Download - Politik Hukum Pemberantasan Korupsi

Transcript
Page 1: Politik Hukum Pemberantasan Korupsi

POLITIK HUKUM PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA

LATAR BELAKANG

Pemberantasan korupsi sejak era reformasi telah melalui beberapa tahapan. Tahapan

pertama pada 1998-2002, melaksanakan kebijakan hukum dalam pemberantasan korupsi untuk

memenuhi janji-janji reformasi, terutama untuk megadili mantan presiden Soeharto dan kroni-

kroninya yang terlibat dalam mega korupsi pada saat era orde baru, dan dilanjutkan dengan

pembangunan bidang hukum yang meliputi empat bidang, yaitu hukum di bidang ekonomi,

keuangan dan perbankan; hukum di bidang politik; hukum di bidang sosial; serta hukum di

bidang hak asasi manusia. Seluruh perundang-undangan dalam keempat bidang hukum tersebut

telah diselesaikan dalam kurun waktu empat tahun pertama, disusul dengan beberapa perubahan

atas perundang-undangan tersebut, yang telah terjadi dalam kurun waktu 2002 - 2004.

Penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi di Indonesia telah berlangsung sejak

tahun 1960-an, dan telah berganti undang-undang sebanyak 4 (empat) kali, mulai dari UU No. 24

Prp. Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsiu dan

terakhir dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Sekalipun pergantian undang-undang sebanyak itu akan tetapi filosofi, tujuan dan misi

pemberantasan korupsi tetap sama. Secara filosofis, peraturan perundang-undangan

pemberantasan korupsi menegaskan bahwa, kesejahteraan bangsa Indonesia merupakan suatu

cita bangsa, dan sekaligus cita pendiri kemerdekaan RI yang dicantumkan dalam Pembukaan

UUD 1945, dan diadopsi ke dalam sila kelima dari Pancasila. Oleh karena itu setiap ancaman

dan hambatan terhadap tercapainya kesejahteraan bangsa ini merupakan pelanggaran terhadap

cita bangsa. Akan tetapi sebagai suatu negara hukum, langkah pencegahan dan pemberantasan

korupsi harus dilandaskan kepada asas kepastian hukum dan seoptimalnya dilandaskan kepada

cita keadilan sebagai cita hukum. Landasan yuridis, adalah UUD 1945 sebagai hukum dasar

(grundnorm) yang seharusnya diwujudkan ke dalam suatu UU yang mencerminkan cita dan

tujuan hukum sebagaimana diuraikan di atas. Perlu dikaji sejauh mana UU Pemberantasan

Korupsi (UUPK) telah mencerminkan asas-asas hukum dan cita hukum dimaksud, akan

diuraikan dalam tulisan ini.

1

Page 2: Politik Hukum Pemberantasan Korupsi

Landasan sosiologis dari penegakan hukum pemberantasan korupsi adalah bahwa tindak

pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara,

tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara

luas, kemiskinan yang melanda kurang lebih 35-50 juta penduduk Indonesia masa kini adalah

disebabkan karena korupsi yang telah bersifat sistemik dan meluas ke seluruh lapisan birokrasi,

dan tidak lepas dari pengaruh timbal balik antara birokrasi dan sektor swasta. Oleh karena itu,

pemberantasan korupsi bukanlah sekedar aspirasi masyarakat luas melainkan merupakan

kebutuhan mendesak bangsa Indonesia untuk mencegah dan menghilangkan sedapatnya dari

bumi pertiwi ini karena dengan demikian penegakan hukum pemberantasan korupsi diharapkan

dapat mengurangi kemiskinan yang terjadi selam ini. Bertolak dari ketiga landasan politik

pemberantasan korupsi di Indonesia di atas jelas bahwa, langkah penegakan hukum

pemberantasan korupsi merupakan kewajiban bersama bukan hanya penegak hukum melainkan

juga seluruh komponen bangsa dengan bimbingan dan tauladan para pemimpin bangsa ini mulai

dari Presiden selaku kepala negara dan kepala pemerintahan, pimpinan birokrasi di daerah,

lembaga legislatif dan judikatif. Tidak kurang pentingnya peranan masyarakat sipil (civil society)

dalam mendorong, memonitoring dan mengevaluasi keberhasilan pemberantasan korupsi.

