POLA INTERAKSI STAKEHOLDER PERIKANAN TANGKAP PADA KOMUNITAS NELAYAN PANCING LAYUR DI
KAWASAN PANGKALAN PENDARATAN IKAN CISOLOK, KABUPATEN SUKABUMI,
JAWA BARAT
ZASULI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Perikanan pada
Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Pola Interaksi Stakeholder Perikanan
Tangkap pada Komunitas Nelayan Pancing Layur di Kawasan Pangkalan
Pendaratan Ikan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat adalah karya saya
sendiri dengan arahan dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau
kutipan dari karya ilmiah yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis
lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian
akhir skripsi ini.
Bogor, 3 September 2009
Zasuli
ABSTRAK
ZASULI, C44052361, Pola Interaksi Stakeholder Perikanan Tangkap pada Komunitas Nelayan Pancing Layur di Kawasan Pangkalan Pendaratan Ikan Cisolok, Kabupaten Sukabumi Jawa Barat. Dibimbing oleh SUGENG HARI WISUDO dan EKO SRI WIYONO.
PPI Cisolok merupakan kawasan perikanan yang kedepannya akan menggantikan fungsi PPN Palabuhanratu untuk kapal-kapal berukuran di bawah 30 GT. Namun, kondisi perikanannya sangat memperihatinkan banyak nelayan di sana lebih memilih untuk bekerjasama dengan kelembagaan-kelembagaan informal sehingga peran dari beberapa lembaga formal mulai tergantikan. Penelitian ini ditujukan untuk mengkaji struktur interaksi pada komunitas nelayan di kawasan PPI Cisolok, mengidentifikasi tipologi kelembagaan, dan merumuskan strategi untuk pemberdayaan masyarakat di kawasan PPI Cisolok. Pendekatan kajian dengan menggunakan pendekatan kualitatif, dengan strategi penelitian menggunakan metode studi kasus. Hasil analisis menunjukan stuktur interaksi komunitas nelayan di dominasi oleh kategori tokoh pemilik usaha perikanan, kondisi kelembagaan tergolong tidak sustain, dan strategi pemberdayaan dapat di mulai dari modal sosial yang dimiliki masyarakat setempat.
Kata kunci: struktur interaksi, tipologi kelembagaan, modal sosial.
Judul Skripsi : Pola Interaksi Stakeholder Perikanan Tangkap pada
Komunitas Nelayan Pancing Layur di Kawasan
Pangkalan Pendaratan Ikan Cisolok, Kabupaten
Sukabumi, Jawa Barat.
Nama Mahasiswa : Zasuli
Nomor Pokok : C44052361
Departemen : Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
Mayor : Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Minor : Komunikasi
Disetujui,
Pembimbing I, Pembimbing II,
Dr.Ir. Sugeng Hari Wisudo, MSi Dr. Eko Sri Wiyono, SPi. MSi.
NIP: 19660920 199103 1 001 NIP: 19691106 199702 1 001
Diketahui:
Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB.
Prof. Dr.Ir. Indra Jaya, MSc.
NIP: 19610410 198601 1 002
Tanggal lulus: 24 Agustus 2009
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT, yang dengan Rahmat-Nya akhirnya penulis
dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Skripsi ditujukan untuk memenuhi
syarat mendapatkan gelar sarjana pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya
Perikanan, Mayor Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap, Institut
Pertanian Bogor. Judul skripsi ini adalah “Pola Interaksi Stakeholder
Perikanan Tangkap pada Komunitas Nelayan Pancing Layur di Kawasan
Pangkalan Pendaratan Ikan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat”.
Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada:
1. Dr.Ir. Sugeng Hari wisudo, MSi. dan Dr. Eko Sri Wiyono, Spi,MSi.
selaku komisi pembimbing yang telah memberikan arahan serta
masukan kepada penulis selama proses penelitian hingga penyelesaian
skripsi;
2. Prof. Dr. Mulyono S Baskoro, MSc., Dr. Ir. Muhammad Imron, Msi.,
Ir. Ronny I Wahju, Mphil. dan Akhmad Sholihin Spi. yang telah
berkenan menjadi penguji pada ujian skripsi penulis;
3. Kepala dan staf Dinas Perikanan Kabupaten Sukabumi;
4. Pejabat Desa Cikahuripan, Aji Marpudin (Kepala Desa Cikahuripan)
yang telah membantu penulis dalam memberikan informasi dan
memberikan fasilitas tempat tinggal selama proses penelitian;
5. Kedua Orang tua penulis yang selalu memberikan doa dan
dukungannya selama ini;
6. Ir. Fredian Tonny Nasdian, MS. dan Leonard Dharmawan, SP. yang
telah memberikan masukan kepada penulis;
7. Seluruh rekan-rekan Mayor Teknologi dan Manajemen Perikanan
Tangkap angkatan 42.
Semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca.
Bogor, Agustus 2009
Zasuli
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor pada tangga 27 Juli
1987 dari Bapak Achmad Azharry dan Ibu Imiyati. Penulis
merupakan anak pertama dari dua bersaudara.
Penulis lulus dari SMA Negeri 5 Bogor pada tahun
2005 dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB
melalui jalur SPMB. Pada tahun 2006 penulis memilih Mayor Teknologi dan
Manajemen Perikanan Tangkap, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya
Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan dan memilih Minor
Komunikasi, Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas
Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Dalam rangka menyelesaikan tugas akhir, penulis melakukan penelitian
dan menyusun skripsi dengan judul ”Pola Interaksi Stakeholder Perikanan
Tangkap pada Komunitas Nelayan Pancing Layur di Kawasan Pangkalan
Pendaratan Ikan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat”.
i
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................................ iii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... iv
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... v
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ........................................................................... 1 1.2 Tujuan ......................................................................................... 3 1.3 Perumusan Masalah .................................................................... 3 1.4 Manfaat ....................................................................................... 3
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Interaksi Sosial ........................................................................... 4 2.2 Struktur Sosial ............................................................................ 5 2.3 Masyarakat Nelayan ................................................................... 7 2.4 Kelembagaan Sosial Perikanan Tangkap ................................... 10 2.5 Komunikasi ................................................................................. 15
3. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat ..................................................................... 18 3.2 Bahan dan Alat ........................................................................... 18 3.3 Metode Penelitian ....................................................................... 18 3.3.1 Jenis Data ........................................................................ 19 3.3.2 Metode Pengambil Data ................................................. 19 3.4 Analisis Data ............................................................................... 19
4. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian .......................................... 22 4.2 Letak dan Keadaan Geografis Desa Cikahuripan ...................... 22 4.3 Struktur Organisasi Pemerintahan Desa Cikahuripan ................ 23 4.4 Sumberdaya Manusia Desa Cikahuripan ................................... 23
4.4.1 Jumlah Penduduk ........................................................... 24 4.4.2 Matapencaharian Penduduk ............................................ 25 4.4.3 Tingkat Pendidikan ......................................................... 26
4.5 Kondisi PPI Cisolok .................................................................... 26
5. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Struktur Interaksi Tokoh Kunci di Desa Cikahuripan …………. 27 5.2 Analisis Tipologi Kelembagaan Komunitas Nelayan di Kawasan
PPI Cisolok ………………………………………………… 34 5.3 Pandangan Stakeholder untuk Pemberdayaan Masyarakat Nelayan
di Kawasan PPI Cisolok …………………………………. 41
ii
6. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan ……………………………………………….…… 50 6.2 Saran …………………………………………..……………….. 50
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 52
LAMPIRAN ....................................................................................................... 55
iii
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Jumlah desa dan statusnya di Kecamatan Cisolok ………………….… 22
2. Jumlah penduduk menurut golongan umur ............................................ 24
3. Jumlah penduduk berdasarkan agama yang dianut ................................ 24
4. Sebaran penduduk Desa Cikahuripan menurut jenis mata pencaharian .. 25
5. Sebaran penduduk Desa Cikahuripan menurut tingkat pendidikan ........ 26
6. Nilai koneksi dan derajat integrasi tokoh kunci di Desa Cikahuripan ..... 31
7. Jumlah dan persentase responden yang menilai kelembagaan menurut tipe
kelembagaan dan tipologi di kawasan PPI Cisolok ............................... 34
8. Hasil tangkapan ikan di PPI Cisolok tahun 2008 ................................... 40
iv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Model tipologi kelembagaan ................................................................ 21
2. Struktur organisasi pemerintahan Desa Cikahuripan ........................... 23
3. Jejaring interaksi tokoh kunci di Desa Cikahuripan ............................ 30
4. Tipologi kelembagaan komunitas lokal menurut tipe kelembagaan dan
tipologi di kawasan PPI Cisolok .......................................................... 35
5. Rantai pemasaran hasil tangkapan di kawasan PPI Cisolok ................ 39
6. Persentase pemotongan pada rantai tataniaga TPI Cikahuripan .......... 41
7. Pendekatan pemberdayaan komunitas nelayan dan kelembagaan yang
berkelanjutan ........................................................................................ 42
8. Model agensi stakeholder perikanan tangkap ...................................... 46
9. Model capital sosial untuk pemberdayaan masyarakat nelayan di kawasan
PPI Cisolok ........................................................................................... 47
10. Model capital sosial yang ada pada masyarakat nelayan di kawasan PPI
Cisolok .................................................................................................. 48
v
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Daftra istilah .......................................................................................... 56
2. Perhitungan nilai koneksi dan derajat integrasi ...................................... 57
3. Jaringan interaksi masing-masing tokoh kunci ...................................... 59
4. Peta Teluk Palabuhanratu ....................................................................... 65
5. Peta profil Desa Cikahuripan .................................................................. 66
6. Foto-foto penelitian ................................................................................. 67
1
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Saat ini banyak program pemberdayaan yang mengklaim sebagai program
yang berdasar kepada keinginan dan kebutuhan masyarakat (bottom up), tapi
ironisnya masyarakat tetap saja tidak merasa memiliki akan program-program
tersebut, sebagai akibatnya banyak program yang hanya seumur masa proyek dan
berakhir tanpa dampak berarti bagi kehidupan masyarakat. Pertanyaan kemudian
muncul apakah konsep pemberdayaannya yang salah atau pemberdayaan
dijadikan alat untuk mencapai tujuan tertentu dari segolongan orang
(Syarief,2008). Sudah banyak usaha-usaha yang digulirkan baik oleh pemerintah
pusat maupun pemerintah daerah dalam meningkatkan pembangunan perikanan.
Namun, usaha-usaha yang dilakukan tersebut seolah tidak memberikan dampak
yang berarti khususnya bagi nelayan sebagai pelaku terdepan dalam sektor
perikanan.
Tidak optimalnya pengaturan sektor perikanan (oleh pemerintah) dan
adanya sejumlah kedudukan serta peranan yang berbeda dalam masyarakat telah
melahirkan kelembagaan-kelembagaan yang diprakarsai oleh kelompok elit yang
ada di masyarakat. Dalam sosiologi, kelompok elit tersebut didefinisikan sebagai
anggota suatu kelompok kecil dalam masyarakat yang tergolong disegani,
dihormati, kaya, serta berkuasa. Menurut Usman dalam Tonny (2005), mereka
adalah kelompok minoritas superior yang posisinya berada pada puncak strata,
memiliki kemampuan untuk mengendalikan aktifitas perekonomian dan sangat
dominan untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan.
Penjelasan tentang kelahiran kelompok elit dalam masyarakat biasa
dihubungkan dengan dua pendapat. Pendapat pertama adalah yang percaya bahwa
kelompok ini lahir dari proses alami, mereka adalah orang-orang terpilih yang
oleh Tuhan dikarunia kepandaian, kemampuan, dan keterampilan lebih tinggi
dalam mengatasi atau memecahkan persoalan hidup. Mereka memiliki kapasitas
personal yang lebih potensial daripada massa. Pendapat kedua adalah yang
percaya bahwa kelompok elit lahir akibat dari kompleksitas organisasi sosial.
2
Keberadaan kelembagaan-kelembagaan informal ini telah mengambil alih
peran dari beberapa lembaga formal di masyarakat. Secara fungsional keberadaan
kelembagaan informal ini sangat dibutuhkan dalam menjembatani antara kemauan
pemerintah dan kepentingan masyarakat dalam memacu gerak pembangunan di
negara sedang berkembang manakala fungsi dari lembaga formal tidak berjalan
dengan optimal. Namun, masalah baru akan timbul ketika terjadi konflik sosial
antara kelompok elit dan pemerintah. Eratnya interaksi sosial yang terjalin antara
nelayan dengan berbagai stakeholder menjadikan kelembagaan informal ini
memiliki kekuasaan yang lebih terhadap nelayan dibandingkan pemerintah, dalam
hal ini pemerintah diwakili oleh lembaga formal.
Selama interaksi yang terjalin antara nelayan dengan kelembagaan
informal ini saling menguntungkan, tidak akan timbul masalah. Namun yang
dikhawatirkan adalah terjadinya monopoli kekuasaan oleh kelompok elit terhadap
nelayan melalui mekanisme pranata sosial. Prasodjo dalam Tonny (2003)
mengartikan sebagai kelembagaan sosial yang dimanfaatkan untuk
mempertahankan sistem stratifikasi sosial (dapat berupa politik, kelembagaan
ekonomi seperti hak kepemilikan terhadap barang dan usaha, kelembagaan agama,
pendidikan, militer, kekerabatan, dan lain-lain).
Guna memahami interaksi antar stakeholder perikanan tangkap, penelitian
telah dilakukan di Cisolok. Kawasan PPI Cisolok memiliki karakteristik yang unik
: PPI Cisolok merupakan kawasan sektor perikanan yang kedepannya akan
menggantikan fungsi PPN Palabuhanratu bagi kapal-kapal berukuran 30 GT ke
bawah. Namun kondisi perikanan yang ada sangat memprihatinkan banyak
nelayannya di PPI Cisolok yang memilih untuk bekerjasama dengan
kelembagaan-kelembagaan informal dalam melakukan aktifitasnya. Hal ini
menarik untuk dikaji karena disana peran dari beberapa lembaga formal mulai
tergantikan.
3
1.2 Tujuan
1. Melihat struktur interaksi pada komunitas nelayan dikawasan PPI Cisolok.
2. Mengidentifikasi tipologi kelembagaan pada komunitas nelayan di kawasan
PPI Cisolok.
3. Merumuskan strategi yang sesuai untuk pemberdayaan komunitas nelayan di
kawasan PPI Cisolok.
1.3 Perumusan Masalah
Permasalahan yang ada dalam penelitian ini adalah belum terpetakanya pola
interaksi antara stakeholder perikanan tangkap, kondisi kelembagaan lokal
masyarakat nelayan di kawasan PPI Cisolok.
1.4 Manfaat
1. Memberikan gambaran mengenai struktur interaksi masyarakat nelayan di
kawasan PPI Cisolok.
2. Memberikan gambaran mengenai kondisi kelembagaan sosial masyarakat di
komunitas nelayan kawasan PPI Cisolok.
3. Sebagai bahan rujukan untuk menemukan starategi pemberdayaan masyarakat
nelayan di kawasan PPI Cisolok.
4
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Interaksi Sosial
Proses interaksi sosial merupakan cara untuk menciptakan hubungan sosial
yang terpola yang disebut jaringan-jaringan hubungan sosial atau
pengorganisasian sosial dan struktur sosial. Kata sosial menyatakan bahwa lebih
dari seorang yang terlibat, dan interaksi berarti bahwa terjadi saling
mempengaruhi satu sama lain.
