PRESENTASI KASUS
PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS PADA
PASIEN DIABETES MELITUS TIPE II
Disusun oleh:
RINA WULANDARI
20100310046
Pembimbing: dr. Ferry Kurniasih, Sp. PD
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN DAN
ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
RSUD KOTA MUNTILAN
HALAMAN PENGESAHAN
Telah disetujui dan disahkan, refleksi kasus dengan judul
PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS
PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE II
Disusun oleh:
Nama: Rina Wulandari
No. Mahasiswa: 20100310046
Telah dipresentasikan
Hari / Tanggal: / Desember 2014
Disahkan oleh:
Dosen Pembimbing,
Dr. Ferry Kurniasih, Sp. PD
BAB I
PENDAHULUAN
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. K
Usia : 77 tahun
Jenis Kelamin : laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Selak, Pabelan, Magelang.
Tanggal Masuk : 23 Desember 2014
B. ANAMNESIS
1. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD dengan keluhan sesak napas, batuk berdahak dan lemas.
2. Riwayat Penyakit Dahulu
Tidak terdapat riwayat penyakit dahulu (disangkal).
3. Review Sistem
Kepala leher : tidak ada keluhan
THT : tidak ada keluhan
Respirasi : napas sesak
Gastrointestinal : tidak ada keluhan
Kardiovaskular : tidak ada keluhan
Perkemihan : tidak ada keluhan
Sistem Reproduksi : tidak ada keluhan
Kulit dan Ekstremitas : terdapat makula pada tangan kanan dan kiri
Gaya hidup : pasien merupakan mantan perokok berat sejak usia 20 tahunan
dan sehari bisa habis 1 bungkus rokok hingga usia 70 tahunan.
Pasien berhenti merokok setelah muncul gejala sesak napas.
C. Riwayat Perjalanan Penyakit Pasien
S : Pasien datang ke IGD dengan keluhan sesak napas, lemas, batuk berdahak.
Pasien merupakan pasien rawat jalan sejak tahun 2007 dengan diagnosis awal
diabetes melitus tipe II dengan komplikasi bronchitis. Pada waktu di IGD
pasien tampak sangat sesak napas sehingga harus di nebulisasi dengan
ventolin dan pulmicort tetapi tidak membaik. GDS awal di IGD adalah 258
mg/dl.
O : Keadaan Umum : tampak sesak dan kesulitan bernapas.
Kesadaran : CM, baik.
TD : 148/88 mmHg
Nadi : 88 x/menit, regular, isi dan tegangan cukup
RR : 28 x
Suhu : 36 0C
Kepala dan Leher : Conjungtiva anemis -/-
Sklera Ikterik -/-
Pembesaran Limfonodi tidak teraba
Cor : S1 dan S2 regular
Thorak : Simetris +/+, ketinggalan gerak -/-, vocal fremitus
tidak ada peningkatan maupun penurunan, sonor +/+,
retraksi +/+
Pulmo : vesikuler +/+, ronkhi -/- , wheezing +/+
Abdomen : Supel (+), nyeri tekan (-), peristaltik usus (+) normal,
timpani (+), ascites (-), turgor baik.
Ekstremitas : edema (-), akral hangat (+), makula pada tangan kanan
dan kiri, CRT <2s.
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Darah Rutin
Leukosit : 15,58 (H) (N: 5-10)
Hemoglobin : 14,2 (N: 13-16)
Trombosit : 340 (N: 150-400)
Hematokrit : 42,3 (N: 40-48)
Eritrosit : 4,79 (N: 4,5-5,5)
2. Kimia Darah
Gula darah sewaktu : 258 mg/dl
3. Rontgen Thorak
Apex pulmo baik
Corakan bronkovascular bertambah
Infiltrat peribronchial +
Air bronchogram +
SIC melebar
Diafragma mendatar
Cor CRT <0,50
Kesan Bronchitis Chronis
E. ASSESMENT
Diabetes melitus tipe II
Hipertensi
PPOK
F. TERAPI
Infus RL 20 tpm
O2 3-4 Lpm
Drip aminophilin 2A 12 tpm mikrolini
Injeksi metilprednisolon ½ A/ 8 jam
Drip NAC1/2 A /12 jam
Kapsul sesek 2x1
Nebulizer / 8 jam Ventolin : Pulmicort 1:1
Injeksi ceftriaxon 2 gram/ 24 jam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan salah satu dari kelompok penyakit
tidak menular yang telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Hal ini
disebabkan oleh meningkatnya usia harapan hidup dan semakin tingginya pajanan faktor
risiko, seperti faktor pejamu yang diduga berhubungan dengan kejadian PPOK, semakin
banyaknya jumlah perokok khususnya pada kelompok usia muda, serta pencemaran udara di
dalam ruangan maupun di luar ruangan dan di tempat kerja.
A. Definisi
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) didefinsikan sebagai penyakit atau gangguan
paru yang memberikan kelainan ventilasi berupa ostruksi saluran pernapasan yang bersifat
progresif dan tidak sepenuhnya reversible. Obstruksi ini berkaitan dengan respon inflamasi
abnormal paru terhadap partikel asing atau gas yang berbahaya.
