MAKALAH
POTENSI PENERAPAN SYARIAT ISLAM DI INDONESIA
MELALUI PERBAKAN SYARIAH
(SATU KAJIAN DARI PRESFEKTIF SEJARAH)
OLEH:
WAWAN SETIAWAN ( 1206305404 )
MATA KULIAH :
SEJARAH PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM
DOSEN:
H. KARNAEN A. PERWATAATMADJA, SE, MPA, FIIS
PROGRAM PASCA SARJANA
PROGRAM STUDI KAJIAN TIMUR TENGAH DAN ISLAM
JAKARTA
2012
ii
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ii
ABSTRAK iv
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang ……………………………………………...... 1
1.2 Rumusan Masalah ……………………………………………. 2
1.3 Tujuan Penulisan …………………………………………......
1.4 Metodologi Penulisan ………………………………………...
3
3
BAB II SEJARAH SINGKAT PENERAPAN SYARIAT ISLAM
PADA MASA RASULULLAH SAW
4
2.1 Periode Makiyyah …………………………………………..
2.1.1 Da’wah Pada Kerabat …………………………………
2.1.2 Da’wah Tertutup ………………………………………
2.1.3 Da’wah Terbuka ………………………………………
2.1.4 Periode Yang Menentukan ……………………………
4
5
5
6
7
2.2 Periode Madaniyyah ………………….……………………..
2.2.1 Periode Awal Di Madinah ………….….………………
2.2.2 Peride Perluasan Da’wah Islam ……………....……….
2.2.3 Periode Penyempurnaan Islam …………………….….
7
8
8
9
2.3 Islam Mereformasi Sistem Kehidupan Jahiliyah ……………
2.3.1 Reformasi Di Bidang Sosial Budaya ….………………
2.3.2 Reformasi Di Bidang Politik Dan Keamanan ..……….
2.3.3 Reformasi Di Bidang Ekonomi Dan Kesejahteraan ….
11
12
13
14
BAB III SEJARAH PENERAPAN SYARIAT ISLAM DI
NUSANTARA DAN INDONESIA 19
3.1 Kekhalifahan Islam Di Nusantara …………………………….
3.1.1 Kesultanan Samudra-Pasai Darussalam ………………..
3.1.2 Da’wah Wali Songo Di Pulau Jawa …………………….
3.1.3 Kesultanan-Kesultanan Nusantara ……………………...
3.1.4 Penerapan Ekonomi Syariah Di Nusantara ……………..
19
19
21
22
26
3.2 Masa Penjajahan Dan Perang Kemerdekaan ………………… 29
iii
3.2.1 Penghapusan Pengaruh Islam Oleh Belanda …………...
3.2.2 Perjuangan Menjelang Kemerdekaan …………………..
3.3 Perjuangan Pada Masa Kemerdekaan ………………………..
3.3.1 Perjuangan Di Awal Kemerdekaan …………………….
3.3.2 Perjuangan Di Era Orde Lama …………………………
3.3.3 Perjuangan Di Era Orde Baru ………………………….
3.3.4 Perjuangan Di Era Reformasi ………………………….
30
32
33
33
34
36
37
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 40
4.1 Kesimpulan ……….………………………………………….. 40
4.2 Saran ……..……….………………………………………….. 41
DAFTAR PUSTAKA …..………………………………………………….. v
iv
ABSTRAK
Perkembangan bank syariah selama hampir 20 (dua puluh) tahun
kehadirannya di Indonesia menunjukkan kinerja yang semakin membaik, apalagi
jika dilihat dari umurnya yang jauh lebih muda dari bank konvensional,
perkembangan bank syariah dinilai sangat pesat sekali. Hingga saat ini banyak
bank syariah di Indonesia masih menerapkan sistem perbankan konvensional pada
prakteknya karena selain masih menginduk kepada Bank Indonesia, juga masih
terbatasnya sumber daya manusia yang memahami sistem perbankan syariah.
Dikalangan mayoritas umat Islam Indonesia sendiri, masih banyak yang tidak
mengerti tentang perbankan syariah dan menganggap bank syariah yang ada
hanyalah labelisasi sistem konvensional dengan label syariah. Anggapan tersebut
lebih diperkuat dengan banyaknya pebisnis non-muslim memiliki dan mendirikan
bank syariah karena dianggap menguntungkan ditengah merosotnya ekonomi
kapitalis yang menjadi landasan sistem perbankan konvensional.
Sentimen ideologi dan catatan kelam umat Islam dalam sejarah Indonesia
menjadi bagian dari faktor penghalang penerapan sistem perbankan syariah di
Indonesia karena secara politis dianggap sebagai bagian dari cita-cita pendirian
Negara Islam di Indonesia. Pada tanggal 7 Agustus 1949 diproklamasikan
berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) oleh S.M. Kartosoewiryo dan disusul
oleh terjadinya pemberontakan-pemberontakan dengan mengatasnamakan NII
tersebut, seperti di Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi, Kalimantan, dan
Sumatera. Akibat kejadian-kejadian tersebut pergerakan umat Islam sangat
dibatasi terutama pada awal hingga pertengan masa Orde Baru. Peristiwa
reformasi telah membuka pembatasan tersebut, di bidang perbankan krisis
ekonomi telah menjadi pembuktian ketangguhan sistem perbankan syariah.
Namun sangat disayangkan, di bidang politik justru terjadi perpecahan umat Islam
dengan munculnya berbagai Partai Islam, dan dikalangan Islam radikal justru
melakukan aksi-aksi teror yang menumbuhkan sentiment ideologi dan Islam
phobia.
Allah memerintahkan seluruh umat manusia untuk masuk ke dalam
sistem kehidupan Islam secara total (kaffah) seperti yang dicontohkan oleh
Rasulullah, sehingga penerapan syariah harus dilakukan di setiap aspek
kehidupan, mencakup kehidupan pribadi, kehidupan rumah tangga, hubungan
berbangsa, dan hubungan antar bangsa. Dalam perjuangannya Rasulullah memulai
dengan pembinaan aqidah, yaitu penyadaran bahwa segala sesuatu harus sesuai
dengan kehendak Allah sebagai Sang Maha Pencipta, yang kita dikenal sebagai
Periode Makiyyah. Selanjutnya adalah disebut sebagai Periode Madaniyyah, pada
periode ini Rasulullah melakukan reformasi di bidang sosial dan budaya, bidang
politik dan keamanan, dan di bidang ekonomi dan kesejahteraan rakyat.
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia yang sebagian besar penduduknya adalah Muslim berpotensi
menjadi pasar terbesar di dunia bagi penerapan Sistem Perbankan Syariah. Hingga
saat ini perkembangan perbankan syariah di Indonesia dapat terbilang cukup
pesat, apalagi sejak diberlakukannya Undang-Undang No.21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah yang terbit tanggal 16 Juli 2008, yang membuat
pengembangan industri perbankan syariah nasional semakin memiliki landasan
hukum yang memadai dan akan mendorong pertumbuhannya secara lebih cepat
lagi1. Pesatnya pertumbuhan industri perbankan syariah dan ketangguhannya
dalam menghadapi krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1998 serta
mulai runtuhnya sistem ekonomi kapitalis yang mendasari sistem perbankan
konvensional menjadikan perbankan syariah diminati oleh para pebisnis dibidang
jasa keuangan (perbankan), termasuk para pebisnis yang non-muslim. Sehingga
banyak bank syariah besar bermunculan didirikan dan dimiliki oleh mereka yang
non-muslim karena dipandang sebagai alternatif sistem perbankan yang dapat
memberikan keuntungan setelah perbankan konvensional.
Walaupun perbankan syariah sebagai suatu industri perkembangannya
demikian pesat dan banyak diminati oleh para pelaku usaha jasa keuangan, namun
ruh dari perbankan syariah yaitu ajaran Islam cenderung terabaikan. Pada
prakteknya bank syariah masih banyak yang menerapkan cara-cara konvensional
tetapi menggunakan istilah-istilah yang dipergunakan dalam perbankan syariah
dengan beberapa penyesuaian. Hal tersebut terjadi dikarenakan selain sistem bank
syariah masih menginduk kepada Bank Indonesia yang menerapkan sistem
konvensional, juga adanya keterbatasan sumberdaya manusia yang mengerti
terhadap sistem perbankan syariah. Di sisi lain, masuknya para pengusaha non-
1 Prayoga Cahayanda, 2012, “Perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia”,
http://ekonomisyariah.blog.gunadarma.ac.id/2012/04/13/perkembangan-perbankan-
syariah-di-indonesia/.
2
muslim dalam pendirian dan kepemilikan bank syariah justru bukanlah suatu hal
yang positif karena bagaimanapun bagi mereka sistem perbankan syariah
hanyalah salah satu jenis usaha yang bias mendatangkan keuntungan, dan
bukanlah sebagai da’wah dalam rangka penerapan syariat Islam. Dengan
kewenangan yang dimilikinya, mereka dapat menjadikan bank syariah tersebut
tidak mempraktekan prinsip-prinsip syariat Islam, dan perbakan syariah tidak
dapat berkembang dan cenderung mati. Kalaupun ternyata perbankan syariah
yang tangguh dapat terus berkembang, maju, dan besar maka mereka yang non-
muslim tersebut tetap dapat menikmati keuntungan, dan masyarakat Islam
Indonesia tetap sebagai komoditi dari industri perbangkan syariah.
Dikalangan mayoritas umat Islam Indonesia, justru pengetahuan dan
kesadaran untuk mendukung terhadap penerapan perbankan syariah justru
perkembangannya sangat lambat dan kurang mencerminkan sebagai penduduk
Indonesia yang mayoritas jumlahnya. Banyak diantara mereka justru beranggapan
dan cenderung mencurigai perbankan syariah tersebut hanyalah sebagai labelisasi
sistem perbankan konvensional dengan label syariah sehingga tidak ada bedanya
antara perbankan konvensional dengan perbankan syariah. Apakah penerapan
perbankan syariah ini juga akan mengalami kegagalan seperti halnya pada sejarah
yang kita ketahui selama ini, setiap usaha penerapan syariat Islam di Indonesia ini
selalu mengalami kegagalan, dan umat Islam Indonesia sendiri yang
menggagalkannya.
1.2 Rumusan Masalah
Untuk mengetahui lebih mendalam tentang “Potensi Penerapan Syariat
Islam Di Indonesia Melalui Perbankan Syariah” ditinjau dari presfektif sejarah
dapat dilakukan pembahasan terhadap rumusan masalah berikut:
1. Bagaimanakah Rasulullah memperjuangkan syariat Islam menjadi
penataan kehidupan Bangsa Arab?
2. Bagaimanakah Para Tokoh Islam Indonesia memperjuangkan syariat Islam
menjadi aturan yang mengikat umat Islam Indonesia?
3
3. Bagaimanakah potensi penerapan syariat Islam di Indonesia melalui
penerapan sistem perbankan syariah jika ditinjau dari sejarah umat Islam
Indonesia dalam memperjuangkan penegakkan syariat Islam di Indonesia?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini selain sebagai pemenuhan tugas dari
mata kuliah “Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam” juga memberikan kajian dari
presfektif sejarah terhadap kemungkinan penerapan syariat Islam di Indonesia
melalui penerapan sistem perbankan syariah.
1.4 Metodologi Penulisan
Penyusun memakai metode studi literatur dan kepustakaan dalam
penulisan makalah ini. Referensi makalah ini bersumber tidak hanya dari buku,
tapi juga dari media-media lain yang diambil dari internet.
4
BAB II
SEJARAH SINGKAT PENERAPAN SYARIAT ISLAM
PADA MASA RASULULLAH SAW
Periode awal Islam, yang terdiri dari era kenabian Muhammad SAW dan
era Khulafaur Rasyidin merupakan rentang waktu yang sangat penting dalam
sejarah Islam. Karena pada periode tersebut, ajaran Islam yang komprehensif yang
meliputi seluruh aspek kehidupan, baik ibadah, sosial, politik, maupun ekonomi,
seluruhnya diimplementasikan dengan sebenar-benarnya. Islam sungguh telah
membawa tranformasi radikal dalam kehidupan individu dan sosial bagi
penganutnya, karena telah merombak secara total prilaku keseharian, sebagaimana
juga telah merombak standar-standar, penilaian, dan cara pandang seseorang
terhadap kehidupan. Dengan kata lain, periode awal Islam merupakan prototype
ideal yang harus dicontoh oleh seluruh umat Islam setelahnya.
