PERJUANGAN GURU MANSHUR DALAM MENGEMBANGKAN
PENDIDIKAN ISLAM DI BETAWI 1900 - 1967
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora
untuk Memenuhi Syarat Mendapat Gelar Sarjana (S1) Humaniora (S.Hum)
Disusun Oleh :
Humaedi
NIM : 1111022000010
PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H / 2018 M
i
ABSTRAK
Humaedi
Perjuangan Guru Manshur dalam Mengembangkan Pendidikan Islam di
Betawi 1900 - 1967
Ketokohan ulama di Betawi tidak hanya bersandar pada keilmuan di bidang
agama saja, tetapi turut serta berperan dalam pendidikan, sosial masyarakat dan
melawan penjajahan. Seperti KH. Muhammad Manshur,tokoh ulama asal Betawi
yang ikut serta berperan memajukan moral masyarakat di Betawi atau yang lebih
akrab disebut Guru Manshur.
KH Muhammad Manshur merupakan ulama termahsyur dizamannya. Terutama
dalam bidang pendidikan, karena dari garis keturunannya Guru Manshur
merupakan anak dari KH Abdul Hamid, yang menjadi Imam di Mekkah.
Metode yang digunakan untuk membuat skripsi ini adalah metode historis
bersifat deskriptif analitis, dan didukung field research (penelitian lapangan),
melakukan observasi dan wawancara kepada KH Fatahillah Ahmadi sebagai
cicitnya yang masih eksis dengan karya-karya Guru Manshur.
Dalam hasilnya, Guru Manshur banyak berperan dalam memajukan pendidikan
Islam di Betawi. Hasilnya banyak para murid-muridnya yang belajar kepadanya,
di sisi lain Guru Manshur juga alhli di bidang Ilmu Falak, sehingga bisa menjadi
runutan para masyarakat terhadap penentuan Hari Besar Islam dan yang lainnya.
Kata Kunci : Ulama Betawi, Guru Mansur, Pendidikan Islam
ii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puja dan puji syukur untuk Allah Subhanahu
wata’ala yang telah memberikan nikmat yang tidak terhitung, dan dengan kasih
sayang-Nya kita dapat terus bernapas dan berbuat di dunia ini. Shalawat serta
salam selalu tercurahkan kepada suri tauladan kita Nabi Muhammad Saw.
Banyak rintangan dan hambatan yang penulis hadapi dalam
merampungkan skripsi yang berjudul: Perjuangan Guru Manshur dalam
Mengembangkan Pendidikan Islam di Betawi 1900 - 1967. Namun, semua
rintangan dan hambatan itu bisa terlewati sedikit demi sedikit dan perlahan-lahan
dengan usaha dan kerja keras. Oleh sebab itu penulis ingin menyampaikan terima
kasih setulus-tulusnya kepada:
1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA. selaku Rektor Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Prof. Dr. Syukron Kamil, M.Ag. selaku Dekan Fakultas Adab dan
Humaniora.
3. Bapak Nurhasan, MA. selaku Ketua Program Studi Sejarah dan Peradaban
Islam yang telah membantu penulis selama menjadi mahasiswa dalam
beberapa hal yang berhubungan dengan birokrasi universitas sehingga
segalanya menjadi mudah.
4. Ibu Sholikatus Sa’adiyah, M.Pd. selaku Sekretaris Program Studi Sejarah
dan Peradaban Islam yang telah banyak membantu penulis saat menjadi
mahasiswa di Prodi Sejarah dan Peradaban Islam tercinta ini baik yang
berkenaan dengan surat menyurat maupun memberi motivasi untuk terus
berkembang menjadi pribadi yang lebih baik.
5. Bunda Dr. Hj. Tati Hartimah, MA. selaku dosen pembimbing skripsi
sekaligus dosen pembimbing akademik yang memberikan banyak
masukan, saran dan selalu sabar kepada penulis untuk terus mencari
sumber primer dalam penulisan sejarah, serta selalu memotivasi penulis
untuk segera menyelesaikan kewajiban menulis skripsi.
iii
6. Seluruh Dosen Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu dan wawasan yang
banyak bermanfaat.
7. Seluruh staff pegawai Fakultas Adab dan Humaniora yang telah
membantu segala urusan akedemik dan administrasi.
8. KH. Fatahillah Ahmadi, selaku narasumber dan juga cicit dari Guru
Manshur yang bersedia meluangkan waktu di tengah-tengah kesibukannya
untuk penulis wawancarai dan memberikan sumber otentik untuk
melengkapi skripsi penulis.
9. Keluargaku, Ayahanda H. Achmad Sudirman, Ibunda Hj. Khuriyah, adik-
adikku tercinta Anita Firdaus dan Ahmad Mahfudin yang selalu
memberikan do’a dan dukungan setiap hari baik moril maupun materil
yang tak terhingga, serta kasih sayangnya menjadikan penulis menjadi
pribadi yang memiliki karakter.
10. Organisasiku, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Fakultas
Adab dan Humaniora (KOFAH) Cabang Ciputat, yang telah menjadi
tempat penulis belajar berorganisasi dan belajar banyak hal. Terima kasih
kepada senior-junior yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Namun
penulis harus berterima kasih kepada Fikri, Naufan, Yudha bengbeng, Ka
Fauzan Baihaqi, Bang Johan, Acin, Dyah dan Luthfi Ncek yang telah
memberikan semangat kepada penulis.
11. Teman-teman seperjuangan di SPI 2011 yang tidak bisa disebutkan satu
persatu, namun penulisan harus berterima kasih kepada Firdaus, Taki, Egi,
Mulyadin, Ucok, Illham, Indi, Ririn, Fauzi, Ulfa, Rahma, Wilda dan
sahabat-sahabat lainnya yang banyak membantu selama masa perkuliahan
ini.
12. Teman-teman Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ-SPI) Sejarah dan
Peradaban Islam, Dewan Mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah tempat penulis meluangkan waktu untuk belajar, berproses
dan berorganisasi.
iv
13. Teman-teman yang selalu memberi dukungan. Terima kasih kepada Devi,
Awanda, Hijbil, Usie, Wati, Yoga, Vivi dan teman-teman lainnya yang
tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu.
14. Teman-teman KKN Pelita, Jaja, Adam, Faiz, Pijoh, Leli, Danty, Isal, Kiki.
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK ............................................................................................................. i
KATA PENGANTAR .......................................................................................... ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... v
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .......................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ...................................... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................ 6
D. Metode Penelitian .................................................................... 7
E. Tinjauan Pustaka ..................................................................... 8
F. Kerangka Teori......................................................................... 9
G. Sistematika Penulisan .............................................................. 9
BAB II BIOGRAFI GURU MANSHUR
A. Gambaran Umum Masyarakat Tambora................................. 11
B. Riwayat Hidup........................................................................ 15
C. Murid-murid Guru Manshur................................................... 18
BAB III PERAN GURU MANSHUR DALAM PERKEMBANGAN
ISLAM DI TAMBORA JAKARTA
A. Perkembangan Keilmuan........................................................ 25
B. Pendidikan dan Guru-gurunya................................................ 27
C. Perjuangannya terhadap Kemerdekaan Indonesia.................. 28
BAB IV KEISTIMEWAAN GURU MANSHUR
A. Ilmu Falak.............................................................................. 31
B. Perkembangan Ilmu Falak Pacsa Guru Manshur................... 34
vi
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .............................................................................. 37
B. Saran ........................................................................................ 37
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 39
LAMPIRAN........................................................................................................ 45
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Hasil wawancara dengan H. Fatahillah Ahmadi......................... 42
Lampiran 2 : Koleksi bacaan Guru Mansur...................................................... 46
Lampiran 3 : Milad 300 tahun masjid jami al-mansur..................................... 48
Lampiran 4 : Haul 50 tahun KH. Muhammad Mansur (Guru Mansur)............ 52
Lampiran 5 : Sanad Guru Mansur terhadap guru timur tengah........................ 56
Lampiran 6 : Peta jembatan lima dan sekitarnya.............................................. 57
Lampiran 7 : Foto bersama H. Fatahillah Ahmadi........................................... 58
Lampiran 8 : Metode penghitungan awal bulan qomariyah
(Sullamunnirain).......................................................................... 59
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam khazanah keberagamaan masyarakat muslim, tidak dapat
dipisahkan dengan ulama, para ulama yang dijadikan rujukan dalam pelaksanaan
semua ajaran agama yang harus diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Demikian besar dan terhormatnya kedudukan ulama, tidak jarang ulama menjadi
tempat bertanya dan ulamalah penentu jalan keluar dari masalah Ijtimaiyyah.
Karena ulama dianggap sebagai seorang yang mempunyai pengetahuan luas dan
mendalam mengenai berbagai masalah keilmuan wa bil khusus masalah agama.
Ulama mempunyai kesalehan sosial dan spiritual yang tinggi, berani menegakkan
yang hak dan melawan segala kebathilan, ulama mempunyai murid dan pengikut
yang luas dan juga mempunyai nasab atau keturunan yang baik.
Seorang ulama merupakan orang-orang yang diakui sebagai cendekiawan
atau sebagai pemegang otoritas pengetahuan agama Islam. Mereka adalah para
imam masjid-masjid besar (agung), para hakim, guru-guru agama pada universitas
(perguruan tinggi Islam), dan secara umum merupakan lembaga kelompok
terpelajar atau kalangan cendekiawan yang memiliki hak penentu atas
permasalahan keagamaan.1
“Seorang ulama merupakan orang-orang yang diakui sebagai
cendekiawan atau sebagai pemegang otoritas pengetahuan agama
Islam. Mereka adalah para imam masjid-masjid besar (agung),
parahakim, guru-guru agama pada universitas (perguruan tinggi
Islam), dan secara umum merupakan lembaga kelompok terpelajar
atau kalangan cendekiawan yang memiliki hak penentu atas
permasalahan keagamaan. Secara harfiah ulama berarti "orang yang
mengetahui" atau ilmuwan. Ulama Islam (disingkat ulama) adalah
orang yang mempunyai pengetahuan tentang ajaran-ajaran Islam,
1 Ahmad Fadli, Ulama Betawi : (Studi Tentang Jaringan Ulama Betawi dan Kontibusinya
Terhadap Perkembangan Islam abad 19 dan 20), Jakarta: Manhalun Nasyi-in Press. 2011, h.183
2
bersumber dari Al-Qur'an dan Al-Hadist. Peranan ulama dalam
perjalanan penyebaran agama Islam memiliki peran yang sangat
penting, sehingga mereka mendapat sebutan sebagai pewaris para
Nabi. Peranan mereka sepanjang masa secara garis besar sama,
meskipun konsep dan pendekatan yang digunakan mengalami
perbedaan.2 Perkembangan Islam di Jakarta berawal dari didudukinya
Sunda Kelapa oleh Fatahillah yang kemudian diubah menjadi
Jayakarta. Namun saat Jayakarta jatuh ke tangan Belanda, umat Islam
mengalami krisis kepemimpinan, diperparah lagi dengan pembakaran
kraton dan masjid oleh Belanda. Meskipun demikian masyarakat
Jayakarta masih dapat mendirikan masjid dan langgar kecil sebagai
pembinaan umat dibawah bimbingan dan tanggung jawab ulama, yang
dikemudian hari melahirkan kebudayaan Betawi.3”
Dalam pembentukan kebudayaan tersebut, Badri Yatim (mantan dekan
Fakultas Adab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) membagi ulama menjadi tiga
golongan, yaitu : ulama Banten, ulama Haji Betawi, dan ulama Jakarta Asal Arab
Hadramaut.
Seseorang agar dapat disebut sebagai ulama besar, berpengaruh dan
disegani setidaknya harus memiliki beberapa syarat, di antaranya; seorang ulama
mempunyai pengetahuan yang luas dan dalam, terutama yang menyangkut
pengetahuan agama, tanpa mengabaikan penguasaan pengetahuan umum,
memperlihatkan kesalehan yang tinggi, tidak hanya dalam ucapan, tetapi juga
dalam perbuatan dan tingkah laku sehari-hari, mempunyai keberanian untuk
menegakkan segala yang hak dan melawan segala kebathilan. Keberanian ini juga
harus diperlihatkan dalam perbuatan dan tingkah laku sehari-hari, mempunyai
mood dan pengikut yang luas, baik yang berasal dari madrasah atau pesantrennya
sendiri, maupun dari luar, termasuk dari lingkungan masyarakat, dan kadangkala
popularitasnya dikaitkan pula dengan faktor keturunan. Karena tidak jarang
2 Nasim, Jaringan Ulama Betawi Abad XX Dan Peranannya Terhadap Perkembangan
Lembaga Pendidikan Islam di Jakarta, disertasi Program Pascasarjana, Universitas Ibnu Khaldun
(UIK), Bogor, 2010, h.126 3 Dinas Komunikasi, Informatika dan Kehumasan Pemprov DKI Jakarta, 1995-2010
3
masyarakat memandang pengaruh seorang ulama dari asal keturunannya.
