Download - Pertentangan Kelas dalam Lirik Lagu di Album Kelompok Musik Swami I

Transcript
Page 1: Pertentangan Kelas dalam Lirik Lagu di Album Kelompok Musik Swami I

1

Pertentangan Kelas dalam Lirik

Lagu di Album Kelompok Musik

Swami I

Tugas mata kuliah Seminar dan Metodologi Ilmu Pengetahuan Budaya

Semester Ganjil 2008/2009

Oleh:

Agnes Setyowati H.

Dhita Hapsarini

Irzanti S.

Muhammad Mulyadi

R. Suryanto

Satrio Arismunandar

Program S3 - Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Indonesia

Desember 2008

Page 2: Pertentangan Kelas dalam Lirik Lagu di Album Kelompok Musik Swami I

2

DAFTAR ISI

I. Latar Belakang ……………………………………………………………….. 3

1.1. Kondisi Sosial, Ekonomi, Politik Indonesia 1989 …………………………… 3

1.2. Alasan Pemilihan Album Swami I …………………………………………… 5

1.3. Alasan Pemilihan Empat Lagu ………………………………………………. 6

1.4. Permasalahan ………………………………………………………………… 6

1.5. Tujuan ……………………………………………………………………….. 6

1.6. Metodologi dan Metode Penelitian …………………………………….......... 7

II. Grup Musik Swami ………………………………………………………..… 7

2.1. Lahirnya Swami ……………………………………………………………… 7

2.2. Konteks Pembuatan Lagu ……………………………………………………. 9

III. Kerangka Teori ……………………………………………………………... 9

3.1. Teori Konotasi Roland Barthes ........................................................................ 10

5.2. Teori Pertentangan Kelas Karl Marx ............................................................... 11

IV. Analisis Lirik Lagu ………………………………………………………… 12

4.1. Analisis Teks Potret ………………………………………………………… 12

4.2. Analisis Teks Oh…Ya! .................................................................................... 16

4.3. Analisis Teks Bento…………………………………………………………. 16

4.4. Analisis Teks Bongkar………………………………………………………. 21

V. Kesimpulan ………………………………………………………………….. 22

Referensi ………………………………………………………………………… 27

Lampiran ……………………………………………………………………….. 28

Lampiran 1: Lirik Lagu Potret …………………………………………………… 28

Lampiran 1: Lirik Lagu Oh…Ya!............................................................................ 29

Lampiran 1: Lirik Lagu Bento……………………………………………………. 31

Lampiran 1: Lirik Lagu Bongkar………………………………………………… 32

Page 3: Pertentangan Kelas dalam Lirik Lagu di Album Kelompok Musik Swami I

3

I. Latar Belakang

Kesenian, khususnya seni musik, merupakan bagian dari kebudayaan. Melalui

musik, manusia mengekspresikan perasaan, harapan, aspirasi, dan cita-cita, yang me-

representasikan pandangan hidup dan semangat zamannya. Oleh karena itu, melalui

kesenian, kita juga bisa menangkap ide-ide dan semangat yang mewarnai pergulatan

zaman bersangkutan.

Indonesia sendiri adalah suatu negeri yang kaya dengan berbagai karya seni,

khususnya seni musik, yang mewakili pandangan hidup dan semangat zamannya.

Salah satu era yang penting dalam perjalanan bangsa ini adalah era Orde Baru yang

dimulai dengan naiknya Jenderal Soeharto ke tampuk pimpinan pemerintahan pada

penghujung 1960-an sampai berakhirnya kekuasaan Presiden Soeharto pada penghu-

jung 1990-an.

Salah satu grup musik yang sempat mewarnai era Orde Baru adalah Swami,

dengan ikonnya Iwan Fals. Mereka telah menelurkan sejumlah album dan salah satu

yang menonjol adalah album Swami I. Lirik-lirik lagu dalam album Swami I ini me-

wakili pandangan hidup mereka, sekaligus mengekspresikan semangat zamannya.

Untuk memahami lirik-lirik lagu yang ditampilkan dalam album Swami I, kita perlu

meninjau konteks kondisi sosial, ekonomi, dan politik Indonesia pada era tersebut.

1.1 Kondisi Sosial, Ekonomi, dan Politik Indonesia 1989

Penghujung 1980-an adalah saat rezim Orde Baru di bawah Presiden Soeharto

mencapai puncak kekuatannya. Pemerintah Soeharto menjadikan ekonomi sebagai

panglima dan seluruh elemen masyarakat dimobilisasi di bawah panji “pembangunan”

(development).

Konsep utama pembangunan seharusnya adalah perbaikan mutu kehidupan

rakyat. Dalam pembangunan, seharusnya tercakup unsur perubahan yang berdimensi

sosial kultural dan ekonomi, serta bersifat kualitatif dan kuantitatif. Namun, seperti di

banyak negara berkembang lain, pembangunan di Indonesia telah direduksi makna-

nya menjadi “pertumbuhan ekonomi” (economic growth) semata sehingga

Page 4: Pertentangan Kelas dalam Lirik Lagu di Album Kelompok Musik Swami I

4

pembangunan secara sederhana berarti pertumbuhan pendapatan setiap orang di

daerah yang secara ekonomis terbelakang.1

Harus diakui, pembangunan ekonomi yang substansial memang pernah berja-

lan di Indonesia. Pada tahun 1966, pendapatan per kapita tahunan di Indonesia sekitar

US$ 75. Ekonomi ini terus tumbuh lewat utang luar negeri dan sumbangan sektor

migas. Pertumbuhan ekonomi riil selama tahun 1980-an dan 1990-an hampir selalu

berkisar antara 6 sampai 7 persen per tahun. Inflasi tahunan rata-rata masih dapat

ditekan di bawah level 10 persen.

Perbaikan yang berarti juga dicapai dalam pemberantasan tuna aksara di ka-

langan orang dewasa, peningkatan usia harapan hidup, menurunnya angka kematian

bayi, dan pembatasan tingkat pertumbuhan penduduk lewat program KB.

Berbagai hasil ini mendorong Bank Dunia untuk menjadikan Indonesia seba-

gai contoh “model sukses” pembangunan. Indonesia diajukan sebagai tolok ukur ki-

nerja negara-negara berkembang lain, dalam Laporan Pembangunan Dunia (World

Development Report) 1990, yang disusun oleh Bank Dunia.

Namun, ada harga yang harus dibayar untuk “kesuksesan ekonomi” itu. Untuk

mengejar pertumbuhan ekonomi tersebut, pemerintah memerlukan kestabilan politik

di dalam negeri. Selanjutnya, dengan dalih perlunya stabilitas politik ini, pemerintah

bersikap represif dan memberlakukan sejumlah aturan otoriter.

Pers dan media massa dikontrol ketat. Media yang kritis dibreidel dan dilarang

terbit. Jumlah partai politik dibatasi, dan mereka tidak boleh masuk ke desa-desa.

Sementara pegawai negeri dan anggota keluarga ABRI dipaksa memilih Golkar,

partainya penguasa. Lewat para pejabat, Golkar justru leluasa masuk ke desa-desa.

Tokoh-tokoh oposisi yang kritis dipenjarakan atau disingkirkan,2 sedangkan,

kebebasan berekspresi di bidang seni juga ditindas, khususnya kalangan seniman yang

tidak sejalan dengan kepentingan rezim.3 Jika diperlukan, pemerintah juga tidak se-

gan-segan menggunakan cara-cara represif, demi “menjaga ketertiban masyarakat”

dan “melancarkan jalannya roda pembangunan.”

1 Itulah tujuan yang diusulkan oleh Lewis pada tahun 1944 dan diselundupkan oleh Piagam PBB 1947.

Diktum Lewis pada 1955, “Pertama-tama haruslah dicatat bahwa persoalan pokok kita adalah partum-

buhan, bukannya distribusi.” 2 Tokoh oposisi yang bergabung dalam Petisi 50 seperti mantan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin di-

persulit hidupnya dan dilarang ke luar negeri. 3 Musisi dangdut Oma Irama dilarang tampil di TVRI karena Oma adalah penduduk Partai Persatuan

Pembangunan (PPP), bukan partai pemerintah. Tokoh oposisi yang jujur, bersih dan mantan Kapolri,

Hoegeng juga dilarang muncul di TVRI karena sikapnya yang kritis. Padahal di TVRI, Hoegeng hanya

tampil menyanyikan lagu-lagu Hawai.

Page 5: Pertentangan Kelas dalam Lirik Lagu di Album Kelompok Musik Swami I

5

Karena yang dinomorsatukan adalah pertumbuhan ekonomi, sementara distri-

busi ekonomi atau pemerataan kesejahteraan tidak menjadi prioritas, maka terjadilah

kesenjangan antara kelompok elite atau mereka yang diuntungkan oleh “pem-

bangunan,” dan rakyat banyak yang tertinggal atau ditinggalkan dalam proses “pem-

bangunan.”

