Download - PERTUSIS

Transcript

PERTUSIS

Pertusis (batuk rejan) merupakan penyebab terbesar kesakitan dan kematian pada anak, terutama di negara berkembang, WHO memperkirakan lebih kurang 600.000 kematian disebabkan pertusis setiap tahunnya terutama pada bayi yang tidak diimunisasi. Dengan kemajuan perkembangan antibiotik dan program imunisasi maka mortalitas dan morbiditas penyakit ini mulai menurun.

EtiologiGenus Bordetela mempunyai 4 spesies yaitu B. pertusis, B. parapertussis, B. bronkiseptika, dan B. avium. Penyebab pertusis adalah Bordotella pertusis dan perlu dibedakan dengan sindrom pertusis yang disebabkan oleh Bordotella parapertussis dan adenovirus (tipe 1, 2, 3, dan 5). Bordotella pertusis termasuk kokobasilus, gram negatif, kecil, ovoid, ukuran panjang 0,5 1 um, dan diameter 0,2 0,3 um, tidak bergerak, tidak berspora. Dengan pewarnaan toloidin biru, dapat terlihat granula bipolar metakromatik dan mempunyai kapsul. Untuk melakukan biakan B. pertussis, diperlukan suatu media pembenihan yang disebut bordel gengou (potato-blood-glycerol agar) yang ditambah penisilin G 0,5 ug/ml untuk menghambat pertumbuhan organsme lain.Organisme yang didapatkan umumnya tipe virulen (disebut fase 1). Pasase dalam biakan dapat merangsang pembentukan varian yang avirulen (fase II, III atau IV). Strain fase I berperan untuk penularan penyakit dan menghasilkan vaksin yang efektif. B. pertussis dapat mati dengan pemanasan pada suhu 50 C selama setengah jam, tetapi bertahan pada suhu rendah (0-10C).

EpidemiologiPada masa pravaksin, pertusis menyerang anak prasekolah. Kurang dari 10% kasus terjadi pada bayi usia 7 tahun.Mulai tahun 1980 ditemukan peningkatan kejadian pertusis pada bayi, usia 11-18 tahun, dan dewasa, dengan cakupan imunisasi pertusis rutin yang luas.Centers of Disease Control and Prevention(CDC) (tahun 2004) melaporkan 25.827 kasus pertusis di AS, suatu angka yang tinggi sejak tahun 1950-an dengan proporsi 35% kejadian pada usia 11-18 tahun (30 per 100.000). Angka yang jauh lebih tinggi diperlihatkan oleh sebuah penelitian prospektif terhadap individu dengan gejala batuk paroksismal atau batuk yang menetap>7 hari, ternyata didapatkan perkiraan insidens pertusis pada remaja sekitar 997 per 100.000.Kejadian luar biasa pertusis dialami Massachusett (1996) dengan 67% kasus berusia 10-19 tahun, kemudian Wisconsin (2002-2003) sebesar 313 kasus dengan 70% berusia 10-19 tahun.Remaja merupakanreservoir B. Pertussisdan menjadi sumber penularan pertusis bagi bayi kecil, golongan risiko tinggi untuk mengalami komplikasi pertusis, menjalani perawatan di Rumah Sakit, dan mengalami kematian. Sebuah studi kasus-kontrol menunjukkan adanya faktor risiko terjadinya pertusis pada bayi saat timbulnya kejadian luar biasa di Chicago. Rasio odds sebesar 7,4 bila usia ibu 15-19 tahun dan 13,9 bila ibu batuk>7 hari. Hal yang menarik disimpulkan dari penelitian tersebut, bahwa usia ibu yang lebih tua tidak dapat teridentifikasi sebagai faktor risiko terjadinya pertusis.

