TEORI HUKUM ABAD KE-6 M (ZAMAN KLASIK)
1. Teori Socrates (470 SM - 399 SM)
Menurut Socrates, sesuai dengan hakikat manusia bahwa hukum
merupakan tatanan kebajikan dan keadilan bagi umum. Hukum bukanlah
aturan yang dibuat untuk melanggengkan nafsu untuk kuat, bukan pula aturan
untuk memenuhi naluri hedonisme diri. Hukum sejatinya, adalah tatanan
obyektif untuk mencapai kebajikan dan keadilan umum tadi. Yang itu
merupakan filsafat dari kebijaksanaan Socrates.
1
HUKUM TATANAN KEBAJIKAN
KEBAJIKAN
TUJUAN
KEADILAN UMUM
EUDAIMONIA (KEBAHAGIAAN)
FILSAFAT KEBIJAKSANAAN SOCRATES
2. Teori Plato (427 SM - 347 SM)
Pengungkapan kebaikan hanya diterima oleh kaum aristokrat (para
filsuf). Sebab mereka adalah orang-orang bijaksana. Maka di bawah
pemerintahannya, dimungkinkan adanya partisipasi semua orang dalam
gagasan keadilan. Keadilan bisa tercipta tanpa hukum. Karena yang menjadi
penguasa adalah kaum cerdik pandai, kaum arif bijaksana yang pasti
mewujudkan theoria (pengetahuan dan pengertian terbaiknya) dalam
tindakan.
Sebagai pelaksanaan hukum yang dipegang oleh kaum Aristokrat
(filsuf), Plato merumuskan standarisasi sebagai berikut:
a. Hukum untuk menangani fenomena di dunia yang penuh dengan
ketidakadilan.
b. Aturan hukum dihimpun dalam kitab, agar tidak muncul kekacauan
hukum.
c. Setiap UU harus didahului preambule tentang motif dan tujuan dari
UU itu.
2
HUKUM KEBIJAKSANAAN ARISTOKRAT (FILSUF)
KEADILAN
HUKUM
RESOLUSI KETIDAKADILAN
KODIFIKASI HUKUM
MOTIF DAN TUJUAN UU
PETUNJUK MANUSIA
SANKSI BAGI PELANGGAR
UU
HUKUM KEBENARAN
AKAL MORAL
d. Membimbing manusia ke arah hidup yang saleh dan sempurna.
e. Orang yang melanggar UU harus dihukum, yang bertujuan
memperbaiki sikap moral pelaku.
3. Teori Aristoteles (384 SM – 322 SM)
Inti manusia moral yang rasional menurut Aristoteles adalah
memandang kebenaran (theoria, kontemplasi) sebagai keutamaan hidup
(summum bonum). Hal ini manusia dipandu dua peran, yaitu akal dan moral.
Akal (ratio, nalar) memandu pada pengenalan hal yang benar dan yang salah
secara nalar murni. Sedang moral memandu manusia untuk memilih jalan
tengah antara dua ekstrim yang berlawanan, termasuk dalam menentukan
keadilan (sikap moderat).
Dasar teori Aristoteles menempatkan “perasaan sosial etis” dalam ranah
keadilan yang bertumpu kepada tiga prinsip keadilan umum, yaitu honeste
vivere, alterum non laedere, sum quique tribuere (hidup secara terhormat,
tidak mengganggu orang lain dan memberi kepada tiap orang bagiannya).
3
KEADILAN
HIDUP SECARA TERHORMAT
(HONESTE VIVERE)
TIDAK MENGGANGGU ORANG LAIN
(ALTERUM NON LAEDERE)
MEMBERI KEPADA TIAP ORANG
BAGIANNYA (SUM QUIQUE TRIBUERE)
Prinsip ini patokan dari apa yang benar, baik dan tepat dalam hidup sehingga
mengikat semua orang, baik masyarakat maupun penguasa.
4. Teori Epicurus (341 SM - 270 SM)
Terputusnya hubungan individu manusia dengan negara, sehingga
individu tidak lagi mengabdi pada komunitas, termasuk negara. Sehingga
afiliasi apapun (negara) ialah kepentingan-kepentingan perorangan. Karena
sifat dasar manusia adalah individualistis. Jadi, hukum (aturan publik)
dipandang sebagai tatanan untuk melindungi kepentingan-kepentingan
perorangan. Termasuk didalamnya gagasan kontrak sosial, ditetapkannya UU
dan persetujuan diantara warga negara dan untuk menghindari munculnya
ketidakadilan. Yang kesemuanya itu bermuara kepada kepentingan individu-
individu, demi menciptakan ketertiban dan keamanan bagi mereka.
