i
PENULISAN KASUS
Modul Untuk Diklat Kewidyaiswaraan Berjenjang
Tingkat Menengah
Disusun Oleh:
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA
Direktorat Pembinaan Widyaiswara
Lembaga Administrasi Negara RI
Jakarta, 2013
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................
DAFTAR ISI............................................................................
BAB I PENDAHULUAN ................................................. 1
A. Latar Belakang................................................ 1
B. Deskripsi Singkat ............................................ 3
C. Tujuan Pembelajaran...................................... 4
D. Materi Pokok dan Sub Materi Pokok .............. 5
E. Petunjuk Belajar ............................................. 6
BAB II Konsepsi Kasus ................................................. 7
A. Pengertian dan Unsur Kasus ........................ 7
B. Ruang Lingkup Kasus ................................... 10
C. Karakteristik Kasus ...................................... 11
D. Jenis-Jenis Kasus .......................................... 13
E. Model-Model Analisis Kasus ........................ 14
F. Sumber Data ................................................ 18
G. Penggunaan Analisis Kasus ........................... 19
H. Latihan ......................................................... 22
I. Rangkuman .................................................. 23
J. Evaluasi ........................................................ 23
iii
BAB III TEKNIK PENULISAN KASUS ................................ 25
A. Proses Penulisan Kasus ................................ 25
B. Sistematika Penulisan Kasus ........................ 26
C. Komponen Penulisan Kasus ......................... 27
D. Ketentuan Teknis Lain ................................. 31
E. Latihan ......................................................... 32
F. Rangkuman .................................................. 33
G. Evaluasi ........................................................ 33
BAB IV PENUTUP ........................................................... 35
A. Simpulan ...................................................... 35
B. Tindak Lanjut ............................................... 36
DAFTAR PUSTAKA ................................................................. 38
LAMPIRAN .................................................................... 40
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Selama ini Widyaiswara lebih dipersepsikan sebagai
profesi yang hanya berhubungan dengan fungsi
mendidik, mengajar, dan melatih (dikjartih). Namun,
tugas dikjartih ini tidak akan maksimal jika tidak di
dukung oleh pengetahuan yang terus di-update dan
dikembangkan.
Dengan kata lain, Widyaiswara adalah sebuah profesi
yang berbasis pada manajemen pengetahuan
(knowledge management). Menurut Chang (2007,
dalam UN-DESA, 2007), knowledge management terdiri
dari paling tidak 5 (lima) unsur sebagai berikut:
1. Capture knowledge (menggali dan memperoleh
pengetahuan);
2. Refine knowledge (menyempurnakan dan
menambah pengetahuan);
3. Share knowledge (menyebarluaskan pengetahuan);
4. Apply knowledge (menerapkan atau
mengaktualisasikan pengetahuan); dan
2 PENULISAN KASUS
5. Increase knowledge (mengembangkan
pengetahuan).
Gambar 1.1.
Manajemen Pengetahuan (Knowledge Management)
Diantara kelima unsur diatas, tugas Dikjartih lebih
berhubungan dengan unsur share knowledge. Namun
dalam siklus knowledge management diatas, sharing
knowledge adalah sebuah proses dinamis yang tidak
hanya berisi materi yang sama untuk jangka waktu
panjang. karena ilmu selalu berkembang, maka seorang
Widyaiswara juga terus menggali, menambah, dan
menyempurnakan pengetahuan, sehingga
pengetahuan yang dibagi dan ditularkan kepada orang
lain (peserta diklat) juga akan terus berkembang.
MODUL DIKLAT KEWIDYAISWARAAN BERJENJANG TK. MENENGAH 3
Dalam konteks Widyaiswara sebagai profesi berbasis
pengetahuan tadi, maka seorang Widyaiswara tidak
cukup hanya memiliki kompetensi Dikjartih, namun
harus mengembangkan juga kemampuan menggali dan
mengembangkan pengetahuan, antara lain melalui
aktivitas penulisan karya tulis ilmiah maupun analisis
kasus.
Kemampuan berpikir ilmiah dan analitis bagi seorang
Widyaiswara semakin dibutuhkan mengingat
perubahan lingkungan strategis pada tataran nasional
maupun global yang semakin dinamis. Berbagai
perkembangan tadi telah memunculkan banyak
peristiwa dan kasus-kasus yang tidak pernah terjadi
sebelumnya. Itulah sebabnya, seorang Widyaiswara
wajib untuk terus mengikuti perkembangan kebijakan
publik, interaksi antar aktor dan lintas stakeholder
dalam sistem tata kelola (governance), sekaligus
menguasai pengetahuan substansi terkait kasus-kasus
tertentu sesuai bidang minat dan keahliannya.
B. Deskripsi Singkat
Mata Diklat Penulisan Kasus ini diberikan kepada para
peserta Diklat Kewidyaiswaraan Berjenjang Tingkat
Menengah. Mata diklat ini membahas tentang konsepsi
kasus, yang antara lain meliputi pengertian kasus,
4 PENULISAN KASUS
karakteristik kasus, jenis-jenis kasus, model-model
analisis kasus, serta sumber data dan pengelolaannya.
Selain itu, Mata Diklat ini juga akan menguraikan
tentang teknik penulisan kasus.
C. Tujuan Pembelajaran
Memperhatikan latar belakang seperti dipaparkan
diatas serta kebutuhan membangun profesionalisme
Widyaiswara dalam konteks perubahan lingkungan
strategis, maka kompetensi dasar dan indikator hasil
belajar Mata Diklat Penulisan Kasus adalah sebagai
berikut:
1. Kompetensi Dasar
Setelah mengikuti pembelajaran ini peserta
mampu berpikir analitis dalam memberikan
respon yang cepat dan cerdas atas
issu/peristiwa/kasus tertentu, serta mampu
menghasilkan alternatif-alternatif solusi dan
rekomendasi untuk mengatasi permasalahan
pokok dari kasus tersebut.
2. Indikator Hasil Belajar
Setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta
dapat:
a. Menjelaskan konsepsi kasus;
MODUL DIKLAT KEWIDYAISWARAAN BERJENJANG TK. MENENGAH 5
b. Menerangkan teknik penulisan kasus;
c. Mempraktekkan penulisan kasus.
D. Materi Pokok dan Sub Materi Pokok
Mata Diklat Komunikasi Persuasif merupakan mata
Diklat dengan durasi 10 jam pelajaran (10 JP) dengan
alokasi ceramah, tanya jawab, dan praktik dan/atau
simulasi. Sebanyak 2 JP untuk kegiatan ceramah, 2 JP
untuk Tanya jawab dalam rangka pendalaman dan
penyamaan persepsi, serta sisanya 6 JP untuk praktik
dan/atau simulasi. Adapun materi pokok dan sub
materi pokok sebagai berikut:
1. Pendahuluan
a. Arti pentingnya Widyaiswara dalam konteks
manajemen pengetahuan;
b. Arti pentingnya kasus.
2. Konsepsi Kasus
a. Pengertian kasus dan unsur-unsur kasus;
b. Karakteristik kasus;
c. Jenis-jenis kasus;
d. Model-model analisis kasus;
e. Sumber data dan pengelolaa data.
3. Teknik Penulisan Kasus
a. Ringkasan kasus;
b. Pokok permasalahan;
6 PENULISAN KASUS
c. Kerangka berpikir;
d. Analisis/pembahasan kasus;
e. Alternatif pemecahan masalah;
f. Rekomendasi dan lessons learned.
E. Petunjuk Belajar
Penyampaian materi Diklat ini menggunakan
pendekatan andragogi, atau pembelajaran untuk orang
dewasa. Dalam pendekatan andragogi, proses
pembelajaran lebih difokuskan pada keaktifan peserta,
dalam bentuk interaksi antar peserta, simulasi atau
eksperimen untuk melatih konsep yang dipelajari.
