1
PENINGKATAN KINERJA GURU MELALUI PEMBELAJARAN BERBASIS KECERDASAN GANDA
MUHAMMAD YAUMI No. Reg. 7117080361
Diajukan kepada Program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta dalam Rangka Memenuhi Sebagai Persyaratan untuk Penelitian
PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2010
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keberhasilan suatu negara memiliki relevansi yang signifikan dengan
kualitas pendidikan yang diselenggarakan. Sedangkan kualitas pendidikan
berbanding lurus dengan kinerja tenaga pendidik yang secara langsung
berkontribusi besar dalam menentukan mutu pendidikan yang dihasilkan.
Upaya peningkatan kinerja tenaga pendidik mengalami perkembangan yang
cukup baik dalam beberapa tahun terakhir ini, baik dilihat dari sisi normatif
maupun konseptual. Secara normatif, lahirnya undang-undang nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem pendidikan Nasional, tenaga pendidik telah
diakui sebagai tenaga profesional dan berhak memperoleh penghasilan dan
jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan memadai.1
Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen telah
menetapkan bahwa pembinaan dan pengembangan profesi guru meliputi
kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan
kompetensi profesional.2 Selain itu, Peraturan Menteri (PERMEN) Pendidikan
Nasional Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Sertifikasi Guru
1 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional Pasal Bab XI Pendidikan dan Tenaga Kependidikan Pasal 40 ayat 1 a.
2 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen Bagian Kelima
Pembinaan dan Pengemabngan Pasal 69 Ayat 1 dan 2.
3
dalam Jabatan adalah dukungan normatif dalam rangka untuk meningkatkan
kinerja tenaga pendidik khususnya guru dan dosen dalam menjalankan tugas
keprofesionalan. Secara konseptual, peningkatan frekuensi kegiatan
pengembangan guru seperti seminar, workshop, pelatihan, dan berbagai
bentuk pembinaan lain telah berkontribusi pada berkembangya konsep-
konsep keilmuan melalui diskusi ilmiah, penelitian-penelitian, karya-karya
akademik berupa buku, artikel, jurnal, blog, dan kajian-kajian keilmuan lain
seputar ilmu-ilmu pendidikan.
Namun, fakta menunjukan bahwa berbagai upaya peningkatan kinerja
guru berbanding terbalik dengan hasil yang dicapai saat ini. Survei yang
dilakukan oleh Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) terhadap 28
propinsi menemukan bahwa kinerja guru yang sudah lulus sertifikasi atau
lulus uji kompetensi masih rendah.3 Motivasi kerja yang tinggi justru
ditunjukkan oleh guru-guru di berbagai jenjang pendidikan yang belum lulus
sertifikasi. Salah satu penyebabnya adalah tingginya harapan untuk dapat
berhasil dalam uji kompetensi yang membawa konsekwensi terhadap
meningkatnya pendapatan secara finansial. Artinya, peningkatan kinerja,
seperti perubahan pola kerja, motivasi kerja, pembelajaran, atau peningkatan
3 Kompas, Kinerja Guru Rendah: Produktivitas Tinggi Saat mengikuti Sertifikasi, hal 1, 2010 (http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/07/02424962/kinerja.guru.rendah).
4
diri sehingga dapat meningkatkan kualitas pendidikan yang memadai masih
sangat jauh dari yang diharapkan.
Memang, program sertifikasi guru belum seluruhnya dapat diukur dan
dievaluasi karena baru berjalan sejak tahun 2007 dan pada akhir 2009
terdapat sebanyak 600.450 guru saja yang berhasil disertifikasi dari total 2,7
juta guru yang tersebar di seluruh Indonesia.4 Tetapi paling tidak implikasinya
seharusnya dapat mengangkat mutu pendidikan yang diselenggarakan.
Namun, rata-rata nilai UN SMP/MTs sebesar 7,02 pada tahun 2007 turun
menjadi 6,87 pada tahun 2008, walaupun tingkat kelulusan sebesar 92,76%.
Rata-rata nilai ujian SMP/MTs tersebut masih di bawah target nasional pada
tahun 2008 yaitu 7 dan tingkat kelulusan masih di bawah standar 95% seperti
yang ditargetkan pada tahun 2008.5 Hal ini berarti program sertifikasi guru
yang dilakukan pada tahun 2007 belum membawa implikasi positif terhadap
peningkatan kemampuan siswa dan bahkan justru menunjukkan hasil yang
cenderung menurun.
Dari aspek kualifikasi, persentase kualifikasi guru S-1/D-4 sebesar
49.5% pada tahun 2009 telah melebihi target nasional sebesar 37,5%.
Namun, persentase dosen yang berkualifikasi S-2/S-3 pada tahun 2009
sebesar 58% masih di bawah target nasional sebesar 65%. Berkaitan dengan
4 Direktorat Profesi Pendidikan, Monitoring dan Evaluasi Sertifikasi Guru Tahun
2009, hal.1, 2010 (http://sertifikasiguru.org/berita_detail.php?id=14). 5 Departemen Pendidikan Nasional, Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2010-
2014, hal, 28, 2010 (http://www.diknas.go.id/downloadx/1257481696.pdf).
5
sertifikat sebagai pendidik, persentase guru dan dosen yang sudah
bersertifikat masing-masing sebesar 23% dan 15%, masih di bawah target.6
Di satu sisi angka kualifikasi guru pada tahun 2009 tersebut memang sudah
memenuhi target, tetapi di sisi lain jumlah 1.400.982 dari 2.603.650 guru
yang tidak memenuhi persyaratan mengajar minimum nasional7
menunjukkan jumlah yang sangat besar yang dapat mempengaruhi
peningkatan mutu pendidikan.
Rendahnya persentase guru yang memiliki kualifikasi standar
minimum nasional paling tidak disebabkan oleh tiga hal, yakni pertama,
pemahaman yang keliru terhadap relevansi antara pengetahuan yang
diperoleh dengan kesejahteraan yang diberikan yang menyebabkan
rendahnya minat guru untuk menambah wawasan pengetahuan dan
keterampilan sebagai upaya meningkatkan kinerja. Kedua, pelaksanaan
program sertifikasi guru yang hanya bersandar pada sistem portofolio dan
mengabaikan aspek kinerja guru secara profesional. Terdapat sejumlah guru
yang memiliki tingkat dedikasi dan kesungguhan yang berarti, tetapi belum
dapat disertifikasi karena tidak mampu mengumpulkan portofolio secara fisik
sesuai target yang diberikan. Sebaliknya, tidak sedikit guru yang tidak
memiliki kompetensi yang berarti, tetapi mampu memperlihatkan bukti fisik
6 Ibid. hal. 29.
7 Sempoerna foundation, Indonesian teachers currently do not meet the National Minimum of Teaching Requirements, hal. 1, 2009 (http://www.sampoernafoundation.org/content/view/1446/1/lang,en/).
6
dalam sistem portofolio kemudian dianggap memiliki kompetensi sehingga
langsung mendapatkan sertifikat guru professional. Konsekuensinya, tidak
terdapat korelasi positif antara guru yang sudah disertifikasi dengan
peningkatan kompetensi yang dimiliki.
Ketiga, sistem perekrutan dan pengangkatan guru yang tidak
berdasarkan uji kompetensi yang meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi
kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Pemberian tes
berupa pancasila, peraturan pemerintah, tes potensi akademik, dan
kemampuan bahasa Inggris hanyalah menyentuh kompetensi kepribadian
dan sosial saja. Sedangkan, kompetensi pedagogik dan profesional tidak
mendapat tempat yang memadai dalam setiap perekrutan tenaga guru
sehingga kinerja guru masih sangat jauh dari tugas keprofesionalan. 8
Oleh karena itu, program peningkatan kinerja guru harus menjadi
bagian dari tugas keprofesionalan yang bermuara pada profesi yang
merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsip:
(a) memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme; (b) memiliki
komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan
akhlak mulia; (c) memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan
sesuai dengan bidang tugas; (d) memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai
8 Baedhowi, Kualitas Guru di Indonesia Masih Minim, hal. 1, 2009 (http://www.kompas.com/read/xml/2008/10/21/18185296/kualitas.guru.di.indonesia.masih.minim).
7
dengan bidang tugas; (e) memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas
keprofesionalan; (f) memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan
prestasi kerja; (g) memiliki kesempatan untuk mengembangkan
keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat; (h)
memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas
keprofesionalan; dan (i) memiliki organisasi profesi yang mempunyai
kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan
guru.9
Dengan demikian, keberhasilan yang dicapai dalam menjalankan
profesi keguruan merupakan kebahagiaan yang menjadi dambaan setiap
guru profesional. Hal ini sesuai dengan hasil temuan yang mengatakan
bahwa terdapat pengaruh positif antara kepuasaan kerja dengan keyakinan
atas kemampuan diri, self esteem, keyakinan diri tentang peluang untuk
berhasil melakukan pekerjaan tertentu, self efficacy, kinerja, self esteem and
self efficacy, self esteem and job performance.10 Di sini, kinerja memiliki
relevansi positif dengan kepuasan kerja. Artinya, semakin tinggi kepuasan
kerja seseorang dalam suatu bidang pekerjaan, maka semakin tinggi juga
9 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen Pasal
7 Bab III, hal. 3—4, 2009
(http://wrks.itb.ac.id/app/images/files_produk_hukum/uu_14_2005.pdf).
10 Cecilia Engko, Pengaruh Kepuasan kerja terhadap Kinerja Individu dengan Self Esteem
dan Self Efficacy sebagai Variabel Intervening, hal. 2, 2010
(https://info.perbanasinstitute.ac.id/makalah/K-AMEN06.pdf).
8
prestasi kerja yang diperoleh. Sebaliknya, semakin rendah kepuasan kerja
terhadap suatu bidang pekerjaan, maka semakin rendah juga kinerja yang
dicapai.
Kinerja atau prestasi kerja guru dalam mengemban tugas
keprofesionalan seperti mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan,
melatih, menilai, dan mengevaluasi merupakan aspek utama dalam
meningkatkan kecerdasan siswa yang membawa pada peningkatan mutu
pendidikan yang diselenggarakan. Kinerja diartikan sebagai tingkat atau
derajat pelaksanaan tugas seseorang atas dasar kompetensi yang
dimilikinya. Istilah kinerja tidak dapat dipisahkan dengan bekerja karena
kinerja merupakan hasil dari proses bekerja. Dalam konteks tersebut maka
kinerja adalah hasil kerja dalam mencapai suatu tujuan atau persyaratan
pekerjaan yang telah ditetapkan. Kinerja dapat dimaknai sebagai ekspresi
potensi seseorang berupa perilaku atau cara seseorang dalam
melaksanakan tugas, sehingga menghasilkan suatu produk (hasil kerja) yang
merupakan wujud dari semua tugas serta tanggung jawab pekerjaan yang
diberikan kepadanya.11
Peningkatan kinerja sangat ditentukan oleh berbagai faktor yang
melingkupinya. Faktor-faktor yang dimaksud adalah (a) faktor psikologik yang
11
Vedca dan Widyaiswara Pertanian, Penilaian dan Laporan Kinerja kepala Sekolah (Pusat
Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pertanian:
Cianjur, 2009), hal. 5.
9
merupakan faktor yang berhubungan dengan kejiwaan individu yang meliputi
minat, ketenteraman dalam kerja, sikap terhadap kerja, bakat, dan
keterampilan; (b) faktor sosial, merupakan faktor yang berhubungan dengan
interaksi sosial baik sesama sejawat, dengan atasannya, maupun dengan
individu yang berbeda jenis pekerjaannya; (c) faktor fisik, merupakan faktor
yang berhubungan dengan kondisi fisik lingkungan kerja dan kondisi fisik
individu, yang meliputi jenis pekerjaan, pengaturan waktu kerja dan waktu
istirahat, perlengkapan kerja, keadaan ruangan, suhu penerangan,
pertukaran udara, kondisi kesehatan karyawan, umur, dan sebagainya; (d)
faktor finansial, merupakan faktor yang berhubungan dengan jaminan serta
kesejahteraan yang meliputi sistem dan besarnya gaji, jaminan sosial,
macam-macam tunjangan, fasilitas yang diberikan, dan promosi.12 Faktor
psikologis seharusnya menjadi aspek dominan yang perlu mendapat
pembinaan yang secara terus-menerus dilakukan sehingga profesi keguruan
harus menjadi bagian yang terintegrasi dalam setiap pandangan, sikap, dan
prilaku guru.
Dalam hubungannya dengan peningkatan kinerja guru, beberapa
aspek yang berkaitan langsung dengan tugas keprofesionalan guru adalah
mengidentifikasi dan mengembangkan kecerdasan jamak yang dimiliki siswa
12
Parwanto Wahyuddin, Pengaruh Factor-faktor Kepuasan Kerja terhadap Kinerja Karyawan
Pusat Pendidikan Komputer Akuntansi IMKA di Surakarta, hal. 3, 2009,
(http://eprints.ums.ac.id/144/1/PARWANTO.pdf).
10
dengan rancangan pembelajaran yang sistematis dan berdiferensiasi,
menggunakan pendekatan-pendakatan persuasif dan demokratis, dan
melakukan evaluasi dengan memperhatikan karakteristik dan tingkat
kesukaan belajar siswa. Pengembangan kecerdasan manusia bukan saja
merupakan amanat undang-undang bagi penyelenggaraan pendidikan,
melainkan juga menjadi pilar penting dalam mengonstruksi pengetahuan,
perasaan, kemauan, dan keterampilan atau dalam pandangan Ki Hajar
Dewantara13 dikenal dengan istilah budi pekerti yang merujuk pada
kekuatan batin, karakter, intelektual (pikiran), dan kekuatan tubuh (jasad).
Dengan demikian, pengembangan kecerdasan harus dilakukan
melalui pilar-pilar pendidikan seperti belajar untuk mengetahui (learning to
know), mempunyai kemampuan untuk melakukan pekerjaan (learning to do),
belajar untuk hidup bersama satu sama lain secara kolaboratif, rukun, dan
damai (learning to live together), dan belajar juga dapat memberi kontribusi
penting kepada setiap orang untuk berkembang secara utuh baik
menyangkut kecerdasan intelektual, emosional, sosial, maupun kecerdasan
spiritualitasnya (learning to be).14 Keempat pilar pendidikan sebagai mana
disebutkan di atas merupakan modal sosial untuk membangun manusia
13
Ki Hajar Dewantoro, Pendidikan, Cetakan Kedua. (Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa
Yogyakarta, 1977), hal. 14— 15.
14 UNESCO, The Four Pillars of Education, hal. 1—12, 2009 (http://www.unesco.org/delors/fourpil.htm).
11
Indonesia seutuhnya yang secara kualitatif memiliki kecerdasan yang tinggi
dan berkepribadian luhur sehingga mampu membangun dirinya sendiri dan
masyarakat Indonesia yang berperadaban. Membangun manusia yang
memiliki kecerdasan yang tinggi tidak dapat hanya dilakukan dengan suatu
cita-cita, harapan, atau misi yang diemban, tetapi harus dikembangkan
secara sistematis dan berkelanjutan melalui identifikasi bakat dan minat sejak
dini kemudian secara bertahap dikembangkan dalam pola dan sistem kerja
yang kolaboratif.
