UNIVERSITAS INDONESIA
PERBANDINGAN ANTARA WARALABA, LISENSI DAN DISTRIBUTOR BARANG DAN JASA SEBAGAI UPAYA
PENGEMBANGAN USAHA
SKRIPSI
STEPHANIE
0606080990
FAKULTAS HUKUM PROGRAM KEKHUSUSAN I
HUKUM TENTANG HUBUNGAN SESAMA ANGGOTA MASYARAKAT DEPOK
JANUARI 2010
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
UNIVERSITAS INDONESIA
PERBANDINGAN ANTARA WARALABA, LISENSI DAN DISTRIBUTOR BARANG DAN JASA SEBAGAI UPAYA
PENGEMBANGAN USAHA
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum
STEPHANIE
0606080990
FAKULTAS HUKUM PROGRAM KEKHUSUSAN I
HUKUM TENTANG HUBUNGAN SESAMA ANGGOTA MASYARAKAT DEPOK
JANUARI 2010
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
ii
Universitas Indonesia
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri,
dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar.
Nama : Stephanie NPM : 0606080990 Tanda Tangan : Tanggal : 4 Januari 2010
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
iii
Universitas Indonesia
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi ini diajukan oleh Nama : Stephanie NPM : 0606080990 Program Studi : Ilmu Hukum Judul Skripsi : Perbandingan Antara Waralaba, Lisensi dan
Distributorship Sebagai Upaya Pengembangan Usaha (Kasus: Pengembangan Usaha Rica Rico)
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Program Studi Hukum Tentang Hubungan Sesama Anggota Masyarakat, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia.
DEWAN PENGUJI Pembimbing : Prof. Dr. Rosa Agustina S.H., M.H. ( )
Pembimbing : Suharnoko S.H., M.H. ( )
Penguji : Dr. Nurul Elmiyah S.H., M.H. ( )
Penguji : Myra Rosana B. Setiawan S.H., M.H.( )
Penguji : Abdul Salam S.H., M.H. ( )
Ditetapkan di : Depok
Tanggal : 4 Januari 2010
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
iv
Universitas Indonesia
KATA PENGANTAR/UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas selesainya
penulisan skripsi yang berjudul “Perbandingan Antara Waralaba, Lisensi dan
Distributorship Sebagai Upaya Pengembangan Usaha (Kasus: Pengembangan
Usaha Rica Rico).”
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna dan masih
terdapat kekurangan baik dari segi materi maupun teknis. Dengan segala
keterbatasan baik waktu, pengetahuan dan pengalaman penulis terutama dalam
bidang hukum, penulis telah berupaya dengan sebaik-baiknya untuk
menyelesaikan penulisan skripsi ini. Segala kritik dan saran terhadap skripsi ini
sangat diharapkan penulis untuk dapat lebih menyempurnakan skripsi ini. Secara
lebih lanjut dan mendalam, penulis hendak mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada:
1. Prof.Dr. Rosa Agustina, S.H., M.H., selaku Pembimbing I yang telah
meluangkan waktu ditengah-tengah kesibukannya untuk membimbing
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini;
2. Bapak Suharnoko, S.H., MLI, selaku Pembimbing II yang selalu hadir
untuk memeriksa dan memberikan koreksi-koreksi terhadap skripsi ini
baik dalam hal-hal teknis maupun materi, serta kesabarannya dalam
memberikan bimbingan kepada penulis;
3. Ketua Bidang Studi Keperdataan Ibu Surini Ahlan Syarief, S.H., M.H.,
dan Sekretaris Bidang Studi Keperdataan Myra Rosana B. Setiawan S.H.,
M.H;
4. Bapak Dekan Fakultas Hukum Indonesia, Prof. Safri Nugraha S.H.,
LL.M., Ph.D;
5. Bapak Dian Puji Simatupang, S.H., M.H., selaku pembimbing akademik
yang meluangkan waktu untuk berkumpul bersama-sama anak-anak
bimbingannya setiap semester untuk memberikan nasihat mengenai
rencana studi penulis selama masa perkuliahan;
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
v
Universitas Indonesia
6. Tidak lupa kepada kedua orang tua penulis, Lylianto, papa yang telah
berhasil membesarkan, memberi arahan dan nasihat, dan mencukupi
segala keperluan penulis, dan Djuliani Indra, mama yang selalu
mendukung, mendoakan, menyemangatkan dan menguatkan penulis di
saat yang paling rendah sekalipun, serta kepada saudara penulis, Pieter
Anthony dan Ketherin yang selalu mendukung dan mendorong penulis
dalam melaksanakan studi dan menyelesaikan penulisan skripsi ini serta
membawa kebahagiaan dalam rumah;
7. Kakek dan Nenek penulis baik yang berada di Jakarta maupun yang di
Batam, beserta seluruh keluarga besar yang telah memberikan dukungan
dan doa kepada penulis;
8. Adri Yudistira Dharma, yang selalu memberikan semangat, dorongan,
masukan dan meluangkan waktu untuk memberikan bantuan kepada
penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini;
9. Pemilik Rica Rico Bika Ambon, John dan Diana, yang sudah bersedia
memberikan informasi dan memperbolehkan penulis untuk menggunakan
pengembangan usaha Rica Rico sebagai bahan skripsi;
10. Sahabat-sahabat penulis di kampus FHUI: Ivina L. Suwana (Phina) yang
sudah menjadi roomate yang menyenangkan selama dua setengah tahun,
Rebecca Ayuyantrie (Bebeq) yang selalu menghibur baik dalam kampus,
mobil dan luar kampus, Tantri Aprilila (Pandut) yang selalu mempunyai
gossip dan informasi terkini untuk dibagikan, Rinta Angelia (Rinta) yang
berpenampilan macho tapi usil pada aslinya, Siksta Alia, Dita, Sita, July,
Zul dan Dian yang telah membuat suasana kampus menjadi lebih indah
dengan segala curhatan, gossip, canda tawa dan ilmu yang telah dibagi
bersama;
11. Teman-teman penulis diluar kampus: Tania Angela Susilo, Andreas
Steffan, Sylvy (Inul), dan lain-lain yang tidak bisa disebutkan satu-persatu;
12. Vino, Caroline dan Tanto yang saling berbagi informasi mengenai
keberadaan para pembimbing;
13. Teman-teman angkatan 2006 yang tidak bisa disebutkan satu persatu;
14. Bapak Sarjono di PK I yang selalu membantu penulis dengan senyum;
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
vi
Universitas Indonesia
15. Bapak di Biro Pendidikan yang telah membantu penulis menyelesaikan
kegiatan administrasi kampus;
16. Suster Seni yang selama ini dengan setia memasak, mempersiapkan segala
keperluan sehari-hari dan mendengarkan ocehan penulis selama penulis
ada di rumah;
17. Abang Acun, Bonny dan Abang Khairul yang turut mengantar jemput
penulis dari Jakarta sampai ke Depok dengan setia;
18. Staf Pengajar serta Karyawan Fakultas Hukum Universitas Indonesia;
19. Laptop tercinta yang telah menemani penulis sepanjang penulisan skripsi
ini;
20. Paulo Coelho untuk semua inspirasinya yang selalu menguatkan dan
memberikan inspirasi kepada penulis;
21. Semua pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini.
Akhir kata, penulis berharap agar skripsi ini dapat menjadi referensi yang berguna
bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya ilmu hukum keperdataan dalam
perikatan dan hak kekayaan intelektual pada umumnya. Terima Kasih.
Depok, Januari 2010
Penulis
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
vii
Universitas Indonesia
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Stephanie NPM : 0606080990 Program Studi : Ilmu Hukum Fakultas : Hukum Jenis Karya : Skripsi demi mengembangkan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul : PERBANDINGAN ANTARA WARALABA, LISENSI DAN DISTRIBUTORSHIP SEBAGAI UPAYA PENGEMBANGAN USAHA (KASUS: PENGEMBANGAN USAHA RICA RICO) Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Depok Pada Tanggal : 4 Januari 2010 Yang Menyatakan (………………………..)
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
viii
Universitas Indonesia
ABSTRAK
Nama : Stephanie Program Studi : Ilmu Hukum Judul : Perbandingan Antara Waralaba, Lisensi dan Distributorship
Sebagai Upaya Pengembangan Usaha (Kasus: Pengembangan Usaha Rica Rico)
Usaha kecil dan menengah telah terbukti mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. Oleh karena itu, pemerintah perlu mendorong pengembangan dan ekspansi usaha demi meningkatkan kemandirian ekonomi dan kreativitas bangsa. Pengembangan usaha dapat direalisasikan dengan berbagai metode dengan menjalankan sistem usaha yang berbeda. Waralaba, pemberian lisensi dan distributorship adalah tiga sistem usaha yang dibahas dalam penulisan skripsi ini. Waralaba, pemberian lisensi dan distributorship mempunyai persamaan dan perbedaan. Guna menentukan lembaga yang paling sesuai untuk pengembangan usaha, para pengusaha perlu memahami akibat hukum dari masing-masing sistem usaha agar mereka mendapatkan perlindungan hukum yang sesuai. Skripsi ini akan membahas persamaan dan perbedaan masing-masing lembaga dan menerapkan pemahaman tersebut pada pengembangan usaha Rica Rico Bika Ambon. Akhir kata, diharapkan masyarakat luas dapat terus mengembangakan usahanya demi perekonomian yang lebih mandiri dan kreatif.
Kata Kunci:
Waralaba, Lisensi, Distributorship, dan Perbandingan
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
ix
Universitas Indonesia
ABSTRACT
Name : Stephanie Study Program: Law Science Title : Comparison Between Franchising, Licency and Distributorship
for Business Expansion (Case: Rica Rico Bika Ambon) Micro, small and mid-level business is proven to be able to increase national economic growth. Pursuant to the above, the government needs to encourage business expansion to strengthen economic independency and public’s creativity. Business expansion can be realized by several methods and business systems. Franchising, licency and distributorship are the three business system which will be discussed in this thesis. The three system mentioned above have similarities and differences. Thus in order to determine the right business system and institution for a business expansion, entrepreneurs need to fully understand their respective legal consequences so that they can obtain the necessary legal protection in accordance to the nature of their business. This thesis will compare the three business systems and each of their legal consequences and apply the same to business expansion of Rica Rico Bika Ambon. Lastly, the public is encouraged to further expand and increase the growth of their business so as to achieve a more stable economy. Keywords: Franchising, Licency, Distributorship, Comparison
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
x
Universitas Indonesia
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL…………………………………………………… i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS……………………… ii
LEMBAR PENGESAHAN……………………………………………. iii
KATA PENGANTAR………………………………………………….. iv
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH………... vii
ABSTRAK……………………………………………………………… viii
ABSTRACT…………………………………………………………….. ix
DAFTAR ISI…………………………………………………………… x
1. PENDAHULUAN............................................................................ 1
1.1 Latar Belakang …………………………………………………. 1
1.2 Pokok Permasalahan…………………………………………….. 5
1.3 Tujuan Penelitian………………………………………………… 5
1.4 Metode Penelitian……………………………………………….. 5
1.5 Kegunaan Penelitian……………………………………………... 6
1.6 Kerangka Konsep………………………………………………… 7
1.7 Sistematika Penulisan…………………………………………….. 9
2. PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM
PERDATA DAN PERKEMBANGANNYA.................................... 11
2.1 Pengertian perjanjian dan hubungannya dengan perikatan………. 12
2.2 Syarat Sah Perjanjian……………………………………………... 13
2.2.1 Sepakat Mereka Yang Mengikatkan Dirinya…………….. 14
2.2.2 Kecakapan Untuk Membuat Suatu Perikatan……………. 15
2.2.3 Suatu Hal Tertentu……………………………………….. 18
2.2.4 Suatu Sebab Yang Halal…………………………………. 18
2.3 Asas-Asas Dalam Perjanjian……………………………………… 19
2.3.1 Asas Konsensualisme…………………………………….. 19
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
xi
Universitas Indonesia
2.3.2 Asas Kebebasan Berkontrak……………………………... 21
2.3.3 Asas Itikad Baik…………………………………………. 22
2.3.4 Asas Kepribadian………………………………………… 24
2.4 Hapusnya Perjanjian………………………………….………… 26
2.4.1 Pembayaran………………………………………………. 27
2.4.2 Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpangan
atau penitipan…………………………………………….. 29
2.4.3 Pembaruan Utang atau novasi…………………………….. 29
2.4.4 Perjumpaan Utang atau Kompensasi…………………….. 30
2.4.5 Percampuran Utang……………………………………….. 30
2.4.6 Pembebasan Utang……………………………………….. 31
2.4.7 Musnahnya Barang yang Terutang…………………….. 31
2.4.8 Batal / Pembatalan………………………………………… 32
2.4.9 Berlakunya Suatu Syarat Batal…………………………… 32
2.4.10 Lewatnya Waktu………………………………………….. 33
3. LANDASAN TEORI MENGENAI WARALABA, LISENSI DAN
DISTRIBUTORSHIP
3.1 Landasan Teori Waralaba……………………………………….. 34
3.1.1 Pengertian Umum Waralaba…………………………….. 34
3.1.2 Elemen-elemen Pokok Waralaba…………....………….. 36
3.1.3 Tipe-Tipe Waralaba…………………………...………... 38
3.1.4 Franchise Disclosure Act……………………..………... 40
3.1.5 Transparansi dalam Waralaba…………………..………. 41
3.1.6 Pengaturan Waralaba di Indonesia………………..……. 43
3.1.7 Asas-asas Perjanjian Waralaba……………………..…… 45
3.1.8 Hak dan Kewajiban Franchisor dan Franchisee……..… 46
3.1.9 Hal-hal Yang Diatur dalam Perjanjian Waralaba…..…… 50
3.1.10 Proses Menjual Sistem Waralaba……………………..… 53
3.1.11 Pengakhiran Perjanjian………………………………..… 55
3.2 Landasan Teori Lisensi………………………………………..… 56
3.2.1 Pengertian Umum Lisensi……………………………..… 56
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
xii
Universitas Indonesia
3.2.2 Lisensi Sebagai Suatu Bentuk Perjanjian……………….. 58
3.2.3 Jenis-Jenis Lisensi……………………………………….. 59
3.2.4 Pengaturan Lisensi dalam Undang-Undang No. 15 Tahun
2001 tentang Merek……………………………………... 60
3.2.5 Hak dan Kewajiban Pemberi dan Penerima Lisensi…..… 63
3.2.6 Hal-hal yang diatur dalam Perjanjian Lisensi…………… 66
3.2.7 Proses Pemberian Lisensi……………………………….. 70
3.3 Landasan Teori Disributorship…………………………………… 72
3.3.1 Pengertian Umum Distributor dan Perbedaannya
dengan Keagenan……………………………………….. 72
3.3.2 Pihak-Pihak dalam Perjanjian Distributorship………….. 74
3.3.3 Hak dan Kewajiban Prinsipal dan Distributor………….. 76
3.3.4 Hal-Hal Umum yang Diatur Dalam Perjanjian
Penunjukan Distributor………………………………….. 78
3.3.5 Proses Penunjukan Distributor…………………………... 82
4. PERBANDINGAN ANTARA WARALABA, LISENSI DAN
DISTRIBUTORSHIP (ANALISA KASUS PENGEMBANGAN USAHA
RICA RICO)
4.1 Perbandingan antara Waralaba, Lisensi dan Distributorship …. 85
4.1.1 Persamaan………………………………………………. 85
4.1.2 Perbedaan………………………………………………. 87
4.1.2.1 Berdasarkan Sifat dan Karakteristik……………. 88
4.1.2.2 Berdasarkan Ketentuan Prosedural……………... 92
4.2 Latar Belakang Usaha Rica Rico……………………………….. 97
4.3 Penentuan Lembaga bagi Pengembangan Usaha Rica Rico……… 100
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan……………………………………………………….. 107
5.2 Saran……………………………………………………………… 108
DAFTAR REFERENSI
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
1
Universitas Indonesia
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) mempunyai peran yang
strategis dalam pembangunan ekonomi nasional. Hal ini karena UMKM sanggup
meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, menyerap tenaga kerja dan
mengakibatkan pemerataan distribusi hasil-hasil pembangunan.1 Dalam krisis
ekonomi yang terjadi di negara kita sejak beberapa waktu yang lalu, dimana
banyak usaha berskala besar mengalami stagnasi bahkan menghentikan kegiatan
usahanya, sektor UMKM terbukti lebih tangguh dalam menghadapi krisis tersebut
karena UMKM lebih stabil dan fleksibel apabila dibandingkan dengan perusahaan
besar.
Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh The Hong Kong and
Shanghai Banking Corporation (HSBC), 80 persen UMKM akan
mempertahankan pegawai dan hanya 7 persen yang berencana untuk mengurangi
jumlah pegawai pada tahun 2009.2 Selain itu, UMKM Indonesia cenderung
mempertahankan rencana belanja modal mereka dengan 50 persen UMKM tetap
mempertahankan tingkat belanja modal dan 24 persen UMKM berencana untuk
meningkatkan belanja mereka pada 2009 meski perekonomian 2009 cenderung
menurun.3 Dengan demikian, pengembangan UMKM perlu mendapatkan
perhatian yang besar baik dari pemerintah maupun masyarakat agar pengusaha
UMKM mempunyai ruang dan kesempatan untuk mengembangkan usahanya
guna mencapai tingkat persaingan yang lebih tinggi dalam perekonomian
Indonesia.
1 Muhammad Jafar Hafsah, “Upaya Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah,” <http://www.smecda.com/deputi7/file_Infokop/EDISI%2025/pengemb_UKM.pdf>, diakses 24 Agustus 2009. 2 “2009, UKM Dorong Perekonomian Indonesia,” <http://www.kompas.com/read/xml/ 2009/01/20/13185437/2009.ukm.dorong.perekonomian.indonesia>, 20 Januari 2009. 3 Ibid.
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
2
Universitas Indonesia
Pada umumnya permasalahan yang dihadapi oleh UMKM dalam
menjalankan kegiatannya, antara lain meliputi faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor internal meliputi kesulitan memperoleh suntikan dana dari lembaga
keuangan, sumber daya manusia yang terbatas dari segi pendidikan formal dan
manajemen perusahaan, dan lemahnya jaringan usaha dan kemampuan penetrasi
pasar.4 Sedangkan faktor eksternal mencakup iklim usaha yang tidak kondusif,
terbatasnya sarana dan prasarana usaha karena kurangnya informasi teknologi,
dan dan implikasi otonomi daerah.5
Mengingat pentingnya peran UMKM dalam perekonomian Indonesia,
pemerintah tidak hanya menetapkan kebijakan, namun juga mengambil langkah
konkrit melalui program studi kelayakan berbeasis teknologi dengan harapan
dapat mengatasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi pengusaha UMKM.
Kebijakan pemerintah termasuk Undang-Undang No. 9 Tahun 1995 Tentang
Usaha Kecil, yang diubah dengan Undang-Undang No. 20 tahun 2008 Tentang
Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, peraturan pemerintah sebagai pelaksana
undang-undang, keputusan presiden, dan lain lain. Melalui kebijakan-kebijakan
tersebut, diharapkan UMKM dapat diselenggarakan secara menyeluruh, optimal,
dan berkesinambungan melalui pengembangan iklim yang kondusif, pemberian
kesempatan berusaha, dukungan, perlindungan, dan pengembangan usaha seluas-
luasnya.6 Bentuk lain dari intervensi pemerintah dalam upaya untuk mendorong
pengembangan UMKM adalah penyusunan pedoman pengambilan keputusan
pengembangan UMKM berbasis teknologi dan sistem informasi dengan nama
Decision Support System/DSS. Pedoman ini memuat studi kelayakan bagi UMKM
yang berniat mengembangkan usahanya dan dapat diakses publik melalui situs
www.smecda.com sejak Februari 2009.7 Walaupun demikian, untuk menciptakan
iklim yang kondusif bagi pengembangan UMKM, tidak cukup hanya dengan
4 Hafsah, loc. cit. 5 Ibid. 6 Indonesia (a), Undang-Undang Tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, UU No. 20 Tahun 2008, LN No. 93 Tahun 2008, TLN No. 4866, Konsiderans (c). 7 Hatta Haris Rahman, “I Wayan Dipta: Decision Support System Sebagai Studi Kelayakan Finansial Bagi UMKM” <http://www.madina-sk.com/index.php?option=com_ content&task=view&id=5597&Itemid=8>, diakses 31 Agustus 2009.
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
3
Universitas Indonesia
penetapan kebijakan pemerintah dan keberadaan DSS. Kedua faktor tersebut
harus disosialisasikan dan diimplementasikan dengan baik, efektif dan harus
didukung dengan kerjasama dari berbagai pihak seperti lembaga keuangan,
pelatihan informasi teknologi dan kepastian hukum.
Dengan adanya dukungan dari berbagai pihak, faktor yang tidak kalah
penting adalah inisiatif dan semangat wirausaha untuk terus mengembangkan
usahanya. Berbagai acara diselenggarakan demi menyebarkan semangat
kewirausahaan terutama dalam kalangan anak muda. Salah satu acara tersebut
adalah Entrepreneurs Expo bertema Creating Synergy of Creativity, Opportunity,
Energy & Ethics yang diadakan pada tanggal 7-9 Agustus 2009 lalu. Semua ini
menunjukkan pentingnya semangat kewirausahaan dalam masyarakat karena
kewirausahaan tidak hanya berperan sebagai landasan bagi perekonomian yang
kuat, tetapi juga melahirkan kemandirian dan kreativitas bagi masyarakat.
Upaya pengembangan usaha dapat direalisasikan melalui berbagai cara
dan sistem berdasarkan jenis usaha dan struktur perusahaan yang dijalankan oleh
pengusaha. Menurut Warren J. Keegen dalam bukunya Global Marketing
Management (Keegen, 1989: 294), pemberian lisensi dan franchising merupakan
dua diantara berbagai cara untuk mewujudkan rencana pengembangan usaha baik
dalam lingkup nasional maupun internasional.8 Selain itu, pengembangan usaha
juga dapat dilakukan melalui pembentukan perusahaan patungan (joint ventures),
pemilikan menyeluruh (total ownership) yang dapat dilakukan melalui direct
ownership (kepemilikan langsung) ataupun pengambilalihan, dan melalui
distributorship. Pengusaha UMKM perlu mengetahui bahwa lembaga-lembaga
tersebut tidak adalah berlaku bagi perusahaan besar seperti Starbucks, Carrefour,
Shell, Adidas, dll, namun juga berlaku bagi UMKM. Aladine Kebab, Ayam
Goreng Fatmawati dan Bakmi Langgara/ Bakmi Tebet hanya tiga dari banyaknya
UMKM yang bergerak di bidang usaha makanan yang berhasil mengembangkan
usahanya melalui lembaga-lembaga tersebut. Selain bidang usaha makanan,
terdapat juga UMKM yang bergerak dalam bidang usaha lain seperti Laundrette
yang bergerak dalam bidang usaha binatu, Veneta di bidang usaha isi ulang tinta
8 Gunawan Widjaja, Lisensi atau Waralaba, Suatu Panduan Praktis, (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada, 2004), hal. 24.
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
4
Universitas Indonesia
printer dan UMKM di bidang lainnya yang juga telah terbukti berhasil
mengembangkan usahanya melalui lembaga waralaba.
Inisiatif pengembangan usaha melalui lembaga-lembaga seperti waralaba,
lisensi dan distributorship tidak hanya penting untuk meningkatkan skala
usahanya dan memperluas penetrasi pasar, tetapi juga untuk melindungi hak
kekayaan intelektual pengusaha. Dengan terbukanya pilihan untuk
mengembangkan usaha, adalah penting bagi pengusaha untuk mengetahui
perbedaan konsep dasar dari cara-cara pengembangan usaha yang tersedia
sehingga pengusaha dapat mengambil keputusan yang tepat sesuai dengan
kapasitas dan kapabilitas usaha mereka.
Dalam praktek, yang sering terjadi ialah pengusaha seringkali mengalami
kesulitan dan kebingungan apabila mereka ingin mengembangkan usaha mereka.
Hal ini terjadi karena kurangnya informasi dan pengetahuan mengenai pilihan-
pilihan yang tersedia bagi mereka dan akibat hukum dari masing-masing lembaga-
lembaga tersebut. Selain itu, upaya pengembangan usaha yang berbeda-beda
sering kali terlihat sama apabila diperhatikan sekilas dari perspektif pengusaha.
Dengan demikian, perlu adanya sosialisasi kebijakan pemerintah secara efisien
sehingga undang-undang dapat diimplimentasikan oleh masyarakat yang
berkepentingan. Selain itu, ikatan dan perhimpunan seperti Perhimpunan
Waralaba dan Lisensi Indonesia (WALI) dan Asosiasi Franchise Indonesia juga
dapat turut berperan aktif dalam membantu dan mengiringi para pengusaha yang
berniat mengembangkan usahanya.
Dalam tulisan ini, penulis akan mencoba untuk mendalami lembaga
waralaba (franchising), lisensi (licensing) dan distributorship sebagai upaya
pengembangan dan penguatan usaha. Skripsi ini akan membandingkan ketiga
lembaga tersebut dan mempelajari akibat hukum dari masing-masing lembaga.
Selain itu, penulis juga akan menggunakan kasus pengembangan usaha produksi
kue bika ambon dan berbagai makanan ringan dengan merek Rica Rico.
Diharapkan dengan pemahaman yang memadai, pengusaha dapat memilih
lembaga yang paling tepat untuk merealisasikan pengembangan usahanya sesuai
dengan struktur usaha yang paling menguntungkan dari segi hukum.
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
5
Universitas Indonesia
1.2 POKOK PERMASALAHAN
Dari uraian latar belakang tersebut, penulis mencoba untuk merumuskan
masalah dengan menyusun pokok permasalahan sebagai berikut.
1. Bagaimanakah akibat hukum pemberian waralaba, lisensi dan distributorship
dalam pengembangan usaha?
2. Lembaga manakah yang paling tepat dalam pengembangan usaha Rica Rico?
3. Ketentuan khusus apakah yang harus diatur dalam perjanjian pengembangan
usaha Rica Rico?
1.3 TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dari penulisan ini adalah sebagai berikut:
a. Tujuan Utama
Memahami franchising, licensing dan distributorship secara menyeluruh
sebagai upaya pengembangan usaha bagi usaha kecil dan menengah.
b. Tujuan Khusus
Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk:
(i) Mengetahui perbedaan antara franchising, licensing dan distributorship
sebagai upaya pengembangan usaha sehingga dapat memahami akibat
hukum dari masing-masing lembaga.
(ii) Menentukan upaya pengembangan usaha yang paling tepat bagi Rica Rico
sesuai dengan jenis, sifat dan skala usahanya.
(iii)Dengan mengetahui lembaga pengembangan usaha yang paling tepat,
penulis berharap dapat membantu pengusaha Rica Rico merancang
perjanjian yang dibutuhkan demi pengembangan usaha.
1.4 METODE PENELITIAN
a. Jenis Penelitian
Penulisan ini merupakan penelitian yuridis normatif karena mencakup
penelitian perbandingan antara lembaga franchising, licensing dan
distributorship berdasarkan hukum positif. Apabila ditinjau dari sifatnya,
penulisan ini bersifat preskriptif analisis karena selain berupaya untuk
memberikan data yang seteliti mungkin mengenai lembaga-lembaga tersebut,
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
6
Universitas Indonesia
penelitian ini mengusulkan problem solution bagi pengembangan usaha Rica
Rico.
b. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan berdasarkan studi kepustakaan (library
research) dan keterangan media massa demi mendapatkan perkembangan
terbaru. Selain itu, penulis memperoleh data dari pengusaha (pemilik Rica
Rico) mengenai keterangan seputar jenis dan sifat usaha Rico Rico agar dapat
menentukan lembaga yang paling tepat untuk pengembangan usahanya.
Dengan demikian, jenis data yang digunakan merupakan data sekunder,
meliputi bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan franchising, licensing dan distributorship dan bahan hukum
sekunder berupa buku-buku serta media massa (koran, majalah dan internet).
Selain itu, penulis juga menggunakan data primer dari hasil wawancara dan
diskusi dengan pengusaha pemilik Rica Rico.
c. Metode Pengolahan dan Analisa Data
Dalam mengolah dan menganalisa data, penulis menggunakan
pendekatan kwalitatif. Pendekatan kwalitatif merupakan tata cara penelitian
yang menghasilkan data deskriptif analitis, yang bertujuan untuk mengerti
atau memahami gejala yang ditelitinya.9 Dengan demikian, penulis dapat
memahami franchising, licensing dan distributorship secara mendalam dan
menerapkan hasil analisis dalam penentuan lembaga untuk pengembangan
usaha Rica Rico.
1.5 KEGUNAAN PENELITIAN
a. Kegunaan teoritis
Kegunaan teoritis merupakan kegunaan dari suatu penulisan hukum bagi
perkembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum.10 Penelitian ini memiliki
kegunaan teoritis, dikarenakan hal-hal sebagai berikut:
9 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukun, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2007), hal. 32. 10 Sri Mamudji et. al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hal. 22.
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
7
Universitas Indonesia
(i) Memahami perkembangan bentuk perjanjian yang ada dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) sehingga dapat
diaplikasikan pada masalah yang timbul dewasa ini.
(ii) Memahami akibat hukum yang mencakup kekurangan dan kelebihan dari
masing-masing lembaga franchising, licensing dan distributorship bagi
pengembangan UMKM.
b. Kegunaan praktis
Selain kegunaan secara teoritis, penelitian hukum ini juga memiliki
kegunaan praktis dimana suatu penelitian hukum diharapakan mampu
memberikan kegunaan bagi praktek yang meliputi kegunaan bagi masyarakat
secara umum. Kegunaan praktis penelitian ini Pengusaha Rica Rico
memperoleh informasi secara komprehensif mengenai ketiga lembaga tersebut
sehingga dapat menentukan lembaga yang paling sesuai untuk pengembangan
usahanya ditinjau dari sudut hukum.