Untuk dapat melakukan analisis kasus secara baik,
maka seseorang harus memiliki habit yang terkait
dengan aktivitas akademik atau ilmiah seperti banyak
membaca, rajin menulis, sering diskusi, serta terus-
menerus memperbaharui pengetahuan dengan
informasi terbaru. Seorang penulis kasus dituntut pula
untuk berani berpikir secara bebas (our of the box
thinking) dengan membuka segala kemungkinan.
7
BAB II
KONSEPSI KASUS
A. Pengertian dan Unsur Kasus
Kasus pada dasarnya adalah sebuah peristiwa atau
kejadian faktual yang mengandung adanya
permasalahan yang kompleks, yang membutuhkan
solusi lewat pengambilan tindakan/keputusan atas
peristiwa atau kejadian tersebut.
Pengertian ini sangat serupa dengan pengertian
masalah kebijakan (policy problem) yang dikemukakan
oleh William Dunn yakni unrealized needs, values,
opportunities, however we identified, the solution
require public actions. Secara bebas definisi dari Dunn
ini dapat diterjemahkan bahwa masalah kebijakan
adalah tidak terpenuhinya kebutuhan, nilai, dan
Indikator Hasil Belajar:
Setelah mengikuti pembelajaran ini peserta Diklat mampu
menjelaskan konsepsi kasus, yang meliputi pengertian
dan unsur-unsur kasus, ciri-ciri dan jenis-jenis kasus,
model-model analisis kasus, serta sumber data dan
pengelolaann data dala penulisan kasus.
8 PENULISAN KASUS
peluang, yang meskipun sudah dapat dikenali namun
tetap membutuhkan solusi berupa aksi nyata dari
pemerintah.
Dari pengertian tentang kasus diatas, maka dapat
dirumuskan beberapa unsur dari kasus, antara lain:
1. Fakta, yang berarti bahwa kasus bukanlah sebuah
rekaan, imajinasi, fiksi, mitos, ramalan, atau
harapan. Sebuah kasus harus didukung dengan
data obyektif dan informasi selengkap dan seakurat
mungkin, baik data primer maupun sekunder, baik
berupa narasi, angka, dan gambar, grafis, film,
maupun data lain yang relevan.
2. Masalah, yang berarti bahwa dalam sebuah
kejadian/peristiwa tadi terkadung adanya sesuatu
yang tidak diinginkan, atau adanya gap antara hal
yang ideal dengan realita yang ada, antara norma
dengan perilaku nyata, antara visi dengan kinerja
nyata, dan sebagainya.
3. Kompleksitas masalah, artinya masalah tadi tidak
berdiri sendiri dan bersifat sederhana, namun
sangat boleh jadi memiliki keterkaitan dengan
masalah yang lain, melibatkan banyak pihak, tidak
jelas hubungan sebab akibatnya, dan seterusnya.
MODUL DIKLAT KEWIDYAISWARAAN BERJENJANG TK. MENENGAH 9
4. Alternatif solusi atau penyelesaian masalah, artinya
bahwa terhadap kompleksitas masalah yang ada
harus dilakukan analisis untuk dapat dirumuskan
alternatif solusi yang akan direkomendasikan untuk
memecahkan masalah tersebut.
Meskipun memiliki beberapa kesamaan baik secara
istilah maupun proses analisis secara substantif, namun
perlu dipahami bahwa pengertian kasus disini
dibedakan dengan studi kasus (case study). Studi kasus
adalah sebuah metode dalam penelitian yang
menggunakan analisis mendalam, yang dilakukan
secara lengkap dan teliti terhadap seorang individu,
keluarga, kelompok, lembaga, atau unit sosial lain (Polit
and Hungler, 1999, dalam Pitoyo, tanpa tahun).
Pengerian lain dikemukakan oleh Abdul Aziz (dalam
Bungin, 2003) yang menyebutkan studi kasus sebagai
suatu upaya untuk menyelidiki suatu fenomena sosial
dimana batas-batas antara fenomena dengan konteks
tidak tampak dengan tegas.
Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa studi kasus
merupakan sebuah pilihan metode atau pendekatan
dalam penelitian, sedangkan penulisan kasus bukanlah
merupakan jenis metode baru, namun dapat
menggunakan studi kasus sebagai metode yang
10 PENULISAN KASUS
diterapkan. Selain itu, dalam studi kasus biasanya akan
fokus pada unit analisis yang spesifik, sedangkan dalam
penulisan kasus tidak dibatasi pada unit analisis secara
sempit. Penulisan kasus lebih difokuskan pada
kasusnya, namun dapat menjangkau unit analisis yang
lebih luas.
B. Ruang Lingkup Kasus
Mengingat modul ini secara khusus disusun untuk
kebutuhan pengembangan kompetensi Widyaiswara,
maka kasus yang dipilih untuk dianalisis adalah kasus
yang memiliki keterkaitan dengan:
1. Spesialisasi seorang Widyaiswara, yakni yang
berhubungan dengan yang latar belakang keilmuan
atau rumpun mata diklat yang diajarkan;
2. Dimensi kediklatan, baik menyangkut kebijakan
diklat, program diklat, tenaga kediklatan,
kelembagaan diklat, sarana prasarana diklat, dan
sebagainya;
3. Kebijakan teknis lingkup Kementerian/Lembaga/
Pemda tertentu atau lingkup badan/pusat Diklat
Kementerian/lembaga/Pemda;
4. Kebijakan pembinaan dan pengembangan SDM
aparatur secara nasional, mulai dari dimensi
MODUL DIKLAT KEWIDYAISWARAAN BERJENJANG TK. MENENGAH 11
peraturan perundang-undangan, siklus karir
pegawai (sejak rekrutmen hingga pensiun), maupun
permasalahan.
C. Karakteristik Kasus
Ada beberapa karakteristik umum dan karakteristik
yang khas yang perlu dikenali dalam sebuah penulisan
dan analisis kasus, antara lain:
1. Karakteristik umum, meliputi 5 (lima) hal yakni:
a. Ada karakter atau peran yang dimainkan oleh
aktor-aktor tertentu yang terkait secara jelas
dengan kasus tersebut, baik secara individual
maupun institusional;
b. Bersifat aktual, dalam arti bahwa kejadian/
peristiwa tersebut masih berlangsung, masih
menjadi polemik dan pusat perhatian banyak
orang, sehingga memiliki urgensi cukup tinggi
untuk dianalisis;
c. Belum ada tindakan/keputusan final dari
aparat/instansi yang berwenang terkait kasus
12 PENULISAN KASUS
yang ada, sehingga masih membutuhkan
analisis yang lebih dalam dan komprehensif;1
d. Dapat disusun secara sekuensial atau
kronologis, dalam arti bahwa plot ceritera
dimulai dari setting kejadian, waktu dan tempat
secara berurutan dari awal hingga akhir.
Meskipun demikian, seorang penulis memiliki
gaya bahasa tulisan (selikung) yang berbeda-
beda, sehingga sekuensi penulisan dapat saja
tidak mulai dari awal ke akhir (ascendant),
namun dapat dimulai dari fakta yang terbaru
dan dirunut ke fakta-fakta sebelumnya
(descendant). Yang terpenting, deskripsi kasus
haruslah memberi alur cerita yang logis dan
sistematis, sehingga dengan mudah dapat
diketahui hubungan antar peristiwa dalam
kasus tersebut.
e. Tingkat kesulitan kasus yang sedang, artinya
tidak terlalu sulit dan memberatkan
penulis/peneliti, namun juga tidak terlalu
1 Jika seseorang ingin menganalisis pilihan tindakan/keputusan
pemerintah dalam mengatasi kasus tertentu, maka bentuk
tulisan yang dihasilkan adalah KTI atau policy paper, bukan lagi
analisis kasus. Kasus diasumsikan telah selesai ketika telah
dilakukan pengambilan keputusan (policy making), sehingga
analisis kasus menjadi kurang bermanfaat karena apapun
rekomendasi yang dihasilkan tidak lagi dapat mempengaruhi
pilihan/keputusan pejabat/instansi yang berwenang tadi..
