PENGARUH PROPORSI TEPUNG UMBI BIT (Beta vulgaris L) DAN
PENAMBAHAN BAHAN PENGEMBANG TERHADAP PEMBUATAN
ROTI KUKUS
Oleh:
LYDIA AINI ZALZABILLA WINANTEA
NIM. 155100101111035
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Teknologi Pertanian
JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2019
ii
iii
iv
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Lydia Aini Zalzabilla Winantea lahir di
Magelang, pada tanggal 17 September 1997, Penulis
merupakan putri pertama dari tiga bersaudara, Ayah bernama
Ir.Anton Winantea dan ibu bernama Ir. Endang Sustyani
Rahayu. Penulis menempuh pendidikan di Sekolah Dasar
(SD) Islam Al Azhar 28 di Solo Baru tahun 2003 - 2009,
kemudian melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah
Pertama (SMP) Islam Al Azhar 21 di Solo Baru tahun 2009 – 2012, Sekolah
Menengah Atas (SMA) Islam Al Azhar di Solo tahun 2012 – tahun 2015. Selama
pendidikan di SD s/d SMA Al Azhar di Solo pernah mengikuti berbagai kegiatan
sekolah adalah pernah mengikuti Olimpiade Biologi di Jakarta pada saat penulis
duduk di bangku SMA, mengikuti studi banding di Jepang selama 1 minggu
tahun 2013, pernah mengikuti musik etnik di sekolah waktu di bangku SMP, dan
kegiatan Osis lainnya.Penulis melanjutkan studi untuk memperoleh gelar sarjana
di program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan Jurusan Teknologi Hasil Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya Malang, Jawa Timur. Penulis
merasa tidak terlalu asing dengan kota Malang karena Almarhum kakek Drh.
Arnold Winantea,MSc juga merupakan Dosen di Fakultas Peternakan,
Universitas Brawijaya Malang, sedangkan ayah juga alumni Jurusan Teknologi
Hasil Pertanian , Fakutas Pertanian, Universitas Brawijaya Malang.Selama
menempuh pendidikan di Fakultas Teknologi Pertanian, penulis aktif dalam
berbagai kegiatan kemahasiswaan dengan menjadi anggota Unit Aktivitas
Karawitan dan Tari (UNITANTRI) periode 2015-2016, menjadi anggota Lembaga
Pers Mahasiswa Techno FTP UB periode 2016-2017, panitia Gebyar Festival
Tari (GFT) UB XXIII tahun 2015, dan Panitia Techno Present FTP UB tahun 2017.
Pada tahun 2018 penulis menjalani Praktek Kerja Lapang (PKL) di Perkebunan
PTP IX yaitu perkebunan teh di desa Jolotigo Pekalongan, selama 1 bulan yaitu
melihat proses lengkap dari pasca panen teh hijau, teh hitam dll sampai dengan
packaging siap di eksport atau dikemas untuk produk lokal
v
PERNYATAAN KEASLIAN TUGAS AKHIR
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama Mahasiswa : Lydia Aini Zalzabilla Winantea
NIM : 155100101111035
Jurusan : Teknologi Hasil Pertanian
Fakultas : Teknologi Pertanian
Judul Tugas Akhir : Pengaruh Proporsi Tepung Umbi Bit (Beta vulgaris L.)
dan Penambahan Bahan Pengembang Terhadap Pembuatan Roti Kukus
.
Menyatakan bahwa,
Tugas Akhir dengan judul di atas merupakan karya asli penulis tersebut di atas.
Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan ini tidak benar saya bersedian
dituntut sesuai hukum yang berlaku.
Malang, 8 Juli 2019
Pembuat Pernyataan,
Lydia Aini Zalzabilla Winantea
NIM: 155100101111035
vi
Lydia Aini Zalzabilla Winantea. 155100101111035. Pengaruh Proporsi Tepung Umbi Bit (Beta vulgaris L.) dan penambahan Bahan Pengembang Terhadap Pembuatan Roti Kukus. Tugas Akhir. Pembimbing: Wenny Bekti S., STP., M Food St., Ph.D
RINGKASAN
Umbi bit merupakan bahan pangan yang memiliki manfaat bagi kesehatan
tubuh. Nutrisi utama umbi bit berasal dari serat, vitamin, mineral dan
mengandung antioksidan. Pencampuran atau penambahan tepung umbi bit pada
roti kukus di antaranya adalah untuk meningkatkan nilai fungsional produk
karena kandungan yang kaya serat, mineral, dan antioksidan. Pada produk
bakery biasanya di gunakan bahan pengembang diantaranya baking powder dan
soda kue. Kedua bahan tersebut memiliki karakteristik yang berbeda sehingga
dapat mempengaruhi kualitas produk yang dihasilkan. Tujuan penelitian ini yaitu
untuk mengetahui pengaruh proporsi tepung umbi bit dan penggunaan
pengembang antara baking powder dan soda kue terhadap karakteristik fisik
meliputi volume pengembangan, tingkat kekerasan, springiness, cohesiveness,
porositas, warna, dan untuk mengetahui karakteristik kimia serta penerimaan
dalam masyarakat pada roti kukus.
Penelitian ini disusun dengan menggunakan metode Rancangan Acak
Kelompok (RAK) dengan dua faktor penelitian. Faktor pertama yaitu
perbandingan tepung bit dan tepung terigu dengan rasio0%:100%,
10%:90%,20% : 80% dan 40%:60%. Faktor kedua adalah penambahan bahan
pengembang dengan konsentrasi 2% menggunakan baking powder dan soda
kue. Penelitian ini dilakukan pengulangan sebanyak 3x. Dilakukan Uji fisik
meliputi: daya pengembangan, warna, ukuran pori, dan tekstur (hardness,
springiness, cohesiveness). Hasil uji fisik terbaik adalah pada perbandingan
Tepung Bit (10%) dan Tepung Terigu (90%) dengan penambahan soda kue
dimana hasil untuk uji daya pengembangan = 61.55+/- 12.8, uji warna = 45.7+/-
3.72, uji porositas = 32.82%, uji kekerasan =. 96.03+/- 27.82, uji springiness=
7.47+/- 0.19, uji cohesiveness= 0.63+/- 0.05 setelah itu dilakukan uji kimia pada
roti kukus bit yang terbaik berdasarkan uji fisik. Didapatkan nilai karbohidrat (%)
74,06, Protein (%) : 11.83, Lemak(%) : 4.87, Kadar Air (%) : 9.24, Pati( %): 66,65,
Serat (%) : 5.25%, Aktifitas Antioksidan (%) : 19,47.
Kata Kunci: Roti kukus, baking powder, soda kue, tepung umbi bit
vii
Lydia Aini Zalzabilla Winantea. 155100101111035. Effect Proportion of Beetroot Powder (Beta vulgaris L.) and Addition of Leavening agents in Steamed Cakes Making . Undergraduate Thesis. Supervisor: Wenny Bekti S., STP., M Food St., Ph.D
SUMMARY
Beetroot is a food that has health benefits. The main nutrients of
beetroot comes from fiber, vitamins, minerals and antioxidants. Mixing or
adding beetroot powder in steamed cakes can increased functional value to
the product because its rich content of fiber, minerals, and antioxidants. In
bakery products, leavening agents are usually used, that is baking powder and
baking soda. Both materials have different characteristics so that they can
affect the quality of the product. The purpose of this study was to determine
the effect of the proportion of beetroot flour and addition of leavening agents of
baking powder and baking soda on physical characteristics covering dough
development, hardness, springiness, cohesiveness, porosity, color, and to
determine the chemical characteristics and acceptance in society in steamed
cakes.
This study was compiled using Randomized Block Design (RBD)
methods with two research factors. The first factor is ratio of beetroot flour and
wheat flour with a ratio of 0%:100%, 10%:90%, 20%:80% and 40%:60%. The
second factor is addition of leavening agents with a concentration of 2% using
baking powder and baking soda. This research was conducted in 3 repetitions.
Physical tests were carried out including: dough developmental, colour, pore
size, and texture (hardness, springiness, cohesiveness). The results of best
physical test are the ratio of Beetroot Flour (10%) and Wheat Flour (90%) with
the addition of baking soda where the results of dough development is 61.55 ±
12.8, colour is 45.7± 3.72, porosity is 32.82 %, hardness is 96.03 ± 27.82,
springiness is 7.47 ± 0.19, and cohesiveness is 0.63 ± 0.05. After that, the
chemical characteristic for the best steamed cakes based on physical test was
carried out. The Carbohydrate value 74.06%, Protein 11.83%, Fat 4.87%,
Moisture content 9.24%, Starch 66.65%, Fiber 5.25%, and Activity of
Antioxidants 19.47%.
Keywords: Steamed Cakes, Baking Powder, Baking Soda, Beetroot powder
viii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas karuniaNya sehingga dapat menyelesaikan laporan skripsi dengan judul “Pengaruh Proporsi Tepung Umbi Bit (Beta vulgaris L.) dan Penambahan Bahan Pengembang Terhadap Pembuatan Roti kukus”. Dengan telah selesainya laporan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Dr. Widya Dwi Rukmini Putri, STP, MP. selaku ketuan jurusan Teknologi
Hasil Pertanian
2. Ibu Wenny Bekti S. STP. M.Food. St. Ph.D selaku dosen pembimbing atas
segala bimbingannya kepada penulis
3. Mama dan Ayah, orangtua tercinta yang selalu mendo’akan, mendukung,
memberi inspirasi, nasihat, dan kasih sayang kepada penulis
4. Fauzi Winantea dan Luthfi Almalik Winantea, adik tersayang yang selalu
memberi dukungan dan penambah semangat
5. Fitrian Aulia, teman satu topik penelitian umbi bit yang selalu saling
memberikan support dan bantuan
6. Puspita, Rara, Elis, dan Ardel selaku teman seperjuangan yang selalu saling
support dan memotivasi
7. Wahyu, Luthfi, Ihza, Azhar, dan Gita yang selalu memberikan dukungan dan
motivasi kepada penulis
8. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu dan telah banyak
membantu penulis selama menyelesaikan proposal
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan laporan ini masih terdapat
kekurangan, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi
penyempurnaan laporan ini. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat dan dapat
memberikan kontribusi yang nyata terhadap perkembangan ilmu pengetahuan.
Malang, 8 Juli 2019
Lydia Aini Zalzabilla Winantea
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN ....................................... Error! Bookmark not defined.
LEMBAR PENGESAHAN ........................................ Error! Bookmark not defined.
RIWAYAT HIDUP ............................................................................................... iv
PERNYATAAN KEASLIAN TUGAS AKHIR ....................................................... v
RINGKASAN ...................................................................................................... vi
SUMMARY ........................................................................................................ vii
KATA PENGANTAR ........................................................................................ viii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xii
DAFTAR TABEL .............................................................................................. xiii
BAB I Pendahuluan ........................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................. 1
1.3 Tujuan ................................................................................................... 2
1.4 Manfaat ...................................................................................................... 2
1.5 Hipotesis .................................................................................................... 2
BAB II Tinjauan Pustaka .................................................................................... 3
2.1 Roti Kukus .................................................................................................. 3
2.2 Umbi Bit ..................................................................................................... 4
2.3 Tepung Umbi Bit ......................................................................................... 6
2.4 Tepung Terigu ............................................................................................ 8
2.5 Telur ......................................................................................................... 10
2.6 Gula ......................................................................................................... 11
2.7 Margarin ................................................................................................... 12
2.8 Bahan Pengembang Roti.......................................................................... 13
2.8.1 Baking Powder ................................................................................... 13
2.8.2 Soda Kue ........................................................................................... 14
2.9 Pengukusan ............................................................................................. 14
BAB III Metodologi Penelitian ......................................................................... 15
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ................................................................... 15
3.2 Alat dan Bahan ......................................................................................... 15
3.2.1 Alat .................................................................................................... 15
3.2.2 Bahan ................................................................................................ 15
3.3 Metode Penelitian..................................................................................... 15
x
3.3.1 Rancangan Penelitian ........................................................................ 15
3,4 Pelaksanaan Penelitian ............................................................................ 16
3.4.1. Peneltian Pendahuluan ..................................................................... 16
3.4.2. Penelitian Utama .............................................................................. 17
3.5 Pengamatan dan Analisis Data ................................................................ 19
3.5.1 Analisis Fisik ...................................................................................... 19
3.5.2 Analisis Kimia .................................................................................... 21
3.5.3 Uji Organoleptik (Hedonic Scale Scoring) .......................................... 22
3.5.4 Analisis Data ...................................................................................... 22
3.5.5 Perlakuan Terbaik .............................................................................. 23
BAB IV Hasil dan Pembahasan ....................................................................... 24
4.1 Karakteristik Bahan Baku ........................................................................ 24
4.2 Karakteristik Fisik Roti kukus .................................................................... 25
4.2.1 Daya pengembangan ......................................................................... 25
4.2.2 .Tekstur .............................................................................................. 28
4.2.3 Porositas ............................................................................................ 34
4.2.4 Warna ................................................................................................ 37
4.3 Pemilihan Produk Roti Kukus Terbaik ..................................................... 45
4.4 Karakteristik Kimia Roti Kukus Terbaik ..................................................... 46
4.4.1 Kadar Air ............................................................................................ 47
4.4.2 Kadar Karbohidrat .............................................................................. 47
4.4,3 Kadar Protein ..................................................................................... 48
4.4.4 Kadar lemak....................................................................................... 49
4.4.5 Kadar Pati .......................................................................................... 49
4.4.6 Kadar Serat....................................................................................... 50
4.4.7 Aktivitas Antioksidan .......................................................................... 50
4.5 Pengujian Organoleptik Roti Kukus Terbaik ............................................. 51
4.5.1 Warna ................................................................................................ 52
4.5.2. Aroma ............................................................................................... 53
4.5 3.Rasa .................................................................................................. 53
4.5.4 Mouthfeel ........................................................................................... 54
4.5.5. Overall liking ..................................................................................... 55
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 56
5.1 Kesimpulan ............................................................................................. 56
5.2 Saran ....................................................................................................... 56
Daftar Pustaka ................................................................................................. 57
xi
LAMPIRAN ........................................................................................................ 63
Lampiran 1. Prosedur Analisis Kimia .............................................................. 63
Lampiran 2. Prosedur Analisis Fisik ............................................................... 66
Lampiran 3. Pengamatan Organoleptik. ......................................................... 69
Lampiran 4. Penentuan Perlakuan Terbaik (Derringer, 1980). ........................ 70
Lampiran 5. Lembar Kuisioner Uji Organoleptik ............................................. 72
Lampiran 6. Data Hasil Analisis Fisik Roti Kukus ........................................... 73
Lampiran 7. Data Hasil Analisis Kimia Tepung Umbi Bit ................................. 80
Lampiran 8. Data Hasil Analisis Kimia Roti Kukus Terbaik ............................. 80
Lampiran 9. Data Hasil Uji Organoleptik Terbaik ............................................ 81
Lampiran 10. Dokumentasi Penelitian ............................................................ 83
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Umbi Bit Merah ................................................................................ 4
Gambar 2.2 alat pengukus modifikasi ................................................................ 14
Gambar 3.1 Pembuatan Roti Kukus................................................................... 18
Gambar 3.2 Texture Profile Analyzer ................................................................. 20
Gambar 4.1 Grafik Rerata Daya Pengembangan Roti Kukus ............................ 25
Gambar 4.2 Grafik Rerata Kekerasan Roti Kukus .............................................. 28
Gambar 4.3 Grafik Rerata Springiness Roti Kukus ............................................ 30
Gambar 4.4 Grafik Rerata Cohesiveness Roti Kukus ........................................ 32
Gambar 4.5 Grafik Rerata Porositas Roti Kukus ................................................ 34
Gambar 4.6 Perbedaan Porositas ...................................................................... 37
Gambar 4.7 Grafik Rerata Tingkat Kecerahan (L) Roti Kukus ............................ 38
Gambar 4.8 Grafik Rerata Tingkat Kemerahan (a) Roti Kukus........................... 40
Gambar 4.9 Grafik Rerata Tingkat Kekuningan (b) Roti Kukus .......................... 42
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Kandungan Kimia Bit Merah ................................................................. 5
Tabel 2.2 Syarat Mutu Tepung Terigu sebagai Bahan Pangan .......................... 10
Tabel 3.1 Desain Penelitian ............................................................................... 16
Tabel 4.1 Analisis Tepung Umbi Bit ................................................................... 24
Tabel 4.2 Rerata Daya Pengembangan Roti Kukus (Proporsi Tepung) ............. 26
Tabel 4.3 Rerata Daya Pengembangan Roti Kukus (Bahan Pengembang) ....... 27
Tabel 4.4 Rerata Kekerasan Roti Kukus (Bahan Pengembang) ........................ 29
Tabel 4.5 Rerata Springiness Roti Kukus (Bahan Pengembang) ...................... 31
Tabel 4.6 Rerata Cohesiveness Roti Kukus (Proporsi tepung)........................... 33
Tabel 4.7 Rerata Porositas Roti Kukus (Proporsi Tepung) ................................. 35
Tabel 4.8 Rerata Porositas Roti Kukus (Bahan pengembang) ........................... 36
Tabel 4.9 Rerata Tingkat Kecerahan Roti Kukus (Proporsi Tepung) ................. 39
Tabel 4.10 Rerata Tingkat Kemerahan Roti Kukus (Proporsi Tepung) ............. 41
Tabel 4.11 Rerata Tingkat Kekuningan Roti Kukus (Proporsi Tepung) ............. 43
Tabel 4.12 Pemilihan Roti Kukus Perlakuan Terbaik .......................................... 45
Tabel 4.13 Parameter Fisik Roti Kukus Perlakuan Terbaik ................................ 46
Tabel 4.14 Komposisi Kimia Roti Kukus PerlakuanTerbaik ................................ 47
Tabel 4.15 Uji Organoleptik Roti Kukus Perlakuan Terbaik ................................ 52
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Umbi bit merupakan bahan pangan yang memiliki manfaat bagi kesehatan
tubuh. Nutrisi utama umbi bit berasal dari serat, vitamin, mineral dan
mengandung antioksidan. Warna merah pada umbi bit mengandung pigmen
betasianin yang diketahui memiliki efek antiradikal dan aktivitas antioksidan yang
tinggi (Agic, 2018). Umbi bit dapat digunakan sebagai pembersih darah dan
racun seperti logam berat, alkohol dan zat kimia beracun. Selain itu umbi bit
dapat memaksimalkan perkembangan otak bayi, mengatasi anemia, dan sebagai
antikanker (Joseph, 2018).
Sejauh ini umbi bit dapat diolah menjadi produk tepung sebagaimana
penelitian yang dilakukan oleh Amelia (2016). Pencampuran atau penambahan
tepung umbi pada kue maupun produk bakery diantaranya adalah untuk
meningkatkan nilai fungsional produk karena adanya kandungan yang kaya serat,
mineral, dan antioksidan. Penggunaan tepung umbi bit dalam pembuatan produk
masih terbatas, sehingga memerlukan penelitian lebih lanjut. Beberapa penelitian
yang ada diantaranya menggunakan bahan suplementasi tepung talas Kafah
(2012), menyatakan bahwa cake yang dibuat dengan campuran tepung terigu
dan tepung talas, semakin banyak proporsi tepung talas menyebabkan kue
semakin kurang mengembang. Aulia (2019), juga menyatakan bahwa
suplementasi tepung bit yang semakin banyak pada produk cookies akan
menurunkan daya patah. Dari hasil penelitian Raysita (2013), melaporkan bahwa
dengan adanya pencampuran tepung mocaf pada tepung terigu akan
menurunkan tingkat pengembangan, kelenturan, dan pori-pori pada chiffon cake.
Demikian pula dengan penelitian Mayasari (2016), menjelaskan bahwa adanya
substitusi tepung labu kuning yang semakin banyak pada pembuatan pound
cake menyebabkan penurunan daya pengembangan serta meningkatkan
kekerasan pada produk.
Pada produk bakery biasanya digunakan bahan pengembang diantaranya
baking powder dan soda kue. Kedua bahan tersebut memiliki karakteristik yang
berbeda sehingga dapat mempengaruhi kualitas produk yang dihasilkan.
Penambahan bahan pengembang pada roti kukus diharapkan dapat mencegah
penurunan volume pengembangan dan dapat meningkatkan kualitas roti kukus.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh proporsi tepung umbi bit dan
2
penggunaan pengembang antara baking powder dan soda kue terhadap
karakteristik fisik meliputi volume pengembangan, tingkat kekerasan, springiness,
cohesiveness, porositas, warna, dan untuk mengetahui karakteristik kimia serta
penerimaan dalam masyarakat pada roti kukus. Adapun roti kukus dipilih sebagai
produk dalam penelitian karena hingga saat ini roti kukus masih banyak
dikonsumsi dan masih disukai oleh masyarakat dari berbagai kalangan maupun
usia, sehingga dengan penggunaan tepung umbi bit pada roti kukus dapat
digunakan sebagai diversifikasi pangan dan menambah nilai fungsional produk.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana pengaruh proporsi tepung umbi bit dan penggunaan bahan
pengembang antara baking powder dengan soda kue terhadap sifat fisik, kimia
dan penerimaan masyarakat pada roti kukus.
1.3 Tujuan
Membandingkan pengaruh proporsi tepung umbi bit dan penggunaan
bahan pengembang antara baking powder dengan soda kue terhadap sifat fisik,
kimia dan penerimaan masyarakat pada roti kukus.
1.4 Manfaat
Manfaat penelitian ini dapat digunakan untuk masyarakat luas untuk
menambah wawasan dan ilmu bahwa substitusi tepung umbi bit dapat
menambahkan nilai gizi karena kandungan tepung umbi bit sangat bermanfaat
yaitu kandungan antioksidan yang tinggi, protein dan serat kasar yang bagus
untuk perbaikan gizi masyarakat luas.
1.5 Hipotesis
Diduga akan diperoleh rasio tepung terigu dan tepung umbi bit, serta
penambahan bahan pengembang baking powder atau soda kue berpengaruh
terhadap sifat fisik sebagai dasar penetapan perlakuan yang menghasilkan roti
kukus terbaik
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Roti Kukus
Roti kukus merupakan kue yang terbuat dari adonan liquid dengan
pencampuran empat bahan dasar yaitu tepung, gula, telur, dan lemak yang
kemudian dicetak dalam loyang dan dikukus dalam pengukus hingga matang.
Selain itu roti kukus dapat dibuat dengan menggunakan bahan tambahan lainnya
seperti shortening, bahan pengembang, susu, bahan penambah aroma, dan
garam. Bahan-bahan ini bertujuan untuk menghasilkan remah kue yang halus,
tekstur yang empuk, warna yang menarik dan aroma yang baik (Rahayu, 2010).
Roti kukus merupakan salah satu hidangan selingan yang memiliki rasa
manis dan tekstur yang lembut. Tiap bahan yang digunakan dalam pembuatan
roti kukus memiliki fungsi yang berbeda-beda untuk menghasilkan kualitas yang
baik, yaitu bahan pembentuk susunan roti kukus meliputi tepung, telur, susu.
Kemudian bahan pengempuk roti kukus meliputi gula, lemak, baking powder
(Rahayu, 2010). Proses pembuatan roti kukus memerlukan ketelitian dan
keterampilan dalam meramu bahan, sehingga menghasilkan kualitas yang baik.
Metode yang tepat dalam pembuatan roti kukus akan membantu meminimalisir
kesalahan yang terjadi selama proses. Dalam pembuatan roti kukus yang
terpenting adalah pengembangan dari roti kukus tersebut. Proses
pengembangan roti kukus mengalami tiga (3) tahapan yaitu 1) tahap pengocokan.
Pada tahap ini adonan diberi tekanan udara sehingga adonan akan
mengembang dan ringan. Pengocokan adonan dalam menggunakan alat mixer.
2) tahap peragian, pada tahapan ini adonan mengalami pengembangan
sehingga adonan bertambah besar dan ringan. Bahan untuk proses peragian
yaitu menggunakan baking powder atau soda kue. 3) tahap pengukusan, dalam
proses pengukusan adonan akan menerima panas dari segala arah sehingga
adonan mengalami pengembangan kembali sekaligus mengalami proses
pematangan (Ekayani, 2011).
Suhu pengukusan pada setiap jenis roti kukus berbeda tergantung jenis,
ukuran, jumlah unit, dan formula roti kukus. Semakin lengkap formula, maka
suhu pengukusannnya lebih rendah, sedangkan formula yang kurang lengkap di
kukus dengan suhu yang lebih tinggi (Ekayani, 2011).
a. Formula lengkap (Rich formula) mengandung banyak telur dan lemak
serta gas atau aerasi diperoleh selama pengocokan (Risa, 2007).
4
b. Formula kurang lengkap (lean formula) kandungan lemak dan telurnya
diganti dengan cairan, sehingga ditambahkan baking powder untuk
mengompensasi hilangnya sumber aerasi atau gas (Risa, 2007).
