1
Pengaruh Organizational Innovative Climate terhadap Innovative Work
Behavior Karyawan:
Sebuah Studi dalam Meningkatkan Perilaku Inovasi
pada Karyawan PT. X
Annisa Rizkiayu Leofianti, Marina Sulastiana, Zahrotur R. Hinduan
Fakultas Psikologi, Universitas Padjadjaran Bandung
Email korespondensi: [email protected]
Asean Economic Community (AEC) adalah integrasi ekonomi yang dijalin antar
negara-negara di Asia Tenggara (ASEAN). Adanya integrasi ekonomi yang terjalin antar
negara- negara di ASEAN membuat batasan birokratis antar negara menjadi semakin
menipis. Batasan birokratis yang semakin menipis berdampak pada keterbukaan akses
perdagangan diantara negara- negara ASEAN. Akses perdagangan yang semakin terbuka,
membuat perusahaan- perusahaan di ASEAN semakin dituntut untuk mampu
meningkatkan kualitas saing dari produk-produk yang dihasilkan, sehingga dapat bersaing
pada persaingan pasar ekonomi.Sebagai salah satu negara anggota AEC pemerintah
Indonesia juga dituntut untuk mampu meningkatkan kualitas saing dari produk- produk
yang dihasilkan di dalam negeri. Peningkatan kualitas saing dari produk- produk dalam
negeri bertujuan untuk menghindari hancurnya sektor- sektor ekonomi lokal akibat
meningkatnya jumlah produk- produk asing yang masuk ke Indonesia sebagai dampak
dari adanya AEC. Adapun salah satu cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan
kualitas persaingan produk, adalah melalui penambahan jenis produk yang dihasilkannya.
Tuntutan peningkatan kualitas saing hasil produk juga dialami oleh PT X. PT.X
adalah sebuah badan usaha milik negara (BUMN) yang bergerak pada bidang produksi
vaksin dan serra. Berkurangnya campur tangan pemerintah pada proses pengelolaan
BUMN, membuat PT. X dituntut untuk dapat bersaingan di pasar bebas layaknya
perusahaan swasta. Hal ini membuat PT.X dituntut untuk mampu melakukan pembaharuan
terhadap produk yang dihasilkannya, agar tidak kalah saing dengan produk- produk asing
yang masuk ke Indonesia sebagai salah satu dampak dari adanya AEC.Adanya tuntutan
pembaharuan produk yang terus menerus membuat manajemen PT.X merasa perlu
meningkatkan innovative work behavior pada karyawannya. Innovative work behavior
dirasa perlu ditingkatkan mengingat selama ini karyawan PT.X terbiasa untuk menunggu
pesanan produk dari pemerintah alih- alih mencari pangsa pasar secara mandiri seperti saat
ini. Oleh karena itu dilakukan penelitian ini guna membantu manajemen PT. X dalam
meningkatkan innovative work behavior pada karyawan.
Penelitian ini bertujuan untuk meneliti perilaku inovasi pada karyawan Perusahaan X
dengan menetapkan organizational innovative climate sebagai predictor. Penelitian
dilakukan pada 62 orang karyawan Direktorat Perencanaan dan Pengembangan pada
Perusahaan X dengan menggunakan metode survei.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh positif organizational
innovative climate terhadap innovative work behavior pada karyawan. Hasil ini bermakna
bahwa semakin positif organizational innovative climate yang dipersepsi oleh karyawan,
maka semakin tinggi innovative work behavior yang ditampilkan oleh karyawan. Analisis
parsial pada masing- masing dimensi organizational innovative climate menunjukkan
bahwa dimensi penghambat inovasi (organizational impedement to innovation) masih
2
ditemukan tinggi pada PT. X. Hasil ini menunjukkan bahwa struktur organisasi dan
pengaruh politik masih dipersepsi karyawan menghambat munculnya innovative work
behavior. Maka berdasarkan hasil tersebut diperlukan perhatian dari manajemen PT. X
guna mengurangi hambatan organisasi yang menyebabkan terhambatnya innovative work
behavior pada karyawan.
Keywords: Innovative work behavior, organizational innovative climate, organizational
impedements to innovation
LATAR BELAKANG
Era globalisasi adalah masa dimana hilangnya batasan birokratis diantara negara-
negara di dunia. Pada era ini memungkinkan bagi setiap individu atau organisasi untuk
memiliki kesempatan yang sama dalam mengembangkan diri kaitannya dengan
kemampuan ekonomi. Kesempatan pengembangan diri yang sama dalam hal kemampuan
ekonomi menimbulkan adanya kondisi persaingan yang kian tinggi. Kondisi persaingan
yang tinggi ini menimbulkan adanya tantangan maupun kesempatan bagi setiap organisasi
untuk senantiasa menyesuaikan diri dengan tuntutan lingkungan yang dinamis.
Penyesuaian diri dalam hal ini merupakan bentuk pertahanan eksistensi organisasi di pasar
persaingan dunia. (Sunarto, 2014). Mulainya era globalisasi salah satunya ditandai dengan
munculnya berbagai gerakan integrasi ekonomi antar negara-negara di dunia, salah satunya
adalah Asean economic community (AEC).
Asean Economic Community (AEC) adalah integrasi ekonomi yang dijalin antar
negara-negara di Asia Tenggara (ASEAN). Adanya integrasi ekonomi yang terjalin antar
negara- negara di ASEAN membuat batasan birokratis antar negara menjadi semakin
menipis. Batasan birokratis yang semakin menipis berdampak pada keterbukaan akses
perdagangan diantara negara- negara ASEAN. Akses perdagangan yang semakin terbuka,
membuat perusahaan- perusahaan di ASEAN semakin dituntut untuk mampu
meningkatkan kualitas saing dari produk-produk yang dihasilkan, sehingga dapat bersaing
pada persaingan pasar ekonomi.Sebagai salah satu negara anggota AEC pemerintah
Indonesia juga dituntut untuk mampu meningkatkan kualitas saing dari produk- produk
yang dihasilkan di dalam negeri. Peningkatan kualitas saing dari produk- produk dalam
negeri bertujuan untuk menghindari hancurnya sektor- sektor ekonomi lokal akibat
meningkatnya jumlah produk- produk asing yang masuk ke Indonesia sebagai dampak
3
dari adanya AEC. Adapun salah satu cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan
kualitas persaingan produk, adalah melalui penambahan jenis produk yang dihasilkannya.
Tuntutan peningkatan kualitas saing hasil produk juga dialami oleh PT X. PT.X
adalah sebuah badan usaha milik negara (BUMN) yang bergerak pada bidang produksi
vaksin dan serra. Berkurangnya campur tangan pemerintah pada proses pengelolaan
BUMN, membuat PT. X dituntut untuk dapat bersaingan di pasar bebas layaknya
perusahaan swasta. Hal ini membuat PT.X dituntut untuk mampu melakukan pembaharuan
terhadap produk yang dihasilkannya, agar tidak kalah saing dengan produk- produk asing
yang masuk ke Indonesia sebagai salah satu dampak dari adanya AEC.
