PENERAPAN FATWA DSN NO. 92 TAHUN 2014 TENTANG
PEMBIAYAAN YANG DISERTAI RAHN TERHADAP PRODUK DI
PEGADAIAN SYARIAH
(Studi Kasus Pegadaian Cabang Pegadaian Syariah Cinere)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu
Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
Shahreza Andiat PN
11150490000061
PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARI’AH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1441 H/2019 M
v
ABSTRAK
Shahreza Andiat Putra Negara NIM 11150490000061. PENERAPAN
FATWA DSN NO. 92 TENTANG PEMBIAYAAN DISERTAI RAHN
TERHADAP PRODUK DI PEGADAIAN SYARIAH (STUDI KASUS
PEGADAIAN CABANG SYARIAH CINERE). Program Studi Hukum Ekonomi
Syariah, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 1441 H/2019 M.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis penerapan
dari Fatwa DSN MUI dalam suatu produk di Pegadaian Syariah Cabang Cinere.
Metode penelitian dalam skripsi ini adalah menggunakan metode penelitian
deskriptif kualitatif dengan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris.
Penelitian ini menggunakan data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari
objek penelitian yang diteliti. Dalam penelitian ini penulis mendapatkan data dan
informasi melalui wawancara eksklusif dengan pihak pegadaian syariah cinere
dan studi dokumentasi langsung ditempat. Teknik wawancara dilakukan dengan
cara menentukan dan memilih informan yang dianggap mengetahui dan mengerti
secara keseluruhan tentang apa yang diharapkan penulis, dan studi dokumentasi
dilakukan dengan mengumpulkan data-data yang relevan dengan penelitian
penulis. Pengolahan data dilakukan dengan menganalisis hasil dari studi
dokumentasi dan studi lapangan dan mengkaji tentang kesesuaiannya dengan
Fatwa DSN-MUI.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penerapan Fatwa DSN-MUI No.
92 tentang pembiayaan disertai rahn di terapkan dalam beberapa produk, dan
produk pembiayaan yang penulis teliti yaitu produk pembiayaan Arrum BPKB
dan Amanah. Pada penerapannya pembiayaan dengan produk tersebut
menggunakan akad yang sama yaitu akad rahn tasjily dan akad pinjaman qardh.
Adanya akad qardh (pinjaman) timbul karena akad rahn yang menyertakan unsur
jaminan maka melahirkan utang piutang. Barang jaminan oleh nasabah
dijaminkan ke pegadaian syariah cinere, dan oleh karena tersebut maka dikenakan
biaya mu’nah akibat dari penyimpanan barang jaminan tersebut berdasarkan
adanya akad rahn/gadai, penyimpanan atas barang jaminan tersebut bukan
merupakan akad ijarah melainkan konsekuensi dari akad rahn sehingga terdapat
kekeliruan yang mengatakan bahwa terdapat akad ijarah dalam penyimpanan
barang jaminan. Penerapan produk Arrum BPKB dan Amanah tersebut terhadap
Fatwa DSN-MUI No. 92 tentang pembiayaan disertai rahn telah terpenuhi namun
terdapat beberapa ketidaksesuaian terhadap Fatwa DSN-MUI lainnya dalam hal
denda dan ganti rugi.
Kata Kunci : Pembiayaan rahn, Fatwa DSN MUI, Pegadaian Syariah.
Pembimbing : Drs. H. Hamid Farihi, M.A.
Daftar Pustaka : 1992 s.d. 2018.
vi
KATA PENGANTAR
نهللاه يمهالرحم الرحه بهسمه
Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT sang pencipta semesta alam
yang telah memberikan rahmat, berkah dan hidayah-Nya kepada Penulis.
Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW
yang telah membawa manusia ke zaman ilmu pengetahuan.
Alhamdulillah Penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Penerapan
Fatwa DSN No 92 Tahun 2014 tentang Pembiayaan disertai Rahn Terhadap Suatu
Produk Di Pegadaian Syariah (Studi Kasus Pegadaian Syariah Cabang Cinere)”.
Penulis sadar banyak pihak yang membantu Penulis dalam menyelesaikan skripsi
ini, baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu perkenankan Penulis
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Para Pihak yang telah
membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini, kepada yang terhormat:
1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag., S.H., M.A., M.H., selaku Dekan
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. AM. Hasan Ali, M.A. dan Dr. Abdurrauf, Lc., M.A., selaku Ketua
Program Studi dan Sekretaris Program Studi Hukum Ekonomi Syariah
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah
memberikan arahan dan saran yang terbaik untuk Penulis.
3. Drs. H. Hamid Farihi, M.A., selaku dosen pembimbing skripsi yang
senantiasa memberikan semangat, arahan, dukungan serta meluangkan
waktu untuk memberikan masukan yang baik kepada Penulis, sehingga
Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Semoga Bapak senantiasa selalu
dalam lindungan Allah SWT.
4. Pegadaian Syariah Cabang Cinere, Khususnya Bapak Eko Wiyoto, S.Sos.,
Selaku Pimpinan Cabang Pegadaian Syariah Cinere dan Mas Anggi
Kristianto selaku Penaksir Pegadaian Syariah Cinere dan seluruh staff
vii
Pegadaian Syariah Cabang Cinere yang telah mengizinkan untuk meneliti
dan banyak membantu penulis menyelesaikan skripsi ini.
5. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang selama ini telah
memberikan ilmu pengetahuan sehingga penulis dapat menyelesaikan
jenjang pendidikan ini dengan baik.
6. Seluruh staff Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Syariah Dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan
pelayanan dalam memberikan informasi dan sumber referensi.
7. Kedua orang tua saya, kakak serta adik saya yang telah memberikan
segalanya baik moril maupun materil yang tiada henti kepada penulis
sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.
8. Kepada teman-teman seperjuangan Hukum Ekonomi Syariah angkatan
2015 khususnya Salma Nadiyah dan Fakhrul Ardian yang telah membantu
banyak dalam menempuh pendidikan ini semoga kita diberikan
kesuksesan dalam menjalani kehidupan kedepannya.
Akhir kata penulis berdoa semoga segala kebaikan semua pihak mendapat balasan
kebaikan dari Allah SWT dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua
pihak.
Jakarta, November 2019
Shahreza Andiat Putra N
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................... i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................ ii
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................. iii
LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................. iv
ABSTRAK .............................................................................................................. v
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi
DAFTAR ISI ....................................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. x
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................. 1
B. Identifikasi Masalah ................................................................... 7
C. Pembatasan Masalah ................................................................... 7
D. Rumusan Masalah ....................................................................... 8
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................. 8
F. Kerangka Teori dan Konseptual ................................................. 9
G. Metodelogi Penelitian ............................................................... 14
H. Rancangan Sistematika Penulisan ............................................ 17
BAB II LANDASAN TEORI .................................................................... 18
A. Tinjauan Teoritis ....................................................................... 18
1. Konsep Akad ..................................................................... 18
2. Tinjauan Gadai Syariah (Rahn) ......................................... 22
3. Gadai Dalam Hukum Positif ............................................. 29
4. Pembiayaan Disertai Rahn ................................................ 30
5. Anatomi Kontrak ............................................................... 34
ix
B. Studi Review Terdahulu ........................................................... 35
BAB III GAMBARAN UMUM TENTANG PEGADAIAN SYARIAH
CABANG CINERE ............................................................................................. 39
A. Sejarah ...................................................................................... 39
B. Profil Lembaga ......................................................................... 41
C. Visi dan Misi ............................................................................ 41
D. Kegiatan Usaha ......................................................................... 43
E. Struktur Organisasi, Tugas dan Jabatan ................................... 44
BAB IV PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN ........................... 45
A. Mekanisme Pelaksanaan Pembiayaan Arrum BPKB dan
Amanah ..................................................................................... 45
1. Prosedur Pembiayaan Arrum BPKB .................................. 45
2. Prosedur Pembiayaan Amanah ........................................... 47
B. Analisis Pembiayaan Arrum BPKB dan Amanah Berdasarkan
Fatwa DSN MUI No. 92 Tahun 2014 Tentang Pembiayaan
Disertai Rahn ............................................................................ 49
C. Analisis Kontrak Produk Arrum BPKB dan Amanah .............. 62
BAB V PENUTUP ..................................................................................... 70
A. Kesimpulan ............................................................................... 70
B. Saran ......................................................................................... 72
DAFTAR PUSTAKA ................................................................... 74
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1. Pedoman Transkip Wawancara
2. Draft Perjanjian Pembiayaan
3. Surat Keterangan Wawancara
4. Dokumentasi
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Penyaluran Pembiayaan Pegadaian Syariah Di Indonesia 2010-2016 4
Gambar 1.2 Kerangka Konseptual ........................................................................ 13
Gambar 3.1 Struktur Organisasi Pegadaian Syariah Cabang Cinere ..................... 44
Gambar 4.1 Alur Skema Pembiayaan ARRUM BPKB ........................................ 45
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan dan kemajuan jaman menandakan bahwa kehidupan
umat manusia terus bermetamorfosa dari cara konvensional ke modern.
Termasuk di segala bidang kehidupan manusia termasuk di dalamnya
bidang sosial, politik, kebudayaan, teknologi dan ekonomi. Khusus aspek
ekonomi merupakan aspek kehidupan yang sangat dinamis. Artinya, selalu
mengalami perubahan dan perkembangan dari waktu ke-waktu.
Untuk kegiatan ekonomi yang sangat dipengaruhi oleh kondisi
ruang dan waktu, posisi fatwa sangat diperlukan sebagai pijakan hukum.
Fatwa dijadikan pedoman oleh otoritas keuangan dan Lembaga Keuangan
Syariah (LKS) dalam kegiatannya. Fatwa dijadikan standar untuk
keshariahan produk dan operasional keuangan syariah dan sebagian fatwa
merupakan transformasi akad-akad dalam hukum islam ke dalam kegiatan
transaksi keuangan syariah karena keuangan syariah merupakan bentuk
aplikasi dari hukum islam.1
Lembaga keuangan berperan penting dalam pengembangan dan
pertumbuhan masyarakat industri modern. Produksi berskala besar dengan
kebutuhan investasi yang membutuhkan modal yang besar tidak mungkin
dipenuhi tanpa bantuan para pengusaha untuk mendapatkan tambahan
modalnya melalui mekanisme kredit dan menjadi tumpuan investasi
mekanisme saving (tabungan).2
Fungsi dan peran lembaga keuangan syariah diantaranya
memenuhi kebutuhan masyarakat akan dana sebagai sarana untuk
melakukan kegiatan ekonomi yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
1 Frank E. Vogel dan Samuel. L. Hayes, Islamic Law and Finance: Religion Risk and
Return (The Netherlands: Kluwer Internasional, 1998), h. 23.
2 Muhammad Ridwan, Manajemen Baitul Maal Wa Tamwil (BMT), UII Press,
Yogyakarta, 2004, hal. 51.
2
Misalnya mengonsumsi suatu barang, taambahan modal kerja,
mendapatkan manfaat atau nilai guna suatu barang, atau bahkan
permodalan awal bagi seseorang yang mempunyai usaha prospektif namun
padanya tidak memiliki permodalan berupa keuangan yang memadai.
Fungsi dan peran lembaga keuangan syariah yaitu :
1. Memperlancar pertukaran produk (barang dan jasa) dengan
menggunakan jasa keuangan yang sesuai dengan prinsip syariah.
2. Menghimpun dana dari masyarakat untuk disalurkan kembali
dalam bentuk pembiayaan sesuai dengan prinsip syariah.
3. Memberikan pengetahuan/informasi kepada pengguna jasa
keuangan sehingga membuka peluang keuntungan sesuai prinsip
syariah.
4. Lembaga keuangan memberikan jaminan hukum mengenai
keamanan dana masyarakat yang dipercayakan sesuai dengan
prinsip syariah.
5. Menciptakan likuiditas sehingga dana yang disimpan dapat
digunakan ketika dibutuhkan sesuai dengan prinsip syariah.3
Prinsip syariah menurut pasal 1 angka 12 Undang-undang Nomor
21 Tahun 2008 tentang Perbankan syariah yang dimaksud dengan prinsip
syariah adalah :
“prinsip hukum islam delam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa
yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam
penetapan fatwa di bidang syariah”.
Dari ketentuan diatas tampak bahwa menurut Undang-undang
Nomor 21 Tahun 2008, prinsip hukum islam yang akan digunakan dalam
kegiatan yang dijalankan oleh lembaga keuangan syariah terlebih dahulu
harus ditetapkan oleh lembaga yang berwenang dalam fatwa, yang dalam
3 Mardani, aspek hukum lembaga keuangan syariah di ndonesia, Kencana, Jakarta, 2015,
hal. 5.
3
hal ini adalah Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
(selanjutnya disebut Fatwa DSN MUI).
Perusahaan pegadaian merupakan lembaga keuangan yang
menyediakan fasilitas pinjaman dengan jaminan tertentu jaminan nasabah
tersebut digadaikan, kemudian ditaksir oleh pegadaian untuk menilai
besarnya nilai jaminan. Besarnya nilai jaminan akan mempengaruhi
jumlah pinjaman. Sementara ini usaha pegadaian secara resmi masih
dilakukan pemerintah. Sedangkan pegadaian syariah dalam menjalankan
operasionalnya berpegang kepada prinsip syariah. Pinjaman dengan
menggadaikan barang sebagai jaminan utang dilakukan dalam bentuk
rahn. Pegadaian syariah hadir di Indonesia dalam bentuk kerja sama bank
syariah dengan perum pegadaian membentuk unit layanan gadai syariah di
beberapa kota di Indonesia. Disamping itu ada pula bank syariah yang
menjalankan kegiatan pegadaian syariah sendiri.4
PT. Pegadaian (persero) yang sebelumnya berbentuk Perusahaan
Umum Pegadaian (Perum Pegadaian) berdasarkan ketentuan Peraturan
Pemerintah Nomor 10 tahun 1990 tentang pengalihan bentuk Perusahaan
Jawatan (Perjan) Pegadaian menjadi Perusahaan Umum (Perum)
Pegadaian, sebagaimana diganti dengan Peraturan Pemerintah nomor 103
tahun 2000 tentang Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian, dan perubahan
yang terakhir berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 2011
tentang perubahan bentuk badan hukum Perusahaan Umum (Perum)
Pegadaian menjadi Perusahaan Perseroan (Persero). Perubahan itu
dimaksudkan dalam rangka lebih meningkatkan efisiensi dan efektifitas
4 Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Kencana, Jakarta, 2017. Hal.
47.
4
penyelenggaraan penyaluran pinjaman khususnya kepada masyarakat
menengah kebawah, usaha mikro, usaha kecil, dan usaha menengah.5
Salah satu produk di Lembaga Keuangan Syariah (selanjutnya
disebut LKS) termasuk Pegadaian Syariah adalah “Pembiayaan” yang
dalam hukum islam (fikih) kepentingan kreditur itu sangat dijaga dan
diperhatikan. Oleh karena itu ia dibolehkan meminta barang dari debitur
sebagai jaminan utangnya. Dalam dunia finansial, barang jaminan ini
biasanya dikenal dengan objek jaminan (colleteral) atau barang gadai
(marhun) dalam gadai syariah.
Gambar 1.1
Penyaluran Pembiayaan Pegadaian Syariah di Indonesia tahun 2010-2016
(Dalam Jutaan Rupiah)
Tahun Rahn Arrum Mulia
2010 1.613.520, 92.210 176.498
2011 2.157.676 102.900 986.597
2012 2.569.448 64.462 998.597
2013 2.735.327 133.837 1.289.693
2014 3.045.332 200.333 837.546
2015 3.470.196 339.403 594.007
2016 4.910.872 536.107 819.516
Sumber : laporan tahunan pegadaian syariah
Berdasarkan laporan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkait Industri
Keuangan Non Bank (IKNB) syariah, peningkatan bisnis gadai syariah
didukung oleh pertumbuhan pinjaman pembiayaan syariah berbentuk
5 Rizki Sukma Hapsari, perlindungan hukum terhadap nasabah dalam hal terjadi
kerusakan atau kehilangan barang jaminan di PT. Pegadaian (Persero) kota Madiun, jurnal
repertorium vol III, fakultas hukum universitas sebelas maret, 2016.
5
Rahn yang mencapai Rp 4,01 triliun per Maret 2018, naik 1,77%
dibandingkan periode yang sama di tahun 2017.
Pembiayaan syariah berbentuk Rahn Tasjily naik signifikan 77,9%
menjadi Rp 1,08 triliun. Sebalikanya, pegadaian mencatat penyaluran
pembiayaan dari produk mulia sebesar Rp 41 miliar, turun 87,6%
dibandingkan periode yang sama tahun 2017, yakni sebesar Rp 333 miliar.
Dari tiga produk syariah tersebut, pegadaian secara keseluruhan
berhasil mencatatkan pembiayaan syariah sebesar Rp 5,26 triliun, naik
7,7% dibandingkan tahun sebelumnya.6
Dalam kegiatan operasionalnya pegadaian syariah menggunakan
beberapa peraturan yang mendukung usaha pergadaian tersebut diantara
regulasi tersebut yaitu Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
31/POJK/2016 tentang usaha pergadaian, Fatwa DSN No 25/DSN-
MUI/III/2002 tentang Rahn, Fatwa DSN No 26/DSN-MUI/III2002 tentang
Rahn Emas, Fatwa DSN No 68/DSN-MUI/III/2008 tentang Rahn Tasjily
dan Fatwa DSN No 92/DSN-MUI/2014 tentang Pembiayaan yang disertai
Rahn (al-tamwil al- mautsuq bil-rahn) yang masing-masing terdiri dari
tiga akad, yaitu akad gadai, akad utang dan akad ijarah.
