” para pejabat tinggi
kerajaan. Itulah sebabnya dia memandang perlu untuk memberikan peringatan dan
ancaman di ibukota Sriwijaya.
Dalam sejarah banyak kita jumpai bahwa seorang penguasa ditikam oleh musuh dalam
selimut, ketika penguasa itu sibuk memikirkan masalah “luar negeri”. Hal ini terjadi,
misalnya, pada raja Kertanagara dari Kerajaan Singhasari abad ke-13. Kertanagara
mengirimkan tentara Singhasari besar-besaran ke Malayu (Jambi) untuk
mengantisipasi kemungkinan serangan tentara Mongol dari Cina ke Nusantara, tetapi
dia lalai memperhatikan keamanan di Singhasari sendiri. Raja bawahannya,
Jayakatwang dari Kadiri, memanfaatkan situasi untuk menggulingkan Kertanagara dari
tahta kerajaan. Inilah akibatnya jika seorang penguasa mengabaikan keamanan di
ibukota.
Prasasti Telaga Batu justru membuktikan bahwa Kerajaan Sriwijaya memang
beribukota di Palembang, sebab prasasti itu menyebutkan banyak jabatan dalam
pemerintahan yang hanya mungkin terdapat di ibukota suatu negara. Isi prasasti Telaga
Batu baris ketiga sampai kelima adalah sebagai berikut:
kamu wanyakmamu, rajaputra, prostara, bhupati, senapati, nayaka, pratyaya,
hajipratyaya, dandanayaka, ....murddhaka, tuhaan watakwuruh, addhyaksi
nijawarna, wasikarana, kumaramatya, çatabatha, adhikarana, karmma....,
kayastha, sthapaka, puhawang, waniyaga, pratisara, kamu marsi haji, hulun haji,
wanyakmamu urang, niwunuh sumpah dari mangmang kamu kadaci tida bhakti di
aku.
“Kamu semua: putra raja, menteri, bupati, panglima, pembesar, pegawai, pegawai
istana, hakim, ....murddhaka, ketua buruh, pengawas rakyat jelata, ahli senjata,
pengurus pemuda, olahragawan, petugas bangunan, karmma..., jurutulis, arsitek,
nakhoda, pedagang, kepala pasukan, kamu pelayan istana, penghuni istana, semua
orang, dibunuh sumpah dari mantra kamu manakala tidak berbakti kepadaku.”
Jabatan-jabatan di atas hanya tercantum pada prasasti Telaga Batu, dan tidak
disinggung atau disebutkan pada prasasti-prasasti persumpahan yang lain. Oleh karena
jabatan-jabatan itu merupakan jabatan tinggi dalam suatu pemerintahan, sudah tentu
para pejabatnya tinggal di ibukota. Dengan sendirinya prasasti itu pasti dipasang pada
lingkungan yang didiami para pejabat tersebut. Atas dasar itu dapatlah disimpulkan
bahwa pusat pemerintahan Kerajaan Sriwijaya sangat mungkin berlokasi di sekitar
daerah Telaga Batu, Palembang.
Wal-Laahu a`lam bi sh-shawaab.***
KUNTALA, SRIWIJAYA DAN SUWARNABHUMI
Prof.Dr.Slametmulyana Idayu, Jakarta, 1981, 356 halaman KERAJAAN Sriwijaya kebanggaan masa silam Indonesia. Kekuasaannya melampaui batas geografis tanah air kita, berabad-abad mendominasi pelayaran dan perdagangan antarbangsa, satu-satunya negara Asia Tenggara abad tengah yang banyak diberitakan kronik Arab dan Cina. Namun penyusunan sejarahnya belum tuntas. Maklum Sriwijaya baru dikenal dalam historiografi modern pada tahun 1918, berkat tulisan George Coedes, Le Royaume de Crivijaya. Kronik Cina abad ke-7 dan ke-8 memberitakan negeri atau kerajaan di ‘laut selatan’ bernama Shih-li-fo-shih. Kronik abad ke-9 sampai ke-14 memberitakan negeri San-fo-tsi. Berdasarkan beberapa prasasti yang menyebut nama ‘Sriwijaya’, Coedes mengidentifikasi Sriwijaya sebagai nama negeri dan kerajaan yang ditransliterasikan menjadi Shih-li-fo-shih atau San-fo-tsi. Dan lahirlah teori: Kerajaan Sriwijaya berdiri sejak abad ke-7 sampai ke-14. Buku terbaru Prof.Dr.Slametmulyana ini, bekas dekan Fakultas Sastra Universitas Indonesia, banyak memberikan sumbangan berharga bagi penyusunan sejarah Sriwijaya. Karya filolog terkemuka ini diharapkan dapat merangsang pemikiran baru.
Dengan argumentasi meyakinkan, pengarang melokasikan negeri Sriwijaya (Shih-li-fo-shih) di Palembang dan negeri Malayu (Mo-lo-yu) di Jambi. Pelokasian Malayu ditunjang oleh prasasti Amoghapasa di Jambi yang menyebutkan negeri Malayu. Penelitian geomorfologi Dinas Purbakala, 1954, yang membuktikan Jambi abad ke-7 terletak di pantai dan ideal bagi persinggahan kapal, ternyata cocok dengan uraian pendeta I-tsing (634-713) tentang pelabuhan Malayu. Pelokasian Sriwijaya di Palembang memiliki bukti-bukti tak terbantah. Uraian I-tsing bahwa Sriwijaya di tenggara Malayu dan di muara sungai besar. Penelitian geomorfologi bahwa Palembang abad ke-7 berlokasi di pantai. Sebagian besar prasasti Sriwijaya ditemukan di Palembang. Dan yang terpenting, prasasti Telaga Batu di Palembang merinci nama jabatan yang hanya mungkin ada di pusat pemerintahan: putra mahkota, selir raja, senapati, hakim, para menteri, sampai pembersih dan pelayan istana.
Ini perlu ditegaskan karena para penyusun Sejarah Nasional Indonesia (Jilid II, Zaman Kuna) —buku standar dari Dep. P&K— terlalu gegabah menjatuhkan vonis: ibukota Sriwijaya bukan di Palembang. Mereka kiranya wajib meruntuhkan argumentasi Prof. Slametmulyana.