1.6 KERANGKA KONSEP
Agar tidak menimbulkan kerancuan istilah dalan penulisan ini, maka penulis
membatasi definisi-definisi yang ada dalam tulisan ini ke dalam pengertian
sebagai berikut:
a. Disclosure/ Franshise Offering Circular adalah:
“suatu kewajiban untuk menyajikan fakta berupa kondisi penjualan, personalia maupun keuangan dari Pemberi Waralaba kepada calon Penerima Waralaba. Fakta-fakta yang disajikan ini merupakan dokumen yang sifatnya rahasia dan tidak boleh digunakan oleh calon Penerima Waralaba untuk kepetingan pribadi-selain semata-mata untuk mengetahui kondisi usaha Pemberi Waralaba sebelum ia memutuskan membeli hak waralaba. Dalam praktik selanjutnya, disclosure agreement kadang-kadang dilakukan jika Pemberi Waralaba memberikan satu informasi baru berkaitan dengan usaha tersebut kepada para Penerima Waralaba-nya.11
11 Ibid., hal. 208.
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
8
Universitas Indonesia
b. Distributor adalah:
“hak yang diberikan oleh pabrikan atau pedagang besar (wholesaler) kepada individu/ perusahaan untuk menjual produk/jasa kepada pihak lain.”12
c. Franchise fee adalah:
“biaya pembelian hak franchise yang dikeluarkan oleh Penerima Waralaba setelah dinyatakan memenuhi persyaratan sebagai Penerima Waralaba sesuai kriteria Pemberi Waralaba. Umumnya franchise fee dibayarkan hanya satu kali saja. Franchise fee ini akan dikembalikan oleh Pemberi Waralaba kepada Penerima Waralaba dalam bentuk fasilitas pelatihan awal dan dukungan set up awal dari outlet pertama yang akan dibuka oleh Penerima Waralaba.”13
d. Lisensi (licensing) adalah:
“izin yang diberikan oleh pemilik Merek terdaftar kepada pihak lain melalui suatu perjanjian berdasarkan pada pemberian hak (bukan pengalihan hak) untuk menggunakan Merek tersebut, baik untuk seluruh atau sebagian jenis barang dan/atau jasa yang didaftarkan dalam jangka waktu dan syarat tertentu.”14
e. Merek adalah:
“tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.”15
f. Pemberi Waralaba (Pemberi Waralaba) adalah:
“Pemberi Waralaba adalah orang perseorangan atau badan usaha yang memberikan hak untuk memanfaatkan dan/atau menggunakan Waralaba yang dimilikinya kepada Penerima Waralaba.”16
12 Lukman Hakim, Info Lengkap Waralaba, (Yogyakarta: MedPress, 2008), hal, 208. 13 Ibid., hal, 209. 14 Indonesia (d), ps. 1 angka 13. 15 Indonesia (d), UU Merek, UU No. 15 Tahun 2001, LN No. 110 Tahun 2001, TLN No. 4131, ps. 1 angka 1.
16 Ibid.
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
9
Universitas Indonesia
g. Penerima Waralaba (Penerima Waralaba) adalah:
“Orang perseorangan atau badan usaha yang diberikan hak oleh Pemberi Waralaba untuk memanfaatkan dan/atau menggunakan Waralaba yang dimiliki Pemberi Waralaba.”17
h. Prospektus Penawaran Waralaba adalah:
“keterangan tertulis dari Pemberi Waralaba yang sedikitnya menjelaskan tentang identitas, legalitas, sejarah kegiatan, struktur organisasi, keuangan, jumlah tempat usaha, daftar Penerima Waralaba, hak dan kewajiban pemberi dan Penerima Waralaba.”18
i. Royalty fee adalah:
“biaya yang harus dikeluarkan oleh penerima hak waralaba kepada pemberi hak waralaba. Pada umumnya royalty fee dihitung secara persentase berdasarkan omset penjualan kotor. Royalty fee diberikan secara periodik mengikuti laporan penjualan yang dikeluarkan secara teratur pula.”19
j. Waralaba (franchise) adalah:
“hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba.”20
1.7 SISTEMATIKA PENULISAN
Untuk mempermudah penulisan serta pemahaman pembaca, maka skripsi
ini dibagi menjadi beberapa bab, dimana tiap-tiap bab terdiri dari beberapa sub
bab dengan sistematika sebagai berikut:
Bab I: Pendahuluan
Bab ini berisi pendahuluan dari skripsi yang terdiri dari latar belakang,
pokok permasalahan, tujuan penelitian, metode penelitian, kegunaan penelitian,
kerangka konsep dan sistematika penulisan.
17
Ibid.
18 Indonesia (c), Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Tentang Penyelenggaraan Waralaba, No. 31/M-DAG/PER/2008, ps 1 angka 6. 19 Ibid. 20 Indonesia (b), Peraturan Pemerintah Tentang Waralaba, PP No. 42 Tahun 2007, LN No. 90 Tahun 2007, TLN No. 4742, ps. 1 angka 1.
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
10
Universitas Indonesia
Bab II : Perjanjian Menurut KUHPerdata dan Perkembangannya
Bab ini berisi teori dasar perjanjian menurut KUHPerdata dan
perkembangannya dengan ditekankan pada beberapa asas termasuk asas
konsensualisme, asas kebebasan berkontrak, asas itikad baik dalam perjanjian
terutama dalam perjanjian yang melibatkan Hak Kekayaan Intelektual dan privity
of contract. Selain itu, bab ini juga menjelaskan sedikit mengenai berakhirnya
perjanjian.
Bab III: Landasan Teori Mengenai Franchising, Licensing dan
Distributorship.
Bab ini membahas konsep serta akibat hukum dari masing-masing
lembaga franchising, licensing dan distributorship secara mendalam. Pembahasan
dalam bab ini mencakup pengertian, elemen-elemen, jenis, pengaturan dalam
hukum positif Indonesia, hak dan kewajiban para pihak, hal-hal yang diatur dalam
perjanjian dan terakhir, prosedur yang harus ditempuh dalam masing-masing
lembaga.
Bab IV: Analisa Pengembangan Usaha Rica Rico
Bab ini akan membandingkan perbedaan dari ketiga lembaga tersebut
yang ditinjau dari beberapa sudut termasuk pengendalian dan pengawasan usaha,
kepemilikan usaha, kepemilika merek, objek perjanjian, adanya initial fee dan
royalty payment, dan peralihan teknologi. Selain itu, bab ini akan memaparkan
sifat dan jenis usaha Rica Rico serta keadaan usahanya pada saat ini. Berdasarkan
landasan Bab II dan Bab III dari skripsi ini, penulis akan menganalisa dan
menentukan lembaga yang paling sesuai dengan pengembangan usaha Rica Rico.
Berkenaan dengan hal ini, penulis akan mencoba untuk membentuk perjanjian
yang sesuai bagi Rica Rico.
Bab V: Penutup
Bab ini berisi kesimpulan dan saran dari pembahasan bab-bab diatas.
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
11
Universitas Indonesia
BAB 2
PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM
PERDATA DAN PERKEMBANGANNYA
Pada era globalisasi seperti sekarang, telah bertumbuh berbagai hubungan
antar masyarakat terutama dalam hubungan usaha. Kebijakan pemerintah yang
membuka lebar pintu investasi ditambah dengan struktur hukum perikatan
Indonesia yang bersifat terbuka membuka peluang yang luas bagi pengusaha
untuk mengatur sendiri kegiatan usahanya melalui perjanjian yang sesuai dengan
kepentingan para pihak.
Perkembangan baru dalam dunia usaha tentunya menimbulkan
permasalahan baru dalam bidang perjanjian, tetapi pada saat ini, KUH Perdata
tidak lagi relevan dalam menjawab persoalan legalitas perjanjian dan perikatan
yang timbul karena perkembangan terbaru seperti e-commerce dan franchise.
Seiring perjalanan kehidupan bangsa, KUH Perdata yang diberlakukan di Hindia
Belanda (Indonesia) sejak 1 Mei 1948 berdasarkan asas konkordasi (concordantie
beginsel) sebagaimana diatur dalam Pasal 131 Indische Staatsregeling (IS)
terdesak untuk segera diperbaharui. Sebagaimana diterangkan dalam pidato
pengukuhan Prof. Dr. Rosa Agustina, S.H., M.H. sebagai guru besar tetap
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, tuntutan perbaikan dan penyelarasan
hukum perdata penting untuk kemajuan ilmu dan teknologi.21
Bab ini akan memaparkan perjanjian berdasarkan KUH Perdata karena
pelaksanaan pengembangan usaha tidak lepas dari hukum perikatan dan
perjanjian. Disamping itu, penulis juga akan menjelaskan penerapan asas-asas
perjanjian pada hubungan hukum yang terjadi pada saat ini.
21 Bachtiar Sitanggang, “Release and Discharge, Tak Dikenal Dalam Sistem Hukum Indonesia”, <http://pandapotan.today.com/2009/04/24/prof-dr-rosa-agustina-trisnawati-sh/>, 23 April 2009.
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
12
Universitas Indonesia
2.1 PENGERTIAN PERJANJIAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN PERIKATAN
Berdasarkan Pasal 1313 KUH Perdata, perjanjian adalah:
“suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”22
Dari perbuatan tersebut, timbullah suatu hubungan antara dua orang yang
dinamakan perikatan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perjanjian
merupakan sumber perikatan.23 Perikatan merupakan konsep yang abstrak,
sedangkan perjanjian merupakan konsep yang bersifat lebih konkrit.24
Pada umumnya, perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan
perikatan karena sebagian besar perikatan lahir dari perjanjian.25 Selain itu,
terdapat sumber perikatan lain yaitu undang-undang.26 Undang-undang sebagai
sumber perikatan dibedakan antara undang-undang saja dengan undang-undang
yang berhubungan dengan perbuatan orang; sedangkan yang terakhir dibedakan
antara perbuatan yang halal dan perbuatan melanggar hukum.
Perbedaan antara perikatan yang lahir dari perjanjian dan undang-undang
adalah bahwa perikatan yang lahir dari perjanjian memang dikehendaki oleh dua
orang atau dua pihak yang membuat perjanjian, sedangkan perikatan yang lahir
dari undang-undang bukan merupakan kemauan para pihak yang bersangkutan.
Berkaitan dengan pengertian perjanjian berdasarkan Pasal 1313 KUH
Perdata, terdapat kritik terhadap pasal ini karena definisi tersebut tidak
membedakan antara definisi perjanjian dalam lapangan hukum perkawinan
dengan perjanjian yang dimaksud dalam hukum perjanjian yang bersifat moral.27
Apabila dibandingkan dengan pengertian perjanjian oleh seorang ahli hukum M
22 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), diterjemahkan oleh R. Soebekti dan R. Tjitrosudibio, cet. 37, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2006), ps. 1313. 23 Subekti (a), Hukum Perjanjian, cet. 20, (Jakarta: Intermasa, 2004), hal. 1. 24Ibid., hal 3. 25 Ibid. 26 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, ps, 1233. 27 Sri Soesilowati Mahdi, Surni Ahlan Sjarif dan Akhmad Budi Cahyono, Hukum Perdata (Suatu Pengantar), (Jakarta: Gitama Jaya, 2005), hal. 134.
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
13
Universitas Indonesia
Yahya Harahap, jelas bahwa perjanjian menurut hukum perikatan adalah
hubungan hukum di bidang harta kekayaan. Pengertian yang diberikan M Yahya
Harahap adalah sebagai berikut:
“Perjanjian adalah suatu hubungan hukum kekayaan atau harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi.”28
Dari definisi tersebut, hubungan hukum antara kedua belah pihak mengakibatkan
adanya hak dan kewajiban yang dapat dituntut dan dilaksanakan oleh para pihak
secara hukum. Hak tertuju pada perolehan prestasi sedangkan kewajiban tertuju
pada pelaksanaan prestasi yang bisa bersifat sepihak seperti hibah atau perjanjian
secara timbal balik seperti jual-beli.29
2.2 SYARAT SAH PERJANJIAN
Berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata, terdapat 4 (empat) syarat sah
perjanjian, yaitu:
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
c. Suatu hal tertentu
d. Suatu sebab yang halal
Dua syarat pertama merupakan syarat subyektif, yang mana apabila tidak
dipenuhi, salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta kepada hakim supaya
perjanjian yang bersangkutan dibatalkan. Dengan demikian, perjanjian tetap
mengikat sepanjang tidak dibatalkan atas permintaan pihak yang berhak meminta
pembatalan, yaitu pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberi
kesepakatannya secara tidak bebas. Perjanjian seperti ini dinamakan voidable,
karena perjanjian tersebut selalu diancam dengan bahaya pembatalan.30
Sedangkan dua syarat terakhir adalah syarat obyektif yang mana apabila tidak
28 M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung: Penerbit Alumni, 1986), hal. 6. 29 Mahdi, Sjarif dan Cahyono, loc. cit., hal. 135. 30 Subekti (a), loc. cit., hal. 20.
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
14
Universitas Indonesia
dipenuhi mengakibatkan perjanjian tersebut batal demi hukum (null and void).
Dengan demikian, maka tidak ada dasar untuk saling menuntut di hadapan
hakim.31 Selanjutnya, masing-masing syarat tersebut akan dijelaskan secara rinci.
2.2.1 Sepakat Mereka Yang Mengikatkan Dirinya
Kesepakatan yang sah tidak boleh mengandung unsur kekhilafan, paksaan
dan penipuan.32 Kekhilafan dapat terjadi mengenai orang atau mengenai barang
yang menjadi tujuan pihak-pihak yang mengadakan perjanjian.33 Pada dasarnya,
kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu perjanjian, kecuali hakikat barang
atau diri seseorang merupakan pokok perjanjian tersebut.34 Hal penting yang
patut diperhatikan adalah pokok perjanjian yang dimaksud dalam Pasal 1322 ayat
(1) KUH Perdata. Menurut Prof. Prodjodikoro, Pasal 1322 KUH Perdata tidak
tegas karena dapat dipersoalkan apa yang dimaksud dengan pokok sari dari suatu
perjanjian.35 Sebagai contoh, seseorang mengira membeli beras dengan jenis
tertentu. Ternyata kemudian diketahui beras tersebut bukan jenis yang
sebelumnya diinginkan pembeli. Dalam hal ini, dapat diperdebatkan apakah
pokok sari dari perjanjian jual-beli tersebut jenis beras atau beras itu sendiri.
Dengan demikian, lebih tepat apabila Pasal 1322 ayat (1) KUH Perdata ditafsirkan
sedemikian rupa; bahwa kekhilafan hanya dapat menghalangi sahnya persetujuan
apabila mengenai tujuan dan maksud dari kedua belah pihak.36
Selanjutnya, kesepakatan tidak boleh mengandung unsur paksaan. Paksaan
merupakan segala perbuatan yang dapat menakutkan seseorang yang berpikiran
sehat, dan menimbulkan ketakutan bahwa dirinya atau kekayaannya terancam
dengan suatu kerugian yang terang dan nyata.37 Paksaan yang dimaksud dapat
31 Ibid. 32 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, ps. 1321. 33 Subekti (b), Pokok-Pokok Hukum Perdata, cet. 32, (Jakarta: Intermasa, 2005), hal. 135. 34 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, ps. 1322. 35 Wirjono Prodjodikoro, Azas-azas Hukum Perjanjian, cet 10, (Bandung: Bale Bandung, 1985), hal. 30. 36 Ibid. 37 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, ps. 1324.
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
15
Universitas Indonesia
terjadi dalam bentuk paksaan rohani atau paksaan jiwa, dan paksaan fisik.38
Contoh paksaan rohani atau jiwa adalah ancaman rahasia seseorang akan
dibongkar atau anggota keluarganya akan disakiti, sedangkan contoh ancaman
fisik adalah ancaman seseorang akan dianiaya atau disiksa apabila tidak
menyetujui sesuatu. Dengan demikian, paksaan tersebut harus mengenai suatu
perbuatan yang dilarang undang-undang, karena apabila ancaman tersebut
merupakan hal yang diperbolehkan hukum seperti tuntutan pengadilan atau
menjalankan suatu putusan pengadilan, maka tidak termasuk sebagai paksaan. 39
Terakhir, kesepakatan tidak dapat mengandung unsur penipuan. Penipuan
terjadi apabila salah satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan-
keterangan yang tidak benar sehingga pihak lain terbujuk untuk memberikan
kesepakatannya.40 Pasal 1328 KUH Perdata mengatur bahwa tipu muslihat yang
digunakan harus terbukti dan digunakan sedemikian rupa sehingga terang dan
nyata bahwa pihak yang lain tidak akan membuat perikatan itu apabila tipu
muslihat tidak dilakukan.
2.2.2 Kecakapan Untuk Membuat Suatu Perikatan
Berdasarkan Pasal 1330 KUH Perdata, orang-orang yang dinilai tidak
cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah:
a. Orang-orang yang belum dewasa
Dengan dewasanya seseorang, maka ia dianggap cakap untuk melakukan
perbuatan hukum seperti membuat perjanjian, menikah dan membuat wasiat.41
Sesuai dengan Pasal 330 KUH Perdata, orang-orang yang belum dewasa adalah
orang-orang yang belum genap mencapai dua puluh satu tahun dan belum pernah
menjalani perkawinan. Selanjutnya, Pasal 29 KUH Perdata mengatur usia
minimal untuk melangsungkan suatu perkawinan adalah 18 tahun bagi laki-laki
dan 15 tahun bagi perempuan. Apabila perkawinan seorang perempuan bubar
38 Mahdi, Sjarif dan Cahyono, loc. cit., hal. 141. 39 Subekti (b), loc. cit., hal. 135. 40 Ibid. 41 Mahdi, Sjarif dan Cahyono, loc. cit., hal. 22.
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
16
Universitas Indonesia
sebelum ia genap mencapai dua puluh satu tahun, dia tetap dianggap sebagai
orang dewasa.
Pada umumnya Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
(UU Perkawinan) tidak mengatur tentang kedewasaan secara eksplisit, namun UU
Perkawinan mengatur batas usia kekuasaan orang tua terhadap anak dan batas usia
minimal untuk perkawinan. Menurut Pasal 47 dan Pasal 50 UU Perkawinan, anak
yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan
pernikahan berada di bawah kekuasaan orang tua atau wali, dalam hal anak
tersebut tidak berada di bawah kekuasaan orang tua. Selanjutnya Pasal 7 UU
Perkawinan mengatur batas minimum usia untuk suatu perkawinan adalah 16
tahun bagi perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki. Selain itu, Pasal 15 Kompilasi
Hukum Islam (KHI) mengarah pada UU Perkawinan dalam hal batas usia
minimum untuk melangsungkan suatu perkawinan.
Berdasarkan batas usia menurut UU Perkawinan dan KHI, terdapat suatu
kejanggalan karena seseorang yang sudah tidak di bawah kekuasaan orang tua
tetap harus mendapatkan izin untuk menikah dari orang tua apabila ia belum
mencapai usia 21 tahun.42 Selain itu, UU Perkawinan tidak menafsirkan lepasnya
kekuasaan orang tua sebagai kedewasaan. Prof. Wahyono Dharmabrata
berpendapat batas kedewasaan adalah mereka yang belum menikah dan belum
mencapai 21 tahun seperti yang diatur dalam KUH Perdata Pasal 330 karena UU
Perkawinan pada umumnya tidak menyebutkan bahwa usia 18 tahun berarti sudah
dewasa.43
b. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan
Menurut Pasal 433 KUH Perdata, orang dewasa yang selalu berada dalam
keadaan dungu, sakit otak dan mata gelap harus ditaruh dibawah pengampuan.
Selain itu, orang dewasa juga dapat ditaruh dibawah pengampuan karena
keborosannya. Pasal 452 KUH Perdata mengatur bahwa orang yang ditaruh
42 Indonesia (e), ps. 6. 43 Wahyono Darmabrata, Hukum Perkawinan dan Keluarga di Indonesia, Cet. 1., (Jakarta: Rizkita, 2002) hal. 104-107.
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
17
Universitas Indonesia
dibawah pengampuan mempunyai kedudukan yang sama dengan orang yang
belum dewasa.
c. Orang-orang perempuan, dan orang-orang tertentu yang dilarang untuk
membuat perjanjian tertentu.
Pasal 108 dan 110 KUH Perdata mengatur bahwa perempuan tidak dapat
melakukan perbuatan hukum atau menghadap hakim tanpa bantuan dari
suaminya. Namun ketentuan ini sudah tidak berlaku berdasarkan Surat Edaran
Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963. Pada saat ini, menurut UU Perkawinan,
istri mempunyai hak dan kedudukan yang seimbang dengan suami.44 Dengan
demikian, perempuan dapat melakukan perbuatan hukum mengenai harta
bendanya, seperti harta bawaan.45
Selain cakap dalam lingkup perseorangan, terdapat juga lingkup cakap
bagi badan hukum perseroan terbatas yang diatur dalam Undang-Undang No. 40
Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (UUPT). UUPT memang tidak secara
eksplisit menyatakan kapan suatu perseroan dapat dianggap cakap untuk
melakukan perbuatan hukum, namun hal ini dapat disimpulkan dari Pasal 2 UUPT
yang menyatakan bahwa perseroan harus mempunyai maksud dan tujuan serta
kegiatan usaha yang tidak bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan,
ketertiban umum dan/atau kesusilaan. Maksud dan tujuan yang tertera dalam
anggaran dasar perseroan harus sesuai dengan kegiatan usaha serta izin-izin yang
diperoleh untuk menjalankan kegiatan usaha. Hal ini penting bagi kecakapan
perseroan dalam bertindak dan melakukan perbuatan hukum dengan subyek
hukum lain. Selain tujuan dan maksud perseroan sebagai hal yang paling
mendasar, untuk dapat melakukan perbuatan hukum, tentunya perseroan harus
mengikuti proses pendirian yang diatur dalam Pasal 7 hingga Pasal 14 UUPT
hingga mendapat status badan hukum agar dapat melakukan perbuatan hukum
seperti mengadakan perjanjian dengan pihak lain.
44 Indonesia (e), ps. 31. 45 Indonesia (e), ps. 36 ayat (2).
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
18
Universitas Indonesia
2.2.3 Suatu Hal Tertentu
Berdasarkan Pasal 1333 KUH Perdata, suatu perjanjian harus mempunyai
suatu barang pokok yang paling sedikit dapat ditentukan jenisnya. Dengan
demikian, obyek perjanjian atau prestasi yang diperjanjikan harus jelas, dapat
dihitung dan dapat ditentukan jenisnya.46 Batasan terhadap barang pokok diatur
dalam Pasal 1332 KUH Perdata, yaitu hanya barang-barang yang dapat
diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok suatu perjanjian. Selain barang-
barang yang sudah ada, barang pokok juga dapat berupa barang-barang yang baru
akan ada sebagaimana diatur dalam Pasal 1334 KUH Perdata. Contoh perjanjian
dengan obyek yang akan ada adalah perjanjian bank garansi dimana kewajiban
bank untuk membayar pihak yang menerima jaminan hanya akan ada apabila
pihak yang dijamin wanprestasi dan tidak sanggup memenuhi prestasinya.
2.2.4 Suatu Sebab Yang Halal
Syarat terakhir untuk sahnya suatu perjanjian adalah suatu sebab yang
halal. Kata “sebab” yang dimaksud adalah isi perjanjian dan bukan gagasan yang
menyebabkan seseorang mengikatkan dirinya dalam suatu perjanjian.47 Menurut
Pasal 1337 KUH Perdata, sebab yang halal tidak boleh bertentangan dengan
undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Pengertian tidak boleh
bertentangan dengan undang-undang yang dimaksud adalah undang-undang yang
bersifat melindungi kepentingan umum, sehingga apabila dilanggar dapat
membahayakan kepentingan umum.48 Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa syarat ini tidak berlaku mutlak terhadap semua ketentuan dalam
perundang-undangan. Para pihak dapat menyimpangi ketentuan-ketentuan tertentu
yang mengatur hubungan antara kedua belah pihak sepanjang ketentuan yang
disepakati tidak membahayakan kepentingan umum. Sebagai contoh, ketentuan
Pasal 1460 KUH Perdata mengenai risiko jual-beli yang berada di tangan pembeli
46 Mahdi, Sjarif dan Cahyono, loc. cit., hal 143. 47 Subekti (a), loc. cit., hal. 19. 48 Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, cet.2, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996), hal. 99.
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
19
Universitas Indonesia
dapat disimpangi berdasarkan kesepakatan pembeli dan penjual bahwa risiko
berada di tangan penjual.
2.3 ASAS-ASAS DALAM PERJANJIAN
Hukum perjanjian Indonesia yang diatur dalam Buku III KUH Perdata
memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk
mengadakan perjanjian dengan isi apa saja sepanjang tidak melanggar undang-
undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Dalam pelaksanaanya, terdapat 4
(empat) asas utama yang dianut dalam hukum perjanjian, yaitu asas
konsensualisme, asas kebebasan berkontrak, asas itikad baik, dan terakhir, asas
kepribadian.
2.3.1 Asas konsensualisme
Pengertian asas konsensualisme adalah perjanjian dan perikatan yang
timbul karenanya sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan.49 Dengan
demikian, perjanjian sudah sah dan mengikat tanpa suatu formalitas tertentu. Asas
konsensualisme tercermin dalam Pasal 1458 KUH Perdata mengenai perjanjian
jual-beli. Pasal ini mengatur bahwa jual-beli sudah terjadi seketika setelah kedua
belah pihak mencapai sepakat mengenai benda dan harga, meskipun benda
tersebut belum diserahkan (levering).
Terhadap asas konsensualisme terdapat pengecualian yaitu penerapan asas
konsensualisme terhadap perjanjian formil dan perjanjian riil.50 Perjanjian formil
ialah perjanjian yang disamping memenuhi kata sepakat, juga harus memenihi
formalitas tertentu. Contoh perjanjian formil dalam KUH Perdata adalah
perjanjian perdamaian yang harus dibuat secara tertulis sebagaimana diatur dalam
Pasal 1851 ayat (2) KUH Perdata. Selain itu, perjanjian waralaba juga merupakan
perjanjian formil karena harus dibuat dalam perjanjian tertulis dengan
menggunakan Bahasa Indonesia.51 Perjanjian riil adalah perjanjian yang harus
49 Subekti (a), loc. cit., hal. 15. 50 Mahdi, Sjarif dan Cahyono, loc. cit., hal 145. 51 Indonesia (f), Peraturan Pemerintah tentang Waralaba, PP No. 42 Tahun 2007, LN No. 90 Tahun 2007, TLN No. 4742, ps. 4.
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
20
Universitas Indonesia
memenuhi kata sepakat dan ditindaklanjuti dengan perbuatan tertentu. Contoh
perjanjian riil dalam KUH Perdata adalah perjanjian penitipan yang harus
ditindaklanjuti dengan penyerahan dari pihak yang menitipkan dan penerimaan
dari pihak yang dititipkan sebagaimana diatur dalam Pasal 1694 KUH Perdata.
Contoh lain perjanjian riil adalah perjanjian jual-beli tanah yang harus
ditindaklanjuti dengan penyerahan sertifikat hak atas tanah. Dalam praktek, pada
umumnya, perjanjian harus ditindaklanjuti dengan formalitas dan perbuatan riil
tertentu. Hal ini karena dengan adanya formalitas seperti perjanjian dalam bentuk
tertulis, para pihak lebih merasa aman karena perjanjian tersebut mempunyai
kekuatan hukum yang dapat dijadikan barang bukti dihadapan pengadilan apabila
terjadi sengketa, dibandingkan dengan kesepakatan lisan.
Pada waktu KUH Perdata baru diberlakukan pada tahun 1948, asas
konsensualisme tampak begitu jelas karena pada umumnya masyarakat bertemu
secara langsung dalam melakukan suatu hubungan hukum. Dengan demikian,
tempat dan waktu lahirnya suatu perjanjian dapat segera diketahui. Perkembangan
pesat dalam teknologi dan internet menimbulkan kerancuan mengenai kapan
kesepakatan ini terjadi antara kedua belah pihak dalam suatu transaksi elektronik.
Menurut Pasal 20 Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik, transaksi elektronik terjadi pada saat penawaran transaksi
yang dikirim pengirim telah diterima dan disetujui penerima. Persetujuan atas
penawaran transaksi elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dilakukan dengan pernyataan penerimaan secara elektronik. Persoalan yang
timbul ialah kapan lahirnya suatu kesepakatan antara para pihak dalam transaksi
elektronik seperti ini.52 Menurut ajaran yang dianut sekarang, perjanjian harus
dianggap lahir pada saat pihak yang melakukan penawaran menerima jawaban
dalam pernyataan penerimaan, sebab detik itulah dapat dianggap lahirnya suatu
kesepakatan.53 Hal ini berhubungan erat dengan teori penerimaan dimana
52 “Internet Turut Mendorong Perkembangan Hukum Perjanjian,” <http://cms.sip.co.id/hukumonline/detail.asp?id=21788&cl=Berita>, 22 April 2009.
53 Subekti (a), loc. cit.. hal. 28.
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
21
Universitas Indonesia
perjanjian dianggap lahir pada saat pihak yang menawarkan menerima
persetujuan.54
2.3.2 Asas kebebasan berkontrak
Asas kekebasan berkontrak diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata
sebagai berikut:
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
Ketentuan tersebut memberikan kebebasan kepada para pihak untuk
membuat perjanjian dengan isi apa saja dan perjanjian tersebut akan mengikat
mereka yang membuatnya layaknya suatu undang-undang (pacta sunt servanda).
Hal ini seiring dengan sistem terbuka yang dianut dalam Buku III KUH Perdata.
Dengan demikian, ketentuan-ketentuan dalam Buku III KUH Perdata merupakan
hukum pelengkap (optional law) dan dapat disimpangi apabila dikehendaki oleh
para pihak.55
Meskipun demikian, kebebasan dalam hukum perjanjian tidak berlaku
mutlak. Asas kebebasan berkontrak dibatasi dengan ketentuan dalam Pasal 1337
KUH Perdata yang mengatur bahwa isi perjanjian tidak boleh bertentangan
dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Disamping itu,
ketentuan yang dapat disimpangi adalah ketentuan yang bersifat optional atau
pilihan, sedangkan ketentuan yang bersifat memaksa seperti syarat sah perjanjian
tidak dapat disimpangi.
Asas kebebasan berkontrak di satu sisi memberikan kepastian hukum bagi
para pihak yang membuat perjanjian,56 namun di sisi lain membuka luas pintu
masuknya lembaga-lembaga common law seperti Intellectual Property Rights
(Hak Kekayaan Intelektual - HAKI ) dan trust. Terdapat perdebatan bahwa
Indonesia belum siap dengan masuknya lembaga-lembaga common law ke dalam
struktur hukum nasional, namun kejadian tersebut juga tidak dapat dihalangi.
54 “Telekomunikasi dan Teknologi e-Commerce”, <http://cms.sip.co.id/hukumonline
/klinik_detail.asp?id=5517>, diakses pada tanggal 17 September 2009. 55 Subekti, loc. cit., hal. 13. 56 Mahdi, Sjarif dan Cahyono, loc. cit., hal 146.
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
22
Universitas Indonesia
Dengan maksud mendorong kreativitas, melindungi karya anak bangsa
dan meningkatkan efisiensi persaingan usaha, pemerintah telah mengambil
langkah menjadi anggota Organisasi Hak atas Kekayaan Intelektual Dunia atau
disebut juga World Intellectual Property Organization (WIPO) dan membentuk
kebijakan-kebijakan yang mengatur mengenai hak kekayaan intelektual seperti
hak cipta, rahasia dagang, merek, waralaba dan paten. Dengan demikian,
masyarakat Indonesia harus memberdayakan kesempatan yang ada agar tidak
dirugikan oleh keberadaan lembaga hak kekayaan intelektual itu sendiri.
