i
PENGANTAR
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) atau yang juga dikenal
dengan Sustainable Development Goals (SDGs) merupakan agenda
pembangunan global yang harus diikuti oleh semua negara, ternasuk
Indonesia. Upaya pencapaian target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan
sebagai sebiah agenda pembangunan global tidak hanya bertumpu pada
level pemerintah pusat atau nasional, akan tetapi justru sangat bergantung
pada mobilitas di tingkat kabupaten/kota dan sampai ke tingkat basis
(kelurahan, desa, bahkan komunitas).
Dalam konteks perencanaan pembangunan daerah upaya pencapaian
target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan menjadi sebuah isu yang
sangata strategis, tidak hanya dikaitkan dengan pengintegrasian dalam
dokumen perencanaan pembangunan daerah, akan tetapi juga
diintegrasikan dengan potensi yang ada di tingkat basis.
Terkait dengan hal tersebut, maka pengintegrasian Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan dalam dokumen perencanaan daerah maupun
pemetaan terhadap potensi dan permasalahan di tingkat basis merupakan
sebuah keharusan, sehingga diperlukan peran semua aktor dalam
pemetaan potensi dan permasalahan yang berkaitan dengan upaya
pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, sebagaimana tertuang
dalam Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2017 tentang Pedoman
Pelaksanaan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.
Merujuk pada hal tersebut, maka upaya pencapaian tujuan
pembangunan berkelanjutan akan lebih efektif apabila juga dimulai dari
tingkat basis, baik itu kelurahan/desa (bahkan lingkup yang lebih kecil)
maupun komunitas.
Merujuk pada hal tersebut, maka penyusunan Rencana Aksi Daerah
(RAD) menjadi sebuah keharusan dalam upaya pencapaian target agenda
pembangunan global tersebut. Selanjutnya dengan telah terselesaikannya
Rencana Aksi Daerah (RAD) Tujuan Pembangunan Berkelanjutan
(TPB)/Suistainable Development Goals (SDGs) Kota Salatiga periode 2019–
ii
2022, guna memenuhi amanat Perpres No. 59 Tahun 2017 tentang
Pelaksanaan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Seluruh pihak telah
bekerja sangat baik, secara bersama-sama menyusun dokumen RAD
TPB/SDGs ini.
RAD TPB/SDGs disusun dengan prinsip inklusifitas, terintegrasi, no
one left behind serta partisipatif. Rencana Aksi yang dijabarkan dari 17
goals dikelompokkan dalam 4 (empat) pilar pembangunan, yakni: pilar
pembangunan sosial, pilar pembangunan ekonomi, pilar pembangunan
lingkungan, serta pilar pembangunan hukum dan tata kelola. RAD
TPB/SDGs ini juga telah diinternalisasikan kedalam dokumen perencanaan
RPJMD, Renstra, dan RKPD serta selaras dengan visi, misi, target, dan
indikator pembangunan daerah.
Terkait dengan hal tersebut di atas, maka komitmen Pemerintah
Kota Salatiga dalam mewujudkan dan menempatkan upaya pencapaian
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) sebagai agenda prioritas,
dituangkan dalam dokumen Rencana Aksi Daerah yang diharapkan dapat
mendukung akselerasi pencapaian visi dan misi Pemerintah Kota Salatiga
yang tertuang dalam rencana pembangunan jangka menengah maupun
jangka panjang.
Sebagai sebuah dokumen perencanaan yang menjadi tindak lanjut
agenda pembangunan global serta hasil tagging dengan RPJMD Kota
Salatiga Tahun 2017-2022, maka RAD TPB/SDGs Kota Salatiga Tahun
2019-2022 ini agar dapat dilaksanakan dengan sungguh-sungguh karena
bagaimanapun keberhasilan pencapaian target memerlukan komitmen
semua pihak, mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, monitoring,
evaluasi hingga pelaporan pencapaiannya.
Sekali lagi, meskipun menurut Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun
2017 tentang Pelaksanaan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan,
Pemerintah Kabupaten/Kota tidak diwajibkan menyusun RAD TPB/SDGs,
akan tetapi penyusunan RAD TPB/SDGs Kota Salatiga Tahun 2019-2022
adalah bentuk komitmen pemerintah Kota Salatiga dalam mendukung
upaya pencapaian TPB/SDGs sebagai agenda pembangunan global yang
harus dipenuhi oleh negara pihak/negara yang menandatangani
iii
kesepakatan tentang Sustainable Developmet Goals pada 15 September
2015, termasuk Indonesia. Selanjutnya melalui dokumen RAD SDGs Kota
Salatiga Tahun 2019-2022 ini, diharapkan dapat mendukung akselerasi
terwujudnya visi misi Kota Salatiga sebagaimana tertuang dalam Rencana
Pembvangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Salatiga Tahun
2017-2022.
Salatiga, Desember 2019
Kepala BAPELITBANGDA Kota Salatiga
Drs. SUSANTO
iv
DAFTAR ISI
Pengantar i Daftar Isi iv Daftar Tabel vi Daftar Gambar/Grafik vii
Bab I Pendahuluan 1 1.1. Latar Belakang 1.2. Maksud dan Tujuan 1.3. Landasan Hukum 1.4. Sistematika Laporan
1 4 4 5
Bab II Pencapaian Pilar Pembangunan Sosial 6 2.1. Tujuan 1 Mengakhiri segala bentuk Kemiskinan 2.2. Tujuan 2 Menghilangkan Kelaparan, Mencapai Ketahanan
Pangan dan Gizi yang Baik, serta Meningkatkan Pertanian Berkelanjutan
2.3. Tujuan 3 Menjamin Kehidupan yang Sehat dan Meningkatkan Kesejahteraan Seluruh Penduduk Semua Usia
2.4. Tujuan 4 Menjamin Kualitas Pendidikan yang Inklusif 2.5. Tujuan 5 Mencapai Kesetaraan Gender
6
22
27 37 39
Bab III Pencapaian Pilar Pembangunan Ekonomi 41 3.1. Tujuan 7 Energi yang terjangkau, modern, dan
berkelanjutan 3.2. Tujuan 8 Pertumbuhan Ekonomi yang Inkluisf dan
Berkelanjutan 3.3. Tujuan 9 Membangun Infrastruktur yang tangguh, Industri
inklusif dan berkalnjutamn, serta mendorong inovasi 3.4. Tujuan 10 Mengurangi Kesenjangan Intra dan Antarnegara 3.5. Tujuan 17 Memperkuat dan Merevitalisasi Kemitraan Global
41
42
49 50 51
Bab IV Pencapaian Pilar Pembangunan Lingkungan 55 4.1. Tujuan 6 Menjamin Ketersediaan serta Pengelolaan Air
Bersih serta Sanitasi yang Berkelanjutan 4.2. Tujuan 11 Kota, Permukiman dan Komunitas Berkelanjutan 4.3. Tujuan 12 Pola Produksi dan Konsumsi yang Berkelanjutan 4.4. Tujuan 13 Penanganan Perubahan Iklim dan
Penanggulangan Kebencanaan 4.5. Tujuan 14 Pelestarian dan Pemanfaatan Berkelanjutan
Ekosistem Kelautan 4.6. Tujuan 15 Pelestarian dan Pemanfaatan Berkelanjutan
Ekosistem Daratan
55 58 60
63
64
64
Bab V Pencapaian Pilar Pembangunan Hukum dan Tata Kelola 67 5.1. Tujuan 16 Menciptakan Perdamaian, Penegakan Hukim,
dan Penguatan Kelembagaan
67
v
Bab VI Penutup 71
6.1. Kesimpulan 71
6.2. Rencana Tindak Lanjut 73
vi
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Jumlah KPM penerima PKH Kota Salatiga (15 februari
2019)
17
Tabel 2.2 Cakupan bayi yang mendapat imunisasi dasar lengkap 20
Tabel 2.3 Kondisi eksisting kondisi pangan tahun 2018 23
Tabel 2.4 Kondisi eksisting indikator tujuan 4 SDGs 38
Tabel 3.1 Kondisi eksisting indikator tujuan 7 SDGs Kota Salatiga
tahun 2016-2018
42
Tabel 3.2 Nilai PDRB menurut lapangan usaha atas dasar harga
konstan 2010 Kota Salatiga tahun 2015-2017 (dalam juta
rupiah)
43
Tabel 3.3 Kondisi eksisting infrastruktur dan industri inklusif dan
berkelanjutan Kota Salatiga tahun 2018
49
Tabel 3.4 Kondisi eksisting indikator disparitas wilayah Kota
Salatiga tahun 2018
51
Tabel 3.5 Kondisi Eksisting Indikator Tujuan 17 SDGs menguatkan
sarana pelaksanaan dan merevitalisasi kemitraan global
(aspek kemitraan dalam pembiayaan pembangunan) Kota
Salatiga Tahun 2018
51
Tabel 3.6 Perkembangan PAD Kota Salatiga tahun 2012-2018 54
Tabel 4.1 Kondisi eksisting indikator Tujuan 6 SDGs Kota Salatiga
Tahun 2016-2018
58
Tabel 4.2 Kondisi eksisting indikator dan pemukiman yang
berkelanjutan Kota Salatiga tahun 2018
59
Tabel 4.3 Kondisi eksisting indikator pola produksi dan konsumsi
yang berkelanjutan Kota Salatiga tahun 2018
60
Tabel 4.4 Kondisi eksisting indikator perubahan iklim Kota Salatiga
tahun 2018
63
Tabel 4.5 Kondisi eksisting indikator pemanfaat ekosistim daratan
Kota Salatiga tahun 2018
65
Tabel 5.1 Kondisi eksisting indikator tujuan 16 SDGs (aspek hak
asasi manusia dan hukum) Kota Salatiga tahun 2018
67
Tabel 5.2 Kondisi eksisting indikator tujuan 16 SDGs (aspek tata
kelola dan pemguatan kelembagaaan) Kota Salatiga thun
2018
66
vii
DAFTAR GRAFIK
Grafik 2.1 Tingkat kemiskinan (%) Kota Salatiga 6
Grafik 2.2 Perkembangan Tingkat kemiskinan (0%) Kota Salatiga 7
Grafik 2.3
Relevansi Tingkat Kemiskinan (%) Kota Salatiga provinsi
dan Nasional
7
Grafik 2.4 Perkembangan jumlah penduduk miskin (jiwa) Kota
Salatiga
8
Grafik 2.5 Perbandingan penduduk miskin (jiwa) Kota Salatiga,
Provinsi Jawa Tengah dan Nasional tahun 2018
8
Grafik 2.6 Garis kemiskinan (Rp) Kota Salatiga, Provinsi Jawa
Tengah dan Nasional tahun 2018
9
Grafik 2.7 Perkembangan garis kemiskinan Kota Salatiga tahun
2014-2018
10
Grafik 2.8 Indeks kedalaman kemiskinan Kota Salatiga, Provinsi
Jawa Tengah dan Nasional tahun 2018
11
Grafik 2.9 Perkembangan indeks kedalman kemiskinan (P1) Kota
Salatiga tahun 2014-2018
11
Grafik 2.10 Efektifitas perkembangan indeks kedalaman kemiskinan
(P1) Kota Salatiga
12
Grafik 2.11 Relevensi perkembangan indeks kedalaman kemiskinan
(P1) Kota Salatiga terhadap provinsi dan Nasional
12
Grafik 2.12 Indeks keparahan kemiskinan (P2) Kota Salatiga,
provinsi Jawa Tengah dan Nasional tahun 2018
13
Grafik 2.13 Perkembangan indeks keparahan kemiskinan (P2) Kota
Salatiga tahun 2014-2018
14
Grafik 2.14 Efektifitas indeks keparahan kemiskinan (P2) Kota
Salatiga
14
Grafik 2.15 Relevensi efektifitas perkembangan indeks keparahan
kemiskinan (P2) Kota Salatiga terhadap provinsi dan
Nasional
15
Grafik 2.16 Presentase peserta menurut jenis jaminan kesehatan di
Kota Salatiga tahun 2018
16
Grafik 2.17 Cakupan persalinan yang ditolong nakes Kota Salatiga
2014-2018
19
Grafik 2.18 Imunisasi dasar lengkap bayi tahun 2014-2018 20
Grafik 2.19 Cakupan peserta KB aktif Kota Salatiga tahun 2014-
2018
21
Grafik 2.20 Preentase penduduk mengakses jamban sehat tahun
2014-2018
22
Grafik 2.21 Cakupan ASI eksklusif Kota Salatiga Kota Salatiga
tahun 2014-2018
26
Grafik 2.22 Cakupan persalinan yang ditolong nakes Kota Salatiga
tahun 2014-2018
30
Grafik 2.23 Angka bayi Kota Salatiga tahun 2014-2018 33
viii
Grafik 2.24 Jumlah kasus malaria di Kota Salatiga tahun 2014-2018 35
Grafik 2.25 Cakupan peserta KB aktif Kota Salatiga tahun 2014-
2018
37
Grafik 2.26 Presentase pendududk mengakses jamban sehat tahun
2014-2018
42
Grafik 3.1 Data pertumbuhan ekonomi Kota Salatiga Provinsi Jawa
Tengah dan Nasional tahun 2013-2018
44
Grafik 3.2 Data posisi relatif pertumbuhan ekonomi di bandingkan
dengan kota lain di Provinsi Jawa Tengah (Kota
Semarang, Kota Tegal, Kota Pekalongan, Kota Surakarta,
dan Kota Magelang ) tahun 2018
45
Grafik 3.3 Laju inflasi Kota Salatiga 46
Grafik 3.4 Laju inflasi Kota Salatiga di bandingkan kota di Provinsi
Jawa Tengah
46
Grafik 3.5 Perkembangan pengeluaran perkapita Kota Salatiga,
Jawa Tengah dan Nasional tahun 2015-2017 (ribu
rupiah)
51
Grafik 3.6 Perkembangan TPAK Kota Salatiga, Jawa Tengah dan
Nasional tahun 2014-2018
52
Grafik 3.7 Perkembangan tingkat pengangguran terbuka (TPT) Kota
Salatiga, Provinsi Jawa Tengah dan Nasional tahun
2015-2017(%)
52
Grafik 4.1 Persentase Penduduk Mengakses Jamban Sehat Tahun
2014-2018
55
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Agenda Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB)/Sustainable
Development Goals (SDGs) telah dirumuskan pada tingkat global melibatkan
para pemimpin 193 negara anggota PBB pada akhir September 2015.
Agenda tersebut mengakui bahwa penghapusan kemiskinan dalam segala
bentuk termasuk penghapusan ekstrim sebagai tantangan utama di tingkat
global untuk mencapai pembangunan berkelanjutan.Pembangunan
berkelanjutan sebagai rencana aksi global dilaksanakan hingga tahun 2030
memiliki 5 (lima) prinsip dasar yaitu People, Planet, Prosperity, Peace dan
Partnership dalam 3 dimensi yaitu ekonomi, sosial dan lingkungan yang
selaras.
Adapun Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB)/SDGs terdiri dari
17 Tujuan dan 169 Target yang tercakup dalam dimensi sosial, ekonomi
dan lingkungan secara terintegrasi, sebagaimana ditunjukkan tabel berikut:
No Goal SDGs Pilar
1 No Poverty Sosial
2 Zero Hunger Sosial
3 Good Health and Well-Being Sosial
4 Quality Education Sosial
5 Gender Equality Sosial
6 Clean Water and Sanitation Lingkungan
7 Affordable Energy Ekonomi
8 Decent Work and Economic Growth Ekonomi
9 Industry, inovation, and Infrastructure Ekonomi
10 Reduced and Inequalities Ekonomi
11 Sustainable Cities and Communities Lingkungan
12 Responsible Consumtion and Production Lingkungan
13 Climate Action Lingkungan
14 Life Below Wate Lingkungan
15 Life on Land Lingkungan
16 Peace, Justice, and Strong Institution Hukum dan Tata Kelola
17 Partnership for the Goals Ekonomi
Mendasarkan urutan waktu, TPB dirumuskan di tingkat global pada
akhir tahun 2015, sejalan dengan waktu penyusunan RPJMN 2015-2019.
Hal tersebut memudahkan pengarustamaan TPB ke dalam dokumen RPJMN
2015-2019, sehingga sebanyak 94 target dari 169 target SDGs telah selaras
dengan RPJMN. Sebagai tindak lanjut, telah disusun Peraturan Presiden
Nomor 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan
2
Pembangunan Berkelanjutan. Sedangkan untuk Jawa Tengah, perumusan
TPB di tingkat global pada akhir tahun 2015 dan pada saat penerbitan
Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2017 telah dilakukan penyusunan
Rencana Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Salatiga Tahun 2017-
2022, namun demikian indikator yang tertuang dalam Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan secara garis besar sudah terakomodir dalam
RPJMD Kota Salatiga Tahun 2017-2022. Sehingga penyusunan pertama kali
untuk Rencana Aksi Daerah (RAD) Kota Salatiga dilaksanakan dengan
periodisasi 2019-2022. Sehubungan dengan itu, maka metode yang
digunakan untuk penyusunan RAD TPB Jawa Tengah Tahun 2019-2022
menggunakan tagging terhadap dokumen RPJMD Kota Salatiga Tahun
2017-2022, sehingga dimungkinkan beberapa target dan sasaran
pembangunan Kota Salatiga masih ada yang belum mengakomodir TPB.
Ide atau gagasan tentang SDGs pertama kali disampaikan oleh
pemerintah Kolombia dan Guatemala dalam pertemuan tidak resmi di Solo,
Indonesia, Juli 2011. Usulan ini terus bergulir dan menjadi perdebatan di
kalangan anggota PBB dalam berbagai pertemuan tidak resmi untuk
menyempurnakan usulan tersebut. Di dalam usulannya, kedua negara
menyebutkan ada 8 (delapan) tujuan pembangunan berkelanjutan, yaitu:
(1) Combating Poverty
(2) Changing Consumption Patterns
(3) Promoting Sustainable Human Settlement Development
(4) Biodiversity and Forests
(5) Oceans
(6) Water Resources
(7) Advancing Food Security
(8) Energy, including from renewable sources
TPB/SDGs merupakan kelanjutan dan penyempurnaan dari MDGs
dengan target dan tujuan yang lebih ambisius. Salah satu contoh adalah
target kemiskinan: pada MDGs mensyaratkan untuk menurunkan
kemiskinan setengah dari angka baseline, namun TPB/SDGs lebih berat
yaitu mensyaratkan tanpa kemiskinan. Selanjutnya, target indikator MDGs
yang telah tercapai agar dipertahankan, dan target indikator yang belum
tercapai diupayakan tercapai pada pelaksanaan Agenda TPB/SDGs.
Pembangunan berkelanjutan (TPB/SDGs) merupakan pembangunan
yang bersifat universal dan inklusif. Universal, karena tidak hanya
3
dilaksanakan oleh negara kurang berkembang namun juga negara maju
untuk seluruh bangsa dunia. Inklusif, artinya manfaat pembangunan harus
dapat dirasakan oleh segala lapisan dan kelompok masyakarat meliputi
masyarakat rentan/miskin, disabilitas, anak-anak, dewasa, perempuan dan
laki-laki.