Pengarang juga menguraikan perluasan wilayah Sriwijaya berdasarkan prasasti-prasasti dan uraian I-tsing. Akhir abad ke-7, raja Sriwijaya Dapunta Hyang Sri Jayanasa menaklukkan Bangka, Lampung, Malayu (Jambi), Sumatera Timur, Semenanjung Malaka, Muangthai Selatan. Prasasti Kota Kapur (Bangka) menyebutkan pada 686 tentara Sriwijaya berangkat menyerbu Jawa. Menurut pengarang, yang ditaklukkan adalah Jawa Barat, terbukti dari adanya prasasti berbahasa Melayu di Bogor. Prasasti Sriwijaya memang berbahasa Melayu, dan tak mungkin raja Jawa atau Sunda mengeluarkan prasasti dengan bahasa itu. Tapi mengapakah pengarang ragu menyimpulkan bahwa Jawa Tengah pun pernah dikuasai Sriwijaya? Di Jawa Tengah banyak prasasti berbahasa Melayu: Sojomerto, Gandasuli, Dieng, Bukateja, Candi Sewu. Prasasti Sojomerto (ditemukan tahun 1963) menyebut Dapunta Selendra, pendiri Wangsa Sailendra. Gelar ini sama dengan gelar raja Sriwijaya, Dapunta Hyang. Prasasti Gandasuli menyebut pembesar Sailendra bergelar Sida, gelar yang tak dimiliki pembesar Jawa. Yang jelas, itu adalah gelar pembesar Sriwijaya seperti tercantum pada prasasti di Palembang (J.G. de Casparis, Prasasti Indonesia II, 1956, h.5). Pengarang mengatakan Dapunta Selendra berasal dari Sumatera Selatan (h.148). Seharusnya pengarang lebih tegas mengatakannya dari Sriwijaya. Tumbuhnya Wangsa Sailendra di Jawa Tengah abad ke-8 berkat penaklukan daerah ini oleh Sriwijaya. Tidak mustahil, Dapunta Selendra adalah salah seorang keturunan Dapunta Hyang yang diberi daerah kekuasaan di Jawa Tengah.
Prasasti Nalanda (860) menyebutkan bahwa Balaputradewa raja Suwarnadwipa adalah keturunan Sailendra dari Jawa. Dari prasasti Siwagreha (856) diketahui bahwa Balaputra mengungsi dari Jawa lantaran kalah perang melawan Wangsa Sanjaya. Sangat mustahil seorang pengungsi dari Jawa diterima orang Sriwijaya menjadi raja jika tak ada hubungan famili! Para ahli sejarah seperti George Coedes, F.D.K. Bosch, Muhammad Yamin, Oliver W. Wolters, menduga ibu Balaputra adalah putri Sriwijaya. Tapi tak ada sumber sejarah mengatakan demikian. Kiranya alasan yang tepat adalah bahwa Wangsa Sailendra berasal dari Sriwijaya. Jadi Balaputradewa kembali ke daerah nenek moyangnya. Wajar jika ia memiliki hak atas tahta Sriwijaya. Tapi Prof. Slamet membuat ‘teori baru’ dalam bukunya ini. Menurutnya, Kerajaan Sriwijaya runtuh pada abad ke-8 karena ditaklukkan Wangsa Sailendra. Lalu Balaputradewa mendirikan kerajaan baru pada abad ke-9 di Jambi bernama Suwarnadwipa. Nama ini bersinonim dengan Suwarnabhumi yang ditransliterasikan San-fo-tsi dalam kronik Cina.
Teori Prof. Slamet bertentangan dengan sumber sejarah yang mengatakan Kerajaan Sriwijaya masih ada pada abad ke-11. Prasasti di India yang dikenal dengan Piagam Leiden menyebutkan raja Sriwijaya tahun 1006 bernama Sri Marawijayatunggawarman, putra raja Sri Cudamaniwarman keluarga Sailendra. Sudah tentu raja ini keturunan Balaputradewa. Konsekuensinya, Suwarnadwipa pada prasasti Nalanda adalah Kerajaan Sriwijaya. Kedua nama raja Sriwijaya dalam Piagam Leiden cocok dengan nama-nama raja San-fo-tsi, Se-li-chu-la-wu-
ni dan Se-li-ma-la-pi, dalam kronik Sung-shih (Sejarah Dinasti Sung). Tahunnya pun cocok. Jadi San-fo-tsi yang diberitakan kronik Sung-shih adalah Kerajaan Sriwijaya.
Untuk menutupi kelemahan teorinya, pengarang mengatakan Piagam Leiden itu menyesatkan karena, katanya, bertentangan dengan berita Al-Mas`udi bahwa Sriwijaya merupakan negeri bawahan (h.182). Entah buku Al-Mas`udi mana yang dibaca pengarang. Yang jelas, Abu Hasan Al-Mas`udi dalam catatannya Murujuz-Zahab wa Ma’adinul-Jawhar (943) tak pernah mengatakan demikian. Justru dari keterangan Al-Mas`udi dan musafir-musafir Arab lainnya kita mengetahui bahwa negeri paling utama di Asia Tenggara abad ke-10 adalah Sriwijaya. Namun saya sependapat dengan pengarang bahwa San-fo-tsi dalam kronik Chu-fan-chi (Catatan Negeri Asing, ditulis oleh Chau Ju-kua pada 1225) bukanlah Kerajaan Sriwijaya-Palembang, melainkan Kerajaan Malayu-Jambi (hh.188-189). Chu-fan-chi mengatakan Palembang sebagai negeri bawahan San-fo-tsi. Uraian Chu-fan-chi tentang pelabuhan San-fo-tsi sama dengan uraian I-tsing tentang Malayu dan cocok dengan penelitian geomorfologi tentang Jambi. Jadi ada dua kerajaan (Sriwijaya dan Malayu) yang disebut San-fo-tsi. Patut diingat, kronik Cina sering menyebut suatu negeri atau kerajaan dengan nama pulaunya. Sebelum abad ke-15 Pulau Sumatera bernama Suwarnadwipa atau Suwarnabhumi, artinya ‘pulau emas’. Kiranya Prof. Slamet benar ketika mengidentifikasi nama San-fo-tsi dengan Suwarnabhumi. Tapi beliau lupa bahwa itu nama pulau. Wajar jika berita tentang San-fo-tsi ada yang cocok untuk Sriwijaya-Palembang dan ada yang cocok untuk Malayu-Jambi. Kedua kerajaan ini sama-sama disebut San-fo-tsi karena memang terletak di Sumatera. Seperti halnya kerajaan-kerajaan di Jawa disebut She-po (transliterasi dari nama Jawa).
Adapun runtuhnya Sriwijaya bisa dilacak sebagai berikut. Setelah kerajaan itu lumpuh akibat serangan Cola pada 1025 (prasasti Tanjore), negeri Malayu yang sejak abad ke-7 menjadi bawahannya bangkit kembali. Kronik Ling-wai-tai-ta mencatat utusan Jambi ke Cina pada 1079, 1082, 1088. Sepanjang abad ke-12 kiranya Malayu merebut banyak daerah dari tangan Sriwijaya yang kian lemah. Pada 1183 kekuasaan Malayu telah sampai ke Semenanjung Malaka (prasasti Grahi). Menurut Sung-shih, utusan terakhir Sriwijaya ke Cina datang pada 1178. Tiba-tiba kronik Chu-fan-chi tahun 1225 mencatat Palembang sebagai bawahan Malayu. Boleh dipastikan, Kerajaan Sriwijaya runtuh akhir abad ke-12 atau sekitar tahun 1200 (antara 1178 dan 1225) karena ditaklukkan oleh Kerajaan Malayu! Ini merupakan antitesis terhadap teori Prof. Slamet yang menganggap Sriwijaya runtuh abad ke-8. Sekaligus antitesis terhadap pendapat umum ahli sejarah yang menganggap Sriwijaya runtuh abad ke-14. Jadi yang disebut San-fo-tsi abad ke-13 dan ke-14 adalah Kerajaan Malayu. Kitab Nagarakretagama (1365) pupuh XIII menyebutkan seluruh daerah di Sumatera sebagai ‘Bhumi Malayu’. Selama ini ahli sejarah menganggap San-fo-tsi sinonim dari Shih-li-fo-shih (Sriwijaya). Akibatnya kebesaran Kerajaan Malayu tidak mendapat tempat dalam buku sejarah. Malayu yang jaya abad ke-13 disangka Sriwijaya.
