Download - Perdarahan Gastrointestinal

Transcript
Page 1: Perdarahan Gastrointestinal

PERDARAHAN GASTROINTESTINAL

Paper

Kuliah Terbimbing

Oleh :

RATU SUZANNA OSWARIE

NPM. 10310311

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MALAHAYATI

BANDAR LAMPUNG

TAHUN 2014

Page 2: Perdarahan Gastrointestinal

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kita panjatkan kepada Allah SWT, karena atas hidayah-Nyalah paper ini

dapat terselesaikan. Paper ini penulis sampaikan kepada pembimbing kuliah terbimbing

Gastrointestinal Tract, dr. Toni Prasetya, sp.PD sebagai salah satu syarat kelulusan kuliah

terbimbing tersebut. Tidak lupa Penulis ucapkan terima kasih kepada semua dosen Universitas

Malahayati yang telah berjasa mencurahkan ilmu kepada penulis. Penulis memohon kepada

Bapak/Ibu dosen khususnya, umumnya para pembaca apabila menemukan kesalahan atau

kekurangan dalam karya tulis ini, baik dari segi bahasanya maupun isinya, penulis

mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun kepada semua pembaca demi lebih

baiknya karya-karya tulis yang akan datang.

Bandar Lampung, 1 Juni 2014

Penulis

Page 3: Perdarahan Gastrointestinal

PERDARAHAN SALURAN CERNA

Anatomi dan Fisiologi Saluran Cerna

Sistem pencernaan atau sistem gastroinstestinal adalah sistem organ dalam manusia yang

berfungsi untuk menerima makanan dan mencernanya menjadi zat-zat gizi dan energi, menyerap

zat-zat gizi ke dalam aliran darah serta membuang bagian makanan yang tidak dapat dicerna atau

merupakan sisa proses pencernaan tersebut dari tubuh. Sistem Pencernaan merupakan saluran

yang menerima makanan dari luar dan mempersiapkannya untuk diserap oleh tubuh dengan jalan

proses pencernaan (pengunyahan, penelanan dan pencampuran) dengan enzim dan zat cair yang

terbentang mulai dari mulut (oris) sampai anus.

Saluran pencernaan terdiri dari mulut, tenggorokan (faring), kerongkongan (esofagus),

lambung (gaster), usus halus, usus besar (kolon), rektum dan anus. Sistem pencernaan juga

meliputi organ-organ yang terletak diluar saluran pencernaan, yaitu pankreas, hati dan kandung

empedu.

Page 4: Perdarahan Gastrointestinal

A. Mulut

1. Mulut

Mulut adalah permulaan saluran pencernaan. Fungsi rongga mulut:

- Mengerjakan pencernaan pertama dengan jalan mengunyah

- Untuk berbicara

- Bila perlu, digunakan untuk bernafas

2. Pipi dan bibir

Mengandung otot-otot yang diperlukan dalam proses mengunyah dan bicara, disebelah luar

pipi dan bibir diselimuti oleh kulit dan disebelah dalam diselimuti oleh selaput lendir

(mukosa).

3. Gigi

- Terdapat 2 kelompok yaitu gigi sementara atau gigi susu mulai tumbuh pada umur 6-7

bulan dan lengkap pada umur 2 ½ tahun jumlahnya 20 buah dan gigi tetap (permanen)

tumbuh pada umur 6-18 tahun jumlahnya 32 buah.

- Fungsi gigi: gigi seri untuk memotong makanan, gigi taring untuk memutuskan makanan

yang keras dan liat dan gigi geraham untuk mengunyah makanan yang sudah dipotong-

potong.

4. Lidah

Fungsi Lidah:

- Untuk membersihkan gigi serta rongga mulut antara pipi dan gigi

- Mencampur makanan dengan ludah

- Untuk menolak makanan dan minuman kebelakang

- Untuk berbicara

- Untuk mengecap manis, asin dan pahit

- Untuk merasakan dingin dan panas

Bagian lidah yang berperan dalam mengecap rasa makanan adalah papilla. Papilla ini merupakan

bentukan dari saraf-saraf sensorik (penerima rangsang).

5. Kelenjar ludah

- Kelenjar parotis, terletak disebelah bawah dengan daun telinga diantara otot pengunyah

dengan kulit pipi. Cairan ludah hasil sekresinya dikeluarkan melalui duktus stesen

Page 5: Perdarahan Gastrointestinal

kedalam rongga mulut melalui satu lubang dihadapannya gigi molar kedua atas. Saliva

yang disekresikan sebanyak 25 – 35 %.

- Kelenjar Sublinguinalis, terletak dibawah lidah salurannya menuju lantai rongga mulut.

Saliva yang disekresikan sebanyak 3 – 5 %

- Kelenjar Submandibularis, terletak lebih belakang dan kesamping dari kelenjar

sublinguinalis. Saluran menuju kelantai rongga mulut belakang gigi seri pertama. Saliva

yang disekresikan sebanyak 60 – 70 %

Ada 2 jenis pencernaan didalam rongga mulut:

- Pencernaan mekanik

- Pencernaan kimiawi

B. Tenggorokan ( Faring)

Merupakan penghubung antara rongga mulut dan kerongkongan. Berasal dari bahasa

yunani yaitu Pharynk. Didalam lengkung faring terdapat tonsil yaitu kelenjar limfe yang banyak

mengandung kelenjar limfosit dan merupakan pertahanan terhadap infeksi, disini terletak

bersimpangan antara jalan nafas dan jalan makanan, letaknya dibelakang rongga mulut dan

rongga hidung, didepan ruas tulang belakang.

C. Kerongkongan (Esofagus)

Kerongkongan atau esofagus adalah tabung (tube) berotot pada vertebrata yang dilalui

sewaktu makanan mengalir dari bagian mulut ke dalam lambung. Makanan berjalan melalui

kerongkongan dengan menggunakan proses peristaltik. Sering juga disebut esofagus (dari bahasa

Yunani: οiσω, oeso – “membawa”, dan έφαγον, phagus – “memakan”).

Esofagus bertemu dengan faring pada ruas ke-6 tulang belakang. Menurut histologi, esofagus

dibagi menjadi tiga bagian :

- Bagian superior (sebagian besar adalah otot rangka)

- Bagian tengah (campuran otot rangka dan otot halus)

- Berta bagian inferior (terutama terdiri dari otot halus)

D. Gaster (lambung)

Page 6: Perdarahan Gastrointestinal

Lambung terletak pada epigastrium dan terdiri dari mukosa, submukosa, lapisan otot

yang tebal, dan serosa. Mukosa ventriculus berlipat-lipat atau rugae. Secara anatomis ventriculus

terbagi atas kardiaka, fundus, korpus, dan pilorus. Sphincter cardia mengalirkan makanan masuk

ke dalam ventriculus dan mencegah reflux isi ventriculus memasuki oesophagus kembali. Di

bagian pilorus ada sphincter piloricum. Saat sphincter ini berrelaksasi makanan masuk ke dalam

duodenum, dan ketika berkontraksi sphincter ini mencegah terjadinya aliran balik isi duodenum

(bagian usus halus) ke dalam ventriculus.

- Lapisan epitel mukosa lambung terdiri dari sel mukus tanpa sel goblet. Kelenjar bervariasi

strukturnya sesuai dengan bagiannya. Pada bagian cardiac kelenjar terutama adalah sel

mukus. Pada bagian fundus dan corpus kelenjar mengandung sel parietal yang mensekresi

HCl dan faktor intrinsik, dan chief cell mensekresi pepsinogen. Bagian pilorus mengandung

sel G yang mensekresi gastrin.

- Mukosa lambung dilindungi oleh berbagai mekanisme dari efek erosif asam lambung. Sel

mukosa memiliki permukaan apikal spesifik yang mampu menahan difusi asam ke dalam sel.