Penetapan tujuan dan target dalam TPB/SDGs mempunyai keterkaitan
yang komprehensif antar pilarnya yaitu pilar sosial, ekonomi, lingkungan
dan hukum tata kelola. Tujuan akhir yang diharapkan dalam pencapaian
TPB/SDGs yaitu: Menghilangkan kemiskinan, Menghilangkan kelaparan dan
Berkurangnya kesenjangan. Untuk mempercepat pencapaian tujuan akhir
tersebut terdapat tujuan-tujuan yang menjadi akselerasi/ pemercepat yaitu
Kehidupan sehat sejahtera, Pendidikan berkualitas, Kesetaraan gender,
Pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi, Kota pemukiman yang
berkelanjutan, Penanganan perubahan iklim serta Perdamaian keadilan dan
kelembagaan yang tangguh. Sedangkan tujuan-tujuan yang lain merupakan
katalisator/daya ungkit yaitu: Air bersih dan sanitasi layak, Energi bersih
dan terjangkau, Industri inovasi dan infrastruktur, Konsumsi dan
produksiyang bertanggung jawab, Ekosistem lautan, Ekosistem daratan dan
Kemitraan untuk mencapai tujuan.
Inklusif, tidak hanya dimaknai dari sisi penerima manfaat
pembangunan, namun dimaknai juga bagi pelaku pembangunan. Pelaku
pembangunan dalam mewujudkan TPB/SDGs bukan hanya pemerintah
(eksekutif dan legislatif) namun juga melibatkan filantropi dan pelaku
usaha, Akademisi dan Pakar, Organisasi Masyarakat Sipil bahkan Media.
Setiap unsur tersebut memiliki peran masing-masing namun saling terkait.
Pemerintah berperan dalam penyusunan kebijakan, pengalokasian anggaran
dan evaluasi terhadap program/kegiatan yang mendukung pencapaian
target TPB/SDGs. Organisasi Masyarakat Sipil memberikan advokasi,
membangun kesadaran masyarakat dan berperan sebagai mitra pemerintah
dalam pelaksanaan program/kegiatan yang mendukung pencapaian target
TPB/SDGs. Filantropi dan pelaku usaha berperan untuk melakukan
advokasi pada para pelaku usaha dan sektor bisnis. Peran akademisi
bertumpu pada pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat
mengupayakan terwujudnya pencapaian TPB/SDGs.
TPB/SDGs merupakan tanggung jawab bersama, bukan hanya
pemerintah saja, sehingga perlu peran serta aktif seluruh pihak dalam
4
fasilitasi, koordinasi, advokasi, sosialisasi dan diseminasi guna mewujudkan
sinergitas pencapaian TPB/SDGs. Pembagian pola peran menjadi sangat
penting dalam pelaksanaan TPB/SDGs, demikian halnya dengan
pembiayaan yang dialokasikan untuk perwujudan pencapaian TPB/SDGs
yang tidak hanya bersumber dari APBD namun juga sumber lainnya.
Pelaksanaan upaya pencapaian Tujuan pembangunan Berkelanjutan
atau Sustainable Development Goals (SDGs) dilakukan dengan sumber
pembiayaan dari berbagai pihak selain dari instansi pemerintah. Hal
tersebut sejalan dengan prinsip dalam papardigma baru pembangunan
berkelanjutan yaitu inklusif dan terintegrasi dan melibatkan aktor di luar
negara (non state actor).
1.2. Maksud dan Tujuan
1. Maksud
Maksud penyusunan laporan kinerja pelaksanaan tujuan
pembangunan berkelanjutan ini adalah memberikan informasi
berkaitan dengan kegiatan koordinasi yang telah dilaksanakan oleh
Tim Pelaksana Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Kota Salatiga
dalam rangka pencapaian target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan
di Kota Salatiga Tahun 2019.
2. Tujuan
a. Memberikan gambaran tentang kondisi pencapaian tujuan
pembangunan berkelanjutan di Kota Salatiga dan pelaksanaan
koordinasi dalam implementasi program dalam rangka pencapaian
target tujuan pembangunan berkelanjutan di Kota Salatiga.
b. Memberikan gambaran tentang perkembangan dan permasalahan
yang terjadi dalam pelaksanaan program dalam rangka pencapaian
target tujuan pembangunan berkelanjutan di Kota Salatiga.
c. Merumuskan saran tindak dalam rangka peningkatan efektivitas
kinerja organisasi Tim Pelaksana Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan Kota Salatiga dalam pelaksanaan tugasnya.
1.3. Landasan Hukum
1. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional.
5
2. Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2015.
3. Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2010 tentang Percepatan
Penanggulangan Kemiskinan.
4. Peraturan Presiden Nomor 2 tahun 2015 tentang perencana
pembangunan jangka menengah Nasional Tahun 2015-2019
5. Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan
Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.
6. Peraturan Daerah Kota Salatiga Nomor 6 Tahun 2010 Tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang daerah Kota Salatiga tahun 2005-2025.
7. Peraturan Daerah Kota Salatiga Nomor 1 Tahun 2018 Tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah daerah Kota Salatiga tahun 2017-
2022.
8. Keputusan Walikota Salatiga Nomor 050-05/263/2019 tentang Tim
Pelaksana, Kelompok Kerja dan Sekretariat Pelaksanaan Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan / Sustainable Development Goals
(TPB/SDGs).
1.4. Sistematika Laporan
Laporan kinerja TKPK tahun 2019 disusun dengan sistematika sebagai
berikut:
Bab I Pendahuluan, menguraikan tentang latar belakang, maksud dan
tujuan, landasan hukum dan sistematika laporan.
Bab II Pencapaian Pilar Pembangunan Sosial, berisi tentang kondisi
capaian Tujuan1, Tujuan 2, Tujuan 3, Tujuan 4, dan Tujuan 5.
Bab III Pencapaian Pilar Pembangunan Ekonomi, berisi tentang kondisi
capaian Tujuan 7, Tujuan 8, Tujuan 9, Tujuan 10, dan Tujuan 17.
Bab IV Pencapaian Pilar Pembangunan Lingkungan, berisi tentang kondisi
capaian Tujuan 6, Tujuan 11, Tujuan 12, Tujuan 13, Tujuan 14,
dan Tujuan 15
Bab V Pencapaian Pilar Pembangunan Hukum dan Tata Kelola, berisi
tentang kondisi capaian Tujuan 16.
Bab VI Penutup berisi Kesimpulan dan Rencana Tindak Lanjut.
6
BAB II PENCAPAIAN PILAR PEMBANGUNAN SOSIAL
2.1. Tujuan 1. Mengakhiri Segala Bentuk Kemiskinan
Angka Kemiskinan Kota Salatiga.
Kondisi Tingkat kemiskinan Kota Salatiga secara garis besar merujuk
pada Kinerja Penanggulangan Kemiskinan Daerah.
1. Tingkat Kemiskinan dan Jumlah Penduduk Miskin
Persentase penduduk miskin Kota Salatiga pada tahun 2018
sebesar 4,84% berada di bawah rata-rata capaian Jawa Tengah yaitu
sebesar 11,32%, sedangkan capaian rata-rata nasional sebesar
9,82%. Jika dibandingkan dengan capaian Nasional dan Jawa
Tengah, tingkat kemiskinan Kota Salatiga relatif masih lebih baik.
Kondisi tersebut bisa dilihat pada grafik 2.1 di bawah ini.
Grafik 2.1. Tingkat Kemiskinan (%)
Kota Salatiga, Provinsi Jawa Tengah dan Nasional Tahun 2018
Sumber: BPS Kota Salatiga 2018, diolah
Persentase penduduk miskin Kota Salatiga dalam kurun waktu
tahun 2014-2018 cenderung menurun. Perkembangan penduduk
miskin Kota Salatiga dapat dilihat pada grafik 2.2 di bawah ini.
7
Grafik 2.2. Perkembangan Tingkat Kemiskinan (%)
Kota Salatiga Tahun 2014 – 2018
Sumber: BPS Kota Salatiga 2018, diolah
Berdasarkan grafik di atas, tingkat kemiskinan Kota Salatiga
mengalami penurunan dari 5,07% pada tahun 2017 menjadi 4.84%
pada Tahun 2018. Hal ini sudah terlihat relevan (sejalan) dengan
Provinsi maupun Nasional. Tingkat relevansi kemiskinan Kota
Salatiga dapat dilihat pada gambar grafik 2.3 di bawah ini.
Grafik 2.3.
Relevansi Tingkat Kemiskinan (%) Kota Salatiga terhadap Provinsi dan Nasional
Sumber : BPS Kota Salatiga 2018, diolah
8
Dilihat dari sisi jumlahnya, penduduk miskin Kota Salatiga
pada tahun 2017 sebesar 9550 jiwa menurun menjadi 9240 jiwa
pada tahun 2018. Kondisi tersebut menurun jika dibandingkan
dengan tahun-tahun sebelumnya. Hal ini dapat dilihat pada grafik
2.4 perkembangan jumlah penduduk miskin di Kota Salatiga selama
lima tahun terakhir yaitu tahun 2014 - 2018 di bawah ini.
Grafik 2.4. Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin (jiwa)
Kota Salatiga Tahun 2014 – 2018
Sumber : BPS Kota Salatiga 2018, diolah
Sedangkan perbandingan jumlah penduduk miskin antara Kota
Salatiga, Provinsi Jawa Tengah dan Nasional dapat dilihat pada
grafik 2.5 berikut:
Grafik 2.5. Perbandingan Jumlah Penduduk Miskin (jiwa)
Kota Salatiga, Provinsi Jawa Tengah dan Nasional Tahun 2018
Sumber : BPS Kota Salatiga 2018, diolah
9
2. Garis Kemiskinan
Penduduk dikatakan miskin apabila memiliki rata-rata
pengeluaran per-kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan (GK).
Dalam menghitung GK, BPS melihat dari dua komponen yaitu Garis
Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan
(GKBM). Dalam menghitung GKM, BPS memberikan definisi bahwa
GKM adalah merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum
makanan yang disetarakan dengan 2.100 kkalori per kapita per hari.
Paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis
komoditi (padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu,
sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, dll).
Sedangkan GKBM adalah kebutuhan minimum untuk perumahan,
sandang, pendidikan, dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan
dasar non makanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan
47 jenis komoditi di perdesaan.
Tahun 2018, garis kemiskinan Kota Salatiga sebesar
Rp. 380.856,- dengan demikian lebih tinggi dari rata-rata garis
kemiskinan Provinsi Jawa Tengah yaitu sebesar Rp. 350,875,- dan
juga lebih tinggi dari garis kemiskinan nasional yaitu Rp. 383,908,-.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada grafik 2.6 di bawah ini.
Grafik 2.6.
Garis Kemiskinan (Rp) Kota Salatiga, Provinsi Jawa Tengah dan Nasional Tahun 2018
Sumber: BPS Kota Salatiga 2018, diolah
10
Garis kemiskinan menjadi ukuran yang paling berpengaruh
terhadap perubahan jumlah penduduk miskin. Kenaikan garis
kemiskinan jika tidak diikuti dengan peningkatan pendapatan
masyarakat maka akan berdampak pada kenaikan jumlah
penduduk miskin. Untuk itu perlu ada penekanan dalam
menghadapi tren atau kenaikan garis kemiskinan dengan
mendorong program dan kegiatan sektor riil yang menyentuh
langsung kepada masyarakat dengan kategori berpenghasilan
rendah. Tren garis kemiskinan Kota Salatiga dapat dilihat pada
grafik 2.7 di bawah ini.
Grafik 2.7
Perkembangan Garis Kemiskinan Kota Salatiga Tahun 2014 – 2018
Sumber : BPS Kota Salatiga 2018, diolah
3. Indeks Kedalaman Kemiskinan
Untuk mengukur kesenjangan pengeluaran masing – masing
penduduk miskin terhadap garis kemiskinan, dilihat dari Indeks
Kedalaman Kemiskinannya. Semakin kecil nilai Poverty Gap Index,
semakin besar potensi ekonomi untuk dana pengentasan
kemiskinan berdasarkan identifikasi karakteristik penduduk miskin
dan juga untuk target sasaran bantuan dan program. Indeks
Kedalaman Kemiskinan (P1) sebagai rata-rata kesenjangan
pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis
kemiskinan di Kota Salatiga pada tahun 2018 adalah sebesar 0,69.
Selengkapnya dapat dilihat pada gambar grafik 2.8 berikut ini.
11
Grafik 2.8. Indeks Kedalaman Kemiskinan
Kota Salatiga, Provinsi Jawa Tengah dan Nasional Tahun 2018
Sumber: BPS Kota Salatiga 2018, diolah
Pencapaian P1 Kota Salatiga dalam kurun waktu tahun 2014-
2018 terlihat fluktuatif, namun pada tahun 2018 mengalami
kenaikan yaitu sebesar 0,69. Untuk mengetahui perkembangan P1
Kota Salatiga tahun 2014-2018 dapat dilihat pada Grafik 2.9
dibawah ini
Grafik 2.9 Perkembangan Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1)
Kota Salatiga Tahun 2014 – 2018
Sumber : BPS Kota Salatiga 2018, diolah
Dilihat dari sisi kinerja penurunan indeks kedalaman
kemiskinan di Kota Salatiga tahun 2014-2018 pada tahun terakhir
12
terlihat mengalami kenaikan. Namun secara keseluruhan tingkat
kedalaman kemiskinan dari tahun 2014-2018 ada kecenderungan
mengalami penurunan. Efektivitas penurunan indeks kedalaman
kemiskinan Kota Salatiga dapat dilihat pada gambar grafik 2.10
berikut ini.
Grafik 2.10 Efektifitas Perkembangan Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1)
Kota Salatiga
Sumber : BPS Kota Salatiga 2018, diolah
Dari sisi relevansi penurunan indeks kedalaman kemiskinan
yang dicapai oleh Kota Salatiga terhadap capaian Provinsi dan
Nasional dapat dilihat pada grafik 2.11 di bawah ini.
Grafik 2.11 Relevansi Perkembangan Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1)
Kota Salatiga terhadap Provinsi dan Nasional
Sumber : BPS Kota Salatiga 2018, diolah
13
Berdasarkan pada gambar grafik di atas, indeks kedalaman
Kota Salatiga pada tahun 2018 lebih optimal bila dibandingkan
dengan pencapaian indeks kedalaman kemiskinan Provinsi Jawa
Tengah maupun Nasional.
4. Indeks Keparahan Kemiskinan
Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) memberikan gambaran
mengenai penyebaran pengeluaran di antara penduduk miskin.
Semakin tinggi nilai indeks, semakin tinggi ketimpangan
pengeluaran di antara penduduk miskin. Kondisi tahun 2018
indeks keparahan kemiskinan (P2) Kota Salatiga sebesar 0.13,
Provinsi Jawa Tengah 0.45 dan nasional sebesar 0.44. Jika
disandingkan dengan Provinsi Jawa Tengah, capaian Kota Salatiga
pada tahun 2018 masih lebih baik. Selengkapnya dapat dilihat
pada gambar grafik 2.12 di bawah ini.
Grafik 2.12 Indeks Keparahan Kemiskinan (P2)
Kota Salatiga, Provinsi Jawa Tengah dan Nasional Tahun 2018
Sumber : BPS Kota Salatiga 2018, diolah
Dalam kurun waktu tahun 2014-2018, capaian indeks
keparahan kemiskinan Kota Salatiga mengalami fluktuasi namun
mengalami perbaikan di Tahun 2018. Hal tersebut dapat dilihat
dari P2 Kota Salatiga pada Tahun 2017 yaitu 0.21 turun menjadi
0.13 pada Tahun 2018. Perkembangan Indeks Keparahan
14
Kemiskinan (P2) Kota Salatiga Tahun 2014 – 2018 dapat dilihat
pada gambar grafik 2.13 di bawah ini.
Grafik 2.13 Perkembangan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2)
Kota Salatiga Tahun 2014 – 2018
Sumber : BPS Kota Salatiga 2018, diolah
Pencapaian penurunan indeks keparahan kemiskinan (P2)
Kota Salatiga terlihat lebih optimal jika dilihat dalam kurun
waktu 2014-2018. Meskipun sempat mengalami kenaikan
fluktuaktif namun kecenderungannya mengalami penurunan.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar grafik 2.14 di
bawah ini.
Grafik 2.14 Efektifitas Indeks Keparahan Kemiskinan (P2)
Kota Salatiga
Sumber : BPS Kota Salatiga 2018, diolah
15
Adapun relevansi penurunan indeks keparahan kemiskinan
yang dicapai oleh Kota Salatiga terhadap tujuan provinsi dan
nasional dapat dilihat pada grafik 2.15 di bawah ini.
Grafik 2.15 Relevansi Efektifitas Perkembangan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2)
Kota Salatiga terhadap Provinsi dan Nasional
Sumber : BPS Kota Salatiga 2018, diolah
Pada grafik 2.15 di atas dapat dilihat capaian indeks
keparahan Kota Salatiga pada tahun 2018 mengalami perbaikan
lebih optimal. Bila dibandingkan dengan capaian P2 provinsi
Jawa Tengah dan capaian Nasional, capaian indeks keparahan
Kota Salatiga terlihat lebih baik atau signifikan.
Kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Jaminan Kesehatan Nasional adalah salah satu perubahan paradigma
dalam implementasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Universal
Health Care (UHC) merupakan salah satu isu strategis yang harus
dipenuhi oleh seluruh negara penandatangan kesepakatan tentang
Agenda Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development
Goals) pada 15 September 2015.
Universal Health Care (UHC) merupakan salah satu upaya untuk
meningkatkan cakupan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Dalam
upaya mencapai derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya,
sebagaimana tujuan pembangunan kesehatan, maka sejak tanggal 1
Januari 2014 pemerintah telah menetapkan Jaminan Kesehatan Nasional
bagi seluruh rakyat Indonesia secara bertahap hingga 1 Januari 2019.
16
Jaminan kesehatan ini merupakan pola pembiayaan yang bersifat
wajib, artinya pada tanggal 1 Januari 2019 seluruh masyarakat Indonesia
(tanpa terkecuali) harus telah menjadi peserta. Melalui Jaminan
Kesehatan Nasional, diharapkan tidak ada masyarakat Indonesia,
khususnya masyarakat miskin yang tidak berobat ke fasilitas pelayanan
kesehatan di kala sakit dengan alasan tidak memiliki biaya. Persentase
peserta menurut jenis jaminan kesehatan sebagai berikut:
Grafik 2.16 Persentase Peserta Menurut Jenis Jaminan Kesehatan
Di Kota Salatiga Tahun 2018
5,49
20,62 PBI APBN
21,78 PBI APBD
PPU
13,11 PBPU
BP 28,37
Sumber: Dinas Kesehatan, 2019
Pada gambar di atas diketahui bahwa peserta jaminan
kesehatan terdiri dari peserta jaminan kesehatan yang dijamin oleh
pemerintah dan mandiri. Berdasarkan data dari UPT Jaminan
Pelayanan Kesehatan Masyarakat peserta JKN sebanyak 173.052
jiwa terdiri dari:
1) Penerima Bantuan Iuran (PBI) APBN adalah peserta jaminan
kesehatan meliputi orang yang tergolong fakir miskin dan orang
tidak mampu yang dibayar oleh pemerintah melalui APBN
sebanyak 39.868 jiwa (20,62%).
2) PBI APBD adalah peserta PBI jaminan kesehatan meliputi orang
yang tergolong fakir miskin dan orang tidak mampu yang dibayar
oleh pemerintah daerah melalui APBD sebanyak 25.346 jiwa
(13,11%).