Tuntutan melakukan pembaharuan terhadap produk dapat dilakukan dengan cara
melakukan evaluasi berupa pembaharuan pada produk yang sudah ada dan melakukan
penelitian guna menghasilkan suatu produk baru. Adapun untuk menghasilkan suatu
produk baru dapat tercapai melalui pembaharuan terus menerus terhadap ide, proses,
produk maupun prosedur baru yang dihasilkan oleh organisasi. Kegiatan pembaharuan ide,
proses, produk maupun prosedur baru dapat tercapai melalui perilaku kerja yang
ditampilkan oleh anggota organisasi yang dalam konteks perusahaan disebut dengan
karyawan. Salah satu perilaku kerja yang memiliki peran dalam melakukan pembaharuan
baik dalam bentuk ide, proses, produk maupun prosedur baru adalah perilaku inovasi
(inovative work behavior). Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut maka
dilakukan penelitian ini guna membantu manajemen PT. X dalam meningkatkan
innovative work behavior pada karyawan.
Innovative work behavior adalah suatu perilaku kerja yang bertujuan untuk
menghasilkan, memperkenalkan dan menerapkan hal- hal baru yang bermanfaat bagi
perusahaan (West & Farr dalam De Jong & Kemp, 2003). Hal- hal baru yang dimaksud
pada konteks innovative work behavior dapat meliputi ide, proses, prosedur maupun
produk baru. Innovative work behavior ini dapat tercapai melalui pemanfaatan
pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki individu guna menghasilkan suatu ide, proses
maupun solusi baru (Amabile dalam He, 2013).
West (1997) menambahkan bahwa hanya perusahaan-perusahaan yang terampil
berinovasi dan sukses mengeksploitasi ide-ide baru, yang akan mendapatkan keunggulan
persaingan di pasar dunia yang berubah-ubah dengan cepat ini dan mereka yang tidak
terampil akan ketinggalan. (Zaltman, Duncan dan Holbek dalam Scott & Bruce, 1995)
menyatakan bahwa inovasi dalam suatu organisasi adalah proses perubahan yang
menghasilkan produk, proses atau prosedur baru bagi organisasi. Oleh karena itu
4
innovative work behavior menjadi sebuah komponen perilaku yang penting untuk dimiliki
oleh karyawan dalam sebuah perusahaan.
Mc Laughlin (2006) menyebutkan jika innovative work behavior merupakan hasil
interaksi antara kemampuan yang dimiliki individu dengan kondisi sistem yang berlaku
pada lingkungan individu. Innovative work behavior didasari oleh adanya potensi yang
dimiliki oleh individu yang terdiri atas kapasitas intelektual dan kondisi psikologis
individu yang berinteraksi dengan kondisi sistem di lingkungan sekitar individu dalam
konteks penelitian ini adalah lingkungan kerja. Proses interaksi antara potensi individu dan
kondisi sistem di lingkungan kerja yang menentukan kondisi tinggi rendahnya innovative
work behavior pada karyawan.
Terdapat perbedaan antara perilaku kreatif dengan innovative work behavior yaitu
perilaku kreatif adalah proses menghasilkan sebuah ide, gagasan atau pemikiran baru yang
dihasilkan berdasarkan gabungan antara pengetahuan baru dengan pengetahuan
sebelumnya yang dimilikinya (Amabile,et.al, 1996). Sementara innovative work behavior
memiliki makna lebih dari sekedar menghasilkan sebuah ide, gagasan atau pemikiran baru,
karena melibatkan proses implementasi terhadap ide tersebut khususnya pada setting
pekerjaan (West & Farr dalam De Jong & Kemp, 2003). Maka berdasarkan penjelasan
tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa sebuah innovative work behavior pasti
membutuhkan perilaku kreatif, tetapi tidak semua bentuk kreatifitas yang dihasilkan dalam
perilaku tersebut dapat digolongkan sebagai innovative work behavior. Hanya perilaku
kreatif yang dapat diwujudkan dalam implementasi kerja saja yang tergolong sebagai
innovative work behavior.
Farr dan Ford (dalam De Jong & Hartog, 2010) menyatakan bahwa innovative
work behavior adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk mencapai inisiasi dan
pengenalan suatu ide, proses, prosedur maupun produk baru yang berguna bagi organisasi
dalam konteks penelitian ini adalah perusahaan. Perilaku ini terdiri atas empat dimensi
yang merupakan bagian dari innovative work behavior secara keseluruhan. Adapun
keempat dimensi tersebut adalah idea exploration, idea generation, idea coalition building
atau idea championing dan idea implementation (Klysen & Street, dalam De Jong &
Hartog, 2010). Keempat dimensi ini saling bersinergi satu sama lain membentuk suatu
keluaran perilaku yang disebut dengan innovative work behavior.
Idea exploration adalah dimensi yang merupakan tahapan awal dari perilaku
inovasi (innovative work behavior) dimana karyawan dituntut untuk mampu memahami
masalah dan kebutuhan tempat kerja. Melalui pemahaman masalah dan kebutuhan di
5
tempat kerja, karyawan akan memunculkan kesempatan untuk mmerubah suatu kondisi
yang ada di lingkungan kerja. Pada tahap idea exploration, proses inovasi terjadi ketika
karyawan mulai mampu menemukan adanya peluang ide baru (Krueger, 2000). Peluang
dapat ditemukan melalui berbagai cara misalnya melalui penemuan adanya keganjilan dan
diskontinuitas yang menganggu proses kerja yang ada, perkembangan masalah pada
metode kerja yang biasa diterapkan, kegagalan dalam memenuhi tuntutan kerja dan
munculnya trend baru yang membawa pengaruh pada proses kerja (Mumford, Baughman,
Suppinski & Maher, 1996).
Idea generation adalah tahap kedua dari dimensi innovative work behavior
dimana pada tahap ini karyawan mulai mampu mengembangkan suatu ide inovasi melalui
proses menciptakan dan menyarankan ide kreatif untuk produk, proses maupun servis baru.
Ide inovasi iini muncul berdasarkan hasil penemuan peluang pada tahap sebelumnya yakni
pada oppurtunity exploration. Ketika peluang dan informasi yang dibutuhkan untuk
memecahkan masalah berhasil ditemukan, maka idea generation akan muncul (De Jong,
2010).
Idea championing adalah suatu tahapan dalam innovative work behavior, dimana
karyawan mulai terdorong untuk mencari koalisi atau dukungan dalam mewujudkan ide
baru yang telah dihasilkannya pada tahap idea generation. Menurut Howell, Shea &
Higgins (2005) menjadi penting pada tahapan ini, karyawan mampu menjaga antusiasme,
persistensi dan kepercayaan diri atas keberhasilan penerapan ide yang dimilikinya. Maka
karyawan perlu untuk mencari dan memilih individu yang tepat untuk mendukung
implementasi ide baru yang dimiliki. Hal ini disebabkan oleh kerentanan implementasi
inovasi terhadap resistensi.
Jones (2004) menyebutkan beberapa penyebab mengapa implementasi ide inovasi
rentan terhadap adanya resistensi dari lingkungan. Pertama karena implementasi ide
inovasi biasanya disertai dengan adanya tugas- tugas atau penggunaan metode kerja baru.