Ada sejumlah konglomerat, pengusaha, birokrat, dan pejabat yang -karena

kedekatan dengan penguasa- menikmati kue pembangunan. Sebaliknya, banyak rak-

yat kecil yang hidupnya tertekan. Teori bahwa kemakmuran di kalangan atas pada

akhirnya akan mengalir ke bawah (trickle-down effect) dan dinikmati oleh kalangan

bawah, ternyata tidak terbukti.

Yang kaya bisa semakin kaya, sedangkan yang miskin semakin miskin.

Presiden Soeharto sendiri diduga memiliki kekayaan miliaran dollar pada tahun 1989.

Jika digabung dengan harta istri dan anak-anaknya, ditambah lingkaran kroni sipil dan

militernya, jumlah tersebut membengkak sampai puluhan miliar dollar.4 Keakuratan

angka ini mungkin bisa diperdebatkan, tetapi fakta bahwa Soeharto beserta keluarga

dan kroni-kroninya telah menumpuk kekayaan dengan memanfaatkan kekuasaan,

tampaknya disepakati oleh banyak pengamat.

Strategi politik dan ekonomi Soeharto -yang bermotivasi pengumpulan harta

besar-besaran bagi segelintir manusia, sementara mengesampingkan kepentingan ma-

yoritas penduduk- telah ditanamkan di Indonesia sejak akhir tahun 1960-an.5 Sayang-

nya, sistem politik Indonesia yang otoriter menyulitkan berjalannya pengawasan yang

efektif terhadap pihak-pihak yang ingin menggunakan kekayaan negara untuk keun-

tungan pribadi.

Kesenjangan semacam inilah yang dilihat para anggota Swami dalam inter-

aksinya sebagai seniman dengan masyarakat sehari-hari. Gambaran suram dan mem-

prihatinkan inilah yang memberi inspirasi pada karya-karya mereka, yang bercorak

kritik sosial. Pihak yang kaya dan berkuasa asyik dengan ambisi dan kenikmatan

hidupnya sendiri, sementara rakyat kecil yang seharusnya disejahterakan ternyata

nasibnya malah diabaikan.

4 Winters, Jeffrey A. 1999. Dosa-dosa Politik Orde Baru, Jakarta: Penerbit Djambatan. Hlm. 5.

5 Ibid, hlm. 9.

Page 6: Pertentangan Kelas dalam Lirik Lagu di Album Kelompok Musik Swami I

6

1.2. Alasan Pemilihan Album Swami I

Album Swami I dipilih karena album ini dianggap mewakili semangat zaman-

nya. Salah satu ukuran keterwakilan itu adalah respons positif masyarakat terhadap

album serta lagu-lagu di dalamnya, yang bisa dilihat dari angka penjualan. Album

Swami ini meledak di pasaran.

Angka penjualan album ini sangat tinggi, hingga mencapai 800 ribu kopi

dalam jangka waktu satu bulan. Padahal, angka penjualan tersebut dicapai tanpa pro-

mosi besar-besaran. Swami I berhasil mencapai sukses di pasar industri musik Indo-

nesia dengan lagu-lagu yang sarat dengan kritik sosial sekaligus menghibur.

1.3. Alasan Pemilihan Empat lagu

Hampir semua lagu di album Swami I ini menjadi hits, tetapi yang dikate-

gorikan sebagai hits besar dari Swami adalah lagu Bento dan Bongkar.6 Dua lagu lain

yang dipilih untuk dianalisis di sini adalah Potret dan Oh…Ya!. Empat lagu ini dipilih

karena popularitasnya, dan sekaligus juga karena lagu-lagu itu menunjukkan karakter

yang kuat dalam konteks kritik sosial.

1.4. Permasalahan

Secara sepintas, lagu-lagu dalam album Swami I mengekspresikan kritik

sosial. Namun, tim peneliti ingin menelaah secara lebih spesifik. Yakni, Apakah ada

unsur pertentangan kelas di dalam teks lirik lagu tersebut?

Jika memang terdapat unsur pertentangan kelas di sana, bagaimana

pertentangan kelas itu direpresentasikan atau diekspresikan, dalam keempat lirik lagu

pada album Swami I?

1.5. Tujuan

Makalah ini mencoba membuktikan bahwa di dalam lirik dari keempat lagu

tersebut terdapat unsur pertentangan kelas.

6 Kesuksesan Swami tersebut tidak terlepas dari figur Iwan Fals dan lagu yang dibawakan yaitu Bento

dan Bongkar. Lagu Bento menjadi menjadi identik dengan Iwan Fals. Dimana ada Iwan di situ ada

Bento. Penjualan kaus, poster dan segala pernak-pernik bertuliskan Iwan, Swami, Bento laku keras di

kaki-kaki lima. Bagi Iwan Fals sendiri, ini bisa dikatakan sebagai puncak kejayaan karir bermusiknya.

Page 7: Pertentangan Kelas dalam Lirik Lagu di Album Kelompok Musik Swami I

7

1.6. Metodologi dan Metode Penelitian

Makalah ini menggunakan pendekatan kualitatif dan lintas disiplin yang

meliputi bidang ilmu sejarah, filsafat, susastra, dan linguistik.

Metodologi yang diterapkan adalah metodologi kualitatif karena objek pene-

litian berupa lirik lagu, dan tujuan penelitian adalah memahami isi lirik lagu, dalam

kaitannya dengan peristiwa sosial. Pemahaman dilakukan melalui interpretasi peneliti

dengan pisau analisis teori konotasi dari Barthes.

Berhubungan dengan metodologi tersebut, berikut ini uraian metode yang

dilaksanakan: Lirik lagu dari album Swami I diklasifikasi berdasarkan topik. Pada

tahap selanjutnya, dipilih empat lirik lagu berdasarkan sebuah topik. Kemudian, kata-

kata yang memperlihatkan fenomena yang sesuai dengan topik dipilah dan dikelom-

pokkan. Akhirnya, data dianalisis untuk mencapai tujuan penelitian.

II. Grup Musik Swami

2.1. Lahirnya Swami

Swami adalah grup musik yang dibentuk oleh Setiawan Djodi, Iwan Fals,

Sawung Jabo, Innisisri, Naniel,7 dan Nanoe pada tahun 1989. Swami dijadikan nama

grup, atas usul Sawung Jabo yang berasal dari plesetan 'Suami,' karena semua

anggotanya berstatus suami.

Kesepakatan awal para anggota Swami adalah membentuk grup untuk jangka

waktu tiga tahun. Oleh karena itu, Swami membubarkan diri pada 1991.

Tidak lama setelah dibentuk, Swami berhasil mengeluarkan album yang diberi

judul Swami. Dalam album Swami I yang berformat kaset, terdapat sepuluh lagu yang

masing-masing side memuat lima lagu. Dalam side A termuat lagu-lagu, dengan data

musisi yang menciptakan lagu tersebut. Lengkapnya adalah sebagai berikut:

Side A

1. Bento (Iwan Fals / Naniel ) -SWAMI

2. Bongkar (Iwan Fals / Sawung Jabo) -SWAMI

3. Badut (Iwan Fals / Sawung Jabo / Naniel) -SWAMI

4. Esek.Esek..Udug.Udug.. (Iwan/ Jabo / Naniel) -SWAMI

5. Potret (Iwan Fals / Sawung Jabo / Naniel) -SWAMI

7 Nama lengkapnya Naniel K Yakin, mantan wartawan tabloid Mutiara.

Page 8: Pertentangan Kelas dalam Lirik Lagu di Album Kelompok Musik Swami I

8

Sementara dalam side B, lagu-lagu yang dimuat dengan data musisi yang

menciptakannya adalah sebagai berikut:

Side B

1. Bunga Trotoar (S Djody / Iwan / Jabo / Naniel) -SWAMI

2. Oh... Ya! (Iwan Fals / Sawung Jabo / Naniel) -SWAMI

3. Condet (Iwan Fals / Naniel) - -SWAMI

4. Perjalanan Waktu (Iwan Fals / S.Jabo / Naniel) –SWAMI

5. Cinta (Iwan Fals/ Sawung Jabo/Naniel)- SWAMI

Album Swami I ini diproduksi pada tahun 1990 oleh Airo Records Pro-

ductions, suatu perusahaan rekaman yang dapat dikelompokkan sebagai minor label8.

Pada sampul album ini nama Iwan Fals dicantumkan di atas nama Swami, atas usulan

Setiawan Djodi, yang merasa tanpa nama Iwan Fals, album Swami tidak akan dilirik.

Dengan demikian Iwan Fals dijadikan trade mark, bukan Sawung Jabo dengan grup

Sirkus Barock-nya.

Saat itu Iwan Fals dinilai sebagai musisi yang berani mengkritik korupsi

dalam pemerintah yang berkuasa (terutama pada masa rezim Orde Baru) dan yang

lirik-liriknya menyentuh hati berbagai kalangan masyarakat (terutama rakyat kecil).