Manifestasi KlinisMasa inkubasi pertusis 6-20 hari, rata-rata 7 hari, sedangkan perjalanan penyakit ini berlangsung antara 6-8 minggu atau lebih. Perjalanan klinis penyakit ini dapat berlangsung dalam tiga stadium, yaitustadium kataralis(prodromal,pra paroksismal),stadium akut paroksismal(spasmodik), danstadium konvalesens. Manifestasi klinis tergantung dari etiologi spesifik, usia, dan status imunisasi.Pertusis pada remaja dapat dikenali dengan gejala sebagai berikut: 72-100%batuk paroksismal, susah tidur dan sesak, 50-70% muntah setelah abtuk, 30-65% mengalami whoop, 1-2% rawat inap karena pneumonia atau fraktur tulang iga, dan 0,2-1% kejang atau penurunan kesadaran. Laporan dari Kanada menunjukkan manifestasi batuk hingga >3 minggu bahkan 47% mengalami batuk >9 minggu. Di AS, rata-rata batuk akibat pertusis 3,4 bulan setelah munculnya gejala. Sehingga bukanlah hal yang jarang, bila petugas kesehatan terlambat mengenali pertusis pada remaja. Beberapa penelitian prospektif memperlihatkan bahwa bila remaja berobat akibat batuk nonspesifik>1 minggu, kemungkinan akibat pertusis sekitar 13-20% dengan hampir 20% tidak memperlihatkan manifestasi paroksismal, whoop, atau muntah setelah batuk. Dengan demikian, remaja diyakini memiliki peranan penting pada penyebaran pertusis pada bayi baru lahir dan anak. Kesulitan mengenali gejala pada awal timbulnya penyakit, meningkatkan angka penularan dan keterlambatan memberikan profilaksis.Berikut ini adalah gejala klasik dari pertusis: Stadium kataralis (1-2 minggu)Gejala awal menyerupai gejala infeksi saluran napas bagian atas yaitu timbulnya rinore dengan lendir yang cair dan jernih, injeksi pada konjungtiva, lakrimasi, batuk ringan, dan panas tidak begitu tinggi. Pada stadium ini biasanya diagnosis pertusis belum dapat ditegakkan karena sukar dibedakan dengancommon cold.Sejumlah besar organisme tersebar dalam droplet dan anak sangat infeksius, pada tahap ini kuman mudah diisolasi. Stadium paroksismal/stadium spasmodikFrekuensi dan derajat batuk bertambah, terdapat pengulangan 5-10 kali batuk kuat selama ekspirasi yang diikuti oleh usaha inspirasi masif yang mendadak dan menimbulkan bunyi melengking (whoop), udara yang dihisap melalui glotis yang menyempit. Pada remaja, bunyiwhoopsering tidak terdengar. Selama serangan wajah merah dan sianosis, mata menonjol, lidah menjulur, lakrimasi, salivasi, dan distensi vena leher bahkan sampai terjadi petekia di wajah (terutama di konjungtiva bulbi). Episode batuk paroksismal dapat terjadi lagi sampaimucous plugpada saluran napas menghilang. Muntah sesudah batuk paroksismal cukup khas, sehingga seringkali menjadi kecurigaan apakah anak menderita pertusis walaupun tidak disertai bunyiwhoop. Stadium konvalesens ( 1-2 minggu)Stadium penyembuhan ditandai dengan berhentinyawhoopdan muntah dengan puncak serangan paroksismal yang berangsur-angsur menurun. Batuk biasanya masih menetap untuk beberapa waktu dan akan menghilang sekitar 2-3 minggu. Pada beberapa pasien akan timbul serangan batuk paroksismal kembali. Episode ini terjadi berulang-ulang untuk beberapa bulan dan sering dihubungkan dengan infeksi saluran napas bagian atas yang berulang.

DiagnosisDiagnosis ditegakkan berdasarkan atas anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan laboratorium. Pada anamnesis penting ditanyakan adanya riwayat kontak dengan pasien pertusis, adakah serangan khas yaitu paroksismal dan bunyiwhoopyang jelas. Perlu pula ditanyakan mengenai riwayat imunisasi. Gejala klinis yang didapat pada pemeriksaan fisis tergantung dari stadium saat pasien diperiksa.Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis 20.000-50.000/L dengan limfosistosis absolut khas pada akhir stadium kataral dan selama stadium paroksismal. Pada bayi jumlah lekositosis tidak menolong untuk diagnosis, oleh karena respons limfositosis juga terjadi pada infeksi lain. IsolasiB. pertussisdari sekret nasofaring dipakai untuk membuat diagnosis pertusis pada media khusus Bordet-gengou. Biakan positif pada stadium kataral 95-100%, stadium paroksismal94% pada minggu ke-3, dan menurun sampai 20% untuk waktu berikutnya.Dengan metode PCR yang lebih sensitif dibanding pemeriksaan kultur untuk mendeteksiB. pertussis, terutama setelah 3-4 minggu setelah batuk dan sudah diberikan pengobatan antibiotik. PCR saat ini merupakan pilihan yang paling tepat karena nilai sensitivitas yang tinggi, namun belum tersedia. Tes serologi berguna pada stadium lanjut penyakit dan untuk menentukan adanya infeksi pada individu dengan biakan. Cara ELISA dapat dipakai untuk menentukan IgM, IgG, dan IgA serum terhadap FHA dan PT. NilaiIgM serumFHA dan PT menggambarkan respons imun primer baik disebabkan oleh penyakit atau vaksinasi.IgG toksin pertusis merupakan tes yang paling sensitif dan spesifik untuk mengetahui infeksi alami dan tidak tampak setelah imunisasi pertusis. Pemeriksaan lainnya yaitu foto toraks dapat memperlihatkan infiltrat perihiler, atelektasis,atau empisema.

