JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print)
1
Abstrak— Antisipasi ancaman kebakaran hutan yang terjadi
sejauh ini dapat di prediksi dengan beragam pendekatan salah
satunya adalah dengan melihat hubungan kemunculan hotspot
dengan beberapa data pendukung lainnya seperti indeks
kekeringan atau indeks vegetasi. Dilihat dari analisa spasial
kemunculan hotspot dari satelit NOAA-18/AVHRR dengan
metode clustering, di Provinsi Riau intensitas kemunculan hotspot
rata-rata sangat rendah dalam satu grid. Hal ini berpengaruh
pada analisa hubungan dengan data lainnya sehingga dibutuhkan
data hotspot dari satelit lain yang resolusinya lebih tinggi.
Selanjutnya perhitungan hubungan antara hotspot dengan indeks
kekeringan secara spasial memiliki variasi keragaman yang baik
pada bulan Juli dan September 2014 tetapi rendah pada bulan
Agustus 2014 hal ini disebabkan persebaran dan pola kemunculan
hotspot paling besar hanya 4 kali dalam satu grid serta
pengaruhnya terhadap cuaca dan nilai kekeringan saat itu.
Sedangkan jika dilihat secara temporal pola hubungan hotspot
dan kekeringan memiliki hubungan yang erat. Berbeda dengan
indeks vegetasi tidak memiliki hubungan yang erat secara spasial
terhadap intensitas kemunculan hotspot karena indeks vegetasi
lebih tepatnya untuk analisa kawasan bekas kebakaran hutan
ataupun sebelum kebakaran hutan. Perbedaan hasil dari regresi
secara spasial dan secara temporal ini diperlukan perhitungan
statistika yang lebih akurat selain menggunakan regresi linier
sederhana. Hasil dari dua data perbandingan ini menghasilkan
peta zona rawan kebakaran hutan yang didapat dari analisa
hubungan indeks kekeringan dengan hotspot.
Kata Kunci— Clustering, Hotspot, Indeks Kekeringan, Indeks
Vegetasi,
I. PENDAHULUAN
EJAK bulan Februari hingga Maret 2014, sebuah sistem
online baru yang mencatat perubahan tutupan lahan dan
kebakaran hutan, Global Forest Watch mendeteksi sekitar
3.101 peringatan titik api muncul di Pulau Sumatera. Mayoritas
kebakaran terjadi di Provinsi Riau sebanyak 87 persen dari
peringatan titik api hal ini dikarenakan kawasan Provinsi Riau
banyak dikelola oleh konsesi kelapa sawit, HTI (Hutan
Tanaman Industri) dan HPH (Hak Pengusahaan Hutan). Hal ini
menunjukkan bencana kebakaran hutan di Provinsi Riau sering
tidak terkendali karena kurangnya pengawasan yang dilakukan
baik oleh pemerintah maupun masyarakat sekitar [1]
Provinsi Riau merupakan salah satu Provinsi yang memiliki
kawasan dengan titik hotspot paling tinggi sehingga daerah
sekitar lokasi hotspot merupakan daerah yang rawan terhadap
kebakaran dan di daerah tersebut sebaiknya tidak dilakukan
kegiatan pembakaran. [2] Oleh karena itu dibutuhkan sebuah
informasi kawasan-kawasan yang tidak boleh dilakukan
pembakaran secara disengaja karena akan berakibat fatal jika
dibiarkan. Untuk mempermudah pengambilan keputusan
antisipasi bencana dapat dilakukan dengan bantuan teknologi
salah satunya yaitu dengan data hotspot dari NOAA dan melihat
kerapaan vegetasi dengan menggunakan citra Landsat 8.