MODUL DIKLAT KEWIDYAISWARAAN BERJENJANG TK. MENENGAH 13
mudah. Terkait hal ini, penulis/peneliti harus
memiliki akses yang cukup terhadap berbagai
sumber yang digunakan sebagai data, sekaligus
memiliki minat dan pemahaman substanstif
mengenai kasus tersebut.
2. Karakteristik khas, meliputi 3 (tiga) hal yakni:
a. Memiliki keterkaitan dengan bidang keahlian/
minat/materi ajar Widyaiswara, sehingga kasus
yang ditulis dapat diutilisasi untuk memperkaya
materi mata diklat tertentu;
b. Jika kasus yang ditulis cukup kompleks secara
materi maupun aktor yang terlibat, dapat
difokuskan pada bagian tertentu dari kasus
tersebut;
c. Sebaiknya dihindari keragu-raguan, misalnya
dengan menggunakan kata “katanya”, “konon”,
“mungkin”, dan sejenisnya. Hal ini penting
diperhatikan agar penulisan analisis kasus tidak
menjadi fitnah atau sarat dengan konflik
kepentingan;
D. Jenis-Jenis Kasus
Dilihat dari orientasi atau kepentingannya, penulisan
kasus dapat dibedakan menjadi dua jenis, yakni:
14 PENULISAN KASUS
1. Evaluative-focused case, yakni kasus yang disusun
untuk melakukan evaluasi terhadap hasil atau
dampak sebuah kebijakan/tindakan pemerintah.
Analisis seperti ini dapat disebut pula sebagai
analisis terhadap kebijakan (analysis of policy).
Analisis ini biasanya difokuskan pada bagaimana,
mengapa, kapan, serta diperuntukkan bagi siapa
(target groups) sebuah kebijakan dibuat;
2. Decision-focused case, yakni kasus yang
berorientasi pada pengambilan keputusan. Analisis
seperti ini dapat disebut pula sebagai analisis untuk
kebijakan (analysis for policy). Bentuk analisis ini
mencakup riset dan argumen-argumen yang
dimaksudkan untuk memberikan pengaruh
terhadap agenda kebijakan baik dari lingkungan
internal maupun eksternal pemerintah.
E. Model-Model Analisis Kasus
Kegiatan menganalisis kasus pada dasarnya mirip
dengan analisis kebijakan (policy analysis). Banyak
pakar yang telah mengemukakan pandangan mengenai
proses dan/atau model-model dalam analisis kebijakan.
Salah satunya adalah Patton and Sawicki dalam
bukunya yang berjudul Basic Methods of Policy Analysis
MODUL DIKLAT KEWIDYAISWARAAN BERJENJANG TK. MENENGAH 15
and Planning (1993, New Jersey: Prentice-Hall), yang
membagi analisis kebijakan menjadi 6 (enam) langkah
sebagai berikut:
1. Menentukan atau mendefinisikan masalah
kebijakan dengan cara menganalisis data dan
informasi yang relevan dengan masalah tersebut
(Defining the problem by analyzing the data and the
information gathered).
2. Mengidentifikasikan atau mengembangkan kriteria-
kriteria untuk pemecahan masalah. Dalam hal ini,
seorang pengambil kebijakan harus memperhatikan
faktor-faktor terkait sebelum memutuskan sesuatu
(Identifying the decision criteria that will be
important in solving the problem. The decision
maker must determine the relevant factors to take
into account when making the decision).
3. Membuat daftar alternatif yang akan dipilih sebagai
kebijakan terbaik dalam menyelesaikan masalah
kebijakan (A brief list of the possible alternatives
must be generated; these could succeed to resolve
the problem).
16 PENULISAN KASUS
4. Melakukan analisis dan evaluasi terhadap setiap
kriteria yang dikembangkan, dengan memberikan
bobot terhadap setiap kriteria (A critical analyses
and evaluation of each criterion is brought through.
For example strength and weakness tables of each
alternative are drawn and used for comparative
basis. The decision maker then weights the
previously identified criteria in order to give the
alternative policies a correct priority in the
decision).
5. Melakukan evaluasi terhadap setiap alternatif
berdasarkan kriteria yang telah ditentukan, untuk
kemudian memilih alternatif terbaik sebagai
kebijakan terpilih (The decision-maker evaluates
each alternative against the criteria and selects the
preferred alternative).
6. Menjalankan kebijakan yang telah dipilih (The
policy is brought through).
Dalam bentuk skematik, model analisis kasus Patton
and Sawicki dapat dilihat sebagai berikut:
MODUL DIKLAT KEWIDYAISWARAAN BERJENJANG TK. MENENGAH 17
Gambar 2.1.
Model Analisis Kasus Patton and Sawicki
Selain model diatas, ada model lain yang banyak
dipergunakan dan cukup sederhana yang dikenal
dengan Policy Analysis Framework (dalam Rewansyah,
2010). Model ini terdiri dari 3 (tiga) langkah yakni: 1)
analisis masalah dengan menentukan mana yang salah
dan apa fakfor penyebabnya; 2) melakukan penilaian
dan memilih alternatif; serta 3) mengevaluasi pilihan
kebijakan, termasuk aspek informasi kebijakan serta
monitoring dan evaluasinya. Dalam bentuk gambar,
model PAF ini dapat disimak sebagai berikut:
18 PENULISAN KASUS
Gambar 2.2.
Model Analisis Kasus PAF (Policy Analysis Framework)
F. Sumber Data
Data adalah segala informasi tentang variabel/aspek
yang diteliti. Dalam hal ini, penulisan kasus dapat
bersumber dari berita media, laporan kerja instansi
tertentu, hasil penelitian atau investigasi, pengaduan
masyarakat, kasus hukum seperti amar putusan hakim,
dan sebagainya.
MODUL DIKLAT KEWIDYAISWARAAN BERJENJANG TK. MENENGAH 19
Dilihat dari klasifikasinya, data dapat dibagi menjadi 2
(dua) jenis yakni data primer (primary sources) dan
data sekunder (secondary sources). Data primer antara
lain meliputi pengalaman pribadi, hasil wawancara,
atau hasil pengamatan langsung (observasi). Sedangkan
data sekunder antara lain berupa:
• Dokumen pemerintahan seperti laporan, memo,
nota dinas, publikasi pemerintah, peraturan
perundang-undangan, Renstra, dan sebagainya;
• Publikasi pada jurnal, majalah, buku, dan artikel;
• Berita dari berbagai media TV, radio, atau audio
visual lannya.
G. Penggunaan Analisis Kasus
Analisis dan penulisan kasus sering dilakukan dan
sangat bermanfaat dalam bidang-bidang antara lain:
1. Manajemen Stratrejik (strategic management).
Esensi analisis kasus dalam manajemen stratejik
adalah untuk mendiagnosa dan menilai kasus,
untuk kemudian diajukan rekomendasi tindak
lanjutnya (to diagnose and size up the situation
described in the case and then to recommend
appropriate action steps).
20 PENULISAN KASUS
Menurut Schoen and Sprague (1954, dalam
McGraw-Hill Higher Education, A Guide to Case
Analysis, tanpa tahun), ada 5 (lima) kegunaan
analisis kasus dalam stratejik manajemen, yakni:
� Increasing understanding of what managers
should and should not do in guiding a business
to success.