PERMASALAHAN

Pemberantasan korupsi di Indonesia masih jauh dari harapan. Transparency Internatioanl

pada tanggal 5 Desember 2012 merilis hasil survey Indeks Persepsi Korupsi di 176 negara di

seluruh dunia dengan menempatkan Indonesia berada di urutan 118 dengan skor 32 (skala 0 –

100, skala 0 berarti sangat korup hingga 100 sanagt bersih), hal ini menandakan Indonesia

sebagai salah satu Negara dengan tingkat korupsi yang masih sangat tinggi. Selain itu hal lain

yang menandakan bahwa korupsi masih merajalela di Indonesia yakni gencarnya perkara dugaan

tindak pidanan korupsi di media cetak maupun media elektrinik. Mulai dari kasus korupsi yang

melibatkan eksekutf di pusat dan daerah, lembaga legislative, bahkan sampai pada aparat

penegak hukumnya sendiri yang seharusnya memberantas tindak pidana korupsi itu sendiri.

Lawrence M. Friedmen menyebutkan ada tiga elemen system hokum, yakni substansi

(substance), struktur (structure), dan budaya hokum (legal culture). Berbeda dengan Lawrence

M. Friedmen, Daniel S. Lev memisahkan konsep system hokum dan budaya hokum. Mengenai

budaya hokum, Daniel S. Lev merujuk pada nilai-nilai yang berkait dengan hokum dan proses

hokum tetapi secara analitis dapat dibedakan dengan sukum dan proses hokum, dan sering

2

Page 3: Politik Hukum Pemberantasan Korupsi

dinyatakan berdiri sendiri.1 Pembahasan berikut akan menggunakan konsep Daniel S. Lev, yaitu

substansi dan struktur hokum. Berdasarkan hal tersebut, maka permasalahan yang akan dibahas

dalam tulisan ini adalah bagaiman substansi hokum yang mengatur tentang pemberantasan

tindak pidanan korupsi dan bagaiamana masalah struktur hukum pemberantasan tindak pidana

korupsi.

PEMBAHASAN

Upaya pemberantasan korupsi dengan politik di Indonesia

Sebelum menguraikan mengenai hubungan antara upaya pemberantasan tindak pidana

korupsi dengan politik di Indonesia, alangkah baiknya apabila diketahui terlebih dahulu

mengenai politik apakah yang dianut bangsa Indonesia dalam upaya pemberantasan tindak

pidana korupsi tersebut. Berbicara mengenai politik yang dalam hal ini dikaitkan dengan upaya

pemberantasan tindak pidana korupsi, maka harus dilihat dari aspek hukumnya, mengingat

negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum. Menurut Mochtar

Kusumaatmadja2, hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat, berfungsi sebagai penyalur

kegiatan manusia ke arah yang dikehendaki pembangunan. Setiap masyarakat yang teratur, yang

dapat menemukan pola-pola hubungan yang bersifat tetap antara para anggotanya adalah

masyarakat yang mempunyai tujuan yang jelas. Sedangkan politik adalah bidang dalam

masyarakat yang berhubungan dengan tujuan masyarakat tersebut. Mempunyai tujuan didahului

oleh proses memilih tujuan di antara berbagai tujuan yang mungkin. Oleh karena itu politik

adalah juga aktivitas memilih suatu tujuan tertentu. Hal ini sesuai dengan pemikiran Satjipto

Rahardjo3 yang memberikan pengertian bahwa politik hukum adalah aktivitas untuk menentukan

suatu pilihan mengenai tujuan dan cara-cara yang hendak dipakai untuk mencapai tujuan hukum

dalam masyarakat. Berbicara mengenai tujuan yang hendak dipilih, L. J. Van Apeldorn

mengartikan politik hukum sebagai politik perundang-undangan, yang maksudnya adalah bahwa

Politik Hukum berarti menetapkan tujuan dan isi peraturan perundang-undangan. Pengertian

politik hukum seperti ini lebih terbatas hanya pada hukum tertulis saja.

1 Daniel S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia, LP3ES, Jakarta 1990, hal 120.2 Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional, (Bandung: Bina Cipta , 1976), halaman 6.3 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Alumni, 1986), halaman 34.

3

Page 4: Politik Hukum Pemberantasan Korupsi

Korupsi dimulai dengan semakin mendesaknya usaha-usaha pembangunan yang

diinginkan, sedangkan proses birokrasi relaif lambat, sehingga setiap orang atau badan

menginginkan jalan pintas yang cepat dengan memberikan imbalan-imbalan dengan cara

memberikan uang pelicin (uang sogok). Praktek ini akan berlangsung terus menerus sepanjang

tidak adanya kontrol dari pemerintah dan masyarakat, sehingga timbul golongan pegawai yang

termasuk orang kaya baru yang memperkaya diri sendiri. Agar tercapai tujuan pembangunan

nasional, maka mau tidak mau korupsi harus diberantas. Ada beberapa cara penanggulangan

korupsi, dimulai yang sifatnya preventif maupun yang represif.