Meskipun hal kelima ini tidak harus mutlak, namun pandangan masyarakat
mengenai keturunan ulama, seperti habib, sayid, atau syekh ikut memberi citra
tertentu mengenai keulamaan seseorang.4
Pada tanggal 31 Desember 1878 lahir seorang ulama besar dari Betawi
bernama Muhammad Manshur bin Abdul Hamid bin Damiri bin Abdul Muhid bin
Tumenggung Tjakra Jaya (Mataram, Jawa) yang kemudian dikenal dengan nama
Guru Manshur5. Beliau lahir tepatnya pada tahun 1878 dan wafat pada hari jum‟at
2 Shafar tahun 1387 H bertepatan dengan tanggal 12 Mei 1967. Guru pertamanya
dalam menuntut ilmu adalah ayahnya sendiri, KH. Abdul Hamid. Setelah ayahnya
meninggal, beliau mengaji kepada kakak kandungnya, KH. Mahbub bin Abdul
Hamid, dan kakak misannya yang bernama KH. Thabrani bin Abdul Mughni dan
juga kepada Syekh Mujtaba.6
Setelah dewasa, beliau pergi ke Mekkah, Arab Saudi. Beliau berguru
kepada sejumlah ulama, antara lain kepada Syekh Mukhtar Atharid Al-Bogori,
Syekh Umar Bajunaid Al-Hadrami, Syekh Ali Al-Maliki, Syekh Said Al-Yamani,
Syekh Umar Sumbawa, dan Syekh Mujtaba. Untuk ilmu falak, ia belajar kepada
Abdurrahman Misri, ulama asal Mesir dan Ulugh Bek, ulama asal Samarkhand.7
Setelah empat tahun di Mekkah, ia kembali ke tanah air dan membuka
majlis ta‟lim, yang utama diajarkannya adalah pelajaran ilmu falak. Murid-
muridnya yang kemudian menjadi ulama terkemuka di Betawi adalah KH.
Abdullah Syafi‟i (As-Syafi‟iyyah) dan Mu‟alim KH. Abdul Rasyid Ramli (Ar-
Rasyidiyyah). Kini yang meneruskan keahlian falaknya adalah KH. Fathahillah
Ahmadi yang merupakan salah seorang cicitnya. Sedangkan cicitnya yang lain
yang kini dikenal oleh masyarakat sebagai da‟i kondang adalah Ustadz Yusuf
Manshur.
4Badri Yatim, Peran Ulama dalam Masyarakat Betawi, Jakarta: Logos, 2002, h.34
5Rakhmad Zailani Kiki, dkk, Genealogi Intelektual Ulama Betawi (Melacak Jaringan
Ulama Betawi dari awal Abad ke-19 sampai Abad ke-21), Jakarta: Pusat Pengkajian dan
Pengembangan Islam Jakarta (Jakarta Islamic Centre), 2011, cet. Ke-1, h.65 6Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Garafindo, 1994,
h.116 7Abdul Aziz, Islam dan Masyarakat Betawi, Jakarta: Logos, 2002, h.86
4
Sekembalinya ke tanah air, seperti guru-gurunya, Guru Manshur membuat
halaqah di Masjid Jembatan Lima dan mengajar di beberapa tempat halaqah,
antara lain di Kenari dan Cikini. Murid-muridnya terutama berasal dari berbagai
tempat di Jakarta dan di luar Jakarta, seperti Bekasi.8
Setelah memperdalam ilmu agamanya di Mekah selama empat tahun,
kemudian mengajar di Jamiatul Khair dan disinilah beliau berkenalan lebih dekat
dengan tokoh-tokoh Islam. Beliau orang yang berhasil menggagalkan
pembongkaran masjid Cikini di JI. Raden Saleh tahun 1925. Beliau meninggal
hari Jum‟at 12 Mei 1967 dan dimakamkan di halaman masjid Al Mansuriyah
Kampung Sawah, Jembatan Lima. Tercatat ada 19 karya yang telah dihasilkannya
di antaranya: Kaifiyatul amal ijtima, khusuf wal kusuf, Tajkiratun nafi’ah
fisihati’amalissaum wal fitr, Jadwal faraid serta Al lu’lu ulmankhum fi khulasah
mabahist sittah ulum.
Pada masanya tak ada ulama lain pada yang menguasai ilmu falak selain
Guru Manshur. Di samping berdakwah dengan lisan, beliau juga berdakwah
dengan tulisan. Beberapa hasil karya tulisnya berkaitan dengan ilmu falak
(astronomi islam) antara lain: Sullamun Nayyirain, Khulasatul Jawadil, Kaifiyatul
Amal Ijtimak, Khusuf wal Kusuf, Mizanul I’tidal, Jadwal Dawaa’irul Falakiyah,
Majmu’ Arba’ Rasa’il Fii Mas’alatil Hilal, Rub’ul Mujayyab, Mukhtashar
Ijtima’un Nayyirain. 9
Semua ulama Betawi bergelar kyai atau kyai haji, namun menurut Ridwan
Saidi, ada hirarki status di dalam tubuh ulama Betawi yang disebabkan oleh
fungsi dan peran pengajaran mereka di tengah-tengah masyarakat. Status tertinggi
dalam hirarki keulamaan di Betawi adalah Guru, yang dalam istilah Islam
disertakan dengan Syaikhul Masyaikh. Guru merupakan tempat bertanya, tempat
umat mengembalikan segala persoalan. Guru mempunyai otoritas untuk
8Rakhmad Zailani Kiki, dkk, Genealogi Intelektual Ulama Betawi (Melacak Jaringan
Ulama Betawi dari awal Abad ke-19 sampai Abad ke-21), h. 65-66 9Ridwan Saidi, Profil Orang Betawi: Asal Muasal, Kebudayaan dan Adat Istiadatnya,
Jakarta: PT. Gunara Kata, 2001, Cet. Ke-2, h.125
5
mengeluarkan fatwa agama. Biasanya juga mempunyai spesialisasi dalam bidang
keilmuan.10
Guru Manshur terlibat langsung dalam perjuangan kemerdekaan. Ketika
Jakarta diduduki Belanda tahun 1946, Guru Manshur memerintahkan agar di
menara mesjid Jembatan Lima dikibarkan bendera merah putih. Belanda
memerintahkan bendera diturunkan, Guru Manshur menolak. Tentara Belanda
menembaki menara masjid. Guru Mansur tidak berubah pendirian. Melihat
kekerasan hati Guru Manshur, Belanda bertukar siasat. Belanda menyerahkan
hadiah berupa uang kertas satu kaleng biskuit. Guru Mansyur langsung menolak
sambil berkata: “Gue kagak mau disuruh ngelonin kebatilan” Guru Manshur
pemberani, namun hatinya mulia.
Guru Manshur wafat pada tanggal 12 Mei 1967. Jenazahnya dimakamkan
di halaman mesjid Jembatan Lima. Orang Betawi senantiasa ingat akan pesannya:
“Rempug! Kalau jahil belajar. Kalau alim mengajar. Kalau sakit berobat. Kalau
jahat lekas tobat”.11
Dilihat dari kemunculan ulama Betawi dari satu generasi berikutnya, jelas
tidak ada alasan untuk bersikap pesimis tentang masa depan mereka. Mereka terus
lahir dan muncul dari waktu ke waktu. Yang diperlukan adalah perubahan dan
penyesuaian paradigma konseptual dan sosial tentang definisi keulamaan itu
sendiri, serta dapat menjadi stimulan bagi penelitian dan penulisan lebih lanjut.
Dengan begitu, kita kian memperoleh pengetahuan komperhensif tentang ulama
Betawi dan perannya dalam kehidupan keagamaan masyarakat betawi dan
Nusantara secara keseluruhan.12
Dalam melihat hal tersebut, penulis ingin mengkaji lebih dalam lagi serta
mengantarkan bagi pembaca untuk dapat mengetahui salah seorang ulama Betawi
yaitu Guru Manshur dalam perjuangannya di bidang pendidikan. Oleh karena itu,
10
Ahmad Fadli, Ulama Betawi : Jaringan Ulama Betawi dan Kontibusinya Terhadap
Perkembangan Islam abad 19 dan 20, h.128 11
Nor Huda, Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media, 2007, h.94 12
Harun Nasution, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, Ed.I, 1992, h.89
6
penulis mengangkat tema skripsi berjudul “Perjuangan Guru Manshur dalam
Mengembangkan Pendidikan Islam di Betawi 1900 - 1967”.
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Penulis membatasi penulisan ilmiah pada pembahasan tentang
perkembangan pendidikan, kondisi sosial dan budaya masyarakat Betawi serta
karya-karya Guru Mansur yang dikaji oleh muri-muridnya.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka penulis merumuskan
masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana sejarah dan profil Guru Mansur?
2. Bagaimana perkembangan ilmu falak Guru Mansur di Betawi?
3. Apa kontribusi dan pengaruh pendidikan Guru Mansur terhadap
masyarakat Betawi?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun penelitian ini bertujuan sebagai berikut:
1. Memberikan wawasan tentang profil Guru Manshur.
2. Memperkenalkan Guru Manshur sebagai sosok ulama yang peduli
terhadap keilmuan agama Islam di Betawi dan Kemerdekaan
Indonesia.
Selanjutnya manfaat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Menambah wawasan penulis dan mahasiswa pada umumnya tentang
peran Guru Manshur dalam pendidikan Islam di Betawi.
2. Sebagai bentuk penyebar luasan khazanah keilmuan dan
pengembangan sejarah Islam serta penambahan wawasan bagi para
pembaca hasil penelitian ini.
7
D. Metode Penelitian
Metode yang akan digunakan di dalam penyusunan skripsi ini adalah
metode historis dan bersifat deskriptif analitis. Metode historis adalah proses
menguji dan menganalisa secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau.13
Dengan menggunakan metode ini diharapkan dapat membantu untuk mengetahui
fakta dan data sejarah pada masa lampau. Adapun dalam melakukan penelitian ini
penulis menggunakan metode historis yang meliputi 4 tahapan14
, yaitu :
Heuristik, yaitu kegiatan atau keterampilan dalam mencari, menemukan
dan mengumpulkan sumber-sumber sejarah.15
Adapun dalam pengumpulan data-
data dan sumber yang akan digunakan dalam membuat skripsi ini penulis
menggunakan buku-buku di perpustakaan yang berhubungan dengan judul.
Pengumpulan sumber ini dapat ditempuh melalui beberapa langkah, yaitu
observasi, dokumentasi, wawancara/interview, maupun kajian literatur. Sumber
yang digunakan tidak hanya berasal dari buku melainkan juga berupa surat
kabar, majalah serta artikel-artikel yang diperoleh dari internet. Sumber-sumber
tertulis tersebut ditemukan di Perpustakaan utama UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora, Perpustakaaan Nasional RI,
dan Perpustakaan UI. Untuk memperkaya perbendaharaan penulis, selain itu
penulis juga menggunakan berbagai media cetak koleksi pribadi yang
berhubungan dengan tema sebagai sumber, baik sumber primer maupun sekunder.
Verifikasi, yaitu melakukan kritik sumber. setelah melakukan heuristik
atau pengumpulan sumber-sumber maka tahap selanjutnya yang harus dilakukan
adalah kritik sumber. Kritik sumber adalah usaha untuk mendapatkan sumber-
sumber yang relevan dangan cerita sejarah yang ingin disusun sesuai dengan
judul. Setelah mencari sumber-sumber dari perpustakan atau arsip nasional yang
telah disebutkan, penulis akan melakukan verifikasi.
13
Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, (UI Pers: Jakarta, 1975), h.32 14
Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah, (Logos: Jakarta, 1999), h.54 15
Imas Emalia, Historiografi Indonesia Sejak Masa Awal SampaiKontemporer, (Jakarta:
UIN Jakarta Press, 2006), h.8
8
Interpretasi (penafsiran), seringkali disebut juga dengan analisis sejarah.
Tujuannya agar data yang mampu untuk mengungkap permasalahan yang ada,
sehingga diperoleh pemecahannya.
Historiografi adalah penulisan sejarah, tahap ini adalah tahap yang
terakhir dalam melakukan penelitian ini. Setelah melakukan tahap heuristik,
verifikasi dan interpretasi, selanjutnya historiografi dengan menulis dalam suatu
urutan yang sistematik yang telah diatur dalam pedoman penelitian. Dalam hal
ini penulis berusaha menyusun cerita sejarah menurut urutan peristiwa,
berdasarkan kronologi waktu dan tema-tema tertentu yang akhirnya isi inti dari
penelitian atau klimaks dari penelitian ini.
E. Tinjauan Pustaka
Dengan skripsi yang berjudul Perjuangan Guru Manshur dalam
Mengembangkan Pendidikan Islam di Betawi 1900 - 1967, maka penulis akan
menentukan sumber-sumber yang berkaitan dengan ulama Betawi.
Buku kajian komperhensif terkini terdapat silsilah keguruan karya
intektual ulama-ulama Betawi dari abad ke-19 sampai abad ke-21. Yaitu buku
hasil penelitian dari Rakhmad Zailaini Kiki dkk, Genealogi Intelektual ulama
Betawi (Melacak Jaringan Ulama Betawi dari Awal Abad ke-19 sampai Abad ke-
21). Merupakan hasil dari Halaqah Ulama Betawi yang digelar di Jakarta Islamic
Center (JIC) oleh para cendikiawan muslim. Buku tersebut hanya menjelaskan
biografi singkat tentang Guru Manshur, sedangkan konsentrasi keilmuannya tidak
tampak dalam buku tersebut. Adapun murid-muridnya yang dipaparkan dalam
buku tersebut, tetapi sama halnya tidak dijelaskan perkembangan pasca beliau
wafat.
Buku karangan Ridwan Saidi yang berjudul Profil Orang Betawi: Asal
Muasal, Kebudayaan dan Adat Istiadatnya, merupakan sumber penting untuk
mencari asal muasal kebudayan dan adat istiadat masyarakat betawi. Buku ini
menjelaskan serta menguraikan kehidupan sosial dan budaya di Betawi yang
merupakan ada hubungannya dengan pembahasan di skripsi penulis.
9
Ditambah buku dari Badri Yatim yang berjudul Peran Ulama dalam
Masyarakat Betawi, di dalamnya berisi tentang pembagian ulama menjadi tiga
golongan, yaitu : ulama Banten, ulama Haji Betawi, dan ulama Jakarta Asal Arab
Hadramaut. Serta menjelaskan semua peran dan fungsi ulama tersebut.