Otomatis ketika ide impelementasi diusulkan, maka penerima ide akan mengekplorasi
seberapa jauh implementasi ide tersebut akan memengaruhi posisi dan fungsi kerja mereka.
Keenganan untuk menerima perubahan posisi dan fungsi kerja akan menimbulkan adanya
resistensi. Kedua individu memiliki kecenderungan umum untuk melihat informasi secara
selektif yaitu konsisten dengan pandangan yang sudah ada. Hal ini menunjukkan bahwa
ide-ide yang sangat inovatif tidak mendapat prioritas karena berseberangan dengan
konsistensi pandangan yang sudah dimiliki. Sumber ketiga adalah preferensi bersama
untuk tindakan dan peristiwa yang tidak asing. Individu memiliki kecenderungan untuk
6
kembali ke perilaku lama mereka, kecenderungan kembali pada perilaku lama
menimbulkan adanya resistensi terhadap implementasi ide inovasi yang sarat menuntut
adanya perubahan.
Maka untuk mengurangi adanya resistensi dari lingkungan, menjadi penting bagi
karyawan yang memiliki ide inovasi untuk memiliki koalisi yang kuat dalam mewujudkan
ide mereka. Pada tahap idea championing ini karyawan pemilik ide inovasi akan berusaha
membangun koalisi guna mewujudkan ide inovasinya. Champions adalah orang-orang
yang berusaha dalam ide-ide kreatif. Mereka adalah individu-individu dalam peran
informal yang mendorong ide-ide kreatif di luar hambatan dalam organisasi mereka
(Shane, 1994). Idea championing meliputi perilaku yang berhubungan dengan mencari
dukungan dan membangun koalisi, seperti membujuk dan mempengaruhi karyawan lain
serta mendorong dan bernegosiasi dengan mereka (Zaltman et al, 1973 dalam Amelia,
2014). Tujuannya semata- mata untuk mencari dukungan dari lingkungan agar mengurangi
resistensi terhadap implementasi ide inovasi yang dimiliki.
Tahap terakhir dari innovative work behavior adalah dimensi idea
implementation. Dimensi ini merupakan tahapan dimana karyawan telah memiliki
keberanian untuk menerapkan ide baru yang mereka miliki pada proses kegiatan kerja rutin
yang biasa ia lakukan. Pada tahapan ini perilaku yang ditunjukkan oleh karyawan meliputi
pengembangan dan uji coba terhadap ide produk, proses maupun servis baru yang ia
tawarkan (De Jong & Hartog, 2010).
Proses uji coba melibatkan pengenalan prosedur, produk, proses maupun servis
baru kepada karyawan lain yang proses kerjanya mengalami dampak dari adanya
implementasi ide. Tidak hanya sebatas pengenalan tahapan ini juga melibatkan kegiatan
pemeriksaan hasil yang ditimbulkan dari adanya implementasi ide baru. Dapat dikatakan
pada tahapan ini dilakukan uji coba beserta pembiasaan atas penerapan ide baru yang
diajukan. Idea implementation adalah tahapan inovasi untuk mengembangkan,
memodifikasi, komersialiasi dan implementasi ide kreatif ke dalam bentuk perilaku kerja.
Hasil dari beberapa penelitian menunjukkan terdapat beberapa anteseden yang
memengaruhi terbentuknya innovative work behavior diantaranya adalah organizational
innovative climate (He, 2013; Rui 2013; Nesya, 2014), perceived organizational support
(POS) (Kireina, 2014), kualitas interaksi antara karyawan dengan atasan (Scott, Susan &
Reginald, 2014), ekspetasi inovasi dari atasan (Scott, Susan & Reginald, 2014), leadership
support for inovation (LSI) (Scott, Susan & Reginald, 2014; Issaksen & Akkermans,
7
2011), manager role expectation (Scott, Susan & Reginald, 2014); motivasi ekstrinsik
(Rui, 2013); cognitive capital (Mc Laughlin, 2006) dan psychological capital (He, 2013).
Pada penelitian ini peneliti menetapkan organizational innovative climate sebagai
anteseden dari innovative work behavior yang akan diteliti. Organizational innovative
climate adalah salah satu jenis spesifik dari organizational climate yang secara khusus
menggambarkan climate inovasi pada suatu organisasi atau dalam konteks penelitian ini
adalah perusahaan. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti pengaruh organizational
innovative climate terhadap innovative work behavior karyawan PT. X.
Climate merupakan faktor penting yang perlu tercipta untuk mendorong timbulnya
perilaku inovasi, salah satunya terlihat melalui dukungan organisasi (Amabile, 1988).
James, James & Ashe (dalam Isaken & Lauer, 2002) menyebutkan bahwa secara umum
berdasarkan lingkup analisisnya, climate terbagi atas dua jenis yakni organizational
climate dan psychological climate.
Pyschological climate adalah penilaian kognitif individu terhadap lingkungan
nya, dimana dalam memaknai nya individu memanfaatkan nilai- nilai pribadi yang
dimilikinya. Ketika penilaian individu disatukan, didasarkan pada keyakinan masing-
masing individu yang merasakan penilaian yang sama, maka hasil yang didapat
menghasilkan suatu organizational climate. Organizational climate merupakan kondisi
dalam lingkungan kerja dan merupakan stimulus yang kemudian berinteraksi dengan
karyawan. Interaksi yang terus menerus antara karyawan dengan stimulus yang ada di
lingkungan, akan melahirkan suatu persepsi bersama (Locke, 1976).
Organizational climate merupakan sesuatu yang dipersepsi, sebagai pengaruh dari
subjektif dari sistem formal, gaya informasi manajer, dan faktor- faktor lingkungan lain
yang terdapat pada sikap, keyakinan, nilai dan motivasi dari orang- orang yang bekerja
pada sebuah perusahaan tertentu (Litwin & Stringer, 1968). Kallestad (dalam Burns &
Machin, 2013) juga menambahkan bahwa organizational climate mengacu pada persepsi
karyawan terhadap peraturan, penerapan dan prosedur yang berlaku pada suatu organisasi,
sehingga organizational climate merupakan karakteristik-karakteristik tertentu yang
secara spesifik membedakan suatu organisasi dengan organisasi lainnya dan
mempengaruhi tingkah laku manusia di dalam organisasi tersebut.
Sejumlah penelitian menunjukkan organizational climate yang spesifik mengukur
inovasi atau dikenal dengan organizational innovative climate dapat mengarahkan pada
perhatian dan aktivitas dari inovasi (Amabile, 1988). Pentingnya dukungan organisasi
terhadap inovasi juga akan membantu dalam mengkomunikasikan nilai-nilai dan norma-
8
norma organisasi yang dapat memengaruhi tingkat innovative work behavior karyawan
(Yuan & Woodman, 2010).
Organizational innovative climate adalah persepsi dari anggota organisasi terkait
dukungan yang diberikan organisasi kepada perilaku kreatif dan inovatif di lingkungan
kerja (Amabile at Al, 1996 dalam He, 2013). Tingkat dukungan dan dorongan yang
diberikan organisasi terhadap karyawannya untuk mengambil inisiatif dan mengeksplorasi
pendekatan-pendekatan inovatif yang diperkirakan dapat mempengaruhi tingkat inovasi
dalam organisasi tersebut (Sarros,et.al, 2008). Sarros,et.al, (2008) juga menambahkan
bahwa hasil penelitian terhadap organizational innovative climate menunjukkan bahwa
variabel ini merupakan faktor penting yang dapat meningkatkan kinerja organisasi.