Arah politik hukum yang dicanangkan oleh Pemerintah Indonesia terfokus pada upaya

pemberantasan korupsi dan percepatan pelaksanaan reformasi birokrasi. Mengingat praktik

korupsi sangat merugikan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat dan bernegara, upaya

pemberantasan korupsi harus dilakukan secara sistematis sehingga tidak memberikan peluang

sekecil apa pun bagi pelaku korupsi untuk mencuri hak rakyat. Melalui Inpres Nomor 17 Tahun

2011 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2012 dan Peraturan Presidena

No. 55 Tahun 2012 tentang Strategi Nasinal Pemberantasan Korupsi, upaya-upaya perbaikan

sistem hukum harus merupakan perwujudan percepatan dari pemberantasan korupsi itu sendiri.

Dalam rangka percepatan pemberantasan korupsi perlu dilakukan upaya harmonisasi

peraturan perundang-undangan sehingga pembagian tugas dan kewenangan dari aparat penegak

hukum dapat dilakukan secara terkoordinasi dengan baik. Dengan demikian, upaya-upaya yang

dilakukan oleh aparat penegak hukum diharapkan tidak akan terbentur pada perangkat peraturan

teknis yang tumpang tindih dan menghambat proses penegakan hukum seperti terjadi

penanganan kasus korupsi yang dilakukan oleh 2 (dua) instansi penegaka hokum seperti dalam

perseteruan KPK dengan abes Polri dalam menyidik kasusu dugaan korupsi alat simulator SIM

di Korlantas Mabes Polri. Perangkat peraturan perundangan yang sistematisasi dengan baik akan

mendukung kerja sama untuk mencapai hasil yang maksimal. Adanya ratifikasi Konvensi PBB

Anti-Korupsi Tahun 2003 (United Nation Convention Against Corruption) yang mengatur hal-

hal baru dalam rangka pencegahan dan pemberantasan korupsi membawa konsekuensi berupa

upaya harmonisasi dan revisi peraturan perundang-undangan Indonesia sesuai dengan isi

Konvensi PBB Anti-Korupsi tersebut. Penyempurnaan dan pembaharuan peraturan perundang-

undangan yang progresif diharapkan dapat membantu percepatan pemberantasan korupsi yang

sudah merupakan extraordinary crime, sehingga diperlukan kajian hukum, sosial, politik dan

4

Page 5: Politik Hukum Pemberantasan Korupsi

budaya tersendiri untuk menjawab tantangan upaya pemberantasan korupsi secara global dan

nasional. Penanganan dan penyelesaian kasus korupsi yang membutuhkan penanganan secara

cepat dan tepat perlu ditunjang dengan sistem hukum acara yang mengakomodasi kepentingan

proses tersebut, karena sistem hukum acara yang berlaku (KUHAP) belum memungkinkan

dalam pelaksanaannya. Kejahatan transnasional terorganisir (transnational organized crime)

yang jumlahnya semakin meningkat pada era globalisasi ini juga perlu mendapatkan perhatian

karena juga terkait dengan upaya-upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

Korupsi telah menyelusup di segala aspek kehidupan masyaraakat, sehingga hampir

tidak ada ruang yang tidak terjamah korupsi. Korupsi ini tidak hanya merugikan keuangan

Negara dan perekonomian Negara tetapi juga telah melanggar hak-hak ekonomi dan sosial

(economic and social rights) masyarakat secara luas. Bahayanya korupsi itu digambarkan secara

tegas oleh Atnol Noffit seorang kriminolog dari Australia sebagaimana dikutip oleh Baharuddin

Lopa4, bahwa “sekali korupsi dilakukan oleh apalagi kalau dilakukan oleh pejabat-pejabat yang

lebih tinggi, maka korupsi itu akan tumbuh lebih subur”. Tiada kelemahan yang lebih besar pada

suatu bangsa daripada korupsi yang merembes ke semua tingkat pelayanan umum. Korupsi

melemahkan garis belakang baik dalam damai maupun dalam perang. Korupsi terkait dengan

berbagai permasalahan, tidak hanya permasalahan hukum dan penegakannya, tetapi juga

menyangkut masalah moral/sikap mental, masalah pola hidup serta budaya dan lingkungan

sosial, masalah kebutuhan/tuntutan ekonomi dan kesenjangan sosial-ekonomi, masalah

struktur/sistem ekonomi, masalah sistem budaya/budaya politik, masalah mekanisme

pembangunan dan lemahnya birokrasi/prosedur administrasi (termasuk sistem pengawasan) di

bidang keuangan dan pelayanan publik. Keterkaitan korupsi dengan bidang politik atau jabatan

atau kekuasaan menyebabkan Dionysius Spinellis memasukkan korupsi dalam salah satu

kategori “crimes of politicians in office” atau yang beliau sebut juga dengan sebutan “Top hat

crimes”, yang di dalamnya mengandung “twin phenomena” yang dapat menyulitkan dalam

penegakan hukum.5

4 Nyoman Serikat Putra Jaya, Bahan Kuliah Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System), (Semarang: Program Magister Ilmu Hukum, 2008), halaman 92.5 Ibid, halaman 94.