Pada PPOK, bronkitis kronik dan emfisema sering ditemukan bersama, meskipun
keduanya memiliki proses yang berbeda. Akan tetapi menurut PDPI 2010, bronkitis kronik
dan emfisema tidak dimasukkan definisi PPOK, karena bronkitis kronik merupakan diagnosis
klinis, sedangkan emfisema merupakan diagnosis patologi.
Bronkitis kronik merupakan suatu gangguan klinis yang ditandai oleh pembentukan
mukus yang meningkat dan bermanifestasi sebagai batuk kronik. Emfisema merupakan suatu
perubahan anatomis parenkim paru yang ditandai oleh pembesaran alveolus dan duktus
alveolaris serta destruksi dinding alveolar.
B. Epidemiologi
Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa menjelang tahun 2020
prevalensi PPOK akan meningkat sehingga sebagai penyebab penyakit tersering peringkatnya
dari ke-12 menjadi ke-5 dan sebagai penyebab kematian tersering peringkatnya juga
meningkat dari ke-6 menjadi ke-3. Pada 12 negara Asia Pasifik, WHO menyatakan angka
prevalensi PPOK sedang-berat pada usia 30 tahun keatas, dengan rerata sebesar 6,3%,
dimana Hongkong dan Singapura dengan angka prevalensi terkecil yaitu 3,5% dan Vietnam
sebesar 6,7%.
C. Faktor Resiko
Genetik.
PPOK merupakan suatu penyakit yang poligenik disertai interaksi lingkungan genetik
yang sederhana. Faktor risiko genetik yang paling besar dan telah di teliti lama adalah
defisiensi α1 antitripsin, yang merupakan protease serin inhibitor. Biasanya jenis
PPOK yang merupakan contoh defisiensi α1 antitripsin adalah emfisema paru yang
dapat muncul baik pada perokok maupun bukan perokok, tetapi memang akan diperberat
oleh paparan rokok. Bahkan pada beberapa studi genetika, dikaitkan bahwa patogenesis
PPOK itu dengan gen yang terdapat pada kromosom 2q.1
Paparan Partikel Inhalasi.
Dari berbagai macam pejanan inhalasi yang ada selama kehidupan, hanya asap rokok
dan debu-debu pada tempat kerja serta zat-zat kimia yang diketahui sebagai
penyebab PPOK. Paparan itu sendiri tidak hanya mengenai mereka yang merupakan
perokok aktif, bahkan pada perokok pasif atau dengan kata lain environmental smokers
berisiko menderita PPOK . Pada perokok pasif didapatkan penurunan VEP1 tahunan
yang cukup bermakna pada orang muda yang bukan perokok. Bahkan yang lebih
menarik adalah pengaruh rokok pada bayi jika ibunya perokok aktif atau bapaknya
perokok aktif dan ibunya menjadi perokok pasif, selain didapati berat bayi lebih rendah,
maka insidensi anak untuk menderita penyakit saluran pernafasan pada 3 tahun pertama
menjadi meningkat. Shahab dkk melaporkan bahwa besarnya insidensi PPOK yang telah
terlambat didiagnosis, memiliki kebiasaan merokok yang tinggi. PPOK yang berat
berdasarkan derajat spirometri, didapatkan hanya sebesar 46,8% ( 95% CI 39,1-54,6)
yang mengatakan bahwa mereka menderita penyakit saluran nafas, sisanya tidak
mengetahui bahwa mereka menderita penyakit paru dan tetap merokok. Status merokok
justru didapatkan pada penderita PPOK sedang dibandingkan dengan derajat keparahan
yang lain. Begitu juga mengenai riwayat merokok yang ada, ternyata prevalensinya tetap
lebih tinggi pada penderita PPOK yang sedang (7,1%, p<0,02).23
Paparan lainya yang dianggap cukup mengganggu adalah debu-debu yang
terkait dengan pekerjaan ( occupational dusts ) dan bahan-bahan kimia. Meskipun
bahan-bahan ini tidak terlalu menjadi sorotan menjadi penyebab tingginya insidensi dan
prevalensi PPOK, tetapi debu-debu organik dan inorganik berdasarkan analisa studi
populasi NHANES III didapati hampir 10.000 orang dewasa berumur 30-75 tahun
menderita PPOK terkait karena pekerjaan. American Thoracic Society (ATS) sendiri
menyimpulkan 10-20% paparan pada pekerjaan memberikan gejala dan kerusakan yang
bermakna pada PPOK.
Polusi udara dalam ruangan yang dapat berupa kayu-kayuan, kotoran hewan, sisa-sisa
serangga, batubara, asap dari kompor juga akan menyebabkan peningkatan insidensi
PPOK khususnya pada wanita. Selain itu, polusi udara diluar ruangan juga dapat
menyebabkan progresifitas kearah PPOK menjadi tinggi seperti seperti emisi bahan
bakar kendaraan bermotor. Kadar sulfur dioksida (SO2) dan nitrogen dioksida (NO2)
juga dapat memberikan sumbatan pada saluran nafas kecil (Bronkiolitis) yang
semakin memberikan perburukan kepada fungsi paru.
Pertumbuhan dan perkembangan paru.