Menyadari dengan hal di atas, maka penulis tertarik untuk mengkaji,
menganalisis, mendeskripsikan kontibusi Guru Manshur, tinjauan buku tersebut
memliliki kekurangan data yang rinci untuk Guru Manshur dalam bidang
pendidikan secara menyeluruh. Pembahasan yang ingin dikaji di dalam sumber
buku tersebut secara mendalam serta merincikan peristiwa tersebut yang belum
pernah dikaji oleh penulis lainnya.
F. Kerangka Teori
Penulis fokus terhadap kitab karangan Guru Manshur yaitu Kitab
Sullamunnairain, karena kitab tersebut menerangkan tentang fokus Ilmu falak
yang menghasilkan keterangan hisab, rukyat, hilal, ijtima‟ dan metode
penanggalan hijriyah untuk masyarakat Betawi. Yang hasilnya masih diterapkan
di beberapa kota. Uniknya, kitab tersebut bisa memprediksi sebab akibat dari
perputaran poros edar bumi. Sehingga patut didalami ilmu dari Guru Manshur
yang kaya akan pengetahuan di masa depan.
G. Sistematika Penulisan
Agar dapat memudahkan dalam penelitian maka penulis akan membagi
penulisan ini dalam lima bab. Adapun bagian-bagian dari bab tersebut adalah
sebagai berikut:
BAB I (Pendahuluan) Menguraikan tentang persoalan yang melatar
belakangi penulisan dalam mengangkat tema ini. Rumusan masalah sebagai
penjelasan dari latar belakang masalah. Tujuan penelitian merupakan orientasi dan
arah penelitian. Manfaat penelitian merupakan harapan bagi penelitian masa
selanjutnya. Tinjauan pustaka sebagai referensi awal penulis untuk mengkaji lebih
lanjut tentang berbagai kajian yang serupa. Metode penelitian yang merupakan
10
pedoman untuk penulis laksanakan dalam penelitian dan sistematika penulisan
sebagai uraian tentang berbagai penjelasan yang tertulis dalam penulisan ini.
BAB II menguraikan kondisi lingkungan goegrafis Jakarta, kondisi
masyarakat yang tinggal di sekitarnya, biografi KH. Muhammad Manshur dan
murid-muridnya.
BAB III menguraikan perkembangan keilmuan yang ditumbuh
kembangkan Guru Manshur, pendidikan dan guru-gurunya dan perjuangannya
dalam masa kemerdekaan Indonesia.
BAB IV menguraikan keistimewaan KH Muhammad Manshur dalam
bidang Ilmu falak serta menjelaskan pasca KH Muhammad Manshur. Di
dalamnya terdapat Masjid Jami Al-Mansur dan sedikit membahas tentang yayasan
Al-Mansuriyah.
BAB V (penutup) menguraikan kesimpulan hasil penelitian yang
dilakukan oleh penulis. Selanjutnya adalah saran sebagai bahan acuan bagi
perbaikan untuk berbagai hal yang dirasa kurang sempurna dan menjadi pokok
permasalahan dalam pembahasan.
11
BAB II
BIOGRAFI GURU MANSHUR
A. Gambaran Umum Masyarakat Tambora
Wilayah DKI Jakarta merupakan dataran rendah dari bagian pantai utara
Jawa Barat. Wilayah ini terletak pada 6o
12‟ Lintang Utara dan 106o
48‟ Bujur
Timur. Luas seluruhnya, termasuk pulau Seribu, sebesar 655,76 km2. Sebelah
Utara merupakan daerah pantai yang berawa-rawa dengan ketinggian tanah
maksimal 7 meter dari titik 0 Tanjung Priok. Pada lokasi tertentu bahkan ada yang
letaknya di bawah permukaan laut. Sebeelah Selatan merupakan daerah yang
relatif berbukit-bukit dengan ketinggian tanah mencapai kurang lebih 50 meter di
atas permukaan laut. Oleh karena itu wilayah Jakarta Selatan, sampai dengan
banjir kanala, keadaan tanah agak curam, sedangkan dari banjir kanal ke arah laut
keadaan tanah hampir rata. Di atas wilayah Jakarta mengalir banyak sungai
(umumnya disebut 10 sungai) yang umumnya mengalir dari selatan ke utara.
Sungai yang paling terkenal dan terbesar adalah sungai Ciliwung yang membelah
wilayah kota dan membagi wilayah DKI Jakarta menjadi dua bagian, Barat dan
Timur.
Wilayah DKI Jakarta dibagi menjadi 5 wilayah administratif, yaitu Jakarta
Selatan dengan luas wilayah 146,20 km2; Jakarta Barat dengan luas wilayah
131,45 km2; jakarta Utara dengan luas wilayah 139,58 km
2; Jakarta Timur dengan
wilayah paling luas, yaitu 184,01 km2 dan Jakarta Pusat dengan wilayah paling
sempit, yaitu 54,46 km2.16
Kecamatan Tambora termasuk ke dalam Kotamadya Jakarta Barat.
Kecamatan ini memiliki jumlah penduduk sekitar 236.974 jiwa. Aktivitas
ekonomi yang sangat menonjol di wilayah ini adalah jasa dan perdagangan.
Secara geografis Kecamatan Tambora terletak ditengah di Kotamadya Jakarta
Barat, dengan ketinggian di atas permukaan laut kurang lebih 50 meter. Dengan
batas-batas wilayah sebagai berikut:
16
Edi Sedyawati, Sejarah Kota Jakarta 1950 – 1980, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi
Sejarah Nasional 1986/1987, h. 22
12
1. Utara : Rel. KA. Kali Angke, Kec. Penjaringan.
2. Timur : Kali Krukut, Kali Besar, Kec. Taman Sari.
3. Selatan : Zainul Arifin, Kec. Gambir.
4. Barat : Kali Banjir Kanal, Kec. Petamburan.
Kecamatan Tambora mempunyai luas wilayah 1.388.490 hektar yang
terbagi dalam; 96 Rukun Warga (RW), 1.083 Rukun Tetangga (RT), dan 55.784
Kepala Keluarga (KK). Penduduk wilayah Kecamatan Tambora merupakan
Potensi Sumber Daya Manusia yang dimiliki wilayah tersebut, tetapi pertumbuhan
jumlah penduduk yang tak terkendali akan menjadi salah satu masalah yang
menghambat pembangunan. Oleh karena itu diperlukan upaya pengendalian
jumlah penduduk dan jumlah pengangguran yang semakin meningkat.17
Kecamatan Tambora merupakan kecamatan terpadat se Asia Tenggara dan
merupakan salah satu daerah paling rawan terhadap kebakaran. Terdapat beberapa
karakteristik yang dapat dipertimbangkan sebagai faktor yang menjadikan suatu
daerah dikategorikan sebagai daerah rawan kebakaran, yaitu:
a. Sumber air relatif jauh, sehingga perlu beberapa unit mobil pompa
kebakaran untuk menyalurkan dari sumber air ke TKP (Tempat
Kejadian Perkara) daerah tersebut.
b. Jalan lingkungan relatif sempit dan banyak tikungan tajam yang
menyulitkan akses dan manuver unit mobil pemadam.
c. Sebagian besar rumah dibuat dengan bahan yang mudah terbakar dan
jarak antar bangunan berhimpitan.
d. Jumlah dan kepadatan populasi/penduduk cukup tinggi.
e. Kesadaran terhadap keamanan dari kebakaran pada warga
masyarakatnya yang masih sebagian besar belum tertanam.18
17
Data Biro Administrasi Wilayah, Provinsi DKI Jakarta tahun 2006. 18
http://jakartapedia.bpadjakarta.net/index.php/Kecamatan_Tambora (diakses 1 Agustus
2017 pukul 03:04 WIB)
13
Peta Kecamatan Tambora, Jakarta Barat.
(Sumber: Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi DKI Jakarta)
Kota besar masih menjadi daya tarik tersendiri bagi sebagian masyarakat
Indonesia. Perkembangan kota besar yang merupakan sentra dari kegiatan
ekonomi menjadi daya tarik bagi masyarakat yang dapat membawa pengaruh bagi
tingginya arus tenaga kerja baik dari dalam kota itu sendiri maupun dari luar
wilayah kota, sehingga menyebabkan pula tingginya arus urbanisasi. Masalah
utama yang selalu mengiringi perkembangan perkotaan adalah kepadatan
penduduk. Urbanisasi telah menyebabkan ledakan jumlah penduduk kota yang
sangat pesat, yang salah satu implikasinya adalah terjadinya penggumpalan tenaga
kerja di kota-kota besar di Indonesia. Banyaknya penduduk yang memilih
menetap di kota besar menyebabkan semakin banyaknya tumbuh pemukiman-
pemukiman baru baik itu legal maupun illegal. Di dalam pemukiman padat
penduduk akan banyak dijumpai rumah-rumah yang tidak layak huni. Di kota
besar seperti Jakarta dan kota-kota besar lainnya akan banyak dijumpai
pemukiman-pemukiman padat yang tidak teratur. Salah satu contoh pemukiman
padat penduduk yaitu Tambora, Jakarta Barat. Kawasan Tambora merupakan
14
kawasan terpadat di Asia Tenggara, dalam satu hektar saja ada 737 jiwa yang
tinggal di tempat ini.
Jakarta merupakan sebuah Ibu Kota yang padat penduduk, berbagai
macam suku dan agama ada dalam kehidupan Jakarta, penduduk asli Jakarta
maupun yang datang dari luar kota. Rumah atau tempat tinggal sudah menjadi
kebutuhan mendasar bagi manusia. Ketika kita membicarakan rumah tentunya
tidak lepas dari lingkungan yang ada disekitarnya. Bagian dari lingkungan hidup
di luar kawasan lindung (kota dan desa) yang berfungsi sebagai lingkungan
tempat tinggal/hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan
penghidupan disebut sebagai pemukiman. Agar terlaksananya suatu pemukiman
bagi penduduk yang aman, nyaman dan tenteram, maka disusunlah peraturan
berupa pasal yang tercantum di undang-undang. Hal ini juga memberikan dampak
bagi tempat tinggal para warga Jakarta khususnya di Kecamatan Tambora.
Pemukiman yang pada merayap menjadi pemandangan sehari-hari bagi
masyarakat Tambora, hal ini disebabkan oleh banyak pendatang dari luar kota
yang ingin mengadu nasibnya di Ibukota.19
Berbagai masalah dapat timbul dari dalam pemukiman yang padat
penduduk ini seperti sampah, banjir, kekurangan air bersih, dan yang paling buruk
adalah kebakaran. Dari data yang diperoleh dari Dinas Damkar PB, dalam periode
1 Januari hingga 31 Mei 2011 telah terjadi 304 kali kasus kebakaran di lima
wilayah DKI. Sebagian besar kasus kebakaran ini terjadi dipemukiman padat
penduduk. Kebakaran merupakan masalah yang paling sering terjadi. Penyebab
utamanya adalah kecerobohan masyarakat dalam memakai peralatan listrik hingga
menimbulkan hubungan arus pendek. Selain dampak secara fisik, pemukiman
yang padat ini juga berdampak secara psikologis terhadap warga yang bertempat
tinggal dilokasi tersebut. Yang paling jelas adalah tingginya tingkat agresivitas
pada penduduk yang tinggal dikawasan padat penduduk, sehingga sering terjadi
peristiwa tawuran antar kampung. Permasalahan pemukiman ini semakin
19
https://news.detik.com/berita/d-1719181/perumahan-padat-penduduk-di-depan-
kecamatan-tambora-terbakar (diakses 21 Juli 2017 pukul 4:12 WIB)
15
diperparah oleh kondisi warganya yang sebagian besar tidak memiliki pekerjaan
yang layak dan kemampuan ekonomi yang cukup rendah.
Namun, pada kasus Tambora, jumlah penduduk tidak banyak berkurang
karena tambora memiliki nilai tambah. Sejarah mencatat, Tambora pernah
menjadi jantung kehidupan Jakarta saat bernama Batavia. Di sana ada kota tua
berupa deretan bangunan kantor zaman kolonial, gudang, toko, bahkan pabrik.
Seiring waktu, Tambora terus jadi magnet bagi orang-orang untuk meningkatkan
kesejahteraannya. “Selama memberi kehidupan, Tambora tidak akan ditinggalkan
biarpun kumuh,”ujar salah satu warga Tambora. Di balik masalah sosial tersebut,
sejatinya daerah ini memiliki potensi ekonomi yang besar. Tercatat transaksi di
kawasan perniagaan ini mencapai belasan miliar rupiah per hari. Angka ini bukan
dari mal eksklusif, tapi transaksi dari pedagang grosiran hingga pedagang kaki
lima (PKL).
Penduduk yang datang dari luar kota biasanya menetap di suatu daerah,
dan tinggal bersama dengan kerabat atau orang lain yang berasal dari daerah yang
sama. Sama halnya seperti kecamatan Tambora yang mayoritas penduduknya
berasal dari Provinsi Banten. Kebanyakan dari penduduk Tambora ini berkerja
sebagai wirausaha dibidang tekstil, seperti: Sablon, Konveksi, dan lain
sebagainya.20
B. Riwayat Hidup
Orang Betawi mengklasifikasikan penganjur agama ke dalam kriteria
pertama adalah Guru yaitu ulama yang mempunyai keahlian dalam suatu disiplin
ilmu tertentu, mempunyai otoritas untuk mengeluarkan fatwa dan memiliki
kemampuan mengajar kitab. Seorang Guru biasanya menghabiskan seluruh
waktuya di masjidnya saja, yang lazimnya di dekat masjidnya itu berdiri
kompleks madrasah. Guru tidak keluar dari lingkungannya karena orang-oranglah
yang mendatanginya. Kriteria berikutnya adalah Mualim. Seorang mualim itu
mempunyai otoritas untuk mengajarkan kitab tetapi belum memiliki otoritas
mengeluarkan fatwa. Seorang mualim mendatangi kelompok-kelompok pengajian
20
Dinas Komunikasi, Informatika dan Kehumasan Pemprov DKI Jakarta, 1995-2010
16
untuk mengajarkan kitab. Kriteria ketiga adalah ustadz. Ustadz mengakarkan ilmu
pengetahuan dasar agama termasuk membaca al-Quran.21
KH. Muhammad Mansur Al-Batawi atau biasa disebut Guru Mansur,
dilahirkan di Kampung Sawah, Jembatan Lima, Jakarta pada tahun 1295
Hijriyah/1878 Masehi. Beliau wafat pada tahun 1967 Masehi. Ayahnya bernama
Kyai Haji Abdul Hamid bin Muhammad Damiri. Pada zaman Haji Abdul Hamid
ini banyak pemuda-pemudi betawi yang belajar masalah-masalah agama
kepadanya, termasuk Guru Mansur yang banyak belajar dan dididik langsung oleh
ayahnya.