Menurut Gillin dan Gillin (1954) dalam Tonny (2003), interaksi sosial
merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan
antara orang-perorang, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara
orang-perorang dengan kelompok manusia. Rakhmat (2005) mengemukakan, bila
individu-individu berinteraksi dan saling mempengaruhi, maka terjadilah: (1)
proses belajar yang meliputi aspek kognitif dan afektif (aspek berfikir dan aspek
merasa), (2) proses penyampaian dan penerimaan lambang-lambang
(komunikasi), dan (3) mekanisme penyesuaian diri seperti sosialisasi, permainan
peran, identifikasi, proyeksi, agresi, dan sebagainya.
Suatu interaksi sosial tidak mungkin terjadi apabila tidak memenuhi dua
syarat yaitu adanya kontak sosial dan komunikasi. Kontak adalah salah satu hal
yang terpenting untuk mendekatkan pihak-pihak yang saling berinteraksi. Makin
sering kontak, makin dekat antara pihak-pihak yang tadinya saling tidak
mengenal, saling bersikap negatif, atau saling bermusuhan (Sarwono, 2005).
Kontak sosial dapat berlangsung dalam tiga bentuk, yaitu : (1) antara
orang-perorang, misalnya antara nelayan buruh dengan juragannya, (2) antara
orang-perorang dengan suatu kelompok, misalnya antara nelayan dengan pihak
HNSI (Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia), dan (3) antara suatu kelompok
dengan kelompok lainnya, misalnya antar kelompok nelayan gillnet dengan
kelompok nelayan payang.
Kontak sosial bisa bersifat positif atau negatif. Kontak sosial positif,
mengarah pada kerjasama yang mendekatkan atau mempersatukan (asosiatif),
sedangkan kontak sosial negatif mengarah pada suatu pertentangan yang saling
5
menjauhkan atau bahkan sama sekali tidak menghasilkan interaksi sosial
(disosiatif) (Sarwono, 2005).
Salah satu bentuk interaksi sosial dalam bidang perikanan adalah
hubungan antara kelompok elit dan nelayan. Susilowati (1986) dalam Panjaitan
(1997) menyatakan hubungan tersebut berbentuk hubungan bapak-anak buah atau
(Patron-Client Relationship). Fungsi hubungan bapak-anak buah ini mendukung
terbentuknya hubungan ketergantungan golongan ekonomi lemah pada golongan
ekonomi kuat. Hal ini dapat berarti adanya hubungan kekuasaan yang dicirikan
oleh kemampuan pihak yang kuat untuk mempengaruhi tingkah laku pihak lain.
Penjelasan mengenai komunikasi akan dibahas pada bab tersendiri.
2.2 Stuktur Sosial
Seorang peneliti, dalam menganalisis masyarakat harus memerinci
kehidupan masyarakat itu ke dalam unsur-unsurnya, yaitu pranata, kedudukan
sosial, dan peranan sosial untuk kemudian mencapai pengertian mengenai prinsip-
prinsip kaitan antara berbagai unsur masyarakat itu (Koentjaraningrat, 2002).
Struktur sosial, yaitu hubungan antara status/peranan yang relatif bersifat
mantap. Struktur sosial itu menunjukan pada fakta bahwa tindakan individu-
individu yang berinteraksi dipolakan yang kaitan dengan posisi masing-masing
dalam interaksi tersebut. Setiap orang mempunyai “tempat” dalam proses
interaksi sosial dan setiap orang saling-tindak satu sama lain menurut tempat
mereka (Tonny, 2005).
Disebutkan dalam Koentjaraningrat (2002) bahwa konsep struktur sosial
(social structure) pertama kali dikembangkan oleh seorang tokoh dalam ilmu
antropologi, yaitu A.R. Radcliffe Brown. Sarjana antropolgi Inggris yang hidup
antara tahun 1881 sampai 1955. Dasar pikirannya mengenai struktur sosial itu
secara singkat adalah seperti yang terurai di bawah ini :
a). Pangkal dan pusat dari segala penelitian masyarakat di muka bumi ini, serupa
dengan penelitian-penelitian ilmu kimia yang memusatkan perhatian terhadap
susunan molekul-molekul yang menyebabkan adanya berbagai zat, maka
demikian pula ilmu antropologi pada dasarnya harus mempelajari susunan
hubungan antara individu-individu yang menyebabkan adanya berbagai sistem
6
masyarakat. Perumusan dari berbagai macam susunan hubungan antara
individu dalam masyarakat itulah struktur sosial.
b). Struktur sosial dari suatu masyarakat itu mengendalikan tindakan individu
dalam masyarakat, tetapi tidak tampak oleh seorang peneliti dengan sekejap
pandangan, dan harus diabstraksikan secara induksi dari kenyataan kehidupan
masyarakat yang konkrit.
c). Hubungan interaksi antara individu dalam masyarakat adalah hal yang
konkreat yang dapat diobservasi dan dapat dicatat. Struktur sosial seolah-olah
berada dibelakang hubungan konkreat itu, dan hal ini mejadi terang bila kita
perhatikan bahwa struktur itu hidup langsung, sedangkan individu-individu
yang bergerak nyata di dalamnya dapat silih berganti.
d). Dengan struktur sosial itu seorang peneliti kemudian dapat menyelami
latarbelakang seluruh kehidupan seluruh suatu masyarakat, baik hubungan
kekerabatan, perekonomian, religi, maupun aktivitas kebudayaan atau pranata
lainnya.
e). Untuk mempelajari struktur sosial suatu masyarakat diperlukan suatu
penelitian di lapangan, dengan mendatangi sendiri suatu masyarakat manusia
yang hidup terikat oleh suatu desa, suatu bagian kota besar, suatu kelompok
berburu, atau lainnya.
f). Struktur sosial dapat juga di pakai sebagai kriterium untuk menentukan batas-
batas dari sesuatu masyarakat tertentu.
Merujuk pada Maiolo et al. (1991) dalam Tonny (2003) struktur sosial
memiliki empat unsur dasar : (1) status, yaitu suatu posisi dalam masyarakat baik
berdasarkan pemilikan secara individu menurut jenis kelamin, umur, ras, maupun
berdasarkan prestasi melalui tindakan individu. (2) peranan, yaitu hak dan
kewajiban yang berkaitan atau melekat pada status, yang didefinisikan secara
sosial. (3) hubungan interpersonal, yaitu hubungan satu individu dengan individu
lainnya dengan status/peranan tertentu, yang dicirikan oleh proses kompetisi,
kerjasama, konflik, dan pertukaran. Hubungan interpersonal menciptakan jaringan
sosial dan grup. (4) institusi sosial, yaitu wujud hubungan sosial yang relatif
mantap semacam cetak-biru (blue print) aktivitas sosial yang diterima secara luas
7
dan dihargai sepanjang waktu, di mana orang menganggap sebagai hal penting
untuk mencapai kesejahteraan hidup mereka.
Bagi masyarakat kecil dan lokal, kehidupan kekerabatan merupakan suatu
sistem yang seringkali bersifat amat ketat, yang memang mempengaruhi suatu
lapangan kehidupan yang sangat luas, sehingga menyangkut banyak sektor
kehidupan masyarakat. Meneliti sistem kekerabatan dalam suatu masyarakat
serupa itu dapat memberi pengertian mengenai banyak kelompok dan pranata
sosial lain. Demikian juga menganalisis prinsip-prinsip sistem kekerabatan dalam
suatu masyarakat kecil sama dengan menganalisa kerangka dasar dari seluruh
masyarakat (Koentjaraningrat, 2002).
2.3 Masyarakat Nelayan
Masyarakat merupakan istilah yang paling lazim di pakai untuk menyebut
kesatuan-kesatuan hidup manusia, baik dalam tulisan ilmiah maupun dalam
bahasa sehari-hari. Dalam bahasa Inggris di pakai istilah society yang berasal dari
kata latin socius, yang berarti “kawan”. Istilah masyarakat sendiri berasal dari
akar kata Arab syakara yang berarti “ikut serta atau berpartisipasi”. Namun, tidak
semua kesatuan manusia yang bergaul atau berinteraksi itu merupakan
masyarakat, karena suatu masyarakat harus mempunyai suatu ikatan lain yang
khusus yakni pola tingkah laku yang khas mengenai semua faktor kehidupannya
dalam batas kesatuan itu. Lagi pula, pola itu harus bersifat mantap dan kontinu
dengan kata lain, pola khas itu harus sudah menjadi adat istiadat yang khas.
Berdasarkan penjelasan di atas masyarakat didefinisikan sebagai kesatuan hidup
manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat yang bersifat
kontinu, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama. (Koentjaraningrat,
2002).
Berdasarkan definisi dari Direktorat Jendaral Perikanan (1987) dalam Sari
(2002) nelayan adalah orang-orang yang mata pencahariannya menangkap ikan/
binatang air lainnya di laut. Nelayan dapat diklasifikasikan dan dibedakan dalam
tiga macam, yaitu nelayan tetap, nelayan sambilan utama, nelayan sambilan
tambahan. Nelayan tetap adalah orang yang keseharian hidupnya
bermatapencaharian khusus sebagai penangkap ikan di laut dan menetap di
8
daerah-daerah pemusatan nelayan di sepanjang pantai. Nelayan sambilan utama
adalah nelayan yang sebagian besar waktu kerjanya bermatapencaharian sebagai
nelayan sedangkan nelayan sambilan tambahan adalah nelayan yang sebagian
kecil waktunya digunakan untuk menangkap ikan sedangkan ia memiliki mata
pencaharian lainnya yang lebih menyita waktu kerjanya. Nelayan biasa hidup di
wilayah pesisir, oleh karenanya nelayan digolongkan sebagai masyarakat pesisir.
Menurut Syarif (2008) dalam wilayah pesisir terdapat banyak terdapat
kelompok kehidupan masyarakat diantaranya:
a). Masyarakat nelayan tangkap, adalah kelompok masyarakat nelayan pesisir
yang mata pencaharian utamanya adalah menangkap ikan di laut. Kelompok
ini di bagi lagi dalam dua kelompok besar, yaitu nelayan tangkap modern dan
nelayan tangkap tradisional. Kedua kelompok ini dapat dibedakan dari jenis
kapal/peralatan yang digunakan dan jangkauan wilayah tangkapnya.
b). Masyarakat nelayan pengumpul atau bakul, adalah kelompok masyarakat
pesisir yang bekerja disekitar tempat pendaratan dan pelelangan ikan. Mereka
akan mengumpulkan ikan-ikan hasil tangkapan baik melalui pelelangan
maupun dari sisa ikan yang tidak terlelang yang selanjutnya dijual
kemasyarakat sekitarnya atau dibawa kepasar-pasar lokal. Umumnya yang
menjadi pengumpul ini adalah kelompok masyarakat pesisir perempuan.
c). Masyarakat nelayan buruh, adalah kelompok masyarakat nelayan yang paling
banyak dijumpai dalam kehidupan masyarakat pesisir. Ciri dari mereka dapat
terlihat dari kemiskinan yang selalu membelenggu kehidupan mereka, mereka
tidak memiliki modal atau peralatan yang memadai untuk usaha produktif.
Umumya mereka bekerja sebagai buruh atau anak buah kapal (ABK) pada
kapal-kapal juragan dengan penghasilan yang minim.
d). Masyarakat nelayan tambak, masyarakat nelayan pengolah, dan masyarakat
nelayan buruh.
Kehidupan nelayan di Indonesia secara umum memang masih
memprihatinkan, mereka menjadi masyarakat miskin yang terbelakang dalam
program pembangunan. Sebagai negara agraris, seharusnya pemerintah dapat
lebih memperhatikan kesejahteran mereka dengan memberikan kebijakan
pembangunan yang berpihak kepada nelayan kecil (Nikijuluw, 2005).
9
Nelayan memang sering dicap sebagai the poorest of the poor, atau
kelompok termiskin diantara yang miskin. Mereka miskin ide, gagasan, serta
tindakan dan aksi ekonomi. Mereka miskin modal usaha, informasi, pendidikan,
pengetahuan, dan kemampuan usaha. Mereka tinggal di tengah lingkungan yang
miskin sarana, prasarana serta pranata sosial ekonomi yang seharusnya adalah
prasyarat atau modal dasar bagi mereka untuk mengaktualisasikan dirinya sebagai
makhluk sosial ekonomi (Nikijuluw, 2005).
Banyak hal yang menjadi penyebab kemiskinan nelayan, mulai dari faktor
internal yang berkaitan dengan pribadi nelayan sendiri dan juga faktor eksternal
yang berkaitan dengan lingkungan secara umum. Salah satu hal yang memberi
andil besar dalam kemiskinan nelayan ini adalah termarjinalisasinya kawasan
pesisir yang menjadi lingkungan hidup nelayan. Berdasarkan identifikasi yang
dilakukan Chua dan Pauly (1989) dalam Nikijuluw (2005) mengenai masalah ini
di Indonesia, ditemukan beberapa penyebab:
1. Sebagian besar sumberdaya hayati pesisir telah mengalami eksploitasi lebih
(Over Exploitation) dan ekositem pesisir mengalami tekanan yang berat.
2. Terjadi degradasi lingkungan karena kerusakan dan polusi baik yang berasal
dari laut maupun dari darat.
3. Sebagian besar penduduk hidup dalam kondisi miskin, sementara pemiskinan
berlangsung terus dan dipihak lain makin terjadi ketimpangan pendapatan.
4. Kelembagaan yang ada tidak tepat untuk menjawab masalah-masalah yang
muncul.
5. Penegakan hukum yang tidak berjalan dengan baik.
6. Sangat kurang apresiasi publik terhadap pengelolaan yang berkelanjutan.
7. Sangat kurang pelaksanaan pembangunan secara terintegrasi.
8. Sangat rendah kapasitas masyarakat, meskipun dipihak lain potensinya ada dan
cukup besar.
Pada kenyataannya ternyata masyarakat mampu bertahan hidup dalam
kekuatannya sendiri, terutama nelayan buruh atau nelayan-nelayan kecil.
Kelompok masyarakat ini mencapai 3,2 juta orang, yang mendiami 3632 desa
nelayan penangkapan (BPS, 2003) dalam Sari (2002). Indikator desa nelayan
penangkapan dicirikan oleh adanya: jumlah rumah tangga perikanan tangkap
10
(RTPK), jumlah perahu dan kapal, alat tangkap perikanan tangkap, produksi hasil
tangkapan, tempat pendaratan ikan dan pelabuhan perikanan. Diperkirakan
sebanyak 70% dari total penduduk yang digolongkan sebagai nelayan, mereka
telah berupaya agar tetap dapat hidup dengan kekuatan yang memang mereka
miliki, yaitu tenaga dan semangat hidup. Kedua faktor ini (tenaga dan semangat)
adalah modal dasar yang menjadi jaminan utama untuk memenuhi kehidupannya.