Oleh karena itu, peningkatan kinerja guru melalui pemanfaatan
kecerdasan jamak sangat dibutuhkan dalam rangka untuk mengembangkan
potensi kecerdasan jamak yang dimiliki siswa sehingga berkontribusi untuk
meningkatkan mutu pendidikan. Kinerja guru memiliki relevansi yang sangat
signifikan di bidang pendidikan karena berpengaruh langsung pada peran
guru dan pedagoginya sekaligus berpengaruh langsung pada peningkatan
kemampuan siswa untuk belajar secara efektif. Kinerja guru yang dimaksud
adalah hasil yang telah dicapai dari kemampuan untuk mendidik, membina,
dan menfasilitasi siswa dengan cara yang berarti, mengembangkan
pendekatan-pendekatan inovatif untuk mengusasi pengetahuan dengan jalan
memotivasi, menarik perhatian, dan menginspirasi pikiran siswa untuk
mempersiapkan diri dalam meraih ilmu pengetahuan dan teknologi.15
15
Arthur E. Vallicelli, The Role of Teacher Professionalism in Education, hal. 1, 2009
(http://students.ed.uiuc.edu/vallicel/Teacher_Professionalism.html).
12
Berangkat dari berbagai realitas yang terjadi seperti dikemukan di atas
sehingga memberi inspirasi kepada penulis untuk melakukan penelitian
seputar peningkatan kinerja guru melalui penerapan kecerdasan jamak.
Peningkatan kinerja guru dipahami sebagai jalan terbaik menuju peningkatan
mutu pendidikan di Indonesia secara keseluruhan.
B. Identifikasi Masalah
Kesulitan guru dalam menerapkan pembelajaran berdiferensiasi dan
demokratis menjadi pemicu rendahnya pemahaman terhadap potensi atau
kecerdasan yang dimiliki anak. Identifikasi dan penggalian kecerdasan
majemuk masih sangat jarang dijadikan sandaran utama mengawali setiap
rancangan pembelajaran, strategi dan pendekatan yang digunakan, serta
sistem evaluasi yang diterapkan. Kecenderungan, minat, bakat, talenta, dan
keterampilan dasar belum menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan
pengembangan kurikulum dan pemilihan serta pembuatan media
pembelajaran yang dapat mengakomodasi dan menfasilitasi terbangunnya
suatu pola pembinaan yang mengedepankan tumbuh dan berkembangnya
kecerdasan majemuk.
13
Konsep kecerdasan majemuk belum terintegrasi secara optimal dalam
setiap penyelenggaraan pendidikan di sekolah padahal hal tersebut
merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam pengelolaan pendidikan di
negara-negara maju. Implementasi kecerdasan majemuk baru dapat
dilakukan secara parsial dalam lingkungan pendidikan anak usia dini dan
belum ditangani secara profesional sehingga cenderung mengabaikan aspek-
aspek fundamental dari kecerdasan majemuk itu sendiri. Sedangkan, untuk
mengembangkan pembelajaran di Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah
Pertama, (SMP), dan Sekolah Menengah Atas (SMA) masih cenderung
menerapkan pola pembelajaran tradisional yang lebih otokratik. Padahal
model pembelajaran yang perlu dikembangkan dalam sekolah moderen
adalah model pembelajaran demokratis. Artinya proses pendidikan harus
diarahkan pada kegiatan untuk melatih, mengelola pembelajaran,
berpartisipasi, memimpin, membelajarkan, dan mengarahkan siswa tanpa
ada perbedaan suku, ras, agama, bahasa, status sosial, gender,
kemampuan, dan letak geografis.
Perbaikan kinerja guru juga belum menampakan upaya maksimal.
Kecenderungan untuk menggunakan suatu produk pembelajaran yang
bersifat ’instant’ dari pada harus berupaya untuk mendesain dan
mengembangkan sendiri sesuai dengan tingkat keberterimaan dan
kompleksitas permasalahan internal menjadi fenomana yang dapat
14
ditemukan di mana-mana. Kesenangan dan bangga terhadap penggunaan
sumber belajar tunggal yang hanya berdasarkan kemampuan membaca guru
boleh jadi sudah menjadi ilmu yang ‘kadaluarsa’ tanpa berpikir perlunya
berinteraksi dengan berbagai sumber belajar lainnya masih mendominasi
cara perpikir sebagian besar guru. Belum lagi adanya guru yang lebih
cenderung menggunakan pendekatan ancaman ancaman untuk
mengingatkan siswa dari pada harus menerapkan teknik-teknik profesional
yang dapat mengapresiasi seluruh siswa yang ada.
C. Pembatasan Fokus Penelitian
Berbagai permasalahan telah diidentifikasi mulai dari permasalahan
rendahnya pemahaman untuk mengidentifikasi kecerdasan atau potensi yang
dimiliki siswa, rendahnya kinerja guru, dominannya penggunaan model
pembelajaran tradisional yang tidak demokratis, pendidikan yang
mengabaikan proses, tidak berkembangnya pendidikan anak berbakat dan
yang berkebutuhan khusus sampai pada rendahnya kinerja guru.
Mengingat tingginya kompleksitas permasalahan pendidikan seperti
telah disebutkan di atas, maka terasa sulit kiranya untuk dijadikan fokus
penelitian karena memerlukan ketersediaan waktu yang relatif lama,
dukungan finansial yang memadai, perhatian dan persiapan tenaga yang
prima. Oleh karena itu, penelitian ini hanya dibatasi pada peningkatan kinerja
15
guru melalui kecerdasan jamak. Kerdasan jamak di sini, mencakup delapan
komponen, yakni; (1) kecerdasan verbal/linguistik, (2) logika matematik, (3)
visual/spatial, (4) musik/rhythmic, (5) bodi/kinestetik, (6) interpersonal, (7)
intrapersonal, (8) dan naturalis. Kedelapan komponen kecerdasan ini menjadi
modal dasar bagi guru untuk mengidentifikasi dan mengamati prilaku dan
kecenderungan kecerdasan anak didik guna mendesain program
pengembangan dalam setiap aktivitas belajar. Pendidikan berbasis
kecerdasan jamak berpeluang dapat menciptakan kondisi belajar yang
menyenangkan sehingga proses penguatan pengalaman peserta didik
mengkristal dalam setiap pengembangan diri. Sedangkan, kinerja guru hanya
berkisar pada fungsi utama guru dalam pembelajaran yang mencakup
manajemen waktu, manajemen prilaku, penyajian pembelajaran, monitoring,
umpan balik, menfasilitasi pembelajaran, komunikasi dalam lingkungan
pendidikan, dan berbagai tugas-tugas non-instructional.
D. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, identifikasi masalah, dan pembatasan
fokus penelitian, permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan
sebagai berikut:
1. Bagaimana menerapkan pendekatan kecerdasan majemuk dalam
mengidentifikasi kecenderungan kecerdasan siswa sekolah dasar?
16
2. Bagaimana mengefektifkan penggunaan kecerdasan majemuk
dalam proses pembelajaran di sekolah dasar?
3. Bagaimana pemanfaatan kecerdasan majemuk dapat
meningkatkan kinerja guru dalam mengemban tugas mendidik,
mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan
mengevaluasi siswa?
4. Apa dampak pemanfaatan kecerdasan majemuk dalam perbaikan
kinerja guru?
E. Kegunaan Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan memiliki kegunaan, baik untuk
kepentingan pengembangan pengetahuan teorietis, akademis, dan praktis.
1. Secara teoritis, temuan dalam penelitian ini diharapkan dapat
menjadi masukan dalam pengembangan teori kecerdasan
majemuk baik yang dikembangkan dalam institusi birokrasi,
maupun dalam institusi pendidikan seperti sekolah dasar, sekolah
menengah, dan pendidikan tinggi.
2. Secara akademis, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan
pijakan dalam menelaah lebih jauh, dikembangkan, dan diverifikasi
sehingga dapat gunakan untuk mengembangkan model sekolah
berbasis kecerdasan majemuk. Di samping itu, sembilan
17
kecerdasan yang digunakan dalam meningkatkan kinerja guru
menuju perbaikan proses diharapkan dapat dijadikan fondasi awal
ditemukannya kecerdasan lain yang terdapat pada setiap individu.
3. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan menjadi model
kecerdasan majemuk yang dapat diterapkan oleh para pengelola
sekolah dasar dan menengah. Secara rinci manfaat praktis dari
hasil penelitian ini adalah sebagai berikut.
a. Bagi Kepala Sekolah, pemanfaatan kecerdasan majemuk ini
dimungkinkan akan dapat meningkatkan kualitas sekolah,
sehinga mutu pendidikan di Makassar khususnya dan di
Indonesia umumnya dapat didongkrat dan ditingkatkan.
b. Bagi Siswa, pemanfaatan kecerdasan majemuk akan
memberikan suasana kebebasan untuk berkreasi dan
mengembangkan diri, merasa dihargai segala jerih paya,
pemikiran, sikap dan prilaku, dan tercipta kondisi belajar
yang menyenangkan,
c. Bagi Guru dan staf, hasil penelitian ini akan dapat
memberikan kontribusi besar untuk ikut terlibat langsung
dalam pengelolaan sekolah bersama dengan seluruh
komponen dan stake holder.
18
d. Bagi para Pejabat di lingkungan Depdiknas, hasil penelitian
ini diharapkan menjadi masukan untuk dijadikan sebagai
salah satu bahan pertimbangan dalam mengambil
kebijakan, terutama yang berkaitan dengan pelaksanaan
pembelajaran yang mencedaskan.
e. Bagi peneliti lain, hasil penelitian ini diharapkan akan
memacu untuk mengadakan penelitian lebih lanjut baik
penelitian yang sejenis maupun menggunakan model
kecerdasan majemuk ini untuk diteliti dalam penelitian action
research.
19
BAB II
KAJIAN TEORETIK
A. Kecerdasan Majemuk
Sebelum lebih jauh mengupas multiple intelligence atau dalam bahasa
Indonesia sering diterjemahkan dengan kecerdasan jamak atau kecerdasan
majemuk, sebaiknya ditanggalkan dulu dari bentuk frasenya, intelligence,
agar kandungan maknanya lebih dapat dipahami secara konseptual dan
komprehensif. Sebenarnya, sulit mendapat pemahaman yang sama dari
sekian banyak ahli yang telah mendefinisikan intelligence. Sebagian ahli
mengatakan bahwa intelligence is a mental adaptation to new circumstances
(Kecerdasan adalah adaptasi mental pada keadaan baru). Pandangan lain
mengatakan bahwa kecerdasan itu lebih merupakan instinct dan kebiasaan
yang turun-temurun atau adaptasi yang diperoleh untuk mengulangi keadaan;
yang dimulai dengan trial and error secara empiris.
Pandangan lain menyimpulkan bahwa kecerdasan hanya muncul
dalam tindakan atas dasar pemahaman yang mendalam, sedangkan trial and
error adalah salah satu bentuk dari training (latihan). Memang, tidak dapat
dipungkiri bahwa kecerdasan itu muncul dari hasil bentukan kebiasaan yang
paling sederhana ketika beradaptasi dengan keadaan yang baru. Juga, harus
diterima bahwa permasalahan, hipotesis, dan kontrol yang merupakan
embrio adanya keinginan untuk melakukan trial and error serta karakteristik
20
pengujian empiris dari adaptasi sensori-motor yang dikembangkan
merupakan penanda kuat adanya kecerdasan.16
Oleh karena itu, definisi kecerdasan harus dilihat dari kedua sisi, yaitu
definisi fungsional yang membentuk rangkaian struktur kognisi dan struktur
khusus sebagai kriteria. Sekalipun terjadi pro dan kontra seputar pengertian
kecerdasan, paling tidak terdapat persyaratan minimal untuk mengatakan
sesuatu itu merupakan bentukan kecerdasan. Persyaratan yang dimaksud
adalah keterampilan untuk menyelesaikan masalah, yang memungkinkan
setiap individu mampu memecahkan kesulitan yang dihadapi. Jika
keterampilan itu sesuai untuk menciptakan produk yang efektif, harus juga
memiliki potensi untuk menemukan dan menciptakan masalah sebagai dasar
untuk memperoleh pengetahuan baru.17
Kecerdasan manusia seharusnya dilihat dari tiga komponen utama;
Pertama, kemampuan untuk mengarahkan pikiran dan tindakan (the ability to
direct thought and action). Kedua, kemampuan untuk mengubah arah pikiran
atau tindakan (the ability to change the direction of thought and action).
Ketiga, kemampuan untuk mengeritisi pikiran dan tindakan sendiri (ability to
critisize own thoughts and actions).18 Untuk mengkaji kemampuan manusia
tidak bisa dilakukan dengan mengelompokkan berdasarkan kecenderungan,
16
Piaget, Jean, The Psychology of Intelligence, Translated by Piercy M., and Berlyne D.E. (New York: Routledge, 2002), p.11.
17 Gardner, Frames of Mind (New York: Basic Books Inc., 1983) p. 61—62.
18 Binet, Human Intelligences, 2009, p. 1 (http://www.indiana.edu/%7Eintell/binet.shtml).
21
perubahan, dan mengoreksi pikiran dan tindakan, tetapi harus dilihat dari dari
kemampuan untuk beraktivitas dengan menggunakan gagasan-gagasan dan
simbol-simbol secara efektif (kemampuan abstrak), kemampuan untuk
melakukan sesuatu dengan indera gerak yang dimilikinya (kemampuan
motorik), dan kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan baru
(kemampuan sosial).19
Nampaknya, berbagai pandangan yang hanya melihat kecerdasan
manusia dalam ruang lingkup yang terbatas inilah yang memicu upaya keras
dari Howard Gardner untuk melakukan penelitian dengan melibatkan para
ahli dari berbagai disiplin ilmu yang pada akhirnya melahirkan teori multiple
intelligence yang kemudian dipublikasikan dalam Frames of Mind (1983), dan
Intelligence Reframed (1999). Walaupun pada awalnya, Gardner menemukan
tujuh macam kecerdasan jamak, yakni (1) kecerdasan verbal/linguistik, (2)
logika matematik, (3) visual/spatial, (4) music/rhythmic, (5) bodi/kinestetik,
(6) interpersonal, (7) Intrapersonal,20 tetapi dia tetap membuka diri untuk
mengatakan are there additional intelligences? (Adakah kecerdasan
tambahan?). Bahkan tidak sedikit mahasiswa menanyakan dan mengusulkan
untuk dimasukkan cooking, humor, dan sexual intelligences (Kecerdasan
memasak, cerita jenaka, dan hubungan seksual). Namun, Howard Gardner,
kemudian lebih memilih untuk mempertimbangankan tiga kemungkinan
19
Thorndike dalam Musfiroh, Pengembangan kecerdasan majemuk (Jakarta: Universitas terbuka, 2008) hal. 4.