Hotspot juga bisa diartikan wilayah yang memiliki suhu
tertinggi dibandingkan daerah lain. Meski disebut titik panas,
tidak seluruh hotspot adalah actual fire (api sebenarnya) di
lapangan. Jumlah titik panas dapat juga digunakan sebagai
dasar untuk memastikan luas kebakaran di lapangan [3]
Pengolahan data hotspot yang diperoleh dari data citra satelit
NOAA-18/AVHRR yang bersumber dari ASMC (ASEAN
Specialized Meteorogical Centre) yaitu pusat meteorologi
khusus ASEAN yang memberikan data koordinat (lintang dan
bujur) hotspot di Indonesia sebagai peringatan titik api agar
lebih waspada akan bencana kebakaran hutan. Data yang
diberikan ASMC ini adalah data titik panas atau hotspot yang
belum membuktikan adanya kebakaran hutan, sedangkan di
Indonesia sendiri membutuhkan kevalidasian data hotspot
apakah benar-benar adanya titik api penyebab kebakaran hutan
dan lahan. Banyaknya hotspot yang ditangkap oleh satelit
memiliki keterkaitan dengan faktor-faktor lain, oleh karena itu
dilakukan analisa spasial dengan metode Clustering dan
tentunya data hotspot ini memerlukan komponen-komponen
lain yang mendukung seperti kekeringan lahan dan nilai indeks
vegetasi. Perhitungan kekeringan lahan menggunakan metode
KBDI (Keetch Byram Drought Index) dan perhitungan indeks
vegetasi menggunakan metode SAVI (Soil Adjusted Vegetation
Index). Dari keterkaitan antara munculnya hotspot dengan nilai
kekeringan dan indeks vegetasi yang terjadi dapat ditentukan
faktor yang berpengaruh sehingga didapat zona atau kawasan
yang rawan terjadinya kebakaran.
II. METODOLOGI PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian Tugas Akhir ini mengambil daerah studi di
Provinsi Riau. Secara geografis tertetak pada koordinat antara
1° 15’ Lintang Selatan sampai 4° 45’ Lintang Utara atau antara
100° 3’ - 109° 19’ Bujur Timur. Luas wilayah Provinsi Riau
adalah 107.932,71 kilometer persegi dengan luas daratan
89.150,15 kilometer persegi dan luas lautan 18.782,56
kilometer persegi. Keberadaannya membentang dari lereng
Analisa Penentuan Zona Rawan Kebakaran Hutan
Berdasarkan Indeks Kekeringan KBDI dan Indeks
Vegetasi SAVI (Studi Kasus : Provinsi Riau) T. Alfira Devy1, dan Bangun Mulyo Sukojo1, Awaluddin2
1Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Sepuluh
Nopember Kampus ITS Sukolilo, Surabaya, 60111, Indonesia 2Badan Pusat Penelitian Penerapan Teknologi (BPPT), Jakarta, Indonesia
e-mail: [email protected], [email protected]
S
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print)
2
Bukit Barisan sampai Laut Cina selatan.
B. Tahap Pengolahan Data
Tahap pengolahan data yang dilakukan dapat dijelaskan
dalam diagram alir berikut ini :
Gambar 1 Diagram Alir Pengolahan Data
Penjelasan dari diagram alir diatas adalah sebagai berikut :
a. Terdapat 3 pengolahan data yaitu :
1. Pengolahan data Hotspot NOAA-18 dari ASMC
Pengolahan data hotspot ini dapat dilihat pada
diagram alir berikut :
Gambar 2 Diagram Alir Pengolahan Data Hotspot
2. Pengolahan data Indeks Kekeringan KBDI
Pengolahan data indeks kekeringan KBDI
menggunakan formula sebagai berikut [4] :
KBDI hari ini = (∑ KBDI kemarin - (10*CH)+DF hari ini
Dimana :
CH : Curah Hujan bersih
DF : Faktor kekeringan yang telah dimodifikasi
dan dapat digunakan untuk perkiraan
bahaya kebakaran. Rumus DF adalah :
DF = ((2000−𝑌𝐾𝐵𝐷𝐼)∗(0.9679∗𝑒𝑥𝑝(0.0875∗𝑇𝑚𝑎𝑥+1.552)−8.229)∗0.001
(1+10.88∗𝑒𝑥𝑝(−0.00175∗𝑎𝑛𝑛.𝑟𝑎𝑖𝑛))