Prof. Sukmono melokasikan Sriwijaya di Jambi lantaran banyak berita San-fo-tsi yang cocok untuk Jambi (Tentang Lokalisasi Sriwijaya, 1958). Prof. George Coedes yang melokasikan Sriwijaya di Palembang masih perlu menulis: Whether it had its center at Palembang or at Jambi... (The Indianized States of Southeast Asia, 1968, h.179). Prof. O.W. Wolters dalam dua bukunya, Early Indonesian Commerce (1967) dan The Fall of Srivijaya (1970), menduga ibukota Sriwijaya mula-mula di Palembang lalu pindah ke Jambi. San-fo-tsi dalam kronik Chu-fan-chi diartikannya ‘Srivijaya, now meaning Malayu-Jambi’. Kalimat Wolters ini jelas aneh, sebab bagaimanapun Sriwijaya dan Malayu dua kerajaan yang berbeda, tak boleh disamakan begitu saja. Semua kesimpangsiuran di atas lantaran satu sebab: mereka menganggap berita-berita San-fo-tsi selalu menyatakan Sriwijaya.
Sejarah Dinasti Ming abad ke-14 mengatakan ‘San-fo-tsi dahulu disebut Kan-to-li’. Kan-to-li adalah negeri abad ke-5 sebelum Malayu dan Sriwijaya. Karena San-fo-tsi zaman Ming adalah Malayu, lokasi Kan-to-li tentu di Jambi. Perlu dicatat, banyak nama tempat yang berasal dari nama tempat di India. Huruf prasasti di Asia Tenggara serupa dengan di Kuntala, dekat Mysore (J.G. de Casparis, Indonesian Palaeography, 1975, h.13). Pendapat Prof. Slamet sungguh menarik dan patut dipertimbangkan: nama Kuntala (Kuntali) diambil sebagai nama negeri di Jambi abad ke-5 yang ditransliterasikan Kan-to-li. Lama-kelamaan nama Kuntal mengalami metatesis menjadi Tungkal, nama daerah di Jambi.***
http://irfananshory.blogspot.com/2007_04_01_archive.html
Pertanyaan/Sanggahan (dari tiga hadirin)
(1) Saudara mengatakan di zaman Hindu/Buddha belum ada benih-benih persatuan Indonesia. Bukankah Majapahit pernah mempersatukan Nusantara?
(2) Istilah Nusantara dan Bhinneka Tunggal Ika yang sekarang kita pakai adalah warisan Majapahit.
(3) Adityawarman panglima Majapahit berasal dari Sumatera. Jadi Majapahit pun sudah menanamkan benih persatuan Indonesia.
Jawab (1) Berita bahwa Majapahit pernah mempersatukan Indonesia hanya ada pada naskah Nagarakretagama karangan pujangga Prapanca, yang menulis dengan maksud memuji-muji rajanya, Hayam Wuruk. Itulah sebabnya para ahli sejarah banyak yang meragukan, apa betul keterangan Prapanca bahwa Majapahit pernah mempersatukan Indonesia. Faktanya, tidak ada satu prasasti pun atau sumber sejarah lain mengatakan begitu. Prasasti-prasasti zaman Majapahit serta naskah Pararaton yang sezaman dengan Nagarakretagama mengatakan bahwa kekuasaan Majapahit hanya meliputi Jawa Timur, Jawa Tengah dan Bali. Jawa Barat (Sunda) tidak disebut-sebut sebagai wilayah Majapahit, apalagi luar Jawa.
(2) Istilah “Nusantara” di zaman Majapahit berbeda sekali artinya dengan “Nusantara” yang kita pakai sekarang. Yang disebut Nusantara oleh orang-orang Majapahit adalah “pulau-pulau di
luar Jawa”. Bahasa Sansekerta: nusa = pulau; antara = luar, seberang. Jadi pada zaman Majapahit, Pulau Jawa bukan Nusantara! Nusantara adalah ‘daerah seberang’ yang ingin dikalahkan oleh Majapahit. Kita tentu ingat ucapan Gajah Mada dalam kitab Pararaton: Lamun huwus kalah Nusantara, isun amukti palapa (“Jika telah kalah pulau-pulau seberang, saya baru akan istirahat”).
Pada tahun 1920-an Ernest Douwes Dekker atau Dr. Setiabudi mempopulerkan kata Nusantara sebagai alternatif dari istilah Hindia-Belanda (Nederlandsch-Indie). Istilah Nusantara itu diberi arti baru, yaitu “nusa di antara dua benua dan dua samudera”, yang berbeda artinya dengan Nusantara zaman Majapahit. Jadi yang kita pakai sekarang "antara" bahasa Melayu, bukan "antara" bahasa Sansekerta.
Istilah Bhinneka Tunggal Ika (“Berbeda itu, satu itu”) memang kita ambil dari Majapahit, tapi pengertiannya jauh berbeda. Pada masa Majapahit, istilah itu berarti persatuan Hindu dan Buddha (sinkretisme agama), sedangkan kita sekarang mengartikannya persatuan suku bangsa. Istilah-istilah sembahyang, puasa, surga, neraka, pahala, dosa, dsb. juga kita warisi dari masa pra-Islam, tapi sekarang kita beri pengertian baru yang islami dan tentu sangat jauh berbeda. Sekali lagi, yang kita pinjam hanya kata-katanya, sedangkan konsepnya sudah tidak lagi sama. (3) Menurut Pararaton, Adiyawarman adalah sepupu Jayanagara raja Majapahit. Ibunya Adiyawarman bernama Dara Jingga, saudara kandung Dara Petak, ibunya Jayanagara. Kalau tidak ada hubungan famili, jangan harap “orang seberang” menjadi pejabat di Majapahit! Memang kita-kita ini bersaudara setelah memeluk agama Islam.***
Prasasti Kedukan Bukit (Sriwijaya) MENELUSURI MAKNA PRASASTI KEDUKAN BUKIT
oleh
NIA KURNIA SHOLIHAT IRFAN
DI ANTARA prasasti-prasasti Kerajaan Sriwijaya, prasasti Kedukan Bukit paling
menarik diperbincangkan. Di samping banyak mengandung kata yang tidak mudah
ditafsirkan, prasasti tersebut oleh beberapa sarjana dianggap mengandung kunci
pemecahan masalah lokasi ibukota kerajaan besar itu, yang mendominasi pelayaran dan
perdagangan internasional selama empat abad. Dari segi ilmu bahasa, prasasti Kedukan
Bukit merupakan pertulisan bahasa Melayu-Indonesia tertua yang pernah ditemukan
sampai saat ini.