Kualitas roti kukus yang dihasilkan tergantung dari bahan baku yang
digunakan. Untuk menghasilkan roti kukus dengan kualitas yang baik, terdapat
beberapa faktor yang harus diperhatikan diantaranya bahan baku yang
digunakan harus bermutu tinggi, artinya kualitas bahan baku yang digunakan
masih dalam keadaan fresh atau masih segar misalnya telur yang digunakan
harus dalam keadaan segar, tepung yang digunakan masih baru, tidak
menggumpal. Faktor lain yaitu proses pencampuran adonan dan pembuatannya
sesuai, serta lama pemasakan dan suhu yang digunakan juga harus tepat
(Faridah, 2008).
2.2 Umbi Bit
Umbi bit merupakan tanaman yang termasuk dalam kelas Beta vulgaris L.
dari keluarga Chenopodiaceae. Varietas dari tanaman ini yang paling terkenal
yaitu beetroot atau garden beet yang berwarna merah atau ungu disebabkan
oleh gabungan pigmen ungu betasianin dan pigmen kuning betasantin. Umbi bit
ditanam di daerah dataran tinggi pada ketinggian 1000 m dpl. Kebutuhan umbi
bit saat ini terus meningkat karena adanya pertumbuhan jumlah penduduk, dan
karena adanya perubahan pola konsumsi masyarakat di berbagai negara (Lingga,
2010). Syarat agar umbi bit dapat tumbuh dengan baik yaitu tanahnya yang
subur, gembur, dan lembab. Selain itu tanah liat yang berlumpur dengan pH 6-7
lebih sesuai untuk pertumbuhan umbi bit. Di Indonesia, umbi bit sudah mulai
banyak dikembangkan khususnya di Pulau Jawa terutama di daerah Cipanas,
Lembang, Pengalengan, Batu, dan Kopeng. Di Kota Batu Jawa Timur banyaknya
umbi bit yang dapat diproduksi dapat mencapai 10 ton per hektar (Wardani,
2017).
Gambar 2.1 Umbi Bit Merah (Kumar, 2015).
5
Umbi bit merah merupakan sayuran penting yang tumbuh di berbagai
belahan dunia. Dari segi kesehatan, kandungan terpenting yang terdapat dalam
umbi bit yaitu mineral dan pigmen. Umbi bit merupakan sumber pigmen
betasianin yang banyak digunakan oleh industri pangan sebagai pewarna
makanan alami. Pigmen tersebut sangat efektif untuk meghambat peroksidasi
lipid,antikarsinogenik, antibakteria, dan antivirus (Agic, 2018).Betasianin
merupakan pigmen berwarna merah atau violet yang merupakan kelompok
flavonoid bersifat polar karena mengikat gula, pigmen bernitrogen dan
merupakan pengganti antosianin. Betasianin yang terdapat dalam umbi bit merah
diketahui memiliki efek antiradikal dan aktivitas antioksidan yang tinggi
(Novatama, 2016). Berdasarkan data yang didapatkan dari USDA, kandungan
kimia dalam 100 g umbi bit dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Kandungan Kimia Bit Merah (per 100 g bahan)
Nutrisi Kandungan
Air (g) 87,58
Energi (kkal) 43
Protein (g) 1,61
Total Lipid, Lemak (g) 0,17
Karbohidrat (g) 9,56
Serat, Total Serat (g) 2,8
Total Gula (g) 6,76
Kalsium, Ca (mg) 16
Besi, Fe (mg) 0,8
Magnesium, Mg (mg) 23
Phosphorus, P (mg) 40
Potassium, K (mg) 325
sodium, Na (mg) 78
Zinc, Zn (mg) 0,35
Vitamin C, total asam askorbat (mg) 4,9
tiamin (mg) 0,031
Riboflavin (mg) 0,04
Niacin (mg) 0,334
Vitamin B-6 (mg) 0,067
Folat, DFE (µg) 109
Vitamin A, RAE (µg) 2
vitamin A (IU) 33
Vitamin K (µg) 0,2
asam lemak, total jenuh (g) 0,027
Sumber: (USDA, 2018)
6
Umbi bit merah mengandung pigmen betalain pembentuk warna merah
keunguan yang berperan sebagai antioksidan sehingga berpotensi sebagai
pangan fungsional. pengujian kandungan antioksidan pada bit merah dapat
dilakukan dengan analisis kimia metode kromatografi serta spektroskopi dengan
DPPH (1,1-difenil-2-pikrilhidrazil) (Latorre, 2012). Pigmen Betalain merupakan
senyawa gabungan yang tersusun dari dua senyawa pigmen yaitu betasianin
(merah-violet) dan betaxantin (kekuningan). Rata-rata bit mengandung betalain
sebesar 1000 mg/100 g berat kering atau 120 mg/100 g berat basah
(Andarwulan, 2012). Betalain bersifat larut air, kaya nitrogen, dan menghasilkan
warna kemerahan sehingga berpotensi untuk digunakan sebagai alternatif
pewarna antosianin yang terkandung pada jenis buah lain karena stabilitas dan
resistensi betalain terhadap pengaruh pH dan suhu lebih baik terutama pada pH
asam rendah (Novatama, 2016).
Kestabilan pigmen betalain pada bit merah dipengaruhi oleh nilai pH.
Pigmen dalam bit merah lebih stabil pada kondisi asam rendah yaitu 4,5.
Penurunan pH akan menyebabkan perubahan pigmen merah menjadi keunguan,
sedangkan kenaikan pH menyebabkan perubahan menjadi kuning kecokelatan.
Bit merah dikenal sebagai sayuran dengan kandungan antioksidan tertinggi yaitu
1,98 mmol/100 g (Ananda, 2008). Kandungan senyawa antioksidan dalam bit
merah terdiri dari senyawa flavonoid (350-2760 mg/kg), betasianin (840-900
mg/kg), betanin (300-600 mg/kg), asam askorbat (50-868 mg/kg), dan karotenoid
(0,44 mg/kg) (Ananda, 2008). Antioksidan merupakan zat penghambat reaksi
oksidasi oleh radikal bebas yang dapat menyebabkan kerusakan asam lemak tak
jenuh, kerusakan pada membran dinding sel, pembuluh darah, basa DNA dan
jaringan lipid yang kemudian menimbulkan penyakit degeneratif. Radikal bebas
merupakan atom atau molekul yang tidak stabil dan sangat reaktif karena
memiliki elektron yang tidak berpasangan pada orbital terluarnya (Novatama,
2016).
2.3 Tepung Umbi Bit
Salah satu bentuk olahan umbi bit yaitu pembuatan tepung umbi bit.
Tepung merupakan salah satu proses alternatif setengah jadi yang dianjurkan
karena lebih tahan disimpan, mudah dicampur, diperkaya zat gizi (difortifikasi),
dibentuk dan lebih cepat dimasak (Widowati, 2009). Pembuatan tepung umbi bit
mendorong munculnya produk olahan umbi bit yang lebih beragam, praktis dan
7
sesuai kebiasaan konsumsi masyarakat saat ini sehingga dapat menunjang
program diversifikasi pangan.
Tepung umbi bit merupakan pangan fungsional yang dapat memberikan
warna alami dalam pembuatan produk pangan. Pigmen betalain pada bit
merupakan antioksidan yang jarang digunakan dalam produk dibandingkan
dengan antosianin dan betakaroten. Menurut SNI 0838.5:2016, tepung ubi kayu
merupakan tepung yang dibuat dari bagian umbi ubi kayu yang dapat dimakan
melalui proses penepungan ubi kayu iris, parut, maupun bubur kering dengan
ketentuan-ketentuan kebersihan, dengan kadar air maksimal 12%.
Tepung umbi bit didapatkan dari umbi bit segar yang telah dikeringkan
dan dihancurkan, kemudian diayak hingga diperoleh butiran kasar dalam ukuran
tertentu yang bertujuan agar lebih awet dalam masa simpannya. Namun setelah
menjadi tepung, perlu diperhatikan tingkat ketahanan dan keawetan tepung umbi
bit serta adanya perubahan karakteristik terhadap umbi bit selama penyimpanan.
Selama penyimpanan yang sangat berpengaruh adalah kadar air dan
keberadaan mikroba yang menyebabkan kerusakan pada tepung umbi bit.
Tepung yang berasal dari golongan umbi-umbian akan memiliki kadar air sekitar
10-12% (Widowati, 2009).
Keunggulan dari pengolahan umbi bit menjadi tepung umbi bit yaitu
produk menjadi lebih praktis dan lebih mudah didistribusikan, meningkatkan daya
guna, hasil, dan nilai guna, sehingga lebih mudah diolah menjadi produk yang
memiliki nilai ekonomi tinggi, serta lebih mudah dicampur dengan tepung-tepung
dan bahan lainnya. kualitas tepung umbi bit yang dihasilkan tergantung dari
bahan baku yang digunakan. Semakin baik kualitas bahan baku maka tepung
umbi bit yang dihasilkan juga akan semakin baik. Tepung umbi bit menandung
zat-zat yang sangat diperlukan oleh tubuh, seperti zat besi, vitamin C,
antioksidan, dan serat. Selain itu tepung umbi bit juga mengandung beberapa
nutrisi seperti karbohidrat, protein, dan memiliki kadar air yang tinggi (Grace,
2016). Dengan tepung umbi bit sebagai pengganti tepung terigu dapat
menyebabkan perubahan karakteristik fisik pada roti kukus. Menurut Wulandari
(2016), adanya substitusi tepung lain selain tepung terigu akan menyebabkan
berkurangnya presentase gluten pada adinan yang menyebabkan berurang
jumlah karbondioksida yang dapat terperangkap. Sehingga dapat menyebabkan
volume roti kurang mengembang, pori-pori yang terlalu kecil dan rapat, terdapat
pula pori-pori yang besar disebagian besar area. Hal ini disebabkan karena
8
struktur yang dibentuk tidak kokoh, sehingga gas dapat keluar dari struktur awal
dan bergabung dengan struktur lainnya sehingga membentuk pori yang besar
(Wulandari, 2016).
2.4 Tepung Terigu
Bahan yang digunakan dalam pembuatan roti kukus salah satunya adalah
tepung terigu. Berdasarkan SNI 3751:2018, tepung terigu sebagai bahan
makanan merupakan tepung yang dibuat dari endosperma biji gandum Triticum
aestivum L. (Club wheat) dan atau Triticum compactum Host dengan
penambahan Besi (Fe), Seng (Zn), vitamin B1 (Tiamin), vitamin B2 (riboflavin),
dan asam folat sebagai fortifikan.Kadar air yang dijadikan syarat mutu tepung
terigu sebagai bahan makanan yaitu sebesar maksimal 14,5%.
Komponen penyusun tepung terigu dari kandungan tertinggi hingga
terendah terdiri dari pati, protein, lemak, serat, mineral, dan vitamin (Keran, 2009).
Kadar air berpengaruh pada umur simpan tepung terigu, sehingga apabila kadar
air melebihi 14,5% dapat menimbulkan jamur, bakteri dan serangga untuk
tumbuh sehingga kualitas tepung terigu akan menurun selama penyimpanan
(Keran, 2009). Pati pada tepung terigu terdapat dalam bentuk granula yang kecil
(1-40µm), dan berfungsi sebagai bahan pengisi dan pembentuk tekstur. Tepung
terigu memiliki kelebihan dibandingkan dengan serealia lainnya yaitu
kemampuan dalam membentuk gluten pada adonan yang menyebabkan elastis
atau tidak mudah hancur pada proses pencetakan dan pemanasan. Protein pada
tepung terigu yang tidak larut dalam air akan menyerap air dan ketika diaduk
akan membentuk gluten yang akan menahan gas CO2 hasil reaksi ragi dengan
pati didalam tepung (Shaumi, 2016). Tepung terigu dibagi menjadi tiga jenis
berdasarkan kandungan proteinnya, yaitu (Syarbini, 2013):
1. Tepung terigu protein rendah (soft flour) yang memiliki kadar protein 7 hingga
8,5% digunakan untuk membuat gorengan, kue dan biskuit yang tidak
membutuhkan pengembangan yang intensif. Contohnya terigu dengan merk
dagang Kunci Biru
2. Tepung terigu protein sedang (medium flour) yang memiliki kandungan protein
senilai 9,5% hingga 11%. Ideal untuk pembuatan roti, mie, kuem serta bikuit
yang membutuhkan pengembangan yang sedang. Contohnya terigu dengan
merk dagang Segitiga Biru.
9
3. Tepung terigu protein tinggi (hard flour) yang memiliki kandungan protein
senilai 12 hingga 14%. Tepung terigu jenis ini ideal untuk pembuatan roti dan
mie yang membutuhkan pengembangan tinggi. Contohnya terigu dengan
merk dagang Cakra Kembar
Tepung terigu mengandung pati yang cukup tinggi yaitu sekitar 68-78%.
Pati merupakan molekul karbohidrat kompleks yang terdiri dari ikatan gula
sederhana berbentuk buliran kecil. Pati terdiri atas amilosa dan amilopektin.
Proporsi amilosa dan amilopektin berbeda-beda tergantung dari sumber pati
tersebut, namun umumnya pati memiliki proporsi amilopektin yang lebih besar
dibanding amilosa. Pada struktur granula pati, amilosa dan amilopektin tersusun
dalam suatu cincin-cincin. Amilosa dan amilopektin dalam granula pati
dihubungkan dengan ikatan hidrogen. Proses gelatinisasi terjadi apabila pati
dipanaskan dalam air yang menyebabkan ikatan hidrogen terputus dan air
masuk kedalam granula pati. Meresapnya air kedalam granula menyebabkan
terjadinya pembengkakan granula pati. Pati tergelatinisasi dengan adanya air
akan membentuk struktur pasta pati. Pasta pati akan bercampur dengan granula
pati yang belum tergelatinisasi sehingga prinsip dari gelatinisasi yaitu terjadi
karena adanya pembentukan jaringan tiga dimensi oleh molekul primer yang
terentang pada seluruh volume gel yang terbentuk dengan memerangkap
sejumlah air didalamnya. Terjadi ikatan silang pada polimer sehingga molekul
pelarut akan terjebak diantaranya, terjadi perpindahan molekul pelarut dan akan
terbentuk struktur yang kaku yang tahan terhadap gaya maupun tekanan tertentu
(Nurfajri, dkk 2017). Syarat mutu tepung terigu menurut SNI 3751-2009 dapat
dilihat pada tabel 2.2 di bawah ini.
10
Tabel 2.2 Syarat Mutu Tepung Terigu sebagai Bahan Pangan
No. Jenis Uji Satuan Persyaratan
1 keadaan
a. Bentuk - serbuk
b. Bau - Normal (bebas dari bau asing)
c. Warna - putih khas terigu
2 Benda asing - tidak boleh ada
3 serangga dan semua bentuk stadia dan potongan-potongan yang tampak
- tidak boleh ada
4 kehalusan lolos ayakan 212 (mesh no.70) (b/b)
% Min. 95
5 kadar air % maks. 14,5
6 kadar abu % maks. 0,70
7 protein % min. 7,0
8 keasaman mg KOH/100 g maks. 50
9 falling number (atas dasar kadar air 14%)
detik Min. 300
10 besi (Fe) mg/Kg Min. 50
11 zeng (Zn) mg/Kg Min. 30
12 vitamin B1 (Thiamin) mg/Kg Min. 2,5
13 vitamin B2 (Riboflavin) mg/Kg Min. 4
14 asam folat mg/Kg Min. 2 15 cemaran logam
a. Timbal (Pb) mg/Kg Maks. 1,0 b. Raksa (Hg) mg/Kg Maks. 0,05 c. Cadmium (Cd) mg/Kg Maks. 0,1
16 cemaran arsen mg/Kg Maks. 0,50 17 cemaran mikroba
a. Angka lempeng total koloni/g Maks. 1x106
b. Escherichia coli Angka Paling
Mungkin/g Maks. 10
c. Kapang koloni/g Maks. 1x104 d. Bacillus cereus koloni/g Maks. 1x104
Sumber : SNI 3751-2009
2.5 Telur
Telur merupakan salah satu produk peternakan unggas yang memiliki
kandungan gizi lengkap dan mudah dicerna. Telur banyak dikonsumsi oleh
masyarakat umum karena mudah didapatkan dan memiliki harga yang
terjangkau (Afifah, 2013). Hampir setiap bagian telur memiliki unsur yang sangat
bermanfaat bagi tubuh. Selain mengandung protein, telur juga kaya dengan
sumber nutrisi lain seperti kalori, vitamin, dan mineral. Dengan kandungan nutrisi
seperti itu maka ahli gizi menyarankan agar telur banyak dikonsumsi oleh anak-
anak yang sedang tumbuh. Telur juga sangat baik dikonsumsi oleh ibu hamil
maupun menyusui bahkan juga dianjurkan diberikan pada orang yang sakit untuk
11
mempercepat proses kesembuhan. Pada sebutir telur, kadar protein yang
diperlukan tubuh sebanyak 10,8% pada putih telur dan 16,3% pada kuning telur
(Afifah, 2013).
Dalam masyarakat terdapat banyak cara dalam mengonsumsi telur,
seperti dijadikan lauk pauk, dikonsumsi secara mentah atau dapat dimanfaatkan
sebagai obat tradisional. Salah satu cara dalam pengolahan telur yaitu dapat
digunakan dalam pembuatan roti kukus. Telur merupakan bahan yang penting
dalam pembuatan roti kukus atau roti pada hampir semua negara di seluruh
dunia karena gizinya yang tinggi terutama dalam kandungan protein. Selain itu
telur memiliki karakteristik sebagai emulsifikasi, koagulasi, foaming, dan
flavornya. Karakteristik ini sangat dibutuhkan dalam terbentuknya volume, tekstur,
dan warna yang diinginkan dalam pembuatan roti kukus (Dewi, 2015).
Kuning telur dapat digunakan sebagai emulsifier yang berperan dalam
pembentukan roti kukus. Kuning telur akan membantu meratakan penyebaran
lemak yang ada dalam adonan roti kukus. Hal ini karena kuning telur
mengandung lesitin (Amendola dan Rees, 2003). Lesitin dalam kuning telur
memiliki daya pengemulsi sehingga dapat membentuk sistem emulsi yang stabil
dalam adonan roti kukus. Adanya lesitin saat proses pencampuran adonan dapat
memoercepat dispersi lemak dan meratakan komponen-komponen dalam
adonan karena memiliki bagian yang larut dalam minyak dan yang larut dalam air
(Norn, 2015).
Putih telur dapat memerangkap udara dalam adonan dan membentuk
foam dengan adanya pengocokan. Hal ini karena putih telur mengandung protein
yaitu globulin, ovomucin, conalbumin dan lysozyme yang akan mengalami
denaturasi protein karena adanya perlakuan mekanis yang diberikan. Udara
yang terperangkap akan meningkatkan volume dan membentuk tekstur berpori
pada kue setelah dipanggang atau kukus. Ovomucin berperan meningkatkan
stabilitas foam, sedangkan ketiga protein lainnya berfungsi dalam pembentukan
foam (Huopalahti, 2007).
2.6 Gula
Gula merupakan salah satu komoditi strategis bagi perekonomian
Indonesia, karena merupakan salah satu dari sembilan bahan pokok yang
dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Umumnya gula dikonsumsi oleh
masyarakat sebagai sumber energi, pemberi cita rasa, dan sebgian lainnya
digunakan sebagai bahan baku industri makanan dan minuman. Gula
12
merupakan bahan pemanis yang dapat dihasilkan dari berbagai bahan seperti
tebu, jagung, kelapa, dan bahan lainnya (Hernanda, 2011).
Di Indonesia, gula pasir merupakan jenis gula yang paling banyak
diproduksi yang diperoleh dari hasil ekstraksi dan pemurnian dari tanaman tebu.
Gula termasuk golongan karbohidrat yang merupakan sumber energi untuk
aktivitas manusia. Gula terdiri dari dua jenis yaitu monosakarida dan disakarida.
Monosakarida merupakan bentuk paling sederhana dari karbohidrat, contohnya
glukosa dan fruktosa, sedangkan disakarida tersusun dari dua atau lebih
monosakarida, contohnya sukrosa (Colville, 2016).
Dalam pembuatan roti kukus, gula berfungsi untuk menghaluskan crumb,
memberi rasa manis dan menutupi rasa tidak enak, membantu aerasi, menjaga
kelembaban, memberi warna coklat pada kulit roti kukus karena proses
karamelisasi pada saat proses pemanasan dan memperpanjang umur simpan.
Gula juga berfungsi untuk mengempukkan dan melembutkan susunan roti kukus.
Apabila gula yang digunakan terlalu banyak, adonan roti kukus akan turun
karena adonan menjadi terlalu berat, sehingga perbandingan gula dan telur
harus seimbang (Rahayu, 2010).
2.7 Margarin
Margarin atau oleomargarin merupakan bahan tambahan yang biasa
digunakan sebagai bahan olesan maupun tambahan pada pangan yang
umumnya terbuat dari minyak nabati, berbentuk plastis atau emulsi cairan, dan
mengandung tidak lebih dari 80% lemak total berdasarkan hasil analisis dengan
metode yang ditetapkan oleh Association of Official Analytical Chemists (AOAC).
Perbedaan margarin dengan mentega yaitu margarin tidak mengandung
kolesterol dan rendah kandungan lemak jenuh (FDA, 2018). Menurut FDA (2018),
dalam regulasi nomor 21CFR166.110, Margarin terbuat dari bahan utama berupa
lemak atau minyak nabati atau campuran dari keduanya, lemak yang berasal dari
karkas hewan serta segala minyak yang berasal dari hewan laut yang telah diberi
status GRAS. Lemak tersebut mengandung sedikit fosfatida dan asam-asam
lemak bebas secara alami. Selain bahan utama tesebut, bahan tambahan lain
yang perlu ditambahkan pada pembuatan margarin yaitu air atau susu dan
protein dari whey dalam bentuk cair maupun kering. Whey yang termodifikasi
dengan pengurangan laktosa dan mineral serta komponen non laktosa seperti
albumin, kasein, kaseinat, protein nabati, atau isolat protein. Bahan lain yang
biasanya ditambahkan dalam margarin untuk meningkatkan kualitas fisik dan
13
kimia yaitu vitamin A atau provitamin A, vitamin D, garam (NaCl atau KCl),
pemanis, pengemulsi, pengawet, perisa, asidulan, dan alkalizer.
Margarin adalah produk berbasis lemak yang luas penggunaannya dalam
proses pengolahan makanan. Margarin biasa digunakan sebagai olesan untuk
langsung dimakan maupun sebagai campuran adonan dalam proses baking atau
memasak untuk memberikan tekstur yang baik serta citarasa pada makanan.
Margarin merupakan campuran minyak nabati dan air yang merupakan emulsi
water-in-oil (w/o) dan mengandung setidaknya 80% fase lemak (O’Brien, 2009).
Kandungan lemak pada margarin yang cukup tinggi penting dalam pembuatan
roti kukus karena berfungsi sebagai bahan untuk menimbulkan rasa gurih, dan
menambah aroma. Minyak nabati yang sering digunakan dalam pembuatan
margarin yaitu minyak kelapa, minya inti sawit, minyak biji kapas, minyak wijen,
minyak kedelai, dan minyak jagung (O’Brien, 2009).
Margarin dalam produk roti kukus dapat digunakan sebagai shortening,
melembutkan untuk meningkatkan flavor dan karakteristik makanan,
meningkatkan aerasi untuk mengembangan dan volume, memberi kualitas
tekstur yang diinginkan, menjaga kelembaban untuk meningkatkan umur simpan,
dan membentuk struktur. Namun fungsi lemak dalam roti kukus yang paling
dominan yaitu sebagai whipping agent, emulsifying, dan shortening (Hui, 2006).
2.8 Bahan Pengembang Roti
2.8.1 Baking Powder
Baking powder merupakan campuran sodium bikarbonat dengan pereaksi
asam. Pereaksi asam yang ditambahkan yaitu garam asam dari asam tartarat,
asam fosfat, atau komponen aluminium. Baking powder dapat digunakan
sebagai leavenig agent atau bahan yang berfungsi sebagai pengembangan
produk dalam pembuatan roti kukus dan mengandung partikel sodium bikarbonat
sebagai sumber. Baking powder apabila terkena panas akan menghasilkan gas
CO2 dengan reaksi sebagai beriktut (Helmenstine, 2014):
2 NaHCO3→ Na2CO3 +H2O + CO2
Leavening agent memiliki fungsi utama yaitu untuk mengembangkan
produk yang sebagai sumber karbondioksida. Penggunaan baking powder dalam
pengembangan produk memiliki kelebihan yaitu harga yang terjangkau, tidak
mempengaruhi rasa produk, dan tidak beracun (Rieuwpassa, 2005).