PenyulitPeneliti Inggris (1977-1979) melaporkan diantara 2.295 kasus didapatkan penyulit 16,8% berat badan menurun, 9,8% bronkitis akut, 0,3% atelektasis, 0,88% bronkopneumonia, 1,1% apnea, 0,6% kejang, dan 7,5% otitis media. Pneumonia dapat disebabkan olehB. pertussis, namun lebih sering lagi disebabkan infeksi bakteri sekunder (H. influenzae, S. pneumoniae, S. aureus, S. pyogenes). Tuberkulosis laten dapat juga menjadi aktif. Atelektasis terjadi sekunder dari sumbatan mukus yang kental. Aspirasi mukus atau muntah dapat menyebabkan pneumonia. Panas tinggi merupakan tanda infeksi sekunder oleh bakteri. Batuk dengan tekanan tinggi dapat menimbulkan ruptur alveoli, empisema interstisial/subkutan dan pneumotoraks, termasuk perdarahan subkonjungtiva.Penyulit pada susunan saraf pusat yaitu kejang, koma, ensefalitis, hiponatremia sekunder terhadap SIADH (syndrome of inappropiate diuretiuchormon)juga dapat terjadi. Kejang tetanik mungkin dihubungkan dengan alkalosis yang disebabkan muntah persisten.Tabel 1Komplikasi Pertusis 1989 - 1991 (CDC), USAPersentase Komplikasi(tanpa penggolongan usia)

Pneumonia12%

Kejang2%

Ensefalopati0,1%

Kematian0,2%

Memerlukan rawat inap41%

PengobatanPemberian antibiotik tidak memperpendek stadium paroksismal. Pemberian eritomisin, klaritromisin, atau azitromisin telah menjadi pilihan pertama untuk pengobatan dan profilaksis. Eritromisin (40-50 mg/kgbb/hari dibadi dalam 4 dosis peroral, maksimum 2 gram per hari) dapat mengeleminasi organisme dari nasofaring dalam 3-4 hari. Eritromisin dapat mengeleminasi pertusis bila diberikan pada pasien dalam stadium kataral sehingga memperpendek periode penularan. Penelitian membuktikan bahwa golongan makrolid terbaru yaitu azitromisin (10-12 mg/kgbb/hari, sekali sehari selama 5 hari, maksimal 500 mg/hari) atau klaritromisin (15-20 mg/kgbb/hari dibagi dalam 2 dosis peroral, maksimum 1 gram perhari selama 7 hari) sama efektif dengan eritromisin, namun memiliki efek samping lebih sedikit. Terapi suportif terutama untuk menghindari faktor yang menimbulkan serangan batuk, mengatur hidrasi dan nutrisi. Oksigen hendaknya diberikan pada distres pernapasan yang akut dan kronik.PencegahanCara terbaik untuk mengontrol penyakit ini adalah dengan imunisasi. Banyak laporan mengemukakan bahwa terdapat penurunan angka kejadian pertusis dengan adanya pelaksanaan program imunisasi. Pencegahan dapat dilakukan melalui imunisasi aktif dan pasif.1. Imunisasi pasifDalam imunisasi pasif dapat diberikanhuman hyperimmune globulin, ternyata berdasarkan beberapa penelitian di klinik terbukti tidak efektif sehingga akhir-akhir ini tidak lagi digunakan untuk pencegahan.2. Imunisasi aktifRemaja usia 11-18 tahun (terutama usia 11-12 tahun) harus mendapat dosis tunggal Tdap 0,5 mL i.m. di daerah m. deltoideus. Kontraindikasi bila terdapat riwayat reaksi anafilaksis terhadap komponen vaksin dan ensefalopati (koma, kejang lama) dalam 7 hari pemberian vaksin pertusis.Pencegahan penyebarluasan penyakit dilakukan dengan cara: Isolasi: mencegah kontak dengan individu yang terinfeksi, diutamakan bagi bayi dan anak usia muda, sampai pasien setidaknya mendapatkan antibiotik sekurang-kurangnya 5 hari dari 14 hari pemberian secara lengkap. Atau 3 minggu setelah batuk paroksismal reda bilamana pasien tidak mendapatkan antibiotik. Karantina: kasus kontak erat terhadap kasus yang berusia