2.1 Periode Makkiyyah
Islam tampil di Mekkah diawali dengan dianggkatnya Muhammad bin
Abdullah oleh Allah SWT melalui malaikat Jibril menjadi seorang Rasul di Gua
Hirah pada tanggal 17 Ramadhan 611 M dengan diturunkannya wahyu yang
pertama yaitu surat al-Alaq. Selama lebih kurang 12 tahun, Rasulullah berda’wah
di Makkah. Materi yang disampaikan dalam da’wah beliau, langsung terfokus
kepada substansinya, yaitu tauhidullah, menanamkan kesadaran bahwa Allah
adalah satu-satunya pencipta, pembimbing dan pemersatu kehidupan. Masyarakat
Makkah pada waktu itu sedang dilanda berbagai krisis, dan yang paling meninjol
adalah krisis iman. Mereka meninggalkan ajaran Islam yang telah diajarkan oleh
Nabi Ibrahim, Nabi Ismail, dan anak-anak keturunannya. Penduduk Makkah yang
suka menyembah berhala, patung-patung dari tanah liat, batu-batu besar, harta-
benda, dan benda-benda tertentu yang dianggapnya dapat menyampaikan hajatnya
kepada Allah SWT. Berhala yang paling banyak disembah dan dianggap dapat
mewakili Tuhan adalah Latta, Uzza, Hubal dan Manat. Keyakinan itulah yang
disebut syirik (menyekutukan Allah), dan membuat Muhammad bin Abdullah
5
merasa prihatin. Sehingga Rasulullah segera memfokuskan da’wahnya kepada
pembenahan aspek keimanan, agar kembali kepada Akidah Islam. Selain itu,
situasi dan kondisi di Makkah, belum memungkinkan bagi Rasulullah untuk
membenahi aspek-aspek sosial, ekonomi, politik, budaya dan sebagainya, karena
jumlah umat Islam pada waktu itu masih terbatas.
2.1.1 Da’wah Pada Kerabat
Mengingat pentingnya klan dalam komunitas Makkah, maka Rasulullah
mula-mula menyebarkan Islam di kalangan kerabatnya seperti perintah Allah
dalam al-Qur`an surat Asy-Syu’araa (26) ayat 214-215, sebagai berikut:
Artinya: “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat, dan
rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu
orang-orang yang beriman.”
Namun saat Rasulullah mengumpulkan keluarganya dalam suatu jamuan santai
dan berpidato meminta mereka ke jalan Allah, ternyata keluarganya menolak dan
hanya Ali bin Abi Thalib yang berani dan mau menjadi pendukungnya. Puluhan
orang yang hadir mentertawakan Muhammad dan Ali Bin Abi Thalib tidak
seorangpun menyadari bahwa beberapa di antara para undangan ini akan ditebas
oleh Ali Bin Abi Thalin di medan Badr, empat belas tahun kemudian, sebagai
bukti kesungguhan beliau. Dan selanjutnya disusul oleh paman dan sekaligus
saudara sesusuan Muhammad, yaitu Hamzah memeluk Islam sebagai salah satu
pelindung terkuat Muhammad saat itu.
2.1.2 Da’wah Tertutup
Selama tiga tahun lebih Rasulullah menyampaikan al-Qur`an,
memperkenalkan Dynul Islam kepada masyarakat Makkah secara sembunyi-
sembunyi, mengajak mereka untuk tidak menyembah berhala. Meskipun banyak
yang menolak Islam, namun Rasulullah tetap gigih dalam berda’wah. Dari da’wah
tersebut telah membawa beberapa orang memeluk Islam, yaitu: Khadijah (istri
Rasulullah), Ali bin Abi Thalib (sepupu Rasulullah), Abu Bakar (sahabat karib
6
Rasulullah), Usman bin Affan (sahabat Abu Bakar), Abdurrahman bin Rauf
(sahabat Abu Bakar), Umar bin Khaththab, Thalhah bin Abdullah (perisai
Rasulullah dalam Perang Uhud), Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqas,
Sa’id bin Zaid, dan Abu ‘Ubaidah bin Jarrah2. Mereka semua yang menjadi tulang
punggung perjuangan Rasulullah dalam menerapkan Islam saat itu, dan mereka
disebut ash-Shabiqunal-Awwalun. Dengan metode da’wah sembunyi-sembunyi
ini al-Qur`an dapat disampaikan dan diterima dengan bulat dengan sedikit
gangguan, pertentangan dengan kafir Quraisy terhindarkan, dan mengelakkan dari
keterkejutan Masyarakat Arab yang mengamalkan kepercayaan dan tradisi yang
sesat.
2.1.3 Da’wah Terbuka
Setelah melakukan da’wah secara tertutup dan berhasil mengajak beberapa
kerabat dan sahabat, selanjutnya Rasulullah memulai da’wah secara terang-
terangan setelah menerima wahyu dari Allah agar menjalankan da’wah secara
terang-terangan. Perintah tersebut terdapat pada surat al-Hijr ayat 94 berikut ini:
Artinya: “Maka sampaikanlah (Muhammad) secara terang-terangan segala apa
yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang
musyrik.”
Dengan ber-da’wah secara terang-terangan ini, Rasulullah mendapat tantangan
dari kaum kafir Quraisy, namun beliau tidak putus asa dan terus mengajak seluruh
lapisan masyarakat agar kembali kepada Islam. Hingga akhirnya keadaan umat
Islam semakin memprihatinkan karena penyiksaan dan penganiayaan oleh kafir
Quraisy. Melihat kondisi semakin memburuk maka Rasulullah memerintahkan
beberapa sahabat yang terdiri dari sepuluh laki-laki dan empat perempuan
termasuk di dalamnya Utsman bin Affan beserta istri, Zubair bi ‘Awwam,
Abdurrahman bin ‘Auf, dan Ja’far bin Abi Thalib untuk hijrah ke Negeri Habsyi
mencari suaka kepada Raja Najasi.
2 IKADI Surabaya, 2012, “10 Sahabat Rasul Yang Dijamin Syurga”,
http://ikadisurabaya.org/artikel/10-sahabat-rasul-yang-dijamin-syurga.
7
2.1.4 Periode Yang Menentukan
Tahun-tahun berikutnya menjadi tahun yang sangat berat bagi Rasulullah,
ditambah lagi dengan wafatnya istri tercinta Khadijah dan paman tercinta Abu
Thalib yang selama ini menjadi pelindung beliau berda’wah. Hijrah ke Thaif yang
dilakukan dengan harapan mendapatkan perlindungan atau suka jurtu sebaliknya,
Rasulullah dan kaum muslimin diusir dan ditimpuki batu. Walaupun situasi
dirasakan semakin berat, namun dengan da’wah terbuka ini menjadikan umat
Islam berani menegakkan kebenaran, aqidah semakin mantap dan teruji oleh
beratnya tantangan yang dihadapi, da’wah al-Qur`an semakin dikenal dan tersebar
luas di masyarakat sehingga pengaruhnya akan semakin luas.
Akhirnya masa-masa sulit tersebut mulai berkhir, pada tahun ke-10
kenabian, Rasulullah mendapatkan perintah Isra’ dan Mi’raj yang menjadi satu
perkembangan besar bagi dunia Islam selanjutnya. Selain perintah Shalat yang
diterima Rasulullah pada saat Isra’ dan Mi’raj adalah perintah Hijrah ke Yastrib,
dan di Yarstrib inilah Islam yang di bawa Rasulullah mendapatkan penerimaan
yang luar biasa karena sebelumnya telah dilakukan pendekatan aqidah dan
perjanjian antara penduduk Yastrib dengan Rasulullah, yaitu Perjanjian Aqabah I
dan Perjanjian Aqabah II.
2.2 Periode Madaniyyah
Hijrah ke Yastrib atau yang kita kenal Madinah saat ini, dilakukan oleh
Rasulullah dan kaum muslimin atas perintah oleh Allah bukanlah sekedar upaya
melepaskan diri dari tekanan kaum Musyrikin Makkah semata, tetapi
dimaksudkan sebagai titik awal untuk membangun atau menerapkan sebuah
peradaban baru yang modern. Rasulullah telah mengisyaratkan tempat tujuan dari
hijrah yang akan dilakukan melalui sabda beliau:
“Tempat hijrah kalian telah diperlihatkan kepadaku. Aku melihat tanah beragam
dan ditumbuhi pohon kurma, yang berada diantara dua gunung yang berupa dua
Harrah.” [HR. Bukhari dan Muslim]3
3 Karnaen A. Perwataatmadja dan Anis Byarwati, 2008, “Jejak Rekam Ekonomi Islami”,
Cetakan Pertama, Jakarta: Cicero Publishing, hal. 20.
8
2.2.1 Periode Awal Di Madinah
Saat pertama Rasulullah sampai di Yastrib, beliau diangkat sebagai
pemimpin resmi dan mengubah nama Yatsrib menjadi Madinah (Madinatul
Munawwarah). Dalam rangka memperkokoh masyarakat dan Negara baru ini,
Rasulullah meletakkan dasar-dasar kehidupan bermasyarakat, antara lain:
1) Dasar pertama, pembangunan masjid, selain untuk tempat shalat, juga sebagai
sarana penting untuk memepersatukan kaum muslimin dan mempertalikan
jiwa mereka, disamping sebagai tempat bermusyawarah merundingkan
masalah-masalah yang dihadapi. Masjid pada masa kenabian bahkan juga
digunakan sebagai pusat pemerintahan.
2) Dasar kedua, adalah ukhuwah islamiyah, persaudaraan sesama muslim dengan
dilandasi keimanan dan ketaqwaan. Persaudaraan yang dibangun melebihi
hubungan keluarga.
3) Dasar ketiga, hubungan persahabatan dengan pihak-pihak lain yang tidak
beragama Islam dalam sebuah ikatan perjanjian yang disebut Piagam Yastrib
atau Konstitusi Madinah.
Perseteruan dengan kaum kafir Quraisy yang tak kunjung padam akibat
dari da’wah pada saat periode Makkiyyah, maka Rasulullah mengambil keputusan
yang berani, menyusun kekuatan dalam upaya melakukan penyerangan terhadap
karavan Makkah dan akhirnya terjadi peperangan besar sekitar tahun 624 M, yaitu
perang Badr yang dimenangi oleh pasukan kaum Muslimin. Selanjutnya terjadi
penyerangan balik oleh pihak kafir Quraisy yang dikenal dengan perang Uhud
pada tahun 625 M yang dimenangi oleh pihak kafir Quraisy. Dan selanjutnya
disusul kembali oleh penyerangan berikutnya oleh kafir Quraisy pada tahun 627
M yang dikenal dengan perang Khandaq, dan pasukan Islam berhasil
menghancurkan pasukan kafir Quraisy.
2.2.2 Periode Perluasan Da`wah Islam
Pada tahun 6 H (628 M), ketika ibadah Haji sudah disyariatkan, Rasulullah
memimpin sekitar seribu kaum muslimin berangkat ke Makkah untuk menunaikan
ibadah Umrah, mereka mengenakan pakaian ihram tanpa membawa senjata.
Sebelum tiba di Mekkah, kaum muslimin bermukim di Hudaibiyah, karena
9
penduduk Makkah tidak mengizinkan kaum muslimin memasuki Makkah,
akhirnya diadakan perjanjian yang dikenal dengan nama Perjanjian Hudaibiyah.
Isi perjanjian tersebut antara lain:
1) Kaum muslimin boleh saja mengunjungi Makkah tahun itu tetapi
ditangguhkan sampai tahun depan;
2) Lama kunjungan dibatasi sampai tiga hari saja;
3) Kaum muslimin wajib mengembalikan orang-orang Makkah yang
melarikan diri ke Madinah sedang sebaliknya pihak Quraisy tidak harus
menolak orang-orang Madinah yang kembali ke Makkah;
4) Selama sepuluh tahun diadakan gencatan senjata antar masyarakat
Madinah dan Mekkah; dan
5) Tiap kabilah yang ingin masuk kedalam persekutuan kaum Quraisy atau
kaum muslimin, bebas melakukannya tanpa mendapat rintangan.
Dengan perjanjian Hudaibiyah ini, Rasulullah dan kaum Muslimin mendapatkan
kemenangan Diplomatik yang besar karena da’wah dapat dilakukan dengan bebas
dan lebih luas lagi dan akan terus dapat menambah jumlah dan kekuatan kaum
muslimin, sehingga harapan untuk mengambil alih Ka’bah dan menguasai
Makkah semakin terbuka lebar.
Pada masa genjatan senjata tersebut dimanfaatkan oleh Rasulullah dengan
mengirim utusan dan surat ke kepala-kepala Negara dan pemerintahan, seperti
kepada raja Ghassan, Mesir, Abesinia, Persia, dan Romawi. Namun tak seorang
pun yang masuk islam, ada yang menolak dengan baik dan simpati, ada juga yang
menolak dengan kasar seperti yang diperlihatkan oleh raja Ghassan dengan
membunuh utusan yang dikirim oleh Rasulullah. Untuk membalas perlakukan
tersebut, Rasulullah mengirimkan sebanyak tiga ribu pasukan yang dipimpin oleh
Khalid bin Walid, namun tentara Islam tidak dapat mengalahkan raja Ghassan
yang mendapakan bantuan dari Romawi dan akhirnya pasukan pun mundur dan
kembali ke Madinah.