Pertumbuhan dan perkembangan paru yang kemudian menjadi PPOK pada masa
berikutnya lebih mengarah kepada status nutrisi bayi pada saat dalam kandungan, saat
lahir, dan dalam masa pertumbuhannya. Pada suatu studi yang besar didapatkan
hubungan yang positif antara berat lahir dan VEP1 pada masa dewasanya.
Stres Oksidatif.
Paparan oksidan baik dari endogen maupun eksogen terus menerus dialami oleh paru-
paru. Sel paru-paru sendiri sebenarnya telah memiliki proteksi yang cukup baik secara
enzimatik maupun non enzimatik. Perubahan keseimbangan antara oksidan dan anti
oksidan yang ada menyebabkan stres oksidasi pada paru-paru. Hal ini akan mengaktivasi
respon inflamasi pada paru-paru.
Jenis Kelamin.
Prevalensi PPOK lebih sering terjadi pada Pria di bandingkan wanita, tetapi
penelitian dari beberapa negara maju menunjukkan bahwa saat ini insidensi antara pria
dan wanita hampir sama, dan terdapat beberapa studi yang mengatakan bahwa wanita
lebih rentan untuk dirusak oleh asap rokok dibandingkan pria. Hal ini dikarenakan
perubahan kebiasaan, dimana wanita lebih banyak yang merupakan perokok saat ini.
Infeksi.
Infeksi viral maupun bakteri berperan dalam patogenesis dan progresifitas PPOK dan
kolonisasi bakteri berhubungan dengan terjadinya inflamasi pada saluran pernafasan dan
berperan penting terhadap terjadinya eksaserbasi dimana kolonisasi virus seperti
rhinovirus pada saluran nafas berhubungan dengan peradangan saluran nafas dan jelas
sekali berperan pada terjadinya eksaserbasi akut pada PPOK. Riwayat tuberkulosis juga
dihubungkan dengan di temukannya obstruksi saluran nafas pada dewasa tua pada saat
umur diatas 40 tahun.
Status sosioekonomi dan nutrisi.
Meskipun tidak terlalu jelas hubungannya, apakah paparan polutan baik indoor
maupun outdoor dan status nutrisi yang jelek serta faktor lain yang berhubungan dengan
kejadian PPOK, tetapi semua faktor-faktor tersebut berhubungan erat dengan status
sisioekonomi.
Komorbiditas.
Asma memiliki faktor risiko terhadap kejadian PPOK, berdasarkan penelitian pada
Tucson Epidemiologi Study of Airway Obstructive Disease, bahwa orang dewasa dengan
asma akan mengalami 12 kali lebih tinggi risiko menderita PPOK.
D. Patogenesis PPOK
Perubahan patologi pada PPOK mencakup saluran nafas yang besar dan kecil bahkan
unit respiratori terminal. Terdapat 2 kondisi pada PPOK yang menjadi dasar patologi yaitu
bronkitis kronis dengan hipersekresi mukus dan emfisema paru yang ditandai dengan
pembesaran permanen dari ruang udara yang ada, mulai dari distal bronkiolus terminalis,
diikuti destruksi dindingnya tanpa fibrosis yang nyata.
Penyempitan saluran nafas tampak pada saluran nafas yang besar dan kecil yang
disebabkan oleh perubahan konstituen normal saluran nafas terhadap respon inflamasi yang
persisten. Epitel saluran nafas yang dibentuk oleh sel skuamous akan mengalami metaplasia,
sel-sel silia mengalami atropi dan kelenjar mukus menjadi hipertropi. Proses ini akan
direspon dengan terjadinya remodeling saluran nafas tersebut, hanya saja proses remodeling
ini justru akan merangsang dan mempertahankan inflamasi yang terjadi dimana T CD8+ dan
limfosit B menginfiltrasi lesi tersebut. Saluran nafas yang kecil akan memberikan beragam
lesi penyempitan pada saluran nafasnya, termasuk hiperplasia sel goblet, infiltrasi sel-sel
radang pada mukosa dan submukosa, peningkatan otot polos.
Pada emfisema paru yang dimulai dengan peningkatan jumlah alveolar dan septal dari
alveolus yang rusak, dapat terbagi atas emfisema sentrisinar (sentrilobular), emfisema
panasinar (panlobular) dan emfisema periasinar (perilobular) dan skar emfisema atau
irreguler dan emfisema dengan bulla. Pola kerusakan saluran nafas pada emfisema ini
menyebabkan terjadinya pembesaran rongga udara pada permukaan saluran nafas yang
kemudian menjadikan paru-paru menjadi terfiksasi pada saat proses inflasi.
Inflamasi pada saluran nafas pasien PPOK merupakan suatu respon inflamasi yang
diperkuat terhadap iritasi kronik seperti asap rokok. Mekanisme ini yang rutin dibicarakan
pada bronkitis kronis, sedangkan pada emfisema paru, ketidak seimbangan pada protease dan
anti protease serta defisiensi α 1 antitripsin menjadi dasar patogenesis PPOK. Proses
inflamasi yang melibatkan netrofil, makrofag dan limfosit akan melepaskan mediator-
mediator inflamasi dan akan berinteraksi dengan struktur sel pada saluran nafas dan
parenkim. Secara umum, perubahan struktur dan inflamasi saluran nafas ini meningkat
seiring derajat keparahan penyakit dan menetap meskipun setelah berhenti merokok.