� Building skills in sizing up company resource
strengths and weaknesses and in conducting
strategic analysis in a variety of industries and
competitive situations.
� Getting valuable practice in identifying strategic
issues that need to be addressed, evaluating
strategic alternatives, and formulating
workable plans of action.
� Enhancing sense of business judgment, as
opposed to uncritically accepting the
authoritative crutch of the professor or “back-
of-the-book” answers.
� Gaining in-depth exposure to different
industries and companies, thereby acquiring
something close to actual business experience.
2. Manajemen Kebijakan (policy management)
Menurut Mustopadidjaja (tanpa tahun),
manajemen kebijakan terdiri dari dimensi sistem
MODUL DIKLAT KEWIDYAISWARAAN BERJENJANG TK. MENENGAH 21
(policy system) dan dimensi proses (policy process).
Sistem kebijakan berhubungan dengan Interaksi
dan Interkoneksi antara pelaku kebijakan (policy
actors), lingkungan kebijakan (policy environment),
kelompok sasaran (target groups), dan kebijakan
publik itu sendiri. Sistem kebijakan juga terkait
dengan soal interdependensi antara input – proses
– output dalam siklus kebijakan.
Sedangkan proses kebijakan berhubungan dengan
tahapan untuk menghasilkan kebijakan publik, yang
dimulai dari perumusan masalah (pengenalan,
pencarian, pendefinisian, dan spesifikasi masalah),
pengembangan dan pemilihan alternatif kebijakan,
implementasi kebijakan, serta monitoring evaluasi
dan pengukuran kinerja kebijakan.
Dalam konteks sistem dan proses kebijakan tadi,
keberadaan dokumen yang memuat analisis
permasalahan beserta laternatif dan rekomendasi
kebijakan, sangatlah penting. Dalam hal ini, kertas
kerja analisis kebijakan seperti itu sering dikenal
dengan istilah policy paper ataupun policy brief,
yang esensi maupun komponennya dapat
disamakan dengan analisis kasus. Dengan kata lain,
analisis kasus menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dengan manajemen kebijakan publik.
22 PENULISAN KASUS
Dari penjelasan tentang utilisasi analisis kasus dalam
manajemen stratejik dan manajemen kebijakan diatas
dapat disimpulkan bahwa analisis kasus memiliki
manfaat di organisasi manapun, publik maupun privat,
profit-oriented maupun non-profit organization, besar
maupun kecil, dan seterusnya.
H. Latihan
1. Dalam kelompok kecil, coba cari dan tentukan
sebuah kasus, kemudian diskusikan dalam
kelompok apakah kasus tersebut telah
memenuhi unsur-unsur kasus, dan apakah
mengandung karakteristik yang jelas;
2. Masih dalam kelompok, diskusikan kasus yang
telah dipilih dan telah ditelaah dari aspek
kelengkapan unsur dan karakteristiknya tadi,
dengan menggunakan model analisis kasus.
Pilihlah satu saja model analisis kasus, dan
lakukan sesuai tahapan atau langkah-langkah
dalam model analisis tersebut.
3. Dari mana saja kira-kira sumber data
4. Paparkan hasil diskusi kelompok secara ringkas di
depan kelas.
MODUL DIKLAT KEWIDYAISWARAAN BERJENJANG TK. MENENGAH 23
I. Rangkuman
Dalam bab ini telah dikemukakan pengertian dan
unsur-unsur kasus, karakteristik kasus, jenis-jenis kasus,
serta model-model analisis kasus. Dengan memahami
substansi materi-materi tersebut, peserta diyakini telah
memiliki bekal pengetahuan (knowledge competence)
yang cukup mengenai konsepsi dasar kasus, yang akan
sangat penting untuk mengikuti pembelajaran pada
tahapan selanjutnya yang lebih berbasis praktik (skills
competence).
J. Evaluasi
Setelah melalui pembelajaran pada tahap ini, apakah
pemahaman peserta tentang konsep kasus sudah jelas?
Apakah konsep yang disampaikan sudah memadai,
ataukah masih dirasakan kurang? Atau, berdasarkan
pengalaman peserta adakah konsep lain yang ingin
ditambahkan untuk memperkaya konsep yang ada?
Selain pertanyaan-pertanyaan mengenai substansi dan
konsepsi kasus diatas, apakah pembelajaran pada mata
diklat ini memiliki kemanfaatan untuk peserta dalam
menjalankan tugasnya selaku Widyaiswara dan selaku
pegawai di Kementerian/Lembaga/Pemda? Jika ada
24 PENULISAN KASUS
manfaatnya, dalam bentuk apa kira-kira pembelajaran
pada mata diklat ini membawa manfaat: apakah dalam
mengidentifikasikan masalah organisasi secara lebih
jelas, ataukah dalam hal merekomendasikan solusi
untuk mengatasi masalah, atau ada kemanfaatan yang
lain? Dalam bentuk pertanyaan lain, bagaimanakah
utilisasi penulisan / analisis kasus dalam konteks tugas
dan fungsi organisasi asal peserta diklat?
25
BAB III
TEKNIK PENULISAN KASUS
I keep six honest serving men (They taught me all I knew);
Their names are What and Why and When And How and
Where and Who.
— Rudyard Kipling
A. Proses Penulisan Kasus
Untuk menulis dan menganalisis kasus, pada dasarnya
tidak diperlukan dilakukannya penelitian secara khusus
seperti menyusun rancangan penelitian (research
design), membuat kuesioner dan pedoman wawancara,
menetapkan populasi dan sampel, dan sejenisnya.
Penulis kasus cukup menemukan sebuah peristiwa/
kejadian yang mengandung situasi masalah (situation
Indikator Hasil Belajar:
Setelah mengikuti pembelajaran ini peserta Diklat mampu
menjelaskan dan mempraktikkan teknik penulisan kasus,
berdasarkan kaidah-kaidah pokok yang dipelajari bersama.
26 PENULISAN KASUS
considered problematic), untuk kemudian
dikembangkan melalui proses penggalian data dan
informasi yang relevan. Dalam hal ini, penulis kasus
dapat mengoptimalkan desk-analysis atau
documentary study, misalnya dengan mengumpulkan
catatan (note taking) dari berita koran, laporan
kegiatan, majalah, jurnal, buku-buku di perpustakaan,
sumber internet, dan lain- lain.
Dari informasi yang terkumpul ini, penulis kasus harus
mampu membuat deskripsi kasus secara ringkas, logis,
sistematis, dan kronologis. Dari deskripsi / ringkasan
kasus ini, penulis kasus dituntut mampu secara cermat
merumuskan masalah pokok dari rangkaian peristiwa
dan fakta yang ada. Pokok masalah inilah yang akan
dianalisis sampai dengan tahap akhir yakni
dihasilkannya rekomendasi terbaik.
B. Sistematika Penulisan Kasus
Sesuai dengan proses penulisan dan analisis kasus
diatas, maka format penulisan kasus dirancang dengan
sistematika sebagai berikut:
1. Deskripsi / ringkasan kasus,
2. Pokok permasalahan,
MODUL DIKLAT KEWIDYAISWARAAN BERJENJANG TK. MENENGAH 27
3. Kerangka berpikir,
4. Analisis/pembahasan,
5. Aternatif pemecahan masalah dan rekomendasi,
6. Lesson learned/policy implication.
Modifikasi terhadap format atau sistematika diatas
pada dasarnya dimungkinkan, demikian pula
peristilahan tentang komponen penulisan kasus bukan
merupakan sesuatu yang baku. Yang terpenting adalah
bahwa komponen analisis harus terpenuhi sesuai
kaidah yang dipelajari bersama, yakni adanya
permssalahan, adanya analisis masalah (beserta pisau
analisisnya), dan adanya penyelesaian masalah
(alternatif dan rekomendasi).