Pada tahun 9 dan 10 H (6330-632 M) banyak suku dari berbagai pelosok
Arab menyatakan ketundukkannnya kepada Rasulullah dengan mengutus
delegasinya. Masuknya Makkah ke dalam agama Islam mempunyai pengaruh
besar bagi penduduk padang pasir. Tahun tersebut disebut tahun perutusan,
10
persatuan bangsa Arab telah terwujud, peperangan antar suku yang sebelumnya
terjadi telah berubah menjadi persaudaraan agama.
2.2.3 Periode Penyempurnaan Islam
Pada tahun 10 H (632 M), Rasulullah melaksanakan Haji Wada’ dan
beliau menyampaikan khutbah bersejarah yang isinya: Larangan menumpahkan
darah kecuali dengan haq dan larangan mengambil hak orang lain dengan cara
bathil, karena nyawa dan harta benda adalah benda yang suci. Larangan Ridah dan
larangan menganiaya; perintah memperlakukan para istri dan perempuan dengan
baik dan lembut, karena yang mulia di hadapan Allah adalah yang taqwa diantara
mereka, dan perintah menjauhi dosa; semua pertengkaran-pertengkaran antara
mereka di zaman Jahiliyah harus saling dimaafkan; balas dendam dengan tebusan
darah sebagaimana berlaku di zaman Jahiliyah tidak lagi dibenarkan.;
persaudaraan dan persamaan diantara manusia harus ditegakkan; hamba sahaya
harus diperlakukan dengan baik, mereka makan seperti apa yang dimakan tuannya
dan memakai seperti apa yang dipakai tuannya; dan yang terpenting adalah bahwa
umat Islam harus selalu berpegang kepada dua sumber yang tak pernah usang,
yaitu al-Qur`an dan Sunnah Rasul.
Pada saat Haji Wada’ ini juga Allah telah menyempurnakan Diynul Islam
sebagai satu-satunya sistem penataan hidup yang diakui/ diridhai oleh Allah,
seperti tertuang dalam al-Qur`an surat al-Maidah (5) ayat 3 sebagai berukut:
Artinya: “… Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan
telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu
jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa
sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.”
11
Setelah itu Rasulullah kembali ke Madinah, beliau mengatur organisasi
masyarakat kabilah yang telah memeluk agama Islam, petugas keamanan dan para
da’i dikirim keberbagai daerah dan kabilah untuk mengajarkan ajaran-ajaran
Islam, mengatur peradilan, dan menunggu zakat. Dua bulan setelah Haji Wada’
Rasulullah menderita sakit demam dan tenaganya dengan cepat berkurang. Pada
hari senin, tanggal 12 Rabi’ul Awal 11 H/ 8 Juni 632 M, Rasulullah wafat
dirumah istrinya ‘Aisyah. Dengan wahyu yang Rasulullah terima dari Allah telah
melahirkan kebudayaan dan peradaban yang terbaik bagi umat manusia diseluruh
dunia terutama bangsa Arab yang hidup pada zamannya.
2.3 Islam Mereformasi Sistem Kehidupan Jahiliyyah
Proses hijrah ke Yastrib merupakan satu indikasi kebenaran ajaran yang
dibawa Rasulullah yang diiplementasikan dalam sebuah kehidupan nyata, yaitu
Madinatul Munawwarah, bukan sekedar teori belaka, sekaligus menjadi
pembuktian ketulusan, kesungguhan, ketangguhan, dan pengorbanan besar kaum
muslimin untuk menjadi muslim yang kaffah dalam rangka memenuhi panggilan
dan seruan Allah SWT. Di dalam tatanan kehidupan di Madinah inilah terjadi
reformasi besar-besaran sistem kehidupan, yang sebelumnya hidup secara
jahiliyah menjadi berbuat dan bertindak secara modern mengikuti kehendak Allah
yang diajarkan melalui Rasulullah.
Allah menggambarkan kondisi kaum muslimin saat sebelum dan sesuadah hijrah
tersebut dalam al-Qur`an surat al-Anfaal (8) ayat 26, sebagai berikut:
Artinya: “Dan ingatlah (hai para muhajirin) ketika kamu masih berjumlah sedikit,
lagi tertindas di muka bumi (Mekah), kamu takut orang-orang (Mekah)
akan menculik kamu, maka Allah memberi kamu tempat menetap
(Madinah) dan dijadikan-Nya kamu kuat dengan pertolongan-Nya dan
diberi-Nya kamu rezeki dari yang baik-baik agar kamu bersyukur.”
12
2.3.1 Reformasi Di Bidang Sosial Dan Budaya
Sebelum kedatangan Rasulullah, kehidupan sosial dan budaya Yatsrib dan
Arab pada umunya adalah hidup bersuku-suku dan tidak memiliki sistem baik
secara pemerintahan diantara mereka. Rasulullah datang mereformasi sosial
budaya yang berlaku saat itu dengan menerapkan sistem pemerintahan terpusat.
Langkah-langkah reformasi yang Rasulullah laksanakan pada saat itu antara lain:
1. Membangun Masjid Nabawi.
Masjid Nabawi didirikan secara gotong royong, dijadikan sebagai pusat
pembinaan aqidah dan akhlak bagi umat Islam untuk percepatan proses
reformasi sosial budaya masyarakat. Selain itu juga Masjid Nabawi dijadikan
sebagai tempat dilaksanakannya berbagai kegiatan, antara lain musyawarah,
kantor pemerintahan, mahkamah agung, markas besar tentara, pusat
pendidikan, Baitul Maal, dan lain sebagainya.
2. Menetapkan Sistem Persaudaraan.
Penetapan undang-undang Muakhah yang mengatur hubungan Muhajirin
dengan Anshar dalam sebuah perikatan persaudaraan atas dasar ikatan Iman
yang tingkatannya lebih tinggi dari ikatan persaudaraan dalam keluarga.
Keduanya memiliki hak dan tanggung jawab untuk saling tolong menolong
yang tidak terbatas, baik untuk masalah khusus maupun masalah lainnya
dalam kehidupan.
3. Menetapkan Madinah sebagai Wilayah yang Disucikan.
Penetapan Madinah sebagai wilayah yang disucikan dari berbagai pelanggaran
sebagai upaya untuk menciptakan perdamaian dengan segera karena pada saat
itu Madinah dihuni oleh beberapa suku yang masih sering bertikai. Dengan
penetapan ini dalam bentuk dokumen yang harus ditaati oleh semua pihak,
madinah tumbuh dan berkembang sebagai wilayah yang aman dan damai.
4. Meletakkan Dasar-Dasar Kehidupan Bermasyarakat.
Rasulullah membangun struktur masyarakat Madinah di atas aturan-aturan
yang toleran, melampaui kebiasaan yang berlaku pada zaman itu, yang
dipenuhi dengan fanatisme kekuasaan dan kebanggaan ras.4 Kepemimpinan
4 Muhammad al-Ghazali, 1985, “Fiqhus Sirah” (terj.), Cetakan Pertama, Bandung: PT.
al-Ma’arif, hal. 314.
13
Rasulullah dilaksanakan dengan menerapkan sistem musyawarah, ukhuwah
islamiyyah, dan menjalin hubungan baik dengan pihak non muslim yang
menetap di Madinah tanpa ada perlakuan diskriminatif maupun pengusiran.
2.3.2 Reformasi Di Bidang Politik Dan Keamanan
Rasulullah mengatur hubungan dengan berbagai lapisan masyarakat di
Madinah, dan mendokumentasikannya dalam bentuk al-Kitab (buku) dan ash-
Shahifah (bundel lembaran-lembaran kertas) yang menjelaskan komitmen
masing-masing kelompok di Madinah dengan batasan-batasan hak dan
kewajibannya masing-masing, yang dalam penelitian modern disebut ad-Dustur
(konstitusi) atau al-Watsiqah (dokumen).5 Dokumen tersebut pada awalnya terdiri
dari dua bagian, yaitu dokumen yang mengatur hubungan persaudaraan se-iman
(sesame muslim) antara Muhajirin dan Anshar dan dokumen yang mengatur
perjanjian damai antara asulullah dengan kaum Yahudi di Madinah. Para ahli
sejarah menyatukan kedua perjanjian tersebut menjadi satu dokumen, yang
dikenal dengan nama Piagam Madinah.6 Dengan adanya Piagam Madinah sebagai
konstitusi, maka Madinah telah memiliki kedaulatan penuh sebagai negara.7
Langkah-langkah reformasi yang Rasulullah lakukan di bidang politik dan
keamanan sebagai sebuah konsekwensi Madinah sebagai sebuah Negara adalah:
1. Membangun Sistem Pertahanan.
Untuk menjamin ketentraman dan keamanan di seluruh wilayah Madinah serta
eksistensi Madinah sebagai Negara berdaulat dari kemungkinan agresor dari
pihak lain maka seluruh anggota masyarakat Madinah tanpa terkecuali
berkewajiban membela dan mempertahankan kedaulatan Negara.Untuk itulah
maka Rasulullah membentuk pasukan sukarela untuk berjihad
mempertahankan diri dari serangan musuh. Selain itu juga secara politik
dilakukan diplomasi dan perjanjian damai dengan kabilah-kabilah disekitar
5 Akram Dhiyauddin Umari, 1999, “Masyarakat Madani, Tinjauan Historis Kehidupan
Zaman Nabi”, Jakarta: Gema Insani Press, hal. 108.
6 Ibid, hal. 118.
7 M. A. Sabzwari, 2001, “Sistem Ekonomi Dan Fiskal Pada Masa Pemerintahan Nabi
Muhammad SAW”, dalam buku ”Bunga Rampai Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam”,
Penyususn Adiwarman Azwar Karim, M. A. International Institute of Islamic Though,
Jakarta, hal. 22.
14
Madinah untuk memperkuat kedudukan Madinah Munawwarah. Pembentukan
tentara sukarela tersebut terbukti efektif dalam menghadapi agresi dari kafir
Quraisy dalam perang Badr, Uhud, dan peperangan lainnya.
2. Membentuk Majelis Syura.
Rasulullah sebagai kepala Negara juga sebagai pemimpin di bidang hukum,
Qadhi Besar, dan Mufti, serta sebagai pemimpin dan penanggungjawab
keseluruhan administrasi Negara. Untuk menunjang fungsi tersebut,
Rasulullah membentuk Majelis Syura, semacam lembaga tinggi Negara yang
ikut merumuskan berbagai kebijakan. Majelis Syura ini anggotanya terdiri dari
para pemimpin kaum yang sebagian dari mereka bertanggungjawab mencatat
wahyu.
3. Membentuk Sekertariat Pemerintahan.
Pada tahun ke-6 Hijriah dibentuk semodel sekertariat Negara dalam bentuk
yang masih sederhana. Pada sekertariat Negara tersebut, Bilal bin Rabah
bertugas mengurus keperluan rumah-tangga Rasulullah dan bertanggung
jawab mengurus tamu-tamunya.8
2.3.3 Reformasi Di Bidang Ekonomi Dan Kesejahteraan
Islam sebagai sebuah sistem penataan kehidupan yang komprehensif,
meliputi berbagai aspek kehidupan. Reformasi di bidang ekonomi dan
kesejahteraan juga dilakukan oleh Rasulullah, berikut adalah reformasi tersebut:
1. Meletakkan Dasar-Dasar Kebijakan Keuangan Negara.
Pada saat awal, pembiayaan pemerintahan seperti administrasi,
peperangan,pertahanan dan keamanan, bantuan kepada fakir-miskin dan anak
yatim, semuanya berasal dari sumbangan sukarela dan zakat fitrah yang masih
kecil jumlahnya. Namun untuk selanjutnya terutama setelah Perang Badr
pembiayaan aktifitas tersebut selain sumbangan sukarela dan zakat fitrah juga
dari khumus yaitu seperlima dari ghanimah (rampasan perang) dan sisanya
dibagikan pada tentara yang ikut perang, serta tebusan tawanan perang.
Kemudian akibat adanya penghianatan dari Bani Nadhir saat perang Uhud dan
mereka memilih meninggalkan Madinah, maka harta benda yang mereka
8 Syibli Nu’man, 1973, “Seeratan Nabi”, Vol. 1, Karachi: Matbee Ma’arif, hal. 281.
15
tinggalkan menjadi milik pemerintah yang disebut fa’i dan dibagikan kepada
fakir-miskin. Dari fa’i yang menjadi bagian Rasulullah, oleh beliau di
wakafkan yang merupakan wakaf pertama dalam dunia Islam. Rasulullah
berusaha keras menegakkan satu keseimbangan yang wajar dalam masyarakat
dan sangat taat kepada perintah Allah agar kekayaan tidak terkumpul hanya
dikalangan orang-orang kaya saja.