Guru Mansur juga mempunyai hubungan biologis dengan darah Mataram
dari garis ayah dapat ditemukan hubungan tersebut. Guru Mansur adalah putera
Imam Abdul Hamid bi Imam Muhammad Damiri bin Imam Habib bin Abdul
Mukhit. Abdul Mukhit adalah pangeran Tjokrodjojo Tumenggung Mataram.
Sejak kecil Guru Mansur sudah mulai tertarik dengan ilmu hisab atau ilmu falak,
disamping ilmu-ilmu agama lainnya. Sesudah ayahnya meninggal, Guru Mansur
belajar dari kakak kandungnya Kyai Haji Mahbub dan kakak misannya Kyai Haji
Tabrani. Guru Mansur juga pernah belajar kepada seseorang ulama dari Mester
Cornelis bernama Haji Mujtaba bin Ahmad sebelum pergi ke Mekah pada usia 16
tahun dan belajar di sana selama empat tahun.22
Pada tahun 1894, Guru Mansur berangkat ke Mekkah Beliau berguru
kepada Tuan Guru Umar Sumbawa. Beliau juga berguru kepada Guru Mukhtar,
Guru Muhyiddin, Syekh Muhammad Hayyath. Selain itu Guru Mansur juga
berguru dengan Sayyid Muhammad Hamid, Syekh Said Yamani, Umar al
Hadromy dan Syekh Ali al-Mukri.
Setelah mukim selama 4 tahun, Guru Mansur kemudian kembali ke tanah
air dengan terlebih dahulu singgah di Aden, Benggala, Kalkuta, Burma, India,
Malaysia dan Singapura. Sekembalinya di kampung halaman, Guru Mansur mulai
21
Ahmad Fadli HS, Ulama Betawi : (studi tentang jaringan ulama Betawi dan
konstribusinya terhadap perkembangan Islam abad ke-19 dan 20), H. 56 22
Tim Peneliti, Ulama-ulama Betawi Alumnus Mekah 1900-1950 dan Kiprah Mereka
dalam Penyiaran Islam di Jakarta. Jakarta: Fakultas Adab IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
1998, H. 131.
17
membantu ayahnya mengajar di madrasah Kampung Sawah. Sejak tahun 1907,
beliau mengajar di Jamiatul Khair, Kampung Tanah Abang.
Ilmu falak menjadi perhatian khusus bagi sang ulama cerdas ini. Ini timbul
karena keprihatinannya melihat masyarakat Betawi di sekitarnya sering tak sama
menetapkan awal Ramadhan dan Idul Fitri.
Sebelumnya, masyarakat setempat menggunakan metode melihat bulan
(rukyat) dan penghulu menentukan awal bulan dalam penanggalan Hijriyah.
Beduk di masjid pun akan dipukul bertalu-talu sebagai penanda bahwa Ramadhan
atau Syawal tiba. Cara ini memiliki banyak kekurangan, selain terlalu mendadak,
sering kali ia melihat banyak kalangan masyarakat tak mendengar suara beduk
dan tidak tahu bulan telah berganti. Akibatnya, mereka ini sering merayakan Idul
Fitri pada hari yang berbeda dengan yang lain. 23
Inilah yang membuatnya mempelajari lebih dalam tentang ilmu hisab.
Selain bisa memprediksi datangnya bulan Hijriyah lebih awal, juga bisa
menyeragamkan awal Ramadhan dan Idul Fitri pada semua masyarakat. Ini adalah
harapannya dari dulu. Ketika ia menjabat sebagai penghulu, ia pun selalu
mengumumkan lebih awal agar kabar awal bulan Hijriyah yang telah ditentukan
bisa tidak terlambat disebarkan. Selain mengenalkan cara baru menentukan awal
bulan Hijriyah, ia juga banyak melahirkan karya yang dijadikan pedoman oleh
ulama-ulama lain hingga sekarang.
Di antaranya, kitab Sullamun Nayyiroin, Khulasatul Jawadil, Mizanul
I'tidal, Jadwal Dawaa'irul Falakiyah, Majmu' Arba' Rasa'il Fii Mas'alatil Hilal,
Rub'ul Mujayyab, Mukhtashor Ijtima'un Nayyiroin, dan Kaifiyatul Amal Ijtimak,
Khusuf, wal Kusuf.
Setibanya di kampung halaman, ia mulai membantu ayahnya mengajar di
rumah. Bahkan ia sudah ditunjuk seabagai pengganti sewaktu-waktu ayahnya
berhalangan. Selain mengajar di tempatnya, beliau juga mengajar di Madrasah
Jam‟iyyah Khoir, Pekojan pada tahun 1907 Masehi. Kemudian diangkat menjadi
penasehat syar‟i dalam organisasi Ijtima‟-UI Khoiriyah. Pada tahun 1915, Guru
23
Ridwan Saidi, Profil Orang Betawi, Asal Muasal, Kebudayaan, Dan Adat Istiadatnya,
H. 200-206
18
Mansur diangkat menjadi penghulu daerah Penjaringan-Betawi dan pernah juga
menjabat sebagai Rois Nahdatul Ulama cabang Betawi ketika zamannya Kyai
Haji Hasyim Asy‟ari.
Cita-cita dan pengalaman Guru Mansur dalam mengamalkan ajaran-ajaran
agama islam telah dibuktikannya dengan jalan berdakwah, mendidik, dan
membina pemuda-pemudi harapan bangsa dan agama. Sebagai sasaran penunjang
cita-cita tersebut, beliau mendirikan sekolah, madrasah, dan pesantren, serta
majlis taklim.
Menurut informasi dari Kyai Haji Fatahillah (cicit Guru Mansur), tak ada
ulama lain pada masanya yang menguasai ilmu falak selain Guru Mansur. Di
samping berdakwah dengan lisan, beliau juga berdakwah dengan tulisan.
Guru Mansur terlibat langsung dalam perjuangan kemerdekaan. Ketika
Jakarta diduduki Belanda tahun 1946, Guru Mansur memerintahkan agar di
menara mesjid Jembatan Lima dikibarkan bendera merah putih. Belanda
memerintahkan bendera diturunkan, Guru Mansur menolak. Tentara Belanda
menembaki menara mesjid. Guru Mansur tidak berubah pendirian. Guru Mansur
wafat pada tanggal 12 Mei 1967. Jenazahnya dimakamkan di halaman mesjid
Jembatan Lima. Orang Betawi senantiasa ingat akan pesannya.24
C. Murid-murid Guru Mansur
Peran Guru Mansur dalam dunia pendidikan cukup signifikan. Beliau
mengajar di Madrasah Jam‟iyyah Khoir, Pekojan tahun 1907. Dalam prosesnya
tersebut beliau mendidik beberapa murid secara khusus di antaranya adalah: KH.
Mu‟alim Rojiun Pekojan (mendalami ilmu falak darinya dan kemudian diangkat
menjadi mantu), Syekh KH. Muhadjirin Amsar Ad-Dary (Ahli Falak dari Bekasi),
Mu`allim Rasyid (KH. Abdul Rasyid, Tugu Selatan, Jakarta Utara), dan Muallim
KH. M. Syafi`I Hadzami. Keempat murid tersebut menjadi ulama betawi yang
cukup diakui di kalangan masyarakat betawi. 25
24
http://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/14/01/05/myw1qt-kh-
mohammad-mansur-ulama-cerdas-pahlawan-jakarta (diakses, 20 Desember 2017 pukul 23:59) 25
Ridwan Saidi, Profil Orang Betawi, Asal Muasal, Kebudayaan, Dan Adat Istiadatnya.,
H. 84
19
1. Mu’alim Rojiun Pekojan
Nama lengkap Mu`alim Rojiun Pekojan atau Rojiun adalah Mohammad
Rojiun bin Abdurrahim bin Muhammad Nafe bin Abdulhalim. Beliau lahir di
Kebon Sirih, Jakarta Pusat. Menghabiskan masa mudanya untuk menimba ilmu
dari beberapa ulama Betawi, diantara Guru Manshur Jembatan Lima dan Guru
Abdul Madjid Pekojan, sampai pada akhirnya bersama sang adik, Hasanat, pergi
ke Mekkah untuk memperdalam ilmu agama. Ia hobi bermain sepak bola.
Perkenalannya dengan dunia sepak bola terjadi ketika Perang Dunia II mulai
pecah yang memutuskan jalur laut dan otomatis memutuskan kiriman uang dari
tanah air. Untuk menyambung hidup, beliau akhirnya menjadi pemain sepak bola
di kesebelasan Nejed. Hasil dari bermain bola ini bukan untuk dinikmatinya
sendiri tetapi juga dibagikan kepada puluhan teman-teman dan mukimin dari
pelosok Nusantara, di antara temannya tersebut yang menjadi ulama Betawi
terkemuka adalah KH. Noer Alie, pahlawan nasional dari Bekasi.
Setelah belasan tahun di Mekkah, Mu`allim Rojiun kembali ke tanah air
dan bergabung dengan beberapa teman serta juniornya di Jam`iyatul Qurro wal
Huffazh, organisasi yang menaungi para qori dan penghafal al-Qur`an, antara lain:
KH. Tb. Mansur Ma`mun, KH. Shaleh Ma`mun Serang, Banten, KH. Abdul
Hanan Said, KH. Abdul Aziz Muslim. Beliau juga aktif di NU (Nahdlatul Ulama).
Beliau juga bersahabat karib dengan KH Abdullah Syafi`i (pendiri pergururuan
Asy-Syafi`iyyah) dan KH Thahir Rohili (pendiri perguruan Ath-Thahiriyah).
Karirnya di birokrasi adalah menjadi Penasihat Ahli Bidang Agama Menteri
Utama Bidang Kesra RI yang ketika itu dijabat oleh Dr. KH. Idham Cholid.
Mu`alim Rojiun juga memiliki jiwa kewirausahaan yang kuat, karena jika
dirunut, beliau memiliki darah keturunan petani dan pedagang kembang di Rawa
Belong. Namun usaha jual beli kuda yang basis peternakannya di Sumbawa, Nusa
Tenggara Barat menjadi pilihannya. Sambil berdagang, beliau juga bertabligh
hingga ke wilayah Waingapu, Nusa Tenggara Timur yang pengaruhnya masih
20
terasa di sana sampai sekarang. Aktifitas tablighnya juga dilakukan di Jakarta
sampai ke Kepulauan Seribu.26
Selain bertabligh, beliau juga mengajar di Masjid Al-Makmur, Tanah
Abang dan di daerah Pekojan, Jakarta Barat. Keberadaannya di Pekojan ini karena
beliau memiliki istri seorang syarifah (perempuan terhormat keturunan Arab) dari
Pekojan yang bernama Chadidjah, walau tidak dikaruniai keturunan. Beliau
memperoleh keturunan ketika menikah dengan R. Hj. Siti Maryam yang salah
seorang anaknya meneruskan kiprah keulamaannya, yaitu KH. Prof. Dr.
Abdurrahim Rojiun yang juga mengaji kepadanya.
Kealiman dan penguasaan beliau terhadap kitab kuning dikenal luas oleh
masyarakat Betawi. KH. Zainuddin MZ dan mu`alim KH. Syafi`i Hadzami pun
menjadi muridnya. Beliau juga dikenal sebagai ulama yang tawaddu`
sebagaimana yang diungkapkan oleh KH. Drs. Saifuddin Amsir dan juga oleh Dr.
Habib Sechan Shahab, salah seorang muridnya yang pernah mengaji Kitab Tafsir
Jalalain kepada beliau. Relasinya yang kuat dengan berbagai pihak di Timur
Tengah juga memberikan manfaat kepada putra-putra terbaik Betawi yang ingin
memperdalam ilmu di Timur Tengah, salah satunya adalah KH. Amin Noer, Lc.,
MA Ketua Umum MUI Bekasi, putra dari KH. Noer Alie, yang dibantu mu`alim
Rojiun untuk dapat kuliah di Mesir. Beliau juga tercatat sebagai ulama Betawi
yang duduk sebagai anggota Konstituante dan memperoleh kepercayaan untuk
menjadi Imam Shalat Jum`at pertama di masjid Istiqlal bersama Presiden RI Ir.
Soekarno.27
2. KH. Muhammad Muhadjirin Amsar Ad-Dary
Syaikh KH. Mohammad Muhadjirin Amsar Ad-Dary dilahirkan di
Kampung Baru Cakung, sebuah daerah di pinggir kota Jakarta pada tanggal 10
November 1924. di Kampung Baru inilah ia menghabiskan masa kecilnya dengan
belajar mengenal huruf Arab sampai dengan membaca Al-Qur`an. Menurut
26
Jakarta Islamic Center. Geneologi Ulama Betawi (Melacak jaringan ulama betawi
abad 19-21). Jakarta: Pusat Pengkajian dan Pengembangan Islam Jakarta, JIC. 2011. H. 65 27
Jakarta Islamic Center, Geneologi Ulama Betawi (Melacak jaringan ulama betawi
abad 19-21), H. 66
21
penuturan putranya, Ustadz Muhammad A`iz, Nama Ad-Dary diambil dari nama
tempat mukimnya di Makkah.28
Menginjak remaja dan selama di tanah air, ia menuntut ilmu kepada
kepada banyak guru, yaitu: Guru Asmat (Kampung Baru, Cakung), H.