Nelayan tradisional walaupun berperan secara signifikan dalam ikut
meningkatkan produksi perikanan nasional, ternyata belum ikut di hitung mampu
secara positif meningkatkan kesejahteraan sosial. Indikator belum ikut di
hitungnya nelayan tradisonal dalam produksi perikanan nasional, salah satunya
adalah hingga saat ini belum ada sistem baku yang berpihak pada mereka, seperti
lembaga penjamin resiko kehidupan akibat keterbatasan daya dukung sumberdaya
manusia dan finansial yang diberikan pemerintah melalui kompensasi
perlindungan pendidikan dan ekonomi (DKP, 2004).
Nelayan dapat disebut sebagai komunitas tanpa pembela. Hal ini ditandai
oleh tidak banyak mendapat perhatian serius dari kalangan masyarakat lain. faktor
penting yang menyebabkan tidak mendapat perhatian publik adalah karena
kebijakan pembangunan selama ini tidak menempatkan sektor kelautan sebagai
salah satu penentu masa depan bangsa. Bailey, et al (1987) dalam Nikijuluw
(2005) melakukan telaah komprehensif tentang perikanan Indonesia, tiba pada
kesimpulan bahwa memang nelayan Indonesia secara umum tergolong miskin.
2.4 Kelembagaan Sosial Perikanan Tangkap
Dari hari kehari manusia melaksanakan banyak tindakan interaksi antara
individu dalam rangka kehidupan masyarakat. Di antara semua tindakannya yang
berpola tadi perlu diadakan perbedaan antara tindakan-tindakan yang
dilaksanakannya menurut pola-pola yang tidak resmi dengan tindakan-tindakan
yang dilaksanakannya menurut pola-pola yang resmi. Sistem-sistem yang menjadi
wahana yang memungkinkan warga masyarakat itu untuk berinteraksi menurut
pola-pola resmi, dalam ilmu sosiologi dan antropologi disebut pranata, atau dalam
bahasa Inggris disebut institution (Koentjaraningrat, 2002). Dalam bahasa sehari-
hari istilah institution sering dikacaukan dengan istilah institute. Padahal dalam
11
bahasa Indonesia kata institute artinya “lembaga”, sedangkan pranata adalah
sistem norma atau aturan-aturan yang mengenai suatu aktivitas masyarakat,
sedangkan lembaga atau institute adalah badan atau organisasi yang melaksanakan
aktivitas itu.
Kelembagaan sosial atau social institution adalah suatu kompleks atau
sistem peraturan-peraturan dan adat istiadat yang mempertahankan nilai-nilai
yang penting. Kelembagaan itu memiliki tujuan untuk mengatur antar hubungan
yang diadakan untuk memenuhi kebutuhan manusia yang paling penting (Polak,
1966) dalam (Tonny, 2003).
Kelembagaan sosial pada dasarnya menyangkut seperangkat norma atau
tingkah laku. Berkaitan dengan hal itu, maka fungsi kelembagaan sosial adalah
seperti diuraikan Doom dan Lammers (1959) dalam Tonny (2003), yakni:
a). Memberi pedoman berprilaku pada individu/masyarakat: bagaimana mereka
harus bertingkah laku atau bersikap di dalam menghadapi masalah-masalah
dalam masyarakat, terutama yang menyangkut kebutuhan-kebutuhan.
b). Menjaga keutuhan: dengan adanya pedoman yang diterima bersama, maka
kesatuan dalam masyarakat dapat dipelihara.
c). Memberi pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan kontrol sosial
(social control): artinya, sistem pengawasan masyarakat terhadap tingkah laku
anggotanya.
d). Memenuhi kebutuhan pokok manusia/masyarakat.
Kunci dalam memahami kelembagaan sosial terletak pada tekanan akan
kebutuhan pokok manusia. Ciri-ciri yang membedakannya dari konsepsi-konsepsi
lain seperti grup, asosiasi, dan organisasi dijelasakan oleh Soekanto (1990) dalam
Tonny (2003) adalah sebagai berikut:
a). Merupakan pengorganisasian pola pemikiran dan perilaku yang terwujud
melalui aktivitas masyarakat dan hasil-hasilnya.
b). Memiliki kekekalan tertentu: pekelembagaan suatu norma memerlukan waktu
yang lama karena itu cenderung dipertahankan.
c). Mempunyai satu atau lebih tujuan tertentu;
d). Mempunyai lambang-lambang yang secara simbolik menggambarkan tujuan.
e). Mempunyai alat untuk mencapai tujuan tertentu.
12
f). Mempunyai tradisi tertulis atau tidak tertulis.
Pakpahan (1990) dalam Panjaitan (1997) menyatakan konsep organisasi
mengandung beberapa unsur antara lain partisipan, teknologi, tujuan,
struktur/kelembagaan dimana interdependensi antara satu dengan lain
menghasilkan output. Dari sudut pandang ekonomi institusi pengertian organisasi
biasanya menggambarkan aktivitas ekonomi yang dikoordinasikan bukan oleh
mekanisme pasar, tetapi melalui mekanisme administrasi atau komando.
Kelembagaan (K) adalah satu set atau satu perangkat peraturan perundang-
undangan yang mengatur tata kelembagaan (Institutional Arrangement: IA) dan
mekanisme atau kerangka kerja kelembagaan (Institutional Framework: IF) dalam
rangka fungsionalisasi kapasitas potensial (Potential Capacity: PC), daya dukung
(Carrying Capacity: CC), dan daya tamping (Absorptive Capacity: AC). AC juga
disebut sebagai daya lentur kelembagaan, yaitu kelenturan suatu lembaga dalam
menghadapi dan mengantisipasi dinamika perubahan yang terjadi di dalam
pembangunan kelautan (Purwaka, 2007).
Berbagai pola kelembagaan kelautan dan perikanan, khusunya bidang
perikanan, tanpa disadari ternya telah dikembangkan pola-pola kelembagaan
tersebut antara lain adalah pengelolaan perikanan terpadu, pengelolaan berbasis
masyarakat, dan pengelolaan perikanan berbasis kemitraan antara pemerintah,
swasta, dan masyarakat (Purwaka, 2007)
Hasil riset yang mengemukakan peran kelembagaan dalam pengelolaan
sumberdaya perikanan dikaji dari laporan hasil PRPPSE yang dikemukakan oleh
Koeshendrajana et al. (2003) dalam DKP (2004), peran kelembagaan penting
dalam hal ini ditekankan terhadap suatu sistem pengelolaan yang dilakukan secara
bersama-sama, baik oleh pemerintah maupun oleh stakeholders lain dalam
kegiatan usaha masyarakat yang terkait dengan sumberdaya perikanan yang
bersangkutan. Prasyarat untuk pelaksanaan bentuk pengelolaan tersebut adalah:
- Pengakuan formal oleh para pelaku bahwa kegiatan tersebut adalah sejalan
dengan aturan formal yang ada dan dikehendaki oleh stakeholders atau
masyarakat.
13
- Pengakuan adanya kelompok-kelompok pengguna (stakeholders) yang ada
sehingga kegiatan pengelolaan sumberdaya yang dilaksanakan tersebut
mendapat dukungan dari pemerintah.
- Disepakati bersama-sama oleh masyarakat pengguna sumberdaya maupun
kelompok kunci atau kelompok penting lainnya.
Banyak cara-cara penting dalam pengelolaan yang dapat dijalankan, tetapi
tidak ada pola pemecahan yang hanya didasarkan pada satu cara saja yang dapat
menjamin keberhasilan pengelolaan. Selain kedua kunci pegelola perikanan tadi
(pemerintah dan masyarakat lokal), mungkin pula berbagai LSM, proyek-proyek
pengembangan dan badan-badan lain yang berperan dalam pengelolaan.
Kombinasi kemitraan yang ideal ditiap lokasi akan tergantung pada kemampuan
berbagai pelaku perikanan lokal dan sifat alami sumberdaya alam yang dikelola.
Pelaku perikanan (stakeholders) disini dinyatakan sebagai masyarakat, kelompok
masyarakat atau organisasi yang dapat dipengaruhi (secara positif atau negatif)
oleh suatu intervensi pengelolaan yang diusulkan, atau mereka yang dapat
mempengaruhi dampak intervensi tersebut (secara positif atau negatif)
(Departemen Kelautan dan Perikanan, 2004).
Dalam menghadapi era globalisai maka peran kelembagaan harus
diperkuat untuk memasuki pasar bebas (free trade area) yang akan membuat
dunia sebagai borderless states atau semakin terkikisnya hambatan-hambatan
perdagangan. Arus barang dan tenaga kerja akan semakin pesat dan persaingan
akan menuntut para pelakunya untuk memiliki kompetensi atau daya saing yang
tinggi untuk dapat bertahan dalam arus globalisasi tersebut. Kecenderungan ini
sudah terlihat dari adanya kesepakatan perdagangan internasional seperti APEC
(Asia-Pacific Economic Cooperation), AFTA (ASEAN Free Trade Area), dan
NAFTA (North American Free Trade Agreement). Arus globalisasi ini akhirnya
menimbulkan beberapa akibat yang disebutkan oleh Ray (2003) dalam DKP
(2004), yaitu:
1. Persaingan yang semakin ketat. Persaingan global tersebut menuntut
perubahan-perubahan yang cukup signifikan baik dalam teknologi, proses
produksi maupun disain produksi serta memperbaiki efektivitas keputusan
mengenai ketentuan harga;
14
2. Adanya ketergantungan dan keterkaitan global. Pergerakan yang relatif bebas
dari barang dan jasa serta faktor-faktor produksi menyebabkan hampir semua
kehidupan dalam suatu negara terpengaruh oleh ekonomi nasional;
3. Proteksionisme dan blok-blok yang makin tumbuh;
4. Kemajuan pesat teknologi;
5. Keprihatinan yang mendalam atas lingkungan.
Sengaja masalah penguatan fungsi kelembagaan dijadikan “kotak kunci”
(key box) bagi tawaran alternatif untuk merekonstruksi perekonomian Indonesia
yang hampir terkoyak di semua sektor, termasuk sektor kelautan dan perikanan.
Dengan pijakan teoritis di atas diharapkan di peroleh dasar yang memadai untuk
menyulam kembali perekonomian Indonesia dengan benang yang tepat.
Setidaknya pendekatan kelembagaan relevan digunakan untuk melakukan
“kontrak baru” terhadap perekonomian Indonesia di lihat dari dua sudut (Perdana
dan Galuh, 2003) dalam DKP (2004). Pertama, teori kelembagaan tidak
berpretensi bahwa masalah perekonomian diakibatkan oleh aspek ekonomi
semata, tetapi bertali pilin dengan aspek lainnya seperti sosial, budaya, dan
hukum. Berdasarkan keyakianan tersebut, setiap penyelesaian persoalan lewat
pendekatan kelembagaan selalu mengandaikan adanya pertimbangan dan
multidimensi. Kedua, teori kelembagaan sangat relevan untuk menjelaskan proses
kegagalan kinerja bisnis sebuah negara yang memiliki sistem sosial, ekonomi, dan
politik belum mapan.
Sektor kelautan dan perikanan saat ini umumnya belum mempunyai
kelembagaan yang bernuansa bisnis perikanan dalam suatu sistem bisnis yang
terintegrasi antara aspek input, penangkapan/budidaya, penanganan hasil
perikanan, serta pemasaran. Hasil kajian Simatupang (1996) dalam DKP (2004),
menjelaskan bahwa pada sektor perikanan menunjukan pola yang ada di Jawa
maupun diluar Jawa umumnya digolongkan sebagai tipe dispersal, yang dicirikan
oleh tidak adanya hubungan organisasi fungsional antara setiap tingkat usaha.
Jaringan bisnis perikanan praktis hanya di ikat dan di koordinir oleh mekanisme
pasar (harga). Hubungan antara sesama pelaku cenderung berkembang menjadi
bersifat eksploitatif yang pada akhirnya menjurus pada kematian bersama.
15
Masalah yang timbul akibat tidak adanya ikatan kelembagaan antar pelaku
dalam bisnis perikanan menurut Klein et al. (1998) dalam DKP (2004), yakni:
a). Terjadi transmisi harga yang tidak simetris.
b). Informasi pasar, termasuk preferensi konsumen ditahan dan bahkan dijadikan
alat untuk memperkuat oligopolistik dan monopolistik oleh bisnis perikanan
disektor hilir.
c). Ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimiliki atau yang dapat diperoleh bisnis
perikanan hilir tidak ditransmisikan ke nelayan.
d). Modal investasi yang relatif lebih banyak dimiliki oleh bisnis perikanan hilir
(pedagangan, eksportir) tidak ditrasmisikan dengan baik dan bahkan
cenderung digunakan untuk mengeksploitasi nelayan.
2.5 Komunikasi
Istilah komunikasi sering digunakan dalam berbagai kegiatan percakapan
sehari-hari, akan tetapi karena begitu luas pemakaiannya sering kali perkataan
komunikasi tidak dapat dipahami secara semakna oleh semua orang. Secara
etimologis Treece (1989) dalam Yuhana (2006) menyebutkan, istilah komunikasi
berasal dari bahasa latin communicatio, berasal dari kata communis yang berarti
kesamaan makna tentang suatu hal. Karena itu komunikasi dapat diartikan sebagai
“proses sosial dari orang-orang yang terlibat dalam hubungan sosial dan memiliki
makna mengenai sesuatu hal”. Secara terminologis, komunikasi diartikan “suatu
proses berbagi pesan melalui kegiatan penyampaiaan dan penerimaan pesan
(simbol-simbol yang bermakna) baik secara verbal (lisan dan tulisan) maupun
nonverbal (gerakan tubun, wajah ,dan mata), sehingga orang-orang yang berperan
sebagai pengirim dan penerima pesan memperoleh makna yang timbal balik atau
sama terhadap pesan yang dipertukarkan”.
Dalam sosiologi komunikasi memiliki arti yang luas pula, oleh karenanya
digunakan istilah komunikasi sosial. Jadi kata komunikasi sosial memiliki arti
tersendiri, merujuk pada Sutaryo (2005), komunikasi sosial diartikan sebagai
suatu proses interaksi dimana seseorang atau suatu lembaga menyampaikan
amanat kepada pihak lain supaya pihak lain itu dapat menangkap maksud yang
dikendaki penyampai.
16
Sebagai suatu proses maka komunikasi memiliki tujuan dalam
pelaksanaanya. Tujuan komunikasi telah banyak dirumuskan oleh para pakar,
diantaranya Berlo (1960) dalam Yuhana et al. (2006) telah merumuskan tiga
tujuan komunikasi sebagai berikut:
(a). Informative: cara berkomunikasi yang bertujuan untuk menyampaikan sesuatu
hal, ide-ide, gagasan-gagasan, rumusan pemikiran baru, perasaan dengan
melakukan pendekatan pikiran (mind). Agar hal ini efektif maka informasi
yang disampaikan bersifat faktual dan objektif.
(b). Persuasive: cara berkomunikasi yang bertujuan untuk menggugah perasaan
seseorang dari suatu situasi ke situasi lainnya, dari tidak suka menjadi suka.
Dengan demikian pendekatan yang dilakukan tidak lagi ditekankan hanya
pada pendekatan pikiran semata tetapi sudah menyangkut aspek pendekatan
emosional.
(c). Entertainment: pada tipe ini komunikasi bertujuan untuk menghibur atau
menyenangkan seseorang melalui peragaan-peragaan tertentu.