Hal ini menjadi istimewa mengingat tidak banyak artis yang memiliki keberanian dan

karakter merakyat seperti Iwan Fals. Kebanyakan artis pop pada masa itu dipandang

kurang peka pada masalah-masalah sosial sehingga ada yang mengatakan bahwa mu-

sik Iwan Fals merupakan suara rakyat (voices of people).

Faktor utama yang menyebabkan popularitas lagu-lagu Iwan Fals dan kelom-

pok musik Swami I adalah tema musik yang mengambil inspirasinya dari kehidupan

sehari-hari sehingga meninggalkan kesan memasyarakat, serta kritik sosialnya yang

dinilai berani.

Popularitas memang tidak otomatis identik dengan kualitas karya. Namun,

dalam melihat kualitas musik Swami I, harus dipahami bahwa seni (modern) tidak

hanya identik dengan keindahan, melainkan meliputi kategori-kategori lainnya, seper-

ti tragis dan ketidakharmonisan (sebagai kebalikan dari keselarasan), serta pemberon-

takan.

8 Minor Label adalah perusahaan rekaman dengan angka penjualan, wilayah distribusi, dan akses

promosi yang terbatas. Hal ini berlawanan dengan mayor label.

Page 9: Pertentangan Kelas dalam Lirik Lagu di Album Kelompok Musik Swami I

9

Manusia memang tidak selalu menjadi homo estheticus, melainkan juga

manusia sosial, yang berakar pada sejarah dan kondisi sosial-masyarakat tertentu

sehingga tidak mengherankan, jika dalam menciptakan sebuah karya seni seorang se-

niman akan mendapat pengaruh pula dari lingkungan dan zamannya.

2.2. Konteks Pembuatan Lagu

Menurut pengakuan Iwan Fals, sebagai bagian dari grup Swami, semua lagu

yang dibuatnya jujur dan mempunyai peristiwa, meskipun ada unsur pendramtisa-

sian. Unsur pendramatisasian paling tampak pada lagu-lagu pesanan.

Secara pasti Iwan Fals juga menyatakan bahwa tujuannya membuat lagu

adalah untuk dijual dan laku. Namun, antara pilihan laku dan suara hati, Iwan menya-

takan suara hati adalah pilihannya, meskipun unsur ingin laku selalu mempenga-

ruhinya. Hanya saja pada saat membuat syair, tidak ada urusannya dengan itu.9

Lagu Bongkar, misalnya, pada awalnya bukan seperti yang sudah ada di al-

bum rekaman Swami I. Gagasan lagu Bongkar berasal dari beberapa kasus penggu-

suran yang terjadi pada saat Orde Baru, seperti kasus Kedung Ombo, Kaca Piring, dan

Way Jepara. Kemudian Sawung Jabo mengusulkan perubahan lagu Bongkar dan

disetujui oleh anggota Swami.

Perubahan dilakukan dengan tidak membahas kasus per kasus dalam setiap

lagu. Iwan melihat usulan Sawung Jabo tersebut sebagai pemikiran yang tepat, karena

lagu Bongkar lebih langsung mengenai sasaran. Lebih otentik dan jujur.10

III. Kerangka Teori

Representasi merupakan salah satu proses dalam sirkuit kebudayaan di sam-

ping identitas, produksi, konsumsi, dan regulasi yang beroperasi berdasarkan sistem

tanda. Tanda-tanda tersebut menghasilkan makna tertentu, yang pada akhirnya dapat

memperlihatkan identitas individu atau kolektif, serta posisi yang diambil oleh pem-

buat representasi.

Posisi yang berbeda akan menghasilkan representasi yang berbeda. Represen-

tasi budaya yang dihasilkan pemerintah Orde Baru pastilah berbeda dari representasi

9 “Catatan Kehidupan Iwan Fals,” dalam Tabloid Bintang No 293/Th VI. Minggu Kedua Oktober 1996.

10 Ibid.

Page 10: Pertentangan Kelas dalam Lirik Lagu di Album Kelompok Musik Swami I

10

budaya yang dihasilkan oleh mereka yang berada pada posisi yang berseberangan

dengan Orde Baru.

3.1 Teori Konotasi Roland Barthes

Dalam linguistik modern, makna unsur leksikal dibedakan atas makna yang

objektif dan tetap, serta yang subjektif dan bervariasi. Meskipun berbeda, kedua

makna tersebut ditentukan oleh konteks.

Makna yang pertama, makna denotatif, berkaitan dengan sosok acuan, mi-

salnya kata merah bermakna „warna seperti warna darah‟ (secara lebih objektif,

makna dapat digambarkan menurut tata sinar). Konteks dalam hal ini untuk meme-

cahkan masalah polisemi; sedangkan pada makna konotatif, konteks mendukung

munculnya makna yang tidak objektif.

Barthes mengatakan bahwa sebuah tanda (dalam hal ini tanda bahasa) adalah

sebuah sistem yang terdiri atas expression/Signifier (E) yang dihubungkan

(Relation/R) dengan content (C). Dalam kaitannya dengan penanda

(expression/signifier) dan petanda/konsep (content/signified), Barthes menggambar-

kan hubungan kedua makna tersebut sebagai berikut:

Tanda

sekunder: konotasi

Tanda

primer: denotasi

Menurut Barthes, makna lain yang tidak objektif dan tidak tetap seperti itu

adalah makna konotatif. Makna ini berkaitan dengan:

1. majas (metafora, metonimi, hiperbola, eufemisme, ironi, dan sebagainya);

2. pengalaman pribadi atau masyarakat penuturnya, yang menimbulkan reaksi dan

memberi makna konotasi emotif. Misalnya: halus, kasar/tidak sopan, peyoratif, akrab,

kanak-kanak, menyenangkan, menakutkan, bahaya, tenang, dan sebagainya. Jenis ini

tidak terbatas.

Pada contoh di atas: MERAH bermakna konotatif emotif. Konotasi ini

bertujuan membongkar makna yang terselubung.

Expression2 (R

MERAH

2) Content 2

„gembira/komunis‟

Expression1 (R

MERAH

1) Content 1

„warna‟

Page 11: Pertentangan Kelas dalam Lirik Lagu di Album Kelompok Musik Swami I

11

Lirik lagu Swami menarik dianalisis dengan teori Barthes, karena mengan-

dung makna konotatif, baik yang berupa majas maupun yang berupa reaksi.

3.2 Teori Pertentangan Kelas Karl Marx

Marx menyatakan bahwa sejarah dari berbagai masyarakat hingga saat ini pa-

da dasarnya adalah sejarah tentang pertentangan kelas, yakni antara kelas yang memi-

liki alat-alat produksi (kaum kapitalis) dan kelas yang tidak memiliki alat-alat pro-

duksi (kelas pekerja atau buruh).

Kaum kapitalis memeras tenaga buruh demi keuntungan modal dan membuat

kelas pekerja ini hidup dalam kondisi yang sangat tidak manusiawi. Dengan demi-

kian, kelas pekerja ini teralienasi dan tidak bisa mengembangkan potensi-potensi ke-

manusiaannya.

Marx percaya bahwa kapitalisme yang ada pada akhirnya akan kalah dan di-

gantikan dengan komunisme. Kapitalisme akan berakhir akibat aksi yang dikelola

oleh kelas pekerja internasional. Kondisi ideal masyarakat tanpa kelas akhirnya akan

tercapai, setelah beberapa periode dari sosialisme radikal yang menjadikan negara

sebagai wujud kediktaktoran proletariat.

Di Indonesia, Soekarno mencoba menterjemahkan, mengadaptasi, dan menga-

plikasikan teori Marx tersebut ke dalam konteks Indonesia, yang berbeda dengan kon-

teks Rusia, tempat asal teori Marx. Di Indonesia, yang ada bukanlah kelas pekerja

(buruh) yang sama sekali tidak memiliki alat-alat produksi seperti di Rusia, melain-

kan kalangan rakyat kecil yang memiliki alat produksi sendiri, tetapi dalam jumlah

yang sangat kecil, misalnya, petani yang memiliki sepetak sawah kecil, tukang bakso

yang memiliki satu gerobak bakso sendiri, pedagang asongan yang memiliki lapak

kecil, tukang becak yang memiliki satu becak sendiri, dan sebagainya. Bung Karno

menyebut mereka sebagai “kaum Marhaen,”11

dan ideologinya disebut Marhae-

nisme.12

Teori pertentangan kelas dari Marx, dengan versi adaptasinya seperti yang

digagas oleh Soekarno, digunakan dalam menganalisis teks di makalah ini.

11

Konon kabarnya, Bung Karno mendapat ide bagi penerapan teori Marx ke dalam konteks Indonesia

ini karena bertemu seorang petani kecil di suatu daerah di Jawa Barat. Dari dialog dengan petani kecil

bernama Marhaen ini, Bung Karno merumuskan ideologi yang dinamainya Marhaenisme. 12

Sejumlah partai politik era reformasi juga menyebut Marhaenisme dan ajaran-ajaran Bung Karno

lainnya sebagai landasan ideologinya, terlepas dari sekadar basa-basi atau betul-betul nyata.

