PENGENDALIAN PERKEMBANGAN KAWASAN MEGA‐URBANISASI GERBANGKERTASUSILA PLUS
Oleh Nungki Meiriya1 3208 206 002 ([email protected]),
Prof. Ir. Johan Silas2(johan@fam‐silas.eu), Dr.Ing.Ir. Bambang Soemardiono3 ([email protected])
Abstrak
Urbanisasi memberikan dampak yang signifikan terhadap perkembangan perkotaan di Indonesia. Perkembangan kawasan Kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung dan lainnya yang dipengaruhi oleh urbanisasi skala mega memberikan dampak positif dan negatif terhadap perkotaan disekitarnya. Salah satunya adalah GERBANGKERTASUSILA Plus (GKS Plus), kawasan ini merupakan kawasan yang secara administratif terpisah tetapi secara fisik, ekonomi dan sosial menyatu akibat adanya dampak resiprokal perekonomian Kota Surabaya terhadap kabupaten/kota Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Sidoarjo, Lamongan, Bojonegoro, Tuban, Jombang dan Pasuruan. Penyatuan tersebut mengakibatkan adanya fenomena mega‐urbanisasi yang sangat besar khususnya pada hinterland Kota Surabaya baik dari segi spasial, ekonomi dan sosial. Melalui hitungan indeks sosial‐ekonomi dan spasial didapatkan antara sosial‐ekonomi spasial memiliki hubungan yang saling mempengaruhi. Dari nilai indeks sosial‐ekonomi dan spasial didapatkan bahwa perkembangan antar Kabupaten/Kota di GKS Plus masih belum optimal. Terdapat Kabupaten/Kota yang tidak seimbang antara perkembangan sosial‐ekonomi terhadap perkembangan spasialnya. Berdasarkan identifikasi didapatkan banyak kepentingan dan stakeholder dalam pembangunan GKS Plus. Dengan analisis stakeholder didapatkan critical player untuk perumusan pola pengendalian. Hasil akhir yang didapatkan adalah pola pengendalian perkembangan kawasan mega‐urbanisasi yang terdiri dari aspek fisik yaitu kebijakan, proses perencanaan, dokumen tata ruang, perijinan dan mekanisme insentif serta disinsentif. Aspek non‐fisik mencakup prasarana dan Investasi development generator.
Kata kunci : GKS Plus, Mega‐Urbanisasi dan pengendalian
I. Pendahuluan
Perkembangan Kota Surabaya dan wilayah sekitarnya yakni GERBANGKERTASUSILA (saat itu) ternyata menunjukkan perkembangan yang lebih besar dari konsep SWP (Satuan Wilayah Pembangunan) yang ditentukan dalam RTRW Jawa Timur. Pola perkembangan ini terjadi terutama pada koridor antar kota dan pada beberapa bagian berfungsi sebagai suatu pusat (nodal). Pada dasarnya antara Surabaya–Sidoarjo bukan lagi menunjukkan pola koridor akan tetapi sudah merupakan penyatuan dua kawasan dalam skala besar. Sedangkan ke arah selatan Kota Surabaya memiliki perkembangan yang pesat, terutama berkembang kegiatan jasa‐perdagangan, industri, dan sebagian perumahan. Mengingat koridor ini sudah sangat padat, maka perkembangan sepanjang jalan utama kota harus dibatasi, membentuk kawasan industri di luar jalan utama kota. Perkembangan kawasan industri di Gresik implikasi pada perkembangan sekitar, berpengaruh terhadap wilayah utara. Adapun prospek perkembangan kawasan industri di Lamongan adalah shorebase, pelabuhan, pariwisata, kawasan berikat yang merupakan kawasan industri membentuk satu sentra atau nodal yang besar (RTRW Propinsi Jawa Timur 2020).
Berdasarkan kompilasi data RTRW Propinsi Jawa Timur 2020 disebutkan bahwa perkembangan GERBANGKERTASUSILA lebih besar dan luas dari sebelumnya. Antaranya penguatan
1 Mahasiswa pasca sarjana studi pembangunan, Jurusan Arsitektur FTSP‐ITS 2 Senior Peneliti Laboratorium Perumahan dan Permukiman , Jurusan Arsitektur FTSP‐ITS 3 Kepala Laboratorium Arsitektur Lansekap dan Staff Pengajar Jurusan Arsitektur FTSP‐ITS
aktifitas perekonomian di koridor Pandaan‐Wonorejo‐Purwosari (Pasuruan), Surabaya‐Gresik‐Lamogan‐Tuban, Surabaya‐Krian‐Mojokerto‐Peterongan (Jombang), Babat (Lamongan)‐Bojonegoro (data kompilasi RTRW Propinsi Jawa Timur 2020). Oleh karena itu dibentuk pengembangan kawasan baru yang disebut GERBANGKERTASUSILA Plus dengan tergabungnya Kabupaten Pasuruan, Kota Pasuruan, dan Kabupaten Bojonegoro, Kabupaten Tuban dan Kabupaten Jombang dalam perwilayahannya. Pola perkembangan ini terjadi terutama dalam pola koridor antar kota dan pada beberapa bagian sebagai suatu pusat (nodal). Pada koridor Surabaya‐Sidoarjo‐Gempol‐Pandaan (Pasuruan), secara linear berkembang sebagai kawasan permukiman dan industri. Trend Surabaya–Krian–Mojokerto‐Peterongan (Jombang) ternyata memiliki hubungan yang kuat dengan kawasan tersebut didominasi berkembangnya industri secara linier, perkembangan permukiman yang cenderung menguat (RTRW Propinsi Jawa Timur 2020).
Pada mega‐urbanisasi GERBANGKERTASUSILA Plus, jaringan perkotaan terbangun dengan sistem batas administratif masih terlihat jelas serta penggunaan lahan masih tersegregasi. Hal tersebut karena menurut Silas (1992) bentuk MUR yang terjadi teridentifikasi di sekitar Surabaya adalah : - Kearah selatan hingga sekitar bandara Juanda dalam bentuk self contained urbanization, yang
merupakan bentuk ex‐urbanisasi dengan tergantung pada sumber daya lokal. - Kedua adalah bentuk strong link and depend to main city (Surabaya), yang merupakan bentuk
utama MUR Kota Surabaya. - Terakhir adalah centered mega urbanization, merupakan model yang terbangun pada kota
disekitar kota pusat (Surabaya) yang memiliki hubungan kuat dengan kota tersebut. Melihat kondisi tersebut, maka diperlukan manajemen perkotaan yang dapat menguntungkan semua pihak dalam kawasan mega‐urbanisasi tersebut, terintegrasi dalam investasi dan pengembangan kawasannya serta kawasan perkotaan memiliki ikatan erat dengan hinterlandnya sehingga adanya ecological footprint pada kawasan yang mengalami mega‐urbanisasi dapat terkendali. Pada MUR (Mega Urban Region) Surabaya, penyediaan lahan di kawasan kota telah mengalami kejenuhan dan mengalami perubahan untuk kawasan terbangun terutama untuk permukiman, perdagangan dan industri. Oleh karenanya, struktur pertumbuhan kota mulai bergerak menjauh dari pusat kota menyebar dan menggeser wilayah pinggiran (fringe areas) dan kota/kabupaten sekitarnya (JM Nas, 2003).