4
HUKUM KEPENTINGAN PERORANGAN
GAGASAN KONTRAK
SOSIAL
DITETAPKAN UU DAN PERSETUJUAN DIANTARA WARGA
NEGARA
MENGHINDARI MUNCULNYA
KETIDAKADILAN
WATAK DASAR MANUSIA:INDIVIDUALISTIS
TEORI HUKUM ABAD PERTENGAHAN (TAHUN 1200 M)
1. Teori Thomas Aquinas (1225 - 1274)
Tata hukum menurut Aquinas, harus dibangun dalam struktur yang
berpuncak kepada kehendak Tuhan. Maka konfigurasi tata hukum dimulai
dari: (1) lex aeterna atau hukum dan kehendak Tuhan, (2) lex naturalis atau
hukum alam, (3) lex divina atau hukum Tuhan dalam kitab suci, dan (4) lex
humane atau hukum buatan manusia yang sesuai dengan hukum alam.
Pengklasifikasiannya yaitu lex aeterna dan lex divina itu berasal dari wahyu
Tuhan sedangkan lex naturalis dan lex humane itu berasal dari akal manusia
(ciptaan rasional)
Jadi, bersumber pada lex naturalis, hukum dalam perundang-undangan
itu harus: rasional, ditujukan bagi kebaikan umum, dibuat oleh nalar semua
orang, dan perlu dipublikasikan kepada orang banyak.
5
TATA HUKUM
LEX AETERNA:HUKUM DAN
KEHENDAK TUHAN
LEX NATURALIS:HUKUM ALAM
LEX DIVINA:HUKUM TUHAN
DALAM KITAB SUCI
LEX HUMANE:HUKUM BUATAN
MANUSIA
IUS DIVINUM POSITIVUM
(HUKUM BERASAL
DARI WAHYU)
HUKUM MELALUI
KEGIATAN AKAL
TEORI HUKUM ABAD RENAISSANCE (ABAD 17 AKHIR, AWAL ABAD 18)
1. Teori Thomas Hobbes (1588 – 1679)
Hukum alam sebagai tatanan perilaku yang terdiri dari aturan-aturan
bijak. Maka hukum merupakan pilihan sadar manusia untuk mengamankan
hidup masing-masing terhadap serangan orang lain. Agar hukum itu berjalan
efektif, maka butuh “penegak yang kuat”, yaitu penguasa yang mempunyai
kekuasaan besar. Sehingga sebagai out put dari itu semua, akan menciptakan
masyarakat yang adil dan damai.
6
HUKUMBEKERJA EFEKTIF
PENGUASA YANG KUAT/MEMILIKI
KEKUASAAN YANG BESAR
HAKIM
HUKUM ALAM SEBAGAI
KEADILAN
TIDAK MENGEJAR KEKAYAAN
KEADAAN STABIL
SABAR, TEKUN, INGATAN KUAT , MENGGALI DAN
MENERAPKAN APA YANG IA DENGAR
DAN SAKSIKAN
TERCIPTANYA MASYARAKAT
YANG AMAN DAN DAMAI
HUKUM ALAM
2. Teori Hugo Grotius / Hugo de Groot (1583 - 1645)
Hukum asalnya dari kesadaran “manusia sosial” yang berbudi agar
sosialitas tetap terjaga. Maka hukum merupakan lampiran tambahan dalam
sosiabilitas manusia untuk menjamin agar prinsip-prinsip individual sosial
yang berbudi tetap tegak. Prinsip-prinsip tersebut antara lain:
a. Milik orang lain harus dihormati, jika kita pinjam dan membawa
keberuntungan, maka harus diberi imbalan.
b. Kesetiaan pada janji, kontrak harus dihormati.
7
HUKUM
HUKUM ALAM
KESADARAN MANUSIA YANG
BERSOSIALPRINSIP-PRINSIP
INDIVIDU SOSIAL
MILIK ORANG LAIN HARUS DIHORMATI
KESETIAAN PADA JANJI/
MENGHORMATI KONTRAK
ADA GANTI RUGI UNTUK TIAP
KERUGIAN YANG DIDERITA
HARUS ADA HUKUMAN SETIAP
ADA PELANGGARAN
RASIO MANUSIA
c. Harus ada ganti rugi untuk tiap Harus ada ganti rugi untuk tiap kerugian
yang diderita.
d. Harus ada hukuman untuk setiap pelanggaran.
3. Teori John Locke (1632 –1704)
Prinsip hukum alam dari John Locke yaitu kebebasan individu dan
keutamaan ratio. Hidup tertib apabila ada perdamaian dan dituntun oleh ratio.
Maka, adanya kekuasaan penguasa untuk melindungi hak-hak kodrat/dasar
manusia dari bahaya-bahaya yang mungkin mengancam dari manapun.