Konsep gadai modern, pada dasarnya gadai syariah berjalan lebih
dari satu akad transaksi Islam. Namun, akad ijarah yang merupakan
kontrak akad setelah akad qard dalam gadai syariah menjadi satu hal
pengenaan biaya/uang sewa. Hal ini menjadi kekhawatiran mengandung
unsur-unsur yang tidak sejalan dengan Islam. Dalam konsep multiakad
ditransaksi gadai syariah dianggap tidak bertentangan dengan larangan dua
akad dalam satu transaksi, karena akad dilakukan secara terpisah dalam
artian akad qard sebagai akad pinjaman uang yang kemudian akad ijarah
sebagai akad sewa tempat barang jaminan.
6https://www.google.com/amp/amp.kontan.co.id/news/per-maret-2018-pembiayaan-
syariah-pegadaian-capai-rp-526-triliun.
6
Berdasarkan penelitian terkait sebelumnya, penulis mendapati
dalam praktek yang dijalankan oleh Lembaga Keuangan Syariah, terdapat
beberapa kesenjangan secara teori, regulasi maupun praktik yang
dijalankan antara pihak LKS dengan nasabah, akad-akad yang tidak
berjalan sesuai dengan prinsip Islam dan peraturan-peraturan yang terkait,
sistem gadai yang dikonstruk oleh DSN-MUI melalui aturan fatwa dengan
sistem yang menggabungkan beberapa akad dalam transaksinya yang
menyertakan jaminan perlu diteliti lebih lanjut tentang penerapan atau
implentasinya agar tidak melampaui batas norma dan nilai syariah yang
sudah ditetapkan.
Selain itu mekanisme menggunakan akad pembiayaan, maka
ketentuan-ketentuan tentang pembiayaan juga harus sesuai dengan prinsip
dan regulasi yang ada. Dalam praktik terjadi ketidakjelasan akad yang
digunakan dalam transaksinya yang menyimpang dari aturan maupun
regulasi yang ada, kapan akad tersebut berlaku, serta barang jaminan yang
dijaminkan tidak memenuhi rukun dan syarat rahn, ketentuan besar biaya
pemeliharaan (mu‟nah) yang pada dasarnya harus berdasarkan biaya riil
dan pasti tidak boleh ditetapkan berdasarkan besaran jumlah pinjaman,
tidak ada kejelasanan terkait mu‟nah atau ujroh yang masih dianggap
sebagai ujroh dengan memakai akad qard dan mu‟nah dengan memakai
akad ijarah, beberapa masih mengambil pendapatan dari biaya
pemeliharaan dari akad murabahah.
Berdasarkan beberapa uraian diatas oleh karena itu penulis ingin
bermaksud untuk meneliti lebih lanjut dengan judul Penerapan Fatwa
DSN No. 92 Tahun 2014 Tentang Pembiayaan Yang Disertai Rahn
Terhadap Suatu Produk Pegadaian Syariah (Studi Kasus Pegadaian
Cabang Pegadaian Syariah Cinere
7
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, masalah yang dapat
diidentifikasikan penulis adalah sebagai berikut :
a. Konsep inovasi dari rahn yang diterapkan dalam akad-akad yang
ada masih dianggap sebagai hilah agar terhindar dari riba dan
gharar.
b. Kurangnya pengetahuan masyarakat terkait produk-produk yang
ditawarkan di Pegadaian Syariah.
c. Tidak diaturnya dalam bentuk Undang-Undang tentang usaha
pegadaian syariah.
d. Tidak adanya ketegasan penggunakan akad serta pendapatan LKS
dari biaya penyimpanan/pemeliharaan serta besaran biaya yang
perhitungannya tidak didasarkan pada biaya pasti dan riil.
e. Formulasi gabungan beberapa akad menimbulkan adanya biaya
yang harus ditanggung nasabah, yang besarannya berdasarkan nilai
taksiran pembiayaan gadai berbeda-beda tiap LKS.
C. Pembatasan Masalah
Yang menjadi fokus dalam pembahasan ini, maka penulis berusaha
untuk memberikan sebuah batasan atas permasalahan yang penulis bahas.
Pembatasan masalah dilakukan untuk menghindari kemungkinan terjadi
tumpang tindih dengan masalah lain diluar penelitian ini.7
Batasan masalah penelitian ini adalah Penerapan produk Arrum
BPKB dan Amanah berdasarkan Peraturan Fatwa No 92 Tahun 2014
Tentang Pembiayaan Disertai Rahn Di Pegadaian Syariah Cabang Cinere.
7 Tim Penulis Fakultas Syariah Dan Hukum, Buku Pedoman Penulisan Skripsi, Jakarta,
UIN Syahid, 2007, Hal. 23.
8
D. Rumusan masalah
Berdasarkan uraian latar belakang, identifikasi serta pembatasan
masalah diatas, maka penulis merumuskan masalah dalam bentuk
pertanyaan sebagai berikut :
1. Bagaimana penerapan produk Arrum BPKB dan Amanah pada
Pegadaian Syariah ?
2. Bagaimana kesesuaiannya terhadap ketentuan dalam Fatwa DSN
MUI No. 92 Tahun 2014 Tentang Pembiayaan Disertai Rahn dan
Fatwa DSN MUI terkait ?
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan :
1. Menganalisis penerapan produk Arrum BPKB dan Amanah di
Pegadaian Syariah Cabang Cinere.
2. Menganalisis kesesuaian praktik yang diterapkan produk tersebut
berdasarkan ketentuan Fatwa DSN MUI No. 92 Tahun 2014 dan
Fatwa DSN MUI lainnya yang terkait.
Manfaat Penelitian
Manfaat bagi akademisi yaitu :
1. Dengan adanya penelitian ini dapat menjadi bahan untuk penelitian
selanjutnya.
2. Dengan adanya penelitian ini dapat menjadi informasi bagi
masyarakat yang ingin menjadi nasabah pegadaian syariah.
9
Manfaat bagi praktisi :
1. Dengan adanya penelitian ini dapat menjadi referensi
mengembangkan bagi lembaga terkait.
2. Dengan adanya penelitian ini menjadi referensi bagi pemerintah
dalam mengeluarkan kebijakan terkait penelitian ini.
F. Kerangka Teori dan Konseptual
1. Kerangka Teori
Kerangka teori dalam penelitian ini, akan membahas tentang
penerapan suatu produk hukum dalam hal ini adalah undang-undang
dan fatwa dsn mui dalam pembiayaan disetai rahn di pegadaian
syariah. Selanjutnya pembahasan teori yang bersangkutan dengan
penelitian yang akan diteliti oleh peneliti. Prinsip-prinsip Hukum Islam
Menurut Fathurahman Djamil yaitu :
a. Meniadakan Kesulitan dan Tidak Memberatkan („Adamul haraj)
Hukum Islam senantiasa memberikan kemudahan dan menjauhi
kesulitan, semua hukumnya dapat dilaksanakan oleh umat
manusia. Karena itu dalam hukum Islam dikenal istilah rukhshah
(peringanan hukum ).
b. Menyedikitkan Beban (Taqlil Al-Takalif )
Nabi melarang para sahabat memperbanyak pertanyaan tenntang
hukum yang belum ada yang nantinya akan memberatkan mereka
sendiri. Nabi SAW justru menganjurkan agar mereka memetik dari
kaidah-kaidah umum. Yang sedikit tersebut, justru memberikan
kelapangan yang luas bagi manusia untuk berijtihad. Dengan
demikian, hukum islam tidaklah kaku, keras, dan berat bagi umat
manusia.
c. Ditetapkan Secara Bertahap (Tadrijiyyan)
d. Memperhatikan Kemaslahatan Manusia
10
Dalam penetapan hukum senantiasa didasarkan pada tiga sendi
pokok, yaitu :
1) Hukum-hukum ditetapkan sesudah masyarakat membutuhkan
hukum-hukum itu;
2) Hukum-hukum ditetapkan oleh sesuatu kekuasaan yang berhak
menetapkan hukum dan menundukan masyarakat kebawah
ketetapannya; dan
3) Hukum-hukum ditetapkan menurut kadar kebutuhan
masyarakat.
Disamping itu, terbentuknya hukum islam didorong oleh
kebutuhan-kebutuhan praktis, ia juga dicari dari kata hati untuk
mengetahui yang dibolehkan dan yang dilarang. Hakekat
kemaslahatan dalam islam adalah segala bentuk kebaikan dan
manfaat yang berdimensi integral duniawi dan ukhrawi, material
dan spiritual, serta individual dan kolektif. Sesuatu yang dipandang
islam bermaslahat jika memenuhi unsur, yaitu kepatuhan syariah
(halal) dan bermanfaat, serta membawa kebaikan (thayyib) bagi
semua aspek secara menyeluruh yang tidak menimbulkan
mudharat dan merugikan pada salah satu aspek. Secara luas,
ditujukan pada pemenuhan visi kemaslahatan yang tercakup dalam
maqasid (tujuan) syariah yang terdiri dari konsep perlindungan
terhadaap keimanan dan ketakwaan, keturunan, jiwa, dan
keselamatan, harta benda, dan rasionalitas. Kelima unsur maslahat
tersebut merupakan hak dasar manusia sehingga harus memenuhi
unsur-unsur yang telah ditetapkan dalam maqashid syariah secara
terintegrasi.
e. Mewujudkan Keadilan yang Merata.
Disamping orientasi keadilan, hukum islam juga berorientasi pada
moralitas. Keadilan dalam islam adalah menempatkan sesuatu
hanya pada tempatnya dan memberikan sesuatu hanya pada yang
11
berhak serta memperlakukan sesuatu sesuai posisinya.
Implementasi keadilan dalam aktivitas ekonomi berupa aturan
prinsip muamalah yang melarang kegiatan-kegiatan yang pada
akhirnya akan bertentangan dengan keadilan.8
Ada beberapa asas-asas hukum bisnis syariah, yaitu:
a. Kebebasan dalam kepemilikan dan usaha bisnis.
Adalah seseorang bebas memiliki harta dan mengelolanya
sekaligus melakukan berbagai transaksi yang dikehendakinya
selama tidak melanggar aturan syara‟.
b. Keadilan dalam produk dan distribusi
Adalah secara umum, orientasi produksi dalam bisnis syariah
bertujuan untuk mencari nilai tambah dan keuntungan dengan nilai
ibadah.
c. Komitmen terhadap akhlaqul karimah dalam praktik bisnis.
Hal ini sesuai dengan tujuan diutusnya Rasulullah SAW,
sebagaimana sabdanya “sesungguhnya aku diutus untuk
menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Al-Bazzar).9
Pembiayaan syariah menurut sudut pandang yuridis adalah
pembiayaan bagi hasil berdasarkan prinsip mudharabah dan prinsip
musyarakah, pembiayaan jual beli berdasarkan prinsip murabahah,
prinsip istishna dan prinsip as-salam, pembiayaan sewa menyewa
berdasarkan prinsip ijarah (sewa murni) dan ijarah al-muntahia bit-
tamlik (sewa beli atau sew dengan hak opsi).10
8 Fathurahaman Djamil, Hukum Ekonomi Islam Sejarah, Teori, dan Konsep (Jakarta:
Sinar Grafika, 2013), h. 43-57.
9 Mardani, Hukum Bisnis Syariah (Jakarta: Kencana, 2014), h. 57.
10 Ahmad Supriyadi, “ Sistem Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah (Suatu Tinjauan
Yuridis Terhadap Praktek Pembiayaan Perbankan Syariah di Indonesia”, Al Mawarid Edisi X ,
(2003), h. 43.
12
Rahn atau Gadai adalah menahan salah satu harta milik si
peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya.11
Agunan adalah jaminan tambahan, baik berupa benda bergerak
maupun benda tidak bergerak yang diserahkan pemilik agunan kepada
bank syariah dan/atau Unit Usaha Syariah, guna menjamin pelunasan
kewajiban nasabah penerima fasilitas.12
11
Gemala Dewi, Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan dan Amp : Perasuransian
Syariah di indonesia, (Depok : Kencana, 2017), h.248.
12 Undang-undang No 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah.
13
2. Kerangka Konseptual
Gambar 1.2
Kerangka Konseptual
Penerapan produk
Arrum bpkb dan
Amanah
Pengumpulan data
Wawancara,
observasi dan
dokumentasi
FATWA DSN MUI No.
92 Tahun 2014.
PERMA No. 02 Tahun
2008
POJK No 31 Tahun 2016.
PP No 51 Tahun 2011.
Analisis data
penelitian
Hasil
Kesimpulan dan saran
14
G. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Jenis pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
adalah yuridis normatif dan yuridis empiris. Normatif adalah penelitian
yang memandang masalah dari sudut pandang legal formal atau
normatifnya. Sementara penelitian empiris yaitu penelitian yang
melihat kenyataan yang ada dalam praktik di lapangan.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan yuridis empiris yaitu suatu pendekatan yang dilakukan
untuk menganalisis tentang sejauh manakah suatu peraturan atau
perundang-undangan dan hukum yang sedang berlaku secara efektif,
khususnya yang berkaitan dengan peraturan hukum tentang
pelaksanaan pembiayaan disertai rahn serta implentasi atau penerapan
hukumnya bagi para pihak. 13
2. Jenis Penelitian
Jenis metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
kualitatif deskriptif. Metode kualitatif yaitu proses penyusunan,
mengkategorisasikan data kualitatif, mencari pola atau tema, dengan
maksud memahami maknanya. Data kualitatif terdiri atas kata-kata
yang tidak diolah menjadi angka-angka, artinya laporan-laporan itu
perlu dirangkum, dipilih hal-hal yang pokok, difokuskan pada hal-hal
yang penting, disusun lebih sistematis sehingga lebih mudah
dikendalikan.14
Jika menggunakan analisis kualitatif, maka data yang telah
terkumpul harus dipisah-pisahkan menurut kategori masing-masing
13
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Universitas Indonesia
Press, 2010), h. 52
14 S.Nasution, Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, (Bandung : Tarsito, 1992) ,
h.142.
15
dan kemudian ditafsirkan dalam usaha mencari jawaban masalah
penelitian.15
Spesifikasi sifat penelitian ini yaitu Deskriptif analitis.
3. Sumber dan Jenis Data Penelitian
Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder,
yaitu :
1) Data Primer
Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari masyarakat
atau lapangan. Data primer ini diperoleh melalui:
a. Wawancara
Yaitu metode pengumpulan data dengan cara tanya jawab dengan
pihak-pihak yang berkepentingan dengan masalah yang diteliti.
Wawancara ini sebagai pelengkap dalam penelitian. Wawancara
dilakukan kepada jajaran yang mewakili pihak pegadaian syariah
yang bertujuan untuk mendapatkan informasi terkait implementasi
fatwa pembiayaan disertai dengan rahn yang mereka jalankan.
b. Studi Dokumentasi
Studi dokumentasi merupakan teknik pengumpulan data dengan
menghimpun dan menganalisis dokumen-dokumen, baik dokumen
tertulis, gambar, hasil karya, maupun elektronik. Dokumen yang
diperoleh kemudian dianalisis, dibandingkan, dan dipadukan
membentuk suatu kajian yang sistematis, terpadu dan utuh. Studi
dokumenter tidak sekedar mengumpulkan dan menuliskan atau
melaporkan dalam bentuk kutipan-kutipan tentang sejumlah
dokumen. Hasil penelitian yang dilaporkan tersebut adalah hasil
analisis terhadap dokumen-dokumen tersebut.16
Dokumen disini
yaitu dokumen tentang penerapan fatwa pembiayaan disertai rahn
dalam suatu produk di pegadaian syariah.
15
Burhan Ashsofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Rineka Cipta, 2001), h.124
16 Natalina Nilamsari, “Memahami Studi Dokumen Dalam Penelitian Kualitatif”, Jurnal
Wacana, Vol. XIII, No. 2 (Juni 2014)
16
2) Data Sekunder
Data sekunder adalah data atau informasi yang diperoleh lewat
pihak lain, tidak langsung diperoleh oleh peneliti dari subjek
penelitiannya.17
Pengumpulan dilakukan dengan cara mengumpulkan
dan meneliti peraturan perundang-undangan, fatwa DSN MUI, buku-
buku, dan bahan bacaan lain yang relevan yang berkaitan dengan
masalah yang diteliti.
4. Teknik Analisis dan Pengolahan Data
Setelah data yang diperoleh sudah terkumpul, langkah selanjutnya
adalah menganalisis data tersebut sehingga diperoleh satu kesimpulan
akhir.18
Untuk dapat memperoleh hasil penelitian yang bisa
dipertanggungjawabkan kredibilitasnya, pengolahan data penelitian ini
dilakukan dengan menganalisis data hasil studi lapangan. Juga
menganalisis Fatwa DSN-MUI yang relevan dengan mengkaji
penerapannya pada pelaksanaan pembiayaan yang disertai rahn di
lapangan serta peraturan atau regulasi lain yang relevan, hingga dapat
menjawab permasalahan yang dirumuskan dalam rumusan masalah
penelitian ini.
5. Teknik Penulisan
Adapun teknik penulisan yang digunakan dalam penulisan
penelitian ini mengacu pada buku pedoman penulisan skripsi fakultas
syariah dan hukum tahun 2017.
17
Saifudin Azwar, Metode Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), h. 92.
18 Sutrisno Hadi, Metodologi Research, ( Yogyakarta : Andi Offset, 2000), h. 36-37
17
H. Rancangan Sistematika Penulisan
BAB I : Pendahuluan
Bab ini terdiri dari Latar Belakang, Identifikasi Masalah, Pembatasan
Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Kerangka
Penelitian, Metode Penelitian, dan Rancangan Sistematika Penulisan.