Dimana :
Tmax : Suhu maksimum
Ann Rain : Rata-rata curah hujan bulanan
YKBDI : Nilai KBDI kemarin
Untuk pengolahannya dapat dilihat pada
diagram alir berikut :
Gambar 3 Diagram Alir Pengolahan Indeks Kekeringan KBDI
Setelah didapat nilai hasil perhitungan indeks
kekeringan KBDI dapat dilihat rentang kelas
kekeringan sebagai berikut :
Tabel 1 Skala sifat indeks vegetasi KBDI
Nilai KBDI Skala Sifat
0 - 999 Rendah
1000 – 1499 Sedang
1500 – 1749 Tinggi
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print)
3
1750 - 2000 Sangat tinggi
3. Pengolahan data Indeks Vegetasi SAVI
SAVI (Soil Adjusted Vegetation Index) adalah
indeks vegetasi yang mendesain suatu formula
untuk meminimalisir efek dari tanah yang pada
citra menjadi latar belakang objek vegetasi [5]
Pengolahan data indeks vegetasi SAVI
menggunakan data Citra Landsat 8 dengan
algoritma :
SAVI = 𝐵𝑉𝑖𝑛𝑓𝑟𝑎𝑚𝑒𝑟𝑎ℎ𝑑𝑒𝑘𝑎𝑡−𝐵𝑉𝑚𝑒𝑟𝑎ℎ
𝐵𝑉𝑖𝑛𝑓𝑟𝑎𝑚𝑒𝑟𝑎ℎ𝑑𝑒𝑘𝑎𝑡+𝐵𝑉𝑚𝑒𝑟𝑎ℎ+𝐿 (1 + L)
Dimana :
L : Faktor koreksi untuk vegetasi yang
besarnya 0 untuk vegetasi rapat dan 1
untuk vegetasi sangat jarang
Untuk pengolahannya dapat dilihat pada diagram
alir berikut ini :
Gambar 4 Diagram Alir Pengolahan Data Indeks Vegetasi SAVI
b. Setelah dilakukan pengolahan data tersebut dilakukan
analisa data. Analisa data dapat dijelaskan melalui
diagram alir berikut ini :
Gambar 5 Diagram Alir Analisa Data
Penjelasan dari diagram alir diatas adalah sebagai berikut :
1. Hotspot Provinsi Riau dilakukan analisa spasial
dengan menggunakan metode clustering untuk
mengetahui kawasan berdasarkan grid yang
memiliki intensitas kemunculan hotspot paling
banyak selama bulan Juli – September 2014
2. Nilai Kekeringan berdasarkan perhitungan
KBDI di lakukan proses Clustering agar
memiliki nilai kekeringan berdasarkan zona
3. Citra klasifikasi SAVI yang memiliki nilai
Indeks Vegetasi juga dilakukan clustering
untuk membaginya dalam zona grid yang sama
seperti hotspot dan kekeringan
4. Overlay data dilakukan untuk melihat
hubungan antara ketiga komponen yang dapat
menyebabkan kebakaran hutan dengan
perhitungan statistika
5. Setelah didapat algoritma kesesuaian atau
saling berhubungannya antara munculnya
hotspot dengan indeks kekeringan dan indeks
vegetasi maka dapat disimpulkan penentuan
zona kebakaran dapat di cari menggunakan
indeks kekeringan atau indeks vegetasi
6. Untuk menampilkan informasi tentang zona
rawan kebakaran hutan berdasarkan hubungan
yang paling kuat antara ketiga komponen maka
dilakukan layout peta untuk menghasilkan Peta
Zona Rawan Kebakaran Hutan Provinsi Riau
c. Menampilkan informasi dalam bentuk Peta Zona
Rawan Kebakaran Hutan
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print)
4
III. HASIL
A. Pengolahan Data Hotspot
Berikut ini adalah hasil pengolahan data hotspot selama
bulan Juli sampai Agustus 2014.
1. Bulan Juli
Gambar 6 kemunculan hotspot bulan Juli 2014
Kemunculan hotspot di Bulan Juli sebanyak 594 titik
dan setelah dilakukan clustering intensitas kemunculan
hotspot paling banyak berada di Kabupaten Rokan Hilir
dengan intensitas kemunculan mulai dari 8 kali hingga 1
kali.
2. Bulan Agustus
Gambar 7 kemunculan hotspot bulan Agustus 2014
Kemunculan hotspot di Bulan Agustus sebanyak 148
titik dan setelah dilakukan clustering intensitas
kemunculan hotspot paling besar hanya 4 kali di
kabupaten Rokan Hilir selebihnya intensitas kemunculan
hotspot rendah sebanyak 2 hingga 1 kali.
