ASPEK HUKUM PERJANJIAN BAKU DAN POSISI BERIMBANG
PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN WARALABA
(LEGAL ASPECTS OF STANDARD AGREEMENTS AND THE REASONABLE POSITION OF THE PARTIES
IN FRANCHISE AGREEMENTS)
OLEH : P. LINDAWATY S. SEWU NPM : 2004822007
DISERTASI
DIAJUKAN SEBAGAI SALAH SATU SYARAT UNTUK MENDAPATKAN GELAR DOKTOR ILMU HUKUM PADA PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN
PROMOTOR : PROF. DR. SOEDJONO DIRDJOSISWORO, SH., MM. KO PROMOTOR: PROF. DR. H. MASHUDI, SH., MH.
PROGRAM DOKTOR ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN BANDUNG
2007
ASPEK HUKUM PERJANJIAN BAKU DAN POSISI BERIMBANG
PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN WARALABA
(LEGAL ASPECTS OF STANDARD AGREEMENTS AND THE REASONABLE POSITION OF THE PARTIES
IN FRANCHISE AGREEMENTS)
DISERTASI
Oleh : P. LINDAWATY S. SEWU NPM : 2004822007
Telah Disetujui Oleh: Promotor, Ko Promotor, Prof. Dr. Soedjono Dirdjosisworo, SH., MM. Prof. Dr. H. Mashudi, SH., MH.
Penguji: Prof. Dr. B. Arief Sidharta, SH. ( ) Prof. Dr. Chatamarrasjid Ais, SH., MH. ( ) Dr. Johannes Ibrahim, SH., M. Hum. ( )
TIM PENGUJI: Prof. Dr. Soedjono Dirdjosisworo, SH., MM - Promotor Prof. Dr. H. Mashudi, SH., MH. - Ko-Promotor Prof. Dr. B. Arief Sidharta, SH. - Penguji Dr. Johannes Ibrahim, SH., M. Hum. - Penguji Prof. Dr. Chatamarrasjid Ais, SH., MH. - Penguji Eksternal
Takut akan TUHAN adalah didikan yang
mendatangkan hikmat, dan kerendahan hati
mendahului kehormatan (Amsal 15:33)
Ambillah waktu untuk berpikir Itu adalah sumber kekuatan
Ambillah waktu untuk membaca
Itu adalah sumber kebijaksanaan
Ambillah waktu untuk berdoa Itu adalah kekuatan terbesar di bumi
(Pepatah Tua Irlandia)
i
ASPEK HUKUM PERJANJIAN BAKU DAN POSISI BERIMBANG PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN WARALABA
ABSTRAK
Waralaba merupakan konsep mutakhir dalam berbisnis yang berkembang pesat, baik secara lokal maupun transnasional. Waralaba berkembang karena didukung oleh perubahan gaya hidup masyarakat yang semakin selektif dan mengutamakan mutu dalam memperoleh pelayanan barang dan jasa dan teknologi. Aspek hukum khususnya hukum perjanjian dalam pola bisnis waralaba ini diperlukan dalam upaya melindungi kepentingan para pihak. Perjanjian waralaba pada umumnya dituangkan dalam suatu perjanjian baku, di mana kerapkali perlindungan yang berimbang bagi para pihak sulit untuk dipertahankan.
Perjanjian waralaba tidak diatur secara khusus dalam Buku III KUH Perdata sebagai ketentuan umum dan landasan normatif. Di samping landasan normatif, terdapat pula asas-asas hukum yang merupakan pilar utama perjanjian, meliputi asas konsensualitas, asas kebebasan berkontrak, asas kekuatan mengikat. Elaborasi lebih lanjut terhadap asas kebebasan berkontrak melahirkan asas persamaan hak, yang kemudian bermuara pada posisi berimbang. Asas-asas hukum perjanjian menopang terbentuknya suatu perjanjian, bahkan perjanjian baku sekalipun. Posisi berimbang dalam perjanjian baku waralaba seringkali sulit untuk dapat dipertahankan. Berlandaskan pada teori fungsi pokok dari hukum sebagaimana dikemukakan oleh Jeremy Bentham ditekankan pada fungsi melindungi dari hukum yaitu keseimbangan dari pelbagai kepentingan. Hal tersebut dielaborasi lebih lanjut oleh John Rawls yang menyatakan bahwa dapat dikatakan adil walaupun terdapat beberapa ketidaksamaan, namun ketidaksamaan tersebut harus dapat meningkatkan kedudukan yang paling sedikit diuntungkan, dan adil tidak harus merata tetapi pihak yang kedudukannya lebih lemah harus terlindungi. Oleh karena itu, hukum harus dapat memberikan perlindungan berupa posisi berimbang bagi para pihak dalam perjanjian baku waralaba.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif, sifat penelitian deskriptif analitis yaitu menggambarkan fakta dan permasalahan yang berhubungan dengan masalah aspek hukum perjanjian baku dan posisi berimbang para pihak dalam perjanjian waralaba secara menyeluruh dan sistematis, selanjutnya terhadap permasalahan dilakukan analisis. Penelitian lebih diorientasikan pada data skunder dan pendekatan penelitian konseptual yaitu dengan mengkaji dan menguji secara logis masalah aspek hukum dari perjanjian baku dan posisi berimbang para pihak dalam perjanjian waralaba. Perjanjian baku dalam praktik waralaba merupakan suatu perjanjian yang dipakai sebagai patokan atau pedoman bagi pihak pemberi waralaba maupun pihak penerima waralaba, dan telah disusun terlebih dahulu oleh pihak pemberi waralaba serta dibangun oleh syarat-syarat standar, ditawarkan pada pihak penerima waralaba untuk disetujui dengan hampir tidak ada kebebasan bagi pihak penerima waralaba untuk melakukan negosiasi atas apa yang ditawarkan. Posisi berimbang dari para pihak dalam perjanjian waralaba sepatutnya mendapatkan perlindungan sesuai dengan hak kewajiban masing-masing. Posisi tawar dari para pihak dalam perjanjian baku di bidang waralaba akan sangat mempengaruhi posisi berimbang para pihak. Kata Kunci: perjanjian baku, posisi berimbang, waralaba, pemberi waralaba, penerima waralaba.
ii
LEGAL ASPECTS OF STANDARD AGREEMENTS AND THE REASONABLE POSITION OF THE PARTIES
IN FRANCHISE AGREEMENTS
ABSTRACT
Franchise is the very latest concept in rapidly expanding business dealings , locally as well as internationally. The development of franchise is supported by changes in the lifestyle of the community that is becoming more selective and that gives priority to quality in obtaining services in commodities and services as well as technology. Legal aspects, especially of the agreement laws in this franchise business pattern, are required in the efforts to protect the interests of the parties. As a rule, a franchise agreement contained in a standard agreement in which a balanced protection for the parties is difficult to maintain. Franchise agreements are not especially stipulated in Book III of the Civil Law Code as a general policy and normative basis. Besides the normative basis, there are legal principles that constitute the main pillar of an agreement, covering the principle of consensus, the principle of freedom to drawn up contracts and the principle of binding power. Further elaboration on the principle of freedom to make contracts gives rise to the principle of equal rights, which in turn is centered on the principle of balance. The legal aspects of an agreement support the making of an agreement, even of a standard agreement. It is often difficult to maintain a balanced position in a standard franchise agreement. Based on the basic functional theory derived from a law discovered by Jeremy Bentham, the protective function of law is emphasized, namely balance or equillibrium from various interests. John Rawls has further elaborated on this matter by stating that it could be called fair despite several dissimilarities, although the latter must be able to raise the position that is least favorable and fairness does not have to be distributed evenly but the party whose position is weaker must be protected. Therefore, the Law must provide protection in the shape of a balanced position for the parties involved in a standard franchise agreement.
This piece of research into standard agreements and the balanced position of the parties in franchise agreements is conducted by means of the normative legal research method, by means of a conceptual research approach, namely by logically studying and testing the issue of the legal aspects of a standard agreement and the balanced position of the parties in an agreement related to a franchise agreement. Research is orientated more on secondary data and, the nature of analytical descriptive research, namely describing the facts and issues in conjuction with the question of the legal aspects of a standard agreement and the balanced position of the parties of a franchise agreement comprehensively and systematically and subsequently analysis is made of the see of problems concerned. A standard agreement in franchising is an agreement used as a basis or guide for the franchisor as well as the franchisee, and having first been compiled by the franchisor based on standard requirements, is offered to the franchisee for approval with practically no liberty on the part of the franchisee to make negotiate. The balanced posision of the parties in a franchise agreement should rightfully be protected in conformity with the respective rights and obligations of the parties. The bargaining position of the parties in a standard franchise agreement will greatly influence the balanced position of the parties involved. Keywords: standard agreement, balanced position, franchise, franchisor, franchisee.
iii
PENGANTAR
Puji hormat serta syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang
Maha Pengasih, karena atas bantuan serta perkenanNya sehingga
penulisan Disertasi ini dapat diselesaikan. Penulisan Disertasi ini
dimaksudkan untuk memberikan informasi serta bahan masukan
terhadap masalah Aspek Hukum Perjanjian Baku dikaitkan dengan
Posisi Berimbang bagi para pihak dalam Perjanjian Waralaba.
Melalui penelitian kepustakaan yang dilakukan, penulis
mencoba untuk membahas mengenai Perjanjian Baku yang secara
singkat dapat dikatakan sebagai suatu perjanjian yang telah
dipersiapkan oleh salah satu pihak kepada pihak lainnya. Perjanjian
baku itu kemudian dihubungkan dengan pola waralaba dan disoroti
lebih mendalam dari sudut pandang posisi berimbang para pihak
dalam suatu perjanjian waralaba.
Waralaba sendiri dikenal sebagai pola bisnis yang berkembang
pesat karena ditopang oleh gaya hidup masyarakat yang semakin
selektif serta mengutamakan mutu dalam memperoleh pelayanan
barang dan jasa. Perkembangan pola bisnis Waralaba ini telah
menciptakan konsep serta bentuk kegiatan perekonomian baru, namun
tetap memerlukan aspek hukum sebagai upaya untuk
mempertahankan keberadaannya.
iv
Penelaahan di atas dituangkan dalam Disertasi yang berjudul:
ASPEK HUKUM PERJANJIAN BAKU DAN POSISI BERIMBANG
PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN WARALABA.
Penyusunan Disertasi ini terwujud berkat dukungan, bimbingan,
serta dorongan, dan arahan dari Bapak Prof. Dr. Soedjono
Dirdjosisworo, SH., MM. selaku promotor yang dengan penuh
perhatian telah rela memberikan waktunya yang berharga untuk
mengarahkan penulis dan Bapak Prof. Dr. H. Mashudi, SH., MH.
selaku ko-promotor yang telah berkenan memberikan waktunya yang
berharga untuk memberikan bimbingan, arahan, serta dorongan dalam
penyusunan Disertasi ini.