Alkisah, di daerah Kedukan Bukit, Palembang, terdapat batu bertuliskan huruf kuno
yang dikeramatkan penduduk. Jika diadakan perlombaan berpacu perahu bidar di
Sungai Musi, perahu yang akan dipakai ditambatkan dulu pada batu itu dengan harapan
memperoleh kemenangan. Pada bulan November 1920, Batenburg seorang kontrolir
Belanda mengenali batu itu sebagai prasasti. Penemuan itu segera dilaporkan pada
Oudheidkundigen Dienst (Dinas Purbakala). Akhirnya, prasasti itu tersimpan di
Museum Pusat Jakarta dengan nomor D.146.
Pada tahun itu juga, Residen Palembang Louis Constant Westenenk menemukan
prasasti lain di daerah Talang Tuwo. Di Museum Pusat prasasti itu bernomor D.145.
Kemudian kedua prasasti itu ditranskripsikan dan diterjemahkan oleh Philippus Samuel
van Ronkel dalam tulisannya, “A Preliminary Notice Concerning Two Old Malay
Inscriptions in Palembang”, pada majalah ilmiah Acta Orientalia, Volume II, 1924, hh.
12-21.
ISI PRASASTI
Prasasti Kedukan Bukit bertarikh 604 Saka (682 M) dan merupakan prasasti berangka
tahun yang tertua di Indonesia. Terdiri atas sepuluh baris, tertulis dalam huruf Pallawa
dan bahasa Melayu Kuno, masing-masing baris berbunyi sebagai berikut:
1 Swasti, sri. Sakawarsatita 604 ekadasi su-
2 klapaksa wulan Waisakha Dapunta Hyang naik di
3 samwau mangalap siddhayatra. Di saptami suklapaksa
4 wulan Jyestha Dapunta Hyang marlapas dari Minanga
5 tamwan mamawa yang wala dua laksa dangan kosa
6 dua ratus cara di samwau, dangan jalan sariwu
7 telu ratus sapulu dua wanyaknya, datang di Mukha Upang
8 sukhacitta. Di pancami suklapaksa wulan Asada
9 laghu mudita datang marwuat wanua .....
10 Sriwijaya jayasiddhayatra subhiksa
Terjemahan dalam bahasa Indonesia modern:
1 Bahagia, sukses. Tahun Saka berlalu 604 hari kesebelas
2 paroterang bulan Waisaka Dapunta Hyang naik di
3 perahu melakukan perjalanan. Di hari ketujuh paroterang
4 bulan Jesta Dapunta Hyang berlepas dari Minanga
5 tambahan membawa balatentara dua laksa dengan perbekalan
6 dua ratus koli di perahu, dengan berjalan seribu
7 tiga ratus dua belas banyaknya, datang di Muka Upang
8 sukacita. Di hari kelima paroterang bulan Asada
9 lega gembira datang membuat wanua .....
10 Perjalanan jaya Sriwijaya berlangsung sempurna
Prasasti Kedukan Bukit menguraikan jayasiddhayatra (perjalanan jaya) dari penguasa
Kerajaan Sriwijaya yang bergelar Dapunta Hyang (Yang Dipertuan Hyang). Oleh karena
Dapunta Hyang membawa puluhan ribu tentara lengkap dengan perbekalan, sudah
tentu perjalanan itu bukanlah piknik, melainkan ekspedisi militer menaklukkan suatu
daerah. Dari prasasti Kedukan Bukit, kita mendapatkan data-data:
1. Dapunta Hyang naik perahu tanggal 11 Waisaka 604 (23 April 682). Tidak ada
keterangan dari mana naik perahu dan mau ke mana.
2. Dapunta Hyang berangkat dari Minanga tanggal 7 Jesta (19 Mei) dengan membawa
lebih dari 20.000 balatentara. Rombongan lalu tiba di Muka Upang (sampai kini masih
ada desa Upang di tepi Sungai Musi, sebelah timur Palembang).
3. Dapunta Hyang membuat ‘wanua’ tanggal 5 Asada (16 Juni).
(Penyesuaian tarikh Saka ke tarikh Masehi diambil dari Louis-Charles Damais, “Etude
d’Epigraphie Indonesienne III: Liste des Principales Datees de l’Indonesie”, BEFEO,
tome 46, 1952).
Prasasti Kedukan Bukit hanya menyebutkan gelar Dapunta Hyang tanpa disertai nama
raja tersebut. Dalam prasasti Talang Tuwo yang dipahat tahun 606 Saka (684 M)
disebutkan bahwa raja Sriwijaya Dapunta Hyang Sri Jayanasa menitahkan
pembuatan Taman Sriksetra tanggal 2 Caitra 606 (23 Maret 684). Besar kemungkinan
dialah raja Sriwijaya yang dimaksudkan dalam prasasti Kedukan Bukit.
Timbul setumpuk pertanyaan: Di manakah letak Minanga? Benarkah Minanga
merupakan pusat Kerajaan Sriwijaya, ataukah hanya daerah taklukan Sriwijaya?
Apakah arti kalimat ‘marwuat wanua’? Benarkah kalimat itu menyatakan pembangunan
sebuah kota seperti pendapat banyak ahli sejarah? Benarkah peristiwa itu merupakan
pembuatan ibukota atau perpindahan ibukota Sriwijaya? Demikianlah prasasti Kedukan
Bukit mengandung banyak persoalan yang tidak sederhana. “This text has caused much
ink to flow,” kata Prof. Dr. George Coedes dalam bukunya, The Indianized States of
Southeast Asia, University of Malaya Press, Kuala Lumpur, 1968, h. 82.
BEBERAPA TAFSIRAN
Pada tahun 1975 Departemen P dan K menerbitkan enam jilid buku Sejarah Nasional
Indonesia yang ditetapkan sebagai buku standar bagi pelajaran sejarah di sekolah-
sekolah. Jilid II membahas Zaman Kuna, disusun oleh Ayatrohaedi, Edi Sedyawati,
Edhie Wuryantoro, Hasan Djafar, Oei Soan Nio, Soekarto K. Atmojo dan Suyatmi Satari,
dengan editor Bambang Sumadio. Tafsiran mereka terhadap isi prasasti Kedukan Bukit
adalah sebagai berikut: Dapunta Hyang memulai perjalanan dari Minanga Tamwan,
kemudian mendirikan kota yang diberi nama Sriwijaya. Mungkin sekali pusat Sriwijaya
terletak di Minanga Tamwan itulah, daerah pertemuan sungai Kampar Kanan dan
Kampar Kiri (Sejarah Nasional Indonesia, II, Balai Pustaka, Jakarta, 1977, h. 53).
Dr. Buchari, ahli epigrafi terkemuka, dalam tulisannya “An Old Malay Inscription of
Srivijaya at Palas Pasemah (South Lampung)”, Pra Seminar Penelitian Sriwijaya, Pusat
Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional, Jakarta, 1979, hh. 26-28, memberikan
penafsiran yang berbeda: Pada mulanya Kerajaan Sriwijaya berpusat di Minanga yang
terletak di Batang Kuantan, di tepi Sungai Inderagiri, dengan alasan minanga = muara
= kuala = kuantan. Lalu pada tahun 682 Dapunta Hyang menyerang Palembang dan
membuat kota yang kemudian dijadikan ibukota kerajaannya yang baru. Jadi pada
tahun 682 terjadi perpindahan ibukota Sriwijaya dari Minanga ke Palembang.
