1
PENGARUH KARAKTERISTIK EKSEKUTIF DAN DEWAN KOMISARIS
TERHADAP AGRESIVITAS PAJAK
(Studi Empiris Pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia
Tahun 2016-2018)
Oleh:
Dinar Sumarginingrum Fitriyawati
Dosen Pembimbing: Abdul Ghofar, SE., M.Si., DBA., AK
Jurusan Akuntansi
Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya
ABSTRAK
Agresivitas pajak adalah tindakan yang dirancang untuk mengurangi penghasilan kena pajak
baik secara legal (tax avoidance) atau ilegal (tax evasion). Agresivitas pajak menjadi
permasalahan umum di berbagai perusahaan di seluruh dunia yang terus terjadi berulang-ulang.
Bocornya dokumen firma hukum Mossack Fonseca menegaskan banyaknya modus dalam
merampok pundi-pundi negara dari pajak. Indonesia tak lepas dari permasalahan agresivitas
pajak. Rendahnya tax ratio Indonesia di antara ekonomi Asia Pasifik mengindikasikan
kepatuhan wajib pajak yang belum maksimal. Beberapa kasus agresivitas pajak di Indonesia
dilakukan oleh perusahaan manufaktur. Dengan kontribusi yang besar terhadap total
penerimaan pajak, realisasi penerimaan pajak dari sektor manufaktur tercatat melambat pada
tahun 2018. Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh karakteristik eksekutif dan dewan
komisaris terhadap penghindaran pajak. Sampel penelitian ini terdiri dari 44 perusahaan
manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada periode 2016-2018 yang dipilih
dengan metode purposive sampling. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa eksekutif
dengan karakter risk taker memiliki pengaruh positif terhadap agresivitas pajak. Karakteristik
dewan komisaris yang terdiri dari keahlian keuangan tidak dapat mencegah agresivitas pajak,
sedangkan persentase komisaris independen dan komisaris wanita menunjukkan hasil yang
berlawanan.Variabel kontrol leverage berpengaruh, sedangkan ROA tidak berpengaruh
terhadap agresivitas pajak.
Kata Kunci: Agresivitas Pajak, Karakteristik Eksekutif, Corporate Governance, Dewan
Komisaris
2
ABSTRACT
Tax aggressiveness constitutes actions designed to reduce taxable income, both legally (tax
avoidance) or illegally (tax evasion). Tax aggressiveness is a recurring problem in companies
throughout the world. The leak of documents from the Mossack Fonseca law firm confirms the
many modes of robbing state revenue from taxes. Indonesia is inseparable from the issue of tax
aggressiveness. The low tax ratio of Indonesia compared to other Asia-Pacific economies
indicates that taxpayer compliance has not been maximized. Some cases of tax aggressiveness
in Indonesia are carried out by manufacturing companies. With a larger contribution to total
tax revenue, the realization of tax revenue from the manufacturing sector was found to have
slowed down in 2018. The aim of this study is to examine the effect of the characteristics of
executive and board commissioners on tax avoidance. The sample for this study consisted of
44 manufacturing companies listed on the Indonesia Stock Exchange in the period from 2016-
2018 that were selected using the purposive sampling method. The results of this study
indicated that executives with a risk-taker character have a positive effect on tax
aggressiveness. The characteristics of board commissioners attributed to financial expertise did
not prevent tax aggressiveness, while the percentage of independent commissioners and female
commissioners showed the opposite results. As the control variable, leverage influenced tax
aggresiveness, while ROA did not affect tax aggresiveness.
Key Words : Tax aggressiveness, Executive Characteristic, Corporate Governance, Board
of Commissioner
I. PENDAHULUAN Terdapat peningkatan tren kesadaran
investor tentang resiko agresivitas pajak
yang memiliki dampak merugikan pada
pengembalian investasi mereka. Menurut
Frank et al., (2009) agresivitas pajak
perusahaan adalah tindakan yang
dirancang untuk mengurangi penghasilan
kena pajak melalui perencanaan pajak, baik
yang diklasifikasikan atau tidak
diklasifikasikan sebagai penggelepan pajak
(tax evasion). Meskipun tidak semua
tindakan yang dilakukan bertentangan
dengan aturan, tetapi semakin perusahaan
memanfaatkannya, maka perusahaan
dianggap lebih agresif (Sari dan Martani,
2010). Sedangkan, Hanlon dan Heitzman
(2013) mendefinisikan agresivitas pajak
sebagai strategi penghindaran pajak untuk
mengurangi atau menghilangkan beban
pajak perusahaan dengan menggunakan
ketentuan yang diperbolehkan maupun
memanfaatkan kelemahan hukum dalam
peraturan perpajakan atau melanggar
ketentuan dengan menggunakan celah
yang ada namun masih di dalam grey area.
Oleh karena itu, negara kesulitan untuk
memberikan tindakan tegas, karena
perusahaan memanfaatkan ruang “abu-
abu” antara apa yang boleh dan tidak boleh
dilakukan oleh mereka dalam peraturan
perpajakan di Indonesia.
Upaya agresivitas pajak terjadi di
berbagai perusahaan di dunia. Pada 2016,
dunia dikejutkan dengan kebocoran
dokumen finansial berskala besar yang
berasal dari firma hukum Mossack Fonseca
yang berbasis di Panama atau yang disebut
“Panama Papers”. Pihak-pihak dalam
3
Panama Papers terkait dengan berbagai
perusahaan gelap yang didirikan di wilayah
offshore (tax haven countries). Mereka
mengalirkan uang gelap secara rahasia
yang memungkinkan lahirnya banyak
modus dalam merampok pundi-pundi
negara dari pajak (www.kemenkeu.go.id).
Di Indonesia agresivitas pajak tercermin
dari rendahnya tax ratio. Hal tersebut
dikarenakan penghindaran dan
penggelapan pajak (tax avoidances and
evasions) merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi tax ratio selain kebijakan
perpajakan dan intensif serta pengecualian
yang diberikan kepada pelaku ekonomi dan
masyarakat (Kementerian Keuangan
Republik Indonesia, 2019). Tax ratio
adalah rasio antara penerimaan perpajakan
dengan Produk Domestik Bruto (PDB).
Tax ratio mencerminkan kebijakan
perpajakan suatu negara serta tingkat
kepatuhan warga negara dalam membayar
pajak. Tax ratio yang rendah
mengindikasikan kepatuhan pajak yang
belum maksimal. Pada tahun 2017,
persentase kepatuhan wajib pajak
Indonesia masih berada pada angka 68%
(Kementerian Keuangan Republik
Indonesia, 2019). Organization for
Economic Co-operation and Development
(OECD) menyatakan tax ratio Indonesia
berada diposisi terendah di antara ekonomi
Asia dan Pasifik pada tahun 2017 yaitu
sebesar 11,5%. Artinya porsi pajak yang
bisa dikumpulkan hanya sekitar 11% dari
total aktivitas perekonomian Indonesia.
Rendahnya tax ratio Indonesia,
menunjukkan upaya penghindaran pajak
oleh beberapa pihak di Indonesia.
Beberapa fenomena agresivitas pajak
dilakukan oleh industri manufaktur. Pada
tahun 2014 PT Coca Cola Company (CCI)
terlibat kasus penggelapan pajak dengan
melaporkan beban iklan fiktif dalam
pelaporan pajaknya sebesar Rp 566,84
milyar dari rentang tahun 2002 hingga
2006 (www.kompas.com). Di tahun 2019,
lembaga Tax Justice Network melaporkan
perusahaan tembakau milik British
American Tobacco (BAT) melakukan
penghindaran pajak melalui PT Bentoel
International Investama (RMBA) yang
berdampak pada kerugian negara sebesar
US$ 14 juta per tahun. BAT melakukan
pinjaman intra perusahaan dari tahun 2013
& 2015 dan melalui pembayaran kembali
ke Inggris untuk royalty, ongkos dan
layanan IT (www.nasional.kontan.co.id).
Pajak merupakan faktor utama dalam
banyak keputusan perusahan. Kebijakan
manajerial yang dirancang untuk
mengurangi pajak perusahaan menjadi
semakin umum dilakukan perusahaan-
perusahaan di dunia. Menurut Coles et al.,
(2004), risiko perusahaan merupakan
cerminan dari kebijakan (policy) yang
diambil oleh pimpinan perusahaan. Policy
yang diambil pimpinan perusahaan bisa
mengindikasikan apakah mereka memiliki
karakter risk taking atau risk averse (Coles
et al., 2004). Semakin tinggi corporate risk
maka eksekutif semakin memiliki karakter
risk taker, demikian juga semakin rendah
corporate risk maka eksekutif akan
memiliki karakter risk averse. Hal ini
sesuai dengan Budiman dan Setiyono
(2012) bahwa tinggi rendahnya risiko
perusahaan ini mengindikasikan karakter
eksekutif apakah risk taker atau risk
averse. Paligorova (2010) mengartikan
risiko perusahaan (corporate risk)
merupakan volatilitas earning perusahaan,
yang bisa diukur dengan rumus deviasi
standar. Dengan demikian dapat dimaknai
bahwa risiko perusahaan merupakan
penyimpangan atau deviasi standar dari
earning baik penyimpangan itu bersifat
kurang dari yang direncanakan (downside
risk) atau lebih dari yang direncanakan
(upset potential), semakin besar deviasi
standar earning perusahaan
mengindikaskan semakin besar pula risiko
4
perusahaan yang ada (Budiman dan
Setiyono, 2012).
Terkait dengan karakter eksekutif,
risk taker memiliki dorongan kuat untuk
memiliki penghasilan, posisi,
kesejahteraan dan kewenangan yang lebih
tinggi (Maccrimon dan Wehrung 1990) dan
demikian sebaliknya, risk averse akan
lebih memilih untuk menghindari segala
kesempatan yang berpotensi menimbulkan
risiko. Budiman dan Setiyono (2012)
menemukan adanya bukti bahwa risiko
perusahaan dapat menjadi cerminan
karakter eksekutif dalam pengambilan
keputusan pajak perusahaan. Hasil
penelitian tersebut menunjukkan bahwa
eksekutif yang meiliki karakter risk taker
memiliki pengaru yang positif terhadap
penghindaran pajak.
