Download - PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS

Transcript
Page 1: PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS

PRESENTASI KASUS

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS PADA

PASIEN DIABETES MELITUS TIPE II

Disusun oleh:

RINA WULANDARI

20100310046

Pembimbing: dr. Ferry Kurniasih, Sp. PD

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN DAN

ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

RSUD KOTA MUNTILAN

Page 2: PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS

HALAMAN PENGESAHAN

Telah disetujui dan disahkan, refleksi kasus dengan judul

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS

PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE II

Disusun oleh:

Nama: Rina Wulandari

No. Mahasiswa: 20100310046

Telah dipresentasikan

Hari / Tanggal: / Desember 2014

Disahkan oleh:

Dosen Pembimbing,

Dr. Ferry Kurniasih, Sp. PD

Page 3: PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS

BAB I

PENDAHULUAN

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. K

Usia : 77 tahun

Jenis Kelamin : laki-laki

Agama : Islam

Alamat : Selak, Pabelan, Magelang.

Tanggal Masuk : 23 Desember 2014

B. ANAMNESIS

1. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke IGD dengan keluhan sesak napas, batuk berdahak dan lemas.

2. Riwayat Penyakit Dahulu

Tidak terdapat riwayat penyakit dahulu (disangkal).

3. Review Sistem

Kepala leher : tidak ada keluhan

THT : tidak ada keluhan

Respirasi : napas sesak

Gastrointestinal : tidak ada keluhan

Kardiovaskular : tidak ada keluhan

Perkemihan : tidak ada keluhan

Sistem Reproduksi : tidak ada keluhan

Kulit dan Ekstremitas : terdapat makula pada tangan kanan dan kiri

Gaya hidup : pasien merupakan mantan perokok berat sejak usia 20 tahunan

dan sehari bisa habis 1 bungkus rokok hingga usia 70 tahunan.

Pasien berhenti merokok setelah muncul gejala sesak napas.

C. Riwayat Perjalanan Penyakit Pasien

S : Pasien datang ke IGD dengan keluhan sesak napas, lemas, batuk berdahak.

Pasien merupakan pasien rawat jalan sejak tahun 2007 dengan diagnosis awal

diabetes melitus tipe II dengan komplikasi bronchitis. Pada waktu di IGD

pasien tampak sangat sesak napas sehingga harus di nebulisasi dengan

Page 4: PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS

ventolin dan pulmicort tetapi tidak membaik. GDS awal di IGD adalah 258

mg/dl.

O : Keadaan Umum : tampak sesak dan kesulitan bernapas.

Kesadaran : CM, baik.

TD : 148/88 mmHg

Nadi : 88 x/menit, regular, isi dan tegangan cukup

RR : 28 x

Suhu : 36 0C

Kepala dan Leher : Conjungtiva anemis -/-

Sklera Ikterik -/-

Pembesaran Limfonodi tidak teraba

Cor : S1 dan S2 regular

Thorak : Simetris +/+, ketinggalan gerak -/-, vocal fremitus

tidak ada peningkatan maupun penurunan, sonor +/+,

retraksi +/+

Pulmo : vesikuler +/+, ronkhi -/- , wheezing +/+

Abdomen : Supel (+), nyeri tekan (-), peristaltik usus (+) normal,

timpani (+), ascites (-), turgor baik.

Ekstremitas : edema (-), akral hangat (+), makula pada tangan kanan

dan kiri, CRT <2s.

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Darah Rutin

Leukosit : 15,58 (H) (N: 5-10)

Hemoglobin : 14,2 (N: 13-16)

Trombosit : 340 (N: 150-400)

Hematokrit : 42,3 (N: 40-48)

Eritrosit : 4,79 (N: 4,5-5,5)

2. Kimia Darah

Gula darah sewaktu : 258 mg/dl

3. Rontgen Thorak

Apex pulmo baik

Corakan bronkovascular bertambah

Infiltrat peribronchial +

Page 5: PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS

Air bronchogram +

SIC melebar

Diafragma mendatar

Cor CRT <0,50

Kesan Bronchitis Chronis

E. ASSESMENT

Diabetes melitus tipe II

Hipertensi

PPOK

F. TERAPI

Infus RL 20 tpm

O2 3-4 Lpm

Drip aminophilin 2A 12 tpm mikrolini

Injeksi metilprednisolon ½ A/ 8 jam

Drip NAC1/2 A /12 jam

Kapsul sesek 2x1

Nebulizer / 8 jam Ventolin : Pulmicort 1:1

Injeksi ceftriaxon 2 gram/ 24 jam

BAB II

Page 6: PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS

TINJAUAN PUSTAKA

Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan salah satu dari kelompok penyakit

tidak menular yang telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Hal ini

disebabkan oleh meningkatnya usia harapan hidup dan semakin tingginya pajanan faktor

risiko, seperti faktor pejamu yang diduga berhubungan dengan kejadian PPOK, semakin

banyaknya jumlah perokok khususnya pada kelompok usia muda, serta pencemaran udara di

dalam ruangan maupun di luar ruangan dan di tempat kerja.

A. Definisi

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) didefinsikan sebagai penyakit atau gangguan

paru yang memberikan kelainan ventilasi berupa ostruksi saluran pernapasan yang bersifat

progresif dan tidak sepenuhnya reversible. Obstruksi ini berkaitan dengan respon inflamasi

abnormal paru terhadap partikel asing atau gas yang berbahaya.