Pesatnya perkembangan tersebut menunjukkan perlu adanya sinergi yang holistik dalam pengelolaan dan pengendalian perkembangan kawasan GERBANGKERTASUSILA Plus sebagai salah satu kawasan yang berkembang menjadi kawasan yang mengalami mega‐urbanisasi di Indonesia. Seperti yang diungkapkan Tjahjati (1997) bahwa dalam pengelolaan regional secara terpadu agar perencanaan regional lebih sensitif terhadap kebutuhan daerah dan pelaksanaannya perlu diterjemahkan ke dalam rencana sektoral tetapi tetap memperhatikan keterpaduan wilayah yang bersangkutan. Untuk itu diperlukan adanya koordinasi antar masing‐masing sektor dan pemerintah. Kurangnya konsep pengendalian kawasan mega‐urbanisasi memberikan dorongan diperlukannya sebuah konsep yang dapat mengendalikan perkembangan yang terjadi di kawasan mega‐urbanisasi tersebut. Perkembangan kawasan tidak terlepas dari faktor spasial dan aspasial yang terdapat pada kawasan urban fringe Kota utama (Kota Surabaya). Pertimbangan terhadap potensi ekonomi dan lingkungan hidup diperlukan sebagai bahan pertimbangan analisa pola perkembangan yang terjadi di kawasan GERBANGKERTASUSILA Plus. Untuk itu dalam penelitian ini akan dibahas mengenai kondisi potensi dan permasalahan dalam pemanfaatan ruang yang secara tidak langsung berdampak pada perkembangan kawasan GERBANGKERTASUSILA Plus. Kemudian dari identifikasi tersebut dan berdasarkan pada kriteria pengendalian perkembangan, maka dapat dirumuskan konsep pengendalian kawasan mega‐urbanisasi yang aplikatif dan dinamis.
II. Kajian Pustaka 2.1 Proses Urbanisasi dan Fenomena Mega‐Urbanisasi
Paling terurbanisa
Tidak terurbanisa
Kepentingan ekonomi merupakan faktor dominan dalam proses urbanisasi skala mega. Pembangunan berdasar pada kepentingan ekonomi memiliki bentuk dan model yang berbeda (Silas, 2002). Urbanisasi di Asia Tenggara juga dicirikan oleh kaburnya antara rural dan urban. Aktifitas agrikutur dan non‐agrikultur bertempat berdekatan dengan pusat kota, dan pembangunan fisik perkotaan yang berkembang melebihi batas administratif kota. McGee, 2005 (dalam Firman 2008) kemudian menyebut fenomena ini sebagai mega‐urbanisasi, sebelumnya disebut dengan kotadesasi (sebuah frase dari bahasa Indonesia) yang berarti sebagai proses sosial ekonomi dan integrasi fisik antara kawasan Kota (Kota) dan kawasan perdesaan (Desa) (McGee 1991 dalam Firman 2008). Menurut Mc.Gee (1991), kawasan antara rural dan urban tidak dikategorikan hanya berdasarkan keruangan. Tetapi juga mempertimbangkan faktor kepadatan, permukiman, pekerjaan, sektoral dan kategori rumah tangga. Dalam hipotesisnya, disebutkan bahwa pada beberapa negara yang memiliki populasi lebih dari 10 ribu jiwa dikatakan sebagai kawasan urban sedangkan sisanya adalah kawasan rural. Akan tetapi, untuk mengetahui adanya proses urbanisasi di kawasan perkotaan menurut Mc.Gee (1991) adalah dengan mengetahui pergeseran perkonomian yang terjadi. (1) perbandingan kontribusi antara aktifitas pertanian dan non‐pertanian dalam produk domestik regional, dan (2) perbandingan kontribusi tenaga kerja yang bekerja pada sektor pertanian dan non‐pertanian dalam produk domestik regional. Untuk lebih jelasnya akan digambarkan pada matrik berikut:
Tabel 2.1 Matrik Proses Urbanisasi dari Sisi Ekonomi
Sumber : Mc.Gee 1991 dengan terjemahan oleh penulis
2.2 Pengendalian dan Manajemen Perkotaan
Menurut, Friedmann (1991 dalam Glasson, 1997) mendefinisikan pembangunan regional sebagai: pembangunan ekonomi, peningkatan pendapatan, lapangan kerja dan kesejahteraan. Serta dalam melakukan manajemen pembangunan kawasan regional, disebutkan bahwa kekuatan dalam menentukan keputusan yang bersifat mengikat kota dan daerah (multiplycity) dan suatu kawasan/region tersebut merupakan faktor yang paling penting. Menurut Soegijoko (1997) bahwa timbulnya regional planning akibat adanya pertumbuhan kota‐kota yang semakin pesat yaitu semenjak adanya tekanan urbanisasi. Yang berupa semakin padatnya daerah‐daerah slums, kongesti lalu lintas, pengangguran di kota‐kota dan perumahan liar di kawasan pinggiran kota. Persoalan ini menurut Soegijoko (1997) menunjukkan perlunya hubungan keseimbangan antara daerah rural dan urban. Menurut Brenann (1992 dalam Dharmapatni 1997) disebutkan bahwa isu utama dalam menghadapi mega urban region adalah bukan terletak pada ukuran kota tetapi pada urban management (pengelolaan kota) yang dapat mengoptimalkan pertumbuhan ekonomi dan meminimalkan eksternalitasnya.
Di Indonesia, pengendalian telah dituangkan dalam Undang‐undang No.26 Tahun 2007 mengenai Penataan Ruang. Menyatakan bahwa Pengendalian pemanfaatan ruang dimaksudkan agar pemanfaatan ruang dilakukan sesuai dengan rencana tata ruang, hal ini berarti bahwa pelaksanaan pembangunan baik di tingkat pusat maupun daerah harus sesuai dengan rencana tata ruang yang ada. Namun pada tahap implementasinya tidak selalu sesuai dengan tata ruang yang telah
1. Kawasan urbanisasi jika 50% dari, - Kontribusi produk domestic regional di
sektor non‐agrikultur - Tenaga kerja bekerja disektor non‐
agrikultur
2. Kawasan semi‐urbanisasi II jika, - Kontribusi produk domestic regional
di sektor non‐agrikultur kurang dari dari 50%
- Tenaga kerja bekerja disektor non‐agrikultur lebih dari 50%
3. Kawasan semi‐urbanisasi I jika, - Kontribusi produk domestic regional di
sektor non‐agrikultur lebih dari 50% - Tenaga kerja bekerja disektor non‐
agrikultur kurang dari 50%
4. Kawasan tidak‐terurbanisasi jika 50%, - Kontribusi produk domestic regional
di sektor agrikultur - Tenaga kerja bekerja disektor
agrikultur
ditetapkan. Ketidaksesuaian tersebut dapat disebabkan oleh produk tata ruang yang kurang dapat mengakomodasi perkembangan eksisting, atau juga disebabkan dalam kegiatan pemanfaatan ruang kurang memperhatikan rencana tata ruang. Sehingga kegiatan pengendalian pemanfaatan ruang yang tepat sangat dibutuhkan dalam praktek pemanfaatan ruang. Dalam pasal 35 UU No. 26 Tahun 2007 disebutkan bahwa : ” Pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan melalui penetapan peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi“. Berdasarkan pasal tersebut dapat diketahui bahwa instrumen pengendalian ruang terdiri atas 4 hal yaitu : Peraturan zonasi, Ketentuan perizinan, Pemberian Insentif dan Disinsentif dan pengenaan sanksi. 2.3 Best Practices Mega‐Urban di Dunia 2.3.1 Manajemen Pengendalian Megacity di Eropa
Menurut Hall dan Pain (2006), berdasarkan studi yang dilakukannya pada kota‐kota yang mengalami mega‐urbanisasi di kawasan Eropa antara lain: Inggris (London), Belanda (Amsterdam), Jerman (Berlin, Hannover), Swiss, Belgia, Prancis (Paris dan Frankurt) dan Dublin. Menyatakan bahwa dalam pengelolaan kawasan kota yang mengalami mega‐urbanisasi (dibukunya disebut megacity) diperlukan beberapa langkah agar wilayah kota tersebut mengalami keberlanjutan lingkungan hidup. Langkah tersebut adalah : 1. Keunikan fungsi dari “first city”: pada kawasan mega‐urbanisasi diperlukan adanya kota utama
yang menjadi fungsi jasa lanjutan atau advanced producer services, dengan derajat spesialisasi yang berbeda, misalnya akuntansi, perbankan, logistik.
