PENEGAKAN HUKUM DALAM PEMBERANTASAN
TINDAK PIDANA KORUPSI DIKAJI MELALUI
SOSIOLOGI HUKUM
Makalah
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Sosiologi Hukum
dari Moch. Miftah, Drs., M.H.
Disusun oleh
MUHAMMAD NUR JAMALUDDIN
NPM. 151000126
KELAS D
UNIVERSITAS PASUNDAN BANDUNG
FAKULTAS HUKUM
Jalan Lengkong Besar No. 68, No. Telepon (022) 4262194,
Bandung, Jawa Barat 40261
TAHUN 2016
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat
rahmat dan hidayah yang dikaruniakanNya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan
makalah ini yang berjudul “Penegakan Hukum Dalam Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi Dikaji Melalui Sosiologi Hukum”. Sesuai dengan namanya, sebuah
makalah memang tidak dimaksudkan sebagai buku materi atau buku panduan,
melainkan didalamnya terdapat pembahasan dan rincian-rincian mengenai hasil
dari beberapa sumber yang telah penulis dapatkan.
Penyusunan makalah ini penulis mendapatkan berbagai kesulitan, baik
dalam penyusunan, pengumpulan data dan dalam hal yang lainnya. Akan tetapi,
berkat pertolonganNyalah akhirnya makalah ini dapat penulis selesaikan sesuai
yang diharapkan. Adapun penyusunan makalah ini berdasarkan pada rincian-
rincian data yang telah penulis dapatkan dari berbagai sumber.
Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada:
1. Moch. Miftah, Drs., M.H. sebagai dosen mata kuliah Sosiologi Hukum yang
telah memberikan tugas ini kepada penulis.
2. Orangtua penulis yang telah memberikan dukungan, dorongan, bantuan,
serta memberikan doa restunya sehingga terselesaikannya makalah ini.
3. Saudara-saudara dan rekan-rekan penulis, yang senantiasa memberikan
support semangatnya kepada penulis untuk menyelesaikan makalah ini.
Penulis memahami dan menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna.
Namun, penulis telah berusaha menyusun makalah dengan usaha terbaik yang
penulis miliki. Akhirnya penulis menyampaikan terima kasih kepada segenap yang
telah mendukung terselesaikannya makalah ini. Mudah-mudahan makalah ini
sesuai dengan yang diharapkan. Amiin Ya Allah Ya Rabbal Alamiin Ya Mujibas
Sailin.
Bandung, 07 Mei 2016
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .......................................................................... i
DAFTAR ISI ......................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................. 1
B. Identifikasi Masalah ................................................................... 4
BAB II PEMBAHASAN ...................................................................... 5
A. Teori Efektivitas Hukum ............................................................ 5
B. Peranan Sosiologi Hukum Dalam Memberantas
Tindak Pidana Korupsi .................................................................. 11
C. Penegakan Hukum di Indonesia Dalam Memberantas
Tindak Pidana Korupsi Dikaji Melalui Sosiologi Hukum ................. 16
BAB III PENUTUP .............................................................................. 25
A. Kesimpulan ............................................................................... 25
B. Saran ........................................................................................... 26
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 27
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan
masyarakat, sehingga ada sebuah adagium yang dikenal dalam ilmu hukum,
yaitu ubi societas ibi ius, dimana ada masyarakat maka ada hukum. Kehadiran
hukum dalam masyarakat sangat penting, dimana fungsi hukum sebagai sosial
kontrol merupakan aspek yuridis normatif dari kehidupan masyarakat. Sebagai
alat pengendali sosial, hukum dianggap berfungsi untuk menetapkan tingkah
laku yang baik dan tidak baik atau perilaku yang menyimpang dari hukum, dan
sanksi hukum terhadap orang yang mempunyai perilaku tidak baik. Namun,
sesuatu yang dianggap baik oleh seseorang belum tentu baik menurut yang
lainnya. Oleh karena itu manusia sebagai makhluk yang senantiasa hidup
bersama atau berkelompok, memerlukan perangkat patokan agar tidak terjadi
pertentangan kepentingan sebagai akibat dari pendapat yang berbeda-beda
mengenai kebaikan tersebut. Manusia selalu ingin hidup tentram dan damai,
manusia memerlukan perlindungan terhadap kepentingan-kepentingannya.