2. Membentuk Baitul Maal sebagai Kekayaan Publik.
Dengan mulai adanya sumber-sumber lain penerimaan Negara, maka
diperlukan suatu lembaga yang mengurus kepentingan pengelolaan keuangan
Negara tersebut. Dana yang dikelola tersebut dipergunakan juga untuk
membiayai para da’i (orang yang menyebarkan agama ke tempat-tempat jauh)
dan gaji para pegawai pemerintahan. Lembaga yang mengurusi pengelolaan
kekayaan Negara tersebut disebut Baitul Maal yang pada saat itu masih
bersifat sederhana terbatas pada pengumpulan dan disribusi saja. Sedangkan
terkait dana hasil kharaz (sewa atas tanah) dan pengumpulan jizyah (pajak)
baru terbentuk saat kekhalifahan Umar Bin Khatab.
3. Mengembangkan Sumber-Sumber Penerimaan Negara.
Selain sumber pendanaan yang telah disebutkan maka terdapat sumber
pendanaan lain sebagai pengembangan sumber penerimaan Negara, seperti
kafarat (denda atas suatu pelanggaran), ushr (bea masuk) kepada barang yang
bernilai lebih dari 200 dirham, tebusan tawanan perang, rikaz dari harta karun,
amwal fadhal (tanah tak bertuan), nawaib (pajak terhadap orang kaya kepada
Negara pada masa darurat), dan pinjaman. Selanjutnya dalam rangka
meningkatkan perdagangan Rasulullah menghapuskan ushr (bea masuk) atas
uang dinar dan dirham (sekarang disebut sistem devisa bebas) serta komoditi
(sekarang disebut pasar bebas) yang memberikan sumbangan berarti pada
keseimbangan moneter.
4. Mengembangkan Dasar-Dasar Kebijakan Fiskal.
Dasar kebijakan fiskal menyangkut penentuan subjek dan objek kewajiban
membayar kharaj, zakat, ushr, jizyah, dan kafarat termasuk penentuan batas
minimal terkena kewajiban (nishab), umur objek terkena kewajiban (haul),
dan tarifnya. Karena membayar zakat adalah perintah Allah maka dalam
16
menunaikannya dapat dilakukan sendiri dengan penuh keimanan dan
ketaqwaan (self assessment).
5. Mengembangkan Dasar-Dasar Kebijakan Anggaran Belanja Negara.
Menurut catatan sejarah, penerimaan dari pinjaman hanya dilakukan dalam
keadaan darurat dan dilunasi dalam tahun itu juga seperti sesaat setelah Futuh
Makkah. Rasulullah menetapkan beberapa sektor yang yang paling banyak
mendapatkan perhatian, yaitu: peningkatan kualitas sumber daya manusia
melalui pendidikan dan kebudayaan, serta ilmu pengetahuan; pengembangan
infrastruktur ekonomi; pembangaunan pertahanan dan keamanan; dan
peningkatan kesejahteraan sosial melalui penyaluran zakat, infaq, dan
shadaqah kepada para asnaf (yang berhak menerima zakat).
6. Meletakkan Dasar-Dasar Keseimbangan Moneter.
Tetap diberlakukannya mata uang Dinar (dari Romawi) dan Dirham (dari
Persia) sebagai pengganti alat tukar yang nilai nominalnya sama dengan nilai
pada kepingnya tersebut (face value), dimana nilai satu dinar sama dengan
nilai sepuluh dirham. Selain mata uang juga tetap diberlakukannya surat wesel
dagang dan surat utang (kredit) untuk transaksi dagang yang besar akibat
keterbatasan berat mata uang koin dalam jumlah besar.
7. Menetapkan Sembilan Kebijakan Di Bidang Moneter.
Secara lebih rinci berikut adalah Sembilan kebijakan di bidang moneter yang
tetap atau diberlakukan saat itu, antara lain9:
1) Membiarkan berlakuknya mata uang Dinar dan Dirham, surat wesel
dagang, serta surat utang.
2) Pembebasan tariff bea masuk untuk import emas dan perak serta komoditi
dari wilayah Persia dan Romawi.
3) Larangan penimbunan uang (kanz). Sementara itu masyarakat
diperbolehkan melakukan peleburan mata uang emas dan perak menjadi
perhiasan atau ornament ketika ada kelebihan penawaran di atas
permintaannya.
9 Karnaen A. Perwataatmadja dan Anis Byarwati, Op. Cit, hal. 38.
17
4) Larangan menimbun barang untuk menjaga stabilitas nilai uang. Distorsi
harga dicegah melalui larangan pencegatan kafilah sebelum masuk ke
pasar (talaqir rukban).
5) Larangan membungakan uang (bagian dari riba) yang dijalankan bersama
dengan larangan menimbun uang (kanz) telah mempercepat peredaran
uang yang diarahkan untuk kegiatan investasi.
6) Menggalakan pinjaman tanpa bunga (qardhul hasan) dan model-model
perjanjian bagi hasil dan resiko, seperti mudharabah, muzara’ah,
musaqat, dan musyaraqah. Adanya proses peningkatan produksi tersebut
pada gilirannya ikut mempercepat peredaran uang.
7) Mencegah kegiatan spekulasi. Rasulullah melarang uang dan barang
dipertukarkan (jual-beli) selang beberapa waktu setelah kontrak
ditandatangani (saat ini dikenal dengan istilah future trading).
8) Meningkatkan produksi barang dan jasa, hal ini dilakukan dalam bentuk
pembagian tanah yang ditinggalkan Bani Nadhir yang berpotensi tidak
produktif, pembagian tanah untuk perumahan, melakukan alih
pengetahuan dan keterampilan dari Persia dan Romawi untuk kegiatan
pertanian, arsitektur, kedokteran, dan kerajinan sehingga hasil pertanian,
kerajinan, dan kegiatan dibidang jasa meningkat.
9) Menghapus monopoli dagang kaum Quraisy dipasar Ukaz dan Dul-Majaz
setealah Futuh Makkah. Penghapusan monopoli ini telah meningkatkan
efisiensi dan distribusi pendapatan yang lebih baik.
Kesembilan kebijakan tersebut diatas , dilaksanakan dengan baik sehingga
selama pemerintahan Rasulullah tidak terdapat catatan adanya gejolak
moneter.
Demikianlah sejarah perjuangan Rasulullah yang sangat revolusioner,
dengan waktu hanya sekitar dua puluh enam tahun dapat melakukan perombakan
total yang konprehensif terhadap seluruh aspek kehidupan masyarakat Arab saat
itu yang hidup dalam sistem yang jahiliyah. Dan sudah seharusnya menjadi
contoh yang harus kita teladani dan terapkan dalam segala aspek kehidupan kita
semua secara pribadi, termasuk dalam memperjuangkan tegaknya Diynul Islam di
Persada Nusantara. Penguatan aqidah sebagai landasan yang sangat fundamental
18
menjadi syarat mutlak yang harus diadakan terlebih dahulu sebelum penerapannya
kelak dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan hubungan antar
bangsa (internasional).
19
BAB III
SEJARAH SINGKAT PENERAPAN SYARIAT ISLAM
DI NUSANTARA DAN INDONESIA
3.1 Kekhalifahan Islam Di Nusantara
Rasulullah diutus membawa Dynul Islam sebagai sebuah sistem kehidupan
tiada tanding yang dapat mewujudkan kehidupan adil-makmur menurut Allah.
Oleh sebab itulah kabar gembira sekaligus peringatan tersebut harus disampaikan
keseluruh umat manusia seperti yang Rasulullah lakukan dengan mengirimkan
para utusan sebagai da’i ke seluruh wilayah, tidak terkecuali kepada masyarakat
yang berada di Nusantara. Misi da’wah ke Nusantara yang dikirim oleh Syarif
Makkah sebagai gubernur Hijaz/ Makkah membuahkan hasil, yaitu sekitar tahun
1261 M, Raja Samudra-Pasai yang bernama Meurah Silu memeluk Islam dengan
gelar Sultan Malikush Shalih, dan Kesultanan Samudra-Pasai menjadi bagian
Kekhalifahan Abbasiyyah di Mesir dan dibawah kontrol Makkah atau disebut
Serambi Mekah.10
3.1.1 Kesultanan Samudra-Pasai Darussalam
Sejak menjadi bagian dari Khilafah, Kesultanan Samudra-Pasai melesat
menjadi pusat koordinasi dan pengkaderan Da’i yang akan dikirim ke seluruh
penjuru Nusantara. Da’wah Islam secara besar-besaran ke seluruh wilayah di
Nusantara pun dimulai. Dari Samudra-Pasai, da’wah Islam menyebar melalui dua
jalur, yaitu:
Jalur Malaka; dari Malaka da’wah Islam bergerak ke Johor, Kedah,
Trengganu, Pattani, Kelantan, Campa, Brunai, Sulu, Mindanao dan Manila.
Dan dari Johor da’wah menyebar ke Riau dan Siak. Dari Mindanao da’wah
menyebar ke Sulawesi Utara.
Jalur Giri;·dari Giri Gresik da’wah Islam menyebar ke Jawa Tengah, Jawa
Barat, Banten, Palembang, Tanjung Pura, Banjar, Sulawesi Selatan, dan
10 Umar Abdullah, 2007, “Sejarah Penerapan Syariat Islam Di Indonesia”, El-Moesa
Production, hal. 10.
20
Ternate. Dan dari Ternate menyebar ke Buton dan Sulawesi Tengah.
Sedangkan dari Sulawesi Selatan da’wah Islam menyebar ke Kutai di
Kalimantan Timur dan Bima di Nusa Tenggara.
Da’wah Islam ke seluruh Nusantara selain dalam rangka menyebarkan
ajaran Islam, juga memiliki agenda politik yaitu menyiapkan berdirinya
kesultanan-kesultanan setingkat kabupaten yang akan menerapkan syariat Islam di
bawah kontrol provinsi Makkah dibawak Khilafah Islam Bani Abbasiyyah.
Persiapan tersebut dilakukan dengan dua sasaran, yaitu:
1) Menyiapkan rakyat kerajaan dengan memunculkan kesadaran Islam pada diri
mereka;
2) Menyiapkan Ahlul Quwwah (pemilik kekuatan yang nyata) di kerajaan
tersebut yaitu memunculkan kesadaran Islam kepada para raja dan pangeran
kerajaan Hindu dan Budha, sehingga nantinya mereka mampu menerapkan
Syariat Islam dengan baik.
Da’wah yang sebelumnya dilakukan oleh para pedagan, dengan agenda
politik tersebut da’wah juga didukung oleh Daulah Khilafah Islamiyyah yang
didukung oleh kesultanan di seluruh penjuru wilayah Daulah Khilafah. Dukungan
ini dilakukan dengan mengirimkan para ulama terkemukanya untuk diutus
berda’wah ke Nusantara dan terlihat jelas dalam misi da’wah Islam ke Pulau
Jawa.
Pada tahun 808 H (1404 M) berangkatlah sembilan Da`i ulama dari
berbagai tempat di wilayah daulah Khilafah atas sponsor Sultan Muhammad
Jalabi dari Kesultanan Turki Utsmani ke tanah Jawa melalui Kesultanan Samudra-
Pasai. Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim ahli tata pemerintahan negara dari
Turki, Maulana Ishaq dari Samarqand yang dikenal dengan nama Syekh Awwalul
Islam, Maulana Ahmad Jumadil Kubra dari Mesir, Maulana Muhammad al-
Maghribi dari Maroko, Maulana Malik Israil dari Turki, Maulana Hasanuddin dari
Palestina, Maulana Aliyuddin dari Palestina, Muhammad Maulana Ali Akbar dan
Syekh Subakir dari Persia. Sebelum ke tanah Jawa, umumnya mereka singgah
dulu di Samudra-Pasai. Dan Sultan Zainal Abidin Bahiyan Syah penguasa
Samudra-Pasai antara tahun 1349-1406 M yang mengantar Maulana Malik
Ibrahim dan Maulana Ishaq ke Tanah Jawa.
21
Pada periode berikutnya, antara tahun 1421-1436 M datang tiga Da’i
ulama ke Jawa menggantikan Da’i yang wafat. Mereka adalah Sayyid Ali
Rahmatullah putra Syaikh Ibrahim dari Samarkand (yang dikenal dengan Ibrahim
Asmarakandi) dari ibu Putri Raja Campa-Kamboja (Sunan Ampel), Sayyid Ja’far
Shadiq dari Palestina(Sunan Kudus), dan Syarif Hidayatullah dari Palestina cucu
Raja Siliwangi Pajajaran yang bergelar Sunan11
Gunung Jati.
3.1.2 Da’wah Wali Songo di Pulau Jawa
Misi da’wah Islam ke Tanah Jawa ini terorganisir dengan rapi dengan
pembagian tugas dan wilayah yang jelas. Pada sidang tahun 1436 M yang
diadakan di Ampel, Surabaya, kelompok da’wah ini membagi tugas da’wah
menjadi sembilan pengurus atau wali: Sunan Ampel (Raden Rahmat), Maulana
Ishaq dan Maulana Jumadil Kubro mengurus Jawa Timur; Sunan Kudus, Syekh
Subakir dan Maulana al-Maghribi mengurus Jawa Tengah; sedang Syarif
Hidayatullah, Maulana Hasanuddin, dan Maulana Aliyuddin mengurus Jawa
Barat. Misi da’wah ini dikenal dengan nama misi da’wah Wali Songo dengan
pucuk pimpinan dipegang Sunan Ampel yang memiliki akses paling dekat dan
kuat dengan pemegang kekuasaan Kerajaan Majapahit saat itu, yakni sebagai
keponakan Prabu Brawijaya Kertabumi.