Mukhoyyar, mu`allim H. Ahmad, mu`allim KH. Hasbialloh (pendiri Yayasan Al-
Wathoniyah), mu`alim H. Anwar, H. Hasan Murtaha, syekh Muhammad Tohir,
Ahmad bin Muhammad murid dari Syekh Mansyur Al-Falaky, KH. Sholeh
Ma`mun (Banten), Syeikh Abdul Majid, dan Assayyid Ali bin Abdurrahman Al-
Habsyi. Kemudian, ia melanjutkan pendidikan formalnya di Daarul Ulum Ad-
Diniyah, Makkah Al-Mukaromah, Arab Saudi dari tahun 1949 sampai dengan
tahun 1955. Selama di Mekkah, ia juga mengikuti pendidikan di Masjidil Haram
dan setiap musim panas di Masjid Nabawi.
Sumbangan pemikirannya yang paling berharga adalah dalam hal ilmu
falak. Ia membuat teknologi dan tempat rukyatul hilal sendiri untuk melihat
penampakan hilal (bulan sabit pertama) sesaat sesudah matahari terbenam sebagai
tanda dimulainya hari pertama dari bulan-bulan dalam kalender hijriyah atau
untuk menentukan hari raya, seperti Idul Fitri dan Idul Adha. Pelaksanaan
rukyatul hilal dengan alat buatannya, terutama untuk menentukan awal
Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha dilakukan bersama rekan-rekannya selama
bertahun-tahun bertempat di Gedung Lajnah Falakiyah, Cakung, Jakarta Timur.
Hasil pengamatannya lambat laun menjadi rujukan banyak pihak, terutama umat
Islam yang berada di sekitar Cakung dan Bekasi.
Bahkan pada bulan Februari 2002, penetapan awal bulan Dzulhijah 1422H
untuk menentukan Idul Adha pada sidang itsbat yang dipimpin Menteri Agama
Prof.Dr.H. Said Agil Husein Almunawar di Departemen Agama, di Jakarta dan
dihadiri anggota Badan Hisab Rukyat Departemen Agama, wakil-wakil dari
organisasi massa Islam, Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan instansi terkait
seperti Badan Meteorologi dan Geofisika, Dinas Hidro Oceanografi Mabes TNI
Angkatan Laut, dan Planetarium Jakarta didasarkan pada hasil rukyatul hilal Tim
28
Rakhmad Zailani Kiki, Seri Ulama Betawi Mu`allim Radjiun, Tabloid Republika Dialog
Jumat. Jum`at, 22 Februari 2008, hal. 15.
22
Cakung (santri-santri binaan KH. Mohammad Muhadjrin Amsar Ad-Dary). Yang
mengagumkan, hasil rukyatul hilal Tim Cakung ini sesuai dengan hasil hisab yang
dilakukan oleh berbagai lembaga atau ormas Islam, antara lain Almanak Menara
Kudus, Almanak Muhammadiyah, Persis dan Al Irsyad, kalender Ummul Quro
Makkah, Kalender PBNU, dan Kalender DDII (Dewan Dakwah Islamiyah
Indonesia). Setelah beliau wafat pada tanggal 31 Januari 2003, Tim Cakung yang
setia mengikuti ajaran falaknya tetap eksis dan masih menjadi rujukan di tingkat
lokal maupun nasional. Selain itu, Gedung Lajnah Falakiyah, Cakung diakui
sebagai salah satu dari Pos Observasi Bulan (POB) di Indonesia.
3. Mu’alim Rasyyid
Nama lengkapnya adalah KH. Abdul Rasyid Ramli, lahir dari pada tahun
1922 di Kampung Mangga, Tanjung Priok dari keluarga sederhana. Ayahnya
bernama H. Ramli bin H. Sa`inan dan ibunya bernama Hj. Jahariah binti H. Jahari
(dikenal dengan nama Guru Ja`ang). Ayahnya pernah bermukim di kota Makkah,
Arab Saudi selama tiga tahun untuk mengaji dan sekembalinya ke tanah air, ia
menikah dan pasangan ini menjadi guru mengaji di kampungnya.
Di masa kecil, orang tuanya menyerahkan Rasyid “kecil” kepada Tuan
Guru Nausin untuk mengaji sampai usia baligh. Selesai mengaji dari Tuan Guru
Nausin, ia melanjutkan mengaji sekaligus mondok di Madrasah Islam Wal Ihsan
yang dipimpin dan diasuh oleh KH. Abdul Salam bin H. Hasni yang dikenal oleh
masyarakat Betawi dengan nama panggilan Guru Salam Rawa Bangke (kini Rawa
Bunga), Jatinegara selama 6 tahun.
Selesai mondok di Rawa Bangke, Mu`allim Rasyid meneruskan perjalanan
ngajinya di Musholla Bapak Ni`ung, Sindang, Tanjung Priok dengan pengajarnya
Guru Abdul Madjid Tanah Abang, Kyai Usman Perak dan Mu`allim Thabrani
Paseban. Mu`alim Rasyid juga mengaji kepada Mu`alim Arfan Baroja Pekojan,
al-Habib Ali Bin Abdurrahman al-Habsyi Kwitang, KH. Abdullah Syafi`i, KH.
Zahruddin Ustman, KH. Hasbiallah Klender, KH. Noer Alie Bekasi dan Guru
Mansur Jembatan Lima.29
29
Jakarta Islamic Center, Geneologi Ulama Betawi (Melacak jaringan ulama betawi
abad 19-21), H. 67
23
Pada saat ia mengaji di Guru Mansur Jembatan Lima terjadi peristiwa
bersejarah yang menjadikannya saksi hidup dan peristiwa ini sering dijadikannya
bahan cerita saat berbincang-bincang dengan para kyai dan ustadz, seperti kepada
KH. Saefuddin Amsir. Yaitu, berkunjungnya hadratus syeikh KH. Hasyim
Asy`ari, pendiri dan tokoh NU, ke kediaman Guru Mansur Jembatan Lima untuk
berkonsultasi karena beliau berniat untuk meninggalkan NU. Guru Mansur
kemudian memberikan saran agar KH. Hasyim Asy`ari tidak meninggalkan NU.
Pada masa tuanya sampai ia sakit pun, ia masih terus mengaji dengan al-Habib
Syekh Al-Jufri Al-Fudhola, di Jalan Dobo, Jakarta Utara, Mu`allim KH. Syafi`i
Hadzami di Kebon Nanas yang kemudian berpindah tempat di Kali Malang
Jakarta Timur, al-Habib Ali Bin Abdurrahman As-Segaf di Majelis Ta`lim Al-
Afaf, Tebet, Jakarta Selatan.
Selain mencintai ilmu, Mu`alim Rasyid pun peduli akan pendidikan untuk
generasi penerus. Di saat mudanya, ia mulai membuka madrasah yang diberi
nama sama dengan yang dimiliki oleh Guru Salam, yaitu Madarasah Islam Wal
Ihsan. Ia juga membimbing dan mengasuh majelis ta‟lim-majelis ta‟lim untuk
kaum ibu dan bapak yang semuanya berjumlah 20 buah dan tersebar di wilayah
Tanjung Priok. Kemudian, ia mewakafkan tanahnya seluas 5000 M2 untuk
pendidikan formal dengan badan hukum yayasan yang bernama Yayasan Ar-
Rasyidiyyah yang resmi berdiri pada tahun 1976 di daerah Kampung Mangga,
Tugu Selatan, Jakarta Utara. Pada saat ini, Yayasan Ar-Rasyidiyyah telah
menyelenggarakan TK Islam, Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah,
Madrasah Aliyah, Madrasah Diniyah dan Majelis Ta`lim yang digelar setiap
malam Ahad dibawah bimbingan KH. Fachrurrozi Ishaq dan KH. Drs. Saifuddin
Amsir.30
Selain berkarya di bidang pendidikan, ia juga seorang penulis yang
produktif dalam bidang Ilmu Tajwid dan tulisan-tulisan khutbah yang semuanya
di dalam bahasa Arab Melayu. Kini, tulisan-tulisannya yang berupa manuskrip
yang berjumlah 30 (tiga puluh) buah tersimpan di Jakarta Islamic Centre (JIC),
30
Jakarta Islamic Center. Geneologi Ulama Betawi (Melacak jaringan ulama betawi
abad 19-21) H. 67
24
sebagian lagi masih berada di tangan ahli waris. Ia wafat di kediamannya di
Kampung Mangga, Tugu Selatan, Jakarta Utara pada hari Sabtu jam 21.05 WIB,
tanggal 5 Safar 1427 H atau bertepatan dengan tanggal 4 Maret 2006 di usia 84
tahun dengan meninggalkan seorang istri, 6 orang anak, 16 cucu dan 3 cicit. Kini,
perjuangan beliau diteruskan oleh putranya, KH. Achmad Habibi HR, yang
sekaligus salah seorang murid Betawinya.
4. Mu`alim KH. M. Syafi`i Hadzami
Pada 7 Mei 2006, umat Islam di Ibukota, khususnya masyarakat Betawi,
kehilangan sosok ulama besar yang sampai hari ini sulit dicarikan tandingannya.
Beliau adalah Mu‟alim KH. M. Syafi‟i Hadzami. Gelar mu‟alim dan juga
`allamah yang disandangnya menunjukkan betapa almarhum menempati posisi
yang begitu terhormat dalam hirarki keulamaan di Betawi. Gelar-gelar keulamaan
yang disandangnya tersebut bukan semata karena beliau pernah menjabat Ketua
Umum MUI DKI Jakarta selama dua periode dan rajin mengeluarkan fatwa, tetapi
beliau merupakan sedikit ulama yang cukup produktif menulis di bidang qira`at,
ushul fiqih, dan fiqih di mana karya-karya beliau diakui kualitasnya sampai ke
negeri tetangga.
Murid-murid dari Guru Manshur merupakan tokoh berpengaruh di
wilayahnya, oleh karena itu betapa berjasanya keilmuan Guru Manshur dalam
mengajarkan ilmu yang diberikan kepada murid-muridnya.
25
BAB III
PERAN GURU MANSHUR DALAM PERKEMBANGAN ISLAM DI
TAMBORA JAKARTA
A. Perkembangan Keilmuan
Seperti yang sudah penulis jelaskan di bab sebelumnya, bahwa Guru
Manshur adalah seorang yang ahli dalam ilmu falak di kalangan Ulama Betawi.
Kata falak sendiri berasal dari bahasa Arab yang mempunyai persamaan dengan
kata Madar yang dalam bahasa Inggris disebut ”Orbit” yang bisa diartikan sebagai
lingkaran langit atau cakrawala. Kata Falak juga disebutkan dalam Al-Qur‟an
sebanyak dua kali, yakni Q. S. Anbiya‟: 33 yang berbunyi:
وهى الّذي خلق الليل والنّهار والّشمس والقمز مّل فً فلل يسبحىن
Yang artinya : “Dan dialah yang menciptakan malam dan siang, matahari
dan bulan, masing-masing dari keduanya itu beredar di dalam garis edarnya”.31
Dan Q. S. Yaasin: 40 yang berbunyi:
نبغً لها أن تدرك القمز وال الليل سابق النّهار ومّل فً فلل يسبحىنال الّشمس ي
Yang artinya : “Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan
malampun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis
edarnya”.32
Dari kedua ayat di atas jelas bahwa kata Falak secara etimologis
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan kata garis edar atau orbit.
Sedangkan secara terminologi, dapat dikemukakan beberapa rumusan, antara lain:
Kamus Besar Bahasa Indonesia; mengartikan bahwa ”Ilmu Falak” adalah:
“ilmu pengetahuan mengenai keadaan (peredaran, perhitungan dan
sebagainya) bintang-bintang.”33
Sedangkan menurut Badan Hisab Rukyat Departemen Agama dalam
bukunya Almanak Hisab Rukyat menyebutkan bahwa Ilmu Falak adalah:
“Ilmu pengetahuan yang mempelajari lintasan benda langit seperti
matahari, bulan, bintang-bintang, dan benda-benda langit lainnya dengan tujuan
31
Q. S. Anbiya’, ayat 33 32
Q. S. Yassin, ayat 40 33
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi ke IV : Kementrian Pendidikan dan Budaya.
26
mengetahui posisi benda-benda langit itu serta kedudukannya dari benda-benda
langit lainnya.”34
Dari pengertian tersebut di atas dapat ditarik pengertian bahwa secara
umum ilmu falak merupakan cabang ilmu praktis yang mempunyai objek formal
benda-benda langit, khususnya matahari, bumi dan bulan dengan objek material
berupa garis edar atau orbit masing-masing dan sasaran fungsionalnya adalah
mendukung salah satu syarat dalam beribadah kepada Allah SWT.
Istilah ilmu falak dapat disejajarkan dengan istilah Practical Astronomu
(Astronomi Praktis) yang terdapat dalam dunia astronomi. Dinamakan demikian
karena hasil perhitungan dari ilmu ini dapat dipraktekkan atau dimanfaatkan
manusia dalam kehidupan sehari-hari. Dinamakan juga Ilmu Hisab karena
kegiatan yang menonjol dari ilmu ini ialah menghitung kedudukan ketiga benda
langit di atas.
Ilmu falak sendiri dipelajari oleh Guru Manshur karena terjadi perbedaan
waktu ibadah di masyarakat, seperti perbedaan waktu sholat, perbedaan waktu
bulan Ramadhan, dan perbedaan merayakan hari raya Idul Fitri dan Idul Adha.