Terima kasih penulis sampaikan pula kepada para pembahas
Bapak Prof. Dr. B. Arief Sidharta, SH yang telah memberikan dorongan
semangat, masukan yang berharga, berbagai bahan literatur dalam
penyusunan tulisan ini, dan kepada Bapak Dr. Johannes Ibrahim, SH.,
M. Hum. yang senantiasa memberikan dorongan semangat, masukan
yang berharga, diskusi yang berbobot guna menyempurnakan tulisan
ini, dan kepada Bapak Prof. Dr. Chatamarrasjid Ais, SH., MH. selaku
pembahas eksternal yang dalam segala kesibukannya telah rela
menyisihkan waktunya yang berharga guna memberikan masukan-
masukan yang berharga demi menyempurnakan Disertasi ini.
v
Penulis juga menyampaikan rasa terima kasih kepada yang
terhormat:
1. Bapak Prof. Bambang Suryoatmono, Ph.D, selaku Direktur
Program Pascasarjana Universitas Katolik Parahyangan.
2. Bapak Prof. Dr. Soedjono Dirjosisworo, SH., MM., selaku Ketua
Program Doktor Hukum, Program Pascasarjana Universitas Katolik
Parahyangan.
3. Seluruh Staf Pengajar Doktor Ilmu Hukum, Program Pascasarjana
Universitas Katolik Parahyangan.
4. Seluruh Staf Sekretariat Program Pascasarjana Universitas Katolik
Parahyangan.
5. Partisipasi dari segenap pengusaha yang telah mengelola
bisnisnya dengan pola waralaba terutama kepada Bapak Edward
Forrer dan Bapak Ir. Krisnan Isomartana, MM., Bapak Yunus, SE.,
Bapak Lukman Boenardi, Ibu Tan Swat Hoa.
6. Ibu Prof. Dr. Willa Chandrawila, SH, yang telah memberikan
dorongan moril, memberikan literatur yang berguna, dan
menumbuhkan minat penulis dalam menempuh pendidikan
program Doktor Ilmu Hukum.
7. Bapak Prof. Dr. Johannes Gunawan, SH., L. LM., yang telah
memberikan banyak masukan di awal penulisan Disertasi, juga
memberikan literatur yang sangat berharga.
vi
8. Bapak Prof. Dr. Lili Rasjidi, SH., L.LM., yang telah banyak
memberikan dorongan moril, pengajaran yang menambah
wawasan penulis.
9. Bapak Prof. Dr. Ign. Bambang Sugiharto yang telah menggoreskan
suatu wawasan keilmuan yang begitu menggugah.
10. Ibu Prof. Dr. Veronika Komalawati, SH., MH., yang telah
memberikan dorongan moril dan bantuan berupa literatur yang
mendukung guna merampungkan Disertasi.
11. Ibu Dr. Herlien, SH., yang telah banyak memberikan bantuan
berupa dorongan moril, diskusi yang berbobot, juga literatur untuk
merampungkan Disertasi.
12. Bapak Drs. Freddy Tengker, SH., CN., yang telah banyak
membantu penulis dalam pengayaan literatur, serta pemahaman
literatur, juga diskusi guna penyempurnaan tulisan.
13. Bapak Dr. Bambang SP. Abednego selaku Rektor Universitas
Kristen Maranatha, yang telah memberikan pengertian yang begitu
mendalam, dorongan moril yang berharga kepada penulis untuk
menimba ilmu.
14. Bapak Ir. Yusak G. Santoso, MM., selaku Pembantu Rektor I
Universitas Kristen Maranatha, Bapak Ir. Ibrahim Surya, M. Eng.
selaku Pembantu Rektor II Universitas Kristen Maranatha, Bapak
Drs. Yusuf Osman R., MM selaku Pembantu Rektor III Universitas
Kristen Maranatha, dan Bapak Ir. Rudy Wawolumaja, M. Sc. selaku
vii
Pembantu Rektor IV Universitas Kristen Maranatha yang telah
memberikan dorongan moril kepada penulis sehingga dapat
merampungkan studi.
15. Terima kasih pula kepada pihak yang sangat membantu penulis di
dalam pengumpulan data khususnya pola waralaba dalam praktik
kepada Bapak Ir. Suwito Kwee.
16. Seluruh staf Sekretariat Rektorat dan Maranatha Information and
Customer Service Universitas Kristen Maranatha kepada Noya
Natalia, SS., Ni Made, Sudarmi. Psi., Mimi F. Nofia, SS, Elyas,
Natalia Sutantio, SH., M.Kn., Frieska, SS., Sandra, SE. yang telah
memberikan pengertian serta semangat bagi penulis selama dalam
proses studi dan Ibu Dra. Asni Herianti, M. Si. Selaku Ka.
Maranatha Information and Customer Service Universitas Kristen
Maranatha yang telah banyak memberikan bantuan berupa
dorongan moril.
17. Seluruh rekan serta sahabat penulis selama menempuh studi
kepada Handy Sobandi, SH., MH., M. Kn., Hasanain Haykal, SH.,
MH., Jamal, SH., MH, Not. Kikit W. Sugata, SH., Not. Netty
Naiborhu, SH., MH., yang selalu memberikan dorongan moril, serta
masukan yang berharga bagi penulis, serta rekan-rekan
seangkatan Program Doktor Ilmu Hukum Program Pascasarjana
Universitas Katolik Parahyangan.
viii
Penulis sangat berterima kasih kepada yang terkasih Ir.
TjieTjing Thomas yang dengan penuh pengertian telah mendampingi
dan memberikan dorongan baik moril maupun materiil, juga doa yang
selalu mengiringi langkah penulis dalam menempuh studi hingga
rampungnya tulisan ini, juga kepada anak-anakku Phillia Feodora
Thomas dan Hansel Nowell Thomas yang seringkali harus rela
melewatkan waktu-waktu bersama tanpa kehadiran mama. Penulis
pun berterima kasih kepada mama yang selalu mendorong dan
memberikan semangat kepada penulis untuk meraih gelar akademik
tertinggi selama masih ada kesempatan. Penulis sangat berterima
kasih pula kepada kakak dan adik penulis, Jonathan Suherman Sewu,
dan Juliana Suherman Sewu yang dengan gayanya sendiri seringkali
memberikan suatu motivasi untuk segera merampungkan tulisan ini.
Penulis berharap segala masukan, sanggahan, maupun
petunjuk dari Promotor, Ko-Promotor, juga para Guru Besar penguji
akan menyempurnakan tulisan ini. Semoga karya kecil ini dapat
memberikan manfaat bagi semua pihak yang membacanya seperti
manfaat yang telah penulis dapatkan selama proses penyusunannya.
Bandung, Juli 2007
P. Lindawaty. S. Sewu
ix
DAFTAR ISI
ABSTRAK ........................................................................................... i
ABSTRACT ........................................................................................ ii
KATA PENGANTAR ........................................................................... iii
DAFTAR ISI ..... ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian ................. 1
B. Perumusan Masalah Dan Identifikasi Masalah ....................... 14
C. Tujuan Penelitian .................... 15
D. Kegunaan Penelitian ........................ 15
E. Kerangka Pemikiran ................................................................. 17
1. Kerangka Konseptual ........................................................... 17
2. Kerangka Teoritis .................................................................. 21
F. Metode Penelitian ..................................................................... 45
1. Sifat Penelitian . 46
2. Pendekatan Penelitian .... 46
3. Jenis Data . 47
4. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data
a. Teknik Pengumpulan Data .......... 47
b. Teknik Analisis Data ............. 49
G. Sistematika Penulisan . 50
BAB II LANDASAN KETERIKATAN KONTRAKTUAL DAN
KONTRIBUSI ASAS HUKUM DALAM PERJANJIAN SERTA
KORELASINYA DENGAN PENERAPAN PERJANJIAN
BAKU BAGI PARA PIHAK
A. Hukum Perjanjian (Kontrak) Dalam Sistem Hukum Nasional 54
B. Asas-asas Hukum Sebagai Landasan Pemikiran Hukum
Perjanjian (Kontrak) ..................................................................
66
1. Pengertian Asas Hukum ....................................................... 66
2. Asas-asas Hukum Pokok Dalam Hukum Perjanjian ............. 68
x
3. Akibat Hukum Perjanjian ...................................................... 92
4. Hubungan Antara Perikatan Dan Perjanjian ......................... 96
C. Perjanjian Baku Dan Posisi Berimbang Bagi Para Pihak ......... 117
1. Sejarah Perjanjian Baku ....................................................... 117
2. Istilah Perjanjian Baku .......................................................... 119
3. Definisi Perjanjian Baku ........................................................ 122
4. Keabsahan Perjanjian Baku ................................................. 137
5. Posisi Berimbang Dan Implikasinya Dalam Perjanjian ......... 143
BAB III WARALABA POLA BISNIS FUTURISTIK DAN
PERKEMBANGANNYA DALAM PRAKTIK BISNIS DI
INDONESIA DAN TRANSNASIONAL
A. Definisi Waralaba ...................................................................... 153
B. Perkembangan Umum Waralaba Di Indonesia Dan
Transnasional ...........................................................................
165
1. Perkembangan Waralaba Transnasional ............................. 165
2. Perkembangan Waralaba Di Indonesia ................................ 169
C. Jenis-jenis Waralaba................................................................. 171
D. Karakteristik Waralaba Sebagai Bisnis Futuristik ..................... 176
E. Perkembangan Dan Pengaturan Hukum Waralaba Di
Indonesia Dan Transnasional ...................................................
184
1. Gambaran Umum Tentang Penyelenggaraan Bisnis
Waralaba Transnasional .......................................................
184
2. Keadaan Umum Waralaba Di Indonesia .............................. 223
3. Jenis Waralaba Di Indonesia Berdasarkan Sektor
Usaha ...................................................................................
236
4. Pengaturan Hukum Waralaba Dalam Kerangka Hukum
Nasional Indonesia ...................................................................
242
F. Aspek-aspek Hukum Perjanjian Waralaba ............................... 255
G. Bentuk-bentuk Perjanjian Waralaba ......................................... 276
xi
BAB IV PRANATA HUKUM WARALABA DALAM UPAYA
MEMBERIKAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PARA
PIHAK YANG DILANDASI POSISI BERIMBANG DALAM
PERJANJIAN BAKU WARALABA
A. Pranata Hukum Waralaba Sebagai Landasan Normatif Dalam
Hubungan Hukum Antara Pemberi Waralaba Dan Penerima
Waralaba ..................................................................................
283
1. Pranata Hukum Waralaba Di Uni Eropa ............................... 284
2. Pranata Hukum Waralaba Di Amerika Serikat ...................... 302
3. Pranata Hukum Waralaba Di Indonesia ............................... 330
B. Pola Pengaturan Waralaba Dalam Praktek .............................. 341
1. Edward Forrer ....................................................................... 342
2. Selalu Jaya ........................................................................... 350
3. Gloria Jeans .......................................................................... 361
4. Setia Usaha .......................................................................... 369
C. Perjanjian Baku Dalam Waralaba Dan Posisi Berimbang
Dalam Perjanjian Waralaba ......................................................