BAB II : Landasan Teori
Pada bab ini berisikan tentang konsep dan tinjauan teoritis akad, gadai
syariah(rahn), gadai menurut hukum positif, konsep pembiayaan disertai
dengan rahn yang meliputi substansi dan konsep berdasarkan literatur
maupun peraturan perundangan dan peraturan lainnya serta penjelasan
penjelasan berdasarkan pustaka.
BAB III : Gambaran Umum
Berisi tentang gambaran umum Pegadaian Syariah Cabang Cinere, yang
diantaranya adalah sejarah, profil, visi dan misi, macam-macam produk,
struktur organisasi, tugas dan jabatan.
BAB IV : Pembahasan dan Hasil
berisi tentang penerapan produk Arrum bpkb dan Amanah pada Pegadaian
Syariah serta menganalisa kesesuaian praktik pada produk tersebut
terhadap ketentuan didalam Fatwa DSN No 92 tahun 2014 serta Fatwa
DSN MUI maupun Peraturan lainnya yang terkait di Pegadaian Syariah
Cabang Pegadaian Syariah Cinere.
BAB V : Penutup Kesimpulan dan Saran
dalam bab ini penulis menulis kesimpulan dari jawaban permasalahan
disertai dengan saran-saran terkait penelitian ini
18
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Landasan Teori
1. Konsep akad
a. Pengertian akad
Menurut bahasa akad adalah Ar-rabith (ikatan), sedangkan
menurut istilah akad memiliki dua makna yaitu; Makna khusus akad
yaitu ijab qabul yang melahirkan hak dan tanggungjawab terhadap
objek akad (ma‟qud alaih). Makna khusus ini yang dipilih oleh
Hanafiah. Pada umumnya, setiap istilah akad itu berarti ijab qabul
(serah terima) kecuali ada dalil yang menunjukkan makna lain.
Sedangkan makna umum akad adalah setiap perilaku yang
melahirkan hak, atau mengalihkan atau mengubah atau mengakhiri
hak, baik itu bersumber dari satu pihak ataupun dua pihak. Definisi
akad diatas menurut Malikiyah, Syafi‟iyah, dan Hanabilah. Istilah akad
ini sinonim dengan istilah iltizam (kewajiban).1
b. Syarat akad
Ada beberapa syarat akad yaitu syarat terjadinya akad (syuruth
al-in‟iqad), syarat sah akad (syuruth al-shihah), syarat pelaksanaan
akad (syuruth an-nafidz, dan syarat kepastian hukum (syuruth al-
iltizam). Masing-masing sebagai berikut :
1) Syarat Terjadinya Akad
Syarat terjadinya akad (kontrak), yaitu terbagi kepada
syarat umum dan syarat khusus. Yang termasuk syarat umum yaitu
1 Oni Sahroni, Hasanuddin, Fikih Muamalah Dinamika Teori Akad dan Implementasinya
Dalam Ekonomi Syariah, (Depok: Raja Grafindo Persada, 2017), h. 4.
19
rukun-rukun yang harus ada pada setiap akad, seperti orang yang
berakad, objek akad, objek tersebut bermanfaat, dan tidak dilarang
olrh syara‟. Yang dimaksud syarat khusus adalah syarat-syarat
yang harus ada pda sebagian akad dan tidak disyaratkan pada
bagian lainnya, seperti syarat harus adanya saksi pada akad nikah
dan keharusan penyerahan barang/objek pada akad al-uqud al-
„ainiyah.
2) Syarat Sahnya Akad
Menurut Ulama Hanafiah, sebagaimana yang dikutip oleh
Prof. Dr. Fathurrahman Djamil, syarat sahnya akad apabila
terhindar dari enam hal, yaitu:
a) Al-Jahalah (ketidakjelasan harga, jenis dan
spesifikasinya, waktu pembayaran, atau lamanya
opsi, dan penanggung atau penanggungjawab);
b) Al-Ikrah (Keterpaksaan);
c) Attauqit (Pembatasan Waktu);
d) Al-Gharar(Ada unsur kemudharatan); dan
e) Al-Syarthu al-fasid (syarat-syaratnya rusak, seperti
pemberian syarat terhadap pembeli untuk menjual
dengan harga yang lebih murah).
3) Syarat Pelaksanaan Akad
Syarat ini bermaksud berlangsungnya akad tidak tergantung
pada izin orang lain. Syarat berlakunya sebuah akad yaitu (1)
adanya kepemilikan terhadap barang atau adanya otoritas (al-
wilayah) untuk mengadakan akad, baik secara langsung ataupun
perwakilan. (2) pada barang atau jasa tersebut tidak terdapat hak
orang lain.
4) Syarat Kepastian Hukum atau Kekuatan Hukum
20
Suatu akad baru mempunyai kekuatan mengikat apabila ia
terbebas dari segala macam hak khiyar.2
khiyar adalah hak pilih bagi penjual dan pembeli untuk
melanjutkan atau membatalkan akad jual beli yang dilakukan.
c. Akad yang berlaku dalam Pegadaian Syariah
Menurut fatwa DSN, akad yang berlaku dalam pegadaian
syariah adalah qardh, rahn dan ijarah sebagaimana penjelasan
fatwa DSN sebagai berikut:
Akad yang digunakan adalah akad Qardh wal Ijarah, yaitu
Qardh wal Ijarah adalah akad pinjaman dari bank untuk nasabah
yang disertai dengan penyerahan tugas agar bank menjaga barang
jaminan yang diserahkan. Dengan perincian sebagai berikut:
a) Qardh; dimana LKS sebagai muqridh (pihak yang
meminjamkan uang) dan nasabah sebagai muqtaridh (pihak
yang meneriman pinjaman).
b) Rahn; dimana LKS sebagai murtahin (pihak yang
menerima agunan) dan nasabah sebagai rahin (pihak yang
menyerahkan agunan).
c) Ijarah; di mana LKS sebagai musta‟jir (pihak yang
menyewakan) dan nasabah sebagai muajir (pihak yang
menyewa).
Ketiga rangkaian transaksi tersebut termasuk dalam
kategori transaksi multiakad karena akad pertama (akad qardh)
tergantung kepada akad kedua (akad rahn) dan akad ketiga (akad
ijarah).
2 Mardani, HukumPerikatan Syariah Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 53.
21
Juga karena seluruh pihak akad dan objek akad dalam
ketiga akad tersebut adalah sama. Pihak kreditor adalah pihak yang
menyewakan dan penerima jaminan, sedangkan pihak debitur
adalah penyewa dan pihak yang menyerahkan jaminan.3
Qardh adalah suatu akad penyaluran dana oleh LKS kepada
nasabah sebagai utang piutang dengan ketentuan bahwa nasabah
wajib mengembalikan dana tersebut kepada LKS pada waktu yang
telah disepakati.
Akad Qardh dalam Lembaga Keuangan Syariah terdiri atas
dua macam:
a) Akad Qardh yang berdiri sendiri untuk tujuan sosial
semata sebagaimana dimaksud dalam Fatwa DSN-
MUI Nomor: 19/DSN-MUI/IV/2001 tentang al-
Qardh, bukan sebagai sarana atau kelengkapan bagi
transaksi lain dalam produk yang bertujuan untuk
mendapatkan keuntungan;
b) Akad Qardh yang dilakukan sebagai sarana atau
kelengkapan bagi transaksi lain yang menggunakan
akad-akad mu‟awadhah (pertukaran dan dapat
bersifat komersial) dalam produk yang bertujuan
untuk mendapatkan keuntungan.4
Qardh dibolehkan dalam transaksi di Lembaga Keuangan
Syariah, sebagaimana juga dibolehkan dalam Islam, hal ini
dinyatakan dalam firman Allah SWT dalam Al-Qur‟an sebagai
berikut:
3 Oni Sahroni, Hasanuddin, Fikih Muamalah Dinamika Teori Akad dan Implementasinya
Dalam Ekonomi Syariah, (Depok: Raja Grafindo Persada, 2017), h. 217-218.
4 Fatwa DSN-MUI No. 79 Tahun 2011 tentang Qardh Dengan Menggunakan Dana
Nasabah.
22
رة والل ي قبض وي بصط من ذا الذي ي قرض الل ق رضاحسنا ف يضاع ف ه له أضعافا كثي واليه ت رجعون)البقرة: ٥٤٢(
Artinya:
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada allah pinjaman
yang baik (menafkahkan harta di jalan allah), maka allah akan
melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang
banyak, Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-
Nya-lah kamu dikembalikan..” (Q.S Al-Baqarah :245)
2. Gadai syariah/Rahn
a. Pengertian gadai
Kata al- rahn berasal dari bahasa arab “rahana-yarhanu-
rahnan” yang berarti menetapkan sesuatu. Secara bahasa menurut Abu
Zakariyya Yahya bin Sharaf al-Nawawi (w. 676 H) pengertian al-rahn
adalah al-subut wa al-Dawam yang berarti “tetap” dan “kekal”.
Menurut Taqiyyudin Abu Bakar al-Husaini (w. 829 H), al-rahn adalah
al-subut “sesuatu yang tetap dan al-ihtibas “menahan sesuatu”.
Dengan demikian, pengertian al-rahn secara bahasa seperti yang
terungkap diatas adalah tetap, kekal dan menahan suatu barang sebagai
pengikat utang.5
Secara istilah menurut Ibn Qudamah (w. 629 H), pengertian Al-
rahn adalah al-mal al-ladhi yuj‟alu wathiqatan bidaynin yustaufa min
thamanihi in ta‟adhara istifa‟uhu mimman huwa „alayh “suatu benda
yang dijadikan kepercayaan atas utang, untuk dipenuhi dari harganya,
bila yang berutnag tidak sanggup membayar utangnya”. Menurut
Zakariyya al-Anshary (w.936 H) al-rahn adalah ja‟lu aini malin
5 Ade Sofyan Mulazid, kedudukan sistem pegadaian syariah, (Jakarta: Kencana, 2016), h.
1.
23
wathiqatan bidaynin yustaufa minha „inda ta‟adhuri wafa‟ihi “
menjadikan suatu barang yang mempunyai nilai harta benda sebagai
jaminan utang yang dipenuhi dari harganyaketika utang tersebut tidak
bisa dibayar. Ia menyatakan bahwa tujuan rahn adalah menyerahkan
barang jaminan yang dimiliki dan berpindah kepemilikannya itu ketika
rahin tidak mampu membayar dalam jangka waktu yang telah
ditentukan. Karena itu, jenis barang yang dijadikan jaminan adalah
berupa harta benda yang dapat diperjualbelikan.6
Berdasarkan beberapa pengertian diatas maka secara istilah
rahn adalah perjanjian antara dua pihak yaitu rahin dan murtahin untuk
penyerahan barang yang memiliki harga atau nilai jual sebagai jaminan
atau agunan akibat adanya utang.
b. Dasar hukum Rahn
Gadai hukumnya mubah berdasarkan dalil dari Al-Quran,
Hadist, dan Ijma‟. Dasar gadai dari Al-Quran adalah firman allah SWT
dalam QS. Al-baqarah (2): 283
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara
tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka
hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang(borg)( oleh yang
berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu memercayai sebagian
6 Ade Sofyan Mulazid, kedudukan sistem pegadaian syariah, (Jakarta: Kencana, 2016), h.
2.
24
yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan
amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah
tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan
persaksian. Dan, barang siapa yang menyembunyikannya, maka
sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan allah maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Dasar dari Hadist diantaranya Hadist yang bersumber dari Aisyah r.a :
“Sesungguhnya Rasulullah SAW membeli makan dari orang
Yahudi dan beliau menggadaikan baju besinya kepadanya” (HR.
Bukhari Muslim).
Dasar dari Ijma‟ yakni bahwa kaum muslimin sepakat
dibolehkannya gadai secara syariat ketika berpergian (safar) dan
ketika dirumah (tidak berpergian) kecuali mujahid yang berpendapat
gadai hanya berlaku ketika berpergian berdasarkan ayat tersebut.
Akan tetapi, pendapat mujahid ini dibantah dengan argumentasi hadist
diatas. Disamping itu, penyebutan safar (berpergian) dalam ayat
tersebut keluar dari yang umum (kebiasaan).
Selain itu, cara praktik dasar hukum gadai syariah di Indonesia
telah diatur dalam :
1) Bab XIV pasal 372 hingga pasal 412 Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah.
2) Fatwa DSN-MUI No. 25/DSN-MUI/III/2000 Tentang Rahn.
3) Fatwa DSN-MUI No. 26/DSN-MUI/III/2000 Tentang Rahn
Emas.
4) Fatwa DSN-MUI No. 68/DSN-MUI/III/2008 Tentang Rahn
Tasjily.
5) Fatwa DSN-MUI No. 77/DSN-MUI/V/2010 Tentang Jual Beli
Emas Secara Tidak Tunai.
25
6) Fatwa DSN-MUI No. 92/DSN-MUI/2014 Tentang Pembiayaan
Disertai Rahn (Al-Tamwil Al-Mautsuk Bil Rahn).7
c. Rukun dan Syarat Sahnya Perjanjian Gadai
Muhammad Anwar dalam buku Fiqh Islam (1988: 56)
menyebutkan rukun dan syarat sahnya perjanjian gadai adalah sebagai
berikut :
1. Ijab Qabul (sighot)
Hal ini dilakukan baik dalam bentuk tertulis maupun lisan,
asalkan saja di dalamnya terkandung maksud adanya perjanjian
gadai di antara para pihak.
2. Orang yang bertransaksi (aqid)
Syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi orang yang bertransaksi
gadai yaitu rahin (pemberi gadai) dan murtahin (penerima gadai)
adalah :
a) Telah dewasa menurut hukum;
b) Berakal;
c) Atas keinginan sendiri;
3. Adanya barang yang digadaikan (marhun)
Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk barang yang kan
digadaikan oleh rahin (pemberi gadai) adalah:
a) Dapat diserahterimakan
b) Bermanfaat
c) Milik rahin (orang yang menggadaikan)
d) Jelas
e) Tidak bersatu dengan harta lain
7 Mardani. Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia, (Jakarta: Kencana,
2015), h. 173.
26
f) Dikuasai oleh rahin
g) Harta yang tetap atau dapat dipindahkan.
Abu Bakar Jabir Al-Jazairi dalam buku “Minhajul Muslim”
menyatakan bahwa barang-barang yang tidak boleh
diperjualbelikan, tidak boleh digadaikan, kecuali tanaman dan
buah-buahan dipohonnya yang belum masak. Karena penjualan
tanaman dan buah-buahan di pohonnya yang belum masak tersebut
haram, namun untuk dijadikan barang gadai hal ini diperbolehkan,
karena didalamnya tidak memuat unsur gharar bagi murtahin.
Dinyatakan tidak mengandung unsur gharar karena piutang
murtahin tetap ada kendati tanaman dan buah-buahan yang
digadaikan kepadanya mengalami kerusakan(Al-Jazairi, 2000: 532)
4. Marhun bih(utang)
Menurut ulama Hanafiah dan Syafi‟iyah syarat utang yang
dapat dijadikan atas gadai adalah :
a) Berupa utang yang dapat dimanfaatkan;
b) Utang harus lazim pada saat akad;
c) Utang harus jelas dan diketahui oleh rahin dan murtahin.8
Jika ada perselisihan mengenai besarnya hutang antara
rahin dan murtahin , maka ucapan yang diterima ialah ucapan
rahin dengan disuruh bersumpah, kecuali jika murtahin bisa
mendatangkan barang bukti. Tetapi jika yang diperselisihkan
adalah mengenai marhun, maka ucapan yang diterima adalah
ucapan murtahin dengan disuruh bersumpah, kecuali jika rahin
bisa mendatangkan barang bukti yang menguatkan dakwaannya,
karena Rasulullah SAW bersabda: “barang bukti dimintakan dari
8 Abdul Ghofur Anshori, Gadai Syariah Di Indonesia Konsep Implementasi dan
Institusionalisasi, (Yoyakarta: Gadjah Mada University Press, 2011), h. 115.
27
orang yang tidak mengaku”.(diriwayatkan Al-Baihaqi dengan
sanad yang baik) (Al-Jazairi, 2000: 533).
Jika murtahin mengklaim telah mengembalikan rahn dan
rahin tidak mengakuinya, maka ucapan yang diterima adalah
ucapan rahin dengan disuruh bersumpah, kecuali jika murtahin
bisa mendatangkan barang bukti yang menguatkan klaimnya (Al-
Jazairi, 2000: 532).
Mazhab Maliki berpendapat bahwa gadai wajib dengan
akad, setelah akad barang orang yang menggadaikan (rahin)
dipaksa untuk menyerahkan borg untuk dipeganag oleh yang
memegang gadaian murtahin (Sayyid Sabiq, 1987: 141).
Sedangkan menurut Al-Jazairi marhun boleh dititipkan kepada
orang yang bisa dipercaya selain murtahin sebab yang terpenting
dari marhun tersebut dapat dijaga dan itu bisa dilakukan oleh orang
yang bisa dipercaya (Al-Jazairi, 2000: 532).9
d. Berakhirnya Akad Rahn
Akad gadai berakhir dengan terjadinya hal-hal sebagai berikut:
1) Barang telah diserahkan kembali kepada pemiliknya.
2) Rahin membayar utangnya.
3) Dijual dengan perintah hakim atas perintah rahin.
4) Pembebasan utang dengan cara apapun, meskipun tidak ada
persetujuan dari pihak rahin.
5) Pembatalan oleh murtahin, meskipun tidak ada persetujuan dari
pihak lain.
6) Rusaknya barang gadaian oleh tindakan atau penggunaan
murtahin.
9 Abdul Ghofur Anshori, Gadai Syariah Di Indonesia Konsep Implementasi dan
Institusionalisasi, (Yoyakarta: Gadjah Mada University Press, 2011), h. 117.