Untuk menambah kekuatan sumber daya manusia (penda’wah), masing-
masing wali mencetak kader-kader Da`i melalui proses belajar mengajar dalam
halqah-halqah dan memberi tugas untuk berda’wah di daerah tertentu hingga satu
orang Da`i membawahi wilayah setingkat kecamatan. Sunan Ampel misalnya,
yang bertanggung jawab untuk kawasan Surabaya hingga pusat Kerajaan
Majapahit di Mojokerto mengkader Abu Hurairah menjadi Sunan Kapasan yang
membawahi kecamatan Kapasan di Surabaya. Dengan cara ini jumlah Da`i
semakin banyak khususnya dari kalangan penduduk dan penguasa setempat.
Mulai tahun 1463 M makin banyak da’i ulama keturunan Jawa yang
menggantikan Da’i yang wafat atau pindah tugas. Mereka adalah Raden Paku
(Sunan Giri) putra Maulana Ishaq dengan Dewi Sekardadu Putri Prabu Menak
11 Gelar sunan berasal dari kata susuhunan yang berarti “yang dijunjung tinggi” atau
“panutan masyarakat setempat”.
22
Sembuyu Raja Blambangan, Raden Said (Sunan Kalijaga) putra Adipati Wilatikta
Bupati Tuban, Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang) dan Raden Qasim (Sunan
Drajad) dua putra Sunan Ampel dengan Dewi Condrowati putri Prabu Kertabumi
Raja Majapahit. Banyaknya gelar Raden yang berasal dari kata Rahadian yang
berarti Tuanku di kalangan para wali, menunjukkan bahwa da’wah Islam sudah
terbina dengan subur di kalangan elit penguasa Kerajaan Majapahit, sehingga
terbentuknya sebuah kesultanan tinggal tunggu waktu.
3.1.3 Kesultanan-Kesultanan Nusantara
Dakwah besar-besaran dan bersifat politis dari Samudra-Pasai Darussalam
sang Serambi Mekkah ini berhasil memunculkan kesultanan-kesultanan Islam
berikutnya di seluruh nusantara mulai abad ke-15 M hingga awal abad ke-19 M.
Berikut adalah kesultanan-kesultanan tersebut:
1) Kesultanan Brunai Darussalam
Pada tahun 1402 M berdiri Kesultanan Brunai Darussalam di Kalimantan
Utara dengan Awang Alang Betatar, seorang Raja Brunai yang masuk Islam
sebagai sultan pertamanya dengan gelar Sultan Muhammad Syah.
2) Kesultanan Malaka
Di Semenanjung Malaya pada tahun 1414 M berdiri Kesultanan Malaka.
Kesultanan Islam ini dikonversi dari Kerajaan Hindu oleh Parameswara sang
raja yang kemudian menjadi sultan pertamanya bergelar Sultan Megat
Iskandar Syah.
3) Kesultanan Sulu
Di Kepulauan Sulu Pada tahun 1457 M berdiri Kesultanan Sulu dipimpin
Paduka Maulana Mahasari Sharif Sultan Hashem Abu Bakr sebagai sultan
pertamanya.
4) Kesultanan Demak
Di Jawa pada tahun 1478 M berdiri Kesultanan Demak dengan Pangeran Jin
Bun sebagai sultan pertamanya dengan gelar Sultan Alam Akbar al-Fattah.
Sementara di Gresik berdiri Kesultanan Giri dengan Raden Paku sebagai
sultan pertama bergelar Prabu Satmata.
23
5) Kesultanan Pattani
Di Semenanjung Malaya pada tahun 1486 M berdiri Kesultanan Pattani
dengan Phaya Tu Nakpa, seorang raja Budha yang masuk Islam, sebagai
sultan pertama dengan gelar Sultan Islamil Syah.
6) Kesultanan Ternate
Di Kepulauan Maluku pada tahun 1486 M berdiri Kesultanan Ternate dengan
Zainal Abidin sebagai sultan pertamanya. Selain Kesultanan Ternate di
Kepulauan Maluku berdiri Kesultanan Tidore, Jailolo, dan Bacan.
7) Kesultanan Cirebon
Di akhir abad ke-15 M berdiri Kesultanan Cirebon di Jawa Barat dengan
Syarif Hidayatullah sebagai sultan pertamanya.
8) Kesultanan Aceh Raya Darussalam
Di Aceh, pada tahun 1511, kesultanan-kesultanan menggabungkan diri
menjadi Kesultanan Aceh Raya Darussalam yang ibukota di Banda Aceh
Darussalam dipimpin oleh Sultan Ali Mughayat Syah sebagai sultan
pertamanya.
9) Kesultanan Mindanao
Di Mindanao pada tahun 1515 M berdiri Kesultanan Mindanao dipimpin oleh
Syarif Muhammad Kabongsua.
10) Kesultanan Banten
Di ujung barat pulau Jawa pada tahun 1524 M berdiri Kesultanan Banten
dengan Pangeran Sebakingking sebagai sultan pertamanya dengan gelar
Sultan Maulana Hasanuddin.
11) Kesultanan Gorontalo
Di Sulawesi Utara pada tahun 1525 M berdiri Kesultanan Gorontalo dengan
Sultan Amai sebagai sultan pertamanya.
12) Kesultanan Perak
Setelah Kesultanan Malaka dikuasai Portugis, pada tahun 1528 M di
Semenanjung Malaya berdiri Kesultanan Perak dengan Sultan Muzaffar Syah
sebagai sultan pertamanya.
24
13) Kesultanan Johor
Di ujung Semenanjung Malaya pada tahun 1530 M berdiri Kesultanan Johor
dipimpin Sultan Alauddin Riayat Syah.
14) Kesultanan Arosbaya
Di Madura Barat pada tahun 1531 M berdiri Kesultanan Arosbaya dengan
Pratanu sebagai sultan pertamanya dengan gelar Panembahan Lemah Dhuwur.
15) Kesultanan Buton
Di Sulawesi Tenggara pada tahun 1538 M berdiri Kesultanan Buton setelah
Raja Buton ke-6 yakni Timbang Timbangan atau Halu Oleo memeluk agama
Islam.
16) Kesultanan Palembang
Di Sumatera Selatan pada tahun 1539 M berdiri Kesultanan Palembang
dipimpin Ki Gedeng Suro.
17) Kesultanan Kutai Kartanegara
Di Kalimantan Timur pada tahun 1545 M berdiri Kesultanan Kutai
Kartanegara dengan Aji Raja Diistana atau Aji Dimakam sebagai sultan
pertamanya dengan gelar Aji Raja Mahkota Mulia Islam.
18) Kesultanan Pajang
Di Kartosuro dekat Solo pada tahun 1546 M berdiri Kesultanan Pajang
melanjutkan Kesultanan Demak dengan Joko Tingkir sebagai sultan
pertamanya bergelar Sultan Hadiwijaya.
19) Kesultanan Pagaruyung
Di Sumatera Barat pada tahun 1560 M berdiri Kesultanan Pagaruyung dengan
Sultan Alif sebagai sultan pertamanya.
20) Kesultanan Mataram
Dan setelah Kesultanan Pajang runtuh, berdiri Kesultanan Mataram pada
tahun 1582 M dengan Sutawijaya Pangeran Ngabehi Lor Ing Pasar sebagai
sultan dengan gelar Panembahan Senopati Ing Alogo Sayidin Panotogomo.
21) Kesultanan Gowa-Tallo
Di Sulawesi Selatan pada tahun 1593 M berdiri Kesultanan Gowa-Tallo
dengan Raja Gowa ke-14 I-Mangerangi Daeng Manrabbia sebagai sultan
dengan gelar Sultan Alauddin.
25
22) Kesultanan
ini beribukota di Makassar. Di samping Kesultanan Gowa-Tallo berdiri juga
Kesultanan Bone, Luwu, Wajo dan Soppeng.
23) Kesultanan Banjar
Di Kalimantan Selatan pada tahun 1595 M berdiri Kesultanan Banjar.
Kesultanan ini awalnya Kerajaan Daha. Setelah Pangeran Samudera naik tahta
Kerajaan Daha diubah menjadi Kesultanan Banjar dengan Pangeran Samudera
menjadi sultan pertamanya bergelar Maharaja Suryanullah atau Sultan
Suriansyah.
24) Kesultanan Bima
Di Nusa Tenggara pada tahun 1620 M berdiri Kesultanan Bima dengan Ruma
Ma Bata Wadu sebagai sultan pertamanya bergelar Sultan Abdul Kahir.
25) Kesultanan Deli
Di Sumatera Utara pada tahun 1669 M berdiri Kesultanan Deli yang dipimpin
Tuanku Panglima Perunggit. Sultan Deli bergelar Sri Paduka Tuanku Sultan.
26) Kesultanan Johor-Riau
Di kawasan Riau pada tahun 1722 M berdiri Kesultanan Johor-Riau dengan
Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah sebagai sultan pertamanya.
27) Kesultanan Siak Sri Indrapura
Setahun kemudian, di pedalaman Riau berdiri Kesultanan Siak Sri Indrapura
dengan Raja Kecil sebagai sultan pertama bergelar Sultan Abdul Jalil Rahmat
Syah.
28) Kesultanan Pontianak
Dan di Kalimantan Barat pada tahun 1772 M berdiri Kesultanan Pontianak
dengan Syarif Abdurrahman sebagai sultan pertamanya. Selain itu ada
Kesultanan Sambas dan Kesultanan Mempawah.
Setelah kesultanan-kesultanan Islam bermunculan di Nusantara,
kesultanan-kesultanan tersebut dipimpin oleh tiga poros kekuasaan Islam di
Nusantara, yaitu:
1) Poros ke-1: Poros Pasai yang mengontrol Aceh, Sumatera Utara, Sumatera
Barat, Riau, Semenanjung Malaya, Pattani, Brunai.
26
2) Poros ke-2: Poros Giri yang mengontrol Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa
Barat, Banten, Palembang, Nusa Tenggara, Tanjung Pura, Kalimantan Selatan,
Kalimantan Timur dan Sulawesi Selatan.
3) Poros ke-3: Poros Ternate yang mengontrol Ternate, Tidore, Kepulauan
Maluku, Papua, Buton, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Sulu, Mindanao,
dan Manila.
Dalam perjalanannya poros ini berpindah kepada tiga kesultanan terkemuka di
nusantara, yaitu Kesultanan Aceh Darussalam di Sumatra, Kesultanan Mataram di
Jawa, dan Kesultanan Goa-Tallo di Sulawesi.
Namun demikian, dalam perjalanan dan perkembangan selanjutnya
terdapat kekeliruan dalam penerapan Syariat Islam di Indonesia terutama terkait
dengan pengangkatan seorang Sultan, antara lain:
1) Penerapan Sistem Putra Mahkota sebagai sultan pengganti, sehingga jabatan
sultan seolah-olah menjadi milik keluarga. Padahal jabatan penguasa setingkat
residen ini seharusnya didapatkan dari khalifah atau gubernur yang diberi
wewenang untuk mengangkat sang residen.
2) Pengangkatan Seorang Wanita sebagai sultan. Dalam sistem pemerintahan
Islam, jabatan ‘aamil adalah jabatan penguasa yang memiliki wewenang
pemerintahan. Sehingga wanita tidak diperkenankan menjabatnya karena
Rasulullah saw bersabda:
“Lan yufliha qaumun walau amrahum imra`ah” [Tidak akan pernah beruntung
suatu kaum yang menyerahkan urusan pemerintahan mereka kepada seorang
perempuan] (H.R. al-Bukhari).12
Dan benarlah sabda Rasulullah saw. Sejak muncul sultanah yakni Malikah
Nihrasiyah Rawangsa Khadiyu pada tahun 801 H (1400 M) Kesultanan
Samudra-Pasai mengalami kemunduran. Begitu juga yang terjadi di
Kesultanan Aceh. Sejak dipimpin oleh para sulthanah selama 49 tahun mulai
tahun 1641 M yakni Sulthanah Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin, Sri Ratu
Nurul Alam Naqiatuddin, Sri Ratu Zakiatuddin Inayat Syah, dan Sri Ratu
Kemalat Syah, Kesultanan Aceh mengalami kemunduran drastis.
12 Umar Abdullah, Op. Cit., hal. 23.
27
3.1.4 Penerapan Ekonomi Syariah Di Nusantara
Pengaruh dari penerapan syariat Islam sedemikian luas dan sudah sebagian
besar mencakup aspek-aspek kehidupan masyarakat di Nusantara pada saat itu,
seperti Bidang Peradilan, Ekonomi, Bahasa, Busana, Peribadahan, Pendidikan,
dan Kesenian. Terutama di bidang ekonomi sangat berpengaruh banyak pada
bibang-bidang yang lainnya, karena dengan perekonomian yang maju akan secara
langsung mempengaruhi bidang sosial, budaya, pendidikan, kesenian, dsb.