14
2.8.2 Soda Kue
Soda kue disebut juga sebagai baking soda, natrium bikarbonat
merupakan senyawa kimia dengan rumus NaHCO3. Senyawa ini merupakan
kristal yang seringkali terdapat dalam bentuk serbuk. Soda kue larut dalam air.
senyawa ini umumnya digunakan dalam pembuatan roti atau kue karena
bereaksi dengan bahan lain membentuk gas karbondioksida yang dapat
menyebabkan roti mengembang (Sholihah, 2015).
Soda kue hanya mengandung natrium bikarbonat yang bersifat basa.
Soda kue akan bereaksi ketika dicampurkan dengan bahan yang bersifat asam,
terjadi reaksi kimia yang menghasilkan gelembung karbon dioksida dan
terperangkap sehingga membuat kue mengembang. Reaksi berlangsung
seketika setelah bahan-bahan dicampurkan, sehingga keik yang telah
dicampurkan soda kue harus segera dipanggang atau dikukus. Baking soda
memiliki sekitar tiga hingga empat kali lebih kuat dibandingkan baking powder.
Apabila terlalu banyak digunakan, dapat menimbulkan rasa pahit, sehingga
penggunaannya harus disesuaikan (Willyam, 2018). Menurut BPOM (Badan
Pengawas Obat dan Makanan) tahun 2013, penggunaan baking soda atau soda
kue dinyatakan aman untuk digunakan sehingga penggunaannya tidak dibatasi.
2.9 Pengukusan
Gambar 2.2 alat pengukus modifikasi (Dokumentasi pribadi)
Pengukusan Adonan yang sudah jadi kemudian dimasukkan ke dalam
cetakan bolu kukus yang telah dialasi kertas kue. Dikukus selama 20-30 menit.
Pengukusan merupakan proses pemasakan bahan pangan dengan
menggunakan media air panas. Bahan pangan yang dikukus diletakkan di atas
wadah berlubang-lubang kecil sebagai saringan berada didalam panci yang
berisi air. Mula-mula air akan masak dan menguap pada kondisi panci yang
tertutup. Setelah itu bahan dimasukkan dan tutup panci ditutup kembali, uap air
yang terbentuk akan naik dan bahan akan matang karena uap panas tersebut.
Dengan cara ini tidak ada kontak langsung antara bahan pangan dengan air
panas yang ada dalam panci sehingga kehilangan aroma dan zat gizi yang
mudah larut dalam air dapat diminimalkan.
15
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian akan dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan dan
Rekayasa Proses Pangan dan Hasil Pertanian, Laboratorium Kimia dan
Biokimia Pangan dan Hasil Pertanian, Laboratorium Uji Sensoris dan Ilmu
Pangan Terapan, dan Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil
Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya mulai bulan
Januari 2018 hingga April 2018.
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
Alat yang digunakan dalam pembuatan roti kukus yaitu yaitu timbangan,
wadah (baskom), panci kukus, solet, pengaduk, sendok, wadah piring, mixer,
loyang, sarung tangan anti panas, pengukus, termometer. Alat yang digunakan
untuk analisis yaitu timbangan analitik, kompor color reader, dan Texture Profile
Analyyze (TPA)
3.2.2 Bahan
Bahan yang digunakan dalam pembuatan roti kukus yaitu tepung umbi bit
yang diperoleh dari daerah Surabaya merk Dejanu, Tepung terigu merk segitiga
biru,. Margarin merk Blue band, gula, telur ayam, baking soda merk kupu kupu,
dan baking powder merk kupu kupu.
3.3 Metode Penelitian
3.3.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan metode RAK (Rancangan Acak Kelompok)
dengan dua faktor penelitian yaitu:
Faktor 1 : Konsentrasi penambahan tepung umbi bit (K) yang terdiri dari 4
level yaitu: K1: 0%, K2 : 10%, K3 : 20% dan K4: 40%
Faktor 2 : Bahan Pengembang (T) yang terdiri dari 2 level
T1 : baking Powder
T2 : Soda Kue
16
Masing-masing faktor diulang sebanyak 3 kali sehingga didapatkan 24 unit
percobaan. Kombinasi perlakuan sebagai berikut :
Tabel 3.1 Desain Penelitian
K.T T1 T2
K1 K1T1 K1T2
K2 K2T1 K2T2
K3 K3T1 K3T2
K4 K4T1 K4T2
Keterangan:
K1T1 : prosentase tepung bit : tepung terigu = 0 : 100, dan baking powder 2%
K1T2 : prosentase tepung bit : tepung terigu = 0 : 100, dan soda kue 2%
K2T1 : prosentase tepung bit : tepung terigu = 10 : 100, dan baking powder 2%
K2T2 : prosentase tepung bit : tepung terigu = 10 : 100, dan soda kue 2%
K3T1 : prosentase tepung bit : tepung terigu = 20 : 100, dan baking powder 2%
K3T2 : prosentase tepung bit : tepung terigu = 20 : 100, dan soda kue 2%
K4T1 : prosentase tepung bit : tepung terigu = 40 : 100, dan baking powder 2%
K4T2 : prosentase tepung bit : tepung terigu = 40 : 100, dan soda kue 2%
3,4 Pelaksanaan Penelitian
Pelaksanaan penelitian dilakukan dengan 2 tahapan yaitu penelitian
pendahuluan dan penelitian utama.
3.4.1. Peneltian Pendahuluan
Penelitian pendahuluan yaitu mengumpulkan literatur mengenai tepung
umbi bit dan juga penelitian sebelumnya mengenai umbi bit, dimana diperoleh
info bahwa umbi bit merupakan sayuran penting yang tumbuh di berbagai
belahan dunia. Dari segi kesehatan, kandungan terpenting yang terdapat dalam
umbi bit yaitu mineral dan pigmen. Umbi bit merupakan sumber pigmen
betasianin yang banyak digunakan oleh industri pangan sebagai pewarna
makanan alami. Pigmen tersebut sangat efektif untuk menghambat peroksidasi
lipid, antikarsinogenik, antibakteria, dan antivirus (Agic, 2018). Betasianin
merupakan pigmen berwarna merah atau violet yang merupakan kelompok
flavonoid bersifat polar karena mengikat gula, pigmen bernitrogen dan
17
merupakan pengganti antosianin. Betasianin yang terdapat dalam umbi bit merah
diketahui memiliki efek antiradikal dan aktivitas antioksidan yang tinggi
(Novatama, 2016). Bit merah dikenal sebagai sayuran dengan kandungan
antioksidan tertinggi yaitu 1,98 mmol/100 g (Ananda, 2008). Kandungan
senyawa antioksidan dalam bit merah terdiri dari senyawa flavonoid (350-2760
mg/kg), betasianin (840-900 mg/kg), betasantin (300-600 mg/kg), asam askorbat
(50-868 mg/kg), dan karotenoid (0,44 mg/kg) (Ananda, 2008). Antioksidan
merupakan zat penghambat reaksi oksidasi oleh radikal bebas yang dapat
menyebabkan kerusakan asam lemak tak jenuh, kerusakan pada membran
dinding sel, pembuluh darah, basa DNA dan jaringan lipid yang kemudian
menimbulkan penyakit degeneratif. Radikal bebas merupakan atom atau molekul
yang tidak stabil dan sangat reaktif karena memiliki elektron yang tidak
berpasangan pada orbital terluarnya (Novatama, 2016), Secara keseluruhan
umbi bit ini mengandung zat yang komplit disamping antioksidan, mineral,serat
kasar sekitar 2,8 gr per 100 gr bahan, protein 1,61 gr per 100 gr bahan dan lain
lain dapat dilihat pada tabel kandungan umbi bit (USDA, 2016) sebagai pilihan
tepung umbi bit sebagai substitusi tepung terigu dalam pembuatan kue kukus.
Pemilihan proporsi penambahan tepung umbi bit paling besar adalah 40%,
pemilihan ini karena apabila diatas prosentase tersebut terdapat rasa pahit dan
warna roti kukus yang terlalu gelap yaitu merah gelap sehingga penampilannya
kurang menarik, kami menggunakan perbandingan tepung umbi bit : tepung
terigu = 0% : 100%, 10% : 90%, 20% : 80% dan 40% : 60% selanjutnya
menggunakan baking powder 2% atau soda kue 2% untuk melihat adanya
perbedaan antara roti kukus yang menggunakan baking powder dengan roti
kukus yang menggunakan soda kue.
3.4.2. Penelitian Utama
Penelitian utama merupakan kelanjutan dari penelitian pendahuluan yaitu
pembuatan roti kukus dengan rasio antara tepung umbi bit : tepung terigu yang
sudah ditemukan diatas dengan penambahan baking powder atau soda kue.
a. Pembuatan Roti Kukus Proporsi Tepung Umbi Bit
Pada tahapan ini roti kukus sudah disiapkan untuk tepung yang
tersubstitusi 0%:100, 10% : 90%, 20% : 80% dan 40% : 60% dan bahan baking
powder atau soda kue, timbang juga bahan pendukung lainnya, seperti gula,
margarin dan telur . Pembuatan roti kukus dapat dilihat pada Gambar 3.1
18
Di-mixer (high speed) hingga kental dan berwarna pucat (± 5 menit)
Di-mixer (low speed) hingga tercampur rata (± 30 detik)
Di aduk menggunakan spatula hingga rata (± 30 detik)
Adonan
Di masukkan kedalam loyang ukuran 20x9x6 cm
Di kukus menggunakan pengukus selama 20 menit pada suhu 85-90⁰C
Gambar 3.1 Pembuatan Roti Kukus (Modifikasi Soewitomo, 2014).
Adonan roti kukus
Roti kukus substitusi tepung umbi bit
Margarin cair 40 g
2 butir telur dan 65 g gula
Analisa Akhir :
1. Kadar air
2. Kadar
karbohidrat
3. Kadar protein
4. Kadar lemak
5. Kadar pati
6. Kadar serat
7. Uji aktivitas
antioksidan
8. Uji
Organoleptik
Hedonik
1.Baking powder 2%
2. soda kue 2%
Analisa fisik:
1. volume pengembangan 2. Tekstur:
• Kekerasan
• Springiness
• Cohesiveness 3. Uji porositas 4.. Warna
Tepung bit : tepung terigu
1. 0% : 100% 2. 10% : 90% 3. 20% : 80% 4. 40% : 60%
Analisa tepung biit :
1. Kadar air
2. Kadar karbohidrat
3. Kadar protein
4. Kadar lemak
5. Kadar pati
6. Kadar serat
7. Uji aktivitas
antioksidan
Roti kukus substitusi tepung umbi bit
TERBAIK
19
3.5 Pengamatan dan Analisis Data
3.5.1 Analisis Fisik
3.5.1.1 Volume Pengembangan
Daya kembang roti kukus diukur dengan membandingkan volume awal
dan volume akhir roti kukus setelah matang. Pengukuran daya pengembangan
ini berfungsi untuk mengetahui seberapa besar pengembangan yang dialami
bahan pangan sebelum dan sesudah proses pemasakan (Oktaviana, 2018).
Pada pembuatan roti kukus cetakan yang digunakan berbentuk persegi panjang
dengan ukuran 20x9x6 cm, sehingga pengukuran dilakukan dengan
membandingkan tinggi adonan maupun tinggi roti kukus yang dihasilkan. Rasio
pengembangan volume roti kukus didapatkan dengan rumus :
% 𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑃𝑒𝑛𝑔𝑒𝑚𝑏𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 =𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟 − 𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑎𝑤𝑎𝑙
𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑎𝑤𝑎𝑙 𝑥 100%
3.5.1.2 Tekstur
Pengujian tekstur roti kukus umbi bit dilakukan menggunakan alat texture
analyzer yang bertujuan untuk mengukur hardness, springiness, dan
cohesiveness. Probe yang digunakan dalam analisa tekstur roti kukus umbi bit
memiliki tipe TA5 dengan diameter 12,7 mm. Sampel akan diletakkan diatas
sample testing, kemudian probe akan bergerak kebawah untuk menekan sampel
dan kemudian kembali keatas. Pada TPA, probe akan melakukan kompresi
sebanyak dua kali terhadap sampel. Oleh karena itu, TPA disebut juga sebagai
‘’two-bite-test”. Kekerasan merupakan gaya maksimum yang tercatat saat
kompresi pertama. Nilai kekerasan tidak hanya diukur pada penekanan
maksimumnya, karena produk kemungkinan dapat pecah sebelum penekanan
maksimumnya tercapai. Springiness atau elastisitas menggambarkan bagaimana
produk dapat kembali ke posisi semula melalui proses penekanan pertama.
Cohesiveness menggambarkan kemampuan produk dalam menerima
penekanan kedua setelah sebelumnya menerima penekanan pertama.
Texture Analyzer merupakan suatu instrumen yang digunakan untuk
mengukur tekstur dengan berbagai parameter yang diinginkan. Jenis Texture
Analyzer yang digunakan memiliki tipe CT3 dari Brookfield seperti terlihat pada
gambar 3.3 Prinsip kerja alat ini seperti mulut manusia saat mengunyah yaitu
dengan memberi gaya pada bahan dan dihitung tingkat ketahanan bahan
terhadap gaya yang diberikan (Bourne, 2002).
20
Gambar 3.2 Texture Profile Analyser CT3 Brookfield (Dokumentasi Pribadi)
Menurut Bourne (2002), tekstur merupakan salah atu parameter utama
penentu kualitas dan penerimaan konsumen terhadap sebahian besar produk
pangan. Faktor penentu lainnya yaitu penampakan dan flavor. Saat ini kajian
mengenai tekstur dan analisisnya telah banyak dikembangkan. Beberapa industri
besar telah melakukan analisis tekstur baik dalam pengembangan produk baru
maupun sebagai bagian dari pengawasan mutu produk akhir. Pengukuran
tekstur menggunakan alat memiliki banyak kelebihan dibandingkan
menggunakan analisis sensori, diantaranya lebih mudah distandarisasi, lebih
terkontrol dan konsisten, dan relatif lebih murah. Meskipun demikian, pengukuran
menggunakan alat tidak seakurat dibanding analisis sensori, karena tekstur
merupakan atribut multiparameter atau spektrum dari berbagai atribut, dimana
analisis instrumental hanya mengukur sebagian dari spektrum tersebut (Widhi,
2008).
3.5.1.3 Porositas Roti Kukus
Pengujian terhadap porositas roti kukus dilakukan dengan menggunakan
softaware imageJ dengan cara memotong bagian dalam roti kukus dengan
ukuran 4x4 cm, kemudian memfoto bagian roti kukus lalu diolah menggunakan
software imageJ. Dari hasil pengolahan data tersebut akan diketahui luas area
porositas dari roti kukus (Kurniawan, 2011).
3.5.1.4 Warna
Prinsip analisis warna dilakukan menggunakan color reader. Prinsip kerja
color reader yaitu sistem pemaparan warna dengan menggunakan sistem CIE
dengan tiga reseptor warna yaitu L yang menunjukkan tingkat kecerahan
berdasarkan warna putih, simbol a menunjukkan tingkat kemerahan atau
kehijauan, simbol b menunjukkan kekuningan atau kebiruan (Susanto, 1998).
21
3.5.2 Analisis Kimia
3.5.2.1 Kadar Air
Analisis kadar air dilakukan dengan metode oven (AOAC, 2005). Prinsip
kerja metode ini yaitu dengan memasukkan sejumlah sampel sebanyak 2 gram
kedalam cawan kosong yang telah diketahui beratnya. Cawan kemudian
dimasukkan kedalam oven dengan suhu 105⁰C selama 6 jam lalu didinginkan
dalam desikator dan ditimbang hingga diperoleh berat yang konstan.
3.5.2.2 Kadar Karbohidrat
Analisis kadar karbohidrat dihitung menggunakan metode by difference
yaitu dengan cara mengurangkan 100% dengan nilai total dari kadar air, kadar
protein, kadar abu, kadar lemak, dan kadar serat (AOAC, 2005).
3.5.2.3 Kadar Protein
Analisa kadar protein dilakukan dengan metode Kjeldahl (AOAC, 2005).
Prinsipnya yaitu penentuan jumlah nitrogen yang dikandung oleh suatu bahan
dengan mendegradasi protein dalam bahan dengan menggunakan asam sulfat
(H2SO4) pekat untuk menghasilkan nitrogen sebagai ammonia. Analisis kadar
protein dilakukan melalui tiga tahap proses yaitu destruksi, distilasi, dan titrasi.
3.5.2.4 Kadar Lemak
Analisis kadar lemak dilakukan dengan metode soxhlet (AOAC,1995).
Prinsipnya yaitu lemak yang ada dalam sampel diekstrak menggunakan pelarut
non-polar. Sampel ditimbang sebanyak 2 gram lalu dibungkus dengan kertas
saring, dan ditutup kapas bebas lemak, kemudian dimasukkan kedalam soxhlet
yang telah dihubungkan dengan labu lemak yang telah dikeringkan. Ekstrak
lemak yang ada dalam abu lemak yang ada dalam abu lemak dikeringkan dalam
oven selama 1 jam menggunakan suhu 105⁰C.
3.5.2.5 Kadar Pati
Analisis kadar pati dilakukan dengan metode Luff Schroll (AOAC, 1999).
Prinsip kerja metode ini yaitu dengan menghidrolisis pati secara sempurna
menjadi glukosa. Hidrolisis pati menjadi glukosa dilakukan dengan perlakuan
asam yang akan memecah ikatan glikosida yang menghubungkan antar glukosa.
22
Kandungan pati dilakukan dengan menggunakan faktor pengali, dimana
kandungan pati adalah 0,9 x kandungan glukosa.
3.5.2.6 Kadar Serat
Analisis kadar serat dilakukan dengan metode gravimetri (AOAC, 2005).
Prinsipnya yaitu pada metode enzimatis akan terjadi proses penghilangan lemak,
kamudian kandungan pati yang terdapat pada sampel di hidrolisis menggunakan
amilase lalu dilakukan hidrolisis dan penghilangan protein dengan menggunakan
pepsin serta terdapat penambahan pankreatin dalam menghilangkan komponen
organik non serat pada bahan pangan. Setelah itu dilakukan analisis serat
pangan secara gravimetri untuk mengetahui kadar serat dalam sampel bahan
pangan.
3.5.2.7 Aktivitas Antioksidan
Aktivitas antioksidan dianalisis berdasarkan kemampuannya menangkap
radikal bebas DPPH. Sebanyak 1 gram sampel dimasukkan dalam 10 ml metanol
lalu dihomogenisasi, disaring dan didapatkan ekstrak sampel. Ekstrak sampel
sebanyak 2 ml dicampur dengan 2 ml larutan metanol mengandung 50 ppm
reagen DPPH. Campuran kemudian diaduk dan didiamkan selama 30 menit
diruang gelap. Pengukuran dilakukan menggunakan spektrofotometer dengan
pembacaan absorbansi pada panjang gelombang 517 nm (Molyneux, 2004).
3.5.3 Uji Organoleptik (Hedonic Scale Scoring)
Uji organoleptik dilakukan dengan metode hedonic scale scoring dengan
menggunakan parameter berupa warna, aroma, rasa, mouthfeel, dan
keseluruhan (Meilgaard et al, 1999). Uji ini dilakukan bertujuan untuk mengukur
tingkat kesukaan panelis terhadap suatu produk pangan. Kelebihan pengujian
dengan metode hedonik yaitu memiliki petunjuk yang sederhana sehingga
mudah dimengerti panelis, kesederhanaan dalam penggunaan data, dan minimal
asumsi tentang tingkat pengukuran dikarenakan data diperlakukan secara urut
(Lawless, 2013).
3.5.4 Analisis Data
Data yang telah diperoleh dianalisis secara statistik menggunakan
metode analisis ragam / ANOVA (Analysis of Variance) menggunakan aplikasi
Minitab 17 untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap variabel yang diukur.
Apabila terdapat beda nyata dilanjutkan dengan uji lanjut BNT (Beda Nyata
23
Terkecil) menggunakan selang kepercayaan 95%, dengan error rate sebesar 5%
Pemilihan perlakuan terbaik dianalisis dengan menggunakan metode
Pendekatan Derringer’s Desirability Function (Derringer, 1980).
3.5.5 Perlakuan Terbaik
Untuk menentukan perlakuan terbaik dari masing-masing parameter fisik
yang ada, yaitu daya kembang (D1), warna (D2), kekerasan (D3), springiness
(D4), cohesiveness (D5), dan porositas (D6) digunakan rumus desirability
function sebagai berikut:
d = [𝑌𝑖−𝐿𝑖
𝑇𝑖−𝐿𝑖]
𝑠 jika Li ≤ Yi ≤ Ti
d = [𝑌𝑖−𝑈𝑖
𝑇𝑖−𝑈𝑖]
𝑠 jika Ti < Yi ≤ Ui
d = 0 jika Yi < Li atau Yi > Ui
Untuk menentukan perlakuan terbaik dari keseluruhan parameter,
digunakan rumus desirability sebagai berikut:
D = (d1x d2 x d3 x … . x dn)1/𝑛
Keterangan:
D = Overall desirability
d = Individual desirability scores
24
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Karakteristik Bahan Baku
Bahan – bahan yang digunakan pada pembuatan roti kukus yaitu tepung
terigu yang dicampurkan dengan tepung umbi bit dengan konsentrasi tepung
umbi bit sebesar 0%, 10%, 20%, dan 40%, gula, telur, margarin, dan
pengembang roti kukus yaitu baking powder atau soda kue dengan konsentrasi
masing masing 2%.
Penambahan baking powder dan soda kue pada roti kukus dapat
digunakan sebagai leavening agent atau bahan yang berfungsi sebagai
pengembang pada produk. Baking powder mengandung partikel sodium
bikarbonat sebagai sumber, dan apabila baking powder terkena panas akan
menghasilkan gas CO2 (Helmenstine, 2014). Sedangkan soda kue akan bereaksi
ketika dicampurkan dengan bahan yang bersifat asam. Soda kue akan bereaksi
seketika dicampurkan kedalam adonan dengan menghasilkan gelembung gas
CO2 dan terperangkap sehingga roti kukus dapat mengembang (Sholihah, 2015).
Peneliti juga memeriksa perbedaan roti kukus yang ditambahkan soda kue
juga roti kukus yang ditambahkan baking powder dengan kandungan sama yaitu
2%. Hasil analisis tepung umbi bit dan terigu dapat dilihat pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1 Analisis Tepung Umbi Bit
Parameter
Tepung Umbi Bit Tepung Terigu Segitiga Biru
Hasil Analisis Literatur Literatur SNI
Kadar Air (%) 4,56 13,36# 13,36^ Maks 14,5$ Kadar Protein (%) 6,23 10,3* 10 Min 7$ Kadar Lemak (%) 1,27 2,6* 1,66^ - Kadar Pati (%) 70,812 62,67# - - Kadar Karbohidrat (%) 78,68 74,7* 72,53^ - Kadar Serat (%) 21,75 18,8* 2,4^ - Aktivitas Antioksidan (%) 34,7 47,87+ - -
Sumber : #Arnando (2016) *Nutristrength (2019) +Wibawanto (2014) ^USDA (2018) $SNI (2009)
25
Tabel 4.1 menunjukkan bahwa kadar air dari tepung umbi bit sebesar
4.56% sedangkan untuk tepung terigu 13,36% hal ini disebabkan karena sifat
alami tepung terigu adalah higroskopis yaitu mudah menyerap air dari
lingkungannya untuk mendapatkan kondisi kesetimbangan (Wijaya,2002),
disamping itu kandungan serat kasar di tepung umbi bit sangat tinggi yaitu
21,75% sedangkan di tepung terigu sekitar 2,4%, untuk kandungan lain yang di
tepung umbi bit yang tidak dipunyai oleh tepung terigu adalah kandungan
antioksidan sebesar 34.7%. Kandungan lain pada tepung umbi bit seperti vitamin
dan mineral juga lengkap sehingga peneliti meyakini bahwa tepung umbi bit
dapat digunakan sebagai alternatif substitusi tepung terigu.
4.2 Karakteristik Fisik Roti Kukus
4.2.1 Daya pengembangan
Grafik rerata daya pengembangan roti kukus (Gambar 4.1) menunjukkan
bahwa penambahan bahan pengembang baking powder ditunjukkan dengan
warna biru, sedangkan penambahan bahan pengembang soda kue ditunjukkkan
dengan warna merah. Gambar 4.1 menunjukkan bahwa semakin banyak
penambahan proporsi tepung umbi bit atau semakin semakin sedikit porporsi
tepung terigu yang ditambahkan maka daya pengembangannya semakin
menurun baik dengan penambahan baking powder maupun soda kue.