3. Bulan September
Gambar 8 kemunculan hotspot bulan September 2014
Kemunculan hotspot di Bulan September sebanyak 164 titik
dan setelah dilakukan clustering intensitas kemunculan hotspot
paling besar hanya 6 kali di kabupaten Pelalawan selebihnya
intensitas kemunculan hotspot rendah sebanyak 2 hingga 1 kali.
B. Pengolahan Data Indeks Kekeringan
Hasil pengolahan Indeks Kekeringan KBDI didapat rentang
indeks kekeringan pada bulan Juli hanya berkisar 136 hingga
1390 dalam skala sifat pada bulan Juli nilai kekeringan hanya
dalam skala sedang. Pada bulan Agustus skala sifat kekeringan
memiliki rentang nilai dari 72 hingga 888 yang berarti rendah.
Selanjutnya pada bulan September rentang nilai kekeringan
berada pada nilai 411 hingga 968 yang berarti rendah dalam
skala sifat.
C. Pengolahan Data Indeks Vegetasi
Hasil pengolahan data indeks vegetasi berupa data nilai
reflektan per piksel dimana data ini yang diambil hanya rata-
rata nilai reflektan yang memiliki nilai kemunculan hotspot
dalam 1 grid atau clustering. Hasil pengolahan indeks vegetasi
ditemukan bahwa grid yang memiliki nilai kemunculan hotspot
memiliki rentang indeks vegetasi atau kerapatan sebesar -1
sampai dengan 0,32 yaitu tingkat kerapatan vegetasi yang
rendah dalam skala sifat.
D. Analisa Hubungan Hotspot dengan Indeks Kekeringan
Berdasarkan perhitungan regresi linier hubungan antara
hotspot dan indeks kekeringan bulan Juli keeratan data sebesar
r = 0.8340 dengan koefisien korelasi R2 = 0.6956 yang berarti
hanya 69% dari sampel data yang menunjukkan variasi
keragaman total hotspot yang dapat diterangkan oleh variasi
indeks kekeringan.
Pada bulan Agustus keeratan data sebesar r = 0.1860 dengan
koefisien korelasi R2 = 0.0346 yang berarti hanya 3,4% dari
sampel data yang menunjukkan variasi keragaman total hotspot
yang dapat diterangkan oleh variasi indeks kekeringan.
Pada bulan September keeratan data sebesar r = 0.9060
dengan koefisien korelasi R2 = 0.8209 yang berarti 82% dari
sampel data yang menunjukkan variasi keragaman total hotspot
yang dapat diterangkan oleh variasi indeks kekeringan.
Dari pengolahan statistika data bulan Juli, Agustus dan
September diatas dapat dijelaskan bahwa pengaruh antara
indeks kekeringan terhadap intensitas kemunculan hotspot baik
pada bulan Juli dan September tetapi buruk pada bulan Agustus
hal ini dikarenakan adanya hubungan cuaca pada bulan tersebut
sehingga nilai kekeringan yang didapat dipengaruhi oleh
kemunculan hotspot walaupun nilai intensitas kemunculannya
tidak selalu sama di setiap grid. Sedangkan pada bulan Agustus
dikarenakan curah hujan yang cukup tinggi dan kelembaban
tanah yang tinggi sehingga kemungkinan kemunculan hotspot
sulit terjadi walaupun masih ada kemunculan di setiap grid
tetapi perlu diperhatikan lagi apakah titik tersebut benar-benar
hotspot ataukah pada titik tersebut kawasan industri atau
pembakaran yang dilakukan manusia saat satelit merekam.