Page 12: Pertentangan Kelas dalam Lirik Lagu di Album Kelompok Musik Swami I

12

Pertimbangan penggunaannya adalah karena teori tersebut dianggap cocok dengan

konteks situasi dan kondisi masyarakat Indonesia era Orde Baru (1989), khususnya

pada saat kelompok musik Swami menghasilkan karya-karyanya.

IV. Analisis Lirik Lagu

4.1 Analisis Teks Potret

Kata “potret” dapat berarti suatu hasil bidikan kamera atau dapat juga berarti

gambaran atau deskripsi, tentang suatu keadaan sosial tertentu dan biasanya memiliki

fokus yang jelas. Dipilihnya kata “potret” untuk lirik lagu ini mengindikasikan bahwa

lirik ini merupakan sebuah gambaran atau deskripsi dari sesuatu hal. Apakah yang

menjadi fokus dari lirik ini?

Orang orang resah

Berlomba kejar nafkah

Demi anak bini

Demi sesuap nasi

Dalam bait pertama, kita disuguhi dengan deskripsi dari orang-orang yang

sibuk mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Orang-orang itu

digambarkan sebagai orang-orang resah, yang berarti orang-orang yang tidak tenang

dan gelisah.

Sumber dari keresahan itu adalah kebutuhan hidup, sebagaimana dinyatakan

dalam baris kedua “Berlomba kejar nafkah”. Kata “berlomba” menunjukkan adanya

kompetisi atau persaingan. Kondisi kompetisi atau persaingan juga semakin

dipertegas dengan pemilihan kata “kejar” dan bukan kata “cari,” yang lebih umum

dipakai untuk bersanding dengan kata “nafkah”.

Pemilihan kata “kejar” juga memiliki makna bahwa yang dikejar tidak tinggal

diam, melainkan aktif bergerak juga. Dengan demikian, nafkah merupakan sesuatu

yang sangat berharga dan tidak mudah didapatkan, sehingga harus dikejar dan

diperebutkan.

Motivasi pertama di balik mengejar nafkah adalah “demi anak bini,” yang

menunjukkan bahwa persaingan dilakukan demi tugas mulia kaum laki-laki sebagai

kepala keluarga.

Motivasi kedua adalah “demi sesuap nasi,” yang berarti bahwa semua kerja

keras itu dilakukan bukan untuk membeli barang-barang mewah melainkan hanya

untuk memenuhi kebutuhan primer. Potret yang ditawarkan di sini adalah potret

Page 13: Pertentangan Kelas dalam Lirik Lagu di Album Kelompok Musik Swami I

13

tentang sekelompok orang yang harus berjuang keras untuk dapat memenuhi

kebutuhan pokok mereka.

Kuno kuno memang

Memang memang kuno

Namun kenyataan

Kita butuh soal itu

Bait kedua sepertinya merupakan komentar terhadap potret kehidupan, yang

disajikan di bait pertama. Komentar yang disajikan didominasi oleh repetisi atau

pengulangan kata “kuno” dan kata “memang”. “Kuno kuno memang” menekankan

bahwa kondisi kehidupan kelompok manusia ini masih kuno atau masih primitif

karena masih belum dapat mencukupi kebutuhan primer mereka yang menjadi ciri

dari masyarakat yang belum berkembang.

Sementara “Memang memang kuno” yang mengulang kata “memang”

menegaskan adanya persetujuan atas pernyataan tersebut. Kata penghubung “namun”

memperlihatkan adanya kontras antara apa yang diharapkan dengan kenyataan. Yang

diharapkan adalah kehidupan yang ada sudah maju, tapi kenyataannya masih kuno.

Pemilihan kata “kita” mengindikasikan bahwa orang yang memotret kehidupan dalam

bait pertama termasuk ke dalam kelompok masyarakat yang dipotretnya.

Uang dimana uang?

Nasi dimana nasi?

Uang dimana uang?

Nasi dimana nasi?

Bait ketiga merupakan referen karena bait ini diulang sebanyak dua kali dalam

lirik lagu ini. Bait ini mengulang dua buah pertanyaan, yaitu “Uang dimana uang?”

dan “Nasi dimana nasi?”.

Kedua pertanyaan ini kembali menekankan bahwa yang menjadi kebutuhan

utama adalah uang dan nasi. Uang mengacu pada “nafkah” dan nasi mengacu pada

“sesuap nasi” dalam bait pertama. Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa

mencari uang dan mendapat cukup nasi merupakan obsesi dari orang-orang resah

yang dipotret dalam lirik lagu ini.

Seperti binatang

Bila lapar menerjang

Seperti kereta

Nafasnya terdengar

Dalam bait keempat, orang-orang yang resah mencari nafkah yang disebutkan

dalam bait pertama dibandingkan dengan dua hal. Pertama, dengan binatang yang

Page 14: Pertentangan Kelas dalam Lirik Lagu di Album Kelompok Musik Swami I

14

lapar sehingga menerjang apa saja. Dalam perbandingan ini, diperlihatkan bahwa

orang-orang tersebut dikendalikan oleh libido mereka atau oleh hasrat mendasar, yaitu

rasa lapar. Rasa lapar dapat membuat orang berubah perangainya, menjadi seperti

binatang yang tidak mengenal rasa kemanusiaan, etika, aturan, dan sebagainya.

Perbandingan kedua, adalah dengan kereta. Unsur persamaannya terletak pada

cara bernafas, yaitu sama-sama terdengar. Kereta yang sedang melaju

dipersonifikasikan sebagai orang dengan nafas memburu. Makna konotatifnya adalah

orang-orang yang mengejar nafkah ini sedang berpacu seperti kereta.

Lidahnya terjulur

Syahwatnya siap lentur

Soal harga diri

Sudah tak berarti

Bait kelima merupakan lanjutan dari bait sebelumnya. Kali ini

perbandingannya kembali pada binatang, khususnya anjing yang kehausan sehingga

lidahnya terjulur. Baris kedua menekankan bahwa dorongan libido, dalam hal ini rasa

lapar, bahkan lebih kuat daripada dorongan libido yang lain, yaitu dorongan seksual

(syahwat siap lentur).

Dorongan rasa lapar ini sedemikan kuatnya, sehingga membuat mereka tidak

lagi memerdulikan harga diri ataupun martabat mereka sebagai manusia. Hilangnya

harga diri itu menurunkan manusia ke posisi yang sama tingkatannya dengan

binatang.

Obsesi pada pemenuhan kebutuhan primer dan pada upaya untuk memuaskan

rasa lapar kembali dipertegas, dengan diulangnya bait referen sebagai bait keenam

lirik lagu.

Pergi kau!

Jangan nasehati aku oh ya!

Pergi kau!

Aku mau uangmu oh ya!

Pergi kau!

Jangan menggurui aku oh ya!

Pergi kau!

Aku mau nasimu oh!

Dalam bait ketujuh ini muncul kata ganti orang kedua “kau”. Muncul

pertanyaan, siapakah yang berbicara dan siapakah yang diajak bicara? Jika melihat

pada baris keempat dan kedelapan, dapat disimpulkan bahwa yang berbicara adalah

Page 15: Pertentangan Kelas dalam Lirik Lagu di Album Kelompok Musik Swami I

15

orang-orang yang terobsesi dengan uang dan nasi, yang berarti juga adalah orang-

orang resah yang mengejar nafkah, yang disebutkan dalam bait pertama.

Pada akhirnya, yang dipotret dari orang-orang bukan hanya tindakan-tindakan

mereka, melainkan juga respon dan perkataan mereka. Kata-kata yang diulang dalam

bait ini adalah “Pergi kau!” yang memperlihatkan ketidaksabaran mereka dan respon

yang kasar, yang ditujukan kepada orang yang menasehati mereka.

“Jangan nasehati aku” dan “Jangan menggurui aku,” yang masing-masing

diikuti dengan “Aku mau uangmu” dan “Aku mau nasimu,” semakin memperkuat

kesan bahwa mereka ini memang benar-benar terobsesi dengan uang dan nasi. Mereka

tidak peduli pada hal-hal yang lain. Mereka juga tidak peduli pada etika, sopan

santun, dan bahkan juga moralitas.

Anak anak kecil tengadahkan tangan

Mainkan tamborin gapai masa depan

Tanah lahirku aku cinta kau

Bumi darahku aku cium engkau

Di bait terakhir lirik, temanya seakan bergeser dari orang-orang yang resah

mencari nafkah. Di dalam bait ini kata ganti orang pertama “aku” tidak mengacu pada

orang-orang resah sebagaimana dalam bait sebelumnya, tetapi pada pemberi komentar

dalam bait kedua.

Kesimpulan ini didukung oleh nada dan gaya bicara yang berbeda dengan

nada dan gaya bicara yang dipakai dalam bait ketujuh. Dalam bait ini, nada bicara

“aku” di sini lebih optimistis. Gaya bicaranya jauh dari kasar, dan tidak seperti gaya

bicara orang-orang yang resah mengejar nafkah.