Dibawah naungan kesultanan-kesultanan Islam, Nusantara beranjak
menjadi wilayah yang makmur. Pada akhir abad ke-13 M Samudra-Pasai telah
menjadi Kota Pelabuhan Internasional yang penting sebagai penghubung Laut
Tengah, Asia Barat, Asia Tenggara, dan China. Dan Kesultanan Malaka
melanjutkannya pada abad ke-15 M sebagai tempat bertemunya komoditas emas,
kapur barus, belerang, besi, batu akik, mutiara, merica atau lada, kayu cendana,
buah asam, sutra, damar, madu, lilin, kapas, rotan, beras dan bahan pangan
lainnya, budak, bahan tekstil india dan barang-barang dari Cina.13
Dalam jaringan perdagangan internasional, rempah-rempah dari Nusantara
menjadi komoditas primadona, khususnya lada atau merica. Mahalnya harga
rempah-rempah pada masa itu tercermin dari ungkapan orang Eropa: “Mahalnya
seperti harga merica”. Perdagangan ini menguntungkan semua pihak, baik
pemilik modal, pedagang, dan pekebun. Di Maluku, Sultan mendorong perluasan
penanaman tanaman cengkih, pala dan merica untuk memenuhi permintaan pasar
dunia. Sultan Aceh memodali usaha perkebunan tanaman merica di pantai barat
Sumatera, dan memetik keuntungannnya.
Khilafah Islamiyah membentuk jalur perdagangan yang dihubungkan
dengan lautan yang terhubung dari Laut Merah, Samudera Hindia, Selat Malaka,
hingga perairan Nusantara. Letak ibukota kesultanan-kesultanan yang sebagian
besar berada di pesisir sangat tepat untuk peningkatan arus kegiatan ekonomi
melalui maritim. Hasil-hasil agraris yang menjadi bahan komoditas perdagangan
yang laku di pasaran perdagangan internasional diangkut ke kota-kota pelabuhan
milik kesultanan, seperti Malaka, Aceh, Banten, Tuban, Gresik, Surabaya,
13 Ibid, hal. 25.
28
Demak, Jepara, Palembang, Banjarmasin, Makassar, Ternate, Tidore, Ambon, dan
Lombok.
Pada abad ke-16 M dan 17 M Kesultanan-kesultanan Islam menjadi
kekuatan penting dalam perdagangan Internasional. Anthony Reid, sejarawan
Australia bahkan menyebutnya sebagai “The Age of Commerce (abad
perdagangan)”. Pada masa inilah nusantara mencapai kemakmuran. Kemakmuran
ini memperkuat perkembangan Islam di Nusantara. Banyak muslim nusantara
yang mengunjungi Mekah dan Madinah untuk menunaikan haji dan menuntut
ilmu. Kemakmuran itu pula yang menarik para ulama dari seluruh wilayah Daulah
Khilafah Islam, khususnya dari Jazirah Arab, Persia, dan India, untuk datang ke
Nusantara.
Kemajuan perekonomian Nusantara tidak terlepas dari kebijakan-
kebijakan ekonomi yang diterapkan oleh kesultanan-kesultanan di Nusantara,
antara lain:
Penerapan Sistem Syirkah (Kemitraan)
Untuk menjalankan perdagangan banyak dipakai sistem syarikah atau
kemitraan dagang dan sistem mudharabah (kepemilikan modal). Sistem
syarikah banyak dilakukan oleh para saudagar muslim yang melakukan
perdagangan dan pelayaran keliling bandar Malaka, Aceh, Banten, Demak,
Jepara, Tuban, Gresik, Surabaya dan Bandar lainnya. Bila lancar dan ramai
keuntungan dagang bisa mencapai 200%.
Adapun sistem mudharabah merupakan sistem kerjasama antara penanam
modal atau pemilik barang dengan para saudagar yang pergi berlayar dan
berkeliling menjajakan barang dagangannya ke tempat yang jauh. Para
saudagar kemudian kembali untuk membagi keuntungan hasil penjualan
dagangannya dengan pihak pemilik modal atau pemilik barangnya. Penanam
modal atau pemilik barang umumnya para sultan dan keluarganya juga para
bupati dan keluarganya. Sistem mudharabah ini sangat berperan dalam
mendasari kemajuan usaha perdagangan masa itu.
Pengaturan Perdagangan Tingkat Kabupaten
Pada perdagangan tingkat kabupaten, kesultanan Islam melakukan pengaturan.
Di Jawa, dilakukan rotasi kegiatan pasar menurut sistem kalender Jawa-Islam
29
yang telah diperbarui oleh Sultan Agung dari Kesultanan Mataram. Hitungan
tahun Saka diubah ke tahun Hijriah, nama bulan dan hari bahasa Jawa Kuno
diubah ke nama bulan dan hari dalam bahasa Arab, yakni Senen, Selasa, Rebo,
Kemis, Jum’at, Sabtu dan Ahad / Minggu. Sehingga di kota-kota Pesisir
kegiatan pasar berotasi dari Pasar Senen, Pasar Selasa, Pasar Rebo, Pasar
Kemis, Pasar Jumat, Pasar Sabtu dan Pasar Minggu. Sementara di kabupaten-
kabupaten pedalaman kegiatan pasar berotasi dari Pasar Legi, Pasar Paing,
Pasar Pon, Pasar Wage, dan Pasar Kliwon yang dikenal sebagai hari pasaran
atau pekenan.
Penggunanaan Mata Uang Emas (Dinar)
Mata uang yang sesuai dengan syariat Islam, yakni mata uang emas (dinar)
dipakai di Nusantara. Sultan Malik az-Zahir yang berkuasa antara 1297-1326
mengeluarkan mata uang emas yang ditilik dari bentuk dan isinya
menunjukkan hasil teknologi dan kebudayaan yang tinggi.
Pengaturan Kepemilikan Tanah
Dalam hal kepemilikan tanah, secara umum, dijumpai tiga jenis pemilikan
tanah, yaitu: tanah milik kesultanan, tanah milik ulayat atau tanah desa (tanah
komunal/ milik umum), dan tanah milik penduduk (milik individu).
3.2 Masa Penjajahan Dan Perang Kemerdekaan
Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang dimulai sejak
Renaisance serta terjadinya Revolusi Industri yang mendorong Negara-negara
Industri di Eropa berlomba-lomba untuk mencari daerah pemasaran hasil Industri.
Namun pada perkembangannya, motif ekonomi yang tidak hanya mencakup
bidang pemasaran tapi juga kebutuhan pemenuhan bahan-bahan (sumber daya)
untuk produksi menjadikan mereka sebagai penjajah. Daerah-daerah baru yang
mereka temukan kemudian diklaim atau di akui sebagai daerah yang
menemukannya. Kolonisasi tersebut biasanya diikuti dengan melakukan
hegemoni atau dominasi serta pemaksaan kekuasaan politik atas wilayah tersebut,
melakukan eksploitasi sumber daya alam, pemaksaan ideologi, serta pemaksaan
budaya yang mereka bawa.
30
Penjelajahan yang kemudian menjadi bentuk penjajahan yang bangsa
Eropa lakukan didorong oleh beberapa faktor, yaitu sebagai berikut:14
1) Adanya semangat penaklukkan (reconquista) terhadap orang-orang yang
beragama Islam.
2) Jatuhnya Konstantinopel, ibu kota imperium Romawi Timur ke tangan Dinasti
Usmani (Ottoman) Turki yang berada di bawah Sultan Muhammad II (1451-
1481) pada 1453.
3) Adanya keinginan mengetahui lebih jauh mengenai rahasia semesta, keadaan
geografi, dan bangsa-bangsa yang tinggal di belahan bumi lain.
4) Adanya keinginan mendapatkan rempah-rempah.
5) Kisah penjelajahan Marcopolo (1254-1324), seorang pedagang dari Venesia-
Italia ke Cina, yang dituangkan dalam buku “Book of Various Experiences”.
6) Ingin mendapatkan keuntungan/ kekayaan yang sebanyak-banyaknya.
3.2.1 Penghapusan Pengaruh Islam Oleh Belanda
Kedatangan bangsa-bangsa Eropa ke Nusantara melalui perusahaan-
perusahaan dagang, seperti Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yaitu
Perserikatan Perusahaan Hindia Timur atau Perusahaan Hindia Timur Belanda,
East India Company (EIC) pengelola dan pengendali perdagangan di wilayah
koloni Inggris, sedangkan Portugis datang langsung dibawah bendera Negara
Portugis. Bangsa Eropa tersebut datang ke Nusantara disaat terjadinya persaingan
dagang yang hebat dan saling curiga antar kerajaan di Nusantara, sehingga
peperangan atau saling serang antar kerajaan tersebut telah melemahkan
kedudukan mereka. Para pedagang Eropa memanfaatkan kondisi ini dan akhirnya
dengan didukung oleh kekuatan dari negaranya masing-masing, mereka mampu
menguasai kerajaan-kerajaan di wilayah Nusantara, sehingga Negara-negara
Eropa dapat menguasai dan memonopoli perdagangan hingga akhirnya melakukan
penjajahan dan kolonialisasi, termasuk kepada Negara-negara Islam yang ada di
Nusantara.
14 Nana Supriatna, 2008, “Sejarah” Buku Pelajaran untuk Kelas XI SMA - Program
Bahasa, Bandung: Grafindo Media Pratama, hal. 77-78.
31
Walaupun perdaganagan Nusantara sudah dikuasai oleh Negara Eropa
khususnya Belanda, namun perlawanan-perlawanan terhadap penjajahan masih
terus dilakukan terutama oleh kerajaan-kerajaan Islam yang masih kuat saat itu.
Dan kerajaan Islam inilah yang menjadi hambatan terbesar bagi Belanda untuk
menguasai wilayah Nusantara secara mutlak sebagai sumber komoditi dari
perdagangan. Oleh sebab itulah atas masukan dari seorang ahli tentang Islam
(Islamologi) bernama Snouck Hurgronje, bahwa Pemerintah Kolonial Belanda
harus mengembangkan sikap netral terhadap Islam sebagai agama, dan bersikap
keras-tegas terhadap Islam sebagai gerakan politik, dan sekaligus merangkul
golongan-golongan dalam masyarakat Indonesia yang agak tipis keislamannya,
yaitu kaum elit tradisional, pemimpin-pemimpin kaum adat diluar Jawa, dan kaum
priyayi di Jawa. Kesemuanya ditempu semata-mata untuk memperkukuh
kolonialisme Belanda di bumi Nusantara. Tetapi semua itu adalah permulaan dari
politik Belanda, yang secara lebih lanjut adalah sepenuhnya menghancurkan
Islam, dan mengusurnya dari bumi Hindia Belanda. Sebab, seperti dikatakan oleh
Dr. Harry J. Benda, “… selama bangsa Indonesia, terutama pemimpin-
pemimpinya masih tetap merupakan orang-orang Muslim, maka hubungan
kolonialisme selamanya tidak akan dapat memberikan jalan bagi adanya ikatan
abadi antara Indonesia dan Negeri Belanda”.15
Lebih dari itu, dan inilah intisari filsafat kolonialisme-nya Snouck
Hurgronje, Indonesia harus dimoderinisasikan, dijadikan modern. Dan seperti
juga yang dikatakan oleh Snouck Hurgronje, “Oleh karena Indonesia modern itu,
menurut batasannya, tidak mungkin merupakan Indonesia Islam, dan tidak pula
merupakan Indonesia yang diperintah oleh adat (nasionalis), maka ia harus
Indonesia yang di-Barat-kan”. Untuk mencapai itu semua, “Peradaban Belanda
harus dapat menggeser peradaban Priyayi Tradisional, lebih-lebih lagi peradaban
santri”, demikian dikatakan oleh Harry J. Benda.
Selanjutnya, dia menerangkan bahwa penghancuran Islam di Indonesia,
pembebasan pengikut-pengikutnya dari apa yang oleh Snouck Hurgronje sebut
sebagai “the narrow confines of Islamic system” (suatu lingkungan yang sempit
15 Harry J. Benda, 1983, “The Crecent and the Raising Sun Indonesian Islam Under The
Japanese Occupation”, The Hague: W. Van Hoeve, hal. 25.
32
dari sistem Islam, harus dilakukan dengan mengikutsertakan orang-orang
Indonesia dalam kebudayaan Belanda. Maka wajar, jika Snouck Hurgonje
memusatkan perhatian kepada kaum bangsawan Jawa, dan kepada kaum elit
priyayi umumnya, sebagai lapisan masyarakat yang pertama dan paling mudah
untuk dimasukkan ke dalam orbit westernisasi. Tingkat lebih tinggi kebudayaan
kaum aristocrat, dan pendekatannya kepada pengaruh-pengaruh Barat yang
dibawa oleh adanya hubungan dengan kepegawaian (administrasi) menurut cara
Eropa, dan lebih penting lagi, sifatnya yang agak jauh dari Islam, membuat
sebagian pihak yang secara waja menerima dan memanfaatkan assimilasionis-nya
tersebut.