C. Komponen Penulisan Kasus
1. Deskripsi / Ringkasan Kasus.
Komponen ini bertujuan untuk memberikan latar
belakang dan kronologi sebuah kejadian/peristiwa
yang jelas, logis, dan sistematis bagi pembaca.
Dalam deskripsi kasus ini diharapkan terdapat
informasi minimal yang menyangkut aktor atau
pihak-pihak yang terlibat, waktu dan urutan
kejadian, data pendukung, serta informasi lain yang
relevan.
28 PENULISAN KASUS
2. Pokok Permasalahan.
Masalah pada dasarnya adalah situasi yang tidak
diinginkan, yang tidak menguntungkan, dan selalu
ingin dihindari oleh setiap orang. Masalah adalah
juga sebuah situasi kesenjangan (gap) antara hal
yang ideal (das sollen) dengan realita yang ada (das
sein), antara norma dengan perilaku nyata, antara
visi dengan kinerja nyata, dan sebagainya.
Dari rangkaian peristiwa yang sudah dipaparkan
pada deskripsi kasus, penulis menarik masalah
pokok atau masalah utamanya, bukan rincian
masalah yang banyak jumlahnya. Dalam hal ini,
masalah pokok adalah masalah yang mencakup
keseluruhan masalah yang lebih rinci.
Dalam merumuskan pokok permasalahan, penulis
dapat menggunakan kalimat pertanyaan
(interrogative sentence) atau kalimat negatif
(negative sentence).
3. Kerangka Berpikir.
Yang dimaksud sebagai kerangka berpikir disini
adalah logika berpikir penulis yang menghubungkan
antara sebuah variabel dengan variabel lainnya
beserta hubungan kausalitasnya, sehingga pembaca
dapat mengikuti alur pikir penulis. Untuk
MODUL DIKLAT KEWIDYAISWARAAN BERJENJANG TK. MENENGAH 29
memperjelas kerangka berpikir, sangat dianjurkan
penulis menggunakan teori-teori atau kebijakan
yang relevan dengan pokok masalah yang diangkat,
serta memanfaatkan pemodelan berupa gambar,
grafik, atau rich picture, dan bukan narasi semata.
Singkatnya, dalam kerangka berpikir ini akan dapat
dipahami dengan cukup mudah bagaimana sebuah
masalah dapat diselesaikan.
4. Analisis/Pembahasan.
Dalam tahap ini, penulis melakukan academic
exercise dengan mengkaitkan sebuah fakta dengan
fakta lainnya. Penulis melakukan pengolahan data,
penafsiran terhadap temuan, mengkonfirmasi
dengan data lain, hingga menemukan jawaban atas
permasalahan pokok dan mengambil kesimpulan.
Beberapa pertanyaan dibawah ini sangat boleh jadi
diperlukan untuk membantu melakukan analisis.
� Faktor apa saja yang menjadi penyebab
masalah tersebut?
� Apa dampak dari masalah tersebut baik untuk
sekarang maupun untuk masa mendatang, baik
untuk organisasi yang bersangkutan maupun
untuk stakeholder-nya?
� Langkah apa saja yang pernah dilakukan untuk
mengatasi masalah yang ada?
30 PENULISAN KASUS
� Siapa saja yang terlibat atau bertanggungjawab
terhadap masalah tersebut baik secara
individual maupun institusional?
� Mengapa upaya-upaya diatas belum berhasil
sehingga masalah belum terpecahkan?
5. Alternatif Pemecahan Masalah dan Rekomendasi.
Atas dasar hasil analisis pada tahap sebelumnya,
penulis diminta untuk mengajukan alternatif solusi
yang tidak bersifat tunggal. Artinya, solusi yang
ditawarkan minimal berjumlah 2 (dua)
� Alternatif apa saja yang prospektif utk
mengatasi masalah?
� Apa kelebihan dan kekurangan masing-masing
alternatif tadi?
� Alternatif mana yang direkomendasikan
sebagai kebijakan terpilih (policy
recommendation)?
� Bagaimana langkah konkrit (policy action) untuk
merealisasikan alternatif/kebijakan terpilih
tersebut. Untuk membantu membuat rencana
aksi ini, penulis dapat menggunakan prinsip
SIABIDIBA (SIAPA mengejaka APA, BILAMANA
harus dikerjakan dan diselesaikan, DIMANA
rencana tadi dijalankan, dan BAGAIMANA hasil
yang harus dicapai).
MODUL DIKLAT KEWIDYAISWARAAN BERJENJANG TK. MENENGAH 31
6. Lesson Learned/Policy Implication.
Bagian ini berisi catatan penulis, prakondisi yang
harus dipenuhi, atau hal-hal lain yang perlu
diperhatikan agar masalah yang sama tidak terjadi
lagi di kemudian hari.
D. Ketentuan Teknis Lain
Mengingat bahwa penulisan kasus ini tidak sama
tingkatannya dengan proses penelitian yang baku, dan
juga tidak sama tingkatannya dengan Karya Tulis Ilmiah
(KTI) seperti Thesis/Disertasi atau tulisan untuk
konsumsi Jurnal Ilmiah, maka panjang tulisan juga tidak
dituntut sama dengan bentuk KTI pada umumnya.
Penulisan kasus sudah dianggap memadai antara 5
hingga 15 halaman, meski hal ini bukan sebuah
ketentuan mutlak.
Selain itu, perlu digarisbawahi bahwa meskipun
berbeda dengan KTI pada umumnya, namun penulisan
kasus juga masuk dalam kategori karya ilmiah, karena
menerapkan prinsip-prinsip berpikir ilmiah juga. Oleh
karena dalam penulisan kasus ini juga berlaku
ketentuan yang sama untuk KTI, misalnya dalam hal
tenik penulisan kutipan dan keharusan menyebutkan
sumber referensi kedalam daftar pustaka.
32 PENULISAN KASUS
E. Latihan
Pada bagian latihan ini, peserta diminta untuk
mempraktikan penulisan kasus, meskipun tidak perlu
hingga tuntas dan lengkap. Akan lebih baik jika peserta
telah memiliki informasi terkait kasus yang akan ditulis,
sehingga dapat berlatih membuat deskripsi/ringkasan
kasus.
Untuk peserta yang sama sekali belum memiliki ide
tentang kasus tertentu, dan tidak memiliki informasi
sama sekali, maka dapat berlatih merumuskan pokok
permasalahan dengan memanfaatkan ringkasan kasus
yang disediakan dalam lampiran modul ini.
Peserta juga dapat berlatih membuat dan
mendiskusikan kerangka pikir, atau berlatih
menganalisis kasus, atau bahkan juga mendiskusikan
formulasi rekomendasi. Dengan demikian, setiap
peserta tidak harus melakukan latihan pada komponen
yang sama, tergantung pada minat dan modal awal
yang telah dimiliki oleh peserta.
Selanjutnya, hasil latihan diminta untuk
dipresentasikan agar menjadi ajang saling belajar antar
peserta.
MODUL DIKLAT KEWIDYAISWARAAN BERJENJANG TK. MENENGAH 33
F. Rangkuman
Dalam bab ini telah dipaparkan mengenai teknik
penulisan kasus yang meliputi proses, sistematika,
serta komponen pokok dalam penulisan kasus. Ada 6
(enam) komponen yang harus dipenuhi, yakni
deskripsi/ringkasan kasus, pokok permasalahan,
kerangka berpikir, analisis / pembahasan, alternatif
pemecahan masalah dan rekomendasi, serta lesson
learned / policy implication. Bab ini lebih menekankan
pada penguatan kemampuan motorik, yakni
keterampilan menyusun analisis kasus.
G. Evaluasi
1. Coba sebutkan proses yang dibutuhkan dalam
penulisan kasus. Apakah Anda memiliki pandangan
lain mengenai proses penulisan kasus?