Peningkatan netrofil, makrofag dan limfosit T di paru-paru akan memperberat keparahan
PPOK. Sel-sel inflamasi ini akan melepaskan beragam sitokin dan mediator yang berperan
dalam proses penyakit, diantaranya adalah leucotrien B4, chemotactic factors seperti CXC
chemokines, interlukin 8 dan growth related oncogene α, TNF α, IL-1ß dan TGFß. Selain itu
ketidakseimbangan aktifitas protease atau inaktifitas antiprotease, adanya stres oksidatif dan
paparan faktor risiko juga akan memacu proses inflamasi seperti produksi netrofil dan
makrofag serta aktivasi faktor transkripsi seperti nuclear factor κß sehingga terjadi lagi
pemacuan dari faktor-faktor inflamasi yang sebelumnya telah ada.
Hipersekresi mukus menyebabkan batuk produktif yang kronik serta disfungsi silier
mempersulit proses ekspektorasi, pada akhirnya akan menyebabkan obstruksi saluran nafas
pada saluran nafas yang kecil dengan diameter < 2 mm dan air trapping pada emfisema paru.
Proses ini kemudian akan berlanjut kepada abnormalitas perbandingan ventilasi : perfusi
yang pada tahap lanjut dapat berupa hipoksemia arterial dengan atau tanpa hiperkapnia.
Progresifitas ini berlanjut kepada hipertensi pulmonal dimana abnormalitas perubahan gas
yang berat telah terjadi. Faktor konstriksi arteri pulmonalis sebagai respon dari hipoksia,
disfungsi endotel dan remodeling arteri pulmonalis (hipertropi dan hiperplasi otot polos) dan
destruksi Pulmonary capillary bad menjadi faktor yang turut memberikan kontribusi terhadap
hipertensi pulmonal.
INFLAMASI PADA PPOK
1 Inflamasi Lokal dan Sistemik.
Peningkatan kadar sitokin pro inflamasi dan protein fase akut tampak pada PPOK
yang stabil. Hambatan aliran udara pada saluran nafas, terkait dengan perubahan-
perubahan seluler dan struktural pada PPOK ketika proses inflamasi tersebut meluas ke
parenkim dan arteri pulmonalis. Asap rokok memacu reaksi inflamasi yang ditandai
dengan infiltrasi limfosit T, neutropil dan makrofag pada dinding saluran nafas.
Disamping itu terjadi juga pergeseran akan keseimbangan limfosit T CD4+/CD8+,
dimana limfosit T sitotoksik (CD8+) akan menginfiltrasi saluran nafas sentral dan
perifer. Neutrofil yang juga meningkat pada kelenjar bronkus pasien dengan PPOK
memberikan peranan yang penting juga terhadap hipersekresi mukus kemudian memacu
ekspresi gen IL-4 yang mengekspresikan sejumlah besar sel-sel inflamasi pada subepitel
bronkus dan kelenjar submukosa penghasil sekret.
TNF α yang merupakan sitokin proinflamasi yang potensial akan berkoordinasi
dan menyebabkan peningkatan sitokin-sitokin lainnya seperti IL-1 dan IL-6 yang
kemudian akan menginduksi angiogenesis. Peningkatan sitokin-sitokin diatas selain
berada didalam saluran nafas, juga beredar di sirkulasi sistemik. Peningkatan sitokin-
sitokin proinflamasi pada saluran nafas sebagai petanda inflamasi lokal, juga akan
memberikan gambaran pada peningkatan sel-sel inflamasi secara sistemik, termasuk
didalamnya neutrofil dan limfosit pada gambaran darah tepi.
Gambar 2. Mekanisme Inflamasi Pada PPOK
Selain menyebabkan inflamasi pada saluran nafas, asap rokok juga
menyebabkan efek ekstra pulmoner seperti kejadian kardiovaskular dan inflamasi
sistemik melalui stres oksidatif sistemik dan disfungsi endotel vaskular perifer dan
dialami juga oleh perokok pasif meski hanya terpapar beberapa tahun. Mekanisme
kedua yang bertolak belakang dari mekanisme pertama menyatakan bahwa respon
inflamasi lokal berdiri sendiri, begitu juga inflamasi sistemik. Hal ini dibuktikan dari
penelitian akan kadar TNFαR dan IL8 yang tinggi pada sputum, ternyata tidak
menunjukkan adanya inflamasi sistemik yang berat. Begitu juga pada orang sehat
yang dipaparkan produk bakterial yang pro inflamasi, lipopolisakarida memang
menunjukkan adanya proses inflamasi lokal berupa kenaikan temperatur tubuh,
reaktifitas saluran nafas dan penurunan FEV1, hanya saja terjadi perbedaan dimana
memang inflamasi sistemik tampak pada subjek yang mengalami demam, tetapi tidak
pada subjek yang hanya mengalami gangguan saluran nafas tanpa demam.
Mekanisme ketiga yang diduga adalah hipoksia, dan ini merupakan masalah berulang
pada PPOK, dimana hipoksia yang terjadi akibat penyempitan saluran nafas, akan
mengaktivasi sistem TNF dan makrofag yang menyebabkan peningkatan sitokin
proinflamasi pada sirkulasi perifer.