Mukus dan HCO3 dapat menetralkan asam di daerah dekat permukaan sel. Prostaglandin E

yang dibentuk dan disekresi oleh mukosa lambung melindungi lambung dan duodenum

dengan merangsang peningkatan sekresi bikarbonat, mukus lambung, aliran darah mukosa,

dan kecepatan regenarasi sel mukosa. Aliran darah mukosa yang bagus, iskemia dapat

mengurangi ketahanan mukosa.

- Fungsi utama lambung adalah sebagai tempat penampungan makanan, menyediakan

makanan ke duodenum dengan jumlah sedikit secara teratur. Cairan asam lambung

mengandung enzim pepsin yang memecah protein menjadi pepton dan protease. Asam

lambung juga bersifat antibakteri. Molekul sederhana seperti Fe, alkohol, dan glukosa dapat

diabsorbsi dari lambung.

E. Usus halus

- Usus halus adalah bagian dari saluran pencernaan yang terletak di antara lambung dan

usus besar. Dinding usus kaya akan pembuluh darah yang mengangkut zat-zat yang

diserap ke hati melalui vena porta. Dinding usus melepaskan lendir (yang melumasi isi

usus) dan air (yang membantu melarutkan pecahan-pecahan makanan yang dicerna).

Page 7: Perdarahan Gastrointestinal

Dinding usus juga melepaskan sejumlah kecil enzim yang mencerna protein, gula dan

lemak.

- Lapisan usus halus ; lapisan mukosa ( sebelah dalam ), lapisan otot melingkar ( m.sirkuler

), lapisan otot memanjang ( m.Longitudinal ) dan lapisan serosa. Usus halus terdiri dari

tiga bagian yaitu usus dua belas jari (duodenum), usus kosong (jejunum), dan usus

penyerapan (ileum).

1. Usus dua belas jari (Duodenum)

Usus dua belas jari atau duodenum adalah bagian dari usus halus yang terletak

setelah lambung dan menghubungkannya ke usus kosong (jejunum). Bagian usus dua

belas jari merupakan bagian terpendek dari usus halus, dimulai dari bulbo duodenale

dan berakhir di ligamentum Treitz.Usus dua belas jari merupakan organ

retroperitoneal, yang tidak terbungkus seluruhnya oleh selaput peritoneum. pH usus

dua belas jari yang normal berkisar pada derajat sembilan.

Pada usus dua belas jari terdapat dua muara saluran yaitu dari pankreas dan

kantung empedu. Nama duodenum berasal dari bahasa Latin duodenum digitorum,

yang berarti dua belas jari. Lambung melepaskan makanan ke dalam usus dua belas

jari (duodenum), yang merupakan bagian pertama dari usus halus. Makanan masuk ke

dalam duodenum melalui sfingter pilorus dalam jumlah yang bisa di cerna oleh usus

halus. Jika penuh, duodenum akan megirimkan sinyal kepada lambung untuk berhenti

mengalirkan makanan.

2. Jejunum

Usus kosong atau jejunum (terkadang sering ditulis yeyunum) adalah bagian

kedua dari usus halus, di antara usus dua belas jari (duodenum) dan usus penyerapan

(ileum). Pada manusia dewasa, panjang seluruh usus halus antara 2-8 meter, 1-2

meter adalah bagian usus kosong. Usus kosong dan usus penyerapan digantungkan

dalam tubuh dengan mesenterium.

Permukaan dalam usus kosong berupa membran mukus dan terdapat vili, yang

memperluas permukaan dari usus. Secara histologis dapat dibedakan dengan usus dua

belas jari, yakni berkurangnya kelenjar Brunner. Secara hitologis pula dapat

dibedakan dengan usus penyerapan, yakni sedikitnya sel goblet dan plak Pyeri.

Page 8: Perdarahan Gastrointestinal

Sedikit sulit untuk membedakan usus kosong dan usus penyerapan secara

makroskopis. Jejunum diturunkan dari kata sifat jejune yang berarti “lapar” dalam

bahasa Inggris modern. Arti aslinya berasal dari bahasa Laton, jejunus, yang berarti

“kosong”.

3. Ileum

Usus penyerapan atau ileum adalah bagian terakhir dari usus halus. Pada

sistem pencernaan manusia, ) ini memiliki panjang sekitar 2-4 m dan terletak setelah

duodenum dan jejunum, dan dilanjutkan oleh usus buntu. Ileum memiliki pH antara 7

dan 8 (netral atau sedikit basa) dan berfungsi menyerap vitamin B12 dan garam-

garam empedu.

F. Usus Besar (Kolon)

Usus besar atau kolon dalam anatomi adalah bagian usus antara usus buntu dan rektum.

Fungsi utama organ ini adalah menyerap air dari feses.

Usus besar terdiri dari :

- Kolon asendens (kanan)

- Kolon transversum

- Kolon desendens (kiri)

- Kolon sigmoid (berhubungan dengan rektum)

Banyaknya bakteri yang terdapat di dalam usus besar berfungsi mencerna beberapa bahan

dan membantu penyerapan zat-zat gizi. Bakteri di dalam usus besar juga berfungsi membuat zat-

zat penting, seperti vitamin K. Bakteri ini penting untuk fungsi normal dari usus. Beberapa

penyakit serta antibiotik bisa menyebabkan gangguan pada bakteri-bakteri didalam usus besar.

Akibatnya terjadi iritasi yang bisa menyebabkan dikeluarkannya lendir dan air, dan terjadilah

diare.

G. Sekum

Sekum (Bahasa Latin: caecus, “buta”) dalam istilah anatomi adalah suatu kantung yang

terhubung pada usus penyerapan serta bagian kolon menanjak dari usus besar. Organ ini

ditemukan pada mamalia, burung, dan beberapa jenis reptil. Sebagian besar herbivora memiliki

Page 9: Perdarahan Gastrointestinal

sekum yang besar, sedangkan karnivora eksklusif memiliki sekum yang kecil, yang sebagian

atau seluruhnya digantikan oleh umbai cacing.

H. Umbai Cacing (Appendix)

Umbai cacing atau apendiks adalah organ tambahan pada usus buntu. Infeksi pada organ

ini disebut apendisitis atau radang umbai cacing. Apendisitis yang parah dapat menyebabkan

apendiks pecah dan membentuk nanah di dalam rongga abdomen atau peritonitis (infeksi rongga

abdomen).

Dalam anatomi manusia, umbai cacing atau dalam bahasa Inggris, vermiform appendix

(atau hanya appendix) adalah hujung buntu tabung yang menyambung dengan caecum. Umbai

cacing terbentuk dari caecum pada tahap embrio. Dalam orang dewasa, Umbai cacing berukuran

sekitar 10 cm tetapi bisa bervariasi dari 2 sampai 20 cm. Walaupun lokasi apendiks selalu tetap,

lokasi ujung umbai cacing bisa berbeda – bisa di retrocaecal atau di pinggang (pelvis) yang jelas

tetap terletak di peritoneum.

I. Rektum

Rektum (Bahasa Latin: regere, “meluruskan, mengatur”) adalah sebuah ruangan yang

berawal dari ujung usus besar (setelah kolon sigmoid) dan berakhir di anus. Organ ini berfungsi

sebagai tempat penyimpanan sementara feses. Biasanya rektum ini kosong karena tinja disimpan

di tempat yang lebih tinggi, yaitu pada kolon desendens. Jika kolon desendens penuh dan tinja

masuk ke dalam rektum, maka timbul keinginan untuk buang air besar (BAB). Mengembangnya

dinding rektum karena penumpukan material di dalam rektum akan memicu sistem saraf yang

menimbulkan keinginan untuk melakukan defekasi. Jika defekasi tidak terjadi, sering kali

material akan dikembalikan ke usus besar, di mana penyerapan air akan kembali dilakukan. Jika

defekasi tidak terjadi untuk periode yang lama, konstipasi dan pengerasan feses akan terjadi.

J. Anus

Anus merupakan lubang di ujung saluran pencernaan, dimana bahan limbah keluar dari

tubuh. Sebagian anus terbentuk dari permukaan tubuh (kulit) dan sebagian lannya dari usus.