Kemudian untuk lembaga trust yang mendalilkan seorang yang menguasai belum
tentu merupakan pemilik, hingga saat ini Indonesia belum mengakui lembaga
tersebut. Walaupun demikian, konsep trust sudah banyak digunakan oleh
pengusaha asing di Indonesia dengan tujuan menguasai asset dalam suatu
perusahaan dalam negeri. Persoalan timbul ketika terjadi sengketa antar
pengusaha asing dengan pengusaha lokal, kemudian pengusaha asing dirugikan
karena pengadilan memutuskan tidak mengakui lembaga trust. Dari contoh-
contoh diatas, dapat diketahui bahwa sistem terbuka hukum perjanjian nasional
perlu didampingi dengan pembaruan hukum seiring dengan perkembangan yang
terjadi karena KUH Perdata sudah tidak lagi relevan dalam menjawab persoalan
baru yang timbul dalam hubungan antar masyarakat pada saat ini.
2.3.3 Asas itikad baik
Asas itikad baik diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, yang
menyatakan bahwa, “Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.”
Pelaksanaan perjanjian dengan itikad baik berhubungan erat dengan penafsiran
perjanjian sesuai dengan sifat perjanjian, kepatutuan, kebiasaan dan undang-
undang sebagaimana diatur dalam Pasal 1339 KUH Perdata. Itikad baik dapat
dibedakan menjadi itikad baik subyektif dan itikad baik obyektif.57 Itikad baik
subyektif, adalah penilaian dan kesadaran sendiri apakah tindakannya
bertentangan dengan itikad baik, sedangkan itikad baik obyektif adalah penilaian
masyarakat umum terhadap tindakan tersebut.
57 Nindyo Pramono, Bunga Rampai Hukum Bisnis Aktual, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006), hal. 72.
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
23
Universitas Indonesia
Selain diatur dalam KUH Perdata, asas itikad juga diatur dalam Pasal 26
dari Vienna Convention on the Law of Treaties yang juga disebut sebagai
Konvensi Wina sebagai berikut:
“Pacta sunt servanda: Every treaty in force is binding upon the parties to it and must be performed by them in good faith.”
Konsep itikad baik sudah sejak lama diterapkan dalam sistem hukum
common law maupun civil law. Sebagai contoh, Article 1134 French Civil Code
pada awalnya haya mengatur asas pacta sunt servanda dengan ketentuan yang
menyatakan “The contract is law between the parties,” namun pada akhir abad ke-
18, para ahli hukum Prancis mengembangkan penerapan asas itikad baik dalam
tahap perumusan perjanjian (the duty of good faith in negotiation) dan tahap
pelaksanaan perjanjian.58 Dengan demikian, asas kebebasan berkontrak dibatasi
dengan asas itikad baik. Hal ini berbeda dengan penerapan asas itikad baik
menurut KUH Perdata karena Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata hanya
menekankan itikad baik dalam tahap pelaksanaan perjanjian. Di negara yang
menganut sistem common law seperti Amerika Serikat, pengadilan menerapkan
doktrin promissory estoppel untuk memberikan perlindungan hukum kepada
pihak yang dirugikan karena menaruh pengharapan terhadap janji-janji yang
diberikan lawannya dalam tahap pra-kontrak.59
Penerapan asas itikad baik dalam bidang HAKI mengarah pada itikad
baik untuk tidak menjiplak karya orang lain tanpa izin berdasarkan aturan yang
berlaku. Ketentuan itikad baik dalam HAKI tercermin dalam Pasal 4 Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek yang menyatakan bahwa merek
tidak dapat didaftar atas dasar Permohonan yang diajukan oleh Pemohon yang
beriktikad tidak baik. Dalam perjanjian yang berkaitan dengan HAKI, asas itikad
baik berperan sangat penting karena salah satu pihak akan memberikan hak atas
rahasia dagang, merek ataupun sistem perdagangan untuk digunakan oleh pihak
58 Alberto M. Musy, “The Good Faith Principel in Contract Law and the Precontractual Duty to Disclose: Comparative Analysis of New Differences in Legal Cultures,” <http://www.icer.it/docs/wp2000/Musy192000.pdf>, Desember 2000. 59 Suharnoko, Hukum Perjanjian, cet. 4, (Jakarta: Kencana, 2007), hal. 3.
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
24
Universitas Indonesia
lainnya. Persoalan mengenai itikad baik adalah sulitnya merumuskan itikad baik
yang mengakibatkan kesulitan dalam pembuktian, sehingga sering kali orang
menjelaskan dihadapan pengadilan melalui peristiwa-peristiwa konkrit. Alhasil,
pembuktian itikad baik sangat tergantung pada interpretasi hakim.
2.3.4 Asas kepribadian (privity of contract)
Asas ini diatur dalam Pasal 1340 KUH Perdata sebagai berikut:
“ Suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat membawa rugi kepada pihak-pihak ketiga; tak dapat pihak-pihak ketiga mendapat manfaat karenanya, selain dalam hal yang diatur dalam Pasal 1317.”
Berdasarkan asas ini, suatu perjanjian hanya meletakkan hak dan
kewajiban antara para pihak yang membuatnya sedangkan pihak ketiga yang tidak
ada kaitannya dengan perjanjian tersebut tidak terikat.60 Terhadap asas
kepribadian ini terdapat tiga pengecualian. Pengecualian pertama adalah
pengecualian yang dinamakan janji untuk pihak ketiga. Berdasarkan Pasal 1317
KUH Perdata, dalam suatu perjanjian antara kedua belah pihak, dapat ditetapkan
suatu janji guna kepentingan pihak ketiga. Pengecualian kedua adalah perjanjian
garansi yang diatur dalam Pasal 1316 KUH Perdata. Dalam perjanjian ini, pihak
ketiga dibebani kewajiban untuk melakukan prestasi apabila pihak yang berjanji
melakukan prestasi tidak dapat memenuhui janjinya. Pengecualian ketiga adalah
keberlakuan perjanjian terhadap ahli waris dari pihak yang mengadakan
perjanjian. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 1318 KUH Perdata.
Dalam sebuah jurnal hukum yang disusun oleh Hong Kong Law Reform
Commission, pengertian doctrine of privity mempunyai pengertian sebagai
berikut:
“The doctrine of privity of contract ("the doctrine of privity") holds that a contract cannot confer rights or
60 Mahdi, Sjarif dan Cahyono, loc. cit., hal 147.
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
25
Universitas Indonesia
impose obligations on any persons other than the parties to the contract.”61
Dalam kasus Tweddle v Atkinson (1861), kasus yang diperkirakan
menetapkan doctrine of privity, pengadilan melalui hakim dengan nama
Wightman J, memutuskan bahwa tidak ada pihak yang tidak memberikan kontra
prestasi dapat mengambil keuntungan dari suatu kontrak walaupun kontrak
tersebut dibuat demi kepentingannya. Kasus tersebut adalah mengenai John
Tweedle dan William Guy yang berjanji untuk masing-masing memberikan
sejumlah uang kepada William Tweedle sebagai hadiah perkawinannya. Pada saat
William Guy tidak melaksanakan prestasi tersebut, William Tweedle menggugat
ayah mertuanya, Willam Guy. Kutipan bagian dari putusan hakim adalah sebagai
berikut:
“no stranger to the consideration could take advantage of a contract though made for his benefit.”62
Doktrin ini kemudian ditekankan kembali dalam kasus Dunlop Pneumatic
Tyre Co Ltd v Selfridge & Co Ltd (1915). Kasus posisi secara singkat adalah
bahwa Dunlop sebagai suatu perusahaan pabrik ban, membuat perjanjian dengan
Dew, suatu perusahaan trading ban, tentang jual beli ban. Perjanjian jual-beli
tersebut disertai dengan ketentuan bahwa Dew tidak boleh menjual dibawah harga
yang sudah ditetapkan Dunlup. Demikian juga ketentuan tersebut berlaku bagi
perusahaan trading lainnya yang membeli ban tersebut dari Dew. Kemudian, Dew
menjual ban kepada Selfridge dan Selfriidge menjual dibawab harga yang sudah
ditetapkan. Dengan demikian, Dunlop menggugat Selfridge dan menuntut ganti
rugi. Dalam putusannya, dinyatakan bahwa hanya pihak yang memberikan kontra
prestasi mempunyai hak untuk menuntut haknya.63 Melalui putusan-putusan
pengadilan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa landasan doctrine of privity
dalam common law erat hubungannya dengan rule of consideration.
61 Hong Kong Law Reform Commission, “Sub-Committee on Privity of Contract Consultation Paper,” <http://www.hklii.org/hk/other/hklrc/cp/2004/05/2.html#Heading430>, diakses 4 September 2009. 62 Ibid. 63 Ibid.
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
26
Universitas Indonesia
Consideration adalah suatu kontra prestasi yang berupa janji, harga atau
perbuatan.64 Dengan demikian, hanya pihak yang memberikan kontra-prestasi
yang berhak menuntut haknya dihadapan pengadilan.
2.4 HAPUSNYA PERJANJIAN
Pasal 1381 KUH Perdata menyebutkan sepuluh cara hapusnya perjanjian.
Cara-cara tersebut adalah:
a. Pembayaran;
b. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpangan atau
penitipan;
c. Pembaruan utang;
d. Perjumpaan utang atau kompensasi;
e. Pembebasan utang;
f. Pembebasan utang;
g. Musnahnya barang yang terutang;
h. Batal / pembatalan;
i. Berlakunya suatu syarat batal; dan
j. Lewatnya waktu.
Cara-cara diatas bukan bersifat limitatif karena masih terdapat cara-cara
hapusnya perjanjian diluar cara-cara yang ditentukan dalam Pasal 1381 KUH
Perdata, yaitu:65
a. Jangka waktu yang ditentukan dalam perjanjian tersebut telah berakhir,
b. Adanya persetujuan dari para pihak untuk mengakhiri perjanjian tersebut,
c. Ditentukan oleh undang-undang, misalnya perjanjian akan berakhir
dengan meninggalnya salah satu pihak peserta perjanjian tersebut
sebagaimana diatur dalam Pasal 1318 KUH Perdata,
d. Adanya putusan hakim, dan
e. Tujuan yang dimaksud dalam perjanjian telah tercapai.
64 Suharnoko, loc. cit., hal 10. 65 Juajir Sumardji, Aspek-Aspek Hukum Franchise dan Perusahaan Transnasional, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1995), hal. 43.
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
27
Universitas Indonesia
Selanjutnya, cara-cara hapusnya perjanjian menurut Pasal 1381 KUH
Perdata akan dijelaskan satu-per-satu dibawah ini.
2.4.1 Pembayaran
Pembayaran adalah setiap pemenuhan perjanjian secara sukarela.66
Pembayaran ini merupakan pelaksanaan perjanjian dalam arti yang sebenarnya,
yaitu bahwa dengan pembayaran ini tercapailah tujuan perjanjian sebagaimana
telah disepakati kedua belah pihak pada saat perjanjian dibentuk.67
Selanjutnya, pihak yang melakukan pembayaran, pihak yang menerima
pembayaran dan tempat pembayaran adalah hal-hal penting dalam suatu
pembayaran. Menurut Pasal 1382 KUH Perdata, terdapat tiga pihak yang berhak
melakukan pembayaran, yaitu debitur, penanggung, dan pihak ketiga, selama
pihak ketiga tersebut bertindak atas nama dan untuk melunasi utang debitur, atau
pihak ketiga yang bertindak atas namanya sendiri namun tidak mengalihkan hak-
hak piutang kepadanya. Selanjutnya, pembayaran harus dilakukan kepada
kreditur, seorang yang dikuasakan olehnya, atau seorang yang dikuasakan oleh
hakim atau Undang-undang untuk menerima pembayaran. Berkaitan dengan
tempat pembayaran, pada umumnya diatur dalam perjanjian. Namun apabila tidak
diatur, Pasal 1393 KUH Perdata dan Pasal 1477 KUH Perdata mengatur bahwa
pembayaran dilakukan dimana barang tersebut diserahkan. Untuk utang-utang
yang berupa uang, pada asasnya harus diantarkan sampat ditempat kreditur.
Salah satu akibat dari pembayaran adalah timbulnya subrogasi. Subrogasi
terjadi karena pembayaran yang dilakukan oleh pihak ketiga kepada kreditur baik
secara langsung maupun tidak langsung, yaitu melalui debitur yang meminjam
uang dari pihak ketiga.68 Selanjutnya, pihak ketiga menggantikan kedudukan
kreditur lama sebagai kreditur baru terhadap debitur. Dengan demikian, segala
hak-hak dalam perjanjian acessoir yang menyertai perjanjian pokok juga akan
beralih kepada kreditur baru.
66 Subekti (a), loc. cit., hal. 64. 67 Prodjodikoro, loc. cit., hal. 95. 68 Suharnoko dan Endah Hartati, Doktrin Subrogasi, Novasi, dan Cessie, cet. 3, (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 1.
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
28
Universitas Indonesia
Menurut Pasal 1400 KUH Perdata, subrogasi terjadi dengan suatu
persetujuan atau undang-undang. Subrogasi yang terjadi dengan suatu persetujuan
dibagi menjadi persetujuan antara kreditur dan pihak ketiga, dan antara debitur
dan pihak ketiga. Dalam hal persetujuan terjadi antara kreditur dan pihak ketiga,
kreditur menerima pembayaran utang dari pihak ketiga dan seketika itu ditegaskan
bahwa dengan itu kreditur menyatakan bahwa pihak ketiga menggantikan kreditur
perihal hak-hak, gugatan dan hak-hak lain yang bersifat didahulukan. Dengan
demikian, kreditur lama tidak lagi berhak atas piutang tersebut dan pihak ketiga
menjadi kreditur baru. Dalam hal persetujuan terjadi antara debitur dan pihak
ketiga, maka debitur menerima uang dari pihak ketiga dan menggunakan uang
tersebut untuk melunasi utangnya kepada kreditur. Berdasarkan Pasal 1402 KUH
Perdata, terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk subrogasi seperti ini,
yaitu:
• perjanjian pinjam uang dan tanda pelunasan harus dibuat dengan surat
otentik
• harus diterangkan dalam surat perjanjian uang bahwa uang tersebut
dipinjam guna melunasi utang yang bersangkutan.
• surat tanda pelunasan harus menerangkan bahwa pembayaran
dilakukan dengan uang yang dipinjamkan oleh kreditur baru.
Dalam sistem common law, doktrin subrogasi dipandang sebagai upaya
pemulihan hukum (remedy) berupa restitusi untuk mencegah terjadinya unjust
enrichment atau memperkaya diri secara tidak adil.69 Menurut Charles Mitchell
dalam bukunya The Law of Subrogation, subrogasi dapat dibedakan atas simple
subrogation dan reviving subrogation. Dalam simple subrogation, pembayaran
yang dilakukan oleh pihak ketiga kepada kreditur tidak menghapuskan kewajiban
debitur kepada kreditur. Bahkan kreditur masih berhak menuntut pembayaran dari
debitur. Oleh karena itu, untuk mencegah terjadinya unjust enrichment, pihak
ketiga dapat meminta supaya dilakukan subrogasi. Dalam hal ini pihak ketiga
bertindak dengan menggunakan nama kreditur meminta pembayaran dari debitur.
Untuk reviving subrogation, pembayaran yang dilakukan oleh pihak ketiga
69 Suharnoko dan Hartati, loc. cit., hal. 2.
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
29
Universitas Indonesia
kepada kreditur mengakibatkan hapusnya kewajiban debitur kepada kreditur.
Karena itu, hukum memberikan hak kepada pihak ketiga untuk melakukan
sebrogasi dengan menggantikan kedudukan kreditur lama untuk menuntut
pembayaran dengan menggunakan namanya sendiri. Dengan demikian, simple
subrogation dipandang sebagai restitusi atas unjust enrichment kreditur sedangkan
reviving subrogation dipandang sebagai restitusi atas unjust enrichment debitur.
Dari paparan diatas, maka dapat dilihat bahwa doktrin subrogasi yang
dianut dalam KUH Perdata lebih mendekati doktrin reviving subrogation apabila
dibandingkan dengan doktrin dalam common law.
2.4.2 Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpangan atau
penitipan
Cara pembayaran ini diatur dalam Pasal 1404 sampai dengan Pasal 1412
KUH Perdata dan dilakukan apabila kreditur menolak pembayaran. Dalam hal
kreditur tetap menolak pembayaran yang ditawarkan melalui notaris, maka debitur
dapat melakukan permohonan kepada Pengadilan Negeri untuk mengesahkan
penawaran pembayaran yang telah dilakukan. Setelah itu, uang atau barang yang
menjadi obyek pembayaran akan dititipkan kepada Panitera Pengadilan Negeri
dan dengan demikian, hapuslah utang piutang tersebut.
2.4.3 Pembaruan utang atau novasi
Novasi diatur dalam Pasal 1413 KUH Perdata. Dalam novasi atau
pembaruan utang, perikatan yang lama hapus sehingga lahir perikatan baru.
Dengan demikian, pokok perikatan baru dapat berbeda dari pokok perikatan lama.
Terdapat dua macam novasi, yaitu novasi obyektif dan novasi subyektif.70 Novasi
obyektif terjadi apabila perikatannya yang diperbarui. Misalnya, suatu perjanjian
jual-beli yang diperbarui menjadi perjanjian pinjam-meminjam uang. Artinya di
sini sisa pembayaran harga yang belum dibayar oleh pembeli diakui sebagai utang
dalam perjanjan pinjam-meminjam.
Disamping itu dikenal pula novasi subyektif dimana terjadi kesepakatan
tiga pihak antara debitur, kreditur dan pihak ketiga untuk melakukan pembaruan
70 Ibid., hal. 58.
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
30
Universitas Indonesia
utang. Novasi subyektif dibagi kembali menjadi dua, yaitu novasi subyektif aktif
apabila kreditur dalam perikatan yang lama diganti oleh pihak ketiga, dan novasi
subyektif pasif dalam hal debitur dalam perikatan yang lama diganti oleh pihak
ketiga sebagai debitur dalam perikatan yang baru.
Novasi berbeda dengan subrogasi dalam beberapa hal. Pertama, dalam
subrogasi, perikatan antara kreditur lama dan debitur hapus karena pembayaran
dan kemudian perikatan tersebut hidup kembali antar pihak ketiga dan debitur
sehingga kreditur baru menggantikan posisi kreditur lama. Dalam novasi, pihak
kreditur dan debitur sepakat untuk menghapuskan perikatan lama dan
menggantikannya dengan perikatan baru. Selain itu, dalam subrogasi, perjanjian
yang bersifat accesoir ikut beralih kepada kreditur karena mengikuti perjanjian
pokoknya yang beralih kepada kreditur baru, sedangkan dalam novasi perjanjian
accesoir menjadi hapus karena mengikuti perjanjian pokoknya yang hapus,
kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian. Dalam novasi, hak jaminan yang bersifat
accesoir seperti gadai dan hipotek harus dipasang kembali oleh kreditur baru
dengan persetujuan debitur.71
2.4.4 Perjumpaan utang atau kompensasi
Cara penghapusan utang ini dijalankan dengan memperjumpakan atau
memperhitungkan utang piutang secara timbal-balik antara kreditur dan debitur.
Pasal 1424 KUH Perdata menerangkan apabila dua orang saling berutang satu
dengan yang lain, maka antara mereka terjadilah suatu perjumpaan utang, dengan
mana utang antara kedua orang tersebut dihapuskan. Agar perjumpaan dapat
terjadi, kedua utang tersebut harus seketika dapat ditetapkan jumlahnya dan
seketika dapat ditagih. Selain itu, Pasal 1427 KUH Perdata menyatakan bahwa
kedua utang itu harus sama-sama mengenai uang atau barang yang dapat
dihabiskan, dari jenis dan kwalitas yang sama.
2.4.5 Percampuran utang
Pasal 1436 KUH Perdata menyatakan bahwa apabila kedudukan sebagai
kreditur dan debitur berkumpul pada satu orang, maka terjadilah demi hukum
suatu percampuran utang dengan mana utang piutang tersebut dihapuskan. Hal ini
71 Ibid.
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
31
Universitas Indonesia
dapat terjadi dalam kondisi si debitur ditunjuk sebagai ahli waris kreditur dalam
suatu testamen, atau si debitur kawin dengan krediturnya dan terjadi persatuan
harta kawin. Percampuran utang terjadi secara hukum yang berarti secara
otomatis. Selanjutnya, Pasal 1437 KUH Perdata mengatur bahwa percampuran
yang terjadi pada diri si penanggung utang tidak mengakibatkan hapusnya utang
pokok.
2.4.6 Pembebasan utang
Pembebasan utang terjadi apabila kreditur dengan jelas menyatakan tidak
menghendaki lagi prestasi dari debitur dan melepaskan haknya atas pembayaran
atau pemenuhan perjanjian. Pasal 1438 KUH Perdata menegaskan bahwa
pembebasan utang tidak boleh dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan. Salah satu
bukti yang cukup untuk menyatakan pembebasan utang adalah penyerahan tanda
piutang asli secara sukarela oleh kreditur kepada debitur. Pengembalian barang
gadai bukanlah bukti yang cukup karena perjanjian gadai merupakan perjanjian
accesoir dari perjanjian utang-piutang. Perbedaannya dengan pemberian adalah
bahwa pembebasan utang menghapuskan perikatan dan tidak dapat mengalihkan
hak milik, sedangkan pemberian justru meletakkan suatu perikatan seperti hibah
yang bertujuan memindahkan hak milik.
2.4.7 Musnahnya barang yang terutang
Apabila benda yang menjadi obyek perjanjian musnah, tidak lagi dapat
diperdagangkan, atau hilang, maka perikatan tersebut menjadi hapus selama benda
tersebut hilang atau musnah diluar kesalahan debitur dan sebelum ia lalai
menyerahkannya. Walaupun ia lalai dalam penyerahan barang, debitur juga bebas
dari perikatan apabila ia dapat membuktikan bahwa musnahnya benda tersebut
disebabkan oleh kejadian diluar kekuasaannya. Dengan kedudukan debitur yang
sudah hapus dari perikatan, maka segala hak yang mungkin dapat dilakukannya
terhadap pihak ketiga atas obyek tersebut wajib diserahkan kepada kreditur. Hal
ini selaras dengan risiko yang ada di tangan pembeli sejak terjadinya jual-beli
sebagaimana diatur dalam Pasal 1460 KUH Perdata. Apabila oleh karena satu atau
lain hal risiko ditanggung oleh penjual, maka hak untuk menuntut atas benda yang
musnah juga berada pada penjual.
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
32
Universitas Indonesia
2.4.8 Batal / pembatalan
Perjanjian yang tidak memenuhi syarat subyektif dapat dilakukan
pembatalan melalui dua cara. Pertama, secara aktif menuntut pembatalan
perjanjian di depan hakim. Kedua, secara pembelaan, yaitu menuggu sampai
digugat di depan hakim untuk memenuhi perjanjian dan pada saat itulah
menunjukkan kekurangan perjanjian tersebut. Untuk penuntutan aktif dibatasi
dengan jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana diatur dalam Pasal 1454 KUH
Perdata, sedangkan untuk pembatalan secara pembelaan tidak terdapat batas
waktu. Penuntutan pembatalan tidak akan diterima hakim apabila sudah ada
“penerimaan baik” dari pihak yang dirugikan karena “penerimaan baik” dianggap
sebagai pelepasan hak atas permintaan pembatalan perjanjian. Akan tetapi KUH
Perdata tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan ‘penerimaan baik’, undang-
undang hanya menyatakan bahwa tuntutan pernyataan pembatalan gugur apabila
pihak yang tidak memenuhi syarat subyektif dalam perjanjian secara tegas atau
diam-diam telah menguatkan perikatannya.72
2.4.9 Berlakunya suatu syarat batal
Perikatan bersyarat adalah perikatan yang nasibnya digantungkan ada
suatu peristiwa yang masih akan datang dan masih belum tentu akan terjadi.73
Terdapat dua kemungkinan yaitu pertama, perikatan dilahirkan hanya apabila
peristiwa yang dimaksud itu terjadi. Kedua, perikatan yang sudah dilahirkan justru
berakhir atau dibatalkan apabila peristiwa yang dimaksud itu terjadi. Perikatan
semacam ini dinamakan suatu perikatan dengan suatu syarat batal. Sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 1265 KUH Perdata, syarat batal adalah suatu syarat yang
apabila terpenuhi, menghentikan perjanjian dan membawa segala sesuatu kembali
pada keadaan semula seolah-olah tidak pernah terjadi perjanjian. Dari pasal
tersebut juga dapat disimpulkan bahwa suatu syarat batal berlaku surut hingga
saat lahirnya perjanjian.
72 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, ps. 1456. 73 Subekti (a), loc. cit., hal. 76
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
33
Universitas Indonesia
2.4.10 Lewatnya waktu
Pasal 1496 KUH Perdata memberi pengertian daluwarsa, yaitu
“suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang.”
Terdapat dua macam daluwarsa yaitu daluwarsa acquisitif dan
daluwarsa extinctive.74 Daluwarsa acquisitif adalah daluwarsa untuk
memperoleh suatu hak milik atas suatu barang sedangkan daluwarsa
extinctive adalah daluwarsa untuk dibebaskan dari suatu perikatan.
Daluwarsa acqusitif diatur dalam Buku II tentang Benda sedangkan
daluwarsa extinctif diatur dalam Buku IV bersama-sama dengan
pembuktian. Pada dasarnya, Pasal 1967 KUH Perdata mengatur bahwa
segala tuntutan hapus daluwarsa dengan lewatnya waktu 30 (tiga puluh)
tahun. Dengan lewatnya waktu, hapuslah setiap perikatan hukum dan
tinggalah suatu perikatan bebas yang artinya pemenuhan prestasi dapat
dilakukan tetapi tidak dapat dituntut di depan hakim.
74 Subekti (a), loc. cit., hal. 77.
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
34
Universitas Indonesia
BAB 3
LANDASAN TEORI MENGENAI WARALABA, LISENSI DAN
DISTRIBUTORSHIP
3.1 LANDASAN TEORI WARALABA
3.1.1 Pengertian Umum Waralaba
Franchise berasal dari bahasa Perancis yang berarti bebas atau bebas dari
perhambaan atau perbudakan (free from servitude). Apabila dihubungkan dengan
konteks usaha, franchise berarti kebebasan yang diperoleh seseorang untuk
menjalankan sendiri suatu usaha tertentu di wilayah tertentu. Sedangkan
pewaralabaan (franchising) adalah suatu aktivitas dengan sistem waralaba
(franchise), yaitu suatu sistem keterkaitan usaha yang saling menguntungkan
antara Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba.75
Berikut adalah beberapa definisi yang diberikan sumber yang
berkompeten:
a. Gareth R. Jones dan Jennifer M. George
“Franchising is selling to a foreign organization the rights to use a brand name and operating know-how in return for a lump-sump payment and a share of the profits.”76
Menurut Jones dan George, franchising adalah menjual kepada pihak
mencanegara suatu merek sekaligus cara pengoperasiannya untuk mendapatkan
sejumlah pembayaran yang disebut initial fee atau franchise fee dan bagian dari
keuntungan yang disebut royalty.
b. Pradmod Khera
“Franchisisng is a method of distribution that a Pemberi Waralaba, who has perfected a business concept, adopts to
75 Iman Sjahputra Tunggal, Franchising Konsep & Kasus, (Jakarta: 2004, Harvarindo), hal. 1. 76 Gareth R. Jones dan Jennifer M. George, Contemporary Management, ed. 3, (McGraw-Hill: Irwin, 2003), hal. 1.
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
35
Universitas Indonesia
transfers the knowledge, with a follow-up mechanism, to a Penerima Waralaba wanting to set up a entrepreneurial business. Franchising uses the strength, power and experience of the ‘chain’ or ‘network’ of a large organization and entrepreneurial skills and commitment of a proprieter or a small business unit.”77
Menurut definisi Khera, selain adanya transfer pengetahuan dan
mekanisme tindak lanjut, ‘mata rantai’ atau ‘jaringan’ dari organisasi besar
merupakan kata kunci dan faktor keberhasilan sistem waralaba.
c. Gregory Matusky (The Franchise Hall of Fame, 1994)
“The science of franshising is an exacting one; products and services are delivered according to tightly wrapped operating formulas. There is no variance. A product is developed and honed under the watchful eye of the Pemberi Waralaba, then offered by Penerima Waralabas under strict quality standards. The result: a democratization of products and services. Hamburgers that taste as good in Boston as in Beijing.”78
Definisi dari Matusky menekankan standarisasi kualitas dalam
pewaralabaan karena ketatnya pengawasan Pemberi Waralaba dan kewajiban
untuk mematuhi sistem operasional yang sudah ditetapkan. Dapat disimpulkan
dari definisi tersebut bahwa tidak ada ruang dan kebebasan bagi Penerima
Waralaba untuk menetapkan peraturan sendiri. Akibatnya adalah kualitas produk
yang sama dimanapun unit franchise di buka.
Di Indonesia, konsep franchise diterjemahkan dengan istilah waralaba.
Kata ‘waralaba’ pertama kali diperkenalkan oleh Lembaga Pendidikan dan
Pembinaan Manajemen (LPPM) sebagai pandanan kata franchise. Waralaba
berasal dari kata ‘wara’ yang berarti lebih atau istimewa dan ‘laba’ berarti untung.
Dengan demikian, waralaba berarti usaha yang memberikan keuntungan yang
lebih atau istimewa, berbeda dengan sistem bisnis konvensional yang sudah ada.79
77 Pradmod Khera, Franchising: The Route Map to Rapid Business Excellence, (Tata McGraw-Hill Publishing Company Ltd.: New Delhi, 2001), p. 3. 78 Gregory Matusky, “The Franchise Hall of Fame”, dalam Iman Sjahputra Tunggal, Franchising Konsep & Kasus, (Jakarta: 2004, Harvarindo), hal. 3. 79 Hakim, loc. cit. hal. 16.
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
36
Universitas Indonesia
Selain definisi yang berasal dari narasumber asing, berikut adalah definisi
dari pakar waralaba Indonesia:
d. V. Winarto
“Waralaba adalah hubungan kemitraan antara usahawan yang usahanya kuat dan sukses dengan usahawan yang relatif baru atau lemah dalam usaha tersebut dengan tujuan saling menguntungkan khususnya dalam bidang usaha penyediaan produk dan jasa langsung kepada konsumen.”80
e. Iman Sjahputra Tunggal
“Salah satu bentuk kesepakatan yaitu pemilik dari suatu produk atau jasa mengizinkan orang lain untuk membeli hak distribusi produk atau jasa tersebut dan mengoperasikannya dengan bantuan pemilik.”81
Terakhir, Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 Tentang Waralaba (PP
Waralaba) Pasal 1 ayat (1) juga mengatur definisi waralaba sebagai berikut:
“Waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba.”
