Download - Perbedaan Kadar Sgot Pada Sindrom Klinis Ska Iya

Transcript
  • 8/18/2019 Perbedaan Kadar Sgot Pada Sindrom Klinis Ska Iya

    1/66

     

    PERBEDAAN KADAR SGOT PADA SINDROM KLINIS

    PENYAKIT SINDROM KORONER AKUT

    DI RSD. DR. SOEBANDI JEMBER

    OlehIzzatul Mufidah Mahayyun 

    NIM 122010101015 

    FAKULTAS KEDOKTERAN

    UNIVERSITAS JEMBER

    2015

  • 8/18/2019 Perbedaan Kadar Sgot Pada Sindrom Klinis Ska Iya

    2/66

  • 8/18/2019 Perbedaan Kadar Sgot Pada Sindrom Klinis Ska Iya

    3/66

     

    iii

    PERSEMBAHAN

    Alhamdulillah, dengan menyebut nama Allah SWT Yang Maha Pengasih lagi Maha

    Penyayang, skripsi ini saya persembahkan untuk:

    1.  Allah SWT atas sifat rahman dan rahim serta hidayah-Nya dalam setiap

     perjalanan hidup yang saya lalui;

    2.  Umik dan abi tercinta, Dra. Gumul Isnaningsih dan Drs. Sumadi, serta adik

    saya Kafi Hannan Al Hadi.

    3.  Guru-guru saya yang telah memberikan ilmu dan pendidikan sejak dari taman

    kanak-kanak hingga perguruan tinggi;

    4.  Almamater Fakultas Kedokteran Universitas Jember.

  • 8/18/2019 Perbedaan Kadar Sgot Pada Sindrom Klinis Ska Iya

    4/66

     

    iv

    MOTO

    “Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan

     petunjuk.” 

    (Terjemahan Q.S. Ad Duha 7)

    “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, Sesungguhnya sesudah

    kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan),

    kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain.” (Terjemahan Q.S. Al Insyirah 5-7)

    “Untuk siapa diriku saat ini dan harapanku di masa depan, aku berhutang pada ibu,

    malaikatku.” 

    (Abraham Lincoln)

  • 8/18/2019 Perbedaan Kadar Sgot Pada Sindrom Klinis Ska Iya

    5/66

     

    v

    PERNYATAAN

    Saya yang bertanda tangan dibawah ini:

    nama : Izzatul Mufidah Mahayyun

     NIM : 122010101015

    menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang berjudul: “Perbedaan Kadar

    SGOT pada Sindrom Klinis Penyakit Sindrom Koroner Akut di RSD. dr. Soebandi

    Jember” adalah benar -benar hasil karya sendiri, kecuali jika dalam pengutipan

    substansi disebutkan sumbernya, dan belum diajukan pada institusi manapun, serta

     bukan karya jiplakan. Saya bertanggung jawab atas keabsahan dan kebenaran isinya

    sesuai dengan sikap ilmiah yang harus dijunjung tinggi.

    Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya, tanpa adanya tekanan

    dan paksaan dari pihak manapun serta bersedia mendapat sanksi akademik jika

    ternyata di kemudian hari pernyataan ini tidak benar.

    Jember, Desember 2015

    Yang menyatakan,

    Izzatul Mufidah Mahayyun

     NIM 122010101015

  • 8/18/2019 Perbedaan Kadar Sgot Pada Sindrom Klinis Ska Iya

    6/66

     

    vi

    SKRIPSI

    PERBEDAAN KADAR SGOT PADA SINDROM KLINIS

    PENYAKIT SINDROM KORONER AKUT

    DI RSD. DR. SOEBANDI JEMBER

    Oleh:

    Izzatul Mufidah Mahayyun

    NIM 122010101015 

    Pembimbing

    Dosen Pembimbing Utama : dr. Hairrudin, M. Kes

    Dosen Pembimbing Anggota : dr. Rini Riyanti, Sp. PK.

  • 8/18/2019 Perbedaan Kadar Sgot Pada Sindrom Klinis Ska Iya

    7/66

     

    vii

    PENGESAHAN

    Karya ilmiah skripsi berjudul  “Perbedaan Kadar SGOT pada Spektrum Klinis

    Penyakit Sindrom Koroner Akut di RSD. dr. Soebandi Jember” telah diuji dan

    disahkan oleh Fakultas Kedokteran Universitas Jember pada : 

    Hari : Senin

    Tanggal : 28 Desember 2015

    Tempat : Fakultas Kedokteran Universitas Jember

    Tim Penguji:Penguji I, Penguji II,

    dr. Suryono, Sp. JP. FIHA dr . Ika Rahmawati Sutejo, M. Biotech NIP 19691011 200003 1 001 NIP 19711019 199903 1 001

    Penguji III, Penguji IV

    dr. Hairrudin, M.Kes dr. Rini Riyanti, Sp. PK

     NIP 19751011 200312 1 008 NIP 19720328 199903 2 001

    Mengesahkan,

    Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Jember

    dr. Enny Suswati, M.Kes

     NIP 19700214 199903 2 001

  • 8/18/2019 Perbedaan Kadar Sgot Pada Sindrom Klinis Ska Iya

    8/66

     

    viii

    RINGKASAN 

    Perbedaan Kadar SGOT pada Spektrum Klinis Penyakit Sindrom Koroner

    Akut di RSD. dr. Soebandi Jember; Izzatul Mufidah Mahayyun, 122010101015;

    2015; Fakultas Kedokteran Universitas Jember.

    Sindrom Koroner Akut (SKA) adalah sebuah kondisi yang melibatkan

    ketidaknyamanan dada, nyeri dada (chest pain), atau gejala lain yang disebabkan oleh

    kurangnya oksigen ke otot jantung (miokardium). Sindrom Koroner Akut (SKA)

    merupakan salah satu manifestasi klinis Penyakit Jantung Koroner (PJK) selainStable Angina (Angina Pektoris Stabil). Namun SKA memiliki prognosis yang lebih

     buruk dibanding Angina Pektoris Stabil karena bersifat progresif dan pada perjalanan

     penyakitnya sering terjadi perubahan secara tiba-tiba dari keadaan stabil menjadi

    keadaan tidak stabil atau akut serta paling sering mengakibatkan kematian. Sindrom

    klinis SKA terdiri dari angina pektoris tidak stabil (APTS) atau unstable angina

    (UA),  Non-ST elevation myocardial infarction  (NSTEMI), dan ST elevation

    myocardial infarction (STEMI).

    Mekanisme terjadinya SKA disebabkan oleh proses pengurangan pasokan

    oksigen akut atau subakut dari miokard, yang dipicu oleh adanya robekan plak

    aterosklerotik dan berkaitan dengan adanya proses inflamasi, trombosis,

    vasokonstriksi, dan mikroembolisasi yang berujung pada infark miokard. Infark pada

    miokard menyebabkan dikeluarkannya enzim-enzim yang menjadi penanda

     biokimiawi jantung, salah satunya adalah enzim transaminase SGOT. Enzim ini tidak

    spesifik jantung tetapi meningkat kadarnya pada infark miokard sehingga dapat

    terdeteksi dalam sirkulasi. Oleh karena itu, perlu diketahui berapakah kadar SGOT

     pada sindrom klinis SKA untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan kadar SGOT

    yang terjadi pada masing-masing sindrom klinis SKA tersebut. Hasil penelitian

    diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai sumber informasi dan ilmu pengetahuan bagi

    masyarakat, sehingga dapat mengatur pola hidup untuk menghindari serangan jantung

  • 8/18/2019 Perbedaan Kadar Sgot Pada Sindrom Klinis Ska Iya

    9/66

     

    ix

    yang merupakan manifestasi SKA  dan menjadi pedoman untuk sarana diagnostik

     biomarker SKA dalam melaksanakan tindakan prevensi yang tepat sehingga insidensi

    kematian karena SKA dapat diturunkan.

    Jenis penelitian ini adalah analitik observasional dengan menggunakan desain

    studi cross sectional . Data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari rekam

    medis pasien SKA yang terdapat pada RSD. dr. Soebandi Jember pada bulan

    Agustus-Oktober 2015. Data diambil dari Ruang Rekam Medis Rawat Inap RSD. dr.

    Soebandi Jember dan menghasilkan 16 sampel untuk masing-masing kelompok (UA,

     NSTEMI, dan STEMI). Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji

    komparatif non parametrik Kruskal-Wallis dengan analisis  Post Hoc  menggunakan

    uji Mann-Whitney.

    Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kelompok UA, kadar SGOT masih

     berada pada rentang nilai normal dengan rata-rata sebesar 27,50 ±9,675 U/L. Berbeda

    dengan rata-rata kadar SGOT pada kelompok NSTEMI dan STEMI yang

    menunjukkan adanya peningkatan yaitu sebesar 65,88 ±39,007 U/L dan 162,38

    ±95,759 U/L. Berdasarkan uji Kruskal-Wallis didapatkan nilai signifikansi

     p=0,000

  • 8/18/2019 Perbedaan Kadar Sgot Pada Sindrom Klinis Ska Iya

    10/66

     

    x

    PRAKATA

    Alhamdulillah, segala puji dan syukur hanya tercurahkan kepada Allah

    SWT yang telah memberikan kasih sayang dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat

    menyelesaikan skripsi yang berjudul “Perbedaan Kadar SGOT pada Spektrum Klinis

    Penyakit Sindrom Koroner Akut di RSD dr. Soebandi Jember ”. Skripsi ini disusun

    untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan pendidikan strata satu (S1) pada

    Fakultas Kedokteran Universitas Jember.

    Penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena

    itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada:

    1.  dr. Enny Suswati, M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Jember;

    2.  dr. Hairrudin, M.Kes selaku Dosen Pembimbing Utama yang telah memberikan

    kesempatan kepada saya untuk ikut serta dalam penelitian beliau, serta dr. Rini

    Riyanti, Sp. PK selaku Dosen Pembimbing Anggota yang keduanya telah

    meluangkan waktu, pikiran, tenaga, dan perhatiannya dalam penulisan tugas

    akhir ini;

    3.  dr. Suryono, Sp. JP. FIHA dan dr. Ika Rahmawati Sutejo, M. Biotech sebagai

    dosen penguji yang telah memberikan kritik dan saran yang membangun dalam

     penulisan tugas akhir ini;

    4.  Umik dan abi tercinta Dra. Gumul Isnaningsih dan Drs. Sumadi yang senantiasa

    memberikan dukungan berupa ilmu, doa, dan curahan kasih sayang kepada saya

    untuk tetap semangat melanjutkan apa yang sudah saya jalani;

    5.  Adik lelaki saya satu-satunya, Kafi Hannan Al Hadi yang selalu setia

    mengobarkan semangat lewat tindakan dalam diamnya;

    6.  Kelompok penelitian besar, yaitu dr. Suryono, Sp. JP. FIHA.; dr. Hairrudin,

    M.Kes; Dr. drg. IDA Susilawati, M. Kes; Della, Rizki, Rediana, dan Galih,

    terima kasih atas kesempatan, kerjasama, bantuan, doa, serta semangat yang

    diberikan selama penyelesaian penelitian dan skripsi ini;

  • 8/18/2019 Perbedaan Kadar Sgot Pada Sindrom Klinis Ska Iya

    11/66

     

    xi

    7.  Keluarga besar IMSAC FK UJ, terima kasih untuk telah menjadi wadah

    menimba ilmu dan ukhuwah deretan saudara sesurga;

    8.  Angkatan 2012 FK UJ Panacea, saudara-saudara saya yang keberadaannya selalu

    dapat mencairkan suasana;

    9.  Kelompok KKN PPM 01 saya di Desa Ngampelrejo, yang telah menemani,

     berbagi ilmu, dan kekompakan selama dua bulan lebih lamanya. Terima kasih

    telah memberi arti akan sebuah keluarga;

    10.  Kepengurusan BEM Kabinet PHP yang kompaknya tiada duanya, terima kasih

    untuk momen-momen dalam waktu yang berharga;

    11.  Analis Laboratorium Biokimia Fakultas Kedokteran Universitas Jember, Mbak

     Nuris, atas bantuan dan kerjasamanya selama penelitian tugas akhir ini;

    12.  Perawat-perawat ICCU yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu, terima kasih

    atas kesabaran dan bantuannya dalam proses penelitian selama ini;

    13.  Bagian ruang rekam medis rawat inap RSD. dr. Soebandi Jember atas

     bantuannya dalam pengambilan data rekam medis pasien;

    14.  Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

    Penulis menerima segala kritik dan saran yang membangun dari semua pihak

    demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat

     bermanfaat baik di dunia maupun di akhirat.

