i
PENERAPAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM TINDAK PIDANA
PENCUCIAN UANG BERDASARKAN UNDANG-UNDANG
NOMOR 8 TAHUN 2010
JURNAL ILMIAH
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan
Untuk Mencapai Derajat S-1 Pada
Program Studi Ilmu Hukum
Program Studi Ilmu Hukum
Oleh :
YULIA ELSA
D1A013388
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MATARAM
MATARAM
2017
ii
HALAMAN PENGESAHAN
PENERAPAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM TINDAK PIDANA
PENCUCIAN UANG BERDASARKAN UNDANG-UNDANG
NOMOR 8 TAHUN 2010
Program Studi Ilmu Hukum
Oleh:
YULIA ELSA
D1A013388
Menyetujui,
Dosen Pembimbing Pertama,
Lewis Grindulu,SH.,MH.
NIP. 195910041987031001
iii
PENERAPAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM TINDAK PIDANA
PENCUCIAN UANG BERDASARKAN UNDANG-UNDANG
NOMOR 8 TAHUN 2010
NAMA: YULIA ELSA
NIM: D1A013388
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MATARAM
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan pembuktian terbalik dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang,
dasar pemikiran digunakannya pembuktian terbalik dalam Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, serta penerapan
pembuktian terbalik dalam tindak pidana pencucian uang dalam praktik peradilan
pidana. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian normatif. Manfaat penelitian
ini terdiri dari manfaat akademis, teoritis, dan praktisi. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pengaturan pembuktian terbalik diatur dalam Pasal 77 dan
78 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, dasar pemikiran digunakannya
pembuktian terbalik adalah karena TPPU merupakan tidak pidana yang kompleks
dan sulit dalam penanganannya sehingga memerlukan cara-cara baru yang lebih
efektif, dan penerapannya dilakukan saat proses pembuktian dalam persidangan.
Kata Kunci : Pembuktian Terbalik, Tindak Pidana Pencucian Uang
THE APPLICATION OF PROFITABILITY OF MONEY LAUNDERING
BY LAW NUMBER 8 YEAR 2010
ABSTRACT
This study aims to determine the provision of reversed evidence in Law Nomor 8
of 2010 on Money Laundering Crime, the rationale behind the use of reverse
proof in Law Nomor 8 of 2010 on Money Laundering Crime, and the application
of reversed proof in money laundering crime In the practice of criminal justice.
This research uses normative research type. The benefits of this study consist of
academic, theoretical, and practitioner benefits. The results showed that the
reversed proofing arrangement is regulated in articles 77 and 78 of Law Nomor 8
of 2010, the rationale behind the reverse verification is that the TPPU is a
complex criminal and difficult to handle so it requires new and more effective
ways, and its application Done during the verification process in the trial.
Keywords : Reversed Proof, Money Laundering Crime
i
I. PENDAHULUAN
Tindak pidana pencucian uang atau money loundry di Indonesia menjadi
salah satu permasalahan bangsa yang belum terselesaikan. Money loundering
dapat diistilahkan dengan pencucian uang, pemutihan uang, pendulangan uang
atau bisa juga pembersihan uang dari hasil transaksi gelap (kotor). Tujuannya
adalah menyembunyikan atau mengaburkan asal usul uang haram tersebut
sehingga dapat digunakan seolah-olah sebagai uang yang sah.1
Dibentuknya Undang-Undang nomor 8 tahun 2010 tentang Pencucian Uang,
merupakan sebuah bentuk komitmen dan political will negara Indonesia untuk
memerangi permasalahan pencucian uang. Konsep yang revolusioner dituangkan
dalam peraturan ini adalah dipergunakannya beban pembuktian terbalik
(Omkering van het Bewijslat).
Dalam perkara pidana, beban pembuktian ada di tangan jaksa. Adalah jaksa
yang berkewajiban membuktikan tuduhan yang dimuat dalam surat dakwaan.