Maka kemudian terciptalah perlindungan kepentingan berwujud kaidah sosial,
termasuk didalamnya kaidah hukum.
Tatanan kaidah sosial dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kaidah
sosial dengan aspek kehidupan pribadi dan kaidah sosial dengan aspek
kehidupan antar pribadi. Kaidah sosial dengan aspek kehidupan pribadi
meliputi kaidah agama dan kaidah kesusilaan, karena kaidah ini ditunjukan
kepada manusia sebagai individu, sedangkan kaidah sosial dengan aspek
kehidupan antar pribadi adalah kaidah sopan santun atau tata karma yang
meliputi antara lain sopan santun dalam pergaulan, berbusana, kaidah hukum,
dan sebagainya, karena kaidah-kaidah ini ditujukan bagi manusia dalam
kehidupan bermasyarakat dalam kaitannya manusia sebagai makhluk sosial.1
1 Soedikno Mertokusumo, Teori Hukum, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, 2012, hlm. 15
2
Norma atau kaidah kesopanan bertujuan agar manusia mengalami
kesenangan atau kedamaian dalam berinteraksi bersama dengan orang-orang
lain. Norma atau kaidah hukum bertujuan agar tercapainya kedamaian dan
keadilan dalam masyarakat. Dimana dalam aliran sociological
jurisprudencemenganggap bahwa hukum yang baik adalah hukum yang sesuai
dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat. Sehingga dalam penegakan
hukum hendaknya selain memperhatikan aspek hukumnya juga melihat aspek
sosial, sehingga terciptalah hukum yang bermanfaat bagi orang banyak.
Penegakan hukum yang sebenarnya merupakan barometer
berlangsungnya kehidupan ketatanegaraan bangsa Indonesia, baik itu yang
memiliki implikasi terhadap tatanan budaya, sosial, dan ekonomi yang
terganggu, karena perspektif penegakan hukum yang labilitas. Adanya
kehendak bahwa hukum sebagai suatu supremasi dari negara yang berasaskan
hukum tampaknya masih menimbulkan keragu-raguan manakala ada suatu
relevansi yang ketat antara hukum dengan politik kekuasaan, khususnya
terhadap kasus yang memiliki padanan dengan korupsi, kolusi dan nepotisme
(KKN).
Dewasa ini pemberitaan di Indonesia selalu dipenuhi dengan kasus
korupsi para pejabat negara, seolah korupsi telah mendarah daging sehingga
sulit untuk diberantasi. Korupsi merupakan perbuatan penyalahgunaan
kekuasaan oleh orang-orang yang berkuasa atau para pejabat negara yang
memiliki kewenangan dimana ia menyalahgunakan kewenangan tersebut.
Akibat dari perbuatan korupsi ini adalah berdampak bagi seluruh rakyat
Indonesia. Inilah mengapa korupsi dianggap sebagai kejahatan luar biasa
(extraordinary crime) karena yang melakukan kejahatan korupsi adalah
segolongan orang-orang tertentu tetapi dampaknya besar dan merugikan orang
banyak.
3
Kesenjangan sosial dan kekuasaan yang cukup lebar dalam struktur
masyarakat Indonesia, dipahami oleh para ahli turut menyuburkan hubungan
patron-klien (pengayoman) yang pada gilirannya memberikan kontribusi besar
bagi langgengnya budaya korupsi di masyarakat.2 Misalnya dalam membuat
SIM (Surat Izin Mengemudi), kita seolah dibiasakan untuk membayar “lebih”
guna mendapatkan SIM secara cepat dan instan. Contoh lain pejabat politik
harus membayar mahal untuk ikut serta dalam Pemilihan Umum, dan untuk
mencapai jabatan yang diinginkan dibutuhkan pendukung yang banyak, untuk
mendapatkan pendukung yang banyak dicarilah organisasi masyarakat atau
kelompok tertentu yang bisa membawa masa, tentu saja hal tersebut
membutuhkan dana, dimana bukan rahasia lagi setiap kampanye para calon
legislatif memberikan uang kepada masyarakat untuk memilihnya. Setelah
terpilih tidak menutup kemungkinan pejabat tersebut berpikir untuk
mengembalikan uangnya melalui uang negara.