Kemunculan hotspot selalu ditandai dengan kekeringan yang
tinggi. Karena yang dianalisa adalah berbentuk spasial yaitu
kawasan hubungan hotspot dan kekeringan tidak begitu kuat
karena tidak semua kekeringan dipengaruhi oleh hotspot. Akan
tetapi jika dikumpulkan data rata-rata perbulan maka didapat
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print)
5
hubungan yang erat yaitu semakin tinggi nilai kekeringan maka
semakin tinggi juga intensitas hotspot yang muncul begitu juga
sebaliknya. Seperti dijelaskan tabel dan grafik dibawah ini :
Tabel 2 Jumlah Hotspot dan Rata-rata Nilai Kekeringan Selama bulan Juli -
September 2014
Dilihat secara grafik sebagai berikut :
Gambar 4. 1 Grafik Kemunculan Hotspot dan Indeks Kekeringan Bulan Juli -
September
E. Analisa Hubungan Hotspot dengan Indeks Vegetasi
Berdasarkan perhitungan regresi linier hubungan antara
hotspot dan indeks vegetasi bulan Juli keeratan data sebesar r =
0.0374 dengan koefisien korelasi R2 = 0.0014 yang berarti
hanya 0,1% dari sampel data yang menunjukkan variasi
keragaman total hotspot yang dapat diterangkan oleh variasi
indeks kekeringan.
Pada bulan Agustus keeratan data sebesar r = 0.001 dengan
koefisien korelasi R2 = 0.0001 yang berarti hanya 0,001% dari
sampel data yang menunjukkan variasi keragaman total hotspot
yang dapat diterangkan oleh variasi indeks kekeringan.
Pada bulan September keeratan data sebesar r = 0.2643
dengan koefisien korelasi R2 = 0.0699 yang berarti hanya 7%
dari sampel data yang menunjukkan variasi keragaman total
hotspot yang dapat diterangkan oleh variasi indeks kekeringan.
Berdasarkan hasil dari semua pengolahan regresi antara
indeks vegetasi dan hotspot pada Bulan Juli hingga September
2014 dapat dilihat bahwa keragaman antara indeks vegetasi dan
hotspot sangat kecil dikarenakan tidak semua vegetasi jarang
menyebabkan munculnya hotspot. Hal ini disebabkan oleh
sebaran vegetasi dan kerapatan yang berbeda-beda. Pada lokasi
bekas kebakaran sebaran vegetasi didominasi oleh tanaman
bawah yang masih muda dan berdaun lunak sehingga kadar
airnya tinggi. Dan karena sebaran indeks vegetasi tidak merata
dan bernilai jarang maka hasil korelasinya negatif dan tidak
menunjukkan hubungan yang erat. Sedangkan pada lokasi yang
tidak menunjukkan kemunculan hotspot menunjukkan tingkat
vegetasi sedang hingga tinggi karena disebabkan jenis vegetasi
yang mendominasi pada area tersebut berupa tumbuhan keras
dan berdaun hijau serta persebaran yang merata dan rapat.
F. Analisa Penentuan Zona Rawan Kebakaran Hutan
Berdasarkan hasil pengolahan dan analisa data antara
hubungan hotspot dan indeks kekeringan dan hotspot dan
indeks vegetasi. didapat hasil penentuan zona rawan kebakaran
hutan lebih akurat menggunakan data berdasarkan nilai
kekeringan. Sebenarnya keragaman data dari perbandingan dua
analisa diatas memiliki sifat yang sama yaitu berapapun jumlah
hotspotnya akan masuk kepada nilai kekeringan yang berada
dalam skala sama begitu juga vegetasi sehingga menyebabkan
nilai keragaman sangat kecil. Tetapi jika dilihat dari grafik
besar kemunculan hotspot dan rata-rata indeks kekeringan
secara temporal memiliki pola grafik yang sama yaitu ketika
kekeringan tinggi maka hotspot juga tinggi dan ketika
kekeringan rendah maka jumlah hotspot juga rendah. Maka
Hasil Peta Zona Rawan Kebakaran Hutan Provinsi Riau adalah
sebagai berikut :
a. Peta Zona Rawan Kebakaran Provinsi Riau Bulan Juli
2014
b. Peta Zona Rawan Kebakaran Provinsi Riau Bulan