381
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................... 425
B. Saran ........................................................................................ 438
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................... . 444
INDEKS .............................................................................................. 456
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ................................................................ 465
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Manusia sebagai makhluk sosial, karena sejak dirinya dilahirkan
sampai akhir hidupnya selalu membutuhkan dan harus berhubungan
dengan manusia lainnya dalam rangka mempertahankan
keberadaannya. Berdasarkan hal tersebut, maka tepatlah bila manusia
dikatakan sebagai zoon politikon.1
Pada dasarnya manusia memiliki hasrat untuk hidup teratur,
namun dalam mengadakan hubungan dengan sesamanya seringkali
terjadi benturan kepentingan. Benturan kepentingan ini diakibatkan
adanya perbedaan kriteria mengenai kepentingan yang satu dengan
kepentingan yang lainnya. Untuk itulah hukum diperlukan agar
1 Soediman Kartohadiprodjo. Pengantar Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1993, hlm. 23. Istilah Zoon Politikon sebagaimana diterangkan oleh Soediman Kartohadiprodjo berasal dari kata Yunani, terminologi ini pertama kali digunakan oleh Aristoteles kemudian lebih lanjut oleh Hans Kelsen, diberi arti seperti berikut: manusia itu selalu hidup dalam suatu pergaulan hidup (man is a social being) dan selalu berorganisasi (is a political being). Manusia selalu hidup dalam suatu pergaulan hidup ialah sudah ditakdirkan oleh Yang Maha Kuasa bahwa manusia itu selalu hidup di tengah-tengah dan dalam pergaulan dengan sesama manusia. Tetapi sekaligus manusia itu selalu berorganisasi bagaimana pun sederhananya dalam suatu pergaulan hidup manusia itu selalu mengadakan organisasi di dalamnya. Organisasi berarti pembagian tugas antara manusia yang bersifat abadi untuk mencapai sesuatu yang tertentu. Political being diartikan selalu berorganisasi karena political berasal dari kata polis dan polis adalah nama yang diberikan pada kota kecil yang terdapat pada masa purbakala di Yunani, seperti Athena, Sparta, dan sebagainya. Dan kota ini adalah organisasi pergaulan hidup manusia.
2
kepentingan yang timbul dalam hubungan antar manusia dapat
berlangsung secara tertib atau teratur. Berdasarkan kenyataan
tersebut, hampir tidak ada bidang kehidupan masyarakat yang
tidak terjamah oleh hukum, termasuk bidang pembangunan.
Pembangunan yang dilakukan demi kemajuan negara Indonesia
ini merupakan pembangunan yang dilakukan secara menyeluruh dan
menyentuh segenap aspek kehidupan masyarakat, dalam arti tidak
hanya menitik beratkan pada satu bidang tertentu saja. Pemerintah
Indonesia dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor: 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional menyatakan bahwa:
Pembangunan Nasional diselenggarakan berdasarkan demokrasi dengan prinsip-prinsip kebersamaan, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, serta kemandirian dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan Nasional.
Lebih lanjut dikemukakan pula dalam Pasal 2 ayat (4) Undang-
Republik Indonesia Nomor: 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional bahwa:
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional bertujuan untuk: a. mendukung koordinasi antar pelaku pembangunan; b. menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi baik antar daerah,
antar ruang, antar waktu, antar fungsi pemerintah maupun antara Pusat dan Daerah;
c. menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan;
d. mengoptimalkan partisipasi masyarakat; dan e. menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif,
berkeadilan, dan berkelanjutan.
3
Oleh karena itu, pembangunan di berbagai sektor yang dilakukan
harus saling memperkuat, terkait, serta terpadu dengan pembangunan
bidang lainnya. Pembangunan ekonomi dan hukum mempunyai
hubungan yang sangat erat dan pengaruh timbal balik. Sunarjati Hartono
menyatakan:
... pembaharuan dasar-dasar pemikiran di bidang ekonomi ikut mengubah dan menentukan dasar-dasar sistem hukum yang bersangkutan, maka penegakan asas-asas hukum yang sesuai juga akan memperlancar terbentuknya struktur ekonomi yang dikehendaki, tetapi sebaliknya penegakan asas-asas hukum yang tidak sesuai justru akan menghambat terciptanya struktur ekonomi yang dicita-citakan. 2
Hukum merupakan salah satu bidang yang perlu diperhatikan
untuk memperkokoh bangsa Indonesia di dalam menghadapi kemajuan
serta perkembangan ilmu dan teknologi yang sangat pesat. Masalah
hukum bukan masalah yang berdiri sendiri, tetapi berkaitan erat dengan
masalah kemasyarakatan lainnya. Ismail Saleh menyatakan:
Memang benar ekonomi merupakan tulang punggung kesejahteraan masyarakat, dan memang benar bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi adalah tiang-tiang penopang kemajuan suatu bangsa, namun tidak dapat disangkal bahwa hukum merupakan pranata yang pada akhirnya menentukan bagaimana kesejahteraan yang dicapai tersebut dapat dinikmati secara merata, bagaimana keadilan sosial dapat diwujudkan dalam kehidupan masyarakat, dan bagaimana kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat membawa kebahagiaan bagi rakyat banyak. 3
Pembangunan perekonomian yang dibina dan dikembangkan
tanpa memperhatikan keseimbangan dan ketertiban akan menciptakan
2 Sunarjati Hartono. Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia. Bandung: Bina Cipta,
1982, hlm. 6-7. 3 Ismail Saleh. Hukum dan Ekonomi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1990, hlm. xxvii.
4
ketidakseimbangan. Karena itu, hukum perlu dibangun dan dibina
dengan baik sehingga dapat memberikan sumbangan positif bagi
kemajuan bangsa Indonesia.
Bisnis merupakan salah satu aktivitas usaha yang utama dalam
menunjang perkembangan ekonomi. Kata bisnis diambil dari bahasa
Inggris business yang berarti kegiatan usaha. Richard Burton
Simatupang menyatakan:
Dalam arti luas, kata bisnis sering diartikan sebagai keseluruhan kegiatan usaha yang dijalankan oleh orang atau badan secara teratur dan terus menerus, yaitu berupa kegiatan mengadakan barang-barang atau jasa-jasa maupun fasilitas-fasilitas untuk diperjualbelikan, dipertukarkan, atau disewagunakan dengan tujuan mendapatkan keuntungan. 4
Kamus Bahasa Indonesia memberikan pengertian bisnis, sebagai
berikut:
Bisnis: usaha dagang, usaha komersial dalam dunia perdagangan.5
Sedangkan dalam Blacks Law Dictionary, didefinisikan sebagai
berikut:
Business: Employment, occupation, profession, or commercial activity engaged in for gain or livelihood. Activity or enterprise for gain, benefit, advantage or livelihood; .... 6
4 Richard Burton Simatupang. Aspek Hukum dalam Bisnis. Jakarta: Rineka Cipta, 1996,
hlm. 1. 5 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1994, hlm. 138. 6 Henry Campbell Black. Blacks Law Dictionary Sixth Ed.. St. Paul Minn: West Publishing
Co. 1990, hlm. 198.
5
Berdasarkan pengertian yang telah diuraikan di atas nampak
bahwa bisnis merupakan kegiatan perdagangan, namun meliputi pula
unsur-unsur yang lebih luas, yaitu pekerjaan, profesi, penghasilan, mata
pencaharian, dan keuntungan.
Aktivitas bisnis yang dilakukan semakin hari semakin bertambah,
baik dari segi jumlahnya maupun dari segi kompleksitasnya.
Pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat dan kompleks melahirkan
berbagai bentuk kerjasama bisnis. Kerjasama bisnis yang terjadi sangat
beraneka ragam, tergantung pada bidang bisnis apa yang sedang
dijalankan. Keanekaragaman kerjasama bisnis itu, tentu saja melahirkan
masalah dan tantangan baru, karena itu hukum harus siap untuk dapat
mengantisipasi setiap perkembangan yang muncul.
Permasalahan di bidang hukum akan semakin rumit dan kompleks
saat kerjasama bisnis yang dilakukan tidak hanya terbatas dalam suatu
negara saja, akan tetapi melibatkan hubungan dan kerjasama bisnis
lintas batas negara.
Perdagangan Internasional yang dilakukan melibatkan
kepentingan dua atau lebih negara yang satu sama lain saling
membutuhkan. Perdagangan Internasional memungkinkan berbagai
negara mempunyai pilihan barang yang lebih beragam dibandingkan
dengan yang dapat diproduksi di dalam negeri sendiri. Setiap negara
6
mempunyai keterbatasan sumber daya dan kemampuan berproduksi
sehingga hanya dapat memproduksi barang secara terbatas.
Pendekatan ilmu ekonomi akan membantu menjelaskan latar
belakang dan tujuan dari suatu negara melakukan perdagangan
internasional, yakni:
Pertama, secara faktual tidak semua negara mampu memproduksi semua barang yang dibutuhkannya karena keterbatasan faktor-faktor ekonominya, misalnya sumber daya alam dan teknologi. Kedua, selera konsumen yang lebih menyukai untuk mengkonsumsi barang tertentu dari negara tertentu disebabkan oleh kekhususan serta kekhasannya. Ketiga, secara teoritis yaitu adanya keuntungan komparatif yang dimiliki oleh tiap-tiap negara dalam memproduksi barang-barang yang diekspornya. 7
Teori keunggulan komparatif yang dimaksud oleh David Ricardo
sebagaimana yang dikutip dalam The International Business
Einvironment, dapat dijelaskan sebagai berikut:
He showed that both countries should, and indeed, will trade in order to increase their national welfare, as long as each has a comparative advantage in the production of one good versus another. In other words, incentives for trade would exist even when one country has absolute cost advantage in nothing. The key, he noted was that a country should have the ability to produce one good, relative to another good, that is different from another countrys relative ability to produce the same two goods .... 8
Secara singkat pandangan Ricardo di atas hendak menyatakan
bahwa bangsa atau orang dapat meningkatkan standar kehidupan dan
pendapatan riilnya melalui spesialisasi produksi komoditi di mana yang 7 Kesimpulan disarikan dari Gerardo P. Sicat, (et.al). Ilmu Ekonomi Untuk Konteks
Indonesia. Jakarta: LP3ES, 1991, hlm. 585-590. 8 Anant K. Sundaram,et.al. The International Business Environment Text and Cases,.
USA: Prentice-Hall International, Inc., 1995, hlm. 65-66.
7
bersangkutan memiliki produktifitas tertinggi. Misalnya: bila Indonesia
mendasarkan pada faktor-faktor produksi yang dimilikinya ternyata lebih
produktif dan efisien dalam memproduksi beras dibandingkan dengan
pesawat terbang, tentunya akan lebih menguntungkan bila mengekspor
beras dan mengimpor pesawat terbang dari negara lain.
Dalam kerangka GATT9 telah diselenggarakan beberapa
perundingan perdagangan multilateral, hasil dari perundingan terakhir
adalah Uruguay Round yang pada intinya membentuk World Trade
Organzation (selanjutnya disingkat WTO). WTO adalah organisasi
internasional yang bertanggung jawab untuk mengatur sistem dan
mekanisme perdagangan internasional dan produk hukum yang dibuat
olehnya, atau yang telah mempunyai kekuatan hukum mengikat terhadap
negara-negara penandatangannya / pesertanya.