Tindakan agresivitas pajak yang
dipandang sebagai salah satu tindakan
oportunis manajer dalam meningkatkan
kesejahteraan pribadi dan tindakan yang
dapat membawa risiko bagi perusahaan di
masa depan dapat diminimalisir dengan
adanya mekanisme Corporate
Governance. International Finance
Corporation (2014) mendefinisikan
Corporate Governance sebagai “struktur
dan proses untuk tujuan dan pengawasan
perusahaan”. Good Corporate Governance
(GCG) merupakan salah satu cara untuk
meningkatkan kepatuhan pajak perusahaan
(Sartori, 2010; Lanis dan Richardson
2015). Prinsip-prinsip GCG akan
memberikan insentif bagi manajer untuk
menahan diri dari perilaku oportunis dan
bertindak sesuai kepentingan pemilik
perusahaan (shareholder). Dengan
demikian prinspip GCG dapat
menyelarasan kepentingan antara manajer
dan shareholder serta memberikan tingkat
transparasi yang lebih tinggi sehingga
mendorong manajer untuk mematuhi
sistem perpajakan.
Dalam pelaksanaan GCG, dewan
komisaris memiliki peran yang sangat
penting. Dewan komisaris adalah
mekanisme kontrol internal utama yang
bertanggung jawab untuk memantau
manajemen. Tugas utama dewan komisaris
adalah mengawasi kebijakan dan
pelaksanaannya oleh direksi serta memberi
nasihat kepada direksi. Dalam perusahaan
go-public dewan komisaris bertanggung
jawab melindungi dan meningkatkan
kepentingan pemegang saham (Byrd dan
Hickman, 1991). Menurut Erle (2008),
dewan komisaris memikul tanggung jawab
utama dan bertanggung jawab kepada
shareholder atas urusan pajak perusahaan.
Dengan demikian dewan komisaris harus
memastikan bahwa perusahaan memenuhi
tanggung jawab pajaknya.
Dewan komisaris tentunya memiliki
karakteristik yang berbeda dalam
menjalani fungsi pengawasan antara
perusahaan satu dan lainnya. Penelitian
terdahulu menggunakan beberapa proksi
untuk mewakili karakteristik dewan
komisaris pada agresivitas pajak
perusahaan. Lanis dan Richardson (2011)
menggunakan komposisi Board of
Director (BOD) yaitu proporsi outside
directors; Lanis dan Richardson (2015)
menggunakan diversitas gender; Khaoula
dan Ali., (2012) pada perusahaan di
Tunisia dan Zemzem dan Ftouhi (2013)
menggunakan ukuran dewan, independent
directors, duality, dan diversits gender;
Sedangkan Armstrong et al., (2014)
menggunakan financial experts dan
independent directors dalam BOD. BOD
dalam konteks Indonesia merupakan
padanan dari dewan komisaris. Board
berarti pihak yang ditunjuk oleh Rapat
Umum Pemegang Saham (RUPS) dengan
tugas utama melakukan representasi
pemegang saham (Machfoeds, 2006).
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
No.33/04/2014 mewajibkan komisaris
5
independen berjumlah minimal 30% dari
jumlah seluruh anggota dewan komisaris.
Komisaris Independen adalah pihak yang
tidak terafiliasi dengan pemegang saham,
direktur, komisaris lainnya, dan tidak
memliki kedudukan rangkap pada
perusahaan yang terafiliasi dengan
perusahaan tercatat. Menurut Lanis dan
Richardson (2011) outside directors dapat
meningkatkan efektivitas dalam memantau
manajemen dan meningkatkan kapatuhan
pajak perusahaan. Hasil penelitian Lanis &
Richardson (2011) membuktikan proporsi
dewan independen mengurangi tindakan
agresivitas pajak. Namun, hasil penelitian
Zemzem dan Ftouhi (2013) menunjukkan
bahwa semakin tinggi proporsi komisaris
independen tidak mengurangi agresivitas
pajak.
Selama beberapa tahun terakhir,
terdapat peningkatan minat terhadap
diversitas gender pada susunan top
excecutive dan boards of directors
perusahaan di berbagai negara. Di
Norwegia, promosi diversitas gender
terjadi paling ekstrim, yang sejak Januari
2008 semua perusahaan yang listed harus
mematuhi kuota gender 40% untuk direktur
wanita atau dibubarkan. Spanyol
mengikuti jejak Norwegia pada tahun 2015
(Adams dan Ferreira, 2009), dan Perancis
pada 2017 (Khaoula dan Ali, 2012).
Diversitas gender pada jajaran dewan
komisaris akan mempengaruhi sususan
dewan komisaris yang nantinya akan
mempengaruhi implementasi corporate
governance yang jika diimplementasikan
dengan baik akan dapat mengurangi
agresivitas pajak perusahaan. Selain itu,
menurut Kusumastuti dkk (2007) wanita
memiliki sikap kehati-hatian yang sangat
tinggi, cenderung menghindari risiko, dan
lebih teliti dibandingkan pria. Hal tersebut
dapat mendorong dewan komisaris dalam
bertindak sesuai dengan kepentingan
terbaik pemegang saham sehingga
perusahaan terhindar dari kegiatan yang
berisiko. Zemzem dan Ftouhi (2013)
membuktikan bahwa semakin tinggi
persentase wanita dalam jajaran dewan
komisaris dapat mengurangi tingkat
agresivitas pajak perusahaan. Sedangkan,
Gunawan (2018) tidak menemukan
hubungan antara diversitas gender dan
agresivitas pajak.
Dewan komisaris mempunyai
tanggung jawab untuk mengawasi proses
laporan keuangan (Machfoeds, 2006).
Komite Nasional Kebijakan Governance
(KNKG) menyatakan salah satu komisaris
independen harus mempunyai latar
belakang akuntansi atau keuangan.
Pengetahuan atau keahlian keuangan akan
memungkinkan dewan komisaris untuk
memberikan saran berharga dan secara
bersamaan memantau manajer. Armstrong
et al., (2014) membuktikan adanya
hubungan positif antara jumlah dewan
yang memiliki keahlian keuangan
(financial expertise) dan penghindaran
pajak pada saat tingkat penghindaran pajak
rendah, namun memiliki hubungan negatif
saat tingkat penghindaran pajak tinggi.
Penelitian ini merupakan replikasi
dari penelitian Budiman dan Setiyono
(2012), Khaoula dan Ali (2012), dan
Armstrong et al., (2014). Tujuan penelitian
ini adalah untuk mengetahui bagaimana
karakteristik eksekutif yang diproksikan
dengan risiko perusahaan dapat
mempengaruhi kebijakan penghindaran
pajak perusahaan dan bagaimana
mekanisme internal corporate governance
yaitu dewan komisaris mempengaruhi
efektivitas pengawasan atas kebijakan
penghindaran pajak yang agresif. Karakter
eksekutif menjadi variabel dalam
penelitian ini karena adanya kesadaran
investor bahwa penghindaran pajak yang
agresif merupakan salah satu tindakan
berisiko yang memiliki dampak merugikan
bagi pengembalian investasi mereka,
6
sehingga penting untuk mengetahui sejauh
mana eksekutif mempengaruhi kebijakan
perpajakan perusahaan. Selain itu,
penelitian terdahulu belum menunjukkan
hasil yang konklusif mendorong peneliti
dalam menguji kembali variabel karakter
eksekutif dan dewan komisaris terhadap
agresivitas pajak. Perbedaan penelitian ini
dengan penelitian sebelumnya terletak
pada periode rentang tahun sample
penelitian yaitu tahun 2016-2018 dan
penelitian dilakukan di Indonesia
khususnya pada sektor manufaktur.
Peneliti menggunakan perusahaan
manufaktur sebagai objek penelitian
karena industri manufaktur masih memiliki
andil yang besar dalam menyumbangkan
pajak penghasilan (pph) nonmigas setiap
tahunnya yaitu mencapai 31,8% di tahun
2017 (www.kemenperin.go.id). Namun,
hingga Oktober 2018, penerimaan pajak
sektor manufaktur tumbuh melambat
11,94% secara tahunan (year on year)
dibanding tahun 2017 yang mencapai
18,06% year on year
(www.nasional.kontan.co.id). Penelitian
ini menggunakan variabel kontrol untuk
mengontrol dan menetralisir pengaruh
variabel luar yang tidak perlu terdahap
variabel independen dan atau variabel
dependen (Hadi dan Mangoting, 2014),
Variabel kontrol yang digunakan ada dua,
yaitu ROA dan Leverage. Kedua variabel
ini menurut penelitian Rusydi dan Martani
(2014) berpengaruh terhadap agresivitas
pajak.
Berdasarkan latar belakang di atas,
maka penulis tertarik untuk melakukan
penelitian yang berjudul “Pengaruh
Karakteristik Eksekutif dan Dewan
Komisaris terhadap Agresivitas Pajak
(Studi Empiris pada Perusahaan
Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek
Indonesia Tahun 2016-2018.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Agresivitas Pajak
Menurut Frank et al., (2009)
agresivitas pajak perusahaan adalah
tindakan yang dirancang untuk mengurangi
penghasilan kena pajak melalui
perencanaan pajak, baik yang
diklasifikasikan secara legal (tax
avoidance) atau ilegal (tax evasion).
Agresivitas pajak dapat dinilai dari
seberapa besar perusahaan memanfaatkan
celah-celah yang ada dalam peraturan
perpajakan yang berlaku. Meskipun tidak
semua tindakan agresivitas pajak
melanggar aturan, semakin banyak metode
yang digunakan oleh perusahaan dalam
melakukan penghindaran pajak akan
membuat perusahaan dianggap lebih
agresif (Sari dan Martani, 2010).