20 Gardner, op.cit., p. 73—299.
22
kecerdasan jamak lain yang perlu diteliti lebih jauh, yakni; naturalist
intelligence (kecerdasan naturalis), spiritual intelligence (kecerdasan
spiritual), dan existential intelligence (kecerdasan eksistensial).21
Jika menelaah lebih mendalam pandangan Gardner (1983) yang
membagi tujuh kecerdasan pada bukunya Frames of Mind dan menambah
tiga kecerdasan dalam buku berikutnya Intelligence Reframed, maka
kecerdasan jamak itu sesungguhnya terdiri atas 10 kecerdasan. Namun,
Gardner sendiri menyangsikan adanya tumpang tindih antara kecerdasan
eksistensial dan kecerdasan spiritual. Oleh karena itu, penerapan kecerdasan
jamak hanya terdiri atas delapan bagian dengan tidak memasukkan
kecerdasan spiritual dan eksistensial.22 Sekalipun demikian, beberapa
penulis dan peneliti, seperti Amram,23 McKenzie,24Bowles,25 dan
Buzan26telah memasukkan kecerdasan spiritual sebagai salah satu bagian
dari kecerdasan jamak.
21
Gardner, Intelligence Reframed (New York: Basic Books, 1999), p. 47. 22
Armstrong, Multiple Intelligences in the Classroom (Alexandria, VA: ASCD, 2009) p. 126—128.
23 Joseph Yosi Amram, The Contribution of Emotional and Spiritual Intelligences to Effective
Business Leadership, A dissertation submitted in partial fulfillment of the requirements for the degree of Doctor of Philosophy in Clinical Psychology Institute of Transpersonal Psychology Palo Alto, California January 15, 2009.
24 Walter McKenzie, Multiple Intelligences and Instructional technology. Washington DC:
International Society for Technology in Education.2005. 25
Terry Bowles, Self-rated Estimates of Multiple Intelligences Based on Approaches to Learning. Australian Journal of Educational & Developmental Psychology. Vol 8, 2008, pp 15-26.
26 Tony Buzan, The Power of Spiritual Intelligence: 10 Ways to Tap into Your Spirit Genius. New York:
Perfectbound, 2002.
23
Di samping itu, Zohar dan Marshall membahas khusus mengenai
enam jalan menuju kecerdasan spiritual yang lebih tinggi” dan tujuh langkah
praktis mendapatkan kecerdasan spiritual. Keenam jalan tersebut yaitu jalan
tugas, jalan pengasuhan, jalan pengetahuan, jalan perubahan pribadi, jalan
persaudaraan, jalan kepemimpinan yang penuh pengabdian. Sedangkan
tujuh langkah menuju kecerdasan spiritual lebih tinggi adalah (1) menyadari
di mana saya sekarang, (2) merasakan dengan kuat bahwa saya ingin
berubah, (3) merenungkan apakah pusat saya sendiri dan apakah motivasi
saya yang paling dalam, (4) menemukan dan mengatasi rintangan, 5)
menggali banyak kemungkinan untuk melangkah maju, (6) menetapkan hati
saya pada sebuah jalan, (7) tetap menyadari bahwa ada banyak jalan.27
Berangkat dari pandangan tersebut di atas, Dalam penelitian ini,
penulis cenderung menggunakan sembilan kecerdasan jamak dengan
memadukan antara dua kecerdasan spiritual dan eksistensial. Hal ini,
dilakukan untuk mengkaji lebih jauh tentang kecerdasan spiritual peserta
didik dalam menunjang tujuan pendidikan nasional yang melibatkan unsur-
unsur spiritual sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan pembelajaran.
Untuk memudahkan pembahasan, penulis ingin menguraikan sembilan
kecerdasan majemuk seperti digambarkan di bawah ini:
27
Zohar and Marshall, Spiritual Quetient, Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dalam Berpikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Kehidupan, Versi Indonesia (Bandung: Mizan, 2001) hal. 197.
24
1. Kecerdasan Linguistik
Bahasa merupakan salah satu alat komunikasi yang sangat penting
dalam kehidupan manusia. Tanpa bahasa mustahil seseorang dapat
menyampaikan keinginannya kepada orang lain. Dalam kehidupan anak-
anak, peranan bahasa menjadi sangat vital dalam upaya mencerdaskan
kehidupan anak, bahkan bahasa dipandang sebagai aktivitas sosial
sebagaimana anak-anak menggunakan keterampilan mereka untuk
membangun persahabatan, kompromi, negosiasi, dan menyelesaikan
masalah yang dihadapi. Bahasa juga memegang peranan penting karena
selalu dihubungan dengan berbagai aspek pengembangan anak dan
pengembangan emosianal bagi yang paling pemula. Seperti yang dilakukan
oleh bayi; tersenyum, bercumbu, dan merespon orang tuanya,
mengembangkan kasih sayang dan ikatan emosional.28
Seperti yang disarankan oleh Gardner (1999) bahwa bahasa adalah
contoh awal yang istimewa dari kecerdasan manusia. Kecerdasan bahasa
mencakup kualitas proses otak kiri dan kanan baik bahasa dalam pengertian
yang linier maupun dalam pengertian holistik yang dibungkus. Kecerdasan
bahasa kemudian muncul menjadi kombinasi dari berbagai sistem yang
berbeda-beda seperti ekspresi gerak isyarat, intonasi, kemampuan kognisi
untuk memberi nama dan mengelompokkan dan uraian kalimat. Dengan
28
Sonawat and Gogri, Multiple Intelligences for Preschool Children (Mumbai: Multi-Tech
Publishing co., 2008) p.20.
25
demikian seorang anak yang memiliki kecerdasan bahasa yang tinggi akan
mampu menceritakan cerita dan adegan lelucon, menulis lebih baik dari rata-
rata anak yang lain yang memiliki usia yang sama, mempunyai memori
tentang nama, tempat, tanggal, dan informasi lain lebih baik dari anak pada
umumnya, senang terhadap permainan kata, menyukai baca buku,
menghargai sajak, dan permainan kata-kata, suka mendengar cerita tanpa
melihat buku, mengkomunikasikan, pikiran, perasaan, dan ide-ide dengan
baik, mendengarkan dan meresponi bunyi-bunyi, irama, warna, berbagai
kata-kata lisan.29
Di samping itu, anak yang memiliki kecerdasan bahasa yang lebih dari
pada anak lainnya suka meniru bunyi-bunyi, bahasa, membaca dan menulis,
belajar dengan mendengar, membaca, menulis dan berdiskusi,
mendengarkan secara efektif, memahami, meringkas, menginterpretasi dan
menjelaskan, dan mengingat apa yang telah dibaca, selalu berusaha untuk
meningkatkan penggunaan bahasa, menciptakan bentuk-bentuk bahasa
yang baru, bekerja dengan menulis atau menyukai komunikasi lisan.30
Mereka juga suka mengajukan banyak pertanyaan, suka bicara, memiliki
29
Carla Lane, Implementing Multiple Intelligences and Learning Styles in Distributed Learning/IMS Projects, 2009, p.3 (http://www.tecweb.org/styles/imslsindl.pdf).
30
Kwok-Cheung Cheung, Reforming Teaching and Learning Using Theory of Multiple
Intelligences: The Macao Experiences (Springer Science: Business Media B.V., 2009) p.
10.
26
banyak kosa kata, suka membaca dan menulis, memahami fungsi bahasa,
dapat berbicara tentang keterampilan bahasa.
Kecerdasan linguistik di sini mencakup (1) fonologi, yakni kemampuan
peserta didik dalam mengeluarkan, meniru, atau menggunakan bunyi-bunyi
bahasa, (2) morfologi, kemampuan peserta didik untuk memperoleh
kosakata, memilih kosa kata yang sesuai, dan mengembangkannya dalam
bentuk kombinasi morfem dan kata, (3) sintaksis, yakni kemampuan peserta
didik dalam menyusun frase-frase dan klausa yang berterima untuk
menyusun kalimat baik kalimat sederhana yang hanya terdiri atas satu subjek
dan satu predikat, maupun dalam menyusun kalimat majemuk dan kalimat
kompeks dengan struktur bahasa yang benar, termasuk kemampuan untuk
menyusun karangan sederhana dalam suatu wacana disertai unsur-unsur
kohesi dan koherensi dalam mengkonstruksi ide. Di samping kemampuan
bahasa secara formal, kemampuan bahasa dalam hubungannya dengan
aspek-aspek sosial seperti sosiolinguistik dan psikologis atau psikolinguistik
juga akan dikaji guna secara kompehensif mengkaji kecerdasan bahasa
peserta didik yang sesungguhnya.
2. Kecerdasan Logika-Matematika
Kecerdasan matematik-logis adalah kemampuan yang berkenaan
dengan rangkaian alasan, mengenal pola-pola dan aturan. Kecerdasan ini
27
merujuk pada kemampuan untuk mengekplorasi pola-pola, kategori-kategori
dan hubungan dengan memanipulasi objek atau simbol untuk melakukan
percobaan dengan cara yang terkontrol dan teratur.31 Orang yang memiliki
kecerdasan logika matematika yang tinggi memahami prinsip-prisip yang
mendasari sistem kausal, cara seorang ilmuan atau pengguna logika berbuat
sesuatu, atau dapat memanipulasi bilangan, kwantitas dan operasi, seperti
cara yang dilakukan oleh ahli matematika.
Anak-anak yang memiliki kecerdasan logika matematika yang tinggi
sangat menyukai bermain dengan bilangan dan menghitung, suka untuk
diatur, sangat tepat, baik dalam problem solving, mengenal pola-pola,
menyukai permainan matematika, suka melakukan percobaan dengan cara
yang logis, sangat teratur dalam tulis tangan, mempunyai kemampuan untuk
berpikir abstrak, suka computer, menikmati dalam menyelesaikan teka-teki,
selalu ingin mengetahui bagaimana sesuatu itu berjalan, terarah dalam
melakukan kegiatan yang berdasarkan aturan, tertarik pada pernyataan logis,
suka mengumpulkan dan mengklasifikasi sesuatu, suka menyelesaikan
berbagai persoalan yang membutuhkan penyelesaian yang logis, merasa
lebih nyaman ketika sesuatu telah diukur, dibuat kategori, dianalisis, atau
dihitung dan dijumlahkan, berpikir dengan konsep yang jelas, abstrak, tanpa
kata-kata dan tanpa gambar.
31
Kezar, Theory of Multiple Intelligences: Implications for Higher Education (Innovative
Higher Education, Vol. 26, No. 2, Winter 2001), hal. 144.
28
3. Kecerdasan Musikal
Kecerdasan musik adalah kapasitas berpikir dalam musik untuk
mampu mendengarkan pola-pola dan mengenalnya serta mungkin
memanifulasinya. Orang yang mempunyai kecerdasan musik yang kuat tidak
saja mengingat musik dengan mudah, mereka tidak dapat keluar dari
pemikiran musik dan selalu hadir dimana-mana.
Kecerdasan musikal didefinisikan sebagai kemampuan menangani
bentuk musikal kemampuan ini meliputi (1) kemampuan mempersepsi bentuk
musikal seperti menangkap atau menikmati musik dan bunyi-bunyi berpola
nada, (2) kemampuan membedakan bentuk musikal, seperti membedakan
dan membedakan dan membandingkan ciri musikal bunyi, suara dan alat
musik, (3) Kemampuan mengubah bentuk musikal, seperti mencipta dan
memversikan musik, dan (4) kemampuan mengekspresikan bentuk musikal
seperti bernyanyi, bersenandung dan bersiul-siaul.32 Hal ini berarti,
kecerdasan musikal meliputi kemampuan mempersepsi dan memahami,
mencipta dan menyanyikan bentuk-bentuk musikal. Para ahli mengakui
bahwa musik merangsang aktivitas kognitif dalam otak dan mendorong
kecerdasan.
32
Snyder, Developing Musical Intelligence: Why and How (Early Childhood Education
Journal, Vol. 24, No. 3, 1997) p. 165—171.
29
Anak-anak yang memiliki kecerdasan musik yang tinggi mempunyai
sensitivitas untuk mendengarkan pola-pola, bersenandung dan dapat
memainkan sesuai dengan irama, mampu membedakan bunyi-bunyi dan
memiliki perasaan yang baik terhadap tangga nada, bergerak sesuai dengan
irama, mengingat irama dan pola-pola bunyi, mencari dan menikmati
pengalaman musik, bermain dengan suara, sangat bagus dalam mengambil
nada, mengingat melodi, mengamati irama dan mengetahui waktu memulai
dan mengakhiri nada, sering mendengarkan musik, dapat mengenal bahwa
musik dengan berbagai variasi, dapat dengan mudah mengingat melodi dan
menyanyikannya, mempunyai suara merdu, baik itu bernyanyi solo maupun
paduan suara, memainkan instrumen musik, berbicara atau bergoyang
mengikuti irama, dapat mengetuk meja atau desktop sambil bekerja,
menunjukan sensitivitas pada suara dalam lingkungan, memberi respon
secara emasional pada musik yang mereka dengarkan.
4. Kecerdasan Bodily- Kinestetik
Kecerdasan Bodily-Kinestetik adalah kemampuan untuk menggunakan
seluruh tubuh untuk mengekspresikan ide dan perasaan, serta menggunakan
tangan untuk menghasilkan atau mentransformasi sesuatu. Kecerdasan ini
mencakup keterampilan khusus seperti, koordinasi, keseimbangan,
ketangkasan, kekuatan, fleksibelitas dan kecapatan. Kecerdasan ini juga
30
meliputi keterampilan untuk mengontrol gerakan-gerakan tubuh dan
kemampuan untuk memanipulasi objek.
Komponen inti dari kecerdasan kinestetik adalah kemampuan-
kemampuan fisik yang spesifik, seperti koordinasi, keseimbangan,
keterampilan, kekuatan, kelenturan, dan kecapatan maupun kemampuan
menerima atau merangsang dan hal yang berkaitan dengan sentuhan.
Kemampuan ini juga merupakan kemampuan motorik halus, kepekaan
sentuhan, daya tahan dan refleks.33
Kemampuan dari kecerdasan kinestetik bertumpu pada kemampuan
yang tinggi untuk mengendalikan gerak tubuh dan keterampilan yang tinggi
untuk menangani benda. Kecerdasan kinestetik memungkinkan manusia
membangun hubungan yang penting antara pikiran dan tubuh, dengan
demikian memungkinkan tubuh untuk memanipulasi objek dan menciptakan
gerakan.
Kecerdasan kinestetik disebut juga kecerdasan olah tubuh,
merangsang kemampuan seseorang untuk mengolah tubuh secara ahli, atau
untuk mengekspresikan gagasan dan emosi melalui gerakan. Kemampuan
seperti ini dapat diamati pada anak yang pandai berolah raga dan menari
atau berdansa, termasuk kemampuan menangani suatu benda dengan
cekatan dan membuat sesuatu.
33
Monica W. Tracey AE Rita C. Richey, ID Model Construction and Validation: a Multiple
Intelligences Case (Education Tech Research Dev, 2007) pp: 369–390.
31
5. Kecerdasan Visual-Spasial
Kecerdasan Visual-Spasial merupakan kecerdasan yang dikaitkan
dengan bakat seni, khususnya seni lukis dan seni arsitektur. Kecerdasan
Visual-Spasial atau kecerdasan gambar atau kecerdasan pandang ruang
didefinisikan sebagai kemampuan mempresepsi dunia visual-spasial secara
akurat serta menstranformasikan persepsi visual-spasial tersebut dalam
berbagai bentuk. Kemampuan berpikir Visual-Spasial merupakan
kemampuan berpikir dalam bentuk visualisasi, gambar dan bentuk tiga
dimensi.