Pada PPOK, bronkitis kronik dan emfisema sering ditemukan bersama, meskipun

keduanya memiliki proses yang berbeda. Akan tetapi menurut PDPI 2010, bronkitis kronik

dan emfisema tidak dimasukkan definisi PPOK, karena bronkitis kronik merupakan diagnosis

klinis, sedangkan emfisema merupakan diagnosis patologi.

Bronkitis kronik merupakan suatu gangguan klinis yang ditandai oleh pembentukan

mukus yang meningkat dan bermanifestasi sebagai batuk kronik. Emfisema merupakan suatu

perubahan anatomis parenkim paru yang ditandai oleh pembesaran alveolus dan duktus

alveolaris serta destruksi dinding alveolar.

B. Epidemiologi

Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa menjelang tahun 2020

prevalensi PPOK akan meningkat sehingga sebagai penyebab penyakit tersering peringkatnya

dari ke-12 menjadi ke-5 dan sebagai penyebab kematian tersering peringkatnya juga

meningkat dari ke-6 menjadi ke-3. Pada 12 negara Asia Pasifik, WHO menyatakan angka

prevalensi PPOK sedang-berat pada usia 30 tahun keatas, dengan rerata sebesar 6,3%,

dimana Hongkong dan Singapura dengan angka prevalensi terkecil yaitu 3,5% dan Vietnam

sebesar 6,7%.

C. Faktor Resiko

Page 7: PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS

Genetik.

PPOK merupakan suatu penyakit yang poligenik disertai interaksi lingkungan genetik

yang sederhana. Faktor risiko genetik yang paling besar dan telah di teliti lama adalah

defisiensi α1 antitripsin, yang merupakan protease serin inhibitor. Biasanya jenis

PPOK yang merupakan contoh defisiensi α1 antitripsin adalah emfisema paru yang

dapat muncul baik pada perokok maupun bukan perokok, tetapi memang akan diperberat

oleh paparan rokok. Bahkan pada beberapa studi genetika, dikaitkan bahwa patogenesis

PPOK itu dengan gen yang terdapat pada kromosom 2q.1

Paparan Partikel Inhalasi.

Dari berbagai macam pejanan inhalasi yang ada selama kehidupan, hanya asap rokok

dan debu-debu pada tempat kerja serta zat-zat kimia yang diketahui sebagai

penyebab PPOK. Paparan itu sendiri tidak hanya mengenai mereka yang merupakan

perokok aktif, bahkan pada perokok pasif atau dengan kata lain environmental smokers

berisiko menderita PPOK . Pada perokok pasif didapatkan penurunan VEP1 tahunan

yang cukup bermakna pada orang muda yang bukan perokok. Bahkan yang lebih

menarik adalah pengaruh rokok pada bayi jika ibunya perokok aktif atau bapaknya

perokok aktif dan ibunya menjadi perokok pasif, selain didapati berat bayi lebih rendah,

maka insidensi anak untuk menderita penyakit saluran pernafasan pada 3 tahun pertama

menjadi meningkat. Shahab dkk melaporkan bahwa besarnya insidensi PPOK yang telah

terlambat didiagnosis, memiliki kebiasaan merokok yang tinggi. PPOK yang berat

berdasarkan derajat spirometri, didapatkan hanya sebesar 46,8% ( 95% CI 39,1-54,6)

yang mengatakan bahwa mereka menderita penyakit saluran nafas, sisanya tidak

mengetahui bahwa mereka menderita penyakit paru dan tetap merokok. Status merokok

justru didapatkan pada penderita PPOK sedang dibandingkan dengan derajat keparahan

yang lain. Begitu juga mengenai riwayat merokok yang ada, ternyata prevalensinya tetap

lebih tinggi pada penderita PPOK yang sedang (7,1%, p<0,02).23

Paparan lainya yang dianggap cukup mengganggu adalah debu-debu yang

terkait dengan pekerjaan ( occupational dusts ) dan bahan-bahan kimia. Meskipun

bahan-bahan ini tidak terlalu menjadi sorotan menjadi penyebab tingginya insidensi dan

prevalensi PPOK, tetapi debu-debu organik dan inorganik berdasarkan analisa studi

populasi NHANES III didapati hampir 10.000 orang dewasa berumur 30-75 tahun

menderita PPOK terkait karena pekerjaan. American Thoracic Society (ATS) sendiri

menyimpulkan 10-20% paparan pada pekerjaan memberikan gejala dan kerusakan yang

bermakna pada PPOK.

Page 8: PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS

Polusi udara dalam ruangan yang dapat berupa kayu-kayuan, kotoran hewan, sisa-sisa

serangga, batubara, asap dari kompor juga akan menyebabkan peningkatan insidensi

PPOK khususnya pada wanita. Selain itu, polusi udara diluar ruangan juga dapat

menyebabkan progresifitas kearah PPOK menjadi tinggi seperti seperti emisi bahan

bakar kendaraan bermotor. Kadar sulfur dioksida (SO2) dan nitrogen dioksida (NO2)

juga dapat memberikan sumbatan pada saluran nafas kecil (Bronkiolitis) yang

semakin memberikan perburukan kepada fungsi paru.