Gambar 3. Lingkaran terjadinya proses kerusakan pada PPOK
2 TNF Alpha pada PPOK.
TNF Alpha atau Lymphotoxin B, Cachectin adalah sitokin inflamasi
pleotropik. Faktor sitotoksik lainnya yang diproduksi oleh makrofag dan diberi nama
Tumor Necrosis Factor (TNF). Tumor Necrosis Factor (TNF)-α adalah sitokin
pleotropik yang memiliki efek yang bermacam-macam, seperti growth promotion,
growth inhibition, angiogenesis, cytotoxicity, inflammation, dan imunomodulation
yang berimplikasi terhadap beberapa kondisi inflamasi. Sitokin ini tidak hanya
diproduksi oleh aktivasi makrofag tetapi juga oleh sistim imun yang lainnya meliputi:
lymphocytes, natural killer cells, mast cells dan jaringan stromal meliputi:
endotelhelial cells, fibroblasts, microglial cells. TNF di sintesis oleh monomeric
Type-2 transmembrane protein (tmTNF) berada didalam membran homotrimer dan
membelah menjadi matrix metalloprotease TNF-α converting enzyme (TACE) dan
untuk soluble circulating trimer (solTNF). Dimana keduanya tmTNF dan solTNF
merupakan bentuk biologi yang aktif. Keseimbangan antara tmTNF dan solTNF
menberikan signal yang dapat mempengaruhi tipe dari sel, aktivasi dari sel, dan
menstimulus produksi dari TNF, aktifitas TACE, dan ekspresi dari endogenous TACE
inhibitors merupakan petunjuk efek dari penyimpangan TNF mediated pada
kelangsungan hidup sel. Alveolar macrophages berperan penting sebagai imunitas
bawaan dan didapat sebagai pertahanan patogen terhadap paru-paru, pembersih dari
partikel-partikel inhalasi dan respon inflamasi. Alveolar macrophages memiliki
tempat yang unik di dalam tubuh, karena mereka berlokasi diantara penghubung yaitu
udara dan jaringan paru-paru, dan bertindak sebagai pertahan pertama terhadap
pertikel-partikel inhalasi yang berasal dari udara. Normalnya alveolar macrophages
berjumlah kurang lebih 95% dari leukosit airspace , serta 1 sampai 4% limphosit dan
hanya 1% neutophil. Sel ini memegang peranan sebagai poros dari proses inflamasi
pada PPOK. Alveolar macrophages mengalami kenaikan (5-10 kali) pada saluran
nafas, parenkim paru, Broncho Alveolar Lavage (BAL) dan sputum pada penderita
PPOK yang merokok dan peningkatan jumlah makrophag ini juga berhubungan
dengan tingkat keparahan dari PPOK. Paparan asap rokok merupakan penyebab
tersering dari PPOK, asap rokok mengaktivasi makrofag untuk melepaskan mediator
inflamasi, salah satunya adalah TNFα. TNFα memerankan peranan yang sangat
penting terhadap patofisiologi dari PPOK.
E. Diagnosis PPOK
1 Anamnesis
a. Batuk kronik
Batuk kronik adalah batuk hilang timbul selama 3 bulan dalam 2 tahun
terakhir yang tidak hilang dengan pengobatan yang diberikan. Batuk dapat terjadi
sepanjang hari atau intermiten. Batuk kadang terjadi pada malam hari.
b. Berdahak kronik
Hal ini disebabkan karena peningkatan produksi sputum. Kadang kadang
pasien menyatakan hanya berdahak terus menerus tanpa disertai batuk. Karakterisktik
batuk dan dahak kronik ini terjadi pada pagi hari ketika bangun tidur.
c. Sesak napas
Terutama pada saat melakukan aktivitas. Seringkali pasien sudah mengalami
adaptasi dengan sesak nafas yang bersifat progressif lambat sehingga sesak ini tidak
dikeluhkan.
Selain gejala klinis, dalam anamnesis pasien juga perlu ditanyakan riwayat
pasien dan keluarga untuk mengetahui apakah ada faktor resiko yang terlibat.
Merokok merupakan faktor resiko utama untuk PPOK. Lebih dari 80% kematian pada
penyakit ini berkaitan dnegan merokok dan orang yang merokok memiliki resiko
yang lebih tinggi (12-13 kali) dari yang tidak merokok. Resiko untuk perokok aktif
sekitar 25%. Akan tetapi, faktor resiko lain juga berperan dalam peningkatan kasus
PPOK. Faktor resiko lain dapat antara lain paparan asap rokok pada perokok pasif,
paparan kronis polutan lingkungan atau pekerjaan, penyakit pernapasan ketika masa
kanak-kanak, riwayat PPOK pada keluarga dan defisiensi α1-antitripsin.
Dinyatakan PPOK (secara klinis) apabila sekurang-kurangnya pada anamnesis
ditemukan adanya riwayat pajanan faktor risiko disertai batuk kronik dan berdahak
dengan sesak nafas terutama pada saat melakukan aktivitas pada seseorang yang
berusia pertengahan atau yang lebih tua.