2. Fungsi penting dari pusat kedua: untuk fungsi jasa yang lainnya hendaknya pada pusat kedua/sub pusat lain.
3. Komunikasi memiliki nilai dan intensitas yang berbeda dan bersifat internasional: komunikasi yang terjadi pada pusat utama memiliki intensitas yang superior khususnya untuk transaksi
4. Hubungan antara pusat dan sub pusat serta antar sub pusat terjalin dengan baik 5. Globalisasi merupakan kunci utama khususnya pada penghilangan batas administratif dan bisnis 6. Clustering pada pusat utama: tujuannya adalah mereduksi adanya pencampuran aktifitas dan
penggunaan lahan 7. E‐communication meningkat, tetapi hubungan antar orang tetap terjadi : penggunaan teknologi
informasi dan komunikasi penting tetapi tidak menghilangkan adanya hubungan pertemuan antar orang untuk mengurangi eksklusifitas
8. Perjalanan menuju ke tempat kerja diperlukan, membatasi home‐working, khususnya pada perjalanan yag sifatnya internasional
9. Infrastruktur yang saling berhubungan khususnya dengan pusat kota utama 10. Penyediaan transportasi yang reliabel baik dalam maupun antar wilayah bahkan secara global
dengan menggunakan jalan darat, jalur kereta api, perhubungan udara khususnya pada kota utama
11. Tenaga kerja yang terlatih dan terdidik pada pusat kota utama untuk mengurangi adanya pengangguran dan slums pada kawasan pusat kota serta untuk meningkatkan inovasi pada kawasan kota utama
12. Adannya City buzz: penentuan lokasi kegiatan tertentu yang penting bagi orang banyak tidak ditentukan semata secara kriteria ekonomi. Daya tarik lingkungan kota/city environment merupakan hal yang lebih penting, dari pada infrastruktur fisik yang ditawarkan.
13. Kebijakan megacity yang terintegrasi dan skalanya: diperlukan adanya kebijakan yang mengelola kawasan mega‐urbanisasi secara utuh yang tidak hanya pada intervensi pasar tetapi pada infrastruktur transportasi, pendidikan, perumahan dan perencanaan kota.
2.3.2 Manajemen Pengendalian Megacity di Asia
Menurut Laquian (2004) berdasarkan studi yang dilakukannya pada kota‐kota yang mengalami mega‐urbanisasi di kawasan Asia Pasifik antara lain: Tokyo, Mumbai, Calcuta, Shanghai, Dhaka, Karachi, Delhi, Beijing, Osaka, Metro Manila and Seoul. Menyatakan bahwa dalam
pengelolaan kawasan perkotaan yang mengalami mega‐urbanisasi diperlukan beberapa langkah pengendalian agar kawasan kota tersebut mengalami keberlanjutan lingkungan hidup. Langkah tersebut adalah : 1. Pengendalian pertumbuhan dengan model “Smart Growth”, pertumbuhan dengan model smart
growth memiliki beberapa elemen kunci yaitu : 1) Konsentrasi pembangunan ekonomi dan sosial pada kawasan yang memiliki kepadatan tinggi, 2) Preservasi kawasan ruang terbuka hijau, lahan pertanian, kawasan hutan dan kawasan ekologi kritis, 3) Perencanaan kawasan pusat jamak atau permukiman kawasan hinterland dalam konteks regional, 4) Provisi terhadap berbagai macam transportasi, 5) Pelibatan masyarakat, kelompok masyarakat, swasta dan stakeholder yang lain dalam formulasi, adaptasi dan eksekusi kebijakan dan strategi smart growth.
2. Mengembangkan lebih banyak kawasan‐kawasan ekonomi khusus, industri estate, dan kawasan high‐tech lainnya untuk membagi perkembangan kawasan mega‐urbanisasi. Pengembangan kawasan‐kawasan ekonomi dan industri yang tertutup pada sekitar kawasan perkotaan secara tidak langsung akan memisahkan aktifitas perumahan dan industri.
3. Konservasi kawasan pertanian dan perawatan/mempertahankan eksistensi ruang terbuka dengan tujuan mereduksi limbang gas buangan pada kawasan perkotaan.
4. Kebijakan transportasi komprehensive berdasarkan pada rapid transit system dan mengurangi ketergantungan pada mobil pribadi. Penggunaan rail rapid transit dan busway serta memberikan pajak yang tinggi, biaya pada licence mengemudi dan anti‐pollution charge akan mengurangi penggunaan mobil pribadi sehingga dapat menurunkan polusi yang dihasilkan.
5. Redevelopment/peremajaan kawasan pusat kota lama sebagai kawasan konservasi sejarah dan budaya, agar masyarakat yang menempati kawasan tersebut tetap bertahan dan tidak pindah ke kawasan pinggiran kota.
6. Kebijakan dan program menyediakan kawasan perumahan dan layanan dasar pada kaum urban poor dengan menyediaakan perumahan yang terjangkau.
7. Penanganan secara komprehensive dan strategis terkait dengan air bersih dan sistem persampahan.
8. Kebijakan penggunaan energi yang ramah lingkungan. 9. Bentuk demokratis dari sisitem pemerintahan terkait pada pemilihan kepala daerah, efisien
urban management, sistem keuangan kota yang bertanggung jawab serta pengurangan korupsi. 10. Pelibatan masyarakat dalam formulasi, adaptasi dan eksekusi dari urban development program
dan penguatan masyarakat dalam penyeleseian masalah lingkungannya. III. Metode Pendekatan
Dalam melakukan penelitian ini, digunakan pendekatan positivisme yang rasionalistik dan bersifat kualitatif. Dengan jenis data yang digunakan adalah data primer (hasil wawancara/kuesioner dan survey) dan sekunder (dokumentasi, tabulasi dan rekaman oleh pihak lain). Teknik yang digunakan adalah : 1. Teknik Mapping Analysis, Data lebih mudah disajikan dalam bentuk kata‐kata. Di sisi lain, jika
mempertimbangkan dalam konteks konsep dan analisa, maka diperlukan adanya representasi dari data tersebut. Berdasarkan kelemahan dan kekuatan antara model representasi tematik dan word‐mapping merupakan suatu keuntungan jika keduanya digunakan secara bersama. Hal ini terkait dengan efisiensi dan sinergi dalam mengkombinasikan dua pendekatan untuk text analysis. Konsep mapping merupakan pendekatan terintegrasi seperti representasi tematik dan text analysis (Weller&Romney, 1988 dalam Trochim,2002).