Keuntungan yang diperoleh dari
agresivitas pajak adalah penghematan
pajak yang cukup besar sehingga dapat
meningkatkan kekayaan pemegang saham
serta kompensasi manajemen. Sedangkan
biaya yang ditimbulkan meliputi potensi
penalti oleh fiskus pajak, biaya
implementasi (waktu/upaya
mengimplementasikan transaksi pajak).
Oleh karena itu, pemegang saham
cenderung melindungi kepentingan mereka
dari tindakan agresivitas pajak setelah
mempertimbangkan biaya, manfaat, dan
risiko yang akan ditanggung. Menurut
Lanis dan Richardson (2011) agresivitas
pajak bukanlah rekomendasi kebijakan
yang mutlak untuk perusahaan dan akan
tergantung pada biaya dan manfaat yang
ditimbulkan.
Risiko Perusahaan (Corporate Risk) dan
Karakter Eksekutif
Menurut Hartono (2008) dalam
Budiman dan Setiyono (2012) risiko ada
kaitannya dengan return yang diperoleh
perusahaan, bahwa risiko merupakan
penyimpangan atau deviasi dari outcome
yang diterima dengan yang diekspektasi.
7
Menurut Coles et al., (2004) corporate
risk merupakan cerminan dari policy yang
diambil oleh pimpinan perusahaan. Policy
yang diambil pimpinan perusahaan bisa
mengindikasikan apakah mereka memiliki
karakter risk taking atau risk averse (Coles
et al., 2004). Semakin tinggi corporate risk
maka eksekutif semakin memiliki karakter
risk taker, dan sebaliknya. Hal ini sesuai
dengan Paligorova (2010) yang
menyatakan bahwa tinggi rendahnya risiko
perusahaan ini mengindikasikan karakter
eksekutif apakah termasuk risk taker atau
risk averse.
Terkait dengan karakter eksekutif,
Maccrimon dan Wehrung (1990)
menyatakan bahwa eksekutif dengan
preferensi risk taker memiliki keberanian
lebih dalam mengambil keputusan bisnis,
memiliki dorongan kuat untuk memiliki
penghasilan, posisi, kesejahteraan, dan
kewenangan yang lebih tinggi. Sedangkan
eksekutif dengan preferensi risk averse
apabila mendapatkkan peluang maka akan
memilih risiko yang lebih rendah (Low,
2006).
Definisi Corporate Governance
International Financial Corporation
(IFC) mendefinisikan corporate
governance sebagai “struktur dan proses
untuk tujuan dan pengawasan
perusahaan”. The Organization for
Economic Cooperation and Development
(OECD) dalam IFC (2014) memberikan
definisi yang lebih rinci tentang corporate
governance sebagai berikut:
“Sarana internal untuk mengoperasikan
dan mengendalikan perusahaan [...], yang
melibatkan serangkaian hubungan antara
manajemen perusahaan, dewan, pemegang
saham, dan pemangku kepentingan
lainnya.. Corporate governance juga
menyediakan struktur melalui tujuan yang
ditetapkan perusahaan, dan sarana untuk
mencapai tujuan tersebut dan memantau
kinerja. Good corporate governance harus
memberikan insentif yang tepat bagi dewan
dan manajemen untuk mengejar tujuan
yang menjadi kepentingan perusahaan dan
pemegang saham, dan harus memfasilitasi
pemantauan yang efektif, sehingga
mendorong perusahaan untuk
menggunakan sumber daya lebih efisien.”
Tidak ada definisi tunggal mengenai
corporate governance yang dapat
digunakan pada seluruh situasi dan
yurisdiksi. Berbagai definisi sangat
tergantung pada institusi atau penulis,
negara dan tradisi hukum. Menurut Forum
Corporate Governance Indonesia atau yang
disingkat FCGI (2001), tujuan dari
corporte governance adalah “untuk
menciptakan nilai tambah bagi semua
pihak yang berkepentingan (stakeholder)”.
Dengan demikian terminologi corporate
governance dapat dipergunakan untuk
menjelaskan peranan dan perilaku dari
dewan komisaris, direksi, pengurus
perusahaan, dan para pemegang saham.
Corporate Governance memiliki lima asas
yang harus diterapkan pada setiap aspek
bisnis dan di semua jajaran perusahaan
yaitu transparasi, akuntabilitas,
responsibilitas, Independensi serta
kewajaran dan kesertaraan. Asas corporate
governance menjadi pedoman untuk
mencapai sustainability perusahaan
dengan memperhatikan stakeholders.
Apabila perusahaan dapat menerapkan
GCG, maka pelayanan perusahaan kepada
stakeholder akan meningkat yang
tercermin dari pengambilan keputusan
terbaik bagi kepentingan perusahaan.
Sistem Corporate Governance
Secara umum, terdapat dua jenis sistem
corporate governance yang digunakan
oleh negara-negara di dunia. Sistem
tersebut yaitu one-tier board system dan
two-tier board system. One-tier board
system dianut oleh negara-negara seperti
Inggris dan Amerika Serikat. Sedangkan
sistem two-tier board banyak digunakan
8
negara-negara Eropa, seperti Belanda dan
Jerman.
Dalam two-tier board system, stuktur
pemerintahan dibagi menjadi dua
kelompok. Kelompok pertama disebut
sebagai supervisory board (dewan
pengawas) atau di Indonesia dikenal
dengan sebutan dewan komisaris. Dewan
komisaris atau yang juga bisa disebut
direktur non-executive ini terdiri dari
dewan komisaris independen dan dewan
komisaris non-independent (Ticker, 2009
dalam Rasyidah, 2013). Direktur non-
executive atau komisaris independen tidak
melaksanakan kegiatan operasional sehari-
hari namun memiliki tanggung jawab yang
sama dengan direktur eksekutif sebagai
pelaksana kegitan operasional perusahaan
(Smithson, 2004 dalam Rasyidah 2013).
Komisaris independen memberikan
kepercayaan tambahan kepada investor
bahwa pertimbangan dewan komisaris
bebas dari suatu bias (International Finance
Corporation, 2014). Kelompok kedua ialah
executive board (dewan pelaksana). Dewan
pelaksana terdiri dari semua direktur
pelaksana seperti Chief Executive Officer
(CEO) yang mempunyai tugas memimpin
dan bertanggung jawab untuk kestabilan
perusahaan; Chief Financial Officer
(CFO), yang mengatur aktivitas keuangan
dalam korporasi; dan Chief Operating
Officer (COO) yang merupakan manajer
senior dan bertanggung jawab mengatur
operasional perusahaan setiap hari dan
melaporkannya kepada CEO serta manajer
lain di bawahnya (Ticker, 2009 dalam
Rasyidah, 2013).
Dalam one-tier board system, peran
dewan pengawas dan pelaksana dijadikan
dalam satu wadah. Wadah ini disebut
sebagai board of directors (Ticker, 2009
dalam Rasyidah, 2013). One-tier board
system memiliki dua kelompok utama,
yaitu direktur eksekutif dan direktur non-
eksekutif. Direktur non-eksekutif tidak
terlibat dalam operasional keseharian
perusahaan, namun memiliki tanggung
jawab yang sama dengan direktur
eksekutif. Apabila dibandingkan dengan
sistem two-tier board, maka fungsi dari
direktur non-eksekutif hampir sama
dengan dewan komisaris karena sama-
sama tidak terlibat dalam operasional
keseharian perusahaan. Direktur non-
eksekutif yang independen, memainkan
peran penting dalam memantau tindakan
manajer agar selaras dengan kepentingan
terbaik pemilik perusahaan.
Dewan Komisaris
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
No.33/POJK.04/2014 tentang Direksi dan
Dewan Komisaris Emiten atau Perusahaan
Publik, menjabarkan bahwa yang
dimaksud dewan komisaris adalah organ
emiten atau perusahaan publik yang
bertugas melakukan pengawasan secara
umum dan/atau khusus sesuai dengan
anggaran dasar serta memberi nasihat
kepada direksi. Menurut Egon Zehnder
International (2000) dalam Forum for
Corporate Governance Indonesia (2001)
dewan komisaris merupakan inti dari
corporate governance yang ditugaskan
untuk menjamin pelaksanaan strategi
perusahaan, mengawasi manajemen dalam
mengelola perusahaan, serta mewajibkan
terlaksananya akuntabilitas. Forum for
Corporate Governance in Indonesia
(2001) menjabarkan tugas-tugas dewan
komisaris sebagai berikut:
1. Menilai dan mengarahkan strategi
perusahaan, garis-garis besar rencana
kerja, kebijakan pengendalian risiko,
anggaran tahunan dan rencana usaha;
menetapkan sasaran kerja; mengawasi
pelaksanaan dan kinerja perusahaan;
serta memonitor penggunaan modal
perusahaan, investasi dan penjualan
aset;
2. Menilai sistem penetapan penggajian
pejabat pada posisi kunci dan
9
penggajian anggota Dewan Direksi,
serta menjamin suatu proses pencalonan
anggota Dewan Direksi yang transparan
dan adil;
3. Memonitor dan mengatasi masalah
benturan kepentingan pada tingkat
manajemen, anggota dewan direksi dan
anggota dewan komisaris, termasuk
penyalahgunaan aset perusahaan dan
manipulasi transaksi perusahaan;
4. Memonitor pelaksanaan governance,
dan mengadakan perubahan di mana
perlu;
5. Memantau proses keterbukaan dan
efektifitas komunikasi dalam
perusahaan.
Tugas dewan komisaris sering disebut
sebagai business oversight karena
menyangkut pemantauan terhadap
kemampuan perusahaan untuk bertahan
hidup, melakukan kegiatan bisnis, dan
tumbuh atau berkembang (Muntoro, 2006).
Oleh karena itu, kebijakan yang menjadi
perhatian dewan komisaris adalah yang
bersifat strategis dan penting (Muntoro,
2006).