Gambar 4.1 Grafik Rerata Daya Pengembangan Kue Kukus Akibat Proporsi
Tepung Umbi bit:Terigu dan Penambahan Bahan Pengembang
Daya pengembangan roti kukus proporsi tepung umbi bit dengan tepung
terigu (0:100, 10:90, 20:80 dan 40:60) dengan penambahan baking powder
65,42
52,45
43,70
30,37
75,6970,65
62,49
46,93
0,00
10,00
20,00
30,00
40,00
50,00
60,00
70,00
80,00
90,00
K1 (0:100) K2 (10:90) K3 (20:80) K4 (40:60)
Daya
Pe
ng
em
ba
ng
an (
%)
Proporsi Tepung Bit : Terigu
T1 (bakingPowder)
T2 (soda kue)
26
(warna biru) yaitu sebesar 65.42%, 52.45%, 43,70% dan 30.37%, mengalami
penurunan seiring dengan bertambahnya tepung umbi bit atau dengan
berkurangnya tepung terigu. Sama seperti roti kukus proporsi tepung umbi bit
dengan tepung terigu (0 :100, 10 :90, 20:80 dan 40:60) dengan penambahan
soda kue (warna merah) yaitu sebesar 75.69%, 70.65%, 62.49% dan 46.93%,
mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya tepung umbi bit atau
berkurangnya tepung terigu. Hasil analisa ragam (Lampiran 6.1), menunjukkan
bahwa faktor proporsi tepung umbi bit dan tepung terigu memberikan pengaruh
nyata (α=0,05) pada daya pengembangan roti kukus. Rerata daya
pengembangan roti kukus akibat proporsi tepung umbi bit dan tepung terigu
dapat di lihat pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2 Rerata Daya Pengembangan Roti Kukus Akibat Pengaruh dari
Proporsi tepung Umbi Bit dan tepung Terigu
Proporsi Tepung Umbi Bit :
Tepung Terigu (%)
Daya Kembang (%) BNT 5%
0:100 70,56±7,27a
14,413 10:90 61,55±12,87a
20:80
40:60
53,10±13,71b
38,65±11,71b
Keterangan: * Setiap data hasil analisis merupakan rerata dari 3x ulangan ± standar deviasi * Angka dengan notasi menunjukkan berbeda nyata secara signifikan (α=0,05)
Hasil penelitian (Tabel 4.2) menunjukkan bahwa perbedaan proporsi
terigu dengan tepung umbi bit menyebabkan perbedaan nyata (α=0,05) terhadap
daya pengembangan roti kukus. Penambahan tepung umbi bit 10% masih tidak
berbeda nyata dengan kontrol (tanpa tepung bit), namun ketika proporsi tepung
bit ditingkatkan menjadi 20%, dan 40% ternyata daya pengembangan roti kukus
terdapat perbedaan nyata (mengalami penurunan secara signifikan). Hal ini
disebabkan tepung terigu memiliki kandungan protein yang lebih tinggi
dibandingkan tepung umbi bit. Tingginya kandungan protein diikuti oleh gluten
yang berfungsi sebagai pengikat daya kembang pada roti kukus. senyawa gluten.
Menurut Koswara (2009), senyawa gluten tersusun atas dua fraksi yaitu glutenin
dan gladin yang masing masing akan menentukan elastisitas dan plastisitas
adonan. Sifat elastis dan plastis pada adonan tersebut diakibatkan terbentuknya
kerangka-kerangka seperti jaring-jaring dari senyawa glutenin dan gladin,
selanjutnya kerangka seperti jaring-jaring inilah yang berperan sebagai
27
perangkap udara sehingga adonan mengembang. Udara yang terperangkap
dalam kerangka jaring-jaring gluten sebenarnya merupakan gas CO2. Gas
tersebut dapat dihasilkan oleh baking powder atau soda kue, selain itu gas yang
terbentuk juga diakibatkan oleh pengocokan telur (pada adonan roti, cake,
bolu,dan lain-lain). Udara yang terperangkap tersebut dapat lolos kembali apabila
kerangka gluten yang terbentuk tidak kuat dan mengakibatkan bolu kukus
menjadi kempes kembali setelah dikeluarkan dari kukusan.
Gluten adalah protein yang menggumpal, bersifat elastis serta akan
mengembang bila dicampur dengan air. Gluten merupakan salah satu faktor
yang menentukan hasil produk karena gluten akan mempengaruhi jaringan atau
kerangka yang akan mempengaruhi kualitas produk. Baik tidaknya suatu produk
akan ditentukan oleh baik tidaknya jaringan, baik tidaknya jaringan akan
ditentukan oleh kuatnya gluten, kuat tidaknya gluten dipengaruhi banyak tidaknya
kandungan protein, banyak sedikitnya kandungan protein akan ditentukan oleh
jenis tepung yang digunakan (Subagjo, 2007). Hal ini juga sejalan dengan
literatur yang menyatakan bahwa substitusi tepung lain selain terigu akan
menyebabkan berkurangnya presentase gluten pada adonan yang
mengakibatkan berkurangnya jumlah CO2 yang dapat terperangkap. Akibatnya
volume roti menjadi kurang mengembang (Wulandari, 2016).
Hasil analisa ragam (Lampiran 6.1), menunjukkan bahwa penambahan
bahan pengembang memberikan pengaruh nyata (α=0,05) terhadap daya
pengembangan roti kukus. Rerata daya pengembangan roti kukus akibat
pengaruh penambahan bahan pengembang dapat di lihat pada Tabel 4.3
Tabel 4.3 Rerata Daya Pengembangan Roti Kukus Akibat Pengaruh
Penambahan Bahan pengembang
Bahan Pengembang Daya Kembang
(%) BNT 5%
Baking Powder 47,99±14,75b 14,413
Soda Kue 63,94±12,58a
Keterangan: * Setiap data hasil analisis merupakan rerata dari 3x ulangan ± standar deviasi * Angka dengan notasi menunjukkan berbeda nyata secara signifikan (α=0,05)
Hasil penelitian (Tabel 4.3) menunjukkan bahwa baking powder dan soda
kue berpengaruh nyata (α=0,05) terhadap daya pengembangan roti kukus. Daya
pengembangan roti kukus pada baking powder lebih rendah yaitu 47,99 %,
28
sedangkan soda kue memiliki daya pengembangan lebih tinggi yaitu 63,94 %.
Soda kue merupakan bahan pengembang kue yang mengandung 100% zat
kimia yaitu natrium bikarbonat / sodium bikarbonat. Sedangkan baking
powder, selain mengandung bahan kimia yang sama, juga mengandung
beberapa komponen lain seperti cream of tartar (bersifat asam) dan bahan
pengering. Soda kue paling cocok digunakan pada kue yang diolah dengan cara
dikukus atau dipanggang. Sedangkan baking powder lebih baik digunakan pada
jenis kue kering yang tidak mengandung asam (Ninna, 2018). Berdasarkan Tabel
4.3 memperlihatkan bahwa substitusi tepung terigu dengan tepung umbi bit yang
menggunakan baking powder pengembangannya lebih rendah dibandingkan
dengan menggunakan soda kue. Hal ini karena soda kue lebih cocok digunakan
untuk roti kukus dibandingkan menggunakan baking powder. Hasil analisa ragam
(Lampiran 6.1), menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi antara proporsi
substitusi tepung terigu dengan tepung umbi bit, dengan penambahan bahan
pengembang yaitu soda kue dan baking powder.
4.2.2 .Tekstur
4.2.2.1 Kekerasan
Grafik rerata kekerasan roti kukus (Gambar 4.2) menunjukkan bahwa
penambahan baking powder ditunjukkan dengan warna biru, sedangkan
penambahan soda kue ditunjukkkan dengan warna merah. Gambar 4.2
menunjukkan bahwa semakin banyak penambahan proporsi tepung umbi bit atau
semakin semakin sedikit porporsi tepung terigu yang ditambahkan maka tingkat
kekerasannya semakin meningkat, baik dengan penambahan baking powder
maupun soda kue. Pengaruh proporsi tepung umbi bit dan tepung terigu dan
penambahan bahan pengembang terhadap kekerasan roti kukus dapat di lihat
pada Gambar 4.2
Gambar 4.2 Grafik Rerata Kekerasan Roti Kukus Akibat Proporsi Tepung Umbi
bit:Terigu dan Penambahan Bahan Pengembang
217,27235,97
254,23 262,93
70,1796,03
119,93 127,37
0,00
50,00
100,00
150,00
200,00
250,00
300,00
K1 (0:100)K2 (10:90)K3 (20:80)K4 (40:60)
Ke
ke
rasa
n (
g)
Proporsi Tepung Bit : Terigu
T1 (bakingPowder)
T2 (sodakue)
29
Gambar 4.2 menunjukkan bahwa pada grafik kekerasan mengalami
peningkatan atau semakin keras. Subtitusi tepung umbi bit menggunakan baking
powder (garis warna biru) dengan rasio 0:100, 10:90, 20:80, 40:60 memiliki
tingkat kekerasan masing-masing sebesar 217,27 g; 235,97 g; 254,23 g; dan
262,93 g, mengalami peningkatan, artinya semakin banyak tepung umbi bit yang
disubstitusikan maka semakin keras. Demikian juga untuk tepung substitusi
menggunakan soda kue (garis warna merah) dengan rasio 0:100, 10:90, 20: 80,
40:60 memiliki tingkat kekerasan masing-masing sebesar 70,17 g; 96,03 g;
119,93 g; dan 127,37 g mengalami peningkatan nilai kekerasan seiring dengan
bertambahnya presentase tepung umbi bit. Hal ini disebabkan karena gluten
yang ada ditepung terigu semakin berkurang konsentrasinya seiring dengan
bertambahnya prosentase tepung umbi bit, sehingga gluten tidak dapat menahan
gas CO2 sehingga mempengaruhi tingkat kekerasan dari kue bolu tersebut.
Substitusi tepung terigu dengan tepung umbi bit akan menghasilkan
pengurangan keempukan roti kukus akibat dari kadar gluten yang berkurang,
sehingga diperlukannya penambahan jumlah lemak agar roti kukus yang
dihasilkan memiliki keempukan yang baik. Salah satu faktor yang dapat
meningkatkan keempukan roti yaitu lemak. Lemak dapat meningkatkan
keempukan roti kukus, meningkatkan keseragaman pori, melembutkan remah
dan memudahkan pemotongan roti yang dihasilkan (Wulandari,2016).
Hasil analisa ragam (Lampiran 6.2), menunjukkan bahwa faktor
penambahan bahan pengembang memberikan pengaruh nyata (α=0,05) pada
tingkat kekerasan roti kukus. Sedangkan faktor proporsi tepung umbi bit dan
tepung terigu tidak memberikan pengaruh nyata (α=0,05) pada tingkat kekerasan
roti kukus. Tidak terdapat interaksi antara kedua faktor pada tingkat kekerasan
roti kukus. Rerata kekerasan roti kukus akibat pengaruh penambahan bahan
pengembang dapat dilihat pada Tabel 4.4
Tabel 4.4 Rerata Kekerasan Roti Kukus Akibat Pengaruh Penambahan Bahan
Pengembang
Bahan Pengembang Kekerasan (g) BNT 5%
Baking powder 242,60±20,29a 61,292
Soda kue 103.38±25,86b
Keterangan: * Setiap data hasil analisis merupakan rerata dari 3x ulangan ± standar deviasi * Angka dengan notasi menunjukkan berbeda nyata secara signifikan (α=0,05)
30
Hasil penelitian (Tabel 4.4) menunjukkan bahwa baking powder dan soda
kue berpengaruh nyata (α=0,05) terhadap kekerasan roti kukus. Tingkat
kekerasan pada baking powder lebih tinggi yaitu 242,60 g, sedangkan soda kue
memiliki tingkat kekerasan lebih rendah yaitu 103,38 g. Soda kue merupakan
bahan pengembang kue yang mengandung 100% zat kimia bernama natrium
bikarbonat / sodium bikarbonat. Sedangkan baking powder, selain mengandung
bahan kimia yang sama, juga mengandung beberapa komponen bahan lain
seperti cream of tartar (bersifat asam) dan bahan pengering. Soda kue paling
cocok digunakan pada kue yang diolah dengan cara dikukus atau dipanggang.
Sedangkan baking powder lebih baik digunakan pada jenis kue kering yang tidak
mengandung asam (Ninna, 2018). Hasil analisa telah sesuai dengan literatur,
ditunjukkan pada Tabel 4.4 bahwa tingkat kekerasan roti kukus menggunakan
baking powder lebih tinggi dibandingkan dengan soda kue. Hal ini menunjukkan
bahwa pemakaian soda kue lebih baik dibandingkan baking powder karena
baking powder lebih cocok digunakan pada jenis kue kering sedangkan soda kue
lebih cocok digunakan pada kue yang dikukus.
4.2.2.2 Springiness
Grafik rerata springiness roti kukus (Gambar 4.3) menunjukkan bahwa
penambahan baking powder ditunjukkan dengan warna biru, sedangkan
penambahan soda kue ditunjukkkan dengan warna merah. Gambar 4.3
menunjukkan bahwa semakin banyak penambahan proporsi tepung umbi bit atau
semakin semakin sedikit porporsi tepung terigu yang ditambahkan maka tingkat
springiness semakin menurun, baik dengan penambahan baking powder
maupun soda kue. Pengaruh proporsi tepung umbi bit dan terigu dan
penambahan bahan pengembang terhadap springiness roti kukus dapat dilihat
pada Gambar 4.3
Gambar 4.3 Grafik Rerata Springiness Roti Kukus Akibat Proporsi Tepung
Umbi bit:Terigu dan Penambahan Bahan Pengembang
8,46 8,40 8,11 7,687,63 7,47 7,29 7,18
0,00
2,00
4,00
6,00
8,00
10,00
K1 (0:100) K2 (10:90) K3 (20:80) K4 (40:60)
Sp
rin
gin
ess (
mm
)
Proporsi Tepung Bit : Terigu
T1 (bakingPowder)
T2 (sodakue)
31
Hasil tekstur springiness pada substitusi tepung terigu dengan tepung
umbi bit mengalami penurunan, dapat dilihat pada Gambar 4.3. Untuk subtitusi
tepung umbi bit menggunakan baking powder (garis warna biru) dengan rasio
tepung umbi bit: terigu 0:100, 10:90, 20:80, 40:60 memiliki tingkat springiness
masing-masing sebesar 8.46 mm, 8.40 mm, 8.11 mm, 7.68 mm sedangkan pada
penambahan soda kue (garis merah) memiliki tingkat springiness masing-masing
sebesar 7.63 mm, 7.47 mm, 7.29 mm, 7.18 mm. Springiness merupakan tinggi
yang dapat dicapai oleh suatu makanan di antara gigitan pertama dan kedua.
Nilai springiness menggambarkan kemampuan produk untuk dapat kembali ke
posisi awal setelah kompresi pertama hingga saat kompresi kedua akan dimulai
(Haliza, 2012). Springiness roti kukus formulasi rasio lebih rendah dibandingkan
dengan roti kukus kontrol (0:100).
Hasil analisa ragam (Lampiran 6.3), menunjukkan bahwa faktor
penambahan bahan pengembang berpengaruh nyata (α=0,05) terhadap tingkat
springiness roti kukus. Faktor proporsi tepung umbi bit dan tepung terigu tidak
memberikan pengaruh nyata (α=0,05) terhadap springiness roti kukus. Tidak
terdapat interaksi antara kedua faktor terhadap springiness roti kukus. Rerata
springiness roti kukus akibat pengaruh penambahan bahan pengembang dapat
di lihat pada Tabel 4.5
Tabel 4.5 Rerata Springiness Roti Kukus Akibat Pengaruh Penambahan Bahan
Pengembang
Bahan
Pengembang
Springiness
(mm) BNT 5%
Baking powder 8,16±0,36a 0,45
Soda kue 7,39±0,20b
Keterangan: * Setiap data hasil analisis merupakan rerata dari 3x ulangan ± standar deviasi * Angka dengan notasi menunjukkan berbeda nyata secara signifikan (α=0,05)
Hasil penelitian (Tabel 4.5) menunjukkan bahwa penambahan baking
powder dan soda kue berpengaruh nyata (α=0,05) terhadap springiness roti
kukus, dimana springiness baking powder lebih tinggi yaitu 8,16 mm, sedangkan
soda kue lebih rendah sebesar 7,39 mm. Soda kue merupakan bahan
pengembang kue yang mengandung zat kimia natrium bikarbonat/sodium
bikarbonat. Sedangkan baking powder, selain mengandung bahan kimia yang
sama, juga mengandung beberapa komponen bahan lain seperti cream of
32
tartar (bersifat asam) dan bahan pengering. Meskipun sama-sama berfungsi
sebagai pengembang kue, tapi baking soda dan baking powder tidak bisa
sembarangan digunakan. Soda kue paling cocok digunakan pada kue yang
diolah dengan cara dikukus atau dipanggang, sedangkan baking powder lebih
baik digunakan pada jenis kue kering yang tidak mengandung asam (Ninna,
2018)
Berdasarkan hasil penelitian, springiness pada pemakaian baking powder
lebih tinggi dibandingkan dengan soda kue dapat di lihat pada Tabel 4.5. Hal ini
karena penggunaan baking powder lebih cocok digunakan pada jenis kue kering.
Selain itu, kondisi grafik springiness menurun hampir sama karena kandungan
gluten berkurang pada substitusi tepung terigu yang semakin besar, gas CO2
juga tidak tertahan sehingga pengembangan adonan juga berkurang. Hal ini
disebabkan karena adanya penurunan kandungan gluten yang terdapat pada
protein tepung. Akibat pengurangan pemakaian gluten, sifat elastis dari roti
kukus juga akan menurun (Budoyo, 2014).
4.2.2.3 Cohesiveness
Grafik rerata cohesiveness roti kukus (Gambar 4.4) menunjukkan bahwa
semakin banyak penambahan proporsi tepung umbi bit atau semakin semakin
sedikit porporsi tepung terigu yang ditambahkan maka tingkat cohesiveness
semakin menurun, baik dengan penambahan baking powder maupun soda kue.
Pengaruh proporsi tepung umbi bit dan tepung terigu dan penambahan bahan
pengembang terhadap cohesiveness roti kukus dapat dilihat pada Gambar 4.4
Gambar 4.4 Grafik Rerata Cohesiveness Roti Kukus Akibat Proporsi Tepung
Umbi bit:Terigu dan Penambahan Bahan Pengembang
0,630,60
0,540,48
0,65 0,630,59
0,52
0,00
0,10
0,20
0,30
0,40
0,50
0,60
0,70
0,80
K1 (0:100) K2 (10:90) K3 (20:80) K4 (40:60)
Coh
esiv
en
ess
Proporsi Tepung Bit : Terigu
T1 (bakingPowder)
T2 (sodakue)
33
Gambar 4.4 menunjukkan bahwa tingkat cohesiveness pada proporsi
tepung terigu dengan tepung umbi bit mengalami penurunan dengan rasio
presentase: 0:100, 10:90, 20:80, dan 40:60 dengan penambahan baking powder
memiliki tingkat cohesiveness masing-masing sebesar 0,63; 0,60; 0,54; dan 0,48,
sedangkan penambahan soda kue sebesar 0,65; 0,63; 0,59; dan 0,57.
Cohesiveness merupakan indikasi dari kekuatan ikatan internal yang membentuk
makanan. Cohesiveness diukur dari rasio antara dua area kompresi sehingga
tidak memiliki satuan (Haliza, 2012). Nilai cohesiveness roti kukus masing-
masing formula (rasio) lebih rendah dibandingkan dengan roti kukus kontrol
(0:100).
Hasil analisa ragam (Lampiran 6.4), menunjukkan bahwa faktor proporsi
tepung umbi bit dan terigu memberikan pengaruh nyata (α=0,05) terhadap
cohesiveness roti kukus. Faktor penambahan bahan pengembang tidak
memberikan pengaruh nyata (α=0,05) terhadap cohesiveness roti kukus. Tidak
terdapat interaksi antara kedua faktor pada cohesiveness roti kukus. Rerata
Cohesiveness roti kukus akibat proporsi tepung umbi bit dan terigu dapat di lihat
pada tabel 4.6
Tabel 4.6 Rerata Cohesiveness Roti Kukus Akibat Pengaruh Proporsi tepung
Umbi Bit dan tepung Terigu
Proporsi Tepung
Umbi Bit : Tepung
Terigu (%)
Cohesiveness BNT 5%
0:100 0,64±0,02a
0,07 10:90 0,61±0,02a
20:80 0,56±0,04b
40:60 0,50±0,03b
Keterangan: * Setiap data hasil analisis merupakan rerata dari 3x ulangan ± standar deviasi * Angka dengan notasi menunjukkan berbeda nyata secara signifikan (α=0,05)
Hasil penelitian (Tabel 4.6) menunjukkan bahwa perbedaan proporsi
terigu dengan tepung umbi bit menyebabkan perbedaan nyata (α=0,05) terhadap
cohesiveness roti kukus. Proporsi tepung umbi bit 10% masih tidak berbeda
nyata dengan kontrol (tanpa tepung bit), namun ketika proporsi tepung bit
ditingkatkan menjadi 20%, dan 40% ternyata cohesiveness roti kukus terdapat
perbedaan nyata (mengalami penurunan secara signifikan). Nilai cohesiveness
34
tertinggi terdapat pada roti kukus dengan proporsi tepung bit 0% yaitu sebesar
0,64, sedangkan cohesiveness terendah terdapat pada roti kukus dengan
proporsi tepung bit 40% yaitu sebesar 0,50.
Hal ini dapat disebabkan karena gluten gandum yang terdapat didalam
terigu berperan dalam membentuk adonan dengan massa yang elastic-cohessive.
Pada roti kukus substitusi tepung umbi bit, pati tergelatinisasi terlebih dahulu
agar dapat berfungsi sebagai pengikat, sehingga nilai cohesiveness menurun
seiring dengan berkurangnya kandungan gluten (Haliza, 2012).
4.2.3 Porositas
Analisis porositas dari roti kukus proporsi tepung umbi bit:tepung terigu
(0:100 ; 10:90 ; 20:80 ; 40:60) dan penambahan bahan pengembang (baking
powder atau soda kue) yang diukur menggunakan software imageJ berkisar
antara 23,4% hingga 42,6%. Pengaruh proporsi tepung umbi bit:tepung terigu
dan penambahan bahan pengembang dapat di lihat pada Gambar 4.6
Gambar 4.5 Grafik Rerata Porositas Roti Kukus Akibat Proporsi Tepung
Umbi bit:Terigu dan Penambahan Bahan Pengembang
Analisis porositas diukur berdasarkan persen luas area dari banyaknya
pori-pori dihasilkan pada roti kukus. Gambar 4.5 menunjukkan bahwa porositas
pada roti kukus mengalami penurunan. Artinya seiring dengan penambahan
proporsi tepung umbi bit, pori-pori yang terbentuk semakin sedikit. Penambahan
bahan pengembang menggunakan soda kue memiliki porositas yang lebih besar
dibandingkan menggunakan baking powder. roti kukus dengan porositas
terendah yaitu sebesar 23,449% terdapat pada proporsi tepung umbi bit : tepung
terigu 40%:60% dengan penambahan baking powder. Sedangkan roti kukus
36,72933,799
28,039
23,449
42,60439,121
32,822 31,604
0,000
5,000
10,000
15,000
20,000
25,000
30,000
35,000
40,000
45,000
50,000
K1 (0:100) K2 (10:90) K3 (20:80) K4 (40:60)
Poro
sitas (
%)
Proporsi Tepung Bit : Terigu
T1 (bakingPowder)
T2 (sodakue)
35
dengan porositas tertinggi sebesar 42,604% terdapat pada proporsi tepung umbi
bit : tepung terigu 0%:100% dengan penambahan soda kue.
Hasil analisa ragam (Lampiran 6.6), menunjukkan bahwa faktor proporsi
tepung umbi bit : tepung terigu memberikan pengaruh nyata (α=0,05) pada
porositas roti kukus. Faktor penambahan bahan pengembang menggunakan
baking powder atau soda kue juga memberikan pengaruh nyata (α=0,05) pada
porositas roti kukus. Tidak terdapat interaksi antara kedua faktor pada porositas
roti kukus. Rerata porositas roti kukus akibat proporsi tepung umbi bit dan terigu
dapat dilihat pada tabel 4.7
Tabel 4.7 Rerata Porositas Roti Kukus Akibat Pengaruh dari Proporsi Tepung
Umbi Bit dan tepung Terigu
Proporsi Tepung Umbi
Bit : Tepung Terigu (%)
Luas Area
Pori (%) BNT 5%
0:100 39,65±4,15a
5,551 10:90 36,46±3,76b
20:80 30,43±3,38c
40:60 27,53±5,77c
Keterangan: * Setiap data hasil analisis merupakan rerata dari 3x ulangan ± standar deviasi * Angka dengan notasi menunjukkan berbeda nyata secara signifikan (α=0,05)
Hasil penelitian (Tabel 4.7) menunjukkan bahwa perbedaan proporsi
terigu dengan tepung umbi bit menyebabkan perbedaan nyata (α=0,05) terhadap
porositas roti kukus. Perbedaan proporsi tepung umbi bit 0%, 10%, dan 20%
menunjukkan adanya pengaruh nyata terhadap porositas roti kukus (mengalami
penurunan secara signifikan), namun peningkatan proporsi tepung bit 20% ke
40% tidak berpengaruh nyata (tidak mengalami penurunan secara signifikan)
terhadap porositas roti kukus. Porositas tertinggi terdapat pada proporsi tepung
umbi bit 0% yaitu 39,65%, sedangkan porositas terendah terdapat pada proporsi
tepung bit 40% yaitu 27,53%. Menurut Wulandari (2016), dalam jurnalnya yang
berjudul Karakteristik Roti Komposit Ubi Jalar Ungu dengan Penambahan α-
amilase dan Glukoamilase menyatakan bahwa substitusi tepung lain selain terigu
akan menyebabkan berkurangnya presentase gluten pada adonan yang
mengakibatkan berkurangnya jumlah CO2 yang dapat terperangkap. Akibatnya
pori-pori menjadi terlalu kecil dan rapat dan ada pula pori-pori yang besar di
sebagian area sehingga pori-pori yang terbentuk tidak seragam. Hal ini dapat
36
disebabkan karena struktur yg dibentuknya tidak kokoh, sehingga gas dapat
keluar dari struktur awal dan bergabung dengan struktur lainnya sehingga
membentuk pori yang besar.