28
7) Memanfaatkan barang gadai dengan penyewaan, hibah atau
sedekah baik pihak dari pihak rahin maupun murtahin.
8) Meniggalnya rahin (menurut Malikiah) dan atau murtahin
(menurut Hanafiah), sedangkan Syafiiyah dan Hanabilah,
menganggap kematian para pihak tidak mengakhiri akad
rahn.10
e. Hukum Pemanfaatan barang jaminan
Adapun ulama mazhab berbeda pendapat tentang boleh tidaknya
pemegang gadai menggunakan barang sebagai jaminan tersebut.
Pendapat mereka sebagai berikut:
1) Terhadap pemanfaatan rahin atas borg (barang yang
digadaikan):
a) Ulama Hanafiah berpendapat bahwa rahin tidak boleh
memanfaatkan barang tanpa seizin murtahin, begitu pula
murtahin tidak boleh memanfaatkannya tanpa seizin
rahin. Pendapat ini senada dengan Hanabilah.
b) Ulama Malikiyah berpendapat bahwa jika borg sudah
berada di tangan murtahin, rahin mempunyai hak
memanfaatkannya.
c) Ulama Syafi‟iyah berpendapat bahwa rahin dibolehkan
untuk memanfaatkan barang jika tidak menyebabkan borg
berkurang, tidak perlu meminta izin, seperti
mengendarainya, menyimpannya, dan lain-lain. Akan
tetapi jika menyebabkan barang berkurang, seperti sawah
dan kebun, maka rahin harus meminta izin kepada
murtahin.
2) Terhadap pemanfaatan murtahin atas borg:
10
Mardani. Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia, (Jakarta: Kencana,
2015), h. 185.
29
a) Ulama Hanafiah berpendapat bahwa murtahin tidak boleh
memanfaatkan borg, sebab dia hanya berhak
menguasainya dan tidak boleh memanfaatkan.
b) Ulama Malikiyah membolehkan murtahin memanfaatkan
borg jika diizinkan oleh rahin atau disyaratkan ketika akad
dan barang tersebut adalah barang yang dapat
diperjualbelikan serta ditentukan waktunya secara jelas.
Hampir sama dengan pendapat Syafi‟iyah.
c) Pendapat ulama Hanabilah berbeda dengan jumhur.
Mereka berpendapat, jika borg merupakan hewan,
murtahin boleh memanfaatkannya, seperti dengan
mengendarainya atau memerah susunya sekadaar
mengganti biaya meskipun tidak diizinkan oleh rahin.
Adapun borg selain hewan tidak boleh dimanfaatkan
kecuali atas izin rahin.11
3. Gadai hukum positif
Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas
suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seseorang
yang berutang atau oleh seorang lain atas namanya dan yang memberi
kekuasaan kepada si berpiutang untuk mengambil pelunasan dari
barang tersebut secara didahulukan daripada orang-orang yang
berpiutang lainnya, dengan pengecualian biaya untuk melelang barang
tersebut dan biaya-biaya mana yang harus didahulukan.12
11
Mardani. Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia, (Jakarta: Kencana,
2015), h. 182.
12 Pasal 1150 KUH Perdata
30
4. Pembiayaan disertai Rahn
Pembiayaan dalam perbankan Syariah menurut Al-Harran
(1999) dapat dibagi tiga.
1) Returning Bearing Financing, yaitu bentuk pembiayaan yang
secara komersial menguntungkan, ketika pemilik modal mau
menanggung risiko kerugian dan nasabah juga memberikan
keuntungan.
2) Return Free Financing, yaitu bentuk pembiayaan yang tidak untuk
mencari keuntungan yang lebih ditujukan kepada orang yang
membutuhkan (poor), sehingga tidak ada keuntungan yang dapat
diberikan.
3) Charity Financing, yaitu bentuk pembiayaan yang memang
diberikan kepada orang miskin dan membutuhkan, sehinggaa tidak
ada klaim terhadap pokok dan keuntungan.
Produk-produk pembiayaan bank syariah, khususya pada
bentuk pertama, ditujukan untuk menyalurkan investasi dan simpanan
masyarakat ke sektor riil dengan tujuan produktif dalam bentuk
investasi bersama (invesment financing) yang dilakukan bersama mitra
usaha (kreditor) menggunakan pola bagi hasil (mudharabah dan
musyarakah) dan dalam bentuk investasi sendiri (trade Financing)
kepada yang membutuhkan pembiayaan menggunakan pola jual beli
(murabahah, salam dan istisna) dan pola sewa (ijarah dan ijarah
munthiya bittamlik).13
Fatwa DSN MUI No. 92 tahun 2014 tentang pembiayaan yang
disertai rahn dalam ketentuan hukum mengatakan Semua bentuk
pembiayaan/ penyaluran dana Lembaga Keuangan Syariah (LKS)
boleh dijamin dengan agunan (Rahn) sesuai ketentuan dalam fatwa
tersebut.
13
Ascarya, akad dan Produk Bank Syariah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2015), h.
122.
31
Pada ketentuan terkaid barang jaminan (marhun):
1) Barang jaminan (marhun) harus berupa harta (mal) berharga
baik benda bergerak maupun tidak bergerak yang boleh dan
dapat diperjual-belikan, termasuk aset keuangan berupa sukuk,
efek syariah atau surat berharga syariah lainnya;
2) Dalam hal barang jaminan (marhun) merupakan musya'
(bagian dari kepemilikan bersama / part of undivided
ownership), maka musya' yang digadaikan harus sesuai dengan
porsi kepemilikannya;
3) Barang jaminan (marhun) boleh diasuransikan sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku danlatau kesepakatan.
Ketentuan terkait utang (marhun bih/dain)
1) Utang boleh dalam bentuk uang dan/atau barang;
2) Utang harus bersifat mengikat (lazim), yang tidak mungkin
hapus kecuali setelah dibayar atau dibebaskan (Fatwa DSN-
MUI Nomor:11DSN-MUIIIV/2000 tentang Kafalah
(Ketentuan Kedua, 4.c)
3) Utang harus jelas jumlah (kuantitas) dan/atau kualitasnya serta
jangka waktunya;
4) Utang tidak boleh bertambah karena perpanjangan waktu
pembayaran;
5) Apabila jangka waktu pembayaran utang/pengembalian modal
diperpanjang, Lembaga Keuangan Syariah boleh:
a) mengenakan ta 'widh dan ta 'zir dalam hal Rahin
melanggar perjanjian atau terlambat menunaikan
kewajibannya;
b) mengenakan pembebanan biaya riil dalam hal
jangka waktu pembayaran utang diperpanjang.
Pada ketentuan terkait akad
32
1) Pada prinsipnya, akad rahn dibolehkan hanya atas utang-
piutang (al-dain) yang antara lain timbul karena akad qardh,
jual-beli (al-bai') yang tidak tunai, atau akad sewa-rnenyewa
(ijarah) yang pembayaran ujrahnya tidak tunai
2) Pada prinsipnya dalam akad amanah tidak dibolehkan adanya
barang jaminan (marhun); namun agar pemegang amanah
tidak melakukan penyimpangan perilaku (moral hazard),
Lembaga Keuangan Syariah boleh meminta barang jaminan
(marhun) dari pemegang amanah (al-Amin, antara lain syarik;
mudharib, dan musta j'ir) atau pihak ketiga.
3) Barang jaminan (marhun) dalam akad amanah hanya dapat
dieksekusi apabila pemegang amanah tal-Amin, antara lain
syarik, mudharib, dan musta 'jir) melakukan perbuatan moral
hazard, yaitu:
a) Ta 'addi (Ifrath), yaitu melakukan sesuatu yang tidak
boleh/tidak semestinya dilakukan;
b) Taqshir (tafrith), yaitu - tidak melakukan sesuatu yang
boleh/ semestinya dilakukan; atau
c) Mukhalafat al-syuruth, yaitu melanggar ketentuan-
ketentuan (yang tidak bertentangan dengan syariah)
yang disepakati pihak-pihak yang berakad.
Ketentuan terkait pendapatan murtahin
1) Dalam hal rahn (dain/marhun bih) terjadi karena akad jual beli
(al-bai‟) yang pembayarannya tidak tunai, maka pendapatan
murtahin hanya berasal dari keuntungan (al-ribh) jual-beli;
2) Dalam hal rahn (dain/marhun bih) terjadi karena akad sewa
menyewa (ijarah) yang pembayaran ujrohnya tidak tunai,
maka pendapatan murtahin hanya berasal dari ujroh;
3) Dalam hal rahn (dain/marhun bih) terjadi karena peminjaman
uang (akad qardh), maka pendapatan murtahin hanya berasal
33
dari mu‟nah (jasa pemeliharaan/penjagaan) atas marhun yang
besarnya harus ditetapkan pada saat akad sebagaimana ujroh
dalam akad ijarah;
4) dalam hal rahn dilakukan pada akad amanah, maka
pendapatan/penghasilan murtahin (syarik/shahibul mal) hanya
berasa dari bagi hasil atas usaha yang dilakukan oleh
pemegang amanah (syarik-pengelola/mudharib).
ketentuan terkait penyelesaian akad Rahn
1) akad rahn berakhir apabila rahin melunasi utangnya atau
menyelesaikan kewajibannya dan murtahin mengembalikan
marhun kepada rahin;
2) dalam hal rahin tidak melunasi utangnya atau tidak
menyelesaikan kewajibannya pada waktu yang telah disepakati,
maka murtahin wajib mengingatkan/memberitahukan tentang
kewajibannya;
3) setelah dilakukan pemberitahuan/peringatan, dengan
memperhatikan asas keadilan kemanfaatan pihak-pihak,
murtahin boleh melakukan hal-hal berikut:
a) menjual paksa barang jaminan (marhun)
sebagaimana diatur dalam substansi fatwa DSN-
MUI Nomor: 25DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn
(ketentuan ketiga angka 5); atau
b) meminta rahin agar menyerahkan marhun untuk
melunasi utangnya sesuai kesepakatan dalam akad,
dimana penentuan harganya mengacu/berpatokan
pada harga pasar yang berlaku pada saat itu. Dalam
hal terdapat selisih antara harga (tsaman) jual
marhun dengan utang (dain) atau modal (ra‟sul
mal) berlaku substansi fatwa DSN-MUI Nomor:
34
25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn (ketentuan
ketiga angka5).
ketentuan penyelesaian perselisihan.
Jika salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya
atau jika terjadi perselisihan diantara para pihak, maka
penyelesaiannya dilakukan melalui lembaga penyelesaian sengketa
berdasarkan syariah setelah tidak mencapai kesepakatan melalui
musyawarah.14
5. Anatomi Kontrak
Anatomi kontrak terdiri atas pertama, pembukaan yang terdiri
atas: a) judul, tempat dan waktu perjanjian; b) komparisi (dua pihak
atau lebih); c) recitals (alasan sosial ekonomi yang menyebabkan
dilakukannya perjanjian); d) ruang lingkup. Kedua, ketentuan-
ketentuan pokok perjanjian yang terdiri atas: a) ketentuan umum yang
berisi definisi-definisi; b) kentuan-ketentuan pokok; dan c) ketentuan
penunjang. Ketiga, bagian penutup yang setidaknya mengandung
empat hal yang bersifat penegasan; yaitu: a) penegasan bahwa kontrak
tersebut sebagai alat bukti; b) sebagai bagian yang menyebutkan
tempat pembuatan dan penandatanganan; c) sebagai bagian yang
menyebutkan saksi-saksi dalam kontrak; dan d) sebagai ruang untuk
menempatkan tanda tangan pihak yang berkontrak.15
Anatomi yang
dikemukakan Simatupang lebih sederhana, yaitu: a) judul, b) kepala, c)
14
Fatwa DSN-MUI No. 92 Tahun 2014 tentang Pembiayaan disertai Rahn.
15 Jaih Mubarak, Al- Ijarah Al-Muntahiya Bi al-Tamlik (IMBT) dalam Perspektif
Anatomi Kontrak Bisnis, Fakultas Pasca Sarjana UIN Bandung, Jurnal ALQALAM Vol 26, No. 3,
2009 h. 193.
35
komparisi, d) sebab/dasar, e) syarat-syarat, f) penutup, dan g) tanda
tangan.16
B. Review Studi Terdahulu.
1. Lastuti Abubakar Dan Tri Handayani, Telaah Yuridis Perkembangan
Regulasi Dan Usaha Pergadaian Sebagai Pranata Jaminan
Kebendaan, Tahun 2017.17
Dalam jurnal ini membahas tentang landasan hukum positif dan
implikasi gadai sertifikat tanah terhadap tatanan regulasi yang ada, dengan
menggunakan metode penelitian yuridis normatif yang bersifat deskriptif
analitis. Dalam jurnal tersebut mengatakan bahwa dengan berlakunya
POJK No 31 Tahun 2016 tentang usaha pergadaian telah membuka
peluang serta kemudahan untuk tumbuh kembang usaha pergadaian di
Indonesia khususnya bagi masyarakat menengah bawah, namun regulasi
yang ada masih belum kokoh untuk mengakomodir usaha pergadaian yang
telah melaksanakan dualisme sistem pergadaian yang berlaku di Indonesia
yaitu konvensional dan syariah. Mengenai gadai sertifikat tanah dalam
kacamata hukum positif gadai dalam bentuk sertifikat tanah tidak
dimungkinkan dilakukan karena bertentangan dengan prinsip tanah dan
unsur gadai yang telah diatur dalam UU Hak Tanggungan dan KUH
Perdata, gadai dengan sertifikat tanah hanya bisa dilakukan dengan konsep
syariah dengan dikeluarkannya fatwa tentang rahn dan rahn tasjily, namun
masih terdapat kendala regulasi yang mengatur fungsi surat kuasa untuk
melakukan pelelangan dan penjualan kepada pihak ketiga serta perluasan
objek gadai berupa sertifikat tanah berdasarkan prinsip syariah sehingga
perlu adannya pembaruan regulasi dalam bentuk Peraturan Pemerintah
maupun peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait.
16
Richard Burton Simatupang, Aspek Hukum dalam Bisnis, (Jakarta: PT Rineka Cipta,
2003), h. 34.
17 Lastuti Abubakar, Tri Handayani, Telaah Yuridis Perkembangan Regulasi Dan Usaha
Pergadaian Sebagai Pranata Jaminan Kebendaan, Jurnal Bina Mulia Hukum, Vol 2 No 1,
Universitas Padjajaran, 2017.
36
2. Maman Surahman, Panji Adam, Penerapan Prinsip Syariah Pada
Akad Rahn Di Lembaga Pegadaian Syariah, Tahun 2017.18
Dalam jurnal tersebut menjabarkan konsep gadai dalam literatur
fikih klasik dan konsep syariah pada pegadaian syariah. Dalam literatur
fikih klasik, konsep gadai dinamai dengan rahn, yaitu perjanjian
penyerahan barang sebagai bentuk jamnan atas utang sehingga orang yang
bersangkutan boleh mengambil utang. Dasar hukum yang melandasi rahn
terdapat dalam Al Qur‟an surat Baqarah : 283 serta Hadist Nabi dan
beberapa kaidah-kaidah fikih yang dipakai beberapa ulama yang ada.
Prinsip-prinsip syariah yang diterapkan dilembaga pegadaian syariah
terdapat 3 prinsip yang dipakai, yaitu prinsip tauhid, prinsip tolong-
menolong (taawun), dan prinsip bisnis (tijari).
3. Sirajul Arifin, Litigasi Hibrid Contract Gadai Pada Lembaga
Keuangan Syariah, Tahun 2018.19
Dalam jurnal tersebut mengatakan bahwa sistem gadai
menggunakan landasan Fatwa DSN MUI No 26/DSN/III/2002 tentang
rahn, Fatwa No. 68/DSN/III/2008 tentang Rahn Tasjily dan Fatwa No
92/DSN/IV/2014 tentang pembiayaan disertai dengan rahn pada dasarnya
terdapat tiga akad didalamnya yaitu akad gadai, akad utang dan akad
ijarah. Jalinan model akad yang dikenal dalam sistem tersebut yaitu hibrid
contract atau multiakad, yang pada implementasinya masih banyak
diperdebatkan dikalangan para ahli. Dengan berlakunya tiga peraturan
yang dipakai pada lembaga pegadaian syariah, maka semua jenis
pembiayaan dan atau penyaluran dana lembaga keuangan syariah dalam
hal ini pegadaian syariah boleh dijamin dengan agunan atau jaminan
(rahn) sesuai dengan Fatwa DSN MUI diatas sesuai dengan ketentuan-
ketentuan yang telah ditetapkan. Penggabungan beberapa akad menurut
18
Maman Surahman, Panji Adam, Penerapan Prinsip Syariah Pada Akad Rahn Di
Lembaga Pegadaian Syariah, Jurnal Law And Justice, Vol 2 No 2, 2017.
19 Sirajul Arifin, litigasi hibrid contract gadai pada lembaga keuangan syariah, islamica;
jurnal studi keislaman, vol 2 no 12, tahun 2018.
37
ahli tidak selamanya dilarang dalam artian diperbolehkan apabila tidak ada
syarat di dalamnya dan tidak ada tujuan untuk melipatgandakan harga
dalam qard.
4. Habib Wakidatul Ihtiar, Analisis Fatwa Dewan Syariah Nasional
Nomor: 92/DSN-MUI/IV/2014 Tentang Pembiayaan Yang Disertai
Rahn, Tahun 2016.20
Dalam jurnal diatas membahas tentang fatwa pembiayaan yang disertai
rahn dengan menggunakan metode penelitian kepustakaan. Hasil dari
penelitian tersebut yaitu lattar belakang DSN MUI mengeluarkan fatwa
tersebut adalah fatwa-fatwa tentang rahn yng sudah ada belum
mengakomodir pengembangan usaha berbasis rahn, yang masih berkutat
pada hukum-hukum dan mekanisme yang sempit dan alasan lainnya yaitu
kebutuhan lembaga keuangan syariah akan fatwa yang mendukung
pengembangan usaha berbasis rahn. Metode istinbath yang diapakai DSN
MUI dalam mengeluarkan fatwa ini dalam penelitian ini adalah maslahah
mursalah. Pembiayaan-pembiayaan boleh disertakan dengan rahn sebagai
penguat terpenuhinya maqashid al-aqad.