Demikian pula halnya dalam tindak pidana pencucian uang. Menjadi kewajiban
jaksa untuk membuktikan kejahatan asal (predicate crime) sebelum menuduh
terdakwa melakukan pidana pencucian uang.
Urgensi penerapan pembuktian terbalik dalam Tindak Pidana Pencucian
Uang sangatlah tepat, berbagai pertentangan dengan asas, peraturan, doktrin dan
lain sebagainya tidaklah menjadi penghambat pemberlakuan pembuktian terbalik.
Pertentangan yang hanya disandarkan atas pemikiran positivis law janganlah
menjadi penghambat pemberlakuan pembuktian terbalik. Pemikiran harus dirubah
1 Philips Darwin, Money Laundering (Cara Memahami Dengan Tepat dan Benar Soal
Pencucian Uang), Sinar Ilmu, 2012, hlm. 9.
ii
dengan melihat kebutuhan bangsa saat ini, bahwa pembuktian terbalik dalam
Tindak Pidana Pencucian Uang merupakan hal yang revolusioner progresif dan
memerlukan dukungan bersama dalam pelaksanaannya.
Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) atau lebih dikenal dengan
istilah money laundry, merupakan proses dengan mana aset-aset pelaku, terutama
aset tunai yang diperoleh dari suatu tindak pidana, dimanipulasikan sedemikian
rupa sehingga aset-aset tersebut seolah-olah berasal dari sumber yang sah.2
Dengan demikian sumber perolehan dana yang dapat dikatakan illegal dan
dilarang oleh negara melalui peraturan perUndang-Undangan dapat diubah
menjadi legal melalui tahap penempatan (Placement Stage) tahap penyebaran
(Layering Stage), dan tahap pengumpulan (Integration Stage).
Keadaan ini menjadikan TPPU sebagai sebuah bentuk tindakan kriminal
yang perlu penanganan khusus. Dampak terbesar dari TPPU selain merugikan
keuangan negara juga dapat berakibat fatal. Penggunaan uang hasil money
laundry dimungkinkan untuk membiayai aktivitas legal dan juga untuk melakukan
kejahatan lainnya. Hal inilah yang menjadi dasar pemikiran bahwa kekhususan
penanganan TPPU dengan beban pembuktian terbalik harus dilakukan.
Maka dari itu penyusun tertarik untuk mengkaji mengenai PENERAPAN
PEMBUKRIAN TERBALIK DALAM TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2010.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka dapat dirumuskan
masalah: 1. Bagaimana pengaturan pembuktian terbalik dalam tindak pidana
2 http://www.hukumpedia.com/agnesharvelian/pelaksanaan-beban-pembuktian-terbalik-
dalam-tindak-pidana-pencucian-uang. diakses pada tanggal 5 februari 2017.
iii
pencucian uang bedasarkan Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010? 2. Apakah
yang menjadi dasar pemikiran digunakannya pembuktian terbalik dalam tindak
pidana pencucian uang? 3. Bagaimana penerapan pembuktian terbalik dalam
tindak pidana pencucian uang dalam praktik peradilan pidana?.
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah Untuk mengetahui pengaturan
pembuktian terbalik dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, Dasar
pemikiran digunakannya pembuktian terbalik dalam Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2010, serta mengetahui penerapan pembuktian terbalik dalam tindak
pidana pencucian uang dalam praktik peradilan pidana. Adapun manfaat
penelitian antara lain: Manfaat akademis, Manfaat teoritis dan keilmuan, dan
Manfaat praktisi.