3.1.2 Elemen-elemen Pokok Waralaba
Berdasarkan semua pengertian yang telah dipaparkan diatas, dapat
disimpulkan bahwa franchise pada dasarnya mengandung elemen-elemen pokok
sebagai berikut:82
a. Pemberi Waralaba yaitu pihak pemilik/ produsen dari barang atau jasa yang
telah memiliki merek tertentu serta memberikan atau melisensikan hak
eksklusif tertentu untuk pemasaran dari barang atau jasa.
b. Penerima Waralaba yaitu pihak yang menerima hak eksklusif itu dari
Pemberi Waralaba.
80 V. Winarto, “Pengembangan Waralaba (Franchising) di Indonesia: Aspek Hukum dan Non Hukum”, dalam Juajir Sumadji, Aspek-aspek Hukum Franchise dan Perusahaan Transnasional, (PT. Citra Aditya Bakti: Bandung, 1995), hal. 19. 81 Tunggal, loc. cit., hal. 44. 82 P. Lindawaty S. Sewu, Franchise: Pola Bisnis Spektakuler dalam Perspektif Hukum dan Ekonomi, CV. Utomo, Bandung, 2004, hlm. 13-14.
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
37
Universitas Indonesia
c. Penyerahan hak-hak secara eksklusif yang meliputi berbagai macam hak
milik intelektual atau hak milik perindustrian dari Pemberi Waralaba
kepada Penerima Waralaba.
d. Franchise area yaitu penetapan wilayah di mana Penerima Waralaba
diberikan hak untuk beroperasi di wilayah tertentu. Hak tersebut juga
merupakan batasan wilayah bagi Penerima Waralaba untuk melakukan
usaha.
e. Adanya imbal-prestasi dari Penerima Waralaba kepada Pemberi Waralaba
yang berupa initial fee, royalty serta biaya-biaya lain yang disepakati kedua
belah pihak.
f. Adanya standar mutu yang ditetapkan oleh Pemberi Waralaba bagi
Penerima Waralaba, serta supervisi secara sukarela dalam rangka
mempertahankan mutu.
g. Adanya pelatihan awal yang bersifat berkesinambungan, yang
diselenggarakan oleh Pemberi Waralaba guna peningkatan keterampilan.
Menurut Robert T. Justis dan William Slater Vincent, terdapat tiga elemen
penting dari mekanisme franchise, yaitu:83
a. Penerima Waralaba yang menggunakan nama Pemberi Waralaba dan
mereknya.
b. Pemberi Waralaba menyediakan bagi Penerima Waralaba berupa bantuan
yang diperlukan Penerima Waralaba untuk menjalankan bisnisnya.
c. Penerima Waralaba membayar kepada Pemberi Waralaba sejumlah uang
dalam kurun waktu satu semester.
Dari uraian elemen tersebut, dapat disimpulkan bahwa Pemberi Waralaba,
Penerima Waralaba dan initial franchise fee adalah tiga elemen yang harus ada
dalam franchise. Namun apabila dicermati, fenomena yang terkadang terjadi
83 Robert T. Julius dan William Slater Vincent, Achieving Wealth Through Franchising: A Comprehensive Manual to Finding, Starting and Succeeding in a Franchise Business, (Adam Media Corp, 2001), hal. 400.
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
38
Universitas Indonesia
adalah penawaran usaha dengan sistem franchise tanpa dikenakan initial franchise
fee. Fenomena itu dapat terjadi apabila:84
a. Pemberi Waralaba belum berpengalaman sehingga kompetensinya belum
layak jual. Kurangnya pengalaman Pemberi Waralaba menunjukkan tingkat
keberhasilan usaha yang belum terjamin.
b. Sistem belum teruji dalam kurun waktu yang lama.
c. Pemberi Waralaba hanya menghendaki Penerima Waralaba sebagai
perpanjangan tangan dari pemasaran produknya sehingga dapat
menjangkau pasar yang lebih luas.
d. Prospek pasar dari usaha yang dikembangkan itu belum teruji secara
menyeluruh sehingga usaha franchise tersebut belum bernilai tinggi.
3.1.3 Tipe-Tipe Waralaba
Secara umum, sistem franchise dibedakan menjadi dua kategori besar,
yaitu Waralaba Produk dan Merek Dagang, serta Waralaba Format Bisnis. Leon
C. Megginson dan kawan-kawannya membagi dua tipe sistem kewaralabaan
sebagai berikut:85
a. Product and Trademark Franchising (Waralaba Produk dan Merek
Dagang)
Dalam format ini, Pemberi Waralaba memberikan kepada Penerima
Waralaba hak untuk menjual secara luas suatu produk atau brand tertentu.
Dalam hal ini, Pemberi Waralaba menghasilkan produk dan Penerima
Waralaba menyediakan outlet untuk produk yang dihasilkan Pemberi
Waralaba. Contoh franchise tipe ini adalah Shell dimana Pemberi Waralaba
yang berpusat di Belanda yang memproses gas dan minyak dan Penerima
Waralaba di Indonesia hanya menjual produk dengan menggunakan merek
Shell dan menyediakan outlet sesuai dengan ketentuan dari Pemberi
Waralaba.
84 Hakim, loc. cit., hal. 20. 85 Leon C. Megginson, Mary Jane Byrd, dan William L. Megginson, Small Business Management: an Entrepreneur’s Guidebook, (Irwin: McGraw-Hill, 2003), hal. 79.
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
39
Universitas Indonesia
b. Business Format Franchising (Waralaba Format Bisnis)
Franshisor memberikan kepada Penerima Waralaba hak untuk memasarkan
suatu produk atau merek dagang tertentu serta menggunakan sistem operasi
lengkap dari Pemberi Waralaba. Dalam format ini, Penerima Waralaba
diberi lisensi untuk melakukan usaha dengan menggunakan paket bisnis
dan merek dagang yang telah dikembangkan oleh Pemberi Waralaba.
Contoh yang paling sering digunakan adalah McDonald dimana Penerima
Waralaba di seluruh dunia tidak hanya menjual produk McDonald tetapi
juga menggunakan sistem operasional dari Pemberi Waralaba dari
ketentuan proses persiapan makanan hingga metode pelayanan terhadap
pelanggan.
Selain Product and Trademark Franchising dan Business Format
Franchisin, Iman Sjahputra Tunggal menambahkan satu jenis waralaba yang tidak
disebutkan oleh Leon C. Megginson dan kawan-kawannya , yaitu Manufacturing
franchising (Product distribution franchising). Pembagian jenis waralaba menurut
Iman Sjahputra Tunggal adalah sebagai berikut:86
a. Product franchising (trade-name franchising)
Dalam tipe franchising ini, dealer diberikan hak untuk mendistribusikan
dan menjual produk manufacturer. Untuk hak tersebut, dealer membayar
fee kepada produsen. Praktik ini pertama kali digunakan oleh Singer
Corporation yang mendistribusikan mesin jahitnya, kemudian tipe
franchise ini digunakan dalam usaha pompa bensin dan industri otomotif.
b. Manufacturing franchising (Product distribution franchising)
Dalam jenis franchising ini, francisor memberikan hak eksklusif kepada
Penerima Waralaba untuk memproduksi dan mendistribusikan produk di
daerah tertentu. Franchise tipe ini paling umum digunakan dalam industri
minuman ringan seperi Pepsi Cola dan Coca-Cola.
86 Tunggal, loc. cit., hal. 16
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
40
Universitas Indonesia
c. Business-format franchising (Pure/ comprehensive franchising)
Pemberi Waralaba menawarkan serangkaian jasa yang luas kepada
Penerima Waralaba, dari pemasaran, pelatihan, produksi dari manual,
standar operasi sampai pediman pengendalian mutu. Tipe franchise ini
adalah bentuk yang paling populer dan mencakup lebih kurang 75% dari
outlet waralaba di Amerika Serikat. Tipe franchise ini juga merupakan tipe
yang paling populer di Indonesia. Hal ini karena usaha franchise yang ada
di Indonesia berasal dari Amerika Serikat yang menganut sistem franchise
seperti ini.
3.1.4 Franchise Disclosure Act
Pada tahun 1968 di Amerika Selatan ketika konsep franchise sedang
berkembang pesat, banyak terjadi penyimpangan konsep-konsep franchise. Oleh
karena itu, pemerintah Amerika Serikat pada tahun 1979 mengeluarkan Franchise
Disclosure Act yang mewajibkan pihak Pemberi Waralaba menerbitkan buku
prospektus atas jasa dan produk yang di-franchise-kan. Tujuannya agar pihak
Penerima Waralaba dapat membaca semua dokumen sebelum mengadakan
perjanjian franchise.87
Dalam prospektus harus diuraikan informasi tentang company profile,
keterangan tentang pejabat-pejabat yang menangani perusahaan, tindakan hukum
yang pernah dilakukan, audit perusahaan, dan semua data perusahaan yang
bersangkutan. Maksud dari informasi ini agar pihak Penerima Waralaba dapat
mengetahui segala informasi mengenai perusahaan Pemberi Waralaba, mencakup
segala aspek yang dapat mempengaruhi kerja sama di masa depan, sehingga
Penerima Waralaba dapat mengambil suatu kesimpulan sebelum mengadakan
perjanjian.
Di Indonesia, prospektus penawaran waralaba juga merupakan buku yang
wajib dikeluarkan oleh Pemberi Waralaba. Hal ini diatur dalam Pasal 7 ayat (1)
PP Waralaba. Selanjutnya Pasal 7 ayat (2) mengatur hal-hal yang wajib dimuat
dalam prospektus seperti data identitas Pemberi Waralaba, legalitas usaha
Pemberi Waralaba, sejarah kegiatan usaha Pemberi Waralaba, struktur organisasi
87 Tunggal, loc. cit., hal. 5-8.
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
41
Universitas Indonesia
Pemberi Waralaba, laporan keuangan 2 (dua) tahun terakhir, jumlah tempat usaha,
daftar Penerima Waralaba dan hak dan kewajiban frachisor dan Penerima
Waralaba.
Esensi dari Franchise Disclosure Act dan kewajiban prospektus
penawaran waralaba adalah perlunya transparansi atau keterbukaan dari pihak
Pemberi Waralaba, agar tidak ada salah satu pihak yang dirugikan dalam
perjanjian waralaba. Dengan demikian, penyimpangan dapat di minimalisir dan
kepastian hukum lebih terjamin. Bagian berikutnya akan diterangkan pentingnya
transparansi bagi Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba.
3.1.5 Transparansi dalam Waralaba
Transparansi adalah unsur yang sangat penting dalam sistem usaha
waralaba, baik bagi Pemberi Waralaba maupun bagi Penerima Waralaba. Dengan
adanya transparansi dari kedua belah pihak, potensi konflik dapat berkurang dan
keberhasilan usaha lebih terjamin karena transaparansi dalam menjalankan usaha
dapat menghasilkan perkembangan yang berkelanjutan.
Pemberi Waralaba adalah kepala dari sebuah jaringan franchise yang
bertanggung jawab untuk memimpin seluruh jaringan franchise-nya dan Penerima
Waralaba-nya. Integritas dan wibawa seorang pemimpin akan mempengaruhi
sikap Penerima Waralaba dalam menjalankan usaha. Apabila franshisor tidak
transparan, maka semakin besarlah peluang kegagalan dari Penerima Waralaba-
Penerima Waralaba di dalam naungan merek dagang yang di-franchise-kan.88
Contoh kekecewaan yang paling sering dialami oleh Penerima Waralaba adalah
penawaran yang terlalu menjanjikan (overpromising) demi merebut perhatian
calon investor. Hal ini dilakukan dengan cara penggelembungan estimasi angka
penjualan dan tingkat laba, serta pengecilan pada aspek biaya, sehingga perkiraan
waktu Break Even Point (BEP) menjadi jauh lebih pendek. Akibatnya, Penerima
Waralaba akan kecewa apabila kinerja outlet franhise-nya tidak sebaik yang
dijanjikan dan kinerja Pemberi Waralaba yang tidak sesuai janji. Fenomena
seperti ini dapat mengakibatkan pertikaian dan kerugian bagi kedua belah pihak.
88 Hakim, loc. cit., hal. 88.
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
42
Universitas Indonesia
Oleh sebab itu, sangatlah penting bagi Pemberi Waralaba untuk memberikan
gambaran tentang peluang Penerima Waralaba-nya secara realistik dan akurat.
Disisi lain, Penerima Waralaba juga harus menerapkan konsep
transparansi demi menjamin kelangsungan operasional waralaba dan dukungan
waralaba. Rekayasa data yang sering dilakukan oleh Penerima Waralaba adalah
memperkecil kewajiban royaltinya. Sesungguhnya langkah ini dapat berdampak
negatif bagi Penerima Waralaba itu sendiri karena pada dasarnya, dana yang
diperoleh franshisor dari kewajiban royalti digunakan untuk memberikan
dukungan operasional, asisten, maupun dukungan pemasaran. Rekayasa data dari
pihak Penerima Waralaba akan mengakibatkan Pemberi Waralaba tidak dapat
memberikan dukungan yang layak kepada Penerima Waralaba dan akhirnya,
usaha franchise tidak berkembang dan usaha terancam pailit. Selain rekayasa
penyimpangan data, yang sering terjadi adalah Penerima Waralaba yang berubah
menjadi saingan usaha (competitor). Hal ini terjadi apabila Penerima Waralaba
merasa sudah menguasai seluruh rahasia atau competitive advantage dari Pemberi
Waralaba, dan merasa sudah tidak memerlukan dukungan Pemberi Waralaba lagi
dalam menjalankan usahanya. Penerima Waralaba seperti sangat merugikan
Pemberi Waralaba dan menambah beban usaha Pemberi Waralaba.
Salah satu cara Pemberi Waralaba untuk menjamin transparansi adalah
menciptakan sistem waralaba yang transparan, melalui empat hal sebagai
berikut:89
• Pemberi Waralaba sebagai pemimpin harus meberikan informasi yang
benar kepada Penerima Waralaba-nya agar Penerima Waralaba merasa
aman berada dalam jaringan yang jujur dan transparan.
• Pemberi Waralaba harus memiliki sistem monitoring yang solid dalam
memantau pembayaran royalti, jumlah penjualan, logistik pembelian dari
Penerima Waralaba. Dengan memperkecil peluang kecurangan dari
Penerima Waralaba, secara otomatis motivasi untuk penyimpangan juga
akan berkurang dari sisi Penerima Waralaba.
89 Hand Consulting, dalam majalah Info Franchise No.08/II/15 (15 Agustus-14 September 2007) : 44-45 dalam Hakim, loc. cit., hal. 91.
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
43
Universitas Indonesia
• Pemberi Waralaba harus dapat menciptakan sebuah situasi ketergantungan
pada Penerima Waralaba-nya. Hal ini dapat berupa bahan dasar, pelatihan-
pelatihan, riset yang berkesinambungan, dan lain-lain. Ketergantungan
inilah yang dapat menghindari situasi dimana Penerima Waralaba menjadi
pesaing usaha Pemberi Waralaba.
• Pemberi Waralaba harus dapat membesarkan nama atau merek dagang dari
jaringan franchise. Dengan demikian, Penerima Waralaba akan sulit untuk
bersaing dengan Pemberi Waralaba dalam banyak segi seperti
mendapatkan lokasi yang strategis, harga yang bersaing, dan kepercayaan
dari pembeli dan menjadi pelanggan tetap.
Menciptakan sistem yang baik merupakan tanggung jawab
Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba. Apabila merek dagang itu
memiliki nilai goodwill yang tinggi di masyarakat, maka Penerima
Waralaba juga akan turut menuai keuntungan. Oleh sebab itu, Penerima
Waralaba dan Pemberi Waralaba seharusnya saling mendukung agar
usaha waralaba terus berkembang dan menjadi besar sehingga kedua
belah pihak mendapat keuntungan yang terus berlanjut.
3.1.6 Pengaturan Waralaba di Indonesia
Waralaba sebagai suatu bentuk perjanjian, tunduk pada ketentuan umum
yang berlaku bagi sahnya suatu perjanjian sebagaimana diatur dalam Buku III
KUH Perdata. Hal ini ditetapkan dalam Pasal 1319 KUH Perdata yang
menyatakan bahwa semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus maupun
tidak, tunduk pada peraturan-peraturan umum yang termuat didalam Bab III KUH
Perdata dan Bab sebelumnya. Selain itu, waralaba juga diatur secara khusus
dalam:
a. Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 Tentang Waralaba
b. Peraturan Menteri Perdagangan No. 31/M-DAG/PER/8/2008 Tentang
Penyelenggaraan Waralaba.
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
44
Universitas Indonesia
Pasal 1 angka 7 dari Peraturan Menteri Perdagangan No. 31/M-
DAG/PER/8/2008 Tentang Penyelenggaraan Waralaba (Permendag Waralaba)
memberikan definisi Perjanjian Waralaba sebagai berikut:
“Perjanjian waralaba adalah perjanjian secara tertulis antara Pemberi Waralaba dengan Penerima Waralaba.”
Dari rumusan pasal tersebut, dapat diketahui bahwa waralaba merupakan
suatu perjanjian antara dua pihak. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa
waralaba tunduk pada ketentuan tentang perjanjian dalam Pasal 1313 KUH
Perdata, sahnya perjanjian dalam Pasal 1320 KUH Perdata, dan ketentuan Pasal
1338 KUH Perdata.
Mengenai format perjanjian waralaba, Pasal 5 Peraturan Menteri
Perdagangan tentang Penyelenggaraan Waralaba hanya mengatur bahwa
perjanjian harus dalam bentuk tertulis dan terhadap perjanjian tersebut berlaku
hukum Indonesia. selain itu, apabila perjanjian ditulis dalam bahasa asing, maka
perjanjian tersebut harus diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.
Ketentuan ini sejalan dengan Undang-Undang No. 24 Tahun 2009 Tentang
Bendera, Bahasa dan Lambang Negara Serta Lagu Kebangsaan (UU No. 24
Tahun 2009) yang mengatur mengenai kewajiban menggunakan Bahasa Indonesia
dalam perjanjian yang melibatkan warga negara Indonesia yang diatur dalam
Pasal 31 UU No. 24 Tahun 2009. Selanjutnya ayat (2) dari pasal tersebut
menyebutkan bahwa perjanjian dengan pihak asing ditulis juga dalam bahasa
nasional pihak asing tersebut atau bahasa Inggris. Walaupun demikian, terdapat
berbagai perdebatan mengenai ketentuan ini terutama apabila salah satu pihak
adalah warga negara asing dan perjanjian yang ditandatangani para pihak sebagai
perjanjian asli adalah perjanjian dalam Bahasa Inggris. Apabila terjadi sengketa,
akan timbul kerancuan mengenai perjanjian yang dianggap sebagai perjanjian asli
dan digunakan sebagai pedoman dalam melakukan interpretasi. Apabila ditelaah
lebih jauh, akan lebih baik apabila penerjemah tersumpah adalah seorang sarjana
hukum sehingga dapat meminimalisir kemungkinan perbedaan interpretasi
perjanjian.
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
45
Universitas Indonesia
3.1.7 Asas-asas Perjanjian Waralaba
Waralaba merupakan suatu perjanjian yang bertimbal balik karena, baik
Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba , keduanya berkewajiban untuk
memenuhi prestasi tertentu.90 Perjanjian waralaba menjelaskan apa yang boleh
dan tidak boleh dilakukan. Dengan kata lain, perjanjian waralaba mencantumkan
kewajiban dan tanggung jawab setiap pihak. Dengan demikian, asas-asas
perjanjian franchise sebaiknya didasarkan pada:91
a. Asas Kebebasan Berkontrak
Pasal 1338 KUH Perdata menyatakan bahwa semua persetujuan yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya.
b. Asas Konsensualitas
Perjanjian sudah dianggap ada saat tercapainya kesepakatan tentang hal-
hal yang diperjanjikan. Akan tetapi dalam perjanjian waralaba, asas
konsensualitas harus ditindaklanjuti dengan tindakan formil yaitu
perjanjian harus dibuat dalam bentuk tertulis sebagaimana ditetapkan
dalam Pasal 1 angka 7 Permendag Waralaba dan Pasal 4 PP Waralaba.
c. Asas Itikad Baik
Pemberi Waralaba dengan itikad baik harus menjamin hak-hak yang akan
diberikan kepada Penerima Waralaba itu benar-benar miliknya, bukan
sebagai hasil kejahatan, dan pihak Penerima Waralaba harus mewujudkan
kewajiban yang harus diberikan kepada Pemberi Waralaba dengan baik.
d. Asas Kerahasiaan
Pada dasarnya bisnis dengan pola waralaba sangat mengandalkan ciri khas
satu produk barang/jasa. Apabila rahasia usaha (trade secret know-how)
tidak dijaga dengan baik, akan merugikan Pemberi Waralaba karena ciri
90 Gunawan Widjaja, Waralaba, cet. 2, (Jakarta: PT RajaGRafindo Persada,2003), hal. 77. 91 Tunggal, loc. cit., hal. 55.
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
46
Universitas Indonesia
khas usaha telah bocor dan diketahui pihak ketiga yang dapat
menggunakan ciri khas tersebut untuk menjadi pesaing.
e. Asas Persamaan Hukum
Perjanjian bisnis waralaba hendaknya dibuat atas dasar kesamaan hak di depan
hukum, baik bagi pemberi hak waralaba maupun penerima hak waralaba.
f. Asas keseimbangan
Asas keseimbangan menekankan pada keseimbangan antara hak dan
kewajiban dari para pihak secara wajar dengan tidak membebani salah satu
pihak saja.
3.1.8 Hak dan Kewajiban Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba
a. Hak dan Kewajiban Pemberi Waralaba
Dalam perjanjian waralaba harus ada keseimbangan antara hak dan
kewajiban diantara kedua belah pihak, yaitu Pemberi Waralaba dan Penerima
Waralaba. Sebagai pihak yang berhasil mengembangkan usahanya, Pemberi
Waralaba mempunyai beberapa hak pada saat ia mengizinkan pihak lain
bergabung.
(i) Hak Pemberi Waralaba
PP Waralaba, dan Permendag Waralaba tidak mengatur hak Pemberi
Waralaba secara eksplisit, namun hak Pemberi Waralaba dapat disimpulkan dari
praktek umum seperti yang disimpulkan oleh Iman Sjahputra Tunggal. Menurut
Iman Sjahputra Tunggal, hak Pemberi Waralaba antara lain adalah sebagai
berikut:92
• Menerima setoran dari Penerima Waralaba
• Menerima laporan secara berkala
• Memeriksa pembukuan Penerima Waralaba
• Memeriksa usaha Penerima Waralaba
92 Tunggal, loc. cit., hal. 45-46.
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
47
Universitas Indonesia
• Memutuskan hubungan kemitraan karena pelanggaran oleh Penerima
Waralaba
• Membeli kembali waralaba pada saat pemutusan hubungan kemitraan.
• Membeli kembali waralaba pada saat dijual oleh Penerima Waralaba.
(ii) Kewajiban Pemberi Waralaba
Di sisi lain, perundang-undangan mengenai waralaba mengatur dengan
jelas kewajiban-kewajiban Pemberi Waralaba. Berdasarkan PP Waralaba dan
Permendag Waralaba, kewajiban Pemberi Waralaba adalah sebagai berikut:
• Memberikan prospektus penawaran waralaba kepada calon Penerima
Waralaba saat melakukan penawaran (Pasal 7 PP Waralaba). Prospektus
harus diberikan paling singkat 2 (dua) minggu sebelum penandatanganan
perjanjian waralaba (Pasal 4 Permendag Waralaba)
• Memberikan pembinaan dalam bentuk pelatihan, bimbingan operasional
manajemen, pemasaran, penelitian, dan pengembangan kepada Penerima
Waralaba secara berkesinambungan (Pasal 8 PP Waralaba dan Pasal 21
Permendag Waralaba).
• Mengutamakan barang atau jasa hasil produk dalam negeri sepanjang
memenuhi kriteria standar yang ditetapkan (Pasal 9 ayat (1) PP Waralaba).
• Bekerjasama dengan pengusaha kecil dan menengah di daerah setempat
sebagai Penerima Waralaba atau pemasok barang dan/atau jasa sepanjang
memenuhi ketentuan persyaratan yang ditetapkan oleh Pemberi Waralaba
(Pasal 9 ayat (2) PP Waralaba).
• Mendaftarkan prospektus penawaran Waralaba sebelum membuat
perjanjian Waralaba dengan Penerima Waralaba sehingga mendapatkan
Surat Tanda Pendaftaran Waralaba, selanjutnya disebut sebagai STPW
(Pasal 10 PP Waralaba dan Pasal 7 ayat (1) Permendag Waralaba)
• Menyampaikan laporan kegiatan waralaba kepada Direktur Jenderal
Perdagangan Dalam Negeri cq. Direktur Bina Usaha dan Pendaftaran
Perusahaan dengan tembusan kepada Kepala Dinas yang
bertanggungjawab di bidang perdagangan di kabupaten/kota setempat
(Pasal 24 Permendag Waralaba)
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
48
Universitas Indonesia
Selain kewajiban yang diatur dalam perundang-undangan, menurut Iman
Sjahputra Tunggal, kewajiban Pemberi Waralaba juga mencakup antara lain:93
• Membantu memilih lokasi usaha
• Membantu pengembangan usaha
• Menyediakan operational manual usaha
• Membantu mengembangkan kampanye promosi pengembangan usaha
• Menyediakan program pelatihan bagi Penerima Waralaba
• Memberikan bimbingan dan petunjuk untuk mengurus dan pendaftaran
izin usaha
• Menyediakan staff yang melakukan supervisi masa awal berdirinya
waralaba
• Memberikan materi promosi
Memberikan hak penggunaan nama, cap dagang, rancangan dan logo
kepada Penerima Waralaba.
b. Hak dan Kewajiban Penerima Waralaba
(i) Hak Penerima Waralaba
PP Waralaba dan Permendag Waralaba hanya mengatur satu kewajiban
Penerima Waralaba, yaitu mendaftarkan perjanjian Waralaba sehingga
mendapatkan STPW (Pasal 11 PP Waralaba dan Pasal 7 ayat (2) Permendag
Waralaba). Namun berdasarkan kewajiban yang Pemberi Waralaba, dapat
disimpukan hak Penerima Waralaba. Menurut Iman Sjahputra Tunggal, hak
Penerima Waralaba antara lain adalah sebagai berikut:94
• Memperoleh petunjuk dan bantuan
• Meggunakan nama, citra, dan sistem
• Memperoleh persediaan produk
• Menjual waralaba kepada pembeli yang disetujui
93 Tunggal loc. cit., hal. 46. 94 Ibid.
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
49
Universitas Indonesia
• Memutuskan perjanjian waralaba apabila perjanjian waralaba dilanggar
oleh Pemberi Waralaba.
(ii) Kewajiban Penerima Waralaba
Kewajiban Penerima Waralaba tidak diatur secara eksplisit dalam
perundang-undangan mengenai waralaba namun dapat disimpulkan dari praktek
usaha waralaba. Menurut Iman Sjahputra Tunggal, kewajiban Penerima Waralaba
antara lain adalah:95
• Memberi informasi posisi keuangan yang akurat
• Memberi izin pemeriksaan usaha
• Menghadiri program pelatihan awal
• Mengembangkan waralaba sesuai standar yang ditentukan
• Membayar biaya-biaya waralaba
• Hanya menjual produk dan jasa yang telah disetujui
• Membeli persediaan bahan dan tingkat persediaanya, sesuai standar.
• Menggunakan bahan promosi, manual operasi usaha sesuai standar.
Selain kewajiban operasional, juga terdapat kewajiban biaya-biaya yang
dibebankan pada Penerima Waralaba, antara lain adalah:96
• Pembayaran awal
Pembayaran awal dilaksanakan setelah Pemberi Waralaba dan Penerima
Waralaba menyetujui isi perjanjian yang ditawarkan Pemberi Waralaba.
Pembayaran awal mencakup biaya keseluruhan mulai dari initial fee /
franchise fee, pembukaan outlet hingga pelaksanaan operasi awal.
• Pembayaran selama sistem berjalan
Pembayaran ini mencakup royalti, pembayaran atas promosi dan iklan,
administrasi dan fasilitas lain.
• Pembayaran atas pengalihan hak
95 Ibid. 96 Ibid.
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
50
Universitas Indonesia
Pembayaran dilakukan apabila Penerima Waralaba menjual sistem
waralaba kepada calon Penerima Waralaba yang disetujui Pemberi
Waralaba.
• Penyediaan produk
3.1.9 Hal-hal Yang Diatur dalam Perjanjian Waralaba
Kotrak frachise pada dasarnya merupakan kontrak baku yang dibuat oleh
Pemberi Waralaba dan diberlakukan terhadap semua Penerima Waralaba tanpa
terkecuali.97 Kontrak tersebut adalah sarana yang menentukan bagaimana sebuah
bisnis dapat dilakukan secara bersama-sama dengan baik karena dalam kontraklah
akan diatur segala hak dan kewajiban, dan ketentuan usaha yang akan dijalankan
dalam kerjasama antara Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba. Oleh karena
fungsinya yang penting, penyusunan kontrak franchise harus mencantumkan
setidaknya hal-hal umum yang diatur dalam PP Waralaba dan Kepmendag
Waralaba.
a. Hal-hal Umum dalam Perjanjian Waralaba
Hal-hal yang diatur dalam perjanjian waralaba terdiri dari hal-hal umum
dan khusus. Hal-hal yang umum diatur dalam Pasal 5 PP Waralaba dan Lampiran
II Kepmendag Waralaba. Apabila digabungkan, secara ringkas, hal-hal umum
dalam perjanjian waralaba adalah sebagai berikut:
(i) Nama dan alamat para pihak, yaitu nama dan alamat perusahaan dan
penanggung jawab perusahaan yang mengadakan perjanjian. Pemberi
Waralaba wajib memiliki SIUP (Surat Izin Usaha Perdagangan) dan atau
Izin Usaha dari Departemen Teknis lainnya untuk menunjukkan legalitas
usaha.98
(ii) Jenis Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) Pemberi Waralaba, seperti merek
dan logo perusahaan, desain outlet/gerai, sistem manajemen/pemasaran
97 Suryono Ekotama, Cara Gampang Bikin Bisnis Franchise, (Yogyakarta: MedPress, 2008), hal. 98. 98 Hakim, loc. cit., hal. 71.
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
51
Universitas Indonesia
atau racikan bumbu masakan yang diwaralabakan. Para pihak akan
menegaskan kembali jenis waralaba yang diberikan apakah hanya
terbatas pada waralaba nama dagang dan atau produk, atau meliputi
format bisnis.99
(iii)Kegiatan usaha yang diperjanjikan
(iv) Hak dan kewajiban Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba.
(v) Bantuan, fasilitas, bimbingan operasional, pelatihan, dan pemasaran yang
diberikan Pemberi Waralaba kepada Penerima Waralaba, seperti
program IT pengelolaan kegiatan usaha.