5. Amik Amalia Nur Imansari, Pembiayaan Murabahah Disertai
Jaminan Perspektif Fatwa DSN-MUI NO. 92/DSN-MUI/IV/2014
(Studi Kasus Di BMT Istiqomah Unit II Plosokandang Kedungwaru
Tulungagung, Tahun 2017.21
Dalam skripsi tersebut berisi tentang prosedur pelaksanaan pembiayaan
murabahah berdasarkan Fatwa DSN-MUI No 92 tahun 2014 tentang
pembiayaan disertai rahn, pada penelitian tersebut mengatakan bahwa di
20
Habib Wakidatul Ihtiar, Analisis Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 92/DSN-
MUI/IV/2014 Tentang Pembiayaan Yang Disertai Dengan Rahn, Jurnal An-Nisbah, Vol. 03, No.
01, Tahun 2016.
21 Amik Amalia Nur Imansari, Pembiayaan Murabahah Disertai Jaminan Perspektif Fatwa
DSN-MUI NO. 92/DSN-MUI/IV/2014 (Studi Kasus Di BMT Istiqomah Unit II Plosokandang
Kedungwaru Tulungagung, (Skripsi S-1 Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum, Institut Agama Islam
Negeri Tulung Agung, 2017) h. 180.
38
BMT tersebut meminta jaminan dalam akad pembiayaan tersebut, namun
jaminan tersebut tidak diakui sebagai rahn oleh pihak BMT karena dalam
pengambilan jaminan tersebut terdapat cacat rukun dan syarat yang tidak
terpenuhi. Begitu pula ketika akad pembiayaan murabahah berlangsung
pihak BMT tidak menyerahkan objek pembiayaannya karena pihak dari
BMT belum membeli barang yang menjadi objek pembiayaan. Juga harga
yang tercantum dalam akad bukan harga sebenarnya melainkan harga dari
besarnya jaminan yang diserahkan. Dan akad yang tertulis tidak sesuai
dengan akad lisan dalam hal uang yang diberikan adalah uang untuk
membeli barang berbeda dalam akad lisan yang terjadi bahwa uang
tersebut bukan untuk membeli barang. Sehingga pada kesimpulan skripsi
tersebut bahwa pembiayaan murabahah yang dilaksanakan oleh pihak
BMT tidak sesuai dengan Fatwa DSN-MUI No. 92 Tahun 2014 tentang
pembiayaan disertai rahn dan Fatwa DSN-MUI No. 25 Tahun 2002
tentang Rahn.
39
BAB III
GAMBARAN UMUM TENTANG PEGADAIAN SYARIAH CABANG
CINERE
A. Sejarah
Gagasan untuk mendirikan Pegadaian Syariah berawal pada saat
beberapa general manager melakukan studi banding ke Malaysia. Pada
tahun 1993, mulai dilakukan penggodokan rencana pendirian pegadaian
syariah oleh pimpinan Perum Pegadaian. Tetapi ketika itu, ada sedikit
kendala sehingga hasil studi banding itu pun hanya ditumpuk. Menurut
Suharjo, salah satu kendalanya adalah Perum Pegadaian (pada saat itu
masih berbentuk badan hukum Perum) belum memiliki pedoman
operasional unit layanan gadai syariah. Lebih dari itu, tidak didukung oleh
pemerintah.
Upaya Perum Pegadaian untuk mendirikan pegadaian syariah di
Indonesia baru mulai menemukan titik terang pada tahun 2000-an ketika
produk gadai (rahn) mulai diperkenalkan oleh Bank Muamalat Indonesia
(BMI). Namun dalam perjalanannya produk gadai ini tidak mengalami
perkembangan karena fasilitas pembiayaannya kurang mendapatkan
perhatian dari masyarakat dan sarana pendukung lainnya kurang optimal,
seperti kurangnya sumber daya penaksir, alat untuk menaksir, teknologi
informatika dan gudang penyimpanan barang jaminan.
Dengan adanya kerjasama antara Perum Pegadaian dengan BMI,
maka pegadaian syariah di Indonesia baru dapat diwujudkan secara resmi
pada Januari tahun 2003 yang pertama kali dibuka adalah Kantor Cabang
Pegadaian Syariah Dewi Sartika Jakarta. Kantor cabang ini menjadi salah
satu unit layanan gadai syariah yang dilaksanakan oleh perum pegadaian
di samping unit layanan konvensional.
40
Pendirian pegadaian syariah secara yuridis empiris dilatarbelakangi
oleh keinginan warga masyarakat Islam yang menghendaki adanya
pegadaian syariah yang melaksanakan prinsip-prinsip syariah. Adapun
secara yuridis normatif didasari oleh lahirnya UU N0. 10 Tahun 1998
tentang perbankan sehingga lembaga keuangan syariah beroperasi di
Indonesia. Dalam kaitan lembaga keuangan ini, Umar Chapra dalam
bukunya The future of Economics an Islamic Perperctive menyatakan
bahwa lembaga keuangan nonbank, seperti pegadaian, asuransi, institusi
kredit khusus korporasi atau korporasi audit investasi.
Menurut Guladi, penyebab mengapa Pegadaian Syariah di
Indonesia belum berkembang adalah salah satunya karena faktor landasan
hukum yang kurang mendukung sehingga keberadaannya belum optimal
sesuai harapan masyarakat. Bandingkan dengan perkembangan bank
syariah di Malaysia sebagaimana dinyatakan oleh Sutan Remi Sjahdeini,
sekalipun bank Islam baru ada satu, namun telah memiliki undang-undang
khusus yang mengatur mengenai bank syariah sehingga saat ini
perkembangan bank syariah di Malaysia begitu pesat. Dalam kaitan ini
juga diutarakan oleh Zainul Arifin, di antara hal yang menghambat
perkembangan Bank Muamalat Indonesia terdapat masalah legalitas yang
tidak mendukung. Tambah Guladi, peraturan yang berlaku saat ini belum
sepenuhnya mengakomodasi operasional pegadaian syariah sebagai akibat
dari sejumlah perbedaan dalam melaksanakan operasional pegadaian
konvensioanl. Hal ini terlihat dari ketentuan operasionalnya masih perlu
disesuaikan terutama dalam penerapan prinsip-prinsip kesyariahannya.1
Perum Pegadaian Syariah telah memiliki banyak kantor wilayah
seluruh Indonesia yang membawahi beberapa kantor cabang syariah. Di
Jakarta khususnya, pegadaian syariah yang ada di Jakarta telah memiliki
1 Ade Sofyan Mulazid, kedudukan sistem pegadaian syariah, (Jakarta: Kencana, 2016), h.
59.
41
empat kantor cabang yang tersebar diseluruh wilayah jabodetabek, seperti
Cabang Dewi Sartika, Cabang Margonda Depok, Cabang Cinere, Cabang
Pondok Aren. Selain itu pada tahun 2004 Kantor Wilayah Perum
Pegadaian telah membuka Kantor Cabang Cinere yang berlokasi di Jl.
Karang Tengah No. 25D Lebak Bulus Jakarta Selatan, kantor cabang ini
didirikan Tepatnya pada tanggal 05 November 2004. Dengan persetujuan
kantor pusat dan kantor wilayah di mana dalam menjalankan
operasionalnya berpegang pada prinsip syariah sebagaimana halnya
institusi yang berlabel syariah dengan konsep syariah Islam. Dalam awal
pendiriannya Kantor Cabang Pegadaian Syariah Cinere Jakarta, pegadaian
syariah bekerja sama dengan BMI. Yang diantaranya berawal dari BMI
tersebut, maka berdirilah Pegadaian Syariah Cabang Cinere. Namun pada
tahun 2007 kerjasama tersebut beralih kepada Bank Syariah Mandiri
(BSM).2
B. Profil Lembaga
1. Nama : Pegadaian Cabang Syariah Cinere
2. Alamat : Jl. Karang Tengah No. 25D Lebak
Bulus Jakarta Selatan.
3. Tahun Didirikan : 2004
4. Pengurus : 4 (Empat) Orang
5. Pengawas : -
6. Jumlah Unit : 6 (Enam)
C. Visi Misi
Visi pegadaian syariah
2 Wawancara dengan Anggi Kristianto, Penaksir Pegadaian Syariah Cabang Cinere,
Jakarta 12 Agustus 2019.
42
a) Sebagai solusi bisnis terpadu terutama berbasis gadai yang selalu
menjadi market leader dan mikro berbasis fidusia selalu menjadi
yang terbaik untuk masyarakat.
b) Memberikan pembiayaan yang tercepat, termudah, aman dan selalu
memberikan pembinaan terhadap usaha golongan menengah
kebawah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi
c) Memastikan pemerataan dan infrastruktur yang memberikan
kemudahan dan kenyamanan di seluruh pegadaian dalam
mempersiapkan diri menjadi pemain regional dan tetap menjadi
pilihan utama masyarakat
d) Membantu pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan
masyarakat golongan menengah kebawah dan melaksanakan usaha
lain dalam rangka optimalisasi sumber daya perusahaan.
Misi pegadaian syariah yaitu :
“menyalurkan pinjaman atas dasar hukum gadai syariah dengan
pasar sasaran adalah masyarakat golongan sosial ekonomi lemah (kecil)
dan dengan caara mudah, cepat, dan aman dan hemat, sesuai dengan
mottonya benar caranya berkah hasilnya”.
Visi dari pegadaian itu sendiri yaitu “Menjadi The Most Valuable
Financial Company Di Indonesia dan Sebagai Agen Inklusi Keuangan
Pilihan Utama Masyarakat”
Sedangkan misi dari pegadaian yaitu :
1. Memberikan manfaat dan keuntungan optimal bagi seluruh
pemangku kepentingan dengan mengembangkan bisnis
2. Membangun bisnis yang lebih beragam dengan
mengembangkan bisnis baru untuk menambah proposisi nilai
ke nasabah dan pemangku kepentingan
3. Memberikan service excelence dengan fokus nasabah melalui
43
- Bisnis proses yang lebih sederhana dan digital
- Teknologi informasi yang handal dan mutakhir
- Praktek manajemen risiko yang kokoh
- SDM yang profesional berbudaya kinerja baik.3
D. Kegiatan Usaha
Adapun kegiatan usaha yang ada di pegadaian syariah dijelaskan
dalam beberapa produk syariah yaitu :
1. Rahn : Pembiayaan Rahn dari Pegadaian Syariah adalah solusi
tepat kebutuhan dana cepat yang sesuai syariah. Cepat prosesnya,
aman penyimpanannya. Barang Jaminan berupa emas perhiasaan,
emas batangan, Berlian, Smartphone, laptop, barang elektronik
lainnya, sepeda motor, mobil atau barang bergerak lainnya.
2. Amanah : Amanah adalah pemberian pinjaman berprinsip syariah
kepada pengusaha mikro/kecil, karyawan internal dan eksternal serta
profesional, guna pembelian kendaraan bermotor.
3. Arrum : Arrum BPKB adalah pembiayaan syariah untuk
pengembangan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dengan
jaminan BPKB Kendaraan Bermotor.
4. Arrum Haji : Arrum haji adalah pembiayaan untuk mendapatkan porsi
ibadah haji secara syariah dengan proses mudah, cepat dan aman.4
5. Produk lainnya yang ditawarkan pegadaian syariah kepada
masyarakat yaitu Multi Pembayaran Online, Konsinyasi Emas,
Tabungan Emas, Mulia, Rahn Hasan, Rahn Tasjily Tanah Dan
Gadai Syariah.5
3 Diakses pada tanggal 14 agustus 2019 dari https://www.pegadaian.co.id/profil/visi-
dan-misi
4 Diakses pada tanggal 15 Agustus 2019 dari https://www.pegadaian.co.id/
5 Diakses pada tanggal 15 Agustus 2019 dari https://pegadaiansyariah.co.id/
44
E. Struktur Organisasi
Adapun struktur organisasi di Kantor Pegadaian Cabang Syariah
Cinere pada saat melakukan penelitian adalah sebagai berikut :
Gambar 3.1
Struktur Organisasi Pegadaian Cabang Syariah Cinere
Pimpinan pegadaian
cabang syariah cabang
cinere
Eko Wiyoto, S.Sos
Penaksir
Anggi
Kristianto
Penyimpan
Elin Fergita
Kasir 2
Siti Hidayah
Kasir 1
M. Luthfi
Office Boy
Romeih
Driver
Azis
Keamanan 1. Asman
2. Yayan
3. Tri
4. Nurwahid
5. Taufik
Unit
Rawa Bambu
Unit
Pondok Cabe
Unit
Tarumanegara
Unit
Bintaro Utama
Unit
Srengseng
sawah
Unit
Andara
45
BAB IV
PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN
A. Mekanisme Pelaksanaan Pembiayaan Arrum BPKB dan Amanah
1. Prosedur Pembiayaan Arrum BPKB
Salah satu pembiayaan yang ditawarkan pegadaian syariah
kepada masyarakat adalah pembiayaan Arrum BPKB, yaitu
pembiayaan yang ditujukan untuk pengusaha Usaha Kecil Dan
Menengah (UMKM) yang ingin mengembangan bisnisnya dengan
jaminan berupa BPKB dengan minimal lama usaha sudah berjalan
selama dua tahun dengan jangka angsuran mulai dari 12 bulan
sampai 36 bulan.1
Gambar 4.1
Alur skema pembiayaan ARRUM BPKB
Sumber: Brosur Arrum BPKB Pegadaian Syariah Cabang Cinere
Adapun proses dalam mengajukan Arrum bpkb nasabah
datang ke pegadaian syariah dan memilih pembiayaan Arrum
BPKB yang memberikan pinjaman tanpa harus buka rekening
terlebih dahulu kemudian nasabah akan dimintakan untuk mengisi
1 Wawancara dengan Anggi Kristianto, Penaksir Pegadaian Syariah Cabang Cinere,
Jakarta 12 Agustus 2019.
Nasabah ingin
mengembangkan
bisnis dan
memperluas pasar
Nasabah datang ke
Pegadaian Syariah
dan memilih
layanan Arrum
BPKB
Nasabah mengisi
formulir dan
menyerahkan
dokumen ke petugas
Dokumen diperiksa
petugas dan analis
melakukan survei
kelayakan usaha
Penandatangan
akad dan dana
pinjaman sudah bisa
diterima
Selama masa
peminjaman,
pegadaian memelihara
marhun BPKB
46
formulir dan menyerahkan dokumen ke petugas, setelah itu
dokumen akan diperiksa oleh petugas dan analis melakukan survey
kelayakan usaha, setelah proses-proses tersebut berjalan maka
dilakukan penandatanganan akad dan dana pinjaman sudah bisa
dicairkan sesuai dengan jumlah yang disepakati. Selama masa
peminjaman pegadaian memelihara Marhun BPKB nasabah sampai
nasabah melunasinya. Untuk lamanya pencairan dana pinjaman
dapat memakan waktu tiga hari sampai satu minggu hari kerja hal
ini dikarenakan jumlah sumber daya manusia (SDM) pegadaian
yang terbatas.
Sebelum mengajukan permohonan pembiayaan Arrum
BPKB, nasabah terlebih dahulu untuk melengkapi syarat-syarat
dan ketentuan yang ditetapkan pihak pegadaian syariah diantaranya
yaitu :
a) Memiliki usaha produktif yang sah dan telah berjalan
minimal dua tahun.
b) Memiliki tempat tinggal tetap.
c) Memiliki BPKB asli dengan maksimal usia kendaraan:
15 tahun terakhir untuk BPKB motor plat hitam;
25 tahun terakhir untuk BPKB plat mobil hitam;
20 tahun terakhir untuk BPKB mobil plat kuning.
d) Fotokopi KTP pemohon suami dan istri
e) Fotokopi Kartu Keluarga (KK)
f) Fotokopi Surat / Buku Nikah
g) Fotokopi Surat Keterangan Usaha dari RT/RW untuk
pinjaman sampai 25 juta untuk pinjaman lebih dari 25 juta
surat keterangan usaha dari kelurahan
h) Rekening Tagihan Pembayaran Telepon / Listrik / Air
i) Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
47
j) Surat-surat dan dokumen lain yang dibutuhkan apabila
perlu
Setelah nasabah melengkapi ketentuan dan persyaratan
yang ditetapkan oleh pegadaian syariah, maka petugas akan
memeriksa kelengkapan dari persyaratan tersebut apabila
dinyatakan lengkap dan memenuhi persyaratan nasabah tidak
langsung mendapatkan uang pinjaman tersebut melainkan petugas
dari pegadaian syariah yang biasa disebut analis akan mensurvei
kelayakan usaha dari nasabah.
Beberapa unsur yang dianalisa oleh pihak analis yaitu
kondisi kendaraan itu sendiri, kondisi tempat dan keadaan
keuangan usaha dari si nasabah, pendapatan dan keuntungan harian
dari usaha tersebut dan biaya lainnya yang dikeluarkan untuk
kebutuhan hidup si nasabah, analis uji kelayakan dilakukan untuk
menentukan besarnya nilai pinjaman yang bisa didapatkan oleh
nasabah. Setelah berkas dan dokumen lengkap serta analis telah
melakukan uji kelayakan dan sepakat untuk melanjutkan
pembiayaan langkah selanjutnya adalah pencairan dana pinjaman
berdasarkan kesepakatan para pihak.2
2. Prosedur pembiayaan Amanah
Pembiayaan amanah digunakan untuk pembelian kendaraan
bermotor dengan pinjaman sesuai syariah untuk Pegawai Negeri
Sipil (PNS) atau karwayan tetap dengan gaji tetap sesuai dengan
prinsip syariah mulai dengan angsuran 12 bulan sampai dengan 60
bulan.