Pertumbuhan dan perkembangan paru.

Pertumbuhan dan perkembangan paru yang kemudian menjadi PPOK pada masa

berikutnya lebih mengarah kepada status nutrisi bayi pada saat dalam kandungan, saat

lahir, dan dalam masa pertumbuhannya. Pada suatu studi yang besar didapatkan

hubungan yang positif antara berat lahir dan VEP1 pada masa dewasanya.

Stres Oksidatif.

Paparan oksidan baik dari endogen maupun eksogen terus menerus dialami oleh paru-

paru. Sel paru-paru sendiri sebenarnya telah memiliki proteksi yang cukup baik secara

enzimatik maupun non enzimatik. Perubahan keseimbangan antara oksidan dan anti

oksidan yang ada menyebabkan stres oksidasi pada paru-paru. Hal ini akan mengaktivasi

respon inflamasi pada paru-paru.

Jenis Kelamin.

Prevalensi PPOK lebih sering terjadi pada Pria di bandingkan wanita, tetapi

penelitian dari beberapa negara maju menunjukkan bahwa saat ini insidensi antara pria

dan wanita hampir sama, dan terdapat beberapa studi yang mengatakan bahwa wanita

lebih rentan untuk dirusak oleh asap rokok dibandingkan pria. Hal ini dikarenakan

perubahan kebiasaan, dimana wanita lebih banyak yang merupakan perokok saat ini.

Infeksi.

Infeksi viral maupun bakteri berperan dalam patogenesis dan progresifitas PPOK dan

kolonisasi bakteri berhubungan dengan terjadinya inflamasi pada saluran pernafasan dan

berperan penting terhadap terjadinya eksaserbasi dimana kolonisasi virus seperti

rhinovirus pada saluran nafas berhubungan dengan peradangan saluran nafas dan jelas

sekali berperan pada terjadinya eksaserbasi akut pada PPOK. Riwayat tuberkulosis juga

dihubungkan dengan di temukannya obstruksi saluran nafas pada dewasa tua pada saat

umur diatas 40 tahun.

Status sosioekonomi dan nutrisi.

Page 9: PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS

Meskipun tidak terlalu jelas hubungannya, apakah paparan polutan baik indoor

maupun outdoor dan status nutrisi yang jelek serta faktor lain yang berhubungan dengan

kejadian PPOK, tetapi semua faktor-faktor tersebut berhubungan erat dengan status

sisioekonomi.

Komorbiditas.

Asma memiliki faktor risiko terhadap kejadian PPOK, berdasarkan penelitian pada

Tucson Epidemiologi Study of Airway Obstructive Disease, bahwa orang dewasa dengan

asma akan mengalami 12 kali lebih tinggi risiko menderita PPOK.

D. Patogenesis PPOK

Perubahan patologi pada PPOK mencakup saluran nafas yang besar dan kecil bahkan

unit respiratori terminal. Terdapat 2 kondisi pada PPOK yang menjadi dasar patologi yaitu

bronkitis kronis dengan hipersekresi mukus dan emfisema paru yang ditandai dengan

pembesaran permanen dari ruang udara yang ada, mulai dari distal bronkiolus terminalis,

diikuti destruksi dindingnya tanpa fibrosis yang nyata.

Penyempitan saluran nafas tampak pada saluran nafas yang besar dan kecil yang

disebabkan oleh perubahan konstituen normal saluran nafas terhadap respon inflamasi yang

persisten. Epitel saluran nafas yang dibentuk oleh sel skuamous akan mengalami metaplasia,

sel-sel silia mengalami atropi dan kelenjar mukus menjadi hipertropi. Proses ini akan

direspon dengan terjadinya remodeling saluran nafas tersebut, hanya saja proses remodeling

ini justru akan merangsang dan mempertahankan inflamasi yang terjadi dimana T CD8+ dan

limfosit B menginfiltrasi lesi tersebut. Saluran nafas yang kecil akan memberikan beragam

lesi penyempitan pada saluran nafasnya, termasuk hiperplasia sel goblet, infiltrasi sel-sel

radang pada mukosa dan submukosa, peningkatan otot polos.

Pada emfisema paru yang dimulai dengan peningkatan jumlah alveolar dan septal dari

alveolus yang rusak, dapat terbagi atas emfisema sentrisinar (sentrilobular), emfisema

panasinar (panlobular) dan emfisema periasinar (perilobular) dan skar emfisema atau

Page 10: PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS

irreguler dan emfisema dengan bulla. Pola kerusakan saluran nafas pada emfisema ini

menyebabkan terjadinya pembesaran rongga udara pada permukaan saluran nafas yang

kemudian menjadikan paru-paru menjadi terfiksasi pada saat proses inflasi.

Inflamasi pada saluran nafas pasien PPOK merupakan suatu respon inflamasi yang

diperkuat terhadap iritasi kronik seperti asap rokok. Mekanisme ini yang rutin dibicarakan

pada bronkitis kronis, sedangkan pada emfisema paru, ketidak seimbangan pada protease dan

anti protease serta defisiensi α 1 antitripsin menjadi dasar patogenesis PPOK. Proses

inflamasi yang melibatkan netrofil, makrofag dan limfosit akan melepaskan mediator-

mediator inflamasi dan akan berinteraksi dengan struktur sel pada saluran nafas dan

parenkim. Secara umum, perubahan struktur dan inflamasi saluran nafas ini meningkat

seiring derajat keparahan penyakit dan menetap meskipun setelah berhenti merokok.