Pembukaan dan penutupan anus diatur oleh otot sphinkter. Feses dibuang dari tubuh melalui

proses defekasi (buang air besar – BAB), yang merupakan fungsi utama anus.

Page 10: Perdarahan Gastrointestinal

K. Pankreas

Pankreas adalah organ pada sistem pencernaan yang memiliki dua fungsi utama yaitu

menghasilkan enzim pencernaan serta beberapa hormon penting seperti insulin. Pankreas terletak

pada bagian posterior perut dan berhubungan erat dengan duodenum (usus dua belas jari).

Pankraes terdiri dari 2 jaringan dasar yaitu :

1. Asini menghasilkan enzim-enzim pencernaan

2. Pulau Langerhans menghasilkan hormon

Pankreas melepaskan enzim pencernaan ke dalam duodenum dan melepaskan hormon ke

dalam darah. Enzim yang dilepaskan oleh pankreas akan mencerna protein, karbohidrat dan

lemak. Enzim proteolitik memecah protein ke dalam bentuk yang dapat digunakan oleh tubuh

dan dilepaskan dalam bentuk inaktif. Enzim ini hanya akan aktif jika telah mencapai saluran

pencernaan. Pankreas juga melepaskan sejumlah besar sodium bikarbonat, yang berfungsi

melindungi duodenum dengan cara menetralkan asam lambung.

L. Hati

Hati merupakan sebuah organ yang terbesar di dalam badan manusia dan memiliki

berbagai fungsi, beberapa diantaranya berhubungan dengan pencernaan. Organ ini memainkan

peran penting dalam metabolisme dan memiliki beberapa fungsi dalam tubuh termasuk

penyimpanan glikogen, sintesis protein plasma, dan penetralan obat. Hati juga memproduksi

bile, yang penting dalam pencernaan.

Istilah medis yang bersangkutan dengan hati biasanya dimulai dalam hepat- atau hepatik

dari kata Yunani untuk hati, hepar. Zat-zat gizi dari makanan diserap ke dalam dinding usus yang

kaya akan pembuluh darah yang kecil-kecil (kapiler). Kapiler ini mengalirkan darah ke dalam

vena yang bergabung dengan vena yang lebih besar dan pada akhirnya masuk ke dalam hati

sebagai vena porta. Vena porta terbagi menjadi pembuluh-pembuluh kecil di dalam hati, dimana

darah yang masuk diolah. Hati melakukan proses tersebut dengan kecepatan tinggi, setelah darah

diperkaya dengan zat-zat gizi, darah dialirkan ke dalam sirkulasi umum.

M. Kandung empedu

Page 11: Perdarahan Gastrointestinal

Kandung empedu (Bahasa Inggris: gallbladder) adalah organ berbentuk buah pir yang

dapat menyimpan sekitar 50 ml empedu yang dibutuhkan tubuh untuk proses pencernaan. Pada

manusia, panjang kandung empedu adalah sekitar 7-10 cm dan berwarna hijau gelap, bukan

karena warna jaringannya, melainkan karena warna cairan empedu yang dikandungnya. Organ

ini terhubungkan dengan hati dan usus dua belas jari melalui saluran empedu.

Empedu memiliki 2 fungsi penting yaitu:

1. Membantu pencernaan dan penyerapan lemak

2. Berperan dalam pembuangan limbah tertentu dari tubuh, terutama haemoglobin (Hb) yang

berasal dari penghancuran sel darah merah dan kelebihan kolesterol.

Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas

Definisi

Perdarahan saluran cerna bagian atas (PSCA) didefinisikan sebagai perdarahan yang

terjadi di sebelah proksimal ligamentum Treitz pada duodenum distal. Sebagian besar perdarahan

saluran cerna bagian atas terjadi sebagai akibat penyakit ulkus peptikum (PUD, peptic ulcer

disease) yang disebabkan oleh H. Pylori atau penggunaan obat-obat anti-inflamasi non-steroid

(OAINS) atau alkohol. Robekan Mallory-Weiss, varises esofagus, dan gastritis merupakan

penyebab perdarahan saluran cerna bagian atas yang jarang.

Epidemiologi

Upper gastrointestinal tract bleeding (“UGI bleeding”) atau lebih dikenal perdarahan

saluran cerna bahagian atas memiliki prevalensi sekitar 75 % hingga 80 % dari seluruh kasus

perdarahan akut saluran cerna. Insidensinya telah menurun, tetapi angka kematian dari

perdarahan akut saluran cerna, masih berkisar 3 % hingga 10 %, dan belum ada perubahan selam

50 tahun terakhir. Tidak berubahnya angka kematian ini kemungkinan besar berhubungan

dengan bertambahnya usia pasien yang menderita perdarahan saluran cerna serta dengan

meningkatnya kondisi comorbid.

Page 12: Perdarahan Gastrointestinal

Peptic ulcers adalah penyebab terbanyak pada pasien perdarahan saluran cerna, terhitung

sekitar 40 % dari seluruh kasus. Penyebab lainnya seperti erosi gastric (15 % – 25 % dari kasus),

perdarahan varises (5 % – 25 % dari kasus), dan Mallory-Weiss Tear (5 % – 15 % dari kasus).

Penggunaan aspirin ataupun NSAIDs memiliki prevalensi sekitar 45 % hingga 60 % dari

keseluruhan kasus perdarahan akut. Di Indonesia kejadian yang sebenarnya di populasi tidak

diketahui.

Berbeda dengan di negera barat dimana perdarahan karena tukak peptik menempati

urutan terbanyak maka di Indonesia perdarahan karena ruptura varises gastroesofagei merupakan

penyebab tersering yaitu sekitar 50 – 60%, gastritis erosif hemoragika sekitar 25 – 30%, tukak

peptik sekitar 10 – 15% dan karena sebab lainnya < 5%. Mortalitas secara keseluruhan masih

tinggi yaitu sekitar 25%, kematian pada penderita ruptur varises bisa mencapai 60% sedangkan

kematian pada perdarahan non varises sekitar 9 – 12%. Sebahagian besar penderita perdarahan

SCBA meninggal bukan karena perdarahannya itu sendiri melainkan karena penyakit lain yang

ada secara bersamaan seperti penyakit gagal ginjal, stroke, penyakit jantung, penyakit hati

kronis, pneumonia dan sepsis.

Etiologi

PSCA secara umum dibagi menjadi dua yaitu PSCA karena rupture varices dan PSCA

bukan karena varices. Pada PSCA karena varices, patofisiologi yang mendasari adalah

meningkatnya tekanan vena porta yang mengakibatkan vena-vena esophagus, lambung melebar

dan juga menyebabkan gastropati. Sedangkan PSCA yang non varices, melibatkan perdarahan

arteriel seperti ulkus dan rupture mukosa yang dalam, atau perdarahan vena tekanan rendah

seperti pada teleangiectasi dan angioectasis.

Dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang seksama dapat menentukan kira-kira

lokasi PSCA. Riwayat penyakit hati kronis/ alkohol bisa memperkirakan perdarahan berasal dari

gastropati hipertensi portal atau pecahnya varices esophagus. Riwayat pemakaian obat anti

inflamasi non steroid / obat-obat anti rematik / penghilang nyeri yang berkaitan dengan

cyclooxygenase-1 yang menurunkan ketahanan mukosa terhadap asam lambung, bisa menuntun

kita ke arah ulkus lambung. Perlu dipertimbangkan juga kemungkinan infeksi H.Pylori. Ada

hubungan yang kuat antara infeksi H.Pylori dengan ulkus duodeni. Kuman ini merusak ‘mucosal

Page 13: Perdarahan Gastrointestinal

barrier’ dan menyebabkan inflamasi mukosa lambung dan duodenum serta menyebabkan ulkus

dan perdarahan berulang.

Dalam literatur yang ditulis oleh Pangestu Adi, 2007, penyebab timbulnya saluran cerna

bagian atas yang sering dilaporkan adalah varises esofagus, gastritis erosif, tukak peptik,

gastropati kongestif, sindrome Mallory dan keganasan.