(vi) Wilayah usaha, yaitu batasan wilayah yang diberikan Pemberi Waralaba
kepada Penerima Waralaba untuk mengembangkan bisnis Waralaba.
(vii) Jangka waktu perjanjian, yaitu batasan waktu mulai dan berakhir
perjanjian. Jangka waktu perjanjian berlaku selama 5 tahun karena
STPW yang diterbitkan karena pendaftaran perjanjian waralaba berlaku
selama 5(lima) tahun berdasarkan Pasal 8 ayat (1) Permendag Waralaba
dan dapat diperpanjang selama 5(lima) tahun apabila STPW sudah habis
masa berlakunya.
(viii) Tata cara pembayaran imbalan, yaitu tata cara/ketentuan termasuk waktu
dan cara perhitungan besarnya imbalan seperti fee atau royalty apabila
disepakati dalam perjanjian yang menjadi tanggung jawab Penerima
Waralaba.
(ix) Kepemilikan, perubahan kepemilikan, dan hak ahli waris, yaitu, nama dan
alamat jelas pemilik usaha apabila perseorangan, serta nama dan alamat
pemegang saham, komisaris dan direksi apabila berupa badan usaha.
(x) Penyelesaian sengketa, yaitu penetapan tempat/lokasi penyelesaian
sengketa. Cara penyelesaian sengketa bisa melalui pengadilan atau
melalui pranata alternatif seperti arbitrase untuk mencegah Penerima
Waralaba yang tidak beritikad baik membongkar rahasia Pemberi
Waralaba di pengadilan.100
(xi) Tata cara perpanjangan, pengakhiran, dan pemutusan perjanjian seperti
pemutusan perjanjian tidak dapat dilakukan secara sepihak, perjanjian
99 Ibid. 100 Ibid., hal. 72.
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
52
Universitas Indonesia
berakhir dengan sendirinya apabila jangka waktu yang ditetapkan dalam
perjanjian telah berakhir. Perjanjian dapat diperpanjang kembali apabila
dikehendaki oleh kedua belah pihak dengan ketentuan yang ditetapkan
bersama.
(xii) Jaminan dari pihak Pemberi Waralaba untuk tetap menjalankan
kewajiban-kewajibannya kepada Penerima Waralaba sesuai dengan isi
Perjanjian hingga jangka waktu Perjanjian berakhir.
b. Hal-hal Khusus dalam Perjanjian Waralaba
Selain meliputi hal-hal umum yang menjamin kepentingan para pihak,
perjanjian waralaba juga dapat mencakup hal-hal spesifik. Menurut Bambang N.
Rachmadi, hal-hal spesifik yang dapat diatur adalah sebagai berikut:101
(i) Transfer of asset specificity, mencakup brand name, sistem yang spesifik
dan peralatan khusus.
(ii) Managerial assistance, dalam hal ini mencakup pemasaran dan promosi,
serta pelatihan karyawan.
(iii) Standardized operation. Untuk menjamin mutu dan pelayanan yang sama,
Pemberi Waralaba menentukan standar tertentu dalam kegiatan
operasional gerai. Hal ini berimplikasi pada kontrol dan pengawasan oleh
Pemberi Waralaba.
(iv) Fee dan royalty, yaitu jumlah tertentu yang harus dibayarkan oleh
Penerima Waralaba kepada Pemberi Waralaba.
(v) Penerima Waralaba hanya boleh mengoperasikan satu merek dagang
(exclusive opertation).
Diantara hal-hal khusus yang diatur dalam perjanjian waralaba, asistensi
atau bantuan dari Pemberi Waralaba kepada Penerima Waralaba merupakan salah
satu yang terpenting. Hal ini karena unsur asistensi dapat menentukan
101 Bambang N. Rachmadi, Franchising The Most Practical and Excellent Way of Succeeding, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2007), hal. 23.
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
53
Universitas Indonesia
keberhasilan usaha Penerima Waralaba. Menurut Pietra Sarosa, tujuan
diberikannya asistensi kepada Penerima Waralaba adalah sebagai berikut:102
(i) Membantu memberikan kemudahan bagi Penerima Waralaba dalam
menjalankan bisnisnya sehingga dapat lebih cepat menghasilkan
keuntungan.
(ii) Menjaga keseragaman yang menjadi ciri sistem waralaba diantara gerai-
gerai waralaba milik Penerima Waralaba.
(iii)Memudahkan dalam memonitor Penerima Waralaba sehingga otomatis
memudahkan pengambilan solusi jika terjadi masalah.
Asistensi dapat diberikan pada tahap pre-opening dan masa operasional.
Dalam tahap pre-opening, Pemberi Waralaba dapat membantu memberikan saran
dan ketentuan mengenai lokasi outlet dan konstruksi outlet. Selanjutnya pada
masa operasional, asistensi dapat berupa dukungan dalam pemasaran, pengelolaan
sumber daya manusia dan administrasi keuangan.
Perjanjian waralaba merupakan dasar dari pelaksanaan franchise antara
kedua belah pihak. Dengan demikian, kedua belah pihak harus pro-aktif, saling
percaya, dan saling membantu dalam lingkup perjanjian waralaba agar usaha
dapat terus berkembang.
3.1.10 Proses Menjual Sistem Waralaba
Apabila usaha yang dijalankan telah terbukti berhasil menuai keuntungan,
serta telah dilengkapi dengan sistem operasional yang baku, maka usaha tersebut
dapat dikembangkan melalui sistem waralaba. Proses menjual sistem waralaba
menurut PP Waralaba dan Permendag Waralaba adalah sebagai berikut:
a. Pertama, usaha yang ingin diwaralabakan harus memenuhi kriteria-kriteria
yang sudah ditentukan dalam Pasal 3 PP Waralaba dan Pasal 2 Kemendag
Waralaba, yaitu:
(i) Memiliki ciri khas usaha;
(ii) Terbukti sudah memberikan keuntungan;
102 Pietra Sarosa, Kiat Praktis Membuka Usaha-Mewaralabakan Usaha Anda, (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2004), hal. 178-179.
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
54
Universitas Indonesia
(iii) Memiliki standar atas pelayanan dan barang dan/atau jasa yang
ditawarkan yang dibuat secara tertulis;
(iv) Mudah diajarkan dan diaplikasikan;
(v) Adanya dukungan yang berkesinambungan; dan
(vi) Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yang telah terdaftar.
b. Membuat prospektus yang memuat paling sedikit ketentuan dalam Pasal 7
ayat (2) PP Waralaba, yaitu:
(i) Data identitas Pemberi Waralaba;
(ii) Legalitas usaha Pemberi Waralaba
(iii) Sejarah kegiatan usahanya;
(iv) Struktur organisasi Pemberi Waralaba;
(v) Laporan keuangan 2 (dua) tahun terakhir;
(vi) Jumlah tempat usaha;
(vii) Daftar Penerima Waralaba; dan
(viii) Hak dan kewajiban Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba.
c. Calon Pemberi Waralaba wajib mendaftarkan prostektus berdasarkan
Pasal 10 PP Waralaba. Permohonan pendaftaran prospektus harus
dilampiri dengan fotokopi prospektus penawaran waralaba dan fotokopi
legalitas usaha (Pasal 12 ayat (1) PP Waralaba)
d. Calon Pemberi Waralaba akan memperoleh Surat Tanda Pendaftaran
Waralaba, selanjutnya disebut dengan STPW, dengan mendaftarkan
prospektus penawaran waralaba (Pasal 7 Kepmendag Waralaba). STPW
berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang selama waktu yang
sama (Pasal 8 ayat (1) Kepmendag Waralaba).
e. Menyelenggarakan Perjanjian Waralaba dalam bahasa Indonesia
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 4 PP Waralaba dan memuat paling
sedikit syarat yang ditentukan dalam Pasal 5 PP Waralaba.
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
55
Universitas Indonesia
f. Calon Penerima Waralaba wajib mendaftarkan perjanjian waralaba
berdasarkan Pasal 11 PP Waralaba. Permohonan pendaftaran perjanjian
harus dilampiri dengan:
(i) fotokopi legalitas usaha;
(ii) fotokopi perjanjian Waralaba;
(iii) fotokopi prospektus penawaran Waralaba; dan
(iv) fotokopi Kartu Tanda Penduduk pemilik/pengurus perusahaan.
g. Calon Penerima Waralaba menerima STPW dengan mendaftarkan
perjanjian waralaba dari Gubernur DKI Jakarta dan Bupati/Walikota di
seluruh Indonesia untuk Pemberi dan Penerima Waralaba dalam negeri
(Pasal 13 Kepmendag Warlaba).
3.1.11 Pengakhiran Perjanjian
Perjanjian waralaba dapat berakhir dalam kondisi seperti berikut:
a. Jangka waktu perjanjian telah berakhir
b. Atas kesepakatan kedua belah pihak
c. Pemutusan perjanjian secara sepihak
Pasal 6 Kepmendap Warlaba mengatur apabila Pemberi Waralaba
memutuskan perjanjian waralaba secara sepihak sebelum masa berlaku perjanjian
berakhir, maka Pemberi Waralaba tidak dapat menunjuk Penerima Waralaba yang
baru untuk wilayah yang sama sebelum tercapai kesepakatan dalam penyelesaian
perselisihan oleh kedua belah pihak (clean break) atau paling lambat 6 bulan
setelah pemutusan perjanjian waralaba. Dengan demikian, Penerima Waralaba
baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan STPW, apabila sudah
terjadi kesepakatan atau paling lambat 6 bulan setelah pemutusan perjanjian
waralaba.
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
56
Universitas Indonesia
3.2 LANDASAN TEORI LISENSI
3.2.1 Pengertian Umum Lisensi
Perkataan lisensi berasal dari kata Latin “licentia”. Apabila seseorang
memberikan kepada pihak lain lisensi terhadap oktroi atau merek, maka orang
tersebut memberikan kebebasan atau izin kepada orang itu untuk menggunakan
sesuatu yang sebelumnya tidak boleh gunakan, misalnya menggunakan merek
yang dilindungi oleh hukum merek.103
Dalam Black’s Law Dictionary, lisensi diartikan sebagai:
“A personal privilege to do some particular act or series of acts…”
atau
“The permission by competent authority to do an act which, without such permission would be illegal, a trespass, a tort, or otherwise would not allowable.”
Apabila ditelusuri lebih jauh, makna lisensi yang diberikan dalam
Black’s Law Dictionary, dimana dikatakan bahwa Licensing adalah:
“The sale of a license permitting the use of patents, trademarks, or the technology to another firm.”
Selain pengertian dari Black’s Law Dictionary, definisi lisensi juga diatur
dalam UU Merek Tentang Merek (UU Merek), Undang-Undang No. 30 Tahun
2000 Tentang Rahasia Dagang, Undang-Undang No. 31 Tahun 2000 Tentang
Desain Industri, Undang-Undang No. 32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak
Sirkuit Terpadu dan Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 Tentang Paten, yang
semuanya mengatur mengenai HAKI. Definisi Lisensi dalam kelima Undang-
Undang tersebut secara berturut-turut adalah sebagai berikut:
“Lisensi adalah izin yang diberikan oleh pemilik Merek terdaftar kepada pihak lain melalui suatu perjanjian berdasarkan pada pemberian hak (bukan pengalihan hak) untuk menggunakan Merek tersebut, baik untuk seluruh atau sebagian jenis barang dan/atau jasa yang didaftarkan dalam jangka waktu dan syarat tertentu.”104
103 Roeslan Saleh, Seluk Beluk Praktis Lisensi, cet. 2, (Jakarta: Sinar Grafika, 1991), hal. 11. 104 Indonesia (g), UU Merek, No. 15 tahun 2001, LN No. 110 tahun 2001, TLN. No. 4131, ps. 1 angka 10.
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
57
Universitas Indonesia
“Lisensi adalah izin yang diberikan oleh pemegang Hak Rahasia Dagang kepada pihak lain melalui suatu perjanjian berdasarkan pada pemberian hak (bukan pengalihan hak) untuk menikmati manfaat ekonomi dari suatu Rahasia Dagang yang diberi perlindungan dalam jangka waktu tertentu dan syarat tertentu.”105
“Lisensi adalah izin yang diberikan oleh pemegang Hak Desain Industri kepada pihak lain melalui suatu perjanjian berdasarkan pada pemberian hak (bukan pengalihan hak) untuk menikmati manfaat ekonomi dari suatu Desain Industri yang diberi perlindungan dalam jangka waktu tertentu dan syarat tertentu.”106
“Lisensi adalah izin yang diberikan oleh Pemegang Hak kepada pihak lain melalui suatu perjanjian berdasarkan pada pemberian hak (bukan pengalihan hak) untuk menikmati manfaat ekonomi dari suatu Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu yang diberi perlindungan dalam jangka waktu tertentu dan syarat tertentu.”107 “Lisensi adalah izin yang diberikan oleh Pemegang Paten kepada pihak lain berdasarkan perjanjian pemberian hak untuk menikmati manfaat ekonomi dari suatu Paten yang diberi perlindungan dalam jangka waktu dan syarat tertentu.”108
Dari kutipan-kutipan tersebut, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa
pengertian lisensi yang telah berkembang dari sekedar privilege yang diberikan
oleh negara atas pemanfaatan tanah secara tidak langsung menuju kearah
“penjualan izin (privilege)” untuk mempergunakan paten, hak atas merek
(khususnya merek dagang) kepada pihak lain. Dengan demikian, lisensi
merupakan hak privilege yang bersifat komersial, dalam arti kata memberikan
hak dan kewenangan untuk memanfaatkan paten maupun merek dagang atau
teknologi yang dilindungi secara ekonomis.109 Namun pemanfaatan atau
penggunaan Hak atas Kekayaan Intelektual ini tidak mengalihkan hak dari
105 Indonesia (h), Undang-Undang Tentang Rahasia Dagang, No. 30 tahun 2000, LN No. 242 tahun 2000, TLN. No. 4044, ps. 1 angka 5. 106 Indonesia (i), Undang-Undang Tentang Desain Industri, No. 31 tahun 2000, LN No. 243 tahun 2000, TLN. No. 4045, ps. 1 angka 11. 107 Indonesia (j), Undang-Undang Tentang Paten, No. 14 tahun 2001, LN No. 109 tahun 2001, TLN. No. 4130, ps. 1 angka 13. 108 Indonesia (k), Undang-Undang Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, No. 32 tahun 2000, LN No. 244 tahun 2000, TLN. No. 4046, ps. 1 angka 13. 109 Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Lisensi, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001), hal. 8.
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
58
Universitas Indonesia
Pemberi kepada Penerima Lisensi. Sebagai imbalan dari penggunaan izin oleh
pihak ketiga, pengusaha yang memberi izin memperoleh pembayaran yang
disebut dengan royatlty, yang selalu dikaitkan dengan banyaknya atau besarnya
jumlah produk yang dihasilkan dan atau dijual dalam suatu kurun waktu
tertentu.110 Dengan demikian, Penerima Lisensi adalah independen terhadap
Pemberi Lisensi, dalam pengertian bahwa Penerima Lisensi menjalankan sendiri
usahanya dengan imbalan membayar royalty kepada Pemberi Lisensi.
3.2.2 Lisensi Sebagai Suatu Bentuk Perjanjian
Dalam perjanjian lisensi, terdapat 2 (dua) pihak yang terlibat, yaitu:
a. Pemberi Lisensi (Pemberi Lisensi): pihak yang “menjual” atau
memberikan lisensi. Dalam Black’s Law Ditionary Pemberi Lisensi adalah
“The person who gives or grants a license.”
b. Penerima Lisensi (Penerima Lisensi): pihak yang menerima lisensi. Dalam
Black’s Law Ditionary adalah “Person to whom a licence has been
granted.”
Perjanjian Lisensi (Licensing Agreement) dalam Law Dictionary karya PH
Collin diartikan sebagai
“Agreement where a person is granted a license to manufacture something or to use something, but not an outright sale.”
Dari pengertian tersebut dapat dilihat bahwa pengertain lisensi mengalami
perluasan kedalam bentuk izin untuk memproduksi atau untuk memanfaatkan
sesuatu, yang tidak atau bukan merupakan suatu bentuk penjualan lepas.
Pengertian yang luas juga diberikan oleh Betsy Ann Toffler dan Jane Imber dalam
Dictionary of Marketing Terms, dimana Licensing diartikan sebagai:
“Contractual agreement between two business entities in which Pemberi Lisensi permits the Penerima Lisensi to use a brand name, patent, or other proprietary right, in exchange for a fee or royalty.
110 Ibid., hal. 3
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
59
Universitas Indonesia
Licensing enables the Pemberi Lisensi to profit from the skills, expansion capital, or other capacity of the Penerima Lisensi. Licensing is often used by manufacturers to enter markets in which they have no expertise. The Penerima Lisensi benefits from the name recognition and creativity of the Pemberi Lisensi.”
Sedangkan Wilbur Cross dalam Dictionary of Business Terms, Licensing
Agreement adalah:
“A contract permitting one party to ensure one or more operationsof another party, such as manufacturing, seliing or servicing, in consideration of monetary or other benefit as specified.”
Dari ketiga definisi tersebut, dapat dikatakan bahwa lisensi senantiasa
melibatkan suatu perjanjian antara Pemberi Lisensi dan Penerima Lisensi.
Sebagai suatu bentuk perjanjian, maka Lisensi ketentuan Lisensi tunduk
pada ketentuan-ketentuan mengenai perjanjian dan perikatan dalam KUH Perdata,
termasuk syarat sah perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata dan
asas-asas umum dalan perjanjian sebagaimana telah dibahas dalam Bab II dari
skripsi ini.
3.2.3 Jenis-Jenis Lisensi
Pada dasarnya terdapat 2 (dua) jenis lisensi yang dikenal dalam praktek
pemberian lisensi, yaitu:
a. Lisensi umum
Lisensi umum adalah lisensi yang dikenal secara luas dalam praktek, yang
melibatkan suatu bentuk negosiasi antara Pemberi Lisensi dan Penerima
Lisensi.
b. Lisensi paksa, atau yang disebut sebagai lisensi wajib.
Perkataan Lisensi Paksa/ Lisensi Wajib merupakan terjemahan dari
“Compulsory License”, yang diartikan sebagai:
“An authorization given by a national authority to a person, without or agaisnt the consent of the titile holder, for the
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
60
Universitas Indonesia
exploitation of a subject matter protected by a patent or other intellectual property rights.” (Carlos M. Correa: 1995)111
Dari pengertian yang diberikan, dapat diketahui bahwa lisensi
paksa/lisensi wajib merupakan suatu bentuk lisensi yang diberikan tidak secara
sukarela oleh pemilik atau pemegang suatu Hak Atas Kekayaan Intelektual yang
dilisensikan secara paksa, melainkan dipaksakan oleh suatu badan nasinal yang
berwenang. Dengan kata lain, lisensi hanya dimngkinkan jika dipaksakan
berlakunya oleh suatu lembaga yang berwenang pada tingkat nasional pada suatu
negara yang berdaulat.
Meskipun dalam pengertian yang diberikan oleh Carlos M. Correa lisensi
paksa dapat diberikan untuk segala macam HAKI, pelaksanaan lisensi paksa
dalam prakteknya lebih banyak dikaitkan dengan Paten sebagai Hak atas
Kekayaan Intelektual yang berbasis teknologi.
3.2.4 Pengaturan Lisensi dalam UU Merek Tentang Merek
Dari antara 5 (lima) Undang-Undang HAKI yang mengatur pengertian
lisensi, skripsi ini lebih memfokuskan bahasan pada lisensi dalam lingkup UU
Merek sehingga lebih menuju kepada hak atas penggunaan merek yang sudah
terdaftar. Hal ini karena bahasan penggunaan merek merupakan salah satu opsi
yang dapat digunakan oleh pengusaha Rica Rico Bika Ambon dalam
pengembangan usahanya. Pengaturan Lisensi dalam Undang-Undang Merek dapat
ditemukan dalam Pasal 43 hingga Pasal 49 Bagian Kedua Bab V jo Pasal 1 angka
13. Dari definisi Lisensi yang diberikan dalam Pasal 1 angka 13 UU Merek,
terdapat beberapa unsur, yang meliputi:112
a. Adanya izin yang diberikan oleh Pemegang Merek
Pemberi Lisensi harus memberikan izin kepada Penerima Lisensi untuk
menggunakan Merek milik Pemberi Lisensi. Hal ini untuk melindungi Penerima
Lisensi dari gugatan dengan alasan telah melanggar Hak atas Merek yang diatur
dalam Pasal 76 UU Merek Tentang Merek. Selanjutnya, dalam Pasal 77 UU
Merek diatur bahwa hak mengajukan gugatan juga diberikan kepada Penerima
111 Carlos M. Correa, dikutip dalam Widjaja, loc. cit., hal. 33 112 Widjaja, loc. cit., hal. 52-56.
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
61
Universitas Indonesia
Lisensi Merek terdaftar yang dapat mengajukan gugatan pelanggaran Merek
secara sendiri-sendiri atas bersama dengan Pemilik Merek. Gugatan yang diajukan
dapat berupa ganti rugi dan/atau penghentian semua perbuatan yang berkaitan
dengan penggunaan Merek tersebut.
b. Izin tersebut diberikan dalam bentuk perjanjian
Lisensi harus dibuat secara tertulis antara pemberi dan Penerima Lisensi.
Dengan demikian perjanjian pemberian lisensi merupakan perjanjian formil, yang
harus memenuhi bentuk yang tertulis. Kewajiban agar pejanjian pemberian lisensi
dibuat secara tertulis juga diperkuat dengan kewajiban pendaftaran lisensi
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 43 ayat (3) jo Pasal 43 ayat (4) jo Pasal 49
UU Merek.
Perjanjian yang didaftarkan berlaku di seluruh wilayah Negara Republik
Indonesia, kecuali jika diperjanjian lain. Wilayah Negara Republik Indonesia
dianggap sebagai batasan teritorial yang paling memungkinkan untuk pelaksanaan
hak dari Merek yang terdaftar. Ini berarti meskipun terjadi perluasan pemberian
lisensi hingga meliputi wilayah teritorial Negara Republik Indonesia, ketentuan
ini tidak ditujukan untuk mengatur pemberian lisensi yang semata-mata
pelaksanaannya berada diluar wilayah Indonesia meskipun tunduk dan dicatatkan
di Indonesia.
Selain itu, dalam suatu peranjian pemberian lisensi, terdapat suatu syarat
objektif yang diatur dalam Pasal 47 ayat (1) UU Merek Tentang Merek yang
menyatakan bahwa:
“Perjanjian Lisensi dilarang memuat ketentuan baik yang langsung maupun tidak langsung dapat menimbulkan akibat yang merugikan perekonomian Indonesia atau memuat pembatasan yang menghambat kemampuan bangsa Indonesia dalam menguasai dan mengembangkan teknologi pada umumnya.”
Dengan adanya ketentuan ini, maka perjanjian yang dapat merugikan
perekonomian Indonesia atau memuat pembatasan yang menghambat kemampuan
bangsa Indonesia dalam menguasai dan mengembangkan teknologi pada
umumnya tidak dapat diberlakukan. Sebagai konsekuensinya, maka Direktorat
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
62
Universitas Indonesia
Jenderal yang menangani permohonan pencatatan wajib menolak pencatatan
perjanjian Lisensi tersebut dengan memberitahukan alasannya kepada Pemilik
Merek atau Kuasanya.
c. Izin tersebut merupakan pemberian hak untuk menggunakan Merek
tersebut (yang bukan bersifat pengalihan hak).
Lisensi Merek berhubungan dengan suatu Merek terdaftar yang diberi
perlindungan eksklusif oleh negara. Oleh karena itu, undang-undang
mensyaratkan bahwa jangka waktu pemberian lisensi tidak boleh melebihi dari
jangka waktu perlindungan atas Merek yang terdaftar. Pasal 28 UU Merek
memberikan jangka waktu perlindungan atas Merek adalah 10 (sepuluh) tahun
dan dapat diperpanang.
Mengenai pemberian hak untuk menggunakan Merek yang tidak
mengalihkan hak Merek, pada dasarnya UU Merek tidak mengatur secara
langsung. Akan tetapi hal ini dapat disimpulkan dari Pasal 77 UU Merek yang
mengatur bahwa gugatan dapat diajukan oleh Penerima Lisensi secara sendiri-
sendiri atau bersama-sama dengan Pemilik Merek. Selain itu, fenomena dimana
Penerima Lisensi menjalankan usahanya sendiri dengan imbalan membayar
royalty kepada Pemberi Lisensi menunjukkan bahwa tidak ada pengalihan hak
atas Merek, melainkan hanya hak penggunaan merek yang diberikan kepada
Penerima Lisensi.
d. Izin tersebut diberikan untuk Merek yang didaftarkan.
Dalam keadaan Pemberi Lisensi sudah merupakan Pemilik Merek yang
didaftarkan, maka Penerima Lisensi dapat menjalankan usaha dan melakukan
pembayaran royalty pada umumnya. Akan tetapi apabila Perjanjian Lisensi
disepakati sebelum Merek berhasil didaftarkan, maka Pasal 48 UU Merek
mengatur bahwa, dalam hal Merek itu kemudian dibatalkan atas dasar adanya
persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek lain yang terdaftar,
maka Penerima Lisensi yang beritikad baik tetap berhak melaksanakan perjanjian
Lisensi tersebut sampai dengan berakhirnya jangka waktu perjanjian Lisensi.
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
63
Universitas Indonesia
Dengan demikian, Penerima Lisensi membayar royalti kepada Pemilik Merek
yang tidak dibatalkan.
e. Izin tersebut dikaitkan dengan waktu tertentu dan syarat tertentu.
Adanya klausula dengan waktu tertentu dan syarat tertentu dalam
pengertian Lisensi merupakan esensi pembeda antara perjanjian pengalihan hak
dengan Lisensi. Selain itu, dari Pasal 48 UU Merek juga dapat diketahui bahwa
peranjian pemberian lisensi diberikan dengan jangka waktu tertentu.
Dengan demikian, pada pokoknya lisensi adalah suatu bentuk pemberian
izin pemanfaatan atau penggunaan atas merek yang bukan mengalihkan hak, yang
dimiliki oleh Pemberi Lisensi kepada Penerima Lisensi dengan imbalan berupa
royalty. Dalam pengertian ini pula tersirat bahwa Penerima Lisensi adalah
independen terhadap pemberi lisensi, dalam pengertian bahwa Penerima Lisensi
menjalankan sendiri usahanya.
3.2.5 Hak dan Kewajiban Pemberi dan Penerima Lisensi
Sebagai suatu transaksi yang melahirkan perjanjian, lisensi selalu
melibatkan dua pihak, yaitu Pemberi Lisensi dan Penerima Lisensi. Kedua belah
pihak tersebut memiliki kepentingan untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya.
Kepentingan ini jugalah yang pada pokoknya menjadi sumber perselisihan
diantara kedua belah pihak. Keuntungan yang besar hanya dapat hanya dapat
dicapai oleh kedua belah pihak yang mampu menjalin sinergisme yang saling
menguntungkan. Oleh karena itu, kedua belah pihak harus mengetahui dan
memahami hak dan kewajiban yang dibebankan kepada masing-masing pihak
demi memperoleh keuntungan dan menghindari perselisihan. Berikut adalah hak
dan kewajiban Pemberi Lisensi dan Penerima Lisensi:113
a. Hak dan Kewajiban Pemberi Lisensi
(i) Hak Pemberi Lisensi
• Melakukan pengawasan jalannya pelaksanaan dan penggunaan
atau pemanfaatan lisensi oleh Penerima Lisensi.
113 Widjaja, loc. cit., hal. 30-33.
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
64
Universitas Indonesia
• Memperoleh laporan-laporan secara berkala atas jalannya kegiatan
usaha Penerima Lisensi yang menggunakan HAKI yang
dilisensikan.
• Melaksanakan inspeksi pada daerah kerja Penerima Lisensi guna
memastikan bahwa HAKI yang dilisensikan telah dilaksanakan
sebagaimana mestinya.
• Mewajibkan Penerima Lisensi, dalam hal-hal tertentu, untuk
membeli barang modal an atau barang-barang lainnya dari Pemberi
Lisensi.
• Mewajibkan Penerima Lisensi untuk menjaga kerahasiaan HAKI
yang dilisensikan.
• Menerima pembayaran Royalty dalam bentuk, jenis dan jumlah
yang dianggap layak olehnya.
• Meminta dilakukan pendaftaran atas Lisensi yang diberikan kepada
Penerima Lisensi.
• Atas pengakhiran lisensi, meminta kepada Penerima Lisensi untuk
mengembalikan seluruh data, informasi maupun keterangan yang
diperoleh Penerima Lisensi selama masa pelaksanaan lisensi.
• Atas pengakhiran lisensi melarang Penerima Lisensi untuk
memanfaatkan lebih lanjut seluruh data, informasi maupun
keterangan yang diperoleh oleh Penerima Lisensi selama
pelaksanaan lisensi.
• Atas pengakhiran lisensi, melarang Penerima Lisensi untuk tetap
melakukan kegiatan yang sejenis, serupa, ataupun yang secara
langusng maupun tidak langsung menimbulkan persaingan dengan
menggunakan HAKI yang dilisensikan.
• Pemberian lisensi tidak menghapuskan hak Pemberi Lisensi untuk
tetap memanfaatkan, menggunakan atau melaksanakan sendiri
HAKI yang dilisensikan.
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
65
Universitas Indonesia
(ii) Kewajiban Pemberi Lisensi
• Memberikan segala macam informasi yang berhubungan dengan
HAKI yang dilisensikan, yang diperlukan oleh Penerima Lisensi
untuk melaksanakan lisensi yang diberikan.
• Memberikan bantuan kepada Penerima Lisensi mengenai cara
pemanfaatan dan atau penggunaan HAKI yang dilisensikan.
b. Hak dan Kewajiban Penerima Lisensi
(i) Hak Penerima Lisensi
• Memperoleh segala macam informasi yang berhubungan dengan
HAKI yang dilisensikan, yang diperlukan olehnya untuk
melaksanakan lisensi yang diberikan.
• Memperoleh bantuan dari Pemberi Lisensi atas segala macam cara
pemanfaatan dan atau penggunaan HAKI yang dilisensikan.
(ii) Kewajiban Penerima Lisensi
• Melaksanakan seluruh instruksi yang diberikan oleh Pemberi
Lisensi kepadanya guna melaksanakan HAKI yang dilisensikan.
• Memberikan keleluasaan bagi Pemberi Lisensi untuk melakukan
pengawasan maupun inspeksi berkala mapun secara tiba-tiba, guna
memastikan bahwa Penerima Lisensi telah melaksanakan HAKI
yang dilisensikan dengan baik.
• Memberikan laporan-laporan baik secara berkala mapun atas
permintaan khusus dari Pemberi Lisensi.