Ada tiga kunci dalam mendefinisikan Kecerdasan Visual-Spasial yaitu
(1) mempersepsi yakni menangkap dan memahami melalui sesuatu melalui
panca indra, (2) visual-Spasial sesuatu yang terkait dengan kemampuan
mata khususnya warna dan ruang, (3) menstransformasikan yakni mengalih-
bentukkan hal yang ditangkap mata kedalam bentuk wujud lain, misalnya
melihat, mencermati, merekam, menginterpretasikan dalam pikiran lalu
menuangkan rekaman dan interpretasi tersebut ke dalam bentuk lukisan,
sket, kolase atau lukisan perca.34 Komponen inti dari Kecerdasan Visual-
Spasial adalah kepekaan pada garis, warna, bentuk, ruang, keseimbangan,
34
Rettig, M., Using the Multiple Intelligences to Enhance Instruction for Young Children and
Young Children with Disabilities (Early Childhood Education Journal, Vol. 32, No. 4,
February 2005) pp. 255—259.
32
bayangan harmoni, pola dan hubungan antar unsur tersebut. Komponen
lainnya adalah kemampuan membayangkan, mempresentasikan, ide secara
visual dan spasial, dan mengorientasikan secara tepat. Komponen inti dari
Kecerdasan Visual-Spasial benar-benar bertumpu pada ketajaman melihat
dan ketelitian pengamatan.
6. Kecerdasan Interpersonal
Kecerdasan Interpersonal merupakan kecerdasan dengan indikator–
indikator yang menyenangkan bagi orang lain. Sikap-sikap yang ditunjukan
oleh anak dalam Kecerdasan Interpersonal sangat menyejukan dan penuh
kedamaian. Kecerdasan Interpersonal didefinisikan sebagai kemampuan
mempersepsi dan membedakan suasana hati, maksud, motivasi dan
keinginan orang lain, serta kemampuan memberikan respons secara tepat
terhadap suasana hati, temperamen, motivasi dan keinginan orang lain.
Dengan kemampuannya anak yang cerdas interpersonal dapat merasakan
apa yang dirasakan orang lain, menangkap maksud dan motivasi orang lain
bertindak sesuatu, serta mampu memberikan tanggapan yang tepat sehingga
orang lain merasa nyaman.35
Komponen inti Kecerdasan Interpersonal adalah kemampuan
mencerna dan menanggapi dengan tepat berbagai suasana hati, maksud,
motivasi, perasaan dan keinginan orang lain. Komponen inti yang lain adalah
35
Sonawat and Gogri, op.cit. p. 69.
33
kemampuan bekerja sama. Sedangkan komponen lainnya adalah kepekaan
dan kemampuan menangkap perbedaan yang sangat halus terhadap
maksud, motivasi, suasana hati, perasaan dan gagasan orang lain. Mereka
yang mempunyai Kecerdasan Interpersonal sangat memperhatikan orang
lain, memiliki kepekaan yang tinggi terhadap ekspresi wajah, suara dan gerak
isyarat. Dengan kata lain, Kecerdasan Interpersonal melibatkan banyak
kecakapan, yakni kemampuan berempati pada orang lain, kemampuan
mengorganisasi sekelompok orang menuju sesuatu tujuan bersama,
kemampuan mengenali dan membaca pikiran orang lain, kemampuan
berteman atau menjalin kontak.
Anak-anak yang berkembang pada Kecerdasan Interpersonal peka
terhadap kebutuhan orang lain. Apa yang dimaksud, dirasakan, direncanakan
dan diimpikan orang lain dapat ditangkap melalui pengamatannya terhadap
kata-kata, gerik-gerik, gaya bahasa, dan sikap orang lain. Mereka akan
bertanya memberi perhatian yang dibutuhkan. Kemampuan untuk dapat
merasakan perasaan orang lain, mengakibatkan anak yang berkembang
dalam Kecerdasan Interpersonal mudah mendamaikan komflik. Kepekaan ini
juga menghantarkan mereka menjadi pemimpin di antara sebayanya. Bahkan
anak yang memiliki kemampuan interpersonal yang baik dapat memahami
keadaan jiwa, keinginan, dan perasaan yang dialami orang lain ketika
34
berinteraksi dengan lingkungan sekitar.36 Dengan demikian, membangun
hubungan baik dengan pihak lain akan dapat dilakukan dengan mudah
sehingga mampu menciptakan suasana kehidupan yang nyaman tanpa ada
kendala yang berarti walau hidup di lingkungan yang memiliki agama, suku,
ras, dan bahasa yang berbeda.
7. Kecerdasan Intrapersonal
Kecerdasan Intrapersonal dapat didefinisikan sebagai kemampuan
memahami diri sendiri dan bertindak berdasarkan pemahaman tersebut.
Komponen inti dari Kecerdasan Intrapersonal kemampuan memahami diri
yang akurat meliputi kekuatan dan keterbatasan diri, kecerdasan akan
suasana hati, maksud, motivasi, temperamen dan keinginan, serta
kemampuan berdisiplin diri, memahami dan menghargai diri. Kemampuan
menghargai diri juga berarti mengetahui siapa dirinya, apa yang dapat dan
ingin dilakukan, bagaimana reaksi diri terhadap situasi tertentu, dan
menyikapinya, serta kemampuan mengarahkan dan mengintrospeksi diri.
Kecerdasan Intrapersonal merupakan kecerdasan dunia batin, kecerdasan
yang bersumber pada pemahaman diri secara menyeluruh guna
menghadapi, merencanakan, dan memecahkan berbagai persoalan yang
dihadapi.
36
Saban A., Content Analysis of Turkish Studies about the Multiple Intelligences Theory
(Kuram ve Uygulamada Eğitim Bilimleri / Educational Sciences: Teory & Practice 9 (2),
Spring 2009) pp. 859—876.
35
Individu yang cerdas dalam intrapersonal memiliki beberapa indikator
kecerdasan yaitu: (1) Secara teratur meluangkan waktu sendiri untuk
bermeditasi, merenung dan memikirkan berbagai masalah, (2) Pernah atau
serng menghadiri acara konseling atau seminar perkembangan kepribadian
untuk lebih memahami diri sendiri, (3) mampu menghadapi kemunduran,
kegagalan, hambatan dengan tabah, (4) memiliki hobi atau minat dan
kesenangan yang disimpan untuk diri sendiri (5) Memiliki tujuan-tujuan yang
penting untuk hidup, yang dipikirkan secara kontinu, (6) memiliki pandangan
yang realistis mengenai kekuatan dan kelemahan diri ysng diproleh dari
umpan balik sumber-sumber lain, (7) lebih memilih menghabiskan akhir
pekan sendiri di tempat-tempat pribadi dan jauh dari keramaian (8)
menganggap dirinya orang yang berkeinginan kuat dan berpikiran mandiri (9)
memiliki buku harian untuk mengekspresikan perasaan, emosi diri dan
menuliskan pengalaman pribadi, (10) memiliki keinginan untuk berusaha
sendiri, berwiraswasta.37
Kecerdasan interpersonal merujuk pada pemahaman terhadap diri
sendiri dalam menentukan minat dan tujuan ketika melakukan perbuatan. Di
samping memiliki ciri positif seperti telah disebutkan di atas, anak yang
memiliki kecerdasan interpersonal yang terlalu tinggi dapat menyebabkan
37
Sonawat and Gogri, op.cit. p. 78.
36
anak itu malu atau minder dan cenderung menghindarkan dari pergaulan
bersama orang lain. Mereka selaras dengan perasaan batin mereka, mereka
mempunyai kebijaksanaan, intuisi dan motivasi, serta kemauan yang kuat,
keyakinan dan pendapat. Mereka dapat diajarkan melalui studi independen
dan introspeksi. Sedangkan peralatan yang biasa digunakan termasuk buku,
bahan-bahan kreatif, buku harian, dan buku privasi.
8. Kecerdasan Naturalis
Salah satu satu ciri yang ada pada anak-anak yang kuat dalam
kecerdasan naturalis adalah kesenangan mereka pada alam, binatang,
misalnya akan berani mendekati, memegang, mengelus, bahkan memiliki
naluri untuk memelihara. Kecerdasan Naturalis didefinisikan sebagai keahlian
mengenali dan menngkatagorikan spesies, baik flora maupun fauna, di
lingkungan sekitar, dan kemampuannya mengolah dan memanfaatkan alam,
serta melestarikannya.
Komponen inti kecerdasan naturalis adalah kepekaan terhadap alam
(flora, fauna, formasi awan, gunung-gunung), keahlian membedakan
anggota-anggota suatu spesies, mengenali eksistensi spesies lain, dan
memetakan hubungan antara beberapa spesies baik secara formal maupun
informal. Memelihara alam dan bahkan menjadi bagian dari alam itu sendiri
seperti mengunjungi tempat-tempat yang banyak dihuni binatang, dan
37
mampu mengetahui hubungan antara lingkungan dan alam merupakan suatu
kecerdasan yang tinggi mengingat tidak semua orang dapat melakukannya
dengan mudah.38
Komponen kecerdasan naturalis lain adalah perhatian dan minat
mendalam terhadap alam, serta kecermatan menemukan ciri-ciri spesies dan
unsur alam yang lain. Anak-anak yang suka menyelidiki berbagai kehidupan
makluk kecil, seperti cacing, semut, dan ulat daun. Anak-anak suka
mengamati gundukan tanah, memeriksa jejak binatang, mengorek-orek
tanah, mengamati hewan yang bersembunyi, lalu menangkapnya. Anak-anak
yang memiliki kecerdasan naturalis tinggi cenderung menyukai dan terbuka,
akrab dengan hewan peliharaan, dan bahkan menghabiskan waktu mereka di
dekat akuarium. Mereka mempunyai keingintahuan yang besar tentang selak
seluk hewan dan tumbuhan.
9. Kecerdasan Eksistensial atau Spiritual
Setelah Howard Gardner melahirkan teori kecerdasan jamak, banyak
penelitian dan hasil karya lain yang menfokuskan diri pada masing-masing
kecerdasan. Daniel Golemen misalnya telah menulis Emotional Intelligence
(1995) dan Sosial Intelligence (2006). Khusus untuk kecerdasan spiritual,
Danah Zohar dan Ian Marshall dalam bukunya Spiritual Quentent yang
38
Bowles T., Self-rated Estimates of Multiple Intelligences Based on Approaches to Learning
(Australian Journal of Educational & Developmental Psychology. Vol 8, 2008) pp 15—26.
38
kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Rahmani Astuti,
Ahmad Najib Burhani, Ahmad Baiquni dengan Kecerdasan Spiritual (2001).
Kecerdasan spiritual merupakan kecerdasan yang penting untuk dikaji lebih
lanjut mengingat belum ada kesepakatan untuk dimasukkannya sebagai
salah satu bagian dari kecerdasan jamak. Kecerdasan spiritual itu bersandar
pada hati dan terilhami sehingga jika seseorang memiliki kecerdasan
spiritual, maka segala sesuatu yang dilakukan akan berakhir dengan sesuatu
yang menyenangkan.39 Segala sesuatu harus selalu diolah dan diputuskan
melalui pertimbangan yang dalam yang terbentuk dengan menghadirkan
pertimbangan hati nurani.
Kata spiritual memiliki akar kata spirit. Kata ini berasal dari bahasa
Latin, spiritus, yang berarti napas. Sedangkan, kata spirit diartikan sebagai
energi kehidupan, yang membuat manusia dapat hidup, bernapas dan
bergerak.40 Spiritual berarti pula segala sesuatu di luar fisik, termasuk pikiran,
perasaan, dan karakter.41 Kecerdasan spiritual berarti kemampuan
seseorang untuk dapat mengenal dan memahami diri sepenuhnya sebagai
makhluk spiritual maupun sebagai bagian dari alam semesta. Kecerdasan
Spiritual melibatkan seperangkat kemampuan untuk memanfaatkan sumber-
39
Zohar dan Marshall, SQ: Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual Dalam Berpikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Kehidupan, versi terjemahan (Bandung: Mizan, 2001), hal. 3.
40 Mitrafm, Kecerdasan Spiritual Menentukan jati Diri, 2009, hal. 1 (http://mitrafm.com/blog/2008/12/15/kecerdasan-spiritual-menentukan-jati-diri/).
41 Ki Hajar Dewantoro, Pendidikan, Cetakan Kedua. (Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa
Yogyakarta, 1977), hal. 14.
39
sumber spiritual. Istilah spiritualitas merujuk pada kemampuan seseorang
untuk mencari, elemen-elemen pengalaman, kesucian, kebermaknaan,
kesadaran yang tinggi dan transendensi, untuk menghasilkan produk yang
yang bernilai. Jadi, kecerdasan spiritual adalah suatu kecerdasan yang
diarahkan untuk menyelesaikan persoalan makna, dan nilai.42 Artinya suatu
kecerdasan yang menempatkan tindakan dan kehidupan manusia dalam
konteks makna yang lebih luas yakni kemampuan untuk mengakses suatu
jalan kehidupan yang bermakna.
Kecerdasan spiritual mencakup pertama, kesadaran terhadap hakekat
dan eksistensi diri mendorong hadirnya pandangan luas terhadap dunia:
Melihat diri sendiri dan orang lain saling terkait, menyadari tanpa diajari
(intuisi) bahwa bagaimanapun kosmos ini hidup dan bersinar; memiliki
sesuatu yang disebut cahaya subjektif, memiliki pemahaman tentang tujuan
hidupnya, merasakan arah nasibnya, dan melihat berbagai kemungkinan,
seperti cita-cita suci dari hal-hal yang biasa. Kedua, toleran yang merujuk
pada kesadaran terhadap eksistensi diri akan membawa dampak yang
berharga bagi munculnya keinginan untuk mengaku keberadaan yang lain.
Dengan demikian, keberterimaan terhadap keberagaman dapat terealisi
dalam kehidupan bersama. Di sinilah muncul sikap toleransi terhadap
keberadaan yang lain. Ketiga, kebenaran Kebenaran adalah persesuaian
42
Painton, Children’s Spiritual Intelligence in International Handbook of Education for
Spirituality, Care and Wellbeing, International Handbooks of Religion and Education
(Springer Science: Business Media, 2009) p.365.
40
antara pengetahuan dan objeknya. Kebenaran telah dapat memotivasi
seseorang untuk secara tekun mencari dan mengejar hal-hal yang selektif
dan diminati. Keempat, kebermaknaan yang merujuk pada sesuatu yang
dapat bermakna kalau dapat memberi nilai tambah dan memiliki gagasan-
gagasan yang segar dan aneh, rasa humor yang dewasa. Kelima,
penyerahan diri sepenuhnya kepada suatu kekuatan yang dapat mengatur
seluruh alam dan isinya. Keenam, kedamaian, suatu kondisi jiwa yang
merasa tenang, nyaman, dan aman.
Penerapan kecerdasan jamak dalam setting sekolah telah banyak
memberi kontribusi positif dalam upaya mengembangkan pembelajaran yang
berbasis pada kecerdasan siswa. Namun, bukan berarti konsep kecerdasan
jamak telah diterima oleh seluruh kalangan, bahkan banyak ahli dan praktisi
psikologi dan pendidikan memberikan kritik yang terkadang membuat kita
perlu berhati-hati dan mengkaji ulang setiap kecerdasan yang telah diajukan.