Proses komunikasi harus berlangsung secara efektif dimana pesan yang
diterima oleh si penerima (receiver) harus sama dengan yang disampaikan oleh
sumber (source). Tanda-tanda dari sebuah proses komunikasi yang efektif
menurut Tubbs dan Moss (1974) dalam Rakhmat (2005) paling tidak
menimbulkan lima hal: pengertian, kesenangan, pengaruh pada sikap, hubungan
yang makin baik, dan tindakan.
Komunikasi sebagi proses tidaklah sederhana, tetapi bersifat dinamis dan
selalu mengalami perubahan. Oleh karena itu proses komunikasi tidak dapat
direkonstruksi 100 persen. Akan tetapi untuk dapat mengerti bagaimana proses
komunikasi berlangsung perlu diciptakan suatu bentuk atau model komunikasi
yang statik (Yuhana et al, 2006).
Elemen-elemen proses komunikasi yang dapat diisolasi terdiri dari
(Verderber, 1981; De Vito, 1997) dalam Yuhana et al. (2006): orang yang terlibat
dalam komunikasi-sumber (source) dan penerima (receiver), pesan (messages)
yang dipertukarkan melalui komunikasi, media atau saluran (channels) melalui
mana komunikasi terjadi, konteks (contexts) komunikasi, aturan-aturan (rules)
17
yang mengarah pada pelaku komunikasi, hadir tidaknya gangguan (noise), dan
umpan balik (feedback) baik verbal maupun nonverbal.
Peran komunikasi dalam pembangunan sangat besar untuk menjembati
suatu proses interaksi yang berlangsung antar elemen-elemen masyarakat.
Sehingga akan menghasilkan suatu keterpaduan makna yang menjadi tujuan
bersama. Wilbur Schram mengatakan dalam Sutaryo (2005), bahwa tugas
komunikasi dalam perubahan sosial dalam rangka pembangunan nasional antara
lain adalah:
(a). Menyampaikan kepada masyarakat, informasi tentang pembangunan nasional
agar mereka memusatkan perhatian pada kebutuhan akan perubahan, sarana-
sarana perubahan dan membangkitkan aspirasi nasional;
(b). Memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengambil bagian secara
aktif dalam proses pembuatan keputusan, memperluas dialog agar melibatkan
semua pihak yang akan membuat keputusan mengenai perubahan, memberi
kesempatan kepada para pemimpin masyarakat untuk memimpin dan
mendengarkan pendapat rakyat kecil, dan menciptakan arus informasi yang
berjalan lancar dari bawah ke atas;
(c). Mendidik tenaga kerja yang diperlukan dalam pembangunan, sejak orang
dewasa, hingga anak-anak, dari pelajaran baca-tulis, hingga keterampilan
teknis yang mengubah hidup masyarakat.
Dalam masyarakat nelayan, proses komunikasi yang efektif sangat dibutuhkan
untuk meningkatakan taraf hidup agar lebih baik.
18
3 METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian dilapangan dilaksanakan bulan Maret sampai April 2009 dan
bertempat di kawasan PPI Cisolok, Desa Cikahuripan, Kabupaten Sukabumi,
Jawa Barat.
3.2 Bahan dan Alat
Peralatan yang digunakan dalam penelitian adalah kuesioner, recorder,
kamera dan berbagai alat tulis yang dipakai untuk mengumpulkan dan mengolah
data penelitian.
3.3 Metode Penelitian
Penelitian ini akan membahas mengenai struktur interaksi tokoh kunci di
Desa Cikahuripan, kondisi kelembagaan dalam komunitas nelayan di kawasan PPI
Cisolok, dan pandangan stakeholder perikanan tangkap untuk pemberdayaan
masyarakat nelayan di kawasan PPI Cisolok. Pendekatan kajian yang digunakan
dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif, dengan strategi penelitian
menggunakan metode studi kasus. Menurut Bogadan dan Taylor (1975) dalam
Moleong (2005), metode kualitatif didefinisikan sebagai prosedur penelitian data
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang
dapat diamati. Pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara
holistik. Jadi, dalam hal ini tidak boleh mengisolasikan individu atau organisasi ke
dalam variabel atau hipotesis, tetapi perlu memandangnya sebagai bagian dari
sesuatu keutuhan. Kasus yang diangkat dalam penelitian ini berupa kondisi
interaksi sosial masyarakat nelayan di kawasan PPI Cisolok, di sana para nelayan
lebih memilih bekerja sama dengan kelembagaan-kelembagaan informal
dibandingkan dengan pemerintah daerah setempat.
19
3.3.1 Jenis Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh dari kuesioner, wawancara baik secara pribadi
(personal interview) maupun kelompok (group interview) kepada responden,
wawancara kepada Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Sukabumi, serta
dilakukan pula pengamatan terhadap gejala-gejala sosial yang khas yang ada di
masyarakat nelayan Desa Cikahuripan. Sedangkan data sekunder diperoleh dari
TPI Cisolok, dan studi literatur.
3.3.2 Metode Pengambilan Data
Responden di pilih dengan menggunakan tehnik Non-random Sampling
sebanyak 30 orang responden, terdiri dari nelayan pemilik, nelayan buruh, bakul,
dan supplier.
3.4 Analisis Data
1. Struktur interaksi tokoh kunci di Desa Cikahuripan.
Struktur interaksi tokoh kunci di Desa Cikarupan di analisis menggunakan
analisis jaringan (network analysis), yakni dengan mencari nilai koneksi dan
derajat integrasi yang dimiliki oleh masing-masing tokoh kunci.
Langkah pertama yang dilakukan adalah mengidentifikasi tokoh kunci
yang terdapat di komunitas nelayan Cikahuripan. Pada tahap ini dilakukan
wawancara mendalam terhadap informan kunci. Informan didapatkan dengan
teknik snowballing, yaitu teknik untuk mencari nara sumber (tokoh kunci) dengan
cara berantai yang di mulai dengan aparat pemerintah seperti Kepala Desa,
Sekretaris Desa atau Ketua BPD (Badan Pengawas Desa). Selanjutnya, di buat
peta interaksi tokoh kunci di atas kertas lalu dihitung nilai koneksi dan derajat
interaksinya.
Rumus yang digunakan untuk menghitung nilai koneksi dan derajat
integrasi adalah:
Nilai Koneksi = Σn/ ΣM
Derajat Integrasi = Σm/ (ΣN Combinasi 2)
20
Keterangan:
m : Garis yang terbentuk dalam sebuah jaringan interaksi.
M : Jumlah tokoh kunci.
n : Garis yang dimiliki seorang tokoh kunci dalam interaksinya.
N : Tokoh kunci yang berinteraksi dalam satu jaringan.
2. Analisis tipologi kelembagaan
Tipologi kelembagaan ini akan ditampilkan dalam bentuk kuadran yang
memiliki dua variabel: “keseimbangan pelayanan-peranserta” dan “good
governance”. Garis horizontal (ordinat) menggambarkan tingkat keberhasilan
proses manajemen yang diindikasikan dengan rendah sampai tinggi
“keseimbangan pelayanan-peranserta” dalam suatu kelembagaan. Garis vertikal
(absis) menggambarkan tidak berfungsi (bad governance) sampai tinggi
berfungsinya good governance. Perpotongan garis ordinat dan absis inilah yang
membentuk kuadran untuk menjelaskan posisi tipologi kelembagaan dalam
komunitas lokal.
Kuadran pertama (Tipe-1) merupakan gambaran dari tingginya tingkat
“keseimbangan pelayanan-peranserta” dan berfungsinya prinsip-prinsip good
governance dengan baik. Pada kuadran ini komunitas lokal merupakan
manifestasi dari suatu bentuk kelembagaan yang sustain. Kuadran kedua (Tipe-2)
menjadi gambaran bagi rendahnya “keseimbangan pelayanan-peranserta”, tetapi
prinsip-prinsip good governance berfungsi. Kuadran dua ini menjelaskan bahwa
kelembagaan komunitas lokal merupakan suatu kelembagaan yang semi sustain
dengan kendala manajemen. Kuadran ketiga (Tipe-3) menjadi tempat bagi
sejumlah kelembagaan yang memiliki tingkat “keseimbangan pelayanan-
peranserta” rendah dan tidak berfungsinya prinsip-prinsip good governance (bad
governance). Kuadran ketiga ini menunjukan kelembagaan yang tidak sustain.
Terakhir, kuadran keempat (Tipe-4) menjadi tempat bagi sejumlah kelembagaan
yang memiliki tingkat “keseimbangan pelayanan-peranserta” tinggi, namun
prinsip-prinsip good governance tidak berfungsi (bad governance). Kuadran ini
21
menunjukan posisi kelembagaan yang semi sustain dengan kendala good
governance.
Sumber: Tonny 2006
Gambar 1. Model tipologi kelembagaan
3. Pandangan stakeholder untuk pemberdayaan masyarakat nelayan di kawasan
PPI Cisolok.
Pada tahap ini dilakukan pengidentikasian kebutuhan masyarakat oleh
komunitas nelayan. Responden di minta untuk menyebutkan kebutuhan mereka
terkaitan pengelolaan perikanan tangkap di kawasan PPI Cisolok, selanjutnya di
tanya mengenai harapan mereka terhadap pemerintah kabupaten sebagai pihak
yang bertanggung jawab atas penelolaan PPI. Lalu responden kembali di minta
untuk memberikan persepsinya atas kinerja pemerintah kabupaten terkait program
pemberdayaan masyarakat yang selama ini telah diberikan. Kebutuhan dan
harapan tersebut selanjutnya di klasifikasi menjadi social capital, physical capital,
dan human capital.
Hal serupa juga dilakukan terhadap pemerintah Kabupaten Sukabumi
dalam hal ini diwakili oleh Dinas Perikanan Kabupaten Sukabumi. Persepsi yang
telah terkumpul tersebut kemudian dirumuskan dan di cari proses penyatuannya.
“Keseimbangan Pelayanan Peranserta”
Sustain
Semi-Sustain dengan Kendala Governance
Tidak Sustain
Semi-Sustain dengan kendala Manajemen
Rendah Tinggi
“Bad Governance”
“Good Governance”
(1)
(3)
(2)
“Keseimbangan Pelayanan Peranserta”
(4)
22
4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Kecamatan Cisolok merupakan kecamatan pesisir yang berada diujung
barat Kabupaten Sukabumi, berbatasan langsung dengan Provinsi Banten
disebelah barat, disebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Cikakak, disebelah
utara dengan Kecamatan Kabandungan, dan disebalah selatan dengan Samudera
Hindia.
Luas Kecamatan Cisolok mencapai 16.987 ha yang terdiri dari 10 desa, 4
desa pantai dan 6 desa non pantai.
Tabel.(1) Jumlah desa dan statusnya di Kecamatan Cisolok
No. Desa Status Luas (ha) 1 Pasir baru Pantai 1.408 2 Cikahuripan Pantai 702 3 Cisolok Pantai 766 4 Karangpapak Pantai 2.367 5 Sirnaresmi Non pantai 4920 6 Cicadas Non pantai 1681 7 Cikelat Non pantai 1627 8 G. Karamat Non pantai 1501 9 G. Tanjung Non pantai 540 10 Caringin Non pantai 1474
Sumber: DKP Kabupaten Sukabumi 2005 dalam Dauldt 2007
Penelitian ini terfokus dikawasan PPI Cisolok di Desa Cikahuripan. Desa
Cikahuripan merupakan jenis desa pantai yang berbasis pada sumberdaya bahari.
Sumber pendapatan utama penduduk hampir 90% berasal dari hasil tangkapan
ikan dilaut.
4.2 Letak dan Keadaan Geografis Desa Cikahuripan
Luas wilayah Desa Cikahuripan yakni 702 Ha dengan ketinggian di atas
permukaan laut 0.20 mdl dan curah hujan sebesar 3000-3500 mm. Desa
Cikahuripan terbagi dalam 3 Dusun, 15 Rukun Warga (RW) dan 38 Rukun
Tetangga (RT). Batas wilayah Desa Cikahuripan adalah sebagai berikut :
23
Sebelah Utara : Desa Gunung Tanjung
Sebelah Timur : Desa Cisolok
Sebelah Selatan : Samudera Indonesia
Sebelah Barat : Desa Pasir Baru
Sebaran penggunaan lahan atau tanah oleh masyarakat di Desa
Cikahuripan, yaitu sebagai berikut.
Pemukiman penduduk dan perkarangan = 29.05 Ha
Sawah = 45.1 Ha
Ladang/ kebun = 415.40 Ha
Pekarangan = 2.05 Ha
Taman = 1.05 Ha
Sarana Olahraga = 0.6 Ha
Pemakaman = 3 Ha
Usaha Perikanan = 0.25 Ha
4.3 Struktur Organisasi Pemerintahan Desa Cikahuripan
Gambar 2. Struktur Organisasi Pemerintahan Desa Cikahuripan
24
4.4 Sumber Daya Manusia Desa Cikahuripan
4.4.1 Jumlah penduduk
Jumlah penduduk Desa Cikahuripan berdasarkan data Laporan Tahunan
Desa Tahun 2008 adalah 5869 jiwa dengan penduduk laki-laki sebanyak 2866
jiwa dan perempuan 3003 jiwa. Jumlah penduduk menurut golongan umur dan
jenis kelamin adalah sebagai berikut :
Tabel 2. Jumlah Penduduk Menurut Golongan Umur
Jenis Kelamin No Golongan
Umur (tahun) Laki-laki (jiwa)
Perempuan (jiwa)
Jumlah (jiwa)
1. 0-4 241 292 533 2. 5-9 258 263 521 3. 10-14 279 283 562 4. 15-19 278 284 562 5. 20-24 234 237 471 6. 25-29 207 211 418 7. 30-34 219 222 441 8. 35-39 200 257 457 9. 40-44 210 205 415 10. 45-49 205 209 414 11. 50-54 129 130 259 12. 55-59 116 120 136 13. 60-64 93 88 181 14. 65-70 108 105 113 15. >70 89 97 141
Jumlah 2866 3003 5.869 Sumber: Kantor Desa Cikahuripan (Data Sekunder)
Jumlah penduduk Desa Cikahuripan berdasarkan agama yang dianut
adalah sebagai berikut:
Tabel 3. Jumlah Penduduk berdasarkan Agama yang Dianut
No Agama Jumlah (jiwa)1. Islam 5913 2. Katholik 0 3. Protestan 0 4. Budha 0 5. Konghuchu 0 Jumlah 5913
Sumber: Kantor Desa Cikahuripan (Data Sekunder)
25
4.4.2 Mata Pencaharian Penduduk
Mata pencaharian penduduk Desa Cikahuripan cukup beragam. Sebaran
mata pencaharian penduduk Desa Cikahuripan sebagai berikut:
Tabel 4. Sebaran Penduduk Desa Cikahuripan menurut Jenis Mata Pencaharian
Sumber: Kantor Desa Cikahuripan (Data Sekunder)
Berdasarkan laporan dari pemerintah Desa Cikahuripan, jumlah RTM
(Rumah Tangga Miskin) adalah 430 kepala keluarga (KK) atau 26% dari total
1600 KK yang ada di Desa Cikahuripan.
No Pekerjaan Jumlah (Jiwa)
1. Petani 126 2. Buruh Tani 600 3. Buruh Migran 28 4. Pedagang Keliling 25 5. Nelayan 1425 6. Montir 16 7. Pegawai Negri 41 8. Dokter Swasta 1 9. Pembantu Rumah Tangga 152 10. Peternak 13 11. POLRI 3 12. Pengrajin Industri Rumah Tangga 3 13. Pensiunan PNS/POLRI/TNI 6 14. Pengusaha Kecil dan Menengah 21 15. Dukun Kampung Terlatih 3 16. Dosen Swasta 1 17. Pengusaha Besar 5 18. Guru Swasta 18 19. Seniman/Artis 9 20. Karyawan Swasta 11
Total 2507
26
4.4.3 Tingkat Pendidikan
Sebagian besar penduduk Desa Cikahuripan memiliki tingkat pendidikan
tamat SMA atau sederajat. Tingkat pendidikan penduduk Desa Cikahuripan
sebagai berikut
Tabel 5. Sebaran Penduduk Desa Cikahuripan Menurut Tingkat Pendidikan
No Tingkat Pendidikan Jumlah (jiwa) 1. Buta Aksara dan Huruf/Angka Latin 84 2. Tidak Tamat SD 106 3. Tamat SD/sederajat 3073 4. Tamat SMP/sederajat 456 5. Tamat SMA/sederajat 408 6. Tamat Perguruan Tinggi 224
Sumber: Kantor Desa Cikahuripan (Data Sekunder)
4.4.4 Kondisi PPI Cisolok
PPI Cisolok merupakan satu-satunya pangkalan pendaratan ikan di
Kecamatan Cisolok yang berlokasi di Desa Cikahuripan. Di PPI Cisolok terdapat
213 unit kapal terdiri dari 197 unit kapal congkreng dan 16 unit kapal payang.