    Jember, Desember 2015

    Penulis 

  • 8/18/2019 Perbedaan Kadar Sgot Pada Sindrom Klinis Ska Iya

    12/66

     

    xii

    DAFTAR ISI

    Halaman

    HALAMAN SAMPUL ..................................................................................... i

    HALAMAN JUDUL ........................................................................................ ii 

    HALAMAN PERSEMBAHAN ...................................................................... iii

    HALAMAN MOTO ......................................................................................... iv

    HALAMAN PERNYATAAN .......................................................................... v

    HALAMAN PEMBIMBINGAN ..................................................................... vi

    HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... vii

    RINGKASAN ................................................................................................... viii

    PRAKATA ........................................................................................................ x

    DAFTAR ISI ..................................................................................................... xii

    DAFTAR TABEL ............................................................................................ xv

    DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xvi

    DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xvii

    BAB 1. PENDAHULUAN  ............................................................................... 1 

    1.1 Latar Belakang .................................................................................. 1 

    1.2 Rumusan Masalah ............................................................................. 3 

    1.3 Tujuan Penelitian .............................................................................. 4 

    1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................ 4 

    BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 5 

    2.1 Sindrom Koroner Akut  .................................................................... 5 

    2.1.1 Definisi ........................................................................................ 5

    2.1.2 Faktor Risiko ............................................................................... 5

    2.1.3 Patofisiologi ................................................................................. 6 

    2.1.4 Unstable Angina (UA) ................................................................. 11

    2.1.5 Non-ST Elevation Myocard Infark (NSTEMI) ............................ 13

  • 8/18/2019 Perbedaan Kadar Sgot Pada Sindrom Klinis Ska Iya

    13/66

     

    xiii

    2.1.6 ST Elevation Myocard Infark  (STEMI) ....................................... 14

    2.2 Serum Glutamic Oxaloacetic Tr ansaminase  (SGOT) ...................... 15 

    2.2.1 Definisi ........................................................................................ 15

    2.2.2 Peningkatan SGOT ...................................................................... 16

    2.2.3 Metode Pemeriksaan SGOT ........................................................ 16

    2.3 Kerangka Konsep Penelitian ............................................................ 20 

    2.4 Hipotesis ............................................................................................. 20 

    BAB 3. METODE PENELITIAN ................................................................... 21

    3.1 Jenis Penelitian .................................................................................. 21 

    3.2 Rancangan Penelitian ....................................................................... 21 

    3.3 Populasi dan Sampel Penelitian ....................................................... 22 

    3.3.1 Populasi Penelitian ...................................................................... 22

    3.3.2 Sampel Penelitian ........................................................................ 22

    3.3.3 Besar Sampel ............................................................................... 23

    3.3.4 Teknik Pengambilan Sampel ....................................................... 23

    3.4 Tempat dan Waktu Penelitian ......................................................... 23 

    3.5 Variabel Penelitian ............................................................................ 24 3.5.1 Variabel Dependen ...................................................................... 24

    3.5.2 Variabel Independen .................................................................... 24

    3.6 Definisi Operasional .......................................................................... 24 

    3.6.1 SGOT ........................................................................................... 24

    3.6.2 Pasien Sindrom Koroner Akut ..................................................... 24

    3.6.3 Data Rekam Medis Pasien ........................................................... 24

    3.7 Instrumen Penelitian ......................................................................... 25 

    3.8 Prosedur Kerja Penelitian ................................................................ 25 

    3.8.1 Mendapatkan Sampel Pasien SKA.. ............................................ 25

    3.8.2 Teknik Perolehan Data Sampel SKA .......................................... 25

    3.9 Pengambilan dan Analisis Data ....................................................... 25 

  • 8/18/2019 Perbedaan Kadar Sgot Pada Sindrom Klinis Ska Iya

    14/66

     

    xiv

    3.9.1 Pengambilan Data.. ...................................................................... 25

    3.9.2 Analisis Data................................................................................ 26

    3.10 Alur Penelitian ................................................................................. 27

    BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................... 28

    4.1 Hasil Penelitian ............................................................................. 28

    4.1.1 Distribusi Pasien Sindrom Koroner Akut .............................. 28

    4.1.2 Distribusi Jenis Kelamin Pasien Sindrom Koroner Akut ...... 29

    4.1.3 Distribusi Usia Pasien Sindrom Koroner Akut...................... 30

    4.1.4 Rata-Rata Kadar SGOT pada Spektrum Klinis SKA ............ 31

    4.2 Analisis Hasil Penelitian ............................................................... 32

    4.2.1 Uji Normalitas Data ............................................................... 32

    4.2.2 Uji Kruskall-Wallis................................................................ 33

    4.3 Pembahasan .................................................................................. 34

    4.4 Keterbatasan Penelitian ............................................................... 38

    BAB 5. PENUTUP ............................................................................................ 39

    5.1 Kesimpulan.................................................................................... 39

    5.2 Saran .............................................................................................. 39DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 40

    LAMPIRAN ...................................................................................................... 44

  • 8/18/2019 Perbedaan Kadar Sgot Pada Sindrom Klinis Ska Iya

    15/66

     

    xv

    DAFTAR TABEL

    Halaman

    Tabel 3.1 Stratifikasi kelompok sampel ............................................................. 26

    Tabel 3.2 Check list  penelitian ........................................................................... 24

    Tabel 4.3 Hasil uji Kruskal-Wallis kadar SGOT pasien SKA ........................... 33

  • 8/18/2019 Perbedaan Kadar Sgot Pada Sindrom Klinis Ska Iya

    16/66

     

    xvi

    DAFTAR GAMBAR

    Halaman

    Gambar 2.1 Proses aterosklerosis ...................................................................... 7

    Gambar 2.2 Pembentukan plak hingga fatty streak .......................................... 9

    Gambar 2.3 Kompleks inflamasi dalam aterosklerosis ...................................... 10

    Gambar 2.4 Kerangka konsep penelitian ........................................................... 20

    Gambar 3.1 Rancangan penelitian ..................................................................... 21

    Gambar 3.2 Skema alur penelitian ..................................................................... 27Gambar 4.3 Penghitungan waktu peningkatan enzim jantung pada infark miokard

    ............................................................................................................................ 37

  • 8/18/2019 Perbedaan Kadar Sgot Pada Sindrom Klinis Ska Iya

    17/66

     

    BAB 1. PENDAHULUAN

    1.1  Latar Belakang

    Sindrom Koroner Akut (SKA) adalah sebuah kondisi yang melibatkan

    ketidaknyamanan dada, nyeri dada (chest pain), atau gejala lain yang disebabkan oleh

    kurangnya oksigen ke otot jantung (miokardium). Lebih dari delapan juta pasien per

    tahun datang dengan keluhan nyeri dada atau gejala penyerta lainnya yang

     berhubungan dengan iskemik miokardial di departemen emergensi yang ada di

    Amerika Serikat (Amsterdam et al., 2014). Mekanisme terjadinya SKA disebabkan

    oleh proses pengurangan pasokan oksigen akut atau subakut dari miokard, yang

    dipicu oleh adanya robekan plak aterosklerotik dan berkaitan dengan adanya proses

    inflamasi, trombosis, vasokonstriksi, dan mikroembolisasi dengan manifestasi dapat

     berupa angina pektoris tidak stabil (APTS) atau unstable angina (UA),  Non-ST

    elevation myocardial infarction  (NSTEMI), dan ST elevation myocardial infarction 

    (STEMI) (Depkes, 2008). Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan salah satu

    manifestasi klinis Penyakit Jantung Koroner (PJK) selain Angina Pektoris Stabil 

    (Stable Angina). Namun SKA memiliki prognosis yang lebih buruk dibanding

    Angina Pektoris Stabil karena bersifat progresif dan pada perjalanan penyakitnya

    sering terjadi perubahan secara tiba-tiba dari keadaan stabil menjadi keadaan tidak

    stabil atau akut serta paling sering mengakibatkan kematian (Morrow, 2010).  

    Penyakit Jantung Koroner (PJK) atau penyakit kardiovaskular saat ini

    merupakan salah satu penyebab utama dan pertama kematian di negara maju dan

     berkembang, termasuk Indonesia. Penyakit jantung koroner menyumbang 47,7% dari

    seluruh kematian akibat penyakit kardiovaskular di Amerika pada tahun 2011 ( Heart

     Disease and Stroke Statistics, 2015). Mackay dan Mensah (2004) menyatakan bahwa

     beban PJK secara global diproyeksikan akan meningkat dari sekitar 47 juta kejadian

  • 8/18/2019 Perbedaan Kadar Sgot Pada Sindrom Klinis Ska Iya

    18/66

    2

     pada tahun 1990 hingga menjadi 82 juta pada tahun 2020 dan lebih dari 60% beban

    global PJK terjadi di negara-negara berkembang seperti di Indonesia. Diperkirakan

     bahwa diseluruh dunia, PJK pada tahun 2020 menjadi pembunuh pertama tersering

    yakni sebesar 36% dari seluruh kematian. Angka ini dua kali lebih tinggi dari angka

    kematian akibat kanker. Di Indonesia dilaporkan PJK (yang dikelompokkan menjadi

     penyakit sistem sirkulasi) merupakan penyebab utama dan pertama dari seluruh

    kematian, yakni sebesar 26,4%, angka ini empat kali lebih tinggi dari angka kematian

    yang disebabkan oleh kanker (6%). Dengan kata lain, lebih kurang satu diantara

    empat orang yang meninggal di Indonesia adalah akibat PJK. Berdasarkan diagnosis

    dokter atau gejala, penderita PJK pada tahun 2013 di Indonesia sebesar 1,5% atau

    diperkirakan sekitar 2.650.340 orang, dengan jumlah terbanyak berada pada Provinsi

    Jawa Timur sebesar 375.127 orang (Riset Kesehatan Dasar, 2013)

    Penyakit jantung yang melibatkan pembuluh koroner akan menghasilkan

     penanda biokimiawi. Penanda biokimiawi jantung tersebut akan dilepaskan dari otot

     jantung ketika terjadi kerusakan akibat infark miokard. Infark miokard ditandai

    dengan pelepasan enzim-enzim maupun petanda-petanda spesifik jantung lain yang

    terdapat pada sel otot jantung yang mengalami nekrosis. Enzim-enzim yang

    dilepaskan termasuk juga enzim transaminase yaitu SGOT.

    Serum Glutamate Oxaloacetate Transaminase (SGOT) merupakan enzim

    yang terutama ditemukan pada otot jantung dan hati. Enzim ini didefinisikan sebagai

     penanda biokimia untuk diagnosis infark miokard akut pada tahun 1954. Enzim ini

    tidak spesifik jantung tetapi meningkat kadarnya pada infark miokard sehingga dapat

    terdeteksi dalam sirkulasi. Kadar SGOT dapat meningkat secara signifikan pada gagal

     jantung kongestif akut dan/atau infark miokard, dimana peningkatannya berkisar

    antara tiga sampai sepuluh kali dari nilai normal. Kadar SGOT dapat kembali normal

    tetapi biasanya tidak akan kembali normal secepat SGPT (Ronald dan Grisanti,

    2001).