• Membeli modal atau barang-barang tertentu lainnya dalam rangka
pelaksanaan lisensi dari Pemberi Lisensi.
• Menjaga kerahasiaan atas HAKI yang dilisensikan, baik selama
maupun setelah berakhirnya masa pemberian lisensi.
• Melaporakan segala pelanggaran HAKI yang ditemukan dalam
praktek.
• Tidak memanfaatkan HAKI yang dilisensikan selain dengan tujuan
untuk melaksanakan lisensi yang diberikan.
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
66
Universitas Indonesia
• Melakukan Pendaftaran Lisensi bagi kepentingan Pemberi
Lisensi.dan jalannya pemberian lisensi.
• Tidak melakukan kegiatan yang sejenis, serupa, ataupun yang
secara langsung maupun tidak langsung dapat menimbulkan
persaingan dengan kegiatan usaha yang mempergunakan HAKI
yang dilisensikan.
• Melakukan pembayaran Royalty dalam bentuk, jenis dan jumlah
yang telah disepakati secar bersama.
• Atas pengakhiran lisensi, mengembalikan seluruh data,
informasi maupun keterangan yang diperolehnya selama masa
pelaksanaan lisensi.
• Atas pengakhiran lisensi tidak memanfaatkan lebih lanjut
seluruh data, informasi maupun keterangan yang diperoleh oleh
Penerima Lisensi selama pelaksanaan lisensi.
• Atas pengakhiran lisensi, tidak lagi melakukan kegiatan yang
sejenis, serupa, ataupun yang secara langusng maupun tidak
langsung menimbulkan persaingan (tidak sehat) dengan
menggunakan HAKI yang dilisensikan.
3.2.6 Hal-hal yang diatur dalam Perjanjian Lisensi
Pengetahuan akan hak dan kewajiban Pemberi Lisensi dan Penerima
Lisensi adalah dasar pembentukan perjanjian lisensi. Hal-hal yang secara umum
dibahas dalam suatu perjanjian lisensi adalah:114
a. Identifikasi atas jenis HAKI yang dilisensikan.
Jenis HAKI harus secara jelas diidentifikasi karena lisensi atas Merek
berbeda dengan Lisensi hak cipta.
b. Luasnya ruang lingkup HAKI yang dilisensikan.
114 Ibid., hal. 18-30.
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
67
Universitas Indonesia
Hak ini mempunyai hubungan yang erat dengan luas HAKI yang
dilisensikan oleh Pemberi Lisensi kepada Penerima Lisensi, misalnya,
hanya pemanfaatan Merek atau bersama dengan metode produksi. Selain
itu, hal yang harus diperhatikan adalah keleluasaan modifikasi,
pengembangan atau penyempurnaan atas HAKI yang dilisensikan yang
dapat dilakukan oleh Penerima Lisensi.
c. Tujuan Pemberian lisensi HAKI.
Pada umumnya tujuan pemberian lisensi adalah pengembangan usaha.
Dalam bentuk demikian, Pemberi Lisensi dapat mengembangkan usahanya
secara lebih leluasa dengan sumber daya yang lebih kecil.
d. Eksklusifitas pemberian lisensi.
Suatu lisensi dikatakan eksklusif jika lisensi tersebut diberikan dengan
kewenangan penuh untuk melaksanakan, memanfaatkan atau
mempergunakan suatu HAKI yang diberikan perlindungan oleh Negara.
Akan tetapi ekslusifitas tersebut tidak bersifat absolut atau mutlak karena
dibatasi oleh berbagai hal seperti jangka waktu, wilayah, dan/atau produk
tertentu. Selanjutnya pemberian lisensi yang tidak memberikan
kewenangan penuh disebut dengan non-exclusive. Dalam prakteknya
jarang sekali ditemui lisensi yang bersifat eksklusif dan apabila pemberian
lisensi tersebut bersifat eksklusif, biasanya masih dikaitkan dengan time
exclusivity atau product exclusivity.
e. Spesifikasi khusus yang berhubungan dengan wilayah pemberian lisensi,
baik dalam bentuk kewenangan untuk melakukan produksi dan/atau untuk
melaksanakan penjualan dari barang dan atau jasa yang mengandung
HAKI yang dilisensikan. Ketentuan ini merupakan pengembangan lebih
lanjut dari sifat eksklusifitas pemberian lisensi. Pemberian lisensi biasanya
disertai dengan spesifikasi khusus terhadap wilayah tertentu atau waktu
tertentu guna diversifikasi risiko Pemberi Lisensi.
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
68
Universitas Indonesia
f. Hak Pemberi Lisensi atas laporan-laporan berkala dan untuk
melaksanakan inspeksi-inspeksi atas pelaksanaan jalannya pemberian
Lisensi dan kewajiban Penerima Lisensi untuk memenuhinya.
g. Ada tidaknya kewajiban bagi penerimaan lisensi untuk membeli barang
modal tertentu ataupun barang-barang tertentu lainnya dalam rangka
pelaksanaan lisensi dari Pemberi Lisensi. Adakalanya Pemberi Lisensi
mewajibkan Penerima Lisensi untuk membeli barang modal (capital
goods) tertentu dari Pemberi Lisensi sebagai bagian dari paket lisensi yang
dijual. Hal ini dianggap sebagai suatu ‘pengorbanan’ untuk menggunakan
HAKI yang dilisensikan.
h. Pengawasan oleh Pemberi Lisensi.
Pengawasan oleh Pemberi Lisensi pada umumnya dilakukan terhadap
pengolahan atau pemanfaatan yang memerlukan keahlian khusus. Hal ini
karena Pemberi Lisensi sangat berkepentingan atas kebakuan produk dan
jasa yang dihasilkan oleh Penerima Lisensi demi menjaga keseragaman
produk barang atau jasa.
i. Kerahasiaan atas HAKI yang dilisensikan.
Kewajiban Penerima Lisensi untuk menjaga kerahasiaan HAKI yang
dilisensikan maupun pelaksanaan lisensi yang disepakati harus
dirahasiakan.
j. Ketentuan non-kompetisi (non-competition clause)
Ketentuan ini mengatur bahwa Penerima Lisensi tidak diperkenankan
untuk melaksanakan kegiatan yang sama atau yang dapat menimbulkan
persaingan, baik dengan menggunakan HAKI yang dilisensikan kepada
Penerima Lisensi ataupun tidak. Non-competition clause atau yang sering
disebut sebagai negaitve covenant not to compete harus secara rinci
menetapkan jangka waktu larangan tersebut, seperti selama perjanjian
berlaku dan berapa lama setelah perjanjian berakhir. Selain jangka waktu,
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
69
Universitas Indonesia
wilayah juga masuk dalam pertimbangan ketentuan non-kompetisi.
Apabila setelah perjanjian berakhir Penerima Lisensi membuka usaha
yang serupa namun tidak dalam wilayah yang sama dengan Pemberi
Lisensi, apakah hal tersebut dilarang dalam perjanjian. Secara umum,
ketentuan non-kompetisi dapat ditetapkan dala bentuk sebagai berikut:
(i) Larangan untuk membuka usaha yang serupa dimanapun selama
perjanjian berlaku dan waktu tertentu setelah perjanjian berakhir.
(ii) Larangan untuk membuka usaha yang serupa di dalam wilayah yang
dapat menyebabkan persaingan usaha selama perjanjian berlaku dan
waktu tertentu setelah perjanjian berakhir.
k. Kewajiban memberikan perlindungan atas HAKI yang dilisensikan.
Kewajiban ini terletak pada Penerima Lisensi untuk turut melaporakan
pelanggaran atas HAKI yang dilisensikan Pemberi Lisensi. Akan tetapi
Penerima Lisensi tidaklah berhak untuk bertindak atas inisiatifnya sendiri
kecuali atas perintah dan kuasa tertulis dari Pemberi Lisensi. Hal ini
disebabkan oleh status Penerima Lisensi yang bukan merupakan pemilik
HAKI karena dalam lisensi tidak ada pengalihan hak.
l. Kewajiban Pendaftaran Lisensi
Kewajiban untuk mencatatkan Perjanjian Lisensi ditetapkan dalam Pasal
43 ayat (3) UU Merek Tentang Merek.
m. Kompensasi dalam bentuk royalty dan pembayarannya.
Tujuan Pemberi Lisensi memberikan hak pemanfaatan atau penggunaan
HAKI tidak lain adalah untuk mendapatkan keuntungan dan hasil yang
baik. Hasil ini pada umumnya berhubungan dengan royalty yang harus
dibayar oleh Penerima Lisensi. Royalty ini berbeda-beda menurut jenis,
besar dan cara pembayarannya dan bergantung pada jenis dan ruang
lingkup HAKI yang dilisensikan. Menurut Licensing Guide for
Developing Countries yang diterjemahkan oleh WIPO, jenis pembayaran
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
70
Universitas Indonesia
yang dapat diminta oleh Pemberi Lisensi meliputi harga, remunerasi,
royalty, pembayaran jasa, komisi atau biaya.
n. Penyelesaian Perselisihan
Penyelesaian perselisihan merupakan hal yang krusial bagi Pemberi
Lisensi mengingat sifat kerahasiaan dari pemberian lisensi itu sendiri.
Forum penyelesaian perselisihan harus disepakati oleh kedua belah pihak
dalama perjanjian. Pada umumnya akan ditempuh terlebih dahulu tahap
mediasi dan negosiasi, apabila tidak berhasil, dapat berlanjut ke arbitrase.
o. Pengakhiran Pemberian Lisensi
Pengakhiran perjanjian lisensi tunduk pada Pasal 1266 KUH Perdata
sebagaimana telah dibahas dalam BAB II dari skripsi ini. Namun yang
perlu diperhatikan adalah klausul yang melarang Penerima Lisensi untuk
menjalankan usaha yang sama dalam jangka waktu tertentu setelah
pengakhiran perjanjian.
3.2.7 Proses Pemberian Lisensi
Proses pemberian lisensi berdasarkan UU Merek Tentang Merek adalah
sebagai berikut:
a. Apabila HAKI yang ingin dilisensikan belum terdaftar, dalam hal ini
Merek, maka harus dilakukan terlebih dahulu pendaftaran Merek. Pemberi
Lisensi dapat mengajukan permohonan pendaftaran kepada Direktorat
Jenderal HAKI dengan memenuhi syarat dalama Pasal 7.
b. Calon Pemberi Lisensi dapat mengajukan dua kelas barang atau jasa dalam
satu permohonan. (Pasal 8)
c. Apabila seluruh syarat administratif telah terpenuhi, terhadap permohonan
tersebut akan menerima Tanggal Penerimaan yang akan dicatat Direktorat
Jenderal. (Pasal 15)
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
71
Universitas Indonesia
d. Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak Tanggal Penerimaan,
Direktorat melakukan pemeriksaan substantif. (Pasal 18)
e. Apabila Permohonan dapat disetujui oleh Direktorat Jenderal HAKI, maka
Permohonan akan diumumkan dalam Berita Resmi Merek. (Pasal 21)
f. Pengumuman akan dilangsungkan selama 3 (tiga) bulan dengan
mencantumkan ketentuan dalam Pasal 23.
g. Dalam hal tidak ada keberatan, Direktorat Jenderal menerbitkan dan
memberikan Sertifikat Merek kepada Pemohon atau Kuasanya dalam
waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal berakhirnya
jangka waktu pengumuman. (Pasal 27)
h. Merek terdaftar mendapat perlindungan hukum untuk jangka waktu 10
(sepuluh) tahun sejak Tanggal Penerimaan dan jangka waktu perlindungan
itu dapat diperpanjang. (Pasal 28)
i. Setelah mendaftarkan Merek, Pemberi Lisensi dapat mengadakan
perjanjian pemberian lisensi kepada Penerima Lisensi yang dapat
dilakukan dibawah tangan maupun diaktakan. (Pasal 43)
j. Perjanjian Lisensi kemudian wajib dimohonkan pencatatannya pada
Direktorat Jenderal HAKI (Pasal 43 ayat (3)).
k. Perjanjian Lisensi akan dicatat oleh Direktorat Jenderal dalam Daftar
Umum Merek dan diumumkan dalam Berita Resmi Merek. (Pasal 43 ayat
(4))
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
72
Universitas Indonesia
3.3 LANDASAN TEORI DISTRIBUTORSHIP
3.3.1 Pengertian Umum Distributor dan Perbedaannya dengan Keagenan
Hingga saat ini, belum ada peraturan perundang-undangan yang secara
khusus mengatur mengenai distributorship. Pengaturan mengenai distributorship
berada di berbagai peraturan seperti KUH Perdata, serta peraturan perundang-
undangan yang dikeluarkan oleh Departemen Perindustrian maupun Departemen
Perdagangan. Pengaturan kedistribusian dan keagenan yang hanya melihat dan
mempertimbangkan secara sektoral saja dapat menimbulkan kerancuan mengenai
pengertian istilah-istilah tersebut dari kedua instansi yang berbeda. Berdasarkan
peraturan terbaru yang diterbitkan oleh Menteri Perdagangan pada tahun 2006,
yaitu, Peraturan Menteri Perdagangan 11/M-DAG/PER/3/2006 Tentang
Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Agen atau
Distributor Barang dan/atau Jasa, (Permendag Tahun 2006), pengertian agen dan
Distributor adalah berbeda. Berdasarkan Pasal 1 angka 5, Distributor adalah:
“Distributor adalah perusahaan perdagangan nasional yang bertindak untuk dan atas namanya sendiri berdasarkan perjanjian yang melakukan pembelian, penyimpanan, penjualan serta pemasaran barang dan/atau jasa yang dimiliki/dikuasai.”
Di sisi lain, pengertian agen berdasarkan Pasal 1 angka 4 Permendag
Tahun 2006 adalah:
“Agen adalah perusahaan perdagangan nasional yang bertindak sebagai perantara untuk dan atas nama prinsipal berdasarkan perjanjian untuk melakukan pemasaran tanpa melakukan pemindahan hak atas fisik barang dan/atau jasa yang dimiliki/dikuasai oleh prinsipal yang menunjuknya.”
Dengan dasar pengertian yang tertera diatas, serta penjelasan menurut
beberapa literatur, pengertian agen dan Distributor pada dasarnya memang
mempunyai pengertian yang berbeda. Distributor adalah perusahaan atau pihak
yang ditunjuk oleh prinsipal untuk memasarkan dan menjual barang-barang
prinsipalnya dalam wilayah tertentu untuk jangka waktu tertentu, tetapi bukan
sebagai kuasa prinsipal.115 Dengan kata lain, Distributor tidak bertindak untuk dan
115 Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Laporan Pengkajian tentang Beberapa Aspek Hukum Perjanjian Keagenan dan Distribusi, (Jakarta: Departemen Kehakiman, 1992/1993), hal. 9.
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
73
Universitas Indonesia
atas nama prinsipalnya, tetapi bertindak untuk dan atas nama sendiri. Distributor
melakukan usahanya dengan cara membeli sendiri barang-barang dari
prinsipalnya dan kemudian menjualnya kepada para pembeli di dalam wilayah
yang diperjanjikan antara Distributor dan prinsipalnya. Dengan demikian, segala
akibat hukum dari perbuatannya menjadi tanggung jawab Distributor itu
sendiri.116
Berbeda dengan agen, yang dimaksud dengan agen adalah seseorang atau
badan yang usahanya adalah menjadi perantara yang diberi kuasa untuk
melakukan perbuatan hukum tertentu misalnya untuk membuat perjanjian dengan
pihak ketiga, dengan mendapatkan imbalan jasa.117 Dalam hal ini prinsipal akan
bertanggung jawab atas tindakan-tindakan yang dilakukan oleh agen sepanjang
tindakan-tindakan tersebut dilakukan dalam batas kewenangan yang
diberikannya. Oleh karena agen bertindak atas nama prinsipal, maka agen tidak
melakukan pembelian dari prinsipalnya.118 Berbeda dengan Distributor yang
membeli barang dari prinsipal dan kemudian menjual barang tersebut kepada
pembeli.
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan beberapa perbedaan fungsi spesifik
antara agen dan Distributor sebagai berikut:
Agen Distributor
Perusahaan yang menjual barang
atau jasa untuk dan atas nama
prinsipal.
Perusahaan yang bertindak untuk
dan atas namanya sendiri.
Pendapatan yang diterima adalah
hasil dari barang-barang atau jasa
yang dijual kepada konsumen
Membeli dari prinsipal/ produsen
dan menjual kembali kepada
116 Ibid. 117 Ibid. 118 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Ps. 1797 dan Ps. 1801.
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
74
Universitas Indonesia
berupa komisi dari hasil penjualan. konsumen untuk kepentingan
sendiri.
Barang dikirimkan langsung dari
prinsipal kepada konsumen jika
antara agen dengan konsumen
mencapai suatu kesepakatan
Prinsipal tidak selalu mengetahui
konsumen akhir dari produk-
produknya.
Pembayaran atas barang yang telah
diterima oleh konsumen lagsung
kepada prinsipal bukan merlalui
agen.
Distributor bertanggung jawab atas
keamanan pembayaran barang-
barangnya untuk kepentingan
sendiri.
3.3.2 Pihak-Pihak dalam Perjanjian Penunjukan Distributor
Pada umumnya dalam perjanjian penunjukan Distributor terdapat dua
pihak, yaitu prinsipal dengan Distributor. Berdasarkan Permendag Tahun 2006,
prinsipal dibagi menjadi prinsipal produsen dan prinsipal supplier, sedangkan
Distributor dibagi menjadi Distributor tunggal dan Sub-distributor. Berikut adalah
pengertian prinsipal dan Distributor:
Prinsipal adalah:
“perorangan atau badan usaha yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum di luar negeri atau di dalam negeri yang menunjuk agen atau Distributor untuk melakukan penjualan barang dan/atau jasa yang dimiliki/dikuasai. Prinsipal dibedakan menjadi prinsipal produsen dan prinsipal supplier.”
Prinsipal produsen adalah:
“perorangan atau badan usaha yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum, berstatus sebagai produsen yang menunjuk badan usaha lain sebagai agen, agen tunggal, Distributor atau Distributor tunggal untuk melakukan penjualan atas barang hasil produksi dan/atau jasa yang dimiliki/dikuasai.”
Prinsipal supplier adalah:
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
75
Universitas Indonesia
“perorangan atau badan usaha yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang ditunjuk oleh prinsipal produsen untuk menunjuk badan usaha lain sebagai agen, agen tunggal, Distributor atau Distributor tunggal sesuai kewenangan yang diberikan oleh prinsipal produsen.”
Distributor adalah:
“perusahaan perdagangan nasional yang bertindak untuk dan atas namanya sendiri berdasarkan perjanjian yang melakukan pembelian, penyimpanan, penjualan serta pemasaran barang dan/atau jasa yang dimiliki/dikuasai.”
Distributor Tunggal adalah:
“perusahaan perdagangan nasional yang mendapatkan hak eksklusif dari prinsipal berdasarkan perjanjian sebagai satu-satunya Distributor di Indonesia atau wilayah pemasaran tertentu.”
Sub Distributor adalah:
“perusahaan perdagangan nasional yang bertindak sebagai perantara untuk dan atas namanya sendiri berdasarkan penunjukan atau perjanjian dari Distributor atau Distributor tunggal untuk melakukan pemasaran.”
Selanjutnya, pihak yang berhak melakukan penunjukkan Distributor atau
Distributor tunggal adalah:
(i) Prinsipal produsen;
(ii) Prinsipal supplier berdasarkan persetujuan dari prinsipal produsen;
(iii)Perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) yang bergerak di bidang
perdagangan sebagai Distributor/wholesaler;
(iv) Kantor Perwakilan Perusahaan Perdagangan Asing.
Berdasarkan pengertian yang tertera, maka dapat disimpulkan bahwa
prinsipal produsen, PMA yang bergerak di bidang perdagangan sebagai
Distributor/wholesaler, dan Kantor Perwakilan Perusahaan Perdagangan Asing
dapat menjual produknya melalui prinsipal supplier sebelum kepada Distributor
atau langsung kepada Distributor untuk dijual kepada konsumen. Selain itu,
prinsipal mempunyai hak untuk menentukan apakah hanya akan ada Distributor
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
76
Universitas Indonesia
tunggal atau akan ada Sub-distributor. Hal ini akan tergantung dengan skala dan
bentuk usaha prinsipal.
3.3.3 Hak dan Kewajiban Prinsipal dan Distributor
Untuk memperjelas tugas para pihak dan mencegah potensi konflik, maka
perlu diatur secara rinci hak dan kewajiban para prinsipal dan Distributor. Dalam
Permendag Tahun 2006, hanya terdapat 1(satu) pasal yang mengatur tentang hak
dan kewajiban prinsipal dan Distributor, yaitu Pasal 20. Berikut adalah
rangkuman hak dan kewajiban prinsipal dan Distributor secara umum berdasarkan
perjanjian Distributor yang dibuat oleh seorang notaris digabung dengan
Permendag Tahun 2006:119
a. Hak Prinsipal
(i) Prinsipal berhak untuk menunjuk sendiri perusahaan atau perorangan
yang ingin dijadikan Distributornya.
(ii) Prinsipal berhak menerima pembayaran dari Distributor atas barang
atau produk yang telah dibeli oleh Distributor dengan harga yang
telah disepakati kedua belah pihak.
(iii) Prinsipal berhak mengakhiri perjanjian apabila ada cidera janji.
b. Kewajiban Prinsipal
(i) Prinsipal wajib memasok produknya yang didistribusikan kepada
Distributor menurut syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan
penyerahan barang yang disetujui bersama oleh kedua belah pihak.
(ii) Prinsipal wajib memelihara mutu produk dan menyediakan daftar
harga bagi Distributor.
(iii) Prinsipal wajib menjamin pengiriman komponen dan suku cadang
barang-barang yang menjadi obyek perjanjian dengan teratur dalam
rangka pemberian jaminan pelayanan purna jual kepada pemakai
sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (4) Permendag Tahun 2006.
119 Ibid., hal. 28
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
77
Universitas Indonesia
(iv) Prinsipal wajib membantu Distributor dalam keterampilan teknik,
perencanaan dan manajemen dalam memberikan pelayanan purna jual
serta secara teratur memberikan informasi tentang perkembangan,
sebagaimana juga diatur dalam Pasal 20 ayat (1) Permendag Tahun
2006.
c. Hak Distributor
(i) Distributor berhak memilih dan menentukan sendiri prinsipal dan
jenis barang yang akan didistribusikan.
(ii) Distributor berhak untuk bertindak atas nama sendiri dan membuat
perjanjian penjualan untuk produksi yang didistribusikan dalam
daerah yang sudah ditentukan prinsipal.
(iii) Apabila diperlukan, agen, agen tunggal, Distributor atau Distributor
tunggal dapat mempekerjakan tenaga ahli warga negara asing dalam
bidang teknis sesuai dengan ketentuan yang berlaku sebagaimana
diatur dalam Pasal 20 ayat (2) Permendag Tahun 2006.
(iv) Distributor berhak menetapkan harga jual barang kepada konsumen
sehingga memperoleh keuntungan dari penjualan tersebut.
d. Kewajiban Distributor
(i) Distributor wajib mempromosikan dan memasarkan produk yang
didistribusikan dengan sebaik-baiknya.
(ii) Distributor tidak boleh menjual produk dibawah harga minimum
yang telah ditentukan, kecuali dengan persetujuan tertulis prinsipal.
(iii) Distributor wajib melindungi kepentingan dan kerahasiaan prinsipal
terhadap barang dan/atau jasa yang diageni sesuai yang disepakati
dalam perjanjian, sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (3)
Permendag Tahun 2006.
(iv) Distributor wajib langsung membuat perjanjian Distributor dengan
prinsipal.
(v) Distributor membayar semua biaya periklanan, publikasi untuk
promosi barang yang didistribusikan karena ia bertindak atas untuk
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
78
Universitas Indonesia
dan atas nama sendiri, kecuali disetujui oleh prinsipal bahwa biaya
tersebut dipikul oleh prinsipal.
(vi) Menyampaikan laporan kegiatan perusahaan setiap 6 (enam) bulan
sekali kepada Direktur Bina Usaha dan Pendaftaran Perusahaan
(Pasal 19).
3.3.4 Hal-Hal Umum yang Diatur Dalam Perjanjian Penunjukan
Distributor
Menurut Pasal 21 ayat (7) Permendag Tahun 2006, hal-hal yang harus
diatur dalam perjanjian Distributor paling sedikit memuat hal-hal berikut ini:
a. Nama dan alamat lengkap pihak-pihak yang membuat perjanjian;
Bagian ini menjelaskan identitas para pihak serta domisili para pihak. Hal
ini penting untuk menunjukkan kecakapan para pihak dalam melakukan
tindakan hukum serta membuat perjanjian.
b. Maksud dan tujuan perjanjian;
Bagian ini memuat ringkasan dari penunjukan Distributor berikut
kesepakatan antara prinsipal dan Distributor untuk melakukan
pengembangan usaha melalui Distributor.
c. Status keagenan atau kedistributoran;
Dalam bagian ini dijelaskan status Distributor apakah sebagai Distributor
tunggal atau sebagai Sub-distributor. Hal ini dekat kaitannya dengan hak
yang diperoleh Distributor tersebut apakah ia boleh menunjuk sub-
Distributor atau tidak.
d. Jenis barang dan/atau jasa yang diperjanjikan;
Bagian ini memuat produk barang dan/atau jasa yang akan didistribusikan.
Mengingat syarat sah perjanjian yaitu suatu hal tertentu, maka di bagian
ini harus dijelaskan secara rinci jenis barang serta harga barang tersebut.
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
79
Universitas Indonesia
e. Wilayah pemasaran;
Seperti franchise, wilayah pemasaran yang ditetapkan dalam perjanjian
adalah hak untuk beroperasi di wilayah tertentu. Hak tersebut juga
merupakan batasan wilayah bagi Distributor untuk melakukan usaha.
f. Hak dan kewajiban masing-masing pihak;
Bagian hak dan kewajiban yang umumnya harus dilakukan telah diuraikan
diatas sebelumnya. Selain hal-hal yang umum, dapat diperjanjikan juga
hal-hal yang khusus sesuai dengan kesepakatan para pihak. Akan tetapi
hal-hal yang diperjanjikan secara khusus harus dilakukan berdasarkan
itikad baik dan keadilan sesuai dengan Pasal 1338 dan Pasal 1339 KUH
Perdata.
g. Kewenangan;
Bagian ini memuat kewenangan Menteri untuk mengatur mengenai
pendaftaran Distributor. Kewenangan ini kemudian dilimpahkan kepada
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, yang selanjutnya
dilimpahkan lagi kepada Direktur Bina Usaha dan Pendaftaran Perusahaan
(Pasal 3 Permendag Tahun 2006).
h. Jangka waktu perjanjian;
Pada dasarnya, jangka waktu perjanjian tergantung pada kesepakatan para
pihak, namun yang perlu diperhatikan adalah Surat Tanda Pendaftaran
(STP) yang umumnya berlaku paling lama 2 (dua) tahun kecuali
ditetapkan lain dalam perjanjian (Pasal 16 Permendag Tahun 2006). Oleh
karena itu, apabila jangkwa waktu yang ditetapkan dalam perjanjian
kurang dari 2 tahun, maka STP yang berlaku akan sesuai dengan
perjanjian tersebut. Akan tetapi apabila jangka waktu melebihi 2 tahun,
maka setelah 2(dua) tahun, STP tersebut harus diperpanjang sebagaimana
diatur dalam Pasal 9 dan Pasal 13 Permendag Tahun 2006.
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
80
Universitas Indonesia
i. Cara-cara pengakhiran perjanjian;
Perjanjian penunjukan Distributor dapat berakhir apabila jangka waktu
dalam perjanjian sudah berakhir atau berdasarkan kesepakatan dari para
pihak dalam hal jangka waktu perjanjian belum berakhir. Selain itu,
menurut Pasal 22 Permendag Tahun 2006 perjanjian juga dapat berakhir
apabila terjadi hal-hal sebagai berikut:
(i) perusahaan dibubarkan;
(ii) perusahaan menghentikan usaha;
(iii) dialihkan hak keagenan/kedistributorannya;
(iv) bangkrut/pailit; dan
(v) perjanjian tidak diperpanjang.
Apabila pemutusan perjanjian sebagai Distributor tunggal atau Distributor
diikuti dengan penunjukan Distributor baru sebelum berakhirnya STP,
maka STP baru dapat diberikan kepada Distributor baru setelah tercapai
penyelesaian secara tuntas (clean break). Akan tetapi apabila pemutusan
perjanjian secara sepihak oleh prinsipal tidak diikuti dengan penunjukan
Distributor atau Distributor tunggal yang baru, maka prinsipal wajib terus
memasok suku cadang kepada Distributor atau Distributor tunggal yang
lama paling sedikit 2 (dua) tahun untuk menjaga kontinuitas pelayanan
purna jual kepada pemakai barang tersebut. Dalam hal Distributor sudah
tidak melakukan kegiatan usahanya, maka Distributor harus melaporkan
penutupan kegiatan usahanya dan mengembalikan STP asli kepada
Direktur Bina Usaha dan Pendaftaran Perusahaan (Pasal 19 ayat (2)).
j. Cara-cara penyelesaian perselisihan;
Berdasarkan Pasal 23 Permendag Tahun 2006, cara-cara penyelesaian
perselisihan meliputi:
(i) Pengakhiran sesuai dengan isi perjanjian;
(ii) Musyawarah;
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
81
Universitas Indonesia
(iii) Arbitrase;
(iv) Pengadilan sesuai hukum yang dipergunakan.
Dalam perjanjian dapat ditetapkan forum penyelesaian sengketa yang
disepakati oleh kedua bela pihak. Pada umumnya, banyak yang memilih
arbitrase karena prosesnya yang lebih cepat dan tertutup untuk publik.
k. Pilihan Hukum;
Apabila prinsipal dan Distributor merupakan warga negara
Indonesia atau badan hukum indonesia, maka hukum yang dipergunakan
adalah hukum Indonesia. Akan tetapi dalam hal salah satu pihak adalah
warga negara asing, maka harus ditetapkan dalam perjanjian pilihan
hukum atas perjanjian tersebut.
Kebebasan dalam memilih hukum sudah sejak lama diterima oleh
yurisprudensi dan dalam negara-negara barat dengan sistim kapitalisme
liberal dan negara-negara sosialis. Walaupun demikian, terdapat batasan-
batasan dalam melakukan pilihan hukum. Batasan pertama adalah bahwa
pilihan hukum tidak boleh melanggar ketertiban umum. Selain itu, pilihan
hukum tidak boleh digunakan demi melakukan penyelundupan hukum.
Selanjutnya, perjanjian harus masuk dalam bidang kontrak yang dapat
melakukan pilihan hukum seperti perikatan usaha. Hal ini ditekankan
karena terdapat bidang yang dilarang melakukan pilihan hukum seperti
kontrak kerja dimana Hukum Indonesia-lah yang harus berlaku. Terakhir,
hukum yang dipilih harus mempunyai hubungan riil dengan kontrak yang
bersangkutan.120
l. Tenggang waktu penyelesaian.