Jumlah nelayan yang beraktifitas dikawasan tersebut sebanyak 465 orang.
Di PPI Cisolok telah di bangun breakwater meski belum selesai
sepenuhnya, PPI ini kedepannya dipersiapakan untuk mengganti fungsi PPN
Palabuhanratu sebagai tempat berlabuh bagi kapal-kapal berukuran 30 GT
kebawah. Hal tersebut dikarenakan PPN Palabuhanratu saat ini tengah
mempersiapkan peningkatan statusnya menjadi pelabuhan perikanan samudera.
27
5 HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Struktur Interaksi Tokoh Kunci di Desa Cikahuripan
Jumlah tokoh kunci di dalam sebuah desa biasanya tidak banyak. Mereka
adalah anggota masyarakat yang mempunyai jabatan formal dalam pemerintahan
desa pengurus lembaga sosial desa (seperti: Lembaga Ketahanan Masyarakat
Desa, kelompok nelayan, karang taruna, BUMDes, pendidik kesejateraan
keluarga), nelayan kaya, guru atau para pegawai negeri yang bekerja di kota atau
tempat lain.
Tokoh kunci bisa juga diisi oleh informal leaders yakni individu-individu
yang banyak didengar pendapatnya oleh masyarakat dan diikuti petunjuknya
meskipun mereka tidak mempunyai jabatan formal, baik dalam pemerintahan desa
maupun dalam lembaga sosial pedesaan.
Berdasarkan studi yang dilakukan, tokoh-tokoh kunci yang teridentifikasi
memiliki peran penting dalam pengembangan dan pembangunan masyarakat Desa
Cikahuripan, antara lain:
a. Aji Marpudin; peran dan posisi dalam masyarakat antara lain:
- Kepala Desa Cikahuripan,
- Pekerjaan nelayan/taweu,
- Memiliki jaringan yang baik dengan pemangku kebijakan, banyak
program berhasil digagasnya (PNPM, Darmaga, BUMDes) masuk
ke Cikahuripan,
- Pengaruhnya cukup luas di Desa Cikaruripan, di tingkat
Kecamatan, dan Pemda Kabupaten Sukabumi,
- Menjadi sekretaris paguyuban kepala desa se-Kabupaten
Sukabumi.
b. Rusli Rusmajaya; peran dan posisi dalam masyarakat antara lain:
- Kepala BPD Desa Cikahuripan,
- Tokoh dibidang pendidikan (staf PNS, kepala sekolah SMP
swasta),
28
- Pengaruhnya cukup besar terutama dikalangan pemuda (sebagai
ketua Dewan pengarah karang taruna),
- Memiliki jaringan luas (pemda, DPRD, wartawan),
- Memiliki harapan besar terhadap karang taruna agar aktif kembali
dan “mencetak sejarah”.
c. Abah Bunong; peran dan posisi dalam masyarakat antara lain:
- Tokoh (Bakul besar) yang menguasai jaringan ekspor ikan di
Cisolok dan rantai tata niaga,
- Tokoh yang disegani, karena banyak membantu nelayan dan
keluarganya,
- Memiliki jaringan luas di semua TPI pantai selatan Sukabumi
(pengumpul ikan untuk ekspor),
- Sebagai tokoh “informal” yang menggerakan kegiatan-kegiatan
nelayan,
- Pemilik LIGO (suplier ikan layur ke PT.Jiko Gantung Power/
URI).
d. Haji Ewen Suhendi; peran dan posisi dalam masyarakat antara lain:
- Ketua Kerukunan Masyarakat Nelayan Cikahuripan dengan
anggota mencapai hampir 700 orang,
- Pengaruhnya cukup besar ke nelayan,
- Berpengalaman dibidang pelayaran,
- Tokoh/taweu perikanan Cisolok (memiliki 15 unit kapal
congkreng).
e. Cece; peran dan posisi dalam masyarakat antara lain:
- Ketua BUMdes Desa Cikahuripan,
- Ketua TANSOSMAS Desa Cikahuripan,
- Ketua pelaksana program PNPM Desa Cikahuripan.
f. Imas; peran dan posisi dalam masyarakat antara lain:
- Kader karang taruna/ wakil ketua,
- Memiliki jaringan yang cukup luas (kalangan kader desa, aparat
desa, kecamatan, Polsek, preman pasar/terminal),
29
- Memiliki wawasan cukup luas tentang permasalan Desa
Cikahuripan
- Memiliki pengalaman dalam pengembangan kepemudaan.
g. Bambang; peran dan posisi dalam masyarakat antara lain:
- Sekretaris Desa Cikahuripan,
- Memiliki pengetahuan basis data permasalahan ekonomi, sosial,
kependudukan, keagamaan di Desa Cikahuripan.
h. Handiyat; peran dan posisi dalam masyarakat antara lain:
- Tokoh nelayan yang diakui masyarakat,
- Pemilik perahu rumpon (belum dipakai).
i. Ustad Uus; peran dan posisi dalam masyarakat antara lain:
- Ketua MUI Desa Cikahuripan.
j. Ibu Yati; peran dan posisi dalam masyarakat antara lain:
- Ketua KUB Hurip Mandiri.
k. Ibu Aan; peran dan posisi dalam masyarakat antara lain:
- Ketua KUB Tenggiri.
l. Zaenal; peran dan posisi dalam masyarakat antara lain:
- Petani/ tengkulak pisang dan kelapa.
m. Encib; peran dan posisi dalam masyarakat antara lain:
- Petani/ tengkulak cengkeh.
n. Juhdi; peran dan posisi dalam masyarakat antara lain:
- Tengkulak kelapa.
o. Ibu Ocah; peran dan posisi dalam masyarakat antara lain:
- Pengrajin ikan asin dan terasi.
p. Cecep; peran dan posisi dalam masyarakat antara lain:
- Ketua Karang Taruna.
q. Dasep; peran dan posisi dalam masyarakat antara lain:
- Tokoh Nelayan.
r. Didi; peran dan posisi dalam masyarakat antara lain:
- Pengusaha bengkel nelayan yang masih aktif.
30
Terdapat 18 orang yang menjadi tokoh kunci di Desa Cikahuripan. Mereka
terdiri dari 3 orang pejabat formal desa, 5 orang pengurus lembaga sosial desa, 8
orang penguasa sumberdaya ekonomi, dan 2 orang informal leaders. Berikut
gambar mengenai hubungan antara tokoh kunci tersebut:
Gambar 3. Jejaring Interaksi Tokoh Kunci di Desa Cikahuripan
Berdasarkan gambar 3, maka diperoleh nilai koneksi dan integrasi untuk
masing-masing tokoh. Nilai koneksi dan integrasi tersebut, digunakan untuk
melihat kekuatan jaringan yang dimiliki oleh masing-masing tokoh untuk
memberikan pengaruhnya di masyarakat.
Aji kades Ibu
Yati
Ibu Aan
Rusli
Bambang
Mak Ojah
Didi
Cece
Cecep
Ewen Juhdi
Dasep
Imas
Jenal
handiat
Enceb
Bunong
Ust. Uus
31
Tabel 6. Nilai Koneksi dan Derajat Integrasi Tokoh Kunci Desa Cikahuripan:
No. Nama Tokoh Kategori Tokoh Koneksi Derajat
Integrasi
1 Aji Marpudin Pejabat Formal Desa 0,33 0,48
2 Rusli Rusmajaya Pejabat Formal Desa 0,55 0,36
3 Bambang Pejabat Formal Desa 0,22 0,60
4 Uus Pengurus lembaga Sosial Desa 0,11 1
5 Ewen Suhendi Pengurus lembaga Sosial Desa 0,11 1
6 Cece Pengurus lembaga Sosial Desa 0,22 0.8
7 Cecep Pengurus lembaga Sosial Desa 0,11 1
8 Imas Pengurus lembaga Sosial Desa 0,44 0,42
9 Didi Pemilik Usaha Bengkel 0,11 1
10 Abah Bunong Pemilik Usaha Perikanan 0,38 0,50
11 Yati Pemilik Usaha Perikanan 0,11 0,66
12 Aan Pemilik Usaha Perikanan 0,16 0,83
13 Zaenal Pemilik Usaha Perkebunan 0,05 1
14 Encib Pemilik Usaha Perkebunan 0,11 0,66
15 Juhdi Pemilik Usaha Perkebunan 0,05 1
16 Ocah Pemilik Usaha Perikanan 0,05 1
17 Dasep Informal leader 0,11 1
18 Handiyat Informal leader 0,11 1
Sumber: Data Primer
Kegiatan yang berkaitan dengan implementasi pembangunan pedesaan,
hampir semua tokoh kunci didalamnya saling berinteraksi membentuk suatu
jaringan. Hal ini menunjukan bahwa hampir setiap tokoh kunci mempunyai jalur
koneksi dengan tokoh kunci lain meskipun panjangnya berbeda-beda.
Kolom koneksi memperlihatkan bahwa jalur koneksi yang terpendek 0,05
dan terpanjang 0,55. Perhitungan ini diasumsikan bahwa jalur koneksi seorang
tokoh kunci yang menjalin hubungan dengan seluruh tokoh kunci lainnya adalah
1,00, sedangkan tokoh kunci yang sama sekali tidak menjalin hubungan apapun
dengan tokoh kunci lainnya (terisolir) jalur koneksinya adalah 0.
Jika dilihat dari kategori tokoh, maka tokoh kunci dari kalangan pejabat
formal desa memiliki nilai koneksi yang lebih tinggi dibandingkan kategori tokoh
32
lainnya. Terlihat tokoh Rusli memiliki nilai koneksi paling tinggi (0,55)
dibandingkan tokoh kunci lainnya. Namun, mengingat Desa Cikahuripan
merupakan desa pantai dengan hampir 90% penduduknya bermata pencaharian
sebagai nelayan. Maka harus dilihat, siapakah tokoh kunci yang paling
berpengaruh di sana dalam hal pengelolaan perikanan.
Abah Bunong memiliki nilai koneksi tertinggi dari sekian banyak tokoh
kunci yang berlatar belakang perikanan. Sebagai kategori tokoh pemilik usaha
perikanan, Abah Bunong memiliki nilai koneksi 0,38 jauh mengungguli para
tokoh kunci lainnya pada kategori yang sama.
Derajat integrasi tokoh kunci pada jaringan interaksinya cukup bervariasi.
Pada kolom integrasi ditunjukan bahwa derajat integrasi tokoh kunci yang
terendah adalah 0,31 dan tertinggi 1,00. Derajat integrasi di sini memperlihatkan
jumlah hubungan-hubungan tidak langsung. Semakin banyak jumlah hubungan
tidak langsung yang dimiliki oleh seorang tokoh kunci, semakin tinggi pula
derajat integrasi tokoh kunci itu dengan yang lainnnya. Perhitungan ini
mengasumsikan bahwa nilai integrasi individual seorang tokoh kunci adalah 1,00
apabila hubungan relasinya terjalin utuh. Sedangkan seorang tokoh kunci yang
terisolir atau yang sama sekali tidak menjalin hubungan dengan tokoh kunci lain,
nilai integrasi individualnya adalah 0.
Kolom integrasi menunjukan bahwa banyak tokoh kunci yang memiliki
derajat integrasi 1. Hal ini berarti tingkat integrasi yang dibangun tokoh tersebut
utuh. Namun, mereka yang memiliki derajat integrasi 1 merupakan tokoh kunci
yang lemah dalam membangun koneksi, sehingga tingginya derajat integrasi
tersebut tidak dapat menjadi modal bagi mereka untuk dapat mengukuhkan
posisinya sebagai tokoh paling berpengaruh di Desa Cikahuripan, khususnya
dalam pengelolaan perikanan tangkap.
Kategori tokoh yang paling ideal dalam membangun koneksi dan integrasi
masih dimiliki pejabat formal desa. Merekalah para tokoh yang mampu
membangun jaringan luas dan kokoh. Terlihat tokoh Rusli, Aji, dan Bambang
merupakan tokoh yang memiliki pengaruh besar bagi Desa Cikahuripan, mereka
merupakan kategori tokoh pejabat formal.
33
Berdasarkan tabel 6 juga dapat dilihat, bahwa ada dua tokoh kunci yang
memiliki pengaruh bagi Desa Cikahuripan di luar kategori tokoh pejabat formal
desa. Mereka adalah Abah Bunong dengan nilai koneksi 0,38 dan derajat integrasi
0,50 dari kategori tokoh pemilik usaha perikanan, serta Imas dengan nilai koneksi
0,44 dan derajat integrasi 0,42 dari kategori tokoh pengurus lembaga sosial desa.
Pada sebuah komunitas yang cenderung homogen, dimana masyarakatnya
saling memperebutkan sumberdaya yang sama, tokoh yang paling memiliki
pengaruh besar bagi komunitas tersebut adalah mereka yang mampu menguasai
sumberdaya dalam jumlah besar, serta mampu menjaga penguasaanya tersebut
dengan memanfaatkan sistem kelembagaan yang melekat didalam komunitas itu.
Pada kasus pengelolaan perikanan dikawasan PPI Cisolok, unsur dominasi
ketokohan itu nampak jelas. Mulai dari penguasaan kekuatan ekonomi berupa
modal finansial juga kekuatan jaringan interaksi sosial. Tokoh yang paling
berpengaruh dalam pengelolaan perikanan tangkap di kawasan PPI Cisolok yakni
Abah Bunong. Beliau memiliki lembaga informal yang dikenal dengan nama PT.
LIGO.
PT. LIGO telah dijadikan alat untuk mengukuhkan posisi Abah Bunong
sebagai penguasa dominan sistem pengelolaan perikanan tangkap di kawasan PPI
Cisolok. PT. LIGO merupakan suplier tunggal khususnya untuk komoditas ikan
layur yang akan diekspor melalui PT. JIKO GANTUNG POWER (URI) ke
beberapa negara di Asia.