Dukungan perusahaan yang terukur pada variabel organizational innovative climate
membuat karyawan terdorong untuk mengeksplorasi berbagai alat dan metode untuk
menjalankan tugas-tugas mereka serta mengubah ide-ide kreatif mereka menjadi produk
yang inovatif, sehingga mampu meningkatkan kinerja organisasi.
Hasil penelitian yang dilakukan He (2013) pada perusahaan di Cina menunjukkan
bahwa semakin kuat organizational innovative climate yang dipersepsi oleh karyawan
pada suatu perusahaan, maka semakin aktif karyawan perusahaan tersebut untuk
menampilkan perilaku kerja inovasi (innovative work behavior). Hasil yang serupa juga
ditunjukkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Tsai dan Kao (2004), bahwa semakin kuat
organizational innovative climate semakin tinggi perilaku inovasi yang terjadi pada suatu
organisasi.
Amabile (dalam He, 2013) menyebutkan bahwa dukungan organisasi pada
organizational innovative climate terdiri atas lima dimensi yaitu: dorongan untuk
melakukan inovasi (encouregement for innovation), otonomi terkait pekerjaan (autonomy
atau freedom), sumber daya (resources), tekanan (pressure) dan hambatan organisasi untuk
melakukan inovasi (organizational impedemens to innovation). Kelima dimensi pada
organizational innovative climate ini saling bersinergi satu sama lain,sehingga membentuk
suatu persepsi tertentu pada karyawan terkait dukungan perusahaan pada perilaku inovasi.
Dimensi encouragement for innovation adalah tingkat dorongan yang diterima
karyawan untuk menghasilkan inovasi (Amabile, 1996). Dorongan ini berasal dari tiga
sumber yang merupakan sub dimensi dari organizational innovative climate. Ketiga
sumber dorongan inovasi ini berasal dari organisasi (organizational encouragement),
atasan (supervisory encouragement) dan rekan kerja (work group encouragement). Ketiga
sumber dukungan ini saling memberikan sumbangan dukungan masing- masing yang
9
membentuk suatu persepsi tertentu pada karyawan terkait dorongan untuk melakukan
inovasi.
Dimensi autonomy adalah tingkat keleluasan yang dipersepsi karyawan dalam
merencanakan, melakukan dan mengontrol pekerjannya masing- masing (Ballyn, King &
West dalam Amabile, 1996). Tanpa adanya keleluasan yang diterima karyawan dalam
merencanakan, melakukan dan mengontrol pekerjaannya masing- masing, akan sulit bagi
karyawan untuk menghasilkan ide- ide baru dikarenakan adanya perasaaan khawatir untuk
melakukan perubahan dikarenakan ketatnya pengawasan yang diberikan oleh perusahaan.
Dimensi resources menyatakan mengenai persepsi karyawan terkait ketersediaan
alokasi sumber daya yang diberikan oleh perusahaan dalam mendukung proses inovasi
yang dilakukan oleh karyawan (Cohen & Levitan dalam Amabile, 1996). Alokasi sumber
daya yang cukup akan membuat karyawan merasakan kebermaknaan atas inovasi yang
dilakukannya, sehingga mampu meningkatkan dorongan dalam diri untuk menghasilkan
inovasi yang dapat berguna bagi perusahaan.
Dimensi pressure mengukur mengenai derajat tekanan yang diterima karyawan
dalam melaksnakan pekerjaannya (Amabile, 1996). Tekanan pekerjaan yang cukup
membuat karyawan menjadi tertantang dan bersemangat untuk menghasilkan inovasi bagi
perusahaan. Sebaliknya tekanan kerja yang lemah membuat karyawan menjadi tidak
tertantang dalam bekerja, sehingga cenderung memilih untuk mengerjakan pekerjaan
sebatas rutinitas semata tanpa ada usaha untuk menghasilkan hasil pekerjaan yang lebih.
Namun demikian tekanan yang berlebih juga dapat menghambat inovasi, karena karyawan
merasa tidak memiliki waktu untuk berpikir mengenai pembaharuan di lingkungan
pekerjaannya. Maka menjadi penting bagi perusahaan untuk memastikan kecukupan kadar
pressure yang dibebankan perusahaan kepada karyawan, agar mendukung munculnya
inovasi. Adapun pressure dapat bersumber dari kuantitas pekerjaan, tingkat kesulitan kerja
dan batasan waktu kerja.
Kimberly & Evanlive (dalam Amabile, 1996) menyebutkan struktur organisasi
yang bersifat formal dan kaku dapat menjadi sumber penghambat munculnya inovasi.
Struktur organisasi yang terlalu kaku, disertai banyaknya kepentingan pihak- pihak tertentu
membuat anggota organisasi dalam konteks penelitian ini adalah karyawan menjadi kurang
terpacu untuk menghasilkan inovasi atas proses maupun hasil kerjanya. Kontrol yang
tinggi juga membentuk motivasi yang dimiliki oleh karyawan menjadi motivasi ekternal,
dimana karyawan akan cenderung bersikap pasif dan menunggu adanya intruksi. Sikap
kerja yang demikian dirasa akan menghambat munculnya inovasi, dimana untuk
10
memunculkan motivasi internal justru dirasa lebih dibutuhkan. Gambaran hambatan pada
perusahaan inilah yang terukur melalui dimensi organizational impedements to innovation.
METODE PENELITIAN
Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan bentuk penelitian kuantitatif deskriptif melalui metode
survei. Penelitian survei adalah jenis penelitian yang melibatkan pemilihan sampel dan
penggunaan sejumlah pertanyaan yang sudah ditetapkan sebelumnya guna mendapatkan
informasi yang diharapkan sesuai dengan variabel yang telah ditetapkan (Saughnessy,
Zechmeister & Zechmeister, 2006). Proses pengambilan data melalui survei yang
dilakukan tidak melalui percobaan manipulasi atau kontrol yang dilakukan peneliti kepada
subyek penelitian, namun data yang diambil berupa data yang senyata nya ditemukan di
lapangan sehingga penelitian ini tergolong jenis penelitian ex post facto (Saughnessy,
Zechmeister & Zechmeister, 2006). Melalui metode survei variabel diukur dengan
menggunakan instrumen- instrumen penelitian, sehingga data yang didapatkan berupa
angka- angka yang pada akhirnya akan dianalisis dengan menggunakan prosedur-prosedur
statistika guna mengetahui hubungan kausalitas antar variabel. Adapun hubungan
kausalitas adalah hubungan sebab akibat dari variabel- variabel yang diteliti guna
membuktikan hipotesis penelitian yang telah ditetapkan sebelumnya (Saughnessy,
Zechmeister & Zechmeister, 2006).
Penelitian ini menetapkan innovative work behavior (IWB) sebagai variabel dependen,
sedangkan organizational innovative climate (OIC) ditetapkan sebagai variabel
independen. Hipotesis penelitian yang ditetapkan peneliti ini adalah terdapat pengaruh
positif organizational innovative climate terhadap innovative work behavior pada
karyawan PT. X.