Begitupula dengan hukum yang bertugas untuk melindungi hak-hak dasar
tersebut.
8
HUKUM
HUKUM ALAM
KEBEBASAN INDIVIDU
KEUTAMAAN RATIO
HAK-HAK DASAR
MANUSIA
4. Teori Immanuel Kant (1724 - 1804)
Prinsip imperatif kategoris Kant: (1) tiap manusia diperlakukan sesuai
dengan martabatnya, sebagai subyek bukan obyek; (2) orang harus bertindak
dengan dalil bahwa apa yang menjadi dasar tindakannya merupakan prinsip
semesta, yakni penghargaan manusia yang bebas dan otonom. Maka tatanan
hukum yang obyektif dan imperatif adalah bahwa hukum menjamin
9
HUKUM IMPERATIF KATEGORIS
TIAP MANUSIA DIPERLAKUKAN
SESUAI MARTABATNYA
MANUSIA YANG BEBAS DAN OTONOM:
PRINSIP SEMESTA
AKAL
AKAL MURNI (TEORITIS) : SEIN/
YANG ADA
AKAL PRAKTIS: SOLLEN / NORMA-
NORMA / YANG SEHARUSNYA
HUKUM
kepentingan semua individu menurut dua prinsip imperatif tadi. Prinsip
imperatif ini berpedoman kepada hukum dalam bidang akal praktis, sollen
(norma-norma), bukan sein (empirik). Ia berbicara tentang apa yang
seharusnya. Singkatnya prinsip-prinsip kelakuan yang dirasa sebagai
kewajiban.
TEORI HUKUM ABAD KE-19 (POSITIVISME)
1. Teori John Austin (1790-1859) ANALYTICAL JURISPRUDENCE
John Austin dengan analytical legal positivism-nya memberikan ajaran
positivisme yuridis bahwa hukum merupakan perintah-perintah dalam bentuk
peraturan-peraturan formal dari penguasa yang sah suatu negara dan
keberlakuannya dipaksakan. Kalau tidak, maka dijatuhi sanksi. Sehingga
unsur-unsur hukum menurut Austin antara lain: (1) penguasa; (2) perintah; (3)
kewajiban; dan (4) sanksi.
10
HUKUMBENTUK YURIDIS
(ANALYTICAL LEGAL
POSITIVISM)
ATURAN-ATURAN
FORMAL DARI NEGARA
(PENGUASA)
PERINTAH DARI KEKUASAAN POLITIK
YANG BERDAULAT DALAM SUATU NEGARA
PENGUASA PERINTAH KEWAJIBAN SANKSI
2. Teori H.L.A. Hart (1972)
Pemikiran Hart sangat berpengaruh bagi perkembangan positivisme
hukum modern. Inti pemikirannya terletak kepada primary rules of obligation
dan secondary rules of obligation. Keduanya merupakan pusat dari sistem
hukum. Primary rules menekankan kepada kewajiban manusia untuk
11
LAW
PRIMARY RULES OF OBLIGATION
SECONDARY RULES OF
OBLIGATION
KEWAJIBAN MANUSIA UNTUK BERTINDAK DAN
TIDAK BERTINDAK
KETERATURAN PERILAKU DALAM KELOMPOK SOSIAL
ATURAN DIRASA SEBAGAI SUATU
KEWAJIBAN BAGI KELOMPOK SOSIAL
RULES ABOUT RULES
ATURAN MANA YANG DIANGGAP
SAH
BAGAIMANA DAN OLEH
SIAPA DAPAT DIUBAH
BAGAIMANA DAN OLEH
SIAPA DAPAT DITEGAKKAN
bertindak dan tidak bertindak dalam social rules. Aturan sosial ini harus
memenuhi dua hal, yaitu: keteraturan perilaku dalam kelompok sosial dan
aturan dirasa sebagai suatu kewajiban bagi kelompok sosial.
Lalu secondary rules berupa rules about rules meliputi tiga hal: aturan
mana yang dianggap sah (rules of recognition), bagaimana dan oleh siapa
aturan dapat diubah (rules of change) dan bagaimana dan oleh siapa aturan
ditegakkan (rules of adjudication).