2 Pemeriksaan Fisik
Tanda fisik pada PPOK jarang ditemukan hingga terjadi hambatan fungsi paru
yang signifikan. Pada pemeriksaan fisik seringkali tidak ditemukan kelainan yang
jelas terutama auskultasi pada PPOK ringan, karena sudah mulai terdapat hiperinflasi
alveoli. Sedangkan pada PPOK derajat sedang dan PPOK derajad berat seringkali
terlihat perubahan cara bernapas atau perubahan bentuk anatomi toraks.Secara umum
pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan hal-hal sebagai berikut:
Inspeksi
-Bentuk dada: barrel chest (dada seperti tong)
-Terdapat purse lips breathing (seperti orang meniup)
-Terlihat penggunaan dan hipertrofi (pembesaran) otot bantu nafas
Palpasi - Sela iga melebar
Perkusi - Hipersonor
Auskultasi
-Fremitus melemah
-Suara nafas vesikuler melemah atau normal
-Ekspirasi memanjang
-Bunyi jantung menjauh
-Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi
paksa.
3 Pemeriksaan Penunjang
3.1 Pemeriksaan Spirometri
Pasien yang dicurigai PPOK harus ditegakkan diagnosisnya
menggunakan spirometri. The National Heart, Lung, dan Darah Institute
merekomendasikan spirometri untuk semua perokok 45 tahun atau lebih tua,
terutama mereka yang dengan sesak napas, batuk, mengi, atau dahak persisten.
Kunci pada pemeriksaan spirometri ialah rasio FEV1 (Forced
Expiratory Volume in 1 s) dan FVC (Forced Vital Capacity). FEV1 adalah
volume udara yang pasien dapat keluarkan secara paksa dalam satu detik
pertama setelah inspirasi penuh. FEV1 pada pasien dapat diprediksi dari usia,
jenis kelamin dan tinggi badan. FVC adalah volume maksimum total udara
yang pasien dapat hembuskan secara paksa setelah inspirasi penuh.
Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease
(GOLD) 2011, PPOK diklasifikasikan berdasarkan derajat berikut.
1. Derajat 0 (berisiko)
Gejala klinis : memiliki satu atau lebih gejala batuk kronis, produksi
sputum, dan dispnea. Ada paparan terhadap faktor resiko. Spirometri : Normal
2. Derajat I (PPOK ringan)
Gejala klinis : dengan atau tanpa batuk. Dengan atau tanpa produksi
sputum. Sesak napas derajat sesak 0 sampai derajat sesak 1. Spirometri :
FEV1/FVC < 70%, FEV1 ≥ 80%.
3. Derajat II (PPOK sedang)
Gejala klinis : Dengan atau tanpa batuk. Dengan atau tanpa produksi
sputum. Sesak napas derajat sesak 2 (sesak timbul pada saat aktivitas).
Spirometri :FEV1/FVC < 70%; 50% < FEV1 < 80%.
4. Derajat III (PPOK berat)
Gejala klinis : Sesak napas derajat sesak 3 dan 4. Eksaserbasi lebih
sering terjadi. Spirometri :FEV1/FVC < 70%; 30% < FEV1 < 50%
5. Derajat IV (PPOK sangat berat)
Gejala klinis : Pasien derajat III dengan gagal napas kronik. Disertai
komplikasi kor pulmonale atau gagal jantung kanan. Spirometri :FEV1/FVC <
70%; FEV1 < 30% atau < 50%.
3.2. Uji bronkodilator
- Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan APE
meter.
- Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 - 20 menit
kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE
< 20% nilai awal dan < 200 ml
- Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil
3.3. Darah rutin Hb, Ht, leukosit.
3.4 Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain
Pada emfisema terlihat gambaran :
- Hiperinflasi
- Hiperlusen
- Ruang retrosternal melebar
- Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye drop appearance)
Pada bronkitis kronik :
• Normal
• Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus.
b. Pemeriksaan khusus (tidak rutin)
1. Faal paru
- Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF), Kapasiti Paru
Total (KPT), VR/KRF,VR/KPT meningkat
- DLCO menurun pada emfisema
- Raw meningkat pada bronkitis kronik
- Sgaw meningkat
- Variabiliti Harian APE kurang dari 20 %
2. Uji latih kardiopulmoner
- Sepeda statis (ergocycle)
- Jentera (treadmill)
- Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal
3. Uji provokasi bronkus
Untuk menilai derajat hipereaktivitas bronkus, pada sebagian kecil PPOK
terdapat hipereaktivitas bronkus derajat ringan.
4. Uji coba kortikosteroid
Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral (prednison
atau metilprednisolon) sebanyak 30 - 50 mg per hari selama 2minggu yaitu
peningkatan VEP1 pascabronkodilator >20 % dan minimal 250 ml. Pada PPOK
umumnya tidak terdapat kenaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid.
5. Analisis gas darah
Terutama untuk menilai :
- Gagal napas kronik stabil
- Gagal napas akut pada gagal napas kronik
6. Radiologi
- CT - Scan resolusi tinggi
- Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat emfisema atau bula
yang tidak terdeteksi oleh foto toraks polos
- Scan ventilasi perfusi Mengetahui fungsi respirasi paru
7. Elektrokardiografi
Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal dan
hipertrofi ventrikel kanan.