Perdagangan internasional merupakan hal yang tidak terhindarkan
untuk dilakukan negara manapun termasuk Indonesia.
9 GATT singkatan dari The General Agreement on Tariffs and Trade yaitu perjanjian
internasional di bidang perdagangan internasional yang mengikat lebih dari 120 negara, tujuan GATT dapat dilihat dari preamble GATT yang berbunyi sebagai berikut: ... Recognizing that their relations in the field of trade and economic endeavor should be conducted with a view to raising standards of living, ensuring full employment and a large and steadily growing volume of real income and effective demand, developing the full use of the resources of the world and expanding the production and exchange of goods ....
8
Salah satu aktivitas bisnis yang semakin banyak dilakukan dan
diterapkan sebagai salah satu cara pengembangan bisnis secara
internasional adalah dengan menggunakan metode Franchise10.
Dewasa ini waralaba dianggap sebagai suatu strategi bisnis yang
cukup berkembang.11 Perkembangan tersebut tidak dapat dilepaskan dari
gaya hidup masyarakat yang semakin selektif dan mengutamakan mutu
dalam memperoleh barang dan jasa, karena dengan waralaba kualitas
(mutu) produk menjadi terstandarisasi. Waralaba terbangun dari berbagai
unsur yang memperkuat daya saing di dalam bisnis, unsur standar mutu,
proses produksi, sistem manajemen yang handal serta reputasi merek
dagang dari pemberi waralaba. Unsur-unsur tersebut satu sama lain
saling mendukung sehingga waralaba dikatakan sebagai bentuk bisnis
10 Padanan istilah Franchise dalam bahasa Indonesia adalah waralaba yang pertama kali
diperkenalkan oleh Lembaga Pendidikan dan Pembinaan Manajemen (LPPM). Waralaba berasal dari kata wara yang berarti lebih atau istimewa dan laba berarti untung. Jadi, waralaba berarti usaha yang memberikan keuntungan lebih / istimewa. Lihat lebih lanjut Amir Karamoy. Sukses Usaha Lewat Waralaba. Jakarta: Jurnalindo Aksara Grafika, 1996, hlm. 3. Terminologi Pemberi Waralaba sepadan dengan Franchisor dan Penerima Waralaba sepadan dengan Franchisee. Pada penulisan Disertasi ini, penulis memilih menggunakan terminologi waralaba karena peraturan perundang-undangan di Indonesia menggunakan istilah ini, akan tetapi menggunakan pula terminologi franchise manakala diperlukan sesuai konteksnya karena secara gramatikal memang lebih lengkap dan tepat menggunakan terminologi franchise. Franchise adalah sistem pemasaran barang dan atau jasa dan atau teknologi, yang didasarkan pada kerjasama tertutup dan terus menerus antara pelaku-pelaku independen (maksudnya franchisor dan individual franchisee) dan terpisah baik secara legal (hukum) dan keuangan, di mana franchisor memberikan hak pada para individual franchisee, dan membebankan kewajiban untuk melaksanakan bisnisnya sesuai dengan konsep dari franchisor). Lihat lebih lanjut dalam European Code of Ethics for Franchising.
11 Khusus di Indonesia Berdasarkan Direktori Franchise Indonesia edisi ke-2 yang diterbitkan oleh Asosiasi Franchise Indonesia tercatat jumlah franchise asing hingga akhir tahun 2004 sekitar 240 usaha, sedangkan bisnis franchise dan konsep usaha lokal berjumlah 140 an.
9
yang unik. Keunikannya tercermin dari semua unsur pembangun
waralaba yang pada akhirnya mendorong timbulnya seperangkat aturan-
aturan hukum yang khas sifatnya12, selain itu menimbulkan perjanjian
yang tentu saja khas yang membedakan antara perjanjian bisnis pada
umumnya dan perjanjian waralaba13.
12 Waralaba berbeda dengan perjanjian bisnis lainnya walaupun mempunyai beberapa
kesamaan (misal dengan perjanjian lisensi, perjanjian keagenan, distributorship, dan sebagainya, yang pada dasarnya merupakan kegiatan yang dapat digolongkan sebagai jual beli), Waralaba terbangun dari berbagai unsur yang saling terkait, misalnya: standar mutu, proses produksi, sistem manajemen yang handal, termasuk reputasi merek dagang, di mana unsur-unsur tersebut saling mendukung sehingga waralaba merupakan suatu bentuk usaha yang khas. Lisensi adalah bentuk pengembangan usaha yang melibatkan pemberian ijin atau hak untuk memanfaatkan, menggunakan ataupun melaksanakan Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) milik pemberi lisensi. Yang membedakan waralaba dengan lisensi adalah pada waralaba yang diberikan bukan hanya HaKI (merek dagang, rahasia dagang, dan sebagainya) tetapi juga metode teknis, sistem prosedural, sistem manajemen dan know-how. Agen adalah seseorang atau suatu badan hukum yang usahanya menjadi perantara yang diberi kuasa untuk melakukan perbuatan hukum tertentu atas nama prinsipal. Fungsi agen adalah sebagai perantara yang menjual barang / jasa untuk dan atas nama prinsipal. Distributor adalah suatu badan hukum yang ditunjuk oleh prinsipal untuk membeli berang-barangnya dan memasarkan serta menjualnya dalam wilayah tertentu, tetapi bertindak untuk dan atas namanya sendiri dan segala akibat perbuatannya menjadi tanggung jawabnya sendiri. Yang membedakan dengan waralaba dengan agen maupun distributorship adalah agen maupun distributorship pada dasarnya merupakan kerjasama bisnis yang dipusatkan pada distribusi produk (barang atau jasa), sedangkan waralaba selain kegiatan distribusi produk, meliputi pula masalah merek, know-how, bisnis, metode teknis, manufaktur, sistem prosedural, dan atau hak milik intelektual dan industrial yang didukung oleh bantuan teknis dan komersial.
13 Perjanjian franchise atau waralaba merupakan suatu pedoman hukum yang menggariskan tanggung jawab dari pemilik franchise atau yang disebut franchisor dan pemegang franchise atau yang disebut franchisee. Setiap pemilik franchise pada umumnya mempunyai suatu kontrak standar atau perjanjian baku yang ditawarkan kepada para calon pemegang franchise untuk dapat disepakati, di mana bentuk perjanjian yang telah dibuat oleh pemilik franchise ini disusun oleh para ahli hukumnya sehingga substansinya sebagian besar menguntung pemilik franchise atau minimal tidak merugikannya serta dapat melindungi pemilik franchise. Juajir Sumardi. Aspek-aspek Hukum Franchise dan perusahaan Transnasional. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995, hlm. 9.
10
Interaksi yang terjadi antara pemberi waralaba14 dan penerima
waralaba15 dibangun atas dasar hubungan perjanjian. Pihak pemberi
waralaba dalam perjanjian waralaba membutuhkan kepastian agar di
kemudian hari penerima waralaba sebagai mitra usaha tidak menjadi
pesaingnya di kemudian hari. Demikian pula sebaliknya, penerima
waralaba pun memerlukan kepastian bahwa bisnis waralaba yang
dijalankan olehnya memang sudah benar-benar teruji dan memang
merupakan produk yang memiliki reputasi yang baik di masyarakat
sehingga akan memberikan keuntungan finansial baginya. Oleh karena
itu, dalam penyusunan perjanjian waralaba keterlibatan hukum
dibutuhkan oleh para pihak (baik pihak pemberi waralaba maupun pihak
penerima waralaba) guna memberikan posisi berimbang terhadap
kepentingan bisnis masing-masing pihak.
Guna mendukung praktek bisnis sehari-hari, para pengusaha
biasanya mengadakan perjanjian atas syarat-syarat yang mereka setujui
bersama, untuk mencapai tujuan ekonomi yang mereka harapkan.
Syarat-syarat tersebut dirumuskan sedemikian rupa dengan rapi
14 Terminologi Pemberi waralaba sepadan dengan franchisor atau pemilik franchise. Pasal 1
angka (2) Peraturan Pemerintah Nomor: 16 Tahun 1997 tentang Waralaba mendefinisikan Pemberi Waralaba adalah badan usaha atau perorangan yang memberikan hak kepada pihak lain untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimilikinya.
15 Terminologi Penerima waralaba sepadan dengan franchisee atau pemegang franchise. Pasal 1 angka (3) Peraturan Pemerintah Nomor: 16 Tahun 1997 tentang Waralaba mendefinisikan Penerima Waralaba adalah badan usaha atau perorangan yang diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas yang dimiliki Pemberi Waralaba.
11
sehingga menjadi syarat-syarat yang berlaku untuk semua orang yang
membuat perjanjian dengan pengusaha yang bersangkutan. Perjanjian
semacam itu dikenal dengan nama perjanjian baku (standard contract).
Perjanjian baku (standard contract) pada dasarnya merupakan
pembakuan atau standarisasi agar transaksi dapat dilaksanakan secara
cepat. Oleh karena itu, syarat-syarat yang telah disepakati itu dibakukan,
artinya ditetapkan sebagai tolok ukur bagi setiap pihak yang membuat
perjanjian dengan pengusaha yang bersangkutan.16
Berdasarkan uraian di atas, timbul suatu pertanyaan apakah
dalam suatu perjanjian yang telah dibuat terlebih dahulu atau disiapkan
terlebih dahulu oleh salah satu pihak yang terikat dalam perjanjian yang
dikenal dengan perjanjian baku (standard contract), dalam hal ini
khususnya di bidang waralaba akan dapat memberikan posisi berimbang
bagi para pihak?.
Pada umumnya pemberi waralaba dalam mewaralabakan
bisnisnya membuat suatu perjanjian baku yang berisikan klausula-
klausula yang berisikan kepentingan para pihak, baik pihak pemberi
waralaba maupun penerima waralaba. Pemberi waralaba sebagai pihak
yang menyusun perjanjian seringkali dalam menyusun klausula-klausula
perjanjian baku lebih memperhatikan kepentingannya. Sehingga, pemberi
16 Soedjono Dirdjosisworo. Pengantar Hukum Dagang Internasional. Bandung: Refika
Aditama, 2006, hlm. 51.
12
waralaba berada dalam posisi yang memiliki posisi tawar yang lebih baik
dibandingkan pihak penerima waralaba. Hal ini mengakibatkan posisi
tawar penerima waralaba berada dalam kondisi yang kurang kuat
dibandingkan dengan posisi tawar dari pemberi waralaba.
Oleh karena itu, berdasarkan uraian di atas timbul suatu
problematika bahwa dalam perjanjian yang telah dilakukan secara baku
(standard contract), khususnya dalam perumusan klausula-klausula
dalam perjanjian waralaba, perlu diperhatikan posisi berimbang.