3. Teori Lon L. Fuller
12
LAWPOSITIVE
LEGAL CONTENT
PRINCIPLES OF LEGALITY
Harus Ada Aturan-Aturan Sebagai Pedoman Dalam
Pembuatan Keputusan
Peraturan-peraturan yang menjadi pedoman bagi otoritas harus diumumkan
Hukum (peraturan) tidak boleh berlaku
surut
Aturan-aturan tidak boleh bertentangan
satu sama lain
Peraturan-peraturan tidak boleh
mengandung tuntutan melebihi
apa yang dapat dilakukan
Peraturan tidak boleh sering diubah-
ubah
Harus ada konsistensi antara aturan-aturan yang
diundangkan dengan pelaksanaan sehari-
hari
Peraturan-peraturan disusun dalam
rumusan yang dapat dimengerti
Teori Fuller menekankan pada isi hukum positif (positive legal content),
oleh karena harus dipenuhi delapan azas (principles of legality) antara lain:
a. Harus Ada Aturan-Aturan Sebagai Pedoman Dalam Pembuatan
Keputusan;
b. Peraturan-peraturan yang menjadi pedoman bagi otoritas harus
diumumkan;
c. Hukum (peraturan) tidak boleh berlaku surut;
d. Peraturan-peraturan disusun dalam rumusan yang dapat dimengerti;
e. Aturan-aturan tidak boleh bertentangan satu sama lain;
f. Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan melebihi apa yang
dapat dilakukan;
g. Peraturan tidak boleh sering diubah-ubah;
h. Harus ada konsistensi antara aturan-aturan yang diundangkan dengan
pelaksanaan sehari-hari.
4. Teori Karl Marx (1818 –1883)
13
HUKUM ATURAN HUKUM
KEPENTINGAN PEMILIK MODAL
PEMEGANG KENDALI EKONOMI
MENGUASAI ALAT-ALAT PRODUKSI
EKSPLOITASI BURUH
ALAT LEGITIMASI
KELAS EKONOMI TERTENTU
Dalam setiap bidang kehidupan manusia, tidak lepas dari ekonomi,
termasuk hukum. Hukum adalah alat legitimasi dari kelas ekonomi tertentu,
yaitu para pemilik modal (borjuis) yang berperan sentral dalam ekonomi,
menguasai alat-alat produksi dan mengeksploitasi buruh. Aturan hukum hanya
berisi muatan-muatan kepentingan pemilik modal, termasuk agama, politik
dan ideologi.
5. Teori Friedrich Carl von Savigny (1770-1861) MAZHAB SEJARAH
14
HUKUM VOLKGEIST
JIWA BANGSA DI TINGKAT
LOKAL
HUKUM
KARAKTER BANGSA
R
E
L
A
S
I
MENEMUKAN ASAS DAN
DOKTRIN DALAM NILAI-NILAI
HUKUM YANG HIDUP
BERKEMBANG MENGIKUTI
EVOLUSI VOLKGEIST
ILMUWAN HUKUM
TEKNOLOG HUKUM
(PEMBUAT UU)
MELAKUKAN RESEARCH TENTANG
VOLKGEIST
MERUMUSKAN HUKUM DALAM WUJUD ATURAN
FORMAL
Von Savigny dengan madzhab sejarahnya terdapat relasi antara hukum
dengan watak bangsa yang merupakan cerminan dari volkgeist atau jiwa
bangsa. Maka hukum adat yang tumbuh dan berkembang dalam volkgeist
harus dipandang sebagai hukum kehidupan yang sejati. Persoalan utama
dalam hukum adalah menemukan asas dan doktrin dalam nilai-nilai hukum
yang hidup dan berkembang mengikuti evolusi volkgeist. Lalu posisi ilmuwan
hukum berada di depan pembuat UU.
Para ilmuwan melakukan riset ilmiah dengan mengungkap fakta-fakta
tentang volkgeist, setelah itu baru pembuat UU merumuskan secara teknis
dalam wujud aturan formal. Kedua kalangan itu berjalan sinergi untuk
memahami arti hukum yang bersifat kontekstual bagi bangsa tertentu.
15
BERSINERGI
\
TEORI HUKUM ABAD KE-20 (HUKUM MODERN)
1. Teori Hans Kelsen (1881-1973) REINE RECHTLEHRE
Hukum sebagai suatu sistem norma, yang dibuat menurut norma yang
lebih tinggi dan tertinggi yaitu Grundnorm atau norma dasar. Norma dasar ini
harus dibersihkan dari anasir-anasir yang bersifat meta-yuridis, maka harus
diletakkan di luar kajian hukum. Dengan menggunakan konsep Stufenbau
Theory, Kelsen mengkonstruksi aturan-aturan yang tertib yuridis dengan
16
STUFENBAU THEORY
HUKUM
HIERARKI PERATURAN
HUKUM (BERJENJANG)
GRUNDNORM (NORMA DASAR)
SISTEM PERUNDANG-UNDANGAN
KONKRETISASI DARI NORMA-
NORMA
HUKUM POSITIF
KONSISTEN KOHEREN KORESPONDEN
ditentukan jenjang perundang-undangan secara hierarki, mulai dari yang
abstrak (grundnorm) sampai kepada yang konkret dari sistem perundang-
undangan. Dan sistem perundang-undangan itu satu sama lain harus konsisten,
koheren dan koresponden.