Tabel 4.8 Rerata Porositas Roti Kukus Akibat Pengaruh dari Penambahan
Bahan pengembang
Bahan Pengembang Luas Area
Pori (%) BNT 5%
Baking Powder 30,50±5,93b 5,551
Soda Kue 36,53±5,22a
Keterangan: * Setiap data hasil analisis merupakan rerata dari 3x ulangan ± standar deviasi * Angka dengan notasi menunjukkan berbeda nyata secara signifikan (α=0,05)
Hasil analisa ragam (Tabel 4.8) menunjukkan bahwa penambahan bahan
pengembang berupa baking powder dan soda kue berpengaruh nyata (α=0,05)
terhadap porositas roti kukus, dimana porositas roti kukus menggunakan baking
powder lebih rendah yaitu 30,50%, sedangkan pada soda kue lebih tinggi yaitu
36,53%. Hal ini sesuai dengan literatur yang menyatakan bahwa soda kue dapat
menghasilkan tekstur berpori besar dan tidak beremah, sedangkan baking
powder akan menghasilkan tekstur berpori kecil namun cenderung lebih beremah.
Kue dapat mengembang sempurna apabila kandungan asam basanya seimbang
(NCC Indonesia, 2005). Soda kue bersifat basa dan akan mengeluarkan
gelembung udara apabila bertemu dengan bahan yang bersifat asam. Baking
powder selain mengandung bahan kimia yang sama, juga mengandung
beberapa komponen bahan lain seperti cream of tartar (bersifat asam) dan bahan
pengering (Nina, 2018). Baking powder dalam komposisinya sudah mengandung
bahan-bahan penetral sehingga, baking powder biasa digunakan untuk resep
yang adonannya sudah bersifat netral (NCC Indonesia, 2005). Berdasarkan
literatur dapat diketahui bahwa dengan penambahan soda kue maka porositas
yang terbentuk lebih besar karena soda kue bersifat basa, sehingga ketika soda
kue dicampurkan ke adonan, keseimbangan asam basanya kurang seimbang
apabila menggunakan baking powder yang sudah bersifat netral. Perbedaan luas
area porositas akibat proposi tepung bit : tepung terigu dan penambahan bahan
pengembang dapat di lihat pada Gambar 4.7
37
K1T1 (0%, BP) K2T1 (10%, BP) K3T1 (20%, BP) K4T1 (40%, BP)
K1T2 (0%, SK) K2T2 (10%, SK) K3T2 (20%, SK) K4T2 (40%, SK)
Gambar 4.6 Perbedaan Porositas akibat proposi tepung bit:tepung terigu dan
penambahan bahan pengembang (BP: Baking Powder; SK: Soda Kue)
Gambar 4.6 menunjukkan bahwa seiring dengan penambahan proporsi
tepung umbi bit, luas area porositas semakin menurun baik menggunakan baking
powder maupun soda kue. Selain itu dapat menunjukkan bahwa ukuran
porositas kurang seragam dan terdapat pori-pori yang berukuran besar. Menurut
Sultan (1986), pori-pori besar dan rongga pada roti terbentuk karena rusaknya
struktur adonan selama pembentukan adonan dan pemanggangan. Pori-pori roti
yang baik adalah ukuran pori-pori yang kecil dan seragam di seluruh bagian
crumb. Menurut Sunandar (1994), pori-pori roti merupakan lapisan tipis yang
terbentuk pada gluten yang berfungsi untuk memerangkap karbondioksida. Pori-
pori terbentuk pada proses fermentasi, pada saat itu aktivitas ragi mulai
meningkat, adonan mengembang, volume adonan bertambah akibat produksi
gas karbondioksida oleh ragi, gluten menjadi lebih lembut dan elastis akibat
pengaruh alkohol dan penurunan keasaman, dan gluten membentuk lapisan tipis
yang dapat menahan gas. Menurut U.S. Wheat Associates (1981), pori-pori roti
yang kurang seragam disebabkan oleh formula roti yang tidak seimbang,
undermixing, overmixing, fermentasi yang kurang atau berlebihan, pemukulan
adonan yang kurang merata, penggulungan adonan yang kurang baik.
4.2.4 Warna
Analisis warna pada penelitian ini dilakukan menggunakan color reader.
Color reader merupakan suatu alat pengukur warna yang didesain dengan tiga
38
resepto sehingga mampu membedakan warna secara lebih akurat antara dua
range warna yaitu terang dan gelap. Prinsipnya adalah sistem pemaparan
menggunakan sistem CIE dengan tiga reseptor warna yaitu L* yang
menunjukkan tingkat kecerahan berdasarkan warna putih yang berkisar antara 0
hingga 100 dimana semakin tinggi angka yang didapat maka semakin cerah. a*
menunjukkan tingkat kemerahan yang berkisar antara -100 hingga +100, dimana
(+) menggambarkan intensitas warna merah, dan (-) menggambarkan intensitas
warna hijau. b* menunjukkan tingkat kekuningan yang berkisar antara-100
hingga +100, dimana (+) menggambarkan intensitas warna kuning, dan (-)
menggambarkan intensitas warna biru (Sitorus, 2017). Pengaruh proporsi tepung
umbi bit:tepung terigu dan penambahan bahan pengembang terhadap tingkat
kecerahan dapat dilihat pada Gambar 4.7
4.2.4.1 Kecerahan (L)
Gambar 4.7 Grafik Rerata Tingkat Kecerahan (L) Roti Kukus Akibat Proporsi
Tepung Umbi Bit:Tepung Terigu dan Penambahan Bahan Pengembang
Gambar 4.7 menunjukan bahwa tingkat kecerahan dari roti kukus
menurun seiring bertambahnya tepung umbi bit dalam pembuatan roti kukus.
Tingkat kecerahan baking powder (warna biru) dari proporsi 0:100, 10:90, 20:80,
40:60 adalah 64.3; 43.4; 41.1; dan 36.5 menurun seperti pada tingkat kecerahan
proporsi tepung menggunakan soda kue 0:100, 10:90, 20:80, 40:60 adalah 65.1;
45.7; 40.7; dan 37.
Hasil analisa ragam (Lampiran 6.5.1), menunjukkan bahwa faktor proporsi
tepung umbi bit : tepung terigu memberikan pengaruh nyata (α=0,05) terhadap
tingkat kecerahan roti kukus. Pada faktor penambahan bahan pengembang
64,3
43,4 41,136,5
65,1
45,740,7 37,0
0,0
10,0
20,0
30,0
40,0
50,0
60,0
70,0
80,0
K1 (0:100) K2 (10:90) K3 (20:80) K4 (40:60)
kece
rah
an (
L)
proporsi tepung bit : terigu
T1 (bakingPowder)
T2 (soda kue)
39
menggunakan baking powder atau soda kue tidak memberikan pengaruh nyata
(α=0,05) terhadap tingkat kecerahan roti kukus. Tidak terdapat interaksi antara
kedua faktor terhadap tingkat kecerahan roti kukus. Rerata tingkat kecerahan roti
kukus akibat proporsi tepung umbi bit dan terigu dapat dilihat pada Tabel 4.9
Tabel 4.9 Rerata Tingkat Kecerahan Roti Kukus Akibat Pengaruh dari Proporsi
Tepung Umbi Bit dan tepung Terigu
Proporsi Tepung Umbi
Bit : Tepung Terigu (%) Kecerahan BNT 5%
0:100 64,71±0,51a
3,524 10:90 44,53±1,62b
20:80 40,89±0,23c
40:60 36,73±0,38c
Keterangan: * Setiap data hasil analisis merupakan rerata dari 3x ulangan ± standar deviasi * Angka dengan notasi menunjukkan berbeda nyata secara signifikan (α=0,05)
Hasil penelitian (Tabel 4.9) menunjukkan bahwa perbedaan proporsi
terigu dengan tepung umbi bit menyebabkan perbedaan nyata (α=0,05) terhadap
tingkat kecerahan roti kukus. Perbedaan proporsi tepung umbi bit 0%, 10%, dan
20% menunjukkan adanya pengaruh nyata terhadap kecerahan roti kukus
(mengalami penurunan secara signifikan), namun peningkatan proporsi tepung
bit 20% ke 40% tidak berpengaruh nyata (tidak mengalami penurunan secara
signifikan) terhadap kecerahan roti kukus. Rerata kecerahan tertinggi terdapat
pada proporsi tepung umbi bit 0% yaitu 64.71, sedangkan tingkat kecerahan
terendah terdapat proporsi tepung umbi bit 40% yaitu 36.73. Penurunan ini
disebabkan oleh proporsi tepung umbi bit yang digunakan, pigmen umbi bit dan
reaksi non enzimatis yang dapat mengakibatkan menurunnya tingkat kecerahan
pada roti kukus.
Umbi bit merupakan salah satu bahan pangan yang dapat memberikan
warna alami dalam produk pangan. Pigmen yang terdapat pada bit merah adalah
pigmen betalain yang memberikan warna merah keunguan pada umbi bit.
Betalain sangat jarang digunakan dalam produk pangan dibandingkan antosianin
dan betakaroten (Latorre, 2012). Pigmen yang ada di roti kukus akan semakin
meningkat seiring dengan penambahan tepung bit, sehingga kecerahan produk
semakin menurun. Saat proses pengukusan roti kukus, dapat terjadi reaksi non-
enzimatis yang menyebabkan penurunan kecerahan roti kukus seperti reaksi
40
Maillard dan karamelisasi, karena roti kukus mengandung protein dan memiliki
kadar gula yang cukup tinggi hasil hidrolisis karbohidrat inulin menjadi
monomernya, yaitu fruktosa. Reaksi maillard merupakan reaksi pencoklatan non-
enzimatis yang terjadi karena reaksi antara gula pereduksi dengan gugus amin
bebas dari asam amino atau protein (Catrien, 2008), sehingga kecerahan roti
kukus akan semakin gelap setelah di kukus. Semakin tinggi tingkat substitusi
tepung umbi bit, maka semakin tinggi juga kandungan inulin yang ada pada roti
kukus. Sehingga akan semakin banyak fruktosa atau gula pereduksi hasil dari
hidrolisis inulin akibat adanya panas yang akan bereaksi dengan gugus amin
bebas menyebabkan semakin intens reaksi Maillard. Semakin intens reaksi
Maillard yang terjadi, akan semakin menurunkan tingkat kecerahan pada roti
kukus. Betalain merupakan golongan antioksidan. Pigmen betalain sangat jarang
digunakan dalam produk pangan dibandingkan dengan antosianin dan
betakaroten (Wirakusumah, 2007).
4.2.4.2. Kemerahan (a)
Gambar 4.8 Grafik Rerata Tingkat Kemerahan (a) Roti Kukus Akibat Proporsi
Tepung Umbi Bit:Tepung Terigu dan Penambahan Bahan Pengembang
Gambar 4.8 menunjukan bahwa tingkat kemerahan pada substitusi
tepung umbi bit pada tepung terigu 0:100 menggunakan baking powder (warna
biru) adalah -0,3, kemudian substitusi tepung umbi bit pada tepung terigu 10:90
tingkat kemerahannya adalah 4,2 dan tingkat kemerahan paling rendah adalah
pada proporsi 40:60 sebesar 3,7 hal ini juga serupa dengan penambahan soda
kue (warna merah) pada proporsi 0:100 sebesar 0,7 setelah itu substitusi tepung
-0,3
4,2 4,13,7
0,7
2,52,3
2,1
-0,5
0,0
0,5
1,0
1,5
2,0
2,5
3,0
3,5
4,0
4,5
K1 (0:100) K2 (10:90) K3 (20:80) K4 (40:60)
Kem
erah
an (
a)
Proporsi Tepung Bit : Terigu
T1 (bakingPowder)
T2 (soda kue)
41
umbi bit pada tepung terigu 10:90 tingkat kemerahannya sebesar 2,5 dan paling
rendah adalah pada proporsi 40:60 sebesar 2,1.
Hasil analisa ragam (Lampiran 6.5.2), menunjukkan bahwa faktor proporsi
tepung umbi bit : tepung terigu memberikan pengaruh nyata (α=0,05) terhadap
kemerahan roti kukus. Faktor penambahan bahan pengembang menggunakan
baking powder atau soda kue tidak memberikan pengaruh nyata (α=0,05)
terhadap tingkat kemerahan roti kukus. Tidak terdapat interaksi antara kedua
faktor terhadap kemerahan roti kukus.
Tabel 4.10 Rerata Tingkat Kemerahan Roti Kukus Akibat Proporsi Tepung
Umbi Bit dan tepung Terigu
Proporsi Tepung
Umbi Bit : Tepung
Terigu (%)
Kemerahan BNT
5%
0:100 0,22±0,69b
1,244 10:90 3,36±1,24a
20:80 3,18±1,27a
40:60 2,91±1,19a
Keterangan: * Setiap data hasil analisis merupakan rerata dari 3x ulangan ± standar deviasi * Angka dengan notasi menunjukkan berbeda nyata secara signifikan (α=0,05)
Hasil penelitian (Tabel 4.10) menunjukkan bahwa perbedaan proporsi
terigu dengan tepung umbi bit berpengaruh nyata (α=0,05) terhadap kemerahan
roti kukus. Perbedaan proporsi tepung umbi bit 10%, 20%, dan 40% tidak
berpengaruh nyata terhadap kemerahan roti kukus (tidak mengalami penurunan
secara signifikan), namun pada roti kukus kontrol (tanpa penambahan tepung bit)
ternyata berpengaruh nyata (mengalami peningkatan secara signifikan) terhadap
kemerahan roti kukus. Pigmen yang terdapat pada bit merah adalah betalain.
Betalain merupakan pewarna alami yang banyak digunakan pada produk pangan.
Pigmen ini banyak dimanfaatkan karena kegunaannya selain sebagai pewarna
juga sebagai antioksidan dan radical scavenging sebagai perlindungan terhadap
gangguan akibat stres oksidatif. Sumber betalain yang paling banyak terdapat
pada akar bit (Beta vulgaris). Perkembangan antosianin sebagai pewarna
makanan lebih berkembang dibandingkan dengan betalain, karena terbatasnya
tanaman yang mengandung betalain (Latorre, 2012).
42
Betasianin merupakan pigmen berwarna merah atau merah-violet dalam
umbi bit merah merupakan turunan dari betalain. Hingga saat ini pigmen
betasianin yang telah diproduksi dalam skala besar hanya berasal dari buah bit
(Beta vulgaris L). Betasianin dari buah bit (Beta vulgaris L) telah diketahui
memiliki efek antiradikal dan aktivitas antioksidan yang tinggi (Mastuti, 2010).
Warna merah bit segar disebabkan oleh pigmen betasianin, suatu senyawa yang
mengandung nitrogen. Selain adanya pigmen tersebut keunggulan dari buah bit
ini adalah antioksidan yang tinggi, seperti diketahui bahwa adanya kandungan
vitamin C atau antioksidan dapat menghambat reaksi maillard atau karamelisasi
sehingga tingkat warna kemerahan dapat menurun seiring dengan penambahan
proporsi tepung umbi bit. Hal ini sesuai dengan literatur yang menyatakan bahwa
tingginya tingkat kemerahan (a*) mengindikasikan bahwa terjadi reaksi
pencoklatan nonenzimatis (Purwitasari, 2014). Sehingga adanya kandungan
asam askorbat pada umbi bit dapat menghambat pencoklatan sehingga tingkat
kemerahan semakin menurun.
4.2.4.3 Kekuningan (b)
Gambar 4.9 Grafik Rerata Tingkat Kekuningan (b) Roti Kukus Akibat Proporsi
Tepung Umbi Bit:Tepung Terigu dan Penambahan Bahan Pengembang
Gambar 4.9 hampir mirip dengan grafik tingkat kecerahan dimana pada
proporsi tepung umbi bit:terigu menggunakan baking powder dengan rasio
presentase 0:100, 10:90, 20:80 dan 40:60 memiliki tingkat kekuningan masing-
masing sebesar 33,9; 16,3; 12,2; dan 6,9 sedangkan pada proporsi tepung
umbi bit dengan terigu menggunakan soda kue dengan rasio presentase 0:100,
10:90, 20:80 dan 40:60 memiliki tingkat kekuningan masing-masing sebesar
33,9
16,3
12,2
6,9
35,4
17,3
13,5
9,0
0,0
5,0
10,0
15,0
20,0
25,0
30,0
35,0
40,0
K1 (0:100) K2 (10:90) K3 (20:80) K4 (40:60)
Kek
un
inga
n (
b)
Proporsi Tepung Bit : Terigu
T1 (bakingPowder)
T2 (soda kue)
43
35,4; 17,3; 13,5; dan 9,0. Berdasarkan Gambar 4.9 terlihat bahwa baking
powder nilainya lebih rendah dibandingkan dengan soda kue dan grafik
menunjukkan penurunan.
Hasil analisa ragam (Lampiran 6.5.3), menunjukkan bahwa faktor proporsi
tepung umbi bit : tepung terigu memberikan pengaruh nyata (α=0,05) terhadap
tingkat kekuningan roti kukus. Faktor penambahan bahan pengembang
menggunakan baking powder atau soda kue tidak berpengaruh nyata (α=0,05)
terhadap tingkat kekuningan roti kukus. Tidak terdapat interaksi nyata antara
kedua faktor terhadap tingkat kekuningan roti kukus. Rerata tingkat kekuningan
roti kukus akibat proporsi tepung umbi bit dan terigu dapat dilihat pada tabel 4.11
Tabel 4.11 Rerata Tingkat Kekuningan Roti Kukus Akibat Proporsi Tepung
Umbi Bit dan tepung Terigu
Proporsi Tepung
Umbi Bit : Tepung
Terigu (%)
Kekuningan BNT
5%
0:100 34,69±1,05a
2,711 10:90 16,34±0,65b
20:80 12,16±0,94c
40:60 7,94±1,45d
Keterangan: * Setiap data hasil analisis merupakan rerata dari 3x ulangan ± standar deviasi * Angka dengan notasi menunjukkan berbeda nyata secara signifikan (α=0,05)
Hasil penelitian (Tabel 4.11) menunjukkan bahwa perbedaan proporsi
terigu dengan tepung umbi bit berpengaruh nyata (α=0,05) terhadap tingkat
kekuningan roti kukus (mengalami penurunan secara signifikan seiring dengan
peningkatan proporsi tepung umbi bit). Tingkat Kekuningan tertinggi terdapat
pada roti kukus dengan proporsi tepung umbi bit 0% yaitu sebesar 34.69,
sedangkan tingkat kekuningan terendah terdapat pada roti kukus dengan
proporsi tepung umbi 40% yaitu sebesar 7,94.
Kandungan vitamin C yang terdapat pada bit merah dapat digunakan
sebagai sumber antioksidan yang potensial. Kandungan pigmen pada bit merah,
yaitu betasianin diyakini sangat bermanfaat untuk mencegah penyakit kanker,
terutama kanker kolon (usus besar) (Santiago dan Yahia, 2008). Warna merah
dari bit merah dikarenakan adanya anthocyanidin yang dapat melindungi sel
membran otak dan mempermudah penerimaan pesan neurotransmitter. Bit
44
merah mengandung vitamin A, vitamin B, vitamin C, zat besi, magnesium,
mangan, kalium, zink, bioflavonoid, gula murni dan betanine.
Bit merah adalah sumber potensial dari pigmen yang larut air yaitu betanin.
Betanin dalam bentuk betanidin 5-O-beta-glukosa merupakan antioksidan dan
pencegah aktif terjadinya induksi oksigen dan oksidasi oleh radikal bebas dari
molekul biologi. Berdasarkan sifat tersebut, pigmen dalam bit merah telah
digunakan sebagai bahan tambahan alami pada makanan dan minuman.
Pewarna bit merah dihasilkan dari ekstrak cair bit merah yang terdiri dari
berbagai macam pigmen yang semuanya termasuk dalam kelas betalain.
Betalain terdiri atas dua kelompok yaitu red betasianin dan yellow betaxanthin
dimana kedua macam pigmen yang terkandung di dalamnya memberikan
kontribusi terhadap tingginya aktivitas antioksidan pada bit merah. Kemampuan
aktivitas antioksidan bit merah untuk menghambat terjadinya oksidasi oleh
radikal bebas disebut dengan nilai % inhibition. Bit merah memiliki kadar
antioksidan tinggi yaitu sekitar 1,98 mmol / 100 gram (Ananda, 2008).
Penambahan asam askorbat dapat menghambat reaksi pencoklatan. Menurut
Djauhari (1998) menyatakan bahwa penggunaan 0,3% asam askorbat dapat
menghambat reaksi pencoklatan pada irisan ubi jalar untuk tujuan tepung
terfermentasi. Selain itu, penambahan asam askorbat berpengaruh nyata
terhadap warna beras siger karena penambahan asam askorbat dapat
menurunkan pH selama pengukusan sehingga menghambat terjadinya reaksi
maillard. Reaksi pencoklatan umumnya terjadi pada pH 9.
Tabel 4.11 menunjukkan rerata tingkat kekuningan roti kukus akibat
proporsi tepung umbi bit dan terigu mengalami penurunan. Hal ini jika
diperhatikan bahwa pada proporsi tepung umbi bit dengan terigu 0:100 tidak
mengandung antioksidan pada roti kukus karena terdiri dari 100% tepung terigu
sehingga tidak terjadi penghambatan reaksi maillard. Sedangkan tingkat
kekuningan roti kukus semakin menurun seiring dengan bertambahnya proporsi
tepung umbi bit atau semakin berkurangnya proporsi tepung terigu. Menurut
literatur, semakin tinggi nilai b* atau kekuningan diduga terjadinya reaksi
pencoklatan (Purwitasari, 2014). Sehingga dengan adanya asam askorbat dapat
menghambat reaksi pencoklatan pada roti kukus sehingga tingkat kekuningan
semakin menurun.
45
4.3 Pemilihan Produk Roti Kukus Terbaik
Pemilihan perlakuan terbaik pada produk roti kukus dengan penambahan
proporsi tepung umbi bit dan tepung terigu, serta baking powder atau soda kue
dilakukan dengan menggunakan pendekatan Deriinger’s desirability function
(Derringer, 1980). Metode Desirability-based Optimization digunakan untuk
menemukan perlakuan atau formula yang mendekati dengan nilai kontrol, dalam
hal ini secara fisik. Metode ini akan menampilkan nilai akhir pada suatu produk.
Nilai (DF) berkisar antara 0 hingga 1 dimana semakin mendekati 1 maka
formulasi roti kukus semakin mendekati kontrol, sehingga dipilihlah menjadi yang
terbaik. Pemilihan roti kukus dengan perlakuan terbaik berdasarkan parameter
fisik menggunakan desirability-based optimization dapat di lihat pada Tabel 4.12
Tabel 4.12 Pemilihan Roti Kukus dengan Perlakuan Terbaik Berdasarkan
Parameter Fisik Menggunakan Desirability-Based Optimization
Perlakuan D1 D2 D3 D4 D5 D6 DF RANK
K1T1 0,83 0,67 0,74 0,99 0,83 0,90 0,821 5,00
K2T1 0,94 0,93 0,64 0,96 0,93 0,99 0,885 2,00
K3T1 0,78 0,88 0,53 0,92 0,97 0,84 0,804 6,00
K4T1 0,54 0,78 0,48 0,91 0,92 0,70 0,696 7,00
K1T2 0,65 0,66 0,41 0,92 0,89 0,73 0,680 8,00
K2T2 0,74 0,98 1,44 0,94 0,98 0,83 0,962 1,00
K3T2 0,88 0,87 0,69 0,96 0,92 0,98 0,876 3,00
K4T2 0,84 0,79 0,74 0,98 0,88 0,94 0,854 4,00
Keterangan: DF : Desirability function D4 : Springiness D1 : Daya Kembang D5 :Cohesiveness D2 : Warna D6 : Porositas D3 : Kekerasan
Berdasarkan hasil perhitungan nilai perlakuan terbaik dari parameter fisik
terhadap roti kukus, didapatkan formulai terbaik roti kukus tersubstitusi tepung
umbi bit, yaitu K2T2 dengan proporsi tepung umbi bit 10% : tepung terigu 90%,
dengan penambahan soda kue. Roti kukus terbaik yang telah dipilih memiliki nilai
DF sebesar 0,962 yaitu nilai yang paling mendekati 1, dimana jika nilai DF
mendekati 1 maka roti kukus semakin baik secara fisik.