Pada saat itu beberapa masyarakat melaksanakan ibadah puasa dengan waktu
yang berbeda-beda, ada yang lebih dahulu, dan ada yang keesokan harinya, hal
tersebut tentu berdampak pada hari Idul Fitri, sama seperti melaksanakan puasa
ada yang lebih dahulu dan ada yang keesokan harinya, maka dari itu Guru
Manshur mempelajari ilmu falak untuk mengurangi tingkat perbedaan waktu
ibadah bagi masyarakat Jakarta khususnya masyarakat betawi.35
Manfaat ilmu falak yang dipelajari oleh Guru Manshur masih berpengaruh
hingga sekarang seperti salah satu contohnya adalah seorang cucunya, KH
Fatahillah Ahmadi, yang menyusun kalender hisab Al-Manshuriyah dimana
susunan tersebut bersumber dari hasil pemikiran Guru Manshur. Kini, kalender
hisab Al-Mansuriyah masih tetap eksis dan digunakan, baik oleh murid-muridnya
maupun oleh sebagian masyarakat Betawi maupun umat Islam lainnya di sekitar
34
Hisab dan Rukyat, Jakarta : Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah
(Departemen Agama). 2013. 35
Tim Peneliti, Ulama-ulama Betawi Alumnus Mekah 1900-1950 dan Kiprah Mereka
dalam Penyiaran Islam di Jakarta, H. 132.
27
Jabotabek, Pandegelang, Tasikmalaya, bahkan sampai ke Malaysia. Kitab
karangannya yang terkenal sampai sekarang ini adalah Sullamunnairain.36
Kitab falak yang menjadi rujukan dan dipelajari di sebagian pesantren di
tanah air, bahkan sampai di negara tetangga. Ustadz Djabir Chaidir Fadhil,
muballigh Betawi yang sering diundang ke beberapa negara bagian di Malaysia,
mengatakan bahwa kitab Sullam An-Nayrain sampai hari ini masih dipelajari di
majelis di negara bagian Terengganu, Malaysia bahkan dijadikan rujukan oleh
ulamanya melihat hilal untuk menentukan awal puasa, `Idul Fitri, dan 1
Dzulhijjah.37
B. Pendidikan dan Guru-gurunya
Guru Manshur mendapat didikan pertama kalinya dari orangtuanya
langsung yang seorang ulama, beliau sangat taat sekali dengan kedua orang
tuanya. Sejak mulai belajar telah tampak hasrat dan keinginan yang keras untuk
menggali ilmu sebanyak-banyaknya, maka ia datangi sendiri beberapa orang guru
antara lain kakaknya sendiri Haji Imam Mahbub, Imam Thabrani dan Imam
Mujtaba Mester.
Semasa mudanya sudah sangat tertarik dengan ilmu hisab dan falak.
Ketika usia beliau 16 tahun tepatnya pada tahun 1894 M/1311 H beliau pergi
bersama bundanya ke Mekkah untuk menunaikan rukun Islam yang ke lima dan
bermukim disana selama 4 tahun. Selama bermukim di Mekkah beliau berguru
kepada sejumlah ulama, anta lain Syekh Mukhtar Atharid Al-Bogori, Syekh Umar
Bajunaid Al-Hadrami, Syekh Ali Maliki, Syekh Said Al-Yamani dan Syekh Umar
Sumbawa. Gurunya yang terakhir ini pernah mengangkatnya sebagai sekretaris
pribadi, karena dianggap cakap dan rapi serta tertib tulisannya. Dalam hal
36
Jakarta Islamic Center, Geneologi Ulama Betawi (Melacak jaringan ulama betawi
abad 19-21), H. 69 37
JIC pernah mengadakan Seminar “Kontribusi Ulama Betawi Terhadap Hisab dan
Rukyat (Guru Manshur Jembatan Lima dan KH. Muhammad Muhadjirin Amsar Ad-Dary)” di
Aula Serba Guna JIC, 11 September 2007. Pada kesempatan tersebut, Dr. T. Djamaluddin selaku
astronom modern dari LAPAN (Lembaga Penerbangan Dan Antariksa Nasional), Bandung, selaku
pembicara, memberikan apresiasi kritis terhadap kitab Sullamunnairain.
28
menuntut ilmu, Guru Manshur dikenal sebagai orang yang sangat mementingkan
silsilah intelektual.
Ilmu yang dipelajari Guru Manshur merupakan ilmu standar dunia Islam
saat itu dengan referensi yang juga standar. Beliau mendalami ilmu Al-Qur‟an
dengan memperoleh mandat untuk mengajarkan tiga jenis bacaan (qiraat), yakni
bacaan Al-Qur‟an versi Hafsh, Warasy dan Abi Amr. Beliau juga mendalami ilmu
Fikih (yurisprudensi Islam) ilmu Ushulul Fikih (legal maxims) beberapa cabang
ilmu bahasa arab, Tafsir Al-Qur‟an, Hadist, serta ilmu falak (Hisab) sehingga di
tanah air kelak beliau dikenal sebagai ahli ilmu ini.38
C. Perjuangannya Terhadap Kemerdekaan Indonesia
Pada tahun 1946 pusat negara dan pemerintahan telah dipindahkan ke
Yogyakarta karena ibukota diduduki oleh pasukan Nederlandsch Indië Civil
Administratie atau Netherlands-Indies Civil Administration (NICA)39
yang ingin
berkuasa lagi setelah bangsa Indonesia telah menyatakan kemerdekaannya sejak
17 Agustus 1945.
Namun, tidak semua pejuang telah meninggalkan Jakarta. Masih ada
sejumlah tokoh berpengaruh yang bertahan, termasuk demi harga diri dan
martabat masyarakat Betawi meskipun setiap saat harus menghadapi risiko tinggi.
Salah satunya adalah KH. Muhammad Manshur atau yang lebih akrab disapa
dengan nama Guru Manshur. Guru Manshur adalah sosok ulama berpengaruh
yang berdiri mantap di belakang panji-panji republik. Menjelang kemerdekaan
Indonesia, ia menaikkan bendera merah putih, lalu menganjurkan kepada
masyarakat Betawi dan umat Islam untuk melakukan hal serupa. Persatuan umat
demi menegakkan dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia
menjadi salah satu fokus utama Guru Mansur saat itu. Ia terkenal dengan slogan
atau seruannya yang melegenda “rempug”.
38
H. Fatahillah Ahmadi, Metode Perhitungan Awal Bulan Qomariyah (Sistem
Sullamunnairain KH. Muhammad Mansur), Lembaga Falakiyah-Hisab Al-Mansuriyah, Jakarta
2010, H. 3 39
NICA merupakan organisasi semi militer yang dibentuk pada 3 April 1944 yang
bertugas mengembalikan pemerintahan sipil dan hukum pemerintah Hinda Belanda selepas
kapitulasi pasukan pendudukan Jepang di wilayah Hindia Belanda seusai Perang Dunia II.
29
Rempug merupakan kata dalam bahasa Betawi yang bermakna “kompak”,
“berkumpul”, atau “bersatu”. Untuk mengobarkan semangat umat Islam, bangsa
Indonesia khususnya masyarakat Betawi yang memang menjadi barisan utama
pendukung perjuangannya.
Guru Manshur tidak hanya bertahan, melainkan terus berusaha sebagai
wujud perlawanannya terhadap pemerintahan kolonial Belanda. Pada tahun 1948,
ia dengan memasang dan menaikkan bendera merah putih di menara Masjid
tempatnya bermukim, Masjid Jami Al-Mansur di Kampung Sawah. Hal ini
membuat pemerintah kolonial Belanda melakukan sebuah tindakan keras.
Setelah hal tersebut Guru Manshur harus berurusan dengan aparat
kepolisian atas perbuatan nekatnya tersebut. Sang ulama tetap bergeming, tidak
ingin menurunkan bendera kebesaran Indonesia di bawah ancaman senjata hingga
akhirnya ditahan, Setelah sempat menahan Guru Manshur, pemerintah kolonial
Belanda sebenarnya harus berpikir panjang sebelum mengambil tindakan yang
lebih tegas terhadapnya. Apabila itu dilakukan, kemungkinan besar akan memicu
perlawanan yang besar dari masyarakat Betawi dan umat Islam. 40
Oleh karena itu pemerintah kolonial Belanda mencoba segala cara untuk
membujuk Guru Manshur agar bersikap kooperatif dan bersedia bekerjasama.
Pada akhirnya pemerintah kolonial Belanda menawarkan imbalan berupang uang,
dan ditolak dengan tegas oleh Guru Manshur.
Tak hanya di era kemerdekaan saja Guru Mansur menentang Belanda.
Jauh sebelumnya, ketika pemerintah kolonial Hindia Belanda masih berkuasa
penuh di Indonesia, berkali-kali Guru Mansur melakukan tindakan yang tidak
berkenan bagi kaum penjajah. Pada tahun 1925, pemerintah kolonial di Batavia
bermaksud membongkar Masjid Cikini. Rencana itu tentu saja mendapat reaksi
keras dari umat Islam. Guru Manshur menjadi motor perjuangan untuk
menggagalkan pembongkaran masjid tersebut.41
Gerakan protes yang digalang
Guru Manshur ternyata berhasil. Dengan mempertimbangkan berbagai aspek,
rencana dibongkarnya Masjid Cikini oleh pemerintah kolonial Belanda itu pun
40
Alwi Shihab, Betawi Queen of The East. Jakarta : Republika, 2004, H. 43 41
Tawalinudin Haris, Kota dan Masyarakat Jakarta : Dari Kota Tradisional ke Kota
Kolonial (Abad XVI-XVIII), Jakarta: Wedatam Widya Sastra, 2007. H. 103
30
akhirnya tidak dilakukan. Pada periode waktu yang sama atau masa yang disebut
sebagai era pergerakan nasional, Guru Manshur juga gencar mendesak pemerintah
kolonal agar hari Jumat ditetapkan sebagai hari libur bagi umat Islam.42
Di dalam melaksanakan dakwah tidak terlepas pula hambatan dan
rintangan Guru Manshur, sekaligus dalam melaksanakan dakwahnya yaitu
“ketidak mampuan ulama-ulama betawi terdahlu yang ingin memberikan
pengajaran kepada masyarakat selama penjajahan berlangsung secara menyeluruh
dan keterbatasan waktu”.
42
Ridwan Saidi. Profil Orang Betawi, Asal Muasal, Kebudayaan, Dan Adat Istiadatnya.
H. 84
31
BAB IV
KEISTIMEWAAN GURU MANSHUR
A. Ilmu Falak
Imu faka atau yang disebut juga dengan ilmu hisab43
, merupakan ilmu
yang berperan penting dalam kehidupan umat Islam. Karena dengan mempelajari
ulmu falak umat Islam dapat memastikan kemana arah kiblat suatu tempat di
permukaan bumi, dengan ilmu falak umat Islam juga dapat memastikan awal
waktu sholat dan dengan ilmu falak dapat mempermudah orang yang sedang
melakukan Rukyah al-Hilal untuk mengetahui dimana posisi hilal berada sebagai
penanda mulai masuknya awal bulan qamariyah.
Mempelajari Ilmu falak pada dasarnya mempunyai dua kepentingan yang
saling berkaitan, Pertama untuk penguasaan dan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Kedua, untuk keperluan yang berkaitan dengan ibadah
sehari-hari umat Islam, mulai adri penentuan arah kiblat, pembuatan jadwal waktu
shoalat, pembuatan kalender hijriyah, penentuan awal bulan qamariyah, seperti
awal Ramadhan dan awal Syawal maupun Idul Adha (10 Dzulhijjah) bahkan
sampai prediksi kapan waktu terjadinya gerhana saat umat muslim diperintahkan
untuk melaksanakan sholat gerhana ( Kusuf dan Khusuf ).
Begitu pula yang dilakukan KH. Muhammad Manshur dalam menerapkan
metode Ilmu falak. Karena Guru Manshur memiliki dasar kelimuan tersebut dari
ayahnya.
Menurut bahasa, falak artinya orbit atau perdearan/lintasan benda-benda
langit, sehingga ilmu falak adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari lintasan
benda-benda langit khususnya bumi, bulan dan matahari pada orbitnya masing-
43
Hisab mempunyai arti menghitung. Karena kegiatan yang paling menonjol dalam ilmu
ini adalah menghitung. Namun, menurut Ahmad Izzudin ilmu ini lebih tepat jika disebut dengan
imu husab rukyah, karena pada dasarnya Ilmu falak menggunakan dua pendekatan kerja ilmiah
yaitu pendekatan hisab (menghitung) dan pendekatan rukyat (observasi). Lihat Ahmad Izzudin,
Ilmu Falak Praktis, Semarang; Komala Grafika, 2006, h 1
32
masing dengan tujuan untuk diketahui posisi benda langit tersebut antara satu
dengan yang lainnya agar dapat diketahui waktu-waktu di permukaan bumi.44
Bahasan Ilmu Falak yang dipelajari dalam Islam adalah yang ada
kaitannya dengan pelaksanaan ibadah, sehingga pada umumnya Ilmu Falak ini
mempelajari 4 bidang, yaitu45
:
1. Arah kiblat dan bayangan arah kiblat
2. Waktu-waktu sholat
3. Awal bulan hijriyyah
4. Gerhana matahari dan bulan
Ilmu falak membahas arah kiblat pada dasarnya adalah menghitung
besaran sudut yang diapit oleh garis meridian yang melewati suatu tempat yang
dihitung arah kiblatnya dengan lingkaran besar yang melewatu tempat yang
bersangkutan dengan Ka‟bah, serta menghitung jam berapa matahari itu
memotong jalur menuju Ka‟bah.
Sedangkan Ilmu falak membahs waktu-waktu sholat pada dasarnya adalah
menghitung tenggang waktu antara ketika matahari berada di titik kulminasi atas46
dengan waktu ketika matahari berkedudukan pada awal waktu-waktu sholat.