2. Teori Max Weber (1864-1920)
17
HUKUM
TINGKAT RASIONALITAS
MODEL KEKUASAAN
SUBSTANTIF-IRASIONAL
SUBSTANTIF-RASIONAL
RASIONAL PENUH
PIKIRAN YANG
ALAMIAH DAN
NALURIAH
ADAT DAN KEBIASAAN
TRADISIONAL
MASYARAKAT MAJU DAN MODERN
KHARISMATIK TRADISI-ONAL
RASIO-NAL
SETIA THD. ORANGYANG MEMILIKI SPIRITUAL DAN TRANSENDENTAL
KEPERCAYAAN MENURUT TRADISIORANG YANG PANTAS MEMIMPIN
KEKUASAAN FORMAL UNTUK BERKUASA YG DIKUKUHKAN NEGARA
Max Weber menggunakan ukuran tingkat rasionalitas dan model
kekuasaan untuk mengkonstruksi teorinya tentang hukum. Dalam tingkat
rasionalitas, tingkat rasionalitas masyarakat akan menentukan warna hukum
dalam masyarakat itu. Pembagiannya yaitu: pertama, substantif-irasional,
bahwa masyarakat masih lekat dengan pikiran mistis, alamiah dan naluriah;
kedua, substantif-rasional, bahwa masyarakat bertopang kepada hukum adat
dan kebiasaan tradisional; dan ketiga, rasional penuh, bahwa masyarakatnya
maju dan modern.
Kemudian dalam tingkat rasionalitas, Weber membaginya ke dalam tiga
tipe otoritas dalam masyarakat, yakni: tipe pertama, kharismatik, bertumpu
kepada orang yang memiliki jiwa spiritual dan transendental; tipe kedua,
tradisional, bertumpu pada kepercayaan berdasar tradisi terhadap orang yang
dianggap layak memimpin masyarakat; dan tipe ketiga, otoritas yang rasional,
bertumpu pada kekuasaan formal untuk berkuasa yang dikukuhkan secara
formal oleh negara.
3. Teori Roscoe Pound (1912) SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE
18
HUKUMMENATA / ALAT
PERUBAHAN
HUBUNGAN FUNGSIONAL HUKUM DAN MASYARAKAT
LAW AS A TOOL OF SOCIAL
ENGINEERING
Mempelajari social effect yang nyata dari peran
lembaga dan doktrin-doktrin
hukum
Melakukan studi sosiologis
untuk menyiapkan
per-UU-an dan dijalankan
Mengusahakan
efektifnya pencapaian
tujuan hukum
Melakukan studi
bagaimana peraturan
hukum mjd. efektif
Melakukan penyelesaian
individu berdasarkan nalar, bukan
semata peraturan hukum
Melakukan studi sejarah
hukum tentang social effect yang timbul dari doktrin hukum masa
lalu
THE LIVING LAW (Eugen
Erlich)
Roscoe Pound menyatakan bahwa terdapat hubungan timbal balik
(fungsional) antara hukum dengan masyarakat. Artinya hukum yang baik
menurut Pound adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di
dalam masyarakat atau populernya the living law yang digagas oleh Eugen
Erlich. Untuk mempraktikkannya, maka dilakukan langkah yang progresif,
yaitu memfungsikan hukum untuk menata atau sebagai alat perubahan,
sehingga muncullah teorinya tentang law as a tool of social engineering. Agar
benar-benar efektif sebagai alat rekayasa sosial, Pound mengajukan 6 langkah:
a) Mempelajari social effect yang nyata dari peran lembaga dan doktrin-
doktrin hukum.
b) Melakukan studi sosiologis untuk menyiapkan per-UU-an dan dijalankan.
c) Melakukan studi bagaimana peraturan hukum mjd. Efektif.
d) Melakukan studi sejarah hukum tentang social effect yang timbul dari
doktrin hukum masa lalu.
e) Melakukan penyelesaian individu berdasarkan nalar, bukan semata
peraturan hukum.
f) Mengusahakan efektifnya pencapaian tujuan hukum.