Beberapa kritik yang dimaksud dapat dikemukan sebagai berikut:
1. Teori MI hanya mengklain diri sebagai teori yang lebih luas dan
menyoroti teori tentang G masih sangat spesisik. Tetapi keluasan teori
MI tidak didukung oleh riset empiris yang banyak dikembangkan orang
saat ini. 43
43
Andrew D. Carson. Why Has Gardner's Theory of Multiple Intelligences Had So Little Impact on Vocational Psychology? p.1 2010 (http://vocationalpsychology.com/essay_10_gardner.htm).
41
2. Teori multiple intelligence (MI) hanya berdampak kecil pada vocational
psychology padahal Howard Gardner sendiri seorang psikolog dari
Harvard University yang banyak menulis tentang vocational
psikology44
3. Karya Howard Garner di satu sisi sangat menakjubkan, tetapi di sisi
lain kadang-kadang mustahil dan banyak pernyataan-pernyataan yang
sifatnya provokatif (Jerome Bruner, pengarang Acts of Meaning)45
4. Masing-masing dari kedelapan Teori MI pada kentaannya merupakan
gaya kognitif dan bukan berpijak pada konstruktivisme.46
5. Teori MI yang dikemukan oleh Gardner bukan sesuatu yang baru,
melainkan sudah dikemukan oleh Aristoteles yang dikenal dengan
taksonomi Aristoteles.47
44
Ibid. p.3
45 Jeffrey A. Schaler. Howard Gardner Under Fire, The Rebel Psychologist Faces His Critics.
p.2. 2010 (http://www.opencourtbooks.com/books_n/howard_gardner.htm). 46
Lynn Gilman, The Theory of Multiple Intelligences. P.1, 2010
(http://www.indiana.edu/~intell/mitheory.shtml#criticism.
47 Julian Against Gardner,p.3, 2010 (http://www.literaryescorts.com/?act=non-fiction&item=556).
42
B. Konsep Perbaikan Kinerja
Untuk memahami konsep kinerja (performance) lebih mendalam,
perlu menjelaskan definisi kinerja, beberapa istilah yang digunakan dalam
hubungannya dengan kinerja, dan indikator penilaian kinerja. Hal ini
dimaksudkan untuk membatasi perluasan makna kinerja yang banyak
dikembangkan oleh berbagai disiplin ilmu. Perbaikan kinerja dalam penelitian
ini hanya berkisar pada persoalan pembelajaran yang berfungsi untuk
menfasilitasi terciptanya kondisi belajar-mengajar yang dapat membangun
mutu pendidikan yang baik.
Istilah Performance Improvement sering diterjemahkan dengan
perbaikan kinerja atau unjuk kerja dalam bahasa Indonesia. Sebelum lebih
jauh membahas berbagai definisi perbaikan kinerja, terlebih dahulu dijelaskan
tentang makna kata performance (kinerja) dan improvement (perbaikan).
Kata performance dapat dipandang dari dua perspektif yang berbeda;
pertama, dilihat dari pengertian yang lebih mengarah pada pertunjukan
panggung dari pada maknanya yang substantif, yakni suatu hasil,
pencapaian yang terukur atau pelaksanaan dari sesuatu yang dialami
termasuk pencapaian hasil pekerjaan. Kedua, dipandang sebagai
pencapaian yang sangat bernilai yang dihasilkan dari aktivitas yang
menghabiskan biaya tinggi. 48
48
Stolovith, Harold D. The Development and Evolution of Human Performance Improvement.
Dalam Dempsey, John V. and Reiser, Robert A. Trends and Issues in Instructional Design
43
Performance juga dimaknai sebagai hasil yang berguna yang hendak
dicapai oleh setiap individu atau organisasi.49 Hal ini mencakup pengetahuan,
keterampilan, dan sikap yang melekat pada individu atau organisasi yang
diperoleh selama melakukan aktivitas belajar.50 Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa performance merujuk pada kemampuan pemelajar untuk
menggunakan dan menerapkan kemampuan yang baru diperoleh.51
Sedangkan kata improvement (perbaikan) atau improving (memperbaiki)
berarti menjadikan sesuatu lebih baik.52
Istilah perbaikan kinerja dalam kajian teknologi pendidikan dapat
dipahami melalui definisi dan terminologi yang diberikan oleh Association for
Educational Communication and Technology (AECT), yakni sebagai studi
dan praktek etis dalam menfasilitasi belajar dan memperbaiki kinerja dengan
menciptakan, menggunakan, dan mengelola proses dan sumber teknologi
yang sesuai.53 Frase improving performance (memperbaiki kinerja) dalam
definisi tersebut tidak menyiratkan bahwa teknologi pendidikan meliputi
and Technology, Second Edition (New Jersey: Pearson Merrill Prentice Hall, 2007) hh.
134—146. 49
Watkins, Ryan. Performance by Design: The Systematic Selection, Design, and
Development of Performance Technologies that Produce Useful Results (Massachusetts: HRD Press, Inc., 2007) hal. 2.
50 Dick, Walter., Carey, Lou., and Carey, James O., The Systematic Design of Instruction,
Sixth Edition (New York: Pearson, 2005) hal. 125. 51
Januszewski, Alan & Molenda, Michael, Educational Technology: A Definition with
Commentary (New York:Taylor & Prancis Group, 2008) hal.7. 52
Stolovith, Harold D., loc.cit. 53
Januszewski, Alan & Molenda, Michael, Educational Technology: A Definition with
Commentary (New York:Taylor & Prancis Group, 2008) hal.1.
44
seluruh bentuk perbaikan kinerja sebagaimana dalam kajian Human
Performance Technology (HPT) dan teori manajemen busines yang meliputi
aspek yang lebih luas. Perbaikan kinerja dalam teknologi pendidikan hanya
berkisar pada pemelajar individu, guru dan perancang pembelajaran, serta
organisasi yang melibatkan adanya intervensi pendidikan.54 Memang,
memperbaiki kinerja adalah suatu cita-cita yang pantas bagi individu-individu
dan organisasi, tetapi jalan yang ditempuh dari cita-cita menuju pencapaian
hasil yang berguna menjadi suatu hal yang sulit untuk diwujudkan. Dengan
demikian, secara umum yang dimaksud dengan kinerja adalah hasil yang
berguna yang dicapai oleh setiap individu atau organisasi. Sedangkan dalam
pengertian yang lebih khusus, kinerja adalah hasil, prestasi, atau kontribusi
yang berguna dari setiap individu, regu, atau organisasi, tanpa memandang
proses-proses yang disukai atau yang diamanahkan.55 Jadi, perbaikan kinerja
lebih fokus pada hasil yang harus dicapai dari pada intervensi yang dapat
mengarahkan pencapaian hasil tersebut.
Menyangkut pembatasan kinerja yang hanya berkisar pada aspek
pemelajar, guru, perancang pembelajaran, dan organisasi yang berhubungan
langsung dengan aktivitas pembelajaran, di satu sisi merupakan konsekuensi
54
Molenda, Michael and Pershing, James A. Improving Performance. Dalam Januszewski, Alan &
Molenda, Michael, Educational Technology: A Definition with Commentary (New
York:Taylor & Prancis Group, 2008) hh. 49—80. 55
Watkins, Ryan. Performance by Design: The Systematic Selection, Design, and Development of Performance Technologies that Produce Useful Results (Massachusetts: HRD Press, Inc., 2007) h. 2.
45
logis terhadap penajaman ilmu pengetahuan untuk bisa profesional dalam
suatu bidang keahlian tertentu. Namun, di sisi lain, pembatasan itu telah
berusaha untuk menanamkan sekat-sekat profesi dan keahlian dalam suatu
kajian yang sempit dan parsial. Akibatnya, penguasaan disiplin ilmu pun
hanya terbatas pada bidang kajian saja. Oleh karena itu, perlu dilakukan
pengembangan ilmu melalui inter, multi, dan transdisiplineritas karena untuk
mencari kebenaran ilmiah terutama yang bermanfaat dalam aplikasinya akan
terjadi kesenjangan dalam upaya menerobos terapi yang paling handal dalam
bidang kajian apabila hanya didasarkan pada satu disiplin saja.56 Kinerja
harus dikaji dan dipahami dari berbagai perspektif sehingga pemahaman
mendalam tentang konsep kinerja tersebut dapat digunakan dalam bidang-
bidang bahasa, manajemen, teknologi pendidikan, begitu pula bidang
pengembangan sumber daya manusia atau bidang-bidang lain.
1. Kinerja, Kompetensi, dan Kompeten
Untuk mempertajam pembahasan mengenai kinerja di sini, perlu dikaji
lebih jauh tentang konsep performance (kinerja), competence (kompeten),
dan competency (kompetensi). Dalam ilmu bahasa, istilah performance
sering digunakan secara berdampingan dengan competence. Kedua kata ini
mempunyai tujuan yang sedikit berbeda satu sama lain. Competence
56
Semiawan, Conny., Setiawan, dan Yufiarti, Panorama Filsafat Ilmu: Landasan
Perkembangan Ilmu Sepanjang Zaman (Bandung: Mizan Media Utama, 2005), hal. 126.
46
dipahami sebagai pengetahuan yang diperoleh untuk dapat menulis dan
berbicara dalam suatu bahasa. Sedangkan, performance kenyataan bahasa
yang dihasilkan atau digunakan seseorang dalam setiap berkomunikasi.
Artinya performance boleh jadi merupakan refleksi dari competence, tetapi
juga termasuk kesalahan bicara (speech errors) yang disebabkan oleh
keseleo lidah (slips of the tongue) atau mungkin juga disebabkan oleh faktor
eksternal seperti persoalan memori dan semacamnya.57 Dengan kata lain
bahwa competence terjadi pada tataran pengetahuan, sedangkan
performance adalah hasil dari proses psikologis yang menggunakan
pengetahuan dalam memproduksi dan menginterpretasi bahasa.58
Pandangan ini ditinjau dari perspektif bahasa dalam hubungannya dengan
aspek-aspek psikologi yang menganalisis kemampuan berbahasa baik
secara tertulis maupun secara lisan.
Berdasarkan definisi operasional sebagai mana diberikan di atas,
perbedaan antara competence dan performance sudah sangat jelas, di mana
competence terjadi pada tataran pengetahuan yang diperoleh dalam proses
pembelajaran, sedangkan performance adalah hasil dari perwujudan
pengetahuan yang didemontrasikan melalui unjuk kerja. Namun demikian,
57
Chomsky, Noam, Aspects of the Theory of Syntax. (Massachusetts: MIT Press, 1965), hal. 201.
58 Scha, Remko. Language Theory and Language technology: Competence and Performance (Diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris dari artikel asli dalam bahasa Belanda "Taaltheorie en taaltechnologie; competence en performance",in: R. de Kort and G.L.J. Leerdam (eds.): Computertoepassingen in de Neerlandistiek. Almere: LVVN, 1990, pp. 7-22).
47
perbedaan konsep competency dan performance masih menyisahkan
sejumlah tanda tanya yang berunjung pada suatu kesimpulan keliru bahwa
kedua istilah ini memiliki hakekat yang sama. Jika performance dimaknai
sebagai hasil yang berguna yang mencakup pengetahuan, keterampilan, dan
sikap yang melekat pada individu atau organisasi yang diperoleh selama
melakukan aktivitas belajar dan competency merupakan kombinasi dari
keterampilan, kemampuan, dan pengetahuan, yang diperlukan untuk
melakukan tugas khusus sesuai dengan gambaran tugas yang diberikan,
maka pertanyaan kemudian adalah di mana letak persinggungan di antara
keduanya? Jika kedua konsep ini berbeda, yang mana yang lebih penting
untuk dijadikan acuan dalam pembelajaran? Apakah yang satu lebih penting
dari yang lain, atau keduanya merupakan indikator keberhasilan yang harus
diformulasikan ke dalam setiap tujuan pembelajaran?
Sejumlah pertanyaan ini muncul diinspirasi oleh suatu kenyataan
objektif di lapangan bahwa lahirnya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK)
pada tahun 2004 dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada
tahun 2006 telah menempatkan aspek kompetensi sebagai dasar dan
standar keberhasilan peserta didik. Bahkan dalam peraturan Pemerintah
Republik Indonesia No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
48
(SNP), bahwa: Standar kompetensi lulusan adalah kualifikasi kemampuan
lulusan yang mencakup, sikap, pengetahuan, dan keterampilan.59
2. Indikator Perbaikan Kinerja Guru
Perbaikan kinerja guru dapat dianalisis melalui beberapa kriteria,
antara lain: (1) rencana pembelajaran (teaching plans and materials) atau
disebut dengann RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran), (2) prosedur
pembelajaran (classroom procedure), dan (3) hubungan antar pribadi
(interpersonal skill).60 Penilaian terhadap kinerja guru juga dapat diukur
melalui delapan indikator, seperti: (1) pengelolaan waktu pembelajaran, (2)
pengelolaan prilaku siswa, (3) penyajian pembelajaran, (4) monitoring
pembelajaran, (5) umpan balik, (6) menfasilitasi pembelajaran, (7)
komunikasi dalam lingkungan pendidikan, (8) melakukan tugas-tugas non-
instruksional.61 Indikator penilaian perbaikan kinerja guru boleh jadi berbeda
antara satu sekolah dengan sekolah yang lain tergantung dari konteks,
lingkungan, dan karakteristik guru dan siswa yang diukur. Keberagaman ini
59
Mulyasa, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007), hal. 90.
60 Direktorat Tenaga Kependidikan. Penilaian Kinerja Guru (Jakarta: Direktoral Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional, 2008), Hal. 22.
61 Catawba Country Schools, Teacher Performance Appraisal- Instrument, 2010, p.. 22
(http://www.catawbaschools.net/departments/hr/New_Teachers/New%20Teacher%20Form
s/Teacher%20Performance%20Appraisal%20Instrument%20%28TPAI%29%20Handbook.
pdf).
49
dapat membangun suatu kekuatan tersendiri untuk mengungkap tipikal
kekhasan dan keberagaman kemampuan. Namun demikian, perlu adanya
standar yang dapat dijadikan referensi utama. Indikator lain dalam penilaian
kinerja guru sering juga dilihat dari komponen-komponen62, seperti pertama
pembelajaran, yang dapat dijabarkan lagi menjadi beberapa komponen, yakni
kemampuan mendemonstrasikan pengetahuan tentang mata pelajaran yang
diajarkan, kemampuan mengembangkan pembelajaran sesuai dengan
standar nasional, regional, dan lokal serta memperhatikan keberagaman
siswa dan kompleksitas materi ajar, kemampuan mengembangkan
pembelajaran yang berisi komponen-komponen penting yang dapat
mendukung pembelajaran yang efektif, kempampuan mendemonstrasikan
sistem penyajian yang efektif dengan menggunakan berbagai strategi,
mengukur kinerja siswa berdasarkan standar yang dikembangkan melalui
rencana pencapaian akademik sekolah, kemampuan untuk mencapai hasil
kinerja sekolah yang diharapkan.