Kalimat-kalimat perintah dalam baris pertama dan kedua ditujukan kepada

anak-anak jalanan, yang disuruh menengadahkan tangan dan memainkan tamborin

untuk menggapai masa depan. Aku lirik di sini sepertinya masih menaruh harapan

pada anak-anak, yang masih memiliki harapan akan masa depan mereka.

Dua bait terakhir menutup kritik sosial dengan rasa cinta tanah air, yang

seolah-olah mengatakan bahwa meskipun keadaan sangat memprihatinkan, aku lirik

tetap cinta pada tanah air. Meskipun keadaan tanah air begitu mengkhawatirkan, tidak

ada jalan lain kecuali menerimanya, karena itulah keadaan negeri yang ia cintai.

Page 16: Pertentangan Kelas dalam Lirik Lagu di Album Kelompok Musik Swami I

16

4.2 Analisis Teks Oh… ya!

Lirik lagu ini menyampaikan mimpi si miskin yang ingin menjadi kaya dan

terhormat yang tercermin dari pengulangan kata andaikata, seandainya, umpamanya,

dan kalau saja. Karena bosan berjuang, si miskin menyerahkan dirinya pada nasib dan

takdir yang tidak dapat diingkari, sebagaimana dinyatakan dalam nasibmu jelas bukan

nasibku.

Repetisi refrein sebanyak empat kali merupakan penekanan bahwa keadaan

tersebut sudah merupakan takdir, nasib. Jadi, bukanlah kesalahan siapapun apabila

nasibnya tidak bisa berubah. Dengan Oh... Ya!, ia sadar bahwa keadaannya tidak akan

berubah.

Seperti lirik Bongkar, lirik lagu ini pun memperlihatkan pertentangan kelas

melalui makna konotatifnya:

Kemakmuran Kemiskinan

mobil „nyaman, kelas menengah ke atas‟ bus „panas, berdesakan, kelas bawah‟

rumah „kokoh, permanen, resmi‟ gubuk „rapuh, sewaktu-waktu bisa

digusur‟

direktur „kaya, terhormat‟ penganggur „miskin, disepelekan‟

lotere „banyak uang, tanpa kerja keras‟ kere „tak punya uang meskipun bekerja

keras‟

Makna konotasi kata-kata tersebut menyampaikan pesan secara lebih keras.

Lirik lagu ini hanya berisi dua bait, sedangkan selebihnya adalah refrein yang diulang

empat kali. Pengulangan tersebut dan la la la la yang cukup panjang, dapat

diinterpretasikan sebagai „kepasrahan.‟

4.3 Analisis Teks Bento

Namaku Bento rumah real estate

Mobilku banyak harta berlimpah

Orang memanggilku bos eksekutive

Tokoh papan atas atas s’galanya. Asyik . . . . . . . . .

Syair ini tidak terlalu sulit untuk dipahami, karena hampir semua kata dalam

puisi ini dapat dimaknai secara referensial. Pada pembacaan pertama sudah dapat

dikenali bahwa puisi ini berisi pengakuan “aku lirik,” sebagai seorang yang bernama

Bento. Ia tinggal di rumah real estate. Real estate mengacu pada penamaan perumah-

an elite dan mewah. Istilah yang juga mengacu pada kalangan berstatus sosial atas.

Page 17: Pertentangan Kelas dalam Lirik Lagu di Album Kelompok Musik Swami I

17

Pada larik kedua, aku lirik memberi pengakuan tentang materi yang dimiliki-

nya, mobil yang banyak dan harta berlimpah. Ia juga mengaku dirinya seorang bos

eksekutif. Kata bos secara denotatif dapat dimaknai sebagai atasan, pemilik modal,

atau penguasa. Seorang bos memiliki kekuasaan dan lazimnya memiliki bawahan-

bawahan yang membantu pekerjaan-pekerjaannya.

Kata eksekutif memperkuat wilayah kekuasaan tempat si aku lirik berada,

yaitu golongan atas dan berkelas. Tokoh papan atas atas s’galanya, dapat dipahami

sebagai penguat makna sebelumnya, bahwa ia seorang tokoh dari kalangan atas,

bahkan paling atas, paling berkuasa, dan paling berpengaruh.

Kekuasaan aku lirik pun seolah-olah tidak terbatas karena berada di tempat

yang paling tinggi kelasnya. Kata asyik di akhir bait menyiratkan makna sesuatu yang

menyenangkan, memberikan kegembiraan dan kenyamanan. Aku lirik menikmati ke-

beradaanya dalam lingkungan tersebut.

Wajahku ganteng banyak simpanan

Sekali lirik oke sajalah

Bisnisku menjagal jagal apa saja

Yang penting aku menang aku senang

Persetan orang susah karena aku

Yang penting asyik. Sekali lagi asyik . . . . . . . . .

Aku lirik mengaku dirinya berwajah ganteng dan memiliki banyak simpanan.

Pengakuan wajah ganteng memperlihatkan kepercayaan diri aku lirik. Kepercayaan

diri ini dikuatkan lagi dengan banyaknya simpanan yang dimiliki. Simpanan dapat

dimaknai sesuatu yang disembunyikan. Konotasi kata simpanan mengacu pada

sesuatu yang negatif, yang dalam larik ini dapat diartikan sebagai perempuan atau

bisa juga harta atau materi lain karena ia berasal dari golongan atas.

Dalam larik sekali lirik oke sajalah terlihat bahwa kekuatan lirikan si aku

membuat “perempuan” yang diinginkannya, atau apa saja yang diinginkannya mudah

diperoleh. Pada dua bait tersebut, fisik aku lirik menjadi salah satu modal untuk

mendapatkan yang diinginkannya, meskipun secara implisit, kekuatan fisik saja tidak

cukup. Tetapi, kekayaan yang dimiliki si aku liriklah yang menambah kepercayaan

dirinya yang semakin besar dan memungkinkannya mendapatkan banyak hal.

Pada bait berikutnya, aku lirik memberi pengakuan mengenai profesi yang

dijalaninya, yaitu bisnis menjagal. Sebuah profesi yang memberi konotasi negatif,

sesuatu yang mengerikan, dan penuh kekerasan. Kata-kata jagal apa saja menyiratkan

Page 18: Pertentangan Kelas dalam Lirik Lagu di Album Kelompok Musik Swami I

18

aku lirik melakukan aktifitas menjagal, tanpa berpikir siapa yang akan jadi korban.

Sifat egoistik aku lirik terlihat pada larik-larik tersebut.

Penguatan makna bahwa aku lirik sangat mementingkan kesenangan dirinya,

terdapat pada bait berikutnya „yang penting aku menang, aku senang‟. Ia seolah-olah

menghalalkan segala cara untuk memperoleh keinginannya dan yang terpenting

adalah kesenangan dirinya.

Egosentris aku lirik semakin diperkuat dalam larik persetan orang susah

karena aku. Aku lirik tidak peduli kesenangannya akan menyusahkan orang lain.

Baginya yang penting adalah dirinya sendiri di atas segalanya. Dalam pemaknaan bait

ini, terlihat sikap arogansi yang ditunjukkan oleh aku lirik, karena kekayaan dan

kekuasaan yang dimiliki.

Pada bait kedua ini muncul kontradiksi-kontradiksi. Pada awal bait aku lirik

yang memiliki wajah ganteng, yang berkonotasi positif, sebagai ungkapan yang

menguatkan makna positif lainnya di bait satu, yaitu kekayaan, kemewahan, dan pim-

pinan yang berpengaruh.

Wajah ganteng berasosiasi dengan kekayaan yang dimiliki, tinggal di rumah

mewah, menggambarkan sesuatu yang ideal dan positif. Namun demikian, terlihat

kontradiksi saat ia menyatakan profesinya sebagai pebisnis menjagal. Wajah ganteng

dan penjagal, dua hal yang dipahami memiliki konotasi positif-negatif dan ber-

tentangan.

Kontradiksi yang lain terlihat dari pilihan kata senang dan susah. Aku lirik

mencari kesenangan dengan tidak mempedulikan kesusahan orang lain. Pertentangan

secara tersirat juga terlihat pada kata menjagal dan asyik. Menjagal yang dapat

dipahami sebagai kekerasan seolah-olah dilakukan dengan enteng, tanpa hati dan

dianggap sebagai hiburan yang menyenangkan. Repetisi kata asyik dengan penekanan

melalui kata-kata sekali lagi menegaskan sikap aku lirik yang egosentris dan arogan.

Khotbah soal moral omong keadilan sarapan pagiku

Aksi tipu-tipu lobbying dan upeti woh . . . jagonya . .

Maling kelas teri bandit kelas coro, itu kan tong sampah

Siapa yang mau berguru, datang padaku

Sebut tiga kali namaku: Bento . . . .Bento . . . . Bento . . . . .

Asyik . . . . . . . ! ! ! ! ! ! Asyik . . . . . .