2 Wawancara dengan Anggi Kristianto, Penaksir Pegadaian Syariah Cabang Cinere,
Jakarta 12 Agustus 2019.
48
Terdapat beberapa ketentuan dan syarat-syarat yang harus
dipenuhi nasabah sebelum mengajukan pembiayaan dalam produk
Amanah ini yaitu:
a) Untuk PNS atau Karyawan tetap minimal berusia 21 tahun
dengan masa kerja minimal dua kerja
b) Untuk pengusaha memiliki usaha produktif yang sah dan
telah berjalan minimal dua tahun
c) Memiliki tempat tinggal tetap
d) Usia saat jatuh tempo maksimal 70 tahun
e) Kendaraan digunakan diwilayah pemohon
f) Fotokopi KTP nasabah suami / istri
g) Fotokopi Kartu Keluarga (KK)
h) Fotokopi Surat / Buku Nikah
i) Fotokopi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan
pembayaran listrik
j) Fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
k) Fotokopi Kartu pegawai / Karyawan
l) Fotokopi Surat Keterangan (SK) pengangkatan pegawai /
karyawan
m) Surat persetujuan suami / istri
n) Slip gaji 3 bulan terakhir
o) Surat dan dokumen lain jika diperlukan
Setelah nasabah mengisi formulir dan melengkapi
ketentuan dan persyaratan, kemudian pihak dari pegadaian syariah
akan melakukan verifikasi berkas dan dokumen, domisili dan
tempat kerja terkait dan pihak pegadaian melakukan survei dengan
mendatangi kantor dari pegawai tersebut. Apabila instansi atau
perusahaan tempat bekerja nasabah telah bekerjasama dengan
pegadaian syariah maka pihak pegadaian hanya akan menghubungi
49
pihak dari instansi / perusahaan tersebut dan nasabah langsung bisa
datangi bagian yang mengurusi kerjasama dengan pegadaian
syariah sehingga tidak perlu mendatangi kantor pegadaian syariah,
setelah pihak pegadaian selesai verifikasi dan analis uji kelayakan
maka nasabah jika suami maka istri harus datang guna tandatangan
akad dikantor pegadaian syariah sebelum nasabah mendapatkan
pinjaman dari pembiayaan terlebih dahulu untuk membayar uang
muka sebesar 10 % untuk pembelian motor 20 % untuk pembelian
kendaraan mobil.
Dalam hal analisa uji kelayakan, tim analis pegadaian
syariah menganalisa mulai dari harga dari kendaraan itu sendiri,
besaran gaji yang diterima oleh nasabah, biaya yang dikeluarkan
oleh nasabah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, berdasarkan
ketentuan-ketentuan tersebutlah menjadi penentu besaran nilai
pinjaman yang dapat diberikan oleh pihak pegadaian syariah
kepada nasabah.3
B. Analisis pembiayaan ARRUM BPKB dan Amanah berdasarkan
Fatwa DSN MUI No. 92 tahun 2014 tentang Pembiayaan Disertai
Rahn
Berdasarkan ketentuan hukum dalam Fatwa No. 92 /DSN-
MUI/IV/2014 tentang pembiayaan disertai rahn (Al-Tamwil Al-Mautsuq bi
Al-Rahn) mengatakan bahwa semua bentuk pembiayaan / penyaluran dana
Lembaga Keuangan Syariah (LKS) boleh dijamin dengan agunan (Rahn)
sesuai dengan ketentuan dalam fatwa tersebut.
Penulis akan menguraikan hasil analisis berdasarkan ketentuan-
ketentuan yang terdapat dalam fatwa tersebut maupun ketentuan lain dari
3 Wawancara dengan Anggi Kristianto, Penaksir Pegadaian Syariah Cabang Cinere,
Jakarta 12 Agustus 2019.
50
fatwa yang masih terkait dengan pembahasan penelitian ini, ketentuan
dalam fatwa mengatur enam hal tentang pembiayaan disertai rahn
diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Ketentuan terkait barang jaminan (marhun)
Analisa penulis berdasarkan wawancara dengan pihak
pegadaian syariah cabang cinere, pada pelaksanaannya terhadap
produk ARRUM BPKB dan Amanah hanya menerima barang
jaminan berupa surat sah kepemilikan dari kendaraan yang
dijadikan jaminan yang dalam hal ini adalah BPKB, sedangkan
fisik kendaraan tetap berada dalam penguasaan nasabah. Dalam hal
barang jaminan pegadaian syariah cabang cinere menerapkan
Fatwa DSN MUI No. 68 tahun 2008 tentang Rahn Tasjily.4
Berdasarkan Fatwa No. 68/DSN-MUI/III/2008 yang
dijaminkan adalah surat kendaraan tersebut dalam hal ini adalah
BPKB kendaraan sementara fisik kendaraan tetap berada ditangan
rahin. Dengan dijaminkannya/digadaikannya surat kendaraan
tersebut tidak memindahkan kepemilikan barang tersebut kepada
murtahin, kepemilikan barang jaminan (marhun) tersebut tetap
dimiliki oleh rahin secara hukum.
Dalam Fatwa DSN MUI tentang pembiayaan disertai rahn
memberikan beberapa pilihan terhadap kriteria barang jaminan
yang bisa dijaminkan, namun pegadaian syariah cabang cinere
hanya menerima barang bukti berupa BPKB dan tidak menerima
barang jaminan selain dari itu meskipun fatwa membolehkan. Oleh
karena itu pegadaian syariah telah sesuai menerapkan ketentuan
dalam Fatwa DSN MUI meskipun tidak semua ketentuan dalam
Fatwa diterapkan.
4 Wawancara dengan Anggi Kristianto, Penaksir Pegadaian Syariah Cabang Cinere,
Jakarta 12 Agustus 2019.
51
Barang jaminan adalah setiap barang bergerak yang
dijadikan jaminan oleh nasabah kepada perusahaan pergadaian.5
Rahn Tasjily disebut juga dengan Rahn Ta‟mini, Rahn
Rasmi, atau Rahn Hukmi adalah jaminan dalam bentuk barang atas
utang, dengan kesepakatan bahwa yang diserahkan kepada
penerima jaminan (murtahin) hanya bukti sah kepemilikannya,
sedangkan fisik barang jaminan tersebut (marhun) tetap berada
dalam penguasaan dan pemanfaatan pemberi jaminan (rahin).6
Barang jaminan disertakan dalam hal ini agar pihak yang
meminjam merasa aman dengan piutangnya, karena jika pihak
yang meminjam tidak bisa mengembalikan utangnya, maka rahn
tersebut sebagai gantinya. Dengan kata lain agar pihak yang
meminjamkan uang bisa mengeksekusi agunannya jika rahin tidak
mampu melunasi utangnya, karena jaminan tersebut sebagai
pengikat dalam utang piutang. Jaminan tersebut juga berfungsi
hanya sebagai jaminan atas risiko moral hazard dan wanprestasi
(ta‟addi, taqshir dan mukhalafatu asy-syuruth) dan tidak berfungsi
sebagai jaminan atas modal dan keuntungan.7
Pada pembiayaan produk Amanah dan Arrum BPKB tidak
memperbolehkan jaminan yang dijaminkan merupakan bagian dari
kepemilikan bersama atau part of undivided ownership walaupun
aturan dalam Fatwa membolehkan hal tersebut, karena yang
dijaminkan merupakan kendaraan itu sendiri dalam bentuk surat
dalam hal ini BPKB sehingga dalam kontrak pembiayaan Arrum
5 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK), No. 31/POJK.05/2016 tentang Usaha
Pergadaian.
6 Fatwa DSN MUI No. 68/DSN-MUI/III/2008 tentang Rahn Tasjily.
7 Oni Sahroni, Hasanuddin, Fikih Muamalah Dinamika Teori Akad dan Implementasinya
Dalam Ekonomi Syariah, (Depok: Raja Grafindo Persada, 2017), h. 83.
52
BPKB dan Amanah di Pegadaian Syariah Cabang Cinere tidak
menerima jaminan yang merupakan bagian dari kepemilikan
bersama. Kontrak pembiayaan Arrum BPKB dan Amanah
mensyaratkan bahwa barang jaminan yang dijaminkan merupakan
milik penuh dari rahin bukan bagian dari kepemilikan bersama.
Ketentuan lain barang jaminan pelaksanaannya di
Pegadaian Syariah Cabang Cinere pada produk Arrum BPKB dan
Amanah barang jaminan (marhun) yang dijaminkan nasabah
diasuransikan oleh Pihak Pegadaian meliputi asuransi nasabah,
asuransi kredit dan asuransi kendaraan, dengan memakai jasa
asuransi Jamkrindo untuk jika nasabah meninggal, atau cicilan
macet dan Jasa Raharja Putra yang meliputi asuransi kehilangan
dan kerusakan dari kendaraan tersebut sesuai dengan kesepakatan
pada saat akad. Untuk pembayaran biaya asuransi nasabah hanya
membayar satu kali diawal setelah biaya-biaya perhitungan
asuransi selesai sesuai ketentuan yang berlaku di pegadaian
syariah.8
2. Ketentuan terkait utang (marhun bih/dain)
Analisa penulis terkait ketentuan terkait utang pada
pelaksanaannya di Pegadaian Syariah Cabang Cinere pada Produk
Arrum BPKB dan Amanah utang yang yang diberikan oleh pihak
pegadaian kepada nasabah dalam bentuk uang tidak dalam bentuk
barang. Meskipun dalam fatwa tertulis utang boleh dalam bentuk
barang, karena pada pelaksanaannya nasabah yang datang ke
Pegadaian Syariah Cabang Cinere membutuhkan dana pinjaman
dalam bentuk uang. Pada produk Arrum BPKB nasabah
membutuhkan dana pinjaman untuk modal usaha atau memperluas
8 Wawancara dengan Anggi Kristianto, Penaksir Pegadaian Syariah Cabang Cinere,
Jakarta 12 Agustus 2019.
53
dan mengembangkan usaha mikro nasabah tersebut. Pada produk
Amanah nasabah datang membutuhkan dana untuk memiliki
kendaraan bermotor.
Utang pada pelaksanaannya terhadap produk Arrum BPKB
dan Amanah antara nasabah dan pihak pegadaian syariah bersifat
mengikat. Dengan adanya ijab qabul yang dituangkan dalam
bentuk kontrak perjanjian maka utang yang terjadi dalam
pembiayaan Arrum BPKB dan Amanah bersifat mengikat.
Nasabah (rahin) bersedia mengikatkan diri kepada Pegadaian
Syariah (murtahin) untuk membayar utang atas pinjaman yang
diberikan kepada rahin secara cicilan ditambah biaya pemeliharaan
yang telah disepakati dalam perjanjian kontrak tersebut. Begitu
juga dengan jumlah kuantitas dan kualitas serta jangka waktunya
semua tertuang jelas dalam perjanjian kontrak akad pembiayaan.
Di Pegadaian Syariah Cabang Cinere untuk produk Arrum
BPKB dan Amanah nasabah bisa mendapatkan dana pinjaman
dengan nilai maksimal sebesar Rp 400.000.000,00 (empat ratus
juta rupiah ) dan untuk Arrum BPKB nilai minimal yang nasabah
bisa dapat sebesar Rp 2,500.000,00 (dua juta lima ratus ribu
rupiah) dengan jangka waktu untuk Arrum BPKB dari 12 bulan,
18, 24 sampai 36 bulan dan produk Amanah dari 12 bulan, 24,
36,48 sampai 60 bulan.9
Mengenai jangka waktu sesuai kesepakatan dan
kemampuan nasabah dalam membayar angsuran dengan pihak
Pegadaian Syariah Cabang Cinere yang dituangkan dalam kontrak
tertulis akad pembiayaan.
9 Wawancara dengan Anggi Kristianto, Penaksir Pegadaian Syariah Cabang Cinere,
Jakarta 12 Agustus 2019.
54
Untuk perpanjangan waktu pembayaran utang, pada
pelaksanaannya akad pembiayaan Arrum BPKB dan Amanah tidak
menerapkan perpanjangan waktu pembayaran, perjanjian yang
tertuang dalam kontrak pembiayaan antara nasabah dan pihak
pegadaian syariah cabang cinere menyepakati untuk tidak
mencamtumkan klausula/pasal perpanjangan pembayaran
pelunasan tetapi mengenakan adanya ta‟widh atas keterlambatan
pembayaran pelunasan sesuai kesepakatan dalam kontrak
pembiayaan.
Ta‟widh adalah menutup kerugian yang terjadi akibat
pelanggaran atau kekeliruan dengan ketentuan kerugian riil yang
dapat diperhitungkan dengan jelas dengan upaya untuk
memperoleh pembayaran dan bukan kerugian yang diperkirakan
akan terjadi karena adanya peluang yang hilang. Ta‟zir adalah
sanksi yang dikenakan LKS kepada nasabah yang mampu
membayar, tetapi menunda-nunda pembayaran yang disengaj oleh
nasabah dengan alasan yang tidak dibenarkan oleh syar‟i dan tidak
mempunyai kemauan dan i‟tikad baik untuk membayar
hutangnya.10
Pada pelaksanaannya di Pegadaian Syariah Cabang Cinere
dalam kontrak pembiayaan Arrum BPKB dan Amanah terdapat
klausula yang mengenakan denda ta‟widh kepada nasabah yang
apabila terlambat membayar pinjaman yang telah jatuh tempo,
biaya atas keterlambatan permbayaran terhitung sejak tanggal jatuh
tempo pembayaran dan besarannya denda ditetapkan dalam
kontrak pembiayaan tersebut.
10
Arianto Saputra, analisis pengelolaan dana ta‟zir dan ta‟widh bagi nasabah
wanprestasi pada PT. BRISYARIAH,(Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014). H. 29.
55
Mengenai pembebanan biaya riil dalam hal jangka waktu
pembayaran utang diperpanjang dalam produk Arrum BPKB dan
Amanah tidak berlaku karena nasabah hanya dikenakan denda atas
keterlambatan pembayaran dan klausula perpanjangan waktu tidak
ada dalam kontrak pembiayaan Arrum BPKB dan Amanah
3. Ketentuan terkait akad
Analisa penulis terkait akad pada pelaksanaannya di
Pegadaian Syariah Cabang Cinere pada produk Arrum BPKB dan
Amanah menggunakan akad pinjaman Arrum dan akad Rahn
Tasjily. Hal ini terjadi karena adanya perjanjian utang piutang
antara nasabah dan pegadaian syariah, oleh karena terjadi
perjanjian gadai/Rahn maka adanya jaminan tidak bisa dilepaskan
dari perjanjian utang piutang dalam bentuk akad qardh.
Namun pada pelaksanaannya, perikatan yang terjadi antara
nasabah dan pegadaian syariah sebagaimana yang tertuang dalam
kontrak pembiayaan, akad yang dijelaskan hanya terkait rahn
tasjily. Karena implementasinya pada produk Arrum BPKB dan
Amanah akad yang terjadi selain akad Rahn dalam hal jaminan,
terdapat akad qardh dari dana pinjaman yang melahirkan utang
piutang dan akad ijarah terkait sewa tempat penyimpanan barang
jaminan (marhun).11
Akad yang berlaku dalam produk pegadaian syariah terdiri
dari akad qardh, rahn, dan ijarah. Yaitu qardh wal ijarah adalah
akad pemberian pinjaman dari bank untuk nasabah yang disertai
11
Wawancara dengan Anggi Kristianto, Penaksir Pegadaian Syariah Cabang Cinere,
Jakarta 12 Agustus 2019.
56
dengan penyerahan tugas agar bank menjaga barang jaminan yang
diserahkan.12
Akad ijarah yang dianggap sebagai pengikat atas perjanjian
sewa jasa penyimpanan/pemeliharaan barang (marhun) milik
nasabah merupakan pemahaman yang keliru dan tidak tepat karena
dalam transaksi gadai akad utama dalam pembiayaan Arrum BPKB
dan Amanah adalah akad Qardh (utang-piutang) sehingga tidak
bisa dibarengi dengan akad sewa-menyewa (ijarah). Oleh karena
terjadi transaksi gadai maka dikenakan jasa penyimpanan marhun
atau barang gadaian milik nasabah yang disebut sebagai biaya
penyimpanan atau mu‟nah yang pada hakikatnya sudah menjadi
kewajiban nasabah, karena secara hak dan kepemilikan
berdasarkan prinsip syariah adalah milik nasabah.
Sehingga biaya pemeliharaan dan penyimpanan marhun
merupakan kewajiban nasabah sebagai konsekuensi dari adanya
akad rahn atas barang jaminan (marhun) milik nasabah yang
dijaminkan ke pegadaian syariah, maka tidak perlu adanya akad
ijarah dalam hal biaya penyimpanan dan pemeliharaan (mu‟nah)
atas barang jaminan (marhun) tersebut, karena implikasi dari
penggunaan akad juga berpengaruh terhadap kategori pendapatan
murtahin yang apabila tidak sesuai maka transaksi dpat
dikategorikan gharar bahkan riba.
Analisa pada akad amanah menurut fatwa DSN adalah
akad-akad yang tidak melahirkan kewajiban untuk
bertanggungjawab terhadap harta pihak lain ketika harta tersebut
rusak, hilang tau berkurang (kualitas dan kuantitasnya).