Kedua, keterampilan berkomunikasi yang mencakup pemberian
umpan balik yang sesuai tentang kinerja siswa kepada orang tua atau wali
murid, kemampuan mendemonstrasikan keterampilan verbal dan menulis
yang pantas, kemampuan mmenginformasikan dan meresponi orang tua
62
IPSK12, Teacher Performance Indicators and Descriptors, 2010, p. 1-5
(http://ips39.ips.k12.in.us/IPSForms/TEACHER%20PERFORMANCE%20INDICATORS%2
0AND%20DESCRIPTORS.doc).
50
tentang perkembangan dan perbaikan siswa kepada orang tua dengan cara
yang tepat dan waktu yang sesuai. Ketiga, manajemen kelas, yang terdiri
atas mengambil tanggungjawab untuk mengembangkan dan
mengimplementasikan rencana disiplin kelas secara konsisten, sama, dan
adil bagi seluruh siswa, mendukung kedisiplinan siswa secara mandiri,
mendemonstrasikan kemampuan untuk menghubungkan rencana
pembelajaran, komunikasi, dan manajemen kelas, mengikuti segala aturan
dan prosedur yang menjadi kesepakatan sekolah dan aturan yang di atasnya,
ikut serta dan campur tangan secara tepat pada segala sesuatu yang
mengganggu siswa dalam mengikuti proses pembelajaran. Keempat,
hubungan interpersonal, yang merujuk pada kemampuan untuk menunjukkan
sikap saling percaya, menghargai dan saling peduli kepada semua, bekerja
kolaborasi dengan yang lain demi untuk kemajuan sekolah dan perbaikan
siswa, menunjukkan pengontrolan diri, menciptakan dan memelihara
suasana lingkungan yang menghargai dan menjunjung tinggi nilai-nilai
keberagaman, dan menunjukkan kemampuan untuk menggunakan sistem
manajemen konflik dalam pemecahan beragam masalah.
Kelima, kewajiban staf dan profesional, yang mencakup ketaatan
dalam menghadiri dan mengikuti segala komitmen bersama sesuai standar
yang telah disepakati, disiplin dalam bekerja sesuai waktu yang ditetapkan,
mengembangkan dan mengimplementasikan rencana pengembangan
51
profesional satu tahun, memelihara hubungan yang baik dan melibatkan
orang tua siswa baik dalam aktivitas di dalam kelas maupun dalam kegiatan
ekstra kurikuler, mengajukan laporan tentang kegiatan pembelajaran tepat
waktu, menjaga kerahasiaan yang berhubungan dengan informasi siswa dan
keluarganya, mengikuti segala aturan yang yang ditetapkan oleh sekolah dan
aturan di atasnya dalam melakukan tugas-tugas, mendorong pencapaian
hasil siswa sesuai dengan aturan dan prosedur yang berlaku.
C. Kinerja dan Pengembangan Profesional
Beberapa istilah yang berasal dari kata profesional dapat diberikan
berikut ini agar dapat dibedakan antara istilah yang satu dengan yang
lainnya. Profesional berasal dari kata profesi yang artinya satu bidang
pekerjaan yang ingin atau akan ditekuni oleh seseorang. Pengertian
profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang
dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian,
kemahiran, atau kecakapan, yang memenuhi standar, mutu atau norma
tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.63 Berbicara mengenai
profesional, pemikiran orang tertuju pada dua hal. Pertama, orang yang
menyandang suatu profesi. Orang yang profesional biasanya melakukan
pekerjaan sesuai dengan keahliannya dan mengabdikan diri pada pengguna
63
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen, Pasal 1
52
jasa dengan disertai rasa tanggungjawab atas kemampuan profesionalnya
itu. Kedua, kinerja seseorang dalam melakukan pekerjaan yang sesuai
dengan profesinya.64 Profesi adalah suatu jenis pekerjaan yang berkaitan
dengan bidang (keahlian, keterampilan, teknik) tertentu, semakin ahli, maka
semakin profesional pekerjaannya.65 Sedangkan yang dimaksud dengan
profesi guru dan profesi dosen merupakan bidang pekerjaan khusus yang
dilaksanakan berdasarkan prinsip sebagai berikut: (1) memiliki bakat, minat,
panggilan jiwa, dan idealisme, (2) memiliki komitmen untuk meningkatkan
mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia, (3) memiliki
kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang
tugas, (4) memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas,
(5) memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan, (6)
memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja, (7)
memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara
berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat, (8) memiliki jaminan
perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, dan (9)
memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal
yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru.66 Prinsip-prinsip tersebut
tercermin dalam setiap cara berpikir, bertindak dan berprilaku baik dalam
64
Saudagar dan Ali Idrus, Pengembangan Profesionalitas Guru (Jakarta: Gaung Persada, 2009 ) p. 96.
65 Ibid, p. 5.
66 Undang-undang, op.cit. pasal 7
53
menjalankan aktivitas pembelajaran di sekolah maupun setelah berada di
lingkungan keluarga dan masyarakat.
Profesionalisme adalah kemahiran yang dimiliki oleh seorang yang
profesional.67 Dengan kata lain, profesionalisme dipandang sebagai suatu
keahlian yang melekat pada diri seseorang dalam melakukan segala bentuk
pekerjaan secara profesional. Lebih jauh profesionalisme merupakan proses
pemberian pekerjaan yang menjadi profesi untuk mencapai status
profesional. Di sini, penekanannya merujuk pada strategi pekerjaan yang
diadopsi (misalnya bersaing dengan rival dalam kelompok profesional, atau
mengembangkan asosiasi profesional yang kuat) dari pada mengambil ciri
yang sesuai dengan beberapa model profesi.68 Profesionalisme juga
dipandang sebagai komitmen para anggota suatu profesi untuk
meningkatkan kemampuan profesional dan terus-menerus mengembangkan
strategi-strategi yang digunakannya dalam melakukan pekerjaan sesuai
dengan profesinya itu.69
Istilah-istilah lain yang terbentuk dari kata profesional adalah
profesionalisasi dan profesionalitas. Profesionalisasi adalah proses atau
perjalanan waktu yang membuat seseorang atau kelompok orang menjadi
67
Princeton, Professionalism, p. 1, 2009 (http://wordnetweb.princeton.edu/perl/webwn?s=professionalism).
68 OUP, Principles of organizational Behavior 4e: Glossary, hal. 1, 2009 (http://www.oup.com/uk/orc/bin/9780199253975/01student/glossary/glossary.htm)
69
Saudagar dan Ali Idrus, op.cit. 97.
54
profesional. Sedangkan, profesionalitas merupakan sikap para anggota
profesi yang benar-benar menguasai profesi yang dimilikinya. Dalam
perspektif teori yang berhubungan dengan praktek-praktek pendidikan,
konsep professionalism (profesionalisme), professionality (profesionalitas,
and professional development (pengembangan professional) sering menjadi
kajian menarik untuk didiskusikan.
Profesionalitas adalah suatu pendirian berdasarkan idologi, sikap,
intelektual, dan epistimologi dari individu dalam hubungannya dengan
pelaksanaan profesi yang dimiliki serta pengaruhnya terhadap praktek
profesionalnya. Sedangkan, profesionalisme adalah praktek yang
dipengaruhi profesionalitas yang sesuai dengan penggambaran umum dari
suatu profesi yang khusus dan keduanya memberi kontribusi untuk
merefleksikan persepsi dari tujuan profesi, status dan hakekat khusus, jarak
dan tingkat layanan yang disediakan, keahlian yang lazim, profesi, dan kode
etik yang mendasari praktek. Professional development (pengembangan
professional) adalah proses untuk melakukan dan meningkatkan
profesionalisme dan profesionalitas orang. 70
Pengembangan professional juga dipandang sebagai kegiatan yang
berorientasi pada tujuan untuk memperbaiki pembelajaran.71 Pengembangan
professional sering digunakan secara sinonimik dengan pengembangan staf
70
Evans L, Reflective Practice in Educational Research (New York: Continuum, 2002) p. 71
Keller, J. A Systems perspectiveof Professional Development in A K-12 School District (Indiana: Indiana University, 2003) p. 23.
55
dan pengembangan guru yang merujuk pada segala upaya yang dilakukan
untuk memperbaiki pembelajaran yang dilakukan dalam suatu lembaga
pendidikan. Jadi, yang dimaksud dengan profesionalisme guru di sini adalah
komitmen guru sebagai tenaga pendidik yang memiliki keahlian dalam ilmu
kependidikan dan secara terus-menerus meningkatkan kemampuan untuk
melalukan tugas-tugas keprofesionalannya.
56
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tujuan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian tindakan yang bertujuan untuk
menyelesaikan berbagai permasalahan yang terjadi dalam pembelajaran
dengan fokus utamanya adalah peningkatan kinerja guru melalui penerapan
kecerdasan jamak. Secara umum penelitian ini berusaha memberdayakan
tenaga pendidik untuk dapat memahami, mengidentifikasi, dan menerapkan
kecerdasan jamak murid atau peserta didik guna menggali dan
mengembangkan kemampuan sesuai bakat dan minat yang dimiliki. Tenaga
pendidik dalam hal ini diharapkan mampu mengembangkan strategi
pembelajaran inovatif baik menyangkut pemilihan materi, rancangan media,
metode yang digunakan maupun kemampuan untuk mengalokasikan waktu
secara efektif dan efisien dalam kegiatan pembelajaran. Secara rinci, tujuan
penelitian ini dapat dijabarkan sebagai berikut:
1) Meningkatkan dan mengembangkan pengetahuan guru tentang
kecerdasan majemuk yang mencakup kecerdasan verbal atau
linguistik, logika matematik, visual/spatial, musik, bodi atau kinestetik,
interpersonal, Intrapersonal, naturalis, dan spiritual atau eksistensial.
Pemahaman mendalam tentang kecerdasan majemuk ini dapat
57
memberikan kontribusi besar bagi guru dalam mengidentifikasi
kecenderungan kecerdasan siswa.
2) Meningkatkan dan mengembangkan profesionalitas guru sebagai
tenaga pendidik dalam memiliki dan memperbaiki keahlian secara
terus-menerus sehingga memiliki kemampuan untuk melalukan tugas-
tugas keprofesionalannya seperti mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik.
3) Menciptakan strategi-strategi dan pendekatan-pendekatan yang dapat
meningkatkan efektivitas pemanfaatan kecerdasan majemuk dalam
proses pembelajaran khususnya dalam setting ruang kelas dengan
melibatkan seluruh tenaga pendidik dalam lingkungan sekolah untuk
melakukan sharing pengalaman dan kerja kolaboratif.
4) Mengkaji dampak yang dihasilkan dari penerapan dan pemanfaatan
kecerdasan majemuk dalam hubungannya dengan perbaikan proses
dan kinerja baik secara langsung mapun secara tidak langsung dan
dapat dirasakan serta diamati terjadinya perubahan yang signifikan.
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di sekolah-sekolah dasar yang ada di
Kecamatan Pallanga Kabupaten Gowa yang berjumlah sebanyak tujuh
58
Sekolah Dasar (SD) sebagai suatu studi tindakan. Ketujuh SD tersebut
termasuk dalam satu gugus yang disebut dengan GUGUS PALLANGGA.
Adapun waktu penelitian dilakukan selama tujuh bulan terhitung mulai
bulan Januari 2010 sampai dengan Juni 2010 dengan pertimbangan bahwa
Bulan Januari merupakan awal semester genap dan penelitian akan
menfokuskan pada semester genap saja. Sedangkan, observasi awal
dilakukan pada akhir Semester ganjil guna mengobservasi pelaksanaan
pembelajaran sekaligus dilakukan pengukuran terhadap kinerja guru. Hasil
observasi dan pengukuran ini akan digunakan sebagai pengetahuan awal
sekaligus sebagai standar kinerja awal sebelum dilakukan perlakukan.
C. Metode Penelitian
Metode penelitian ini termasuk jenis penelitian tindakan (action
research), yaitu metode penelitian yang menekankan pada praktek sosial,
bertujuan ke arah peningkatan, suatu proses siklus, diikuti oleh penemuan
yang sistematis, proses reflektif, bersifat partisipatif, dan ditentukan oleh
pelaksana72. Dalam perspektif pendidikan penelitian tindakan dimaksudkan
untuk menguji praktik pendidikan secara sistematis dan hati-hati dengan
menggunakan teknik-teknik tertentu berdasarkan asumsi bahwa
penyelenggara pendidikan melakukan yang terbaik dalam mencari solusi
72
Kamber D., Action Learning Research Improving the Quality of Teaching and Learning
(London: Page Limited, 2000), p. 24.
59
terhadap masalah-masalah yang dihadapi, menjadi lebih efektif bila didorong
untuk memeriksa dan menilai pekerjaan yang dihasilkan dan kemudian saling
membantu dan bekerja sama dalam pengembangan profesi.
Action Research (Penelitian tindakan) atau disingkat AR ditandai
dengan pendekatan systematic inquiry yang memiliki ciri, prinsip, pedoman,
prosedur yang harus memenuhi kriteria tertentu. AR harus jelas
membedakan perbedaan ciri tindakan dan penelitian, harus terlibat langsung
dan bukan hanya sekedar sebagai penonton.73 Dikatakan pula bahwa
penelitian tindakan adalah suatu proses demokratis dan partisipatorik yang
menyangkut pengembangan pengetahuan praktis dalam upaya mencari
tujuan yang bermanfaat demi kemaslahatan kehidupan di dunia.74
Lebih jauh, AR selalu berhubungan dengan tindakan untuk mencapai
hasil praktis dan menciptakan bentuk pemahaman baru karena tindakan
tanpa pengetahuan adalah buta dan teori tanpa tindakan tidak berarti.75
Secara operasional bentuk penelitian tindakan adalah rangkaian kegiatan
bersama berkelanjutan antara para pihak terkait dalam hal merencanakan,
melaksanakan dan mengevaluasi rangkaian upaya untuk mencapai
perubahan status pola pikir, pandang, kerja dan sikap baru yang disadari dan
73
Semiawan, Catatan kecil tentang Penelitian dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), hal. 177.
74 Coghlan and brannick, Doing Action research in Your Own Organization, Second Edition
(London: Sage Publication Ltd., 2005), p.3. 75
Koshy V., Action Research for Improving Practice: A practical Guide (London: Sage Publication Ltd., 2005), p.8.
60
diakui bersama sebagai relatif lebih baik serta bersifat dinamis terhadap
perubahan selanjutnya.76 AR merupakan suatu pendekatan kolaboratif dalam
melakukan investigasi atau inquiry dengan maksud mengambil tindakan
sistematik untuk menyelesaikan persoalan khusus.77
Berdasarkan pengertian di atas bahwa penelitian tindakan memiliki
tujuan dan karakteristik yang sedikit berbeda dengan metode penelitian
lainnya. Tujuan dasar penelitian tindakan lebih ditujukan untuk meningkatkan
praktek ketimbang memproduksi pengetahuan.78 Karakteristik penelitian
tindakan sebagai berikut: (a) berfokus pada praktek sosial, (b) bertujuan
untuk peningkatkan keadaan, (c) merupakan proses siklus, (d) diikuti dengan
temuan sistematik, (e) merupakan proses reflektif, (f) bersifat partisipatif, dan
(g) topik atau masalahnya ditentukan oleh praktisi.79
Penelitian ini bersifat partisipatif, yaitu melibatkan peneliti, guru,
pemerintah, pendamping program, dan stakeholder. Participatory action
research (PAR) memiliki orientasi pada masyarakat dan sosial serta memberi
penekanan pada penelitian yang berkontribusi pada emansipasi atau
perubahan yang terjadi dalam masyarakat.80 PAR juga merupakan suatu
76
Mills G., Action research: A Guide for the Teacher Researcher, Second Edition, (Upper Saddle River, New Jersey: Pearson Education, 2003:), p.5.