Peningkatan netrofil, makrofag dan limfosit T di paru-paru akan memperberat keparahan

PPOK. Sel-sel inflamasi ini akan melepaskan beragam sitokin dan mediator yang berperan

dalam proses penyakit, diantaranya adalah leucotrien B4, chemotactic factors seperti CXC

chemokines, interlukin 8 dan growth related oncogene α, TNF α, IL-1ß dan TGFß. Selain itu

ketidakseimbangan aktifitas protease atau inaktifitas antiprotease, adanya stres oksidatif dan

paparan faktor risiko juga akan memacu proses inflamasi seperti produksi netrofil dan

makrofag serta aktivasi faktor transkripsi seperti nuclear factor κß sehingga terjadi lagi

pemacuan dari faktor-faktor inflamasi yang sebelumnya telah ada.

Hipersekresi mukus menyebabkan batuk produktif yang kronik serta disfungsi silier

mempersulit proses ekspektorasi, pada akhirnya akan menyebabkan obstruksi saluran nafas

pada saluran nafas yang kecil dengan diameter < 2 mm dan air trapping pada emfisema paru.

Proses ini kemudian akan berlanjut kepada abnormalitas perbandingan ventilasi : perfusi

yang pada tahap lanjut dapat berupa hipoksemia arterial dengan atau tanpa hiperkapnia.

Progresifitas ini berlanjut kepada hipertensi pulmonal dimana abnormalitas perubahan gas

yang berat telah terjadi. Faktor konstriksi arteri pulmonalis sebagai respon dari hipoksia,

disfungsi endotel dan remodeling arteri pulmonalis (hipertropi dan hiperplasi otot polos) dan

destruksi Pulmonary capillary bad menjadi faktor yang turut memberikan kontribusi terhadap

hipertensi pulmonal.

INFLAMASI PADA PPOK

1 Inflamasi Lokal dan Sistemik.

Page 11: PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS

Peningkatan kadar sitokin pro inflamasi dan protein fase akut tampak pada PPOK

yang stabil. Hambatan aliran udara pada saluran nafas, terkait dengan perubahan-

perubahan seluler dan struktural pada PPOK ketika proses inflamasi tersebut meluas ke

parenkim dan arteri pulmonalis. Asap rokok memacu reaksi inflamasi yang ditandai

dengan infiltrasi limfosit T, neutropil dan makrofag pada dinding saluran nafas.

Disamping itu terjadi juga pergeseran akan keseimbangan limfosit T CD4+/CD8+,

dimana limfosit T sitotoksik (CD8+) akan menginfiltrasi saluran nafas sentral dan

perifer. Neutrofil yang juga meningkat pada kelenjar bronkus pasien dengan PPOK

memberikan peranan yang penting juga terhadap hipersekresi mukus kemudian memacu

ekspresi gen IL-4 yang mengekspresikan sejumlah besar sel-sel inflamasi pada subepitel

bronkus dan kelenjar submukosa penghasil sekret.

TNF α yang merupakan sitokin proinflamasi yang potensial akan berkoordinasi

dan menyebabkan peningkatan sitokin-sitokin lainnya seperti IL-1 dan IL-6 yang

kemudian akan menginduksi angiogenesis. Peningkatan sitokin-sitokin diatas selain

berada didalam saluran nafas, juga beredar di sirkulasi sistemik. Peningkatan sitokin-

sitokin proinflamasi pada saluran nafas sebagai petanda inflamasi lokal, juga akan

memberikan gambaran pada peningkatan sel-sel inflamasi secara sistemik, termasuk

didalamnya neutrofil dan limfosit pada gambaran darah tepi.

Gambar 2. Mekanisme Inflamasi Pada PPOK

Selain menyebabkan inflamasi pada saluran nafas, asap rokok juga

menyebabkan efek ekstra pulmoner seperti kejadian kardiovaskular dan inflamasi

sistemik melalui stres oksidatif sistemik dan disfungsi endotel vaskular perifer dan

Page 12: PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS

dialami juga oleh perokok pasif meski hanya terpapar beberapa tahun. Mekanisme

kedua yang bertolak belakang dari mekanisme pertama menyatakan bahwa respon

inflamasi lokal berdiri sendiri, begitu juga inflamasi sistemik. Hal ini dibuktikan dari

penelitian akan kadar TNFαR dan IL8 yang tinggi pada sputum, ternyata tidak

menunjukkan adanya inflamasi sistemik yang berat. Begitu juga pada orang sehat

yang dipaparkan produk bakterial yang pro inflamasi, lipopolisakarida memang

menunjukkan adanya proses inflamasi lokal berupa kenaikan temperatur tubuh,

reaktifitas saluran nafas dan penurunan FEV1, hanya saja terjadi perbedaan dimana

memang inflamasi sistemik tampak pada subjek yang mengalami demam, tetapi tidak

pada subjek yang hanya mengalami gangguan saluran nafas tanpa demam.

Mekanisme ketiga yang diduga adalah hipoksia, dan ini merupakan masalah berulang

pada PPOK, dimana hipoksia yang terjadi akibat penyempitan saluran nafas, akan

mengaktivasi sistem TNF dan makrofag yang menyebabkan peningkatan sitokin

proinflamasi pada sirkulasi perifer.