Komisaris Independen
Komisaris independen adalah
komisaris yang tidak memiliki hubungan
bisnis dan kekeluargaan dengan pemegang
saham pengendali, anggota direksi dan
dewan komisaris lain, serta dengan
perusahaan itu sendiri. Menurut Forum for
Corporate Governance Indonesia (2001)
kriteria komisaris independen adalah
sebagai berikut:
1. Komisaris Independen bukan
merupakan anggota manajemen;
2. Komisaris Independen bukan
merupakan pemegang saham mayoritas,
atau seorang pejabat dari atau dengan
cara lain yang berhubungan secara
langsung atau tidak langsung dengan
pemegang saham mayoritas dari
perusahaan;
3. Komisaris Independen dalam kurun
waktu tiga tahun terakhir tidak
dipekerjakan dalam kapasitasnya sebagai
eksekutif oleh perusahaan atau
perusahaan lainnya dalam satu kelompok
usaha dan tidak pula dipekerjakan dalam
kapasitasnya sebagai komisaris setelah
tidak lagi menempati posisi seperti itu;
4. Komisaris Independen bukan merupakan
penasehat profesional perusahaan atau
perusahaan lainnya yang satu kelompok
dengan perusahaan tersebut;
5. Komisaris Independen bukan merupakan
seorang pemasok atau pelanggan yang
signifikan dan berpengaruh dari
perusahaan atau perusahaan lainnya yang
satu kelompok, atau dengan cara lain
berhubungan secara langsung atau tidak
langsung dengan pemasok atau
pelanggan tersebut;
6. Komisaris independen tidak memiliki
kontraktual dengan perusahaan atau
perusahaan lainnya yang satu kelompok
selain sebagai komisaris perusahaan
tersebut;
7. Komisaris Independen harus bebas dari
kepentingan dan urusan bisnis apapun
atau hubungan lainnya yang dapat, atau
secara wajar dapat dianggap sebagai
campur tangan secara material dengan
kemampuannya sebagai seorang
komisaris untuk bertindak demi
kepentingan yang menguntungkan
perusahaan.
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
No.33/POJK.04/2014 tentang Direksi dan
Dewan Komisaris Emiten atau Perusahaan
Publik, menyatakan bahwa dalam hal
dewan komisaris terdiri dari lebih dari dua
anggota, jumlah komisaris independen
wajib paling kurang 30% dari jumlah
seluruh anggota dewan komisaris.
Diversitas Gender Dewan Komisaris
Sejak akhir 1990-an, partisipasi
wanita dalam jajaran dewan pengawas
(board of directors) semakin terkait dalam
10
dunia bisnis dengan corporate governance
dan efektivitas organisasi yang lebih baik
(Ely dan Thomas, 2001). Menurut
Kusumastuti dkk (2007) wanita memiliki
sikap kehati-hatian yang sangat tinggi,
cenderung menghindari risiko, dan lebih
teliti dibandingkan pria.
Selama beberapa tahun terakhir,
minat terhadap diversitas gender pada
susunan top excecutive dan boards of
directors perusahaan di berbagai negara
mengalami peningkatan. Di Norwegia,
sejak Januari 2008 semua perusahaan yang
listed harus mematuhi kuota gender 40%
untuk direktur perempuan atau dibubarkan.
Peraturan ini diikuti Spanyol pada 2015
(Adams & Ferreira, 2009) dan Perancis
pada 2017 (Khaoula dan Ali, 2012).
Sedangkan negara berkembang seperti
India, China dan negara-negara Timur
Tengah (Tunisia dan Jordan) mulai
menyadari pentingnya mengembangkan
talent wanita di tingkat dewan (Singh, et
al., 2009).
Keahlian Keuangan (Financial
Expertise) Dewan Komisaris Selain peran dari komite audit,
tanggung jawab kualitas laporan keuangan
juga terletak pada dewan komisaris
(Prastiti dan Meiranto, 2013; Machfoeds,
2006). komisaris mempunyai tanggung
jawab untuk mengawasi proses laporan
keuangan. Komisaris bertemu secara rutin
dengan staff akuntansi dan auditor
eksternal untuk mereview laporan
keuangan, prosedur audit dan mekanisme
kontrol internal (Machfoeds, 2006).
Komite Nasional Kebijakan
Governance (2006) atau KNKG
menyinggung tentang latar belakang
akuntansi atau keuangan yang harus
dimiliki oleh komisaris independen tetapi
tidak memberikan kriteria yang pasti
mengenai latar belakang akuntansi atau
keuangan tersebut. Blue Ribbon Committee
(1999) dalam Chtourou et al., (2001)
mendefinisikan keahlian keuangan sebagai
pengalaman bekerja di bidang keuangan
atau akuntansi; sertifikasi profesional yang
diperlukan dalam akuntansi; pengalaman
lain yang sebanding atau latar belakang
yang dapat menghasilkan individual’s
financial sophistication, termasuk sedang
atau pernah menjadi CEO atau sebagai
senior dengan tanggung jawab pengawasan
keuangan. Keahlian keuangan dewan
komisaris dapat diperoleh melalui
pendidikan formal dan pengalaman dewan
komisaris dalam bidang keuangan.
Pengembangan Hipotesis
Pengaruh Karakter Eksekutif terhadap
Agresivitas Pajak
Menurut Coles et al., (2004) risiko
perusahaan (corporate risk) merupakan
cerminan dari kebijakan (policy) yang
diambil oleh perusahaan. Policy yang
diambil pimpinan perusahaan dapat
mengindikasikan apakah mereka memiliki
karakter risk taking atau risk averse (Coles
et al., 2004). Hal ini senada dengan
Paligorova (2010) yang menyatakan tinggi
rendahnya risiko perusahaan ini
mengindikasikan karakter eksekutif
apakah termasuk risk taker atau risk
averse. Budiman dan Setiyono (2012)
menemukan adanya bukti bahwa risiko
perusahaan dapat menjadi cerminan
karakter eksekutif dalam pengambilan
kebijakan penghindaran pajak perusahaan.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan
bahwa semakin besar risiko perusahaan,
maka eksekutif perusahaan bersifat risk
taker dan semakin eksekutif bersifat risk
taker maka akan semakin tinggi tingkat
penghindaran pajak. Hasil penelitian
tersebut sesuai dengan penelitian Hanafi
dan Harto (2014). Sedangkan Mayangsari
(2015) menunjukkan bahwa karakter
eksekutif tidak memiliki efek apapun
dengan agresivitas pajak. Berdasarkan
11
teori serta perbedaan penelitian terdahulu
maka hipotesis yang dikembangkan dalam
penelitian ini adalah:
H1: Eksekutif dengan karakter risk taker
berpengaruh positif terhadap agresivitas
pajak (berpengaruh negatif terhadap ETR)
Pengaruh Proporsi Komisaris
Independen terhadap Agresivitas Pajak
Menurut Lanis dan Richardson (2011)
bahwa outside directors dapat
meningkatkan efektivitas dalam memantau
manajemen dan meningkatkan kapatuhan
pajak perusahaan. Lanis & Richardson
(2011) dan Maharani dan Suardana (2014)
membuktikan.bahwa dewan yang lebih
independen dapat mencegah agresivitas
pajak seiring peningkatan tata kelola.
Namun penelitian Zemzem & Ftouhi,
(2013) dan Simorangkir dkk., (2018)
membuktikan bahwa tingginya proporsi
komisaris independen suatu perusahaan
tidak mengurangi tingkat agresivitas pajak.
Berdasarkan teori dan inkonsistensi hasil
penelitian terdahulu maka hipotesis yang
dikembangkan dalam penelitian ini adalah:
H2: komisaris independen berpengaruh
negatif terhadap agresivitas pajak
(berpengaruh positif terhadap ETR)
Pengaruh Diversitas Gender Dewan
Komisaris terhadap Agresivitas Pajak
Menurut Adams dan Ferreira (2009),
adanya wanita pada dewan akan
meningkatkan fungsi efektivitas dewan
dengan melakukan pengawasan yang lebih
intensif terhadap tindakan manajer. Dewan
wanita memiliki efek yang sama seperti
direktur independen (Adams dan Ferreira,
2009). Dari sisi perilaku sosiologis, gender
dapat mempengaruhi kepatuhan seseorang.
Jackson dan Miliron (1986) dalam
Gunawan (2018) dan Hesseldine (1999)
menemukan bahwa gender dapat
mempengaruhi kepatuhan wajib pajak
yang menunjukkan bahwa wanita lebih
patuh pajak daripada pria. Selain itu, dalam
pengambilan keputusan perusahan, Powell
dan Ansic (1997) menemukan bahwa
wanita lebih menghindari risiko daripada
pria dan juga mengadopsi strategi yang
berbeda dalam membuat keputusan
finansial. Hal ini didukung oleh
Kusumastuti, (2007), bahwa wanita
memiliki sikap kehati-hatian yang sangat
tinggi, cenderung menghindari risiko, dan
lebih teliti dibandingkan pria. Sifat risk
averse pada wanita membuat wanita
mengambil keputusan yang berisiko lebih
rendah sehingga akan mengurangi tingkat
agresivitas pajak.
Penelitian oleh Zemzem & Ftouhi
(2013) dan Khaoula dan Ali (2012) pada
perusahaan di Tunisia. membuktikan
adanya wanita dalam jajaran dewan
komisaris dapat mengurangi tingkat
agresivitas pajak perusahaan. Sedangkan
penelitian yang dilakukan oleh Khaoula
dan Ali (2012) di Amerika dan Gunawan
(2018) di Indonesia tidak membuktikan
adanya hubungan antara diversitas gender
terhadap agresivitas pajak. Berdasarkan
teori dan perbedaan hasil penelitian
sebelumnya, maka dirumuskan hipotesis
penelitian sebagai berikut:
H3: Diversitas gender dewan komisaris
berpengaruh negatif terhadap agresivitas
pajak (berpengaruh positif terhadap ETR)
Pengaruh Keahlian Keuangan Dewan
Komisaris
Armstrong et al (2014) menyatakan
bahwa dewan yang memiliki literasi
finansial dapat mencegah tingkat
penghindaran pajak yang ekstrem dan
membatasi keputusan penghindaran pajak
manajer. Hal ini didukung oleh Robinson
et al., (2012), bahwa proporsi dewan yang
memiliki keahlian akuntansi berkaitan
dengan perencanaan pajak yang lebih
umum namun mengurangi perencanaan
pajak yang berisiko. Komite Nasional
Kebijakan Governance (2006)
merekomendasikan salah satu komisaris
12
independen yang termasuk anggota dewan
komisaris harus mempunyai latar belakang
akuntansi atau keuangan.