Manifestasi Klinis

Secara umum perdarahan saluran cerna diklasifikasi sebagai perdarahan akut (dapat

berupa hematemesis, melena atau hematoschizia), atau kronik dengan manifestasi adanya darah

samar di feses atau anemia. Simtom yang bisa ditemukan berdasar frekwensi yang sering

dijumpai.

1. Hematemesis termasuk ‘coffee ground emesis’ 40-50%.

2. Melena 70-80%.

3. Hematoschizia ( feses warna merah atau marun) 15-20%.

4. Syncope 14%

5. Presyncope 43%

6. Dispepsia 18%

7. Nyeri epigastr 41%

8. Nyeri abdomen difus 10%

9. Berat badan menurun 12%

10. Ikterus 5%

Beberapa hal yang perlu diingat:

Bila didahului riwayat muntah-muntah / hiperemesis, hematemesis yang terjadi mungkin

disebabkan oleh robekan Mallory –Weiss.

Preparat yang mengandung bismuth dan besi, charcoal bisa menyebabkan feses berwarna

hitam seperti melena. Namun pada melena aromanya sangat khas, berbau busuk. Melena

terjadi bila perdarahan lebih dari 50-100 cc. Dan lama kontak darah dengan asam lambung

moderat. Untuk memastikan lakukan colok dubur.

Page 14: Perdarahan Gastrointestinal

Warna feses yang mengandung darah tergantung waktu transit; waktu transit yang cepat dari

saluran cerna bagian atas, dapat mengakibatkan warna feses merah darah atau merah

anggur/marun. PSCA dengan manifestasi hematoschizia, bisa terjadi bila perdarahannya

cepat, dengan jumlah > 1000 cc disertai gangguan hemodinamik tidak stabil/ syok.

Sebaliknya PSCB dengan waktu transit lambat misalnya pada obstruksi saluran cerna, ini

mengakibatkan feses berwarna hitam.

Nilai normal BUN : kreatinin adalah 20 pada pasien yang tidak menderita insufisiensi ginjal;

bila ratio tadi > 35 kemungkinan PSCA, bila < 35 kemungkinan PSCB. Nilai puncak rasio ini

24-48 jam sejak terjadinya perdarahan.

Laboratorium pmeriksaan darah perifer lengkap. Hemoglobin diperiksa serial / 4-6 jam.

Cross match untuk persiapan transfusi.

Masalah berkaitan dengan pembekuan: hitung trombosit, waktu prothrombin, activated

partial thromboplastin time dan international normalised ratio (INR), kadar fibrinogen.

‘Consumptive coagulopathy’ mungkin terjadi pada PSCA yang menimbulkan

trombositopenia. Trombosit kurang dari 50.000 dengan perdarahan aktif memerlukan

transfusi trombosit dan fresh frozen plasma untuk mengkoreksi kekurangan faktor-faktor

pembekuan.

Coagulopathy dan kadar fibrinogen yang rendah pertanda penyakit hati lanjut Pemeriksaan/

pencitraan foto thorax posisi tegak untuk menyingkirkan pneumonia aspirasi, efusi pleura,

emfisema subkutis akibat perforasi esofagus (Boerhaave syndrome), perforasi saluran cerna.

Foto dengan kontras Barium tidak dianjurkan, karena mengganggu endoskopi yang akan

dilakukan, disamping bahaya aspirasi USG dan CT scan mungkin untuk mendeteksi penyakit

hati kronis/sirosis hati, kholesistitis, pankreatitis dengan pseudokista dan perdarahan

aortoenteric fistula.

Angiografi bila perdrahan tetap berlangsung dan endoskopi tak dapat mengidentifikasi lokasi

sumber perdarahan. Prosedur ini bisa dilanjutkan untuk menyumbat sumber perdarahan bila

tindakan penghentian perdarahan dengan endoskopi gagal.

Pencitraan dengan radionuklir mungkin diperlukan untuk menentukan daerah perdarahan

aktif yang sukar diidentifikasi dengan moda pemeriksaan yang ada.

Esofago-gastro-duodenoskopi. Tindakan ini bisa untuk diagnostik, mencari sumber

perdarahan maupun terapi : injeksi sclerosan, ligasi varices, clipping dan sebagainya.

Page 15: Perdarahan Gastrointestinal

Varises Esofagus

Dalam ilmu gastroenterologi, varises esofagus adalah dilatasi berlebihan pada vena –

vena di lapisan submukosa pada bagian bawah esofagus. Terjadinya varises esofagus

dikarenakan sebagai konsekuensi dari hipertensi porta akibat sirosis hepatis sehingga pasien

dengan varises esofagus sering sekali mengalami perdarahan. Penegakan diagnosis varises

esofagus dilakukan dengan endoskopi.

Varises esofagus merupakan penyebab perdarahan yang paling sering dan paling

berbahaya pada sirosis hepatis yang merupakan penyebab dari sepertiga angka kematian

keseluruhan. Penyebab lain perdarahan pada saluran cerna atas yang sering ditemukan juga

adalah adalah tukak lambung dan duodenum (pada sirosis, insidensi gangguan ini meningkat),

erosi lambung akut, dan kecenderungan perdarahan (akibat masa protrombin yang memanjang

dan trombositopenia).

Penderita datang dengan melena atau hematemesis. Tanda perdarahan kadang – kadang

adalah ensefalopati hepatik. Hipovolemia dan hipotensi dapat terjadi bergantung pada jumlah

dan kecepatan kehilangan darah.

Berbagai tindakan telah digunakan untuk segera mengatasi perdarahan. Tamponade

dengan alat seperti pipa Sengstaken-Blakemore (triple-lumen) dan Minnesota (quadruple –

lumen) dapat menghentikan perdarahan untuk sementara waktu. Vena – vena dapat dilihat

dengan memakai peralatan serat optik dan disuntik dengan suatu larutan yang akan membentuk

bekuan di dalam vena, sehingga akan menghentikan perdarahan. Sebagian besar klinisi

beranggapan bahwa cara ini hanya berefek sementara dan tidak efektif untuk pengobatan jangka

panjang. Vasopresin (Pitressin) telah digunakan untuk mengatasi perdarahan. Obat ini

menurunkan tekanan vena porta dengan mengurangi aliran darah splangnikus, walaupun efeknya

hanya bersifat sementara. Kendati telah dilakukan tindakan darurat, sekitar 35% penderita akan

meninggal akibat gagal fungsi hati dan komplikasi.

Bila penderita pulih dari perdarahan (baik secara spontan atau setelah pengobatan

darurat), operasi pirau porta – kaval harus dipertimbangkan. Pembedahan ini mengurangi

Page 16: Perdarahan Gastrointestinal

tekanan porta (tekanan tinggi) dengan vena kava inferior (tekanan rendah). Pirau merupakan

terapi drastis untuk komplikasi utama sirosis ini. Operasi ini memperkecil kemungkinan

perdarahan esofagus selanjutnya, tetapi menambah resiko ensefalo hepatik. Harapan hidup

penderita tidak bertambah karena masih ditentukan oleh perkembangan penyakit hati.

Perdarahan saluran cerna merupakan salah satu faktor penting yang mempercepat

terjadinya ensefalopati hepatik. Ensefalopati terjadi bila amonia dan zat – zat toksik lain masuk

dalam sirkulasi sistemik. Sumber amonia adalah pemecahan protein oleh bakteri pada saluran

cerna. Ensefalopati hepatik akan terjadi bila darah tidak dikeluarkan melalui aspirasi lambung,

pemberian pencahar dan enema, dan bila pemecahan protein darah oleh bakteri tidak dicegah

dengan pemberian neomisin atau antibiotik sejenis.

Gastritis Erosif

Gastritis merupakan suatu keadaan peradangan atau perdarahan mukosal lambung yang

dapat bersifat akut, kronis, difus, atau lokal. Pada gastritis akan didapatkan mukosa memerah,

edema, dan ditutupi oleh mukus yang melekat serta sering terjadi erosi kecil dan perdarahan.