3) Pekerja Penerima Upah (PPU) adalah peserta jaminan kesehatan
yang terdiri dari PNS,TNI, POLRI, pejabat Negara, pegawai
pemerintah non PNS, dan pegawai swasta sebesar 54.860 jiwa
(28,37%).
17
4) Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU/Mandiri) adalah jaminan
kesehatan dengan peserta yang berasai dari pekerja luar
hubungan kerja atau pekerja mandiri termasuk warga negara
asing yang bekerja di Indonesia paling sedikit 6 (enam) bulan
sebanyak 42.113 jiwa (21,78%).
5) Bukan Pekerja (BP) adalah peserta jaminan kesehatan yang
terdiri dari investor, pemberi kerja, penerima pensiun, veteran,
dan perintis kemerdekaan sebanyak 10.611 jiwa (5,49%).
Akses penyandang cacat fisik dan mental, serta lanjut usia tidak
potensial terhadap jaminan sosial.
Salah satu parameter yang berkaitan dengan upaya pencapaian Tujuan
Pertama SDGs adalah Akses penyandang cacat fisik dan mental, serta
lanjut usia tidak potensial terhadap jaminan sosial. Merujuk pada
indikator tersebut, pada tahun 2018 akses penyandang cacat fisik dan
mental, serta lansia tidak potensial terhadap jaminan sosial mencapai
78%.
Implementasi Program Keluarga Harapan.
Program Keluarga Harapan (PKH) merupakan program yang menjadi
ikon dalam percepatan penanggulangan kemiskinan. Pada tahun 2019
per Februari 2019 tertuang dalam tabel berikut. Sedangkan cakupan
layanan mencapai 100%.
Tabel 2.1 Jumlah KPM Penerima PKH Kota Salatiga
(15 Februari 2019)
KELURAHAN JUMLAH KPM PENERIMA PKH
*PER 15 PEB 2019
1.Kel. Cebongan 96
2.Kel. Kumpulrejo 320
3.Kel. Ledok 127
4.Kel. Noborejo 268
5.Kel. Randuacir 197
6.Kel. Tegalrejo 121
1.Kel. Dukuh 291
2.Kel. Kalicacing 58
3.Kel. Kecandran 190
4.Kel. Mangunsari 269
1.Kel. Blotongan 241
2.Kel. Bugel 72
18
3.Kel. Kauman Kidul 34
4.Kel. Pulutan 120
5.Kel. Salatiga 164
6.Kel. Sidorejo Lor 268
1.Kel. Gendongan 56
2.Kel. Kalibening 57
3.Kel. Kutowinangun Kidul 81
4.Kel. Kutowinangun Lor 130
5.Kel. Sidorejo Kidul 143
6.Kel. Tingkir Lor 87
7.Kel. Tingkir Tengah 46
TOTAL 3436
Sumber: Dinas Sosial, 2019
Cakupan Persalinan di fasilitas kesehatan.
Upaya kesehatan ibu bersalin dilaksanakan dalam rangka mendorong
agar setiap persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih dan
dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan. Pertolongan persalinan
adalah proses pelayanan persalinan dimulai pada kala I sampai dengan
kala IV persalinan. Pencapaian upaya kesehatan ibu bersalin diukur
melalui indikator persentase persalinan ditolong tenaga kesehatan
terlatih (Cakupan Pn). Indikator ini memperlihatkan tingkat kemampuan
pemerintah dalam menyediakan pelayanan persalinan berkualitas yang
ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih.
Cakupan pertolongan oleh tenaga kesehatan sudah mencapai
100% (2.538 persalinan). Meskipun cakupan pertolongan persalinan
oleh tenaga kesehatan sudah mencapai target, namun angka
kematian ibu masih tinggi, hal ini karena penyebab kematian ibu
dipengaruhi oleh banyak faktor. Untuk mengetahui cakupan
pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan dapat dilihat pada
gambar di bawah ini.
19
Grafik 2.17 Cakupan Persalinan yang Ditolong Nakes
Kota Salatiga Tahun 2014-2018
Sumber: Dinas Kesehatan, 2019
Persentase Bayi (0-12 bln) yang mendapatkan imunisasi dasar
lengkap.
Tujuan program imunisasi adalah menurunkan angka kesakitan,
kematian dan kecacatan bayi, anak dan balita akibat penyakit PD3I
(Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi) seperti penyakit TBC,
Difteri, Pertusis, Tetanus, Polio Hepatitis B, Campak, dan pneumonia.
Bayi seharusnya mendapat imunisasi dasar lengkap yang terdiri dari
BCG 1 kali, DPT-HB-HiB 3 kali , Polio 4 kali, HB Uniject 1 kali dan
campak 1 kali. Sebagai indikator kelengkapan status imunisasi dasar
lengkap bagi bayi dapat dilihat dari hasil cakupan imunisasi campak,
karena imunisasi campak merupakan imunisasi yang terakhir yang
diberikan pada bayi umur 9 bulan dengan harapan imunisasi
sebelumnya sudah diberikan dengan lengkap (BCG, DPT-HB-Hib, Polio
dan HB). Cakupan imunisasi dasar lengkap bayi di Kota Salatiga dapat
dilihat pada gambar berikut :
20
Grafik 2.18 Imunisasi Dasar Lengkap Bayi
Tahun 2014-2018
Sumber: Dinas Kesehatan, 2019
Selain imunisasi rutin, program imunisasi juga melaksanakan
program imunisasi tambahan / suplemen yaitu bulan Imunisasi
Anak Sekolah (BIAS) DT, BIAS Campak yang diberikan pada semua
usia kelas 1 SD/MI/SDLB/SLB, Blacklog Fighting (melengkapi status
imunisasi).
Tabel 2.2. Cakupan bayi yang Mendapatkan Imunisasi dasar Lengkap
No Kecamatan Puskesmas Jumlah Bayi Imunisasi Dasar lengkap
L P L+P L % P % L+P %
1 2 3 4 5 6 25 26 27 28 29 30
1 Sidorejo Sidorejo Lor 327 314 641 384 117,43 335 106,69 719 112,17
2 Sidomukti Kalicacing 133 126 259 151 113,53 142 112,7 293 113,13
Mangunsari 154 146 300 199 129,22 212 145,21 411 137
3 Argomulyo Tegalrejo 206 221 427 228 110,68 242 109,5 470 110,07
Cebongan 168 139 307 206 122,62 156 112,23 362 117,92
4 Tingkir Sidorejo Kidul
298 299 597 348 116,78 338 113,04 686 114,91
Jumlah Kota 1.286 1.245 2.531 1516 117,8 1425 114,46 2941 116,2
Sumber: Dinas Kesehatan Kota Salatiga, 2019
21
Kepesertaan KB Aktif (Cakupan Peserta KB Aktif).
Keluarga Berencana yaitu suatu upaya yang berguna untuk
perencanaan jumlah keluarga dengan pembatasan yang bisa dilakukan
dengan penggunaan alat-alat kontrasepsi atau penanggulangan
kelahiran seperti kondom, spiral, IUD dan sebagainya. Cakupan peserta
KB aktif secara rinci seperti pada grafik sebagai berikut:
Grafik 2.19 Cakupan Peserta KB Aktif
Kota Salatiga Tahun 2014-2018
Akses Penduduk terhadap Air Minum Layak.
Adanya perubahan paradigma dalam pembangunan sektor air minum
dan penyehatan lingkungan dalam penggunaan prasarana dan sarana
yang dibangun, melalui Kebijakan Air Minum dan Penyehatan
Lingkungan yang ditandatangani oleh Bappenas, Kementerian
Kesehatan, Kementerian Dalam Negeri serta Kementerian Pekerjaan
Umum memberikan dampak cukup berarti terhadap penyelenggaraan
kegiatan penyediaan air bersih dan sanitasi khususnya di daerah.
Strategi pelaksanaan yang diantaranya meliputi penerapan pendekatan
tanggap kebutuhan, peningkatan sumber daya manusia, kampanye
kesadaran masyarakat, upaya peningkatan penyehatan lingkungan,
pengembangan kelembagaan dan penguatan sistem monitoring serta
evaluasi pada semua tingkatan proses pelaksanaan penyediaan Air
Bersih dan Sanitasi.
Jenis sarana akses air minum yang dipantau meliputi sumur
gali (SGL) Terlindung, SGL dengan Pompa, Sumur Bor dengan Pompa,
22
Terminal Air (TA), Mata Air Terlindung, penampungan Air Hujan (PAH),
Perpipaan BPSPAM. Tahun 2018 penduduk yang dapat mengakses air
minum layak sebesar 94,75% (183.238 penduduk) dari jumlah
penduduk 193.386. Proporsi jumlah penduduk pengguna jenis sarana
air minum terbanyak adalah perpipaan dan sumur gali.
Akses terhadap Sanitasi yang Layak. Capaian penduduk
dengan akses jamban sehat pada tahun 2018 sebesar 100%. Jenis
sarana sanitasi dasar yang dipantau sebagai akses jamban sehat
meliputi jamban komunal, leher angsa, plengsengan dan cemplung.
Gambar berikut adalah penduduk yang mengakses jamban sehat dari
tahun 2014-2018.
Grafik 2.20 Persentase Penduduk Mengakses Jamban Sehat
Tahun 2014-2018
2.2. Tujuan 2. Menghilangkan Kelaparan, Mencapai Ketahanan Pangan
dan Gizi yang Baik, serta Meningkatkan Pertanian Berkelanjutan
Ketersediaan Pangan Utama Beras merupakan salah satu parameter
untuk mencapai Tujuan 2 Pembangunan Berkelanjutan, yaitu
Menghilangkan kelaparan, Mencapai ke Mencapai Ketahanan Pangan dan
Gizi yang Baik, serta Meningkatkan Pertanian Berkelanjutan.
Secara garis besar tujuan 2 SDGs ini dibedakan dalam 2 (dua) aspek
yaitu: (1) Ketahanan Pangan dan Pertanian Berkelanjutan, dan (2)
Ketersediaan dan ketercukupan Gizi. Aspek Ketahanan Pangan dan
Pertanian Berkelanjutan tertuang dalam tabel berikut:
23
Tabel 2.3 Kondisi Eksisting Kondisi Pangan
Tahun 2018
Indikator Satuan Realisasi Tahun 2018
Ketersediaan Pangan Utama Beras ton 7.5 (Gabah Kering Giling)
Pola Pangan Harapan (PPH) Persen 91,2
Penguatan cadangan pangan persen 20
Presentase Penanganan Daerah Rawan Pangan
persen 30
Proporsi penduduk dengan asupan kalori minimum di bawah 1400 kkal/ kapita/hari
Skor 12
Sumber: Dinas Pangan Kota Salatiga, 2019
Selanjutnya aspek ketersediaan Gizi yang tercukupi, antara lain diukur
dengan indikator gizi buruk yang ditangani, prevalensi gizi buruk, bayi
yang mendapatkan ASI eksklusif, dan lain sebagainya.
Gizi Buruk (Prevalensi).
Kejadian gizi buruk perlu dideteksi secara dini melalui intensifikasi
pemantauan tumbuh kembang Balita di Posyandu, dilanjutkan dengan
penentuan status gizi oleh bidan di desa atau petugas kesehatan lainnya.
Penemuan kasus gizi buruk harus segera ditindak lanjuti dengan rencana
tindak yang jelas, sehingga penanggulangan gizi buruk memberikan hasil
yang optimal.
Pendataan gizi buruk di Jawa Tengah didasarkan pada 2 (dua)
kategori yaitu dengan indikator membandingkan berat badan dengan
umur (BB/U) dan kategori kedua adalah membandingkan berat badan
dengan tinggi badan (BB/TB). Skrining pertama dilakukan di Posyandu
dengan membandingkan berat badan dengan umur melalui kegiatan
penimbangan, jika ditemukan balita yang berada di bawah garis merah
(BGM) atau dua kali tidak naik (2T), maka dilakukan konfirmasi status
gizi dengan menggunakan indikator berat badan menurut tinggi badan.
Jika ternyata balita tersebut merupakan kasus gizi buruk, maka segera
dilakukan perawatan gizi buruk sesuai pedoman di Posyandu dan
Puskesmas. Jika ternyata terdapat penyakit penyerta yang berat dan
tidak dapat ditangani di Puskesmas maka segera dirujuk ke rumah sakit.
24
Balita gizi buruk mendapat perawatan adalah balita gizi buruk
yang ditangani di sarana pelayanan kesehatan dan atau di rumah oleh
tenaga kesehatan sesuai tata laksana gizi buruk. Perkembangan cakupan
balita gizi buruk yang mendapat perawatan tahun 2006 sampai dengan
tahun 2018 adalah sebesar 100 % kasus gizi buruk mendapat pelayanan.
Jumlah kasus gizi buruk tahun 2018 sebesar 4 kasus. Sedangkan selama
tahun 2017 ditemukan kasus baru gizi buruk sebesar 11 kasus dan di
akhir tahun 2018 masih terdapat 4 kasus gizi buruk. Tahun 2017
ditemukan kasus gizi buruk sebesar 11 kasus (3 kasus ditemukan di
tahun 2016, 8 kasus ditemukan di tahun 2017). Sampai dengan akhir
tahun 2017 masih terdapat 6 kasus gizi buruk.
Semua penderita gizi buruk di Kota Salatiga berhasil dirawat di
sarana pelayanan kesehatan karena pemberian KIE dari petugas gizi yang
berupaya menjelaskan dampak buruk balita penderita gizi buruk dan
cara penanggulangan. Selain itu juga adanya dukungan dana dari
pemerintah Kota Salatiga untuk mengurangi kasus gizi buruk berupa
pendampingan dalam bentuk pemberian makan bagi penunggu selama
dirawat dan PMT pasca perawatan selama 3 bulan (90 hari). Terkait
dengan hal tersebut, maka Prevalensi Gizi Buruk yang Kota Salatiga dari
tahun 2016 sebsear 0.04 persen, tahun 2017 sebesar 0,05 persen, dan
tahun 2018 sebesar 0,04 persen.
Persentase bayi usia kurang dari 6 bulan yang mendapat ASI
Eksklusif.
Air Susu Ibu (ASI) merupakan satu-satunya makanan yang sempurna
dan terbaik bagi bayi karena mengandung unsur-unsur gizi yang
dibutuhkan oleh bayi untuk pertumbuhan dan perkembangan bayi yang
optimal.
ASI adalah hadiah yang sangat berharga yang dapat diberikan
kepada bayi, dalam keadaan miskin merupakan hadiah satu-satunya,
dalam keadaan sakit mungkin merupakan hadiah yang menyelamatkan
jiwanya (UNICEF). Oleh sebab itu pemberian ASI perlu diberikan secara
eksklusif sampai umur 6 (enam) bulan dan tetap mempertahankan
pemberian ASI dilanjutkan bersama makanan pendamping sampai usia 2
(dua) tahun.
25
Kebijakan Nasional untuk memberikan ASI eksklusif selama 6
(enam) bulan telah ditetapkan dalam Keputusan Menteri Kesehatan No.
450/Menkes/SK/IV/2004 dan Peraturan Pemerintah RI Nomor 33 Tahun
2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif. ASI eksklusif adalah Air
Susu Ibu yang diberikan kepada bayi sejak dilahirkan selama 6 (enam)
bulan, tanpa menambahkan dan atau mengganti dengan makanan atau
minuman lain. Bayi yang mendapat ASI eksklusif adalah bayi yang hanya
mendapat ASI saja sejak lahir sampai usia 6 bulan di satu wilayah kerja
pada kurun waktu tertentu.
Pemberian ASI eksklusif bukan hanya isu nasional namun juga
merupakan isu global. Pernyataan bahwa dengan pemberian susu
formula kepada bayi dapat menjamin bayi tumbuh sehat dan kuat,
ternyata menurut laporan UNICEF (Feat About Breast Feeding)
merupakan kekeliruan fatal, karena meskipun insiden diare rendah pada
bayi yang diberi susu formula, namun pada masa pertumbuhan
berikutnya bayi yang tidak diberi ASI ternyata memiliki peluang yang
jauh lebih besar untuk menderita hipertensi, jantung, kanker, obesitas,
diabetes dan lain sebagainya.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Puskesmas capaian ASI
Eksklusif Kota Salatiga pada tiga tahun terakhir mengalami penurunan,
yaitu tahun 2018 sebesar 52,71% (1.273 dari 2.415 bayi), tahun 2017
sebesar 64,84% (474 dari 731 bayi), tahun 2016 sebesar 65,43% (528 dari
807 bayi). Berbagai upaya promosi tentang ASI Ekslusif telah dilakukan
oleh Dinas Kesehatan beserta jaringannya. Hal ini dapat dilihat dengan
berdirinya ruang-ruang laktasi di tempat-tempat kerja baik pemerintah
maupun swasta (perusahaan).
Cakupan ASI Eksklusif Kota Salatiga dapat dilihat pada gambar di bawah
ini:
26
Grafik 2.21 Cakupan ASI Eksklusif
Kota Salatiga Tahun 2014-2018
Sumber: Dinas Kesehatan, 2019 Beberapa hal yang menghambat pemberiaan ASI eksklusif
diantaranya adalah:
1. Masih kurangnya pengetahuan ibu dan keluarga lainnya
mengenai manfaat ASI dan cara menyusui yang benar.
2. Masih adanya faktor sosial budaya.
3. Adanya pemasaran susu formula.
Upaya-upaya yang telah dilaksanakan dalam rangka meningkatkan
cakupan pemberiaan ASI eksklusif tetap berpedoman pada Sepuluh
Langkah Menuju Keberhasilan Menyusui yaitu:
1) Sarana pelayanan Kesehatan mempunyai kebijakan
Peningkatan Pemberiaan Air Susu Ibu (PP-ASI) tertulis yang
secara rutin dikomunikasikan kepada semua petugas.
2) Melakukan pelatihan bagi petugas dalam hal pengetahuan
dan keterampilan untuk menerapkan kebijakan tersebut.
3) Menjelaskan kepada semua ibu hamil tentang manfaat
menyusui dan penatalaksana dimulai sejak masa kehamilan,
masa bayi lahir sampai umur 2 tahun termasuk cara
mengatasi kesulitan menyusui.
4) Membantu ibu menyusui bayinya dalam 30 menit setelah
melahirkan yang dilakukan di ruang bersalin (inisiasi dini).
27
Apabila ibu mendapat operasi caesar, bayi disusui setelah 30
menit ibu sadar.
5) Membantu ibu bagaimana cara menyusui yang benar dan cara
mempertahankan menyusui meski ibu dipisah dari bayi atas
indikasi medis.
6) Tidak memberikan makanan dan minuman apapun selain ASI
kepada bayi baru lahir.
7) Melaksanakan rawat gabung dengan mengupayakan ibu
bersama bayi 24 jam sehari.
8) Membantu ibu menyusui semau ibu, tanpa pembatasan
terhadap lama dan frekuensi menyusui.
9) Tidak memberikan dot atau kempeng bayi yang diberi ASI
10) Mengupayakan terbentuknya Kelompok Pendukung ASI (KP-
ASI) dan rujuk ibu kepada kelompok tersebut ketika pulang
dari rumah sakit, rumah bersalin atau sarana pelayanan
kesehatan.