Pembahasan awal bulan dalam Ilmu falak adalah menghitung waktu
terjadinya ijtima‟ (konjungsi) yakni posisi matahari dan bulan berada pada satu
bujur astronomi, serta menghitung posisi bulan ketika natahari terbenam pada hari
terjadinya konjungsi itu.
Analisa tentang Ilmu falak pada hakikatnya merupakan segenap apa yang
diketahui tentang suatu objek tertentu, termasuk kedalamnya adalah ilmu, jadi
ilmu merupakan bagian dari pengetahuan yang diketahui oleh manusia disamping
sebagai pengetahuan lainnya seperti seni dan agama. Pengetahuan merupakan
44
Muhyidin Khazin, Ilmu Falak Toeri dan Praktik, Buana Pustaka, Yogyakarta : 2004, h
3 45
Ibid, h 4 46
Kulminasi : melintasnya sebuah benda langit di garis yang menghubungkan titik utara
dan selatan. Kulminasi terdiri atas dua jenis, kulmunasi atas yaitu ketika benda langit melintasi
garis yang menghubungkan titik utara, zenith, dan titik selatan (berada di atas horison) dan
kuminasi bawah yaitu ketika benda langit melintasi garis yang menghubungkan titik utara, nadir,
dan titik selatan (berada di bawah horison).
33
khsaanah kekayaan mental yang secara garis besar patut diamalkan kepada orang
lain.
Ilmu falak sebagai sebuah disiplin ilmu, bisa dilihat dari dua sisi, sisi
pertama ilmu falak sebagai ilmu pengetahuan, yang secara epistimologi
menggunakan metode ilmiah dalam penyusunan, dengan kata lain metode ilmiah
adalah cara yang dilakukan ilmu dalam menyusun mpengetahuan yang benar. Di
sisi lain Ilmu falak sebagai sebuah ilmu rumpun syari‟ah, dimana dalam
pembahasannya menyangkut masalah-masalah hukum yang ada kaitannya dengan
peribadatan umat muslim, seperti waktu-waktu sholat, waktu pelaksanaan puasa
wajib, waktu pelaksanaa haji dan lain-lain yang bersumber dari Al-Qur‟an dan
As-Sunah.
Para ulama berbeda pendapat tentang definisi As-Sunah menurut syara
karena perbedaan disiplin ilmu mereka dan perbedaan objek pembahasannya,47
diantaranya adalah :
1. Menurut ulama hadits As-Sunah adalah sesuatu yang disandarkan
kepada Nabi saw, sahabat, tabi‟in, baik berupa ucapan, perbuatan,
pengakuan maupun sifatnya.
2. Menurut ulama ushul, As-Sunah adalah semua yang dikaitkan dengan
Nabi saw, selain Al-Qur‟an bak berupa ucapan, perbuatan ataupun
pengakuannya yang berkaitan dengan dalil syar‟i, sebab yang menjadi
objek pembahasan mereka dalah dalil-dalil syara.
3. Menurut ulama fiqh As-Sunah adalah suatu yang telah terbukti dari
Nabi saw, bukan termasuk pengertian fardhu atau wajib dalam agama,
dan bukan pula bersifat taklif atau pembenaran, melainkan berupa
anjuran. Sebab yang menjadi objek pembahsan mereka adalah :
a. Menyelidiki hukum-hukum syara, seperti fardhu, wajib, sunah,
haram, makruh
b. Memberi pengertian kepada setipa individu tentang setiap hukum.
47
Muhammad „Alawi alMaliky alHasai, Mutiara Pokok Ilmu Hadits, Trigenda Karua,
Bandung : 1995, h 14
34
4. Menurut ulama dakwah, As-Sunah adalah Ikhwan dari al Bid‟ah, sebab
pembahasan mereka adalah memperhatikan perindah dan larangan
syara.
Dengan demikian, Ilmu falak atau Ilmu hisab dapat menumbuhkan
keyakinan dalam melakukan ibadah, sehingga ibadah lebih khusyu‟. Adapun cara
memperdalaminya, hampir sama dengan ilmu pengetahuan lain yaitu harus
menguasai standar kompetensi dan kompetensi dari Ilmu falak, sedangkan peran
As-Sunah dalam Ilmu falak ini sebagai landasan teologi yang melandasi semua
bagian-bagian dari bahasan Ilmu falak.
B. Perkembangan Ilmu Falak Pasca Guru Manshur
Setelah Guru Manshur wafat pada tahun 1967, maka perkembangan Ilmu
falak dilanjutkan kepada murid-muridnya yang terdapat keterangannya di atas.
Namun yang lebih mendalami Ilmu falak adalah keturunannya sendiri KH.
Fatahillah Ahmadi. Beliau yang melanjutkan perjuangan Guru Manshur untuk
menumbuhkembangkan Ilmu yang sudah diwarisinya. Banyak sudah kajian-kajian
yang diikuti KH. Fatahillah Ahmadi, dari halaqah, sidang isbat, sampai
memasukkan Ilmu falak ke dalam kurilkulum pendidikan di yayasan Madrasah
Chairiyah Mansuriyah.
Pelajaran Ilmu falak merupakan ilmu yang sangat penting bagi yayasan
Madrasah Chairiyah Mansuriyah. Disamping menjadi ilmu langka, sekaligus
melestarikan Ilmu yang diciptakan oleh Guru Manshur. Salah satu tenaga
pengajarnya yakni H. Naksabandi, selalu berpesan kepada murid-muridnya untuk
tidak bosan-bosan menelaah dan mempelajarinya. Karena sudah tidak ada lagi
madrasah yang mempelajari Ilmu falak selain di yayasan Chairiyah Mansuriyah.
1. Masjid Jami Al-Mansur
Berdiri pada abad 18 tepatnya tahun 1717 M/1130 H datang seorang
pangeran dari Mataram bernama Abdul Malik putra dari Pangeran Cakrajaya.
Beliau merupakan pendiri masjid Jami Al-Mansur (sebelumnya bernama Masjid
Jami Kampung Sawah). Beliau datang ke Batavia untuk berjuang melawan
penjajahan Belanda. Hingga dua abad kemudian perjuangan dakwahnya
35
dilanjutkan oleh Imam Muhammad Habib dan ulama-ulama perantau seperti
Imam Muhammd Arsyad Banjarmasin yang berperan juga membenarkan arah
kiblat masjid Jami Al-Mansur pada tanggal 2 Rabiul Akhir 1181 H atau 11
Agustus 1767 M.48
Arsitektur bangunan masjid tersebut merupakan akulturasi budaya jawa,
cina, arab dan betawi. Masjid dengan bentuk atap joglo (limas), dua tingkat dan
ditopang empat pilar besar berdiameter 1,5meter. Jendelanya berbahan kayu dan
berlubang segi empat berteralis kayu profil gada pada setipa sisi tembok. Model
pintunya berdaun dua dengan profil pahatan bulian. Ruang utama masjid Al-
Mansur yang sekaligus bangunan tertua, bersegi empat dengan diameter 12 x
14.40 meter. Unsur yang mencolok adalah empat sokoguru yang kokoh dan
tampak kekar di tengahnya. Bagian bawah tiang-tiang ini bersegi delapan dan
diatasnya terdapat pelipit penyangga, pelipit genta serta rata. Batang utama (di
bagian tengah) berbentuk bulat dan dihiasi pelipit juga. Bagian teratas berbentuk
persegi empat dan dibatasi pelipit.
Pada ketinggian setengah diantara keempat sokoguru terdapat balok-balok
kayu antara lain untuk menopang ke dua tangga yang menuju ke loteng. Di atas
balok-balok selebar 55 cm itu di sisi kan dan di kiri dipsang pagar setinggi 80 cm.
Pola pagar ini dibentuk belah ketupat. Kontruksi ini dan bentuk sokoguru bergaya
barat. Atap masjid ini bertumpang tiga dan berbentuk limasan. Menara yang
terletang di ruang baru di depan masjid lama, berbentuk silinder setinggi 12 meter.
Pada bagian keempat dan kelimadari menara itu terdapat terasyang berpagar besi
serta atap menara berbentuk kubah.
Dua abad berikutnya, tanggal 25 Sya‟ban 1356 H/1937 M dibawah
pimpinan KH. Muhammad Mansur bin H Imam Muhammad Damiri diadakan
perluasan bangunan masjid. Dikarenakan untuk menjaga dan terpeliharanya
tempat suci serta makam-makam para ulama (di depan kiblat) maka disekitar
masjid dibuatkan tembok (sekarang berpagar besi). Di masa awal pasca
proklamasi kemerdekaan, masjid ini digunakan untuk memobilisasi pejuang
48
Republika Online, Masjid Jami Al-Mansur – Jembatan Lima (1717), JIC, 3 Nopember
2006
36
sekitar Tambora untuk melawan Belanda. Sebuah pertempuran frontal pernah
terjadi di halaman masjid. Terjadi baku tembak antara pejuang Republik Indonesia
yang berlindung di dalam masjid dengan tentara NICA (Nederlandsch Indië Civil
Administratie) yang kala itu masuk dari Pelabuhan Sunda Kelapa bergeser ke
selatan menuju ke arah Kota (Beos) lalu menyebar ke sekitar tambora. Baku
tembak itu dipicu karena keberanian Guru Mansur memasang bendera merah
putih di atas menara kubah masjid ini. Sesudah peritiwa tersebut Guru Mansur
lalu dipanggil ke Hofd Bureau (meja pengadilan Belanda) untuk diadili dan
ditahan atas tindakannya itu. Sebagai bentuk penghargaan kepada Guru Mansur,
pemerintah Republik Indonesia kemudian mengabadikan nama beliau sebagai
nama masjid tempat beliau berjuang ini, dan menjadi nama jalan persis didepan
jalan Sawah Lio kelurahan Jembatan Lima Jakarta Barat sekaligus masjid Jami
Al-Mansur menjadi cagar budaya di Jakarta pada tahun 1980.49
49
Dinas Komunikasi Informatika dan Statistik Pemprov DKI Jakarta 1995 – 2018, Al-
Mansur, Masjid.
37
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
KH. Muhammad Manshur adalah salah seorang ulama betawi dan juga
pejuang kemerdekaan Indonesia seperti yang sudah penulis jelaskan pada bab-bab
sebelumnya ketika beliau memperjuangkan masyarakat betawi atas penjajahan
yang dilakukan pada masa kolonial. Di samping itu KH. Muhammad Manshur
juga berperan dalam perkembangan keilmuan, khususnya ilmu falak. Dapat
penulis simpulkan bahwa KH. Muhammad Manshur merupakan salah seorang
yang berpengaruh bagi perkembangan ilmu falak di Indonesia khususnya pada
masyarakat betawi di Jakarta.
Perkembangan kelimuan KH. Muhammad Manshur diawali di kota
Mekkah saat beliau berusia 16 tahun. Setibanya di tanah air, beliau belajar pula
kepada ayahnya untuk memperdalam Ilmu falak. Sebab ayahnya merupakan
Imam di Mekkah yang ahli di bidang Ilmu falak.
Untuk meneruskan ilmu falak yang telah dipelajarinya Guru Mansur
mempunyai beberapa murid untuk meneruskan perjuangannya, di antaranya
adalah: Mu’alim Rojiun Pekojan, Syaikh KH Muhadjirin Amsar Ar-Dary,
Mu’alim Rasyid dan Mu’alim KH M. Syafi’i Hadzami.
Hasil karangan dari KH Muhammad Manshur tidak luput dari
pencermatan penulis untuk memperdalam dan bisa mengaplikasikannya sehari-
hari. Oleh karena itu penulis menggambarkan kiprah Guru Manshur di berbagai
bidang yang telah ditulis dalam skripsi ini. Semoga banyak membawa manfaat
bagi penulis maupun para pembaca agar menambah wawasan tentang ulama di
Betawi khususnya di bidang keilmuan dan cara Guru Manshur memperjuangkan
negara Indonesia.
B. Saran
Menurut penulis pembahasan mengenai Guru Mansur sangat menarik
khususnya pada ilmu falak dan perjuangan kemerdekaan Indonesia, memang
37
38
pembahasan mengenai ulama betawi sudah banyak, namun masih jarang
mahasiswa Sejarah dan Peradaban Islam membahas tentang ilmu falak yang
penulis buat dalam karya berjudul Perjuangan Guru Manshur dalam
Mengembangkan Pendidikan Islam di Betawi 1900 - 1967. Penulis
menemukan beberapa sumber terkait penulisan di atas, namun sumber tersebut
adalah sekunder, oleh karena itu penulis melakukan wawancara langsung terhadap
cicit dari Guru Manshur yaitu KH. Fatahillah Ahmadi untuk mendapatkan data
yang lebih akurat.
Menurut penulis ilmu falak seharusnya bisa lebih dikenal lagi oleh
mahasiswa-mahasiswa Sejarah dan Peradaban Islam, agar mahasiswa sekarang
dapat mengetahui bagai mana proses dan cara menentukan bulan Ramadhan serta
Hari Raya Idul Fitri. Jadi tidak hanya sekedar menjalankan ibadah puasa saja,
namun dapat mengetahui bagaimana proses penentuan bulan Ramadhan.
Penulis merasakan bahwa apa-apa yang disampaikan dalam skripsi ini
masih begitu kurang, dan masih diperlukan data-data yang lebih banyak lagi, juga
memberikan kesempatan kepada penulis lain yang ingin mengangkat tentang
ulama betawi khususnya ilmu falak. Karena dengan kritik dan saran yang
membangun diharapkan dalam penulisa sejarah ulama betawi khususnya tentang
ilmu falak menjadi sempurna dengan masukan-masukan, ide-ide didukung dengan
data-data yang lebih banyak lagi.