Jika di lihat dalam kolom koneksi dan integrasi pada Tabel 6, memang
tidak ada kategori tokoh penguasa sumber ekonomi (bidang perikanan) yang
menyamai dominasi Abah Bunong dalam nilai koneksi dan derajat integrasi. Pada
sisi lain, kondisi di lapangan menunjukan bahwa pejabat formal desa memang
memiliki pengaruh yang besar bagi masyarakat Desa Cikahuripan. Namun,
pengaruh mereka tersebut tidak sampai menyentuh pengelolaan perikanan secara
menyeluruh. Hal ini dapat di lihat dari kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh
aparatur desa, sejauh ini tidak pernah berbenturan dengan kepentingan PT.LIGO,
bahkan cenderung mengukuhkan PT. LIGO sebagai lembaga sentral pengelola
perikanan tangkap di kawasan PPI Cisolok.
34
5.2. Analisis Tipologi Kelembagaan Komunitas Nelayan di Kawasan PPI
Cisolok.
Hasil analisis tipologi kelembagaan ini dimaksudkan untuk “memetakan”
kondisi dan proses perkembangan kelembagaan grassroots di kawasan PPI
Cisolok, Desa Cikahuripan. Berdasarkan peta kelembagaan di kawasan PPI
Cisolok yang dilengkapi dengan berbagai informasi mengenai kasus-kasus yang
khas di lapangan, diharapakan dapat dihasilkan suatu rumusan strategi untuk
pemberdayaan masyarakat lokal yang bersifat holistik.
Kerangka konseptual tipologi kelembagaan komunitas lokal ini merupakan
suatu “abstraksi’ terhadap hasil kajian empiris yang dilakukan dengan metode
survey. Kajian empiris tersebut mengidentifikasikan tiga faktor penentu
keberlanjutan kelembagaan, yaitu: 1). Pelayanan terhadap anggota; 2). Peran serta
anggota; 3). Good governance. Dari perspektif social capital, yang intinya
membangun dan mengembangkan jejaring (networking), dapat dijelaskan bahwa
interaksi atau “keseimbangan dinamis” antara “pelayanan” dan “peranserta”
merupakan suatu modal sosial kelembagaan yang mengindikasikan bahwa secara
kelembagaan dicapai suatu “keberhasilan proses manajemen”. Sedangkan good
governance mengindikasikan bahwa telah terjadi proses pelembagaan pada
kelembagaan komunitas lokal yang berlandaskan pada prinsip-prinsip demokrasi,
transparansi, dan akauntabilitas (Tonny, 2004).
Berdasarkan analisis tipologi kelembagaan yang dilakukan di kawasan PPI
Cisolok, terdapat kelembagaan produksi dan pemasaran yang keberadaannya
dominan dirasakan oleh masyarakat. Kondisi kelembagaan tersebut berdasarkan
penilai masyarakat adalah sebagai berikut.
Tabel 7. Jumlah dan Persentase Responden yang Menilai Kelembagaan Menurut
Tipe Kelembagaan dan Tipologi di Kawasan PPI Cisolok.
Tipe-1 Tipe-2 Tipe-3 Tipe-4 Total No. Kelembagaan
N % N % N % N % N %
1 Produksi 1 12,5 1 12,5 4 50 2 25 8 100,0
2 Pemasaran 0 0 2 9,1 20 90,9 0 0 22 100,0
Total 1 3,3 3 10 24 80 2 6,7 30 100,0
Sumber: Data Primer
35
Gambar 4. Tipologi Kelembagaan Komunitas Lokal menurut Tipe Kelembagaan
dan Tipologi di Kawasan PPI Cisolok. Sumber: Data Primer.
Berdasarkan hasil analisis (Tabel 3) dan (Gambar 1) maka dapat
ditunjukan bahwa sebanyak 3,3 persen responden menilai bahwa kelembagaan
komunitas lokal di kawasan PPI Cisolok adalah kelembagaan yang berkelanjutan.
Sebanyak 10 persen responden menilai bahwa kelembagaan yang ada termasuk
dalam kategori semi-sustain dengan kendala manajemen. Kelembagaan yang
dikategorikan sebagai kelembagaan yang tidak sustain dinilai oleh sebanyak 80
persen responden. Sedangkan sebanyak 6,7 persen responden menilai
kelembagaan di kawasan PPI Cisolok sebagai kelembagaan yang semi-sustain
dengan kendala good governance.
Analisis selanjutnya (telaah berdasarkan jenis kelembagaan dan tipologi
kelembagaan) menunjukan bahwa 12,5 persen responden menilai bahwa
kelembagaan produksi adalah kelembagaan yang sustain dibandingkan dengan
kelembagaan pemasaran. Sebanyak 12,5 persen responden menilai bahwa
kelembagaan produksi lebih mengalami semi-sustain dengan kendala manajemen
dibandingkan dengan kelembagaan pemasaran (9,1 persen).
“Keseimbangan Pelayanan Peranserta”
Produksi 12,5 Pemasaran 0
Rendah Tinggi
“Bad Governance”
“Good Governace”
(1)
(3)
(2)
“Keseimbangan Pelayanan Peranserta”
(4)
Produksi 12,5 Pemasaran 9,1
Produksi 25 Pemasaran 0
Produksi 50 Pemasaran 90,9
36
Sebanyak 90,9 persen responden menilai bahwa kelembagaan pemasaran
berada pada posisi tidak sustain, dan ini jauh lebih tinggi dari penilaian responden
terhadap kelembagaan produksi yang hanya 50 persen. Pada kelembagaan semi-
sustain dengan kendala good governance, penilaian responden lebih tinggi pada
kelembagaan produksi (25 persen) dibandingkan kelembagaan pemasaran yang
hanya 0 persen.
Apabila dilihat dalam cakupan yang lebih luas mengenai social capital
yang dimiliki oleh Desa Cikahuripan, maka akan didapati adanya kelembagaan-
kelembagaan lokal yang diharapkan menjadi sarana dalam peningkatan human
capital dan physical capital komunitas lokal Desa Cikahuripan. Beberapa
kelembagaan yang telah teridentifikasi, meliputi Kelompok Nelayan TPI
Cikahuripan, Kelompok Usaha Bersama (KUB) Tenggiri, KUB Hurip Mandiri,
dan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Desa Cikahuripan.
a. Kelompok Nelayan TPI Cikahuripan
Stakeholder yang berperan dalam kelompok nelayan TPI Cikahuripan, antara
lain:
1). Nelayan
2). Kepala TPI
Orang yang ditugaskan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Pemda
Kabupaten Sukabumi untuk mengawasi, mencatat, dan mengatur proses
lelang yang dilakukan di TPI PPI Cisolok.
3). Karyawan TPI (Tukang dorong kapal, pemikul ikan)
4). Taweu atau Toke
Nelayan pemilik yang memberikan pinjaman perahu ke para nelayan,
sekaligus pemberi modal untuk kelaut (khususnya untuk jenis perahu
payang atau rumpon).
5). Penjual atau Pemodal
Pembeli ikan dari nelayan atau taweu/toke, sekaligus berperan sebagai
pemberi modal kepada para nelayan atau taweu yang tidak memiliki modal.
6). Bakul atau Pengumpul
Pembeli ikan dari penjual/pemodal, biasanya mereka akan menjual kembali
ikan ke pembeli akhir (konsumen), tetapi jika pendapatan ikan banyak dan
37
harga ikan tinggi para bakul akan menjual ikan khususnya ikan layur ke
bakul besar yang dikenal oleh masyarakat dengan nama PT. LIGO.
7). Bakul besar (LIGO)
Agen pengumpul ikan dalam skala besar, ikan yang didapatkan berasal dari
para nelayan langsung yang berada dibawah koordinasi LIGO dan juga
berasal dari bakul-bakul yang ada di TPI Cikahuripan, khususnya untuk
komoditas ikan layur. LIGO menjual ikannya ke PT. JIKO GANTUNG
POWER (URI) yang kemudian di ekspor ke Korea dan Taiwan.
b. KUB Tenggiri dan KUB Hurip Mandiri
Kelompok Usaha Bersama (KUB) Tenggiri dan Hurip Mandiri merupakan
lembaga ekonomi mikro (UMKM) yang ada di Desa Cikahuripan yang masih
bertahan. Jenis usaha KUB tersebut bergerak didalam bidang pengolahan hasil
ikan, antara lain: abon ikan, bakso ikan, kerupuk tulang ikan, dan nudget ikan.
Anggota kelompok KUB Tenggiri dan KUB Hurip Mandiri sebagian besar
merupakan ibu-ibu nelayan yang tinggal disekitar dusun Pajagan.
c. Kelembagaan BUMDes
Kondisi BUMDes Desa Cikahuripan masih dalam tahap persiapan. BUMDes
Cikahuripan baru dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Kepala Desa No.04
Tahun 2008 yang memiliki tujuan untuk menjadi perusahaan atau lembaga
ekonomi desa yang mampu memfasilitasi kegiatan ekonomi masyarakat.
Empat rencana unit usaha BUMDes Cikahuripan, adalah:
1). Unit usaha penyewaan sound system dan lainnya,
2). Unit usaha meubeler,
3). Industri kecil paving-blok
4). Simpan pinjam dan usaha perikanan
Unit usaha ini bergerak untuk menopang ekonomi masyarakat dengan
meminjamkan modal usaha yang tidak mengikat serta penyediaan alat-alat
untuk kebutuhan nelayan.
Kelembagaan-kalembagaan yang dipaparkan diatas, tidak semuanya
menyenyuh grassroots perikanan tangkap. Hanya kelembagaan kelompok nelayan
TPI Cikahuripan dan kelembagaan BUMDes pada sub usaha simpan pinjam dan
usaha perikanan yang langsung bersinggungan dengan grassroots perikanan
38
tangkap. Oleh karena itu perlu adanya upaya kerjasama antara kelembagaan
tersebut dengan komunitas nelayan yang bersifat positive-sum, artinya pemberian
daya dari pihak lain dapat meningkatkan daya sendiri yang berujung pada
kemandirian bersama.
Kembali kepada hasil analisis tipologi kelembagaan. Dari hasil analisis
tersebut, diketahui bahwa yang menjadi permasalahan adalah kelembagaan
produksi (50 %) dan kelembagaan pemasaran (90 %) berada pada posisi tidak
sustain. Penilaian ini dipilih oleh 80 persen total responden. Mari kita lihat apa
yang sebenarnya terjadi dengan dua kelembagaan tersebut.
Berdasarkan hasil pengamatan yang diperoleh dilapangan, diketahui
bahwa kelembagaan produksi dan pemasaran berada di bawah kendali LIGO.
LIGO membuat semacam aturan amin yang digunakan untuk mengikat nelayan,
sehingga penguasaan sumberdaya dapat didominasi keuntungannya oleh LIGO
dan kelembagaan nelayan TPI Cikahuripan sebenarnya berada dibawah kontrol
LIGO.
Aturan main yang berlaku di dalam kelembagaan kelompok nelayan TPI
Cikahuripan, adalah sebagai berikut: dalam kelembagaan produksi, nelayan atau
taweu ketika akan melakukan operasi penangkapan ikan biasanya meminjam
modal pada pembeli baik untuk bahan bakar, perbekalan ataupun perawatan
armada. Namun, tidak semua nelayan dapat melakukan hal tersebut. Hanya
mereka yang memiliki kedekatan hubungan atau telah dipercaya oleh pembeli
yang akan mendapat pinjaman dengan mudah. Selain mereka biasanya hanya
mendapat pinjaman alakadarnya saja.
Pinjaman yang diberikan oleh pembeli kepada nelayan atau taweu ini tidak
serta merta harus dilunasi dalam sekali pembayaran. Nelayan atau taweu
diwajibkan menabung kepada pembeli untuk setiap kali setiap kali hasil trip
penangkapan. Besar minimal tabungan ditentukan oleh pembeli. Hasil tabungan
ini akan diakumulasi setiap tahun dan dilakukan perhitungan antara jumlah hutang
dan jumlah tabungan setiap tanggal 25 Ramadhan. Biasanya pembeli tidak
langsung memotong tabungan untuk melunasi seluruh hutang. Sebagian hutang
akan tetap disisakan oleh pembeli untuk menjaga hubungan antara nelayan dengan
pembeli tetap terjalin.
39
Proses pemasaran yang terjadi pada hasil tangkapan nelayan dilakukan
dengan sistem ijon. Nelayan harus menjual seluruh hasil tangkapannya kepada
ketua masing-masing kelompok, yakni pembeli. Harga hasil tangkapan yang di
jual ditentukan oleh pembeli. Hal ini terjadi karena pembeli telah merasa berjasa
dalam pemberian bantuan modal kepada nelayan. Nelayan pun tidak mampu
berbuat banyak untuk melawan dominasi pembeli ini. Sempitnya akses pasar yang
dimiliki nelayan, menjadi penyebab terbesar dari mengakarnya dominasi pembeli
dalam komunitas nelayan di kawasan PPI Cisolok.
Seluruh hasil tangkapan yang terkumpul ditangan para pembeli, semuanya
dijual kepada LIGO. Namun, untuk komoditas hasil tangkapan yang tidak
diterima LIGO, maka pembeli menjualnya kepada bakul. LIGO yang merupakan
suplier tunggal akan mengirim produknya ke PT. JIKO GANTUNG POWER
yang ada di Palabuhanratu untuk kemudian diekspor ke beberap negara di Asia.
Gambar 5. Rantai Pemasaran Hasil Tangkapan di PPI Cisolok
Kondisi yang terjadi dalam kelembagaan produksi dan pemasaran masih
bersifat eksploitatif, dimana nelayan masih menerima penghasilan paling kecil
dari rantai pemasaran yang ada, khususnya untuk komoditas ikan layur. Berikut,
data hasil tangkapan yang dikeluarkan oleh pihak TPI di PPI Cisolok tahun 2008:
Nelayan
PT. Jiko Gantung Power
Pasar/pengecer LIGO
Bakul Penjual Taweu/Toke
40
Tabel 8 Hasil Tangkapan Ikan di PPI Cisolok Tahun 2008.
Sumber: TPI Cisolok (data Sekunder)
Terdapat beberapa stakeholder yang terlibat dalam kelembagaan produksi
dan pemasaran. Diantaranya 465 orang nelayan, tapi untuk tahun 2008 hanya
tercatat 415 nelayan yang melakukan aktivitas penangkapan, 36 oarng bakul, 7
orang pembeli, dan 1 suplier. Dengan dipaparkannya rantai pemasaran ikan
seperti di atas, maka akan terlihat gambaran umum mengenai jumlah penghasilan
yang diterima masing-masing stakeholder dalam rantai pemasaran khususnya
untuk komoditas ikan layur.
Berdasarkan data hasil tangkapan diatas maka akan diketahui jumlah ikan
layur yang di daratkan pada tahun 2008 sebanyak 21.200 Kg. harga jual yang
diterima nelayan dari pembeli sebesar Rp 12.000,-/Kg, pembeli menjual kembali
LIGO dengan harga Rp 15.000,-/ Kg, dan LIGO memasok ikan layur tersebut ke
PT. JIKO GANTUNG POWER dengan harga Rp 17.000,-/ Kg.