2. Teknik identifikasi narasumber, Dalam mengidentifikasi responden yaitu nara sumber dalam penelitian ini digunakan teknik analisis stakeholder. Stakeholder adalah orang, grup, atau institusi yang akan merasakan dampak (baik positif dan negatif) kegiatan yang akan dilakukan atau yang dapat mempengaruhi hasil dari intervensi (Narayan, 1995).
3. Teknik formulasi pola, Pada penelitian ini, teknik formulasi pola pengendalian kawasan mega‐urbanisasi menggunakan teknik delphi. Teknik delphi adalah prosedur peramalan pendapat untuk memperoleh, menukar, dan opini tentang peristiwa di masa depan (Sackman, 1975). Lima prinsip dasar dalam teknik delphi adalah : 1) anonimitas, 2) iterasi, 3) tanggapan balik yang terkontrol, 4) jawaban statistik, dan 5) konsensus nara sumber.
IV. Gambaran Umum
Perkembangan urbanisasi di Kota Surabaya membawa pengaruh terhadap perkembangan wilayah di kawasan pantai utara Jawa Timur hingga kawasan Pasuruan. Sebagian besar wilayah tersebut adalah wilayah dengan potensi pengembangan sebagai kawasan industri. Apabila diperhatikan, aliran pertumbuhan wilayah yang terjadi pada kawasan GERBANGKERTASUSILA Plus ini cenderung berbentuk memusat menuju ke Kota Surabaya (Gambar 4.1). Secara tidak langsung hal ini mengindikasikan adanya backwash effect sumber daya dari kawasan GERBANGKERTASILA Plus menuju ke Kota Surabaya.
Gambar 4.1 Arah Perkembangan GERBANGKERTASUSILA Plus (Sumber : RTRW Jawa Timur 2020)
Pola perkembangan yang berbentuk linear tersebut, semakin memperluas wilayah cakupan mega‐urbanisasi Kota Surabaya. Kondisi ini membuat pengelolaan yang dilakukan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota menjadi tidak optimal. Fenomena ini berdampak pada adanya kawasan‐kawasan desa urban di sekitar Surabaya dan semakin meluas pada Kabupaten dan Kota Sekitarnya
Dalam periode tahun 1971‐2005, penduduk yang menempati kawasan GKS Plus semakin meningkat. Data sensus penduduk BPS 2000‐2005, menunjukkan pertumbuhan penduduk pada kabupaten/kota disekitar Kota Surabaya cukup tinggi. Berdasarkan grafik tersebut terlihat bahwa angka laju pertumbuhan penduduk pada Kabupaten/Kota yang berada di kawasan GERBANGKERTASUSILA Plus menunjukkan angka yang tinggi berkisar diatas 2%. Rata‐rata laju pertumbuhan penduduk dengan angka yang sangat tinggi terdapat pada Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Gresik dan Kota Mojokerto yang memiliki angka pentumbuhan penduduk diatas 10% per sepuluh tahun. Sedangkan Kabupaten Mojokerto dan Kabupaten Bojonegoro, angka pertumbuhan penduduknya relatif lebih rendah dibandingkan Kota/Kabupaten lainnya, yaitu kurang dari 5%. Dengan proporsi untuk penududk kawasan perkotaan dan perdesaan pada tabel 4.1 :
Gambar 4.2 Rata‐rata Laju Pertumbuhan Penduduk GERBANGKERTASUSILA Plus tahun 1971‐2005 (dalam %)
(Sumber : Jawa Timur dalam Angka 2009, diolah) Tabel 4.1 Proporsi Penduduk Perkotaan di GERBANGKERTASUSILA Plus tahun
1971‐2005 (dalam %)
Kota/Kabupaten Tahun
1971 1980 1990 1995* 2000 2005* Kabupaten Pasuruan 4,8 16,0 22,0 24,5 37,7 37,2
Kabupaten Sidoarjo 6,2 21,7 50,4 67,6 85,7 85,6
Kabupaten Mojokerto 0,0 6,8 21,6 29,6 41,8 58,5
Kabupaten Jombang 5,6 11,2 23,7 32,5 54,6 56,3
Kabupaten Gresik 7,9** 14,2 25,8 34,2 49,8 51,3
Kabupaten Tuban 5,6 7,4 11,2 12,7 18,9 16,9 Kabupaten Bojonegoro 6,1 8,4 11,4 12,1 16,8 19,1 Kabupaten Lamongan 2,3 8,6 9,0 9,6 16,8 15,4 Kabupaten Bangkalan 4,6 10,1 15,2 18,6 21,6 21,8
Kota Pasuruan 100,0 97,8*** 88,2*** 83,7*** 96,6*** 96,2***
Kota Mojokerto 100,0 100,0 97,0 98,0 100,0 100,0
Kota Surabaya 100,0 86,1 97,5 98,9 100,0 100,0
Sumber : Sensus Penduduk tahun 1971, 1980, 1990, 1995, 2000 dan 2005, diolah Keterangan : (*) merupakan data dari survey penduduk antar sensus (supas) yang dilakukan
5 tahun, sedangkan yang lainnya merupakan data sensus penduduk tiap sepuluh tahun.
(**) pada tahun tersebut, Kabupaten Gresik masih bernama Kabupaten Surabaya
(***) mulai tahun 1975, terdapat penambahan luas Kota Pasuruan dari Kabupaten Pasuruan sehingga terjadi peningkatan proporsi penduduk Kota yang tinggal di kawasan perdesaan
Berdasarkan pada gambaran tersebut, untuk mengetahui posisi urbanisasi yang ada di
kawasan GERBANGKERTASUSILA Plus dilakukan dengan mengacu pada konsep Mc.Gee mengenai
Paling terurbanisa
si
Tidak terurbanisa
si
proses urbanisasi. Yaitu dengan mempertimbangkan 2 hal (1) Kontribusi PDRB sektor non‐primer pada perekonomian dan (2) Prosesntase tenaga kerja yang bekerja pada sektor non‐primer. Oleh karena itu, maka urbanisasi yang terjadi pada GERBANG‐KERTASUSILA Plus dapat dibagi menjadi beberapa bentuk seperti pada matrik berikut.
Tabel 4.2 Matrik Urbanisasi dari Sisi Ekonomi GERBANGKERTASUSILA Plus
Sumber : hasil analisis, 2010
Perkembangan infrastruktur yang penting adalah pada jaringan jalan. Karena keberadaan jaringan jalan merupakan faktor penting adanya arus urbanisasi dan perubahan pemanfaatan lahan. Jaringan jalan merupakan infrastruktur utama dalam perkembangan suatu wilayah. Suatu wilayah dapat berkembang jika ada prasarana dasar yaitu jaringan jalan yang melintas di kawasan tersebut. Jaringan jalan berdasarkan kewenangan pengelolaannya di kawasan GERBANGKERTASUSILA Plus terdiri dari Jalan Negara, Jalan Propinsi dan Jalan Kabupaten/Kota.