19
MENCAPAI KETERTIBAN SOSIAL YANG LEBIH MAJU / KEADAAN MASYARAKAT
YANG DICITA-CITAKAN
4. Teori Oliver W. Holmes, Jerome Frank dan B. Cardozo (LEGAL
REALISM)
Holmes, Frank dan Cardozo sebagai Hakim Agung U.S.A ketika itu
meletakkan keputusan yang berbobot kepada kenyataan hidup atau gejala-
gejala hidup (das sein), bukanlah seperangkat aturan hukum dalam undang-
20
HUKUMKENYATAAN HIDUP/ DAS
SEIN
HAKIM
KEMANFAATANKEUTAMAAN
KEPENTINGAN SOSIAL
KEBEBASAN HAKIM
PRASANGKA EKONOMI,
POLITIK DAN MORAL
MORAL
SIMPATI DAN ANTIPATI PRIBADI
KEPUTUSAN YANG
BERBOBOT
MENOLAK DOKTRIN
LEGALISME
KAIDAH HUKUM YANG
BERLAKU
HUKUM
BERTUJUAN MENCIPTAKAN KETERTIBAN
BERTUJUAN MEMPERKUAT
LEGITIMASI
BERTUJUAN MENCIPTAKAN KOMPETENSI
undang. Itulah makna kebebasan hakim bahwa kebenaran yang lebih unggul
itu sebenarnya di luar aturan formal. Dalam konteks ini seorang hakim harus
mempertaruhkan kepekaan dan kearifannya.
Lalu parameter keputusan hakim yang dianggap berbobot antara lain:
mempertimbangkan faktor moral, kemanfaatan dan keutamaan kepentingan
sosial. Faktor-faktor lain yang berpengaruh yaitu selain berpatokan kepada
kaidah hukum yang berlaku, juga melihat prasangka ekonomi, politik dan
moral serta simpati dan antipati pribadi. Karena sebenarnya Holmes menolak
doktrin legalisme. Doktrin ini menggunakan cara berpikir yang mendasarkan
diri pada aturan, prinsip, atau norma obyektif yang dianggap harus berlaku
dalam situasi dan kondisi apapun.
TEORI HUKUM ABAD 21 (POSTMODERNISME)
1. Teori Philippe Nonet dan Philip Selznick (1978) HUKUM
RESPONSIF
21
REPRESIF OTONOM RESPONSIF
PERATURAN YANG KAKU DAN
BERLAKU LEMAH BAGI PEMBUAT
HUKUM
PERATURAN YANG KOMPLEKS DAN
MENGIKAT PENGUASA ATAUPUN
MASYARAKAT
PERATURAN BERSIFAT
SUBORDINAT DARI PRINSIP DAN KEBIJAKAN
Nonet dan Selznick membagi tiga tipe hukum:
1) Hukum Represif: bertujuan untuk menciptakan ketertiban, legitimasi
mengarah kepada ketahanan sosial dan tujuan negara, peraturan yang kaku
dan berlaku lemah bagi pembuat hukum, hukum subordinat terhadap politik
kekuasaan dan eksklusif bagi masyarakat untuk berpartisipasi, maka kritik
terhadap pemerintah dianggap tidak setia (pembangkangan).
Indikasi dari tipe ini adalah adaptasi yang pasif dan oportunistik dari
institusi-institusi hukum terhadap lingkungan sosial dan politik.
2) Hukum Otonom: bertujuan untuk memperkuat legitimasi, keadilan yang
dijalankan bersifat prosedural, peraturan yang kompleks dan mengikat
penguasa ataupun masyarakat, pemisahan kekuasaan (hukum independen dari
politik), akses dibatasi oleh prosedur baku, sehingga memunculkan kritik atas
hukum.
Indikasi dari tipe ini adalah reaksi yang menentang terhadap keterbukaan,
menjaga integritas institusional dengan cara hukum mengisolasikan dirinya,
tanggungjawabnya dan menerima formalisme yang buta demi mencapai
sebuah integritas.
3) Hukum Responsif: bertujuan menciptakan kompetensi, peraturan bersifat
subordinat dari prinsip dan kebijakan, terintegrasi antara hukum dan politik,
meluasnya akses melalui integrasi advokasi hukum dan sosial.
Tipe yang terakhir inilah berusaha untuk mengatasi ketegangan dari kedua
tipe sebelumnya, yakni lebih terbuka atau adaptif, beradaptasi secara
22
HUKUM SUBORDINAT
TERHADAP POLITIK
KEKUASAAN
PEMISAHAN KEKUASAAN
(HUKUM INDEPENDEN DARI
POLITIK)
INTEGRASI (TERPADU)
ANTARA HUKUM DAN POLITIK
EKSKLUSIF BAGI MASYARAKAT UNTUK
BERPARTISIPASI, MAKA KRITIK DIANGGAP
TIDAK SETIA
AKSES DIBATASI OLEH PROSEDUR BAKU,
SEHINGGA MEMUNCULKAN
KRITIK ATAS HUKUM
MELUASNYA AKSES MELALUI INTEGRASI ADVOKASI HUKUM
DAN SOSIAL
bertanggungjawab dan memperhatikan keberadaan kekuatan-kekuatan baru di
dalam lingkungannya, mengkritisi praktik yang sudah mapan serta membuka
jalan untuk melakukan perubahan.