Selain hal tersebut diatas, upaya yang dilakukan adalah dengan
melakukan sosialisasi agar di tempat-tempat kerja misalnya perkantoran
pemerintah maupun swasta, perusahaan, dan sebagainya agar
menyediakan ruang Menyusui /Laktasi
2.3. Tujuan 3. Menjamin Kehidupan yang Sehat dan Meningkatkan
Kesejahteraan Seluruh Penduduk Semua Usia
Angka Kematian Ibu
Kematian ibu adalah kematian wanita pada masa kehamilan,
persalinan sampai 42 hari setelah persalinan, baik sebagai akibat
langsung dari kehamilan atau persalinanya, maupun sebagai akibat tidak
langsung dari penyakit lain kecuali kecelakaan. Lebih 90% kematian ibu
disebabkan oleh penyebab langsung yaitu perdarahan, infeksi dan
eklamsia. Ketiga penyebab langsung kematian ibu ini disebut komplikasi
kebidanan (komplikasi obstetri).
Selain itu, persalinan lama (lebih dari 12 jam) dan pengguguran
kandungan (abortus terinfeksi) dapat berakibat perdarahan dan atau
infeksi. Kurang dari 10% kematian ibu disebabkan oleh penyebab tidak
langsung, misalnya penyakit yang sudah diderita ibu sejak sebelum hamil
atau penyakit lain yang diderita pada masa kehamilan. Keadaan gizi sejak
28
sebelum hamil, kehamilan yang terlalu sering/dekat, terjadi pada usia
terlalu muda atau tua dapat menambah risiko timbulnya gangguan.
Kematian ibu juga diwarnai oleh penyebab mendasar, yaitu rendahnya
status wanita, terutama di pedesaan, dan rendahnya tingkat pendidikan.
Di Kota Salatiga AKI tahun 2016-2018 berurut-turut,
157.05/100.000 KH (4 kasus), 236,87/100.000 KH (6 kasus), dan
117,60/100.000 KH (3 kasus). Penyebab kematian tahun 2016 yaitu
HHD, HELLP Syndrome, dan 2 lainnya disebabkan oleh emboli paru
sedangkan penyebab kematian ibu tahun 2017 adalah Pre Eklamsi Berat
(PEB) 2 kasus, Sepsis 2 kasus, Cardiomegali dan Udema pulmo 1 kasus,
Lupus 1 kasus. Sedangkan penyebab kematian pada tahun 2018 adalah
pre eklampsia berat.
Terdapat beberapa kendala dalam upaya menurunkan Angka
Kematian Ibu (AKI), antara lain sebagai berikut:
Kasus terlambat mengenali tanda bahaya dalam kehamilan masih
menjadi kendala berat yang dihadapi. Hal ini disebabkan karena
kurangnya pengetahuan keluarga tentang tanda bahaya dan
ketidakpahaman keluarga tentang proses rujukan sehingga
memperpanjang alur rujukan yang mengakibatkan klien terlambat
mendapatkan penanganan yang tepat.
Pergeseran trend dari hamil terlalu muda menjadi hamil terlalu tua,
hal ini menunjukkan bahwa kurang optimalnya pelayanan KB
Berkualitas dalam upaya mencegah terjadinya kehamilan 4T
(Terlalu Tua, Terlalu Muda, Terlalu Banyak dan Terlalu Dekat) dan
Kehamilan tidak diinginkan.
Kurang optimalnya Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) yang
diberikan pasien paska persalinan di rumah sakit.
Belum optimalnya jejaring rujukan khususnya feedback (rujukan
balik) dari rumah sakit ke fasilitas kesehatan yang merujuk.
Potensi dan tantangan dalam penurunan kematian ibu dan anak
adalah jumlah tenaga kesehatan yang menangani kesehatan ibu
khususnya bidan dan dokter spesialis obgyn sudah mencukupi jika
dibandingkan dengan sasaran ibu hamil, namun kepatuhan dalam
pemberian pelayanan kebidanan belum sesuai dengan Standar
Operasional dan Prosedur. Demikian juga secara kuantitas,
Salatiga telah memiliki Puskesmas PONED dan RS PONEK namun
29
belum diiringi dengan optimalisasi kualitas pelayanan. Pelaksanaan
serta evaluasi hasil rekomendasi Audit Maternal Perinatal (AMP)
juga belum dapat dilakukan secara optimal.
Perlu ditingkatkan upaya promosi kesehatan antara lain dalam
pengenalan resiko tinggi dan tanda bahaya dalam kehamilan tidak
hanya kepada ibu hamil saja tetapi juga kepada keluarga. Hal ini
dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan saat melakukan konseling
kesehatan pra nikah, pelayanan antenatal care maupun melalui
kader kesehatan yang dapat disisipkan saat penyuluhan di
lapangan. Selain itu pengoptimalisasian dan monitoring evaluasi
pendampingan ibu hamil oleh kader kesehataan harus dilakukan
secara berkesinambungan.
Selanjutnya terdapat berbagai upaya yang telah dilakukan untuk
menekan Angka Kematian Ibu antara lain :
Upaya Deteksi Dini Resiko Tinggi dan pendampingan pada
kehamilan, pesalinan dan nifas oleh kader dan tenaga kesehatan
mengalami peningkatan yang signifikan. Meskipun masih ada
beberapa resiko tinggi yang tidak terdeteksi dan tidak terdampingi.
Kondisi tersebut antara lain disebabkan beberapa faktor antara lain
karena kehamilan tidak diinginkan, kondisi ekonomi maupun
kondisi psikologis klien.
Keberhasilan Manajemen Resiko Tinggi di Masyarakat melalui
Program Kelompok Sayang Ibu, Pendampingan Ibu Hamil Resti oleh
Anggota Dasawisma dan Pendampingan Ibu Hamil Resti oleh
Mahasiswa Kebidanan.
Cakupan Pertolongan Persalinan Tenaga Kesehatan.
Upaya kesehatan ibu bersalin dilaksanakan dalam rangka mendorong
agar setiap persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih dan
dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan. Pertolongan persalinan
adalah proses pelayanan persalinan dimulai pada kala I sampai dengan
kala IV persalinan. Pencapaian upaya kesehatan ibu bersalin diukur
melalui indikator persentase persalinan ditolong tenaga kesehatan terlatih
(Cakupan Pn). Indikator ini memperlihatkan tingkat kemampuan
30
pemerintah dalam menyediakan pelayanan persalinan berkualitas yang
ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih.
Cakupan pertolongan oleh tenaga kesehatan sudah mencapai 100%
(2.538 persalinan). Meskipun cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga
kesehatan sudah mencapai target, namun angka kematian ibu masih
tinggi, hal ini karena penyebab kematian ibu dipengaruhi oleh banyak
faktor. Untuk mengetahui cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga
kesehatan dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Grafik 2.22 Cakupan Persalinan yang Ditolong Nakes
Kota Salatiga Tahun 2014-2018
Sumber : Dinas Kesehatan, 2019
Angka Kematian Balita (AKBa).
Angka Kematian Balita (AKABA) adalah jumlah kematian Balita 0-5 tahun
per 1000 kelahiran hidup dalam kurun waktu satu tahun. AKABA
menggambarkan tingkat permasalahan kesehatan pada balita, pelayanan
Kesehatan Ibu dan Anak, pelayanan Posyandu, dan tingkat keberhasilan
program KIA/Posyandu serta faktor kondisi sanitasi lingkungan.
AKABA tahun 2018 sebesar 9,80 per 1.000 KH (25 kasus), tahun
2017 sebesar 16,38 per 1.000 KH (42 kasus), dan tahun 2016 sebesar
16,10 per 1.000 KH (41 kasus). Terjadi penurunan kasus pada tahun
2018 sebagaimana AKB dan AKN.
Banyak faktor yang menyebabkan kematian balita, namun beberapa
penyebab utama adalah keterlambatan mengakses pelayanan kesehatan.
Keterlambatan ini sebagian besar disebabkan karena kurangnya
31
pengetahuan orang tua tentang tanda bahaya pada balita. Upaya yang
perlu dilakukan adalah sosialisasi manajemen balita sakit.
Cakupan Pelayanan Kesehatan Bayi.
Pelayanan kesehatan bayi termasuk salah satu dari beberapa indikator
yang bisa menjadi ukuran keberhasilan upaya peningkatan kesehatan
bayi dan balita. Pelayanan kesehatan bayi ditujukan pada bayi usia 29
hari sampai dengan 11 bulan dengan memberikan pelayanan kesehatan
sesuai dengan standar oleh tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi
klinis kesehatan (dokter, bidan, perawat) minimal 4 kali, yaitu pada usia
29 hari-2 bulan, 3-5 bulan, 6-8 bulan dan 9-12 bulan sesuai standar di
satu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu.
Pelayanan yang diberikan terdiri dari penimbangan berat badan,
pemberian imunisasi dasar (BCG, DPT/HB1-3, Polio 1-4, dan campak),
Stimulasi Deteksi Intervensi Dini Tumbuh Kembang (SDIDTK) bayi,
pemberian vitamin A pada bayi, dan penyuluhan perawatan kesehatan
bayi serta penyuluhan ASI Eksklusif, pemberian makanan pendamping
ASI (MP-ASI) dan lain-lain.
Cakupan pelayanan kesehatan bayi dapat menggambarkan upaya
pemerintah dalam meningkatkan akses bayi untuk memperoleh
pelayanan kesehatan dasar, mengetahui sedini mungkin adanya kelainan
atau penyakit, pemeliharaan kesehatan dan pencegahan penyakit serta
peningkatan kualitas hidup bayi. Cakupan pelayanan kesehatan bayi
tahun 2018 sebesar 89,85%.
Angka kematian Bayi (AKB).
Angka Kematian Bayi (AKB) adalah jumlah kematian bayi (0-11 bulan) per
1.000 kelahiran hidup dalam kurun waktu satu tahun. AKB
menggambarkan tingkat permasalahan kesehatan masyarakat yang
berkaitan dengan faktor penyebab kematian bayi, tingkat pelayanan
antenatal, status gizi ibu hamil, tingkat keberhasilan program KIA dan
KB, serta kondisi lingkungan sosial ekonomi.
AKB di Kota Salatiga tahun 2018 sebesar 7,84/1.000 KH (20 kasus),
tahun 2017 sebesar 15,00/1.000 KH (38 kasus), dan tahun 2016 sebesar
15,31/1.000 KH (39 kasus). Angka kematian bayi menurun selama tiga
tahun terakhir seperti juga angka kematian neonatal. Dari kasus
32
kematian bayi yang telah dilakukan audit ditemukan bahwa kondisi bayi
yang dilahirkan berkaitan erat dengan riwayat dan kondisi ibu sejak
hamil, penatalaksanaan persalinan atau bahkan penyakit penyerta/
kelainan bawaan pada bayi.
Faktor–faktor yang mempengaruhi kematian bayi tersebut, antara
lain:
Masih banyaknya kasus kehamilan yang tidak diinginkan (KTD) baik
faktor gagal KB maupun kehamilan pra nikah. Hal tersebut
disebabkan karena kurang optimalnya pelaksanaan pelayanan
kesehatan reproduksi remaja.
Penyebab kematian bayi masih didominasi oleh Asfiksia dan BBLR
Kasus asfiksia terjadi erat hubungannya dengan proses persalinan
yang tidak sesuai dengan prosedur. Sehingga dapat dikatakan
bahwa faktor ketidakpatuhan petugas dalam menjalankan prosedur
tidak terpenuhi sehingga penanganan kepada pasien tidak optimal.
Selain itu beberapa kasus kematian di Rumah sakit adalah rujukan
dari pelayanan kesehatan primer, sehingga perlu diperhatikan pula
upaya stabilisasi bayi menuju ke fasilitas rujukan, kondisi bayi saat
tiba di fasilitas rujukan serta sistem rujukan yang berlaku. Kondisi
bayi saat tiba di fasilitas rujukan mempengaruhi besarnya peluang
bayi untuk dapat diselamatkan. Dengan demikian perlu ditingkatkan
pemahaman petugas kesehatan, serta sarana dan prasarana di
fasilitas pelayanan dasar.
Sedangkan Untuk kasus BBLR, banyak faktor yang mempengaruhi
antara lain masih banyaknya ibu hamil KEK dan anemi, umur saat
hamil, jumlah paritas serta penyakit penyerta pada ibu seperti asma,
hipertensi, dll.
Hal tersebut diatas terjadi akibat dari kurangnya konseling pra
nikah yang dilakukan oleh petugas dan juga skrening pra
kehamilan.
Terkait dengan hal tersebut, terdapat beberapa langkah dan
upaya yang dilakukan guna menurunkan AKB antara lain:
Meningkatkan peran lintas program dalam upaya promosi kesehatan
dalam bidang KIA, terutama dalam hal konseling pra nikah, skrening
33
awal pra kehamilan serta pendidikan kesehatan reproduksi pada
remaja.
Meningkatkan dukungan lintas sektor, khususnya di sektor agama,
dengan melakukan promosi penundaan usia nikah dan konseling
pra nikah secara komprehensif.
Meningkatkan dukungan lintas sektor khususnya di sektor
pendidikan, dengan cara mengintegrasikan materi kesehatan
reproduksi dalam muatan lokal/ kurikulum pendidikan.
Dengan demikian diharapkan akan terjadi penurunan AKB,
seiring dengan upaya-upaya yang dilakukan. Gambaran AKB tahun
2014-2018 dapat dillihat pada gambar dibawah ini.
Grafik 2.23. Angka Kematian Bayi Kota Salatiga Tahun 2014-2018
2500
2000
1500
1000
500 15,15 13,04 15,31 15 7,84
0
2014 2015
2016 2017
2018
Sumber: Dinas Kesehatan, 2019
Cakupan Kelurahan UCI.
Desa atau Kelurahan UCI adalah desa/kelurahan di mana minimal
85% dari jumlah bayi yang ada di desa/ kelurahan tersebut sudah
memperoleh imunisasi dasar lengkap. Imunisasi dasar lengkap pada
bayi (0-11 bulan) meliputi : 1 dosis BCG, 3 dosis DPT, 4 dosis polio, 3
dosis Hepatitis B dan 1 dosis campak. Cakupan kelurahan UCI di
Kota Salatiga sejak tahun 2010 sampai 2018 seluruhnya sebanyak 23
kelurahan merupakan kelurahan UCI.
34
Keberhasilan Kota Salatiga mencapai UCI 100% didukung oleh
beberapa elemen baik lintas program maupun lintas sektor, antara
lain:
Koordinasi rutin bulanan antara pengelola program di Dinas
Kesehatan, Bidan Koordinator dan Koordinator Imunisasi
menunjang pengumpulan dan validasi data sasaran dan cakupan
imunisasi antar puskesmas.
Dukungan PKK dalam sosialisasi baik imunisasi rutin maupun
imunisasi tambahan kepada masyarakat sangat membantu peran
aktif sasaran untuk mendapatkan pelayanan imunisasi.
Pemberian piagam imunisasi bagi bayi yang sudah mendapatkan
imunisasi lengkap merupakan reward atas partisipasi
masyarakat terhadap keberhasilan imunisasi.
Kejadian Malaria per 1000 orang.
Malaria merupakan salah satu penyakit menular yang masih menjadi
masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Kota Salatiga malaria
meskipun tidak termasuk daerah endemis, namun kasus masih
banyak ditemukan penyakit malaria. Kasus malaria tahun 2018
sebesar 18 kasus (API: 0,09/1.000 pdd) menurun jika dibandingkan
tahun 2017 sebesar 84 kasus (API: 0,45/1.000 pdd).
Kasus malaria yang ditemukan sebagian besar merupakan
kasus yang di bawa dari daerah endemis. Oleh karena itu perlu
diwaspadai sumber penularan dan peta wilayah kasusnya, sehingga
penularan di wilayah Salatiga dapat dicegah sedini mungkin. Gambar
menunjukan jumlah kasus malaria dari tahun 2012-2018, sebagai
berikut:
35
Grafik 2.24 Jumlah Kasus Malaria di Kota Salatiga Tahun 2014-2018
Sumber : Dinas Kesehatan 2019
Presentase HIV AIDs ditangani.
Sesuai kebijakan program pencegahan dan pemberantasan penyakit
HIV/AIDS, seluruh penderita HIV/AIDS harus mendapatkan
pelayanan sesuai standar. Tata laksana penderita HIV/AIDS meliputi
Voluntary Counseling Testing (VCT) yaitu tes konseling secara
sukarela, perawatan orang sakit dengan HIV/AIDS, pengobatan Anti
Retroviral (ARV), pengobatan infeksi oportunistik, dan rujukan kasus
spesifik.
Tahun 2018 ditemukan kasus baru penderita HIV/AIDS
sebesar 20 kasus, tahun 2017 sebesar 20 kasus, dan tahun 2016
ditemukan sebesar 18 kasus. Keseluruhan (100%) kasus HIV/AIDS di
Kota Salatiga yang ditemukan tersebut sudah mendapatkan
penanganan sesuai standar.
Succes Rate TB (Angka Keberhasilan Pengobatan).
Succes Rate TB (Angka Keberhasilan Pengobatan) Angka kesembuhan
adalah angka yang menunjukkan presentase seluruh pasien baru TB
yang menyelesaikan pengobatan (baik yang sembuh maupun
pengobatan lengkap) sebanyak 179 pasien diantara pasien baru TB
yang tercatat dan diobati sebanyak 187 pasien.
36
Prevalensi hipertensi penduduk usia >18.
Capaian prevalensi hipertensi penduduk usia >18 tahun pada Tahun
2018 sebesar 1,13%, angka tersebut diperoleh dari jumlah penduduk
usia >18 tahun yang menderita hipertensi sebanyak 1.621 orang
dibanding total jumlah penduduk usia >18 tahun di Kota Salatiga
sebanyak 143.468.
Angka Penemuan Kasus Baru Kusta per 100.000 Penduduk.
Penyakit kusta atau lepra disebabkan oleh bakteri Mycrobacterium
leprae. Bakteri ini mengalami proses pembelahan cukup lama antara
2-3 minggu. Daya tahan hidup kuman kusta mencapai 9 hari di luar
tubuh manusia. Kuman kusta memiliki masa inkubansi 2-5 tahun
bahkan bisa lebih dari 5 tahun. Penatalaksanaan kasus yang buruk
dapat menyebabkan kusta menjadi progresif, menyebabkan
kerusakan permanen pada kulit, saraf, anggota gerak dan mata.
Tahun 2018 terdapat kasus baru sebanyak 5 kasus seluruhnya
kaus kusta type Multi Basiler/MB (basah). Tahun 2017 kasus baru
kusta sebanyak 7 kasus yang terdiri dari kasus kusta type Pausi
Basiler/PB (kering) sebanyak 4 kasus dan Multi Basiler/MB (basah)
sebanyak 3 kasus. Tahun 2016 kasus baru sebanyak 8 kasus yang
terdiri dari kasus kusta kering (Pausi Basiler) sebanyak 5 kasus dan
kusta basah (Multi Basiler) sebanyak 3 kasus. Dalam tiga tahun
terakhir penemuan kasus baru kusta semakin menurun. Di wilayah
Provinsi Jawa Tengah Kota Salatiga termasuk katagori beban rendah
dengan angka NCDR sebesar 2,59 per 100.000 penduduk. Sedangkan
prevalensi penyakit kusta tahun 2018 di Salatiga sebesar
0,26/10.000 penduduk. Penderita kusta yang ditemukan, semua
menyelesaikan pengobatan, Release From Treatment (RFT) 100%.