  • 8/18/2019 Perbedaan Kadar Sgot Pada Sindrom Klinis Ska Iya

    19/66

    3

    Berdasarkan fakta bahwa SKA terkait dengan peningkatan kadar SGOT dalam

    darah, maka penulis tertarik untuk meneliti “Perbedaan Kadar SGOT pada Spektrum

    Klinis Penyakit SKA di RSD dr. Soebandi Jember ”. Penelitian ini bertujuan untuk

    mengetahui apakah terdapat perbedaan kadar SGOT pada masing-masing spektrum

    klinis SKA yaitu UA, NSTEMI, dan STEMI. Sehingga harapannya di akhir seluruh

     penelitian, SGOT dapat dijadikan sebagai salah satu acuan diagnostik biomarker

    selain troponin pada penderita SKA agar tidak jatuh pada kondisi yang semakin parah

    sehingga insidensi kematian karena SKA dapat diturunkan. Sebab pemeriksaan

    SGOT sudah tercakup dalam pemeriksaan darah lengkap yang hampir selalu

    diperiksa pada pasien-pasien dengan penyakit dalam. Selain itu pula dari segi biaya,

     pemeriksaan SGOT lebih murah dibandingkan dengan pemeriksaan troponin yang

    masih merupakan pemeriksaan tersendiri karena bukan termasuk dalam pemeriksaan

    darah lengkap. Sehingga dari segi biaya pemeriksaan, SGOT memiliki keunggulan

    tersendiri dibandingkan dengan pemeriksaan troponin. Adapun alasan mengambil

    RSD. dr. Soebandi Jember sebagai tempat penelitian karena rumah sakit ini

    merupakan rumah sakit pendidikan tipe B dari Fakultas Kedokteran Universitas

    Jember yang lokasinya mudah dijangkau untuk mengadakan survei pada penderita

    SKA. Rumah sakit ini juga menjadi pusat rujukan medis untuk wilayah Jember.Selain

    itu, saat ini juga merupakan era BPJS dimana pasien-pasien banyak dirujuk ke rumah

    sakit daerah agar mendapatkan pelayanan yang lebih baik.

    1.2  Rumusan Masalah

    Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dari penelitian ini adalah

    apakah ada perbedaan kadar SGOT pada spektrum klinis penyakit Sindrom Koroner

    Akut di RSD. dr. Soebandi Jember?

  • 8/18/2019 Perbedaan Kadar Sgot Pada Sindrom Klinis Ska Iya

    20/66

    4

    1.3  Tujuan Penelitian

    Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan dari penelitian ini adalah untuk

    mengetahui adanya perbedaan kadar SGOT pada spektrum klinis penyakit Sindrom

    Koroner Akut di RSD. dr. Soebandi Jember.

    1.4  Manfaat Penelitian

    Adapun manfaat yang dapat diperoleh dalam penelitian ini adalah sebagai

     berikut: 

    1.  Sebagai informasi yang dapat digunakan untuk dinas kesehatan dan institusi

    kesehatan terutama RSD. dr. Soebandi Jember dalam mendukung pengambilan

    kebijaksanaan bidang kesehatan.

    2.  Sebagai pedoman untuk sarana diagnostik biomarker SKA dan melaksanakan

    tindakan prevensi yang tepat sehingga insidensi kematian karena SKA dapat

    diturunkan.

    3.  Menjadi dasar bagi institusi untuk pengembangan penelitian selanjutnya,

    khususnya pada bidang kardiovaskular; 

    4.  Sebagai sumber informasi dan ilmu pengetahuan bagi masyarakat, sehingga

    dapat mengatur pola hidup untuk menghindari serangan jantung yang merupakan

    manifestasi SKA; 

    5.  Memberikan sumbangan informasi terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi

    kedokteran (IPTEKDOK) khususnya tentang perbandingan peningkatan SGOT

     pada kejadian SKA. 

  • 8/18/2019 Perbedaan Kadar Sgot Pada Sindrom Klinis Ska Iya

    21/66

     

    BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

    2.1  Sindrom Koroner Akut (SKA)

    2.1.1 Definisi

    Sindrom Koroner Akut (SKA) adalah sebuah kondisi yang melibatkan

    ketidaknyamanan dada, nyeri dada (chest pain), atau gejala lain yang disebabkan oleh

    kurangnya oksigen ke otot jantung (miokardium). Sindrom ini merupakan kumpulan

    gejala yang mengacu pada spektrum presentasi klinis mulai dari penderita angina

    tidak stabil atau unstable angina (UA), penderita infark miokard tanpa elevasi

    segmen ST atau Non-ST elevation myocardial infarction (NSTEMI), hingga penderita

    infark miokard dengan gambaran elevasi segmen ST atau ST elevation myocardial

    infarction (STEMI). Hal ini hampir selalu dikaitkan dengan ruptur plak aterosklerotik

    dan trombosis parsial atau lengkap dari arteri yang mengalami infark.

    Sindrom Koroner Akut merupakan salah satu manifestasi klinis dari Penyakit

    Jantung Koroner selain  stable angina (angina stabil). Proses aterosklerosis dianggap

    menjadi penyebab utama munculnya sindroma ini, dengan sebagian besar kasus

    terjadi karena adanya gangguan dari lesi sebelumnya yang bersifat tidak parah.

     Namun apabila lesi ini sudah menyebabkan aterosklerosis dan menyumbat arteri

    koroner yang memasok darah dan oksigen ke sel-sel otot jantung maka dapat

    menghasilkan manifestasi klinis Sindrom Koroner Akut (SKA), yang ditandai dengan

    angina pectoris (nyeri dada), Infark Miokard Akut (IMA), atau bahkan kematian

    mendadak (Price, 2002; Shah, 2003).

    2.1.2 Faktor Risiko

    Framingham Heart Study membagi faktor risiko terjadinya PJK menjadi tiga

    macam, yaitu faktor risiko konvensional, faktor risiko yang dapat dimodifikasi, dan

    faktor risiko non-tradisional. Faktor risiko konvensional terdiri atas: usia lebih dari 45

    tahun pada pria dan lebih dari 55 tahun pada wanita, riwayat sakit jantung dini pada

  • 8/18/2019 Perbedaan Kadar Sgot Pada Sindrom Klinis Ska Iya

    22/66

    6

    keluarga dimana ayah atau saudara laki-laki didiagnosis mengalami sakit jantung

    sebelum usia 55 tahun dan ibu atau saudara perempuan didiagnosis mengalami sakit

     jantung sebelum usia 65 tahun, dan perbedaan ras. Faktor risiko yang dapat

    dimodifikasi terdiri atas: kadar kolesterol darah tinggi, hipertensi, merokok, Diabetes

    Mellitus, obesitas, kurangnya aktivitas fisik, sindrom metabolik, stress, dan depresi.

    Sedang faktor risiko non-tradisional terdiri atas: peningkatan kadar CRP di darah,

     peningkatan lipoprotein-a, peningkatan homosistein, aktivator plasminogen jaringan,

    fibrinogen, dan berbagai faktor lain seperti end-stage renal disease (ESRD), penyakit

    inflamasi kronik yang mempengaruhi jaringan ikat seperti lupus, rheumatoid arthritis,

    infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV),  Acquired Immunodeficiency

    Syndrome  (AIDS), dan Highly Active Antiretroviral Therapy (HAART). Sebagian

    faktor risiko konvensional dan modifikasi disebut juga faktor risiko mayor. Referensi

    lain mengatakan bahwa faktor risiko PJK diantaranya adalah tekanan darah, merokok,

    lipid, diabetes mellitus, obesitas, dan riwayat keluarga dengan penyakit jantung

    (Supriyono, 2008).

    2.1.3 Patofisiologi

    Beberapa bukti menunjukan bahwa aterosklerosis adalah proses inflamasi

    kronik yang menjadi penyebab utama terjadinya kelainan pembuluh darah pada

     penyakit ini. Aterosklerosis berasal dari bahasa Yunani yang berarti penebalan tunika

    intima arteri ( sclerosis, penebalan) dan penimbunan lipid (athere,  pasta) yang

    mencirikan lesi yang khas. Penyakit aterosklerotik yang mempengaruhi arteri koroner

    merupakan penyebab terpenting morbiditas dan mortalitas (Price dan Lorrain, 2006).

  • 8/18/2019 Perbedaan Kadar Sgot Pada Sindrom Klinis Ska Iya

    23/66

    7

    Gambar 2.1.Proses aterosklerosis (Sumber: Amsterdam et al., 2014)

    Lesi aterosklerotik pada manusia biasanya terbentuk selama bertahun-tahun

    dan tanpa gejala. Meskipun aterosklerosis ini bersifat kronis, namun adanya

    komplikasi trombotik yang menjadi konsekuensi klinis dari penyakit ini dapat terjadi

    tiba-tiba tanpa didahului keluhan secara klinis. Proses aterosklerosis meliputi

     beberapa tahap:

    1.  Endothelial Dysfunction (tidak berfungsinya endotel)

    Banyak penelitian mengatakan bahwa perlukaan pada endotel arteri

    merupakan awal permulaan terbetuknya aterosklerosis. Pada keadaan normal sel

    endotel akan menghasilkan enzim NO (nitric oxide) yang berguna sebagai

    endogen vasodilator, mencegah agregasi trombosit, dan antiinflamasi. Selain itu

    sel endotel juga menghasilkan enzim antioksidan.

    Endotel dapat mengalami disfungsi diakibatkan oleh paparan agen toksik

    dari bahan kimia lingkungan. Contoh: asap rokok, kadar lipd yang abnormal di

    dalam sirkulasi, atau karena penyakit diabetes. Semua itu diketahui sebagai

    faktor resiko aterosklerosis.

    Beberapa faktor fisik dan kimia akan mempengaruhi fungsi dari endotel

    dengan manifestasi:

    1.  Melemahnya barier pertahanan endotel.

    2.  Keluarnya sitokin inflamasi

    3.  Meningkatnya perlengkatan molekul

    4.  Berubahnya substansi vasoaktif (prostasiklin dan NO)

  • 8/18/2019 Perbedaan Kadar Sgot Pada Sindrom Klinis Ska Iya

    24/66

    8

    2.  Lipoprotein Entry and Modification  (masuknya lipoprotein dan terjadinya

     perubahan)

    Lipoprotein adalah suatu lemak pengangkut di aliran yang tidak larut air

    dan di sekelilingnya terdapat banyak hidrophilic phospolipid , kolesterol bebas,

    dan lipoprotein. Ada 5 kelas dari lipoprotein:

    1.  Kilomikron

    2.  VLDL (Very-Low Density Lipoprotein) 

    3.  IDL (Intermediate Density Lipoprotein) 

    4.  LDL (Low-Density Lipoptein) 

    5.  HDL (High-Density Lipoprotein) 

    Ketika sel endotel mengalami disfungsi, hal ini menyebabkan

    ketidakefektifan yang dapat menyebabkan lipoprotein lebih lama dalam aliran

    darah. Oksidasi adalah tipe yang pertama dari perubahan dari LDL di ruang

    subendotel. Perubahan efek biokimia tersebut menyebabkan perubahan LDL

    menjadi mLDL. Perubahan ini akan menarik sel monosit kedalam dinding sel

    sikulasi dan kemudian mLDL akan memacu endotel untuk menghasilkan

    mediator inflamasi.

    3.  Recruitment of Leukocytes (Penarikan Leukosit) 

    Proses masuknya dan perubahan biokimia LDL adalah kunci dari proses

    aterogenesis yang mencakup melekatnya leukosit, terutama adalah monosit dan

    limfosit T di dalam dinding sel pembuluh darah. Setelah monosit melekat dan

    masuk ke ruang subendotel, monosit berubah menjadi makrofag, agar mampu

    memfagosit dan memakan dari modifikasi LDL (mLDL). Namun hal ini akan

    merubah LDL menjadi foam cell dan hal ini merupakan awal terbentuknya

    komponen aterosklerosis yang disebut fatty streak .

  • 8/18/2019 Perbedaan Kadar Sgot Pada Sindrom Klinis Ska Iya

    25/66

    9

    Gambar 2.2. Pembentukan plak hingga fatty streak  (Sumber: Willerson, 2007)

    4.  Migration of Smooth Muscle Cells (Migasi Sel Otot Polos) 

    Makrofag yang teraktivasi melepaskan zat-zat kemoatraktan dan sitokin

    (misalnya monocyte chemoattractant protein-1, tumor necrosis factor a, IL-1,

    IL-6, CD40, dan c-reactive protein) yang makin mengaktifkan proses ini dengan

    merekrut lebih banyak makrofag, sel T, dan sel otot polos pembuluh darah (yangmensintesis komponen matriks ekstraseluler) pada tempat terjadinya plak. Sel

    otot polos pembuluh darah bermigrasi dari tunika media menuju tunika intima,

    lalu mensintesis kolagen, membentuk kapsul fibrosis yang menstabilisasi plak

    dengan cara membungkus inti lipid dari aliran pembuluh darah. Makrofag juga

    menghasilkan matriks metalloproteinase (MMPs), enzim yang mencerna matriks

    ekstraseluler dan menyebabkan terjadinya disrupsi plak.