Derajat perdarahan yang ada sangat bervariasi. Manifestasi klinis gastritis erosif ini dapat

bervariasi dari keluhan abodmen yang tidak jelas, seperti anoreksia, bersendawa, atau mual,

sampai gejala yang lebih berat seperti nyeri epigastrium, muntah, perdarahan, dan hematemesis.

Pada beberapa kasus tertentu, bila gejala – gejala tersebut menetap dan adanya resistensi

terhadap pengobatan, maka akan diperlukan tindakan diagnostik tambahan seperti endoskopi,

biopsi mukosa, dan analisis cairan lambung untuk memperjelas penegakan diagnosis.

Terjadinya gastritis erosif dapat disebabkan oleh berbagai hal, misalnya:

Penggunaan obat anti – inflamasi non – steroid (OAINS) yang memiliki efek perusakan

mukosa yang bersifat lokal dan sistemik. Contoh OAINS yang dapat menimbulkan gastritis

erosif hingga menjadi ulkus ini adalah indometasin, diklofenak, aspirin (terutama dosis

tinggi), ibuprofen, naproksen, serta obat – obat yang lain berupa sulfonamida, steroid,

dandigitalis. Selain itu, asam empedu, enzim pankreas, dan etanol juga diketahui dapat

mengganggu sawar mukosa lambung. Efek anti – inflamasi dan analgetiknya terutama

didasarkan melalui penghambatan siklo – oksigenase sehingga menghambat sintesis

prostaglandin (dari asam arakidonat). Salah satu efek OAINS yang tidak diinginkan adalah

Page 17: Perdarahan Gastrointestinal

obat ini menghambat sintesis prostaglandin secara sistemik, termasuk di epitel lambung dan

duodenum, serta menurunkan sekresi HCO3- sehingga memperlemah perlindungan lapisan

mukosa dan juga menghentikan penghambatan sekresi asam. Selain itu, obat ini juga

merusak mukosa secara lokal melalui difusi non-ionik ke dalam sel mukosa. Efek

penghambatan obat ini terhadap agregasi trombosit akan meningkatkan bahaya perdarahan

ulkus.

Kejadian iskemia, misalnya vaskulitis atau saat melakukan lari maraton.

Stres, yakni kegagalan multi-organ, luka bakar, pembedahan, trauma sistem saraf pusat.

Penyalahgunaan konsumsi alkohol dan zat kimia korosif.

Trauma akibat gastroskopi, tertelannya benda asing, rasa enek, muntah dan mual berlebihan.

Trauma radiasi.

Tukak Peptik (Ulkus Peptikum)

Penyakit tukak peptik yaitu tukak lambung dan tukak duodenum merupakan penyakit

yang masih banyak ditemukan dalam klinik terutama dalam kelompok umur di atas umur 45

tahun. Perdarahan yang terjadi pada saluran cerna bagian atas akibat tukak peptik atau ulkus

peptikum merupakan penyulit yang paling sering ditemukan, sedikitnya ditemukan pada 15

hingga 25% kasus selama perjalanan penyakit. Walaupun ulkus di setiap tempat dapat

mengalami perdarahan, namun tempat perdarahan yang paling sering adalah dinding posterior

bulbus duodenum, karena di tempat ini dapat terjadi erosi arteri pankreatiko-duodenalis atau

arteria gastroduodenalis.

Gejala yang berkaitan dengan perdarahan ulkus bergantung pada kecepatan kehilangan

darah. Hematemesis atau melena dengan tanda syok apabila perdarahan masif dan perdarahan

tersembunyi yang kronik sehingga dapat menyebabkan terjadinya anemia defisiensi besi. Hasil

pemeriksaan darah samar dari feses dapat memperlihatkan hasil yang positif (tes guaiac positif)

atau feses mungkin berwarna hitam dan seperti ter (melena). Perdarahan masif dapat

mengakibatkan hematemesis (muntah darah), menimbulkan syok, dan dapat memerlukan

transfusi darah serta pembedahan darurat. Hilangnya nyeri sering menyertai perdarahan sebagai

efek bufer darah. Mortalitas berkisar hingga 10%, dan pasien yang berusia lebih dari 50 tahun

memiliki angka mortalitas yang lebih tinggi. Kelompok ini mewakili sekitar 20 hingga 25%

kematian total dari ulkus peptikum.

Page 18: Perdarahan Gastrointestinal

Insiden perdarahan akibat tukak sebesar 15 – 25% dan cenderung meningkat pada usia

lanjut, yakni di atas usia 60 tahun akibat adanya penyakit degeneratif dan meningkatnya

pemakaian OAINS (20% tanpa simptom dan tanda penyakit sebelumnya). Sebagian besar

perdarahan dapat berhenti secara spontan, sebagian memerlukan tindakan endoskopi terapi, bila

gagal dilanjutkan dengan terapi operasi (5% dari pasien yang memerlukan transfusi darah).

Pemberian pantozol/PPI 2 amp/100cc NaCl 0.9 drips selama 10 jam secara parenteral dan

diteruskan beberapa hari dapat menurunkan kejadian ulang perdarahan, pemberian transfusi

dengan memperhatikan tanda – tanda hemodinamik, yakni:

1. Tekanan darah sistol < 100 mmHg

2. Hb < 10 gr%

3. Nadi > 100x/menit

4. Hematokrit < 30% / jam dianjurkan untuk pemberian transfusi dengan darah segar hingga

hematokrit mencapai > 30%.

Gastropati Kongestif

Perdarahan varises merupakan penyebab komplikasi perdarahan yang paling sering

ditemukan pada pasien dengan hipertensi portal dan sebagian besar pasien tersebut juga

mengalami gastropati kongestif dikarenakan oleh hipertensi venosus.

Terjadinya gastropati kongestif dikarenakan akumulasi darah yang berlebihan pada area

gaster akibat dari hipertensi porta yang menyebabkan penekanan dan pembendungan pada vena –

vena yang memperdarahi area gaster. Identifikasi terjadinya gatropati kongestif melalui

pemeriksaan endoskopi dimana ditemukan lapisan mukosa yang menggembung bulat dan

bersifat mudah rapuh. Munculnya perdarahan mukosa pasif didahului dengan perdarahan aktif

dari lokasi utama varises. Pemberian blok β-adrenergik dengan propanolol dapat mengurangi

tekanan arteri splanknikus sama baiknya pada tekanan vena porta dimana kadang – kadang

ameliorasi pada keadaan ini cukup efektif untuk diterapkan. Pemberian proton pump inhibitor

atau preparat lainnya yang sejenis yang berguna dalam terapi penyakit penyakit peptik seringkali

tidak bermanfaat banyak dalam gastropati kongestif.

Syndrome Mallory-Weiss

Page 19: Perdarahan Gastrointestinal

Syndrome Mallory-Weiss adalah suatu keadaan hematemesis atau melena yang secara

khas mengikuti muntah – muntah berat yang berlangsung beberapa jam atau hari, dapat

ditemukan satu atau beberapa laserasi mukosa lambung mirip celah, terletak memanjang di atau

sedikit di bawah persambungan esofagogastrikum. Penyakit ini pertama kali ditemukan oleh G.

Kenneth Mallory dan Soma Weiss di tahun 1929 pada 15 pasien alkoholik.

Syndrome Mallory-Weiss adalah suatu keadaan hematemesis atau melena yang secara

khas mengikuti muntah – muntah berat yang berlangsung beberapa jam atau hari, dapat

ditemukan satu atau beberapa laserasi mukosa lambung mirip celah, terletak memanjang di atau

sedikit di bawah persambungan esofagogastrikum. Penyakit ini pertama kali ditemukan oleh G.

Kenneth Mallory dan Soma Weiss di tahun 1929 pada 15 pasien alkoholik.

Keganasan

Keganasan atau karsinoma yang dapat memicu timbulnya perdarahan saluran cerna

bagian atas berupa keganasan pada esofagus dan gaster.