Sebagaimana yang telah penulis jelaskan pada poin diatas terkait
12
Oni Sahroni, Hasanuddin, Fikih Muamalah Dinamika Teori Akad dan Implementasinya
Dalam Ekonomi Syariah, (Depok: Raja Grafindo Persada, 2017), h. 167.
57
barang jaminan (marhun) dibolehkan dalam akad amanah tersebut
dengan syarat hanya berfungsi sebagai jaminan atas risiko moral
hazard dan wanprestasi dan tidak berfungsi sebagai jaminan atas
modal dan keuntungan. Maksud dari moral hazard dan wanprestasi
maka pihak yang meminjamkan uang berhak untuk menjual
jaminan sebagai ganti rugi atas kerugian yang diakibatkan oleh
risiko tersebut diatas sebagaimana dalam fatwa.13
Berdasarkan kontrak akad Arrum BPKB dan Amanah
apabila saat berlangsungnya pembiayaan tersebut kemudian terjadi
perbuatan moral hazard dan/atau wanprestasi dan telah diberikan
peringatan sebanyak 3 (tiga) kali dengan selang waktu masing-
masing 7 (tujuh) hari maka pegadaian syariah akan melakukan
eksekusi terhadap barang jaminan dengan melakukan penjualan
marhun di depan umum menurut tata cara dan dengan harga yang
dianggap baik oleh pihak pegadaian syariah atau melakukan
penjualan di bawah tangan marhun dengan persetujuan rahin.
4. Ketentuan terkait pendapatan murtahin
Analisa penulis berdasarkan ketentuan fatwa dan hasil
wawancara pada pelaksanaannya di Pegadaian Syariah Cabang
Cinere dalam pembiayaan produk Arrum BPKB dan Amanah
terjadi perjanjian yang timbul karena adanya utang piutang yaitu
akad qardh, maka pendapatan yang didapat oleh murtahin
(pegadaian syariah) hanya berasal dari mu‟nah yang dibebankan
kepada nasabah atas jasa pemeliharaan barang jaminan (marhun)
yang besarannya sudah ditetapkan pada saat akad.
13
Oni Sahroni, Hasanuddin, Fikih Muamalah Dinamika Teori Akad dan Implementasinya
Dalam Ekonomi Syariah, (Depok: Raja Grafindo Persada, 2017), h. 83.
58
Pada pelaksanannya di Pegadaian Syariah Cabang Cinere,
mu‟nah yang dikenakan oleh Pegadaian Syariah Cabang Cinere
kepada nasabah sebesar 0,7 % dari nilai taksiran.14
Namun pelaksanaannya berdasarkan kontrak pembiayaan
tidak ada kejelasan dan ketegasan pemakaian akad qard yang
dituangkan dalam bentuk definisi sehingga akibatnya ialah adanya
kesalahan penyebutan pendapatan murtahin yang disebutkan dalam
akad lisan sebagai ujroh dan juga sebagai mu‟nah yang mana dua
hal tersebut berasa dari akad yang berbeda.
Jasa penyewaan tempat dan pemeliharaan barang yang
disediakan oleh pegadaian syariah cabang cinere masih dianggap
sebagai suatu konsep akad ijarah baru, hal ini tentu bertolak
belakang dengan ketentuan fatwa bahwa jasa pemeliharaan dan
penyimpanan merupakan pendapatan murtahin yang berbentuk
mu‟nah yang didasari atas akad qard.
5. ketentuan terkait penyelesaian akad Rahn
Analisa penyelesaian akad rahn pada pembiayaan produk
Arrum BPKB dan Amanah di Pegadaian Syariah Cabang Cinere
adalah nasabah membayar angsuran/cicilan perbulannya ditambah
dengan biaya mu‟nah sesuai dengan jangka waktu yang telah
ditentukan dan sudah disepakati dalam kontrak pembiayaan,
setelah nasabah melunasi utangnya terhadap pegadaian syariah,
maka pihak pegadaian syariah akan mengembalikan barang
jaminan/gadaian yang disimpan kepada nasabah dan berakhirlah
akad rahn tersebut.
Pengembalian marhun atau pengambilan marhun bertempat
di kantor pegadaian syariah tempat nasabah mengajukan pinjaman,
14
Wawancara dengan Anggi Kristianto, Penaksir Pegadaian Syariah Cabang Cinere,
Jakarta 12 Agustus 2019.
59
apabila nasabah mengajukan pinjaman dipegadaian syariah cabang
cinere maka pengambilan barang jaminan bisa langsung
mendatangi kantor pegadaian syariah cabang cinere, namun apabila
nasabah mengajukan pinjaman di Unit Pegadaian Syariah (UPS)
dibawah pegadaian syariah cabang cinere, maka dibutuhkan satu
sampai dua hari, karena penyimpanan barang jaminan hanya
disimpan dikantor cabang.15
Dalam wawancara dengan Penaksir Pegadaian Syariah
Cabang Cinere menyatakan bahwa jika utang nasabah telah jatuh
tempo namun nasabah belum juga membayar/melunasinya, maka
pihak pegadaian syariah cabang cinere melakukan peringatan
dengan tiga langkah, yang pertama peringatan melalui SMS dalam
waktu 7 (tujuh) hari tidak ada respon langkah kedua melalui via
telepon setelah di telepon nasabah juga tidak ada respon dari
nasabah maka langkah terakhir yaitu peringatan melalui surat
pemberitahuan.
Pelaksanaannya di Pegadaian Syariah Cabang Cinere pada
produk Arrum BPKB dan Amanah apabila nasabah (rahin) cidera
janji dan pihak pegadaian syariah (murtahin) telah mengirimkan
suart peringatan sebanyak 3 (tiga) kali dengan selang waktu
masing-masing 7 (tujuh) hari, maka pihak pegadaian syariah
(murtahin) melaksanakan eksekusi (jual paksa/lelang) barang
jaminan (marhun) di depan umum menurut tatacara dan dengan
harga yang dianggap baik oleh pihak pegadaian syariah (murtahin)
atau melakukan penjualan di bawah tangan dengan persetujuan
rahin atas objek pinjaman amanah yang dijadikan jaminan utang
dalam akad.
15
Wawancara dengan Anggi Kristianto, Penaksir Pegadaian Syariah Cabang Cinere,
Jakarta 12 Agustus 2019.
60
Selanjutnya setelah melakukan pelelangan/penjualan
apabila terdapat kelebihan sisa uang penjualan marhun tersebut,
maka berdasarkan Fatwa DSN MUI uang tersebut akan
dikembalikan kepada nasabah, namun apabila masih terdapat
kekurangan maka sisa utang menjadi kewajiban nasabah apabila
nasabah tidak mampu membayar maka kerugian akan dicover oleh
asuransi.16
6. ketentuan penyelesaian perselisihan.
Berdasarkan wawancara serta analisa penulis terhadap
penyelesaiaan perselisihan, pegadaian syariah cabang cinere lebih
mengedepankan langkah-langkah penyelesaian melalui
musyawarah mufakat berdasarkan itikad baik dari masing-masing
pihak, namun apabila perselisihan terkait utang tidak bisa
diselesaikan dengan musyawarah mufakat serta alternatif lain maka
berdasarkan ketentuan yang telah disepakati dalam akad, pegadaian
syariah melakukan pelelangan terhadap barang jaminan untuk
menutupi utang dari nasabah.
Jika salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya
atau jika terjadi perselisihan diantara para pihak, perselisihan yang
merugikan perusahaan secara materi dan non materi maka
penyelesaiannya dilakukan melalui lembaga penyelesaian sengketa
berdasarkan syariah setelah tidak mencapai kesepakatan melalui
musyawarah yang dalam hal ini berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku adalah menyelesaikan di wilayah
kekuasaan absolut pengadilan agama domisi para pihak.
Penyelesaian perselisihan berdasarkan ketentuan Undang-
Undang Nomor: 3 Tahun 2006 pengadilan agama bertugas dan
16
Wawancara dengan Anggi Kristianto, Penaksir Pegadaian Syariah Cabang Cinere,
Jakarta 12 Agustus 2019.
61
berwenang memeriksa, dan memutus dan menyelesaikan perkara di
tingkat pertama anatar orang-orang yang beragama islam di
bidang:
a) perkawainan;
b) waris;
c) wasiat;
d) hibah;
e) wakaf;
f) zakat;
g) infaq;
h) shadaqah; dan
i) ekonomi syariah.17
Pada saat penulis melakukan penelitian di Pegadaian Syariah
Cabang Cinere belum ada terjadi perselisihan antara pihak pegadaian
syariah (murtahin) dengan nasabah (rahin) yang diselesaikan hingga
sampai ranah pengadilan agama, karena berdasarkan wawancara dengan
pihak Pegadaian Syariah Cabang Cinere ketika terjadi peselisihan dengan
nasabah pihak pegadaian syariah akan melakukan penyelesaian dengan
langkah-langka persuasif.
Namun apabila mengacu pada kontrak perjanjian disebutkan
dalam penyelesaian perselisihan yang berbunyi “apabila terjadi
perselisihan dalam melaksanakan akad, maka akan diselesaikan melalui
musyawarah untuk mufakat dengan dilandasai oleh itikad baik dari
masing-masing pihak”. “apabila cara musyawarah untuk mufakat tidak
tercapai dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja, maka pihak
sepakat untuk menyelesaikan perselisihan tersebut melalui Pengadilan
Agama”.
17
Undang-Undang Nomor: 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang
Nomor: 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, pasal 49.
62
C. Analisis Kontrak Produk Arrum BPKB dan Amanah
Analisa dan evaluasi dokumen kontrak perjanjian ini menggunakan
teori dan syarat penyusunan kontrak perjanjian dari sisi anatomi dokumen
kontrak perjanjian (Anatomy Of Contracts).
Dari hasil analisis dan evaluasi kontrak perjanjian Arrum BPKB
dan Amanah dijelaskan sebagai berikut:
1. Judul Perjanjian Arrum BPKB dan Amanah
Dalam kontrak Arrum BPKB dan Amanah sebelum judul,
terdapat simbol pernyataan filosofis yaitu menggunakan menuliskan
dengan huruf latin “Bismillahirrahmaanirrahiim” dan menuliskan
terjemahan ayat Quran yang dianggap relevan dengan isi kontrak
dalam perjanjian Arrum dan Amanah menuliskan terjemahan surat Al-
Maidah ayat 1 dan As-Syu‟ara ayat 181. Judul kontrak Arrum BPKB
dinamakan AKAD PINAJAMAN ARRUM dan judul kontrak Amanah
dinamakan AKAD RAHN TASJILY PADA PEGADAIAN
AMANAH diikuti dengan nomor perjanjian, (nama produk, bulan dan
tahun khusus dalam kontrak Amanah).
Tidak ada keharusan menulis kontrak syariah dengan diawali
dengan basmallah dan terjemahan ayat Qur‟an akan tetapi agar terasa
lebih utama dari aspek pemahaman sehingga sosialisasi dan akselerasi
akad muamalah-ekonomi dimasyarakat cepat terwujud.
2. Signifikansi pernyataan tempat dan waktu
Dari kontrak syariah Arrum BPKB dan amanah yang diteliti,
tergambar bahwa kontrak syariah tersebut menempatkan pernyataan
tentang waktu dan tempat perjanjian pada bagian depan dengan
menuliskan hari, tanggal, bulan, tahun dan tempat diadakan perjanjian.
Penyataan mengenai tempat dan waktu perjnajian syariah dimuat
dalam kontrak, dan masing-masing memiliki kepentingan tersendiri.
Pernyataan tentang waktu Arrum dan Amanah berhubungan dengan
prestasi/pelaksanaan hak dan kewajiban pihak-pihak yang terikat
63
dengan kontrak, terutama mengenai waktu mu‟nah dibayarkan oleh
rahin kepada murtahin dan waktu berakhirnya akad. Sedangkan
penyataan tempat berkaitan dengan yuridiksi dan/atau kekuasaan
relatif peradilan jika terjadi sengketa kemudian hari. Signifikansi
pernyataan tersebut adalah untuk menghindari risiko mengenai
kemungkinan adanya sangkalan dari salah satu pihak, bahwa ia pada
saat tersebut tidak berada di tempat pembuatan kontrak tersebut.18
3. Komparisi Kontrak
Komparisi adalah penjelasan mengenai pihak yang melakukan
perbuatan hukum yang berupa penjelasan mengenai: identitas yang
meliputi nama, pekerjaan, dan domisili pihak-pihak, dasar hukum yang
memberi kewenangan yuridis untuk bertindak dari para pihak
khususnya untuk badan usaha dan kedudukan para pihak yang ditulis
dengan sebutan: “selanjutnya dalm perjanjian ini disebut pihak
pertama,” atau “selanjutnya dalam perjanjian ini disebut pihak kedua”.
Komparisi dalam kontrak Arrum BPKB dan Amanah adalah
penjelasan mengenai: identitas meliputi nama, pekerjaan, alamat, (no
tlp dan no ktp dalam kontrak Amanah), kedudukan para pihak dengan
sebutan pihak pertama dan pihak kedua.
4. Recitals/sebab atau dasar kontrak
Recitals adalah bagian pembukaan kontrak yang berisi tentang
penjelasan resmi atas latar belakang suatu keadaan dalam suatu
perjanjian/kontrak untuk menjelaskan mengapa terjadi perikatan;
dengan kata lain, recitals pada dasarnya merupakan penjelasan
mengenai sebab masing-masing pihak bersepakat untuk melakukan
perjanjian. akan tetapi, recitals tidak mutlak harus ada dalam perjanjian
jika tidak ada hal yang perlu dijelaskan; kecuali perjanjian yang
bersifat novasi, didalam aktanya harus dijelaskan penggantian
18
Daeng Naja, Contract Drafting: Seri Keterampilan Merancang Kontrak Bisnis,
(Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006), H. 116.
64
perikatan lama dengan perikatan baru; jika tidak ada penjelasan
demikian, tidaklah terjadi perjanjian novasi yang dimaksud.19
Recitals Arrum BPKB dan Amanah adalah berupa penjelasan
mengenai latar belakang dilakukannya akad rahn ini. dalam kontrak
produk Amanah recitals tidak disebutkan dengan bentuk kata
“Menimbang” melainkan disebutkan berupa penjelasan latar belakang
terjadi perjanjian secara langsung, sedangkan kontrak Arrum BPKB
recitals tidak dijelaskan baik secara langsung maupun dalam bentuk
kata “menimbang”.
Persetujuan (consent) dalam kontrak Arrum BPKB
dicantumkan setelah identitas para pihak dan Amanah dicantumkan
setelah recitals atau sebab terjadi perikatan. Produk Arrum BPKB
dalam bentuk “Bahwa PIHAK PERTAMA dengan PIHAK KEDUA
secara bersama-sama disebut PARA PIHAK, dan para pihak sepakat
dan setuju untuk mengadakan akad rahn tasjily produk pegadaian
ARRUM, dengan syarat-syarat dan ketentuan sebagai berikut:” dan
produk Amanah dalam bentuk “berdasarkan hal-hal tersebut diatas,
PARA PIHAK sepakat dan setuju untuk mengadakan Akad Pinjaman
Amanah, dengan syarat dan ketentuan sebagai berikut:”.
5. Ruang lingkup kontrak
Ruang lingkup merupakan hal yang penting dalam kontrak.
Walaupun penempatannya banyak terjadi perbedaan pendapat apakah
bagian pendahuluan/pembukaan kontrak atau bagian substansi kontrak.
Rumusan ruang lingkup pada kontrak Arrum BPKB dan Amanah
menurut penulis dicantumkan pada bagian diktum kontrak, termasuk
dalam substansi kontrak yang disebutkan dalam pasal-pasal pokok
kontrak.
Substansi kontrak: ketentuan umum dan prinsip penyusunan klausul
Arrum BPKB dan Amanah sebagaimana disebutkan diatas pada
19
Daeng Naja, Contract Drafting: Seri Keterampilan Merancang Kontrak Bisnis,
(Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006), H. 119-120.
65
susunan anatomi kontrak bagian kedua terdiri dari ketentuan pokok
yang terdiri dari ketentuan umum, pokok dan ketentuan penunjang.
Ketentuan umum berisi tentang batasan istilah-istilah atau
pengertian-pengertian yang digunakan dalam kontrak yang
bersangkutan penjelasan-penjelasan tersebut disepakati oleh para pihak
guna menghindari dan mempersempit ruang perselisihan yang diduga
akan muncul yang disebabkan oleh perbedaan pengertian dan
penafsiian dari para pihak yang terikat dengan kontrak dimaksud.
Dalam kontrak Arrum BPKB terdapat definisi yang dicantumkan pada
pasal 1 kontrak diantaranya istilah tentang rahin, akad, marhun,
mu‟nah, marhun bih, ta‟widh. Penurut penulis ketika meneliti kontrak,
seharusnya juga menjelaskan pengertian murtahin dan rahn tasjily
yaitu akad yang dipakai dalam pembiayaan Arrum BPKB. Sedangkan
pada kontrak Amanah tidak terdapat definisi/penjelasan istilah yang
dipakai, hal ini dapat menyebabkan terjadinya perselisihan perbedaan
interpretasi kesepakatan/perjanjian.