  • 8/18/2019 Perbedaan Kadar Sgot Pada Sindrom Klinis Ska Iya

    26/66

    10

    Gambar 2.3. Kompleks inflamasi sitokin yang berasal dari berbagai komponen

    seluler (makrofag, sel otot polos, trombosit, sel endotel, sel dendritik,

    limfosit T, dan sel mast) memainkan peran dalam inisiasi dan

     perkembangan aterosklerosis (Sumber: Willerson, 2007). 

    Stabilitas plak aterosklerosis bervariasi. Perbandingan antara sel otot polos

    dan makrofag memegang peranan penting dalam stabilitas plak dan

    kecenderungan untuk mengalami ruptur. LDL yang termodifikasi meningkatkan

    respons inflamasi oleh makrofag. Respons inflamasi ini memberikan umpan

     balik, menyebabkan lebih banyak migrasi LDL menuju tunika intima. Makrofag

    yang terstimulasi akan memproduksi matriks metaloproteinase yang

    mendegradasi kolagen. Di sisi lain, sel otot pembuluh darah pada tunika intima

    yang membentuk kapsul fibrosis, merupakan subjek apoptosis. Jika kapsul

    fibrosis menipis, ruptur plak mudah terjadi, menyebabkan paparan aliran darah

    terhadap zat-zat trombogenik pada plak. Hal ini menyebabkan terbentuknya

     bekuan (Myrtha, 2012).

    Ruptur plak aterosklerotik merupakan tahapan kritis yang menentukan

  • 8/18/2019 Perbedaan Kadar Sgot Pada Sindrom Klinis Ska Iya

    27/66

    11

    timbulnya manifestasi SKA, seperti angina pektoris, IMA, infark serebral dan

    sudden death (Shah, 2003; Gough dkk., 2006). Tahap kritis terjadinya IMA

    adalah terjadinya ruptur plak aterosklerotik yang disusul dengan pembentukan

    trombus. Kombinasi dari kedua kejadian tersebut dapat menghasilkan oklusi

    total atau subtotal dari sirkulasi koroner, perluasan dan durasi oklusi menentukan

    derajad iskemia miokard dan ini menentukan gejala klinisnya. Jadi tidak semua

    ruptur dan pembentukan trombus mengakibatkan manifestasi klinis IMA. Ruptur

     plak aterosklerotik menjadi penyebab SKA karena memicu trombosis. Bila

    trombosis menyebabkan oklusi pembuluh darah dan terjadi pada pembuluh yang

    memasok organ-organ vital seperti otak dan jantung, akan menyebabkan

    iskhemia, stroke, infark serebral, IMA, bahkan kematian mendadak.

    Sindrom Koroner Akut (SKA) sering terjadi berkaitan dengan

    aterosklerosis. Bagian inti ateroma mengandung material timbunan lemak

    terutama kolesterol, sedangkan bagian permukaannya diselubungi oleh lapisan

     pelindung yang terutama tersusun oleh kolagen disebut  fibrous caps. Apabila

    terjadi injuri yang menyebabkan kerusakan fibrous cap, maka platelet akan

     beragregasi diikuti aktivasi kaskade pembekuan darah sehingga terbentuk

    trombus. Apabila trombus menyebabkan sumbatan pada pembuluh koroner,

    dapat menimbulkan gangguan fungsi pompa dan irama jantung yang berakibat

    fatal meskipun hanya terjadi dalam sekejap. Sehingga, manifestasi klinis akut

    aterosklerosis terjadi apabila terdapat trombus oklusif sebagai akibat dari ruptur

     plak.

    2.1.4  Unstable Angina (Angina Pektoris Tidak Stabil)

    Sindroma Angina Pektoris Tidak Stabil (APTS) telah lama dikenal sebagai

    gejala awal dari Infark Miokard Akut (IMA). Banyak penelitian melaporkan bahwa

    Unstable Angina  merupakan risiko untuk terjadinya IMA dan kematian.Unstable

     Angina  memiliki istilah lain yang sering digunakan antara lain angina preinfark,

  • 8/18/2019 Perbedaan Kadar Sgot Pada Sindrom Klinis Ska Iya

    28/66

    12

    angina dekubitus, dan angina kresendo (angina dengan frekuensi dan durasi yang

    semakin meningkat). Angina tipe ini merupakan spektrum dari sindrom iskemik

    miokard akut yang berada di antara angina pektoris stabil ( stable angina) dan infark

    miokard akut.

    Terminologi Unstable Angina harus tercakup dalam kriteria penampilan klinis

    sebagai berikut:

    1.  Angina pertama kali

    Angina timbul pada saat aktifitas fisik. Baru pertama kali dialami oleh penderita

    dalam priode satu bulan terakhir.

    2.  Angina progresif

    Angina timbul saat aktifitas fisik dan pola timbulnya berubah dalam periode satu

     bulan terkahir, yaitu menjadi lebih sering, lebih berat, lebih lama, timbul dengan

     pencetus yang lebih ringan dari biasanya, dan tidak hilang dengan cara yang biasa

    dilakukan. Penderita sebelumnya menderita angina pektoris stabil.

    3.  Angina waktu istirahat

    Angina timbul tanpa didahului aktifitas fisik ataupun hal-hal yang dapat

    menimbulkan peningkatan kebutuhan O2  miokard. Lama angina sedikitnya 15

    menit.

    4.  Angina sesudah IMA

    Angina yang timbul dalam periode dini (1 bulan) setelah IMA.

    Kriteria penampilan klinis tersebut dapat terjadi per kriteria itu sendiri atau

     bersamaan, dengan tanpa adanya gejala IMA. Nekrosis miokard yang terjadi pada

    IMA harus disingkirkan dengan pemeriksaan enzim serial dan pencatatan EKG.

    Gejala angina pektoris pada dasarnya timbul karena iskemik akut yang tidak menetap

    akibat ketidakseimbangan antara kebutuhan dan suplai O2 miokard (Bahri, 2004).

    Pada UA dan NSTEMI, pembuluh darah terlibat tidak mengalami oklusi total

    sehingga dibutuhkan stabilisasi plak untuk mencegah progresi, trombosis, dan

    vasokonstriksi. Angina pektoris tidak stabil dan NSTEMI mempunyai patogenesis

  • 8/18/2019 Perbedaan Kadar Sgot Pada Sindrom Klinis Ska Iya

    29/66

    13

    dan presentasi klinik yang sama, hanya berbeda dalam derajatnya. Bila ditemui

     penanda biokimia nekrosis miokard (peningkatan troponin I, troponin T, atau

    creatinin kinase CK-MB) maka diagnosis adalah NSTEMI. Sedangkan bila penanda

     biokimia ini tidak meninggi atau meningkat namun tidak lebih dari 50% diatas nilai

    normal, maka diagnosis adalah UA.

    Untuk menyingkirkan adanya IMA, pada pasien terdiagnosis perlu dilakukan

     pencatatan EKG saat serangan angina. Bila dilakukan pencatatan EKG saat istirahat

    didapatkan hasil normal, harus dilakukan stress test  dengan treadmill ataupun sepeda

    ergometer. Tes ini bertujuan untuk mengetahui apakah nyeri dada berasal dari jantung

    atau tidak serta menilai beratnya penyakit. Gambaran EKG penderita UA dapat

     berupa depresi segmen ST, depresi segmen ST disertai inversi gelombang T, elevasi

    segmen ST, hambatan cabang ikatan His dan tanpa perubahan segmen ST, dan

    gelombang T. Perubahan EKG pada UA bersifat sementara dan masing-masing dapat

    terjadi sendiri-sendiri ataupun bersamaan. Perubahan tersebut timbul di saat serangan

    angina dan kembali ke gambaran normal atau awal setelah keluhan angina hilang

    dalam waktu 24 jam. Bila perubahan tersebut menetap setelah 24 jam atau terjadi

    evolusi gelombang Q, maka disebut sebagai IMA.

    2.1.5  Infark Miokard tanpa ST Elevasi (NSTEMI)

     Non ST-segment elevation myocardial infarction  (NSTEMI) secara umum

    dibedakan dengan STEMI melalui refleksi gambaran infark miokard dan nekrosis

     berdasarkan hasil EKG. Perbedaan tersebut disebabkan karena adanya perbedaan luas

    area yang mengalami infark dan juga perbedaan lokasi terjadinya obstruksi (Bode dan

    Zirlik, 2007). Kerusakan area yang terjadi pada NSTEMI tidak seluas yang terjadi

     pada STEMI karena gangguan suplai darah hanya bersifat parsial dan sementara.

     NSTEMI didefinisikan berdasarkan ketinggian biomarker jantung tanpa adanya

    elevasi segmen ST (Daga dkk, 2011). Biomarker yang sering dijadikan acuan adalah

    troponin T dan troponin I karena lebih spesifik daripada enzim jantung yang lain.

  • 8/18/2019 Perbedaan Kadar Sgot Pada Sindrom Klinis Ska Iya

    30/66

    14

    Peningkatan troponin pada daerah perifer terjadi setelah 3-4 jam dan dapat menetap

    sampai 2 minggu.

     NSTEMI dapat di sebabkan oleh penurunan suplai oksigen dan atau

     peningkatan kebutuhan oksigen miokard yang diperberat oleh obstruksi koroner.

     NSTEMI terjadi karena trombosis akut atau proses vasokonstriksi koroner.

    Trombosis akut pada arteri koroner di awali dengan adanya ruptur plak yang tak

    stabil. Plak yang tidak stabil ini biasanya mempunyai inti lipid yang besar, densitas

    otot polos yang rendah, fibrous cap yang tipis, dan konsentrasi faktor jaringan yang

    tinggi. Selain itu, terdapat faktor patofisiologi lain yang terjadi pada NSTEMI yaitu

    adanya infalamasi vaskuler dan kerusakan pada ventrikel kiri (Harun dan Alwi,

    2009).

     NSTEMI sering terjadi pada orang tua yang telah memiliki penyakit jantung

    dan non-jantung sebelumnya. Gambaran klinis yang tampak yaitu nyeri dada dengan

    lokasi khas substernal atau kadangkala di epigastrium dengan ciri seperti diikat,

     perasaan terbakar, nyeri tumpul, rasa penuh, berat atau tertekan. Selain itu juga

    terdapat gejala tidak khas yang sering terjadi pada pasien yang berusia diatas 65 tahun

    seperti dispneu, mual, diaforesis, sinkop, nyeri di lengan, bahu atas atau pun di leher.

    2.1.6  Infark Miokard dengan ST-Elevasi (STEMI)

    Infark miokard akut dengan elevasi ST (STEMI) merupakan merupakan salah

    satu spektrum SKA yang paling berat (Kumar dan Cannon, 2009). Infark miokard

     pada STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak

    setelah oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. Oklusi

    ini akan mengakibatkan berhentinya aliran darah (perfusi) ke jaringan miokard

    (Firdaus, 2011). Diagnosis STEMI ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris

    akut disertai elevasi segmen ST yang persisten di dua sadapan yang bersebelahan.

    Penilaian ST elevasi dilakukan pada J  point dan ditemukan pada 2 sadapan yang

     bersebelahan. Nilai ambang elevasi segmen ST untuk diagnosis STEMI untuk pria

    dan perempuan pada sebagian besar sadapan adalah 0,1 mV. (PERKI, 2015).

  • 8/18/2019 Perbedaan Kadar Sgot Pada Sindrom Klinis Ska Iya

    31/66

    15

    Selain itu pemeriksaan enzim jantung berupa peningkatan cardiac spesific

    troponin  (cTn) dan CK-MB dapat memperkuat diagnosis meskipun tidak perlu

    menunggu hasil pemeriksaan enzim untuk melakukan terapi. Peningkatan nilai enzim

    diatas 2 kali nilai batas atas normal menunjukkan adanya nekrosis jantung (infark

    miokard) cTn harus digunakan sebagai pertanda optimal untuk pasien STEMI yang

    disertai kerusakan otot skeletal, karena pada keadaan ini juga akan terjadi

     peningkatan CK-MB. Selain itu CK-MB juga dapat meningkat pada operasi jantung,

    miokarditis, dan kardioversi elektrik.