Gambar 4.2 Jaringan Jalan Utama GERBANGKERTASUSILA Plus
(sumber: RTRW Propinsi Jawa Timur 2020)
1. Kawasan urbanisasi meliputi, - Kota Surabaya - Kota Mojokerto - Kabupaten Sidoarjo - Kabupaten Gresik, Karena 50% PDRB dan tenaga kerja bekerja pada sektor non‐primer
2. Kawasan semi‐urbanisasi II
3. Kawasan semi‐urbanisasi I meliputi,- Kabupaten Bangkalan, - Kabupaten Mojokerto, - Kabupaten Lamongan - Kabupaten Tuban, - Kabupaten Bojonegoro, - Kabupaten Jombang, - Kabupaten Pasuruan dan - Kota Pasuruan Karena 50% PDRB pada sektor non‐primer tetapi tenaga kerja bekerja pada sektor non‐primer < 50%
4. Kawasan tidak‐terurbanisasi
Gambar 4.4 Grafik Pertambahan Jaringan Jalan Utama GERBANGKERTASUSILA Plus
(sumber: Dinas Perhubungan Jawa Timur, 2009 diolah)
Perkembangan perumahan dan permukiman di kawasan GERBANGKERTASUSILA Plus membentuk pola linear yang berpusat di Kota Surabaya. Pertumbuhan terjadi disepanjang jalur‐jalur utama dan menuju ke arah Kota Surabaya. Kondisi ini menunjukkan bahwa perkembangan perkotaan yang terjadi di Kawasan GERBANGKERTASUSILA Plus memiliki fenomena urban bias, yaitu fenomena perkembangan spasial dan sosial‐ekonomi perkotaan menuju kawasan pinggiran yang masih memiliki sifat spasial rural. Kondisi ini sering terjadi pada kawasan perkotaan yang sedang mengalami urbanisasi. Fenomena adanya peningkatan aktifitas perkotaan dan perkembangan mengikuti pola perkembangan jalan merupakan cirri utama dalam perkembangan urbanisasi.
Gambar 4.5 Penggunaan Lahan Eksisting GERBANGKERTASUSILA Plus
(Sumber:Studi Penelitian dan Penyiapan Rencana Tata Ruang Wilayah GKS Plus, 2007) V. Analisis dan Pembahasan
Dengan berdasarkan pada data spasial bab sebelumnya. Kemudian membuat indeks sebagai sebuah nilai kondisi spasial wilayah yang terukur, selanjutnya dapat diperlihatkan komparasi kondisi antar wilayah di kawasan GERBANGKERTASUSILA Plus.
Tabel 5.3 Indeks Komposit Sosial‐Ekonomi dan Spasial Kabupaten/Kota di GERBANGKERTASUSILA Plus.
Kabupaten/Kota Indeks komposit sosial ekonomi
Indeks komposit spasial
Kabupaten Pasuruan 0,29 0,17 Kabupaten Sidoarjo 0,36 0,23 Kabupaten Mojokerto 0,12 0,23 Kabupaten Jombang 0,20 0,31 Kabupaten Gresik 0,34 0,24 Kabupaten Tuban 0,25 0,33 Kabupaten Bojonegoro 0,34 0,36 Kabupaten Lamongan 0,17 0,14 Kabupaten Bangkalan 0,10 0,18 Kota Pasuruan 0,10 0,49 Kota Mojokerto 0,20 0,39 Kota Surabaya 0,76 0,51 Sumber : hasil analisis, 2010
Untuk mengetahui hubungan antara sosial‐ekonomi dan spasial maka dilakukan denganperhitungan korelasi antara keduanya. Korelasi adalah alat statistik yang digunakan untuk mengetahui derajat hubungan linier dan sifat dari hubungan tersebut dengan nilai antara ‐1 sampai 1. Sifat dari hubungan yang menggunakan uji korelasi adalah digambarkan dengan tanda +/‐. Jika hubungan antar variabel memiliki hubungan yang sama maka tanda + dan sebaliknya. Berikut diberikan dugaan awal pada pengujian keoptimalan perkembangan kawasan GERBANGKERTASUSILA Plus dilihat dari aspek sosial‐ekonomi dan spasial. H0 = tidak terdapat hubungan antara perkembangan sosial‐ekonomi dan spasial H1 = perkembangan sosial‐ekonomi berhubungan dengan perkembangan spasial atau
setidak‐tidaknya hubungan tersebut derajatnya rendah. Pengujian ini signifikan pada α = 1%.
Berdasarkan perhitungan minitab didapatkan hasil hitungan korelasi antara indeks sosial‐ekonomi dan indeks spasial sebagai berikut:
Dari hasi tersebut terlihat bahwa angka korelasi yang ditunjukkan kurang dari 0,5 dan berada pada kriteria kedua yaitu hubungan yang terjadi antara sosial‐ekonomi dan spasial bersifat substansial. Hasil tersebut menunjukkan bahwa antara sosial‐ekonomi dan spasial saling mempengaruhi walaupun masih bersifat substansial. Nilai P‐value merupakan nilai signifikansi/derajat kebenaran hasil. Dari nilai P‐value terlihat nilai > 0,01 atau berada diatas daerah penolakan, sehingga dapat dikatakan hitungan tersebut valid. Maka dari itu, hipotesis H0 dapat disimpulkan ditolak. Atau hasil akhir menunjukkan bahwa antara sosial‐ekonomi dan spasial terdapat hubungan yang bersifat substansial.
Dengan membuat koordinat antara indeks komposit spasial dan indeks komposit kondisi sosial‐ekonomi tersebut, dapat dibuat model keterkaitan kondisi sosial‐ekonomi dan kondisi spasial dalam sebuah diagram Kartesius yang dapat dijadikan gambaran perkembangan wilayah secara komprehensif.
Pearson correlation of indeks komposit sosial ekonomi and indeks komposit spasial = 0,408
P-Value = 0,188
Gambar 5.1 Hubungan Sosial‐Ekonomi dan Spasial di Kawasan GERBANGKERTASUSILA Plus (Sumber : hasil analisis, 2010)
Nilai kondisi sosial‐ekonomi‐spasial tertinggi saat ini ada di Kota Surabaya. Surabaya sebagai kota yang di tetapkan sebagai pusat kegiatan mempunyai kelengkapan fasilitas, infrastruktur yang paling baik dan modern. Dari grafik tersebut, dapat disimpulkan bahwa perkembangan spasial kawasan GERBANGKERTASUSILA Plus secara umum masih belum optimal. Hal ini terlihat dari ketidakseimbangan hubungan antara perkembangan sosial‐ekonomi dan spasial. Oleh karena itu, diperlukan adanya perumusan pola pengendalian perkembangan/development control kawasan GERBANGKERTASUSILA Plus yang aplikatif dan dinamis sesuai dengan perkembangan kondisi eksistingnya.
Tabel 5.1 Karakater Perkembangan Kabupaten/Kota di GERBANGKERTASUSILA Plus. Kabupaten/Kota Peluang/Kekuatan Kelemahan/Tantangan
Kabupaten Pasuruan
- Potensi lahan penyediaan lahan yang luas
- Mulai berkembang sebagai kawasan industri estate
- Penyediaan infrastuktur perkotaan cukup rendah
- Aksesibilitas menurun akibat bencana lingkungan lumpur panas
Kabupaten Sidoarjo
- Kedekatan jarak dengan Kota Surabaya sehingga spill over kegiatan ekonomi lebih mudah
- Proporsi penduduk yang menempati kawasan perkotaan lebih tinggi
- Laju pertumbuhan penduduk yang sangat tinggi
- Tingkat konversi lahan produktif sangat besar akibat perluasan kawasan industri
- Bencana lingkungan yaitu semburan lumpur panas
Kabupaten Mojokerto
- Potensi lahan penyediaan lahan yang luas khususnya sebagai lahan produktif
- Mulai berkembang sebagai kawasan industri sebagai bentuk perluasan dari Kabupaten Sidoarjo
- Penyediaan infrastuktur perkotaan cukup rendah
- Laju Pertumbuhan penduduk yang cukup rendah dengan luas lahan yang luas
- Aktifitas perekonomian yang rendah
Kabupaten Jombang
- Proporsi penduduk yang menempati kawasan perkotaan lebih tinggi
- Potensi lahan penyediaan lahan yang luas khususnya sebagai lahan produktif
- Penyediaan infrastuktur perkotaan cukup rendah
- Aktifitas perekonomian yang rendah
Kabupaten Gresik - Kedekatan jarak dengan Kota Surabaya
sehingga spill over kegiatan ekonomi lebih mudah.