Selanjutnya ketentuan pokok dan penunjang perjanjian
diantaranya berisi tentang pasal-pasal yang memuat klausula kontrak,
ketentuan pokok dan penunjang dalam kontrak Arrum BPKB dan
Amanah diantaranya adalah ketentuan tentang objek akad, ketentuan
mengenai hak dan kewajiban rahin dan murtahin, ketentuan mengenai
biaya-biaya, ketentuan mengenai ganti rugi, jaminan, pembayaran,
pemeliharaan marhun dan ketentuan mengenai larangan sanksi,
kelalaian, eksekusi, force majeur, penyelesaian perselisihan,
penyerahan piutang kepada pihak lain. Ketentuan pokok dan
penunjang kontrak Arrum BPKB disebutkan dalam pasal-pasal
berikut:
a. Pasal 2 : Jumlah Pinjaman, Tujuan, Dan Jangka Waktu;
b. Pasal 3 : Tarif Mu‟nah;
c. Pasal 4 : Biaya-Biaya;
d. Pasal 5 : Jaminan Pelunasan Pinjaman;
66
e. Pasal 6 : Pemeliharaan Marhun;
f. Pasal 7 : Pembayaran;
g. Pasal 8 : Ta‟widh (Ganti Rugi);
h. Pasal 9 : Cidera Janji;
i. Pasal 10 : Larangan;
j. Pasal 11 : Force Majeur;
k. Pasal 12 : Eksekusi;
l. Pasal 13 : Masa Berlaku;
m. Pasal 14 : Penyelesaian Perselisihan;
n. Pasal 15 : Kuasa Yang Tidak Dapat Ditarik Kembali;
o. Pasal 16 : Penyerahan Piutang Kepada Pihak Lain;
p. Pasal 17 : Penutup.
Dan untuk ketentuan pokok dan penunjang kontrak Amanah
dimuat dalam pasal sebagai berikut:
a. Pasal 1 : Jumlah Pinjaman Dan Tujuan;
b. Pasal 2 : Jangka Waktu;
c. Pasal 3 : Biaya-Biaya;
d. Pasal 4 : Pembayaran;
e. Pasal 5 : Ganti Rugi Keterlambatan;
f. Pasal 6 : Jaminan Pinjaman;
g. Pasal 7 : Pemeliharaan Marhun;
h. Pasal 8 : Cidera Janji;
i. Pasal 9 : Larangan Dan Sanksi;
j. Pasal 10 : Force Majeur;
k. Pasal 11 : Eksekusi;
l. Pasal 12 : Masa Berlaku;
m. Pasal 13 : Kuasa Yang Tidak Dapat Ditarik Kembali;
n. Pasal 14 : Addendum;
o. Pasal 15 : Penyelesaian Perselisihan.
p. Pasal 16 : Penutup.
67
Pada kontrak Arrum BPKB dan Amanah yang penulis teliti,
penulis tidak menemukan diktum mengenai pernyataan bahwa
perjanjian yang dibuat oleh para pihak tidak bertentangan dengan
hukum dan peraturan yang berlaku baik dibagian kepala kontrak
maupun isi kontrak itu sendiri,meskipun tidak ada kewajiban untuk
untuk mencantumkannya dalam bentuk klausula.
Pada bagian isi kontrak Amanah terkait pasal ganti rugi
keterlambatan yaitu pasal 5 ayat 2 dalam kontrak tersebut menyebutkan
jumlah besaran ganti rugi yang harus nasabah bayar jika terlambat
membayar angsuran yang telah disepakati, hal ini bertentangan dengan
fFatwa DSN MUI tentang ganti rugi yang mengatakan besarnya ganti
rugi tidak boleh dicantumkan dalam akad.
Pada ketentuan penunjang dalam kontrak Arrum BPKB dan
Amanah terdapat klausula bahwasanya para pihak sepakat untuk tidak
menggunakan ketentuan pasal 1266,(1267 KUH Perdata khusus kontrak
Amanah) terkait masa berlaku dan pasal 1813 KUH Perdata terkait
kuasa yang tidak dapat ditarik kembali.
Adapun pasal 1266 KUH Perdata berbunyi “Syarat batal
dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan yang timbal balik,
andaikata salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal
demikian persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus
dimintakan kepada Pengadilan. Permintaan ini juga harus dilakukan,
meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban
dinyatakan di dalam persetujuan. Jika syarat batal tidak dinyatakan
dalam persetujuan, maka Hakim dengan melihat keadaan, atas
permintaan tergugat, leluasa memberikan suatu jangka waktu untuk
memenuhi kewajiban, tetapi jangka waktu itu tidak boleh lebih dan satu
bulan”.20
20
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1266.
68
Pasal 1267 KUH Perdata berbunyi “pihak yang terhadapnya
perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih; memaksa pihak yang lain
untuk memenuhi persetujuan, jika hal itu masih dapat dilakukan, atau
menuntut pembatalan persetujuan dengan penggantian biaya, kerugian
dan bunga”.21
Dan pasal 1813 KUH Perdata berbunyi “pemberian kuasa
berakhir dengan penarikan kembali kuasa penerima kuasa; dengan
pemberitahuan penghentian kuasanya oleh penerima kuasa; dengan
meninggalnya atau pengampuan pailitnya, baik pemberi kuasa maupun
penerima kuasa; dengan kawinnya perempuan yang memberikan atau
menerima kuasa”.22
Dalam ketentuan pokok dan penunjang yang terdapat dalam
kontrak Arrum BPKB dan Amanah terdapat beberapa pasal yang tidak
dicantumkan dalam salah satu kontrak yaitu pasal 16 penyerahan
piutang kepada pihak lain dalam kontrak Arrum BPKB dan pasal 14
addendum pada kontrak Amanah.
6. Bagian Penutup
Bagian penutup dalam kontrak syariah Arrum BPKB dan
Amanah ditulis dalam bentuk pasal penutup. Pasal 17 penutup kontrak
Arrum BPKB berbunyi “akad pinjaman piutang ini dibuat 2 (dua)
masing-masing ditandatangani oleh para pihak, yang keduanya
memiliki kekuatan hukum yang sama. Satu lembar asli untuk PIHAK
PERTAMA dan satu lembar asli untuk PIHAK KEDUA”. Dan pasal
16 penutup kontrak Amanah berbunyi “akad ini dibuat rangkap 2 (dua)
masing-masing ditandatangani oleh PARA PIHAK diatas kertas
bermaterai cuikup yang mempunyai kekuatan hukum sama. Satu
lembar asli untuk MURTAHIN dan satu lembar asli untuk RAHIN”.
Ketentuan penutup kontrak Arrum BPKB dan Amanah tidak
mencantumkan saksi-saksi dalam bentuk klausula atau pasal
21
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1267.
22 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1813.
69
melainkan dicantumkan dalam bentuk ruang tandatangan para pihak
dan para saksi yang dalam hal ini adalah isteri atau suami dari nasabah.
Penggunaan materai dalam kontrak adalah bukan sebagai
syarat sahnya suatu dokumen kontrak/perjanjian melainkan sebagai
bentuk pembayaran pajak kepada negara selain itu surat/dokumen
perjanjian atau kontrak yang dibuat dengan tujuan agar dapat dijadikan
bukti di pengadilan yang bersifat perdata jika ada masalah dikemudian
hari maka harus dibubuhi materai.23
Demikian sebaiknya dokumen
perjanjian/kontrak dibubuhi materai.
23
Undang-Undang Nomor: 13 Tahun 1985 Tentang Bea Materai, Pasal 2.
70
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dan hasil penelitian yang sudah diteliti
dan dianalisis berdasarkan bahan pustaka yang ada maka dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut:
1. Pada penerapannya di Pegadaian Syariah Cabang Cinere
dalam produk pembiayaan Arrum BPKB dan Amanah
menggunakan akad Rahn Tasjily dari segi barang jaminan
yang dijaminkan rahin kepada murtahin sebagaimana
tertulis dalam kontrak, yaitu dengan menyerahkan bukti
sah surat kepemilikan untuk dijaminkan yang dalam hal ini
adalah BPKB kendaraan yang mana secara fisik kendaraan
tersebut dikuasai oleh rahin. Perjanjian gadai secara
derivatif melahirkan adanya jaminan yang timbul akibat
utang piutang yang berasal dari akad qardh. Akad dalam
hal ini adalah akad pinjaman dana/utang dalam bentuk
uang yang diberikan oleh murtahin kepada rahin yang
besaran jumlahnya ditentukan berdasarkan kesepakatan
pada saat akad terjadi.
Akad qardh yang digunakan dalam pembiayaan Arrum dan
Amanah ialah akad qardh yang dananya berasal dari dana
nasabah berdasarkan fatwa DSN MUI Nomor: 79/DSN-
MUI/III/2011 tentang qardh dengan menggunakan dana
nasabah, yaitu sebagai sarana kelengkapan transaksi lain
seperti produk rahn sehingga diperbolehkan menggunakan
dana nasabah.
2. Pada pembiayaan Arrum BPKB dan Amanah, pendapatan
murtahin hanya berasal dari biaya administrasi dan biaya
71
pemeliharaan (mu‟nah) atas marhun yang dibayarkan oleh
nasabah sebagai konsekuensi dari akad rahn, biaya
pemeliharaan/penyimpana marhun dalam hal ini bukan
merupakan sebuah akad ijarah (sewa-menyewa) melainkan
biaya yang lahir dari akad rahn atas barang jaminan yang
dijaminkan ke Pegadaian Syariah, sehingga biaya
penyimpanan atas barang jaminan (marhun) tersebut
merupakan kewajiban nasabah sebagai pemilik barang
tersebut.
3. Penerapan produk Arrum BPKB dan Amanah berdasarkan
dengan Fatwa DSN MUI Nomor: 92/DSN-MUI/IV/2014
tentang pembiayaan disertai rahn (Al-Tamwil Al-Mautsuq
Bi Al-Rahn) dan Fatwa DSN terkait lainnya telah
memenuhi dan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan.
Analisis kesesuaian praktik pelaksanaan terhadap fatwa
merupakan upaya untuk menggambarkan juga
pengendalian objek tentang kenyataan dalam
melaksanakan norma yang ada. LKS khususnya Pegadaian
Syariah yang dalam pelaksanaannya tidak bertentangan
dengan prinsip-prinsip syariah dalam hal ini adalah Fatwa
DSN MUI dan peraturan lainnya.
4. Analisis anatomi kontrak Arrum BPKB dan Amanah masih
terdapat bagian-bagian yang tidak dicantumkan dalam
kontrak, seperti definisi dalam kontrak Amanah yang tidak
dicantumkan, besaran ganti rugi (ta‟widh) yang cantumkan
dalam kontrak, dan dalam kontrak Arrum BPKB tidak
adanya unsur recitals atau penjelasan latar belakang
terjadinya perikatan, serta tidak ada pernyataan bahwa
perjanjian yang dibuat tidak bertentangan dengan peraturan
perundangan dan peraturan lainnya.
72
B. Saran
Berdasarkan simpulan penelitian seperti yang telah diuraikan diatas, maka
dapat dikemukakan beberapa saran sebagai berikut:
1. Pegadaian Syariah harus lebih mensosialisasi kepada
masyarakat mengenai keberadaan dan kelebihan produk-
produknya. Dan bagaimana jaminan yang dijaminkan oleh
nasabah dijamin keamanan dan keutuhannnya sehingga
bertambah rasa kepercayaan masyarakat kepada pegadaian
syariah.
2. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan dan Fatwa DSN MUI
yang mengatur tentang usaha pergadaian dan mekanisme
operasional pegadaian sekiranya dapat dijadikan dalam
bentuk peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
dalam bentuk Undang-Undang, sehingga memiliki
kekuatan hukum yang kuat dalam tatanan hukum di
Indonesia, seyogyanya pemerintah dan para stakeholder
dapat berperan aktif untuk dapat merealisasikannya.
3. Pihak pegadaian agar melakukan koreksi terhadap anatomi
agar sesuai dengan kaidah dan unsur-unsur anatomi
kontrak, serta klausul kontrak yang dibuat agar tidak
menimbulkan perselisihan interpretasi antar nasabah,
terlebih banyak istilah-istilah syariah yang nasabah masih
awam untuk mengerti. Dan berpedoman berdasarkan
Fatwa DSN MUI dan Peraturan perundangan lainnya.
4. Skripsi ini masih memiliki keterbatasan dan kekurangan
baik dari segi penulisan maupun dari segi pengambilan
data sehingga saya harapkan di kemudian hari bila ada
yang akan melakukan penelitian lanjut lebih mendalam
kiranya dapat memberikan data yang lebih valid dan
73
memadai dari apa yang saya teliti dan saya tulis sehingga
dapat memberikan informasi yang akurat guna menambah
wawasan masyarakat.
74
DAFTAR PUSTAKA
Ascarya, akad dan Produk Bank Syariah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2015.
Ashsofa, Burhan, Metode Penelitian Hukum, Jakarta : Rineka Cipta, 2001.
Arifin, Sirajul litigasi hibrid contract gadai pada lembaga keuangan syariah,
islamica; jurnal studi keislaman, vol 2 no 12, tahun 2018.
Abubakar, Lastuti. Handayani, Tri, Telaah Yuridis Perkembangan Regulasi Dan
Usaha Pergadaian Sebagai Pranata Jaminan Kebendaan, Jurnal Bina Mulia
Hukum, Vol 2 No 1, Universitas Padjajaran, 2017.
Amalia, Amik Nur Imansari, Pembiayaan Murabahah Disertai Jaminan Perspektif
Fatwa DSN-MUI NO. 92/DSN-MUI/IV/2014 (Studi Kasus Di BMT
Istiqomah Unit II Plosokandang Kedungwaru Tulungagung, Skripsi S-1
Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum, Institut Agama Islam Negeri Tulung
Agung, 2017.
Azwar, Saifudin. Metode Penelitian: Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.
Dewi, Gemala, Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan dan Amp : Perasuransian
Syariah di indonesia, Depok : Kencana, 2017.
Djamil, Fathurahaman, Hukum Ekonomi Islam Sejarah, Teori, dan Konsep
Jakarta: Sinar Grafika, 2013
Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor 92/DSN-
MUI/IV/2014 tentang Pembiayaan yang Disertai Rahn (at-Tamwil al-
Mautsuq bi al-Rahn).
Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor 79/DSN-
MUI/III/2011 tentang Qardh Dengan Menggunakan Dana Nasabah.
Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor 68/DSN-
MUI/III/2008 tentang Rahn Tasjily.
75
Ghofur Abdul, Anshori, Gadai Syariah Di Indonesia Konsep Implementasi dan
Institusionalisasi, Yoyakarta: Gadjah Mada University Press, 2011.
Hadi, Sutrisno, Metodologi Research, Yogyakarta : Andi Offset, 2000.
Ifham Sholihin, Ahmad, Buku Pintar Ekonomi Syariah, Gramedia Pustaka Utama,
2010.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Mardani, Hukum Bisnis Syariah, Jakarta: Kencana, 2014.
Mardani, HukumPerikatan Syariah Di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2013.
Mardani, aspek hukum lembaga keuangan syariah di ndonesia, Kencana, Jakarta,
2015.
Mubarak, Jaih, Al- Ijarah Al-Muntahiya Bi al-Tamlik (IMBT) dalam Perspektif
Anatomi Kontrak Bisnis, Fakultas Pasca Sarjana UIN Bandung, Jurnal
ALQALAM Vol 26, No. 3, 2009.
Naja, Daeng, Contract Drafting: Seri Keterampilan Merancang Kontrak Bisnis,
Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006.
Natalina Nilamsari, “Memahami Studi Dokumen Dalam Penelitian Kualitatif”,
Jurnal Wacana, Vol. XIII, No. 2, Juni 2014.
Nasution. S, Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, Bandung : Tarsito, 1992.
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK), Nomor: 31/POJK.05/2016 tentang
Usaha Pergadaian.
Ridwan, Muhammad, Manajemen Baitul Maal Wa Tamwil (BMT), UII Press,
Yogyakarta, 2004.
Saputra, Arianto, “analisis pengelolaan dana ta‟zir dan ta‟widh bagi nasabah
wanprestasi pada PT. BRISYARIAH”, Skripsi S1 Fakultas Syariah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014.
76
Simatupang, Richard Burton, Aspek Hukum dalam Bisnis, Jakarta: PT Rineka
Cipta, 2003.
Soemitra, Andri, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Kencana, Jakarta, 2017.
Sofyan Ade, Mulazid, kedudukan sistem pegadaian syariah, Jakarta: Kencana,
2016.
Sukma Hapsari, Rizay, perlindungan hukum terhadap nasabah dalam hal terjadi
kerusakan atau kehilangan barang jaminan di PT. Pegadaian (Persero)
kota Madiun, jurnal repertorium vol III, fakultas hukum universitas sebelas
maret, 2016.
Maman Surahman, Panji Adam, Penerapan Prinsip Syariah Pada Akad Rahn Di
Lembaga Pegadaian Syariah, Jurnal Law And Justice, Vol 2 No 2, 2017.
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Universitas Indonesia
Press, 2010.
Sahroni, Oni, Hasanuddin, Fikih Muamalah Dinamika Teori Akad dan
Implementasinya Dalam Ekonomi Syariah, Depok: Raja Grafindo Persada,
2017
Supriyadi, Ahmad, “ Sistem Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah (Suatu
Tinjauan Yuridis Terhadap Praktek Pembiayaan Perbankan Syariah di
Indonesia”, Al Mawarid Edisi X , 2003.
Tim Penulis Fakultas Syariah Dan Hukum, Buku Pedoman Penulisan Skripsi,
Jakarta, UIN Syahid, 2007.
Undang-Undang Nomor: 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang
Nomor: 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Undang-undang Nomor: 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah.
Undang-Undang Nomor: 13 Tahun 1985 Tentang Bea Materai.
77
Vogel, Frank E dan Samuel. L. Hayes, Islamic Law and Finance: Religion Risk
and Return The Netherlands: Kluwer Internasional, 1998.
Wakidatul Ihtiar, Habib, Analisis Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor:
92/DSN-MUI/IV/2014 Tentang Pembiayaan Yang Disertai Dengan Rahn,
Jurnal An-Nisbah, Vol. 03, No. 01, Tahun 2016.
https://www.google.com/amp/amp.kontan.co.id/news/per-maret-2018-
pembiayaan-syariah-pegadaian-capai-rp-526-triliun.
78
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Top Related