    2.2  SGOT

    2.2.1  Definisi

    SGOT (Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase) atau juga dinamakan

    AST ( Aspartat Aminotransferase) merupakan enzim katalitik yang memiliki aktivitas

    metabolisme yang tinggi. Enzim ini ditemukan dalam dua bentuk isoenzim yaitu c-

    AST yang terdapat di sitoplasma dan m-AST yang terdapat di mitokondria. Enzim ini

    ditemukan terutama di otot jantung dan hati, sementara dalam konsentrasi sedang

    dijumpai pada otot rangka, ginjal, dan pankreas (Kurniawan, Bahrun, & Darmawaty,

    2012). Penyakit yang menyebabkan perubahan, kerusakan, atau kematian sel pada

     jaringan tersebut akan mengakibatkan terlepasnya enzim ini ke sirkulasi. Konsentrasi

    SGOT yang rendah dijumpai dalam darah, kecuali jika terjadi cedera seluler akan

    dillepaskan dalam jumlah banyak ke dalam sirkulasi.

    Berdasarkan nilai yang dianut pada laboratorium patologi klinik di RSD dr.

    Soebandi Jember, kadar SGOT normal dalam serum sebesar 10-31 U/L untuk

     perempuan dan 10-35 U/L untuk laki-laki. Menurut (Halfman, 2000), pada infarkmiokard, kadar SGOT akan meningkat 12 jam setelah onset nyeri dada, kemudian

    akan mencapai puncaknya antara 1-2 hari, dan kembali normal pada hari ke-3 hingga

    hari ke-5. Selain itu terdapat pula pendapat lain yang menyatakan bahwa kadar SGOT

    akan normal kembali setelah 3-6 hari jika tidak terjadi infark tambahan (Bhagwat &

  • 8/18/2019 Perbedaan Kadar Sgot Pada Sindrom Klinis Ska Iya

    32/66

    16

    Padmini, 2014). Kadar SGOT biasanya dibandingkan dengan kadar enzim jantung

    lainnya, seperti CK (creatin kinase), LDH (lactat dehydrogenase). Pada penyakit

    hati, kadarnya akan meningkat 10 kali lebih dan akan tetap demikian dalam waktu

    yang lama. Kadar SGOT serum umumnya diperiksa secara fotometri atau

    spektrofotometri, semi otomatis menggunakan fotometer atau spektrofotometer, atau

    secara otomatis menggunakan chemistry analyzer .

    2.2.2  Peningkatan SGOT

    Menurut Pedoman Interpretasi Data Klinik Kemenkes 2011, kondisi yang

    meningkatkan kadar SGOT adalah:

    1.  Peningkatan SGOT lebih dari 20 kali normal: hepatitis viral akut, nekrosis hati

    (toksisitas obat atau kimia)

    2.  Peningkatan 3-10 kali normal : infeksi mononuklear, hepatitis kronis aktif,

    sumbatan empedu ekstra hepatik, sindrom Reye, dan infark miokard

    (SGOT>SGPT)

    3.  Peningkatan 1-3 kali normal : pankreatitis, perlemakan hati, sirosis Laennec,

    sirosis biliaris.

    2.2.3  Metode Pemeriksaan SGOT

    Metode pemeriksaan SGOT merujuk pada rekomendasi menurut IFCC

    ( International Federation of Clinical Chemistry and Laboratory Medicine)  yang

    dimodifikasi. Tujuan dari pemeriksaan ini adalah untuk mengetahui kadar SGOT

    dalam darah seseorang secara fotometris dengan prinsip NADH dioksidasi menjadi

     NAD+, menghasilkan penurunan absorbansi pada 340 nm yang secara langsung

    sebanding dengan aktivitas SGOT pada sampel. Prinsip dari metode ini sebagai

     berikut:

    L-Aspartate + 2-OxoglutarateAST

      Oxaloacetate + L-Glutamate

    Oxaloacetate + NADH + H+ 

    MDH  L-Malate + NAD

    +

  • 8/18/2019 Perbedaan Kadar Sgot Pada Sindrom Klinis Ska Iya

    33/66

    17

    Keterangan:

    AST = Aspartate Aminotransferase 

    MDH = Malat Dehidrogenase

     NAD+  = Nicotinamide Adenin Dinucleotide

     NADH = NAD tereduksi

    Menurut (Sardini, 2007), metode yang digunakan sesuai dengan modifikasi

    IFCC terdiri dari 2 macam. Pertama disebut juga metode IFCC dengan penambahan

    reagen pyridoxal-5-phosphate (P-5-P) yang biasa disebut metode " IFCC with P-5-P "

    atau " substrate start ", yang kedua adalah metode IFCC tanpa penambahan reagen

     pyridoxal-5-phosphate (P-5-P) yang biasa disebut metode " IFCC without P-5-P " atau

    " sample start ". Penambahan P-5-P berfungsi untuk menstabilkan aktivitas

    transaminase dan menghindari nilai-nilai palsu yang rendah dalam sampel yang tidak

    mengandung cukup endogen P-5-P.

    a.  Alat dan bahan

    Dalam pengukuran kadar SGOT, diperlukan serum atau plasma dengan

    antikoagulan heparin atau EDTA. Alat yang digunakan untuk pemeriksaan SGOT

    dengan modifikasi metode IFCC adalah sebagai berikut:

    -  Rak tabung reaksi ukuran 12 × 75 mm

    -  Mikropipet 200 μl, 100 μl 

    -  Yellow tip

    -  Sentrifuge

    -  Spektrofotometer

     b.  Reagen

    Terdapat dua macam reagen yang digunakan pada pemeriksaan SGOT yaitu:

    -  Reagen 1 (R1): TRIS (pH 7,65): 110 mmol/L

    L-Aspartate: 320 mmol/L

    MDH (Malate Dehydrogenase): ≥ 800 U/L

    LDH (Lactate Dehydrogenase): ≥ 1200 U/L 

  • 8/18/2019 Perbedaan Kadar Sgot Pada Sindrom Klinis Ska Iya

    34/66

    18

    -  Reagen 2 (R2): 2-Oxoglutarate: 65 mmol/L

     NaOH: 1 mmol/L

    c.   Pyridoxal-5-Phosphate FS

    Good’s buffer  (pH 9,6): 100 mmol/L

     Pyridoxal-5-Phosphate: 13 mmol/L

    d.  Prosedur Pengukuran SGOT

    Panjang gelombang : 340 nm, Hg 365 nm, Hg 334 nm

    Jalur optik : 1 cm

    Suhu : 37oC

    Pengukuran : terhadap udara

    1.  Substrate Start atau IFCC with P-5-P

    -  Reagen sudah siap untuk digunakan

    -  Campur 1 bagian P-5-P + 100 bagian R1 (contoh: 100 μl P-5-P + 10 ml

    R1) = monoreagen

    -  Stabilitas setelah pencampuran: 6 hari pada suhu 2-8 oC

    24 jam pada suhu 15-28oC

    Monoreagen harus terhindar dari cahaya.

    -  Inkubasi R1 selama 5 menit, kemudian masukkan R2 dan campurkan.

    Baca absorbansi setelah 1 menit dan mulai stopwatch. Setelah itu, baca

    kembali absorbansi pada menit ke-1, ke-2, dan ke-3 setelah stopwatch

    dihidupkan.

    2.  Sample Start atau IFCC without  P-5-P 

    -  Campur 4 bagian R1 + 1 bagian R2 (contoh: 20 ml R1 + 5 ml R2) =

    monoreagen.

    -  Stabilitas setelah pencampuran: 4 minggu pada suhu 2-8 oC

    5 hari pada suhu 15-28oC

    Monoreagen harus terhindar dari cahaya.

  • 8/18/2019 Perbedaan Kadar Sgot Pada Sindrom Klinis Ska Iya

    35/66

    19

    -  Campurkan monoreagen, baca absorbansi setelah 1 menit dan mulai

    stopwatch. Baca kembali absorbansi pada menit ke-1, ke-2, dan ke-3

    setelah stopwatch dihidupkan.

    e.  Penghitungan

    Dari pembacaan absorbansi, hitung:

    ∆A/min × faktor = Aktivitas AST (U/L)

    -  Faktor Substrate Start  

    340 nm: 2143

    334 nm: 2184

    365 nm: 3971

    -  Faktor Sample Start  

    340 nm: 1745

    334 nm: 1780

    365 nm: 3235

  • 8/18/2019 Perbedaan Kadar Sgot Pada Sindrom Klinis Ska Iya

    36/66

    20

    2.3 Kerangka Konsep Penelitian

    Gambar 2.3 Kerangka Konsep

    2.4 Hipotesis Penelitian 

    Dari rumusan masalah dan tinjauan pustaka yang ada, maka dapat ditarik

    hipotesis dari penelitian ini yaitu terdapat perbedaan kadar SGOT pada spektrum

    klinis penyakit Sindrom Koroner Akut di RSD. dr. Soebandi Jember.

    Sindrom Koroner Akut

    Aterosklerosis

    Biomarker :

    Peningkatan SGOT

    Infark Miokard

  • 8/18/2019 Perbedaan Kadar Sgot Pada Sindrom Klinis Ska Iya

    37/66

    21

    BAB 3. METODE PENELITIAN 

    3.1 Jenis Penelitian

    Jenis penelitian yang dilakukan adalah analitik observasional dengan

    menggunakan desain studi cross sectional   (Pratiknya, 2008). Hal ini dilakukan

    dengan tujuan untuk menganalisis kadar SGOT dalam darah (variabel independent)

    terhadap kejadian Sindrom Koroner Akut (variabel dependent) di Rumah Sakit

    Umum Daerah (RSD) dr. Soebandi Kabupaten Jember.

    3.2 Rancangan Penelitian

    Secara skematis rancangan penelitian ditunjukan pada Gambar 3.1 berikut ini. 

    Gambar 3.1 Rancangan penelitian

    Keterangan :

    P : Populasi

    RM : Rekam Medik

    UA : Unstable Angina 

     NSTEMI : Non ST-segment Elevation Myocardial Infarction 

    STEMI : ST-segment Elevation Myocardial Infarction 

    P S NSTEMI

    UA

    STEMI

    RM

  • 8/18/2019 Perbedaan Kadar Sgot Pada Sindrom Klinis Ska Iya

    38/66

    22

    3.3 Populasi dan Sampel Penelitian

    3.3.1  Populasi

    Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien dengan diagnosis Sindrom

    Koroner Akut di RSD. dr. Soebandi Jember pada bulan Agustus-Oktober 2015.

    3.3.2  Sampel

    Sampel pada penelitian ini dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu pasien

    Unstable Angina (UA), Non ST-segment Elevation Myocardial Infarction (NSTEMI),

    dan ST-segment Elevation Myocardial Infarction  (STEMI), dengan menggunakan

    data rekam medis sebagai sumber penelitian. Sampel yang akan diambil, didasarkan

     pada kriteria-kriteria sebagai berikut :

    a. Kriteria Inklusi

    1)  Pasien yang dirawat di ICCU pada bulan Agustus-Oktober 2015 dengan

    diagnosis UA, NSTEMI, dan STEMI di RSD. dr. Soebandi Kabupaten

    Jember.

    2)  Pasien yang diperiksa kadar SGOT dalam rentang waktu 8-48 jam setelah

    serangan angina.

     b. Kriteria Eksklusi

    Pasien SKA dengan penyakit pada hepar

    3.3.3  Besar Sampel

    Berdasarkan Lameshow (1997), besar sampel ditentukan dengan

    menggunakan rumus sebagai berikut:

    n = Z1-a/2  P (1-P)

    d

    = 1,96 . 0,50. 0.50

    0,05

    = 9,8 (dibulatkan menjadi 10)

  • 8/18/2019 Perbedaan Kadar Sgot Pada Sindrom Klinis Ska Iya

    39/66

    23

    Keterangan

    n = Besar sampel

    Z1-a/2 = Nilai Z pada derajat kemaknaan (biasanya 95%= 1,96)

    P = Proporsi suatu kasus tertentu terhadap populasi, bila tidak

    diketahui proporsinya, ditetapkan 50% (0,50)

    d = Derajat penyimpangan terhadap populasi yang diinginkan: 10%

    (0,10), 5% (0,05), atau 1% (0,01)

    Maka didapatkan besar sampel untuk setiap kelompok adalah 10 sampel.