Penyusunan perjanjian waralaba perlu diperhatikan agar kepentingan
para pihak dapat terakomodasi dengan baik, selain itu dapat memberikan
posisi berimbang bagi para pihak yakni pemberi waralaba dan penerima
waralaba, atau minimal dapat mengurangi ketidakseimbangan atau
ketidakselarasan hubungan antara pemberi waralaba dan penerima
waralaba.
Di lain pihak, Pemerintah pun dituntut agar dapat melindungi serta
menaungi kepentingan dari segenap warganya. Hal ini dapat dilakukan
dengan membuat pengaturan yang mengakomodasi kepentingan para
pihak berupa hukum positif yang mengatur mengenai waralaba di
Indonesia17.
17 Pengaturan mengenai waralaba telah menjadi hukum positif dengan diberlakukannya
Peraturan Pemerintah Nomor: 16 Tahun 1997 tentang Waralaba, dan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor: 12/MDag/Per/3/2006 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba.
13
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka
penulis berpendapat bahwa hukum harus dapat memberikan posisi
berimbang bagi para pihak. Praktek sehari-hari mengenal perjanjian baku
(standard contract) guna memperlancar transaksi bisnis yang dijalankan.
Perjanjian baku (standard contract) biasanya disusun serta dirumuskan
sepihak sehingga seringkali baik dalam penyusunan maupun
perumusannya terdapat hal-hal yang memberatkan pihak lainnya.
Sehubungan dengan itu, timbul suatu pertanyaan apakah dalam suatu
perjanjian baku (standard contract) posisi berimbang bagi para pihak
dapat tetap dipertahankan.
Atas problematika di atas, penulis merasa tertarik dan ingin mengetahui
lebih lanjut, apakah posisi berimbang bagi para pihak tetap merupakan
suatu hal yang dapat dipertahankan dalam suatu perjanjian baku
(standard contract), khususnya dalam perjanjian waralaba. Berdasarkan
problematika yang dikemukakan, penulis memilih judul ASPEK
HUKUM PERJANJIAN BAKU DAN POSISI BERIMBANG PARA
PIHAK DALAM PERJANJIAN WARALABA.
Penulisan dalam Disertasi ini memfokuskan pada kajian perjanjian
baku (standard contract) dalam kaitannya terhadap posisi tawar atau
bargaining position dalam hubungan hukum antara pemberi waralaba
dan penerima waralaba dalam suatu perjanjian waralaba dan korelasinya
dengan posisi berimbang bagi para pihak.
14
B. Perumusan Masalah dan Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian di atas, perumusan masalah yang akan diteliti
adalah:
Apakah perjanjian baku (standard contract) dapat menjamin
posisi berimbang para pihak dalam perjanjian waralaba ?
Dari perumusan masalah di atas, dalam penelitian ini penulis
membatasi pada hal-hal yang diidentifikasikan sebagai berikut:
1. Apakah yang dimaksud dengan perjanjian baku (standard contract)
pada umumnya dan khususnya dalam perjanjian waralaba serta
syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan apakah yang membangun
suatu perjanjian baku?
2. Apakah yang dimaksud dengan kepentingan serta posisi berimbang
para pihak dalam suatu pelaksanaan perjanjian baku (standard
contract), khususnya di dalam perjanjian waralaba?
3. Apakah akibat diterapkannya perjanjian baku (standard contract)
dalam perjanjian waralaba dapat mengakomodir kepentingan para
pihak serta menjamin posisi berimbang dari para pihak, khususnya
bagi pihak yang memiliki posisi tawar (bargaining position) yang lebih
lemah dibandingkan pihak lainnya?
15
C. Tujuan Penelitian
Penulis mengidentifikasikan beberapa tujuan dari penelitian Disertasi ini,
sebagai berikut:
1. Mendapatkan gambaran yang menyeluruh mengenai perjanjian baku
(standard contract) pada umumnya dan khususnya dalam perjanjian
waralaba serta syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang membangun
suatu perjanjian baku.
2. Mendapatkan gambaran yang menyeluruh mengenai posisi berimbang
bagi para pihak dalam perjanjian baku di dalam suatu perjanjian waralaba.
3. Mendapatkan gambaran secara menyeluruh bagaimana penerapan
perjanjian baku (standard contract) dalam perjanjian waralaba terhadap
posisi berimbang bagi pihak yang memiliki posisi tawar (bargainning
position) yang lebih lemah.
D. Kegunaan Penelitian
Penulisan Disertasi ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
yang berharga yaitu:
1. Secara Teoritis:
a. Memberikan sumbangan pemikiran yang berguna untuk
pengembangan ilmu hukum pada umumnya;
16
b. Memberikan sumbangan nyata untuk pengembangan ilmu
hukum khususnya hukum perjanjian dan lebih khusus lagi
mengenai perjanjian-perjanjian waralaba.
c. Memberikan sumbangan pemikiran guna pengembangan
asas-asas hukum yang penting dalam perjanjian dengan
memperhatikan posisi berimbang bagi para pihak.
2. Secara Praktis:
a. Memberikan sumbangan pemikiran bagi para peneliti
khususnya yang sedang memperdalam tentang perjanjian
waralaba;
b. Memberikan sumbangan bagi Pemerintah untuk menciptakan
peraturan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang
berkecimpung dalam bisnis waralaba, yang dapat menaungi
posisi berimbang bagi para pihak yang terikat dalam perjanjian
waralaba;
c. Memberikan sumbangan bagi pihak swasta yang akan
memulai, ataupun telah menjalankan bisnis dengan
mempergunakan metode bisnis waralaba;
d. Memberikan sumbangan pemikiran bagi para praktisi hukum
dalam mendalami aspek hukum dari waralaba.
17
E. Kerangka Pemikiran
1. Kerangka Konseptual
Batasan-batasan serta pengertian yang akan digunakan oleh
penulis dalam disertasi ini adalah:
1. Asas Hukum adalah pikiran-pikiran dasar, yang terdapat di dalam dan
di belakang sistem hukum, masing-masing dirumuskan dalam
peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan Hakim yang
berkenaan dengannya ketentuan-ketentuan dan keputusan-
keputusan individual dapat dipandang sebagai penjabarannya.18
2. Keadilan merupakan kebajikan individual menurut para filsuf Yunani,
sehingga keadilan dianggap sebagai suatu tujuan yang kontiniu dan
konstan untuk memberikan kepada setiap orang haknya.
3. Kebebasan berkontrak adalah kebebasan para pihak yang terlibat
dalam suatu perjanjian untuk dapat menyusun dan menyetujui
klausula-klausula dari perjanjian tersebut, tanpa campur tangan pihak
lain. Campur tangan tersebut dapat berasal dari negara melalui
peraturan perundang-undangan yang menetapkan ketentuan-
ketentuan yang diperkenankan atau dilarang. Campur tangan tersebut
dapat pula berasal dari pihak Pengadilan, berupa putusan Pengadilan
18 J.J.H. Bruggink (alih bahasa:Arief Sidharta), Refleksi tentang Hukum.Bandung: Citra
Aditya Bakti, 1996, hlm. 119-120.
18
yang membatalkan sesuatu klausul dari suatu perjanjian atau seluruh
perjanjian itu, atau berupa putusan yang berisi pernyataan bahwa
suatu perjanjian batal demi hukum.19
4. Asas keseimbangan merupakan perkembangan lebih lanjut dari asas
persamaan20. Asas keseimbangan merupakan suatu asas dalam
hukum perjanjian yang memperhatikan agar para pihak yang terikat
dalam perjanjian mempunyai keseimbangan baik dalam hak maupun
kewajiban.
5. Pasal 1320 jo 1338 BW (Burgerlijk Wetboek) merupakan landasan
yuridik untuk menentukan syarat sahnya perjanjian.
6. Perjanjian baku ialah perjanjian yang hampir seluruh kalusul-
klausulnya sudah dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain
pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau
meminta perubahan.21
7. Posisi memiliki arti kedudukan, pangkat, letak. Posisi merupakan kata
kajian mempunyai makna khusus bersifat dinamis verba / melakukan.
Pemilihan kata posisi dibandingkan kata kedudukan dalam
disertasi ini dengan alasan bahwa kata kedudukan merupakan kata
19 P.S. Atiyah, The Rise and Fall of Freedom of Contract. Oxford:Clorendon Press, 1979,
hlm. 703-712. 20 Mariam Darus Badrulzaman, Kerangka Dasar Hukum Perjanjian. Jakarta: Elips, 1998,
hlm.43. 21 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang
Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia. Jakarta: Institut Bankir Indonesia (IBI), 1993, hlm. 66.
19
benda / kata umum / kata populer. Kata kedudukan berarti letak,
tempat kediaman, lokasi tingkatan / martabat, keadaan sebenarnya
tentang perkara.22
8. Disertasi ini di dalam judulnya menggunakan kata berimbang karena
merupakan kata kerja yang berarti sama berat dalam hal kekuatan,
kuasa (setimbang / sebanding / berpadanan). Kata seimbang tidak
digunakan dalam Disertasi ini karena arti kata seimbang artinya
sama berat. Disertasi ini lebih memfokuskan bahwa posisi para pihak
dalam perjanjian ini berimbang, artinya para pihak yang tunduk pada
perjanjian berimbang namun tidak berarti sama berat baik hak
maupun kewajibannya.23
9. Perjanjian Waralaba merupakan perjanjian yang tidak bernama atau
perjanjian tanpa sebutan yaitu perjanjian-perjanjian yang tidak diatur
di dalam BW (Burgerlijk Wetboek), tetapi terdapat di dalam
masyarakat, yang disesuaikan dengan kebutuhan pihak-pihak yang
mengadakannya.
10. Undang-undang Nomor: 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil
merupakan salah satu acuan dalam pembentukan kaidah-kaidah
hukum untuk pengaturan aktivitas Waralaba di Indonesia.
22 Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1994, hlm. 245, 783. 23 ibid., hlm. 373,
20
11. Peraturan Pemerintah Nomor: 16 Tahun 1997 tentang Waralaba
merupakan produk hukum positif yang mengatur mengenai Waralaba
di Indonesia. Peraturan Pemerintah tersebut dipergunakan sebagai
dasar hukum di dalam menyusun pengaturan hukum mengenai
Waralaba di Indonesia.
12. Keputusan Menteri Perindustrian dan perdagangan Republik
Indonesia Nomor: 259/MPP/Kep/7/1997 tentang Ketentuan dan Tata
Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba. Keputusan ini
dipergunakan sebagai hukum positif di Indonesia khususnya dalam
melaksanakan tata cara pelaksanaan pendaftaran usaha waralaba di
Indonesia.
13. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor: 12/M-DAG/PER/3/2006
tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda
Pendaftaran Usaha Waralaba.
14. Peraturan hukum mengenai Waralaba di dunia Internasional
khususnya akan ditinjau berdasarkan sistem hukum yang lazim
digunakan yaitu Sistem Hukum Anglo Saxon, dan Sistem Hukum
Eropa Kontinental dengan mempertimbangankan bahwa Indonesia
merupakan bagian dari dunia internasional.
15. Kode Etik Waralaba di Indonesia dan dunia Internasional sebagai
acuan etis bagi para pihak yang menjalankan metode distribusi
barang / jasa dengan menggunakan sistem waralaba.