Metode penelitian adalah jenis penelitian hukum Normatif, pendekatan
penelitian yang digunakan adalah pendekatan perUndang-Undangan, pendekatan
konseptual, pendekatan kasus. Sumber dan bahan hukum didapat dari bahan
hukum primer, sekunder dan bahan hukum tersier. Tehnik pengumpulan bahan
hukum adalah dengan cara studi kepustakaan lalu dilakukan analisis bahan hukum
secara interpretasi, sistematis dan historis Undang-Undang.
iv
II. PEMBAHASAN
Pengaturan Pembuktian Terbalik dalam Tindak Pidana Pencucian Uang
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010
Tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang terjadi secara sistematis dan
meluas mengakibatkan semakin banyaknya pelaku-pelaku tindak pidana
pencucian uang sehingga menimbulkan kekhawatiran dari masyarakat, karena
perbuatan dari tindak pidana ini dapat menimbulkan masalah dan ancaman yang
serius terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat serta menghambat
pembangunan yang berkelanjutan. Sudah menjadi kewajiban dari para penegak
hukum untuk memberantas dan menangkap para pelaku TPPU untuk kemudian
diberikan sanksi yang berat, namun tidak mudah untuk menentukan seseorang
tersebut bersalah atau tidak bersalah telah melakukan suatu perbuatan TPPU,
maka dari itu dibutuhkan sistem pembuktian untuk menentukan terdakwa bersalah
atau tidak bersalah telah melakukan suatu perbuatan pidana (TPPU).
Pembuktian memegang peranan penting dalam setiap proses pemeriksaan
dipersidangan guna menentukan benar tidaknya suatu tindak pidana dan salah atau
tidaknya seseorang terdakwa terhadap suatu perbuatan. Dalam melakukan proses
pembuktian para penegak hukum harus mengikuti ketentuan-ketentuan yang
mengatur tentang alat-alat bukti dan cara-cara yang dibenarkan oleh Undang-
Undang untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan terhadap terdakwa.
Ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang alat bukti dan sistem pembuktian
yang digunakan terdapat dalam KUHAP dan Undang-Undang pidana khusus.
v
Di dalam pemeriksaan tindak pidana, yang mempunyai kewajiban untuk
membuktikan dakwaannya adalah Jaksa penuntut umum, dimana dalam
pemeriksaan tersebut jaksa penuntut umum berperan aktif dalam mencari bukti-
bukti yang berkaitan dengan tindak pidana yang didakwakan guna membuktikan
dakwaanya.`
Selain pembuktian yang diatur dalam ketentuan KUHAP terdapat juga
pembuktian lain yang diatur dalam ketentuan Undang-Undang khusus diluar
KUHAP, dan salah satunya adalah pembuktian yang terdapat dalam ketentuan
Undang-Undang Nomor 8 Tatun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Indonesia dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
pencucian uang, sebelumnya telah memiliki Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Namun ketentuan dalam Undang-
Undang tersebut dirasakan belum memenuhi standar internasional serta
perkembangan proses peradilan tindak pidana pencucian uang sehingga perlu
diubah, agar upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang
dapat berjalan secara efektif. Oleh karenanya disempurnakan melalui Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Namun seiring dengan
berjalannya waktu, ketentuan pada Undang-Undang Nomor 15 tahun 2002 dan
Undang-Undang Nomor 25 tahun 2003 dirasakan sudah tidak sesuai dengan
perkembangan kebutuhan penegakan hukum, praktik, dan standar internasional,
sehingga kemudian ditetapkanlah Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
vi
Pembuktian terbalik diatur dalam Pasal 77 dan 78 Undang-Undang Nomor
8 tahun 2010. Pembuktian terbalik maksudnya adalah beban pembuktian ada pada
terdakwa. Pada tindak pidana pencucian uang yang harus dibuktikan adalah asal-
usul harta kekayaan yang bukan berasal dari tindak pidana, misalnya bukan
berasal dari korupsi, kejahatan narkotika serta perbuatan haram lainnya. Pasal 77
dan 78 tersebut berisi ketentuan bahwa terdakwa diberi kesempatan untuk