Pada bait ini aku lirik memberi pengakuan atas kebiasaan dirinya, yaitu

berkotbah masalah moral dan keadilan. Aktivitas kotbah lazimnya dilakukan oleh

Page 19: Pertentangan Kelas dalam Lirik Lagu di Album Kelompok Musik Swami I

19

para ulama atau pemuka agama. Demikian pula dengan penyampaian pesan-pesan

moral biasanya dilakukan oleh para pemuka agama.

Dalam bait di atas aku lirik, yang menyebut dirinya bernama Bento,

mengambil alih peran tersebut dan mendudukkan dirinya sebagai seorang yang

memahami persoalan moral dan menjadi agen penyampai kepada orang lain. Kotbah

tidak ditempatkan pada makna yang sebenarnya, karena pada larik berikutnya terlihat

adanya hal yang bertentangan.

Aku lirik mengakui kelihaian dalam hal tipu-menipu, dan memberikan

(mendapatkan) upeti. Terdapat kontradiksi pada kata-kata kotbah soal moral dan

omong keadilan dengan aksi tipu-tipu, lobbying dan upeti. Pertentangan ini

memperlihatkan adanya makna aksi manipulatif aku lirik.

Ia memperlihatkan diri sebagai seorang moralis, padahal kelihaiannya adalah

menipu. Ia juga menyukai lobbying yang sebenarnya lebih dekat ke pemaknaan

negatif kasak-kusuk, dan upeti yang dapat dimaknai sebagai sogokan, yang diterima

maupun diberikan saat ia ingin mencapai keinginan-keinginannya. Ironi dalam larik-

larik tersebut sangat jelas. Persoalan moralitas yang dipertentangkan dengan aksi tipu-

tipu memperlihatkan sebuah ironi.

Pada larik berikutnya secara tersirat tampak sebuah perbandingan yang dibuat

oleh aku lirik, saat menyebut maling kelas teri bandit kelas coro sebagai tong sampah.

Hal yang tidak berarti dibandingkan dirinya, yang ia sebut sebagai jagoan. „Maling

dan bandit‟ yang berkelas teri dan coro bukan apa-apa dibanding dirinya yang dapat

ditafsirkan sebagai penjahat dengan kelas yang lebih tinggi. Kata sampah diartikan

sebagai sesuatu yang tidak berharga, demikian pula dengan kata teri jenis ikan kecil

dan coro, binatang yang berasosiasi dengan sesuatu yang tidak berharga, kotor, dan

rendahan.

Aku lirik melihat dunia di luarnya sebagai sesuatu yang tidak sebanding

dengan dirinya yang besar dan memiliki banyak kelebihan. Tampak makna arogansi

aku lirik diperkuat melalui larik-larik tersebut.

Pada larik berikutnya, aku lirik menawarkan dirinya untuk menjadi guru

kepada siapa saja yang ingin belajar. Guru bermakna seseorang yang memberikan

ilmu kepada orang lain dalam arti yang sangat positif. Dalam konteks bait ini ada

sebuah pertentangan (ironi) yang sangat jelas, ketika makna guru dipakai untuk

menggambarkan seseorang yang mengajarkan hal negatif, seperti menipu,

memanipulasi dan mencuri.

Page 20: Pertentangan Kelas dalam Lirik Lagu di Album Kelompok Musik Swami I

20

Pada larik berikutnya sebut tiga kali namaku: Bento…Bento…Bento….

menunjukkan adanya penegasan akan pentingnya diri aku lirik, sehingga seseorang

yang ingin menjadikannya guru harus menyebut namanya tiga kali. Penyebutan nama

tiga kali tidak hanya dapat dimaknai adanya penegasan akan pentingnya sosok aku

lirik, tetapi juga dapat bermakna bahwa Bento adalah nama ganjil, dalam pengertian

tidak lazim, lebih menyerupai akronim, dan misterius.

Pengulangan kata asyik di akhir larik juga merupakan penegasan atas sikap

aku lirik yang suka bersenang-senang dan menikmati keberadaan dirinya yang kaya

dan berkuasa. Terlihat pula Bento yang senang, bangga, dan menikmati cara-cara

mencapai keinginannya yang tampak tidak selaras, bahkan menyimpang dari ajaran

moral dan agama.

Setelah memperhatikan makna dalam teks, pemaknaan yang lebih luas dapat

dilakukan dengan memperhatikan konteks penciptaan karya. Pada bait pertama, nama

Bento bukanlah nama yang lazim dipakai untuk orang Indonesia. Nama tersebut lebih

menyerupai sebuah akronim, yang kemudian dikaitkan dengan kekuasaan zaman orde

baru. Bento juga terkesan sebagai nama yang misterius dan lebih bermakna samaran

alias dari identitas seseorang yang sengaja disembunyikan.

Orang kemudian mengaitkan nama Bento dengan orang-orang yang berada di

lingkaran Suharto, dengan menyebutnya benteng Suharto, Beny Suharto, atau besan

Suharto. Bento juga bermakna bodoh dalam ungkapan Jawa Timur. Apabila makna

tersebut dikaitkan dengan teks, akan tampak jelas bahwa gambaran tokoh Bento

dalam syair di atas juga memiliki kaitan yang logis.

Bento yang digambarkan dalam teks terlihat sebagai seorang yang memiliki

materi berlimpah, tetapi secara intelektual tidak berkelas. Hal ini terlihat dari kata-

kata yang disampaikannya menyerupai preman, dengan pengakuan dirinya yang

bangga pada keburukan dan kekerasan. Bento mengabaikan kemanusiaan dan etika

untuk mencapai keinginan-keinginannya. Aksi menjagal, tipu-menipu, dan munafik

terlihat pada pengakuannya yang lugas.

Bento memunculkan imaji tentang seorang preman, manusia pasar atau

mungkin orang yang berpendidikan rendah yang kemudian memiliki kekayaan materi

dan kekuasaaan. Muncul ironi-ironi yang menunjukkan pertentangan, antara hal yang

disampaikan dengan kenyataan yang mendasari. Terdapat oposisi-oposisi makna yang

timbul dari kata-kata dalam larik yang menimbulkan kesan ironis dan sarkasme.

Page 21: Pertentangan Kelas dalam Lirik Lagu di Album Kelompok Musik Swami I

21

4.4. Analisis Teks Bongkar

Lagu ini mengungkapkan ketidakpuasan rakyat terhadap tindakan pemim-

pinnya. Keluhan mereka tidak diperhatikan, dan mereka bahkan diminta untuk bersa-

bar. Tidak adanya perubahan dipahami oleh rakyat sebagai hilangnya perlindungan

dari para pemimpin. Jalan keluar yang mereka tempuh adalah turun ke jalan dengan

harapan bisa berhasil.

Lirik lagu ini merupakan komunikasi antara pengirim pesan, yaitu kelompok

(P1) yang ditandai oleh kata kami, kita. Jadi, pengirim pesan terdiri atas dua

subkelompok, yaitu penutur seluruh lirik dan “teman”nya. Di pihak lain, penerima

pesan (P2) yang juga merupakan kelompok. P1 menyapa P2 dengan kata ganti yang

sopan dan akrab secara silih berganti: mereka, orang tua, kau. Karena kau

menggantikan orang tua, kata ganti tersebut menimbulkan konotasi „kurang hormat‟.

P1 dan P2 menempati posisi berseberangan, yang merupakan dua blok yang

ber-tentangan. P1 adalah pihak yang didominasi, korban penindasan, dan demonstran.

P2 adalah pihak yang mendominasi dan juga dianggap sebagai orang tua.

Pertentangan antara kedua kelompok tersebut terungkap di sepanjang lirik: kesedihan

„sedih‟ --- tontonan „hiburan‟, diperkuda „kerja keras, budak‟ --- jabatan „dihormati,

kemapanan‟, kau „akrab, setara‟ --- orang tua „dihormati, lebih tinggi‟, setan „jahat‟

--- orang tua „yang melindungi, mencintai‟.

Majas metafora dan metonimi digunakan untuk menyatakan bahwa negara

merupakan sebuah rumah tempat orang tua (pemimpin) dan anak-anaknya (rakyat)

tinggal bersama. Seharusnya, sebuah keluarga memperhatikan kebahagiaan dan men-

cintai anak-anaknya.

Namun, yang terjadi adalah sebaliknya, tidak ada kenyamanan yang diung-

kapkan dengan: kalau cinta sudah dibuang (tidak ada cinta), Jangan harap keadilan

akan datang (tidak ada keadilan), setan (pemimpin) yang melakukan penindasan,

kesewenangan, keserakahan, dan tidak bisa dipercaya.

Tekanan dari penindas menimbulkan resistensi yang dinyatakan dengan

metonimi ke jalan (berdemonstrasi –kontiguitas tindak dan tempat) serta metafora

robohkan (menurunkan dari jabatan, tidak berkuasa lagi sebagai penguasa) dan

bongkar (mencabut dari posisinya).