Dalam penggunaan metode optimasi, perlu ditetapkan kriteria atas dasar
fungsi keiginan (DF). Optimasi variabel respon secara simultan dilakukan dengan
menggunakan pendekaan fungsi keinginan (DF), seperti yang diusulkan oleh
46
Derringer dan suich (1980). Fungsi keinginan tiap respon dikonversikan menjadi
fungsi keinginan masing masing, dk =h(Ŷk), nilai dk berkisar antara 0 dan 1,
dimana dk = 0 berarti respon berada dalam rentang yang tidak diinginkan,
sedangkan dk = 1 berarti respon berada pada kondisi optimum sesuai keinginan
sehingga nilai dk berada pada 0<dk<1
Roti kukus perlakuan terbaik tersebut kemudian di analisa kandungan
kimianya, yaitu kadar air,kadar karbihidrat, kadar protein, kadar lemak, kadar pati,
kadar serat, uji aktivitas antioksidan, dan dilakukan uji organoleptik kepada
panelis. Parameter fisik roti kukus dengan perlakuan terbaik tersebut disajikan
pada Tabel 4.13.
Tabel 4.13 Parameter Fisik Roti Kukus Substitusi Tepung Umbi Bit Perlakuan
Terbaik
Parameter Perlakuan Terbaik
Daya Kembang (%) 70,65±2,29
Warna
Kecerahan (L*)
Kemerahan (a*)
Kekuningan (b*)
45,7±3,72
2,5±1,35
17,3±0,86
Kekerasan (g) 96,03±27,82
Springiness (mm) 7,47± 0,19
Cohesiveness 0,63±0,05
Porositas (%) 39,121±2,69
4.4 Karakteristik Kimia Roti Kukus Terbaik
Karakteristik kimia yang diuji dari roti kukus terbaik yang telah diuji
secara fisik adalah K2T2 (proporsi Tepung Umbi bit 10% : tepung terigu 90%
dan pemakaian soda kue), meliputi: kadar air,kadar karbihidrat, kadar protein,
kadar lemak, kadar pati, kadar serat, uji aktivitas antioksidan. Hasil analisa kimia
nya dapat dilihat pada Tabel 4.14.
47
Tabel 4.14 Komposisi Kimia Roti Kukus Proporsi Tepung Umbi Bit
PerlakuanTerbaik
Komposisi Kimia Kadar (%)
Kadar Air 9,24
Kadar Karbohidrat 74,06
Kadar Protein 11,83
Kadar Lemak 4,87
Kadar Pati 66,65
Kadar Serat 5,25
Aktivitas Antioksidan 19,47
4.4.1 Kadar Air
Kadar air merupakan parameter yang mempunyai peranan yang besar
terhadap stabilitas mutu suatu produk. Kadar air yang melebihi standar akan
menyebabkan produk tersebut rentan ditumbuhi mikroba atau jasad renik lainnya
sehingga akan mempengaruhi kestabilannya. Selain itu kadar air juga sangat
berpengaruh terhadap tekstur serta citarasa produk. Kadar air merupakan
karateristik kimia yang sangat berpengaruh pada bahan pangan karena dapat
mempengaruhi penampakan, tekstur, dan citarasa makanan. Kadar air dalam
suatu bahan pangan ikut menentukan kesegaran dan daya awet bahan pangan
tersebut (Yuniar, 2016).
Hasil analisa roti kukus perlakuan terbaik adalah 9.24%. roti kukus
termasuk dalam kue basah yang memiliki kadar air lebih tinggi daripada cookies
atau roti kukus. Sehingga tingkat keawetan pada roti kukus lebih rendah
daripada kue kering. persyaratan mutu untuk roti kukus hingga saat ini belum ada,
yang paling mendekati adalah SNI Roti Manis 01-3840-1995, berdasarkan SNI,
kadar air yang diperbolehkan maksimal 40%, sehingga kadar air pada roti kukus
masih memenuhi persyaratan.
4.4.2 Kadar Karbohidrat
Karbohidrat merupakan senyawa yang terbentuk dari molekul karbon,
hidrogen, dan oksigen. Karbohidrat merupakan salah satu jenis zat gizi yang
memiliki fungsi utama yaitu sebagai penghasil energi di dalam tubuh. Tiap 1
gram karbohidrat yang dikonsumsi, akan menghasilkan energi sebesar 9 kkal,
dan energi hasil proses oksidasi (pembakaran) karbohidrat ini kemudian akan
digunakan oleh tubuh untuk menjalankan berbagai fungsi-fungsinya seperti
48
bernapas, kontraksi jantung, dan otot serta juga untuk menjalankan berbagai
aktivitas fisik seperti berolahraga atau bekerja (Siregar, 2014).
Menurut Andarwulan (2011), karbohidrat mengandung gula pereduksi
yang berperan dalam reaksi pencoklatan non-enzimatis, yaitu reaksi Maillard
apabila bereaksi dengan senyawa yang memililiki gugus amino, seperti protein.
Pada analisa roti kukus perlakuan terbaik, mengandung karbohidrat
sebesar 74.06% , karbohidrat ini digunakan oleh tubuh untuk menjalankan
aktivitas fisik seperti berolah raga dan bekerja, fungsi yang lain seperti bernapas,
kontaksi jantung dan otot, sehingga kalau tubuh kita kekurangan karbohidrat
biasanya lemas dan mudah capek atau lelah.
4.4,3 Kadar Protein
Analisa kimia mengenai kadar protein bertujuan untuk mengetahui
persentase kadar protein yang terkandung pada roti kukus. Pada pemeriksaan
analisa roti kukus untuk kadar protein hasilnya adalah 11.83% . Kandungan
protein pada pembuatan roti kukus sangat penting karena sangat berhubungan
dengan gluten apabila kandungan gluten di dalam tepung tinggi, sifat elastis dan
daya kembang akan bagus, sehingga pemilihan tepung terigu sangat penting
pada penelitian ini, tepung terigu yang digunakan adalah tepung segitiga biru
yang mengandung protein sekitar 10%, sehingga konsistensi adonan akan baik
dari segi kekenyalan atau elastisitas, dan daya kembang.
Hal ini sesuai dengan literatur yaitu menurut Subagjo (2007), menyatakan
bahwa gluten merupakan salah satu faktor yang menentukan hasil produk
karena gluten akan mempengaruhi jaringan atau kerangka yang akan
mempengaruhi kualitas produk. Baik tidaknya suatu produk akan ditentukan oleh
baik tidaknya jaringan, baik tidaknya jaringan akan ditentukan oleh kuatnya
gluten, kuat tidaknya gluten dipengaruhi banyak tidaknya kandungan protein,
banyak sedikitnya kandungan protein akan ditentukan oleh jenis tepung yang
digunakan. Hal ini juga sesuai dengan pendapat Subarna, (2002) bahwa sifat
dari tepung harus mampu menyerap air dalam jumlah banyak untuk mencapai
konsistensi adonan yang tepat, dan memiliki elastisitas yang baik untuk
menghasilkan suatu produk dengan tekstur lembut dan volume yang besar.
49
4.4.4 Kadar lemak
Lemak merupakan polimer yang tersusun dari unsur-unsur karbon,
hydrogen, dan oksigen. Lemak mempunyai sifat tidak larut dalam air. Struktur
dasar lemak adalah triester dan gliserol yang dinamakan trigliserida. Kadar lemak
tepung sangat berhubungan erat dengan ketahanan produk olahan yang
berbahan dasar tepung terhadap ketengikan karena oksidasi lemak (Andriani,
2012). Hasil analisa kadar lemak dari roti kukus pelakuan terbaik adalah 4.87%
Lemak yang digunakan dalam pembuatan roti kukus adalah margarin.
Lemak didalam makanan memegang peranan yang penting dalam pembuatan
roti kukus, yaitu berkaitan dengan volume, citarasa, tekstur, aroma, warna, daya
simpan, kelembutan pada kue, memberikan sifat moist pada kue, dan membuat
kue kukus mudah ditelan. Lemak yang ditambahan dalam adonan dapat melapisi
matriks pati-protein dalam adonan sehingga menghasilkan roti kukus dengan
tekstur yang lembut (Setiawan, 2013). Hal ini juga didukung oleh pendapat De
Mann (1999), yang menyatakan bahwa margarin mengandung sejumlah besar
lipid dan sebagian dari lipid tersebut terdapat dalam bentuk terikat sebagai
lipoprotein. Selain margarin, kuning telur juga menyumbang kadar lemak yang
tinggi pada produk. Menurut Toha (2004), kadar lemak pada kuning telur
mencapai 32%. Semakin banyak penambahan margarin, kuning telur, atau
sumber lemak lainnya dalam proses pembuatan cookies atau kue bolu , akan
semakin membuat kadar lemak menjadi tinggi, tentunya kue bolu akan menjadi
lebih enak dan lembut.
4.4.5 Kadar Pati
Pati memiliki nama lain yang cukup umum digunakan, yaitu amilum. Pati
sendiri masih termasuk di dalam jenis karbohidrat kompleks yang tak dapat larut
di dalam air. pati memiliki karakteristik berupa bubuk putih dan tidak berbau, pati
mempunyai rasa tawar. Pati atau amilum dibagi menjadi dua jenis, yakni
amilopektin dan amilosa di mana komposisi keduanya tidaklah sama antara satu
dengan yang lain. Amilopektin tidak mengeluarkan reaksi, sedangkan amilosa
pada tes iodin dapat menghasilkan warna ungu yang cukup pekat. Amilopektin
akan memicu adanya sifat lengket, sedangkan amilosa justru yang bersifat keras
(Ramadhani, 2016).
Pada pembuatan roti kandungan pati sangat berperan banyak karena
pada saat pemanasan pati akan mengalami proses gelatinisasi dimana
50
kandungan amilopektin akan memicu adanya sifat lengket sedangakn amilosa
justru yang bersifat keras, sehingga bersama dengan gluten yang ada dalam
tepung terigu akan membentuk lapisan elastis yang akan memerangkap gas
CO2 untuk volume pengembangan dalam pembuatan roti (Nurfajri, 2017).
Berdasarkan analisa, nilai kandungan pati adalah 66,65% pada pemilihan roti
kukus terbaik yaitu pada proporsi tepung umbi bit 10% dan tepung terigu 90%
dengan pemakaian soda kue.
4.4.6 Kadar Serat
Terdapat dua jenis serat dalam pangan menurut Santoso (2011) yaitu
Serat pangan yang larut dalam air (soluble fiber). Serat yang larut dalam air
dapat menyerap air selama pencernaan, sehingga membantu mengeluarkan
feses dan mengurangi kadar kolesterol darah. Jenis serat ini dapat ditemukan
pada sayur-sayuran, buah-buahan (seperti apel, jeruk, dan anggur), kacang-
kacangan, dan gandum. Serat pangan tidak larut dalam air (insoluble fiber) Serat
pangan tidak larut tidak berubah selama di dalam pencernaan dan membantu
pergerakan usus. Jenis serat ini dapat ditemukan pada kacang polong, susu
kedelai, beras cokelat, dan produk olahan gandum. Asupan serat pangan
sebagian besar diperoleh dari konsumsi pangan pokok, lauk nabati, sayuran dan
buah-buahan. Beberapa pangan pokok yang mengandung tinggi serat adalah roti
gandum, havermut, dan jagung. Jenis lauk nabati yang mengandung tinggi serat
antara lain kacang-kacangan, tempe, dan tahu. Jenis sayuran yang mengandung
tinggi serat antara lain melinjo, kacang panjang, dan sawi. Jenis buah yang
mengandung tinggi serat antara lain kelapa, kurma, dan alpukat.
Kadar serat pada pembuatan roti kukus yaitu sebesar 5.25% sehingga
substitusi tepung terigu oleh tepung umbi bit merupakan alternatif yang bagus
dan baik untuk kesehatan, disamping kandungan antioksidan, vitamin dan
mineral yang tinggi, kandungan serat juga sangat mendukung untuk kebutuhan
tubuh akan serat.
4.4.7 Aktivitas Antioksidan
Antioksidan merupakan suatu zat yang mampu menetralisir atau
meredam dampak negatif dari adanya radikal bebas. Radikal bebas sendiri
merupakan suatu molekul yang mempunyai kumpulan elektron yang tidak
berpasangan pada suatu lingkaran luarnya. Manfaat dari antioksidan untuk
menangkal radikal bebas ini yang menjadikan antioksidan sangat banyak diteliti
51
oleh para peneliti. Berbagai hasil penelitian, antioksidan dilaporkan dapat
memperlambat proses yang dapat diakibatkan oleh radikal bebas seperti adanya
tokoferol, askorbat, flavonoid, dan adanya likopen (Andriani, 2007).
Antioksidan mudah ditemukan pada makanan dan minuman sehari-hari.
Contoh antioksidan yaitu vitamin C, vitamin E, dan karotenoid seperti lutein, beta
karoten, serta likopen di mana banyak terdapat pada sayur dan buah. Vitamin E
membantu melindungi sel tubuh dari kerusakan yang dapat menyebabkan
kanker, penyakit jantung, hingga penyakit mata. Vitamin E biasanya bekerja
bersama dengan vitamin C untuk mencegah berbagai penyakit degeneratif.
Vitamin E dapat ditemukan pada minyak yang berasal dari tumbuhan,
produk whole grain, biji-bijian, serta kacang-kacangan (Nanda, 2007).
Selain vitamin E, vitamin C merupakan jenis antioksidan yang paling
banyak dikenal. Membantu melindungi tubuh dari infeksi, mencegah kerusakan
sel, hingga membantu produksi kolagen yang berfungsi untuk melekatkan tulang
dengan otot merupakan beberapa manfaat dari vitamin C. vitamin C dapat
temukan pada buah jeruk, mangga, pepaya, stroberi, hingga sayur-sayuran
seperti tomat, brokoli, dan kentang (Nanda, 2007).
Umbi bit mengandung berbagai macam komponen biokimia yang dapat
berfungsi sebagai antioksidan. Kandungan antioksidan bit merah terdiri dari
senyawa flavonoid (350-2760 mg/kg), betasianin (840-900 mg.kg), betanin (300-
600 mg/kg), asam askorbat (50-868 mg/kg) dan karotenoid (0,44 mg/kg)
(Ananda, 2008). Pada roti kukus, memiliki aktivitas antioksidan sebesar 19.47%.
melihat komposisi yang lengkap dari tepung umbi bit peneliti sangat
menyarankan bahwa substuti tepung terigu dengan tepung umbi bit merupakan
alternatif untuk camilan atau makanan yg terbuat dari kue yang dapat dikonsumsi
bagi masyarakat agar kebutuhan akan protein, vitamin, mineral dan antioksidan
dapat tercukupi. Pada pembuatan roti kukus antioksidan sangat berperan dalam
menghambat reaksi maillard atau karamelisasi sehingga penampakan warna roti
mejadi lebih baik .
4.5 Pengujian Organoleptik Kue Kukus Terbaik
Pengujian organoleptik yang dilakukan adalah uji kesukaan atau uji
hedonik (Hedonic Scale Scorring) dengan melibatkan 60 panelis tidak terlatih.
Sifat sensori meliputi rasa, warna, aroma, Mouthfeel, dan Overall liking. Skala
hedonik yang digunakan adalah 1 hingga 5, dimana 1= sangat tidak suka; 2=
52
tidak suka 3=agak suka; 4= suka, dan 5=sangat suka , Nilai skala yang diberikan
panelis digunakan untuk mengetahui nilai kesukaan panelis terhadap roti kukus
yang memiliki fisik terbaik berdasarkan uji fisik meliputi warna, aroma, rasa,
mouthfell, overal linking. Hasil uji organoleptik kue kukus terbaik berdasarkan
tingkat kesukaan dari masing-masing parameter dapat dilihat pada Tabel 4.15
Tabel 4.15 Uji Organoleptik Roti Substitusi Tepung Umbi Bit Perlakuan Terbaik
Parameter Skala Hedonik
Rata-rata 1 2 3 4 5
Warna 1 9 30 18 2 3,18
Aroma 0 6 22 26 6 3,53
Rasa 0 5 22 24 9 3,62
Mouthfeel 0 8 26 21 5 3,38
Overall Liking 0 4 32 20 4 3,4
Rata-rata 3,42
Keterangan: Skala hedonik angka 1 = sangat tidak suka angka 4 = suka angka 2 = tidak suka angka 5 = sangat suka angka 3 = agak suka
hasil yang didapat adalah nilai rata-rata 3.42, dibulatkan menjadi 3 jadi pada uji
organoleptik panelis memilih skala 3 yaitu agak suka.
4.5.1 Warna
Warna merupakan salah satu komponen yang penting dalam pembuatan
roti kukus. Konsumen atau panelis akan kurang tertarik untuk mengkonsumsi jika
warna terlihat tidak menarik atau kurang bagus. Tingkat kesukaan untuk warna
dapat dilihat pada Tabel 4.15, dengan skala 1 (sangat tidak suka) : 1 panelis,
skala 2 (tidak suka) : 9 panelis, skala 3 (agak suka) : 30 panelis, skala 4 (suka) :
18 panelis , skala 5 (sangat suka) : 2 panelis dengan rata-rata 3.18, yang
dibulatkan menjadi 3 (agak suka). Menurut rata-rata panelis, roti kukus memiliki
warna yang kurang menarik. Warna yang dihasilkan oleh roti kukus perlakuan
terbaik memiliki warna lebih gelap dari roti kukus kontrol yaitu berwarna merah
kecoklatan. Namun beberapa panelis juga menyatakan warna tersebut dianggap
menarik sehingga panelis menyukai roti kukus dengan perlakuan terbaik.
Timbulnya warna kemerahan pada roti kukus ini disebabkan karena tepung umbi
bit mengandung pigmen betalain, yaitu pigmen yang berwarna kemerahan dan
53
berpotensi digunakan sebagai pewarna alami pada umbi bit (Novatama, 2016).
Warna merupakan komponen yang penting dalam menentukan kualitas atau
derajat penerimaan dari suatu bahan pangan. Warna yang menarik akan
menentukan derajat penerimaan dari suatu bahan pangan. Suatu bahan pangan
yang dinilai bergizi, enak dan teksturnya sangat baik akan terlihat tidak menarik
selera apabila memiliki warna yang tidak sedap dipandang atau memberi kesan
yang menyimpang dari warna yang seharusnya (Winarno, 1997).
4.5.2. Aroma
Tingkat kesukaan untuk aroma dapat dilihat pada Tabel 4.15, dengan
skala 1 (sangat tidak suka) : 0 panelis, skala 2 (tidak suka) : 6 panelis, skala 3
(agak suka) : 22 panelis, skala 4 (suka) : 26 panelis ,skala 5 (sangat suka) : 6
panelis dengan rata-rata 3.53, yang dibulatkan menjadi angka 4 (suka).
Berdasarkan pernyataan panelis, secara keseluruhan menyukai aroma dari roti
kukus perlakuan terbaik. Hal ini karena menurut panelis roti kukus perlakuan
terbaik memiliki aroma khas yang cukup kuat, selain itu juga terdapat aroma
gurih dan harum sehingga rata-rata panelis menyukai dan tertarik pada aroma
roti kukus. Bit merah memiliki aroma tanah yang disebabkan oleh senyawa
geosmin. Geosmin merupakan senyawa metabolit aromatik volatil sekunder yang
bertanggungjawab terhadap cita rasa khas tanah dalam bit merah (Lu, 2003). Hal
ini yang menyebabkan timbulnya aroma khas pada roti kukus perlakuan terbaik.
Menurut Winarno (1997), Aroma merupakan faktor penting untuk menentukan
tingkat penerimaan konsumen terhadap suatu produk. Hal ini karena sebelum
dimakan biasanya konsumen terlebih dahulu mencium aroma dari produk
tersebut untuk menilai layak tidaknya produk tersebut dikonsumsi. Aroma yang
enak dapat menarik perhatian konsumen dan kemungkinan besar memiliki rasa
yang enak pula sehingga konsumen cenderung lebih menykai makanan dari
aromanya.
4.5 3.Rasa
Rasa merupakan parameter penting untuk penerimaan konsumen
terhadap suatu produk. Jika suatu produk sudah memenuhi syarat kenampakan,
nilai gizi, harga, dan keamanan tetapi memiliki citarasa yang tidak disukai, maka
produk tersebut akan ditolak. Tingkat kesukaan untuk aroma dapat dilihat pada
Tabel 4.15, dengan skala 1 (sangat tidak suka) : 0 panelis, skala 2 (tidak suka) :
54
5 panelis, skala 3 (agak suka) : 22 panelis, skala 4 (suka) : 24 panelis , skala 5
(sangat suka) : 9 panelis dengan rata-rata 3.62, yang dibulatkan menjadi skala 4
(suka). Dari hasil dapat disimpulkan rasa kue kukus perlakuan terbaik disukai
oleh panelis. Berdasarkan pernyataan panelis secara keseluruhan mengenai
rasa, roti kukus terbaik memiliki rasa yang pas yaitu tidak terlalu manis, lembut
tidak terlalu keras, tidak memiliki rasa amis dari telur dan terdapat rasa butter.
Beberapa panelis lain juga menyebutkan bahwa pada roti kukus bit perlakuan
terbaik terdapat rasa kurang enak dari bit seperti rasa sedikit pahit. Menurut
literatur, rasa kurang enak pada bit diidentifikasikan sebagai earthy taste. Rasa
tersebut dapat ditemukan pada bit karena bit termasuk dalam umbi yang berada
dalam tanah. Flavour yang terdapat pada umbi bit dihasilkan oleh senyawa
organik yang disebut geosmin. Geosmin merupakan senyawa organik yang
dihasilkan oleh beberapa mikroba yang hidup di tanah, air tawar dan air laut
seperti cyanobacteria dan actinobacteria. Senyawa geosmin akan dilepaskan
ketika mikroba mati dan saat terkena terpaan air hujan, geosmin akan terangkat
ke udara sehingga memiliki aroma tanah dan rasa tanah (Akis, 2014). Meskipun
terdapat sedikit rasa earthy taste yang kurang disukai pada roti kukus terbaik,
namun produk roti kukus masih dapat diterima dengan balik oleh panelis.
4.5.4 Mouthfeel
Mouthfeel hampir sama dengan rasa, biasanya untuk mouthfeel dikaitkan
dengan “after taste” yaitu apakah ada rasa yang tidak disukai setelah memakan
kue kukus tersebut, misalkan ada rasa pahit, getir atau rasa lain yang kurang
disukai. Pada Tabel 4.15, skala 1 (sangat tidak suka) : 0 panelis, skala 2 (tidak
suka) : 8 panelis, skala 3 (agak suka) : 26 panelis, skala 4 (suka) : 21 panelis,
skala 5 (sangat suka) : 5 panelis dengan rata-rata 3.38, dapat disimpulkan
bahwa formula kue kukus K2T2 masih masuk kategori 3 (agak disukai).
Berdasarkan pernyataan panelis secara keseluruhan, mouthfeel pada roti kukus
perlakuan terbaik cukup dapat diterima. Rata-rata panelis menyatakan bahwa roti
kukus terbaik memiliki mouthfeel yang cukup lembut, tidak bantet, tidak penuh di
mulut, dan tidak terasa lengket sehingga mudah untuk ditelan. Selain itu
beberapa panelis juga menyatakan bahwa pada roti kukus terbaik memiliki after
taste sedikit pahit atau earthy taste seperti beraroma tanah yang kurang disukai
namun masih dapat diterima oleh panelis. Menurut Martiyanti (2018), Mouthfeel
termasuk dalam jenis tekstur. Mouthfeel merupakan kesan kinestetik
55
pengunyahan makanan dalam mulut yang mencakup kelompok kesan yang
dinyatakan dengan istilah fibrousness, grittiness, stickiness, dan oiliness. Tekstur
suatu produk pangan berperan penting dalam proses penerimaan produk oleh
konsumen. Mutu tekstur ditentukan oleh kemudahan terpecahnya partikel-partikel
penyusunnya bila produk tersebut dikunyah. Tingkat kesukaan tekstur suatu
bahan di mulut mulai dapat dirasakan ketika bahan dipotong, dikunyah, dan
ditelan. Hal ini sesuai dengan literatur menurut Syarbini (2016), menyatakan
bahwa Tekstur roti dapat dinilai dengan menggunakan indera perabaan. Tekstur
roti yang ideal harus memiliki tekstur yang halus, kemampuan kembali pada
kondisi semula saat ditekan dan tidak mudah menggumpal.