Dalam analisa terakhir Snouck Hurgronje mengatakan “Pendidikan Barat
adalah cara yang paling dapat dipercaya untuk mengurangi dan akhirnya
mengalahkan pengaruh Islam di Indonesia”. Pendidikan yang diberikan Belanda
tersebut semata-mata untuk kepentingan pemerintah Belanda yaitu untuk proses
westernisasi dengan penuh sinisme kepada Islam yang merupakan symbol anti-
kolonialisme dan kepada ke-Indonesia-an. Sehingga kaum intelek dan kaum
priyayi mulai membenci dan memusuhi segala sesuatu yang berasal dan berbau
Islam, dan ini terus menerus ditumbuhsuburkan oleh kolonial Belanda. Umat
Islam dan pemimpin-pemimpin lainnya, yaitu kaum alim-ulama menjadi sasaran
kaum “intelek” dan kaum priyayi sebagai sasaran ejekan dan sinisme mereka.
Namun dengan terjadinya hal tersebut justru mengobarkan semangat patriotism
dan anti-kolonialisme di kalangan rakyat yang dipimpin oleh kaum ulama, yang
kelak menjadi bibit gerakan politik revolusioner Islam, dan justru menjadi bibit
seluruh gerakan politik bangsa Indonesia. Sebut saja H.O.S Cokro Aminoto, H.
Agus Salim, K.H.M. Mansyur, Dr. Sukiman, Mohammad Natsir, dan lainnya telah
menjadi pelopor pergerakkan kemerdekaan Indonesia.
3.2.2 Perjuangan Menjelang Kemerdekaan
Politik yang Belanda jalankan atas masukan Snouck Hurgronje telah
menjadikan Bangsa Indonesia menjadi tiga lapisan, ada yang Islamis, Nasionalis,
dan Western (pro Belanda). Dan perjuangan untuk mencapai sebuah kemerdekaan
hanya diperjuangkan oleh mereka yang Islamis dan Nasionalis, namun pada
33
puncak perjuangannya yaitu pada saat melakukan persiapan kemerdekaan tersebut
yaitu pada saat menyusun dan menentukan Dasar Negara pada sidang BPUPKI
(Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia), terjadi perdebatan
antara kubu Nasionalis Sekuler dengan Nasionalis Muslim. Ketika kelompok
nasionalis sekuler mengusulkan Pancasila sebagai dasar negara, ditentang oleh
kelompok nasionalis muslim, dengan alasan bahwa Pancasila hanya sekedar hasil
pemikiran filosofis manusia. Golongan nasionalis muslim menginginkan Islam
dijadikan sebagai dasar dan falsafah negara, tapi keinginan ini ditentang oleh
kelompok nasionalis sekuler.
Perdebatan yang alot ini kemudian berhasil mencapai titik temu dan
kompromi, yaitu dengan adanya tambahan pada sila pertama Pancasila, dengan
tambahan kata; dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-
pemeluknya. Tapi, sehari setelah proklamasi kemerdekaan, kelompok Kristen
menemui Muhammad Hatta, dan menyatakan keberatan atas bunyi sila pertama
dalam piagam Jakarta. Setelah Bung Hatta menemui kelompok nasionalis
Muslim, kemudian dicapai kesepakatan, sehingga bunyi sila pertama Pancasila
menjadi; Ketuhanan Yang Maha Esa. Golongan nasionalis muslim menerima
formula baru itu karena kata; Yang Maha Esa yang dicantumkan setelah kata
Ketuhanan, mencerminkan doktrin kepercayaan tauhid yang berarti sesuai dengan
akidah Islam.16
Oleh sebagian pihak ini dianggap sebagai kekalahan politik bagi umat
Islam. Kegagalan umat Islam untuk mempertahankan Piagam Jakarta, ternyata
tidak menyurutkan semangat untuk memperjuangkan negara Islam dengan dasar
syariat Islam lewat jalur Konstituante. Kemudian, terjadi kembali perdebatan di
Konstituante tentang dasar negara, kelompok Islam tetap menginginkan Islam
sebagai dasar negara, dan kelompok nasionalis tetap bertahan pada pendiriannya,
Pancasila sebagai dasar negara. Perdebatan itu kemudian diakhiri dengan voting,
dengan kemenangan kelompok nasionalis.
16 Faisal Ismail, 2002, “Pijar-Pijar Islam Pergumulan Kultur dan Struktur”, Jakarta:
Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, hal. 35-41.
34
3.3 Perjuangan Pada Masa Kemerdekaan
Perjuangan dalam rangka menerapkan Syariat Islam di Indonesia tidak
selesai sampai penentuan dasar Negara saja, tapi terus diperjuangkan lewat
berbagai kesempatan walaupun oleh pelaku yang sama maupun berbeda.
3.3.1 Perjuangan Di Awal Kemerdekaan
Pada masa awal kemerdekaan ini tercatat beberapa pemberontakan yang
mengatasnamakan Islam, di Jawa Barat, Sulawesi selatan, dan Kalimantaan
Selatan. Hal yang melatar belaknagi Kartosuwiryo di Jawa Barat
memproklamirkan Negara Islam Indonesia (NII) pada 7 Agustus 1949 karena para
pemimpin Republik telah tertangkap oleh agresi militer Belanda II, dan
Kartosuwiryo meyakini bahwa RI telah hapus. Di Sulawesi Selatan gerakan Darul
Islam yang dipimpin Abdul Kahar Muzakkar berawal dari kekecewaan yang
mendalam dari para bekas gerilyawan Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi
(KRIS) yang tergusur akibat demobilisasi sedudah tahun 1950. Gerakan Darul
Islam di Kalimantan Selatan yang dipimpin oleh Ibnu Hajar dengan alasan yang
hampir sama dengan yang ada di Kalimantan Selatan. Pemberontakan Daud
Breeueh di Aceh. Tapi keempat pemberontakan itu akhirnya bisa diatasi, baik
lewat perundingan maupun lewat kekerasan. Motivasi keempat pemberontakan
itu, lebih cenderung kepada motivasi pribadi atau kelompok dalam rangka untuk
mempertahankan dirinya dengan menggunakan simbol Islam, sehingga
pemberontakan itu kurang mendapat simpati dari umat Islam Indonesia. Tapi hal
itu bisa dicatat sebagai dinamika yang berkembang pada masa itu dalam upaya
menegakkan syariat Islam di Indonesia.17
Dinamika yang menarik pada masa awal kemerdekaan ini adalah
pandangan cendekiawan muslim tentang substansi syariat Islam itu sendiri,
Hazairin dan Hasbi ash-Shiddiqie. Dalam hal fiqih kedua cendekiawan itu
berpendapat bahwa selain berpusat pada empat mazhab dalam fiqih, perlu adanya
fiqih mazhab Indonesia. Pemikiran ini pada perkembangan selanjutnya
terakomodasi pada pemikiran Munawir Syadzali, Nurcholis Majid, KH
17 Taufik Abdullah, 2003, “Sejarah Umat Islam Indonesia”, Jakarta: Intermasa, hal. 268-
269.
35
Abdurrahman Wahid, dan para cendekiawan muslim yang lain berpikiran pluralis
dan multikulturalis.
3.3.2 Perjuangan Di Era Orde Lama
Setelah kabinet sering jatuh bangun di awal pemerintahan, sehingga
kegiatan untuk memakmurkan rakyat menjadi terbengkalai, Presiden Soekarno
mengeluarkan Dekrit Presiden tahun 1959, pokok dari Dekrit Presiden ialah
pembubaran Konstituante, dan kembali ke UUD 1945, serta pembentukan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS). Pada era Orde Lama ini upaya
penerapan syariat Islam lebih mengarah pada corak oposisi, akomodatif dan
pencerahan keilmuan.
Setelah perjuangan umat Islam gagal untuk mewujudkan dasar negara
lewat voting di konstituante, dan kemudian konsitituante dibubarkan. Umat Islam
pada masa ini mendapat pukulan telak yang kedua dengan opisinya Masyumi
yang kemudian Masyumi diperintahkan oleh Presiden Suekarno untuk
membubarkan diri. Dan kemudian sebagian umat Islam yang lain melakukan
politik akomodatif, mengikuti gaya Soekarno, seperti NU, PSII dan Perti.
Sikap oposisi Masyumi ini diawali dengan perbedaan persepsi atas
konsideran terakhir dari Dekrit Presiden yang menyatakan, ”bahwa kami
berkeyakinan Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai UUD 1945 dan
adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut”.
Pencantuman Piagam Jakarta itu menunjukkaan kompromi antara golongan
nasionalis dan Islam, tetapi yang jadi masalah berikutnya terjadi perbedaan
penafsiran antara dua kelompok itu. Golongan nsionalis mengartikan bahwa
Piagam Jakarta tidak lebih dari dokumen historis yang mempunyai pengaruh pada
UUD 1945, dan ia tidak mempunyai kekuatan hukum atas dekrit itu sendiri.
Sedangkan golongan Islam mempunyai keyakinan Piagam Jakarta mempunyai
kekuatan hukum pada waktu sekarang, dengan demikian konstitusi Indonesia
mengharuskan kewajiban umat Islam untuk melaksanakan hukum Islam. Karena
Dekrit juga mencantumkan Piagam Jakarta, maka berarti perlu adanya undang-
undang khusus Islam untuk masyarakat Indonesia yang beragama Islam.
36
Sikap oposisi Masyumi ini diperkuat dengan membentuk ”Liga
Demokrasi”, tapi kemudian pemerintah membubarkannya. Kedudukan Masyumi
kemudian menjadi semakin sulit, karena beberapa pimpinannya terlibat
pemberontakan PRRI, yaitu Natsir, Burhanudin, dan Syafrudin. Klimaknya
keluarlah Perpres No. 200 tahun 1960 yang isinya mendesak pimpinan Masyumi
dalam waktu 30 hari untuk membubarkan diri. Kemudian pada tanggal 13
September 1960, pimpinan Pusat Masyumi menyatakan pembubaran dirinya. Dan
untuk menjaga agar kepentingan umat Islam tidak semakin terabaikan, sebagian
kelompok Islam memilih politik akomodatif, itu dilakukan oleh NU, PSII, dan
Perti.
Salah satu kepentingan Islam yang berhasil diperjuangan lewat MPRS
adalah adanya Keputusan MPRS di tahun 1960, yang memberlakukan pengajaran
agama wajib diajarkan di perguruan tinggi dan universitas. Selain itu setidaknya
para wakil umat Islam yang duduk di pemerintahan bisa mengurangi pengaruh
PKI yang secara jelas dan nyata akan melenyapkan syariat Islam di Indonesia,
diganti dengan komunis.Pada masa demokrasi terpimpin inilah NU, sebagai
perwakilan umat Islam terbesar, setelah Masyumi dbekukan yang membentengi
umat Islam dari pengaruh dan manuver komunis, lewat partainya, PKI.
Walaupun penerapan syariat Islam mengalami masa suram di era orde
lama, tapi tidak untuk Aceh, karena pada tanggal 7 April 1962, Panglima Daerah
Militer Aceh menyetujui hasrat para pemimpin umat Islam Aceh untuk
dipatuhinya beberapa unsur hukum Islam di Aceh, demikian juga pada era ini,
muncul semangat menulis dari para ulama (ilmuwan) Islam sehingga mampu
meningkatkan gairah keilmuan di kalangan umat Islam.
3.3.3 Perjuangan Di Era Orde Baru
Kebijakan Orde Baru dalam memegang kekuasaan berpegang pada prinsip
non-sektarian, politik masa mengambang, dan penyeragaman ideologi Pancasila
bagi semua organisasi sosial politik dan sosial kemasyarakatan. Seluruh kebijakan
Orde Baru ditujukan untuk semuanya, berarti tidak memihak pada salah satu
golongan.Pengertian golongan disini bukan hanya agama, tapi juga etnis dan
kelompok profesional serta lapisan-lapisan sosial tertentu. Gerakan penerapan
37
syariat pada masa Orde Baru lebih banyak pada corak struktural, dan juga
dipengaruhi oleh politik Orde Baru pada Islam. Politik Orde Baru pada Islam bisa
kita bagi menjadi dua fase, yaitu fase kecurigaan (1966-1985) dan fase
mengakomodir kepentingan Islam (1985-1987).