39
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku
Abdurrahman, Dudung, 1999, Metode Penelitian Sejarah, Logos: Jakarta.
„Alawi alMaliky alHasai, Muhammad, Mutiara Pokok Ilmu Hadits, Trigenda
Karua, Bandung : 1995
Aziz, Abdul, 2002, Islam dan Masyarakat Betawi, Jakarta: Logos.
Data Biro Administrasi Wilayah, Provinsi DKI Jakarta tahun 2006
Dinas Komunikasi, Informatika dan Kehumasan Pemprov DKI Jakarta, 1995-
2010.
Emalia, Imas, Historiografi Indonesia Sejak Masa Awal Sampai Kontemporer,
2006, Jakarta: UIN Jakarta Press.
Fadli, Ahmad, Ulama Betawi : Jaringan Ulama Betawi dan Kontibusinya
Terhadap Perkembangan Islam abad 19 dan 20. Jakarta: Manhalun
Nasyi-in Press. 2013.
Fatahillah Ahmadi H., Metode Perhitungan Awal Bulan Qomariyah (Sistem
Sullamunnairain KH. Muhammad Mansur), Lembaga Falakiyah-Hisab Al-
Mansuriyah, Jakarta 2010
Gottschalk, Louis, 1975, Mengerti Sejarah, UI Pers: Jakarta.
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Garafindo,
1994.
40
Haris, Tawalinudin. Kota dan Masyarakat Jakarta : Dari Kota Tradisional ke
Kota Kolonial (Abad XVI-XVIII). Jakarta: Wedatam Widya Sastra. 2007.
Hisab dan Rukyat, Jakarta : Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan
Syariah (Departemen Agama). 2013
Huda, Nor, Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia,
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007.
Jakarta Islamic Center. Geneologi Ulama Betawi (Melacak jaringan ulama betawi
abad 19-21). Jakarta: Pusat Pengkajian dan Pengembangan Islam Jakarta,
JIC. 2011
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi ke IV : Kementrian Pendidikan dan
Budaya
Khazin, Muhyidin, Ilmu Falak Teori dan Praktik, Buana Pustaka, Yogyakarta :
2004
Kiki, Rakhmad Zailani, dkk, Genealogi Intelektual Ulama Betawi (Melacak
Jaringan Ulama Betawi dari awal Abad ke-19 sampai Abad ke-21), 2011,
Jakarta: Pusat Pengkajian dan Pengembangan Islam Jakarta (Jakarta
Islamic Centre), cet. Ke-1.
Nasim, Jaringan Ulama Betawi Abad XX Dan Peranannya Terhadap
Perkembangan Lembaga Pendidikan Islam di Jakarta, disertasi Program
Pascasarjana, Universitas Ibnu Khaldun (UIK), Bogor, 2010
Nasution, Harun, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, Ed.I, 1992.
41
Peneliti, Tim. Ulama-ulama Betawi Alumnus Mekah 1900-1950 dan Kiprah
Mereka dalam Penyiaran Islam di Jakarta. Jakarta: Fakultas Adab IAIN
Syarif Hidayatullah Jakarta. 1998
Q. S. Anbiya’, ayat 33
Q. S. Yassin, ayat 40
Saidi, Ridwan, 2001, Profil Orang Betawi: Asal Muasal, Kebudayaan dan Adat
Istiadatnya, Jakarta:PT. Gunara Kata, Cet. Ke-2.
Sedyawati, Edi, Sejarah Kota Jakarta 1950 – 1980, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi
dan Dokumentasi Sejarah Nasional 1986 / 1987
Shihab, Alwi. Betawi Queen of The East. Jakarta : Republika. 2004
Yatim, Badri, Peran Ulama dalam Masyarakat Betawi, Jakarta: Logos, 2002.
Sumber Internet/media
Republika Online, Masjid Jami Al-Mansur – Jembatan Lima (1717), JIC, 3
Nopember 2006
http://jakartapedia.bpadjakarta.net/index.php/Kecamatan_Tambora
https://news.detik.com/berita/d-1719181/perumahan-padat-penduduk-di-depan-
kecamatan-tambora-terbakar
http://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/14/01/05/myw1qt-kh-
mohammad-mansur-ulama-cerdas-pahlawan-jakarta
42
LAMPIRAN
Lampiran no 1
Narasumber : KH. Fatahillah Ahmadi
Pewawancara : Humaedi
Bagaimana profil dan sejarah guru mansur? Ya artinya ketokohan Guru
Mansur itu bagimana ulama-ulama sebelumnya ya, karena beliau ini satu
keturunan dengan KH. Hasyim Asyari, KH Ahmad Dahlan. Artinya pada saat itu
kegemaran intelektual semuanya terfokus kepada perjuangan bangsa. Makanya
ulama-ulama pada zaman dulunya itu tidak sekedar fisik tapi juga intelektual.
Artinya, mereka berjuang menggunakan intelektualitas, seperti memberikan
semangat, seperti KH. Hasyim Asyari dari jawa timur KH. Ahmad Dahlan di
Jawa Tengah. Dan mereka ini memberikan spirit, mereka cenderung bersatu,
kalau Guru Mansur lebih kepada pendidikan, beliau lebih fokus ke pendidikan.
Atau tadi ente menilai dari profil satu kurun dengan para peneliti ormas Islam
tadi, memang kita membaca beliau sama-sama belajar di Mekkah. KH. Hasyim
Asyari, KH. Ahmad Dahlan dan Guru Mansur juga. Mereka pulang ke tanah air.
Nah umumnya pada saat beliau itu ulama betawi yang mereka lebih banyak
mengajar ditempatnya, dikampungnya, mereka lebih banyak didatangi bukan
mendatangi, kadang-kadang mendatangi. Mereka didatangi oleh santrinya,
muridnya. Mereka kadang-kadang pulang pergi tidak mukim pada saat itu. Jadi
ketika Guru Mansur ikuti muktamar NU pertama kali di Surabaya, karena beliau
ini pernah menjadi Rois cabang Betawi dibawah tahun 40an. Beliau diangkat
menjadi pengurus 1907 tapi dalam organisasi Ijtimaul Khaeriyah Jamiatuil Khoir
menjadi ketua (dulu di Pekojan sekarang di Tanah abang). Artinya sekolah formal
yang pertama yang tertua di Indonesia. Yang pertama ngadain Jamiatul khoir.
Dulu yang ngajar KH. Ahmad Dahlan, KH Mas Mansur, kalo Mas Mansur orang
Surabaya Jawa Timur, kalo Guru Mansur orang Betawi, kadang-kadang orang
salah kaprah. Tidak jauh dari tahun 1907an, ya artinya latar belakang pendidikan
43
beliau sebelum belajar di Mekkah ya beliau belajar sama orangtuanya, dan
kebetulan memang artinya lingkungan keluarganya lingkungan ulama. Ya
ayahnya KH Abdul Hamid kemudian salah seorang guru Syekh Nawawi
Albanteni, Junaedi Albatawi itu uwanya (paman) Guru Mansur, beliau Syaikhul
Masaikh di Masjidil Haram. Ya artinya ulama-ulama Betawi masih keluarga
beliau. Ya jadi pembentukan intelektual Guru Mansur itu tidak lepas daripada
lingkungan keluarga yang memang intelektualitasnya tinggi. Karena memang
beliau itu dari keturunan ningrat/keturunan darah biru.
Jenjang pendidikan keluarga? Umumnya dari keluarga, karena pada saat
itu belum ada yang banyak muncul dari orang-orang biasa, artinya kalau ulama
dulu kalo tidak kuat modal kan tidak jadi ulama gitu istilahnya, mau beli kitab aja
boro-boro karena zaman susah. Ente liat aja itu, kitab-kitab peninggalan Guru
Mansur kitab-kitab gede semua itu, jarang artinya kalo bukan sekaliber ulama
yang bener-bener ulama tidak akan punya gitu. Kalo ulama dulu itu kudu kuat
modal, artinya ga mikirin lagi makan sehari-hari. Malah dia yang kasih makan
santrinya kalo dulu tuh, semiskin-miskinnya ulama dulu ya ga makan dr santri,
bukan kaya sekarang cari makan dari santri. Untuk membeli kitabnya aja bisa
jutaan, jadi ga semua orang bisa membeli kitab itu pada saat itu, hanya orang-
orang tertentu. Jadi masih sedikit kalo kita katakan guru mansur bisa belajar
diluar, karena dipihak keluarga sendiri udah intelektual semua. Satu bukti bahwa
3 ulama; Syekh Arsyad Banjar pengarang kitab Sabilal Muhtadin, kemudian
Abdus Somad al-Palimbani, kemudian Syekh Abdurrahman Misri, itu ulama-
ulama kaliber semua itu, pembawa tarekat Sammaniyah, beliau membawa tarekat
ini dari Mekkah ke Indonesia. Ke Indonesia itu mereka berkunjung/singgah di
masjid Al-Mansur, yang membetulkan arah kiblat masjid itu Syekh Arsyad Banjar
melalui lengan bajunya. Kalo ente liat kan itu bangunan mengarah ke arah barat,
itu yang membetulkan Syekh Arsyad Banjar. Ini ga bener arah kiblatnya, ini
mengarah ke mata angin, dibetulkanlah oleh Syekh Arsyad banjar tuh arah
kiblatnya, nah itu keliatan dari lengan bajunya. Ulama dulu kan lebar-lebar
jubah/gamisnya. Kalo tidak salah antara 2-3tahun yang lalu itu ya, ketua
44
pengadilan agama jawa timur pernah datang mengukur melalui satelit/kompas
mutakhirlah, itu sama ukurannya tepat. Ingin mencoba waktu ribut-ributnya itu
tuh, yang MUI dan mesjid-mesjid di Indonesia pada salah arah kiblatnya. Dia
mencoba mesjid Al-Mansur, tidak kurang tidak lebih, pas.
Lalu pemikiran ilmu falaknya darimana? Ya dari keluarganya, Guru
Manshur ga pernah belajar ke yang lainnya Jadi belajar di mekkah untuk apa?
Paling belajar yang standar Islam, kaya fiqih, qiroat dan tajwid. Kalo falakiyahnya
dari bapaknya langsung, KH. Abdul Hamid. Untuk menggali lebih dalam KH.
Abdul Hamid, asalmuasal ilmu falaknya darimana? Kan bapaknya Imam, Imam
Damiri. Secara intelektualitas ga bisa diragukan lagi, Syekh Junaedi aja Syekh
Guru Masyaikh di Mekkah anaknya Imam Damiri. Itu bapaknya orang sini.
Banyak orang yang tidak tau semacam tokoh-tokoh betawi, itu tidak tau Syekh
Junaedi itu orang mana. Itu di dalam kesejarahan Syekh Junaedi itu orang
Pekojan, padahal orang sini (Jembatan Lima). Ente baca Syekh Junaedi itu siapa,
itu jarang yang mengkorek sebenarnya, itu juga keluarga kehilangan jejak karena
beliau di mekkah dari umur 25 tahun beliau berangkat ke Mekkah sampai
meninggalnya, kita kehilangan jejak.
Peran Guru Mansur di sekitar sini apa? Ya buktinya satu-satunya madrasah
kan ada disini, beliau yang bangun. Artinya peranan beliau tidak bisa dinafikan,
ya disamping adanya madrasah kemudian nama jalan, itukan artinya kiprah beliau
terhadap masyarakat diakui keberadaan beliau. Dan bukan masyarakat jembatan
lima saja, bahkan masyarakat betawi. Siapa yang ga kenal Guru Mansur, bahkan
artinya seluruh nusantara mengenal beliau sebagai ulama yang mumpuni dibidang
astronomi/falak.
Untuk pembuatan kalender, masih distribusikah? Saya udah tidak buat
lagi. 1. Yang mengedarkan kalender itu udah pada meninggal. 2. Saya amati,
ketika kita berbeda dengan yang lain ya mereka tidak menggunakan kalender kita,
saya percuma. Alesannya mereka malulah, mereka takutlah, ya untuk apa sebagai
pengetahuan ilmu tanpa praktek. Sejak kapan? Ya 3 tahun ini, yang jelas artinya
45
distributornya yang udah pada tidak ada/meninggal. Penyebarannya dimana saja?
Hampir seluruh jawa barat, bahkan ke malaysia, pandeglang, serang, tasikmalaya
dan di jawa timur, khususnya di pondok pesantren salafiyah, mereka
menggunakan kitab kita. Terus kalo ente mau ngedalemin kitab Sullamunirain ini
penuh keunikan, kitabnya sederhana, bisa mengetahui gerhana, gerhana matahari.
Maka kita akan lebih salut terhadap penemuan ulama. Itu bukan ramalan,
semacam dukun atau semacam lotre, tapi itu matematik tingkat tinggi dan itu
ditemukan oleh ulama kita.
Demikianlah wawancara penulis kepada KH. Fatahillah Ahmadi. Bagi
penulis, Guru Mansur adalah ulama yang patut ditiru prilakunya, dari belajar,
mengajar, berbakti kepada orangtua, berhubungan baik sesama manusia sampai
membantu memerdekakan negara Indonesia. KH. Fatahillah Ahmadi atau biasa
dipanggil Pak Haji Fatah ini merupakan cicit yang masih eksis menekuni Ilmu
falak. Perjuangannya melanjutkan ilmu yang diajarkan dari keluarganya masih
terus dilakukan hingga sampai saat ini, hanya saja kondisi Pak Haji Fatah yang
sedang sakit membuatnya mengurangi jam mengajarnya kepada masyarakat atau
kerabat didekatnya.
46
Lampiran no 2
47
48
Lampiran no 3
49
50
51
52
Lampiran no 4
53
54
55
56
Lampiran no 5
57
Lampiran no 6
58
Lampiran no 7
59
Lampiran no 8
60
61
62
63
64
65
66
67
68
69
70
71