4.5.5. Overall liking
Pada tabel 4.15 , skala 1 (sangat tidak suka) : 0 panelis, skala 2 (tidak
suka) : 4 panelis, skala 3 (agak suka) : 32 panelis, skala 4 (suka) : 20 panelis,
skala 5 (sangat suka) : 4 panelis dengan rata-rata 3.4, dapat disimpulan bahwa
formula kue kukus K2T2 secara keseluruhan masuk pada skala 3 (agak disukai)
baik itu warna, rasa, aroma dan mouthfeel .
56
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Faktor proporsi tepung umbi bit dengan tepung terigu memberikan pengaruh
nyata (α=0,05) pada daya pengembangan, tingkat cohesiveness, porositas
dan warna (kecerahan, kemerahan, dan kekuningan) pada pembuatan roti
kukus. faktor penambahan bahan pengembang yaitu baking powder dan soda
kue juga berpengaruh nyata (α=0,05) pada daya pengembangan, tingkat
kekerasan, tingkat springiness, dan porositas pada pembuatan roti kukus.
2. Perlakuan terbaik terdapat pada roti kukus dengan proporsi tepung terigu 90%
dan tepung umbi bit 10% dengan penggunaan bahan pengembang yaitu soda
kue dengan parameter fisik yaitu daya pengembangan sebesar 70,65%,
kekerasan 96,03 g, springiness 7,47 mm, cohesiveness 0,63, porositas
32,82%, kecerahan 45,7, kemerahan 2,5, dan kekuningan: 17,30
3. Karakteristik kimia roti kukus terbaik memiliki kadar air sebesar 9,24%, kadar
karbohirat 74,06%, Kadar protein 11,83%, kadar lemak 4,87%, kadar pati
66,65%, kadar serat 5,25%, dan aktivitas antioksidan 19,47%.Tingkat
kesukaan konsumen pada uji organoleptik memiliki hasil rata-rata skala 3,
artinya konsumen cukup menyukai roti kukus pada perlakuan terbaik
5.2 Saran
1. Diperlukan adanya modifikasi dalam formulasi atau penambahan bahan
tertentu untuk menghilangkan atau mengurangi rasa yang kurang disukai
pada umbi bit
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut pada roti kukus untuk scale up agar
dapat diproduksi secara massal dan dapat lebih awet sehingga memiliki nilai
ekonomis yang tinggi.
57
Daftar Pustaka
Afifah, Nurul. 2013. Uji Salmonella-Shigella pada Telur Ayam yang Disimpan
Pada Suhu dan Eaktu yang Berbeda. Jurnal Ilmiah Edu Research. Vol.
2(1): 35-46
Agic, Rukie dkk. 2018. Yield and Quality of Beetroot (Beta vulgaris ssp.esculenta
L.) As A Result of Microbial Fertilizers. The Serbian Journal of Agriculture
Science. Vol. 67(1): 40 – 44
A k i s , E r i c . 2 0 1 4 . A s k E r i c : W h y D o B e e t s T a s t e L i k e D i r t ? .
www.timescolonist.com, diakses pada 12 Juli 2019
Aulia, Fitrian. 2019. Pengaruh Suplementasi Tepung Bit Merah (Beta vulgaris L.
Var. Rubra L.) dan Suhu Pengovenan Terhadap Karakteristik Fisikokimia
dan Organoleptik Cookies. Skripsi. Jurusan Teknologi Hasil Pertanian
Universitas Brawijaya
Amendola J, dan Rees N. 2003. Understanding Baking: The Art and Science of
Baking Third Edition. Hoboken: John Wiley & Sons
Ananda, Laurensia. 2008. Karakteristik Fisikokimia Serbuk Bit Merah (Beta
vulgaris L.) yang Diproses dengan Variasi Drying Agents dan
Maltodekstrin sebagai Coating Agent. Semarang: Perpustakaan Unika
Andarwulan, Nuri., dan RH Fitri Faradilla. 2012. Pewarna Alami Untuk Pangan.
Bogor: SEAFAST Center
Andriani, Y. 2007. Uji Aktivitas Antioksidan Betaglukan dari Saccharomyces
cerevisiae. Jurnal Gradien. 3 (1) : 226-230
AOAC. 1999. Official Methods of Analysis of the Association of Official Analytical
Chemists. USA, Washington
AOAC. 2005. Official Methods of Analysis of the Association of Official Analytical
Chemists. Benjamin Franklin Station, Washington
Apriyanto A, dkk. 1989. Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. Pusat Antar Universitas Pangan da Gizi:IPB
Bourne, M. C. 2002. Food Texture and Viscosity: Concept and Measurement.
San Diego: Academic Press
Budoyo, Edwin A.S., Thomas I.P.S., dan Anna I.W. 2014. Substitusi Terigu
dengan Tepung Labu Kuning Terhadap Sifat Fisik dan Organoleptik
Muffin. Jurnal Teknologi Pangan dan Gizi Vol. 13 (2): 75-80
Colville, Thomas P. 2016. Clinical Anatomy and Phsiology for Veterinary
Technicians. Riverport Lane: Elsevier
58
Derringer, G., R. Surich. 1980. Simultaneous Optimization of Several Response
Variables. J. Qual Technology, Vol 12 : 214-219
Dewi, Nova Sarifah dkk. 2015. Evaluasi Pengaruh Penggunaan Bahan Pengganti
Telur (Egg Replacer) pada Pembuatan Cake. Jurnal Rekayasa Pangan
danPeranian Vol. 4(4): 441-447
Ekayani, Ida Ayu Putu Hemy. 2011. Efisiensi Penggunaan Telur Dalam
Pembuatan Sponge Cake. UNDIKSHA Vol. 8(2): 59-74
Faridah, Anni., dkk. 2008. Patiseri Jilid 2 untuk SMK. Jakarta: Direktorat
Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
FDA. 2018. CFR – Code of Federal Regulations Title 21.https://www.accessdata.
fda.gov/scripts/cdrh/cfdocs/cfcfr/CFRSearch.cfm?=166.110. Diakses pada
26 November 2018
Grace, Yosephin. 2016. Daya Terima Bubur Bayi Instan Dengan Penambahan
Umbi Bit (Beta vulgaris L.) serta Kandungan Zat Gizi. Medan: Universitas
Sumatera Utara
Haliza, Winda., Sari Intan K., dan Sri Yuliani. 2012. Penggunaan Mixture Surface
Methodology pada Optimasi Formula Brownies Berbasis Tepung Talas
Banten (Xanthosoma undipes K.Koch) sebagai Alternatif Pangan Sumber
Serat. Bogor: Jurnal Pascapanen Vol.9(2):96-106
Hartanto, H. 2012. Identifikasi Potensi Antioksidan Minuman Cokelat dari Kakao
Lindak (Theobroma Cacao L.) dengan Berbagai Cara Preparasi: Metode
Radikal Bebas 1,1 Diphenyl-2-Picrylhydrazyl (DPPH). Universitas Katolik
Widya Mandala: Surabaya
Helmenstine, A. 2014. Baking Soda Science Projects Experiment with Baking
Soda or Sodium Bicarbonate. Diakses pada 26 November 2018
Hernanda, Nindya. 2011. Analisis Peramalan Tingkat Produksi dan Konsumsi
GulaIndonesia dalam Mencapai Swasembada Gula Nasional. Bogor:
Institut Pertanian Bogor
Hui, Yiu H. 2006. Handbook of Food Science Technology and Engineering. USA:
CRC Press
Huopalahti, Rainer., Rosina Lopez F., Marc Anton., dan Rudiger Schade. 2007.
Bioactive Egg Compounds. Berlin: Springer
Inggrid, H.M dan Santoso, H. 2014. Ekstrasi Antioksidan dan Senyawa Aktif dari
Buah kiwi (Actinidia deliciosa). Skripsi. Universitas Katolik Parahyangan.
bandung
59
Joseph, Novita. 2018. Berbagai Manfaat Buah Bit untuk Kesehatan Tubuh.
www.hellosehat.com
Kafah, Fikri Fitriya Silmi. 2012. Karakteristik Tepung Talas (Colocasia esculeta
(L) Schott) dan Pemanfaatannya dalam Pembuatan Cake. Skripsi. Institut
Pertanian Bogor
Keran H, Salkic M, Odobasic A. 2009. The Importance of Determination of Some
Physical-Chemical Properties of Wheat Flour. Agriculturae Conspectus
Scientificus. Vol 74(3): 197-200
Koswara, Sutrisno. 2009. Teknologi Pengolahan Roti. Seri Teknologi Pangan
Populer (Teori dan Praktek). eBookPangan.com
Kumar, Yashwant. 2015. Beetrot: A Super Food. IJESTA: engineering Studies
and Technical Approach Vol. 01 No. 3
kurniawan, Candra., Thomas B. W., dan Perdamean S. 2011. Analisis Ukuran
Partikel Menggunakan Free Software Image-J. Serpong: Seminar
Nasional Fisika
Latorre, M.E., dkk. 2012. Microwave Innactivation of Red Beet (Beta vulgaris L.)
Peroxidase and Polyphenoloxidase and The Effect of Radiation On
Vegetable Tissue Quality. Journal of Food Engineering. 109(1):676-684
Lawless, H.T., Heymann, H. 2013. Sensory Evaluation of Food: Principle and
Practice. New York: Chapman and Hall
Lingga, Lanny. 2010. Cerdas Memilih Sayuran. Jakarta: agromedia Pustaka
Lu, G., C.G. Edwards, J.K. Fellman, D.S Mattinson., dan J. Navazio. 2003.
Biosynthetic Origin Of Geosmin In Red Beets (Beta vulgaris L.) .
Agricultural and Food Chemical Journal 51:1026-1029
Martiyanti, M. Anastasia. 2018. Sifat Organoleptik Mi Instan Tepung Ubi Jalar
Putih Penambahan Tepung Daun Kelor. Jurnal Teknologi Pangan Vol.1
(1): 1-13
Mayasari, Anastasia., Dwi Ishartani., dan Siswanti. 2017. Kajian Sifat Sensoris,
Fisik, Dan Kimia Pound Cake Substitusi Tepung Labu Kuning (Cucurbita
moschatta) Termodifikasi Asam Asetat. Jurnal Teknologi Hasil Pertanian
Vol. 10 (1): 10-20
Meilgaard, M., Civille G.V., Carr B.T. 1999. Sensory Evaluation Techniques.
Boca Raton: CRC Press
Molyneux, P. 2004. The Use of the Stable Free Radical Diphenylpicryl hydryazyl
(DPPH) for Estimating Antioxidant Activity. Songklanakarin J. Sci. Technol.
60
26(2) : 211-219
NCC Indonesia. 2005. Baking Powder VS Soda Kue/Baking Soda. www.ncc-
indonesia.com. Diakses pada 6 Juni 2019
Ninna, L. 2018. Apa Bedanya Baking Soda vs Baking Powder. www.resepkoki.id.
Diakses pada 29 Mei 2019
Norn, Viggo. 2015. Emulsifier in Food Technology Second Edition. UK: John
Wiley & Sons
Novatama, Stephanie Mutiara., dan Ersanghono Kusumo dan Supartono. 2016.
Identifikasi Betasianin dan Uji Antioksidan Ekstrak Buah Bit Merah (Beta
vulgaris L.). indonesian Journal of Chemical Science: Universitas Negeri
Semarang
Nur, Amelia Sandra., dkk. 2016. Bahan Tambahan Makanan (BTM). Mataram:
Universitas Mataram
Nurfajri, Afina Firdiana., dkk. 2017. Gelatinisasi dan Hidrolisis Pati dari Tepung
Terigu. Bandung: Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati
O’Brien, R.D. 2009. Fat and Oils: Formulatin and Processing for Applications.
Boca Raton: CRC Press
Perka BPOM. 2013. Batas Maksimum Penggunaan Bahan Tambahan Pangan
Pengembang. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2013
Pinela, J., Lillia, B., Anna, MC., Isabel, CFR. 2012. Nutritional Composition and
Antioxidant Activity of Four Tomato (Lycopersicon esculentum L.) Farmer
Varieties In Notheastern Portugal Homegardens. Food and Chemical
Toxicology.50:829-834
Primarasa. 2014. Cake Lembut dan Lezat. Jakarta: PT. Gaya Favorit Press
Purwitasari, Aprilia. 2014. Pengaruh Suhu dan Waktu Terhadap Sifat Fisik Kimia
dalam Pembuatan Konsentrat Protein Kacang Komak (Lablab purpureus
(L) sweet). Jurnal Bioproses Komoditas Tropis Vol. 2 (1):42-49
Rahayu, E, Farida. 2010. Modul Diklat Aneka Cake. Padang: Dinas Pendidikan
Kota Padang
Raysita, Nina., Lucia Tri. P. 2013. Pengaruh Proporsi Tepung Terigu dan Tepung
Mocaf (Modified Cassava Flour) Terhadap Tingkat Kesukaan Chiffon
Cake. Surabaya: Fakultas Teknik
Riewpassa, F. 2005. Biskuit Konsentrat Protein Ikan dan Prebiotik sebagai
Makanan Tambahan untuk Meningkatkan Antibodi IgA dan Status Gizi
61
Anak Balita. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor
Risa, P.A., Marsiti. 2007. Modul “Pelatihan Ketrampilan Boga”. Singaraja.
Universitas Pendidikan Ganesha
Rosenthal, A.J. 1999. Food Texture: Measurements and Perception. Aspen
Publisher. Inc, Mayland
Schwarz K, Huang, S. W., German, J.B., Tiersch, B., Hartman, J., and Frankel,
E.N. 2000. Activities of Antioxidants Are Affected by Colloidal Properties
of Oil-in Water and Water-in-Oil Emulsions and Bulk Oils. J. Agric. Food.
Chem. 48(10):4874-4882
Setiawan, Hendra. 2013. Karakteristik Fisikokimia dan Organoleptik Cake Beras
dengan Proporsi Bubur Apel dan Margarin. Surabaya: Universitas Katolik
Widya Mandala
Shaumi, Dewi Rahmatika. 2016. Karakterisasi Sifat Fisikokimia Tepung Terigu
Komersial dan Aplikasinya Dalam Proses Pembuatan Roti Tawar di PT.
Bungasari Flour Mills Indonesia. Bogor: Institut Pertanian Bogor
SNI (3751-2009). Tepung Terigu sebagai Bahan Makanan. Jakarta : Standar
Nasional Indonesia
Susanto, Sisca. 2005. Cake Lembut Sponge Cake, Angel Food Cake & Chiffon
Cake. Jakarta: Gramedia
Susanto T dan Yuwono,S.S.T. 1998. Pengujian Fisik Pangan. Surabaya: UNESA
Sulistianing, R., 1995. Pembuatan dan Optimasi Formula Roti Tawar dan Roti
Manis Skala Kecil. IPB (Bogor Agricultural University)
Soewitomo, Sisca. 2014. Step By Step 80 Resep Cake & Pastry. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama
Subarna. 2002. Baking Technology: Pelatihan Singkat Prinsip-Prinsip Teknologi
Pangan Bagi Food Inspector. Bogor: PAU Pangan Dan Gizi IPB
Sunandar, R. 1986. Substitusi Parsial Tepung Terigu dan Penambahan Potasium
Bromat dalam Pembuatan Roti Tawar. Skripsi. Bogor: IPB
Syarbini, Husin. 2016. A-Z Bakery: Fungsi Bahan, Proses Pembuatan Roti,
Panduan Menjadi Bakepreneur. Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri
USDA. 2018. National Nutrient Database for Standard Reference, Basic Report
11080, Beets, Raw. USDA. United State America
U.S Wheat Associates. 1981. Pedoman Pembuatan Roti dan Kue. Jakarta
Wardani, Dewasasri M. 2017. Bit Merah, Penjaga Sistem Kardiovaskular Sehat.
www.satuharapan.com
62
Widowati, S. 2009. Tepung Aneka Umbi Sebuah Solusi Ketahanan Pangan.Balai
Besar Penelititan dan Pengembangan Pascapanen Pertanian:Tabloid
SinarTani
Widhi, R. Anggita. 2008. Kajian Formulasi Cookies Ubi Jalar (Ipomoea Batatas
L.) dengan Karakteristik Tekstur Menyerupai Cookies Keladi. Bogor: IPB
Wijaya. 2002. Pengolahan Kue dan Roti. Departemen. Jakarta: Pendidikan
Nasional
Willyam, Shella. 2018. Baking Powder vs Baking Soda. www.news.labsatu.com,
diakses pada 3 Febuari 2019
Winarno, F.G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Wulandari, Endah., dan Elazmanawati L. 2016. Karakteristik Roti Komposit Ubi
Jalar Ungu dengan Penambahan α-amilase dan Glukoamilase.
Sumedang : Jurnal Penelitian Pangan Vol.1(1):1-6
Yuwono, S., dan Susanto. 1998. Pengujian Fisik Pangan. Jurusan Teknologi
Hasil Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas Brawijaya.
Malang
63
LAMPIRAN
Lampiran 1. Prosedur Analisa Kimia
1.1 Analisa Kadar Air Metode Oven (AOAC, 2005).
a. Sampel ditimbang sebanyak 2 gram.
b. Cawan kosong ditimbang beratnya kemudian sampel dimasukkan
kedalam cawan.
c. Sampel dalam cawan dimasukkan kedalam oven dengan suhu 105⁰C
selama 3 jam.
d. Dinginkan dalam desikator selama 15 menit lalu ditimbang.
e. Pengeringan diulang hingga didapatkan berat konstan. Perhitungan kadar
air dilakukan menggunakan rumus :
% 𝐴𝑖𝑟 = (𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑤𝑎𝑙−𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑒𝑡𝑒𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔𝑎𝑛)
(𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑤𝑎𝑙) 𝑥 100%
1.2 Analisa Aktivitas Antioksidan metode DPPH (Molyneux, 2004)
▪ Pengujian absorbansi larutan blanko
a. Larutan DPPH 0,2 mM diambil sebanyak 1 ml kemudian ditambahkan
dengan 2 ml metanol
b. Divortex hingga homogen
c. Didiamkan selama 30 menit pada ruangan gelap
d. Absorbansi diukur menggunakan spektrofotometer UV-Vis dengan
panjang gelombang 517 nm
▪ Analisa aktivitas antioksidan metode DPPH pada sampel
a. Sampel ditimbang sebanyak 1 gram.
b. Dilarutkan dalam metanol sebanyak 10 mL
c. Sampel divortex selama 1 menit kemudian disentrifugasi dengan
kecepatan 3500 rpm selama 15 menit.
d. Sampel diambil 2 ml dan direaksikan dengan 1 ml DPPH 0,2 mM.
e. Divortex hingga homogen
f. Didiamkan selama 30 menit pada ruangan gelap
g. Absorbansi diukur menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang
gelombang 517 nm. Aktivitas antioksidan masing-masing sampel
dinyatakan dengan presentase penghambatan radikal bebas yang
dihitung dengan rumus :
64
% 𝐴𝑛𝑡𝑖𝑜𝑘𝑠𝑖𝑑𝑎𝑛 = (𝐴𝑏𝑠𝑜𝑟𝑏𝑎𝑛𝑠𝑖 𝑏𝑙𝑎𝑛𝑘𝑜 − 𝑎𝑏𝑠𝑜𝑟𝑏𝑎𝑛𝑠𝑖 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙)
(𝑎𝑏𝑠𝑜𝑟𝑏𝑎𝑛𝑠𝑖 𝑏𝑙𝑎𝑛𝑘𝑜) 𝑥 100%
% antioksidan = kemampuan antioksidan meredam radikal bebas
Absorbansi blanko = nilai absorbansi larutan blanko
Absorbansi sampel = nilai absorbansi larutan sampel
1.3 Analisa Kadar Protein (AOAC, 2005)
a. Timbang sampel 1-2 g, masukkan ke dalam tabung destruksi,
tambahkan ½ tablet kjedahl dan 20 ml H2SO4 pekat.
b. Lakukan destruksi selama 1 jam sampai warna menjadi hijau muda
atau jernih.
c. Tunggu sampai dingin, tambahkan 25 ml akuades, 4 tetes indikator PP
d. Tambahkan larutan NaOH 45% sampai warna coklat keruh.
e. Lakukan destilasi pada alat destilasi. Destilat ditampung dalam
Erlenmeyer yang telah diisi 20 ml H3BO3 3% dan 3 tetes indikator metil
merah.
f. Destilasi dititrasi dengan HCl 0,1 N sampai warna berubah menjadi
semula.
Perhitungan :
% N = (𝑚𝑙 𝐻𝐶𝑙 𝑥 𝑁 𝑁𝑎𝑂𝐻 𝑥 14,008)
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 (𝑚𝑔) x 100%
% Protein = % N x 6,25
1.4 Analisa Kadar Lemak Metode Soxhlet (AOAC, 1995)
a. Diletakkan labu dan penutupnya pada oven dengan suhu 105oC
selama semalam untuk memastikan bahwa berat labu telah stabil.
b. Sampel ditimbang sebanyak 1-2 g dan dimasukkan ke dalam
selongsong kertas yang dialasi dengan kapas.
c. Sumbat selongsong kertas berisi sampel tersebut dengan kapas dan
dikeringkan dalam oven pada suhu tidak lebih dari 80oC selama kurang
lebih satu jam, kemudian dimasukkan ke dalam alat soxhlet yang telah
dihubungkan dengan labu lemak berisi batu didih yang telah
dikeringkan dan telah diketahui bobotnya.
d. Selanjutnya diekstrak dengan heksana atau pelarut lemak lainnya
selama sekitar 6 jam.
65
e. Heksanan disulingkan dan ekstrak lemak dikeringkan dalam oven
pengering pada suhu 105oC.
f. Didinginkan dan ditimbang hingga mencapai berat konstan.