Ketimpangan pendapatan bisa dilihat dari jumlah penghasilan yang
diterima oleh per individu nelayan, pembeli, dan LIGO. Pendapatan kotor nelayan
sebesar Rp 613.012,-/ tahun sebelum dikurangi modal melaut, retribusi, dan upah
Jenis Hasil Tangkapan (Kg) Bulan Layur Tembang Layang Tongkol Banyar Tenggiri Peda Lainnya
Januari 176 400 1835 375 56
Februari 88 1360 585 230
Maret 200 440 565 67
April 1750
Mei 480
Juni 700
Juli 1893 345
Agustus 3095 137
September 10234
Oktober 540 160
November 510
Desember 1534
41
buruh angkut. Pendapatan kotor yang diterima oleh tiap pembeli rata-rata Rp
9.085.714,-/ tahun, dan LIGO memperoleh keuntungan kotor dari rantai
pemasaran ini sebesar Rp 42.400.000,-/ tahun sebelum dikurangi biaya pembelian
es, penyimpanan, dan pengiriman ke eksportir.
Gambar 6. Persentase pemotongan pada rantai tataniaga TPI Cikahuripan
Satu hal yang perlu diingat bahwa tingkat partisipasi sejalan dengan
keberdayaan yang dimiliki oleh masyarakat “empowerment is road to
participation”. Dengan kata lain, harus ada upaya dilakukan agar warga
komunitas mampu berpartisipasi untuk mencapai kemandirian.
5.3. Pandangan Stakeholder untuk Pemberdayaan Masyarakat Nelayan di
Kawasan PPI Cisolok.
Konteks desentralisasi dan otonomi daerah, yakni penyerahan wewenang
pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus urusan pemerintah. Maka, pengelolaan perikanan di kawasan PPI
dipahami sebagai suatu hasil dari interaksi atau hubungan sebab akibat antara
“proses pembangunan yang bottom- up” yang diartikan sebagai pembangunan
berbasis komunitas dan “proses pembangunan yang top-down” yang dipahami
sebagai implementasi kebijakan-kebijakan pemerintah lokal (local government
policies). Artinya, tingkat keberhasilan dari pengelolaan perikanan di kawasan PPI
tidak hanya diindikasikan oleh banyaknya hasil tangkapan atau armada yang ada
Taweu (50%)
Nelayan (100%)
Nelayan (50%)
Dipotong modal taweu
Pemerintah (2% nelayan; 3% bakul)
Penjual (10%)
42
di sana. Tetapi lebih dari itu sampai sejauh mana para stakeholder di sana mampu
hidup dengan bertumpu pada kelembagaan di tingkat komunitas dan lokal yang
berkelanjutan. Serta mengarahkan pada pencapaian kemandirian intelektual,
manajemen, dan material.
Seperti disebutkan Tonny (2006), kemandirian intelektual merupakan
pembentukan dasar pengetahuan otonom oleh komunitas yang memungkinkan
mereka menanggulangi bentuk-bentuk dominasi yang lebih halus dari luar kontrol
terhadap pengetahuan itu. Kemadirian manajemen adalah kemampuan otonom
untuk membina diri dan menjalin serta mengelola kegiatan kolektif agar ada
perubahan dalam situasi kehidupan mereka. Sedangkan, kemandirian material
adalah kemampuan produktif guna memenuhi kebutuhan materi dasar serta
cadangan dan mekanisme untuk dapat bertahan pada waktu kritis.
Komunitas nelayan yang berdaya dan kelembagaan yang berkelanjutan Sumber: Tonny 2006 Gambar 7. Pendekatan pemberdayaan komunitas nelayan dan kelembagaan yang
berkelanjutan.
Community Based Development Local Governance Police
Tingkat Kecamatan
Tingkat Kelompok
Tingkat Komunitas (Desa/kampung)
Tingkat Propinsi
Tingkat Kecamatan
Tingkat Kabupaten (otonomi)
43
Pada penelitian ini diperoleh pandangan di tingkat komunitas mengenai
pemberdayaan masyarakat nelayan di kawasan PPI Cisolok. Pandangan-
pandangan tersebut mendefinisikan kebutuhan yang harus dimiliki komunitas
lokal untuk mencapai kemakmuran dari sudut pandang masyrakat setempat.
Kebutuhan yang teridentifikasi dan dapat menjadi physical capital
meliputi pengadaan unit penangkapan ikan oleh pemerintah, penambahan fasilitas
PPI berupa cool stotage dan depot es yang memadai, perampungan pembangunan
breakwater, dan penjaminan ketersediaan BBM khususnya minyak tanah.
Kebutuhan yang akan menjadi social capital meliputi kelompok nelayan,
pembentukan dan pelatihan kelompok pencapir yang nantinya diharapkan mampu
menjadi penghubung antara komunitas dengan pemerintah. Mengembangkan
sistem kelembagaan pemasaran yang kooperatif untuk menjamin terciptanya
harga terbaik dari setiap hasil tangkapan yang diperoleh. Perlunya transparansi
ditingkat komunitas dalam pengelolaan sumberdaya baik yang dimiliki komunitas
maupun yang berasal dari bantuan pemerintah. Serta, peningkatan pengawasan
dari logal government policies terhadap pengelolaan sumberdaya ditingkat
komunitas untuk menghindari bentuk-bentuk penguasaan yang bersifat zero-sum.
Selanjutnya, kebutuhan komunitas loakal yang dapat menjadi human
capital berupa pelatihan bercocok tanam bagi nelayan. Sehingga, nelayan dapat
beralih profesi menjadi petani pada saat musim paceklik ikan.
Pandangan di tingkat local government policies atau kabupaten terhadap
pengembangan masyarakat nelayan di kawasan PPI Cisolok dilihat sebagai suatu
“program”. Pengembangan masyarakat dinyatakan sebagai suatu gugusan
prosedur dan isinya ditampilkan sebagai suatu daftar kegiatan. Tolak ukur
keberhasilan program yang digulirkan oleh local government policies adalah
berhasil program dan berhasil di masyarakat.
Berhasil program diartikan sebagai suatu kondisi dimana local government
berhasil menjalankan program sesuai prosedur atau juklak yang menjadi acuan
pelaksanaan program tersebut. Sedangkan, berhasil di masyarakat diartikan
sebagai suatu kondisi dimana program tersebut mampu meningkatkan kapasitas
produksi masyarakat, meningkatnya kualitas kehidupan masyarakat, dan
tumbuhnya rasa memiliki pada masyarakat terhadap program yang digulirkan.
44
Hingga sejauh ini berbagai bantuan pemerintah telah banyak digulirkan
untuk tujuan peningkatan kualitas pengelolaan perikanan tangkap dan
stakeholdernya. Bantuan itu antara lain pembanguanan PPI Cisolok dengan
berbagai fasilitasnya seperti TPI, kios ikan, cool storage, timbangan, dan
breakwater.
Pemberian bantuan pun dilakukan pemerintah kepada para nelayan, ada
pemberian kredit kapal dan pelatihan-pelatihan yang dapat menjadi human capital
bagi nelayan setempat.
Kemampuan masyarakat lokal dalam mendefinisikan kebutuhannya dan
banyak program yang digulirkan pemerintah, seharusnya mampu menghantarkan
hal tersebut pada satu titik temu. Titik temu yang dapat menjadi social capital
bagi masyarakat lokal, dikarenakan baiknya hubungan community based dan local
government.
Pada kenyataannya hal tersebut tidak teraplikasikan dengan baik di
lapangan. Masyarakat lokal menilai kinerja pemerintah tidak serius dalam
membantu masyarakat. Bantuan pemerintah sering tidak sesuai dengan kebutuhan
masyarakat. Bantuan pun biasanya hanya diterima oleh orang yang sama,
sehingga berpotensi menimbulkan kecemburuan sosial.
Pemerintah memberikan pandangannya terhadap kondisi yang terjadi di
lapangan. Pemerintah menilai komunitas nelayan di PPI Cisolok sebagai
stakeholder yang sulit untuk diajak bekerjasama. Tingkat pendidikan yang rendah
dinilai sebagai salah satu faktor paling berpengaruh dalam menghambat hubungan
antara komunitas lokal dengan pemerintah. Rendahnya tingkat pendidikan itu
dianggap telah membentuk cara pandang yang keliru dalam membina hubungan
dengan pemerintah. Bantuan dana baik yang berupa kredit ataupun pinjaman,
dianggap oleh masyarakat sebagai hibah. Hal ini kemudian yang menghambat
perputaran uang sehingga revolving tidak berjalan dan akhirnya bantuan pun
dihentikan.
Masyarakat nelayan di kawasan PPI Cisolok dinilai sebagai masyarakat
yang tradisional. Nelayan masih mengedepankan faktor figuritas dalam proses
komunikasinya. Pesan yang disampaikan oleh tokoh-tokoh kunci di masyarakat
memiliki nilai efektivitas yang tinggi. Ini dapat dilihat dari feedback yang
45
diberikan nelayan terhadap pesan itu. Pemerintah melihat hal ini sebagai bentuk
kekurangan. Tokoh-tokoh kunci itu memiliki pengaruh yang lebih besar bagi
masyarakat dibandingkan dengan pemerintah.
Sebenarnya hal yang demikian menjadi potensi untuk memberdayakan
masyarakat lokal, dengan catatan program yang digulirkan pemerintah sejalan
dengan kepentingan para tokoh kunci. Apabila program yang digulirkan
pemerintah itu berseberangan dengan kepentingan tokoh kunci, kemungkinan
besar program tersebut tidak akan berjalan optimal atau bisa saja terhenti. Seperti
tidak berjalannya pelelangan ikan. Pelelangan ikan dianggap mengancam
kepetingan tokoh kunci, sehingga pelelangan tersebut dibuat tidak berjalan di PPI
Cisolok. Disamping ketidaksiapan pemerintah sendiri dalam memfasilitasi
penyelenggaraan pelelangan.
Permasalahan-permasalahan yang menghambat pertemuan proses top-
down dan bottom-up terdefinisikan dari persepsi masing-masing pihak
“community based development (CBD) dan local government policies (LGP)”.
Selama persepsi itu tidak berjalan sinergi, nampaknya akan sulit mencapai titik
temu dalam membina hubungan antara komunitas lokal dan pemerintah
kabupaten.
Upaya pengembangan komunitas lokal (community based development),
memiliki lima prinsip dasar yang secara konseptual digunakan untuk
mensinergikan kegiatan tersebut, seperti dipaparkan Rubin (1993) dalam Tonny
(2006). Pertama, untuk mempertahankan eksistensinya, CBD memerlukan break-
even dalam setiap kegiatan yang dikelola. Namun berbeda dengan organisasi
bisnis, kendati pemungutan “fee” telah menjadi pertimbangan dalam CBD, tetapi
keuntungan yang diperoleh harus dapat didistribusikan kembali kepada
masyarakat dalam bentuk program atau kegiatan pembangunan lainnya. Kedua,
CBD selalu melibatkan partisipasi masyarakat baik dalam perencanaan maupun
pelaksanaan program. Ketiga, dalam melaksanakan CBD, antara kegiatan
pelatihan dan pembangunan fisik (termasuk didalamnya kegiatan pengembangan
usaha), merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Keempat, dalam
mengimplementasikan CBD harus dapat memaksimalkan sumberdaya
(resources). Khususnya dalan hal dana, baik yang berasal dari pemerintah, swasta,
46
maupun sumber-sumber lainnya, seperti donasi dari sponsor pembangunan sosial.
Kelima, organisasi atau kelembagaan CBD harus lebih memfungsikan diri sebagai
“catalist” yang menghubungkan antara kepentingan pemerintah lokal (local
government), seperti pemerintah kota dan kabupaten, dan kepentingan masyarakat
yang lebih bersifat mikro. Implementasi kegiatan berdasarkan prinsip tersebut
berimplikasi kepada pembentukan “agensi” yang melibatkan pemerintah sebagai
public sector, swasta sebagai private sector, dan kelembagaan masyarakat lokal
sebagai colective action sector.
Sumber: Tonny 2006
Gambar 8. Model Agensi Stakeholder Perikanan Tangkap
Keterlibatan ketiga pihak tersebut diharapkan mampu menciptakan iklim
pengelolaan perikanan yang sehat di kawasan PPI Cisolok. Pengelolaan perikanan
yang menerapkan prinsip-prinsip partisipatif yang membawa agensi tersebut pada
kemakmuran bersama (positive sum).
Prinsip-prinsip partisipatif itu baru dapat diterapkan bila stakeholdernya
telah berdaya. Jika terjadi ketimpangan daya antar stakeholdernya yang terlibat,
kemungkinan besar akan terjadi kooptasi. Pihak yang memiliki daya lebih akan
merasa berkuasa dan mulai menekan pihak yang kekurangan daya. Untuk
menghindari hal itu komunitas lokal dikawasan PPI Cisolok dapat membentuk
“Agensi” Stakeholder& Shareholder
Stakeholder& Shareholder
Stakeholder& Shareholder
Colective Action Sector
Private Sector Public Sector
47
jaringan sosial dengan berbagai pihak sebagai modal sosial. Seperti tertuang pada
gambar dibawah ini
Sumber: Tonny 2006 Gambar 9. Model Capital Social untuk Pemberdayaan Masyarakat Nelayan di
Kawasan PPI Cisolok.
Agar jejaring tersebut selalu menjalankan prinsip-prinsip partisipatif dan
“berakar” pada kepentingan masyarakat di tingkat grassroots (“akar umbi”), maka
jejaring tersebut harus dibangun, dipelihara, dan dikembangkan dengan berbasis
pada komunitas.
Provinsi
Pusat
Komunitas Nelayan di PPI. Cisolok
Kecamatan
Kabupaten
LSM
Tokoh
Lembaga pendididkan Pemerintah
Koperasi Swasta
48
Gambar 10. Model capital social yang ada pada masyarakat nelayan di kawasan
PPI Cisolok.
Desa Cikahuripan telah menerima beberapa program pemberdayaan
masyarakat, diantaranya yang terbaru adalah Program Nasaional Pemberdayaan
Masyarakat (PNPM Mandiri) pada tahun 2007 dari pemerintah pusat. Sebelumnya
pada tahun 2003 Raksa Desa dari pemerintah propinsi Jawa Barat yang sampai
sekarang masih berjalan. Kemudian Program Peningkatan Kecamatan (PPK) pada
tahun 2002, 2003, 2004, dan 2006. Pada tahun 2001 pernah ada Program
Pemberdayaan Masyarakat Ekonomi Pesisir (PEMP) dari Departemen Perikanan
dan Kelautan. Program pemberdayaan yang paling terakhir diingat oleh
masyarakat adalah program Jaring Pengaman Sosial (JPS) yaitu sekitar tahun
1996 sampai tahun 2000.
Selain adanya bantuan dari pemerintah baik pusat maupun daerah, di Desa
Cikahuripan pernah ada bantuan dari pihak swasta, yaitu dari PT. Kalbe Farma.