Dr. Slametmulyana, ahli filologi ternama, dalam bukunya Kuntala, Sriwijaya dan
Suwarnabhumi, Idayu, Jakarta, 1981, hh. 73-74, berpendapat bahwa Kerajaan Sriwijaya
selamanya beribukota di Palembang dan tidak pernah berpindah-pindah. Isi prasasti
Kedukan Bukit tidak ada hubungannya dengan pembuatan kota Sriwijaya, dan Minanga
yang disebutkan dalam prasasti itu hanyalah sebuah daerah taklukan Sriwijaya.
Slametmulyana melokasikan Minanga di Binanga, yang terletak di tepi Sungai
Barumun, Sumatera Timur.
LOKASI SRIWIJAYA
Pendeta I-tsing (634-713), dalam pelayarannya dari Cina ke India tahun 671, singgah di
negeri Sriwijaya enam bulan lamanya untuk mempelajari Sabdawidya (tatabahasa
Sansekerta). Ketika pulang dari India tahun 685 I-tsing bertahun-tahun tinggal di
Sriwijaya untuk menerjemahkan naskah-naskah Buddha dari bahasa Sansekerta ke
bahasa Cina. I-tsing kembali ke Cina dari Sriwijaya tahun 695. Selama di Sriwijaya dia
menulis dua buah bukunya yang termasyhur, Nan-hai Chi-kuei Nei-fa Chuan (Catatan
Ajaran Buddha yang dikirimkan dari Laut Selatan) serta Ta-T’ang Hsi-yu Ch’iu-fa Kao-
seng Chuan (Catatan Pendeta-pendeta yang menuntut ilmu di India zaman Dinasti
Tang).
Kedua karya I-tsing masing-masing diterjemahkan oleh Junjiro Takakusu, A record of
the Buddhist Religion as Practised in India and the Malay Archipelago AD 671-695, by
I-tsing, Oxford, London, 1896, dan oleh Edouard Chavannes, Memoire compose a
l’epoque de la grande dynastie Tang, sur les Religieux Eminents qui allerent chercher
la loi dans les pays d’Occident, par I-tsing, Ernest Leroux, Paris, 1894. Cuplikan uraian
I-tsing juga terdapat dalam karya Gabriel Ferrand, L’Empire Sumatranais de Crivijaya,
Imprimerie Nationale, Paris, 1922, Bab “Textes Chinois”, serta karya Paul Wheatley, The
Golden Khersonese, University of Malaya Press, Kuala Lumpur, 1961, Bab “Towards the
Holy Land”. Kemudian Oliver William Wolters dalam bukunya Early Indonesian
Commerce, Cornell University Press, Ithaca, 1967, mengoreksi kekeliruan terjemahan
Takakusu dan Chavannes.
Dalam kedua karyanya itu I-tsing memberikan informasi berharga mengenai letak dan
keadaan Sriwijaya. Oleh karena dia lama berdiam di Sriwijaya, sudah tentu
keterangannya sangat dapat dipercaya. I-tsing menyaksikan keadaan Sriwijaya dengan
mata kepala sendiri. Uraian-uraiannya merupakan sumber berita dari tangan pertama.
Tidak ada alasan bagi kita untuk meragukan pernyataan I-tsing itu.
Kisah pelayaran I-tsing dari Kanton tahun 671 diceritakannya sendiri sebagai berikut:
“Ketika angin timur laut mulai bertiup, kami berlayar meninggalkan Kanton menuju
selatan .... Setelah lebih kurang dua puluh hari berlayar, kami sampai di negeri
Sriwijaya. Di sana saya berdiam selama enam bulan untuk belajar Sabdawidya. Sri
Baginda sangat baik kepada saya. Beliau menolong mengirimkan saya ke negeri Malayu,
di mana saya singgah selama dua bulan. Kemudian saya kembali meneruskan pelayaran
ke Kedah .... Berlayar dari Kedah menuju utara lebih dari sepuluh hari, kami sampai di
Kepulauan Orang Telanjang (Nikobar) .... Dari sini berlayar ke arah barat laut selama
setengah bulan, lalu kami sampai di Tamralipti (pantai timur India).” (Chavannes, h.
119; Ferrand, h. 4; Wheatley, hh. 41-42; Wolters, hh. 207-208).
Perjalanan pulang dari India tahun 685 diceritakan oleh I-tsing sebagai berikut:
“Tamralipti adalah tempat kami naik kapal jika akan kembali ke Cina. Berlayar dari sini
menuju tenggara, dalam dua bulan kami sampai di Kedah. Tempat ini sekarang menjadi
kepunyaan Sriwijaya. Saat kapal tiba adalah bulan pertama atau kedua .... Kami tinggal
di Kedah sampai musim dingin, lalu naik kapal ke arah selatan. Setelah kira-kira
sebulan, kami sampai di negeri Malayu, yang sekarang menjadi bagian Sriwijaya. Kapal-
kapal umumnya juga tiba pada bulan pertama atau kedua. Kapal-kapal itu senantiasa
tinggal di Malayu sampai pertengahan musim panas, lalu mereka berlayar ke arah
utara, dan mencapai Kanton dalam waktu sebulan.” (Takakusu, h. 34; Wheatley, hh. 41-
42; Wolters, hh. 227-228).
Dari uraian I-tsing jelas sekali bahwa Malayu terletak di tengah pelayaran antara
Sriwijaya dan Kedah. Jadi Sriwijaya terletak di selatan atau tenggara Malayu. Hampir
semua ahli sejarah sepakat bahwa negeri Malayu berlokasi di Jambi, sebab pada alas
arca Amoghapasa yang ditemukan di Jambi terdapat prasasti bertarikh 1208 Saka (1286
M) yang menyebutkan bahwa arca itu merupakan hadiah raja Kertanagara (Singhasari)
kepada raja Malayu. (Lihat: R.Pitono Hardjowardojo, Adityawarman, Sebuah Studi
tentang Tokoh Nasional dari Abad XIV, Bhratara, Djakarta, 1966, hh. 36-38). I-tsing
juga mengatakan bahwa Sriwijaya terletak di muara sungai yang besar (Chavannes, h.
176; Ferrand, h. 6; Wolters, h. 226). Maka satu-satunya tempat yang memenuhi syarat
sebagai lokasi negeri Sriwijaya adalah PALEMBANG.
Ditinjau dari data arkeologi, pelokasian Sriwijaya di Palembang memperoleh
pembuktian yang sangat kuat. Sebagian besar prasasti Sriwijaya ditemukan di
Palembang: Kedukan Bukit, Talang Tuwo, Telaga Batu, lima buah pecahan prasasti, dan
batu-batu mengenai ‘siddhayatra’. Pada salah satu pecahan prasasti terdapat
keterangan mengenai pardatuan (istana raja). Yang lebih meyakinkan, prasasti Telaga
Batu menyebutkan berbagai pembesar tinggi yang hanya mungkin ada di ibukota atau
pusat pemerintahan suatu kerajaan, seperti putra mahkota, selir raja, senapati, hakim,
para menteri, sampai pembersih dan pelayan istana. Lihat: George Coedes, “Les
Inscriptions Malaises de Crivijaya”, BEFEO, tome 30, 1930, hh. 29-80; Johannes
Gijsbertus de Casparis, Prasasti Indonesia II, Dinas Purbakala Republik Indonesia,
Masa Baru, Bandung, 1956, hh. 1-46.