Perhitungan:
Kadar lemak = W2−W1
W x 100%
Keterangan:
w = berat sampel (g)
w1 = berat labu (g)
w2 = berat sampel dan labu lemak (g)
1.5 Analisis Karbohidrat (by difference) (AOAC, 2005)
Kadar KH = 100% - (kadar air + kadar protein + kadar lemak + kadar abu)
1.6 Analisa Kadar Serat Kasar (AOAC, 2005)
a. Sampel sebanyak 1 g dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer 250 ml,
kemudian ditambah dengan 200 ml H2SO4 0,255 N dan dididihkan di
bawah pendingin balik selama 30 menit.
b. Disaring dengan kertas saring kasar, dicuci residu yang tertinggal
dengan akuades mendidih hingga larutan tidak bersifat asam (diuji
dengan kertas lakmus biru).
c. Dipindahkan residu secara kuantitatif dan dicuci kembali residu dengan
NaOH 0,313 N hingga semua residu masuk ke dalam erlenmeyer 250
ml.
d. Dididihkan dengan pendingin balik selama 30 menit.
e. Disaring dengan kertas saring halus yang telah diketahui beratnya
sambil dicuci dengan larutan K2SO4 10% 10 ml.
f. Dicuci kembali residu dengan akuades 20 ml dan alkohol 95%
sebanyak 15 ml.
g. Residu beserta kertas saring dikeringkan pada suhu 105oC selama 1
hingga 2 jam.
h. Ditimbang berat kertas saring sampai tercapai berat konstan
% kadar serat kasar = A − B
W× 100%
66
1.7 Kadar Pati metode Luff Schroll (AOAC, 1999)
a. Sampel sebanyak 1 g dimasukkan kedalam labu erlenmayer 500 ml dan
ditambahan 200 ml HCL 3%
b. Sampel dihidrolisis selama 1-3 jam dalam autoklaf pada suhu 105 oC
c. Sampel di netralkan dengan NaOH 40% kemudian dimasukkan dalam
labu takar 250 ml dan ditambahkan air destilat hingga mencapai tanda
tera
d. Sampel diambil 10 ml kemudian dimasukkan dalam labu erlenmayer 250
ml dan ditambahkan 25 ml larutan luff scroll.
e. Larutan dididihkan selama 10 menit. Kemudian di dinginkan di bawah air
mengalir (jangan dikocok).
f. Sampel ditambahkan 20 ml H2SO4 25%. Larutan dititrasi menggunakan
Na2S2O3 0,1N dengan indikator kanji (3-5 tetes) sampai hilang warnanya.
g. Blanko dibuat dengan sampel berupa 25 ml air destilat dan 25 ml larutan
Luff Schroll
Kadar Pati (%) = (Jumlah glukosa x 0,9 x Faktor pengenceran)
(mg contoh) x 100%
Lampiran 2. Prosedur Analisa Fisik
2.1 Analisa Daya Pengembangan Roti Kukus(Sulistianing, 1995).
a. Ukur volume adonan roti sebelum dikukus dengan mengukur tinggi
dengan menggunakan penggaris
b. Roti kukus yang telah dikukus didinginkan terlebih dahulu pada suhu
ruang selama 20 menit
c. Ukur volume adonan roti kukus setelah dikukus dengan mengukur tinggi
menggunakan penggaris
d. Hitung volume pengembangan roti dengan rumus:
% 𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑃𝑒𝑛𝑔𝑒𝑚𝑏𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 =𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟−𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑎𝑤𝑎𝑙
𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑎𝑤𝑎𝑙 𝑥 100%
2.2 Analisa Warna (Susanto dan Yuwono, 1998)
Menentukan skala warna berdasarkan standar warna yang telah ditentukan
menggunakan alat colour reader dengan tahapan sebagai berikut :
a. Menyiapkan sampel
b. Menghidupkan colour reader
c. Menentukan target pembacaan L*a*b* colour space atau L*C*H
67
d. Memulai pengukuran warna
Keterangan :
L : untuk parameter kecerahan (Lighteness)
a dan b: untuk koordinat kromatisitas
C : untuk kroma
H : untuk sudut hue (warna)
2.3 Analisa Kekerasan (Rosenthal, 1999)
a. Timbang berat beban (beban dengan batang pemegang)
b. Bahan atau produk yang akan dikur diletakkan tepat di bawah jarum
penusuk penetrometer
c. Tentukan waktu pengujian, yaitu waktu yang diperlukan untuk penekanan
terhadap bahan
d. Lepaskan beban lalu skala penunjuk dibaca setelah alat berhenti, jarum
penusuk penetrometer ditusuk dalam kedalaman 10 mm dengan
kecepatan 10 mm/detik
e. Kekerasan ditentukan dari maksimum gaya (nilai puncak pada
tekanan/kompresi pertama)
f. Pengujian perlu diulang pada pada 3 sisi sampel
g. Buat rata-rata hasil pembacaan
2.4 Analisa Springiness (Rosenthal, 1999)
a. Timbang berat beban (beban dengan batang pemegang)
b. Bahan atau produk yang akan dikur diletakkan tepat di bawah jarum
penusuk penetrometer
c. Tentukan waktu pengujian, yaitu waktu yang diperlukan untuk penekanan
terhadap bahan
d. Lepaskan beban lalu skala penunjuk dibaca setelah alat berhenti, jarum
penusuk penetrometer ditusuk dalam kedalaman 10 mm dengan kecepatan
10 mm/detik
e. Springiness ditentukan dari jarak sampel pada tekanan kedua, sehingga
tercapai nilai gaya maksimumnya (L2) dibandingkan dengan jarak yang
ditempuh oleh produk pada tekanan pertama sehingga tercapai gaya
maksimumnya (L1) dan dirumuskan sebagai L2/L1.
f. Pengujian perlu diulang pada pada 3 sisi sampel
68
g. Buat rata-rata hasil pembacaan
2.5 Analisa Cohesiveness (Rosenthal, 1999)
a. Timbang berat beban (beban dengan batang pemegang
b. Bahan atau produk yang akan dikur diletakkan tepat di bawah jarum
penusuk penetrometer
c. Tentukan waktu pengujian, yaitu waktu yang di perlukan untuk penekanan
terhadap bahan
d. Lepaskan beban lalu skala penunjuk di baca setelah alat berhenti, jarum
penusuk penetrometer di tusuk dalam kedalaman 10 mm dengan
kecepatan 10 mm/detik
e. Cohesiveness di hitung dari luas di bawah kurva pada tekanan kedua (A2)
di bagi dengan luasan di bawah kurva pada tekanan pertama atau A2/A1
f. Pengujian perlu diulang pada pada 3 sisi sampel
g. Buat rata-rata hasil pembacaan
2.6 Analisa Porositas Menggunakan ImageJ (Kurniawan, 2011).
a. Sampel di iris dengan ketebalan 4x4 cm
b. Sampel di-scan menggunakan alat scanner
c. Pengukuran porositas dilakukan menggunakan aplikasi imageJ dengan
prosedur sebagai berikut :
• foto sampel masing-masing dipotong sebesar 3x3 cm
• masukkan gambar pada imageJ kemudian di atur menjadi 8 bit dengan
cara pilih menu image → type → 8 bit
• untuk mengukur % area maka pilih menu analyze → set measurements →
ceklis yang ingin di ukur (%area) → pilih ok
p
69
• threshold di atur dengan cara pilih menu image → adjust → threshold.
Gambar akan berubah, dan pori-pori lebih terlihat
• gambar di analisa porinya dengan memilih menu analyze → measure
Lampiran 3. Pengamatan Organoleptik Hedonic Scale Scoring (Meilgaard et
al, 1999).
Uji sensoris yang di lakukan meliputi rasa, aroma, mouthfeel, warna, dan
overall liking (keseluruhan). pengujian menggunakan skala hedonik yang terdiri
dari 5 level penilaian dengan pernyataan yaitu:
1 : sangat tidak suka
2 : tidak suka
3 : agak suka
4 : suka
5 : sangat suka
Pengujian di lakukan dengan memberikan sampel kepada panelis secara
acak yang masing-masing telah diberi kode berbeda. pada uji ini panelis yang di
gunakan sebanyak 60 panelis. Selanjutnya panelis di minta memberikan
penilaian terhadap sampel sesuai skala hedonik yang ada.
70
Lampiran 4. Penentuan Perlakuan Terbaik (Derringer, 1980).
Penentuan kombinasi perlakuan terbaik di gunakan Metode Derringer’s
Desirability Function dengan prosedur sebagai berikut:
1. Menentukan nilai s dan t sebesar 1 agar di hasilkan kondisi linear
2. Menentukan nilai kontrol dari masing masing parameter (Ti), nilai batas atas
dari masing-masing parameter (Ui), nilai batas bawah dari masing-masing
parameter (Li), dan Yi merupakan nilai rerata dari setiap parameter untuk
masing-masing perlakuan
Daya
Kembang Kecerahan Kekerasan Springiness
s = t = 1
Li 0 0 0 0
Ui 111,93 100 345,98 15,56
Ti 55,96 46,72 172,99 0,58
Yi
3. Setelah di dapatkan nilai s,t, Ti, Ui, Li, dan Yi di hitung nilai desirability function
(d), untuk menentukan perlakuan terbaik dari masing-masing parameter di
gunakan rumus desirability function sebagai berikut:
d = [𝑌𝑖−𝐿𝑖
𝑇𝑖−𝐿𝑖]
𝑠 jika Li ≤ Yi ≤ Ti
d = [𝑌𝑖−𝑈𝑖
𝑇𝑖−𝑈𝑖]
𝑠 jika Ti < Yi ≤ Ui
d = 0 jika Yi < Li atau Yi > Ui
4. Setelah di dapatkan nilai d (individual desirability), di hitung nilai
overalldesirability (D) untuk menentukan perlakuan terbaik dari keseluruhan
parameter dengan rumus desirability sebagai berikut:
D = (d1x d2 x d3 x … . x dn)1/𝑛
Keterangan :
s = t = 1, desirability function menghasilkan suatu kondisi linear
d = desirability function, d=1 nilai parameter mendekati kontrol (ideal);
d = 0 nilai parameter tidak di inginkan
Yi = rata-rata nilai perlakuan setiap parameter
Ti = nilai kontrol setiap parameter
Li = nilai batas bawah setiap parameter
71
Ui = nilai batas atas setiap parameter
D = overall desirability; menentukan perlakuan terbaik dari keseluruhan
parameter
n = banyaknya parameter
5. Setelah di dapatkan nilai D dari masing-masing perlakuan, jika nilai D semakin
mendekati 1 maka perlakuan semakin mendekati kontrol (ideal)
Perlakuan D1 D2 D3 D4 D5 D6 DF RANK
K1T1 0,83 0,67 0,74 0,99 0,83 0,90 0,821 5
K2T1 0,94 0,93 0,64 0,96 0,93 0,99 0,885 2
K3T1 0,78 0,88 0,53 0,92 0,97 0,84 0,804 6
K4T1 0,54 0,78 0,48 0,91 0,92 0,70 0,696 7
K1T2 0,65 0,66 0,41 0,92 0,89 0,73 0,680 8
K2T2 0,74 0,98 1,44 0,94 0,98 0,83 0,962 1
K3T2 0,88 0,87 0,69 0,96 0,92 0,98 0,876 3
K4T2 0,84 0,79 0,74 0,98 0,88 0,94 0,854 4
Keterangan:
D : Desirability function
D1 : Daya Kembang
D2 : Warna
D3 : Kekerasan
D4 : Springiness
D5 :Cohesiveness
D6 : Porositas
DF : Overall desirability
72
Lampiran 5. Lembar Kuisioner Uji Organoleptik
Lembar Uji Organoleptik
Nama :
Usia :
Tanggal :
Produk : Kue kukus
Petunjuk:
Di hadapan anda terdapat 8 sampel roti kukus. Anda diminta untuk
memberikan penilaian terhadap warna, aroma, rasa, mouthfeel dan overall liking
berdasarkan tingkat kesukaan anda yang ditandai dengan angka skala kesukaan
pada tabel yang tersedia (perhatikan kode sampel terlebih dahulu). Sebelum
mencicipi sampel pertama dan pergantian pada tiap sampel, silahkan meminum
air yang telah disediakan. Atas bantuan anda, saya ucapkan terima kasih.
Penilaian:
Gunakan skala 1-5 untuk memberikan penilaian terhadap sampel roti kukus
dengan keterangan sebagai berikut:
1 = sangat tidak suka
2 = tidak suka
3 = agak suka
4 = suka
5 = sangat suka
No Kode
Sampel Warna Aroma Rasa Mouthfeel
Overall Liking
1 357
2 124
3 211
4 711
5 894
6 514
7 757
8 117
Manakah sampel yang paling disukai oleh konsumen? Mengapa?
......................................................................................................................
Manakah sampel yang paling tidak disukai oleh konsumen? Mengapa?
......................................................................................................................
Manakah warna sampel yang paling disukai oleh konsumen? Mengapa?
......................................................................................................................
Saran:
73
Lampiran 6. Data Hasil Analisa Fisik Roti Kukus
1.1 Daya Pengembangan (%)
6.1.1 Data Tabel
Perlakuan Ulangan 1 Ulangan 2
Ulangan 3 Rerata Daya
Kembang (%)
Standar
Deviasi
K1T1 62,50 73,33 60,42 65,42 6,93
K2T1 51,11 54,17 52,08 52,45 1,56
K3T1 37,78 46,67 46,67 43,70 5,13
K4T1 31,11 24,44 35,56 30,37 5,59
K1T2 116,67 54,17 56,25 75,69 35,50
K2T2 104,17 57,78 50,00 70,65 29,29
K3T2 83,33 61,90 42,22 62,49 20,56
K4T2 66,67 45,24 28,89 46,93 18,95
Kontrol 55,96
6.1.2 Analisa Ragam
Analysis of Variance
Source DF Adj SS Adj MS F-Value P-Value
tepung 3 3312,6 1104,21 4,08 0,028
pengembang 1 1527,2 1527,19 5,64 0,032
Ulangan 2 2222,0 1111,02 4,10 0,040
tepung*pengembang 3 68,4 22,81 0,08 0,968
Error 14 3793,4 270,96
Total 23 10923,7
6.1.3 Uji Lanjut (BNT)
Proporsi Tepung Umbi Bit : Tepung
Terigu (%)
Daya Kembang (%) BNT 5%
0:100 70,56±7,27a
14,413 10:90 61,55±12,87a
20:80
40:60
53,10±13,71b
38,65±11,71b
Bahan Pengembang Daya Kembang
(%) BNT 5%
Baking Powder 47,99±14,75b 14,413
Soda Kue 63,94±12,58a
74
1.2 Kekerasan (g)
1.2.1 Data Tabel
Perlakuan ulangan rata-
rata TOTAL stdev CV
1 2 3
K1T1 280,30 163,90 207,60 217,27 651,80 58,80 27,06
K2T1 293,60 155,20 259,10 235,97 707,90 72,04 30,53
K3T1 280,30 276,10 206,30 254,23 762,70 41,56 16,35
K4T1 238,90 403,40 146,50 262,93 788,80 130,13 49,49
K1T2 49,80 94,50 66,20 70,17 210,50 22,61 32,23
K2T2 94,70 68,90 124,50 96,03 288,10 27,82 28,97
K3T2 126,50 150,70 82,60 119,93 359,80 34,52 28,78
K4T2 56,30 232,90 92,90 127,37 382,10 93,21 73,18
Kontrol 172,99
1.2.2 Analisa Ragam Analysis of Variance
Source DF Adj SS Adj MS F-Value P-Value
tepung 3 9573 3191 0,65 0,595
pengembang 1 116302 116302 23,74 0,000
Ulangan 2 8345 4173 0,85 0,448
tepung*pengembang 3 150 50 0,01 0,999
Error 14 68600 4900
Total 23 202970
1.2.3 Uji Lanjut (BNT)
Bahan Pengembang Kekerasan (g) BNT 5%
Baking Powder 242,60±20,29a 61,292
Soda Kue 103.38±25,86b
1.3 Springiness
1.3.1 Data Tabel
Perlakuan ulangan
rata-rata TOTAL stdev CV 1 2 3
K1T1 8,59 9,18 7,61 8,46 25,38 0,79 9,37
K2T1 8,04 8,87 8,28 8,40 25,19 0,43 5,09
K3T1 8,15 8,75 7,42 8,11 24,32 0,67 8,22
K4T1 7,91 7,35 7,79 7,68 23,05 0,29 3,84
K1T2 7,51 7,66 7,72 7,63 22,89 0,11 1,42
K2T2 7,43 7,30 7,68 7,47 22,41 0,19 2,59
K3T2 7,25 6,76 7,86 7,29 21,87 0,55 7,56
K4T2 6,78 7,91 6,86 7,18 21,55 0,63 8,78
Kontrol 7,78
75
1.3.2 Analisa Ragam
Analysis of Variance
Source DF Adj SS Adj MS F-Value P-Value
tepung 3 1,3233 0,44112 1,66 0,221
pengembang 1 3,5420 3,54202 13,34 0,003
Ulangan 2 0,4684 0,23420 0,88 0,436
tepung*pengembang 3 0,1548 0,05161 0,19 0,898
Error 14 3,7161 0,26543
Total 23 9,2046
1.3.3 Uji Lanjut (BNT)
Bahan
Pengembang
Springiness
(mm) BNT 5%
Baking Powder 8,16±0,36a 0,45
Soda Kue 7,39±0,20b
1.4 Cohesiveness
1.4.1 Data Tabel
Perlakuan ulangan
rata-rata TOTAL stdev CV 1 2 3
K1T1 0,50 0,65 0,73 0,63 1,88 0,12 18,63
K2T1 0,56 0,63 0,60 0,60 1,79 0,04 5,89
K3T1 0,60 0,54 0,47 0,54 1,61 0,07 12,12
K4T1 0,57 0,49 0,38 0,48 1,44 0,10 19,87
K1T2 0,75 0,63 0,57 0,65 1,95 0,09 14,10
K2T2 0,63 0,67 0,58 0,63 1,88 0,05 7,20
K3T2 0,68 0,48 0,61 0,59 1,77 0,10 17,20
K4T2 0,54 0,52 0,49 0,52 1,55 0,03 4,87
Kontrol 0,58
1.4.2 Analisa Ragam
Analysis of Variance
Source DF Adj SS Adj MS F-Value P-Value
tepung 3 0,068013 0,022671 3,56 0,042
pengembang 1 0,007704 0,007704 1,21 0,290
Ulangan 2 0,010033 0,005017 0,79 0,474
tepung*pengembang 3 0,000746 0,000249 0,04 0,989
Error 14 0,089100 0,006364
Total 23 0,175596
76
1.4.3 Uji Lanjut (BNT)
Proporsi Tepung
Umbi Bit : Tepung
Terigu (%)
Cohesiveness BNT 5%
0:100 0,64±0,02a
0,07 10:90 0,61±0,02a
20:80 0,56±0,04b
40:60 0,50±0,03b
1.5 Warna
1.5.1 Kecerahan
1.5.1.1 Tabel Data
Perlakuan ulangan
rata-rata TOTAL stdev CV 1 2 3
K1T1 64,7 68,3 60,1 64,3 193,03 4,09 6,36
K2T1 64,5 64,1 66,6 43,4 195,20 1,37 3,16
K3T1 47,2 41,4 48,4 41,1 137,03 3,72 9,06
K4T1 43,2 35,9 43,0 36,5 122,20 4,16 11,40
K1T2 40,8 34,0 36,2 65,1 111,00 3,47 5,33
K2T2 47,2 41,4 48,4 45,7 137,03 3,72 8,14
K3T2 43,2 35,9 43,0 40,7 122,20 4,16 10,21
K4T2 40,8 34,0 36,2 37,0 111,00 3,47 9,38
Kontrol 46,72
1.5.1.2 Analisa ragam Analysis of Variance
Source DF Adj SS Adj MS F-Value P-Value
tepung 3 2771,59 923,865 57,03 0,000
pengembang 1 3,89 3,894 0,24 0,632
Ulangan 2 3,53 1,767 0,11 0,897
tepung*pengembang 3 5,33 1,777 0,11 0,953
Error 14 226,78 16,198
Total 23 3011,13
1.5.1.3 Uji Lanjut (BNT)
Proporsi Tepung
Umbi Bit : Tepung
Terigu (%)
Kecerahan BNT
5%
0:100 64,71±0,51a
3,524 10:90 44,53±1,62b
20:80 40,89±0,23c
40:60 36,73±0,38c
77
1.5.2 Kemerahan
1.5.2.1 Tabel Data
Perlakuan ulangan
rata-rata TOTAL stdev CV 1 2 3
K1T1 0,5 -1,5 0,2 -0,3 -0,80 1,08 -406,39
K2T1 7,3 2,9 2,5 4,2 12,70 2,63 62,20
K3T1 4,1 3,6 4,5 4,1 12,23 0,47 11,45
K4T1 5,5 2,4 3,4 3,7 11,23 1,60 42,74
K1T2 0,3 2,2 -0,4 0,7 2,13 1,31 183,97
K2T2 1,8 4,0 1,6 2,5 7,43 1,35 54,52
K3T2 2,3 2,8 1,8 2,3 6,83 0,50 21,97
K4T2 1,3 3,5 1,3 2,1 6,20 1,27 61,46
Kontrol 2,42
1.5.2.2 Analisa ragam
Analysis of Variance
Source DF Adj SS Adj MS F-Value P-Value
tepung 3 38,222 12,741 6,07 0,007
pengembang 1 8,206 8,206 3,91 0,068
Ulangan 2 3,681 1,840 0,88 0,438
tepung*pengembang 3 9,481 3,160 1,51 0,256
Error 14 29,378 2,098
Total 23 88,968
1.5.2.3 Uji Lanjut (BNT)
Proporsi Tepung
Umbi Bit : Tepung
Terigu (%)
Kemerahan BNT
5%
0:100 0,22±0,69b
1,244 10:90 3,36±1,24a
20:80 3,18±1,27a
40:60 2,91±1,19a
78
1.5.3 Kekuningan
1.5.3.1 Tabel Data
Perlakuan ulangan
rata-rata TOTAL stdev CV 1 2 3
K1T1 39,2 33,7 28,9 33,9 101,83 5,15 15,18
K2T1 17,3 15,6 16,2 16,3 51,80 3,87 22,40
K3T1 13,5 9,1 13,8 12,2 40,47 2,42 17,94
K4T1 10,1 4,6 6,1 6,9 20,77 2,86 41,27
K1T2 34,9 40,7 30,7 35,4 106,30 5,01 14,13
K2T2 16,8 21,3 13,6 17,3 49,03 0,86 5,26
K3T2 16,1 11,3 13,1 13,5 36,47 2,62 21,58
K4T2 10,4 7,8 8,7 9,0 26,90 1,31 14,60
Kontrol 18,07
1.5.3.2 Analisa ragam
Analysis of Variance
Source DF Adj SS Adj MS F-Value P-Value
tepung 3 2447,11 815,704 85,11 0,000
pengembang 1 0,61 0,612 0,06 0,804
Ulangan 2 45,70 22,852 2,38 0,128
tepung*pengembang 3 12,92 4,308 0,45 0,722
Error 14 134,18 9,584
Total 23 2640,53
6.5.3.3 Uji Lanjut (BNT)
Proporsi Tepung
Umbi Bit : Tepung
Terigu (%)
Kekuningan BNT
5%
0:100 34,69±1,05a
2,711 10:90 16,34±0,65b
20:80 12,16±0,94c
40:60 7,94±1,45d
79
6.6 Porositas
6.6.1 Tabel Data
Perlakuan ulangan
rata-rata TOTAL stdev CV 1 2 3
K1T1 43,252 35,282 31,652 36,729 110,19 5,93 16,16
K2T1 36,459 30,334 34,605 33,799 101,40 3,14 9,29
K3T1 29,938 27,439 26,740 28,039 84,12 1,68 6,00
K4T1 27,399 20,582 22,366 23,449 70,35 3,54 15,08
K1T2 37,917 47,820 42,076 42,604 127,81 4,97 11,67
K2T2 36,222 41,549 39,592 39,121 117,36 2,69 6,89
K3T2 34,193 29,262 35,012 32,822 98,47 3,11 9,48
K4T2 22,958 47,810 24,043 31,604 94,81 14,05 44,44
Kontrol 33,52
6.6.2 Analisa Ragam
Analysis of Variance
Source DF Adj SS Adj MS F-Value P-Value
tepung 3 551,35 183,784 4,57 0,020
pengembang 1 218,44 218,443 5,43 0,035
Ulangan 2 35,98 17,991 0,45 0,648
tepung*pengembang 3 9,89 3,297 0,08 0,969
Error 14 562,70 40,193
Total 23 1378,37
6.6.3 Uji Lanjut (BNT)
Proporsi Tepung Umbi
Bit : Tepung Terigu (%)
Luas Area
Pori (%) BNT 5%
0:100 39,65±4,15a
5,551 10:90 36,46±3,76b
20:80 30,43±3,38c
40:60 27,53±5,77c
80
Lampiran 7. Data Hasil Analisa Kimia Tepung Umbi Bit
Komposisi Kimia Kadar (%)
Kadar Air 4,56
Kadar Karbohidrat 78,68
Kadar Protein 6,23
Kadar Lemak 1,27
Kadar Pati 70,812
Kadar Serat 21,75
Aktivitas Antioksidan 34,70
Laboratorium Gizi. Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat Universitas
Airlangga, Surabaya. 27 Mei 2019
Lampiran 8. Data Hasil Analisa Kimia Roti Kukus Terbaik
Komposisi Kimia Kadar (%)
Kadar Air 9,24
Kadar Karbohidrat 74,06
Kadar Protein 11,83
Kadar Lemak 4,87
Kadar Pati 66,65
Kadar Serat 5,25
Aktivitas Antioksidan 19,47
Laboratorium Gizi. Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat Universitas
Airlangga, Surabaya. 27 Mei 2019
81
Lampiran 9. Data Hasil Uji Organoleptik Terbaik
panelis Warna Aroma Rasa Mouthfeel Overall liking
1 3 4 4 3 4
2 3 4 3 4 3
3 5 3 5 4 5
4 3 5 4 4 4
5 3 4 5 4 4
6 3 3 2 3 3
7 4 4 5 5 4
8 3 2 4 3 3
9 4 3 4 3 3
10 4 4 5 5 5
11 3 4 4 3 3
12 2 3 2 3 3
13 4 3 4 4 4
14 3 3 4 4 3
15 3 4 3 3 3
16 3 5 3 2 3
17 4 4 3 4 4
18 3 4 4 3 4
19 3 4 2 3 3
20 3 3 4 4 4
21 3 3 4 4 4
22 5 5 5 4 5
23 3 4 2 3 2
24 3 4 5 4 4
25 2 5 3 3 3
26 3 2 4 3 3
27 3 3 5 5 4
28 4 4 3 3 3
29 3 3 4 3 3
30 4 4 3 3 3
31 3 5 4 4 4
32 3 3 4 4 3
33 2 3 4 3 2
34 3 3 3 2 3
35 3 4 3 3 3
36 3 2 4 3 3
37 1 2 3 2 2
38 3 2 4 4 4
82
39 4 4 5 5 4
40 3 3 4 3 3
41 4 3 3 3 3
42 2 4 3 4 3
43 4 4 4 4 4
44 4 3 3 2 3
45 3 4 4 3 3
46 2 3 3 3 3
47 3 2 3 2 3
48 2 3 4 4 4
49 2 3 4 4 2
50 3 3 3 2 3
51 4 4 3 3 3
52 4 5 5 5 5
53 4 4 3 4 4
54 4 4 3 4 4
55 2 4 2 2 3
56 4 4 3 4 4
57 4 4 3 2 3
58 4 3 4 3 4
59 3 3 3 3 3
60 2 4 4 3 3
Rata-Rata 3,18 3,53 3,62 3,38 3,40
pembulatan 3 3 3 3 3
83
Lampiran 10. Dokumentasi Penelitian
1. Proses Pembuatan Roti Kukus
2. Alat Pengukus (Modifikasi)
3. Hasil Roti Kukus 4. Ruang Organoleptik
Top Related