Gambar 3. Lingkaran terjadinya proses kerusakan pada PPOK

2 TNF Alpha pada PPOK.

TNF Alpha atau Lymphotoxin B, Cachectin adalah sitokin inflamasi

pleotropik. Faktor sitotoksik lainnya yang diproduksi oleh makrofag dan diberi nama

Tumor Necrosis Factor (TNF). Tumor Necrosis Factor (TNF)-α adalah sitokin

pleotropik yang memiliki efek yang bermacam-macam, seperti growth promotion,

growth inhibition, angiogenesis, cytotoxicity, inflammation, dan imunomodulation

yang berimplikasi terhadap beberapa kondisi inflamasi. Sitokin ini tidak hanya

diproduksi oleh aktivasi makrofag tetapi juga oleh sistim imun yang lainnya meliputi:

lymphocytes, natural killer cells, mast cells dan jaringan stromal meliputi:

Page 13: PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS

endotelhelial cells, fibroblasts, microglial cells. TNF di sintesis oleh monomeric

Type-2 transmembrane protein (tmTNF) berada didalam membran homotrimer dan

membelah menjadi matrix metalloprotease TNF-α converting enzyme (TACE) dan

untuk soluble circulating trimer (solTNF). Dimana keduanya tmTNF dan solTNF

merupakan bentuk biologi yang aktif. Keseimbangan antara tmTNF dan solTNF

menberikan signal yang dapat mempengaruhi tipe dari sel, aktivasi dari sel, dan

menstimulus produksi dari TNF, aktifitas TACE, dan ekspresi dari endogenous TACE

inhibitors merupakan petunjuk efek dari penyimpangan TNF mediated pada

kelangsungan hidup sel. Alveolar macrophages berperan penting sebagai imunitas

bawaan dan didapat sebagai pertahanan patogen terhadap paru-paru, pembersih dari

partikel-partikel inhalasi dan respon inflamasi. Alveolar macrophages memiliki

tempat yang unik di dalam tubuh, karena mereka berlokasi diantara penghubung yaitu

udara dan jaringan paru-paru, dan bertindak sebagai pertahan pertama terhadap

pertikel-partikel inhalasi yang berasal dari udara. Normalnya alveolar macrophages

berjumlah kurang lebih 95% dari leukosit airspace , serta 1 sampai 4% limphosit dan

hanya 1% neutophil. Sel ini memegang peranan sebagai poros dari proses inflamasi

pada PPOK. Alveolar macrophages mengalami kenaikan (5-10 kali) pada saluran

nafas, parenkim paru, Broncho Alveolar Lavage (BAL) dan sputum pada penderita

PPOK yang merokok dan peningkatan jumlah makrophag ini juga berhubungan

dengan tingkat keparahan dari PPOK. Paparan asap rokok merupakan penyebab

tersering dari PPOK, asap rokok mengaktivasi makrofag untuk melepaskan mediator

inflamasi, salah satunya adalah TNFα. TNFα memerankan peranan yang sangat

penting terhadap patofisiologi dari PPOK.

E. Diagnosis PPOK

1 Anamnesis

a. Batuk kronik

Batuk kronik adalah batuk hilang timbul selama 3 bulan dalam 2 tahun

terakhir yang tidak hilang dengan pengobatan yang diberikan. Batuk dapat terjadi

sepanjang hari atau intermiten. Batuk kadang terjadi pada malam hari.

b. Berdahak kronik

Page 14: PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS

Hal ini disebabkan karena peningkatan produksi sputum. Kadang kadang

pasien menyatakan hanya berdahak terus menerus tanpa disertai batuk. Karakterisktik

batuk dan dahak kronik ini terjadi pada pagi hari ketika bangun tidur.

c. Sesak napas

Terutama pada saat melakukan aktivitas. Seringkali pasien sudah mengalami

adaptasi dengan sesak nafas yang bersifat progressif lambat sehingga sesak ini tidak

dikeluhkan.

Selain gejala klinis, dalam anamnesis pasien juga perlu ditanyakan riwayat

pasien dan keluarga untuk mengetahui apakah ada faktor resiko yang terlibat.

Merokok merupakan faktor resiko utama untuk PPOK. Lebih dari 80% kematian pada

penyakit ini berkaitan dnegan merokok dan orang yang merokok memiliki resiko

yang lebih tinggi (12-13 kali) dari yang tidak merokok. Resiko untuk perokok aktif

sekitar 25%. Akan tetapi, faktor resiko lain juga berperan dalam peningkatan kasus

PPOK. Faktor resiko lain dapat antara lain paparan asap rokok pada perokok pasif,

paparan kronis polutan lingkungan atau pekerjaan, penyakit pernapasan ketika masa

kanak-kanak, riwayat PPOK pada keluarga dan defisiensi α1-antitripsin.

Dinyatakan PPOK (secara klinis) apabila sekurang-kurangnya pada anamnesis

ditemukan adanya riwayat pajanan faktor risiko disertai batuk kronik dan berdahak

dengan sesak nafas terutama pada saat melakukan aktivitas pada seseorang yang

berusia pertengahan atau yang lebih tua.