Lagu ditutup dengan plesetan Kok bisa? Ajakan untuk membongkar

mengherankan sementara orang. Mereka tidak percaya bahwa penindas bisa dibong-

Page 22: Pertentangan Kelas dalam Lirik Lagu di Album Kelompok Musik Swami I

22

kar. Kemudian dijawab dengan Bisa kok! Pernyataan tersebut meyakinkan (kok!)

bahwa hal tersebut dapat dilaksanakan.

Lirik lagu ini cukup transparan. Majas yang digunakan pun cukup sederhana.

Dengan demikian, pesan disampaikan dengan sangat jelas.

V. Kesimpulan

Berdasarkan analisis keempat teks lagu Swami I, dapat ditarik sejumlah

kesimpulan. Kesimpulan pertama, lirik lagu-lagu dalam album Swami I ini memang

benar menunjukkan terdapatnya unsur pertentangan kelas. Di dalam lirik lagu-lagu

itu, terlihat jelas adanya dua kelas sosial, yang ditempatkan secara berseberangan.

Kelas pertama, adalah mereka yang menikmati kue pembangunan, punya ba-

nyak uang, punya harta dan rumah mewah, punya jabatan tinggi, berkuasa, bisa ber-

buat semaunya, hidup enak dan nyaman. Mereka asyik dengan kenikmatan hidupnya

sendiri, dan tidak perduli dengan hidup orang lain yang ditindas atau menjadi korban

aksi manipulasinya.

Kelas kedua, adalah adalah kalangan kelas bawah, rakyat kecil, yang kondisi

kehidupannya sangat kontras berbeda dengan kalangan yang menikmati kue pem-

bangunan. Dua kelas ini merupakan pencerminan kondisi sosial di era Orde Baru, di

mana pertumbuhan ekonomi cukup baik, tetapi terdapat kesenjangan sosial yang

lebar, antara kelompok yang sukses dan kelompok masyarakat yang terpuruk atau

tertinggal dalam pembangunan.

Dalam Potret, kelas sosial kedua yang diangkat adalah kaum miskin yang

tertindas oleh kemiskinan. Mereka ini direpresentasikan sebagai orang-orang yang

harus berlomba mengejar nafkah demi sesuap nasi. Perlombaan itu bahkan membuat

mereka tidak lagi memedulikan martabat, harga diri dan kemanusiaan mereka.

Dengan membandingan antara orang-orang ini dengan anjing menunjukkan

bahwa mereka diposisikan pada strata terendah dalam masyarakat. Lirik ini sepertinya

hendak mengatakan bahwa kemiskinan yang demikian akut dapat begitu mendo-

minasi pikiran, hati dan hidup manusia sehingga rasionalitas dan hati nurani tidak lagi

berlaku.

Manusia bahkan kehilangan minat dan kemampuan untuk memikirkan cara-

cara yang lebih strategis untuk mengubah keadaan mereka. Penolakan mereka ter-

hadap ajaran dan nasehat orang lain memerlihatkan sikap yang apatis dan pesimis da-

lam melihat masa depan mereka.

Page 23: Pertentangan Kelas dalam Lirik Lagu di Album Kelompok Musik Swami I

23

Kesimpulan kedua, ada sejumlah cara untuk menunjukkan atau

mengekspresikan pertentangan kelas dalam lirik-lirik lagu di album Swami I. Cara

yang sering dilakukan adalah dengan mengkontraskan kondisi antara kedua kelas

tersebut, atau mengkontraskan antara harapan dan kenyataan.

Dalam lirik lagu Oh…Ya!, misalnya, dikontraskan antara impian kelas bawah

yang miskin dengan fakta atau realitas yang mereka hadapi. Yang ada dalam angan-

angan mereka adalah menjadi kaya yang ditandai dengan naik mobil itu dan bukan

naik bis ini, memiliki rumah itu dan bukan gubuk ini. Pengontrasan yang dilakukan

dengan mengoposisikan mobil dengan bis, rumah dengan gubuk serta itu dengan ini

mempertajam kesenjangan yang ada antara apa yang diharapkan dengan kenyataan.

Di samping itu, kontras antara nasibmu bukan nasibku memperlihatkan dua

kelompok sosial dengan kondisi yang sangat berbeda. Aku ditandai dengan bis, gubuk,

pengangguran, dan kere sementara kamu ditandai dengan mobil, rumah, dan direktur.

Kesenjangan ini tak terjembatani karena tidak ada cara yang dapat ditempuh

oleh kelompok masyarakat miskin untuk dapat meningkatkan status sosial mereka.

Dua macam cara yang mereka anggap dapat mengubah kemiskinan, yaitu dengan

mendapat pekerjaan sebagai direktur serta menang lotere semata-mata merupakan

keniscayaan, karena sudah hampir dapat dipastikan, keduanya tidak mungkin bisa

mereka peroleh.

Memang kedua lirik ini tidak menyatakan secara eksplisit adanya dua kelas

sosial yang memiliki relasi kuasa. Meskipun demikian, Potret dan Oh… ya! dengan

jelas memperlihatkan bahwa kemiskinan ternyata dapat memiliki kuasa yang begitu

dominan atas satu kelompok sosial tertentu.

Nada apatis dan pesimistis yang mewarnai kedua lirik menegaskan bahwa

hirarki yang ada antara kaya/miskin seakan-akan sudah tidak dapat diubah lagi.

Kelompok masyarakat miskin tetap berada pada posisi tertindas dan tidak berdaya.

Cara penggambaran pada lirik lagu berikut masih tetap bernuansa peng-

ontrasan. Namun, jika lirik sebelumnya memandang situasi dari sudut pandang kelas

bawah, yaitu kelompok yang miskin dan tertindas, maka kali ini situasi dilihat dari

sudut pandang kelas atas, atau kelompok penindas yang menikmati kue pembang-

unan.

Page 24: Pertentangan Kelas dalam Lirik Lagu di Album Kelompok Musik Swami I

24

Berbeda dengan Potret dan Oh ya, Bento mengetengahkan aku lirik yang

mewakili kelompok sosial yang berbeda, yaitu kelas atas yang kaya dan berkuasa,

yang berada pada posisi yang berseberangan dengan kelompok sosial dalam kedua

lirik sebelumnya.

Bento merepresentasikan dirinya sebagai seorang yang kaya dan berhasil

dengan atribut mobil yang banyak, harta berlimpah, jabatan tinggi sebagai boss ekse-

kutif dan tokoh papan atas.

Pemakaian atribut-atribut tersebut, sebagai penanda keberhasilan dan

kekayaan seseorang, menunjukkan bahwa Bento yang mewakili kelompok masyara-

kat kelas atas mengukur keberhasilan dan kekayaan dengan materi dan kekuasaan

yang dimiliki.

Bento juga dengan pongahnya menampilkan dirinya sebagai penindas dengan

mengatakan bahwa ia menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang dia

inginkan (Bisnisku menjagal jagal apa saja; Yang penting aku senang aku menang;

Persetan orang susah karena aku; Yang penting asyik sekali lagi…)

Bento berada pada posisi yang berseberangan dengan kelas bawah yang

disoroti dalam Potret dan Oh… ya!. Secara sepintas tampak adanya hirarki antara

kaya/miskin, berhasil/gagal, dan penindas/tertindas. Kelompok kaya dikatakan berha-

sil atau sukses karena mampu memperoleh semua yang mereka inginkan, meskipun

semua itu didapatkan dengan cara menjagal dan menindas orang lain.

Nada pongah yang dipakai Bento, ketika menyatakan kualitasnya sebagai

penjahat kelas kakap, yang memiliki ilmu yang tinggi dalam melakukan aksi tipunya,

dan dalam mengelabuhi orang dengan kemunafikannya, memperlihatkan bahwa hasil

lebih penting daripada cara.

Hal yang patut dicatat, meski ada dua kelas sosial yang bertentangan dan ber-

beda kepentingan, keduanya punya cara pandang yang bisa dibilang serupa, dalam

menetapkan ukuran-ukuran dan kriteria kelayakan hidup. Ukuran dan kriteria itu

sangat “konkret,” untuk tidak mengatakan “materialistik.”

Jika dibandingkan dengan lirik Potret dan Oh… ya!, tampak adanya persa-

maan dalam cara merepresentasikan kedua kelas sosial ini. Kedua kelas ini sama-

sama mengutamakan hasil. Dalam Potret, hasil yang dikejar berupa uang dan nasi,

bahkan dalam Oh… ya! dan Bento hasil yang diinginkan hampir sama, yaitu kekayaan

yang juga berarti kekuasaan.

Page 25: Pertentangan Kelas dalam Lirik Lagu di Album Kelompok Musik Swami I

25

Baik kelas bawah maupun kelas atas, baik yang tertindas maupun penin-

dasnya, sebenarnya memiliki kualitas yang sama. Kedua kelas sosial ini sama-sama

mengutamakan hasil dan tidak mengindahkan cara memperoleh hasil tersebut. Kedua-

nya juga memaknai keberhasilan dengan materi (mobil, rumah, harta) dan dengan

besarnya kekuasaan (direktur, boss eksekutif, tokoh papan atas) yang ada dalam geng-

gaman mereka.