Peserta KB Aktif.
Keluarga Berencana yaitu suatu upaya yang berguna untuk
perencanaan jumlah keluarga dengan pembatasan yang bisa
dilakukan dengan penggunaan alat-alat kontrasepsi atau
penanggulangan kelahiran seperti kondom, spiral, IUD dan
sebagainya. Cakupan peserta KB aktif secara rinci seperti pada grafik
sebagai berikut:
37
Grafik 2.25.
Cakupan Peserta KB Aktif Kota Salatiga Tahun 2014-2018
100 82,59
77,88 83,42
75,57
80
Ca
ku
pa
n
60 55,81
40
20
0
2014 2015 2016 2017 2018
tahun
2.4. Tujuan 4. Menjamin Kualitas Pendidikan yang Inklusif
Dalam upaya mewujudkan visi pembangunan nasional, penerapan
konsep pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan merupakan suatu
keharusan. Pengembangan Sumber Daya Manusia berkualitas,
penguasaan sains dan teknologi dan bagaimana pendidikan memberi
kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi merupakan dasar pijakan.
Dalam pembangunan pendidikan nasional itu sendiri juga terdapat
sejumlah tantangan, isu dan permasalahan.
Di dalam rangka melaksanakan pembangunan pendidikan
dalampembangunan nasional maka diantaranya harus berpegang pada
asas kepedulian. Pembangunan pendidikan nasional pada satu sisi
diharapkan tidak merugikan kepentingan dan pemenuhan kebutuhan
generasi yang akan datang dan pada sisi lain diharapkan dapat mencapai
hasil sesuai dengan tujuan pembangunan serta perwujudan visi nasional.
Agar kepentingan dan pemenuhan kebutuhan generasi yang akan
datang masih tetap terpelihara dan terpenuhi maka penerapan prinsip
dan konsep pembangunan berkelanjutan menjadi hal yang perlu
diperhatikan. Oleh karena itu, pembangunan pendidikan dalam konteks
pembangunan nasional menuju terwujudnya bangsa Indonesia yang
mandiri dan berdaya saing tinggi harus mempertimbangkan isu dan
permasalahan terkait dan menggunakan dasar kontekstual, teoritis dan
hasil studi. Agar tercipta modal sosial yang dapat membentuk pemikiran
kritis dalam rangka mencapai keberhasilan pembangunan nasional ini
38
maka diperlukan pula kebijakan dan strategi memperluas kesempatan
guna memperoleh pendidikan berkualitas yang inklusif dan
berkelanjutan.
Secara filosofis, inklusi adalah pemahaman atau cara berpikir yang
didadasarkan pada prinsip keadilan sosial. Dalam konteks pendidikan,
inklusi merujuk kepada keadilan dalam mengakses atau memperoleh
kesempatan pendidikan bagi setiap warga masyarakat yang mempunyai
latar belakang berbeda. Kata inklusi mengandung unsur pokok antara
lain: Sikap positif atau inklusif terhadap anak-anak yang memiliki
kelainan; Rasa efisiensi yang tinggi terhadap pembelajaran; serta
Kemauan dan kemampuan melakukan adaptasi terhadap pengajaran
berdasarkan kebutuhan dan kelainan individu.
Terkait dengan hal tersebut, maka kondisi eksisting parameter dan
indiktor yang relevan dengan Tujuan 4 Menjamin Kualitas Pendidikan
yang Inklusif, tertuang dalam tabel berikut:
Tabel 2.4 Kondisi Eksisting Indikator Tujuan 4 SDGs
Indikator Satuan Realisasi
Tahun 2017 Tahun 2018
Persentase SD/MI berakreditasi minimal B.
Persen 98.13% 99.66%
Persentase SMP/MTs berakreditasi minimal B.
Persen 93.33% 100%
Persentase SMA/MA berakreditasi minimal B
Persen 88.88% 100%
Angka Partisipasi Kasar (APK) SD/MI/sederajat
Persen 114,2 140,65
Angka Partisipasi Kasar (APK) SMP/MTs/sederajat
Persen 139,5 136,22
Angka Partisipasi Kasar (APK) SMA/SMK/MA/sederajat.
Persen 191,9 147,85
Angka Partisipasi Kasar (APK) Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)
Persen 75,28 76,46
Angka Partisipasi Kasar (APK) A/SMK/MA/sederajat.
Persen 191,9 151
Rasio Angka Partisipasi Murni (APM) perempuan/laki-laki di SD/MI/sederajat
Rasio 1,002 0,98
Rasio Angka Partisipasi Murni (APM) perempuan/laki-laki di SMP/MTs/sederajat
Rasio 0,968 0,99
39
Rasio Angka Partisipasi Murni (APM) perempuan/laki-laki di SMA/SMK/MA/sederajat
Rasio 0,973 0,92
Prosentase Penduduk Melek Huruf
Persen 99,1 99,1
Persentase Ruang Kelas Dalam Kondisi Baik (PAUD)
Persen 90,24 87,78
Persentase Kelas dalam Kondisi Baik (SD/MI)
Persen 78,36 79,64
Persentase Kelas dalam Kondisi Baik (SMP/MTs)
Persen 84,77 88,91
Persentase guru layak mengajar PAUD
Persen 74,12 80,43
Persentase guru layak mengajar SD/ MI
Persen 93,41 94,52
Persentase guru layak mengajar SMP/ MTs
Persen 93,5 94,47
Sumber: Dinas Pendidikan Kota Salatiga, 2019
2.5. Tujuan 5. Mencapai Kesetaraan Gender
Perencanaan Anggaran Responsif Gender.
Dalam rangka implementasi PPRG tahun 2018, Pemerintah Kota Salatiga
telah menetapkan Peraturan Walikota Salatiga Nomor 34 Tahun 2017
tentang Pedoman Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2018 yang di dalamnya
memuat ketentuan yang mewajibkan bagi OPD yang telah dilatih PPRG
untuk membuat DPA yang responsif gender dengan dilampiri : Gender
Analisys Pathway (GAP); Gender Budget Statement (GBS); dan Kerangka
Acuan Kerja (KAK).
Sebagai tindak lanjut terhadap Peraturan Walikota tersebut diatas,
melalui 900/148/502 tanggal 28 Maret 2018 tentang Perencanaan dan
Penganggaran Responsif Gender (PPRG) pada seluruh Organisasi
Perangkat Daerah yang di dalamnya mewajibkan setiap OPD untuk
menyusun PPRG pada tahun anggaran 2018, melalui analisis gender
dituangkan dalam sebuah Alur Kerja Analisis Gender (Gender Analysis
Pathway/GAP). Hasil GAP agar diintegrasikan ke dalam Renja OPD yang
selanjutnya hasil GAP tersebut juga dituangkan dalam Pernyataan
Anggaran Gender (Gender Budget Statemen/GBS) yang digunakan
sebagai dasar penyusunan Kerangka Acuan Kerja (KAK) dan menjadi
bagian yang tidak terpisahkan dari RKA OPD Responsif Gender.
40
Pada tahun 2018 implementasi PPRG di OPD adalah sebagai
berikut :
Jumlah program sebanyak 43 program dengan jumlah kegiatan
sebanyak 53 kegiatan yang tersebar di 31 OPD dengan total anggaran
sebesar Rp. 48. 553.807.000,- (empat puluh delapan milyar lima
ratus lima puluh tiga juta delapan ratus tujuh ribu rupiah).
Terdapat 1 OPD yang tidak melakukan PPRG pada tahun 2018 yaitu
Sekretariat Daerah.
Dengan demikian, maka seluruh OPD telah menerapkan Perencanaan
Penganggaran Responsif Gender (PPRG)
41
BAB III PENCAPAIAN PILAR PEMBANGUNAN EKONOMI
3.1. Tujuan 7. Menjamin Akses Energi Yang Terjangkau, Andal,
Berkelanjutan, dan Modern
Peningkatan konsumsi energi yang berhadapan dengan ketersediaan
akan berbanding lurus dengan tingginya tingkat kompetisi dalam
mendapatkan sumber energi tersebut khususnya diantara negara-negara
industri maju. Tingginya tingkat kompetisi dalam memperebutkan
sumber energi sangat rentan menimbulkan konflik. Konflik akan menjadi
resiko mengingat energi merupakan factor krusial dari perkembangan
teknologi dan pembangunan ekonomi. Pengelolaan Energi merupakan isu
strategis yang senantiasa mewarnai dalam diskursus masalah
lingkungan. Pada satu sisi, pihak yang ingin melestarikan lingkungan
berpendapat konsumsi energi yang diperlukan untuk pertumbuhan
ekonomi menghasilkan produk sampingan yang berbahaya bagi
lingkungan hidup
Penggunaan energi memiliki potensi yang sangat tinggi untuk
mengentaskan kemiskinan. Tanpa listrik, perempuan dan anak
perempuan harus menghabiskan waktu berjam-jam untuk mengambil
air, klinik kesehatan tidak bisa menyimpan vaksin, anak-anak tidak bisa
mengerjakan pekerjaan rumah di malam hari, pengusaha kurang
kompetitif, dan negara tidak bisa menggerakkan ekonomi. Akses kepada
energi sangat penting dalam melawan kemiskinan” (Sri Mulyani, 2015).1
Selanjutnya, Sri Mulyani (2015) mengatakan bahwa energi yang kita
gunakan haruslah efisien, berkelanjutan dan terbarukan. Pentingnya
konsep efisien, berkelanjutan dan terbarukan ini tidak lepas dari
kesadaran akan ancaman bahaya pemanasan global, efek rumah kaca
dan perubahan iklim. Penggunaan energi bersumber bahan bakar fosil
menghasilkan gas rumah kaca berupa CO2 yang mengakibatkan
1 Indrawati, Sri Mulyani., 2015,. Energi dan Pembangunan Berkelanjutan: Berikutnya Apa? Pidato dan Transkrip dalam International Student Energy Summit Bali, Indonesia Tahun 2015, 30 Oktober 2017 http://www.worldbank.org/in/news/speech/2015/06/10/energy-and-sustainable-development-whats-next
42
perubahan iklim. Sebagai negara kepulauan Indonesia sangat rentan
terhadap bencana terkait pemanasan global dan perubahan iklim. 2
Dalam implementasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, maka
parameter atau tolok ukur dari Tujuan 7 Menjamin Akses Energi yang
Terjangkau, Berkelanjutan, dan Modern, kondisi ekssitirng tertuang
dalam tabel berikut:
Tabel 3.1
Kondisi Eksisting Indikator Tujuan 7 SDGs Kota Salatiga Tahun 2018
No Indikator SDGs Kota Satuan
Realisasi 2018
Penangung-jawab Sumberdata
1 Rasio elektrifikasi Persen 98,24 PLN
2 Tingkat Konsumsi Listrik KWH 126.934.190 PLN
3 Rasio penggunaan gas rumah tangga
Persen 89 BPS
Sumber: Diolah dari data primer, 2019
Merujuk pada tabel tersebut dapat dikatakan bahwa sebagian besar
wilayah Kota salatiga telah teraliri listrik yaitu sekita 98,24%, dengan
tingkat konsumsi listrik per KWH sebesar 35.135.734 KWH. Hal ini
menujukkan bahwa di Kota Salatiga pemenuhan akan hak warga negara
atas energi yang murah dan terjangkau maupun akses terhadap listrik
secara mayoritas sudah terpenuhi.
3.2. Tujuan 8. Meningkatkan Pertumbuhan Ekonomi yang Inklusif dan
Berkelanjutan.
Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
Salah satu indikator penting untuk mengetahui perkembangan
perekonomian suatu daerah dalam suatu periode dapat digambarkan
dari Data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Analisis
Pertumbuhan PDRB merupakan salah satu pendekatan yang dapat
digunakan untuk melihat perkembangan kesejahteraan masyarakat dari
sudut pandang ekonomi. Melalui dinamika dari berbagai kegiatan
ekonomi yang ada, akan dapat diidentifikasi karakteristik wilayah
2 Indrawati, Sri Mulyani., 2015,. Energi dan Pembangunan Berkelanjutan: Berikutnya Apa? Pidato dan Transkrip dalam International Student Energy Summit Bali, Indonesia Tahun 2015, 30 Oktober 2017 http://www.worldbank.org/in/news/speech/2015/06/10/energy-and-sustainable-development-whats-next
43
berikut potensi-potensi dan kelemahan yang memerlukan perhatian
demi kemajuan wilayah yang semakin baik dimasa mendatang.
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan salah satu
indikator untuk mengetahui kondisi ekonomi di suatu wilayah dalam satu
periode tertentu. PDRB pada prinsipnya merupakan jumlah nilai tambah
yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu daerah tertentu
atau jumlah nilai barang dan jasa yang dihasilkan oleh seluruh unit
ekonomi. Perhitungan PDRB dilakukan atas dasar harga berlaku (PDRB
ADHB) dan Atas Dasar Harga Konstan (PDRB-ADHK). PDRB ADHB
menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung dengan
menggunakan harga pada setiap tahun. PDRB ADHB dapat digunakan
untuk melihat pergeseran struktur ekonomi.
PDRB atas dasar harga konstan menunjukan nilai tambah
barang dan jasa tersebut yang dihitung menggunakan harga yang
berlaku pada satuan tahun tertentu sebagai tahun dasar. PDRB
menurut lapangan usaha atas dasar harga konstan 2010 Kota Salatiga
di dominasi oleh sektor industri pengolahan dan perdagangan besar dan
eceran, reparasi mobil dan sepeda motor. PDRB Kota Salatiga meningkat
dari tahun 2016 sebesar 8,163,940.76 juta rupiah menjadi 8.589.009
juta rupiah pada tahun 2017. Secara lengkap data PDRB Kota Salatiga
tahun 2015-2017sebagai berikut:
Tabel 3.2 Nilai PDRB Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2010
Kota Salatiga Tahun 2015-2017 (dalam juta rupiah)
Kategori Uraian 2015 2016 2017
A Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan
376,804.16 385,340.32 396,177.76
B Pertambangan dan Penggalian 3,358.23 3,357.52 3,356.55
C Industri Pengolahan 2,321,817.06 2,410,894.81 2,498,325.94
D Pengadaan Listrik dan Gas 17,936.17 19,079.53 19,772.22
E Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang
6,571.97 6,676.40 6,875.99
F Konstruksi 1,066,758.78 1,144,525.50 1,202,759.10
G Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi Mobil dan Sepeda Motor
1,094,504.89 1,143,782.58 1,217,675.43
H Transportasi dan Pergudangan 270,360.17 279,974.74 296,405.58
I Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum
600,659.93 641,032.66 683,581.60
J Informasi dan Komunikasi 295,965.41 317,253.06 340,539.43
44
K Jasa Keuangan dan Asuransi 263,701.14 287,487.51 306,731.01
L Real Estate 413,977.83 442,708.21 470,023.31
M,N Jasa Perusahaan 84,092.70 92,153.74 100,615.29
O Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib
420,903.90 431,216.05 441,121.79
P Jasa Pendidikan 335,797.55 359,678.23 393,308.15
Q Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial
108,721.64 117,027.98 122,387.86
R,S,T,U Jasa lainnya 77,250.08 81,751.92 89,352.54
PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO
7,759,181.62 8,163,940.76 8,589,009.54
Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Salatiga
Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi Kota Salatiga pada tahun 2018
mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2017 yaitu sebesar 0,02%.
Pertumbuhan ekonomi Kota Salatiga tahun 2018 sebesar 5,23 dan pada
tahun 2017 sebesar 5,21. lebih rendah dibandingkan dengan Provinsi
Jawa Tengah, yaitu sebesar 5,32% Namun demikian pertumbuhan
ekonomi Kota Salatiga masih lebih baik jika dibandingkan dengan
pertumbuhan ekonomi nasional, yaitu sebesar 5,17%. Data perbandingan
pertumbuhan ekonomi Kota Salatiga, Provinsi Jawa Tengah dan Nasional
tahun 2012-2016 disajikan pada grafik 2.27 sebagai berikut:
Grafik 3.1 Data Pertumbuhan Ekonomi Kota Salatiga,
Provinsi Jawa Tengah Dan Nasional Tahun 2013-2018
7
6
5
4
3
2
1 2013 2014 2015 2016 2017* 2018* Salatiga Jawa Tengah Nasional
Sumber : BPS, Buku PDRB Kabupaten/Kota Di Indonesia, 2018
45
Pada tahun 2018, pertumbuhan ekonomi Kota Salatiga jika
dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi kota lainnya di Jawa
Tengah, berada di bawah Kota Semarang, Kota Tegal, Kota Pekalongan
dan Kota Surakarta, namun masih berada di atas Kota Magelang. Data
posisi relatif pertumbuhan ekonomi Kota Salatiga dibandingkan dengan
kota lain di Provinsi Jawa Tengah (Kota Semarang, Kota Tegal, Kota
Pekalongan, Kota Surakarta dan Kota Magelang) tahun 2016 disajikan
pada grafik 2.28 sebagai berikut:
Grafik 3.2 Data Posisi Relatif Pertumbuhan Ekonomi
Dibandingkan dengan Kota Lain di Provinsi Jawa Tengah (Kota Semarang, Kota Tegal, Kota Pekalongan, Kota Surakarta dan Kota
Magelang) Tahun 2018
Sumber : BPS, Buku PDRB Kabupaten/Kota Di Indonesia, 2018
Laju Inflasi
Inflasi merupakan persentase kenaikan harga sejumlah barang dan jasa
yang secara umum dikonsumsi rumah tangga. Namun, tidak jarang ada
barang dan jasa yang harganya justru turun. Kenaikan harga satu atau
dua sejumlah barang dan jasa saja tidak dapat disebut inflasi, terkecuali
bila kenaikan itu meluas yang mengakibatkan kenaikan harga barang dan
jasa lainnya. Dampak dari inflasi salah satunya adalah menurunnya daya
beli masyarakat, yang dapat diartikan bahwa tingkat kesejahteraan
masyarakat terganggu karena ketidakmampuan penduduk dalam
mengkonsumsi barang dan jasa.
46
Inflasi Kota Salatiga pada tahun 2015 sebesar 2,61% dan pada
tahun 2016 mengalami penurunan sebesar 2,19% dan pada tahun 2017
mengalami kenaikan sebesar 3,5%.
Grafik 3.3 Laju Inflasi Kota Salatiga
2.612.19
3.5
0
1
2
3
4
2015 2016 2017
Kota Salatiga
Sumber : website BPS Kondisi inflasi Kota Salatiga tahun 2017 dibanding dengan Provinsi
Jawa Tengah dan Kabupaten Kota sekitar pada tahun 2017 terlihat pada
pada gambar berikut:
Grafik 3.4 Laju Inflasi Kota Salatiga dibandingkan Kota
Di Provinsi Jawa Tengah
Sumber : website BPS
47
Pengeluaran Rill Per Kapita
Besarnya pengeluaran konsumsi per kapita digunakan sebagai
pendekatan untuk mengetahui tingkat pendapatan masyarakat dan
tingkat kemampuan ekonomi masyarakat. Pengeluaran rumah tangga ini
terdiri dari pengeluaran makanan dan bukan makanan yang
menggambarkan bagaimana penduduk mengalokasikan kebutuhan
rumah tangganya. Pengeluaran per kapita Kota Salatiga pada tahun 2015
sebesar Rp 14.600.000,- dan mengalami peningkatan di tahun 2016
sebesar Rp 14.811.000,- dan tahapan 2017 sebesar Rp 14.921.000,-.