2. Coba jelaskan 6 (enam) komponen yang harus
dipenuhi dalam penulisan kasus. Apakah Anda
memiliki pandangan lain mengenai komponen
dasar dalam penulisan kasus? Apakah keenam
komponen tadi sudah cukup untuk menghasilkan
analisis kasus yang mudah dipahami dan memiliki
landasan akademik cukup kuat?
34 PENULISAN KASUS
3. Dengan melakukan analisis kasus menggunakan
proses dan komponen yang ada, apakah Anda
merasa bahwa masalah yang telah dirumuskan
dapat diselesaikan dengan baik dan memuaskan?
35
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Dari pembelajaran yang telah Anda dapatkan dari
masing-masing bab pada materi Penulisan Kasus,
diharapkan Anda memiliki gambaran yang lengkap
tentang konsep kasus dan teknik penulisan/analisis
kasus.
Penulisan kasus merupakan sebuah teknik analisis yang
bukan hanya digunakan dalam dunia manajemen
stratejik dan analisis kebijakan publik, namun juga
dapat dipergunakan untuk menguraikan masalah di
berbagai bidang – termasuk masalah yang berkaitan
dengan kediklatan – hingga menemukan solusi
terbaiknya.
Analisis atau penulisan kasus juga merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari proses berpikir kreatif
seorang Widyaiswara, sehingga mau tidak mau seorang
36 PENULISAN KASUS
Widyaiswara dituntut memiliki kompetensi berpikir
kreatif dan inovatif melalui praktik penulisan kasus
yang relevan dengan bidang tugas dan spesialisasi atau
keahliannya.
B. Tindak Lanjut
Apa yang dapat Anda lakukan setelah pembelajaran
ini? Tentu saja untuk bisa menguasai dengan baik,
dibutuhkan praktik yang kontinyu dan berkekelanjutan.
Sangat dianjurkan seorang Widyaiswara menulis
dan/atau menganalisis suatu kasus minimal dalam 6
(enam) bulan sekali. Penulisan kasus ini bukan hanya
untuk kebutuhan angka kredit dan kenaikan dalam
jabatan fungsional, namun lebih sebagai wujud
profesionalisme penyandang profesi yang berbasis
pengetahuan (knowledge-based profession).
Menulis kasus hendaknya terus menerus
dikembangkan sebagai sebuah kebutuhan, dan bukan
sebagai kewajiban semata, terlebih dipandang sebagai
beban. Aktivitas menulis kasus perlu disejajarkan
MODUL DIKLAT KEWIDYAISWARAAN BERJENJANG TK. MENENGAH 37
dengan menulis KTI untuk publikasi Jurnal atau untuk
dipaparkan dalam sebuah seminar nasional maupun
internasional. Dengan kata lain, menulis menjadi
bagian yang tidak terpisahkan dari fungsi, karya, dan
aktivitas Widyaiswara.
Hasil tulisan sendiri dapat dijadikan sebagai materi
pelengkap bahan ajar, sehingga Widyaiswara akan
senantiasa memiliki kebaruan (novelty) dalam setiap
kesempatan melakukan fungsi dasar Dikjartih
(mendidik, mengajar, dan melatih).
38
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Aziz, Abdul, 2003, “Memahami Fenomena Sosial Melalui Studi
Kasus”, dalam Burhan Bungin, Analisis Data Penelitian
Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke
Arah Penguasaan Model Aplikasi, Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Chang, Shih-Hsien, 2007, “Enhancing the Quality of a Public
Administration Training Plan through Knowledge
Management”, dalam United Nations Department of
Economic and Social Affairs (UN-DESA) and
International Association of Schools and Institutes of
Administration (IASIA), Excellence and Leadership In
The Public Sector: The Role of Education and Training,
New York.
Mc.Graw-Hiill Higher Education, A Guide to Case Analysis,
internet source available at highered.mcgraw-
hill.com/sites/dl/free/0072969431/362614/guide_to_c
ase_analysis.pdf. Diakses pada tanggal 31 Oktober
2013.
MODUL DIKLAT KEWIDYAISWARAAN BERJENJANG TK. MENENGAH 39
Mustopadidjaja A.R., tanpa tahun, Program Nasional
Pengembangan Kapasitas Pengelolaan Proses
Kebijakan Publik Dalam Penyelenggaraan Negara dan
pembangunan Bangsa, makalah tidak diterbitkan.
Patton, Carl V., and David S. Sawicki, 1993, Basic Methods of
Policy Analysis and Planning, Prentice-Hall, New Jersey.
Pitoyo, A. Zani, tanpa tahun, Pengertian dan Definisi Studi
Kasus, sumber internet diakses tanggal 1-12-2013.
Rewansyah, Asmawi, 2010, Reformasi Birokrasi dalam rangka
Good Governance, Jakarta.
Schoen, D.R. and Philip A. Sprague, 1954, “What Is the Case
Method?” in M. P. McNair (ed.), The Case Method at
the Harvard Business School, pp. 78–79. New York:
McGraw-Hill).
40 PENULISAN KASUS
LAMPIRAN
(Contoh Ringkasan Kasus)
1. Ketidaksiapan Indonesia Memasuki ASEAN
Community 2015.
2. Petani Jauh Dari Sejahtera, Dunia Pertanian Semakin
Tertinggal.
3. Dilema Mobil Murah di Jakarta.
4. Kesejahteraan Buruh dan Iklim Investasi yang Kurang
Kondusif.
Catatan:
Terima kasih kepada Pusdiklat SPIMNAS Bidang
Kepemimpinan yang telah berbagi Kasus untuk
kepentingan pembelajaran.
MODUL DIKLAT KEWIDYAISWARAAN BERJENJANG TK. MENENGAH 41
Lampiran 1
Ketidaksiapan Indonesia
Memasuki ASEAN Community 2015
Menteri Perindustrian MS Hidayat mengaku gelisah
dan gugup menghadapi pelaksanaan ASEAN Economic
Community (AEC) pada 2015. Dia takut seperti kejadian
ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) yang terbukti
merugikan industri di dalam negeri. Bekas Ketua Umum Kadin
ini juga khawatir akan kesiapan industri lokal dalam
menghadapi implementasi pasar tunggal ASEAN tersebut.
Apalagi waktunya kurang dari dua tahun dan jika industri
tidak siap maka Indonesia akan dijajah produk-produk dari
ASEAN. Menururt Menteri Perindustrian, dengan adanya
perjanjian pasar tunggal ASEAN itu tidak ada lagi sekat yang
membatasi perusahaan dari negara-negara tetangga untuk
masuk ke pasar Indonesia yang besar ini. Dengan jumlah
penduduknya yang mencapai 240 juta jiwa, Indonesia
menjadi tujuan penjualan produk-produk negara ASEAN
lainnya. “Saya tanya Emirsyah Satar (Dirut Garuda), apa siap
Garuda bersaing dengan maskapai tetangga, Ermirsyah juga
menjawab ragu, kata Menteri Perindustrian. Salah satu
kekhawatiran Menteri Perindustrian ini disebabkan mahalnya
biaya logistik termasuk juga pungutan liar (pungli). Belum lagi
minimnya pembangunan infrastruktur didalam negeri yang
membuat daya saing industri nasional masih kalah dibanding
negara kompetitor di kawasan ASEAN.