- Laju pertumbuhan penduduk yang sangat tinggi
- Tingkat Penyediaan infrastuktur
Kabupaten/Kota Peluang/Kekuatan Kelemahan/Tantangan - Proporsi penduduk yang menempati
kawasan perkotaan lebih tinggi perkotaan cukup rendah
Kabupaten Tuban
- Memiliki sumber daya alam berupa bahan galian
- Mulai berkembang sebagai kawasan industri
- Penyediaan infrastuktur perkotaan cukup rendah khususnya pada jaringan jalan penghubung antar Kabupaten/Kota
Kabupaten Bojonegoro
- Laju pertumbuhan ekonomi sangat tinggi
- Memiliki sumber daya alam berupa minyak mentah skala besar
- Tingkat Penyediaan infrastuktur perkotaan cukup rendah khususnya pada jaringan jalan penghubung antar Kabupaten/Kota
Kabupaten Lamongan
- Tingkat Penyediaan infrastuktur perkotaan tinggi
- Mulai berkembang sebagai kawasan industri dan perikanan
- Tingkat konversi lahan produktif sangat besar akibat perluasan kawasan industri
Kabupaten Bangkalan
- Potensi lahan penyediaan lahan yang luas khususnya sebagai lahan industri
- Aksesibilitas/penyediaan infrastruktur antar Kabupaten/Kota meningkat
- Penyediaan fasilitas perkotaan cukup rendah
- Laju Pertumbuhan penduduk yang cukup rendah
- Aktifitas perekonomian yang rendah
Kota Pasuruan
- Tingkat Penyediaan infrastuktur perkotaan tinggi
- Proporsi penduduk perdesaan cukup besar
- Aksesibilitas menurun akibat bencana lingkungan lumpur panas
- Aktifitas perekonomian masih rendah
Kota Mojokerto - Mulai berkembang sebagai kawasan
industri sebagai bentuk perluasan dari Kabupaten Sidoarjo
- Aktifitas perekonomian masih rendah
- Penyediaan fasilitas perkotaan cukup rendah
Kota Surabaya
- Terjadi pergeseran fungsi sebagai kawasan jasa komersial
- Aktifitas perekonomian tinggi - Penyediaan infrastruktur dan fasilitas
perkotaan memadai
- Penurunan kualitas lingkungan hidup
- Tingkat komuting sangat tinggi menyebabkan kepadatan di jalan utama pada jam tertentu
- Penyediaan ruang terbuka kurang Sumber : hasil analisis, 2010
Berdasakan ketimpangan yang ada, diperlukan adanya perumusan pola pengendalian perkembangan kawasan GERBANG‐KERTASUSILA Plus yang aplikatif dan dinamis sesuai dengan perkembangan kondisi eksistingnya. Untuk mendapatkan pola tersebut, dilakukan dengan mengiterasikan kriteria dalam pengendalian perkembangan kawasan yang telah dilakukan sub bab sebelumnya kepada para nara sumber (dalam hal ini adalah stakeholder yang berkepentingan dalam pembangunan kawasan GERBANGKERTASUSILA Plus). Tujuan dari iterasi tersebut adalah untuk mendapatkan kesepakatan mengenai pola pengendalian perkembangan suatu kawasan yang mengalami mega‐urbanisasi seperti kawasan GERBANGKERTASUSILA Plus.
Tabel 5.2 Pola Pengendalian Berdasarkan Karakter Kabupaten/Kota Kabupaten/
Kota Karakter Wilayah Pola Pengendalian yang diperlukan
Kabupaten Pasuruan
Peluang/Kekuatan - Potensi lahan penyediaan lahan
yang luas - Mulai berkembang sebagai
kawasan industri estate
- Aspek Non‐fisik Kebijakan, dan perijinanyang berkonsentrasi pada pembangunan industri estate yang mengadopsi keunikan lokal, dan karakter masyarkat setempat
Dokumen tata ruang konsentrasi pada pengendalian konversi lahan pertanian dengan zonasi dan pemberian insentif serta
Kelemahan/Tantangan - Penyediaan infrastuktur
perkotaan cukup rendah
Kabupaten/ Kota
Karakter Wilayah Pola Pengendalian yang diperlukan
- Aksesibilitas menurun akibat bencana lingkungan lumpur panas
disinsentif- Aspek Fisik
Pembangunan infrastruktur yang mendukung perkembangan kawasan seperti jalan tol dsb.
Kabupaten Sidoarjo
Peluang/Kekuatan - Kedekatan jarak dengan Kota
Surabaya sehingga spill over kegiatan ekonomi lebih mudah
- Proporsi penduduk yang menempati kawasan perkotaan lebih tinggi
- Aspek Non‐fisik Kebijakan berkonsentrasi pada pembatasan urbanisasi, konversi lahan pertanian serta penanganan masalah lumpur panas
Dokumen tata ruang konsentrasi pada pengendalian konversi lahan pertanian dengan zonasi, perijinan dan disinsentif pada industri yang polutif, pertumbuhan penduduk dan penyediaan fasilitas perkotaan.
- Aspek Fisik Perbaikan infrastruktur yang mendukung perkembangan kawasan seperti jalan tol, kereta api serta fasilitas dan utilitas yang mendorong investasi seperti terminal kargo dsb.
Kelemahan/Tantangan - Laju pertumbuhan penduduk
yang sangat tinggi - Tingkat konversi lahan produktif
sangat besar akibat perluasan kawasan industri
- Bencana lingkungan yaitu semburan lumpur panas
Kabupaten Mojokerto
Peluang/Kekuatan - Potensi lahan penyediaan lahan
yang luas khususnya sebagai lahan produktif
- Mulai berkembang sebagai kawasan industri sebagai bentuk perluasan dari Kabupaten Sidoarjo
- Aspek Non‐fisik Kebijakan berkonsentrasi pada intensifikasi dan deversiifikasi hasil pertanian
Kemudahan perijinan pada industri berbasis pertanian
Dokumen tata ruang konsentrasi pada pengembangan kawasan dan penyediaan fasilitas perkotaan.
Pemberian insentif pada para pengembang dan investor
- Aspek Fisik Penyediaan infrastruktur yang mendukung perkembangan kawasan seperti jalan tol, kereta api serta fasilitas dan utilitas yang mendorong tumbuhnya industri.