Peraturan mengenai pemberantasan korupsi sudah ada, bahkan disertai
dengan hukuman maksimal, yaitu hukuman mati. Walaupun demikian, kondisi
korupsi di Indonesia tidak berkurang, hukuman mati rupanya tidak membuat
para koruptor takut untuk melakukan korupsi. Karena dalam penegakannya pun
belum ada koruptor di Indonesia yang dijatuhi hukuman mati. Seringkali
korupsi dilakukan tidak secara personal, tetapi dilakukan secara kolektif,
struktural, dan sistemis. Sehingga secara tidak langsung korupsi lambat laun
menjadi sebuah budaya.
Sehubungan dengan uraian diatas, maka penulis pada kesempatan ini
mencoba untuk membahas dan menuangkan masalah tersebut dalam suatu
makalah dengan judul:
“PENEGAKAN HUKUM DALAM PEMBERANTASAN TINDAK
PIDANA KORUPSI DIKAJI MELALUI SOSIOLOGI HUKUM”.
2 Zainudin Ali, Filsafat Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 163
4
B. Identifikasi Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan teori efektitivitas hukum?
2. Bagaimana peranan sosiologi hukum dalam memberantas tindak pidana
korupsi?
3. Bagaimana penegakan hukum di Indonesia dalam memberantas tindak
pidana korupsi dikaji melalui sosiologi hukum?
5
BAB II
PEMBAHASAN
A. Teori Efektivitas Hukum
Seringkali kita mengetahui bahwa di dalam masyarakat, hukum yang
telah dibuat ternyata tidak efektif didalamnya, dan efektifitas hukum ini
mempunyai hubungan yang sangat erat dengan persoalan penerapan,
pelaksanaan dan penegakan hukum dalam masyarakat demi tercapainya tujuan
hukum. Artinya hukum benar-benar berlaku secara filosofis, yuridis dan
sosiologis. Satjipto Rahardjo membedakan istilah penegakan hukum (law
enforcement) dengan penggunaan hukum (the use of law). Penegakan hukum
dan penggunaan hukum adalah dua hal yang berbeda. Orang dapat menegakkan
hukum untuk memberikan keadilan, tetapi orang juga dapat menegakkan
hukum untuk digunakan bagi pencapaian tujuan atau kepentingan lain.
Menegakkan hukum tidak persis sama dengan menggunakan hukum.3
Penegakan hukum merupakan sub-sistem sosial, sehingga penegakannya
dipengaruhi lingkungan yang sangat kompleks seperti perkembangan politik,
ekonomi, sosial, budaya, hankam, iptek, pendidikan dan sebagainya. Penegakan
hukum harus berlandaskan kepada prinsip-prinsip negara hukum sebagaimana
tersirat dalam UUD 1945 dan asas-asas hukum yang berlaku di lingkungan
bangsa-bangsa yang beradab (seperti the basic principles of independence of
judiciary), agar penegak hukum dapat menghindarkan diri dari praktik-praktik
negatif akibat pengaruh lingkungan yang sangat kompleks tersebut.4
Berdasarkan teori efektivitas hukum yang dikemukakan Soerjono
Soekanto, efektif atau tidaknya suatu hukum ditentukan oleh 5 (lima) faktor.
Pertama; faktor hukumnya sendiri (undang-undang). Kedua; faktor penegak
hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.
3 Satjipto Rahardjo, Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Cetakan Kedua, Buku Kompas,
Jakarta, 2006, hlm. 169 4 Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Cetakan
Kedua, Universitas Diponegoro, Semarang, 2002, hlm. 70
6
Ketiga; faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan
hukum.Keempat; faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut
berlaku atau diterapkan. Kelima; faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya,
cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.5
Sehingga agar hukum tersebut berjalan efektif yang harus dilihat adalah hukum
itu sendiri, dimana tujuan hukum itu adalah memberikan keadilan,
kemanfaatan, dan kepastian hukum.