Armstrong et al., (2014) membuktikan
adanya hubungan positif antara jumlah
dewan yang memiliki keahlian keuangan
(financial expertise) dan penghindaran
pajak pada saat tingkat penghindaran pajak
rendah, namun memiliki hubungan negatif
saat tingkat penghindaran pajak tinggi.
Sedangkan Puspita dan Harto (2014) tidak
menemukan adanya hubungan antara
keahlian keuangan komite audit dan
agresivitas pajak. Berdasarkan teori dan
perbedaan hasil penelitian sebelumnya,
maka dirumuskan hipotesis penelitian
sebagai berikut:
H4: Keahlian keuangan dewan komisaris
berpengaruh negatif terhadap agresivitas
pajak (berpengaruh positif terhadap ETR)
Model Penelitian
Penelitian ini memiliki model sebagai
berikut:
z
III. METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam
penerlitian ini adalah penelitian kuantitatif
dengan pendekatan deskriptif .
Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah
perusahaan manufaktur yang terdaftar di
BEI pada tahun 2016-2018. Pemilihan
populasi didasari oleh keterlibatan
beberapa perusahaan manufaktur dalam
kasus agresivitas pajak seperti PT Coca
Company pada tahun 2004 dan PT Bentoel
International Investama di tahun 2019,
besarnya andil perusahaan manufaktur
dalam penyumbangan pajak penghasilan
(pph) nonmigas yang mencapai 30% setiap
tahunnya, dan penerimaan sektor
manufaktur yang tumbuh melambat secara
tahunan (year on year) pada tahun 2018
dibandingkan 2017.
Pemilihan sampel dilakukan
menggunakan metode purposive sampling
dengan tujuan untuk mendapatkan sample
bedasarkan kriteria yang sesuai dengan
tujuan penelitian. Kriteria sampel dari
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Sampel merupakan perusahaan
manufaktur yang terdaftar di BEI
selama tahun 2016-2018
2. Sampel menerbitkan laporan tahunan
secara lengkap
3. Sampel menggunakan rupiah dalam
pelaporannya
4. Sampel tidak mengalami kerugian
selama 2016-2018 dikarenakan dapat
menyebabkan adanya distorsi.
5. Perusahaan manufaktur yang memiliki
beban pajak positif karena pengaruh
masa lalu (Darmadi, 2013)
6. Nilai Effective Tax Rates (ETR) tidak
lebih dari 1 agar tidak ada masalah
dalam estimasi model (Gupta dan
Newberry, 1997).
Perusahaan manufaktur yang terdaftar
di BEI setiap tahunnya dari tahun 2016-
2018 adalah 168 perusahaan. Dari
keseluruhan sampel hanya 44 sampel
Variabel Independen
Karakter Eksekutif
Proporsi komisaris independen
Diversitas gender dewan
komisaris
Keahlian keuangan dewan
komisaris
Variabel
Kontrol
ROA
Leverage
Agresivitas
Pajak
13
perusahaan yang memenuhi ke-6 kriteria.
Sehingga total sampel adalah 44
perusahaan x 3 tahun penelitian yaitu 132
sample.
Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah data sekunder.
Sumber data penelitian ini merupakan data
sekunder berupa laporan keuangan dan
laporan tahunan perusahaan manufaktur
tahun 2016-2018 yang diperoleh dari
website resmi Bursa Efek Indonesia yaitu
www.idx.co.id.
Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data adalah
dengan menggunakan dokumentasi. Dalam
penelitian ini, metode dokumentasi
dilakukan dengan mengumpulkan data-
data sekunder perusahaan manufaktur yang
diperoleh dari website milik BEI.
Pengukuran Variabel
Agresivitas Pajak
Agresivitas pajak diproksikan dengan
Effective Tax Rate (ETR). ETR mampu
merefleksikan perbedaan tetap antara
perhitungan laba buku dengan laba fiskal
(frank et al., 2009). Semakin besar ETR
berarti semakin rendah tingkat agresivitas
pajak. ETR dihitung dengan cara:
𝐸𝑇𝑅 =𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑡𝑎𝑥 𝑒𝑥𝑝𝑒𝑛𝑠𝑒
𝑃𝑟𝑒 − 𝑡𝑎𝑥 𝑖𝑛𝑐𝑜𝑚𝑒
Karakter Eksekutif
Untuk mengetahui karakter eksekutif
maka digunakan risiko perusahaan
(corporate risk) yang dimiliki perusahaan
(Budiman dan Setiyono, 2012). Corporate
risk mencerminkan penyimpangan atau
deviasi standar dari earning baik
penyimpangan itu bersifat kurang dari yang
direncanakan atau lebih dari yang
direncanakan, semakin besar deviasi laba
perusahaan maka semakin besar risiko
perusahaan (Budiman dan Setiyono, 2012).
Tinggi rendahnya risiko perusahaan ini
mengindikasikan karakter eksekutif
apakah termasuk risk taker atau risk averse
(Budiman dan Setiyono, 2012). Paligorova
(2010) mengukur risiko perusahaan
melalui deviasi standar dari EBITDA
(Earnings Before Interest, Tax,
Depreciation and Amortization) dibagi
dengan total aset perusahaan. Berikut
adalah rumus perhitungan risiko
perusahaan:
𝑅𝑖𝑠𝑘 =
𝑆𝑡𝑎𝑛𝑑𝑎𝑟 𝐷𝑒𝑣𝑖𝑎𝑠𝑖 (𝐿𝑎𝑏𝑎 𝑆𝑒𝑏𝑒𝑙𝑢𝑚 𝐵𝑒𝑏𝑎𝑛 𝐵𝑢𝑛𝑔𝑎 𝑑𝑎𝑛 𝑃𝑎𝑗𝑎𝑘 +
𝐷𝑒𝑝𝑟𝑒𝑠𝑖𝑎𝑠𝑖 + 𝐴𝑚𝑜𝑟𝑡𝑖𝑠𝑎𝑠𝑖)
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐴𝑠𝑒𝑡
Proporsi Komisaris Independen
Komisaris Independen dapat diketahui
dari keterangan jabatan dalam susunan
dewan komisaris yang tercantum dalam
laporan tahunan perusahaan. Proporsi
komisaris independen diukur dengan
membagi total komisaris independen
dengan total dewan komisaris perusahaan
(Lanis dan Richardson, 2011)
Diversitas Gender Anggota Dewan
Komisaris
Diversitas gender anggota dewan
komisaris diukur dengan membagi total
dewan komisaris wanita dengan total
dewan komisaris (Zemzem dan Ftouhi,
2013).
Keahlian Keuangan (Financial Expertise)
Dewan Komisaris
Keahlian keuangan anggota dewan
komisaris diukur dengan membagi total
dewan komisaris yang memiliki keahlian
keuangan dengan total dewan komisaris.
Dalam penelitian ini dewan komisaris
dikatergorikan memiliki keahlian keuangan
jika informasi biografis dewan komisaris
dalam laporan tahunan memiliki latar
belakang pendidikan ekonomi, keuangan
dan/atau bisnis (Kusumastuti, 2017). Selain
itu, kriteria keahlian akuntansi dan keuangan
14
juga mengadopsi kriteria Badalato et al.,
(2014) yang disajikan pada tabel 1.
Tabel 1. Kriteria Keahlian
Akuntansi dan Keahlian Keuangan
Sumber: Badalato et al., (2014)
Variabel Kontrol
Profitabilitas (Return on Assets)
ROA mencerminkan kemampuan
perusahaan dalam memperoleh laba
melalui aktivitas ekonominya dengan
menggunkan aset yang dimilikinya.
Berikut ini adalah rumus ROA yang
diginakan Gupta dan Newberry (1997):
𝑅𝑂𝐴 =𝑃𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑆𝑒𝑏𝑒𝑙𝑢𝑚 𝑃𝑎𝑗𝑎𝑘
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐴𝑠𝑒𝑡
Leverage (Debt Ratio)
Leverage dalam penelitian ini dihitung
menggunakan debt ratio (rasio hutang).
Rasio ini menggambarkan hubungan total
hutang terhadap total aset perusahaan
dengan tujuan untuk mengukur seberapa
besar perusahaan mengandalkan hutang
untuk membiayai asetnya. Berikut adalah
rumus leverage yang juga digunakan oleh
Suyanto dan Supramo (2012):
𝐿𝑒𝑣𝑒𝑟𝑎𝑔𝑒 =𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐻𝑢𝑡𝑎𝑛𝑔
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐴𝑠𝑒𝑡
Metode Analisis
Pengujian hipotesis dilakukan dengan
analisis regresi linear berganda dengan
menggunakan persamaan regresi sebagai
berikut:
ETR = α+ β1RISK +β2IND+β3DIV
+β4EXP+β5ROA+ β6LEV+e
Keterangan :
ETR : agresivitas pajak
α : konstanta
β1-6 : koefisien regresi
RISK : standar deviasi EBITDA
IND : persentase komisaris
independen
DIV : persentase dewan komisaris
wanita
EXP : persentase dewan yang memiliki
keahlian keuangan
ROA : Laba sebelum pajak dibagi
dengan total aset
LEV : Total hutang dibagi dengan
total aset
e : Error
IV. HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
Pembahasan Hasil Penelitian
Berdasarkan output SPSS 21, angka
adjusted R2 atau koefisien determinasi
adalah 0.231. Hal ini berarti bahwa 23.1 %
variabel ETR akan dipengaruhi oleh
variabel bebas yang berupa risiko
perusahaan, proporsi komisaris
independen, diversitas gender dan variabel
kontrol yaitu ROA dan leverage.