Angka pengeluaran per kapita Kota Salatiga tahun 2017 berada diatas
Provinsi Jawa Tengah sebesar Rp 10.377.000,-dan Nasional sebesar Rp
10.664.000,-, secara rinci dapat dilihat pada grafik berikut.
Grafik 3.5 Perkembangan Pengeluaran Perkapita
Kota Salatiga, Jawa Tengah dan Nasional
Tahun 2015-2017 (Ribu Rupiah)
Sumber : website ipm.bps.go.id
Rasio Penduduk yang Bekerja
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) adalah suatu indikator
ketenagakerjaan yang memberikan gambaran tentang penduduk yang
aktif secara ekonomi dalam kegiatan sehari-hari. Perkembangan TPAK
Kota Salatiga menunjukkan mengalami kenaikan dari 67,86% di tahun
2015 menjadi 69,11% pada tahun 2017. Berikut perbandingan TPAK Kota
Salatiga, Provinsi Jawa Tengah dan Nasional tersaji pada gambar di
bawah ini.
14600 14811 14921
9930 10150 10377
10150 10420 10664
0
2000
4000
6000
8000
10000
12000
14000
16000
2015 2016 2017
Kota Salatiga
Pro. Jawa Tengah
Nasional
48
Grafik 3.6
Perkembangan TPAK Kota Salatiga, Jawa Tengah dan Nasional Tahun 2014-2017 (%)
Sumber: website BPS
Tingkat Pengangguran Terbuka
Tingkat pengangguran terbuka (TPT) merupakan indikator
ketenagakerjaan yang ditunjukkan untuk melihat seberapa besar jumlah
pengangguran di suatu wilayah dibandingkan dengan jumlah penduduk
yang termasuk pada kategori angkatan kerja. Besar kecilnya tingkat
pengangguran terbuka mengindikasikan besarnya persentase angkatan
kerja yang termasuk dalam pengangguran. Perkembangan TPT Kota
Salatiga mengalami kenaikan dari 3,96 pada tahun 2017 menjadi 4,28 di
tahun 2018, secara rinci dapat dilihat pada gambar berikut di bawah ini.
Grafik 3.7 Perkembangan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Kota Salatiga, Provinsi Jawa Tengah dan Nasional
Tahun 2015-2017 (%)
Sumber: website BPS
49
3.3. Tujuan 9. Membangun Infrastruktur Tangguh, Meningkatkan Industri
Inklusif dan Berkelanjutan, Serta Mendorong Inovasi
Pembangunan infrastruktur yang tangguh merupakan salah satu
kunci dalam pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.
Pembangunan infrastruktur yang berkelanjutan sebagai salah satu
paarnmeter dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan kondisi eksisting
tahun 2018 di Kota Salatiga sebagaimana tertuang dalam tabel berikut
Tabel 3.3 Kondisi Eksisting Infrastruktur dan Industri Inklusif dan Berkalanjutan
Kota Salatiga Tahun 2018
Indikator SDGs Kota Satuan Realisasi
2018
Penanggung-jawab Sumber Data
Persentase Jalan kota dalam Kondisi baik
Persen 84,16 Dinas PUPR
Proporsi nilai tambah sektor industri manufaktur terhadap PDB dan perkapita
Persen 30,85 BPS
Laju pertumbuhan PDB Industri manufaktur pengolahan
Persen 0,25 BPS
Indeks Kualitas Udara (IKU) Angka Komposit
23,061 Dinas Lingkungan Hidup
Proporsi individu yang menggunakan telepon genggam
persen 88.45 Survei BPS
Proporsi individu yang menggunakan internet
persen 60.67 Survei BPS
Sumber: Data Sekunder dari Berbagai Sumber, 2018 (diolah)
Pembangunan infrastruktur yang dilaksanakan di Kota Salatiga
sampai dengan tahun 2018 menghasilkan panjang drainase dalam
kondisi baik yaitu 335,61 km dari total keseluruhan panjang drainase
340,96 km, sedangkan panjang irigasi dalam kondisi baik sepanjang
447.715 m2 dari total panjang irigasi yang ada sepanjang 497.130 m2,
serta panjang jalan dalam kondisi baiksepanjang 306.658 m2 dari total
panjang jalanyang ada 337.120 m2.
Upaya membangun industri yang inklusif dan berkelanjutan antara
lain dilakukan dengan meningkatkan pengembangan industri pengolahan
(industri manufaktur). Industri pengolahan berperan penting dalam
pembangunan ekonomi di Kota Salatiga. Peran lapangan usaha ini di Kota
Salatiga pada tahun 2018 berdasarkan Produk Domestik Bruto atas dasar
harga berlaku sebesar 30,85 persen. Sektor ini juga menyerap tenaga
kerja yang cukup tinggi sehingga mengurangi jumlah pengangguran.
50
Indeks Kualitas Udara di Kota Salatiga sebesar 25,01 pada tahun
2016, turun menjadi 23,061 di tahun 2018. Berdasarkan klasifikasi
penjelasan kualitatif terhadap rentang nilai IKLH yang disusun KLHK
tahun 2014, bahwa nilai IKU 23,061 mengandung arti bahwa kualitas
udara di Kota Salatiga berada dalam kategori “waspada” (x < 50). Namun
jika dibandingkan dengan nilai IKU Jawa Tengah, maka nilai IKU Kota
Salatiga tahun 2018 masih berada dibawah nilai IKU Jawa Tengah
sebesar 82,97.
Selain itu, dalam aspek proporsi individu yang menggunakan
telepon genggam, hasil survei yang dilakukan BPS, pada tahun 2018
terdapat 88,45% penduduk yang menggunakan telepon genggam.
Sedangkan pada tahun 2018, BPS juga melakukan survei terhadap
penduduk yang terbiasa menggunakan internet (familiar with internet),
dengan hasil sebanyak 60,67% penduduk terbiasa menggunakan internet
(familiar with internet)
3.4. Tujuan 10. Mengurangi Kesenjangan Intra dan Antarnegara
Salah satu tujuan utama dalam pelaksanaan pembangunan adalah
mengurangi kesenjangan atau dipsaritas antar wilayah/negara. Dalam
konteks global hal tersebut dimanifestasikan dengan adanya negara
Utara-Selatan yang merupakan bentuk relasi antare negara, maju di
belahan bumi utara dan negara berkembang di belahan bumi selatan.
Dalam implementasi Tujuan 10 Menguranhgi Kesenjangan Intra dan
Antar Negara, terdapat beberapa parameter yang dapat digunakan
sebagai acuan dalam intervensi program yang mendukung pengurungan
kesejanjan atau disparitas antara wilayah.
Tujuan 10 Mengurangi kesenjangan intra dan antar negara diukur
melalui Koefisien Gini dan Pertumbuhan Ekonomi. Pertumbuhan ekonomi
yang tinggi belum menjadi jaminan bahwa kesenjangan pendapatan akan
rendah. Hubungan pertumbuhan ekonomi dengan kesenjangan
pendapatan tidak hanya dilihat dari outcome pada keseimbangan umum
suatu perekonomian, namun lebih kepada proses yang mempengaruhi
alokasi sumber daya terutama melalui capital market, melalui sistem
politik dan juga melalui kondisi sosial.
51
Kondisi eksisting parameter yang berkaitan dengan upaya
pencapaian Tujuan 10 Mengurangi Kesenjangan Intra dan Antarnegara
sebagainan tertuang dalam tabel berikut.
Tabel 3.4 Kondisi Eksisting Indikator Disparitas Wilayah
Kota Salatiga Tahun 2018
No Indikator SDGs Kota Satuan Realisasi
2018
Penanggung-jawab Sumber Data
1 Indeks Gini (Gini Ratio) Angka 0,35 (Tahun 2015)
BPS (mulai tahun 2016 BPS tidak melakukan penghitungan Indeks Gini di kabupaten/Kota
2 Angka Kemiskinan Persen 4.84 BPS
3 Persentase perempuan korban kekerasan termasuk TPPO yang dilayani sesuai standar
persen 100 Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Pelindungan Anak (DP3A)
4 Pelayanan Kepesertaan Jamsostek (IKK)
Persen 85,40 Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja / BPJS Ketenagakerjaan
5 Persentase penempatan tenaga kerja
Persen 68,24
Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja, BPS
6 Persentase Lembaga Penempatan Kerja Swasta (LPTKS) memiliki izin
Persen 66 Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja
7 Jumlah TKI yang terlindungi
orang 29 Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja
Sumber: data sekunder dari berbagai sumber, 2019 (diolah)
3.5. Tujuan 17. Kemitraan untuk Mencapai Tujuan
Keberhasilan pencapaian SDGs akan bergantung pada kemitraan global
yang inklusif dengan keterlibatan aktif dari pemerintah, masyarakat sipil,
sektor swasta, lembaga filantropi, akademisi dan lembaga-lembaga PBB.
Salah satu aktor kunci yang diharapkan berperan dan berkontribusi
besar dalam pelaksanaan SDGs adalah lembaga filantropi.
Tabel 3.5 Kondisi Eksisting Indikator Tujuan 17 SDGs
Menguatkan Sarana Pelaksanaan dan Merevitalisasi Kemitraan Global (Aspek Kemitraan dalam Pembiayaan Pembangunan)
Kota Salatiga Tahun 2018
No Indikator SDGs Kota Satuan
Realisasi 2018
Penanggung-jawab Sumber
Data
1 PDRB per Kapita Rupiah (Juta)
64,22 BPS
2 Rasio penerimaan pajak terhadap PDB
Persen 23,48 Badan Keuangan Daerah
3 Proporsi penduduk terlayani mobile broadband
Persen 88.45 BPS
52
4 Proporsi individu yang menggunakan internet
Persen 60.67 BPS
5 Persentase konsumen Badan Pusat Statistik (BPS) yang merasa puas dengan kualitas dan statistik
persen 78.70 BPS
6 Persentase indikator SDGs terpilah yang relevan dengan target
persen 68,7 BPS
Sumber: Data Sekuder dari berbagai sumber, 2019 (diolah)
Sumber pendapatan daerah terdiri dari Pendapatan Asli Daerah,
Dana Perimbangan, dan Lain-Lain Pendapatan yang Sah. Pengelolaan
pendapatan daerah bertujuan mengoptimalkan sumber pendapatan
daerah untuk meningkatkan kapasitas fiskal daerah dengan tujuan
memaksimalkan penyelenggaraan pemerintah daerah dalam rangka
pelayanan kepada masyarakat. Pembiayaan penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan daerah dalam melaksanakan fungsi
pelayanan dasar publik masih banyak bergantung pada penerimaan dari
dana perimbangan yang terdiri dari Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi
Khusus, dan Dana Bagi Hasil Pajak dan bukan Pajak.
Adanya otonomi daerah diharapkan dapat memacu daerah menuju
ke tingkat kemampuan keuangan yang lebih baik yang tercermin dengan
semakin meningkatnya kapasitas fiskal dan berkurangnya celah fiskal
dari tahun ke tahun. Perlu dilakukan upaya-upaya untuk meningkatkan
kapasitas fiskal dengan mengoptimalkan sumber-sumber pendapatan
daerah yang merupakan komponen kapasitas fiskal daerah. Kebijakan
pendapatan tahun 2017-2022 difokuskan untuk memberdayakan potensi
pendapatan daerah dan mendorong peningkatan dana perimbangan
melalui : (1) Optimalisasi penggalian sumber-sumber pendapatan daerah
(ekstensifikasi dan intensifikasi); (2) Peningkatan pengelolaan,
pemanfaatan dan pengawasan aset daerah yang berdaya guna dan
berhasil guna; (3) Peningkatan Sistem Pelayanan Unit Pelayanan Teknis
Daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, (4)
Peningkatan profesionalisme sumber daya manusia dalam pengelolaan
pendapatan daerah, (5) Peningkatan koordinasi dengan OPD penghasil,
dan (6) Pengembangan fasilitas sarana dan prasarana untuk peningkatan
investasi dan sumber-sumber pendapatan.
Realisasi pendapatan daerah Kota Salatiga tahun 2018 secara
keseluruhan tidak mencapai target yang telah ditetapkan. Dari target
53
anggaran pendapatan sebesar Rp. 895.371.154.000,- realisasinya
mencapai Rp. 889.992.411.250,- atau 99,40%. Jika dibandingkan
realisasi tahun 2017 sebesar Rp. 882.746.082.111,-, maka realisasi
tahun 2017 mengalami peningkatan sebesar Rp. 7.246.329.139,- atau
0,82%.
Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan salah satu sumber
pendapatan daerah yang potensial untuk ditingkatkan, walaupun
kontribusi PAD terhadap APBD saat ini masih relatif rendah. Untuk
menentukan pengelolaan komponen PAD diperlukan identifikasi potensi
komponen PAD yang digunakan untuk mengetahui posisi komponen PAD
sebagai sumber pendapatan daerah dengan menganalisis rasio
pertumbuhan jenis penerimaan dengan proporsi atau sumbangannya
terhadap rata-rata total penerimaan. Salah satu tolak ukur dari
perkembangan ekonomi daerah adalah besarnya pendapatan daerah pada
pos Pendapatan Asli Daerah (PAD). Besarnya PAD secara umum
menunjukkan kemajuan aktivitas perekonomian pada masyarakat yang
dapat dijadikan obyek pungut. Oleh karena itu, pencapaian target PAD
merupakan faktor penting dalam menilai laju pembangunan di daerah.
Dalam rangka memacu roda perekonomian masyarakat, Kota Salatiga
menerapkan kebijakan insentif dan disinsentif untuk obyek-obyek pungut
tertentu.
Merujuk pada hal tersebut, diharapkan akan mampu memberi
kontribusi terhadap pemerataan pendapatan masyarakat. Realisasi
Pendapatan Asli Daerah (PAD) tahun 2018 mencapai Rp.
208.926.057.032,- atau 99,60% persen dari target sebesar Rp.
209.772.712.000,-. Jika dibandingkan realisasi tahun 2017 sebesar Rp.
220.243.361.132,-, maka realisasi tahun 2017 mengalami penurunan
sebesar Rp. 11.317.304.100,- atau 5,14%. Rasio PAD terhadap
pendapatan daerah tahun 2018 sebesar 23,48% mengalami penurunan
jika dibandingkan rasio tahun 2017 yang besarnya 24,95%. Adapun
target dan realisasi Pendapatan Asli Daerah dari tahun 2012 sampai
dengan tahun 2018 dapat dilihat pada tabel berikut :
54
Tabel 3.6 Perkembangan PAD Kota Salatiga
Tahun 2012 – 2018
Tahun
Target PAD
Realisasi PAD
PD (Realisasi)
Proporsi
%
2012 63.171.463.000 77.798.870.961 562.323.845.006 13.84 %
2013 87.723.650.000 106.100.450.499 603.204.201.915 17.59 %
2014 114.781.747.000 165.747.645.080 727.619.868.812 22.78%
2015 143.835.170.000 167.010.555.173 673.865.039.498 24,78%
2016 172.775.326.000 203.768.652.017 879.784.189.262 23,16%
2017 188.391.649.000 218.453.587.980 880.956.308.959 24.80%
2018 209.772.712.000 208.926.057.032 889.992.411.250 23,48%
Sumber : Badan Keuangan Daerah Kota Salatiga (diolah)
55
BAB IV PENCAPAIAN PILAR PEMBANGUNAN LINGKUNGAN
4.1. Tujuan 6. Menjamin Ketersediaan serta Pengelolaan Air Bersih serta
Sanitasi yang Berkelanjutan
Ketersediaan Air Bersih dan sanitasi yang berkelanjutan merupakan
salah satu isu strategis dalam tujuan pembangunan berkelanjutan.
Terdapat beberapa indikator yang berkaitan langsung atau pun tidak
langsung dengan upaya pencapaian tujuan 6 SDGs, antara lain: Akses
terhadap air minum layak, akses terhadap sanitasi layak, persentase
pemenuhan air baku, julah kelurahan ODF dan yang sudah
melaksanakan Sanitasi Berbasis Masyarakat.
Persentase penduduk berakses air minum layak. Adanya
perubahan paradigma dalam pembangunan sektor air minum dan
penyehatan lingkungan dalam penggunaan prasarana dan sarana yang
dibangun, melalui Kebijakan Air Minum dan Penyehatan Lingkunganan
yang ditandatangani oleh Bappenas, Kementerian Kesehatan,
Kementerian Dalam Negeri serta Kementerian Pekerjaan Umum
memberikan dampak cukup berarti terhadap penyelenggaraan kegiatan
penyediaan air bersih dan sanitasi khususnnya di daerah. Strategi
pelaksanaan yang diantaranya meliputi penerapan pendekatan tanggap
kebutuhan, peningkatan sumber daya manusia, kampanye kesadaran
masyarakat, upaya peningkatan penyehatan lingkungan, pengembangan
kelembagaan dan penguatan sistem monitoring serta evaluasi pada
semua tingkatan proses pelaksanaan penyediaan Air Bersih dan Sanitasi.
Jenis sarana akses air minum yang dipantau meliputi sumur gali
(SGL) Terlindung, SGL dengan Pompa, Sumur Bor dengan Pompa,
Terminal Air (TA), Mata Air Terlindung, penanmpungan Air Hujan (PAH),
Perpipaan BPSPAM. Tahun 2018 penduduk yang dapat mengakses air
minum layak sebesar 94,75% (183.238 penduduk) dari jumlah penduduk
193.386. Proporsi jumlah penduduk pengguna jenis sarana air minum
terbanyak adalah perpipaan dan sumur gali.
Akses terhadap Sanitasi yang Layak.
Capaian penduduk dengan akses jamban sehat pada tahun 2018 sebesar
100%. Jenis sarana sanitasi dasar yang dipantau sebagai akses jamban
56
sehat meliputi jamban komunal, leher angsa, plengsengan dan cemplung.
Gambar berikut adalah penduduk yang mengakses jamban sehat dari
tahun 2014-2018.
Grafik 4.1 Persentase Penduduk Mengakses Jamban Sehat
Tahun 2014-2018
100,00%
80,00%
60,00%
40,00%
20,00%
0,00% 2014 2015 2016 2017 2018
Pdd Akses Jamban 81,57% 85,75% 86,68% 94,83% 100%
Sehat
Persentase Pemenuhan Air Baku. Persentase pemenuhan air baku
di Salatiga pada tahun 2018 mencapai nilai sebesar 85%. Hal ini
merupakan salah satu indikator bahwa pemenuhan kebutuhan air di
Kota Salatiga telah memenuhi persyaratan yang ditentukan. Air Baku
adalah air yang dapat berasal dari sumber air permukaan, cekungan air
tanah dan/atau air hujan yang memenuhi baku mutu tertentu sebagai air
baku untuk air minum.