Hukum yang dalam hal ini adalah peraturan perundang-undangan,
dimana peraturan perundang-undangan itu dibuat harus sesuai dengan
kebutuhan masyarakat agar peraturan tersebut tidak hanya mengatur
masyarakat tetapi memberikan kemanfaatan dan kesenangan bagi
masyarakat. Jika undang-undang sudah dibuat sesuai dengan kebutuhan
masyarakat maka dari segi penegak hukum, harus menjalankan atau
menerapkan hukum secara adil, karena jika berbicara tentang kepastian hukum,
kepastian hukum ini sifatnya konkret berwujud nyata, sedangkan keadilan
bersifat abstrak sehingga ketika seseorang hakim memutuskan suatu perkara
secara penerapan undang-undang saja maka ada kalanya nilai keadilan itu tidak
tercapai. Maka ketika melihat suatu permasalahan mengenai hukum setidaknya
keadilan menjadi prioritas utama. Karena hukum tidaklah semata-mata dilihat
dari sudut hukum tertulis saja, tetapi masih banyak aturan-aturan yang hidup
dalam masyarakat yang juga mengatur kehidupan masyarakat.
Para penegak hukum memainkan peran penting dalam memfungsikan
hukum. Jika peraturan sudah baik, tetapi kualitas penegak hukum rendah maka
akan timbul masalah. Sarana atau fasilitas juga penting untuk mengefektifkan
suatu hukum. Misalnya kendaraan dan alat komunikasi yang proporsional untuk
polisi, rumah tahanan untuk kejaksaan. Sehingga jika hendak menerapkan suatu
peraturan secara resmi, perlu dipertimbangkan mengenai fasilitas yang
berpatokan kepada apa yang sudah ada dipelihara terus agar setiap saat
berfungsi, apa yang belum ada, perlu diadakan dengan memperhitungkan
5 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2008, hlm. 8
7
jangka waktu pengadaannya, apa yang kurang perlu dilengkapi, apa yang telah
rusak diperbaiki atau diganti.
Masyarakat termasuk kepada faktor yang mengefektifkan hukum karena
peraturan dibuat untuk masyarakat sehingga diperlukan kesadaran masyarakat
untuk mematuhi suatu peraturan perundang-undangan. Sehingga derajat
kepatuhan masyarakat terhadap hukum merupakan salah satu indicator
berfungsinya hukum yang bersangkutan. Namun untuk meningkatkan
kesadaran masyarakat diperlukan penyuluhan hukum yang teratur, pemberian
teladan yang baik dari petugas didalam kepatuhan terhadap hukum dan respek
terhadap hukum, pelembagaan yang terencana dan terarah.6 Relevan dengan
teori efektivitas hukum yang dikemukakan Soerjono Soekanto tersebut, Romli
Atmasasmita mengatakan faktor-faktor yang menghambat efektivitas
penegakan hukum tidak hanya terletak pada sikap mental aparatur penegak
hukum (hakim, jaksa, polisi dan penasihat hukum) akan tetapi juga terletak pada
faktor sosialisasi hukum yang sering diabaikan.7
Faktor kebudayaan juga menentukan efektif atau tidaknya suatu hukum,
menurut Soerjono Soekanto, faktor kebudayaan mempunyai fungsi yang sangat
besar bagi manusia dan masyarakat, yaitu mengatur agar manusia dapat
mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat, dan menentukan sikapnya
kalau mereka berhubungan dengan orang lain. Dengan demikian, kebudayaan
adalah suatu garis pokok tentang perikelakuan yang menetapkan peraturan
mengenai apa yang harus dilakukan, dan apa yang dilarang. Kelima faktor di
atas saling berkaitan dengan eratnya, karena menjadi hal pokok dalam
penegakan hukum, serta sebagai tolok ukur dari efektifitas penegakan hukum.