77 Ernest T. Stringer, Action Research Third Edition, Los Angeles: Sage Publication Inc. 2007, p. 8.
78 Elliot, Jhon., Action Research for Educational Change (Philadelphia: Open University Press, 1991), p. 49.
79 Kamber D, op.cit., 25.
80 Cresswell, John, Educational research: Planning, Conducting, and Evaluation,
Quantitative, and Qualitative Research, Third Edition (Upper Saddle River, New Jersey:
Pearson Education, 2008:), p.602—603.
61
proses di mana, peneliti dan partisipan bekerja sama secara kolaboratif
dalam siklus untuk mencari berbagai hal, klaim, atau isu yang
mempengaruhi kehidupan orang.81 Hal ini berarti bahwa PAR merupakan
suatu metodologi untuk sistem alternatif produksi pengetahuan berdasarkan
pada peran orang lain dalam pengaturan agenda, dengan berpartisipasi
dalam pengumpulan dan analisis data, dan pengontrolan penggunaan
hasilnya. Tujuannya adalah untuk peningkatan, pemberdayaan, atau
perbaikan keadaan. Dalam penelitian ini, yang diberdayakan adalah
profesionalisme guru dalam melakukan tugas untuk mendidik, mengajar,
membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta
didik.
Proses penelitiannya bersifat kolaboratif, di mana keterlibatan
beberapa pihak dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pengamatan,
maupun refleksi tindakan multak diperlukan. Bentuk penelitian tindakan yang
dilakukan adalah penelitian tindakan responsif proaktif (responsive-proactive
action research), maksudnya penelitian tindakan yang direspon secara
proaktif oleh kolaborator melalui pengamatan pada saat implementasi
dilaksanakan yang kemudian dicari faktor kegagalannya untuk direvisi pada
rencana berikutnya yang dimulai dengan pengumpulan data terhadap
81 Koch, Tina, Kralik Debbie, Participatory Action Research in health Care (USA: Blackwell
Publishing, 2006), p. 27.
62
kelemahan-kelemahan atau permasalahan yang timbul pada saat dilakukan
implementasi yakni pemanfaatan kecerdasan majemuk dalam meningkatkan
profesionalisme guru menuju perbaikan praktek dan kinerja.
D. Disain Penelitian
Ada beberapa model desain penelitian yang biasa digunakan dalam
penelitian tindakan. Dalam bagian ini hanya akan menjelaskan empat model,
antara lain pertama, model MacIsaac yang digambarkan dalam dua siklus;
siklus pertama terdiri atas kegiatan perencanaan dan tindakan yang diikuti
dengan pengamatan dan refleksi. Pada siklus kedua, dilakukan revisi
perencanaan dan tindakan yang juga diikuti dengan pengamatan dan refleksi.
Kedua, model Susman yang terdiri atas (1) diagnosa yang bertujuan untuk
mengidentifikasi atau mendefinisikan persoalan, (2) rencana aksi bertujuan
untuk mempertimbangkan tindakan apa yang hendak dilakukan, (3)
mengambil tindakan dengan maksud untuk memilih tindakan yang cocok, (4)
evaluasi bertujuan untuk mempelajari akibat dari tindakan, dan (5) spesifikasi
untuk menidentifikasi temuan umum.82
Ketiga, model Stringer memiliki kerangka dasar yang kuat yang
ditandai dengan tiga kata, look (melihat atau memandang), think (berpikir),
82
Cole, Robert, et.al., Being Proactive: Where Action Research meets Design Research, p.3,
2009 (http://conversation.cgu.edu/is362r/files/-1/1319/ICIS-Cole-Purao-Rossi-Sein-
2005_by_Matti.pdf).
63
dan act (bertindak) yang memberi dasar kepada setiap orang untuk
melakukan penyelidikan secara langsung dengan melakukan secara detail
hal-hal sebagai berikut:
Melihat : - mengumpulkan informasi yang relevan
(pengumpulan data)
- menggambarkan situasi (mendefinisikan dan
mendeskripsikan.
Memikirkan : - mengeksplorasi dan menganalisis: apa yang
terjadi di sini? (menganalisis)
- menginterprestasi dan menjelaskan atau
berteori.
Bertindak : - merencanakan (melaporkan)
- mengimplementasikan
- mengevaluasi.83
Keempat, model Elliot yang dapat dilakukan dengan beberapa dua
atau lebih siklus. Pada siklus pertama terdiri atas mencari fakta dan analisis
yang mencakup kegiatan perencanaan, penerapan, mengawasi penerapan
dan dampaknya, dan evaluasi. Jika tidak berhasil dengan dengan langkah-
langkah pada siklus pertama, maka dilanjutkan dengan siklus kedua yang
mencakup kegiatan merevisi ide utama, penerapan, mengawasi penerapan
83
Ernest T. Stringer, op.cit. p. 8.
64
dan dampaknya, serta evaluasi tahap sebelumnya. Seandainya tahapan-
tahapan pada siklus kedua juga belum berhasil, maka dilakukan siklus ketiga
dengan mengulangi tahapan-tahapan pada siklus kedua.84
Desain penelitian ini menggunakan model keempat, yakni model yang
dikembangkan oleh John Elliot. Model ini dipilih atas dasar pertimbangan
lebih jelas dan rinci, dalam setiap siklus memungkinkan terdiri atas beberapa
tindakan dan setiap tindakan terdiri atas beberapa langkah yang terrealisasi
dalam bentuk kegiatan peningkatan. Model ini dimulai dengan kegiatan
mencari fakta yang terkait dengan pemahaman guru tentang kecerdasan
majemuk kemudian dianalisis guna mendapatkan pengetahuan awal untuk
mendesain pelatihan yang diberikan. Kegiatan ini mencakup perencanaan
yang terdiri atas tiga langkah, mengawasi dampaknya, kemudian
mengevaluasi guna untuk mendapat pemahaman terhadap kelebihan dan
kekurangan yang dilakukan. Sebelum melangkah ke tahapan selanjutnya,
perlu dilakukan revisi yang kemudian digunakan untuk membuat
perencanaan pada tahap berikutnya. Kemudian, dilakukan implementasi atau
tindakan yang mengikuti beberapa langkah yang diakhiri dengan upaya
pengawasan terhadap penerapan itu dan dampak yang ditimbulkan dari
pelaksanaan tindakan. Langkah yang sama akan dilanjutkan pada tahap
berikutnya sampai ditemukan peningkatan sesuai dengan yang diharapkan.
84
Elliot, Jhon, op.cit. 50.
65
Untuk lebih jelasnya tentang model kempat ini, dapat dijelaskan melalui
gambar sebagai berikut.
Gambar 3
Desain Penelitian
Mencari Fakta dan Analisis
Perencanaan
Langkah 1
Langkah 2
Langkah 3
Mengawasi Penerapan & Dampaknya
Evaluasi Tahap Sebelumnya
Penerapan & Langkah 1
Merevisi Ide Utama
Rencana Terrevisi
Langkah 1
Langkah 2
Langkah 3
Mengawasi Penerapan & Dampaknya
Evaluasi Tahap Sebelumnya
Penerapan Langkah
selanjutnya
Merevisi Ide Utama
Rencana Terrevisi
Langkah 1
Langkah 2
Langkah 3
Mengawasi Penerapan & Dampaknya
Evaluasi Tahap Sebelumnya
Penerapan Langkah
selanjutnya
66
D. Partisipan Penelitian
Partisipan penelitian ini adalah semua kepala sekolah dasar yang
berada pada satu gugus di Kecamatan Pallanga Kabupaten Gowa, Sulawesi
selatan yang terdri atas tujuh sekolah, tujuh komite sekolah, satu dewan
pendidikan, satu kepala dinas pendidikan, dan seratus dua puluh tujuh orang
guru yang mengajar pada ketujuh sekolah dasar tersebut. Partisipan itu akan
diberikan tindakan berdasarkan tahapan-tahapan yang mencakup; pertama,
pertemuan awal yang melibatkan unsur kepala sekolah, komite, dewan
pendidikan, dan Dinas pendidikan. Tujuannya untuk memberikan
pemahaman kepada mereka tentang kecerdasan majemuk tersebut dan
kemungkinan kontribusinya dalam peningkatan profesionalisme guru. Kedua,
pertemuan yang dihadiri oleh seluruh kepala sekolah dan guru-guru yang
bertujuan untuk memberikan pemahaman mereka tentang berbagai teori dan
implementasi kecerdasan jamak dalam lingkungan kelas.
Ketiga, pembuatan instrumen yang akan digunakan untuk
mengidentifikasi dan mengungkap berbagai kecerdasan yang dimiliki anak
didik. Pada tahapan berikutnya, jumlah partisipan akan dispesifikasikan
berdasarkan sekolah yang kemudian dilakukan secara kolaboratif dalam
lingkungan yang lebih kecil lagi dalam ruangan kelas. Pada tahapan
pelaksanaan dalam ruangan kelas, peneliti lebih khusus melibatkan para
guru yang berada di kelas rendah seperti kelas I, Kelas II, dan Kelas III
67
dengan pertimbangan pada kelas-kelas tersebut masih menerapkan
pembelajaran tematik yang memudahkan untuk mengintegrasi terori-teori
kecerdasan jamak dalam setiap tema-tema pembelajaran.
E. Peran dan Posisi Peneliti dalam Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti bertindak sebagai pengembang materi,
pelaksana tindakan (kolaborator), dan sekaligus pengamat dalam
pelaksanaan tindakan. Selain itu, peneliti juga akan berkolaborasi dengan
berbagai unsur yang terkait, pemerintah setempat, guru dan kepala sekolah,
dan pengawas untuk membantu peneliti dalam pelaksanaan tindakan dan
memberi masukan-masukan yang berharga yang diperlukan dalam perbaikan
tindakan dalam setiap siklus penelitian.
F. Prosedur Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dalam empat tahap, yaitu persiapan,
pengukuran efektivitas awal kepada guru, pelaksanaan tindakan, serta
pengolahan data dan analisis data.
1. Tahap Persiapan
Pada tahap persiapan ini, peneliti melakukan beberapa hal seperti:
pengurusan ijin dan pemilihan lokasi penelitian. Pengurusan ijin penelitian
dimulai dengan pengajuan permohonan ijin penelitian ke bagian akademik
68
program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta yang kemudian diteruskan
ke pemerintah daerah Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan. Pemilihan lokasi
penelitian dilakukan dengan pengambilan sample pada kategori sekolah yang
terdapat pada Gugus Kecematan Pallangga Kabupaten Gowa Sulawesi
Selatan yang yang terdiri atas tujuh sekolah khususnya untuk kelas satu dan
dua. Hal ini dilakukan dengan mempertimbangkan bahwa kecerdasan jamak
itu, akan lebih baik jika diidentifikasi sejak dini guna untuk dikembangkan
dalam kelas-kelas selanjutnay. Di samping itu juga didukung peran serta dan
sikap positif pemerintah daerah dalam hal ini dinas pendidikan, masyarakat
setempat, dan berbagai komponen yang terlibat dalam sekolah-sekolah
tersebut.
2. Tahap Pengukuran Awal tentang Efektivitas program
Untuk mengetahui kondisi efektivitas program sebelum diberikan
tindakan, dilakukan pengukuran awal terhadap tingkat pengetahuan guru
yang akan diteliti terhadap kecerdasan majemuk. Dalam hal ini akan diambil
masing-masing guru kelas satu dan dua pada masing-masing sekolah dari
ketujuh sekolah dasar yang terdapat dalam satu gugus di Kecamatan
Pallangga Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan yang dipilih berdasarkan
pertimbangan bahwa anak kelas satu dan kelas dua masih diajarkan secara
tematik sehingga memungkinkan bagi sekolah untuk mendeteksi berbagai
69
kecerdasan yang dimiliki anak didik. Pengukuran ini dilakukan untuk
mengetahui tingkat efektivitas kemampuan awal para guru sehingga dapat
diketahui peningkatan pemahaman yang berujung pada peningkatan proses
dan kinerja
3. Tahap Pelaksanaan Tindakan
Pelaksanaan tindakan terdiri atas siklus-siklus. Jumlah siklus yang
dilakukan disesuaikan dengan pencapaian tujuan. Maksudnya, apabila
tujuan telah tercapai setelah diberi perlakuan maka siklus dihentikan dan
penelitian dianggap sudah selesai. Tujuan dianggap tercapai apabila
terjadinya peningkatan kinerja dilihat dari indikator peningkatan proses dan
kinerja.
Masing-masing siklus yang dilakukan terdiri atas tahapan-tahapan,
yaitu: (1) tahap perencanaan, (2) tahap implementasi tindakan, (3) tahap
monitoring implementasi dan efek, (4) tahap penjelasan kegagalan. Namun
sebelum memasuki tahapan tersebut terlebih dahulu dilakukan tahap temuan
dan analisis fakta. Adapun prosedur penelitian yang dilakukan pada masing-
masing tahapan tersebut adalah sebagai beikut:
a. Tahap Temuan dan Analisis Fakta
Pada tahap ini dilakukan penelitian pendahuluan dengan tujuan untuk
mengetahui berbagai fakta yang terkait dengan pelaksanaan proses
pemberdayaan guru. Penelitian pendahuluan ini menggunakan teknik
70
observasi terhadap proses pembelajaran dan wawancara dengan kepala
sekolah, guru, komite sekolah, dewan pendidikan, dan kepala dinas
pendidikan dan pengawas.
Observasi proses pembelajaran yang dilaksanakan bertujuan untuk
mengamati secara langsung berbagai fakta di lapangan apakah
pembelajaran yang dilaksanakan merefleksikan berbagai aspek-aspek atau
menggali sembilan kecerdasan jamak yang diteliti.
b. Tahap Perencanaan
Perencanaan tindakan dalam penelitian ini didasarkan pada hasil
temuan awal di lapangan tentang kelemahan-kelemahan dalam sistem
pembelajaran serta langkah-langkah kongkrit yang akan ditempuh untuk
mencapai peningkatan yang diharapkan. Perencaan tindakan adalah sebagai
berikut:
1. Penyusunan rencana pelaksanaan pelatihan dan pemberdayaan
sesuai dengan visi-misi peningkatan profesionalisme guru.
2. Pemberian bimbingan secara tidak formal kepada guru yang
terlibat sebagai kolaborator. Melalui diskusi antara peneliti dengan
kolaborator dilakukan tanya jawab tentang pendekatan dalam
program peningkatan, setelah dirasa memahami, maka barulah
pelaksanaan tindakan dilakukan.
71
3. Penyusunan hand out, peta konsep, petunjuk kerja, dan jadwal
waktu pelaksanaan tindakan yang disepakati bersama kolaborator.
Desain yang telah disusun kemudian didiskusikan kembali dengan
kolaborator guna memperoleh masukan tentang kemungkinan
proses pelaksanaannya.