    Sehingga terdapat 30 total sampel dalam penelitian ini yang memenuhi kriteria

     Roscow yaitu besar sampel dalam penelitian adalah 30-500 sampel (Notoatmodjo,

    2010).

    3.3.4  Teknik Pengambilan Sampel

    Teknik pengambilan sampel yang digunakan pada penelitian ini

    menggunakan  stratified random sampling   (pengambilan sampel secara acak

    stratifikasi), yaitu dengan cara mengidentifikasi karakteristik dari populasi yang

     berbeda-beda (heterogen), kemudian menentukan strata atau lapisan dari jenis

    karakteristik kelompok-kelompok tersebut. Penentuan strata ini didasarkan pada

     perbedaan EKG dan pemeriksaan laboratoris pada kelompok UA, NSTEMI, dan

    STEMI. Setelah strata ditentukan, baru kemudian dari masing-masing kelompok

    strata diambil sampel yang mewakili strata tersebut secara random dengan

    menggunakan teknik undian (Notoatmodjo, 2010). 

    3.4 Tempat dan Waktu Penelitian

    Pengambilan data dilakukan di ruang ICCU RSD. dr.Soebandi Jember pada

    Agustus -Oktober 2015

  • 8/18/2019 Perbedaan Kadar Sgot Pada Sindrom Klinis Ska Iya

    40/66

    24

    3.5 Variabel Penelitian

    3.5.1 Variabel Dependen

    Variabel dependen (variabel terikat) dalam penelitian ini adalah peningkatan

    kadar SGOT.

    3.5.2 Variabel Independen

    Variabel Independen (variabel bebas) dalam penelitian ini adalah sindrom

    klinis penyakit SKA di RSD. dr. Soebandi Jember.

    3.6  Definisi Operasional

    3.6.1  SGOT (Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase) / AST ( Aspartat

     Aminotransferase) adalah enzim yang memiliki aktivitas metabolisme yang

    tinggi, ditemukan di jantung, dan didapatkan dari hasil pemeriksaan

    laboratorium pasien yang didiagnosis munderita UA, NSTEMI, dan STEMI

    saat pertama kali datang di ICCU RSD.dr. Soebandi Jember.

    3.6.2  Pasien Sindrom Koroner Akut adalah:

    1)  Pasien UA adalah pasien yang datang di ICCU RSD. dr. Soebandi Jember

    dan didiagnosis sebagai penderita UA berdasarkan diagnosis dokter pada

    rekam medis. 

    2)  Pasien NSTEMI adalah pasien yang datang di ICCU RSD. dr. Soebandi

    Jember dan didiagnosis sebagai penderita NSTEMI berdasarkan diagnosis

    dokter pada rekam medis. 

    3)  Pasien STEMI adalah pasien yang datang di ICCU RSD. dr. Soebandi

    Jember dan didiagnosis sebagai penderita STEMI berdasarkan diagnosis

    dokter pada rekam medis. 

    3.6.3  Data rekam medis pasien adalah:

    Data rekam medis pasien SKA yang mencakup kadar SGOT yang diperiksa

    dalam waktu 8-48 jam setelah onset nyeri dada.

  • 8/18/2019 Perbedaan Kadar Sgot Pada Sindrom Klinis Ska Iya

    41/66

    25

    3.7 Instrumen Penelitian

    Instrumen penelitian yang digunakan berupa:a.  Rekam medis dari pasien SKA yang mencakup hasil tes laboratorium berupa

    nilai SGOT di ICCU RSD. dr. Soebandi Jember

     b.  Check list untuk mendata pasien-pasien SKA yang berasal dari ICCU RSD.

    dr. Soebandi Jember

    3.8 Prosedur Kerja Penelitian

    3.8.1  Mendapatkan Sampel Pasien SKA

    Sampel pasien SKA yang merupakan kelompok uji didapatkan dari rekam

    medis pasien ICCU RSD dr. Soebandi Jember.

    3.8.2  Teknik Perolehan Data Sampel SKA 

    Langkah I : Permohonan etik penelitian dan surat keterangan persetujuan

    etik kepada Komisi Etik Fakultas Kedokteran Universitas

    Jember.

    Langkah II : Permohonan ijin penelitian kepada RSD. dr.Soebandi Jember.

    Langkah III : Pengambilan data rekam medis di Bagian Rekam Medis

    RSD dr.Soebandi Jember.

    Langkah IV : Mencatat nilai SGOT dari rekam medis

    Langkah V :Pengolahan data yang telah diperoleh dengan analisa

    statistik.

    3.9  Pengambilan dan Analisis Data

    3.9.1 Pengambilan Data

    Pengambilan data pada penelitian ini dilakukan dengan cara :

    a.  Menyiapkan instrumen penelitian yang akan digunakan.

     b.  Membuat stratifikasi data berdasarkan karakteristik kelompok Unstable

     Angina, NSTEMI, dan STEMI seperti pada Tabel 3.1.

  • 8/18/2019 Perbedaan Kadar Sgot Pada Sindrom Klinis Ska Iya

    42/66

    26

    Tabel 3.1. Stratifikasi kelompok sampel

    UA NSTEMI STEMI

    Angina tipikal + + +

    EKG:

    1.  ST Elevasi

    2.  ST inversi/T depresi

    -

    +

    -

    +

    +

    -

    Biomarker Troponin / Normal

    c.  Mencatat data hasil tes laboratorium pasien di Laboratorium RSD dr.

    Soebandi Jember melalui rekam medis.

    d.  Data yang telah didapatkan dengan jumlah sampel sesuai rumus, dapat

    dimasukkan dalam Tabel 3.2.

    Tabel 3.2 Check List  Penelitian

    3.9.2 Analisis Data

    Data dianalisis dengan uji normalitas Saphiro Wilk dengan  p>0,05. Kemudian

    secara statistik data kadar SGOT akan dianalisis dengan One Way Anova dan

    dilakukan uji Post Hoc (Dahlan, 2009).

  • 8/18/2019 Perbedaan Kadar Sgot Pada Sindrom Klinis Ska Iya

    43/66

    27

    3.10  Alur Penelitian

    Gambar 3.2 Alur Penelitian

    Pencatatan

    Data

    Pengolahan

    Data

    Analisis

    Data

    Perijinan dan

    Persetujuan Etik

    Kelompok SKA

    Pengumpulan data sampel dari

    Rekam Medis RSD dr.Soebandi

    Jember

    Sesuai kriteria

    inklusi

    Sesuai kriteria

    eksklusi

    Tidak diteliti

  • 8/18/2019 Perbedaan Kadar Sgot Pada Sindrom Klinis Ska Iya

    44/66

    28

    BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

    4.1 Hasil Penelitian

    Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus-Oktober 2015, di Ruang Rekam

    Medis Rawat Inap RSD dr. Soebandi Kabupaten Jember. Data penelitian

    dikumpulkan dari dokumen rekam medis atau catatan kesehatan pasien SKA yang

    terdiri atas Unstable Angina (UA), Non-ST Elevation Myocard Infark  (NSTEMI), ST

     Elevation Myocard Infark   (STEMI). Data disajikan dalam bentuk tabel dan grafik

    distribusi frekwensi serta dijelaskan secara naratif yang meliputi persentase setiap

    kategori dari variabel penelitian.

    4.1.1 Distribusi Pasien Sindrom Koroner Akut

    Penelitian ini menggunakan populasi pasien SKA di RSD dr. Soebandi. Data

    didapatkan dari Ruang Rekam Medis Rawat Inap RSD dr. Soebandi, pasien yang

    mengalami SKA sebanyak 88 pasien dari bulan Agustus-Oktober 2015. Dari populasi

    tersebut terdapat 25 sampel pasien UA, 24 sampel pasien NSTEMI, dan 19 sampel

     pasien STEMI yang memenuhi kriteria sampel. Kemudian sampel diacak dan diambil

    16 sampel dari masing-masing kelompok. Distribusi sampel pasien SKA per

     bulannya disajikan pada Tabel 4.1.

    Tabel 4.1 Distribusi sampel pasien SKA per bulan

    Bulan Jumlah Sampel (Orang)

    UA NSTEMI STEMI

    Agustus 10 8 7September 6 10 8

    Oktober 9 6 4

    Jumlah 25 24 19

  • 8/18/2019 Perbedaan Kadar Sgot Pada Sindrom Klinis Ska Iya

    45/66

    29

    Berdasarkan Tabel 4.1 tertera jumlah pasien SKA selama bulan Agustus-

    Oktober 2015. Penderita UA terbanyak berada pada bulan Agustus yaitu sebesar 10

    orang dan penderita NSTEMI dan STEMI terbanyak berada pada bulan September

    yaitu sebesar 10 dan 8 orang.

    4.1.2 Distribusi Jenis Kelamin Pasien Sindrom Koroner Akut

    Distribusi jenis kelamin penderita SKA dalam penelitian ini disajikan pada

    Gambar 4.1.

    Gambar 4.1 Distribusi jenis kelamin pasien SKA

    Berdasarkan Gambar 4.1 dari 48 sampel diperoleh hasil distribusi jenis kelamin

     pasien SKA yang menunjukkan bahwa laki-laki lebih banyak terkena SKA dengan jumlah pasien sebanyak 40 orang (83,3%) dibandingkan perempuan yang berjumlah

    hanya 8 orang (16,7%). Distribusi jenis kelamin ini sesuai dengan hasil Riset

    Kesehatan Dasar 2013 yang mencantumkan bahwa penderita penyakit jantung

    koroner terbanyak ditemukan pada laki-laki.

    83,3%

    16,7%

  • 8/18/2019 Perbedaan Kadar Sgot Pada Sindrom Klinis Ska Iya

    46/66

    30

    4.1.3 Distribusi Usia Pasien Sindrom Koroner Akut

    Distribusi usia pasien SKA dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 4.2.

    Gambar 4.2 Distribusi Usia Pasien SKA

    Berdasarkan Gambar 4.2, dari 48 sampel diperoleh hasil distribusi usia pasien

    SKA yang menunjukkan bahwa kelompok usia < 45 tahun berjumlah 5 orang

    (10,4%), kelompok usia 45-54 tahun berjumlah 9 orang (18,8%), kelompok usia 55-

    64 tahun berjumlah 19 orang (39,6%), kelompok usia 65-74 tahun berjumlah 13

    orang (27%), dan kelompok usia > 74 tahun berjumlah 2 orang (4,2%). Kelompok

    usia ini dibagi berdasarkan hasil dari Riset Kesehatan Dasar 2013 yang

    mencantumkan bahwa penderita penyakit jantung koroner banyak ditemukan pada

    kelompok usia 45-54 tahun, 55-64 tahun, dan 65-74 tahun dengan hasil tertinggi

    terletak pada kelompok usia 55-64 tahun seperti yang ada pada penelitian ini.

    10,4%

    18,8%

    39,6%

    27%

    4,2%

  • 8/18/2019 Perbedaan Kadar Sgot Pada Sindrom Klinis Ska Iya

    47/66

    31

    4.1.4 Rata-Rata Kadar SGOT pada Spektrum Klinis SKA

    Rata-Rata Kadar SGOT pada masing-masing kelompok SKA disajikan pada

    Tabel 4.2

    Tabel 4.2 Rata-rata kadar SGOT masing-masing kelompok SKA

    Kelompok

    SKA n  Mean (U/L) ± SD 

    UA  16  27,50 ±9,675 

     NSTEMI  16  65,88 ±39,007 

    STEMI  16  162,38 ±95,759 

    Rata-rata kadar SGOT kelompok UA pada Tabel 4.1 menunjukkan bahwa

    hasil yang diperoleh merupakan hasil terendah (27,50 (U/L) ±9,675) apabila

    dibandingkan dengan dua kelompok lainnya yaitu NSTEMI dan STEMI, sedangkan

    rata-rata kadar SGOT pada kelompok STEMI menunjukkan hasil paling tinggi

    (162,38 (U/L) ±95,759) diantara ketiga kelompok tersebut.