Ir. J.L. Moens, dalam karangannya "Crivijaya, Yava en Kataha", dalam TBG, deel 77,
1937, melokasikan Sriwijaya di Muara Takus yang terletak pada garis khatulistiwa,
berdasarkan uraian I-tsing bahwa di Sriwijaya orang yang berdiri pada tengah hari tidak
mempunyai bayang-bayang. Tetapi di Muara Takus tidak ada bukti arkeologis yang
lebih kuat daripada di Palembang. Pernyataan I-tsing itu tidak harus berarti Sriwijaya
pada lintang nol derajat, melainkan dapat ditafsirkan bahwa Sriwijaya terletak di sekitar
khatulistiwa. Palembang pun memenuhi syarat, sebab terletak pada posisi tiga derajat
lintang selatan (masih dekat dengan khatulistiwa). Patut diingat, I-tsing biasa hidup di
negeri Cina di mana bayang-bayang tengah hari cukup panjang. Dapat difahami jika dia
mengatakan di Sriwijaya (Palembang) tidak ada bayang-bayang tengah hari.
Bahwa negeri Sriwijaya tidak terletak pada garis khatulistiwa, melainkan di selatan
khatulistiwa, terbukti dari keterangan Al-Biruni yang menyatakan bahwa garis
khatulistiwa terletak antara Kedah dan Sriwijaya. (Abu Raihan Muhammad ibn Ahmad
Al-Biruni, ahli geografi Persia, mengunjungi Asia Tenggara tahun 1030 dan menulis
catatan perjalanan Tahqiq ma li l-Hind (Fakta-fakta di Hindia). Paul Wheatley, h. 219,
menerjemahkan keterangan Al-Biruni: “The equator runs between Kedah and
Srivijaya”).
Pada tahun 1954, atas perintah Menteri PP&K Muhammad Yamin, Dinas Purbakala
mengadakan penelitian geomorfologi pantai timur Sumatera. Hasil penelitian itu
menyatakan bahwa pada abad ketujuh Jambi dan Palembang masih terletak di tepi laut.
Jambi mempunyai kedudukan yang lebih strategis dalam menguasai lalu lintas
pelayaran. Kapal-kapal dari arah India, Cina dan Jawa harus melewati Jambi,
sedangkan Palembang hanya dilewati kapal-kapal yang berlayar antara Selat Malaka
dan Jawa. Lagi pula, letak pelabuhan Jambi menghadap ke laut bebas, sedangkan
pelabuhan Palembang hanya menghadap ke Selat Bangka.
Berdasarkan hasil penelitian itu, Dr. Sukmono dalam tulisannya “Tentang Lokalisasi
Criwijaya”, Laporan Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional Pertama, Jilid V, Madjelis
Ilmu Pengetahuan Indonesia, Djakarta, 1958, cenderung melokasikan Sriwijaya di
Jambi. Kiranya pendapat Dr. Sukmono ini terlalu tergesa-gesa. Meskipun Jambi lebih
strategis, tidaklah berarti Sriwijaya harus di Jambi, sebab tidak ada sumber sejarah
yang mengatakan letak Sriwijaya strategis. Kata I-tsing, yang selalu disinggahi kapal-
kapal adalah Malayu, bukan Sriwijaya. Jadi hasil penelitian geomorfologi itu justru
membuktikan Jambi sebagai lokasi negeri Malayu!
Sewaktu Kerajaan Sriwijaya baru berdiri pada pertengahan abad ketujuh, negeri itu
hanya sering disinggahi pendeta-pendeta Cina untuk urusan keagamaan. Kata I-tsing,
pendeta Cina yang ingin mempelajari ajaran Buddha di India sebaiknya berdiam dulu di
Sriwijaya untuk berlatih (Takakusu, h. 34; Coedes, The Indianized States, h. 81).
Ditinjau dari segi keagamaan Sriwijaya memang menonjol. Tetapi dari segi ekonomi
dan perdagangan Sriwijaya tertinggal oleh Malayu dan Kedah yang letaknya strategis.
Itulah sebabnya pada akhir abad ketujuh Sriwijaya melancarkan ekspansi teritorial
untuk menguasai pelabuhan-pelabuhan strategis di Selat Malaka. Ketika I-tsing pulang
dari India tahun 685, dia mengatakan bahwa Kedah dan Malayu sudah menjadi daerah
kekuasaan Sriwijaya. Jelaslah bahwa dominasi Kerajaan Sriwijaya atas Selat Malaka
bukanlah karena letak ibukotanya strategis, melainkan karena kerajaan itu mampu
menguasai pelabuhan Malayu dan Kedah.
Kesimpulannya, ditinjau dari segi manapun (data arkeologi, uraian I-tsing, penelitian
geomorfologi), tidak ada tempat lain yang cocok sebagai lokasi negeri Sriwijaya selain
Palembang. Seperti kata Prof. Oliver William Wolters, “Srivijaya had its capital at
Palembang and nowhere else. In support of this location, there is an impressive
consistency between the epigraphic evidence and I-tsing’s records” (Wolters, h. 208.
Kesimpulan yang sama dikemukakan oleh Coedes, 1968, h. 92).
“MARWUAT WANUA”
Banyak ahli sejarah yang mengartikan ungkapan “marwuat wanua” pada prasasti
Kedukan Bukit dengan “membuat kota”, sehingga timbul anggapan bahwa pada tahun
682 Dapunta Hyang datang ke Palembang untuk membuat kota Sriwijaya. Padahal pada
tahun 671 I-tsing telah singgah di Sriwijaya. Menurut Hsin-T’ang-shu (Sejarah Baru
Dinasti Tang), Kerajaan Sriwijaya telah mengirimkan utusan ke Cina pada periode 670-
673. Lihat: Paul Pelliot, “Deux Itineraires de Chine en Inde a la Fin du VIIIe Siecle”,
BEFEO, tome 4, 1904, h. 334. Hal ini berarti bahwa peristiwa “marwuat wanua” tahun
682 itu bukanlah menyatakan pembentukan negeri Sriwijaya.
Kata wanua memiliki arti ganda: kota (negeri) dan rumah (bangunan). Dalam beberapa
bahasa daerah di Sumatera bagian selatan, sampai sekarang kata wanua berarti
“rumah”, sering disingkat menjadi nua atau nuo. Prof. George Coedes, dalam
karangannya Les Inscriptions Malaises de Crivijaya tahun 1930, memberikan arti:
wanua = pays, royaume, forteresse (kota, kerajaan, rumah pertahanan). Lihat Coedes,
1930, h. 77. Ketika Van Ronkel mula-mula menerjemahkan prasasti Kedukan Bukit, dia
mengartikan wanua dengan fortress (rumah pertahanan). Lihat Van Ronkel, hh. 20-21.
Jadi kalimat “marwuat wanua” dapat berarti "membuat kota" atau "membuat rumah".