2. Teori Roberto Mangabeira Unger CRITICAL LEGAL STUDIES
23
THREE CONCEPT OF LAW
CUSTOMARY LAW BUREAUCRATIC LAW
LEGAL ORDER
UNIFORMITY IN BEHAVIOR
NORMATIVE IS EQUALITY
UNWRITTEN RULES
WRITTEN RULES
LEGAL GOVERN-
MENT
TO ISOLATE STATE AND PEOPLE’S
STATES RULE OF
LAW
GENERAL AND
AUTONO-MOUS
PUBLIC AND
POSITIVE
AUTONOMY
Critical Legal Studies yang dimotori oleh Roberto M. Unger secara umum
meninjau, mengembangkan pemikiran dan ajaran yang bertujuan meninjau
kembali norma-norma, standar-standar dalam teori hukum dan
implementasinya yang berasal dari sistem hukum modern. Sistem ini berasal
dari tatanan sosial Eropa Barat di abad 19 yang merupakan konfigurasi dari
konsep hukum rule of law.
Unger membagi tiga konsep hukum:
1) Customary law concept or interactional law: mempunyai dua sisi, yakni
keseragaman yang tampak nyata dalam berperilaku dan bersifat
normatif, yakni sentimen akan kewajiban dan hak atau kecenderungan
untuk menyamakan bentuk-bentuk behavior yang sudah mapan. Konsep
ini bersifat non publik, artinya dikenal oleh seluruh masyarakat atau
berupa adat istiadat yang terdiri dari standar-standar implisit perilaku,
bukan standar peraturan yang sudah dirumuskan.
2) Bureaucratic law concept or regulatory law: terdiri dari peraturan-
peraturan eksplisit yang ditetapkan dan ditegakkan oleh pemerintah yang
sah, tidak memiliki sifat universal kehidupan sosial, maka state terpisah
dengan masyarakat, terdapat pembedaan antara kebiasaan dengan
kewajiban dan didominasi oleh negara-negara penganut rule of law.
3) Legal order or legal system. Tatanan hukum ini bersifat general dan
otonom, sekaligus publik dan positif. Lalu otonomi memiliki empat
aspek, (1) substantif manakala peraturan-peraturan yang dirumuskan dan
24
AUTONOMY SUSBTANTIVE
AUTONOMY INSTITUTIONAL
AUTONOMYMETHODOLOGY
AUTONOMYOCCUPATIONAL
ditegakkan oleh pemerintah tidak dapat dianalisa sebagai norma-norma
non-hukum; (2) institusional, bahwa peraturan-peraturan diterapkan oleh
institusi-institusi khusus yang bertugas membuat keputusan hukum; (3)
metodologis, ketika cara-cara institusi khusus tersebut menjustifikasi
keputusannya berbeda dengan keputusan lainnya; (4) okupasional,
berarti sekelompok profesi khusus di bidang hukum yang mengisi
jabatan dalam institusi hukum serta terlibat secara aktif dalam praktik
perdebatan hukum.
3. Teori Satjipto Rahardjo (HUKUM PROGRESIF, Th. 2002)
25
LAW PROGRESSIVE LAW
PROSPERITYOF HUMAN
HAPPINESSOF HUMAN
SELF VALUEOF HUMAN
SUBLIMITYOF HUMAN
PURPOSE
PEMBANGUNAN HUKUM
ETIKA/ MORAL
AKAL BERHATI NURANI
MEMBEBASKAN DARI BELENGGU
STRUKTUR
MENOLAK STATUS QUO
RULE BREAKING
TEROBOSAN / LOMPATAN DARI
ATURANLAW IN THE
MAKINGNEVER FINAL
HUKUM PROGRESIF
MERANGKUL BEBERAPA MAZHAB /
TEORI/GERAKANHUKUM ALAM
SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE
LEGAL REALISMINTERESSEN-
JURISPRUDENZRESPONSIVE
LAW
BEHAVIOR
Teori hukum Progresif menurut pemikiran Satjipto Rahardjo
menempatkan MANUSIA sebagai dasar penentu dan titik orientasi hukum.
Karena kembali kepada filosofi dasar bahwa hukum itu bertugas untuk
melayani manusia, bukan sebaliknya. Bertitik pangkal kepada manusia itulah
tujuan hukum sebenarnya untuk kesejahteraan, kebahagiaan, harga diri dan
kemuliaan manusia.
Lalu hukum progresif yang oleh karena manusia sebagai pijakannya,
menempatkan etika atau moral dan akal yang berhati nurani sebagai unsur
perilaku (behavior) manusia untuk membangun hukum, terutama para aparat
penegak hukum. Dengan pondasi inilah dibutuhkan manusia hukum yang
berani untuk berpikir kreatif melakukan terobosan-terobosan hukum, demi
kepentingan yang lebih luas yaitu kepentingan atau kebutuhan sosial,
sekalipun itu rule breaking (mematahkan aturan). Dalam konteks ini, hukum
sudah tidak lagi dipandang sebagai seperangkat peraturan-peraturan normatif,
logik dan sistematis yang terbingkai dalam undang-undang.