5

Page 6: Politik Hukum Pemberantasan Korupsi

Substansi Hukum Pemberantasan Korupsi.

Dinegara-negara yang belum berkembang, korupsi mungkin kurang dikenal. Tetapi,

begitu suatu Negara mulai berkembang maka gejala korupsi mulaqi tampak. Persepsi mengenai

korupsi mulai timbul dengan berkembangnya Organisasi, Pemerintahan, dan Manejemen.

Korupsi memang berkaitan dengan institusi sebagai cara penyelenggaraan kehidupan sehari hari

dengan menggunakan hukum dan peraturan-peraturan. Makin tinggi perkembangan suatu

institusi, makin tampak gejala korupsinya. Sekalipun gejala korupsi tersebut dapat dikurangi,

dicegah, atau dihapus dengan Organisasi, Pemerintahan, dan Manajemen. Korupsi berkorelasi

terbalik dengan tingkat pendapatan masyarakat yang merupakan symbol dari perkembangan

ekonomi suatu Negara. Dengan demikian, korupsi berkaitan dengan Pemerintahan Negara

(Public Office). Dilihat dari sudut ini, korupsi adalah penyimpangan dari norma-norma yang

berlaku bagi seorang yang menjabat Pemerintahan negara. Esensi korupsi terletak disatu pihak

pada penggunaan kekuasaan atau wewenang yang terkandung dalam suatu jabatan, dan dilain

pihak terdapatnya unsur perolehan (gain) atau keuntungan, baik yang berupa uang maupun

bukan uang. Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dan

masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil, makmur, sejahtera, dan tertib berdasarkan UUD

1945. Untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, sejahtera tersebut, perlu

secara terus menerus ditingkatkan usaha-usaha pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana

pada umumnya dan Tindak Pidana Korupsi pada khususnya. Penyelenggara Negara mempunyai

peran penting dalam mewujudkan cita-cita perjuangan Bangsa.

Di Indonesia, masalah penanggulangan korupsi sudah lama diupayakan. Pada tahun

1957 dibuat Peraturan Penguasa Militer-Angkatan Darat dan Laut RI- Nomor: PRT/PM/06/1957

tentang Pemberantasan Korupsi yang mencantumkan istilah korupsi secara yuridis. Dan untuk

melengkapi peraturan tersebut, maka dikeluarkan peraturan No. PRT/PM/08/1957 tentang

Penilikan Harta Benda. Peraturan ini memberi wewenang kepada Penguasa Militer untuk

mengadakan penilikan terhadap harta benda seseorang atau suatu badan yang kekayaannya

diperoleh secara mendadak dan mencurigakan. Selanjutnya dikeluarkan Peraturan Penguasa

Militer Nomor PRT/PM/011/1957, yang memberi dasar hukum kepada Penguasa Militer untuk

mensita dan merampas barang-barang dari seseorang yang diperoleh secara mendadak dan

mencurigakan. Pada masa itu, korupsi dianggap sebagai penyakit masyarakat yang menggerogoti

kesejahteraan dan menghambat pelaksanaan pembangunan, merugikan perekonomian, dan

6

Page 7: Politik Hukum Pemberantasan Korupsi

mengabaikan moral. Peraturan dibuat karena Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) saat

itu tidak mampu menanggulangi meluasnya korupsi.