Tenggang waktu penyelesaian pada dasarnya dapat disepakati antara para
pihak, namun Pasal 22 ayat (6) Permendag Tahun 2006 menyatakan
bahwa apabila dalam 3(tiga) bulan clean break tidak dapat dilakukan,
maka STP diyatakan tidak berlaku dan prinsipal dapat menunjuk
Distributor baru.
120 Sudargo Gautama, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, cet. ke-5,
(Bandung: Binacipta, 1987), hal. 169-170.
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
82
Universitas Indonesia
m. Ketentuan Mengenai Bahasa
Selain ketentuan umum yang ditetapkan dalam Pasal 21 ayat (1) hingga
ayat (7), ayat (8) mengatur bahwa perjanjian yang ditulis dalam bahasa
asing wajib diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerjemah
tersumpah. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya dalam bagian
franchise, ketentuan ini sejalan dengan ketentuan dalam UU No. 24
Tahun 2009. Akan tetapi terjemahan harus dilakukan dengan cermat
karena perbedaan interpretasi dapat merugikan salah satu pihak dalam
perjanjian.
3.3.5 Proses Penunjukan Distributor
Proses penunjukkan Distributor dibagi menjadi 3 bagian,. Pertama, dalam
hal penunjukkan dilakukan oleh Kantor Perwakilan Perusahaan Perdagangan
Asing. Kedua, penunjukkan dilakukan oleh Perusahaan Penanaman Modal Asing
dan ketiga penunjukkan dilakukan oleh perusahaan dalam negeri.
Berdasarkan Permendag Tahun 2006, apabila penunjukkan dilakukan oleh
Perusahaan Penanaman Modal Asing yang bergerak di bidang perdagangan
sebagai Distributor/wholesaler, maka prosedur penunjukkan Distributor di
Indonesia didahului dengan:
(i) Menunjuk perusahaan perdagangan nasional sebagai Distributor atau
Distributor tunggal;
(ii) Penunjukan sebagaimana dimaksud pada huruf (ii) dibuat dalam bentuk
perjanjian yang dilegalisir oleh notaris
(iii)Mendapat persetujuan tertulis dari prinsipal produsen yang diwakilinya di
luar negeri atas perjanjian tersebut.
(iv) Memenuhi semua syarat yang ditentukan dalam Pasal 8 sebelum
melakukan pendaftaran.
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
83
Universitas Indonesia
Apabila penunjukkan Distributor atau Distributor tunggal dilakukan oleh
Kantor Perwakilan Perusahaan Perdagangan Asing, maka prosedur penunjukan
Distributor didahului dengan:
(i) Memiliki Surat Izin Usaha Perwakilan Perusahaan Perdagangan Asing
(SIUP3A).
(ii) Menunjuk perusahaan perdagangan nasional sebagai Distributor atau
Distributor tunggal;
(iii)Penunjukan sebagaimana dimaksud pada huruf (i) dibuat dalam bentuk
perjanjian yang dilegalisir oleh notaris
(iv) Mendapat persetujuan tertulis dari prinsipal produsen yang diwakilinya di
luar negeri atas perjanjian tersebut.
(v) Memenuhi semua syarat yang ditentukan dalam Pasal 8 sebelum
melakukan pendaftaran.
Apabila penunjukkan Distributor atau Distributor tunggal dilakukan oleh
perusahaan dalam negeri, maka prosedut penunjukkan Distributor didahului
dengan:
(i) Menentukan Distributor atau Distributor tunggal dalan bentuk perjanjian
penunjukkan Distributor. Perjanjian yang diadakan perusahaan dalam
negeri sebagai prinsipal tidak perlu di legalisir oleh notaris.
(ii) Memenuhi semua syarat dokumen yang diperlukan untuk pendaftaran
sebagaimana telah diatur dalam Pasal 12.
Tahap selanjutnya setelah menyelesaikan perjanjian penunjukkan
Distributor, maka harus dialanjutkan dengan tahap-tahap berikut:
• Mendaftarkan perjanjian tersebut demi memperoleh Surat Tanda
Pendaftaran yang diterbitkan oleh yang diterbitkan Direktur Bina Usaha
dan Pendaftaran Perusahan, Departemen Perdagangan (Pasal 2).
• Mengajukan permohonan pendaftaran Distributor, Distributor tunggal atau
sub Distributor yang ditandatangani oleh Direktur atau penanggung jawab
perusahaan secara tertulis kepada Direktur Bina Usaha dan Pendaftaran
Perusahaan, Departemen Perdagangan (Pasal 6).
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
84
Universitas Indonesia
• Direktur Bina Usaha dan Pendaftaran Perusahaan menerbitkan STP paling
lambat 5 (lima) hari kerja terhitung sejak diterimanya permohonan
pendaftaran secara lengkap dan benar (Pasal 7).
Demikian landasan teori franchise, lisensi dan Distributor. Bab selanjutnya
dalam skripsi ini akan membandingkan ketiga lembaga tersebut serta menentukan
lembaga yang paling sesuai untuk pengembangan usaha Rica Rico Bika Ambon.
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
85
Universitas Indonesia
BAB 4
PERBANDINGAN ANTARA WARALABA, LISENSI DAN DISTRIBUTOR
(ANALISA KASUS PENGEMBANGAN USAHA RICA RICO)
4.1 PERBANDINGAN ANTARA WARALABA, LISENSI DAN DISTRIBUTOR
4.1.1 Persamaan
a. Badan Usaha yang Terpisah
Waralaba, pemberian lisensi dan Distributor adalah upaya
pengembangan usaha yang dapat diterapkan tidak hanya pada usaha
dengan skala besar, tetapi juga untuk usaha kecil dan menengah. Ketiga
lembaga ini dapat mempermudah penetrasi pasar yang lebih luas tanpa
menambah beban operasional terhadap pemegang usaha pusat atau utama.
Hal ini karena usaha yang dipegang dan dijalankan oleh Penerima
Waralaba, Penerima Lisensi dan Distributor merupakan badan usaha yang
terpisah dari badan usaha Pemberi Waralaba, Pemberi Lisensi dan
prinsipal. Dengan demikian, kedua badan usaha tersebut berdiri sendiri
terlepas dari badan usaha pusat.
b. Produk dengan Merek yang Dipasarkan
Dalam ketiga upaya pengembangan usaha tersebut, Penerima
Waralaba, Penerima Lisensi dan Distributor menjual produk-produk yang
sudah memiliki merek tertentu. Dengan demikian dalam proses
pemasaran, Penerima Waralaba, Penerima Lisensi dan Distributor
menggunakan citra merek yang sudah melekat pada produk tersebut dan
menjualnya pada konsumen. Penggunaan merek dapat meliputi
pemasangan merek pada bagian depan unit usaha.
Dalam waralaba dan lisensi, produk yang dipasarkan adalah produk-
produk dengan merek dagang milik Pemberi Lisensi atau Pemberi
Waralaba. Dengan demikian penggunaan merek dianggap wajar. Dalam
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
86
Universitas Indonesia
Distributor, prinsipal dapat merangkap sebagai produsen yang memegang
kepemilikan merek ataupun tidak. Akan tetapi penggunaan merek oleh
Distributor tidak dilarang dalam peraturan perundang-undangan kecuali
ditentukan lain oleh para pihak. Namun pada intinya, Penerima Waralaba,
Penerima Lisensi dan Distributor berperan sebagai saluran untuk menjual
produk dari pusat kepada konsumen dengan menggunakan merek yang
melekat pada produk tersebut.
c. Tidak ada Pengalihan Kepemilikan atas Know-how atau Hak atas
Paten
Dalam ketiga lembaga tersebut tidak ada pengalihan kepemilikan
atas know-how atau hak atas paten. Dengan demikian, Penerima Waralaba,
Penerima Lisensi dan Distributor tidak mempunyai kepemilikan hak atas
merek dan hak atas paten.
Dalam waralaba dan pemberian lisensi, terdapat disclosure atas
know-how dan teknologi. Perbedaan ini akan selanjutnya dibahas secara
lebih rinci dalam bagian perbedaan di bagian bawah. Walaupun demikian,
adanya disclosure tidak menandakan adanya pengalihan kepemilikan hak
atas paten atau know-how. dengan demikian, kepemilikan hak atas merek,
know-how dan hak atas paten tetap berada pada Pemberi Waralaba,
Pemberi Lisensi, dan produsen.
d. Adanya Pembagian Wilayah
Dalam pelaksanaan pengembangan usaha, terdapat pembagian
wilayah yaitu batasan wilayah usaha yang diberikan kepada, Penerima
Waralaba, Penerima Lisensi maupun Distributor. Wilayah usaha tidak
hanya mencerminkan lokasi usaha tetapi juga untuk menunjukan batasan
wilayah yang diberikan kepada Penerima Waralaba, Penerima Lisensi dan
Distributor untuk mengembangkan bisnisnya. Dalam praktek usaha,
wilayah usaha tidak hanya berperan penting sebagai keseragaman
kepadatan usaha antar wilayah tetapi juga untuk melindungi Penerima
Waralaba, Penerima Lisensi dan Distributor dari persaingan usaha yang
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
87
Universitas Indonesia
tidak sehat. Pada umumnya, luasnya wilayah usaha disepakati oleh kedua
belah pihak.
Peraturan mengenai waralaba tidak menentukan jarak minimal
wilayah usaha antar unit dalam jaringan waralaba. Akan tetapi dalam Pasal
5 PP Waralaba wialyah usaha merupakan detil yang harus ada dalam
perjanjian waralaba. Selain itu, dalam surat Permohonan STPW, salah satu
informasi yang harus diberitahukan adalah wilayah usaha. Pada
prakteknya, terdapat batasan minimal jarak antara satu unit usaha dengan
yang lain. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa wilayah usaha
adalah hal yang wajib ditentukan dan disepakati antara Pemberi Waralaba
dan Penerima Waralaba.
Pada pemberian lisensi, karena pada umumnya diberikan secara
eksklusif HAKI yang dilindungi oleh negara, pembagian wilayah pada
umumnya berlaku pada wilayah negara tersebut. Dengan demikian,
pembagian wilayah bukan dan tidak akan menjadi masalah.121 Dalam hal
Pemberi Lisensi ingin memberikan lisensi kepada pihak lain untuk
melakukan produksi atas produk tertentu dalam negeri, pembagian
wilayah usaha harus disepakati antara Pemberi Lisensi dan Penerima
Lisensi untuk mencegah persaingan usaha yang dapat menjadi potensi
konflik antara kedua belah pihak.
Dalam Distributor, pada umumnya akan disepakati antara para pihak
untuk tujuan yang sama seperti pembagian wilayah pemasaran dalam
waralaba. Dalam Pasal 19 Permendag 2006, apabila terdapat perubahan
wilayah pemasaran, Distributor wajib melaporkan kepada Direktur Bina
Usaha dan Pendaftaran Perusahaan.
4.1.2 Perbedaan
Perbedaan antara waralaba, lisensi dan Distributor dapat dilihat dari 2
perspektif yaitu berdasarkan sifat dan karakteristik, dan ketentuan prosedural
masing-masing lembaga.
121 Ibid., hal. 104.
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
88
Universitas Indonesia
4.1.2.1 Berdasarkan Sifat dan Karakteristik
a. Obyek Perjanjian
Pemberian waralaba merupakan pemberian hak yang sangat luas
kepada pihak ketiga untuk menggunakan HAKI yang sudah dilindungi oleh
Pemberi Waralaba. Dalam waralaba, tidak hanya hak atas penggunaan merek
yang diberikan, tetapi juga dapat mencakup rahasia dagang, format bisnis
dan identitas usaha milik Pemberi Waralaba dalam bidang usaha yang
disepakati. Lingkup pemberian waralaba adalah yang terluas dibandingkan
dengan lisensi dan Distributor dalam hal hak penggunaan HAKI. Penggunaan
identitas usaha tersebut merupakan faktor yang krusial karena akan
menumbuhkan asosiasi pada masyarakat adanya kesamaan produk dan jasa
dengan Pemberi Waralaba. 122
Berbeda dengan waralaba, obyek perjanjian pemberian lisensi
mencakup hanya hak penggunaan merek sebagai obyek utama dalam
perjanjian. Dalam prakteknya, pemberian lisensi merek melekat dengan
license to produce benda dengan merek yang dilisensikan. Contoh konkritnya
adalah pemberian lisensi otomotif dengan merek Jeep Willys yang dibeli oleh
Jepang, dan kemudian dikembangkan menjadi Jeep produk lokal Mitsubishi.
Begitu pula Malaysia yang membeli lisensi Mitsubishi untuk membangun
merek lokal Proton. Mereka semua memakai pola berbasis lisensi dan
royalti.123
Objek perjanjian dalam penunjukkan Distributor adalah hak untuk
menjual dan mendistribusikan produk prinsipal kepada sub-Distributor atau
kepada konsumen. Ketentuan khusus dalam perjanjian penunjukan
Distributor berperan sebagai pelengkap berdasarkan kesepakatan para pihak.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa lingkup objek dalam Distributor
lebih sempit dibandingkan perjanjian waralaba dan pemberian lisensi.
122 Tunggal, loc. cit., hal. 48-57. 123 “Pola Lisensi di Industri Otomotif.” <http://www.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib= beritadetail&id=11044>, diakses pada tanggal 27 Oktober 2009.
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
89
Universitas Indonesia
b. Pembinaan dan Pengawasan
Dalam pewaralabaan terdapat kewajiban pengawasan pelaksanaan
busines format, metode produksi, pemasokan kebutuhan untuk menunjang
usaha Penerima Waralaba serta quality control. Kewajiban tersebut diatur
dalam Pasal 8 PP Waralaba dan Pasal 21 Kepmendag Waralaba.
Dalam lisensi, pengawasan jalannya pelaksanaan dan penggunaan
atau pemanfaatan lisensi merupakan hak Pemberi Lisensi, karena
pengawasan utama dalam pemberian lisensi fokus kepada quality control atas
produk yang dimanufaktur oleh Penerima Lisensi. Quality control merupakan
hal yang sangat penting karena Pemberi Lisensi mempunyai kepentingan
untuk menjaga reputasi merek dan produknya dalam pasar. Dalam lisensi
yang terjadi adalah pemberian izin penggunaan merek, teknologi dan know-
how, dan pengawasan yang tertuju pada kualitas produk yang seragam
dengan Pemberi Lisensi.124 Untuk mempertegas hak Pemberi Lisensi dalam
memberikan pembinaan, praktek pemberian lisensi dimana perjanjian lisensi
dapat dipisahkan dari perjanjian pemberian bantuan teknis atau manajemen,
yang masing-masing dapat melahirkan suatu hak royalti yang independen
bagi Pemberi Lisensi.125 Dalam praktek, quality control dan bantuan teknis
merupakan faktor yang melengkapi perjanjian pemberian lisensi dengan
tujuan melindungi reputasi merek dan produk Pemberi Lisensi yang sudah
dikenal oleh masyarakat.
Dalam Distributor, pada umumnya tidak ada pembinaan ataupun
pengawasan dalam bentuk apapun kecuali diperjanjikan lain dalam perjanjian
penunjukkan Distributor. Ketentuan khusus tersebut dapat berupa ketentuan
dimana Distributor hanya dapat menjual produk dari satu prinsipal saja.
Apabila hal ini yang terjadi, maka pengawasan akan dilakukan oleh prinsipal
untuk memastikan Distributor tidak melanggar ketentuan tersebut. Dapat
dilihat bahwa pengawasan dari prinsipal terhadap Distributor bukan berupa
124 Ibid., hal. 48-57. 125 Widjaja, loc. cit., hal. 102.
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
90
Universitas Indonesia
quality control seperti yang ada dalam waralaba dan pemberian lisensi.
Pengawasan dalam Distributor adalah terhadap pelaksanaan ketentuan khusus
berdasarkan perjanjian antara prinsipal dan Distributor.
c. Kepemilikan Usaha dan Kaitannya dengan Pengendalian Kegiatan
Usaha
Dalam bisnis waralaba, kepemilikan badan usaha sepenuhnya ada
pada Penerima Waralaba. Secara hukum Pemberi Waralaba dan penerima
warlaba adalah dua badan usaha yang terpisah. Walaupun demikian, selama
kerja sama tersebut, Pemberi Waralaba melakukan pengendalian hasil dan
kegiatan dalam kedudukan sebagai pimpinan sistem kerja lama. 126
Dalam lisensi, kepemilikan usaha lisensee dapat disepakati dalam
bentuk persentase saham atas usaha lisensee. Berbeda dengan waralaba,
persentase saham akan menentukan sejauh mana lisensor dapat melakukan
pengendalian terhadap hasil dan kegiatan usaha.127
Dalam Distributor, kepemilikan usaha sepenuhnya milik Distributor.
Selain itu, pengendalian juga sepenuhnya ada dalam pihak Distributor. Hal
ini karena sifat usaha Distributor yang membeli terlebih dahulu dari prinsipal,
dan kemudian menjualnya kepada pihak lain. Secara hukum, produk yang
dibeli dan usahanya sepenuhnya milik Distributor. Oleh karen itu, pada
dasarnya prinsipal tidak mempunyai kendali dan kepemilikan atas usaha
Distributor.
d. Initial Fee dan Royalty
Dalam waralaba, initial fee dan royalty adalah elemen-elemen yang
pada umumnya ada dan dibebankan kepada Penerima Waralaba. Namun
dalam lisensi, pada umumnya tidak ada initial fee, hanya pembagian hasil
dalam bentuk royalty. Dalam Distributor, tidak unsur initial fee dan royalty.
Dalam prakteknya, harga beli Distributor dari prinsipal akan dipotong dengan
persentase tertentu demi memperoleh keuntungan dari harga jual.
126 Tunggal, loc. cit., hal. 48-57. 127 Ibid.
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
91
Universitas Indonesia
Selain adanya initial fee dan royalty, perlu dilihat dasar
pembebanannya. Pembayaran imbalan dalam perjanjian waralaba hanya
dapat dilakukan dalam bentuk direct compensation, yang besarnya
digantungkan pada persyaratan dan atau penjualan barang dan atau jasa
contohnya initial fee yang dikenakan atas dasar hak penggunaan merek dan
format bisnis, dan royalty yang dikenakan berdasarkan hasil penjualan atau
omset. Ini berarti dalam pemberian waralaba tidak dimungkinkannya
pemberian imbalan yang tidak didasarkan atau dikaitkan dengan persayaratan
dan atau penjualan barang dan atau jasa.
Dalam pemberian lisensi, pembatasan tersebut tidaklah berlaku.
Dengan demikian Pemberi Lisensi dapat meminta imbalan dalam bentuk
apapun selama dan sepanjang hak yang disepakati tidak memuat ketentuan
yang dapat merugikan kegiatan ekonomi Indonesia atau mengakibatkan
persaingan usaha tidak sehat.128 Dengan demikian, dalam lisensi dapat
dibebankan biaya seperti biaya transportasi demi berlangsungnya pemberian
lisensi.
Dalam Distributor juga tidak terdapat pembatasan tersebut, karena
pembebanan hanya ada pada pembayaran atas produk yang dibeli oleh
Distributor dengan harga yang lebih rendah dari harga jual kepada konsumen.
e. Peralihan Teknologi
Dalam waralaba, terdapat peralihan tekonologi dalam berbagai
bidang seperti teknologi penyimpanan dalam waralaba SHELL, teknologi
pembuatan ayam goreng dalam waralaba KFC, cara mengolah kopi dalam
waralaba Starbucks, dll.
Dalam lisensi, pada umumnya juga terjadi peralihan teknologi. Hal
ini disebabkan karena dalam praktek usaha, lisensi diberikan dengan hak
untuk memproduksi benda dengan merek yang dilisensikan. Dengan kata
lain, pemberian lisensi pada umumya melekat dengan hak produksi. Peralihan
teknologi dalam pemberian lisensi meliputi proses manufaktur produk-
produk yang dilisensikan. Pemberian lisensi pada umumnya dilakukan
128 Widjaja, loc. cit., hal. 102-103.
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
92
Universitas Indonesia
dilokasi dengan biaya produksi yang lebih murah. Contohnya, banyak
perusahaan yang memberikan lisensi kepada perusahaan manufaktur di China
karena gaji buruh yang rendah, dan insentif yang menguntungkan
perusahaan.
Dalam Distributor, tidak ada peralihan tekonologi sama sekali karena
Distributor membeli produk yang sudah siap dijual kepada pihak lain.
f. Kewenangan Menunjuk Pihak Ketiga
Untuk pemberian waralaba, hak untuk memberikan sub-franchise
kepada pihak lain oleh Penerima Waralaba harus terlebih dahulu disepakati
antara Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba dalam perjanjian waralaba.
Dalam pemberian lisensi, pada dasarnya Penerima Lisensi tidak
berhak memberikan sub-lisensi karena dalam pemberian lisensi tidak ada
pengalihan hak dan hak atas merek sepenuhnya masih ada di pihak Pemberi
Lisensi. Dengan demikian, apabila Penerima Lisensi ingin memberikan sub-
lisensi kepada pihak lain, maka harus mendapatkan persetujuan dari Pemberi
Lisensi.
Dalam Distributor, hak untuk menunjuk sub-Distributor mengacu
pada kesepakatan antara prinspal dan Distributor, apakah penunjukkan
Distributor dan Distributor tunggal disertai dengan hak untuk menunjuk
pihak lain sebagai sub-Distributor. Akan tetapi sub-Distributor pada
umumnya tidak diberi hak untuk menunjuk pihak lain sebagai sub-
Distributor. Kewenangan penunjukkan tersebut ada pada Distributor atau
Distributor tunggal.
4.1.2.2 Berdasarkan Ketentuan Prosedural
a. Pengaturan
Waralaba tunduk dan diatur secara khusus dalam PP Waralaba dan
Keputusan Menteri Perdagangan No. 31/M-DAG/PER/8/2008 Tentang
Penyelenggaraan Waralaba. Demikian juga dengan Distributor yang diatur
dalam Peraturan Menteri Perdagangan No. 11/M-DAG/PER/3/2006 Tentang
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
93
Universitas Indonesia
Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Agen dan/atau
Distributor Baran dan/atau Jasa.
Berbeda dengan waralaba dan Distributor, pemberian lisensi tidak
diatur secara spesifik tetapi tunduk dan diatur dalam berbagai macam
peraturan perundang-undangan dalam bidang hak kekayaan intelektual.
Konsekuensi hukumnya adalah bahwa ruang lingkup pemberian lisensi harus
memperhatikan luasnya perlindungan HAKI yang diberikan oleh negara
kepada Pemberi Lisensi. Walaupun demikian, skripsi ini membahas
pemberian lisensi merek yang secara khusus diatur dalam UU Merek Tentang
Merek. Selain itu, dalam waralaba dan Distributor tidak ada ketentuan seperti
dalam lisensi paksa atas permintaan pihak tertentu yang berwenang.129
b. Jangka Waktu Perjanjian
Perjanjian pemberian waralaba dapat disepakati oleh para pihak,
namun Pasal 12 ayat (5) PP Waralaba dan Pasal 8 ayat (1) Kepmendag
Waralaba menyatakan bahwa STPW yang diberikan berdasarkan pendaftaran
perjanjian waralaba berlaku selama 5 (lima) tahun. Pada peraturan waralaba
yang berlaku pada saat ini, tidak ada larangan atau batas minimal jangka
waktu dalam suatu perjanjian waralaba. Akan tetapi dapat disimpulkan
bahwa pada umumnya perjanjian waralaba berlaku sedikitnya 5(lima) tahun
atau lebih dalam praktek. Apabila perjanjian waralaba melebihi 5(lima)
tahun, maka STPW dapat diperpanjang selama 5 (lima) tahun.
Berbeda dengan pemberian waralaba, ketentuan ini tidak berlaku
bagi pemberian lisensi karena batas minimal waktu tidak ditentukan. Pasal 43
ayat (2) UU Merek mengatur bahwa perjanjian lisensi berlaku untuk jangka
waktu yang tidak lebih lama dari jangka waktu perlindungan Merek terdaftar
yang bersangkutan. Dengan demikian, Pemberi Lisensi dapat dan berhak
untuk menentukan sendiri jangka waktu permberian lisensi, selama dan
sepanjang hal tersebut disetujui oleh Penerima Lisensi dan sesuai dengan
peruntukan HAKI yang dilisensikan.130 Pasal 28 UU Merek menetapkan
129 Widjaja, loc. cit., hal. 102. 130 Ibid., hal. 103.
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
94
Universitas Indonesia
jangka waktu perlindungan bagi suatu merek adalah selama 10 (sepuluh)
tahun dan dapat diperpanjang. Oleh karena itu, pada umumnya, pemberian
lisensi walaupun ditetapkan berdasarkan kesepakatan para pihak, tidak
berlaku lebih dari 10(sepuluh) tahun.
Dalam Distributor, jangka waktu berlakunya perjanjian penunjukkan
Distributor dapat disepakati oleh para pihak, namun perlu diperhatikan Pasal
16 ayat (1) dan ayat (2) Permendag 2006. Ketentuan tersebut menyatakan
bahwa Surat Tanda Pendaftaran sebagai Distributor diberikan selama 2 (dua)
tahun kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian. Dengan demikian, apabila
penunjukkan kurang dari 2 (dua) tahun, maka STP akan berlaku selama
waktu yang disepakati. Tetapi apabila jangka waktu yang disepakati melebihi
2 tahun, maka harus dilakukan perpanjangan setelah 2 (dua) tahun.
c. Penerbitan Izin Usaha
Waralaba melibatkan keikutsertaan pemerintah, dalam hal ini
Departemen Perdagangan dalam penerbitan STPW bagi pelaksanaan usaha
waralaba di Indonesia. Pemberian lisensi di sisi lain, meskipun wajib
dicatatkan kepada Direktorat Jenderal HAKI sebagai bagian dari pemberian
perlindungan negara, tidak melibatkan penerbitan izin usaha baru bagi
Penerima Lisensi.131 Untuk penunjukkan Distributor, seperti waralaba
melibatkan Departemen Perdagangan karena kewajiban pendaftaran bagi
Distributor untuk memperoleh Surat Tanda Pendaftaran.
d. Bahasa dan Hukum yang Berlaku atas Perjanjian
Perjanjian waralaba wajib untuk dibuat dalam bahasa Indonesia
sebagaimana diatur dengan jelas dalam Pasal 4 ayat (2) PP Waralaba dan
Pasal 5 Kepmendag Waralaba. Tujuannya adalah agar terhadap perjanjian
waralaba diberlakukan hukum Indonesia. Ketentuan ini bersifat memaksa
(compulsory) agar nantinya perjanjian waralaba tersebut dapat dilindungi di
Indonesia.
131 Ibid., hal. 104.
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
95
Universitas Indonesia
Dalam perjanjian pemberian lisensi, dapat dipergunakan bahasa yang
dianggap paling menguntungkan bagi para pihak dalam pemberian lisensi.
Dengan demikian, Pemberi Lisensi dan lincensee bebas untuk menentukan
pilihan hukum, selama dan sepanjang hal tersebut tidak menyebabkan
terjadinya penyelundupan hukum.
Ketentuan mengenai bahasa yang dipergunakan dalam perjanjian
penunjukkan Distributor sama seperti waralaba, harus menggunakan Bahasa
Indonesia sebagaimana telah diatur dalam Pasal 21 ayat (8) Peraturan
Menteri Perdagangan No, 11/M-DAG/PER/3/2006. Dalam Peraturan Menteri
tidak ditentukan secara eksplisit bahwa perjanjian penunjukkan Distributor
tunduk pada hukum Indonesia. Akan tetapi dengan mewajibkan Bahasa
Indonesia dalam perjanjian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
perjanjian penunjukkan Distributor tunduk dan diberlakukan hukum
Indonesia.
e. Kewajiban Menyampaikan Laporan
Dalam sistem usaha waralaba, bagi Pemberi Waralaba yang berasal
dari dalam negeri, Pemberi Waralaba lanjutan yang berasal dari luar negeri,
dan Penerima Waralaba yang berasal dari waralaba luar negeri, wajib
menyampaikan laporan kegiatan waralaba kepada Direktur Jenderal
Perdagangan Dalam Negeri cq. Direktur Bina Usaha dan Pendaftaran
Perusahaan dengan tembusan kepada Kepala Dinas yang bertanggungjawab
di bidang perdagangan di kabupaten/kota setempat, sebagaimana diatur
dalam Pasal 24 Kepmendag Waralaba.
Dalam lisensi yang tidak ditentukan kewajiban menyampaikan
laporan tahunan seperti dalam waralaba.
Distributor di sisi lain mengatur kewajiban melapor dalam Pasal 19
Peraturan Menteri Perdagangan No, 11/M-DAG/PER/3/2006. Laporan
kegiatan perusahaan dilakukan kepada Direktur Bina Usahadan Pendaftaran
Perusahaan setiap 6 (enam) bulan sekali.
f. Clean Break
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
96
Universitas Indonesia
Clean break diatur secara khusus dalam ketentuan waralaba. Pasal 6
Kepmendag Waralaba secara tegas tidak memungkinkan pelaksanaan
waralaba oleh Penerima Waralaba baru sebelum segala hak dan kewajiban
Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba berdasarkan perjanjian waralaba
sebelumnya telah diselesaikan dengan cara tercapainya kepepakatan clean
break atau paling lambat setelah 6(enam) bulan setelah pemutusan perjanjian
waralaba.
Ketentuan mengenai pemberian lisensi tidak mengatur soal clean
break. Dengan demikian, perjanjian pemberian lisensi akan mengacu pada
Pasal 1338 ayat (2) KUH Perdata yang menyatakan bahwa perjanjian tidak
dapat ditarik kecuali dengan kesepakatan kedua belah pihak. Dalam hal salah
satu pihak memutuskan perjanjian tersebut, maka dapat dilihat forum yang
telah dipilih dalam perjanjian pemberian lisensi sebagai forum penyelesaian
sengketa.
Seperti waralaba, dalam Distributor harus tercapai penyelesaian
secara tuntas (clean break) antara prinsipal dan Distributor sebelumnya,
sebelum menunjuak Distributor baru dalam wilayah yang sama. Pasal 22 ayat
(6) Peraturan Menteri Perdagangan No, 11/M-DAG/PER/3/2006 mengatur
bahwa apabila tidak tercapai clean break, maka dalam jangka waktu 3(tiga)
bulan STP dinyatakan tidak berlaku dan prinsipal dapat menunjuk Distributor
baru sementara clean break tetap diusahakan.
g. Sanksi untuk Kelalaian dalam Melakukan Pendaftaran
Pasal 26 Permendag Waralaba dan Pasal 18 PP Waralaba dengan
jelas mengatur sanksi dalam bentuk denda sebesar Rp 100.000.000,- (seratus
juta rupiah) apabila Pemberi Waralaba tidak mendaftarakan prospektus atau
Penerima Waralaba tidak mendaftarkan perjanjian waralaba setelah 3x (tiga
kali) peringatan tertulis.