Jika kita artikan membuat kota, kita terbentur pada kenyataan bahwa kota Sriwijaya
sudah ada pada tahun 671. Maka satu-satunya pilihan adalah mengartikannya membuat
rumah. Pada pecahan prasasti nomor D.161 yang ditemukan di Palembang, yang isinya
serupa dengan isi prasasti Kedukan Bukit, tertulis: ... wihara ini, di wanua ini (J.G. de
Casparis, 1956, hh. 14-15). Jelaslah bahwa wanua (rumah) yang dibuat Dapunta Hyang
tahun 682 adalah sebuah wihara (rumah peribadatan).
PERSOALAN MINANGA
Prasasti Kedukan Bukit mengatakan pada tanggal 7 Jesta 604 (19 Mei 682) Dapunta
Hyang berangkat (marlapas) dari Minanga. Oleh karena dia meninggalkan Minanga
dengan tentara yang bersukacita, mudahlah disimpulkan bahwa Minanga merupakan
daerah yang baru saja ditaklukkan Sriwijaya. Mereka berangkat dari Minanga dengan
sukacita—karena baru menang perang—untuk kembali ke ibukota di Palembang.
Di manakah letak Minanga? Anggapan para penyusun Sejarah Nasional Indonesia Jilid
II bahwa Minanga terletak di pertemuan sungai Kampar Kiri dan Kampar Kanan
bersumber pada pendapat Prof. Dr. R.M. Ngabehi Purbatjaraka dalam Riwajat
Indonesia, I, Jajasan Pembangunan, Djakarta, 1952, h. 35. Alasannya, "tamwan" berasal
dari kata "temu", lalu Purbatjaraka menafsirkannya “daerah tempat sungai bertemu”.
Mengapa harus di Kampar, Purbatjaraka tidak memberikan alasan. Pendapat ini
dibantah dengan jitu oleh Prof. Dr. J.G. de Casparis yang membuktikan
bahwa"tamwan" tidak ada hubungannya dengan "temu", sebab kata yang terakhir ini
sudah dipakai pada zaman Sriwijaya. Dalam prasasti Talang Tuwo terdapat enam buah
kata "temu" (J.G. de Casparis, 1956, h. 13). Penelitian para ahli bahasa menyatakan
bahwa kata "tamwan" pada prasasti Kedukan Bukit bukanlah nama tempat, melainkan
kata biasa yang sekarang menjadi "tambahan", sebagaimana kata wulan, sariwu,
wanyak dan marwuat menjadi bulan, seribu, banyak dan membuat.
Pendapat Dr. Buchari yang mengatakan Minanga adalah Batang Kuantan (minanga =
muara = kuala = kuantan) juga perlu diragukan. Kata "minanga" tidak ada
hubungannya dengan "muara", sebab kata "muara" juga sudah dipakai pada zaman
Sriwijaya. Pada pecahan prasasti A baris ke-16 yang ditemukan di Palembang terdapat
kata "muara". Lihat: J.G. de Casparis, 1956, h. 5. Buchari sendiri mengakui bahwa di
Batang Kuantan belum ditemukan peninggalan arkeologis yang menunjang
pendapatnya, dengan mengatakan (1979, h. 28), “Memang di Batang Kuantan belum
ditemukan peninggalan arkeologis. Tapi kan di sana belum diadakan penggalian? Siapa
tahu nanti ada kejutan di sana.”
Untuk menetapkan daerah yang cocok bagi lokasi Minanga, ada beberapa syarat yang
harus dipenuhi:
(1) Daerah tersebut namanya mirip dengan Minanga.
(2) Daerah itu menurut prasasti Kedukan Bukit berjarak kira-kira sebulan pelayaran
dari Palembang.
(3) Daerah itu lokasinya strategis mengingat ekspansi Sriwijaya bertujuan menguasai
lalu lintas pelayaran dan perdagangan.
(4) Pada daerah itu terdapat peninggalan arkeologis yang membuktikan bahwa daerah
itu pernah berperan dalam sejarah.
Kiranya daerah yang cocok bagi pelokasian Minanga adalah Binanga yang terletak di
tepi Sungai Barumun, Sumatera Timur, seperti pendapat Dr. Slametmulyana. Daerah
Binanga memenuhi persyaratan ditinjau dari segala aspek:
1. Pada abad ketujuh Binanga masih terletak di tepi laut.
2. Tempat itu ideal untuk mengawasi lalu lintas Selat Malaka.
3. Tempat itu dapat digunakan batu loncatan oleh armada Sriwijaya untuk menyerang
Semenanjung. Seperti dikatakan I-tsing, pada tahun 685 (tiga tahun setelah penaklukan
Minanga, 682) Kedah sudah ditaklukkan Sriwijaya.
4. Di daerah Padang Lawas, dekat Binanga, sampai kini terdapat biaro (wihara) Bahal,
Sitopayan dan Sipamutung. Ini berarti Binanga pernah berperan dalam sejarah.
5. Perubahan nama Minanga menjadi Binanga sangat mungkin terjadi, sebab fonem m
dan b sama-sama huruf bibir (bilabial). Kata mawa dan marlapas pada prasasti
Kedukan Bukit kini berubah menjadi bawa dan berlepas (berangkat).
KESIMPULAN
Berdasarkan seluruh uraian di atas, isi prasasti Kedukan Bukit dapat ditafsirkan sebagai
berikut:
Pada tanggal 11 Waisaka 604 (23 April 682) raja Sriwijaya yang bergelar Dapunta
Hyang naik perahu dari suatu tempat untuk bergabung dengan tentaranya yang baru
saja menaklukkan Minanga (Binanga). Lalu pada tanggal 7 Jesta (19 Mei) Dapunta
Hyang memimpin laskarnya meninggalkan Minanga untuk pulang ke ibukota. Mereka
bersukacita karena pulang dengan membawa kemenangan. Mereka mendarat di Muka
Upang, sebelah timur Palembang, lalu menuju ibukota. Kemudian pada tanggal 5 Asada
(16 Juni) Dapunta Hyang menitahkan pembuatan sebuah wanua (bangunan) berupa
wihara di ibukota sebagai manifestasi rasa syukur dan gembira.
Boleh dipastikan bahwa pembuatan Taman Sriksetra pada tahun 606 Saka (684
Masehi), sebagaimana tercantum pada prasasti Talang Tuwo, masih merupakan
rangkaian manifestasi rasa gembira akibat suksesnya siddhayatra (ekspedisi militer)
dua tahun sebelumnya.
Oleh karena isi prasasti Kedukan Bukit (juga prasasti Talang Tuwo) menceritakan
peristiwa penting dalam perkembangan Kerajaan Sriwijaya, sudah sewajarnya prasasti
itu ditempatkan di ibukota kerajaan. Dengan demikian, prasasti Kedukan Bukit
memperkuat bukti bahwa pusat pemerintahan Sriwijaya berlokasi di Palembang.***
Penulis adalah alumnus Jurusan Sejarah FKIS IKIP (sekarang FP-IPS UPI)
Bandung tahun 1980 dengan skripsi "Kerajaan Sriwijaya" yang kemudian
diterbitkan oleh Penerbit Girimukti Pasaka, Jakarta, 1983
http://yasirmaster.blogspot.com/2011/06/nabi-sulaiman-leluhur-bangsa-melayu.html
Inilah Susur Galur Bitjitram Syah (Sang Sapurba), keturunan Iskandar
Zulqarnain yang turun dari Bukit Siguntang Mahameru (Palembang)…
“… asal kami daripada anak cucu Raja Iskandar Zulqarnain, nisab kami daripada Raja Nusirwan, Raja Masyrik dan Maghrib dan pancar kami daripada Sulaiman ‘alaihis salam… ” (Sejarah Melayu (SM), karangan Abdullah ibn Abdulkadir Munsyi, bait 2.2).