Bongkar sebagaimana halnya Oh… ya! menghadirkan dua kelas sosial yang

dipertentangkan, yaitu kelas bawah yang tertindas dan kelas atas atau penguasa yang

menindas. Penindas direpresentasikan sebagai orang tua yang kehilangan cinta, se-

hingga mereka kehilangan hati nurani dan empati pada orang lain. Penempatan

dengan menjajarkan kesedihan hanya tontonan dengan diperkuda jabatan menun-

jukkan bahwa apa yang dilakukan penguasa ini sudah melewati batas-batas kenor-

malan.

Selain sebagai orang tua yang telah kehilangan cinta, penindas juga dire-

presentasikan sebagai setan yang berdiri mengangkang, yang memiliki konotasi kese-

wenangan dan kesombongan. Ketidaksabaran akibat kekecewaan yang terpendam

lama (karena diharuskan sabar menunggu) membuat mereka mengambil tindakan

untuk merencanakan pembongkaran terhadap kekuasaan penindas.

Pertanyaan Kok bisa? yang dijawab dengan pembalikan kedua kata tersebut

menjadi Bisa kok! memperlihatkan adanya dialog antara keraguan bahwa dominasi

kekuasaan penindas dapat dirobohkan dengan keyakinan bahwa hal itu mungkin

dilakukan. Dengan menutup lirik dengan pernyataan Bisa kok! memperlihatkan nada

optimis bahwa kekuasaan dapat diruntuhkan dan penindasan dapat diakhiri.

Dengan demikian, lirik lagu ini merupakan satu-satunya di antara keempat

lirik yang dibahas dalam esai ini yang mengandung nada optimis bahwa ketertindasan

dan kemiskinan bukan nasib yang harus diterima begitu saja; bahwa mereka yang

tertindas memiliki kekuatan untuk membongkar kekuasaan yang sudah mapan.

Page 26: Pertentangan Kelas dalam Lirik Lagu di Album Kelompok Musik Swami I

26

DAFTAR PUSTAKA

Adian, Donny Gahral. 2006. Percik Pemikiran Kontemporer: Sebuah Pengantar

Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra.

Boangmanalau, Singkop Boas. 2008. Marx, Dostoievsky, Nietzsche: Menggugat

Teodisi dan Merekonstruksi Antropodisi. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Budianta, Melani. 2000. “Discourse of Cultural Identity in Indonesia During the

1997-1998 Monetary Crisis,” Inter-Asia Cultural Studies, vol. 1 no. 1, hlm. 110-

127.

Christomy, T., dan Untung Yuwono (ed.). 2004. Semiotika Budaya. Depok: Pusat

Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya, Direktorat Riset dan Pengabdian

Masyarakat UI.

Honderich, Ted. 1995. The Oxford Companion to Philosophy. Oxford/New York:

Oxford University Press.

Kathryn Woodward. 1999. Identity and Difference. London: Sage Publication.

Storey, John. 2006. Cultural Theory and Popular Culture: an Introduction. Fourth

Edition. Athens, Georgia: The University of Georgia Press.

Tabloid Bintang No 293/Th. VI, Minggu Kedua, Oktober 1996.

Winters, Jeffrey A. 1999. Dosa-dosa Politik Orde Baru, Jakarta: Penerbit Djambatan.

Hoed, Benny H. 2008. Semiotika dan Dinamika. Jakarta: Fakultas Ilmu Pengetahuan

Budaya, Universitas Indonesia.

Nöth, Wienfried. 1995. Handbook of Semiotics. Indiana: Indiana University Press.

Hlm.311-313.

Sulistyo, Basuki. 2006. Metode Penelitian. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.

Page 27: Pertentangan Kelas dalam Lirik Lagu di Album Kelompok Musik Swami I

27

Lampiran 1

Potret (Iwan Fals / Sawung Jabo / Naniel) –SWAMI

Orang orang resah

Berlomba kejar nafkah

Demi anak bini

Demi sesuap nasi

Kuno kuno memang

Memang memang kuno

Namun kenyataan

Kita butuh soal itu

Uang dimana uang?

Nasi dimana nasi?

Uang dimana uang?

Nasi dimana nasi?

Seperti binatang

Bila lapar menerjang

Seperti kereta

Nafasnya terdengar

Lidahnya terjulur

Syahwatnya siap lentur

Soal harga diri

Sudah tak berarti

Uang dimana uang?

Nasi dimana nasi?

Uang dimana uang?

Nasi dimana nasi?

Pergi kau!

Jangan nasehati aku oh ya!

Pergi kau!

Aku mau uangmu oh ya!

Pergi kau!

Jangan menggurui aku oh ya!

Pergi kau!

Aku mau nasimu oh!

Anak anak kecil tengadahkan tangan

Mainkan tamborin gapai masa depan

Tanah lahirku aku cinta kau

Bumi darahku aku cium engkau

Page 28: Pertentangan Kelas dalam Lirik Lagu di Album Kelompok Musik Swami I

28

Lampiran 2

Oh... Ya! (Iwan Fals & Sawung Jabo) - SWAMI

Andaikata aku di mobil itu

Tentu tidak di bus ini

Seandainya aku rumah itu

Tentu tidak di gubuk ini

A a a andaikata

Se se se seandainya

Oh ya!

Kalau saja aku jadi direktur

Tentu tidak jadi penganggur

Umpamanya aku dapat lotere

Tentu saja aku tidak kere

Ka ka ka kalau saja

U u u umpamanya

Oh ya!

Oh ya! Ya nasib

Nasibmu jelas bukan nasibku

Oh ya! Ya takdir

Takdirmu jelas bukan takdirku

Oh ya! Ya nasib

Nasibmu jelas bukan nasibku

Oh ya! Ya takdir

Takdirmu jelas bukan takdirku

Aku bosan

A a a andaikata

Se se se seandainya

Ka ka ka kalau saja

U u u umpamanya

Oh ya!

Oh ya! Ya nasib

Nasibmu jelas bukan nasibku

Oh ya! Ya takdir

Takdirmu jelas bukan takdirku

Oh ya! Ya nasib

Nasibmu jelas bukan nasibku

Oh ya! Ya takdir

Page 29: Pertentangan Kelas dalam Lirik Lagu di Album Kelompok Musik Swami I

29

Takdirmu jelas bukan takdirku

La la la

La la la

La la la la la la la la la la la la la

La la la

La la la

La la la la la la la la la la la la la

Oh oh

Oh oh ya oh ya oh ya bongkar

Oh oh ya oh ya oh ya bongkar

Oh oh ya oh ya oh ya bongkar

Oh oh ya oh ya oh ya bongkar

Kok bisa?

Bisa kok!

Page 30: Pertentangan Kelas dalam Lirik Lagu di Album Kelompok Musik Swami I

30

Lampiran 3:

Bento (Iwan Fals / Naniel ) -SWAMI

Namaku Bento rumah real estate

Mobilku banyak harta berlimpah

Orang memanggilku bos eksekutive

Tokoh papan atas atas s’galanya. Asyik . . . . . . . . .

Wajahku ganteng banyak simpanan

Sekali lirik oke sajalah

Bisnisku menjagal jagal apa saja

Yang penting aku menang aku senang

Persetan orang susah karena aku

Yang penting asyik. Sekali lagi asyik . . . . . . . . .

Reff:

Khotbah soal moral omong keadilan sarapan pagiku

Aksi tipu-tipu lobbying dan upeti woh . . . jagonya . .

Maling kelas teri bandit kelas coro, itu kan tong sampah

Siapa yang mau berguru, datang padaku

Sebut tiga kali namaku: Bento . . . .Bento . . . . Bento . . . . .

Asyik . . . . . . . ! ! ! ! ! ! Asyik . . . . . .

Page 31: Pertentangan Kelas dalam Lirik Lagu di Album Kelompok Musik Swami I

31

Lampiran 4:

Bongkar (Iwan Fals / Sawung Jabo) -SWAMI

Kalau cinta sudah di buang

Jangan harap keadilan akan datang

Kesedihan hanya tontonan

Bagi mereka yang diperkuda jabatan

Oh oh ya oh ya oh ya bongkar

Oh oh ya oh ya oh ya bongkar

Sabar sabar sabar dan tunggu

Itu jawaban yang kami terima

Ternyata kita harus ke jalan

Robohkan setan yang berdiri mengangkang

Oh oh ya oh ya oh ya bongkar

Oh oh ya oh ya oh ya bongkar

Oh oh ya oh ya oh ya bongkar

Oh oh ya oh ya oh ya bongkar

Penindasan serta kesewenang wenangan

Banyak lagi teramat banyak untuk disebutkan

Hoi hentikan hentikan jangan diteruskan

Kami muak dengan ketidakpastian dan keserakahan

Dijalanan kami sandarkan cita cita

Sebab dirumah tak ada lagi yang bisa dipercaya

Orang tua pandanglah kami sebagai manusia

Kami bertanya tolong kau jawab dengan cinta