Kelima faktor yang dikemukakan Soerjono Soekanto tersebut, tidak ada faktor
mana yang sangat dominan berpengaruh, semua faktor tersebut harus saling
mendukung untuk membentuk efektifitas hukum.
6 Zainudin Ali, op.cit, hlm. 96 7 Romli Atmasasmita, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia & Penegakan Hukum, Mandar
Maju, Bandung, 2001, hlm. 55
8
Konsepsi operasional tentang bekerjanya hukum dalam masyarakat
dengan didasarkan pada dua konsep yang berbeda yaitu konsep tentang
ramalan-ramalan mengenai akibat-akibat (prediction of consequences) yang
dikemukakan oleh Lundberg dan Lansing tahun 1973 dan konsep Hans Kelsen
tentang aspek rangkap dari suatu peraturan hukum.8
Berdasarkan konsep Lundberg dan Lansing, serta konsep Hans Kelsen
tersebut Robert B. Seidman dan William J. Chambliss menyusun suatu teori
bekerjanya hukum di dalam masyarakat. Menurut teori bekerjanya hukum dari
Robert B. Siedmant:
1. Setiap peraturan memberitahukan bagaimana seorang pemegang peran (role
occupant) diharapkan bertindak, menerapkan sanksi-sanksinya, aktivitas
dari lembaga-lembaga pelaksana serta keseluruhan kompleks sosial, politik
dan lain-lainnya mengenai dirinya.
2. Bagaimana lembaga-lembaga pelaksana bertindak sebagai respons terhadap
peraturan yang ditujukan kepadanya, sanksi-sanksinya, keseluruhan
kompleks kekuatan sosial, politik dan lain-lainnya mengenai lembaga serta
umpan balik dari pemegang peranan.
3. Bagaimanapun pembuat undang-undang bertindak mengatur tingkah laku
mereka, sanksi-sanksinya, keseluruhan kompleks kekuatan sosial, politik,
ideologis dan lain-lain tentang mereka serta umpan balik dari pemegang
peran serta birokrasi.
Keberhasilan pelaksanaan suatu peraturan perundang-undangan sangat
tergantung banyak faktor. Secara garis besar bekerjanya hukum dalam
masyarakat akan ditentukan oleh beberapa faktor utama. Faktor-faktor tersebut
dapat:
1. Bersifat yuridis normatif (menyangkut pembuatan peraturan perundang-
undangannya).
2. Penegakannya (para pihak dan peranan pemerintah).
3. Serta faktor yang bersifat yuridis sosiologis.
8 Ronny Hanitijo Soemitro, Perspektif Sosial dalam Pemahaman Masalah-Masalah Hukum,
CV Agung, Semarang, 1989, hlm. 23
9
Faktor materi (substansi) suatu hukum atau peraturan perundang-
undangan memegang peranan penting dalam penegakan hukum (law
enforcement). Artinya di dalam hukum atau peraturan perundang-undangan itu
sendiri harus terkandung dan bahkan merupakan conditio sine quanon di
dalamnya keadilan (justice). Sebab, bagaimana pun juga hukum yang baik
adalah hukum yang di dalamnya terkandung nilai-nilai keadilan. Faktor yang
tidak kalah pentingnya adalah faktor aparatur penegak hukum itu sendiri yang
lazim juga disebut law enforcer (enforcement agencies). Relevan dengan hal
tersebut B. M. Taverne mengatakan, “geef me goede rechter, goede rechter
commissarissen, goede officieren van justitieen, goede politie ambtenaren, en
ik zal met een slecht wetboek van strafprosesrecht het goede beruken”
bahwasanya “berikan aku hakim, jaksa, polisi dan advokat yang baik, maka aku
akan berantas kejahatan meskipun tanpa secarik undang-undang pun”.Dengan
kata lain, “berikan padaku hakim dan jaksa yang baik, maka dengan hukum
yang buruk saya bisa mendatangkan keadilan.9 Artinya, bagaimana pun
lengkapnya suatu rumusan undang-undang, tanpa didukung oleh aparatur
penegak hukum yang baik, memilikki moralitas dan integritas yang tinggi,
maka hasilnya akan buruk.