Subyek Penelitian
Penelitian dilakukan pada 62 orang karyawan Direktorat Perencanaan dan
Pengembangan di PT. X. Karyawan Direktorat Perencanaan dan Pengembangan dipilih
sebagai subyek penelitian ini, karena proses peluncuran produk yang dihasilkan oleh PT. X
pertama kali dikembangkan pada direktorat ini. Pada direktorat ini dilakukan penelitian
terkait produk baru yang akan diluncurkan, uji coba hingga proses pengajuan lisensi
produk tersebut sebelum pada akhirnya akan dilakukan produksi masal oleh Direktorat
Produksi . Hal ini membuat karyawan pada Direktorat Perencanaan dan Pengembangan
11
memiliki tuntutan lebih untuk menampilkan innovative work behavior dibandingkan
karyawan pada direktorat lain di PT. X.
Dalam memilih subyek penelitian, peneliti menetapkan metode pengambilan
sampel non- probabilitas yaitu purposive sampling, dimana peneliti menentukan kriteria
tertentu pada subyek penelitian (Sarantakos, 2005). Penetapan kriteria tertentu dilakukan
berdasarkan pertimbangan pengaruh karakteristik kriteria pada diri subyek terhadap hasil
peneliti. Berikut karakteristik subyek yang ditetapkan pada penelitian ini:
1. Karyawan Direktorat Perencanaan dan Pengembangan
2. Status karyawan tetap
3. Memiliki masa bekerja di PT. X minimal satu tahun
Pengukuran/ Instrumen
Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data kuantitatif melalui metode
survei. Metode survei adalah jenis metode pengambilan data yang melibatkan pemilihan
sampel dan penggunaan sejumlah pertanyaan yang sudah ditetapkan sebelumnya guna
mendapatkan informasi yang diharapkan sesuai dengan variabel yang telah ditetapkan
(Saughnessy, Zechmeister & Zechmeister, 2006). Pendekatan pengambilan data melalui
metode survei dilakukan dalam periode tertentu, sehingga penelitian ini tergolong sebagai
jenis penelitian crosectional study (Graziano & Raulin, 2000).
Melalui metode survei variabel diukur dengan menggunakan instrumen- instrumen
penelitian, sehingga data yang didapatkan berupa angka- angka yang pada akhirnya akan
dianalisis dengan menggunakan prosedur- prosedur statistika guna mengetahui hubungan
kausalitas antar variabel. Adapun hubungan kausalitas adalah hubungan sebab akibat dari
variabel- variabel yang diteliti guna menjawab pertanyaan penelitian (Saughnessy,
Zechmeister & Zechmeister, 2006).
Alat ukur innovative work behavior yang digunakan pada penelitian ini adalah
adaptasi dan modifikasi dari alat ukur yang disusun oleh De Jong (2007). Proses adaptasi
dan modifikasi dilakukan oleh peneliti guna menyesuaikan item- item pada alat ukur
buatan De Jong (2007) dengan kondisi karyawan yang bekerja di Direktorat Perencanaan
dan Pengembangan PT. X.
Proses uji coba dilakukan pada alat ukur ini pada sejumlah 30 orang karyawan di
Direktorat Perencanaan dan Pengembangan PT. X. Uji validitas alat ukur dilakukan
melalui metode expert judgement dan korelasi peaarson product moment pada skor
masing- masing item dengan skor item totatal. Hasil uji validitas menunjukkan sebaran
12
skor nilai masing- masing item berada di atas r tabel dengan taraf signifikansi 0,005.
Sementara uji reliabilitas dilakukan melalui teknik pengujian daya diskriminasi item alpha
cronbach. Hasil uji alpha cronbach menunjukkan nilai reliabilitas sebesar α = 0,925
dengan nilai daya beda item bergerak antara rentang nilai 0,64 hingga 0,868. Maka
berdasarkan hasil uji coba tersebut alat ukur modifikasi innovative work behavior
dinyatakan valid dan reliabel untuk digunakan dalam proses pengambilan data penelitian.
Berikut blueprint alat ukur setelah dilakukan uji coba:
Tabel 1. Blueprint Alat Ukur Innovative Work Behavior
No Dimensi Jumlah item
1. Idea exploration 4
2. Idea generation 4
3. Idea championing 4
4. Idea implementation 4
TOTAL 16
Skala organizational innovative climate adalah adaptasi dan modifikasi dari alat ukur
KEYS: asessing the climate for creativity and innovation yang disusun oleh Amabile
(1996). Hasil uji coba alat ukur pada 30 orang karyawan Direktorat Perencanaan dan
Pengembangan PT. X menunjukkan nilai reliabilitas sebesar α = 0,869 dengan nilai daya
beda item bergerak antara rentang nilai 0,15 hingga 0,755. Sedangkan skor uji validitas
melalui metode korelasi pearson product moment pada skor masing- masing item dengan
skor item total menunjukkan sebaran skor nilai masing- masing item berada di atas r tabel
dengan taraf signifikansi 0,005. Maka berdasarkan hasil uji coba tersebut alat ukur
modifikasi innovative work behavior dinyatakan valid dan reliabel untuk digunakan dalam
proses pengambilan data penelitian. Berikut blueprint alat ukur setelah dilakukan uji coba:
Tabel 2. Blueprint Alat Ukur Organizational Innovative Climate
No Dimensi Sub Dimensi Jumlah Item
1.
Encouragement for innovation
Organizational encouragement 3
Supervisory encouragement 3
Work group enocuragement 3
2. Autonomy 4
3. Resources 4
4. Pressures 4
5. Impedements to innovation 4
Total Item 25
13
Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan menggunakan metode analisis uji regresi linear
menggunakan bantuan software statistik SPSS versi 20. Analisis uji regresi linear bertujuan
untuk mengetahui pengaruh antara organizational innovative climate dengan innovative
work behavior. Uji statistik regresi linear digunakan untuk menjawab hipotesis penelitian
yaitu terdapat pengaruh positif organizational innovative climate terhadap innovative work
behavior.
HASIL
Hasil penelitian dilaporkan secara deskriptif dan secara inferensial. Adapun
pengujian hipotesis penelitian dilakukan melalui analisis regresi linear. Gambaran
deskriptif dari hasil penelitian dapat dilihat pada tabel 3 berikut ini:
Tabel 3
Gambaran Deskriptif Skor Statistika Data Penelitian
Variabel Skor Hipotetik Skor Empirik
Min Max Mean SD Min Max Mean SD
Innovative work
behavior
16 96 56 13 21 92 62 13
Organizational
innovative
climate
25 125 75 17 64 121 89 11
Berdasarkan data pada tabel di atas didapatkan gambaran skor empirik tingkat
innovative work behavior dengan nilai minimal sebesar 21 dan maksimal sebesar 92
dengan SD sebesar 13. Data pada tabel tersebut juga menunjukkan bahwa skor mean
empirik pada variabel innovative work behavior lebih besar dibandingkan dengan skor
mean hipotetik (62 ≥ 56). Data ini bermakna bahwa tingkat innovative work behavior pada
subyek penelitian ini terbilang cukup tinggi, karena memiliki skor empirik diatas skor
hipotetik penelitian.