Sedangkan sisa sebesar 76,9 % variabel
ETR dijelaskan oleh sebab-sebab lain di
luar model regresi. Berdasarkan uji
ANOVA atau F test diperoleh F hitung
Keahlian
Akuntansi
Keahlian
Keuangan
Chief Finance
Officer
Banker
Accounting
Officer
Analyst
Chief Accountant Loan Officer
Controller Investment
Manager
Certified Public
Accountant
Fund Manager
Chartered
Accountant
Asset Manager
Financial Officer Treasuress
Head of
Accounting
Finance Director
Employment of
Audit Firm
Manager Finance
Vice President
Finance
15
sebesar 7.556 dengan tingkat
signifikansinya sebesar 0.000/ Karena
signifikansi jauh lebih kecil dari 0.05 maka
model dapat digunakan untuk memprediksi
agresivitas pajak atau dapat disimpulkan
bahwa ke-6 variabel independen secara
bersama-sama berpengaruh terhadap
agresivitas pajak. Hasil uji hipotesis
ditunjukkan dalam tabel 3 sebagai berikut:
Tabel 3. Hasil Uji t / Parsial
Sumber: Data sekunder diolah (2019)
Pengujian hipotesis pertama
menunjukkan nilai t sebesar -3,455 dengan
signifikansi sebesar 0.001 < α = 0.05.
Dapat disimpulkan bahwa risiko
perusahaan berpengaruh signfikan
terhadap ETR. Dengan meningkatnya
RISK maka ETR akan mengalami
penurunan signifikan. Hal ini berarti
hipotesis pertama (H1) diterima. Dengan
demikian eksekutif dengan karakter risk
taker akan meningkatkan agresivitas pajak
perusahaan.Besarnya risiko yang diambil
oleh eksekutif perusahaan untuk
memaksimalkan laba akan menjadi pemicu
dalam melakukan agresivitas pajak karena
agresivitas pajak dapat memperbesar tax
savings. Hasil penelitian ini sesuai dengan
peneitian yang dilakukan oleh Budiman
dan Setiyono (2012) dan Hanafi dan Harto
(2014).
Pengujian hipotesis kedua
menunjukkan nilai t sebesar -2,270 dengan
signifikansi sebesar 0,025 < α = 0.05. Maka
komisaris independen berpengaruh
signifikan terhadap ETR. Dengan
meningkatnya IND maka ETR akan
mengalami penurunan signifikan. Hal ini
berarti hipotesis kedua (H2) ditolak. Hal ini
terjadi karena penambahan komisaris
independen hanya formalitas belaka
sehingga komisaris independen tidak dapat
menjalankan tugasnya dengan efektif. Hal
tersebut disebabkan karena perusahaan
publik di Indonesia umumnya berpola
kepemilikan yang terkonsentrasi dengan
basis hubungan keluarga (family
ownership) serta pada umumnya
bergabung dalam suatu jaringan kelompok
bisnis berbasis keluarga (family business
groups) (Lukviarman, 2004). Dengan
bercirikan keluarga sebagai pemilik
mayoritas perusahaan, maka peluang untuk
mendahulukan kepentingan pemilik
mayoritas diatas kepentingan pemilik
minoritas dan masyarakat menjadi sangat
besar. Penelitian ini mendukung penelitian
yang dilakukan Nugroho dan Firmansyah
(2017) dan Adam dkk (2018).
Pengujian hipotesis ketiga
menunjukkan nilai t sebesar -2,664 dengan
signifikansi sebesar 0.009 < α = 0.05,
maka dapat disimpulkan bahwa diversitas
gender dewan komisaris berpengaruh
secara signifikn terhadap ETR. Dengan
ditingkatkannnya DIV maka ETR akan
mengalami penurunan signifikan. Hal ini
berarti hipotesis ketiga (H3) ditolak.
Semakin tinggi persentase wanita dalam
jajaran dewan komisaris dapat
meningkatkan agresivitas pajak karena
wanita mengadopsi kebijakan kas yang
lebih konservatif (Suherman, 2017).
Schoubben dan Uytbergen (2014); Zeng
dan Wang (2015) dan Suherman (2017)
menemukan bahwa wanita dalam jajaran
dewan atau CEO wanita memiliki
pengaruh positif signifikan terhadap cash
holding. Penghindaran pajak merupakan
salah satu cara perusahaan meningkatkan
cash holding. Penelitian ini mendukung
penelitian Amri (2017) yang membuktikan
bahwa peningkatan kompensasi
Variabel
t
hitung Sig.
t
tabel
RISK -3,455 0,001
1,979
IND -2,270 0,025
DIV -2,664 0,009
EXP 1,290 0,200
ROA 0,473 0,637
LEV 4,852 0,000
16
manajemen berpengaruh positif terhadap
penghindaran pajak apabila diberikan
kepada eksekutif yang memiliki
karakteristik gender dewan yang
terdiversifikasi.
Pengujian hipotesis keempat
menunjukkan nilai t sebesar 1,290 dengan
signifikansi sebesar 0.200 > α = 0.05,
maka dapat disimpulkan bahwa keahlian
keuangan terhadap tidak berpengaruh
secara signifikan terhadap ETR. Hal ini
berarti hipotesis keempat (H4) ditolak. Hal
ini mengindikasikan bahwa keahlian
keuangan dewan komisaris tidak memberi
efek bagi komisaris untuk melakukan suatu
hal yang berhubungan dengan keuangan
perusahaan, termasuk di dalamnya
agresivitas pajak. Menurut peneliti, hal ini
dikarenakan dewan komisaris tidak dapat
menjalankan fungsi pengawasan secara
efektif karena masih banyaknya
perusahaan di Indonesia yang
terkonsentrasi pada kepemilikan
perusahaan keluarga sehingga pihak
mayoritas mendapatkan peluang yang lebih
tinggi dalam mempengaruhi keputusan
perusahaan. Dengan atau tanpa keahlian
keuangan, dewan komisaris merupakan
partner yang pasif bagi dewan direksi.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian
Puspita dan Harto (2014) yang tidak
menemukan hubungan antara keahlian
akuntansi atau keuangan komite audit
dengan agresivitas pajak.
Variabel kontrol ROA menunjukkan nilai t
sebesar 0,473 dengan signifikansi sebesar
0,637 > α = 0.05, maka ROA tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap
ETR. Agresivitas pajak dilakukan dengan
menurunkan pretax income sehingga beban
pajak perusahaan rendah, namun semua
perusahaan berupaya untuk memperoleh
laba yang tinggi. Oleh sebab itu,
perusahaan tidak melakukan agresivitas
pajak dengan cara menurunkan pretax
income karena hal tersebut akan
menurunkan rasio profitablitas perusahaan
(Hadi dan Mangoting, 2014). Hasil
penelitian ini mendukung hasil penelitian
Hadi dan Mangoting (2014); Cahyono dan
Raharjo (2016).
Variabel kontrol leverage
menunjukkan nilai t sebesar 4,852 dengan
signifikansi 0.000 < α = 0.05, maka
leverage berpengaruh secara signifikan
terhadap ETR. Dengan meningkatnya
leverage maka ETR akan mengalami
peningkatan yang tinggi. Semakin tinggi
penggunaan utang oleh perusahaan, maka
semakin banyak pihak eksternal yang
terlibat dalam kegiatan pendanaan
perusahaan (Aprianto dan Dwimulyadi,
2019). Dengan demikian, semakin tinggi
tingkat ketergantungan perusahaan atas
dana dari pihak ketiga. Pihak ketiga
sebagai kreditur akan mengawasi
perusahaan agar dapat melunasi
kewajibannya sehingga manajemen
perusahaan memiliki motivasi yang rendah
dalam praktik penghindaran pajak
dikarenakan adanya fungsi pengawasan
yang dilakukan kreditur (Aprianto dan
Dwimulyadi, 2019). Penelitian ini
mendukung penelitian Swingly dan
Sukartha (2015); Marfirah dan Syam
(2016) dan (Aprianto dan Dwimulyadi,
2019).
V. PENUTUP
Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
variabel karakter eksekutif yang
diproksikan dengan risiko perusahaan,
komisaris independen yang diproksikan
dengan persentase komisaris independen
dan diversitas gender yang diproksikan
dengan persentase dewan wanita, dan
variabel kontrol Return on Asset terbukti
berpengaruh terhadap agresivitas pajak.
Namun, penelitian ini tidak membuktikan
bahwa keahliah keuangan dewan komisaris
yang diproksikan dengan persentase dewan
17
yang memiliki keahlian keuangan dan
variabel kontrol leverage yang diprosikan
dengan debt ratio memiliki pengaruh
terhadap agresivitas pajak.
Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini memiliki keterbatasan
yang perlu diperhatikan untuk penelitian
berikutnya yaitu pertama, sampel
penelitian terbatas pada 44 perusahaan
terpilih dari 168 perusahaan manufaktur
yang listing di BEI dan jangka waktu
penelitian hanya mengambil periode
observasi selama 3 tahun sehingga hasil
penellitian belum dapat menggambarkan
keadaan yang sebenarnya. Kedua, variabel
keahlian keuangan dewan komisaris gagal
membuktikan adanya pengaruh signifikan
terhadap agresivitas pajak sehingga masih
memerlukan variabel independen lain
untuk menentukan faktor yang
mempengaruhi agresivitas pajak. Hal ini
disebabkan oleh perhitungan variabel yang
belum secara spesifik memisahkan keahlian akuntansi, keahlian keuangan
atau keahlian pajak dewan komisaris
sehingga hasil penelitian belum dapat
menggambarkan keadaan yang
sebenarnya. Ketiga, variabel kontrol
ROA gagal membuktikan adanya
pengaruh signifikan terhadap
penghindaran pajak sehingga masih
memerlukan untuk mempertimbangkan
variabel kontrol lain di luar model
penelitian untuk menentukan faktor
yang mempengaruhi agresivitas pajak
di perusahaan manufaktur.