Peraturan tersebut dapat dikatakan sebagai upaya awal pemerintah dalam

menanggulangi korupsi sebelum Undang-undang Nomor 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi dikeluarkan. Namun, dalam perjalanannya, korupsi semakin bertambah

parah dan berkembang luas. Pelopor Orde Baru yang semula berteriak paling lantang untuk

memberantas korupsi pada akhirnya justru menjadi sumber tumbuh suburnya korupsi dengan

berbagai kebijakan penyelenggaraan pemerintahan yang penuh dengan unsur korupsi, kolusi dan

nepotisme. Dan hal ini menunjukkan bahwa keberadaan UU No. 3 Tahun 1971 tersebut belum

dapat memuaskan banyak pihak sehingga perlu diganti dengan undang-undang baru. Undang-

undang baru yang dimaksud yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang yang baru ini diharapkan mampu

memenuhi dan mengantisipasi perkembangan pertumbuhan hukum masyarakat dalam rangka

mencegah dan memberantas secara lebih efektif setiap bentuk Tindak Pidana korupsi yang

sangat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara. Dalam perjalanannya pun

ternyata undang-undang ini menimbulkan permasalahan karena tidak ada pasal yang mengatur

tentang peraturan peralihan, sehingga menimbulkan pro dan kontra mengenai keberadaan

undang-undang tersebut. Akibat dari tidak adanya pasal tentang peraturan peralihan, maka

pelaku korupsi pada Orde Baru, sebelum Undang-Undang ini berlaku tidak bisa dijerat dengan

pasal korupsi karena undang-undang sebelumnya yaitu UU No. 3 Tahun 1971 sudah dinyatakan

tidak berlaku lagi.6 Hal ini menimbulkan sangkaan bahwa UU No. 31 Tahun 1999 merupakan

konspirasi dari penguasa untuk melindungi pelaku korupsi di masa lalu. Karena kelemahan itu,

maka UU No. 31 tahun 1999 perlu untuk diubah hingga pada akhirnya keluar Undang-Undang

No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi.

Dari undang-undang yang baru tersebut, pemerintah diberikan amanat untuk

membentuk Komisi Pemberantasan tindak Pidana Korupsi yang independent dengan tugas dan

wewenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Dasar hukum pembentukan

lembaga independent itu adalah UU No. 30 Tahun 2002 tentang Pembentukan Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam perjalanannya, dikeluarkan Keputusan Presiden

6 Ibid, hal 75.

7

Page 8: Politik Hukum Pemberantasan Korupsi

Republik Indonesia No. 11 Tahun 2005 tentang Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi disingkat TIMTASTIPIKOR untuk mendukung pelaksanaan pemberantasan tindak

pidana korupsi yang memang sudah semakin parah. Dan untuk mewujudkan tujuan nasional

yang telah tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 Alinea IV yang meliputi melindungi segenap

bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,

mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan

kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial

Sedangkan alasan diundangkannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi, antara lain :

Sejak diundangkanya Undang-Undang nomor 31 Tahun 1999, terdapat berbagai interpretasi

atau penafsiran yang berkembang dimasyarakat khususnya mengenai penerangan Undang-

Undang tersebut terhadap Tindak Pidana Korupsi yang terjadi sebelumnya Undang-Undang

ini diundangkannya. Hal ini disebabkan pasal 44 Undang-Undang tersebut menyatakan

bahwa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

dinyatakan tidak berlaku lagi sejak Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 diundangkannya,

sehingga timbul suatu anggapan adanya kekosongan hukum untuk memproses Tindak Pidana

Korupsi yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999.

Mengingat korupsi di Indonesia terjadi secara sistematik dan meluas, sehingga tidak hanya

merugikan keuangan Negara tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi

masyarakat luas. Oleh karena itu pemberantasan korupsi perlu dilakukan dengan cara luar

biasa. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi harus dilakukan dengan cara yang khusus,

antar lain dengan penerapan system pembuktian terbalik yakni pembuktian yang dibebankan

kepada terdakwa.

Untuk mencapai kepastian hukum, menghilangkan keragaman penafsiran, dan adanya

perlakuan adil dalam memberantas Tindak Pidana Korupsi, perlu diadakan perubahan atas

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Instrument hukum lainnya sebagai upaya Pemerintah dalam menanggulangi Tindak

Pidana korupsi adalah diundangkannya Undang Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi

8

Page 9: Politik Hukum Pemberantasan Korupsi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagai institusi independent sebagimana diamanatkan

dalam pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999.

Struktur Hukum Pemberantasan Korupsi

Inisiatif pemberantasan korupsi menggunakan komisi independen bukan hal yang baru di

Indonesia. Sejak awal pemerintahan Orde baru, Presiden Soeharto membentuk beberapa komisi

anti korupsi. Tahun 1967, Soeharto membentuk Tim Pemberantasan Korupsi yang berada di

bawah Kejaksaan Agung, dengan Keputusan Presiden No. 228 Tahun 1967. Tim ini dipimpin

oleh Jaksa Agung Sugih Arto. Tahun 1970, Pemerintah membentuk Komisi Empat dengan

anggota empat orang tokoh, yaitu Mohammad Hatta (mantan Wakil Presiden), Anwar

Tjokroaminoto, Herman Johannes dan Soetopo Yoewono. Komisi Empat bertugas meneliti dan

mengkaji kebijakan dan hasil yang dicapai dalam pemberantasan korupsi, dibentuk dengan