Sama halnya pada variabel organizational innovative climate skor mean empirik
berada diatas skor mean hipotetik penelitian. Hasil ini menunjukkan bahwa karyawan
Direktorat Perencanaan dan Pengembangan PT.X memandang cukup positif
organizational innovative climate yang berlaku di lingkungan kerja. Namun demikian
perlu dilakukan analisis lebih lanjut terhadap skor empirik tersebut guna mengetahui
14
kategorisasi innovative work behavior dan organizational innovative climate pada
karyawan Direktorat Perencanaan dan Pengembangan PT. X.
Sebelum dilakukan pembuktian hipotesis penelitian melalui uji analisis regresi,
peneliti melakukan beberapa uji asumsi data terlebih dahulu guna mengetahui keabsahan
data penelitian untuk dilakukan uji analisis regresi. Adapun uji asumsi yang dilakukan oleh
peneliti adalah uji asumsi normalitas dan linieritas data. Berikut hasil uji asumsi yang
peneliti dapatkan pada variabel penelitian:
Tabel 4. Hasil Uji Asumsi Normalitas
Variabel K-SZ P Kesimpulan
Innovative work behavior 0,782 0, 574 Normal
Organizational innovative climate 0,75 0, 628 Normal
Berdasarkan tabel diatas terlihat jika kedua variabel pada penelitian ini memiliki
distribusi data normal. Terlihat dari taraf signifikansi pada kedua variabel diatas taraf
minimal signifikansi yang telah ditetapkan yakni 0,05. Pada variabel organizational
innovative climate sebesar 0,75 (p= 0,628; p > 0,05) dan variabel innovative work behavior
0,574 (p= 0,574; p > 0,05).
Tabel 5. Hasil Uji Asumsi Linearitas
F Sig.
IWBTOT *
OICTOT
Between
Groups
(Combined) 1,220 ,303
Linearity 13,491 ,001
Deviation from
Linearity
,859 ,666
Within Groups
Total
Data pada tabel 5 menunjukkan bahwa taraf signifikansi linearitas antara variabel
organizational innovative climate dan innovative work behavior sebesar 0,001. Taraf
signifikansi kurang dari 0,05 (0,01 < 0,005) menunjukkan bahwa terdapat hubungan linear
antara variabel organizational innovative climate dengan innovative work behavior. Maka
berdasarkan data pada tabel 4 dan 5 disimpulkan bahwa bahwa asumsi normalitas dan
linearitas terpenuhi pada kedua variabel penelitian, sehingga kedua variabel tersebut telah
memenuhi syarat untuk dilakukan uji regresi linear.
15
Uji analisis regresi linear memiliki tujuan untuk mengetahui secara lebih spesifik
peranan organizational innovative climate terhadap tingkat innovative work behavior.
Hasil akhir dari uji analisis ini adalah persamaan garis regresi. Persamaan garis regresi ini
digunakan untuk, memprediksi perubahan variabel dependen melalui besarnya variabel
prediktor atau independen. Gambaran hasil uji regresi disajikan pada tabel hasil berikut:
Tabel 6. Hasil Uji Analisis Regresi
Independent
Variable
(X)
Dependent
Variable
(Y) β F t
p -
value R R
2 Ket
Constanta 14,249
Regression 16,918 0,00
0,469 0,220
Signifikan
OIC IWB 0,541 4,113 0,00 Signifikan
Keterangan
OIC : organizational innovative climate
IWB : innovative work behavior
Hasil uji analisis regresi yang disajikan pada tabel 6 menunjukkan bahwa
organizational innovative climate memiliki pengaruh terhadap innovative work behavior
terlihat pada taraf signifikansi 0,00. Taraf signifikansi dibawah 0,005 menunjukkan bahwa
organizational innovative climate memiliki pengaruh terhadap innovative work behavior.
Hasil perbandingan antara nilai t- tabel dengan t-hitung yang ditampilkan pada
tabel 6 juga menunjukkan bahwa t-hitung > t-tabel (4,113 > 1,671). Hasil uji hipotesis ini
menunjukkan bahwa H0 ditolak sehingga memiliki makna bahwa organizational
innovative climate berpengaruh positif terhadap innovative work behavior karyawan
Direktorat Perencanaan dan Pengembangan PT X dengan tingkat kepercayaan 95%.
Lebih lanjut lagi hasil dari analisis regresi yang telah dilakukan juga menunjukkan
bahwa pengaruh dari organizational innovative climate sebesar 22 % dalam memunculkan
innovative work behavior. Hasil ini ditunjukkan dari besarnya nilai koofisien determinasi
(R2) sebesar 0,220. 22 % didapat melalui rumus R
2 x 100%. Hasil ini bermakna bahwa 78
% besaran tingkat innovative work behavior pada karyawan Direktorat Perencanaan dan
Pengembangan PT. X dipengaruhi oleh variabel- variabel lain diluar variabel penelitian.
Hasil dari uji hipotesis melalui analisis statistik regresi menghasilkan sebuah
persamaan regresi yang bermanfaat untuk memprediksi kenaikan tingkat innovative work
16
behavior pada karyawan jika dilakukan manipulasi terhadap variabel dependen. Berikut
persamaan regresi yang dihasilkan dari hasil uji hipotesis pada penelitian ini:
Keterangan:
Y = variabel dependen (nilai yang diprediksikan)
X = variabel independen
a = konstanta (nilai Y apabila X1+ X2+ .... = 0 )
b = koofisien regresi variabel independen
Persamaan regresi diatas memiliki arti sebagai berikut:
1. Jika variabel oanizational innovative climate bernilai 0 maka Innovative work
behavior yang ditampilkan oleh karyawan akan bernilai -14,249
2. Jika variabel Organizational innovative climate mengalami kenaikan 1 poin, maka
Innovative work behavior yang dimiliki karyawan sebesar 5,41
Setelah hipotesis penelitian terbukti, maka peneliti melakukan analisis lanjutan
pada masing- masing dimensi organizational innovative climate. Tujuannya untuk
mengetahui profil masing- masing dimensi variabel guna mengetahui dimensi mana yang
menyumbangkan skor terendah pada variabel organizational innovative
climate.Perhitungan dilakukan dengan melakukan kategorisasi pada skor empirik
penelitian (sesuai pada tabel 4). Secara umum berdasarkan perhitungan kategorisasi paada
skor empirik didapatkan gambaran secara umum organizational innovative climate pada
karyawan Direktorat Perencanaan dan Pengembangan PT. X sebagai berikut:
Y = a + bX
= 14,249 + 5,41.X
17
Diagram 1. Gambaran Secara umum Organizational Innovative Climate Karyawan
Direktorat Perencanaan dan Pengembangan PT. X
Terlihat pada diagram 1 bahwa organizational innovative climate pada Direktorat
Perencanaan dan Pengembangan dipersepsi cukup menyenangkan bagi karyawan. Terlihat
dari hasil kategorisasi skor total bahwa sebanyak 55% karyawan (34 orang) menyatakan
bahwa organizational innovative climate yang dimiliki Direktorat Perencanaan dan
Pengembangan termasuk kategori favorable dan sisanya sebanyak 45% karyawan (28
orang) menyatakan sebagai unfavorable. Hasil ini bermakna bahwa hampir lebih dari
separuh karyawan Direktorat Perencanaan dan Pengembangan mempersepsi bahwa iklim
organisasi yang ada di lingkungan Direktorat Perencanaan dan Pengembangan mendukung
diri mereka untuk memunculkan innovative work behavior di lingkungan kantor. Namun
demikian perlu dilakukan analisis parsial pada masing- masing dimensi organizational
innovative climate mengingat besar selisih antara karyawan yang mempersepsi favorable
dan unfavorable terbilang sedikit.