2 Pemeriksaan Fisik

Tanda fisik pada PPOK jarang ditemukan hingga terjadi hambatan fungsi paru

yang signifikan. Pada pemeriksaan fisik seringkali tidak ditemukan kelainan yang

jelas terutama auskultasi pada PPOK ringan, karena sudah mulai terdapat hiperinflasi

alveoli. Sedangkan pada PPOK derajat sedang dan PPOK derajad berat seringkali

Page 15: PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS

terlihat perubahan cara bernapas atau perubahan bentuk anatomi toraks.Secara umum

pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan hal-hal sebagai berikut:

Inspeksi

-Bentuk dada: barrel chest (dada seperti tong)

-Terdapat purse lips breathing (seperti orang meniup)

-Terlihat penggunaan dan hipertrofi (pembesaran) otot bantu nafas

Palpasi - Sela iga melebar

Perkusi - Hipersonor

Auskultasi

-Fremitus melemah

-Suara nafas vesikuler melemah atau normal

-Ekspirasi memanjang

-Bunyi jantung menjauh

-Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi

paksa.

3 Pemeriksaan Penunjang

3.1 Pemeriksaan Spirometri

Pasien yang dicurigai PPOK harus ditegakkan diagnosisnya

menggunakan spirometri. The National Heart, Lung, dan Darah Institute

merekomendasikan spirometri untuk semua perokok 45 tahun atau lebih tua,

terutama mereka yang dengan sesak napas, batuk, mengi, atau dahak persisten.

Kunci pada pemeriksaan spirometri ialah rasio FEV1 (Forced

Expiratory Volume in 1 s) dan FVC (Forced Vital Capacity). FEV1 adalah

volume udara yang pasien dapat keluarkan secara paksa dalam satu detik

pertama setelah inspirasi penuh. FEV1 pada pasien dapat diprediksi dari usia,

jenis kelamin dan tinggi badan. FVC adalah volume maksimum total udara

yang pasien dapat hembuskan secara paksa setelah inspirasi penuh.

Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease

(GOLD) 2011, PPOK diklasifikasikan berdasarkan derajat berikut.

1. Derajat 0 (berisiko)

Gejala klinis : memiliki satu atau lebih gejala batuk kronis, produksi

sputum, dan dispnea. Ada paparan terhadap faktor resiko. Spirometri : Normal

Page 16: PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS

2. Derajat I (PPOK ringan)

Gejala klinis : dengan atau tanpa batuk. Dengan atau tanpa produksi

sputum. Sesak napas derajat sesak 0 sampai derajat sesak 1. Spirometri :

FEV1/FVC < 70%, FEV1 ≥ 80%.

3. Derajat II (PPOK sedang)

Gejala klinis : Dengan atau tanpa batuk. Dengan atau tanpa produksi

sputum. Sesak napas derajat sesak 2 (sesak timbul pada saat aktivitas).

Spirometri :FEV1/FVC < 70%; 50% < FEV1 < 80%.

4. Derajat III (PPOK berat)

Gejala klinis : Sesak napas derajat sesak 3 dan 4. Eksaserbasi lebih

sering terjadi. Spirometri :FEV1/FVC < 70%; 30% < FEV1 < 50%

5. Derajat IV (PPOK sangat berat)

Gejala klinis : Pasien derajat III dengan gagal napas kronik. Disertai

komplikasi kor pulmonale atau gagal jantung kanan. Spirometri :FEV1/FVC <

70%; FEV1 < 30% atau < 50%.

3.2. Uji bronkodilator

- Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan APE

meter.

- Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 - 20 menit

kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE

< 20% nilai awal dan < 200 ml

- Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil

3.3. Darah rutin Hb, Ht, leukosit.

3.4 Radiologi

Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain

Pada emfisema terlihat gambaran :

- Hiperinflasi

- Hiperlusen

- Ruang retrosternal melebar

- Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye drop appearance)

Pada bronkitis kronik :

• Normal

• Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus.

Page 17: PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS

b. Pemeriksaan khusus (tidak rutin)

1. Faal paru

- Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF), Kapasiti Paru

Total (KPT), VR/KRF,VR/KPT meningkat

- DLCO menurun pada emfisema

- Raw meningkat pada bronkitis kronik

- Sgaw meningkat

- Variabiliti Harian APE kurang dari 20 %

2. Uji latih kardiopulmoner

- Sepeda statis (ergocycle)

- Jentera (treadmill)

- Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal

3. Uji provokasi bronkus

Untuk menilai derajat hipereaktivitas bronkus, pada sebagian kecil PPOK

terdapat hipereaktivitas bronkus derajat ringan.

4. Uji coba kortikosteroid

Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral (prednison

atau metilprednisolon) sebanyak 30 - 50 mg per hari selama 2minggu yaitu

peningkatan VEP1 pascabronkodilator >20 % dan minimal 250 ml. Pada PPOK

umumnya tidak terdapat kenaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid.

5. Analisis gas darah

Terutama untuk menilai :

- Gagal napas kronik stabil

- Gagal napas akut pada gagal napas kronik

6. Radiologi

- CT - Scan resolusi tinggi

- Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat emfisema atau bula

yang tidak terdeteksi oleh foto toraks polos

- Scan ventilasi perfusi Mengetahui fungsi respirasi paru

7. Elektrokardiografi

Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal dan

hipertrofi ventrikel kanan.