    Gambar 4.3 Histogram Rata-Rata Kadar SGOT

    27,50 U/L

    65,88 U/L

    162,38 U/L

  • 8/18/2019 Perbedaan Kadar Sgot Pada Sindrom Klinis Ska Iya

    48/66

    32

    4.2  Analisis Hasil Penelitian

    4.2.1  Uji Normalitas Data 

    Syarat yang harus dimiliki oleh data penelitian agar dapat melakukan analisis

    data dengan uji parametrik One-Way ANOVA ialah sampel harus berasal dari

    kelompok yang independen, data masing-masing kelompok terdistribusi normal, dan

    varian data harus homogen. Sampel dalam penelitian ini berasal dari kelompok yang

    independen sebab kadar SGOT pada satu kelompok tidak tergantung pada kadar

    SGOT pada kelompok lain. Perlu dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas

    sebelum melakukan analisis terhadap data untuk dapat memenuhi syarat uji One-Way

    ANOVA. Rincian hasil uji normalitas dan uji homogenitas dapat dilihat pada

    lampiran C. Uji Saphiro-Wilk (n= 0,05) lebih dari nilai α.Sedangkan data pada kelompok UA dan NSTEMI memiliki distribusi tidak normal

    karena nilai signifikansi ( p

  • 8/18/2019 Perbedaan Kadar Sgot Pada Sindrom Klinis Ska Iya

    49/66

    33

    karena  p

  • 8/18/2019 Perbedaan Kadar Sgot Pada Sindrom Klinis Ska Iya

    50/66

    34

    Berdasarkan Tabel 4.3 uji Kruskal-Wallis kadar SGOT pasien SKA di RSD. dr.Soebandi Kabupaten Jember diperoleh nilai p=0,000

  • 8/18/2019 Perbedaan Kadar Sgot Pada Sindrom Klinis Ska Iya

    51/66

    35

    rentang nilai normal sedangkan dua pasien lainnya (12,5%) memiliki kadar SGOT

    yang meningkat. Didapatkan hasil bahwa rata-rata kadar SGOT pada UA adalah

    27,50 U/L. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Srikrishna et al. 

    (2015) dan Sideris et al. (2005) yang menemukan kadar SGOT pada UA sebesar

    21.29 U/L dan 25 U/L. Kadar SGOT pada UA yang masih berada pada rentang

    normal dikarenakan belum terjadinya infark miokard sehingga kadar SGOT belum

    meningkat pada pasien dalam kelompok ini. Nyeri dada yang terjadi pada UA

    merupakan akibat dari ketidakseimbangan antara kebutuhan dan pemenuhan oksigen

     pada miokard karena adanya sumbatan yang berasal dari plak aterosklerosis yang

    lepas, sehingga dapat menyebabkan hipoksia pada sel miokard. Hipoksia pada sel

    miokar menyebabkan terjadinya metabolisme sel anaerob, yang akan menghasilkan

     produk samping berupa asam laktat. Menurut Hernawati (Tanpa Tahun), apabila

     produksi asam laktat tersebut terakumulasi, dapat menghambat kontraksi otot dan

    menyebabkan rasa nyeri pada otot sehingga hal inilah yang mendasari terjadinya

    nyeri dada atau angina pada UA. Selain itu, cedera pada sel tergantung pada berat

    atau ringannya stress yang dialami oleh sel tersebut. Menurut Rahmani (Tanpa

    Tahun), urutan perubahan struktur sel pada iskemia atau hipoksia yaitu: 1)  Reversible

    cell injury dan 2) Irreversible cell injury. Kemungkinan stress yang terjadi pada sel

    miokard UA masih tergolong stress yang ringan sehingga sel miokard masih berada

     pada tahapan reversible cell injury dan hal ini mengakibatkan kadar SGOT pada UA

    masih normal.

    Kadar SGOT kelompok NSTEMI mengalami peningkatan pada 14 pasien

    (87,5%) dengan dua pasien lainnya memiliki kadar SGOT yang normal dan pada

    kelompok STEMI, kadar SGOT meningkat pada 13 pasien (81,2%) dengan tiga

     pasien lainnya memiliki kadar SGOT normal. Hal ini dikarenakan pada spektrum

    klinis SKA dengan NSTEMI dan STEMI sudah terdapat infark pada miokard.

    sehingga menyebabkan sel otot jantung mengeluarkan enzim yang berfungsi sebagai

     penanda kerusakan miokard, salah satunya adalah SGOT yang meningkat. Rata-rata

    kadar SGOT pada kelompok NSTEMI dan STEMI sebesar 65,88 U/L dan 162,38

  • 8/18/2019 Perbedaan Kadar Sgot Pada Sindrom Klinis Ska Iya

    52/66

    36

    U/L. Hal ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Srikrisnha et al .

    (2015) yang menyatakan bahwa rata-rata kadar SGOT pada kelompok pasien

     NSTEMI dan STEMI yang masih berada dalam rentang normal yaitu sebesar 26,91

    ±11,64 U/L dan 30,60 ±10,04 U/L. Dalam penelitian ini, terlihat bahwa dari

    keseluruhan kelompok, rata-rata kadar SGOT pada kelompok STEMI memiliki nilai

    tertinggi. Sebab oklusi pembuluh darah koroner yang terjadi pada pasien STEMI

    merupakan oklusi total sedangkan oklusi yang terjadi pada pasien NSTEMI

    merupakan oklusi parsial, sehingga menyebabkan keluasan infark miokard pada

    STEMI lebih luas dibandingkan dengan NSTEMI.

    Menurut Pedoman Interpretasi Data Klinik Kemenkes 2011, kenaikan SGOT

     pada infark miokard berkisar antara 3-10 kali dari rentang nilai normal SGOT. Hasil

    yang didapat pada penelitian ini adalah bahwa kadar SGOT pada pasien STEMI

    meningkat lebih besar (hampir mendekati sepuluh kali lipat dari nilai normal)

    dibandingkan dengan peningkatan kadar SGOT pada pasien NSTEMI (tercantum

    dalam lampiran). Hal ini sebanding dengan rata-rata kadar SGOT pada kelompok

    STEMI yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok NSTEMI. Namun dalam

     penelitian ini, peneliti tidak dapat menentukan berapa kali peningkatan kadar SGOT

    yang dialami oleh pasien SKA sebab peneliti tidak mengetahui baseline kadar SGOT

     pasien sebelum terjadinya SKA.

    Persentase kenaikan kadar SGOT pada 16 pasien STEMI lebih sedikit

    dibandingkan dengan pada 16 pasien NSTEMI. Hal ini kemungkinan berhubungan

    dengan jam pemeriksaan SGOT pada pasien setelah onset nyeri dada berlangsung.

    Menurut Sobel dan Shell (1972), kadar SGOT pada infark miokard akut meningkat

    sejak 8-12 jam setelah serangan nyeri dada, kemudian mencapai puncak tertinggi

    yaitu antara 2-10 kali dari nilai normal pada 18-36 jam setelah nyeri dada, dan akan

    menurun menuju nilai normal pada hari ke-3 sampai hari ke-4. Sedangkan menurut

    Halfman (2000), kadar SGOT pada infark miokard akan meningkat sekitar 12 jam

    setelah onset nyeri dada, dengan kadar puncak antara 1-2 hari, dan kembali normal

     pada hari ke 3-5. Gambar 4.3 mengilustrasikan waktu kenaikan enzim jantung pada

  • 8/18/2019 Perbedaan Kadar Sgot Pada Sindrom Klinis Ska Iya

    53/66

    37

    infark miokard (salah satunya SGOT), yang dihubungkan dengan waktu setelah

    terjadinya onset nyeri dada menurut Halfman (2000).

    Gambar 4.3 Penghitungan waktu peningkatan enzim jantung pada infark miokard

    Sumber: Halfman (2000)

    Berdasarkan Gambar 4.3, penyebab dari normalnya kadar SGOT pada sampel

     pasien NSTEMI dan STEMI kemungkinan terletak pada faktor waktu pemeriksaan.

    Kemungkinan pemeriksaan yang dilakukan pada pasien tersebut setelah terjadinya

    onset nyeri dada masih dalam rentang waktu awal kenaikan kadar SGOT, sehingga

    hasil yang didapatkan adalah kadar SGOT yang masih dalam rentangan nilai normal

    meskipun sebenarnya SGOT sudah meningkat dari kadar awal sebelum terjadinya

    SKA.

    Seperti yang telah dijabarkan pada tinjauan pustaka bahwa serum

    transaminase SGOT ini terdapat tidak hanya pada sel miokard melainkan juga pada

    sel hepar. Dalam penelitian ini, pasien yang memiliki riwayat penyakit hepatitis atau

     penyakit hati lainnya tidak dimasukkan ke dalam sampel penelitian. Peneliti melihat

  • 8/18/2019 Perbedaan Kadar Sgot Pada Sindrom Klinis Ska Iya

    54/66

    38

    dari riwayat penyakit dahulu pada rekam medis pasien, yang mencantumkan bahwa

    tidak adanya keterkaitan penyakit yang diderita pasien dengan penyakit hati. Selain

    itu, peneliti juga melihat kadar SGPT pada hasil laboratorium pasien (tercantum

    dalam lampiran B) dan memilih kadar SGPT pasien yang berada pada rentang nilai

    normal untuk menghindari kenaikan SGOT yang berasal dari sel hepar. Karena

    menurut penelitian Sobel dan Shell (1972), meskipun SGOT juga terdapat pada sel

    hepar selain di sel jantung, tetapi untuk diagnosis penyakit hepar lebih spesifik

    menggunakan SGPT. Kurniawan (2012) juga menjelaskan dalam penelitiannya

     bahwa peningkatan kadar SGPT pada pasien infark miokard tidak menunjukkana

     perbedaan yang bermakna. Hal ini dikarenakan aktivitas SGOT pada otot jantung

     jauh lebih tinggi (lebih cardiac specific) daripada SGPT.

    4.4 Keterbatasan Penelitian

    Terdapat beberapa hal yang menjadi kelemahan dalam penelitian ini yaitu

    tidak adanya data yang menyebutkan kadar SGOT pasien SKA sebelum terjadinya

     penyakit SKA tersebut sehingga peneliti tidak mengetahui seberapa besar kenaikan

    SGOT yang terjadi pada setiap pasien SKA. Selain itu, SGOT yang sudah

    ditinggalkan sebagai biomarker SKA dan digantikan oleh troponin menyebabkan

     beberapa sumber rujukan yang digunakan sudah lebih dari sepuluh tahun yang lalu.

    Kelemahan yang terakhir adalah jumlah sampel yang masih memungkinkan adanya

     bias sebab waktu penelitian yang singkat sehingga perlu dilakukan penelitian lebih

    lanjut dengan penambahan waktu penelitian dan jumlah sampel.

  • 8/18/2019 Perbedaan Kadar Sgot Pada Sindrom Klinis Ska Iya

    55/66

    39

    BAB 5. PENUTUP

    5.1 Kesimpulan

    Berdasarkan hasil analisis data komparasi dan pembahasan, dapat ditarik

    kesimpulan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara kadar SGOT dengan

    masing-masing sindrom klinis penyakit SKA di RSD. dr. Soebandi Jember.

    5.2 Saran

    Berdasarkan kesimpulan dari hasil penelitian ini, beberapa saran yang dapat

    diberikan antara lain:

    1.  Penelitian ini masih perlu dilanjutkan dengan jumlah sampel yang lebih banyak

    agar nilai-nilai kesalahan dalam penelitian bisa dikurangi, sehingga bisa

    memperoleh hasil yang lebih akurat. Selain itu, peneliti selanjutnya dapat

    menggunakan lebih dari satu macam rumah sakit agar dapat memberikan

    gambaran yang lebih luas dan yang terakhir, kadar SGOT sebelum terjadinya

     penyakit SKA perlu dicatat supaya peneliti dapat mengetahui berapa kenaikan

    SGOT yang terjadi pada pasien tersebut. 

    2.  Pihak rumah sakit disarankan agar pencatatan status pasien pada rekam medis

    dilakukan dengan lebih teratur dan lengkap untuk memudahkan peneliti yang akan

    melakukan penelitian berdasarkan rekam medis. 

  • 8/18/2019 Perbedaan Kadar Sgot Pada Sindrom Klinis Ska Iya

    56/66

    40

    DAFTAR PUSTAKA

    AHA. 2014. Guideline for the Management of Patients With Non – ST-Elevation

    Acute Coronary Syndromes. JACC. content.onlinejacc.org. [23 September

    2015].