Kegiatan bantuan pernah dilakukan dua kali, yaitu tahun 2006 dan 2007. Pada
tahun 2006 bentuk kegiatan bantuan berupa rehabilitasi gedung sekolah SD yang
Provinsi
Pusat
Komunitas Nelayan di PPI. Cisolok
Kecamatan
Kabupaten
Lembaga pendididkan Pemerintah
Swasta
49
berada di daerah Pajagan. Sedangkan pada tahun 2007, bentuk bantuan berupa
santunan bagi anak yatim dan kaum jompo, dan melaksanakan sunatan missal.
Program lainnya yang ada di Cikahuripan adalah program pengembangan
masyarakat yang di dampingi oleh LPPM (Lembaga Peneliti dan Pengabdian
kepada Masyarakat) IPB yang mulai berjalan sejak tahun 2008.
Kembali kepada tolak ukur keberhasilan program yang dibangun local
governments, ada berhasil program dan berhasil dimasyarakat. Kunci untuk
meraih keberhasilan tersebut terletak pada intensitas partisipasi yang diberikan
masyarakat nelayan setempat. Banyak cara yang bisa ditempuh untuk
mengembangkan partisipasi ditingkat komunitas.
Cara-cara tersebut, seperti dipaparkan Tonny (2006), adalah sebagai
berikut: pertama, warga komunitas akan berpatisipasi kalau mereka memandang
penting issue-issue atau aktivitas tertentu. Untuk menentukan issue atau tindakan
mana yang penting, warga komunitaslah yang menentukan dan bukan orang luar.
Kedua, warga komunitas berpartisipasi apabila mereka merasa bahwa tindakannya
akan membawa perubahan, khususnya ditingkat rumahtangga atau individu,
kelompok, dan komunitas. Ketiga, perbedaan bentuk-bentuk partisipasi harus
diakui dan dihargai. Keempat, orang harus dimungkinkan untuk berpartisipasi dan
didukung dalam partisipasinya, dan kelima, struktur dan proses patisipasi
hendaknya tidak bersifat mejauhkan. Sebagai contoh prosedur pertemuan dan
teknik-teknik pengambilan keputusan seringkali menyingkirkan orang-orang
tertentu, terutama orang-orang yang cenderung pendiam, tidak ingin
menginterupsi orang lain, kurang percaya diri dan tidak mempunyai kemampuan
verbal.
Pemaparan kondisi interaksi local government dan community based
diatas, dapat memberi gambaran mengenai realitas grassroots perikanan tangkap
dikawasan PPI Cisolok. Beranjak dari semua itu, kedepannya diharapkan lahir
upaya-upaya yang lebih holistik dalam pengelolaan perikanan tangkap khususnya
di kawasan PPI Cisolok.
50
6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
1. Struktur interaksi pada komunitas nelayan di kawasan PPI Cisolok
didominasi oleh tokoh kunci dari kategori Pemilik Usaha Perikanan.
Tokoh kunci paling berpengaruh dalam pengelolaan perikanan di kawasan
PPI Cisolok adalah Abah Bunong dengan nilai koneksi 0,38 dan nilai
integrasi 0,50.
2. Tipologi kelembagaan komunitas nelayan di kawasan PPI Cisolok
termasuk kategori tidak sustain (Tipe-3), tempat bagi sejumlah
kelembagaan yang memiliki tingkat “Keseimbangan pelayanan-Peran
serta” rendah dan tidak berfungsinya prinsip-prinsip Good governance.
3. Strategi yang sesuai untuk pemberdayaan komunitas nelayan di kawasan
PPI Cisolok yakni dengan membangun dan mengembangkan kelembagaan
berlandaskan pada modal sosial yang terdapat dalam masyarakat nelayan
di kawasan PPI Cisolok, menerapkan prinsip-prinsip partisipatif dan
mensinergikan kekuatan-kekuatan Bottom-up dan Top-down.
6.2 Saran 1. Diperlukan penelitian lanjutan mengenai model pemberdayaan masyarakat
nelayan di kawasan PPI Cisolok yang bersifat holistik.
2. Perlu ditingkatkannya intensitas dan kualitas komunikasi antara
pemerintah kabupaten dengan masyarakat nelayan disana, agar terjalin
terjalin hubungan interaksi yang kuat.
3. Perlu diupayakan pembukaan akses pasar oleh pemerintah kabupaten bagi
hasil tangkapan nelayan, agar tidak terjadi monopoli pasar di PPI Cisolok.
4. Pemerintah kabupaten perlu mempersiapakan sumberdaya manusia
berkualitas yang mampu menggerakan proses lelang di TPI Cisolok.
5. Diperlukan upaya yang lebih serius dari instansi terkait dalam pendataan
hasil tangkapan, sehingga data hasil tangkapan memiliki selang
kepercayaan yang tinggi.
51
6. Proyek-proyek dan program kerja dalam peningkatan kualitas pengelolaan
perikanan tangkap tidak hanya menitik beratkan pada pembangunan
physical capital, tapi harus berimbang dengan human capital dan social
capital.
52
DAFTAR PUSTAKA
Bailey.C, A. Dwiponggo, and F. Marahudin. 1987. Indonesian Marine Capture
Fisheries. ICLARM Studies and Revies 10, 196p.
Berlo, D.K. 1960. The Social Contract. New York: Atheneum Publishers.
Bogda, Robert. Participant Observation in Organizational Settings, Syracuse. New
York: Syracuse University Press.
Chua, T and D Pauly. 1989. Coastal Area Management in Southeast Asia:
Policies, Management Strategies and Case Studies. Manila: ICLARM
Conference Proceedings 2.
Dault, A. 2007. Peningkatan Peran Pemuda Dalam Pembangunan Kelautan dan
Perikanan di Kabupaten Sukabumi Jawa Barat. Disertasi. Bogor: Sekolah
Pasca Sarjana IPB. (Tidak Dipublikasikan)
Departemen Dalam Negeri. 2000. Metode Penelitian Sosial: Terapan dan
Kebijakan. Jakarta. Badan Penelitian dan Pengembangan. Departemen
Dalam Negeri dan Otonomi Daerah.
Departemen Kelautan dan Perikanan. 2004. Indikator Kerja dan Hasil Riset Sosial
Ekonomi Kelautan dan Perikanan. Prosiding Seminar.Jakarta. Balai Riset
Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan
Perikanan.
Koentjaraningrat. 2002. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta. Rineka Cipta.
Moleong, L J. 2005. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung. Remaja Rosdakarya.
Nikijuluw, V P H. 2005. Politik Ekonomi Perikanan: Bagaimana dan Kemana
Bisnis Perikanan. Jakarta. Feri Agung Coorporation.
Panjaitan, I L M. 1997. Pola Hubungan Patron-Klien Pada Masyarakat Nelayan di
Kecamatan Muara Gembong, Kabupaten Bekasi, Propinsi Jawa Barat.
Skripsi. Bogor. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. (Tidak
Dipublikasikan)
Prastowo, P D Fewidarto, Sumardjo, E S Wiyono, M Faturokhman, L
Dharmawan. 2008. Rencana Strategi Pengembangan Masyarakat Desa
Cikahuripan, Kecamatan Cisolok, Kabupataen Sukabumi. Bogor. LPPM-
IPB. (Buku 1)
53
Prastowo, P D Fewidarto, Sumardjo, E S Wiyono, M Faturokhman, L
Dharmawan. 2008. Rencana dan Implementasi Program Pengembangan
Masyarakat Desa Cikahuripan. Bogor. LPPM-IPB. (Buku 2)
Prastowo, P D Fewidarto, Sumardjo, E S Wiyono, M Faturokhman, L
Dharmawan. 2008. Naskah Akademik Hasil Kajian Pengembangan
Masyarakat Secara Partisipatif. Bogor. LPPM-IPB. (Buku 3)
Purwaka T.H. 2003. Bunga Rampai Analisis Pengembangan Kapasitas
Kelembagaan Kelautan dan Perikanan. Jakarta.( disisipkan untuk bahan
kuliah Pasca Sarjana IPB).
Purwaka T.H. 2007. Bunga Rampai Kelembagaan Kelautan. Jakarta: Atma Jaya
Sari, A. 2002. Dampak Proses Komunikasi Dalam Pembinaan Kredit Motorisasi
di Kelurahan Pelabuhanratu, Kabupaten Sukabumi Jawa Barat. Skripsi.
Bogor. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelauatan IPB. (Tidak
Dipublikasikan)
Sarwono, S W. 2005. Psikologi Sosial, Psikologi Kelompok, dan Psikologi
Terapan. Jakarta. Balai Pustaka.
Soekanto, S. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Sutaryo. 2005. Sosiologi Komunikasi. Yogyakarta. Arti Bumi Intaran.
Syarief, E. 2008. Pembangunan Kelautan Dalam Konteks Pemberdayaan
Masyarakat Pesisir. //http.bappenas.go.id.
Tonny, F. 2003. Sosiologi Umum. Bogor. Fakultas Ekologi Manusia IPB.
Tonny, F. 2004. Perspektif Kelembagaan dalam Pengelolaan Daerah Aliran
Sungai Citanduy.(Project Working Paper Series No. 4). Bogor. Pusat
Studi Pembangunan-IPB.
Tonny, F. 2005. Sosiologi Umum. Bogor. Fakultas Ekologi Manusia IPB. (Modul
Praktikum)
Tonny, F. 2006. Pengembangan Masyarakat (Community Development). Bogor.
Fakultas Ekologi Manusia IPB.
Tonny, F. 2006. Pengembangan Masyarakat (Community Development). Bogor.
Fakultas Ekologi Manusia IPB. (Modul Praktikum)
54
Tonny, F. 2008. Pengembangan Masyarakat (Community Development). Bogor.
Fakultas Ekologi Manusia IPB. (Slide Kuliah)
Tubbs S.L, and S. Moss. 1974. Human Communication: An Interpersonal
Perspective. New York: Random House.
Usman, S. 1998. Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
56
Lampiran 1 Daftar Istilah
- Bad governance : tata pemerintahan yang buruk.
- Bottom up : memunculkan masalah atau program dari aspirasi masyarakat.
- Colective action sector : sektor yang lahir dari partisipasi masyarakat.
- Community based development : berkaitan dengan aspirasi masyarakat lokal.
- Feed back : umpan balik yang di terima setelah terjadi penyampaiaan pesan.
- Good governance : tata pemerintahan yang baik.
- Grassroots : akar umbi, masyarakat lokal.
- Human capital : modal berupa keterapilan manusia.
- Informal leaders : tokoh informal yang di nilai memiliki pengaruh.
- Kooptasi : bentuk interaksi social dimana yang berkuasa menekan yang lemah.
- Local government policies : berkaitan dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh
pemerintah lokal
- Physical capital : modal yang berwujud fisik.
- Private sector : sektor yang tidak bebas untuk keluar masuk (swasta).
- Positive sum : Pemberdayaan yang menuju kemakmuran bersama.
- Public sector : sektor yang bebas dimasuki publik ( instansi pemerintah).
- Shareholder : pemilik saham.
- Social capital : modal yang berupa nilai-nilai social dan kelembagaan.
- Stakeholder : pemangku kepentingan.
- Top down : Kebijakan pemerintah yang tidak di dasarkan atas aspirasi
masyarakat.
57
Lampiran 2 Perhitungan Nilai Koneksi dan Derajat Integrasi
I. Nilai Koneksi:
Rumus: Nilai Koneksi = Σn/ ΣM
1. Aji Marpudin: 6/18 = 0.33
2. Ocah: 1/18 = 0.05
3. Bambang: 4/18 = 0.22
4. Rusli: 10/18 = 0.55
5. Didi: 2/18 = 0.11
6. Aan: 3/18 = 0.16
7. Yati: 3/18 = 0.16
8. Handiat: 2/18 = 0.11
9. Bunong: 7/18 = 0.38
10. Dasep: 2/18 = 0.11
11. Enceb: 2/18 = 0.11
12. Jenal: 1/18 = 0.05
13. Imas: 8/18 = 0.44
14. Ewen: 2/18 = 0.11
15. Cecep: 2/18 = 0.11
16. Uus: 2/18 = 0.11
17. Cece: 4/18 = 0.22
18. Juhdi: 1/18 = 0.05
58
II. Derajat Integrasi
Derajat Integrasi = Σm/ (ΣNC2)
1. Aji Marpudin: 10/(7C2) = 0.48
2. Ocah: 1/(2C2) = 1
3. Bambang: 6/(5C2) = 0.60
4. Rusli: 20/(11C2) = 0.36
5. Didi: 3/(3C2) = 1
6. Aan: 5/(4C2) = 0.83
7. Yati: 4/(4C2) = 0.66
8. Handiat: 3/(3C2) = 1
9. Bunong: 14/(8C2) = 0.50
10. Dasep: 3/(3C2) = 1
11. Enceb: 2/(3C2) = 0.66
12. Jenal: 1/(2C2) = 1
13. Imas: 15/(9C2) = 0.42
14. Ewen: 3/(3C2) = 1
15. Cecep: 3/(3C2) = 1
16. Uus: 3/(3C2) = 1
17. Cece: 8/(5C2) = 0.80
18. Juhdi: 1/(2C2) = 1
59
Lampiran 3 Jaringan Interaksi masing-masing tokoh kunci
1. Aji Marpudin
2. Mak Ojah
Rusli
Bambang
Mak Ojah
Didi
Dasep
Bunong
Aji kades
Aji kades
Mak Ojah
60
3. Bambang
4. Rusli
Bambang
Enceb
Ibu Aan
Rusli
Aji kades
Rusli
Bambang
Aji kades
Bunong
handiat
Cece Imas
Ibu Yati
Ibu Aan
Dasep
Didi
61
5. Didi
6. Enceb
7. Jenal
8. Dasep
9. Juhdi
Didi
Aji kades
Rusli
Enceb
Bambang
Jenal
Jenal
Enceb
Dasep
Aji kades
Rusli
Juhdi
Imas
62
10. Cecep
11. Ewen
12. Uus
13. Cece
Cecep
Imas
Bunong
Imas Bunong
Ewen
Imas Ust. Uus
Cece
Cece
Ust. Uus
Rusli
Bunong
63
14. Ibu Aan
15. Handiat
16. Bunong
17. Ibu Yati
Ibu Aan
Ibu YatiRusli
Bambang
handiat
Rusli
Bunong
Bunong
handiat
Rusli
Aji kades
Imas
Ewen
Cecep
Cece
Ibu Yati
Imas
Rusli
Ibu Aan
65
Lampiran 4 Peta Teluk Palabuhanratu
#
P E T A LOKASI PENELITIAN
CISOLOK
CIKAKAK
PALABUHA N R A T U
SIMPENA N
CIEMAS
CIRACAP
SURADE
W A L U R A N
C IB I T U N G
JA M P A N G K U L O N
L E N G K O N G
C I K ID A N G
T E LU K P A L ABUHANRATU
0 1,5 3
K m
U
105
105
106
106
107
107
108
108
109
109
- -7
-6 -6 Su m b er D a t a : Pe t a R u p a B u m i I n d o n e s ia BA K O S U R T A N A L
7 °2 0 ' 7 ° 2 0 '
7 °1 0 ' 7 ° 1 0 '
7 °0 0 ' 7 ° 0 0 '
1 06 °2 0 '
1 06 °2 0 '
106°30'
106° 0'
- -
P PN PALABUHANRATU
67
Lampiran 6 Foto-foto Penelitian
Gerbang Menuju PPI Cisolok
Aktivitas Perbaikan Kapal di PPI Cisolok
Top Related