Karakteristik dari hukum progresif ala Satjipto ini antara lain: hukum
yang membebaskan, dalam artian membebaskan dari belenggu struktur-
struktur atau skeleton hukum atau asas-asas hukum lama (doktrin), menolak
status quo, melakukan rule breaking, adanya kreativitas operator hukum
berupa terobosan hukum, law in the making dan tidak pernah final.
Uniknya, hukum progresif ini memiliki hubungan kedekatan atau
merangkul dengan beberapa mazhab, teori dan gerakan antara lain: Hukum
26
CRITICAL LEGAL STUDIES
(CLS)
Alam, Sociological Jurisprudence, Legal Realism, Interessenjurisprudenz,
Hukum Responsif dan Critical Legal Studies (CLS).
4. Teori Jacques Derrida (1930-sekarang) DEKONSTRUKSI
27
HUKUM DEKONSTRUKSI
PENCARIAN FILOSOFIS TERHADAP
HUKUM
MELULUHKAN KEPASTIAN
ARTI PENTINGKEADILAN
LEGAL TEXT: KONVENSIONAL DAN
FORMAL
KEPASTIAN TEKS, KEPASTIAN UNDANG-
UNDANG DAN KEPASTIAN PASAL
STRUKTURALISM& LINGUISTIC(SAUSSURE)
Derrida, seorang post-strukturalis memberikan alternatif pemahaman atas
teks hukum yaitu melalui dekonstruksi. Dekonstruksi ini memusatkan
perhatian kepada tiga hal, yaitu pencarian filosofis terhadap hukum,
meluluhkan kepastian dan arti pentingnya akan keadilan.
Dekonstruksi ini sangat perlu dilakukan karena: (1) pemahaman teks
hukum selama ini bersifat konvensional dan formal; (2) pandangan kepastian
hukum berubah menjadi kepastian teks, kepastian undang-undang dan
kepastian pasal. Hal ini sebagai akibat dari proses pensakralan teks melalui
interpretasi; (3) menolak pandangan formalisme (strukturalisme) dan
linguistik, serta oposisi biner, terutama yang dikemukakan oleh Saussure; (4)
interpretasi teks dianggap pasti dan sudah jadi.
Maka, dengan semuanya itu, haruslah dibongkar melalui
DEKONSTRUKSI untuk mencapai sebuah KEADILAN.
28
INTERPRETASI TEKS: PASTI DAN SUDAH
JADI
JUSTICE (KEADILAN)
HARUS DIBONGKAR DEKONSTRUKSI
SUMBER KEPUSTAKAAN
Allan C. Hutchinson, Critical Legal Studies, U.S.A.: Rowman & Littlefield Publishers, 1989.
Anthon Freddy Susanto, Semiotika Hukum: Dari Dekonstruksi Teks Menuju Progresivitas Makna, Cet. I, Bandung: Refika Utama, 2005.
Bernard L. Tanya, dkk., Teori Hukum: Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Cet. I, Surabaya: CV. KITA, 2006.
Esmi Warassih, Pranata Hukum; Sebuah Telaah Sosiologis, Cet. I, Semarang: PT Suryandaru Utama, 2005.
Khudzaifah Dimyati, Teorisasi Hukum: Studi Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum Di Indonesia 1945-1990, (seri Disertasi), Cet. 2, Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2004.
Listiyono Santoso, dkk., Epistemologi Kiri, Cet. VI, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media Group, 2009.
Otje Salman dan Anthon F. Susanto, Teori Hukum: Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, Cet. V, Bandung: Refika Utama, 2009.
Philippe Nonet dan Philip Selznick, Law and Society in Transition: Toward Responsive Law, First Edition, Harper Colophon Books, New York, U.S.A., 1978.
Roberto M. Unger, Teori Hukum Kritis: Posisi Hukum dalam Masyarakat Modern, (terj.), Cet. I, Bandung: Nusamedia, 2007.
29
Satjipto Rahardjo, Hukum Dalam Jagad Ketertiban, Jakarta: UKI Press, 2006.
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Cet. 6, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006.
Satjipto Rahardjo, Lapisan-Lapisan Dalam Studi Hukum, Cet. I, Malang: Bayumedia, 2009.
Suteki, Urgensi Sociological Jurisprudence Dalam Pencarian Keadilan Substansial di Era Globalisasi, (Orasi Ilmiah), Disampaikan pada Dies Natalis ke-53 Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang pada tanggal 11 Januari 2010.
30
Top Related