Hal yang sangat penting yang harus juga mendapat perhatian serius dari
aparatur penegak hukum adalah tidak bersikap diskriminatif dalam penegakan
hukum (law enforcement). Hukum seringkali hanya efektif terhadap pelaku-
pelaku pelanggaran hukum masyarakat kelas menengah. Inilah yang pernah
dikuatirkan Honore de Balzac sebagaimana dikutip Pillipe Sands bahwa hukum
di dunia sudah berubah menjadi seperti sarang laba-laba, “Les lois sont des
toiles d’araignees a tavers lesquelles passent les grosses mouches et ou restent
les petites” (hukum, seperti sarang laba-laba, menangkap serangga-serangga
kecil dan membiarkan yang besar-besar lolos).10 Sering dijumpai dalam hukum
di Indonesia ini seolah penegakan hukum hanya berlaku bagi “yang tidak
9 Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Buku Kompas, Jakarta, 2006, hlm. 6 10 Satjipto Rahardjo, Lapisan-Lapisan Dalam Studi Hukum, Bayumedia, Malang, 2008, hlm.
111
10
mampu”, sehingga terkesan bahwa hukum tajam bagi kalangan menengah dan
bawah kemudian tumpul untuk kalangan atas, hal ini terbukti dengan berbagai
kasus rakyat miskin yang terjerat kasus hukum karena mengambil sandal jepit
dan mencuri pisang, seolah hal ini merupakan kasus besar yang segera ditindak
dan divonis, tetapi bila kalangan atas seolah-olah tumpul dapat kita lihat pada
kasus Century yang hingga saat ini belum mengalami perkembangan yang
signifikan, sehingga belum bisa memberikan rasa keadilan bagi publik. Dalam
hal ini terasa percuma untuk merancang undang-undang dan menjadikannya
sebagai suatu produk hukum, jika hukum yang sudah dibuat itu tidak
bermanfaat karena keinginan dan alat untuk melaksanakannya lemah.
Berkaitan dengan kepatuhan masyarakat terhadap suatu produk hukum,
sangat tepat apa yang dikemukakan Ivor Jennings bahwa “The most law-abiding
citizen in the world, particulary when the law seem to him to be sensible; but
no man is more ready to take offence when it broken. He doesn’t obey orders
because they are given by one person in authority; he obeys orders when they
are lawful orders, issued by a person who has legal authority to issue them.
Memang penting otoritas hukum itu, tetapi perlu juga didukung oleh kepatuhan
terhadap hukum baik oleh pembuat hukum itu sendiri maupun masyarakat.
Dalam pelaksanaan penegakan hukum hal yang terpenting adalah semangat
penyelenggara negara atau semangat aparatur penegak hukumnya (the man
behind the law), sebagaimana yang diamanatkan dalam Penjelasan Umum UUD
1945:
“Yang sangat penting dalam pemerintahan dan dalam hidup negara,
ialah semangat, semangat para penyelenggara negara, semangat para pemimpin
pemerintahan. Meskipun dibikin Undang-Undang Dasar yang menurut kata-
katanya bersifat kekeluargaan apabila semangat para penyelenggara negara,
Undang-Undang Dasar tadi tentu tidak ada artinya dalam praktik. Sebaliknya,
meskipun Undang-Undang Dasar itu tidak sempurna, akan tetapi jikalau
semangat para penyelenggara pemerintahan baik, Undang-Undang Dasar itu
tentu tidak akan merintangi jalannya negara. Jadi, yang paling penting ialah
semangat”.
11
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa penegakan hukum merupakan
usaha menegakkan norma-norma dan kaidah-kaidah hukum sekaligus nilai-
nilai yang ada di belakangnya. Dengan demikian aparat penegak hukum
hendaknya memahami benar-benar jiwa hukum (legal spirit) yang mendasari
peraturan hukum yang harus ditegakkan, terkait dengan berbagai dinamika yang
terjadi dalam proses pembuatan perundang-undangan (law making process).