Di Indonesia biaya logistik saat ini rata-rata masih 16
persen dari total biaya produksi. Sedangkan normalnya hanya
9-10 persen. Menururt Menteri Perindustrian, kalau ini tidak
segera diperbaiki nanti kita Cuma bisa jadi penonton. Untuk
itu, pihaknya terus mempersiapkan industri untuk bisa
bersaing dengan produk-produk ASEAN. Salah satunya
42 PENULISAN KASUS
menyiapkan industri unggulan. Ada sembilan komoditas
industri nasional yang diprioritaskan memasuki pasar ASEAN
yakni produk berbasis agro seperti CPO, Kakau, karet, ikan
dan produk olahannya, tekstil dan produk tekstil, alas kaki,
kulit dan barang kulit, furnitur, makanan dan minuman,
pupuk dan petro kimia, mesin dan peralatannya, serta logam
dasar, besi dan baja. Selain itu, Kemenperin juga terus
memperkuat penguasaan pasar dalam negeri untuk tujuh
cabang industri yang berpotensi terganggu dalam
implementasi pasar tunggal ASEAN 2015 meliputi, otomotif,
elektronik, semen, pakaian jadi, alas kaki, makanan dan
minuman serta furnitur.
Dirjen Kerja Sama Industri Internasional Kemenperin
Agus Tjahajana mengaku daya saing Indonesia berdasarkan
Global Competitiveness Report 2012 jauh dibawah negara-
negara ASEAN seperti Singapura yang berada di urutan dua,
Malaysia diurutan 21, dan Thailand di urutan 39, sedangkan
Indonesia di urutan 46. Ada beberapa tantangan yang harus
diselesaikan pemerintah, antara lain pengawasan terhadap
produk-produk impor masih sangat lemah, panjangnya
prosedur pengenaan anti dumping apabila terjadi unfair trade
practices, isu keamanan yang mengganggu iklim investasi dan
buruknya kondisi infrastruktur. Sedangkan dari sektor industri
yakni kenaikan upah minimum regional (UMR), kurangnya
pasokan gas industri dan bahan baku, impor illegal dan tidak
adanya insentif bagi industri padat karya, namun dengan
kerjasama ini akan memberikan peluang akses pasar yang
lebih luas. Dirjen Industri Kecil dan Menengah (IKM)
Kemenperin Euis Saedah mengatakan, kalangan pemerintah
maupun dunia usaha, terutama IKM belum menyadari
dampak pasar tunggal ASEAN terhadap ekonomi nasional.
Padahal, jumlah penduduk Indonesia yang terbesar se ASEAN
akan menjadi sasaran pemasaran berbagai barang, jasa dan
investasi. IKM Indonesia dinilai masih lemah terhadap akses
MODUL DIKLAT KEWIDYAISWARAAN BERJENJANG TK. MENENGAH 43
modal kerja atau krediat usaha. Ditambah lagi dengan masih
banyaknya IKM yang belum mendaftarkan hak kekayaan
intelektual atau paten. Fasilitas ekspor, manajemen usaha,
dan kontinuitas pasokan bahan baku juga masih lemah.
Disamping itu, orientasi IKM Indonesia yang lebih pada
sekadar bertahan (survive) sambil melihat peluang bisnis yang
lebih menguntungkan. Berdasarkan kesepakatan pada KTT
ASEAN terakhir di Phnom Penh disepakati pengunduran
jadwal pemberlakuan AEC 2015 yang semula Januari 2015
menjadi Desember 2015. AEC 2015 bertujuan menciptakan
ASEAN sebagai sebuah pasar tunggal. Dalam perjanjian ini
akan terjadi free flow atas barang, jasa, faktor produksi,
investasi dan modal serta penghapusan tarif perdagangan
antar negara ASEAN. Mencermati kondisi Indonesia
sebagamana diuraikan diatas, nampaknya walaupun ada
pengunduran AEC sampai dengan Desember 2015, Indonesia
masih harus bekerja keras menyongsong ASEAN Community
2015 ini. Strategi hubungan Pemerintah-Masyarakat-Dunia
Usaha harus diper-kuat. Menurut Hendri Saparini, Ph.D.,
kondisi kesiapan Indonesia masih harus diperbaiki jika
kerjasama ASEAN ini akan ditujukan sebesar-besarnya untuk
kesejahteraan rakyat, mengingat banyak hal yang
menyebabkan ketidak siapan Indonesia, sebagaimana
dijelaskan oleh Hendri Saparini dalam ceramahnya didepan
peserta Diklatpim I Angkatan XXV.
Sumber :
1. Harian Rakyat Merdeka, Minggu, 31 Maret 2013.
2. Ceramah Hendri Saparini Ph.D. pada Diklatpim Tingkat I
Angkatan XXV)
44 PENULISAN KASUS
Lampiran 2
Petani Jauh Dari Sejahtera,
Dunia Pertanian Semakin Tertinggal
Sejumlah regulasi pertanian yang dihasilkan ternyata
belum diimplementasikan secara sempurna sehingga tidak
berdampak banyak terhadap kesejahteraan petani. Padahal,
berbagai kebijakan dalam bentuk undang-undang (UU)
menyatakan keberpihakannya terhadap petani.
Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Jawa
Barat, Entang Sastraatmadja mengatakan bahwa sejumlah
regulasi baru menyentuh tataran hasil produksi pertanian dan
bukan kesejahteraan petani. Ia menjelaskan selama ini telah
banyak UU yang dihasilkan, misalnya UU Nomor 16 Tahun
2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan
Kehutanan, UU 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan, UU Nomo 18 Tahun 2012
tentang Pangan, UU Nomor 13 Tahun 2010 tentang
Holtikultura, dan UU Nomor 19 Tahun 2013 tentang
Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.
Entang mengakui, sejumlah regulasi yang berpihak
terhadap dunia pertania itu memang perlu diapresiasi. Akan
tetapi semua itu belum cukup untuk meningkatkan
kesejahteraan petani. Pasalnya hingga saat ini, pemerintah
masih fokus pada upaya untuk meningkatkan kuantitas
terhadap hasil produksi, bukan terhadap kuantitas
kesejahteraan petani atau nilai tukar petani (NTP).
Dengan mencoba membuat target peningkatan NTP
petani secara sistematis, misalnya dalam 5 tahun ke depan
ditargetkan NTP petani telah mengalami peningkatan menjadi
130. Dengan demikian upaya yang dilakukan pemerintah
tidak terkesan parsial atau setengah-setengah. Tidak melulu
hanya membahas kemampuan swasembada, tetapi
MODUL DIKLAT KEWIDYAISWARAAN BERJENJANG TK. MENENGAH 45
menjadikan petani suatu pekerjaan yang diminati dan
menyejahterakan.
Kedepan HKTI menuntut pemerintah tidak hanya
berkutat mengenai hasil produksi pertanian, tetapi juga
kesejahteraan petani. Dengan demikian, peningkatan
produksi diiringi kesejahteraan petani. Untuk itu, ia berharap
antar sektor harus terkait dengan baik dan implementasi di
lapangan juga harus dilakukan dengan benar. Dengan
demikian kesejahteraan petani dibangun secara sistematis
sebagaimana upaya pemerintah dalam meningkatkan
produksi pertanian.
HKTI mengakui, Indonesia telah jauh tertinggal oleh
sejumlah negara ASEAN lainnya yang fokus terhadap dunia
pertanian. Thailand yang sejak 30 tahun lalu fokus terhadap
upaya peningkatan kualitas dibidang pertanian dan saat ini
mereka menuai hasilnya. Sementara itu, Indonesia, jangankan
untuk mencapai kemandirian, sebagian besar komoditas
strategis saja masih mengandalkan impor. Thailand saat ini
menjadi gudangnya holtikultura, sedangkan Indonesia masih
menjadi negara pengimpor holtikultura.
Sumber :
Harian Pikiran Rakyat, 25 September 2013.