Keputusan Presiden No. 12 Tahun 1970. 7

Terkait dengan sistem hukum penanggulangan tindak pidana kejahatan korupsi, sekarang

ini telah dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi dan telah menjadi ikon nasional dan

internasional di Indonesia. Bilamana pada masa lalu, ketentuan normatif mengenai

pemberantasan tindak pidana korupsi telah dipandang kurang lengkap peraturan hukumnya. Oleh

karena ketiadaan lembaga penegak hukum khusus (Special Task Force for Combating Corrution)

menjadi penyebab utama penegakan hukum tindak pidana korupsi menjadi tidak fektif. Karena

itu, urgensi dibentuknya KPK, melalui UU No 20 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi diharapkan dapat mewujudkan masyarakat yang adil da makmur dsan

sejahtera berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Dengan memberikan amanah dan

tanggungjawab kepada KPK untuk melakukan peningkatan pemberantasan tindak pidana

korupsi, lebih profesional, intensif, tindak pidana korupsi telah merugikan keuangan negara, dan

juga menghambat pembangunan nasional.

Kedudukan KPK sebagai institusi hukum yang strategis oleh karena memiliki

kewenangan lebih kredible dan profesional UU No 30 tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pertama, status dan sifat serta kewenangan KPK sebagai

lembaga negara yang dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas

dari pengaruh kekuasaan manapun (pasal 3). Kedua, KPK secara khusus dibentuk dengan tujuan 7 Badan Pengawas Keuangan dan Pembangun, Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional, Pusat Pendidikan dan Latihan Pengawasan BPKP, Jakarta, cetakan pertama, 1999, hal. 330

9

Page 10: Politik Hukum Pemberantasan Korupsi

meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan korupsi (pasal 4). Ketiga,

asas-asas yang dipergunakan KPK dalam menjalan tugasnya yaitu, kepastian hukum,

keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan proporsionalitas. Keempat, kewenangan

KPK yang melebihi penegak hukum konvensional adalah terletak pada pasal enam (6) yaitu

KPK mempunyai tugas, (a) kordinasi dengan instansi yang berwewenang melakukan

pemberantasan tindak pidana korupsi; (b) supervisi terhadap instans yang berwewenang dalam

melakukan pemberantasan korupsi (c), melakukan penyelidikan dan penyidikan, dan penuntutan

terhadap tindak pidana korupsi, (d) melakukan tidakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan

(e) melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.

Dari ketentuan UU inilah kemudian timbul kesan bahwa KPK dalam kaitannya dengan

kompetensi tugas dan fungsi di lapangan dipandang sebagai Lembaga Negara Terkuat (Super

Body). Status dan sifat KPK yang terkesan Super Body tersebut antara lain dikarenakan tiga ciri

dominan. Pertama, KPK sebagai lembaga Negara (Special State Agency) yang secara khusus

melakukan tugas dalam tindakan pidana korupsi. Kedua, keberadaan KPK melebehi peran dan

fungsi yang berada pada lembaga penegak hukum, antara Polisi, Kejaksaan, dan bahkan dengan

lembaga-lembaga negara lainnya. KPK memiliki kewenangan untuk tidak saja melakukan

kordinasi dan supervisi dengan institusi penegak hukum dan lembaga negara lainnya dalam

tindak pidana korupsi. Ketiga, KPK dapat menyatukan tugas dan fungsi yang berada dalam

kewenangan Kepolisian untuk penyelidikan dan penyidikan, Kejaksaan dalam hal penyidikan

dan penuntutan. KPK dalam (pasal 11) membatasi segala tugas dan kewenanganya terhadap

kasus kerugian negara dengan mominal RP 1.000.000.000,- (Satu Milyar). Namun, tiadanya

sanksi hukuman yang lebih berat, seperti adanya hukuman mati diberlakukan berbagai negara

seperti China adalah merupakan alat pengerem kejahatan korupsi juga termurah yang

melemahkan keberadaan UU KPK. 8

Apakah tugas KPK sebagaimana selama ini diperankan telah memenuhi tuntutan

masyarakat. Sebagaimana masyarakat memandang KPK yang oleh UU ditempatkan sebagai

lembaga negara extra power dalam perjalanannya selama tiga tahun belum juga memperlihatkan

hasil yang menggembirakan. Tanpa mengurangi makna dan arti kehadiran KPK dalam sistem

8 Muladi, HAM Hak Asasi Manusia: Hakekat, Konsep dan Implikasnya Dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat. Bandung: Refika Aditama, 2005.