8. Ekokardiografi Menilai funfsi jantung kanan

9. bakteriologi

Page 18: PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS

Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur resistensi

diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik yang

tepat. Infeksi saluran napas berulng merupakan penyebab utama eksaserbasi

akut pada penderita PPOK di Indonesia.

10. Kadar alfa-1 antitripsin

Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter (emfisema pada usia

muda), defisiensi antitripsin alfa-1 jarang ditemukan di Indonesia.

F. Penatalaksanaan umum PPOK

Tujuan penatalaksanaan :

- Mengurangi gejala

- Mencegah eksaserbasi berulang

- Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru

- Meningkatkan kualitas hidup penderita

Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi :

1. Edukasi

2. Obat - obatan

3. Terapi oksigen

4. Ventilasi mekanik

5. Nutrisi

6. Rehabilitasi

PPOK merupakan penyakit paru kronik progresif dan nonreversibel, sehingga

penatalaksanaan PPOK terbagi atas (1) penatalaksanaan pada keadaan stabil dan (2)

penatalaksanaan pada eksaserbasi akut.

1. Edukasi

Tujuan edukasi pada pasien PPOK :

1. Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan

2. Melaksanakan pengobatan yang maksimal

3. Mencapai aktivitas optimal

4. Meningkatkan kualitas hidup

Edukasi PPOK diberikan sejak ditentukan diagnosis dan berlanjut secara

berulang pada setiap kunjungan, baik bagi penderita sendiri maupun bagi

keluarganya. Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah

1. Pengetahuan dasar tentang PPOK

Page 19: PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS

2. Obat - obatan, manfaat dan efek sampingnya

3. Cara pencegahan perburukan penyakit

4. Menghindari pencetus (berhenti merokok)

5. Penyesuaian aktivitas

Agar edukasi dapat diterima dengan mudah dan dapat dilaksanakan ditentukan

skala prioritas bahan edukasi sebagai berikut :

1. Berhenti merokok

Disampaikan pertama kali pada waktu diagnosis PPOK ditegakkan.

2. Pengunaan obat - obatan

- Macam obat dan jenisnya

- Cara penggunaannya yang benar ( oral, MDI atau nebuliser )

- Waktu penggunaan yang tepat ( rutin dengan selang waku tertentu)

- Dosis obat yang tepat dan efek sampingnya

3. Penggunaan oksigen

- Kapan oksigen harus digunakan

- Berapa dosisnya

- Mengetahui efek samping kelebihan dosis oksigen

4. Mengenal dan mengatasi efek samping obat atau terapi oksigen

5. Penilaian dini eksaserbasi akut dan pengelolaannya

Tanda eksaserbasi :

- Batuk atau sesak bertambah

- Sputum bertambah

- Sputum berubah warna

6. Mendeteksi dan menghindari pencetus eksaserbasi

7. Menyesuaikan kebiasaan hidup dengan keterbatasan aktivitas.

2. Obat - obatan

a. Bronkodilator

Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan

disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit. Pemilihan bentuk obat

diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang.

Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat ( slow release ) atau obat

berefek panjang ( long acting ).

Macam - macam bronkodilator :

Page 20: PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS

- Golongan antikolinergik

Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai bronkodilator

juga mengurangi sekresi lendir.

- Golongan agonis beta - 2

- Kombinasi antikolinergik dan agonis beta - 2

Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi,

karena keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda.

- Golongan xantin

b. Antiinflamasi

Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi

intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, golongan metilprednisolon atau

prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka panjang diberikan bila terbukti uji

kortikosteroid positif yaitu terdapat perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat >

20% dan minimal 250 mg.

c. Antibiotika

Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan :

- Lini I : amoksisilin makrolid

- Lini II : amoksisilin dan asam klavulanat, sefalosporin, kuinolon makrolid baru

Perawatan di Rumah Sakit :

- Amoksilin dan klavulanat

- Sefalosporin generasi II & III injeksi

- Kuinolon per oral

ditambah dengan yang anti pseudomonas

- Aminoglikose per injeksi

- Kuinolon per injeksi

- Sefalosporin generasi IV per injeksi

d. Antioksidan

Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualitas hidup, digunakan N -

asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering, tidak

dianjurkan sebagai pemberian yang rutin.

e. Mukolitik

Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat

perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang viscous.

Page 21: PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS

Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak dianjurkan sebagai

pemberian rutin.

3. Terapi Oksigen

Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang

menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen mempertahankan

oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun organ -organ

lainnya.

Indikasi:

Page 22: PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS

- PaO2 < 60mmHg atau Sat O2 < 90%

- PaO2 diantara 55 - 59 mmHg atau Sat O2 > 89% disertai Kor Pulmonal, perubahan

P pullmonal, Ht >55% dan tanda - tanda gagal jantung kanan, sleep apnea, penyakit

paru lain.

4. Ventilasi Mekanik

Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal

napas akut, gagal napas akut pada gagal napas kronik atau pada pasien PPOK derajat

berat dengan napas kronik.