Dalam lisensi, UU No. 15 Tahun 2001 belum mengatur sanksi
apabila terjadi kelalaian mencatatkan pemberian lisensi kepada Direktorat
Jenderal HAKI.
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
97
Universitas Indonesia
Dalam Distributor, Pasal 24 Peraturan Menteri Perdagangan No,
11/M-DAG/PER/3/2006 mengatur bahwa apabila perusahaan tidak
mendaftarkan diri sebagai Distributor dari perusahaan prinsipal, maka akan
dikenakan sanksi berupa pencabutan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP)
apabila telah diperingatkan sebanyak tiga kali oleh Direktur Bina Usaha dan
Pendaftaran Perusahaan.
4.2 LATAR BELAKANG USAHA RICA RICO
Rica Rico adalah usaha produksi dan penjualan kue bika ambon,
brownies serta makanan ringan lainnya seperti kacang-kacangan, jagung
dan ice-cream cone. Produk-produk tersebut dipasarkan melalui counter-
counter kecil dalam beberapa mall. Pada saat ini, Pemilik Rica Rico,
selanjutnya disebut sebagai Pemilik, sudah memiliki 21(dua puluh satu)
counter di beberapa mall seperti ITC Mangga Dua, Emporium Pluit, dan
Mall Of Indonesia di Kelapa Gading dan Pluit Village.
Berdasarkan hasil pembukuan tahun 2008, Rica Rico menghasilkan
omset kurang lebih sebesar Rp 7.000.000.000,- (tujuah miliar rupiah)
dengan keuntungan bersih sebesar Rp 800.000.000,- (delapan ratus juta
rupiah). Selain itu, counter yang tersebar luas di berbagai mall dijaga oleh
45(empat puluh lima) karyawan. Apabila skala usaha dikategorikan
menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil
dan Menengah, selanjutnya disebut sebagai UU UMKM, maka usaha Rica
Rico termasuk dalam kategori usaha menengah. Kriteria usaha menengah
diatur dalam Pasal 6 ayat (3) UU UMKM sebagai berikut:
a. Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah) sampai dengan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh
milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau
b. Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp2.500.000.000,00 (dua
milyar lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak
Rp50.000.000.000,00 (lima puluh milyar rupiah).
Dengan bertambahnya jumlah counter, pemilik Rica Rico
menghadapi masalah dalam pengawasan terhadap seluruh counter. Selain
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
98
Universitas Indonesia
itu, jumlah karyawan yang tidak sedikit menimbulkan masalah perburuhan
yang sulit diatasi sendiri oleh pemilik Rica Rico. Walaupun demikian,
masalah-masalah tersebut tidak menghambat keinginan pemilik Rica Rico
untuk mengembangkan usahanya dengan meningkatkan jumlah counter
dalam mall di seluruh wilaya kota Jakarta. Oleh karena itu, demi
mewujudkan pengembangan usaha Rica Rico, penulis melakukan
penelitian mengenai lembaga yang paling sesuai bagi pengembangan
usaha tersebut.
Sebelum melakukan analisa dan perbandingan antara waralaba,
lisensi dan Distributor, berikut adalah fakta-fakta tentang Rico Rico dan
maksud pengembangan usahanya.
a. Lokasi counter Rica Rico serta jumlah counter dalam satu mall adalah:
(i) ITC Mangga Dua sebanyak 6 counter
(ii) Mangga Dua Square 1 counter
(iii)Sunter Mall 1 counter
(iv) Mall Kelapa Gading 1 counter
(v) Mall of Indonesia 1 counter
(vi) Chandra 1 counter
(vii) Mall Arta Gading 2 counter
(viii) Pluit Village 1 counter
(ix) Pasar Baru 1 counter
(x) Daan Mogot Mall 1 counter
(xi) Palem 1 counter
(xii) Emporium Pluit 1 counter
(xiii) Permata hijau 1 counter
(xiv) Plaza Semanggi 1 counter
(xv) Metropolis town square 1 counter
Dari lokasi-lokasi counter, dapat disimpulkan bahwa counter Rica
Rico sudah tersebar luas di kota Jakarta. Lokasi counter yang tersebar
luas seperti ini menimbulkan masalah pengawasan dari pemilik Rica
Rico dalam memastikan bahwa pemasaran produk telah dilaksanakan
sesuai dengan instruksi yang diberikan. Pengawasan yang dilakukan
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
99
Universitas Indonesia
pada dasarnya meliputi sikap karyawan yang harus aktif mengundang
pengunjung mall untuk mencoba tester yang tersedia, perputaran dan
penyediaan produk dalam counter hingga pembukuan dari setiap
counter.
b. Usaha Rica Rico sudah dimulai sejak tahun 2004 dan telah berhasil
mengembangakan usahanya secara berkelanjutan hingga saat ini.
c. Merek Rica Rico telah terdaftar sejak tahun 2008 karena adanya
kesadaran pemilik akan pentingnya perlindungan terhadap Merek dan
kaitannya dengan reputasi usahanya.
d. Karyawan Rica Rico disediakan tempat tinggal dan makanan di suatu
ruko untuk memudahkan transportasi dan menjamin keamanan
karyawan.
e. Pemilik ingin mengembangkan usahanya tanpa menambah beban
operasional seperti melakukan pengawasan terhadap counter dan
karyawan setiap harinya.
Setelah mengetahui latar belakang dari usaha Rica Rico, berikut
adalah ciri-ciri pengembangan usaha yang diinginkan.
a. Pemilik tidak mempunyai niat untuk memberikan rahasia produksi
kepada pihak manapun.
b. Pemilik membebankan biaya operasional sebesar Rp 12.000.000,- (dua
belas juta rupiah) setiap tahunnya untuk kegunaan biaya transportasi
produk sampai kepada counter setiap hari dan biaya administrasi.
c. Pemesanan produk oleh pihak yang akan menjalankan usaha,
selanjutnya disebut sebagai Pengusaha, dipotong sebesar 30% dari
harga jual.
d. Pengusaha hanya menyediakan tempat dan tenaga kerja karena produk
Rica Rico akan dikirimkan pada pagi hari sampai ke counter.
e. Calon Pengusaha yang berniat dapat melakukan pemantauan terhadap
satu diantara 21 counter yang ada selama 2 minggu sebelum
menandatangani kontrak percobaan selama 3 bulan yang bebas dari
biaya operasional.
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
100
Universitas Indonesia
f. Pembuatan dan harga counter harus disesuaikan dengan konsep Rica-
Rico.
g. Counter hanya boleh menjual produk Rica-Rico saja.
h. Adanya jarak penempatan counter, yaitu 75 m (tujuh puluh lima meter)
pada lantai yang sama dalam satu gedung Mall.
i. Pemilik usaha Rica Rico bersedia membantu melakukan analisa lokasi,
memberikan pelatihan tentang metode penjualan dan melakukan
promosi melalui kartu nama dan situs pemilik.
j. Harga jual ditetapkan oleh pemilik Rica Rico.
k. Pemilik berhak melakukan pengawasan sewaktu-waktu terhadap
counter baru yang dijalankan untuk memastikan pemasaran produk
berlangsung tanpa hambatan.
l. Pemilik memberikan 3(tiga) bulan sebagai masa percobaan yang tidak
dikenakan biaya operasional.
Dengan mengetahui latar belakang usaha Rica Rico, dan
memahami apa yang diinginkan oleh pemilik Rica Rico, maka selanjutnya
akan dilakukan analisa perbandingan antara waralaba, lisensi dan
Distributor untuk menentukan lembaga yang paling tepat untuk
mengembangkan usaha Rica Rico.
4.3 PENENTUAN LEMBAGA BAGI PENGEMBANGAN USAHA RICA RICO
Berdasarkan analisa perbandingan antara waralaba, lisensi dan
Distributor, dan latar belakang usaha Rica Rico, menurut penulis lembaga
yang paling sesuai untuk pengembangan usaha Rica Rico adalah
Distributor. Penunjukkan Distributor adalah langkah yang paling tepat
karena alasan-alasan berikut ini.
a. Obyek Perjanjian adalah Hak Jual
Pemilik Rica Rico tidak berniat untuk membuka rahasia produksi
kue-kue dan makanan ringan kepada pihak ketiga. Dengan demikian, pada
dasarnya yang diberikan kepada pihak lain adalah hak untuk menjual
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
101
Universitas Indonesia
produk Pemilik. Lisensi dianggap lembaga yang kurang sesuai karena
tidak ada hak untuk memproduksi (license to produce) yang diberikan
kepada Pengusaha. Selain itu, berdasarkan maksud Pemilik, tidak ada
disclosure dalam bentuk apapun dari segi pembuatan produk hingga
prospektus penawaran dari Pemilik. Pemilik memang memberikan
kesempatan bagi pihak lain untuk melakukan pemantauan terhadap sistem
manajemen yang digunakan Pemilik selama 2 minggu sebelum
penandatanganan kontrak, namun sifat keterbukaan ini bukan bagian dari
proses pembuatan bika ambon maupun produk Rica Rico lainnya.
Pengusaha yang berminat hanya boleh memantau cara pemasaran Pemilik
yang dijalankan selama ini.
b. Penggunaan Merek
Hak menggunakan merek melingkupi penggunaan merek pada
counter, dalam melakukan promosi dan periklanan pemasaran produk dan
kemasan produk. Berdasarkan asas kebebasan berkontrak, hak penggunaan
merek Pemilik beserta batasan penggunaan merek dapat diatur dalam
perjanjian penunjukkan Distributor sebagai ketentuan khusus dalam
rangka pemasaran produk.
Penggunaan merek sebagaimana dimaksud tidak mengindikasikan
pengembangan usaha ini sebagai pemberian lisensi karena tidak adanya
licence to produce dari Rica Rico. Hal inilah yang juga dipraktekan oleh
Fuji Photo Film Co.Ltd dari Jepang yang menunjuk PT. Modern Photo
Tbk sebagai Distributor Tunggal di Indonesia.132 Dalam penunjukkan ini,
lingkup penggunaan merek oleh counter Fuji Film sama dengan
penggunaan merek dalam Rica Rico, yaitu digunakan pada toko-toko Fuji
Film, dalam periklanan dan kemasan tanpa memberikan hak produksi
kepada PT. Modern Photo Tbk.
c. Tidak ada Quality Control
132 Fujifilm Indonesia, Corporate Information, <http://www.fujifilm.co.id/about
/index.php?mid=37>, diakses pada tanggal 22 Oktober 2009.
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
102
Universitas Indonesia
Dalam Distributor, tidak ada pembinaan dan pengawasan dalam
hal quality control. Dengan demikian, ketentuan ini sesuai dengan
keinginan Pemilik untuk tidak menambah beban operasional dalam
pengembangan usaha. Walaupun demikian, dapat disepakati bahwa
Pemilik berhak sewaktu-waktu melakukan pemantauan terhadap
perputaran produk karena sifat kue bika ambon yang tidak tahan lama.
Waralaba dan lisensi dianggap kurang sesuai karena dalam
pengembangan usaha Rica Rico memang tidak diperlukan quality control.
Hal ini disebabkan karena Pengusaha tidak memproduksi kue bika ambon
dan makanan ringan lainnya.
d. Tidak ada Kepemilikan dan Pengendalian
Dalam hal kepemilikan dan pengendalian usaha, Pemilik tidak
berniat untuk mengendalikan usaha yang dimiliki Pengusaha. Pihak yang
menjalankan usaha bebas melakukan upaya pemasaran selama upaya
tersebut dilakukan dengan itikad baik untuk meningkatkan penjualan.
Upaya yang digunakan untuk menarik pelanggan dibatasi dengan
penetapan harga yang telah ditentukan Pemilik. Pengawasan yang
sewaktu-waktu dijalankan oleh Pemilik bukan merupakan suatu bentuk
pengendalian, tetapi hanya upaya untuk memastikan pemasaran dan
perputaran produk telah dilakukan dengan baik.
e. Biaya Tahunan berupa Biaya Operasional
Dalam pengembangan usaha Rica Rico, dalam satu tahun
dibebankan biaya sebesar Rp 12.000.000,- (dua belas juta rupiah). Biaya
ini dianggap sebagai biaya transportasi pengantaran produk sampai pada
counter setiap pagi dan biaya administrasi.
Dalam waralaba, biaya tahunan seperti ini dapat dianggap sebagai
initial fee. Namun pembayaran dalam pengembangan usaha Rica Rico
bukan kompensasi karena adanya penggunaan jasa atau pengetahuan Rica
Rico. Dengan demikian, biaya tersebut bukan suatu bentuk initial fee.
Pada umumnya di dalam Distributor tidak dikenakan biaya tahunan seperti
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
103
Universitas Indonesia
ini. Namun ketentuan biaya ini dapat ditambahkan dalam perjanjian
penunjukkan Distributor karena biaya ini diperlukan untuk melangsungkan
kegiatan usaha.
f. Prosedur yang Mudah
Pertimbangan lain adalah penerbitan izin usaha dan kaitannya
dengan sanksi. Perjanjian penunjukkan Distributor dapat dilakukan
dibawah tangan dan kemudian didaftarkan kepada Departemen
Perdagangan demi memperoleh Surat Tanda Pendaftaran. Apabila dilihat
dari segi prosedur, pemberian lisensi memang tampak lebih mudah karena
penunjukan Penerima Lisensi hanya perlu dicatatkan tanpa penerbitan izin
usaha baru. Walaupun demikian, dalam prakteknya, tidak semua usaha
kecil dan menengah melakukan pendaftaran karena dalam skala usaha
kecil dan mengengah, para pihak telah memperoleh kepastian dari
perjanjian yang disepakati oleh kedua belah pihak.
Dalam hal penerbitan izin usaha dan kaitannya dengan sanksi,
waralaba menetapkan prosedur dan sanksi yang paling berat yaitu sanksi
denda sebesar Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah) apabila terdapat
kelalaian pendaftaran prospektus dan perjanjian waralaba. Selain itu,
Penjelasan PP Waralaa Pasal 3 huruf b menjelaskan bahwa usaha waralaba
sudah harus terbukti berhasil selama 5 (lima) tahun belakang. Dengan
demikian, waralaba dapat menyulitkan pengembangan usaha Rica Rico
karena Rica Rico berdiri sejak tahun 2004 dan belum mempunyai
prospektus penawaran waralaba yang membuktikan keberhasilannya
selama 5(lima) tahun belakang.
g. Pemilik Tidak Bertanggung Jawab atas Peredaran Barang
dalam Pasar
Salah satu hal penting dan utama yang harus diatur dalam
perjanjian penunjukan Distributor adalah ketentuan yang melepaskan
Pemilik, sebagai Prinsipal, dari tanggung jawab, gugatan dan segala
bentuk ganti rugi atas peredaran barang dari Distributor yang tidak resmi.
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
104
Universitas Indonesia
Apabila Rica Rico dapat berkembang dan dapat melakukan penetrasi pasar
sampai lokasi yang sangat luas, maka kontrol terhadap pendistribusian
barang akan sangat sulit diawasi. Dengan melepaskan tanggung jawabnya
terhadap peredaran barang dari Distributor yang tidak resmi, maka para
Distributor tidak dapat menggugat Pemilik dengan alasan terdapat produk
Rica Rico yang beredar tanpa melalui Distributor resmi dari Pemilik Rica
Rico. Dengan demikian, Pemilik memperoleh suatu kepastian akan
perlindungan hukum terhadap peredaran barang.
h. Pembagian Wilayah Pemasaran
Pemilik menetapkan jarak minimum 75m (tujuh puluh lima meter)
antara satu counter dengan counter yang lain dalam satu lantai di mall
yang sama. Ketentuan seperti ini pada parakteknya banyak dilakukan
dalam usaha waralaba. Namun dalam penunjukkan Distributor juga sering
dilakukan demi mencegah persaingan usaha tidak sehat.
i. Bahasa dalam Perjanjian
Perjanjian penunjukkan Distributor harus menggunakan Bahasa
Indonesia atau diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Dalam hal
pengembangan usaha Rica Rico, kemungkinan besar pihak yang berminat
adalah warga negara Indonesia. Hal ini karena Pemilik adalah seorang
WNI, dan langkah publikasi yang ditempuh juga masih dalam lingkup
nasional. Oleh karena itu, bahasa bukan merupakan masalah dalam
pengembangan usaha ini karena perjanjian penunjukkan Distributor ini
tunduk dan terhadapnya berlaku Hukum Indonesia.
j. Kewajiban Menyampaikan Laporan
Selanjutnya, dalam penunjukkan Distributor, terdapat kewajiban
menyampaikan laporan kegiatan perusahaan kepada Direktur Bina Usaha
dan Pendaftaran Perusahaan setiap 6 (enam) bulan sekali. Walaupun
demikian, dalam praktek tidak semua usaha kecil dan menengah
menyampaikan laporan ini. Selain skala usaha yang tidak besar,
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
105
Universitas Indonesia
penegakkan sanksi atas kelalaian penyampaian laporan terhadap
pengusaha kecil dan menengah tidak dilakukan secara tegas. Penulisan ini
tidak membenarkan ketidaktaan atas hukum yang berlaku, namun jiwa dari
Peraturan Menteri Perdagangan No, 11/M-DAG/PER/3/2006 adalah untuk
kepastian hukum dan kepastian usaha. dengan demikian, apabila usaha
faktor penting yang harus diperhatikan dalam perjanjian penunjukkan
Distributor adalah kepastian hukum dan kepastian usaha, walaupun tidak
ada penyampaian laporan.
k. Distributor Tidak Berhak Menunjuk Pihak Ketiga sebagai Sub-
Distributor
Dalam pengembangan usaha Rica Rico, pihak yang berminat tidak
diberikan hak untuk memberikan menunjuk pihak ketiga sebagai
Distributor. Hal ini karena dalam penunjukkan distribtuor tidak ada
pengalihan hak atas merek, hanya hak untuk menjual produk Rica Rico.
Dengan demikian, seluruh pihak yang berminat untuk menjalan usaha Rica
Rico harus mendapatkan kesepakatan dari Pemilik sebagai pihak yang
dilindungi hak mereknya.
Setelah melakukan analisa yang tertera diatas, dapat disimpulkan
bahwa penunjukkan Distributor adalah langkah yang tepat bagi
pengembangan usaha Rica Rico. Penunjukkan Distributor tidak hanya
mempunyai batasan hak yang jelas, tetapi juga sejalan dengan maksud
pengembangan usaha Rica Rico. Tidak dapat dipungkiri bahwa beberapa
ciri yang diinginkan oleh Pemilik memiliki sedikit ciri khas dari waralaba,
namun tidak ada prinsip disclosure dan quality control dalam
pengembangan usaha Rica Rico. Selain itu, ketentuan yang mengatur
penunjukkan Distributor tidak menetapkan larangan untuk adanya
ketentuan khusus yang dapat dituangkan dalam perjanjian penunjukkan
Distributor.
Di sisi lain, lisensi dianggap kurang tepat karena tidak adanya hak
produksi yang diberikan kepada pengusaha yang berminat menjalankan
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
106
Universitas Indonesia
usaha Rica Rico. Memang benar dari segi prosedur pemberian lisensi lebih
menetapkan prosedur yang lebih mudah karena hanya perlu dicatatkan.
Akan tetapi dilihat dari maksud dan tujuan Pemilik, Distributor adalah
pilihan yang paling tepat dan sesuai dengan jenis usahanya. Selain itu,
untuk ukuran usaha dengan skala kecil dan menengah seperti Rica Rico,
pada prakteknya, beberapa aspek prosedural tidak wajib dilakukan selama
kepastian hukum dan kepastian usaha dapat tercapai antara para pihak.
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
107
Universitas Indonesia
BAB 5
PENUTUP
5. 1 KESIMPULAN
Pengembangan UMKM memang merupakan faktor yang tidak kalah
penting dalam perkembangan ekonomi nasional. Oleh karena itu, pengertian
mengenai upaya pengembangan usaha harus disosialisasikan kepada masyarakat
sehingga pengusaha mengerti opsi dan kesempatan yang tersedia. Waralaba,
lisensi dan Distributor adalah tiga dari sekian banyak cara pengembangan usaha
yang dapat membantu memperluas penetrasi pasar dan memperluas jaringan
usaha. Dengan memahami ketiga lembaga tersebut, sarana pengembangan usaha
yang dilaksanakan akan lebih efektif dan efisien sesuai dengan sifat, tujuan dan
skala usaha yang sedang dijalankan.
Setelah membandingkan lembaga waralaba, lisensi dan Distributor, maka
dapat disimpulkan bahwa:
a. Akibat hukum pemberian waralaba adalah pemberian hak kepada
Penerima Waralaba untuk menggunakan merek dan format bisnis Pemberi
Waralaba. Dengan demikian, waralaba meliputi pemberian lisensi dan hak
penggunaan format bisnis Pemberi Waralaba. Dalam pemberian lisensi,
Penerima Lisensi mendapatkan hak untuk menggunakan merek Pemberi
Lisensi dan dalam praktek meliputi hak untuk memproduksi. Selanjutnya,
akibat hukum Distributor adalah bahwa Distributor mendapatkan hak
untuk menjual produk prinsipal. Dalam ketiganya, walaupun Penerima
Waralaba, Penerima Lisensi, dan Distributor dapat menggunakan merek
pada unit usaha, namun yang perlu diperhatikan adalah lingkup
penggunaan hak atas kekayaan intelektual dalam pengembangan usaha.
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
108
Universitas Indonesia
b. Lembaga pengembangan usaha yang paling sesuai bagi Rica Rico adalah
lembaga Distributor. Hal ini karena tidak ada disclosure dalam
pengembangan usaha Rica Rico. Selain itu, Pemilik tidak berniat
membuka rahasia dagang kepada pihak lain. Dengan demikian, hak utama
yang diberikan hanyalah hak untuk menjual produk Rica Rico.
Penggunaan merek pada counter sama adanya dengan penggunaan merek
Fuji Photo Film oleh PT. Modern Photo Tbk, yang menggunakan lembaga
Distributor sebagai upaya pengembangan usahanya dari Jepang.
c. Ketentuan khusus yang harus diatur dalam perjanjian pengembangan
usaha adalah ketentuan yang mengatur bahwa Pengusaha tidak
bertanggung jawab atas peredaran barang dari Distributor tidak resmi.
Ketentuan khusus ini penting untuk melindungi prinsipal terhadap
penuntutan oleh Distributor resmi karena peredaran barang dari Distributor
yang tidak resmi. Hal ini karena pengawasan terhadap peredaran barang
dalam pasar akan sulit dilakukan apabila usaha Rica Rico menjadi luas dan
tersbar pada wilayah usaha yang luas seperti luar kota.
5.2 SARAN
Berdasarkan kesimpulan diatas, saran yang dapat diberikan adalah sebagai
berikut:
a. Ketentuan mengenai waralaba sebaiknya menentukan skala usaha yang
masuk dalam lingkup peraturan tersebut karena sanksi denda sebanyak
Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah) tidak sesuai apabila diterapkan bagi
usaha kecil dan menengah.
b. Skala dan jenis usaha yang wajib menyampaikan laporan seharusnya
dijelaskan dalam ketentuan mengenai kewajiban untuk menyampaikan
laporan setiap 6(enam) bulan sekali bagi Distributor. Hal ini karena dalam
praktek, usaha kecil dan menengah tidak menyampaikan laporan ini dan
tidak ada kepastian hukum mengenai sanksi yang diterapkan.
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
Universitas Indonesia
DAFTAR REFERENSI
1. Buku
Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman. Laporan Pengkajian tentang Beberapa Aspek Hukum Perjanjian Keagenan dan Distribusi. Jakarta: Departemen Kehakiman, 1992/1993.
Darmabrata, Wahyono. Hukum Perkawinan dan Keluarga di Indonesia, Cet. 1. Jakarta: Rizkita, 2002.
Ekotama, Suryono. Cara Gampang Bikin Bisnis Franchise. Yogyakarta: MedPress, 2008.
Gautama, Sudargo. Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, cet. ke-5. Bandung: Binacipta, 1987.
Hakim, Lukman. Info Lengkap Waralaba. Yogyakarta: MedPress, 2008.
Harahap, M. Yahya. Segi-Segi Hukum Perjanjian. Bandung: Penerbit Alumni, 1986.
Jones, Gareth R. dan Jennifer M. George. Contemporary Management, ed. 3. McGraw-Hill: Irwin, 2003.
Julius, Robert T. dan William Slater Vincent. Achieving Wealth Through Franchising: A Comprehensive Manual to Finding, Starting and Succeeding in a Franchise Business. Adam Media Corp, 2001.
Khera, Pradmod, Franchising: The Route Map to Rapid Business Excellence. Tata McGraw-Hill Publishing Company Ltd.: New Delhi, 2001.
Mahdi, Sri Soesilowati; Surni Ahlan Sjarif, dan Akhmad Budi Cahyono. Hukum Perdata (Suatu Pengantar). Jakarta: Gitama Jaya, 2005.
Mamudji, Sri et. al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.
Megginson, Leon C., Mary Jane Byrd, dan William L. Megginson. Small Business Management: an Entrepreneur’s Guidebook. Irwin: McGraw-Hill, 2003.
Pramono, Nindyo. Bunga Rampai Hukum Bisnis Aktual. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006.
Prodjodikoro, Wirjono. Azas-azas Hukum Perjanjian, cet 10. Bandung: Bale Bandung, 1985.
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
Universitas Indonesia
Rachmadi, Bambang N. Franchising The Most Practical and Excellent Way of Succeeding. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2007.
Rusli, Hardijan. Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, cet.2. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996.
Saleh, Roeslan. Seluk Beluk Praktis Lisensi, cet. 2. Jakarta: Sinar Grafika, 1991.
Sarosa, Pietra. Kiat Praktis Membuka Usaha-Mewaralabakan Usaha Anda. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2004.
Sewu, P. Lindawaty S. Franchise: Pola Bisnis Spektakuler dalam Perspektif Hukum dan Ekonomi. CV. Utomo: Bandung, 2004.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia, 2007.
Subekti. Hukum Perjanjian, cet. 20. Jakarta: Intermasa, 2004.
______. Pokok-Pokok Hukum Perdata, cet. 32. Jakarta: Intermasa, 2005.
Suharnoko dan Endah Hartati. Doktrin Subrogasi, Novasi, dan Cessie, cet. 3. Jakarta: Kencana, 2008.
Suharnoko, Hukum Perjanjian, cet. 4. Jakarta: Kencana, 2007.
Sumardji, Juajir. Aspek-Aspek Hukum Franchise dan Perusahaan Transnasional. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1995.
Tunggal, Iman Sjahputra. Franchising Konsep & Kasus. Jakarta: 2004, Harvarindo.
Widjaja, Gunawan. Waralaba, cet. 2. Jakarta: PT RajaGRafindo Persada, 2003.
_______________. Seri Hukum Bisnis Lisensi. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001.
_______________. Lisensi atau Waralaba, Suatu Panduan Praktis. Jakarta:PT RajaGrafindo Persada, 2004.
2. Peraturan Perundang-undangan
Indonesia, Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Tentang Penyelenggaraan Waralaba, No. 31/M-DAG/PER/2008.
________, Peraturan Menteri Perdagangan tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Agen atau Distributor Barang dan/atau Jasa, No. 11/M-DAG/PER/3/2006.
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
Universitas Indonesia
________, Peraturan Pemerintah Tentang Waralaba, PP No. 42 Tahun 2007, LN No. 90 Tahun 2007, TLN No. 4742.
________, Undang-Undang Tentang Desain Industri, No. 31 tahun 2000, LN No. 243 tahun 2000, TLN. No. 4045.
________, Undang-Undang Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, No. 32 tahun 2000, LN No. 244 tahun 2000, TLN. No. 4046.
________, Undang-Undang Tentang Merek, No. 15 tahun 2001, LN No. 110 tahun 2001, TLN. No. 4131.
________, Undang-Undang Tentang Merek, UU No. 15 Tahun 2001, LN No. 110 Tahun 2001, TLN No. 4131.
________, Undang-Undang Tentang Paten, No. 14 tahun 2001, LN No. 109 tahun 2001, TLN. No. 4130.
________, Undang-Undang Tentang Rahasia Dagang, No. 30 tahun 2000, LN No. 242 tahun 2000, TLN. No. 4044.
________, Undang-Undang Tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, UU No. 20 Tahun 2008, LN No. 93 Tahun 2008, TLN No. 4866.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), diterjemahkan oleh R. Soebekti dan R. Tjitrosudibio, cet. 37. Jakarta: Pradnya Paramita, 2006.
3. Internet
“2009, UKM Dorong Perekonomian Indonesia.” <http://www.kompas.com/read/xml/2009/01/20/13185437/2009.ukm.dorong.perekonomian.indonesia>. 20 Januari 2009.
“Internet Turut Mendorong Perkembangan Hukum Perjanjian.” <http://cms.sip.co.id/hukumonline/detail.asp?id=21788&cl=Berita>. 22 April 2009.
“Pola Lisensi di Industri Otomotif.” <http://www.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib= beritadetail&id=11044>. 27 Oktober 2009.
“Telekomunikasi dan Teknologi e-Commerce.” <http://cms.sip.co.id/hukumonline/klinik_detail.asp?id=5517>. 17 September 2009.
Fujifilm Indonesia, Corporate Information, <http://www.fujifilm.co.id/about /index.php?mid=37>. 22 Oktober 2009.
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
Universitas Indonesia
Hafsah, Muhammad Jafar. “Upaya Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah.” <http://www.smecda.com/deputi7/file_Infokop/EDISI%2025/pengemb_UKM.pdf>. 24 Agustus 2009.
Hong Kong Law Reform Commission. “Sub-Committee on Privity of Contract Consultation Paper,” <http://www.hklii.org/hk/other/hklrc/cp/2004/0 5/2.html#Heading430>. 4 September 2009.
Musy, Alberto M. “The Good Faith Principel in Contract Law and the Precontractual Duty to Disclose: Comparative Analysis of New Differences in Legal Cultures.” <http://www.icer.it/docs/wp2000 /Musy192000.pdf>. Desember 2000.
Rahman, Hatta Haris. “I Wayan Dipta: Decision Support System Sebagai Studi Kelayakan Finansial Bagi UMKM.” <http://www.madina-sk. com/index.php?option=com_content&task=view&id=5597&Itemid=8>. 31 Agustus 2009.
Sitanggang, Bachtiar. “Release and Discharge, Tak Dikenal Dalam Sistem Hukum Indonesia”. <http://pandapotan.today.com/2009/04/24/prof-dr-rosa-agustina-trisnawati-sh/>. 23 April 2009.
Perbandingan antara..., Stephanie, FH UI, 2010
Top Related