Dalam fase kecurigaan, pada masa ini kebijakan Orde baru pada Islam
adalah kombinasi antara harapan dan kecemasan. Harapannya adalah Islam akan
menjadi pendukung yang kokoh terhadap negara Indonesia. Selain itu juga diliputi
oleh kecemasan, kecemasan tersebut dilandasi oleh kekhawatiran akan lahirnya
radikalisme Islam. Untuk itu, Orde Baru pada masa ini memberi kesempatan
bergerak pada Islam jalur kultural secara luas. Islam kultural adalah pergerakan
Islam melalui wilayah budaya, tidak melalui jalur politik praktis. Pada masa ini
didirikan Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila (YABMP) yang konsentrasi
kegiatannya pada pembangunan masjid-masjid. Namun di sisi lain jalur struktural,
dengan melalui jalur politik praktis akan dipotong atau dibuat menjadi tidak
berdaya, misalnya keinginan Masyumi untuk dihidupkan kembali ditolak oleh
Orde Baru.
Dalam fase mengakomodir kepentingan Islam, bisa kita lihat diantara
selain Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila tetap dijalankan dan telah
membangun ratusan masjid, adalah UU Pendidikan Nsional tahun 1989 yang juga
berpihak pada Islam. Selain itu yang berkaitan dengan syariat Islam adalah
disyahkannya Undang-Undang Peradilan Agama (UUPA) tahun 1989, dan juga
tumbuhnya Bank Muamalat Indonesia yang berdasarkan Syariat Islam pada
tahun 1991. Dan kemudian diwadahinya para cendekiawan muslim dalam ICMI
(Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia).
3.3.4 Perjuangan Di Era Reformasi
Dalam era reformasi ada dua langkah yang ditempuh dalam rangka
penerapan syariat Islam; pertama, lewat parlemen dengan adanya desakan
beberapa partai Islam untuk mengamademen UUD 1945 dengan mencamtumkan
kembali kata-kata dalam Piagam jakarta sebagai pijakan konstitusional. Kedua,
maraknya berbagai perda syariat Islam di berbagai Kabupaten dan Kotamadya di
Indonesia.
38
Penegakan syariat Islam lewat parlemen dipelopori oleh tiga partai, yaitu
PPP, PBB, dan PK yang mengusulkan pencantuman kembali Piagam Jakarta pada
amandemen UUD 1945. Dalam sidang tahunan MPR tahun 2000, 2001, dan 2002
usulan itu disampaikan, tapi kandas karena partai-partai yang lain, terutama partai
besar dan berhaluan nasionalis tidak mendukungnya. Demikian juga dua ormas
Islam terbesar, NU dan Muhammadiyah tidak mendukungnya.18
Beberapa daerah yang telah memberlakukan perda syariat Islam, antara
lain Kabupaten Bukamba, Sulawesi selatan, telah mengundangkan empat
peraturan daerah bernuansa syariat Islam, yaitu peraturan daerah Busana Muslim,
Baca Al-Qur’an, Bebas Miras, dan Zakat. Gejolak perda syariat juga melanda
daerah lain, seperti Propinsi Riau, Propinsi Banten, Kabupaten Cianjur,
Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Kebumen, dan
Kabupaten Pamekasan. Di daerah-daerah itu gejolak syariat Islam, ada sebagian
yang masih wacana dari beberapa ormas Islam di daerah itu, juga sudah
dilaksanakan pada kalangan terbatas, misalnya diawajibkan untuk memakai
busana muslimah pada pegawai pemda, dan diwajibkan untuk menghentikan
semua aktifitas pekerjaannya ketika adzan dhuhur dan adzan ashar
berkumandang.19
Selain diterapkannya Syariat Islam di beberapa daerah, phenomena yang
menarik pada saat ini adalah berkembangnya perbankan syariah akibat terbuktinya
bahwa sistem perbankan syariah adalah sistem yang tangguh pasca terjadinya
krisis ekonomi yang telah menghancurkan beberapa bank berdasarkan perbankan
konvensional. Belum lagi sebagian Negara Eropa dan Amerika Serikat yang
menerapkan Ekonomi Kapitalis yang mendasari Sistem Perbankan Konvensional
mengalami kebangkrutan dan krisis berkepanjangan. Banyak dari pebisnis jasa
keuangan Non-Muslim mendirikan dan memiliki bank-bank syariah, dan ini
menjadi satu tantangan bagi umat islam Indonesia karena sepak terjang mereka
justru berpotensi terjadinya penerapan perbankan syariah tidak murni dan
cenderung menyimpang. Dan kalaupun perbankan syariah ini berhasil dan
18 Taufik Adnan Amal, Dkk., 2004, “Politik Syariat Islam di Indonesia hingga Nigeria”,
Jakarta: Pustaka Alvabet, hal. 62.
19 Ibid, 87-97.
39
berkembang maka mereka yang Non-Muslim tersebut menikmati hasilnya, dan
umat Islam kembali lagi cenderung hanya menjadi komoditi bisnis jasa keuangan
perbankan syariah.
40
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
Dari uraian di atas, baik sejarah penerapan syariat Islam oleh Rasulullah
maupun penerapan oleh kaum muslimin di Indonesia dapat kita simpulkan
sebeagai berikut:
1. Penerapan syariat Islam oleh Rasulullah dimulai dengan dilakukan penguatan
terhadap aqidah orang-orang yang menyatakan mau untuk hidup dengan
ketentuan Allah (syariat Islam). Penerapan syariat Islam yang mencakup
kehidupan bermasayarakat dimulai pada periode Madaniyyah dimana aqidah
kaum muslimin sudah kuat, ruang (lingkungan) dan waktunya sudah
mendukung untuk penerapan syariat Islam.
2. Upaya penerapan syariat Islam di Indonesia sebenarnya sudah dimulai sejak
zaman kerajaan-kerajan Islam Nusantara dengan kerjaannya yang terkuat saat
itu adalah kerajaan Samudra-Pasai di ujung utara pulau Sumatra dan kerajaan
Demak di tengah pulau Jawa. Saat itu kedudukan kerajaan-kerajaan Islam di
Nusantara tersebut sebagai bagian dari Provinsi Makkah, yaitu setingkat
dengan kabupaten yang dipimpin oleh paa sultan. Sistem ekonomi syariah
pada zaman itu sudah menjadi sistem ekonomi di masayrakat Nusantara
hingga akhirnya jiwa yang mendasari penerapan sistem syariah tersebut
dipadamkan oleh penjajah Belanda.
3. Penerapan syariat Islam di Indonesia pada zaman awal kemerdekaan hingga
pasca reformasi saat ini cenderung tidak mendapatkan dukungan dari rakyat
Indonesia, padahal jumlah rakyat Indonesia lebih dari 90% adalah muslim.
Nampaknya usaha dari penjajah Belanda hingga menjapai 350 tahun tersebut
sangat berdampak terhadap Bangsa Indonesia dan sepertinya sudah menjadi
darah dan daging, terlepas dari peran masing-masing, apakah sebagai
penggagas yang cenderung “dicurigai atau diopinikan” memiliki kepentingan
pribadi atau sebagai rakyat biasa yang sebagai seorang muslim seharusnya
memberikan dukungan terhadap usaha penerapan syariat Islam tersebut.
41
4. Penomena pesatnya perkembangan perbangkan syariah di Indonesia bukan
semata-mata kesadaran dari bangsa Indonesia terhadap penerapan Islam secara
kaffah, melainkan faktor bisnis yang lebih menonjol karena merosotnya
perekonomian kapitalis yang mendasari perbankan konvensional sehingga
orang-orang non-muslim pun berusaha memanfaatkan opportunity dari bisnis
tersebut. Dengan demikian potensi penerapan syariat Islam khususnya melalui
Penerapan Perbankan Syariah sangat berpotensi sekali, apalagi jika lebih
mengutamakan atau mengedepankan praktek bukan jargon atau ideologi
semata.
4.2 Saran
Dari uraian dan kesimpulan di atas, saya memberikan saran terhadap
perjuangan penegakkan syariat Islam melalui Perbankan Syariah di Indonesia
dengan mempertimbangkan sejarah.
1. Seperti yang di contohkan Rasulullah dalam memperjuangkan tegaknya
syariat Islam dari bidang apapun maka perkuatan Aqidah Islam sebagai satu
landasan adalah suatu hal yang utama untuk menciptakan manusia yang
menjadi pendukung dan pelaku yang tangguh dalam penerapan syariat Islam,
dengan mendahulukan bukti bukan membesar-besarkan jargon keislaman
yang cenderung tidak diterapkan secara nyata.
2. Negara Indonesia didirikan oleh suatu keberagaman dengan dasar Pancasila
yang apabila kita cermati sebenarnya sejalan (paralel) dengan prinsip-prinsip
syariat Islam dalam hubungan kemasyarakatan. Dan ekonomi syariah
sebenarnya juga bukan suatu hal yang baru bagi bangsa Indonesia yang
sebagian besar muslim. Oleh sebab itu perlu dilakukan dua cara dalam
menerapkan syariat Islam di Indonesia, yaitu:
1) Internal, yaitu memberikan pemahaman yang menyadarkan terhadap
ketangguhan dan universalitas Syariah Islam untuk diterapkan guna
mencapai kesejahteraan umat manusia karena Syariat Islam adalah dari
yang menciptakan manusia itu sendiri, yaitu Allah SWT. Dengan
demikian praktek perbankan atau ekonomi syariah yang sudah biasa
42
dilakukan oleh bangsa Indonesia dijalankan dengan landasan keilmuan dan
kesadaran penyerahan diri yang tulus kepada Allah SWT.
2) Eksternal, yaitu menerapkan sistem Syariat Islam yang universal dan
tangguh tanpa mengedepankan jargon-jargon keislaman karena yang
terpenting adalah penerapan Syariat Islamnya bukan mempopulerkan
jargon keislamannya yang justru akan menimbulkan sentiment ideologi
bangsa Indonesia yang lainnya. Bagi mereka yang non-muslim, bagi kita
umat Islam yang terpenting adalah dudkungan mereka terhadap penerapan
syariat Islam dalam kemasyarakatan (bukan peribadatan) seperti yang
Rasulullah praktekkan terhadap kaum Yahudi Madinah.
3. Penerapan Syariat Islam di Indonesia ditempuh dari berbagai bidang, seperti
pada bidang politik, ekonomi dan perbankan, serta bidang pendidikan. Oleh
sebab itu yang sangat diperlukan adalah Ukhuwah Islamiyyah yang harus
diperkuat sebagai media yang mengintegrasikan usaha-usaha yang telah
ditempuh tersebut, yang sudah pasti atas izin dan kepastian Allah SWT.
iv
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur`an.
A. Perwataatmadja Karnaen, Byarwati Anis. 2008. “Jejak Rekam Ekonomi
Islami”. Cetakan Pertama. Jakarta: Cicero Publishing.
Abdullah Taufik. 2003. “Sejarah Umat Islam Indonesia”. Jakarta: Intermasa.
Abdullah Umar. 2007, “Sejarah Penerapan Syariat Islam Di Indonesia”. El-
Moesa Production.
Adnan Taufik Amal. 2004. “Politik Syariat Islam di Indonesia hingga Nigeria”.
Jakarta: Pustaka Alvabet.
al-Ghazali Muhammad. 1985. “Fiqhus Sirah” (terj.), Cetakan Pertama. Bandung:
PT. al-Ma’arif.
Cahayanda Prayoga. 2012. “Perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia”.
http://ekonomisyariah.blog.gunadarma.ac.id/2012/04/13/perkembangan-
perbankansyariah-di-indonesia/.
Cholil. 2011. “Gerakan Penerapan Syariat Islam Di Indonesia Dari Awal
Kemerdekaan Sampai Era Reformasi”. Surabaya: Fakultas Dakwah IAIN
Sunan Ampel.
Dhiyauddin Umari Akram. 1999. “Masyarakat Madani, Tinjauan Historis
Kehidupan Zaman Nabi”. Jakarta: Gema Insani Press.
Hitti, P.K. (2002). “History of the Arabs: From the Earliest Times to the Present”.
NY: Palgrave Macmillan.
IKADI Surabaya, 2012, “10 Sahabat Rasul Yang Dijamin Syurga”,
http://ikadisurabaya.org/artikel/10-sahabat-rasul-yang-dijamin-syurga.
Ismail Faisal. 2002. “Pijar-Pijar Islam Pergumulan Kultur dan Struktur”. Jakarta:
Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan.
Lubis, A., Hermawati, Nurhasan. 2005. “Sejarah Peradaban Islam”. PSW UIN
Jakarta.
Majid Nurcholish. 1987. “Islam Kemodernan Dan Keindonesiaan”, Cetakan I.
Bandung : PT. Mizan Pustaka.
Nu’man Syibli. 1973. “Seeratan Nabi”, Vol. 1. Karachi: Matbee Ma’arif.
v
Sabzwari M. A.. “Sistem Ekonomi Dan Fiskal Pada Masa Pemerintahan Nabi
Muhammad SAW”, dalam buku ”Bunga Rampai Sejarah Pemikiran
Ekonomi Islam”, Penyususn Adiwarman Azwar Karim, M. A.. Jakarta:
International Institute of Islamic Though.
Supriatna Nana. 2008. “Sejarah”, Buku Pelajaran untuk Kelas XI SMA, Program
Bahasa. Bandung: Grafindo Media Pratama.
Top Related