21
16. Waralaba adalah sistem pemasaran barang dan atau jasa dan atau
teknologi yang didasarkan pada kerjasama tertutup dan terus
menerus antara para pelaku (pemberi waralaba dan penerima
waralaba) yang terpisah baik secara hukum maupun keuangan, di
mana pemberi waralaba memberikan hak untuk menggunakan nama
dagang pemberi waralaba, dan/atau merek dagang, dan/atau merek
jasa, know-how, bisnis, metode teknis, sistem prosedural dan/atau
hak milik intelektual dan industrial yang didukung oleh bantuan teknis
dan komersial secara terus menerus, di dalam kerangka kerja
berdasarkan perjanjian tertulis yang dibuat oleh para pihak kepada
para penerima waralaba, dan untuk itu membebankan kewajiban
untuk melaksanakan bisnisnya sesuai dengan konsep dari pemberi
waralaba. Untuk semua hal itu pemberi waralaba berhak
mendapatkan imbalan berupa Initial Fee, Royalty, dan biaya-biaya
lain.
2. Kerangka Teoritis
Para pakar hukum mempunyai pandangan umum yang sama
mengenai suatu ungkapan ubi societas ibi ius. 24 Ungkapan tersebut
24 Ubi Societas ibi ius hendak mengungkapkan bahwa hukum adalah suatu gejala sosial
yang bersifat universal, di mana dalam setiap masyarakat, mulai dari yang paling primitif sampai pada yang paling modern apapun namanya terdapat gejala sosial yang disebut hukum. Lihat lebih lanjut dalam B. Arief Sidharta. Hukum Efektivitas dan Kultur Hukum Tinjauan tentang Efektivitas Hukum dalam Perspektif Antropologi Sosial dalamPercikan Gagasan Tentang Hukum II. Editor: A.F. Elly Erawati (et.al.), Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998, hlm. 9.
22
apabila diartikan secara harafiah dapat diartikan bahwa: di mana ada
masyarakat di situ ada atau berlaku hukum atau dengan kata lain bahwa
masyarakat dengan hukum mempunyai kaitan yang sangat erat satu
sama lain, sehingga di dalam semua masyarakat betapapun
sederhananya, pasti tumbuh berbagai perangkat kaidah perilaku yang
bertujuan untuk mewujudkan ketertiban dan memenuhi rasa atau
tuntutan keadilan.
Manusia mempunyai kecenderungan dan kebutuhan akan adanya
ketertiban dan keadilan, dinamika kehidupan masyarakat telah
memunculkan hukum yang terwujud melalui berbagai perangkat aturan
hukum yang tertata secara sistematis sebagai ungkapan rasa keadilan
masyarakat serta sebagai sarana untuk mewujudkan ketertiban
berkeadilan.
Berikut ini disampaikan Doktrin25 dari pakar hukum mengenai
tujuan hukum pada dasarnya untuk mewujudkan dan keadilan
kemanfaatan umum, serta kepastian hukum.
The Liang Gie dalam tulisannya mengenai teori-teori keadilan
menyatakan bahwa:
Konsep-konsep keadilan dalam lintasan sejarah selama ini ternyata cukup beragam. Pada umumnya dalam jaman Yunani Kuno dan Romawi, keadilan dianggap sebagai salah satu dari kebajikan utama (cardinal virtue). Dalam konsep ini keadilan merupakan kewajiban moral yang mengikat para anggota dari suatu masyarakat dalam hubungannya antara yang satu terhadap yang lainnya.
25 Doktrin merupakan pendapat pakar-pakar hukum ternama yang diikuti oleh komunitas
ilmuwan hukum.
23
Konsep keadilan sebagai suatu kebajikan tertentu berasal dari filsuf Yunani Kuno Plato (427-347 sebelum masehi) yang dalam bukunya Republica mengemukakan adanya 4 (empat) kebajikan pokok, yaitu kearifan (wisdom), ketabahan (caurage), pengendalian diri (discipline), dan keadilan (justice). 26
Sedangkan Darji Darmodiharjo dan Sidharta dalam Penjabaran
Nilai-nilai Pancasila mengungkapkan bahwa:
Kedayagunaan (doelmatigheid) Kemanfaatan menurut Jeremy Bentham adalah bahwa hukum bertujuan menjamin adanya kebahagiaan sebanyak-banyaknya pada orang sebanyak-banyaknya. Hakekat kebahagiaan adalah kenikmatan dan kehidupan yang bebas dari kesengsaraan. Baik buruknya hukum harus diukur dari baik buruknya akibat yang dihasilkan oleh penerapan hukum itu. Suatu ketentuan hukum baru dapat dinilai baik, jika akibat yang dihasilkan dari penerapannya adalah kebaikan, kebahagiaan sebesar-besarnya dan berkurangnya penderitaan. 27
Sedangkan Sudikno Mertokusumo serta Magnis Suseno menilai
kepastian hukum sebagai berikut:
Kepastian Hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu Kepastian Hukum mempunyai dua arti, yaitu: Pertama, kepastian dalam pelaksanaannya. Yang dimaksud ialah bahwa hukum yang resmi diperundangkan dilaksanakan dengan pasti oleh negara. Kepastian Hukum berarti bahwa setiap orang dapat menuntut agar hukum dilaksanakan dan tuntutan itu pasti dipenuhi, dan bahwa setiap pelanggaran hukum akan ditindak dan dikenakan snaksi menurut hukum juga. Kedua, kepastian orientasi. Yang dimaksud ialah bahwa hukum harus sedemikian jelas sehingga masyarakat dan hakim dapat berpedoman padanya. Itu berarti bahwa setiap istilah dalam hukum harus dirumuskan dengan terang dan tegas sehingga tak ada keragu-raguan tentang tindakan apa yang dimaksud. Begitu pula aturan-aturan hukum harus dirumuskan dengan ketat dan sempit agar keputusan dalam perkara pengadilan tidak dapat menurut tafsiran subyektif dan selera pribadi hakim. Kepastian orientasi menuntut agar ada prosedur pembuatan dan peresmian hukum yang jelas dan dapat diketahui umum. Kepastian orientasi ini juga menuntut agar hukum dikembangkan secara kontiniu dan taat asas. Undang-undang harus saling kait-mengkait, harus menunjuk ke satu arah agar masyarakat dapat membuat rencana ke masa depan, begitu pula jangan dibuat undang-undang yang saling bertentangan.
26 lihat lebih lanjut dalam The Liang Gie. Teori-teori Keadilan. Yogyakarta: Supersukses,
1982, hlm. 7. 27 lihat lebih lanjut dalam Darji Darmodiharjo dan Shidarta. Penjabaran Nilai-nilai Pancasila
dalam Sistem Hukum Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 1996, hlm. 53.
24
Kepastian Hukum (Rechtszekerheid) merupakan suatu jaminan bagi anggota masyarakat, bahwa ia akan diperlakukan oleh negara / penguasa berdasarkan aturan hukum dan tidak dengan sewenang-wenang, begitu juga kepastian mengenai isi dari aturan itu. 28
Sebagaimana dikemukan oleh Aristoteles, pada dasarnya tiap-tiap
manusia adalah zoon politikon, makhluk yang hidup dalam polis, yaitu
makhluk yang menegara. Setiap orang hanya dapat mengembangkan diri
dan mencapai kesempurnaan dalam kehidupan politik (menegara). Sifat
termulia seseorang terletak pada ketaatannya yang setia pada hukum
negara. Kebajikan moral ini oleh Aristoteles disebut keadilan (kursif oleh
penulis). Hukum yang harus dipatuhi untuk melakukan keadilan dibagi
dalam hukum alam29 dan hukum positif30. Di samping keadilan sebagai
kebajikan umum (kepatuhan kepada hukum alam dan hukum positif),
masih terdapat pula sebuah kebajikan khusus, yaitu keadilan yang
mengatur kehidupan manusia dalam segi-segi tertentu. Kebajikan ini
mempunyai ciri-ciri, yaitu:
Pertama, keadilan menentukan bagaimana seharusnya hubungan yang baik di antara manusia. Kedua, keadilan itu terletak di antara dua kutub yang ekstrim, yaitu orang harus menemukan keseimbangan dalam memperjuangkan
28 lihat lebih lanjut dalam Franz Magnis Suseno. Etika Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2001, hlm. 79-80. N.E. algra & H.R.W. Gokkel. Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae diterjemahkan oleh: Saleh Adiwinata, et.al., Bandung: Bina Cipta, 1983, hlm. 122. Sudikno Mertokusumo. Bab-bab Tentang Penemuan Hukum. Bandung : Citra Aditya Bakti, 1993, hlm. 1-2.
29 Hukum alam oleh Aristoteles dipandang sebagai hukum yang didasarkan pada kodrat
manusia, hukum adalah merupakan hukum yang selalu tetap berlaku dimana-mana karena relasinya dengan tatanan alam semesta. Hukum alam ini tetap dan tidak berubah serta sah dari dirinya sendiri.
30 Hukum positif oleh Aristoteles dipandang sebagai hukum yang tergantung pada peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan yang disusun oleh manusia.
25
kepentingannya sendiri dan orang tidak boleh hanya memikirkan kepentingannya sendiri dan melupakan kepentingan orang lain. 31
Menurut Aristoteles, keadilan merupakan gagasan yang ambigu
(mendua), sebab dari satu sisi konsep ini mengacu pada keseluruhan
kebajikan sosial (termasuk didalamnya kebajikan dalam hubungan
dengan sesamanya) atau disebut keadilan universal (umum). Keadilan
universal adalah keadilan yang terbentuk bersamaan dengan perumusan
hukum. Pada sisi yang lain, juga mengacu pada salah satu jenis
kebajikan sosial khusus atau disebut keadilan partikular. Keadilan
partikular adalah keadilan yang diidentikkan dengan kepatutan atau
equalitas.32 Keadilan partikular ini dapat dibagi menjadi dua yaitu
keadilan komutatif dan keadilan distributif.
Keadilan komutatif33 mengatur hubungan yang adil atau fair antara
orang yang satu dan yang lain atau antara warga negara yang satu dan
warga negara lainnya. Keadilan ini menyangkut hubungan horisontal
antara warga yang satu dengan warga yang lain. Keadilan ini menuntut
agar dalam interaksi sosial antara warga yang satu dan warga yang lain,
31 A. Gunawan Setiardja. Dialektika Hukum dan Moral dalam Pembangunan Masyarakat
Indonesia. Yogyakarta: Kanisius, 1990, hlm. 20-22. 32 Aequitas atau Equalitas (billijkheid, kepatutan) tidak bermaksud untuk mengurangi
keadilan. Aequitas hanya memberikan koreksi apakah subyek dalam siatuasi dan keadaan (omstandingheden) tertentu patut memperoleh haknya atau kewajibannya (kursif oleh penulis). Lihat lebih lanjut dalam O. Notohamidjojo. Demi Keadilan dan Kemanusiaan. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1975, hlm. 38-39.