Keganasan Pada Esofagus

Perdarahan saluran cerna bagian atas akibat dari keganasan pada esofagus menjadi

keluhan yang cukup sering ditemukan pada pasien dimana hematemesis bisa terjadi dengan

atau tanpa disertai melena. Akibat dari perdarahan ini dapat menimbulkan anemia defisiensi

besi pada pasien.

Keganasan Pada Gaster

Salah satu keluhan yang diutamakan oleh pasien dengan keganasan pada gaster adalah

hematemesis (7%) sehingga menjadi faktor terjadinya perdarahan saluran cerna bagian atas.

Hal ini tidak lepas dari bentuk patologi dari keganasan gaster serta lokasi tumbuhnya

keganasan tersebut dalam lumen gaster.

Keganasan atau karsinoma gaster yang paling sering ditemukan adalah adenokarsinoma

(90 – 99%), sedangkan jenis yang lain berupa limfoma, leiomiosarkoma, adenoxanthoma,

dan lainnya cukup jarang ditemukan. Kebanyakan lokasi karsinoma terletak pada daerah

antropilorik dengan kurvatura minor lebih sering daripada kurvatura mayor.

Page 20: Perdarahan Gastrointestinal

Karsinoma gaster berasal dari perubahan epitel pada membran mukosa

Karsinoma gaster berasal dari perubahan epitel pada membran mukosa gaster, yang

berkembang pada bagian bawah gaster, sedangkan pada atrofi gaster didapatkan bagian atas

gaster dan secara multisenter. Bentuk – benturk dari karsinoma gaster, antara lain:

1. Seperempatnya berasal dari propia yang berbentuk fungating dan tumbuh ke lumen

sebagai massa.

2. Seperempatnya berbentuk tumor yang berulserasi.

3. Massa yang tumbuh melalui dinding menginvasi lapisan otot.

4. Penyebarannya melalui dinding yang dicemari penyebaran pada permukaan (8%).

5. Berbentuk linitisplastika (10 – 15%).

Tatalaksana

Pengelolaan dasar pasien perdarahn saluran cerna sama seperti perdarahan pada

umumnya, yakni meliputi pemeriksaan awal, resusitasi, diagnosis, dan terapi. Tujuan pokoknya

adalah mempertahankan stabilitas hemodinamik, menghentikan perdarahan, dan mencegah

terjadinya perdarahan ulang. Konsensus Nasional PGI – PEGI – PPHI menetapkan bahwa

pemeriksaan awal dan resusitasi pada kasus perdarahan wajib dan harus bisa dikerjakan pada

setiap lini pelayanan kesehatan masyarakat sebelum dirujuk ke pusat layanan yang lebih tinggi.

Adapun langkah – langkah praktis pengelolaan perdarahan saluran cerna bagian atas adalah

sebagai berikut:

1. Pemeriksaan awal, penekanan pada evaluasi status hemodinamik.

2. Resusitasi, terutama untuk stabilisasi hemodinamik.

3. Melanjutkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan lain yang diperlukan.

4. Memastikan perdarahan saluran cerna bagian atas atau bagian bawah.

5. Menegakkan diangosis pasti penyebab perdarahan.

6. Terapi untuk menghentikan perdarahan, penyembuhan penyebab perdarahan dan

mencegah terjadinya perdarahan ulang. Dengan adanya penegakan diagnosis penyebab

perdarahan sangat menentukan langkah terapi yang akan diambil pada tahap selanjutnya.

Pemeriksaan Awal Pada Perdarahan Saluran Cerna

Page 21: Perdarahan Gastrointestinal

Langkah awal pada semua kasus perdarahan saluran makanan adalah menentukan beratnya

perdarahan dengan memfokuskan pada status hemodinamik. Pemeriksaannya meliputi:

1. Tekanan darah dan nadi dalam posisi berbaring.

2. Perubahan ortostatik tekanan darah dan nadi.

3. Ada tidaknya vasokonstriksi perifer berupa akral teraba dingin.

4. Kelayakan nafas.

5. Tingkat kesadaran.

6. Produksi urin.

Perdarahan akut dalam jumlah besar melebihi 20% volume intravaskuler akan

mengakibatkan kondisi hemodinamik tidak stabil, dengan tanda – tanda sebagai berikut:

1. Hipotensi (< 90/60 mmHg atau MAP < 70 mmHg) dengan frekuensi nadi lebih dari

100x/menit.

2. Tekanan diastolik ortostatik turun lebih dari 10 mmHg atau sistolik turun lebih dari 20

mmHg.

3. Frekuensi nadi ortostatik meningkat 15x/menit.

4. Akral dingin.

5. Kesadaran menurun.

6. Anuria atau oliguria (produksi urin kurang dari 30 ml/jam).

Kecurigaan perdarahan akut dalam jumlah besar selain ditandai dengan kondisi hemodinamik

tidak stabil ialah bila ditemukan:

1. Hematemesis.

2. Hematoskezia.

3. Darah segara pada aspirasi pipa nasogastrik dan dengan lavase tidak segera jernih.

4. Hipotensi persisten.

5. Dalam waktu 24 jam telah menghabiskan transfusi darah melebihi 800 – 1000 ml.

Resusitasi Terutama Untuk Stabilisasi Hemodinamik Pada Perdarahan Saluran Cerna

Pada kondisi hemodinamik tidak stabil, berikan infus cairan kristaloid (misalnya cairan

garam fisiologis) dengan tetesan cepat menggunakan dua jarum berdiameter besar (minimal 16

Page 22: Perdarahan Gastrointestinal

G) dan pasang monitor CVP (central venous pressure); tujuannya memulihkan tanda – tanda

vital dan mempertahankan tetap stabil. Biasanya tidak sampai memerlukan cairan koloid

(misalnya dekstran) kecuali pada kondisi hipoalbuminemia berat. Secepatnya kirim pemeriksaan

darah untuk menentukan golongan darah, kadar hemoglobin, hematokrit, trombosit, leukosit.

Adanya kecurigaan diatesis hemoragik perlu segera ditindaklanjuti dengan melakukan tes

Rumpel-Leede, pemeriksaan waktu perdarahan, waktu pembekuan, retraksi bekuan darah, PTT,

dan aPTT.

Kapan transfusi darah diberikan sifatnya sangat individual, tergantung dari jumlah darah

yang hilang, perdarahan masih aktif atau sudah berhenti, lamanya perdarahan berlangsung, dan

akibat klinik dari perdarahan tersebut. Pemberian transfusi darah pada perdarahan saluran cerna

dipertimbangkan pada keadaan berikut ini:

1. Perdarahan dalam kondisi hemodinamik tidak stabil.

2. Perdarahan baru atau masih berlangsung dan diperkirakan jumlahnya 1 liter atau

lebih.

3. Perdarahan baru atau masih berlangsung dengan hemoglobin kurangdari 10 g%

atau hematokrit kurang dari 30%.

4. Terdapat tanda – tanda oksigenasi jaringan yang menurun.

Perlu dipahami bahwa nilai hematokrit untuk memperkirakan jumlah perdarahan kurang

akurat bila perdarahan sedang atau baru berlangsung. Proses hemodilusi dari cairan

ekstravaskuler selesai dalam waktu 24 hingga 72 jam setelah onset perdarahan. Target

pencapaian hematokrit setelah transfusi darah tergantung kasus yang dihadapi, untuk usia muda

dengan kondisi sehat cukup sebesar 20 – 25%, usia lanjut sebanyak 30%, sedangkan pada

hipertensi portal jangan melebihi hingga 27 – 28%.

Melanjutkan Anamnesis, Pemeriksaan Fisik, dan Pemeriksaan Lain Yang Diperlukan.

Sambil melakukan upaya mempertahankan stabilisasi hemodinamik, maka bisa

dilengkapi anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan – pemeriksaan lain yang diperlukan.