    Amsterdam Ezra, et al. 2014. 2014 AHA/ACC Guideline for the Management of

    Patients With Non – ST-Elevation Acute Coronary Syndromes.  Jurnal

     American Heart Association, Inc., 9 (10.1161/CIR.0000000000000134): 9.

    Anwar Bahri. 2004.  Angina Pektoris Tak Stabil . Sumatera Utara : Repository

    Universitas Sumatera Utara

    Bhagwat, K. dan Padmini, H.. 2014. Co-Relation Between Lactate Dehydrogenase

    and Creatine Kinase-Mb in Acute Myocardial Infarction.  International

     Journal of Advanced Research in Pharmaceutical and Bio Sciences, 3: 6-12.

    Bode, Christop dan Zirlik, Andreas. 2007. STEMI and NSTEMI: the dangerous

     brothers. Freiburg: European Heart Jurnal , 5: 2-4

    Boudi FB. Risk factors for coronary artery disease. Medscape [serial online] 2014.

    URL: http://emedicine.medscape.com/article/164163-overview.  [27

    September 2015].

    Daga, Lal C. dkk. 2011. Approach to STEMI and NSTEMI. Journal of JAPI , 59: 2.

    Dahlan, M. Sopiyudin. 2013. Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta:

    Salemba Medika.

    Depkes RI. 2008.  Riset Kesehatan Dasar 2007 . Jakarta: Departemen

    Kesehatan Republik Indonesia.

    Erhardt, L. R., Sjogren, A., dan Sawe, U.. 1974. Late Rise in SGPT After Acute

    Myocardial Infarction. Journal of Internal Medicine, 196 (6): 245-251.

    Firdaus, Isman. 2011. Strategi Farmako-invasif pada STEMI Akut . Jurnal Kardiologi

    Indonesia, 32 (4): 7-8.

    Gough PJ; Gomez IG; Wille PT and Raines EW. 2006 Macrophage expression of

    http://emedicine.medscape.com/article/164163-overviewhttp://emedicine.medscape.com/article/164163-overview

  • 8/18/2019 Perbedaan Kadar Sgot Pada Sindrom Klinis Ska Iya

    57/66

    41

    active MMP-9 induces acute plaque disruption in apoE-deficient mice J. Clin.

    Invest, 13 (116): 59-69.

    Halfman, C. J. (2000). Serum Markers for the Diagnosis of Myocardial Infarction.

     Laboratory Medicine and Pathophysiology , 6.

    Harun, Sjaharuddin dan Alwi, Idrus. 2009.  Infark Miokard Akut Tanpa Elevasi ST .

    Jakarta: Interna Publishing.

    Hernawati. (Tanpa Tahun).  Produksi Asam Laktat pada Exercise  Aerobik dan

     Anaerobik . Bandung: Fakultas MIPA Jurusan Biologi UPI.

    Kumar C, dan Cannon. 2009. Acute Coronary Syndromes: Diagnosis and

    Management. Mayo Clin Proc, 84 (53).

    Kurniawan, L. B., Bahrun, U., & Darmawaty. 2012. Hubungan Kadar Transaminase

    terhadap Mortalitas dan Lama Perawatan Pasien Infark Miokard . Jurnal

    Kedokteran Yarsi, 20 (1): 30.

    Lameshow, Stanley. 1997.  Besar Sampel dalam Penelitian Kesehatan. Yogyakarta:

    Universitas Gajah Mada.

    Mackay G. dan Mensah J..2004.The Atlas of Heart Disease and Stroke. Switzerland:

    WHO, Marketing & Dissemination.

    Morrow. 2010. Cardiovascular Risk Prediction in Patients With Stable and Unstable

    Coronary Heart Disease. Circulation AHA Journal , 121 (75): 2682-2684.

    Myrtha, Risalina. 2012. Patofisiologi Sindrom Koroner Akut. Jurnal Kalbe Indonesia,

    39 (4): 6-8.

     Notoatmodjo, Soekidjo. 2010.  Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka

    Cipta.

    Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. 2015. Pedoman

    Tatalaksana Sindrom Koroner Akut. Jakarta: Centra Communications.

    Price MJ., Shah PK. 2002. Feature: Biology of the Vulnerable Plaque: Part I. Cath

    Lab Diges, 10 (4).

    Price, Sylvia A. dan Wilson, Lorraine M.. 2006.  Patofisiologi Konsep Klinis dan

     Proses-Proses Penyakit Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

  • 8/18/2019 Perbedaan Kadar Sgot Pada Sindrom Klinis Ska Iya

    58/66

    42

    Rahmani. (Tanpa Tahun). Sebab Sebab Jejas, Kematian, dan Adaptasi Sel. Jakarta:

    Universitas Jakarta.

    Rathish R., Gayatri Gunalan, Sumanthi. 2013. Current Biomarkers for Myocardial

    Infarction.International Journal of Pharma and Bio Sciences 2013 Jan, 4(1):

    (B) 434 - 442

    Riset Kesehatan Dasar. 2013. Situasi Kesehatan Jantung. Jakarta: Badan Litbangkes

    Kementerian Kesehatan RI dan Data Penduduk Sasaran.

    Sardini, S. (2007). Penentuan Aktivitas Enzim GOT dan GPT dalam Serum dengan

    Metode Reaksi Kinetik Enzimatik sesuai IFCC (International Federation of

    Clinical Chemistry and Laboratory Medicine). Pusal Teknologi Keselamalan

    dan Metrologi Rildiasi - Badan Tenaga Nuklir Nasional: 93-96.

    Satoto, Hari Hendriarto. 2014.  Patofisiologi Penyakit Jantung Koroner . Jurnal

    Anestesiologi Indonesia, 6 (3).

    Shah PK., Galis ZS. 2001. Matrix Metalloproteinase Hypothesis of Plaque Rupture.

    Circulation,104: 1878

    Sideris, Bonios, Eftihiadis, Melexopoulou, Mousiama, Diplaris, dan Ogias. 2005.

    Severe Thrombocytopenia After Heparin Therapy in a Patient with Unstable

    Angina and Recent Stent Implantation.  Hellenic Journal of Cardiology, 45:

    242-243.

    Sobel, Burton E. dan Shell, William E.. 1972. Serum Enzyme Determinations the

    Diagnosis and Assessment of Myocardial Infarction. Circulation AHA

     Journal , 45 (2): 471.

    Srikrishna R., Ramesh S., dan Girishbabu R.. 2015. Study of High Sensitive-CRP and

    Cardiac Marker Enzymes in Acute Coronary Syndrome.  Journal of Krishna

     Institute of Medical Sciences University, 4 (2): 107-110.

    Supriyono M. 2008. Faktor-Faktor Risiko yang Berpengaruh terhadap Kejadian

     Penyakit Jantung Koroner pada Kelompok Usia< 45 Tahun (Studi Kasus di

     RSUP Dr. Kariadi dan RS Telogorejo Semarang). Semarang: Undip.

    The American Association for Clinical Chemistry. 2007. Laboratory Medicine

  • 8/18/2019 Perbedaan Kadar Sgot Pada Sindrom Klinis Ska Iya

    59/66

  • 8/18/2019 Perbedaan Kadar Sgot Pada Sindrom Klinis Ska Iya

    60/66

    44

    Lampiran A. Ethical Clearance  

  • 8/18/2019 Perbedaan Kadar Sgot Pada Sindrom Klinis Ska Iya

    61/66

    45

    Lampiran B. Analisis Data Sekunder

  • 8/18/2019 Perbedaan Kadar Sgot Pada Sindrom Klinis Ska Iya

    62/66

    46

    Lampiran C. Hasil Penelitian

    1.  Frekuensi Kadar SGOT pada Masing-Masing Spektrum Klinis SKA

    Statistics 

    UA NSTEMI STEMI

     N Valid 16 16 16

    Missing 32 32 32

    Mean 27.50 65.88 162.38

    Median 25.50 52.00 162.50

    Mode 28 55 21a

     

    Std. Deviation 9.675 39.007 95.759

    Variance 93.600 1521.583 9169.850

    Skewness 1.943 1.481 .309

    Std. Error of Skewness .564 .564 .564

    Kurtosis 4.227 2.038 -.661

    Std. Error of Kurtosis 1.091 1.091 1.091

    Minimum 15 20 21

    Maximum 55 167 333

    a.  Multiple modes exist. The smallest value is shown

    2.  Uji Normalitas Data

    Tests of Normality 

    Klasifikasi SKA Kolmogorov-Smirnova  Shapiro-Wilk

    Statistic df Sig. Statistic df Sig.

    KadarSGOT

    dimension1

    UA .313 16 .000 .772 16 .001

     NSTEMI .235 16 .019 .854 16 .016

    STEMI .102 16 .200*  .960 16 .659

    a. Lilliefors Significance Correction

    *. This is a lower bound of the true significance.

  • 8/18/2019 Perbedaan Kadar Sgot Pada Sindrom Klinis Ska Iya

    63/66

    47

    Tests of Normality 

    Klasifikasi SKA Kolmogorov-Smirnova  Shapiro-Wilk

    Statistic df Sig. Statistic df Sig.

    TRANS_SGOT

    dimension1

    UA .246 16 .011 .890 16 .055

     NSTEMI .152 16 .200*  .974 16 .902

    STEMI .173 16 .200*  .879 16 .037

    a. Lilliefors Significance Correction

    *. This is a lower bound of the true significance.

    3.  Uji Homogenisitas Data

    Test of Homogeneity of Variances 

    KadarSGOT

    Levene Statistic df1 df2 Sig.

    16.650 2 45 .000

  • 8/18/2019 Perbedaan Kadar Sgot Pada Sindrom Klinis Ska Iya

    64/66

    48

    Lampiran D. Analisis Hasil Penelitian

    1.  Uji Non Parametrik Kruskal-Wallis

    Ranks 

    Klasifikasi SKA N Mean Rank

    KadarSGOT

    dimension1

    UA 16 11.81

     NSTEMI 16 25.66

    STEMI 16 36.03

    Total 48

    Test Statisticsa,b 

    KadarSGOT

    Chi-square 24.124

    df 2

    Asymp. Sig. .000

    a. Kruskal Wallis Test

     b. Grouping Variable: Klasifikasi

    SKA

    2.  Uji Post-Hoc Mann-Whitney

    a.  UA dan NSTEMI 

    Ranks 

    Klasifikasi SKA N Mean Rank Sum of Ranks

    KadarSGOT

    dimension1

    UA 16 10.22 163.50

    NSTEMI 16 22.78 364.50

    Total 32

  • 8/18/2019 Perbedaan Kadar Sgot Pada Sindrom Klinis Ska Iya

    65/66

    49

    Test Statisticsb 

    KadarSGOT

    Mann-Whitney U 27.500

    Wilcoxon W 163.500

    Z -3.792

     Asymp. Sig. (2-tailed) .000

    Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .000a 

    a. Not corrected for ties.

    b. Grouping Variable: Klasifikasi SKA

     b.  UA dan STEMI

    Ranks 

    Klasifikasi SKA N Mean Rank Sum of Ranks

    KadarSGOT

    dimension1

    UA 16 10.09 161.50

    STEMI 16 22.91 366.50

    Total 32

    Test Statisticsb 

    KadarSGOT

    Mann-Whitney U 25.500

    Wilcoxon W 161.500

    Z -3.866

     Asymp. Sig. (2-tailed) .000

    Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .000a 

    a. Not corrected for ties.

    b. Grouping Variable: Klasifikasi SKA

    c.   NSTEMI dan STEMI

    Ranks 

    Klasifikasi SKA N Mean Rank Sum of Ranks

    KadarSGOT

    dimension1

    NSTEMI 16 11.38 182.00

    STEMI 16 21.63 346.00

    Total 32

  • 8/18/2019 Perbedaan Kadar Sgot Pada Sindrom Klinis Ska Iya

    66/66

    50

    Test Statisticsb 

    KadarSGOT

    Mann-Whitney U 46.000

    Wilcoxon W 182.000

    Z -3.091

     Asymp. Sig. (2-tailed) .002

    Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .001a 

    a. Not corrected for ties.

    b. Grouping Variable: Klasifikasi SKA