33 A. Sonny Keraf. Etika Bisnis (Tuntutan dan Relevansinya). Yogyakarta: Kanisius, 1998, hlm. 140-142.
26
tidak boleh ada pihak yang dirugikan hak dan kepentingannya. Prinsip
keadilan komutatif menuntut agar semua orang memberikan,
menghargai, dan menjamin apa yang menjadi hak orang lain. Oleh
karena itu, dasar moralnya sama dengan keadilan legal yakni bahwa
semua orang mempunyai harkat dan martabat serta hak yang sama,
yang harus dijamin dan dihargai oleh semua orang lain. Keadilan
komutatif pada dasarnya adalah keseimbangan atau kesetaraan antara
semua pihak dalam interaksi sosial apapun. Jika dalam interaksi sosial
apapun terjadi bahwa pihak tertentu dirugikan hak dan kepentingannya,
maka negara dituntut untuk turun tangan menindak pihak yang
merugikan dan dengan demikian memulihkan kembali keseimbangan
atau kesetaraan kedua pihak yang terganggu oleh adanya pelanggaran
tadi. Negara dituntut untuk memulihkan kembali hubungan yang kurang
harmonis yang diakibatkan pelanggaran hak oleh pihak tertentu. Dalam
kaitan dengan itu, prinsip keadilan komutatif juga menyangkut pemulihan
kembali hubungan yang kurang harmonis, karena terlanggarnya hak
pihak tertentu oleh pihak lain.
Sedangkan prinsip Keadilan Distributif34 atau yang kini dikenal
sebagai keadilan ekonomi adalah distribusi ekonomi yang merata atau
yang dianggap adil bagi semua warga negara. Dengan kata lain, keadilan
34 Ibid., hlm. 142-143.
27
distributif menyangkut pembagian kekayaan ekonomi atau hasil-hasil
pembangunan.
Aristoteles menerima ketidakadilan sosial ekonomi sebagai hal
yang adil, asal saja sesuai dengan peran dan sumbangan masing-masing
orang. Maksudnya, yaitu bahwa orang yang mempunyai sumbangan dan
prestasi terbesar akan mendapat imbalan terbesar, sedangkan orang
yang sumbangannya kecil akan mendapat imbalan yang kecil. Demikian
pula, perbedaan kaya miskin yang sejalan dengan perbedaan
sumbangan dan prestasi masing-masing orang harus dianggap sebagai
hal yang adil. Dengan kata lain, keadilan distributif tidak membenarkan
prinsip sama rata dalam hal pembagian kekayaan ekonomi. Prinsip sama
rata hanya akan menimbulkan ketidakadilan karena mereka yang
menyumbang paling besar tidak dihargai semestinya.
Pakar-pakar filsafat maupun pakar hukum yang eksis sejak dahulu
hingga saat ini memiliki konsep, pengertian, pemahaman, argumentasi
mengenai keadilan yang berbeda satu sama lain. Lebih lanjut, Disertasi
ini akan memfokuskan penelitian dengan didasarkan pada teori keadilan
yang dianut oleh kaum Utilitarian
Utilitarisme klasik berakar pada pertengahan abad 19 dan awal
abad 20. Gagasan dari Utilitarian intinya adalah Utilitas (prinsip tentang
kebahagiaan terbesar). Paham ini membahas bahwa tujuan hidup adalah
28
kebahagiaan, keadilan merupakan sebuah kaidah moral yang berguna
demi melindungi kebahagiaan masyarakat.
Jeremy Bentham mendefinisikan fungsi-fungsi pokok dari hukum
sebagai berikut, yaitu memberi penghidupan, bertujuan memperoleh
materi yang berlimpah-limpah, mendorong persamaan dan memelihara
keamanan dengan menekankan pada fungsi melindungi dari hukum,
yaitu keseimbangan dari pelbagai kepentingan.35
John Rawls dalam tulisannya A Theory of Justice membahas
lebih lanjut mengenai konsep keadilan yang dikemukakan oleh kaum
Utilitarian, dan menyusun suatu teori bahwa keadilan adalah suatu hal
yang wajar.
Prinsip keadilan kaum Utilitarian (kursif oleh penulis), keadilan
telah dijalankan walaupun salah satu pihak merugi asal saja kebaikan
dapat diperoleh untuk kuantitas yang lebih besar (the greatest happiness
of the greatest number kursif oleh penulis).
Sedangkan menurut Rawls dapat dimungkinkan sesuatu dikatakan
adil walaupun terdapat beberapa ketidaksamaan dari segi distribusi,
namun ketidaksamaan yang terjadi harus dapat melindungi atau
meningkatkan kedudukan mereka yang paling sedikit diuntungkan dalam
masyarakat / memaksimalkan keadaan minimum.
35 W. Friedmann. Teori & Filsafat Hukum (Idealisme Filosofis & Problema Keadilan)
diterjemahkan oleh Muhammad Arifin. Jakarta: Rajawali Pers, 1994, hlm. 115-116.
29
Berdasarkan hal tersebut, penulis menyimpulkan bahwa adil tidak
berarti harus terbagi secara merata akan tetapi pihak yang
kedudukannya lebih lemah harus terlindungi (kursif oleh penulis).
Apabila ditelaah antara teori Utilitarian dan teori John Rawls
mengenai konsep keadilan dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Menurut faham Utilitarian (Bentham, Hume, dan J.S. Mill), keadilan akan
didapatkan jika maksimum penggunaan barang bagi suatu komunitas, dalam
hal ini average utility dihitung per kapita sehingga terkenal ungkapan the
greatest happiness of the greatest number.
2. Menurut John Rawls, keadilan akan didapatkan jika dilakukan maksimum
penggunaan barang secara merata dengan memperhatikan kepribadian
masing-masing (justice as fairness). 36
Ukuran keadilan dari faham utilitarianism adalah kebahagiaan bagi
sebanyak mungkin manusia (kursif oleh penulis) maka hukum harus juga
dapat memberikan manfaat (kursif oleh penulis) (utility) bagi sebanyak
mungkin orang dengan memperhatikan para pihak dalam arti
memberikan manfaat dengan memperhatikan kepribadian (kursif oleh
penulis) masing-masing.
John Rawls lebih lanjut mengungkapkan bahwa dapat dikatakan
adil walaupun terdapat beberapa ketidaksamaan. Akan tetapi
ketidaksamaan tersebut harus dapat meningkatkan kedudukan mereka
yang paling sedikit diuntungkan. Sehingga, adil tidak harus merata dalam
36 John Rawls. A Theory of Justice. Cambridge, Massachussetts, USA, The Belknap Press
of Harvard University Press, 1971, hlm. 196 201.
30
arti sama rata dan sama rasa namun pihak yang kedudukannya yang
lebih lemah harus dilindungi.
Selanjutnya uraian kerangka pemikiran dari Disertasi ini akan
dimulai dari pembahasan mengenai asas-asas perjanjian, perjanjian
baku, dan posisi berimbang bagi para pihak dalam perjanjian waralaba.
Pasal 1313 KUHPerdata, memberikan rumusan sebagai berikut:
Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. 37
Dari perumusan Pasal 1313 BW (Burgerlijk Wetboek), dapat
disimpulkan bahwa perjanjian atau persetujuan yang dimaksud dalam
pasal tersebut adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan. Dengan
demikian hubungan antara perikatan dan perjanjian yakni perjanjian itu
menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah salah satu sumber perikatan, di
samping sumber lainnya yaitu undang-undang.
Hukum perjanjian di Indonesia terbangun dari asas-asas pokok
yang menjiwainya. Scholten menggambarkan bahwa yang dimaksud
dengan asas yakni:
Pokok-pokok pikiran yang melandasi dan melatarbelakangi setiap ketentuan perundang-undangan maupun putusan-putusan pengadilan di dalam suatu sistem hukum. Ragam peraturan-peraturan khusus dan putusan-putusan tersebut di sini dapat dipandang sebagai pengejawantahan darinya. 38
37 Subekti dan Tjitrosudibio. Kitab Undang Undang Hukum Perdata. Jakarta: Pradnya
Paramita, 1995, hlm. 338. 38 Herlien Budiono. Op.Cit., hlm. 2.
31
Perjanjian terbentuk karena adanya persesuaian pernyataan
kehendak sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1320 bagian pertama
BW (Burgerlijk Wetboek) mengenai salah satu syarat sahnya perjanjian,
yaitu persetujuan dari mereka yang mengikatkan dirinya.39
Oleh karena itu, pada umumnya suatu perjanjian dimulai dengan
pernyataan dari salah satu pihak untuk mengikatkan dirinya atau
menawarkan suatu perjanjian yang disebut penawaran, kemudian pihak
lainnya juga memberikan pernyataan penerimaan penawaran tersebut
atau disebut penerimaan.40
Dalam merumuskan perjanjian terdapat beberapa asas hukum
yang menurut hemat penulis merupakan asas yang pokok yang
melandasi terbentuknya Perjanjian di Indonesia.
Asas hukum merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya
suatu hukum. Ini berarti bahwa peraturan-peraturan hukum pada
akhirnya bisa dikembalikan kepada asas-asas tersebut.41
39 Veronika Komalawati, Peranan Informed Consent Dalam Transaksi Terapeutik.
Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999, hlm. 10., mengutip pendapat dari Nieuwenhuis: Toestemming als vereist voor het totstandkomen van een overeenkomst is hier aanwezig. Het begrip toestemming houdt in dat partijen hun wil tot het sluiten van een overeenkomst aan elkaar kenbaar hebben gemaakt door middel van op elkaar aansluitende wilsverklaringen: artinya: persetujuan (toestemming) sebagai syarat terjadinya suatu perjanjian dipenuhi di sini. Pengertian persetujuan (toestemming) mempunyai arti bahwa para pihak memberitahukan kehendak masing-masing untuk mengadakan persetujuan dengan perasaan atau melalui pernyataan-pernyataan kehendak yang berkaitan dengan itu.
40 Ibid., hlm. 11. 41 Satjipto Rahardjo. Ilmu Hukum. Bandung: Alumni, 1986, hlm. 85.
32
Asas hukum mengandung tuntutan etis, oleh karena itu asas
merupakan jembatan antara peraturan-peraturan hukum dengan cita-cita
sosial dan pandangan etis masyarakatnya. Pembentukan peraturan di
bidang hukum perjanjian tidak terlepas dari asas hukum sebagai pilar
utama di dalam pembentukannya
Melalui asas hukum, peraturan-peraturan hukum berubah sifatnya
menjadi bagian suatu tatanan etis.42
Herlien Budiono43 berpendapat bahwa setidaknya terdapat tiga
asas pokok. Asas-asas fundamental yang melingkupi hukum kontrak
ialah:
a. Asas Konsensualisme, bahwa perjanjian terbentuk karena adanya perjumpaan kehendak (consensus) dari pihak-pihak. Perjanjian pada pokoknya dapat dibuat bebas tidak terikat bentuk dan tercapai tidak secara formil, tetapi cukup melalui konsensus belaka.
b. Asas Kekuatan Mengikat Perjanjian (verbindende kracht der overeenkomst) bahwa para pihak harus memenuhi apa yang mereka sepakati dalam perjanjian yang mereka buat.
c. Asas Kebebasan Berkontrak (contractsvrijheid) bahwa para pihak menurut kehendak bebasnya masing-masing dapat membuat perjanjian dan setiap orang bebas mengikatkan diri dengan siapapun yang ia kehendaki. Pihak-pihak juga dapat bebas menentukan cakupan isi serta persyaratan dari suatu perjanjian dengan ketentuan bahwa perjanjian tersebut tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, yang bersifat memaksa, baik ketertiban umum ataupun kesusilaan.