Dalam anamnesis yang perlu ditekankan adalah :

1. Sejak kapan terjadinya perdarahan dan berapa perkiraan darah yang keluar.

Page 23: Perdarahan Gastrointestinal

2. Riwayat perdarahan sebelumnya.

3. Riwayat perdarahan dalam keluarga.

4. Ada tidaknya perdarahan di bagian tubuh lain.

5. Penggunaan obat – obatan terutama anti inflamasi non-steroid dan anti koagulan.

6. Kebiasaan minum alkohol.

7. Mencari kemungkinan adanya penyakit hati kronik, demam berdarah, demam tifoid,

gagal ginjal kronik, diabetes melitus, hipertensi dan alergi obat – obatan.

8. Riwayat transfusi sebelumnya.

Pemeriksaan fisik yang perlu diperhatikan:

1. Stigmata penyakit hati kronik.

2. Suhu badan dan perdarahan di bagian tubuh lain.

3. Tanda – tanda kulit dan mukosa penyakit sistemik yang bisa disertai perdarahan saluran

cerna, misalnya pigmentasi mukokutaneus pada sindrom Peutz-Jegher.

Kelengkapan pemeriksaan yang perlu diperhatikan:

1. Elektrokardiogram, terutama pada pasien berusia di atas 40 tahun.

2. BUN dan kadar kreatinin serum karena pada perdarahan saluran cerna bagian atas,

pemecahan darah oleh kuman usus akan mengakibatkan kenaikan BUN, sedangkan

kreatinin serum tetap normal atau sedikit meningkat.

3. Kadar elektrolit (Natrium, Kalium, Clorida) dimana perubahan elektrolit bisa terjadi

karena perdarahan, transfusi, atau kumbah lambung.

4. Dan pemeriksaan – pemeriksaan penunjang lainnya yang perlu dilakukan tergantung jenis

kasus perdarahan saluran cerna atas yang dihadapi.

Membedakan Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas atau Bawah

Cara praktis dalam membedakan perdarahan saluran cerna bagian atas atau saluran cerna

bagian bawah terdapat pada tabel berikut ini:

Tabel Perbedaan PSCBA dan PSCBB

Page 24: Perdarahan Gastrointestinal

Perdarahan SaluranCerna Bagian Atas

Perdarahan Saluran CernaBagian Bawah

Manifestasi klinik pada umumnya

Hematemesis dan/melena Hematoskezia

Aspirasi nasogastrik Berdarah JernihRasio (BUN/Kreatinin) Meningkat > 35 < 35Auskultasi usus Hiperaktif Normal

Diagnosis Penyebab Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas

Sarana diagnostik yang bisa digunakan pada kasus perdarahan saluran cerna adalah

endoskopi gastrointestinal, radiografi dengan barium, radionuklid, dan angiografi. Pada semua

pasien dengan tanda – tanda perdarahan saluran cerna bagian atas atau yang asal perdarahannya

masih meragukan, maka pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas merupakan prosedur

pilihan. Dengan pemeriksaan ini sebagian besar kasus diagnosis penyebab perdarahan bisa

ditegakkan. Selain itu dengan endoskopi bisa pula dilakukan upaya terapeutik. Bila perdarahan

masih tetap berlanjut atau asal perdarahan sulit diidentifikasi perlu dipertimbangkan pemeriksaan

dengan radionuklid atau angiografi yang sekaligus bisa digunakan untuk menghentikan

perdarahan. Adapun hasil tindakan endoskopi atau angiografi sangat tergantung tingkat keahlian,

keterampilan, dan pengalaman operator pelaksana.

Tujuan pemeriksaan endoskopi selain menemukan penyebab serta asal perdarahan, juga

untuk menentukan aktivitas perdarahan. Forest membuat klasifikasi perdarahan tukak peptik atas

dasar temuan endoskopi yang bermanfaat untuk menentukan tindakan selanjutnya. Berikut

adalah klasifikasi aktivitas perdarahan tukak peptik menurut Forest:

Tabel Kriteria Forest

Aktivitas Perdarahan Kriteria EndoskopisForest Ia Perdarahan aktif. Perdarahan arteri menyembur.Forest Ib Perdarahan aktif Perdarahan merembes.Forest II Perdarahan berhenti dan masih

terdapat sisa – sisa perdarahan.Gumpalan darah pada dasar tukak atau terlihat pembuluh darah.

Forest III Perdarahan berhenti tanpa sisa perdarahan.

Lesi tanpa tanda sisa perdarahan.

Page 25: Perdarahan Gastrointestinal

Terapi Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas

Terapi Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas Non-Endoskopis

Salah satu usaha dalam menghentikan perdarahan yang sudah lama dilakukan adalah

bilas lambung lewat pipa nasogastrik dengan air suhu kamar. Prosedur ini diharapkan

mengurangi distensi lambung dan memperbaiki proses hemostatik, namun demikian manfaatnya

dalam menghentikan perdarahan tidak terbukti. Bilas lambung ini sangat diperlukan untuk

persiapan pemeriksaan endoskopi dan dapat dipakai untuk membuat perkiraan kasar jumlah

perdarahan. Berdasar percobaan hewan, bilas lambung dengan air es kurang menguntungkan,

waktu perdarahan menjadi memanjang, perfusi dinding lambung menurun, dan bisa timbul

ulserasi pada mukosa lambung.

Pemberian vitamin K pada pasien dengan penyakit hati kronis yang mengalami

perdarahan saluran cerna bagian atas diperbolehkan, dengan pertimbangan pemberian tersebut

tidak merugikan dan relatif murah.

Vasopressin dapat menghentikan perdarahan saluran cerna bagian atas lewat efek

vasokonstriksi pembuluh darah splanknikus, menyebabkan aliran darah dan tekanan vena porta

menurun. Digunakan di klinik untuk perdarahan akut varises esofagus sejak tahun 1953. Pernah

dicoba pada terapi perdarahan nonvarises, namun berhentinya perdarahan tidak berbeda dengan

plasebo.

Terdapat dua bentuk sediaan, yakni pitresin yang mengandung vasopressin murni dan

preparat pituitary gland yang mengandung vasopressin dan oxytocin. Pemberian vasopressin

dilakukan dengan mengencerkan sediaan vasopressin 50 unit dalam 100 ml dekstrose 5%,

diberikan 0.5 – 1 mg/menit/iv selama 20 – 60 menit dan dapat diulang tiap 3 – 6 jam; atau

setelah pemberian pertama dilanjutkan per infus 0.1 – 0.5 U/menit. Vasopressin dapat

menimbulkan efek samping serius berupa insufisiensi koroner mendadak, oleh karena itu

pemberiannya disarankan bersamaan dengan preparat nitrat, misalnya nitrogliserin intravena

dengan dosis awal 40 mcg/menit kemudian secara titrasi dinaikkan sampai maksimal 400

mcg/menit dengan tetap mempertahankan tekanan sistolik di atas 90 mmHg.

Page 26: Perdarahan Gastrointestinal

Somatostatin dan analognya (ocreotide) diketahui dapat menurunkan aliran darah

splanknikus, khasiatnya lebih selektif dibanding vasopressin. Penggunaan di klinik pada

perdarahan akut varises esofagus dimulai sekitar tahun 1978. Somatostatin dapat menghentikan

perdarahan akut varises esofagus pada 70 – 80% kasus, dan dapat pula digunakan pada

perdarahan nonvarises. Dosis pemberian somatostatin, diawali dengan bolus 250 mcg/iv,

dilanjutkan per infus 250 mcg/jam selama 12 – 24 jam atau sampai perdarahan berhenti;

ocreotide dosis bolus 100 mcg/iv dilanjutkan per infus 25 mcg/jam selama 8 – 24 jam atau

sampai perdarahan berhenti.