membuktikan harta kekayaannya bukan berasal dari tindak pidana. Ketentuan ini
dikenal sebagai asas pembuktian terbalik. Dimana sifatnya sangat terbatas, yaitu
hanya berlaku pada sidang di pengadilan, tidak pada tahap penyidikan. Selain itu
tidak pada semua tindak pidana, hanya pada serious crime atau tindak pidana berat
seperti korupsi, penyelundupan, narkotika, psikotropika atau tindak pidana
perbankan. Dengan sistem ini, justru terdakwa yang harus membuktikan, bahwa
harta yang didapatnya bukan hasil tindak pidana. Yang harus dilakukan adalah
mengetahui apa saja bentuk aset korupsi, dimana disimpan dan atas nama siapa.3
Dasar Pemikiran Digunakannya Pembuktian Terbalik dalam Tindak Pidana
Pencucian Uang
Dilihat secara komperhensif melalui pendekatan sejarah pembuktian terbalik
sebetulnya tidak dikenal dalam negara yang menganut sistem hukum Civil
Law maupun Common Law. Namun pada akhirnya terdapat pengecualian terhadap
peraturan kedua sistem tersebut, yakni diaturnya beban pembuktian terbalik atas
kasus suap atau gratifikasi.4 Perdebatan para ahli dengan mengomparasikan
penggunaan beban pembuktian terbalik dengan negara lain sebetulnya terletak
pada ruh dari kedua sistem hukum ini. Keduanya mengakui penggunaan
pembuktian terbalik, namun ruh dari civil law berasas praduga tak bersalah,
sedangkan common law sebaliknya dengan menggunakan praduga bersalah.
Money Laundrey diperkenalkan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) sejak
disahkannya konvensi Wina tentang Perdagangan Gelap Narkotika dan
3Sutan Remy Sjahdeini, “Memburu Aset Koruptor Dengan Menebar Jerat
PencucianUang,”
HukumOnline:http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol12317/%20memburu-aset-koruptor-
denganmenebar-jerat-pencucian-uang, di akses 4 Mei 2017 4 Harry Murti, dalam jurnal ilmiah “Beban Pembuktian Terbalik Tindak Pidana Korupsi
dalam Perspektif Juridis Sosiologis”, 2011
vii
Psikotropika di tahun 1988. Amerika telah memiliki Undang-Undang pertama
dalam pemberantasan TPPU “Money Laundering Control Act 1986.5 TPPU telah
disadari oleh masyarakat dunia sebagai sebuah kejahatan yang multidimensional
dan syarat dilatarbelakangi oleh kejahatan berkategori white collar crime.
Urgensi pengaturan TPPU pun menjadi materi utama setiap negara yang berada
dalam gerakan money laundering dengan membuat peraturan TPPU melalui
instrument hukum nasional.
Selama Indonesia merdeka permasalahan penegakan hukum selalu menjadi
masalah rumit atas dasar konsekuensi falsafah negara hukum Pasal 1 ayat (3)
UUD 1945. Indonesia menjadi salah satu negara yang masuk daftar negara yang
bermuatan TPPU oleh Financial Action Task Force on Money Laundering
(FATF) tahun 2001, dan dinobatkan sebagai negara terkorup di tahun 2010 se-
Asia oleh Political and Economic Risk Consultance (PERC) telah mensiratkan
Indonesia untuk membenahi penegakan hukum.
Pelaksanaan Beban Pembuktian Terbalik dalam Tindak Pidana Pencucian
Uang, melalui dasar Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan
dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Dilematika dari kajian diatas
cukup berdampak signifikan dalam penerapan metode pembuktian terbalik saat
ini. Di satu sisi banyak yang menuding konsep baru ini merupakan penegasian
atas kaidah hukum positif di Indonesia dengan berbagai pemikiran dan tinjuan.
Politik hukum dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, adalah penguatan
5 R. Dea Rhinofa, SH dalam Jurnal ilmiah “Kewenangan Badan Narkotika Nasional
dalam Pemberantasan Money Laundering Hasil Tindak Pidana Narkotika”. Tanpa tahun
viii
sistem pemberantasan TPPU dalam kaidah sinergisitas pemberantasan kejahatan
asal. Tujuan yang tertuang dalam Undang-Undang inipun memerlukan dukungan
dari segala elemen. Undang-Undang yang cukup revolusioner progresif dengan
berani memasukan metode baru pembuktian terbalik didalamnya.