Pada dasarnya untuk terbentuknya suatu perjanjian cukup dengan
terjadinya persesuaian atau perjumpaan kehendak dari para pihak yang
bermaksud membuat perjanjian. Asas Konsesualitas dapat ditemukan
42 Ibid. 43 Herlien Budiono. Op.Cit., hlm. 95.
33
dalam Pasal 1320 BW (Burgerlijk Wetboek) bagian pertama, yakni
sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
Pengertian sepakat digambarkan sebagai pernyataan kehendak
yang disetujui (overeenstemmende wilsverklaring) antara pihak-pihak.
Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan tawaran (offerte) ,
sedangkan pernyataan pihak yang menerima tawaran dinamakan
akseptasi (acceptatie).
Asas kebebasan berkontrak merupakan suatu asas dalam hukum
perjanjian pada umumnya yang intinya memperbolehkan para pihak
untuk secara bebas menuangkan kehendaknya, kemudian disusun dalam
perjanjian yang mengikat para pihak yang menandatangani perjanjian
asal saja tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan baik ,
atau ketertiban umum (vide Pasal 1337 BW (Burgerlijk Wetboek)).
Asas Kebebasan Berkontrak atau dikenal dengan istilah freedom
of contract atau liberty of contract merupakan salah satu asas terpenting
di dalam hukum perjanjian. Asal mulanya Asas Kebebasan Berkontrak
lahir pada abad pertengahan di Eropa bersamaan dengan munculnya
teori ekonomi klasik laissez faire yang merupakan reaksi terhadap
mercantile system44.
44 Essel R Dillavou[et.al]. Principle of Business Law. New Jersey: Prentice Hall Inc, 1962,
hlm. 51-55.
34
Ide dasar yang melandasi Asas Kebebasan Berkontrak adalah
bahwa setiap individu dapat membuat perjanjian dalam arti seluas-
luasnya, tanpa campur tangan dari pihak luar. Dengan demikian, hukum
ataupun negara tidak dapat campur tangan terhadap perjanjian yang
dibuat oleh para pihak.
Di dalam perkembangannya, kebebasan berkontrak hanya dapat
mencapai tujuannya bila para pihak mempunyai posisi tawar atau
bargaining position yang seimbang. Jika salah satu pihak lemah, maka
pihak yang memiliki posisi tawar atau bargaining position yang lebih kuat
akan dapat memaksakan kehendaknya untuk menekan pihak lain bagi
keuntungannya sendiri. Oleh karenanya, syarat-syarat atau ketentuan-
ketentuan dalam perjanjian seperti itu akan melanggar rasa keadilan.
Dalam prakteknya, para pihak tidak selalu memiliki Posisi Tawar atau
Bargaining Position45 yang seimbang, sehingga negara dapat turut atau
harus campur tangan untuk melindungi pihak yang lemah46.
Pada awalnya berlakunya Asas Kebebasan Berkontrak ini tidaklah
mutlak. KUHPerdata memberikan pembatasan berlakunya Asas
Kebebasan Berkontrak. Terdapat beberapa alasan yang menyebabkan
45 Posisi tawar atau bargainning position adalah posisi salah satu pihak yang karena hal-hal tertentu dapat memaksakan kehendaknya agar pihak yang lain dalam memasuki suatu perjanjian menerima klausul-klausul yang diinginkan, sehingga perjanjian itu menguntungkan dirinya (Lihat lebih lanjut dalam Ronny Sautma Hotma Bako. Hubungan Bank dan Nasabah Terhadap Produk Tabungan dan Deposito. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995, hlm. 10 mengutip pendapat dari buku Clark Robert W. Inequality of Bargaining Power Judicial Intervension in Improvident and Inconscionable Bargains. Toronto:Carswell, 1987, hlm. 102.) 46 Ibid., hlm. 38-49.
35
suatu perjanjian tidak lagi mengikat pihak-pihak yang membuatnya,
dalam hal terdapat kekhilafan (dwaling), paksaan (dwang), dan penipuan
(bedrog), persetujuan tanpa sebab, atau dibuat karena sesuatu sebab
yang palsu atau terlarang. (vide Pasal 1321 jo Pasal 1335 BW (Burgerlijk
Wetboek)). Ketentuan ini pada hakikatnya dimaksudkan oleh undang-
undang sebagai pembatasan berlakunya Asas Kebebasan Berkontrak.
Asas Kebebasan Berkontrak ini apabila diuraikan lebih lanjut akan
melandasi keberadaan dari perlindungan yang seimbang.
Asas kekuatan mengikat dapat ditemukan landasan hukumnya
dalam ketentuan Pasal 1338 ayat (1) BW (Burgerlijk Wetboek):
Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya
Asas kekuatan mengikat ini menyatakan bahwa suatu perjanjian
mengakibatkan suatu kewajiban hukum dan para pihak terikat untuk
melaksanakan kesepakatan kontraktual.
Janji dari kata-kata yang diucapkan sifatnya mengikat. Perjanjian
dibuat dan ditentukan oleh para pihak, baik ruang lingkupnya serta tata
cara pelaksanaan perjanjian. Hal ini akan menimbulkan akibat hukum
dan berlaku bagi para pihak, seperti halnya undang-undang bagi para
pihak (vide Pasal 1338 ayat (1) BW (Burgerlijk Wetboek)).
Selain 3 (tiga) asas pokok yang mendasari hukum perjanjian,
menurut pendapat penulis terdapat asas lainnya yang penting dan
36
mendasar untuk diperhatikan dalam upaya membangun hukum perjanjian
yakni Asas Keseimbangan. Lebih lanjut, Mariam Darus menyatakan
bahwa:
Asas Keseimbangan sendiri merupakan penjabaran lebih lanjut dari Asas Persamaan Hak. Asas Persamaan Hak, menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan, walaupun ada perbedaan kulit, bangsa, kepercayaan, kekuasaan, jabatan, dan lain-lain, dimana para pihak wajib melihat adanya persamaan ini dan mengharuskan kedua pihak untuk menghormati satu sama lain sebagai ciptaan Tuhan. 47
Lebih lanjut Mariam Darus menyatakan pendapat bahwa:
Asas Keseimbangan sebagai kelanjutan dari Asas Persamaan Hak menghendaki kedua pihak untuk memenuhi dan melaksanakan perjanjian, kedua belah pihak selain mempunyai kekuatan untuk menuntut pelaksanaam prestasi namun di lain pihak memiliki pula beban untuk dapat melaksanakan perjanjian dengan itikad baik. Asas Keseimbangan ini patut diperhatikan agar kedua belah pihak yang terikat dalam perjanjian mempunyai keseimbangan baik dalam hak maupun kewajiban. 48
Asas keseimbangan dapat dipahami sebagai asas yang layak atau
adil, hal ini berarti janji yang dibuat antara para pihak hanya akan
dianggap mengikat sepanjang dilandasi keseimbangan hubungan antara
kepentingan perseorangan dan kepentingan umum atau adanya
keseimbangan antara kepentingan kedua belah pihak sebagaimana
masing-masing pihak mengharapkannya.
Apabila dilihat dari kriteria keadilan seperti yang dikemukakan
Jeremy Bentham, kemudian diterapkan ke dalam hubungan perjanjian
waralaba yakni hubungan kontraktual antara pemberi waralaba dan
47 Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis. Bandung: Alumni, 1994,hlm.42-43. 48 Ibid.
37
penerima waralaba, maka hukum harus dapat menjamin kebahagiaan
dan manfaat bagi semua pihak termasuk pihak penerima waralaba.
Apabila ditelaah lebih lanjut keadaan yang menjamin kebahagiaan dan
manfaat bagi semua pihak merupakan pengejawantahan dari posisi
berimbang bagi para pihak yakni harmony.
Pemberlakuan teori hukum perjanjian terhadap perjanjian
waralaba juga menuntut adanya perlindungan terhadap pihak penerima
waralaba yang kerapkali berada pada pihak atau kedudukan yang lebih
lemah. Banyak kaidah hukum perjanjian yang mencoba melindungi pihak
yang lemah kedudukannya dalam perjanjian tersebut.
Penulis memilih topik bahasan mengenai perjanjian baku dikaitkan
dengan posisi berimbang bagi para pihak khususnya dalam perjanjian
waralaba dilandaskan pada kenyataan bahwa waralaba di Indonesia
maupun dalam dunia internasional sudah menjadi gaya hidup. Pada
masa kini terdapat lebih kurang 4.000 pemberi waralaba. 49 Di bawah ini
akan dipaparkan dengan baik bahwa pola distribusi barang dan atau/
jasa dan atau/ teknologi melalui pola waralaba sudah merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Contoh:
At my home in Virginia, I get up in the morning, open my front door and pick up my newspaper the Washington Post, delivered by a franchised newsagent. In it I read about my local American Football Team, Washington Redskins- a franchise. I go outside, get in my car- leased from a franchised dealership and drive into downtown Washington. On the way I stop off at the Bagel Bakery (franchise) and pick up a coffee and a bagel (been in America too long, should be
49 Sumber data diambil dari A Guide To Franchising in Malaysia.
38
tea and toast for an Englishman!). I park in a franchised parking garage and go into my office. During a break in my work, I call Mr. Rooter (franchised plumber) to fix a leak in the bathroom. At lunchtime, I pick up a snack from Mr. Wok (franchise) and drop off some clothes for dry-cleaning at One Hour Martinizing (franchise). As I drive home in the evening, I stop at a franchised Amoco gas station (petrol station in English!) and stop again at 7-Eleven (franchised convenience store) for a tin of shoe polish and a lottery ticket. When I get home, my wife and I may decide to eat out at The Olive Garden (franchised Italian restaurant) and pick up a video tape to watch later that evening from Blockbuster (franchise video tape rental).
50
Waralaba termasuk perjanjian tidak bernama51, perjanjian
waralaba lahir dari suatu kebutuhan manusia yang lain dalam
berhubungan dengan manusia lainnya, erat kaitannya dengan metode
pendistribusian barang, jasa, dan teknologi yang didasari akan adanya
reputasi baik yang dimiliki oleh pemberi waralaba.
Waralaba pada dasarnya mengandung elemen-elemen pokok
sebagai berikut:
1. pemberi waralaba yaitu pihak pemilik / produsen dari barang
atau jasa yang telah memiliki merek tertentu serta memberikan
50 Awalan Abdul Aziz. A Guide To Franchising In Malaysia. Kualalumpur: Petrix Trading &
Services Agency, 2
Top Related