Obat-obatan golongan anti sekresi asam yang dilaporkan bermanfaat untuk mencegah

perdarahan ulang saluran cerna bagian atas karena tukak peptik adalah inhibitor pompa proton

dosis tinggi. Diawali bolus omeprazol 80 mg/iv kemudian dilanjutkan per infus 8 mg/kgBB/jam

selama 72 jam, perdarahan ulang pada kelompok plasebo 20% sedangkan yang diberi omeprazol

hanya 4.2%. Suntikan omeprazol yang beredar di Indonesia hanya untuk pemberian bolus, yang

bisa digunakan per infus adalah persediaan esomeprazol dan pantoprazol dengan dosis sama

seperti omeprazol. Pada perdarahan saluran cerna bagian atas ini, obat – obatan seperti antasida,

sukralfat, dan antagonis reseptor H2 masih boleh diberikan untuk tujuan penyembuhan lesi

mukosa penyebab perdarahan. Antagonis reseptor H2 dalam mencegah perdarahan ulang saluran

cerna bagian atas dikarenakan tukak peptik kurang bermanfaat.

Terapi Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas Secara Endoskopis

Terapi endoskopi ditujukan pada perdarahan tukak yang masih aktif atau tukak dengan

pembuluh darah yang tampak. Metode terapinya meliputi:

1. Contact thermal (monopolar atau bipolar elektrokoagulasi, heater probe).

2. Noncontact thermal (laser).

3. Nonthermal (misalnya suntikan adrenalin, polidokanol, alkohol, cyanoacrylate, atau

pemakaian klip).

Berbagai cara terapi endoskopi tersebut akan efektif dan aman apabila dilakukan oleh ahli

endoskopi yang terampil dan berpengalaman. Endoskopi terapeutik ini dapat diterapkan pada

90% kasus perdarahan saluran cerna bagian atas, sedangkan 10% sisanya tidak dapat dikerjakan

karena alasan teknis seperti darah terlalu banyak sehingga pengamatan terhalang atau letak lesi

Page 27: Perdarahan Gastrointestinal

tidak terjangkau. Secara keseluruhan 80% perdarahan tukak peptik dapat berhenti spontan,

namun pada kasus perdarahan yang berasal dari arterial yang bisa berhenti spontan hanya 30%.

Terapi endoskopi yang relatif mudah dan tanpa banyak peralatan pendukung ialah penyuntikan

submukosa sekitar titik perdarahan menggunakan adrenalin 1 : 10.000 sebanyak 0,5 – 1 ml tiap

kali suntik dengan batas dosis 10 ml atau alkohol absolut (98%) tidak melebihi 1 ml.

Penyuntikan bahan sklerosan seperti alkohol absolut atau polidokanol umumnya tidak dianjurkan

karena bahaya timbulnya tukak dan perforasi akibat nekrosis jaringan di lokasi penyuntikan.

Keberhasilan terapi endoskopi dalam menghentikan perdarahan bisa mencapai di atas 95% dan

tanpa terapi tambahan lainnya perdarahan ulang frekuensinya sekitar 15 – 20%.

Hemostasis endoskopi merupakan terapi pilihan pada perdarahan karena varises esofagus.

Ligasi varises merupakan pilihan pertama untuk mengatasi perdarahan varises esofagus. Dengan

ligasi varises dapat dihindari efek samping akibat pemakaian sklerosan, lebih sedikit frekuensi

terjadinya ulserasi dan striktur. Ligasi dilakukan mulai dari distal mendekati cardia bergerak

spiral setiap 1 – 2 cm. Dilakukan pada varises yang sedang berdarah atau bila ditemukan tanda

baru mengalami perdarahan seperti bekuan darah yang melekat, bilur – bilur merah, noda

hematokistik, vena pada vena. Skleroterapi endoskopik sebagai alternatif bila ligasi endoskopik

sulit dilakukan karena perdarahan yang masif, terus berlangsung, atau teknik yang tidak

memungkinkan. Sklerosan yang bisa digunakan antara lain campuran sama banyak polidokanol

3%, NaCl 0.9%, dan alkohol absolut. Campuran dibuat sesaat sebelum skleroterapi dikerjakan.

Penyuntikan dimulai dari bagian paling distal mendekati kardia dilanjutkan ke proksimal

bergerak spiral sampai sejauh 5 cm. Pada perdarahan varises lambung dilakukan penyuntikan

cyanoacrylate sebab skleroterapi untuk varises lambung hasilnya kurang baik.

Terapi Radiologi

Terapi angiografi perlu dipertimbangkan bila perdarahan tetap berlangsung dan belum

bisa ditentukan asal perdarahan, atau bila terapi endoskopi dinilai gagal dan pembedahan sangat

beresiko. Tindakan hemostasis yang bisa dilakukan dengan penyuntikan vasopressin atau

embolisasi arterial. Bila dinilai tidak ada kontraindikasi dan fasilitas dimungkinkan, pada

perdarahan varises dapat dipertimbangkan TIPS (Transjugular Intrahepatic Portosystemic

Shunt).

Page 28: Perdarahan Gastrointestinal

Pembedahan

Pembedahan pada dasarnya dilakukan bila terapi medik, endoskopi dan radiologi dinilai

gagal. Ahli bedah seyogyanya dilibatkan sejak awal dalam bentuk tim multidisipliner pada

pengelolaan kasus perdarahan saluran cerna bagian atas untuk menentukan waktu yang tepat

kapan tindakan bedah sebaiknya dilakukan.

DAFTAR PUSTAKA

Page 29: Perdarahan Gastrointestinal

1. Abdurachman, S.A. “Tumor Esofagus”. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi

IV. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,

Jakarta. 2007. Hal: 327.

2. Adi, Pangestu. “Pengelolaan Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas”. Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi IV. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. 2007. Hal: 289 – 292.

4. Akil, H.A.M. “Tukak Duodenum”. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi IV.

Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,

Jakarta. 2007. Hal: 345, 347.

5. Julius. “Tumor Gaster”. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi IV. Pusat

Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

2007. Hal: 350.

6. Lindseth, Glenda N. “Gangguan Lambung dan Duodenum”. PATOFISIOLOGI – Konsep

Klinis Proses-Proses Penyakit. Volume I. Edisi 6. EGC:Penerbit Buku Kedokteran,

Jakarta. 2003. Hal: 417-419, 423, 428.

7. Lindseth, Glenda N. “Gangguan Usus Halus”. PATOFISIOLOGI – Konsep Klinis

Proses-Proses Penyakit. Volume I. Edisi 6. EGC:Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta.

2003. Hal: 437-439.

8. Mailliard, Mark E., Michael F. Sorrell. “Alcoholic Liver Disease”. Harrison’s Principles

of Internal Medicine. Volume II. 16thEdition. McGraw-Hill Medical Publishing

Division, USA. 2005. p:1865.

9. Sabatine, Marc S. “Gastrointestinal Bleeding”. Pocket Medicine: The Massachusetts

General Hospital Handbook of Internal Medicine. Fourth Edition. Wolters Kluwer Health

and Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia. 2011. Section: GIB 3 – 3.

10. Silbernagl, Stefan dan Florian Lang. “Gastritis”. Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi.

Cetakan I. EGC:Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta.2007. Hal: 142, 146.

11. Tarigan, Pengarapen. “Tukak Gaster”. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi IV.

Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,

Jakarta. 2007. Hal: 341.

Page 30: Perdarahan Gastrointestinal

12. Wilson, Lorraine M. dan Glenda N. Lindseth. “Gangguan Esofagus”. PATOFISIOLOGI

– Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Volume I. Edisi 6. EGC:Penerbit Buku

Kedokteran, Jakarta. 2003. Hal: 404-405.

13. Kamus Kedokteran Dorland.Edisi ke 27.Jakarta:EGC.2005

14. Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSUP. Nasional Dr. Cipto

Mangunkusumo. Jakarta: 2007

15. Biecker, Erwin, Michael Schepke, Tilman Sauerbach. “The Role of Endoscopy in Portal

Hypertension”. Journal of Digestive Diseases – Clinical Reviews, Vol.23, No.1.

Department of Internal Medicine I, University Hospital of Bonn, Bonn, Germany. 2005.

16. Weiss S, Mallory GK. “Lesions of the cardiac orifice of the stomach produced by

vomiting”. Journal of the American Medical Association,1932;98:1353-55.