Kelemahan/Tantangan- Penyediaan infrastuktur
perkotaan cukup rendah - Laju Pertumbuhan penduduk
yang cukup rendah dengan luas lahan yang luas
- Aktifitas perekonomian yang rendah
Kabupaten Jombang
Peluang/Kekuatan - Proporsi penduduk yang
menempati kawasan perkotaan lebih tinggi
- Potensi lahan penyediaan lahan yang luas khususnya sebagai lahan produktif
- Aspek Non‐fisik Kebijakan berkonsentrasi pada intensifikasi dan deversifikasi hasil pertanian
Dokumen tata ruang konsentrasi pada penyediaan fasilitas perkotaan.
Pemberian insentif pada para pengembang dan investor
- Aspek Fisik Penyediaan infrastruktur yang mendukung perkembangan kawasan.
Kelemahan/Tantangan- Penyediaan infrastuktur
perkotaan cukup rendah - Aktifitas perekonomian yang
rendah
Kabupaten Gresik
Peluang/Kekuatan - Kedekatan jarak dengan Kota
Surabaya sehingga spill over kegiatan ekonomi lebih mudah.
- Proporsi penduduk yang menempati kawasan perkotaan lebih tinggi
- Aspek Non‐fisik Kebijakan berkonsentrasi pada pembatasan urbanisasi, konversi lahan pertanian
Kemudahan perijinan pada industri Dokumen tata ruang konsentrasi pada penyediaan fasilitas perkotaan.
Disinsentif pada industri yang polutif.
Kabupaten/ Kota
Karakter Wilayah Pola Pengendalian yang diperlukan
Kelemahan/Tantangan - Laju pertumbuhan penduduk
yang sangat tinggi - Tingkat Penyediaan infrastuktur
perkotaan cukup rendah
- Aspek Fisik Perbaikan infrastruktur yang mendukung perkembangan kawasan seperti jalan tol, kereta api serta fasilitas dan utilitas yang mendorong investasi seperti pelabuhan kargo dsb.
Kabupaten Tuban
Peluang/Kekuatan - Memiliki sumber daya alam
berupa bahan galian - Mulai berkembang sebagai
kawasan industri
- Aspek Non‐fisik Kebijakan, dan perijinanyang berkonsentrasi pada pembangunan industri estate yang mengadopsi potensi SDA lokal (local resources based industry), dan karakter masyarkat setempat
Kemudahan perijinan pada industri dan investor
Dokumen tata ruang konsentrasi pada pengendalian pertambangan dengan zonasi
Pemberian insentif berupa fasilitas dan utilitas kawasan industri
- Aspek Fisik Pembangunan infrastruktur yang mendukung perkembangan kawasan seperti jalan tol, pelabuhan/terminal kargo dsb.
Penyediaan lahan untuk kawasan ekonomi khusus/kawasan berikat
Kelemahan/Tantangan - Penyediaan infrastuktur
perkotaan cukup rendah khususnya pada jaringan jalan penghubung antar Kabupaten/Kota
Kabupaten Bojonegoro
Peluang/Kekuatan - Laju pertumbuhan ekonomi
sangat tinggi - Memiliki sumber daya alam
berupa minyak mentah skala besar
- Aspek Non‐fisik Kebijakan, dan perijinanyang berkonsentrasi pada pembangunan industri estate yang mengadopsi potensi SDA lokal (local resources based industry), dan karakter masyarkat setempat
Kemudahan perijinan pada industri dan investor
Dokumen tata ruang konsentrasi pada pengendalian pertambangan dengan zonasi
Pemberian insentif berupa fasilitas dan utilitas kawasan industri
- Aspek Fisik Pembangunan infrastruktur yang mendukung perkembangan kawasan seperti jalan tol, pelabuhan/terminal kargo dsb.
Penyediaan lahan untuk kawasan ekonomi khusus/kawasan berikat
Kelemahan/Tantangan - Tingkat Penyediaan infrastuktur
dan fasilitas perkotaan cukup rendah khususnya pada jaringan jalan penghubung antar Kabupaten/Kota
Kabupaten Lamongan
Peluang/Kekuatan - Tingkat Penyediaan infrastuktur
perkotaan tinggi - Mulai berkembang sebagai
kawasan industri dan perikanan
- Aspek Non‐fisik Kebijakan berkonsentrasi pada pembatasan konversi lahan pertanian
Kemudahan perijinan pada industri dan perikanan
Dokumen tata ruang konsentrasi pada penyediaan fasilitas perkotaan.
Disinsentif pada industri yang polutif. - Aspek Fisik
Perbaikan infrastruktur yang mendukung perkembangan kawasan seperti jalan tol, kereta api serta fasilitas dan utilitas yang
Kelemahan/Tantangan - Tingkat konversi lahan produktif
sangat besar akibat perluasan kawasan industri
Kabupaten/ Kota
Karakter Wilayah Pola Pengendalian yang diperlukan
mendorong investasi.
Kabupaten Bangkalan
Peluang/Kekuatan - Potensi lahan penyediaan lahan
yang luas khususnya sebagai lahan industri
- Aksesibilitas/penyediaan infrastruktur antar Kabupaten/Kota meningkat
- Aspek Non‐fisik Kebijakan, dan perijinanyang berkonsentrasi pada pembangunan industri estate yang mengadopsi potensi SDA lokal (local resources based industry), dan karakter masyarkat setempat
Kemudahan perijinan pada industri dan investor
Dokumen tata ruang konsentrasi pada pengendalian kawasan industri dengan zonasi
Pemberian insentif berupa fasilitas dan utilitas kawasan industri
- Aspek Fisik Pembangunan infrastruktur yang mendukung perkembangan kawasan seperti jalan tol, pelabuhan/terminal kargo dsb.
Penyediaan lahan untuk kawasan ekonomi khusus/kawasan berikat
Kelemahan/Tantangan - Penyediaan fasilitas perkotaan
cukup rendah - Laju Pertumbuhan penduduk
yang cukup rendah - Aktifitas perekonomian yang
rendah
Kota Pasuruan
Peluang/Kekuatan - Tingkat Penyediaan infrastuktur
perkotaan tinggi - Proporsi penduduk perdesaan
cukup besar
- Aspek Non‐fisik Kebijakan, dan perijinanyang berkonsentrasi pada pembangunan industri yang mengadopsi keunikan lokal, dan karakter masyarkat setempat
Dokumen tata ruang konsentrasi pada pengendalian konversi lahan pertanian dengan zonasi
Pemberian insentif serta disinsentif - Aspek Fisik
Pembangunan infrastruktur yang mendukung perkembangan kawasan seperti jalan tol dsb.
Kelemahan/Tantangan - Aksesibilitas menurun akibat
bencana lingkungan lumpur panas
- Aktifitas perekonomian masih rendah
Kota Mojokerto
Peluang/Kekuatan - Mulai berkembang sebagai
kawasan industri sebagai bentuk perluasan dari Kabupaten Sidoarjo
- Aspek Non‐fisik Kebijakan berkonsentrasi pada peningkatan infrastruktur
Kemudahan perijinan pada industri Dokumen tata ruang konsentrasi penyediaan fasilitas perkotaan.
Pemberian insentif pada para pengembang dan investor
- Aspek Fisik Penyediaan infrastruktur yang mendukung perkembangan kawasan seperti jalan tol, kereta api serta fasilitas dan utilitas perkotaan.