8. Ekokardiografi Menilai funfsi jantung kanan
9. bakteriologi
Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur resistensi
diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik yang
tepat. Infeksi saluran napas berulng merupakan penyebab utama eksaserbasi
akut pada penderita PPOK di Indonesia.
10. Kadar alfa-1 antitripsin
Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter (emfisema pada usia
muda), defisiensi antitripsin alfa-1 jarang ditemukan di Indonesia.
F. Penatalaksanaan umum PPOK
Tujuan penatalaksanaan :
- Mengurangi gejala
- Mencegah eksaserbasi berulang
- Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru
- Meningkatkan kualitas hidup penderita
Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi :
1. Edukasi
2. Obat - obatan
3. Terapi oksigen
4. Ventilasi mekanik
5. Nutrisi
6. Rehabilitasi
PPOK merupakan penyakit paru kronik progresif dan nonreversibel, sehingga
penatalaksanaan PPOK terbagi atas (1) penatalaksanaan pada keadaan stabil dan (2)
penatalaksanaan pada eksaserbasi akut.
1. Edukasi
Tujuan edukasi pada pasien PPOK :
1. Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan
2. Melaksanakan pengobatan yang maksimal
3. Mencapai aktivitas optimal
4. Meningkatkan kualitas hidup
Edukasi PPOK diberikan sejak ditentukan diagnosis dan berlanjut secara
berulang pada setiap kunjungan, baik bagi penderita sendiri maupun bagi
keluarganya. Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah
1. Pengetahuan dasar tentang PPOK
2. Obat - obatan, manfaat dan efek sampingnya
3. Cara pencegahan perburukan penyakit
4. Menghindari pencetus (berhenti merokok)
5. Penyesuaian aktivitas
Agar edukasi dapat diterima dengan mudah dan dapat dilaksanakan ditentukan
skala prioritas bahan edukasi sebagai berikut :
1. Berhenti merokok
Disampaikan pertama kali pada waktu diagnosis PPOK ditegakkan.
2. Pengunaan obat - obatan
- Macam obat dan jenisnya
- Cara penggunaannya yang benar ( oral, MDI atau nebuliser )
- Waktu penggunaan yang tepat ( rutin dengan selang waku tertentu)
- Dosis obat yang tepat dan efek sampingnya
3. Penggunaan oksigen
- Kapan oksigen harus digunakan
- Berapa dosisnya
- Mengetahui efek samping kelebihan dosis oksigen
4. Mengenal dan mengatasi efek samping obat atau terapi oksigen
5. Penilaian dini eksaserbasi akut dan pengelolaannya
Tanda eksaserbasi :
- Batuk atau sesak bertambah
- Sputum bertambah
- Sputum berubah warna
6. Mendeteksi dan menghindari pencetus eksaserbasi
7. Menyesuaikan kebiasaan hidup dengan keterbatasan aktivitas.
2. Obat - obatan
a. Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan
disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit. Pemilihan bentuk obat
diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang.
Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat ( slow release ) atau obat
berefek panjang ( long acting ).
Macam - macam bronkodilator :
- Golongan antikolinergik
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai bronkodilator
juga mengurangi sekresi lendir.
- Golongan agonis beta - 2
- Kombinasi antikolinergik dan agonis beta - 2
Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi,
karena keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda.
- Golongan xantin
b. Antiinflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi
intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, golongan metilprednisolon atau
prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka panjang diberikan bila terbukti uji
kortikosteroid positif yaitu terdapat perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat >
20% dan minimal 250 mg.
c. Antibiotika
Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan :
- Lini I : amoksisilin makrolid
- Lini II : amoksisilin dan asam klavulanat, sefalosporin, kuinolon makrolid baru
Perawatan di Rumah Sakit :
- Amoksilin dan klavulanat
- Sefalosporin generasi II & III injeksi
- Kuinolon per oral
ditambah dengan yang anti pseudomonas
- Aminoglikose per injeksi
- Kuinolon per injeksi
- Sefalosporin generasi IV per injeksi
d. Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualitas hidup, digunakan N -
asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering, tidak
dianjurkan sebagai pemberian yang rutin.
e. Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat
perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang viscous.
Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak dianjurkan sebagai
pemberian rutin.
3. Terapi Oksigen
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang
menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen mempertahankan
oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun organ -organ
lainnya.
Indikasi:
- PaO2 < 60mmHg atau Sat O2 < 90%
- PaO2 diantara 55 - 59 mmHg atau Sat O2 > 89% disertai Kor Pulmonal, perubahan
P pullmonal, Ht >55% dan tanda - tanda gagal jantung kanan, sleep apnea, penyakit
paru lain.
4. Ventilasi Mekanik
Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal
napas akut, gagal napas akut pada gagal napas kronik atau pada pasien PPOK derajat
berat dengan napas kronik.