Penegasan atas kajian dari tema ini adalah bahwa penulis tetap sependapat
terhadap penggunaan konsep beban pembuktian terbalik atas TPPU di Indonesia.
Harus disadari bahwa urgensi penerapan pembuktian terbalik atas TPPU
merupakan sebuah konsep yang revolusioner dan progresif yang dirumuskan
pembentuk Undang-Undang.
Secara sosiologis bahwa keadaan di Indonesia saat ini dari apa yang
dikemukakan sebelumnya telah berada dalam transisi pembenahan permasalahan
TPPU dengan berbagai kejahatan asal. Kebutuhan hukum serta kondisi faktual
saat ini adalah konsep baru dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, dengan
penguatan sistem beban pembuktian terbalik dalam penyelesaian TPPU.
Penyusunan UU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang menjadi semakin strategis dan relevan dengan telah
diratifikasinya International Convention for the Suppression of the Financing of
Terrorism, 1999 (Konvensi Internasional Pemberantasan Pendanaan Terorisme
Tahun 1999) berdasarkan UU Nomor 6 Tahun 2006 dan United Nations
Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
Anti Korupsi) berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 2006. Dengan telah
diratifikasinya kedua konvensi internasional tersebut, maka pemerintah Indonesia
berkewajiban untuk memenuhi semua kewajiban yang diatur oleh kedua konvensi
ix
dan menyampaikan country report yang memuat upaya tindak lanjut dari ratifikasi
kedua konvensi tersebut.
Salah satu kewajiban sesuai Pasal 2 Konvensi PBB mengenai
Pemberantasan Pendanaan Terorisme, adalah penerapan kewajiban bagi lembaga
keuangan untuk melaporkan transaksi yang mencurigakan kepada instansi
berwenang serta bekerja sama untuk saling tukar-menukar informasi dalam rangka
pencegahan dan pemberantasan aliran dana untuk tindak pidana terorisme.
Konvensi PBB mengenai Pencegahan Pendanaan Terorisme juga mewajibkan
setiap “negara pihak” (state party) untuk mengatur pengidentifikasian,
pendeteksian, dan pembekuan dana yang digunakan untuk membiayai tindak
pidana terorisme. Dengan telah diratifikasinya Konvensi Anti Korupsi
sebagaimana diuraikan di atas maka pemerintah Indonesia harus memenuhi segala
kewajiban yang timbul sebagai “negara pihak” karena telah menandatangani
perjanjian internasional tersebut. Salah satu kewajiban yang diatur dalam
konvensi tersebut antara lain mengenai upaya-upaya pencegahan dan
pemberantasan korupsi yang sudah tentu terkait erat dengan TPPU.
Maka dengan dasar itulah digunakannya pembuktian terbalik dalam tindak
pidana pencucian uang. Pembuktian terbalik menjadi upaya pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan Indonesia untuk
memenuhi kewajibannya dalam perjanjian internasional tersebut.
x
Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang
Dalam Praktik Peradilan Pidana (Terdakwa dalam Putusan Mahkamah
Agung Nomor 1454 K/PID.SUS/2011)
Proses pembuktian atau membuktikan mengandung maksud dan usaha
untuk menyatakan kebenaran atas sesuatu peristiwa, sehingga dapat diterima akal
terhadap kebenaran peristiwa tersebut. Pembuktian mengandung arti bahwa benar
suatu peristiwa pidana telah terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya,
sehingga harus mempertanggung jawabkannya.6
Pembuktian merupakan suatu proses kegiatan untuk membuktikan sesuatu
atau menyatakan kebenaran tentang suatu peristiwa. Pasal 183 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
menyatakan :
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila
dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan
bahwa suatu tindak pidana benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya.”