Berikut gambaran profil organizational innovative climate pada masing- masing
dimensi:
Diagram 2. Profil Tiap Dimensi Organizational Innovative Climate
18
Keterangan:
EI : Encouragement for innovation
A : Autonomy
RE : Resources
P : Pressure
II : Impedement for innovation
Pada diagram 2 terlihat profil organizational innovative climate pada Direktorat
Perencanaan dan Pengembangan dimensi yang tergolong tinggi adalah dimensi
encouragement for innovation yakni 39 orang (63%), autonomy 43 orang (69%) dan
impedements for innovation 43 orang (69%) . Sementara dimensi yang tergolong rendah
berada pada dimensi pressure yakni 32 orang (52%). Pada dimensi resources profil
karyawan berada pada kategorisasi yang sama tinggi yakni 31 orang menyatakan rendah
(50%) dan 31 orang tinggi (50%).
Tiap kategorisasi tinggi dan rendah pada masing- masing dimensi memiliki makna
yang berbeda- beda, disesuaikan dengan posisi dimensi masing- masing bagi variabel
organizational innovative climate. Amabile (1996) menyatakan dari kelima dimensi
organizational innovative climate terbagi dua kategorisasi yakni dimensi pendorong
inovasi dan dimensi penghambat inovasi. Dimensi yang termasuk kategorisasi pendorong
adalah dimensi dorongan berinovasi (encouragement for innovation),otonomi (autonomy),
sumber daya (resources ) dan tekanan (pressure). Sedangkan dimensi penghambat adalah
dimensi hambatan organisasi (organizational impedements).
Pada dimensi yang tergolong pendorong, skor tinggi pada kategorisasi tiap dimensi
dimaknai sebagai favorable terhadap organizational innovative climate, sedangkan skor
rendah dimaknai unfavorable. Kondisi sebaliknya ditemukan pada dimensi yang tergolong
penghambat, dimana skor tinggi dimaknai sebagai unfavorable dan skor rendah favorable
terhadap organizational innovative climate.
Data pada diagram 2 menunjukkan bahwa hampir keseluruhan skor karyawan
Direktorat Perencanaan dan Pengembangan pada keempat dimensi pendorong berada pada
kategori tinggi. Jumlah tertinggi berada pada dimensi autonomy yakni sebesar 69%. Hasil
ini bermakna bahwa autonomy merupakan dimensi yang paling favorable atau dipersepsi
positif oleh karyawan Direktorat Perencanaan dan Pengembangan di PT. X sebagai
pendukung munculnya innovative work behavior di lingkungan kerja.
Sementara data pada diagram 2 menunjukkan bahwa dimensi organizational
impedements to innovation yang merupakan dimensi penghambat juga terbilang cukup
19
tinggi ditemukan pada Direktorat Perencanaan dan Pengembangan PT. X yakni sebesar
69% (43 orang). Hasil ini bermakna bahwa karyawan Direktorat Perencanaan dan
Pengembangan PT. X masih mempersepsi negatif terhadap kondisi organisasi, dimana
struktur organisasi dan pengaruh politik dalam penetapan kebijakan dipersepsi
menghambat dalam proses implementasi ide inovasi.
PEMBAHASAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh positif organizational
innovative climate terhadap innovative work behavior (r= 0,469, P <0,005). Hasil ini
sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh He (2013); Nesya (2014) bahwa persepsi
positif karyawan terhadap dukungan yang diberikan organisasi kepada perilaku kreatif dan
inovatif di lingkungan kerja berperan dalam mendorong karyawan untuk menampilkan
innovative work behavior pada lingkungan kerja. Semakin kuat persepsi positif yang
dimiliki oleh karyawan terhadap dukungan organisasi pada inovasi, maka semakin tinggi
perilaku yang ditampilkan oleh karyawan untuk mengambil inisiatif dan mengeksplorasi
pendekatan-pendekatan inovatif yang diperkirakan dapat memengaruhi tingkat inovasi
dalam perusahaan (Sarros,et.al, 2008). Sebaliknya semakin negatif persepsi yang dimiliki
oleh karyawan terhadap dukungan organisasi pada inovasi, maka semakin rendah
innovative work behavior yang ditampilkan oleh karyawan. Namun demikian hasil
penelitian menunjukkan bahwa organizational innovative climate memiliki pengaruh
hanya sebesar 22% terhadap innovative work behavior, sehingga sebanyak 78% lainnya
masih dipengaruhi oleh variabel- variabel lain di luar penelitian.
Profil organizational innovative climate pada diagram 1 menunjukkan bahwa
secara umum karyawan Direktorat Perencanaan dan Pengembangan PT. X sudah
mempersepsi positif terhadap dukungan organisasi yang diberikan terhadap inovasi.
Namun demikian tipisnya selisih jumlah karyawan yang menyatakan favorable (positif)
dan unfavorable (negatif) membuat peneliti merasakan perlu melakukan analisas partial
terhadap dimensi- dimensi organizational innovative climate.
Jika dilihat pada diagram 2, hasil analisis partial pada masing- masing dimensi
organizational innovative climate menenjukkan bahwa terdapat keseimbangan antara
proporsi dimensi yang tergolong sebagai dimensi pendorong dengan dimensi yang
tergolong dimensi penghambat. Hal ini yang menyebabkan tidak terlalu jauhnya selisih
jumlah karyawan yang menyatakan favorable dan unfavorable.
20
Data pada diagram 2 tetap dapat menunjukkan bahwa pada dimensi pendorong
autonomy merupakan dimensi yang paling tinggi dirasa mendukung inovasi (69%). Hasil
ini menunjukkan bahwa pada aturan- aturan maupun praktik manajemen yang berlaku pada
lingkungan Direktorat Perencanaan dan Pengembangan PT. X mampu memberikan
keleluasaan bagi karyawan dalam melaksanakan pekerjaan, sehingga mendukung mereka
untuk menghasilkan ide maupun perilaku inovasi.
Keleluasan yang dimaksud pada dimensi ini adalah keleluasan untuk mengatur jam
kerja dan metode kerja yang digunakan dalam mencapai target kerja. Hasil ini sejalan
dengan kondisi yang ditemukan di lapangan, dimana karyawan terlihat cukup leluasa untuk
mengatur kegiatannya selama jam kerja meskipun perusahaan menetapkan waktu masuk,
istirahat dan pulang yang serempak. Keleluasaan ini terlihat dari masih adanya waktu
luang yang dimiliki oleh karyawan pada jam kerja, sehingga sejatinya memungkinkan
karyawan untuk memikirkan ide- ide kreatif yang bermanfaat bagi pekerjaannya.