Kriteria PPOK stabil adalah :

- Tidak dalam kondisi gagal napas akut pada gagal napas kronik

- Dapat dalam kondisi gagal napas kronik stabil, yaitu hasil analisa gas darah

menunjukkan PCO2 < 45 mmHg dan PO2 > 60 mmHg

- Dahak jernih tidak berwarna

- Aktivitas terbatas tidak disertai sesak sesuai derajat berat PPOK (hasil spirometri)

- Penggunaan bronkodilator sesuai rencana pengobatan

- Tidak ada penggunaan bronkodilator tambahan

Page 23: PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS

Eksaserbasi akut pada PPOK berarti timbulnya perburukan dibandingkan

dengan kondisi sebelumnya. Eksaserbasi dapat disebabkan infeksi atau faktor lainnya

seperti polusi udara, kelelahan atau timbulnya komplikasi.

Gejala eksaserbasi :

- Sesak bertambah

- Produksi sputum meningkat

- Perubahan warna sputum

Eksaserbasi akut akan dibagi menjadi tiga :

a. Tipe (eksaserbasi berat), memiliki 3 gejala di atas

b. Tipe II (eksaserbasi sedang), memiliki 2 gejala di atas

c. Tipe III (eksaserbasi ringan), memiliki 1 gejala di atas ditambah infeksi saluran

napas atas lebihdari 5 hari, demam tanpa sebab lain, peningkatan batuk, peningkatan

Page 24: PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS

mengi atau peningkatan frekuensi pernapasan > 20% baseline, atau frekuensi nadi >

20% baseline.

Penyebab eksaserbasi akut

Primer : - Infeksi trakeobronkial (biasanya karena virus)

Sekunder :

- Pnemonia

- Gagal jantung kanan, atau kiri, atau aritmia

- Emboli paru

- Pneumotoraks spontan

- Penggunaan oksigen yang tidak tepat

- Penggunaan obat-obatan (obat penenang, diuretik) yang tidak tepat

- Penyakit metabolik (DM, gangguan elektrolit)

- Nutrisi buruk

- Lingkungan memburuk/polusi udara

- Aspirasi berulang

- Stadium akhir penyakit respirasi (kelelahan otot respirasi)

Page 25: PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS

BAB III

PEMBAHASAN

Pada kasus ini, Pasien datang ke IGD dengan keluhan sesak napas, lemas, dan

batuk berdahak. Pasien merupakan pasien rawat jalan sejak tahun 2007 dengan diagnosis

awal diabetes melitus tipe II, hipertensi dengan komplikasi bronchitis. Pada waktu di

IGD pasien tampak sangat sesak napas sehingga harus dinebulisasi dengan ventolin dan

pulmicort tetapi tidak membaik. GDS awal di IGD adalah 258 mg/dl.

Pada pemeriksaan fisik, vital sign tekanan darah: 148/88 mmHg (tinggi), Nadi :

88 x/menit, regular, isi dan tegangan cukup, RR: 28 x (cepat), suhu: 360C, Cor : S1 dan

S2 regular, Thorak : Simetris +/+, ketinggalan gerak -/-, vocal fremitus tidak ada

peningkatan maupun penurunan, sonor +/+, retraksi +/+, Pulmo: vesikuler +/+, ronkhi

-/- , wheezing +/+, Abdomen : Supel (+), nyeri tekan (-), peristaltik usus (+) normal,

timpani (+), ascites (-), turgor baik, Ekstremitas: edema (-), akral hangat (+), makula

pada tangan kanan dan kiri, CRT <2s.

Berdasarkan anamnesis riwayat pasien merupakan perokok aktif sejak usia 20

tahunan hingga usia 70 tahunan dan habis 1 bungkus rokok perhari dan baru berhenti

setelah gejala penyakit mulai muncul. Merokok merupakan faktor resiko terjadinya

PPOK yang paling penting.

Pasien juga didiagnosis diabetes melitus dan hipertensi sebelum didiagnosis

PPOK. Gula darah sewaktu pasien cukup tinggi yaitu 258 mg/dl didukung dengan

tekanan darah yang tinggi yaitu 148/88 mmHg.

Pada pemeriksaan fisik pasien pulmo terdapat suara wheezing pada kedua

pulmo, tetapi vokal fremitus normal tidak menurun, perkusi normal tidak hipersonor.

Penampilan umum pasien tampak sesak dan bernapas lewat mulut atau purse lips

breathing (seperti orang meniup), pada palpasi sela iga melebar. Dari anamnesis dan

pemeriksaan fisik tersebut sudah mendukung diagnosis PPOK.

Pada Rontgen Thorak Apex pulmo baik, Corakan bronkovascular bertambah,

Infiltrat peribronchial +, Air bronchogram +, SIC melebar, Diafragma mendatar, Cor

CRT <0,50 dan Kesan Bronchitis Chronis.

Pada pasien ini mendapatkan terapi oksigen, kortikosteroid, antibiotik dan

bronkodilator yang merupakan terapi PPOK eksaserbasi.

Page 26: PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS

DAFTAR PUSTAKA

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. PEDOMAN DIAGNOSIS & PENATALAKSANAAN DI INDONESIA PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK). 2003. Jakarta.

GOLD Inc. Pocket Guide to COPD Diagnosis, Management, and Prevention. Mangunnegoro H, dkk. PPOK, Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia: 2003. hal 1-56.Singh J M et al, Corticosteroid Therapy for Patients With Acute Exacerbations of COPD, Review

Article, Arch Intern Med/vol 162: Dec 2002, Pp 2527-2536.