10

Page 11: Politik Hukum Pemberantasan Korupsi

penegakan hukum pidana di Indonesia, sebagaimana juga timbul di berbagai negara seperti

Thailand, Singapura dan juga Malaysia dan Australia, KPK selain memperoleh peluang juga

tantangan yang tidak cukup ringan. Terdapat empat persoalan utama yang dihadapi KPK yang

kemudian peran dan fungsinya belum dapat diperoleh secara optimal sesuai dengan UU.

Pertama, tantangan internal di kalangan penegak hukum. Kecemburuan kelembagaan ini

tidak dapat dhindarkan karena maksud dan tujuan dari UU Pembentukan KPK inkonsisten

dengan ketentuan UU Kepolisian dan Kejaksaan. Misalnya, dalam konteks penyidikan dan

penuntutan yang semula menjadi kewenangan Kepolisian dan Kejaksaan sepertinya telah

memberikan peluang akan tak terbatasnya kewenangan KPK, meskipun jumlah 1 Milyar (pasal

11 UU KPK) cukup jelas. Namun, dalam arti pembagian dan pemisahan kewenangan tampak

kurang konsisten dan berpeluang UU membuat kevacuman hukum dalam mensinergikan fungsi

kerjasama di satu pihak, KPK dan pihak lain dengan Polisi dalam konteks penyelidikan dan

penyidikan. Sungguh memprihatinkan ketika penegakan hukum, khususnya kepolisian,

kejaksaan, dan pengadilan tidak kompak dalam melaksanakan tugasnya menerapkan hukum

terhadap suatu kasus yang sedang dimimpikan masyarakat. Terdapat beberapa pihak yang

menengarai jika peran KPK yang berlebihan tidak segera diantisipasi tidak saja akan berdampak

pada timbulnya kecemburuan di lembaga penegak hukum yang lebih dulu berperan dan sistem

pidana Indonesia (Indonesian Criminal Legal System), melainkan akan berpengaruh pada proses

deligitimisasi institusi penegak hukum. Hal ini didasarkan kepada, pertama KPK sebagai institusi

terobosan (breaking through) terhadap kemandegan kredibilitas penegak hukum di Indonesia,

yang sampai hari ini tidak dibatasi pemberlakuannya. Kedua, timbulnya konflik internal penegak

hukum akibat peran luar biasa KPK juga tidak akan memberikan jaminan efisiensi dan efektiftas

dari ketiga lembaga tersebut. Apalagi indikasi, sebagaimana disebutkan di atas, bahwa lembaga

penegak hukum juga terlibat dalam tindak pidana korupsi. Ketiga, secara khusus, terdapat

kecenderungan kedudukan peran Polri, dalam penyelidikan dan penyidikan termasuk,

penggunaan intelegensi polisi dalam persoalan tindak pidana korupsi semakin tereliminir oleh

peran KPK berduet dengan Kejaksaan Agung. Hal ini terbukti dengan kenyataan bahwa KPK

dan Kejagung belum mampu melaksanakan tugasnya kecuali menangkap koruptor kelas-kelas

teri. Memprihatinkan lagi ketika, justru terdapat kerjasama dalam kaitannya dengan menciptakan

krouptor kelas kakap menjadi raib dari tanah air.

11

Page 12: Politik Hukum Pemberantasan Korupsi

Kedua, KPK memiliki tantangan yang berat karena kepercayaan masyarakat dengan

kesan tebang pilih dilakukan KPK belum pupus. Apalagi hasil KPK untuk mengembalikan uang

negara dan dapat dipergunakan untuk kesejahteraan rakyat memang masih merupakan impian

belaka. Ketiga, tantangan KPK ke depan karena timbulnya kompleksitas hubungan fungsional

antara lembaga negara yang terkait dengan pemberantasan korupsi. Hal yang perlu mendapatkan

perhatian utama dalam membangunan pemeritahan yang baik dan bersih. Keberadaan KPK di

tingkat pusat dengan keterbatasan struktur dan fungsi KPK secara organisatoris mustahil dapat

diandalkan. Misalnya, bagaimana peran KPK dapat meningkat sekiranya pelayanan standar

kriminal bagi masyarakat menuntut untuk dilayani. Misalnya, percepatan di bidang pekayanan

publik (percepatan layanan identitaas, layanan kepolisian, layanan pertanahan, layanan usaha dan

penanaman modal, layanan kesehatan, layanan perpajakan, layanan pendidikan, layanan

transportasi, dan layanan utilitas dan layanan usia senja. Dalam konteks ini diuapayakan layanan

pemerintah dapat dilakukan dengan tanpa birokrasi yang berbelit-belit, dan juga proses

pencepatan tanpa ada penyapan. Selain itu, tantangan yang tidak kalah pentingnya bagi jumlah

anggota KPK adalah berkaitan dengan penetapan Tolok Ukur Keberhasilan sesuai dengan Inpres