Kelemahan/Tantangan - Aktifitas perekonomian masih
rendah - Penyediaan fasilitas perkotaan
cukup rendah
Kota Surabaya
Peluang/Kekuatan - Terjadi pergeseran fungsi sebagai
kawasan jasa komersial - Aktifitas perekonomian tinggi - Penyediaan infrastruktur dan
fasilitas perkotaan memadai
- Aspek Non‐fisik Kebijakan berkonsentrasi pada pembatasan urbanisasi, konversi lahan pertanian
Pembatasan perijinan pada industri, penggunaan bercampur (mixed used), pembangunan hypermarket dan alih fungsi lahan.
Dokumen tata ruang konsentrasi pada perbaikan fasilitas perkotaan dan mengatasi kemacetan.
Kelemahan/Tantangan- Penurunan kualitas lingkungan
hidup - Tingkat komuting sangat tinggi
Kabupaten/ Kota
Karakter Wilayah Pola Pengendalian yang diperlukan
menyebabkan kepadatan di jalan utama pada jam tertentu
- Penyediaan ruang terbuka kurang
Disinsentif pada industri yang polutif. - Aspek Fisik
Perbaikan infrastruktur yang seperti jalan tol, kereta api serta fasilitas dan utilitas perkotaan.
Sumber : hasil analisis, 2010 VI. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis bab sebelumnya dapat disimpulkan beberapa hal penting terkait dengan penelitian pola pengendalian perkembangan kawasan mega‐urbanisasi GERBANGKERTASUSILA Plus. Peluang/kekuatan yang dimaksud mencakup pada dinamika yang potensial untuk dikembangkan antara lain laju kependudukan, aktifitas sosial‐ekonomi yang mulai berkembang, serta kondisi fisik yang homogen. Di sisi lain, kelemahan/tantangan yang menghambat terkait dengan pola penyebaran kependudukan, infrastruktur, pusat pertumbuhan dan pola pergerakan yang masih terpusat ke Kota Surabaya.
Berdasarkan kesepakatan dari para stakeholder didapatkan bahwa dalam pola pengendalian perkembangan kawasan mega‐urbanisasi diperlukan adanya 2 (dua) pendekatan yaitu secara non‐fisik dan fisik. Secara non‐fisik diperlukan adanya:
Kebijakan yang lintas sektoral, ramah lingkungan dan menyeimbangkan kepentingan antara swasta, pemerintah dan masyarakat.
Proses perencanaan yang bersifat public domain, Prescription dan memeperhatikan aspek spasial dan a‐spasial.
Tata ruang yang terintegrasi secara vertikal, berkenaan dengan lingkungan hidup dan berkelanjutan serta berorientasi masa depan.
Proses perijinan yang efektif, efisien dan equity. Diperlukan insentif dan disinsentif.
Sedangkan secara Fisik diperlukan adanya : Dukungan prasarana yang terhubung antar Kabupaten/Kota, Mass Rapid System dan fasilitas lain yang lintas Kabupaten/Kota.
Terdapat Investasi development generator yaitu pembangunan infrastruktur dan fasilitas skala regional.
VII. Daftar Pustaka [1]. Badan Perencanaan Pembangunan Propinsi Jawa Timur (2005), Rencana Tata Ruang Wilayah
Propinsi Jawa Timur, Bappeda Propinsi Jawa Timur, Surabaya [2]. Badan Perencanaan Pembangunan Propinsi Jawa Timur (2005), Executive Summary Peraturan
Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Jawa Timur, Bappeda Propinsi Jawa Timur, Surabaya
[3]. Badan Pusat Statistik (1971), Sensus Penduduk tahun 1971, BPS, Jakarta [4]. Badan Pusat Statistik (1980), Sensus Penduduk tahun 1980, BPS, Jakarta [5]. Badan Pusat Statistik (1990), Sensus Penduduk tahun 1990, BPS, Jakarta [6]. Badan Pusat Statistik (1995), Survey Penduduk antar Sensus tahun 1995, BPS, Jakarta [7]. Badan Pusat Statistik (2000), Sensus Penduduk tahun 2000, BPS, Jakarta [8]. Badan Pusat Statistik (2005), Survey Penduduk antar Sensus tahun 2005, BPS, Jakarta [9]. Dharmapatni, Ida Ayu Indira. (1997), Fenomena Mega Urban dan Tantangan Pengelolaannya,
Bunga Rampai Perencanaan Pembangunan di Indonesia, Gramedia, Jakarta [10]. Dinas Pekerjaan Umum Tata Ruang Propinsi Jawa Timur (2007), Studi Penelitian dan
Penyiapan Rencana Tata Ruang Wilayah GKS Plus, Kerjasama Swakelola antara Dinas Pekerjaan Umum Cipta Karya Propinsi Jawa Timur dan Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya
[11]. Dinas Perhubungan dan DLLAJ Propinsi Jawa Timur (2009), Panjang dan Kelas Jalan 2006, Dishub, Surabaya
[12]. Firman, T. (2008), The Patterns Of Indonesia’s Urbanization 1980‐2007, Jurnal Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi Bandung, Bandung
[13]. Glasson, John. (1997) An introduction to regional planning concepts, theory and practice second edition, Hutchinson, Melbourne
[14]. Lauqian, Aprodico A. (2004), The Sustainability of Mega‐Urban Regions in Asia and The Pacific, Keynote address at the 19th EAROPH World Planning and Housing Congress, Melbourne, Australia, 19‐22 September 2004, University of British Columbia, Vancouver, B.C., Canada, download dari www.mams.rmit.edu.au tanggal 7 Januari 2008.
[15]. McGee, Terrance Gary, Ginsburg, Norton dan Kopple, Bruce. (1991), The Extended Metropolis Settlement Transition in Asia, University of Hawaii Press, USA
[16]. Nas, Peter J.M., (2003), Ecumenopolis in Asia, Artikel download dari www.fsw.leidenuniv.nl tanggal 23 maret 2006.
[17]. Narayan, Deepa, dan McCraken, Jennifer Rietbergen, (1995), Participation And Social Assessment Tools And Techniques, Social Department, London
[18]. Pain, Kathy, dan Hall, Peter. (2006), The Polycentric Metropolis Learning from Mega City Regions in Europe, Earth scan, London‐UK.
[19]. Sackman, Harold. (1975), Dephi Critique, Health and Company, Lexington MA D.C [20]. Sekretaris Negara. (2007), Undang‐Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 Tentang
Penataan Ruang, Presiden Republik Indonesia, Jakarta [21]. Silas, Johan. (2002), Mega Urbanization: new town and city setting, paper yang
dipresentasikan pada Mega Urbanization seminar at University of Leiden, 12‐15 Desember 2002, Laboratorium perumahan dan lingkungan, ITS Surabaya
[22]. Silas, Johan (2003), Greater Surabaya: The Formation of a Planning Region, IIAS News Letter 31, Juli 2003, artikel mega‐urbanisasi download dari www.iias.nl
[23]. Soegijoko, Sugijanto. (1997), Ruang Lingkup dan Peranan Regional Planning, Bunga Rampai Perencanaan Pembangunan di Indonesia, Gramedia, Jakarta
[24]. Tjahjati, Budhy. (1997), Perencanaan Regional dan Pembangunan Kawasan Terpadu, Bunga Rampai Perencanaan Pembangunan di Indonesia, Gramedia, Jakarta
[25]. Trochim, William M. K. dan Kristin M. Jackson. (2002), Concept Mapping as an Alternative Approach for the Analysis of Open‐Ended Survey Responses, Organizational Research Methods, Vol. 5 No. 4, October 2002 307‐336, Cornell University, Sage Publications, New York
Top Related