Berdasarakan Teori di atas yang melatarbelakangi kenapa Jaksa/Penuntut
Umum menerapkan Pembuktian Terbalik terhadap terdakwa Bahasyim Assiffie,
karena selain pembuktian tindak pidana pencucian uang yang sangat sulit juga
merupakan suatu kegiatan yang dapat berdampak sangat serius terhadap stabilitas
sistem keuangan maupun perekonomian secara keseluruhan. Tindak pidana
pencucian uang merupakan tindak pidana multidimensi dan bersifat transnasional
yang sering kali melibatkan jumlah uang yang cukup besar juga dapat
6 Darwan Prinst. Hukum Acara Pidana Dalam Praktik. Jakarta: Djambatan. 1998. hal.
133.
xi
membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Bahwa dalam proses persidangan Terdakwa Dr. Bahasyim Assifie juga telah
melakukan pembuktian terbalik untuk membuktikan mengenai asal usul perolehan
uang yang dimiliknya sebesar Rp. 60.992.238.206,- (enam puluh milyar Sembilan
ratus sembilan puluh dua juta dua ratus tiga puluh delapan ribu dua ratus enam
rupiah) dan USD 681,147.37 (enam ratus delapan puluh satu ribu seratus empat
puluh tujuh Dollar AmerikaSerikat tiga puluh tujuh sen), yaitu sebagaimana
dibuktikan oleh bukti dari T- 1A sampai T- 7D.
Pada tahap persidangan pembuktian terbalik dapat diterapkan, tepatnya pada
proses pembuktian yaitu pada saat keterangan dari terdakwa, dan hanya
menyangkut harta dari terdakwa tidak ada kaitannya dengan pelaku yang
menyebabkan pelanggaran terhadap asas praduga bersalah nantinya. Dalam
perkara putusan Nomor 1454 K/PID.SUS/2011 penuntut umum menerapkan
pembuktian terbalik dengan berlandaskan pada Pasal 35 Undang-Undang Tindak
Pidana Pencucian Uang Nomor 25 Tahun 2003. Sehingga terdakwa diwajibkan
untuk membuktikan asal usul harta kekayaan yang dimilikinya. Fakta yang terjadi
di persidangan bahwa Terdakwa Dr. Bahasyim Assifie telah membuktikan di
persidangan bahwa Dr. Bahasyim Assifie memiliki uang tunai sejumlah sebesar
Rp. 60.992.238.206,- dan USD 681.147.37 bukan merupakan hasil tindak pidana
dengan pembuktian yang sudah disampaikan di persidangan dan selama proses
pembuktian di persidangan Jaksa/Penuntut Umum tidak dapat membuktikan
xii
sebaliknya selain daripada apa yang diungkapkan oleh keterangan saksi-saksi dan
bukti-bukti yang telah kami ajukan dalam pemeriksaan di persidangan. Sehingga
dari seluruh harta kekayaan milik terdakwa hanya sebagian yang dirampas oleh
negara karena terdakwa tidak bisa membuktikan bahwa uang sebesar Rp 1 miliar
yang diperoleh terdakwa dari saksi kartini mulyadi bukan dari tindak pidana
namun terdakwa tidak bisa membuktikan kalau uang tersebut bukan hasil pinjam
modal, sehingga untuk keseluruhannya hanya sekitar senilai Rp 60,9 miliar
ditambah 681.147 dollar AS dirampas untuk negara karena terbukti merupakan
hasil tindak pidana korupsi.
Dari kasus tersebut, konsekuensi logis beban pembuktian terbalik ini tidak
bersinggungan dengan pelanggaran hak asasi manusia, ketentuan hukum acara
pidana khususnya tentang asas praduga tidak bersalah, asas tidak mempersalahkan
diri sendiri (non-self incrimination), asas hak untuk diam (right to remain silent),
hukum pidana materiil serta instrumen hukum Internasional. Hal ini dikarenakan
beban pembuktian terbalik hanya dapat dilakukan terhadap harta kekayaan pelaku
tindak pidana pencucian uang Sehingga titik beratnya hanya pada pengembalian
harta negara. Karena itu, sudah saatnya pengadilan mengunakan asas beban
pembuktian terbalik kepada para tersangka tindak pidana pencucian uang.