No 5 tahun 2004 tentang Kordinasi Monitoring dan Evaluasi terkait dengan Pencepatan

Pemberantasan Korupsi. Hal tersebut antara lain; (a) Memberikan gambaran yang jelas tentang

program yang dilaksanakan, (b) menciptakan kesepakatan untuk menghindari kesalahan

interpretasi selama pelaksanaan program / aktifitas (c) membangun dasar bagi pemantauan dan

evaluasi (d) memotivasi pelaksana program dalam pencapaian hasil (e) mengkomunikasikan

hasil kepada stakeholders.

PENUTUP

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan pemberantasan tindak pidana

korupsi tidak dapat dipisahkan dari aspek politik di Indonesia. Mengingat Indonesia adalah

sebagai negara yang berdasarkan atas hukum, maka segala sikap tindak bangsa harus

berdasarkan pada aturan hukum yang berlaku. Hukum itu diberlakukan tidak lain adalah untuk

mewujudkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan tujuan nasional bangsa Indonesia yang

tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 Alinea IV. Korupsi tidak dapat dibiarkan berjalan begitu

saja kalau suatu negara ingin mencapai tujuannya, karena kalau dibiarkan secara terus menerus,

maka akan terbiasa dan menjadi subur dan akan menimbulkan sikap mental pejabat yang selalu

mencari jalan pintas yang mudah dan menghalalkan segala cara (the end justifies the means).

12

Page 13: Politik Hukum Pemberantasan Korupsi

Untuk itu, korupsi perlu ditanggulangi secara tuntas dan bertanggung jawab. Perubahan

peraturan perundang-undangan tentang pemberantaan tindak pidana korupsi yang telah

berlangsung mulai tahun 1957 hingga sekarang berakhir dengan UU No. 20 Tahun 2001,

merupakan suatu bentuk kebijakan dari pemerintah dalam rangka melakukan penegakan hukum

dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Sekalipun pergantian undang-undang sebanyak itu

akan tetapi filosofi, tujuan dan misi pemberantasan korupsi tetap sama. Secara filosofis,

peraturan perundang-undangan pemberantasan korupsi menegaskan bahwa, kesejahteraan bangsa

Indonesia merupakan suatu cita-cita bangsa yang harus diwujudkan. Bahwa Korupsi di Indonesia

telah terjadi secara sistematik dan meluas serta sudah merasuk dan melembaga pada semua

lapisan masyarakat dan lembaga Negara, seperti Eksekutif, Legislative, dan Yudikatif. Korupsi

di Indonesia bukanlah kejahatan biasa (Ordinary Crime) tetapi telah merupakan kejahatan yang

luar biasa (Ekstra Ordinary Crime), penegakkan hukum terhadap korupsi sering menghadapi

banyak kendala, sehingga pemberantasannya memerlukan dan harus dilakukan dengan

instrument hukum yang luar biasa (Ekstra Ordinary Legal Instrument), sepanjang instrumen ini

tidak bertentangan dengan standar yang berlaku secara universal.

Berdasarkan analisis, substansi yang mengatur pemberantasan tindak pidana korupsi,

korupsi digolongkan sebagai kejahatan yang luar biasa karena tidak hanaya merugikan keuangan

Negara, tetapi juag telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi

masyarakat secara luas. Sementara berkaitan dengan struktur hokum pemberantasan tipikor,

KPK masih memilik banyka tntangan yang akan dihadapai dalam upayanya untuk memberantas

tindak pidana korupsi

DAFTAR PUSTAKA

13

Page 14: Politik Hukum Pemberantasan Korupsi

Badan Pengawas Keuangan dan Pembangun, Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional, Pusat Pendidikan dan Latihan Pengawasan BPKP, Jakarta, cetakan pertama, 1999

Daniel S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1990.

Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional, Bandung: Bina Cipta , 1976

Muladi, HAM Hak Asasi Manusia: Hakekat, Konsep dan Implikasnya Dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat. Bandung: Refika Aditama, 2005

Nyoman Serikat Putra Jaya, Bahan Kuliah Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System), Semarang: Program Magister Ilmu Hukum, 2008

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: Alumni, 1986

14