Keleluasaan lain juga terlihat pada standar operasional prosedure (SOP) yang
berlaku pada setiap pekerjaan di PT. X. Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa setiap
karyawan memang dituntut untuk mematuhi SOP yang berlaku guna menjaga kualitas hasil
kerja, namun ketika SOP tersebut dirasakan sudah tidak lagi sesuai, karyawan memiliki
kesempatan untuk mengajukan revisi terhadap nya. Pengajuan revisi SOP dilakukan
melalui supervisor pada masing- masing unit kerja.
Pada dimensi penghambat, dimensi organizational impedements masih dipersepsi
negatif oleh kebanyakan karyawan Direktorat Perencanaan dan Pengembangan PT. X
yakni sebanyak 43 orang (69%). Hasil ini bermakna bahwa karyawan mempersepsi jika
praktik- praktik manajemen terkait kondisi organisasi di PT. X masih menghambat mereka
dalam menghasilkan ide maupun perilaku inovasi. Kondisi organisasi yang dimaksud pada
dimensi organizational impedements mencakup struktur organisasi maupun praktek politik
yang berlaku di organisasi dalam menetapkan penerimaan terhadap ide inovasi.
Hasil ini sejalan dengan kondisi di lapangan, dimana PT. X masih menganut
struktur organisasi mekanistik. Pada model struktur organisasi mekanistik atau yang sering
dikenal dengan birokrasi melekat karakteristik struktur yang mempunyai departemenisasi
secara besar- besaran, formalisasi tinggi, jaringan informasi terbatas dan menganut sistem
pengambilan keputusan sentralisasi (Robbins, 2006). Struktur organisasi yang demikian
membuat proses birokrasi dalam pengajuan implementasi ide inovasi menjadi cukup lama,
karena adanya sentralisasi pengambilan keputusan di dalam organisasi, dimana pada PT. X
berada pada Direktur. Sentralisasi pengambilan keputusan implementasi ide inovasi,
21
membuat tahap pengajuan implementasi ide inovasi menjadi lambat. Lambatnya
pengambilan keputusan implementasi atas suatu ide inovasi menimbulkan keenganan pada
diri karyawan, sehingga menghambat muunculnya innovative work behavior di lingkungan
Direktorat Perencanaan dan Pengembangan PT. X.
Tidak hanya sebatas memperlambat proses penetapan implementasi ide inovasi,
struktur organisasi yang mekanistik juga menimbulkan banyaknya peluang politik dalam
proses pengajuan implementasi ide inovasi. Hal ini disebabkan bertahapnya proses
pengajuan implementasi ide inovasi yang harus dilakukan oleh karyawan. Ketika karyawan
berniat untuk melakukan implementasi atas suatu ide inovasi yang dimiliki nya, ia harus
melalui persetujuan beberapa level manajerial diatasnya, sebelum pada akhirnya pengajuan
tersebut dapat diterima oleh pengambil keputusan dalam hal ini Direktur. Keharusan untuk
mendapatkan persetujuan dari beberapa level manajerial yangs sering kali membuat
timbulnya pengaruh kepentingan pihak- pihak tertentu pada proses penetapan
implementasi ide inovasi.
SARAN
Berdasarkan hasil penelitian, peneliti memberikan beberapa saran kepada
manajemen PT. X guna meningkatkan innovative work behavior pada karyawannya
khususnya karyawan Direktorat Perencanaan dan Pengembangan. Adapun saran yang
diajukan oleh peneliti sebagai berikut:
1. Melakukan evalusi terhadap struktur organisasi yang berlaku pada PT. X guna
mempercepat proses penetapan implementasi ide inovasi karyawan
2. Membentuk wadah khusus bagi karyawan untuk menyampaikan ide inovasi,
misalnya melalui: pembentukan forum inovasi karyawan secara berkala,
memanfaatkan media internal website perusahaan sebagai sarana penyampaian ide-
ide inovasi karyawan,dsb.
3. Mempertahankan aturan- aturan maupun praktik manajemen yang berlaku pada
Direktorat Perencanaan dan Pengembangan PT. X pada aspek- aspek dimensi
pendorong inovasi yang sudah tergolong baik seperti pada dimensi
autonomy,encouragament for innovation dan resources.
22
DAFTAR PUSTAKA
Amabile, T.M., Conti, R., Coon H., Lazenby, J & Heron, M. (1996). Asessing The Work
Environment for Creativity. The Academy Management Journal, Vol 39, 5, 1154-
1184.
Burns, R.A & Machin, M.A. (2013). Employee and Workplace Wellbeing: A Multi Level
Analysis of Tecaher Personality and Organizational Climate in Norwegian Teacher
from Rural, Urban and City Schools. Scandinavian Journal of Educational Research,
Vol. 57, 3: 309- 324.
De Jong, J & Hartog, D.D. (2010). Measuring Inovative Work Behavior. Journal Creative
and Innovation Management, Vol. 19, 1: 23- 36.
Graziano, A.M. & Raulin, M.L. (2000). Research Method: a Process of Inquery 4ed.
Allyn and Bacon: United States.
He, L.W. (2013). Organizational Innovative Climmate, Innovative Behavior and The
Mediating Role of Psychological Capital : The Case of Creative Talent. The 19th
International Conferenceon Industrial Engineering and Engineering Management:
Springer Verlag Berlin Heidelberg.
Isaksen, S.G & Akkermans, H.J. (2011). Creative Climate : A leadership Lever for
Innovation. Journal of Creative Behavior, Vol 45, 3, 161- 187.
Kireina, F. (2014). Peran Perceived Organizational Support terhadap Innovative Work
Behavior pada Divisi Network of Broadbank PT. Telkom Indonesia. Thesis.
Universitas Padjadjaran: Jatinangor.
Mc. Laughlin, P. (2006). Exploring Aspects of Organizational Culture that Facilitate
Radical Product Innovation in a Small Mature Company. A Doctoral Business
Administration thesis of Cranfield University.
Robbins, Stephen. Judge, Timothy. 2008. Organizational Behavior book 2. Salemba
Empat. Jakarta
Rui, S. (2013). Creating Inovative Behavior Among R & D Professional : The Effect of
Inovative Climate and Employee Motivation in Chinese Firm. Advances in
Information Sciences and Service Science (AISS), Vol. 5, 4, 432- 440.
Saughnessy, Zechmeister & Zechmeister. (2006). Metodologi Penelitian Psikologi.
Pustaka Belajar: Yogyakarta.
Scott, Susan,G., Bruce & Reginald, A. (2014). Determinants of Inovative Behavior: A
Path Model of Individual Inovation in The Workplace. Proquest Journal diunduh
pada tanggal 15 November 2014 pukul 00:46.
Sunarto, K. ( 2004). Pengantar Sosiologi menghadapi Globalisasi (Edisi Revisi). Jakarta:
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Van de Ven,A.H. (1988). Approaches to Innovationg Organizing in Tushman. Readings in
the Management of Innovation, USA: Ballinger Publishing.