Jumlah Kelurahan yang melaksanakan STBM
Tantangan pembangunan sanitasi di Indonesia adalah masalah sosial
budaya danperilaku penduduk yang terbiasa buang air besar (BAB) di
sembarang tempat, khususnya ke badan air yang juga digunakan untuk
mencuci, mandi dan kebutuhan higienis lainnya. Buruknya kondisi
sanitasi merupakan salah satu penyebab kematian anak di bawah 3
tahun yaitu sebesar 19% atau sekitar 100.000 anak meninggal karena
diare setiap tahunnya dan kerugian ekonomi diperkirakan sebesar 2,3%
dari Produk Domestik Bruto (studi World Bank, 2007).
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, penanganan
masalah sanitasi merupakan kewenangan daerah, tetapi sampai saat ini
belum memperlihatkan perkembangan yang memadai. Oleh sebab itu,
57
pemerintah daerah perlu memperlihatkan dukungannya melalui
kebijakan dan penganggarannya.
Sanitasi Total Berbasis Masyarakat yang selanjutnya disebut sebagai
STBM adalah pendekatan untuk merubah perilaku higiene dan sanitasi
melalui pemberdayaan masyarakat dengan metode pemicuan. Komunitas
merupakan kelompok masyarakat yang berinteraksi secara sosial
berdasarkan kesamaan kebutuhan dan nilai-nilai untuk meraih tujuan.
Open Defecation Free yang selanjutnya disebut sebagai ODF adalah
kondisi ketika setiap individu dalam komunitas tidak buang air besar
sembarangan. Sedangkan Cuci Tangan Pakai Sabun adalah perilaku cuci
tangan dengan menggunakan sabun dan air bersih yang mengalir.
Pengelolaan Air Minum Rumah Tangga yang selanjutnya disebut
sebagai PAMRT adalah suatu proses pengolahan, penyimpanan dan
pemanfaatan air minum dan air yang digunakan untuk produksi
makanan dan keperluan oral lainnya seperti berkumur, sikat gigi,
persiapan makanan/minuman bayi.
Sanitasi total adalah kondisi ketika suatu komunitas:
Tidak buang air besar (BAB) sembarangan.
Mencuci tangan pakai sabun.
Mengelola air minum dan makanan yang aman.
Mengelola sampah dengan benar.
Mengelola limbah cair rumah tangga dengan aman.
Jamban sehat adalah fasilitas pembuangan tinja yang efektif untuk
memutus mata rantai penularan penyakit. Sanitasi dasar adalah sarana
sanitasi rumah tanggayang meliputi sarana Luang air besar, sarana
pengelolaan sampah dan limbah rumah tangga.
Merujuk pada konsep dan definsi tersebut, pada tahun 2018,
seluruh kelurahan (23 kelurahan) di Kota Salatiga, telah
melaksanakan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM). Proses
pelaksanaan STBM tersebut dilakukan secara bertahap sejak tahun 2016
(7 kelurahan), tahun 2017 (6 kelurahan), dan tahun 2018 (10 kelurahan).
Jumlah desa/kelurahan yang Open Defecation Free (ODF)/ Stop
Buang Air Besar Sembarangan (SBS)
Open Defecation Free yang selanjutnya disebut sebagai ODF adalah
kondisi ketika setiap individu dalam komunitas tidak buang air besar
58
sembarangan. Dengan demikian ODF merupakan bagian yang tak
terpisahkan dalam kegiatan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM).
Sebagaimana Program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM),
penerapan ODF di Kota Salatiga sampai dengan tahun 2018 telah
dilaksanakan di seluruh kelurahan (23 kelurahan). Program ODF
dilaksanakan beriringan sengan STBM, dimulai sejak tahun 2016 (6
kelurahan), Tahun 2017 (7 kelurahan), dan tahun 2018 (10 kelurahan).
Tabel 4.1 Kondisi Eksisting Indikator Tujuan 6 SDGs
Kota Salatiga Tahun 2016-2018
No Indikator Satuan Realisasi Perangkat Daerah Penanggungjawab 2016 2017 2018
1 Persentase penduduk berakses air minum layak
Persen 90 90,5 93,64 Dinas Kesehatan dan Dinas PU dan PR
2 Persentase Pemenuhan Air Baku
Persen 77 83 85 Dinas PU dan PR
3 Persentase Rumah Tangga dengan Akses Air Sanitasi Layak
Persen 77,15 80 95 Dinas PU dan PR
4 Jumlah Kelurahan yang melaksanakan STBM Kelurahan 7 6 10 Dinas Kesehatan
5 Jumlah desa/kelurahan yang Open Defecation Free (ODF)/ Stop Buang Air Besar Sembarangan (SBS)
Kelurahan
7 6 10 Dinas Kesehatan
6 Persentase pengaduan masyarakat akibat adanya dugaan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang ditindaklanjuti
Persen 100 100 100 Dinas Lingkungan Hidup
Sumber: Data Perangkat Daerah, 2019
4.2. Tujuan 11. Kota dan Permukiman Berkelanjutan
Sebuah kota yang humanis dan layak huni merupakan padanan dari
Kota dan Pemukiman yang Berkelanjutan. Sebuah kota dan pemukiman
yang berkelanjutan adalah sebuah kota yang dikelola dengan
memperhatikan 4 (empat) aspek pembangunan berkelanjutan, yaitu
aspek sosial, ekonomo, lingkungan, maupun aspek hak asasi manusia
dan tata kelola.
Kota dan Permukiman yang berkelanjutan merupakan salah satu kunci
dalam upaya mewujudkan kota yang humanis dan layak huni. Terkait
dengan hal tersebut kondisi eksisting tahun 2018 Kota Salatiga tertuang
dalam tabel berikut:
59
Tabel 2.10 Kondisi Eksisting Indikator Kota dan Pemukiman yang Berkelanjutan
Kota Salatiga Tahun 2018
No Indikator SDGs Kota Satuan Realisasi
2018
Penanggung-jawab Sumber Data
1 Cakupan Ketersediaan Rumah Layak huni
persen 99,61 Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman
2 Persentase kendaraan angkutan umum yang memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan
persen 80 Dinas Perhubungan
3 Persentase masyarakat dalam Musrenbang
Persen 94,7 Bappeda
4 Persentase Cagar Budaya yang dilestarikan
Persen 11,2 Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
5 Indeks Resiko Bencana (IRB)
Persen Belum dilakukan
pengukuran
Satpol PP (saat ini sebagai OPD yang mengampu
8 Persentase Penanganan Sampah
persen 73,04 Dinas Lingkungan Hidup
9 Persentase pengurangan sampah diperkotaan
persen 16,77 Dinas Lingkungan hidup
10 Persentase Ruang Terbuka Hijau
persen 15.7 Dinas Lingkungan Hidup
Sumber: Data Sekunder dari berbagai sumber, 2019 (diolah)
Indikator tersebut adalah indikator yang ada dan sejalan dengan
RPJMD Kota salatiga Tahun 2017-2022, mengingat tidak semua indikator
SDGs dapat diukur atau dihitung di tingkat kota, dengan berbagai
pertimbangan antara lain karena aspek geografis, aspek kewenangan
daerah, dan aspek cakupan indikator (aspek pembilang).
Merujuk pada tabel diatas, dapat diuraikan bahwa cakupan rumah
layak huni pada tahun 2018 mencapai 99,61% (berdasarkan sinkronisasi
data dari Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman dan BPS).
Sedangkan dalam pengelolaan sampah terdapat 2 (dua) parameter yaitu
Persentase Penanganan Sampah Perkotaan sebesar 75%, yang melampaui
target sebesar 73%, dan Persentase Pengurangan Sampah Perkotaan pada
tahun 2018 mencapai 22%, yang melebihi yang menjadi target pada
tahun 2018 yaitu sebesar 16%.
Parameter lainnya adalah ketersediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH).
Kondisi eksisting Ruang Terbuka Hijau (RTH) pada tahun 2018 sebesar
15,67%. Hal tersebut dapat tercapai karena Pemerintah Kota Salatiga
dalam kurun waktu 3 tahun terakhir aktif dalam menyelenggarakan
taman kota sebagai salah satu upaya untuk memenuhi ketersediaan
Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebesar 30% dari luas wilayah.
60
4.3. Tujuan 12. Pola Produksi dan Konsumsi yang Berkelanjutan
Konsumsi berkelanjutan adalah hasil dari suatu proses pengambilan
keputusan dari konsumen sebagai tanggung jawab terhadap terhadap
lingkungan sesuai dengan kebutuhan. Menerapkan konsumsi
berkelanjutan berarti menjadi seorang konsumen yang beretika, yaitu
merasa bertanggung jawab terhadap isu-isu sosial dan lingkungan di
dunia dan melawan masalah ini dengan pola perilaku sendiri.
Pola produksi dan konsumsi berkelanjutan sangat terkait erat
dengan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan. Dimensi ekonomi dalam
hal ini terkait dengan konsep supply dan demand akan kebutuhan
manusia dalam kehidupannya sehari-hari, sehingga unsur
keberlanjutan (sustainability) akan sangat tergantung pada faktor
ekonomi masyarakatnya yang terlibat. Tingkat ekonomi masyarakat
yang meningkat setidaknya akan mengubah pola produksi dan
konsumsi komoditas yang berimbang. Sementara dimensi sosial erat
kaitannya dengan faktor peningkatan kualitas sumber daya manusia
dalam mengelola sumber daya alam secara lebih baik dan bijaksana.
Tabel 4.3 Kondisi Eksisting Indikator Pola Produksi dan Konsumsi yang Berkelanjutan
Kota Salatiga Tahun 2018
No Indikator SDGs Kota Satuan
Realisasi 2018
Penanggung-jawab Data
1 Jumlah peserta PROPER yang mencapai minimal ranking BIRU
Perusahaan 2 Dinas Lingkungan Hidup
2 Cakupan pembinaan perbaikan kinerja pengelolaan B-3 dan limbah B-3 bagi pelaku usaha dan/kegiatan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
Persen 100 Dinas Lingkungan Hidup
3 Persentase penyimpanan limbah B3 sesuai dengan ketentuan
persen 35 Dinas Lingkungan Hidup
4 Persentase penanganan sampah persen 75 Dinas Lingkungan Hidup
5 Cakupan pengawasan terhadap pelaksanaan AMDAL
persen 100 Dinas Lingkungan Hidup
6 Cakupan pengawasan terhadap pelaksanaan UKL/UPL
persen 100 Dinas Lingkungan Hidup
Sumber: Data Sekunder dari berbagai sumber, 2019 (diolah)
Dinas Lingkungan Hidup kota Salatiga telah memfokuskan diri pada
upaya untuk mengendalikan pencemaran air dari sektor industri dan
kegiatan usaha lain. Berbagai upaya dari hulu hingga hilir melalui
61
program pembinaan, pengawasan, susur sungai, patroli air, sidak,
penilaian program peringkat kinerja lingkungan industri (PROPER) dan
penegakan hukum. Upaya ini telah berhasil meningkatkan ketaatan
pihak industri untuk memenuhi baku mutu air limbah di kota Salatiga.
Kegiatan PROPER (Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan
dalam Pengelolaan Lingkungan) merupakan instrumen
insentif/disinsentif sesuai amanat dalam pasal 42 Undang-undang No. 32
tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Hal ini merupakan salah satu upaya dari pemerintah dalam
meningkatkan ketaatan industri/kegiatan usaha dengan memberikan
penghargaan dan publikasi terhadap industri/kegiatan usaha yang telah
melakukan ketentuan regulasi secara baik dan memberikan publikasi
negatif terhadap industri/keg. usaha yang tidak melakukan pengelolaan
lingkungan dengan baik.
Program PROPER sudah dimulai sejak tahun 1996, sempat
dihentikan karena krisis ekonomi pada tahun 1997-2001. Tahun 2002
dihidupkan kembali dengan kriteria yang lebih lengkap, semula hanya
dinilai aspek pengendalian pencemaran air, kemudian berkembang
menjadi multimedia meliputi pengendalian pencemaran air, udara,
pengelolaan limbah B3 dan penerapan AMDAL.
Sejak tahun 2011 sampai dengan tahun 2014 sebagian tugas
pengawasan dan pemantauan PROPER diserahkan kepada Pemerintah
Provinsi, termasuk Jawa Tengah, melalui program dekonsentrasi.
Peringkat final perusahaan-perusahaan peserta PROPER ditetapkan
berdasarkan hasil penilaian self-assessment (penilaian mandiri),
pengawasan langsung oleh KLHK, maupun pelaksaan langsung oleh
Provinsi. Adapun bagi perusahaan-perusahaan di Kota Salatiga, hasil
penilaiannya adalah sebagai berikut:
Peringkat Hijau : -
Peringkat Biru : PT Kievit Indonesia, PT. Damatex
Peringkat Merah : PT. Timatex
Peringkat Hitam :
Sistem pengelolaan limbah Kota Salatiga meliputi sistem
pembuangan air limbah setempat dan sistem pembuangan air limbah
terpusat. Rencana sistem pembuangan air limbah setempat yang
dimaksud adalah meliputi: (1) Peningkatan kualitas septic tank dan/atau
62
cubluk; (2) Peningkatan kualitas pengumpulan/pengangkutan lumpur
tinja; dan (3) Peningkatan Instalasi Pengolahan Limbah Tinja (IPLT) di
Kelurahan Kumpulrejo.
Rencana sistem pembuangan air limbah terpusat di Kota Salatiga
meliputi : (1) Sistem air limbah mandiri skala kawasan di Kelurahan
Kutowinangun, Kelurahan Salatiga, Kelurahan Pulutan, Kelurahan
Kecandran, Kelurahan Noborejo, Kelurahan Tingkir Lor dan Kelurahan
Tingkir Tengah; dan (2) Pembangunan IPAL skala kawasan.
Limbah bahan beracun dan berbahaya (B3) merupakan bahan yang
karena sifatnya dan/atau konsentrasinya dan/atau jumlahnya, baik
secara langsung maupun tidak langsung dapat mencemarkan dan/atau
merusak lingkungan hidup atau membahayakan lingkungan hidup,
kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lainnya.
Dengan sifat seperti itu, maka limbah B3 harus dikelola dengan benar.
Pengelolaan harus dilakukan sejak dari sumber, pengangkutan sampai di
lokasi pengelolaan akhir. Perusahaan/lembaga yang mengelola ataupun
mengangkut limbah B3 harus mendapat izin khusus agar mudah dalam
pengawasannya.
Hampir semua jenis industri menghasilkan limbah B3, baik berasal
dari buangan bahan baku, bahan sampingan, maupun bahan pendukung
operasional. Limbah B3 yang banyak dihasilkan dari kegiatan industri
diantaranya adalah oli bekas, lampu tl, kain majun bekas, bahan kimia
tertentu, sludge, aki, baterai bekas, tinta, limbah klinis, dan beberapa
limbah lainnya yang dikategorikan sebagai limbah berbahaya dan
beracun sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun.
Pola produksi dan konsumsi berkelanjutan perlu diterapkan untuk
mendorong pencapaian tujuan ke-12 Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan atau Sustainable Development Goal's (SDGs). Untuk itu
standar fasilitas pelayanan publik pun akan diperbaiki berkonsep ramah
lingkungan. Praktik ini berkaitan dengan banyak hal seperti perubahan
iklim, kota berkelanjutan dan penggunaan sumber daya berkelanjutan
63
4.4. Tujuan 13. Penanganan Perubahan Iklim dan Penanggulangan
Kebencanaan
Iklim didefinisikan sebagai kejadian cuaca selama kurun waktu yang
panjang, yang secara statistik cukup dapat dipakai untuk menunjukkan
nilai statistik yang berbeda dengan keadaan pada setiap saatnya (World
Climate Conference, 1979). Sedangkan perubahan iklim merupakan
berubahnya iklim yang diakibatkan, langsung atau tidak langsung, oleh
aktivitas manusia yang menyebabkan perubahan komposisi atmosfer
secara global serta perubahan variabilitas iklim alamiah yang teramati
pada kurun waktu yang dapat dibandingkan (Undang-Undang Nomor 31
tahun 2009).
Serangkaian dampak negatif yang diakibatkan oleh perubahan iklim
merupakan ancaman besar untuk mencapai SDGs secara keseluruhan.
Perubahan iklim menimbulkan risiko substansial terhadap pertanian,
kesehatan, persediaan air, produksi pangan, nutrisi, ekosistem,
keamanan energi, dan infrastruktur. Gagasan untuk mengaitkan agenda
perubahan iklim dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG)
sungguh relevan. Sejak konvensi PBB 1992 di Rio de Janeiro yang
melahirkan Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim Perserikatan
Bangsa-Bangsa (UNFCCC) untuk menurunkan emisi gas rumah kaca,
berbagai negara telah memulai dialog guna menyelaraskan konservasi
lingkungan dalam proyek pembangunan global. Lambat atau cepat
pemanasan global akan terjadi di bumi ini, dan hal ini juga akan
berdampak pada timbulnya bencana, terutama bencana hidrometeorologi.
Tabel 4.4 Kondisi Eksisting Indikator Perubahan Iklim Kota Salatiga Tahun 2018
No Indikator SDGs Kota Satuan Realisasi 2018
Penanggung-jawab Sumber Data
1 Dokumen strategi pengurangan risiko bencana (PRB) daerah
Dokumen Belum diprioritaskan karena bukan daerah resiko bencana
Satpol PP, Bappeda
2 Tersusunya Profil Emisi Gas Rumah Kaca (GRK)
Dokumen Sudah terpenuhi Tahun 2017
Dinas Lingkungan Hidup
Sumber: Data Sekunder dari beberapa sumber, 2019 (diolah)
64
4.5. Tujuan 14 Pelestarian dan Pemanfaatan Ekosistem Lautan
Dalam implementasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau
Sustainable Development Goals (SDGs) yang berpedoman pada Peraturan
Presiden Nomor 59 Tahun 2017, tidak semua Tujuan/Goals, Target,
ataupun indikator dapat diterapkan diseluruh daerah di Indonesia.
Terdapat beberapa hal yang menjadi penyebab Tujuan, Target, dan
Indikator tidak dapat diterapkan di semua daerah: (1) Indikator tersebut
bukan merupakan kewenangan dari daerah yang bersangkutan, (2) Tidak
sesuai dengan karakteristik dan kondisi geografis daerah tersebut, dan (3)
Cakupan penghitungan indikator tidak dapat diterapkan pada daerah
otonom terendah. Terkait dengan hal tersebut, maka tujuan 14
Pelestarian dan Pemanfaatan Ekosistem Kelautan tidak dapat diterapkan
di Kota Salatiga, mengingat karakteristik geografis Kota salatiga sebagai
daerah pegununungan bukan merupakan daerah yang mempunyai
wilayah laut.
4.6. Tujuan 15 Pelestarian dan Pemanfataan Berkelanjutan Ekosistem
Daratan
Selama lebih dari lima dekade, sumberdaya hutan telah memainkan
peran yang signifikan dalam memfasilitasi perkembangan ekonomi
Indonesia. Namun demikian, kinerja pengelolaan hutan Indonesia telah
menurun, dan kontribusi ekonomi dari hutan telah secara drastis
menurun, akibat ekspolitasi berlebihan pada periode aeal reformasi
pemerintahan dan pelaksanaan otonomi daerah atau desentralisasi (big
bang decentralization) dalam masa transisi yang cukup berat di awal
tahun 2000-an.3
Pola penggunaan lahan pada hakekatnya adalah gambaran ruang
dari hasil jenis usaha dan tingkat teknologi, jumlah manusia dan
keadaan fisik daerah, sehingga pola penggunaan lahan di suatu daerah
dapat mencerminkan kegiatan manusia yang berada di daerah tersebut.