46 PENULISAN KASUS
Lampiran 3
Dilema Mobil Murah di Jakarta
Dalam waktu dekat, Jakarta dan sekitarnya akan
dibanjiri mobil murah ramah lingkungan. Keceriaan orang-
orang yang akan segera memiliki mobil baru itu diiringi
kekhawatiran meningkatnya kemacetan lalu lintas di Jakarta,
sebuah masalah klasik yang belum teratasi.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta langsung menyatakan
keberatannya ketika pemerintah pusat memastikan mobil
murah itu layak dipasarkan. DKI merasa keberatan dengan
kebijakan itu, tetapi tidak bisa berbuat banyak. Antisipasi
yang bisa disiapkan hanyalah menambah bus,
memberlakukan pajak progresif, menaikan tarif parkir, dan
menerapkan sistem jalan berbayar elektronik (ERP). (Kompas,
16 September 2013).
Kontroversi mobil murah berawal dari adanya
Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2013 tentang InsentiF
Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) bagi produksi
Mobil Ramah Lingkungan. Dengan peraturan itu, mobil
dengan kapasitas dibawah 1.200 cc dan konsumsi bahan
bakar minyak paling sedikit 20 kilo meter per liter dapat
dipasarkan tanpa PPnBM.
Kebijakan tentang mobil mewah tersebut di respon
secara beragam oleh berbagai pihak mulai dari yang pro
maupun kontra. Pengajar Prodi Teknik Sipil Unika
Soegijapranata, Semarang, Djoko Sertijowarno, mengatakan,
dilihat dari tingkat produksi mobil, Indonesia memang kalah
jauh dari Malaysia dan Thailand. Padahal industri otomotif
bisa mendongkrak perekonomian negara, apalagi di tengah
kelesuan ekonomi dunia seperti saat ini.
Sedangkan ahli transportasi Ellen SW Tangkudung dan
Darmaningtyas dari Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI).
MODUL DIKLAT KEWIDYAISWARAAN BERJENJANG TK. MENENGAH 47
Melihat bahwa program yang sama di luar negeri, rata-rata
mobil murah dikembangkan setelah kondisi transportasi
umum membaik. Berkebalikan di Indonesia, kondisi
transportasi umum masih amburadul dan cenderung
menurun drastis. Wajar jika dianggap kebijakan mobil murah
ini sangat tidak berpihak kepada rakyat. Hal yang lebih
dibutuhkan masyarakat saat ini bukan mobil murah, tetapi
transportasi murah. Transportasi murah ini akan dapat
terwujud melalui pengembangan sistem transportasi masal
yang andal. Pengembangan transportasi masal diyakini juga
akan menjadi solusi belitan masalah kemacetan di perkotaan.
Sementara Wakil Menteri Perhubungan (Wamenhub)
Bambang Susantono mengatakan hadirnya kendaraan murah
dan ramah lingkungan akan mendorong tren kendaraan
ramah lingkungan. Harapan pemerintah agar terwujudnya
pertumbuhan mobil ramah lingkungan dibandingkan dengan
mobil yang dinilai memiliki emisi gas buang yang sangat
tinggi.
Di kesempatan lain Menteri Perindustrian MS Hidayat
berjanji akan melaksanakan kebijakan ini dengan baik, ia
memastikan para produsen akan melakukan distribusi mobil
murah menyebar keseluruh Indonesia, sehingga tidak
terfokus pada satu tempat yang dikhawatirkan akan
menambah padat lalu lintas seperti di Jakarta. program ini
dibuat dalam rangka menghadapi Masyarakat Ekonomi
ASEAN (MEA) tahun 2015. Jika Indonesia Indonesia tidak
memiliki basis produksi jenis ini, dapat dipastikan pada 2015,
impor mobil murah akan membanjiri Tanah air (Pikiran
Rakyat, 17 September 2013).
Berkaitan dengan hal tersebut, MTI berpendapat
bahwa bisa saja pemerintah mengarahkan memasarkan mobil
murah ke luar Jabodetabek yang masalah kemacetannya tak
separah Ibu Kota, namun ada keterbatasan infrastruktur dan
daya beli masyarakat di daerah. Akibatnya sampai saat ini
48 PENULISAN KASUS
sekitar 30,9 persen pemasaran kendaraan bermotor di
Indonesia terfokus di Jakarta dan sekitarnya.
Sumber :
1. Harian Kompas, 16 September 2013
2. Harian Pikiran Rakyat, 17 September 2013.
MODUL DIKLAT KEWIDYAISWARAAN BERJENJANG TK. MENENGAH 49
Lampiran 4
Kesejahteraan Buruh dan
Iklim Investasi yang Kurang Kondusif
Ribuan buruh dari Jakarta, Bogor, Depok Tangerang,
Bekasi, Karawang, Cilegon, dan Serang memadati jantung
ibukota. Mereka berunjuk rasa di bunderan Hotel Indonesia
serta mendatangi Kementerian Badan Usaha Milik Negara
dan Istana Merdeka. Buruh dari sejumlah elemen menuntut
kenaikan upah 50 persen, pengangkatan pekerja alih daya
menjadi karyawan tetap, dan meminta pemerintah mencabut
instruksi presiden tentang penetapan upah minimum provinsi
(UMP). Kompas, 6 September 2013.
Sementara itu sebanyak 58 perusahaan anggota
Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Kabupaten
Tangerang mengajukan penangguhan pembayaran upah
minimum kota/kabupaten (UMK) tahun 2013 sebesar 2,203
juta perbulan. Penangguhan dilakukan karena mereka tidak
sanggup membayar UMK.
Menanggapi tuntutan buruh soal UMP Rp. 3,7 juta
perbulan, pengamat ekonomi Faisal Basri mengatakan, itu
tidak efektif untuk seluruh aktivitas ekonomi ditengah situasi
yang buruk saat ini. “Kalau buruh meminta kenaikan upah
menjadi 3,7 juta, pekerja yang sekarang bergaji 3,7 tentu
akan minta kenaikan gaji juga. Akhirnya seluruh ongkos
tenaga kerja akan naik dan berimbas pada kenaikan ongkos
produksi”. Kenaikan ini menyebabkan impor produk serupa
akan semakin tinggi. Hal ini membuat investor berpikir ulang
untuk membuka usaha di Jakarta dan memilih mencari
negara lain yang lebih produktif.
Di kesempatan lain Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi mengatakan upah minimum boleh saja naik,
tetapi jika itu akan memberatkan perusahaan, harus dicari
50 PENULISAN KASUS
titik temu untuk menghindari penutupan perusahaan yang
dapat berakibat terjadinya PHK masal (Media Indonesia, 6
September 2013).
Peran birokrasi selaku regulator sangat menentukan
terjadinya titik temu yang berprinsip win-win solution dalam
permasalahan ini. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan
pemerintah diharapkan dapat mengakomodir antara kedua
belah pihak baik buruh maupun pengusaha.
Terkait dengan persiapan memasuki era ASEAN
Community 2015, situasi dan kondisi dalam negeri sangat
mempengaruhi investor dalam menanamkan modalnya
didalam negeri. Semakin kondusif situasi sebuah negara
untuk melakukan investasi akan berdampak kepada semakin
tertariknya investor untuk berinvestasi. Hal tersebut
berdampak pula pada terbukanya lapangan kerja bagi
masyarakatnya. Arus bebas investasi diwilayah ASEAN pada
era AC 2015 membutuhkan kesiapan negara-negara anggota
ASEAN untuk bersaing dalam bidang ekonomi termasuk iklim
investasi yang kondusif. Sementara kenaikan upah minimum
merupakan usaha dalam meningkatkan kesejahteraan
masyarakat sebagai tujuan nasional, disisi lain kondisi
keberlangsungan perusahaan juga harus tetap menjadi
perhatian. Peran pemerintah sebagai regulator sangat
dibutuhkan dalam menyelesaikan permasalahan ini.
Sumber :
1. Harian Kompas, 6 September 2013
2. Harian Media Indonesia, 6 September 2013.
Top Related