4. Mempersiapkan peta konsep seperti hand out dan petunjuk kerja
dan berbagai persiapan berbagai media yang dipersiapkan.
5. Implementasi program yang telah disusun dan melakukan
observasi terhadap pelaksanaannya. Pada siklus pertama tindakan
yang direncanakan berlangsung tiga kali pertemuan yang
mencakup tiga materi kecerdasan jamak yang meliputi teori
tentang kecerdasan, klasifikasi kecerdasan majemuk, dan
pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam
mengimplementasikan kecerdasan majemuk di dalam setting ruang
kelas.
Pada siklus kedua, peneliti menyusun kembali program
pelatihan yang disesuaikan dengan kondisi yang ada. Pada siklus
kedua tindakan yang direncanakan berlangsung selama tiga kali
pertemuan.
6. Setiap selesai pelaksanaan tindakan selalu diadakan diskusi
dengan kolaborator untuk membicarakan kekurangan-kekurangan
72
pada proses implementasi. Hal yang didiskusikan mengacu pada
refleksi mengenai tingkat keberhasilan pelatihan yang dicapai serta
kesulitan-kesulitan yang dirasakan.
7. Selama berlangsungnya penelitian, peneliti terus menerus
memberikan motivasi dan stimulasi pada kolaborator tentang
pentingnya peningkatan profesionalisme guru.
c. Tahap Implementasi Tindakan
Pada tahap ini, semua perencanaan tindakan yang telah disusun
kemudian dilaksanakan dengan didukung seluruh peralatan yang dibutuhkan.
Pada siklus pertama, pendamping program memberikan pelatihan atau
pembelajaran selama 3 kali pertemuan disertai dengan strategi dan cara
implementasi kecerdasan jamak dalam ruang kelas. Di sini para guru dapat
mendiskusikan strategi impelementasi yang sesuai dengan kondisi
lingkungan masing-masing. Kemudian, bersama dengan kolaborator
menyusun rencana aksi untuk diimplementasikan pada masing-masing kelas
yang mereka tempat untuk mengajar.
Pada siklus kedua tindakan yang dimplementasikan sesuai dengan
perencanaan tindakan yang dibuat pada siklus pertama. Tindakan dilakukan
secara berkelompok sehingga terjalin hubungan timbal balik untuk saling
bertukar pengalaman guna mengatasi berbagai permasalahan yang muncul
di lapangan.
73
d. Tahapan Monitoring Implementasi dan Efek
Tahap ini dilakukan bersamaan dengan implementasi tindakan, dan
dilakukan observasi pada saat berlangsungnya tindakan dan efek yang
ditimbulkan oleh tindakan tersebut, baik bagi guru, kepala sekolah, maupun
sistem pembelajaran secara keseluruhan. Observasi dilakukan secara
bergantian. Maksudnya, bila peneliti sebagai pelaksana tindakan maka para
guru yang akan menjadi observer. Namun jika pelaksana tindakan pguru
sebagai kolaboratornya maka peneliti berperan sebagai observer.
e. Tahap Penjelasan Kegagalan
Pada tahap ini merupakan tahap evaluasi dan refleksi terhadap hasil
monitoring yang telah dilakukan, di mana interpretasi dan analisis terhadap
hasil yang dicapai akan dilakukan. Maksudnya adalah untuk mengkaji apakah
terjadi peningkatan kinerja dalam menyajikan pembelajaran secara efektif,
efisien, dan memiliki daya tarik berdasarkan hasil pengamatan dan
pengumpulan data. Apabila hasil yang dicapai menunjukkan bahwa
pendekatan yang dilakukan memberikan hasil yang diharapkan, maka
penelitian ini dianggap telah selesai. Tetapi, bila terjadi sebaliknya maka
perlu dilakukan revisi untuk penyempurnaan pada siklus-siklus berikutnya
yang pola penerapannya selalu diawali dengan perencanaan, penerapan dan
diakhiri dengan evaluasi.
74
4. Tahap Pengelolaan dan Analisis Data
Pada tahap ini dilakukan pemeriksaan kembali data yang telah
terkumpul, pemberian skor jawaban subjek tentang persepsi guru terhadap
kecerdasan jamak dan pengukuran skala peningkatan kinerja guru,
penyusunan data sesuai dengan kebutuhan analisis, analisis data dan
interpretasi.
5. Hasil Intervensi Tindakan yang Diharapkan
Keberhasilan dari kerja penelitian tindakan ini adalah apabila dengan
mengefektivitaskan kegiatan pembelajaran, menggunakan media, dan
pendekatan yang sesuai akan meningkatkan minat, kreativitas, dan motivasi
belajar secara efektif, efisien, dan menimbulkan daya tarik. Hal ini dapat
dilihat dari hasil observasi kolaborator selama proses tindakan berlangsung,
persepsi guru terhadap pemanfaatan kecerdasan jamak, pengukuran skala
peningkatan kinerja, dan hasil wawancara terhadap pendamping program.
6. Data dan Sumber Data
Sumber data dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan,
dan selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Jadi
sumber data tersebut dapat berupa keterangan atau penuturan informan
75
yang didukung oleh dokumen yang berupa dokumen, naskah, tulisan, dan
foto. Adapun data dalam penelitian ini diperoleh dari:
a. Informan; orang yang diamati dan dapat memberikan informasi berupa
kata-kata serta mengetahui serta mengerti masalah yang sedang diteliti.
b. Kepustakaan; yang berupa buku, karya tulis, hasil seminar, jurnal,
dokumen dan lain-lain tentang arah kebijakan dan strategi yang berkaitan
dengan peningkatan profesionalisme guru
G. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan beberapa teknik pengumpulan data, yaitu:
a. Wawancara
Teknik ini digunakan untuk mendapatkan data dari informan secara
langsung. Dalam melakukan wawancara dipergunakan pedoman wawancara
yang terbuka yang direkam dengan audio tape dan camcoder atau handy
cam yang diawali dengan permintaan persetujuan dari responden.
b. Pengumpulan data sekunder
Teknik ini digunakan untuk mengumpul data sekunder melalui
dokumen-dokumen tertulis yang diyakini integritasnya karena mengambil dari
berbagai sumber yang relevan dengan penelitian. Pengambilan sumber yang
bersifat sekunder ini dapat diperoleh dari hasil dialog bersama kolaborator,
brosur, leaflet, spanduk, data base sekolah, dan lain-lain.
76
c. Observasi atau pengamatan
Observasi digunakan untuk melengkapi data dari wawancara dan
pengumpulan dokumentasi, terutama dalam lingkup masalah penelitian,
antara lain mengamati impelementasi kebijakan yang berkaitan tujuan
pemanfaatan kecerdasan jamak dalam meningkatkan profesionalisme guru.
77
DAFTAR PUSTAKA
Armstrong, Thomas, Multiple Intelligences in the Classroom, Alexandria, VA:
ASCD, 2009.
Baedhowi, Kualitas Guru di Indonesia Masih Minim, 2009,
(http://www.kompas.com/read/xml/2008/10/21/18185296/kualitas.guru.
di.indonesia.masih.minim).
Binet, Human Intelligences, 2009,
(http://www.indiana.edu/%7Eintell/binet.shtml).
Bowles T., Self-rated Estimates of Multiple Intelligences Based on
Approaches to Learning, Australian Journal of Educational &
Developmental Psychology. Vol 8, 2008.
Cheung, Kwok. Reforming Teaching and Learning Using Theory of Multiple
Intelligences: The Macao Experiences, Springer Science: Business
Media B.V., 2009.
Chomsky, Noam, Aspects of the Theory of Syntax. Massachusetts: MIT
Press, 1965.
Coghlan and brannick, Doing Action research in Your Own Organization,
Second Edition, London: Sage Publication Ltd., 2005.
Cole, Robert, et.al., Being Proactive: Where Action Research meets Design
Research, 2009 (http://conversation.cgu.edu/is362r/files/-1/1319/ICIS-
Cole-Purao-Rossi-Sein-2005_by_Matti.pdf.
Cresswell, John, Educational research: Planning, Conducting, and
Evaluation, Quantitative, and Qualitative Research, Third Edition,
Upper Saddle River, New Jersey: Pearson Education, 2008.
Dasuki, Achmad, Guru di Indonesia Kebanyakan, Media Indonesia, 2009.
78
Dewantoro, Ki Hajar. Pendidikan, Cetakan Kedua. Majelis Luhur Persatuan
Taman Siswa Yogyakarta, 1977.
Dick, Walter., Carey, Lou., and Carey, James O., The Systematic Design of
Instruction, Sixth Edition, New York: Pearson, 2005.
Elliot, Jhon., Action Research for Educational Change, Philadelphia: Open
University Press, 1991.
Evans L, Reflective Practice in Educational Research, New York: Continuum,
2002.
Gardner, Gardner. Frames of Mind, New York: Basic Books Inc., 1983.
Garder,Howard, Intelligence Reframed, New York: Basic Books, 1999.
Infokito, Pemerintah Luncurkan Program Manajemen Guru Bermutu, 2009,
(http://infokito.wordpress.com/2007/12/19/pemerintah-luncurkan-
program-manajemen-guru-bermutu/).
Januszewski, Alan & Molenda, Michael, Educational Technology: A Definition
with Commentary, New York:Taylor & Prancis Group, 2008.
Kamber D., Action Learning Research Improving the Quality of Teaching and
Learning, London: Page Limited, 2000.
Keller, John. A Systems perspectiveof Professional Development in A K-12
School District Indiana: Indiana University, 2003.
Kezar, Theory of Multiple Intelligences: Implications for Higher Education,
Innovative Higher Education, Vol. 26, No. 2, Winter 2001,144.
Koch, Tina, Kralik Debbie, Participatory Action Research in health Care, USA:
Blackwell Publishing, 2006..
79
Koshy V., Action Research for Improving Practice: A practical Guide, London:
Sage Publication Ltd., 2005.
Lane, Carla, Implementing Multiple Intelligences and Learning Styles in
Distributed Learning/IMS Projects, 2009,
(http://www.tecweb.org/styles/imslsindl.pdf).
Mitrafm, Kecerdasan Spiritual Menentukan jati Diri, 2009,
(http://mitrafm.com/blog/2008/12/15/kecerdasan-spiritual-menentukan-
jati-diri/).
Mills G., Action research: A Guide for the Teacher Researcher, Second
Edition, Upper Saddle River, New Jersey: Pearson Education, 2003.
Molenda, Michael and Pershing, James A. Improving Performance. Dalam
Januszewski, Alan & Molenda, Michael, Educational Technology: A
Definition with Commentary, New York:Taylor & Prancis Group, 2008.
Monica W.,Tracey AE, Richey,Rita. ID Model Construction and Validation: a
Multiple Intelligences Case, Education Tech Research Dev, 2007.
Mulyasa, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2007.
NPEC, Defining and Assessing Learning: Exploring Competency-Based
Initiatives, Washington, DC: Report of the National Postsecondary
Education Cooperative Working Group on Competency-Based
Initiatives in Postsecondary Education, 2002.
OUP, Principles of organizational Behavior 4e: Glossary, 2009
(http://www.oup.com/uk/orc/bin/9780199253975/01student/glossary/gl
ossary.htm)
80
Painton, Mollie. Children’s Spiritual Intelligence in International Handbook of
Education for Spirituality, Care and Wellbeing, International
Handbooks of Religion and Education, Springer Science: Business
Media, 2009..
Parsons, Les, Bullied Teacher Bullied Student, Versi Indonesia, Jakarta:
Gresindo, 2009.
Piaget, Jean, The Psychology of Intelligence, Translated by Piercy M., and
Berlyne D.E. New York: Routledge, 2002.
Princeton, Professionalism, 2009,
(http://wordnetweb.princeton.edu/perl/webwn?s=professionalism).
Republika Newsroom, Waspada Pelecehan Guru pada Siswa, 2009,
(http://www.republika.co.id/berita/9793/Waspada_Pelecehan_Guru_pa
da_Siswa).
Rettig, M., Using the Multiple Intelligences to Enhance Instruction for Young
Children and Young Children with Disabilities, (Early Childhood
Education Journal, Vol. 32, No. 4, February 2005.
Saban A., Content Analysis of Turkish Studies about the Multiple
Intelligences Theory, Kuram ve Uygulamada Eğitim Bilimleri /
Educational Sciences: Teory & Practice 9 (2), Spring 2009.
Saudagar dan Ali Idrus, Pengembangan Profesionalitas Guru, Jakarta:
Gaung Persada, 2009.
81
Scha, Remko. Language Theory and Language technology: Competence and
Performance, Diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris dari artikel asli
dalam bahasa Belanda "Taaltheorie en taaltechnologie; competence
en performance",in: R. de Kort and G.L.J. Leerdam (eds.):
Computertoepassingen in de Neerlandistiek. Almere: LVVN, 1990.
Schramm, Andreas Schramm, Competence versus Performance, 2001,
(http://www.hamline.edu/personal/aschramm/linguistics2001/1cvsp.ht
ml).
Semiawan, Conny. Belajar dan Pembelajaran dalam Taraf Usia Dini:
Pendidikan Prasekolah dan Sekolah Dasar, Jakarta: PT Prenhallindo,
2002.
Semiawan, Conny., Setiawan, dan Yufiarti, Panorama Filsafat Ilmu:
Landasan Perkembangan Ilmu Sepanjang Zaman, Bandung: Mizan
Media Utama, 2005.
Semiawan, Conny. Catatan kecil tentang Penelitian dan Pengembangan Ilmu
Pengetahuan, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007.
Sempoerna foundation, Indonesian teachers currently do not meet the
National Minimum of Teaching Requirements, 2009,
(http://www.sampoernafoundation.org/content/view/1446/1/lang,en/).
Snyder, Susan Developing Musical Intelligence: Why and How, Early
Childhood Education Journal, Vol. 24, No. 3, 1997.
Sonawat and Gogri, Multiple Intelligences for Preschool Children, (Mumbai:
Multi-Tech Publishing co., 2008.
Stolovith, Harold D. The Development and Evolution of Human Performance
Improvement. Dalam Dempsey, John V. and Reiser, Robert A. Trends
82
and Issues in Instructional Design and Technology, Second Edition,
New Jersey: Pearson Merrill Prentice Hall, 2007.
Surya, Muhammad, Mendidik Guru Berkualitas untuk Pendidikan Berkualitas,
2009, (http://endang965.wordpress.com/2009/03/04/mendidik-guru-
berkualitas-untuk-pendidikan-berkualitas/).
Thorndike dalam Musfiroh, Pengembangan kecerdasan majemuk, Jakarta:
Universitas terbuka, 2008.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru
dan Dosen.
UNESCO, The Four Pillars of Education, 2009,
(http://www.unesco.org/delors/fourpil.htm).
Watkins, Ryan. Performance by Design: The Systematic Selection, Design,
and Development of Performance Technologies that Produce Useful
Results, Massachusetts: HRD Press, Inc., 2007.
Wilkinson, J., A matter of life or death: re-engineering competency-based
education through the use of a multimedia CD-ROM, IEEE
International Conference on Advanced Learning Technologies,
Proceedings, 2001.
Zohar and Marshall, SQ, Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual Dalam Berpikir
Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Kehidupan, Versi Indonesia,
Bandung: Mizan, 2001.
83
Top Related