Penerapan asas tersebut akan membuktikan bahwa harta kekayaan tersangka
benar-benar merupakan hasil tindak pidana atau sebaliknya. Beban pembuktian
terbalik secara berimbang yang menjadi muatan utama konsep di Indonesia
merupakan salah satu jalan terbaik untuk mengikis pergesekan pertentangan.
Sekaligus menjawab atas permasalahan mengakar dalam kejahatan asal Tindak
xiii
Pidana Pencucian Uang yang tidak kunjung menempati titik terbaik dalam sejarah
bangsa.
xiv
III. PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan uraian dalam bagian pembahasan, maka dapat disimpulkan
sebagai berikut: 1. Pengaturan pembuktian terbalik diatur dalam pasal 77 dan 78
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang. 2. Dasar pemikiran digunakannya sistem
pembuktian terbalik dalam tindak pidana pencucian uang di Indonesia, adalah
karena semakin berkembangnya tindak pidana pencucian uang dengan berbagai
modos dengan teknologi yang canggih serta terjadi secara sistematis sehingga
dalam pembuktiannya tidak lagi bisa menggunakan cara-cara pembuktian biasa
melainkan dituntut untuk menggunakan cara-cara baru yang dianggap lebih
efektif. 3. Pembuktian terbalik diterapkan pada proses pembuktian di dalam
persidangan yaitu pada saat keterangan dari Terdakwa dan hanya menyangkut
harta kekayaan dari terdakwa tidak ada kaitannya dengan pelaku dan harus sesuai
dengan aturan yang berlaku.
Saran
Berdasarkan dari hasil penelitian, penyusun dapat memberikan saran sebagai
berikut: 1. Perlu adanya dukungan dari semua pihak mengenai pengaturan
pembuktian terbalik dalam TPPU, agar tujuan dari pengaturan pembuktian
terbalik dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 dapat tercapai. 2.
Diharapkan aturan mengenai pembuktian terbalik dalam Undang-Undang Nomor
8 Tahun 2010 ini bukan hanya sekedar aturan tertulis yang dianggap efektip
dalam upaya pencegahan dan pemberantasan TPPU, cara-cara baru dan aturan
xv
hukum baru tentu tidak cukup tanpa adanya dukungan dari penegak hukum dalam
menerapkan aturan ini. 3. Dibutuhkan keberanian dari penegak hukum dalam
penerapan pembuktian terbalik dalam kasus-kasus TPPU. Sesama penegak hukum
harus memiliki persamaan perspsi dalam menerapkan dan melaksanakan
pembuktian terbalik.
xvi
DAFTAR PUSTAKA
BUKU dan JURNAL
Darwin, Philips, Money Laundering (Cara Memahami Dengan Tepat dan Benar
Soal Pencucian Uang), Sinar Ilmu, 2012.
Murti, Hary, dalam jurnal ilmiah “Beban Pembuktian Terbalik Tindak Pidana
Korupsi dalam Perspektif Juridis Sosiologis”, 2011.
Prinst Darwan, Hukum Acara Pidana Dalam Praktek, Cet. 3, Djambatan, Jakarta,
2002.
Rhinofa, Dea, R, dalam Jurnal ilmiah “Kewenangan Badan Narkotika Nasional
dalam Pemberantasan Money Laundering Hasil Tindak Pidana Narkotika”.
Tanpa tahun.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANG
Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang.
INTERNET
http://www.hukumpedia.com/agnesharvelian/pelaksanaan-beban-pembuktian-
terbalik-dalam-tindak-pidana-pencucian-uang,
Sutan Remy Sjahdeini, “Memburu Aset Koruptor Dengan Menebar Jerat
PencucianUang,”
HukumOnline:http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol12317/%20m
emburu-aset-koruptor-denganmenebar-jerat-pencucian-uang,
Top Related