Kriteria PPOK stabil adalah :
- Tidak dalam kondisi gagal napas akut pada gagal napas kronik
- Dapat dalam kondisi gagal napas kronik stabil, yaitu hasil analisa gas darah
menunjukkan PCO2 < 45 mmHg dan PO2 > 60 mmHg
- Dahak jernih tidak berwarna
- Aktivitas terbatas tidak disertai sesak sesuai derajat berat PPOK (hasil spirometri)
- Penggunaan bronkodilator sesuai rencana pengobatan
- Tidak ada penggunaan bronkodilator tambahan
Eksaserbasi akut pada PPOK berarti timbulnya perburukan dibandingkan
dengan kondisi sebelumnya. Eksaserbasi dapat disebabkan infeksi atau faktor lainnya
seperti polusi udara, kelelahan atau timbulnya komplikasi.
Gejala eksaserbasi :
- Sesak bertambah
- Produksi sputum meningkat
- Perubahan warna sputum
Eksaserbasi akut akan dibagi menjadi tiga :
a. Tipe (eksaserbasi berat), memiliki 3 gejala di atas
b. Tipe II (eksaserbasi sedang), memiliki 2 gejala di atas
c. Tipe III (eksaserbasi ringan), memiliki 1 gejala di atas ditambah infeksi saluran
napas atas lebihdari 5 hari, demam tanpa sebab lain, peningkatan batuk, peningkatan
mengi atau peningkatan frekuensi pernapasan > 20% baseline, atau frekuensi nadi >
20% baseline.
Penyebab eksaserbasi akut
Primer : - Infeksi trakeobronkial (biasanya karena virus)
Sekunder :
- Pnemonia
- Gagal jantung kanan, atau kiri, atau aritmia
- Emboli paru
- Pneumotoraks spontan
- Penggunaan oksigen yang tidak tepat
- Penggunaan obat-obatan (obat penenang, diuretik) yang tidak tepat
- Penyakit metabolik (DM, gangguan elektrolit)
- Nutrisi buruk
- Lingkungan memburuk/polusi udara
- Aspirasi berulang
- Stadium akhir penyakit respirasi (kelelahan otot respirasi)
BAB III
PEMBAHASAN
Pada kasus ini, Pasien datang ke IGD dengan keluhan sesak napas, lemas, dan
batuk berdahak. Pasien merupakan pasien rawat jalan sejak tahun 2007 dengan diagnosis
awal diabetes melitus tipe II, hipertensi dengan komplikasi bronchitis. Pada waktu di
IGD pasien tampak sangat sesak napas sehingga harus dinebulisasi dengan ventolin dan
pulmicort tetapi tidak membaik. GDS awal di IGD adalah 258 mg/dl.
Pada pemeriksaan fisik, vital sign tekanan darah: 148/88 mmHg (tinggi), Nadi :
88 x/menit, regular, isi dan tegangan cukup, RR: 28 x (cepat), suhu: 360C, Cor : S1 dan
S2 regular, Thorak : Simetris +/+, ketinggalan gerak -/-, vocal fremitus tidak ada
peningkatan maupun penurunan, sonor +/+, retraksi +/+, Pulmo: vesikuler +/+, ronkhi
-/- , wheezing +/+, Abdomen : Supel (+), nyeri tekan (-), peristaltik usus (+) normal,
timpani (+), ascites (-), turgor baik, Ekstremitas: edema (-), akral hangat (+), makula
pada tangan kanan dan kiri, CRT <2s.
Berdasarkan anamnesis riwayat pasien merupakan perokok aktif sejak usia 20
tahunan hingga usia 70 tahunan dan habis 1 bungkus rokok perhari dan baru berhenti
setelah gejala penyakit mulai muncul. Merokok merupakan faktor resiko terjadinya
PPOK yang paling penting.
Pasien juga didiagnosis diabetes melitus dan hipertensi sebelum didiagnosis
PPOK. Gula darah sewaktu pasien cukup tinggi yaitu 258 mg/dl didukung dengan
tekanan darah yang tinggi yaitu 148/88 mmHg.
Pada pemeriksaan fisik pasien pulmo terdapat suara wheezing pada kedua
pulmo, tetapi vokal fremitus normal tidak menurun, perkusi normal tidak hipersonor.
Penampilan umum pasien tampak sesak dan bernapas lewat mulut atau purse lips
breathing (seperti orang meniup), pada palpasi sela iga melebar. Dari anamnesis dan
pemeriksaan fisik tersebut sudah mendukung diagnosis PPOK.
Pada Rontgen Thorak Apex pulmo baik, Corakan bronkovascular bertambah,
Infiltrat peribronchial +, Air bronchogram +, SIC melebar, Diafragma mendatar, Cor
CRT <0,50 dan Kesan Bronchitis Chronis.
Pada pasien ini mendapatkan terapi oksigen, kortikosteroid, antibiotik dan
bronkodilator yang merupakan terapi PPOK eksaserbasi.
DAFTAR PUSTAKA
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. PEDOMAN DIAGNOSIS & PENATALAKSANAAN DI INDONESIA PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK). 2003. Jakarta.
GOLD Inc. Pocket Guide to COPD Diagnosis, Management, and Prevention. Mangunnegoro H, dkk. PPOK, Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia: 2003. hal 1-56.Singh J M et al, Corticosteroid Therapy for Patients With Acute Exacerbations of COPD, Review
Article, Arch Intern Med/vol 162: Dec 2002, Pp 2527-2536.
Top Related