Karenanya Penggunaan lahan bersifat dinamis, artinya penggunaan
tanah dapat berubah tergantung dari dinamika pembangunan dan
kebutuhan masyarakat di suatu wilayah dalam memenuhi kebutuhan
sosial, ekonomi, lingkungan dan kepentingan lainnya. Berdasarkan
3 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, 2018, Status Hutan dan Kehutanan Indonesia Tahun 2018, Kementerian Kehutanan RI, Jakarta, hlm. xxii (eksekutif summary)
65
pemikiran tersebut di atas, maka data luas dan letak penggunaan lahan
menjadi sangat penting, terutama untuk mengetahui berapa lahan yang
masih tersedia untuk suatu kegiatan. Hal ini tentunya akan
mempengaruhi kualitas tutupan lahan.
Sumber daya lahan (land resource) merupakan salah satu
komponen sumber daya alam (natural resource) yang turut berperan
dalam proses produksi pertanian, termasuk peternakan dan kehutanan.
Parameter-parameter sumber daya lahan meliputi tanah, iklim dan air,
topografi, serta vegetasi termasuk padang rumput dan hutan. Setiap
kegiatan yang mengubah sumber daya alam termasuk bentang lahan
(landscape) untuk pembangunan seperti pertanian, pertambangan,
industri, perumahan, infrastruktur dapat menyebabkan kerusakan
sumber daya lahan dan kemunduran produktivitasnya akibat hilangnya
tanah lapisan atas yang subur.
Perubahan lahan akan terus berlangsung sejalan dengan
meningkatnya jumlah dan aktivitas penduduk dalam menjalankan
kehidupan sosial, ekonomi dan budaya. Ini pada akhirnya akan
berdampak positif maupun negatif sebagai konsekuensi dari
pertumbuhan sosial ekonomi masyarakat. Dari penjelasan di atas dapat
disimpulkan bahwa faktor utama penyebab terjadinya perubahan
penggunaan lahan secara umum adalah karena peningkatan jumlah
penduduk yang pada akhirnya mengakibatkan adanya perkembangan
ekonomi yang menuntut ketersediaan lahan bagi penggiaaan lahan lain,
seperti pemukiman, industri, infrastruktur maupun jasa.
Tabel 4.5 Kondisi Eksisting Indikator Pemafataan Ekosistem Daratan
Kota Salatiga Tahun 2018
No Indikator SDGs Kota Satuan
Realisasi 2018
Penanggung-jawab Sumber Data
1 Indeks Kualitas Tutupan Lahan (IKLT)
Angka Komposit
23,78 Dinas Lingkungan Hidup
2 Luas lahan kritis yang direhabilitasi terhadap luas lahan keseluruhan
Ha (hektar) 1,0648 Ha Dinas Lingkungan Hidup
Sumber: Dinas Lingkungan Hidup, 2019 (data diolah)
Penggunaan lahan di Kota Salatiga menurut penggunaannya, untuk
luasan daerah terbangun meningkat dari tahun 2016 seluas 3.176 Ha
66
menjadi 3.230 Ha pada tahun 2018. Sebaliknya, luasan daerah non
urban seperti sawah, tegalan, dan perkebunan menyusut dari 744 Ha
pada tahun 2016 menjadi 674 Ha pada tahun 2018. Sedangkan untuk
menuruti perkembangan pembangunan yang kian pesat, fungsi lahan
yang sebelumnya merupakan lahan produktif bagi sektor pertanian
banyak berubah status menjadi lahan pekarangan yang kurang produktif
dan cenderung konstruktif dan dapat berubah sewaktu-waktu menjadi
lahan terbangun.
Penggunaan lahan yang melampaui kemampuan lahannya sangat
berpotensi menyebabkan lahan terdegradasi. Jika keadaan ini terus
dibiarkan akan memicu terjadinya lahan kritis. Dampak yang terjadi
akibat lahan kritis tidak hanya mengakibatkan lahan mengalami
penurunan kualitas dan produktivitas namun membahayakan sosial
ekonomi masyarakat. Kerusakan lahan yang semakin nyata dan meluas,
ditandai oleh semakin besar adanya resiko bencana seperti banjir,
kekeringan, dan longsor. Dengan demikian, meluasnya lahan kritis perlu
diidentifikasi agar dapat ditetapkan faktor penyebab dan teknik
penanggulangannya
Mengacu KLHK (2019), kualitas tutupan lahan mendskripsikan
kondisi kenampakan permukaan lahan secara fisik, baik kenampakan
alami berupa vegetasi maupun kenampakan buatan manusia yang
kemudiaan dinilai berdasarkan Indeks Kualitas Tutupan Lahan (IKTL).
Hingga tahun 2018, Indeks Kualitas Tutupan Lahan (IKTL) di Kota
Salatiga mencapai 23,78 berada jauh dari IKTL Provinsi Jawa Tengah
(50,12), dan nilai IKTL Nasional yang sebesar 61,03. Jika dibandingkan
dengan nilai IKTL sebelumnya (tahun 2017) yang sebesar 23,75, maka
nilai IKTL tahun 2018 mengalami kenaikan yang tidak signifikan.
67
BAB V PENCAPAIAN PILAR PEMBANGUNAN HUKUM DAN TATA KELOLA
5.1. Tujuan 16. Menciptakan Perdamaian, Penegakan Hukum, dan
Penguatan Kelembagaan
Aspek Hak Asasi Manusia (HAM) dan Hukum
Perencanaan pembangunan yang berwawasan HAM merupakan
perencanaan pembangunan yang menjadikan nilai-nilai HAM sebagai
rambu-rambu dalam perencanaan pembangunan. HAM harus dipatuhi
oleh negara atau pemerintah dalam menjalankan misinya sehingga tidak
menjadikan pembangunan sebagai tujuan dengan mengorbankan
manusia demi pembangunan, melainkan sebagai alat untuk mencapai
tujuan penegakkan hak atas pembangunan.
Dari sisi pembangunan hukum, hukum yang relevan untuk
dikembangkan sejalan dengan nilai-nilai HAM adalah model humanis
partisipatoris. Manifestasi dari model pembangunan hukum ini adalah
memberi perhatian pada aspek dan dimensi manusiawi sebagai tujuan
utama pembangunan yang memberi akses kepada warga negara untuk
ikut serta dalam pengambilan keputusan di berbagai bidang kehidupan.
Hukum memberi alokasi wewenang yang lebih besar kepada warga negara
untuk menentukan realisasi dirinya sebagai subjek, bukan objek yang
dibentuk dan dikontrol oleh subjek lain.
Tabel 5.1 Kondisi Eksisting Indikator Tujuan 16 SDGs
(Aspek Hak Asasi Manusia dan Hukum) Kota Salatiga Tahun 2018
No Indikator SDGs Kota Satuan
Realisasi 2018
Penangung-jawab Sumber Data
1 Indeks Kriminalitas skor 0,012 Polres
2 Prevelensi penyalahgunaan Narkoba skor 0,0025 Badan Kesbangpol
3 Kematian disebabkan konflik per 100.000 penduduk
Jumlah Kasus
0 Polres
4 Jumlah kasus kejahatan pembunuhan pada satu tahun terakhir
Kasus 0 Polres
5 Proporsi penduduk yang menjadi korban kejahatan dalam 12 bulan terakhir
Kasus 217 Polres
6 Cakupan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan yang Mendapatkan Penanganan Sesuai Standart
Persen 100 Dinas P3A
7 Persentase perempuan korban kekerasan termasuk TPPO yang dilayani sesuai standar
Persen 100 Dinas P3A
68
8 Proporsi korban kekerasan dalam 12 bulan terakhir yang melaporkan kepada polisi
Persen 10,5 Polres
9 Jumlah orang atau kelompok masyarakat miskin yang memperoleh bantuan hukum litigasi dan non litigasi.
Org/Pokmas
PM Bag. Hukum Setda
10 Persentase cakupan akta kelahiran Persen 94 Dindukcapil
11 Persentase keterwakilan perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota
Persen 28 DP3A
12 Persentase perempuan pada jabatan eselon II,III, dan IV
Persen 43,2 Badan Kepegawaian dan Pendidikan Pelatihan Daerah
Sumber: Data sekunder dari berbagai sumber, 2019 (diolah)
Indeks kriminalitas menjadi salah satu tolok ukur kondusivitas
suatu wilayah. Dalam konteks pelaksanaan Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan
Prevalensi adalah jumlah keseluruhan kasus penyakit yang terjadi
pada suatu waktu tertentu di suatu wilayah. Prevalensi penyalahgunaan
narkoba ditargetkan 2,5 terealisasi 0,025 angka tersebut dihitung dengan
rumus :
Angka tersebut berdasrkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kota
Salatiga yang tertuang dalam Salatiga dalam Angka 2018 dengan
menunjukan jumlah kasus narkoba tahun 2018 pada Kota Salatiga
sebanyak 50 kasus. Semakin kecil persentase maka menunjukan bahwa
tingkat penyalahgunaan Narkoba rendah, oleh karenanya tingkat
keterlibatan dan penyalahgunaan narkoba pada masyakat Kota Salatiga
relatif kecil hal ini menunjukan bahwa masyarkat Kota Salatiga memiliki
pola hidup yang sehat.
Dengan demikian untuk mempertahankan jumlah penyalahgunaan
narkoba yang rendah, Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kota Salatiga
melaksanakan kegiatan sebagai berikut:
Kegiatan Fasilitasi alat tes Narkoba
Kegiatan operasional Badan Narkotika Kota (BNK) selama 9 bulan
Kegiatan sosialisasi penyuluhan, pencegahan peredaran/
penggunaan narkoba (P4GN) bagi pelajar SMP/MTs/SMA/SMK/MA,
69
masyarakat dan mahasiswa sejumlah 200 orang, sebanyak 1 kali dalam
satu tahun. sebanyak 1 kali dalam satu tahun
Aspek Tata Kelola dan Penguatan Kelembagaan
Penguatan kapasitas kelembagaan Pemerintah Daerah dapat diartikan
sebagai upaya membangun organisasi, sistem-sistem, kemitraan, orang-
orang dan proses-proses secara benar untuk menjalankan agenda atau
rencana tertentu. Penguatan kapasitas kelembagaan Pemerintah Daerah
oleh karenanya berkaitan dengan individual capability development,
organizational capacity building, dan institutional capacity building.
Tabel 5.2 Kondisi Eksisting Indikator Tujuan 16 SDGs
(Aspek Tata Kelola dan Pemguatan Kelembagaan) Kota Salatiga Tahun 2018
No Indikator SDGs Kota Satuan Tahun 2018
Penangungjawab Sumber Data
1 Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK)
Angka Belum BPS
2 Realisasi APBD Rupiah (Juta)
923.538,24 Badan Keuangan Daerah
Persen 77,79 Badan Keuangan Daerah
3 Opini BPK atas Laporan Keuangan
Opini WTP BPK
4 Nilai SAKIP Huruf B Kemen PAN dan RB, Inspektorat
5 Persentase penggunaan E-procurement terhadap belanja pengadaan
Persen 100 Bag. Pembangunan Setda
6 Indeks Reformasi Birokrasi (Indeks RB)
Angka Komposit
58 Kemen PAN dan RB, Bag. Organisasi Setda, Inspektorat
7 Tingkat Kepatuhan pelaksanaan UU Pelayanan Publik Pemerintah Daerah
Zona Hijau Ombudsman RI
8 Persentase OPD yang mengembangkan Teknologi Informasi
Persen 100 Dinas Kominfo
9 Jumlah PPID di OPD OPD 33 Dinas Kominfo
Sumber: Data sekunder dari berbagai sumber, 2019 (diolah)
Merujuk pada tabel tersebut diatas, realisasi APBD Kota salatiga
pada tahun 2018 sebesar Rp. 845.503.525.507,- Realisasi tersebut
menjadi salah satu parameter kontribusi pemerintah daerah dalam
pelaksanaan program prioritas daerah sebagaimana tertuang dalam
70
RPJMD dan Renstra yang telah diselaraskan dengan upaya pencapaian
target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development
Goals (SDGs).
Akuntabilitas laporan keuangan yang diukur dengan berdasarkan
Audit oleh BPK yang kemudian hasilnya dituangkan dalam Opini BPK
atas Laporan Keuangan Pemerintah Kota Salatiga. Berdasarkan Audit
BPK tersebut, Opini atas Laporan Keuangan pada tahun 2018 daoat
mempertahankan Opini Wajar tanpa Pengecualian (WTP), yang sudah
diraih sejak tahun 2016.
Nilai Akuntabilitas pada Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi
Pemerintah (SAKIP) pada tahun 2018 mencapai nilai B. Nilai SAKIP
digunakan untuk mengetahui ketercapaian (rasio antara target dan
realisasi) maupun keserasian indikator dalam RPJMD, Renstra, dan
Renja. Selain itu, salah satu prioritas dalam reformasi birokrasi adalah
peningkatan kualitas penyelenggaran pelayanan publik. Kualitas
penyelenggaraan pelayanan publik amanat dalam peberapannya harus
diselaraskan dengan Standar Pelayanan Publik yang tertuang dalam
Undang-Undang Nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Merujuk pada Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang
Ombudsman, maka penilaian kepatuhan terhadap Undang-undang
Pelayanan Publik dilakukan oleh Ombudsman RI. Pada tahun 2018 telah
dilakukan penilaian oleh Ombudsman RI dan mendapatkan Kategori Zona
Hijau (92,27), setelah 2 tahun sebelumnya Tahun 2016 (53,10) dan 2017
(55,09) masih dalam Kategori Zona Kuning.
Hal lain berkaitan dengan parameter makro reformasi birokrasi yang
diukur dengan Indeks Reformasi Birokrasi (Indeks RB). Indeks Reformasi
Birokrasi sebagai bagian integral Tujuan 16 SDGs merupakan indeks
komposit yang diukur berdasarkan akumulasi dari nilai indikator 8
(delapan) arean perubahan dalam reformasi birokrasi, termasuk
diantaranya adalah Nilai SAKIP, Opini BPK atas Laporan Keuangan
Instansi Pemerintah, Kepatuhan terhadap Undang-Undang Pelayanan
Publik, Nilai Zona Integritas, Nilai Survei Kepuasan Masyarakat, dan lain
sebagainya. Berdasarkan pengukuran dan validasi oleh Kementerian PAN
dan RB, pada tahun 2018 diperoleh Indeks Reformasi Birokrasi (Indek
RB) Kota Salatiga sebesar 58.
71
BAB VI PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Pembangunan berkelanjutan (TPB/SDGs) merupakan pembangunan yang
bersifat universal dan inklusif. Oleh karena itu, penetapan tujuan dan
target dalam pelaksanaan TPB/SDGs mempunyai keterkaitan yang
komprehensif antarpilarnya, yaitu pilar sosial, pilar ekonomi, pilar
lingkungan serta pilar hukum dan tata kelola. Pada tahun 2018, kondisi
pencapaian pelaksanaan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan dibagi
dalam 4 pilar.
No. Indikator SDGs Kota Satuan Capaian Tahun
2018
Pilar Pembangunan Sosial
1 Angka Kemiskinan Persen 4,84
2 Ketersediaan Pangan Utama Beras
Ton 7,5 (Gabah Kering
Giling)
3 Pola Pangan Harapan Persen 91,2
4 Penguatan cadangan pangan Persen 20
5 Penanganan daerah rawan pangan
Persen 30
6 Proporsi penduduk dengan asupan kalori minimum di bawah 1400 kkal/kapita/hari
Skor 12
7 Jumlah kasus balita gizi buruk Kasus 4
8 Angka Kematian Ibu Kasus 3
9 Angka Kematian Balita Kasus 25
10 Angka kematian bayi Kasus 20
11 APK SD/MI sederajat Persen 140,65
12 APK SMP/MTs sederajat Persen 136,22
13 APK PAUD Persen 76,46
14 SD/MI terakreditasi minimal B Persen 99,66
15 SMP/MTs terakreditasi minimal B
Persen 100
16 Jumlah OPD yang telah menyusun PPRG
OPD 31
Pilar Pembangunan Ekonomi
1 Rasio Elektrifikasi Persen 98,24
2 Rasio penggunaan gas rumah tangga
Persen 89
3 Pertumbuhan ekonomi Persen 5,23
4 Tingkat Pengangguran Terbuka Persen 4,28
5 Persentase jalan kota dalam kondisi baik
Persen 84,16
6 Proporsi nilai tambah sector Persen 30,85
72
industri manufaktur terhadap PDB dan perkapita
7 Laju pertumbuhan PDB industri manufaktur
pengolahan
Persen 0,25
8 Indeks Kualitas Udara (IKU) Angka
komposit 23,061
9 Gini Ratio Angka 0,35
*data terakhir tahun 2015
10 PDRB per kapita Rupiah (juta)
64,22
11 Rasio penerimaan pajak terhadap PDB
Persen 23,48
Pilar Pembangunan Lingkungan
1 Persentase penduduk berakses air minum layak
Persen 93,64
2 Persentase pemenuhan air baku
Persen 85
3 Persentase rumah tangga dengan akses sanitasi layak
Persen 95
4 Jumlah Kelurahan ODF Kelurahan 23
5 Cakupan ketersediaan rumah layak huni
Persen 99,61
6 Persentase penanganan sampah
Persen 73,04
7 Persentase pengurangan sampah perkotaan
Persen 16,77
8 Persentase ruang terbuka hijau Persen 15,7
9 Persentase penyimpanan limbah b3 sesuai dengan ketentuan
Persen 35
10 Cakupan pengawasan terhadap pelaksanaan AMDAL
Persen 100
11 Cakupan pengawasan terhadap pelaksanaan UKL/UPL
Persen 100
12 Indeks Kualitas Tutupan Lahan (IKLT)
Angka komposit
23,78
13 Luas lahan kritis yang direhabilitasi terhadap luas lahan keseluruhan
Ha 1,0648
Pilar Pembangunan Hukum dan Tata Kelola
1 Indeks kriminalitas Skor 0,012
2 Kematian disebabkan konflik per 100.000 penduduk
Kasus 0
3
Cakupan perempuan dan anak
korban kekerasan yang mendapatkan penanganan sesuai standar
Persen 100
4 Persentase perempuan korban Persen 100
73
kekerasan termasuk TPPO yang dilayani sesuai standar
5 Cakupan akta kelahiran Persen 94
6 Opini BPK atas laporan
keuangan Opini WTP
7 Indeks Reformasi Birokrasi Angka
komposit 58
8 Persentase penggunaan E-procurement terhadap belanja pengadaan
Persen 100
6.2 Rencana Tindak Lanjut
Untuk mendorong pencapaian target Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan (TPB) di Kota Salatiga, ada beberapa hal yang perlu
dilakukan sebagai berikut:
a. Penyusunan Rencana Aksi Daerah Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan (RAD TPB).
b. Penguatan peran kelembagaan Tim Pelaksana Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan.
c. Sinkronisasi indikator-indikator Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan dengan dokumen perencanaan daerah.
d. Pengembangan model kelurahan berkelanjutan berbasis potensi
lokal yang nantinya akan menjadi role model dalam upaya
pencapaian target TPB tingkat kota.
e. Penguatan peran non state actor, terutama perguruan tinggi,
NGO/Komunitas dan dunia usaha.
Top Related