Saran
Atas dasar keterbatasan tersebut,
diharapkan penelitian selanjutnya agar
pertama mempertimbangkan
menambah jumlah perusahaan sebagai
sampel penelitian agar hasil penelitian
mencerminkan keadaan yang
sebenarnya. Kedua, mempetimbangkan
menambah variabel independen di luar
model penelitian ini agar dapat
diketahui faktor-faktor lain yang
mempengaruhi agresivitas pajak,
seperti komite audit dan corporate
governance.Ketiga,mempertimbangka
n variabel kontrol diluar penelitian agar
dapat diketahui faktor yang
mempengaruhi agresivitas pajak.
DAFTAR PUSTAKA
Adam, M., Fuadah, L. L., & Putri, S. P.
2018. The effect of corporate
governance mechanism on tax
aggressiveness with earnings
management as intervening
variable. Journal of Accounting,
Finance and Auditing Studies,
4(4), 11-26.
Adams, R. B., & Ferreira, D. 2009.
Women in the boardroom and
their impact on governance and
performance. Journal of
Financial Economics, 94, 291–
309.
Aljana dan Purwanto. 2017. Pengaruh
Profitabilitas, Struktur
Kepemilikan dan Kualitas Audit
Terhadap Manajemen Laba.
Diponegoro Journal of
Accounting, 6 (3), 1-15.
Amri, Muhtadin. 2017. Pengaruh
Kompensasi Manajemen
terhadap Penghindaran Pajak
dengan Moderasi Diversifikasi
Gender Direksi dan Preferensi
Resiko Eksekutif. Jurnal Aset
(Akuntansi Riset), 9(1), 2017, 1-
4.
18
Armstrong, C. S., Blouin, J. L.,
Jagolinzer, A.D., & Larcker, D.
F. 2014. Corporate Governance,
Incentives, and Tax Avoidance.
Asroni, Robi. 2018. Analisis Pengaruh
Tata Kelola Perusahaan dan
Karakteristik Direktur Utama
Terhadap Tindakan Pajak
Agresif di Indonesia. SKRIPSI.
Program Sarjana Fakultas
Ekonomika dan Bisnis.
Universitas Diponegoro.
Badolato, P. G., D. C. Donelson, and
M. Ege.2014. Audit Committee
Financial Expertise and
Earnings Managements: The
Role of Status. Journal of
Accounting and Economics, 58
(2-3), 208-230.
Budiman, J., dan Setiyono. 2012.
Pengaruh Karakter Eksekutif
Terhadap Penghindaran Pajak
(Tax avoidance). Simposium
Nasional Akuntansi XV.
Banjarmasin, Indonesia, 20-23
September.
Byrd, J & Hickman, K, 1992. Do
Outside Directors Monitor
Managers? Evidence from
Tender and Bids. Journal of
Financial Economics,Vol.
32:192-222.
Cahyono, D.D., Andini, R. & Raharjo,
K. 2016. Pengaruh Komite
Audit, Kepemilikan Institusional,
Dewan Komisaris, Ukuran
Perusahaan (SIZE), Leverage
(DER) dan Profitabilitas (ROA)
Terhadap Tindakan
Penghindaran Pajak (Tax
Avoidance) Pada Perusahaan
Perbankan Yang Listing BEI
Periode Tahun 2011-2013.
Journal of Accounting.Vol 2, No.
2.
Carter, D. A., Simkins, B. J., &
Simpson, W. G. 2003. Corporate
governance, board diversity and
firm value. Financial Review,38,
33–53.
Chen, S., Chen, X., Cheng, Q., Shevlin,
T. 2010. Are family firms more
tax aggressive than non-family
firms?. Journal of Financial
Economics. 91, (1), 41-61.
Research Collection School Of
Accountancy.
Chtourou, S. M., J. Bedard., & L.
Courteau. 2001. Corporate
Governance and Earnings
Management.http:/www.ssrn.co
m.
Coca Cola Diduga Akali Setoran Pajak.
2014. Diakses dari:
https://ekonomi.kompas.com/rea
d/2014/06/13/1135319/Coca.Col
a.Diduga.Akali.Setoran.Pajak
Coles, Jeffrey L., Daniel, Naveen D.,
Naveen, Lalitha. 2004.
Managerial Incentives And Risk-
Taking. The Accounting Review,
J-33.
Croson, R., & Gneezy, U. 2009.
Gender Differences in
Preferences. Journal of
Economic Literature 47(2), 448–
474.
Darmadi, Iqbal Nul Hakim dan
Zulaikha. 2013. Analisis Faktor
19
yang Mempengaruhi Manajemen
Pajak dengan Indikator Tarif
Pajak Efektif (Studi Empiris
pada Perusahaan Manufaktur
yang Terdaftar di BEI pada
tahun 2011-2013). Diponegoro
Journal of Accounting. Vol. 2,
No. 4, Hal 1-12.
Desai, M.A., & Dharmapala, D., 2007.
Corporate Tax Avoidance and
Firm Value. Journal of Financial
Economics.
Dwiharyadi, Anda. 2017. Pengaruh
Keahlian Akuntansi dan
Keuangan Komite Audit dan
Dewan Komisaris Terhadap
Manajemen Laba. Jurnal
Akuntansi dan Keuangan
Indonesia. Vol.14 (1): 75-93.
Dwimulyani, Susi dan Muhammad
Aprianto. 2019. Pengaruh Sales
Growth dan Leverage Terhadap
Tax Avoidance dengan
Kepemilikan Institusional
Sebagai Variabel Moderasi.
Prosiding Seminar Nasional
Pakar ke 2 Tahun 2019.
Dyreng, Scott D., Hanlon, Michelle &
Maydew Edward L. 2010. The
Effect of Executives on Corporate
Tax Avoidance. The Accounting
Review, 85, 1163-1189.
Ely, R. J., & Thomas, D. A. 2001.
Cultural diversity at work: The
effects of diversity perspectives
on work group processes and
outcomes. Administrative
Science Quarterly, 46(2), 229–
273.
Erle, B. 2008. Tax risk management
and board responsibility.
Springer-Verlag, Berlin,
Heidelberg, pp. 205–220.
FCGI. 2001. Seri Tata Kelola
Perusahaan (Corporate
Governance), Jilid II, Peranan
Dewan Komisaris dan Komite
Audit dalam Pelaksanaan
Corporate Governance (Tata
Kelola Perusahaan).
www.fcgi.or.id
Frank, M., Lynch, L., & Rego, S. 2009.
Tax Reporting Aggressiveness
and Its Relation to Aggressive
Financial Reporting. The
Accounting Review Vol.84,
No.2, pp. 467-496.
Ghozali, I. 2016. Aplikasi Analisis
Multivariate Dengan Program
IBM SPSS 23. Edition 8.
Semarang: Diponegoro
University.
Gunawan, Elissa Virginia. 2018.
Pengaruh Karakteristik Dewan
Komisaris terhadap Aggressive
Tax Planning pada Perusahaan
yang terdaftar di BEI periode
2013-2015. Jurnal Ilmiah
Mahasiswa Universitas
Surabaya. Vol 7(1): 407-431.
Gupta, S., & Newberry, K. 1997.
Determinants of the variability on
corporate effective tax rates:
evidence from longitudinal data.
Journal of Accounting and Public
Policy 16 (1), 1–34.
Hadi, Junaila dan Yenni, Mangoting.
2014. Pengaruh Struktur
Kepemilikan dan Karakteristik
20
Dewan Terhadap Agresivitas
Pajak. Tax and Accounting
Review, Vol. 4, No. 2, 1-10.
Hanafi, Umi dan Puji, Harto. 2014.
Analisis Pengaruh Kompensasi
Eksekutif, Kepemilikan Saham
Eksekutif dan Preferensi Risiko
Eksekutif Terhadap
Penghindaran Pajak
Perusahaan. Diponegoro Journal
of Accounting ISSN. Vol.3,
No.2.
Hasseldine, J. 1999. Gender
Differences in Tax Compliance.
Asia-Pacific Journal of Taxation
3(2), 73–89.
IFC Mendukung Perempuan di Jajaran
Direksi Perusahaan di Indonesia.
2013. Diakses dari:
https://www.worldbank.org/in/ne
ws/feature/2013/07/31/ifc-
championing-women-on-
corporate-boards-in-indonesia.
Industri Manufaktur Penyumbang
Pajak Terbesar. 2018. Diakses
dari:https://kemenperin.go.id/arti
kel/18640/Industri Manufaktur-
Penyumbang-Pajak-Terbesar.
International Finance Corporation.
2014. The Indonesian Corporate
Governance Manual. First
Edition. Jakarta.
Kementerian Keuangan Republik
Indonesia. 2019.
MEDIAKEUANGAN
Transparansi Informasi
Kebijakan Fiskal. Vol. XIV,
No.138. Diakses dari:
https://www.kemenkeu.go.id/me
dia/11668/apbn-kita-januari-
2019.pdf.
Khaoula, A. 2013. Does Corporate
Governance Affect Tax
Planning? Evidence from
American Companies.
International Journal of
Advanced Research, 1(10), 864–
873.
Khaoula, A., & Ali, Z. M. 2012. The
Board Of Directors and The
Corporate Tax Planning:
Empirical Evidence from
Tunisia. International Journal
of Accounting and Financial
Reporting, 2(2), 142–157.
Komite Nasional Kebijakan
Governance. 2006. Pedoman
Umum Good Corporate
Governance Indonesia. Jakarta.
Kusumastuti.S., Supatmi, dan Perdana,
S. 2007. Pengaruh Board
Diversity terhadap Nilai
Perusahaan dalam Perspektif
Corporate Governance. Jurnal
Akuntansi dan Keuangan.
Vol.9(2): 88-98.
La Porta, Rafael & Lopez-De Silanez.
1999. Corporate Ownership
Around The World. Journal of
Finance, 54, 471-518.