Bitjitram Syah (Sang Sapurba), diceritakan menikah dengan Wan Sendari anak
Demang Lebar Daun, Penguasa Palembang (anak cucu Raja Sulan, keturunan
Raja Nusirwan ‘Adil bin Kibad Syahriar), kelak keturunannya menjadi cikal bakal
raja-raja di Negeri Melayu.
Bitjitram Syah (Sang Sapurba), di dalam sejarah dikenali sebagai Raja
Sriwijaya abad ke-13, yang bernama Sri Tri Buwana, yang mendirikan Kerajaan
Keritang (Indragiri) dan Kerajaan Kandis di Kuantan. Salah seorang putera
Sang Sapurba, bernama Sang Nila Utama, membangun Kerajaan Tumasik, yang
saat ini dikenal dengan nama Singapura.
Silsilah Bangsa Melayu
Ibn Abd Al Rabbih di dalam karyanya Al Iqd al Farid, yang dikutip oleh
Azyumardi Azra dalam bukunya “Jaringan Ulama Timur Tengah dan
Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII” menyebutkan adanya korespodensi
antara raja Sriwijaya (Sri Indravarman) dengan Khalifah Umar bin Abdul
Aziz, pada sekitar tahun 100 H (abad ke-8M) , Raja Sriwijaya berkirim surat yang
isi surat tersebut adalah sebagai berikut :
”Dari Raja di Raja (Malik al Amlak) yang adalah keturunan seribu raja; yang
isterinya juga cucu seribu raja; yang di dalam kandang binatangnya terdapat seribu
gajah; yang di wilayahnya terdapat dua sungai yang mengairi pohon gaharu,
bumbu-bumbu wewangian, pala dan kapur barus yang semerbak wanginya
hingga menjangkau jarak 12 mil; kepada Raja Arab yang tidak menyekutukan tuhan-
tuhan lain dengan Allah. Saya telah mengirimkan kepada Anda hadiah, yang sebenarnya
merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekedar tanda persahabatan. Saya
ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam
kepada saya dan menjelaskan kepada saya tentang hukum-hukumnya” (?) Benarkah raja Sriwijaya, adalah keturunan seribu raja ?
(?) Benarkah raja Sriwijaya, adalah keturunan Iskandar Zulqarnain dan Nabi Sulaiman?
(?) Siapa yang dimaksud dengan Raja Nusirwan ‘Adil, Raja Masyrik (Timur) dan Maghrib (Barat), seperti terdapat dalam Sejarah Melayu?
Berpedoman kepada Sejarah Melayu, sebagaimana diuraikan sebelumnya, diperoleh
informasi Salasilah Demang Lebar Daun dan Sang Sapurba bertemu pada Raja
Nusirwan ‘Adil.
Di kalangan ahli sejarah, memperkirakan Raja Nusirwan ‘Adil indentik dengan
King Anushirvan “The Just” of Persia (memerintah pada tahun 531-578 M, di
Kerajaan Persia Dinasti Sassanid), beliau adalah putera Kavadh I of Persia atau
dalam sejarah melayu disebut Raja Kibad Syahriar.
Melalui penyelusuran Genealogy, diperoleh Silsilah King Anushirvan (Khosrow
I of Persia), dengan perincian sebagai berikut :
1. Susur Galur dari Cyrus II “The Great” of Persia (Zulqarnain)
Maharaja Nusirwan ‘Adil (Anushirvan/King Khosrow I “The Just” of Persia) bin Maharaja Kibad Syahriar (Kavadh I of Persia) bin Firuz II of Persia bin Yazdagird II of Persia bin Bahram V of Persia bin Yazdagird I of Persia bin Shapur III of Persia bin Shapur II “The Great” of Persia bin Ifra Hormuz binti Vasudeva of Kabul bin Vasudeva IV of Kandahar bin Vasudeva III of Kushans bin Vasudeva II of Kushans bin
Kaniska III of Kushans bin Vasudeva I of Kushans bin Huvishka I of Kushans bin Kaniska of Kushanastan bin Wema Kadphises II of Kunhanas bin Princess of Bactria binti Calliope of Bactria binti Hippostratus of Bactria bin Strato I of Bactria bin Agathokleia of Bactriai binti Agathokles I of Bactriai bin Pantaleon of Bactria bin Sundari Maurya of Magadha (menikah dengan Demetrios I of Bactriai*), keturunan Raja Iskandar (Alexander III “The Great” of Macedonia)) binti Princess of Avanti (menikah dengan Brihadratna Maurya of Magadha**), keturunan King Ashoka) binti Abhisara IV of Avanti bin Abhisara III of Pancanada bin Abhisara II of Taxila bin Abhisara I of Taxila bin Rodogune Achaemenid of Persia binti Artaxerxes II of Persia bin Darius II of Persia bin Artaxerxes I of Persia bin Xerxes I “The Great” of Persia bin Atossa of Persia (menikah dengan Darius I of Pesia***), keturunan Bani Israil) binti Cyrus II “The Great” of Persia
2. Susur Galur dari Alexander III of Macedonia (Raja Iskandar Zulqarnain)
*) Demetrios I of Bactriai bin Berenike of Bactria binti Princess of Syria binti Laodice I of Syria bin Aesopia the Perdiccid of Macedonia binti Alexander III ”The Great” of Macedonia
3. Susur Galur dari King Ashoka
**) Brihadratna Maurya of Magadha bin Dasaratha of Magadha bin Kunala of Taxila bin King Ashoka (Asoka) Vardhana
4. Susur Galur dari Nabi Sulaiman
***) Darius I of Persia bin Meshar binti Salathial bin Tamar binti Johanan bin Josias bin Amon bin Manasses bin Ezechias bin Achaz bin Joatham bin Uzziah bin Amaziah bin Joash bin Ozias bin Jehoram bin Jehoshapat bin Asa bin Abia bin Roboam bin Nabi Sulaiman
Apa yang diakui raja Sriwijaya (Sri Indravarman), sebagai keturunan seribu
raja, ternyata bukanlah isapan jempol melainkan sebuah fakta, melalui Susur
Galur leluhurnya, Maharaja Nusirwan ‘Adil, telah membuktikannya.
Dan melalui penyelusuran Genealogy juga, kita dapat saksikan bahwa Raja Iskandar
Zulqarnain (Alexander III of Macedonia), Zulqarnain (Cyrus II of Persia)
dan Nabi Sulaiman sebagai Leluhur Bangsa Melayu, adalah sebuah kenyataan
dan bukan sekadar angan-angan.
WaLlahu a’lamu bishshawab
http://arkeologi.web.id/articles/epigrafi-a-manuskrip/36-menelusuri-makna-prasasti-kedukan-bukit-sriwijaya-
http://dp40.wordpress.com/2009/04/11/kemala-yang-terpendam/#more-4
Top Related