Agustus 2014
c. Peta Zona Rawan Kebakaran Provinsi Riau Bulan
September 2014
0
200
400
600
800
Juli Agustus september
0
500
1000
JUM
LAH
HO
TSP
OT
BULAN IND
EKS
KEK
ERIN
GA
N
GRAFIK KEMUNCULAN HOTSPOT DAN INDEKS KEKERINGAN BULAN
JULI - SEPTEMBER 2014
rata-rata nilai kekeringan jumlah hotspot
Bulan jumlah
hotspot
rata-rata nilai
kekeringan
Juli 594 839
Agustus 148 478
september 164 645
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print)
6
Berdasarkan hasil pemetaan zona rawan kebakaran hutan
dapat dijelaskan secara spesifik skala rawan sebagai berikut :
1. Aman : Nilai KBDI lebih kecil dari 999 dan tidak
ditemukan kemunculan hotspot
2. Rendah : Nilai KBDI antara 0-999 dan adanya
kemunculan hotspot lebih dari 1 kali
3. Sedang : Nilai KBDI lebih besar samadengan 1000 dan
adanya kemunculan hotspot 1-3 kali
4. Tinggi : Nilai KBDI lebih besar samadengan 1000 dan
adanya kemunculan hotspot lebih dari 3 kali.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
a. Berdasarkan analisa spasial kemunculan hotspot
dengan metode clustering dari 3863 grid Provinsi Riau
pada bulan Juli-September 2014 nilai intensitas
kemunculan hotspot sangat kecil sehingga akan sulit
dilakukan analisa hubungan dengan data lain
dikarenakan resolusi satelit NOAA-18/AVHRR kecil
oleh karena itu diperlukan data hotspot dari satelit
yang memiliki resolusi lebih tinggi.
b. Nilai R2 antara hotspot dan indeks kekeringan yang
tidak mendekati 1 disebabkan tidak semua secara
spasial nilai kekeringan yang tinggi memiliki nilai
hotspot yang tinggi juga dalam arti lain tidak semua
nilai kekeringan berpengaruh terhadap hotspot. Akan
tetapi secara spasial kemunculan hotspot pasti
memiliki nilai kekeringan yang tinggi. Selanjutnya
nilai R2 sangat kecil antara hotspot dan indeks
vegetasi secara spasial atau clustering dikarenakan
sebaran vegetasi dan kerapatan yang berbeda-beda
tidak mendukung terjadinya kebakaran hutan karena
indeks vegetasi melihat kadar air tanaman.
Dikarenakan perbedaan hasil regresi antara data secara
spasial dan data secara temporal maka dibutuhkan
suatu metode perhitungan yang lebih akurat.
c. Berdasarkan perbandingan analisa antara hotspot dan
indeks kekeringan lalu hotspot dan indeks vegetasi
maka indeks yang paling mendekati zona yang rawan
kebakaran hutan adalah menggunakan indeks
kekeringan karena pola kemunculan hotspot hampir
mengikuti pola kekeringan
DAFTAR PUSTAKA
[1] S. Niger, J. Anderson, F. Stolle, S. Minnemeyer, M.
Higgins, A. Leach, A. Alisjahbana and A. Utami,
"Kebakaran Hutan di Indonesia mencapai Tingkat
Tertinggi Sejak Kondisi Darurat Kabut Asap Juni 2013,"
14 March 2014. [Online]. Available:
http://www.wri.org/blog/2014/03/kebakaran-hutan-di-
indonesia-mencapai-tingkat-tertinggi-sejak-kondisi-
darurat-kabut.
[2] Ratnasari, "Pemantauan Kebakaran Hutan dengan
Menggunakan Data Citra NOAA-AVHRR dan Citra
Landsat TM : Studi Kasus di Daerah Kalimantan Timur,"
Institut Pertanian Bogor, Bogor, 2000.
[3] Dewan Riset Nasional, "Liputan6," 23 Agustus 2002.
[Online]. Available:
http://news.liputan6.com/read/40144/tidak-seluruh-titik-
panas-adalah-api-sebenarnya.
[4] A. Wardhana, "Penyusunan Peringkat Bahaya Kebakaran
Hutan Berdasarkan Indeks Kekeringan Keetch-Byram
(Keetch-Byram Drought Index/KBDI) dan Kode
Kekeringan (Drought Code/DC) di Provinsi Riau," Institut
Pertanian Bogor, Bogor, 2003.
[5] P. Danoedoro, Pengantar Penginderaan Jauh Digital,
Yogyakarta: C.V. Andi Offset, 2012.
Top Related