Lanis, R., & Richardson, G. 2011. The
effect of board of director
composition on corporate tax
aggressiveness. Journal of
Accounting and Public Policy, 30
(1), 50–70.
Lanis, R., dan Richardson, G. 2012.
Corporate social responsibility
21
and Tax Aggresiveness: an
Empirical Analysis. Journal of
Accounting and Public Policy 31:
86-108.
Low, Angie. 2006. Managerial Risk-
Taking Behavior and Equity-
Based Compensation. Fisher
College of Business Working
Paper, 03-003.
Lukviarman, Niki. 2014. Etika Bisnis
Tak Berjalan di Indonesia: Ada
Apa Dalam Corporate
Governance?. JSB No.9 Vol.2.
ISSN : 0853 – 7665.
MacCrimmon, Kenneth R. & Wehrung
Donald A. 1990. Characteristics
of Risk Taking Executives.
Management Science, pp 422.
Machfoeds, Mas’ud. 2006. Board
Duties. Jakarta: Lembaga
Komisaris dan Direktur
Indonesia.
Maharani,I.G.A.C., dan Suardana, K.A.
2014. Pengaruh Corporate
Governance, Profitabilitas, dan
Karakteristik Eksekutif Pada
Tax Avoidance Perusahaan
Manufaktur. E-jurnal Akuntansi
Universitas Udayana, Vol. 9, No.
2, hal 525-539.
Marfirah, Dina dan Fazli, Syam B.Z.
2016. Pengaruh Corporate
Governance dan Leverage
terhadap Tax avoidance pada
perusahaan manufaktur yang
teradaftar di Bursa Efek
Indonesia tahun 2011-2015.
Jurnal Ilmiah Mahasiswa
Akuntansi (JIMEKA), Vol. 1 No.
2, pp. 91-102.
Mayangsari, Cindy. 2015. Pengaruh
Kompensasi Eksekutif,
Kepemilikan Saham Eksekutif,
Preferensi Risiko Eksekutif dan
Leverage Terhadap
Penghindaran Pajak (Tax
Avoidance). Jom FEKON Vol.2,
No.2.
Muntoro, Ronny Kusuma. 2006.
Makalah: Membangun Dewan
Komisaris yang Efektif.
Universitas Indonesia.
Nugroho, S. A., dan Firmansyah, A.
2017. Pengaruh Financial
Distress, Real Earnings
Management, dan Corporate
Governance terhadap Tax
Aggressiveness. Journal of
Business Administration, 1(2),
17–36.
OECD. 2019. Revenue Statistics in
Asian and Pacific Economies.
Diakses dari:
https://www.oecd.org/tax/tax-
policy/revenue-statistics-asia-
pacific-brochure.pdf.
Paligorova, Teodora. 2010. Corporate
Risk Taking and Ownership
Structure. Bank of Canada
Working Paper.
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No,
33/POJK.04/2014 tentang
Direksi dan Dewan Komisaris
Emiten atau Perusahaan Publik.
Perusahaan Cangkang, Celengan Sapi,
dan Tax Avoidance. 2017.
Diakses dari:
https://www.kemenkeu.go.id/pub
likasi/artikel-dan-
22
opini/perusahaan-cangkang-
celengan-sapi-dan-tax-
avoidance/
Pitt, H.L. 2005. The Changing
Standards by Which Directors
will be Judged. St. John's Law
Review.
Powell, M. & Ansic, D. 1997. Gender
Differences in Risk Behavior in
Financial Decision-Making: An
Experimental Analysis. Journal of
Economic Psychology, Vol. 18,
pp. 605-628.
Prastiti, Anindyah dan Wahyu,
Meiranto. 2013. Pengaruh
Karakteristik Dewan Komisaris
dan Komite Audit Terhadap
Manajemen Laba. Diponegoro
Journal of Accounting, 2 (4), 1-
12.
Puspita, Silvia Ratih dan Puji Harto.
2014. Pengaruh Tata Kelola
Perusahaan terhadap
Penghindaran Pajak.
Diponegoro Journal of
Accounting ISSN (Online):
2337-3806 Vol.3, No. 2.
Putri, Citra Lestari dan Lautania, Maya
Febrianty. 2016. Pengaruh
Capital Intensity Ratio,
Inventory Intensity Ratio,
Ownership Structure Dan
Profitability Terhadap Effective
Tax Rate (ETR). Jurnal Ilmiah
Mahasiswa Ekonomi Akuntansi
(Jimeka),Vol. 1, No.1.
Putri, Vidiyanna Rizal dan Putra Bella
Irwansyah. 2017. Pengaruh
Leverage, Profitability, Ukuran
Perusahaan Dan Proporsi
Kepemilikan Institusional
Terhadap Tax Avoidance. Jurnal
Ekonomi Manajemen Sumber
Daya. Vol. 19, No. 1.
Rasyidah, Resa. 2013. Perbandingan
Corporate Governance dengan
Sistem One-Tier Board di Inggris
dan AS Terkait Efektififas
Pencegahan Terjadinya Fraud
dalam Korporasi. Global &
Policy Journal of International
Relations.
Realisasi Penerimaaan Pajak Industri
Pengolahan Tumbuh Melambat
Hingga September 2018. Diakses
dari:
https://nasional.kontan.co.id/new
s/realisasi-penerimaan-pajak-
industri-pengolahan-tumbuh-
melambat-hingga-september-
2018.
Robinson, J.R., Y. Xue, & M.H. Zhang.
2012. Tax planning and financial
expertise in the audit committee.
Rodriguezand, Arias.2013. Do
Business Characteristics
Determine an Effective Tax
Rate?. The Chinese Economy,
45(6), 60-83.
Lanis, R., Richardson, G., & Taylor, G.
2015. Board of Director Gender
and Corporate Tax
Aggressiveness: An Empirical
Analysis. Journal of Business
Ethics, Springer, vol. 144 (3),
pages 577-596.
Rusydi, M. K., dan Martani, D. 2014.
Pengaruh Struktur Kepemilikan
Terhadap Aggressive Tax
23
Avoidance. SNA 17 Universitas
Mataram, Lombok.
Sari, K. D., & Martani, Dwi. 2010.
Ownership Characteristic,
Corporate Governance, and Tax
Aggressiveness. The 3rd
Accounting and The 2nd
Colloquium. Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia.
Sartori, Nicola. 2010. Effect of
Strategic Tax Behaviours on
Corporate Governance.
Schoubben, Frederiek & Uytbergen,
Steve Van. 2014. The effect of
gender diversity on corporate
cash policy. Proceedings EFMA
Conference.
Sekaran, U. & Bougie, R. 2016.
Research Methods for Business.
Wiley.
Sihombing, Kennedy Samuel. 2014.
Analisis Fraud Diamond Dalam
Mendeteksi Financial Statement
Fraud: Study Empiris Pada
Peusahaan Manufaktur yang
Terdaftar di BEI. Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas
Diponegoro.
Simorangkir, Y.N.L., Subroto dan
Andayani. 2018. Pengaruh
Corporate Social Responsibility
dan Komisaris Independen
terhadap Agresivitas Pajak.
Jurnal Manajemen &
Kewirausahaan, Vol.6, No.2.
Suedi, B., dan Warno. 2010. Pengaruh
Sistem Informasi terhadap
Kejujuran Laporan Keuangan
Manajer: Sebuah Persepektif
Perilaku. Jurnal STIE Semarang
2(1): 1-14.
Sugiyono. 2006. Metode Penelitian
Kuantitatif, Kualitatif dan R&D.
Bandung: Alfabeta.
Suherman. 2017. Pengaruh CEO
Wanita Terhadap Cash Holding
Perusahaan. Jurnal Ilmiah
Manajemen, Volume VII, No. 1.
Suyanto, Krisnata D., dan Supramono.
2012. Likuiditas, Leverage,
Komisaris Independen dan
Manajemen Laba Terhadap
Agresivitas Pajak Perusahaan.
Journal of Finance and Banking,
Vol 16, No. 02.
Swingly, C., & Sukartha, I.M. 2015.
Pengarauh Karakter Eksekutif,
Komite Audit, Ukuran
Perusahaan, Leverage, dan Sales
Growth pada Tax Avoidance. E-
Jurnal Akuntansi Universitas
Udayana 10.1.
Tambunan, Dessy Natalia dan Septiani.
2017. Pengaruh Penghindaran
Pajak Terhadap Cash Holding
Perusahaan dengan Leverage
dan Return on Asset (ROA)
Sebagai Variabel Moderasi.
Diponegoro Journal of
Accounting Vol.6, No.4 ISSN
(Online):2337-3806.
Tax Justice Laporkan Bentoel Lakukan
Penghindaran Pajak,Indonesia
Rugi US$ 14 juta. 2019. Diakses
dari:
https://nasional.kontan.co.id/new
s/tax-justice-laporkan-bentoel-
lakukan-penghindaran-pajak-
indonesia-rugi-rp-14-juta.
24
Terjensen, S., Sealy, R & Singh, V.
2009. Woman Directors on
Corporate Boards: A Review and
Research Agenda. Corporate
Governance: An International
Review, 2009, 17(3): 320–337.
Vafeas, N. 2000. Board Structure and
the Informativeness of Earnings.
Journal of Accounting and Public
Policy, 19 (2), 139-160.
Xie, B., Davidson, W.N., & Dadalt, P.J.
2003. Earnings Management and
Corporate Governance: The Role
of the Board and The Audit
Committee. Journal of Corporate
Finance, 9, 295-316.
Zemzem, Ahmed & Khaoula, Ftouhi.
2013. The Effect of Board of
Directors Characteristics on Tax
Aggressiveness. Journal of
Finance and Accounting Vol. 4,
No.4, pp. 140 -147.
Zeng, Sanyun & Lihong, Wang. 2015.
CEO gender and corporate cash
holdings. Are female CEOs more
conservative?. Asia-Pacific
Journal of Accounting &
Economics, vol.22 (4), pp.449-
474.
Top Related