Penegakan hukum (law enforcement), keadilan dan hak asasi manusia
merupakan tiga kata kunci dalam suatu negara hukum (rechtsstaat) seperti
halnya Indonesia. Ketiga istilah tersebut mempunyai hubungan dan keterkaitan
yang sangat erat. Keadilan adalah hakikat dari hukum. Oleh karena itu, jika
suatu negara menyebut dirinya sebagai negara hukum, maka di dalam negara
tersebut harus menjunjung tinggi keadilan (justice).
B. Peranan Sosiologi Hukum Dalam Memberantas Tindak Pidana Korupsi
Sosiologi hukum menurut Soejono Soekanto adalah cabang ilmu
pengetahuan yang secara analitis dan empiris menganalisis atau mempelajari
hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala sosial lainnya.11
Sosiologi hukum merupakan suatu ilmu yang muncul dari perkembangan ilmu
pengetahuan hukum dan dapat diketahui dengan mempelajari fenomena sosial
dalam masyarakat yang tampak aspek hukumnya. Oleh karena itu, adanya
pengetahuan tersebut diharapkan turut mengangkat derajat ilmiah dari
pendidikan hukum. Pernyataan ini dikemukakan atas asumsi bahwa sosiologi
hukum dapat memenuhi tuntutan ilmu pengetahuan modern untuk melakukan
atau membuat deskripsi, penjelasan, pengungkapan, dan prediksi. Jika keempat
hal diatas merupakan tuntutan ilmu pengetahuan hukum saat ini sebagai
dampak “modernisasi”, maka harus diakui dengan jujur bahwa pendidikan
hukum dalam kajian jurisprudence model: rules (normative), logic,
11 Soerjono soekanto, Mengenal Sosiologi Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1989, hlm
11
12
practical, dan decision yang bersifat terapan, tidak mampu memberikan
pemahaman hukum yang utuh.
Pendidikan hukum yang bersifat sociological model yang terdiri
atassocial structure, behavior, variable, observer,
scientific, dan explanation akan menjadikan ilmu hukum itu responsif terhadap
perkembangan dan perubahan dalam masyarakat. Karena itu, suatu pemahaman
dan pengkajian hukum dalam konteks sosial yang lebih besar merupakan suatu
keharusan, sehingga hukum akan tampak sebagai social control dalam
masyarakat atau hukum ada karena adanya masyarakat dan bukan berarti
masyarakat meninggalkan hukum yang telah dibuat oleh pejabat yang
berwenang. Bila dilihat karakteristik kajian sosiologi hukum disebutkan bahwa
sosiologi hukum berusaha memberikan deskripsi dalam praktik-praktik hukum.
Sosiologi hukum bertujuan untuk menjelaskan mengapa suatu praktik-praktik
hukum di dalam kehidupan sosial masyarakat itu terjadi, sebab-sebabnya,
faktor-faktor yang mempengaruhi dan lain sebagainya. Sosiologi hukum
senantiasa menguji kesahihan empiris dari suatu peraturan atau pernyataan
hukum, sehingga mampu memprediksi suatu hukum yang sesuai dan/atau tidak
sesuai dengan masyarakat tertentu. Terakhir, karakteristik kajian sosiologi
hukum adalah tidak melakukan penilaian terhadap hukum, tingkah laku yang
mentaati hukum, sama-sama merupakan objek pengamatan yang setaraf.12
Dari karakteristik kajian sosiologi hukum diatas, dapat menjadi
pedoman dalam menganalisis peranan sosiologi hukum dalam memberantas
tindak pidana korupsi di Indonesia ini. Korupsi dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia ialah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan
uang sogok dan sebagainya. Secara garis besar korupsi adalah suatu tindakan
untuk memperkaya diri yang merugikan keuangan negara. Untuk menemukan
penyebab korupsi, dapat menggunakan konsepsi Alfred Schutz tentang because
motive atau disebut sebagai motif penyebab. Di dalam konsepsi ini, maka dapat
dinyatakan bahwa tindakan manusia ditentukan oleh ada atau tidaknya faktor
12 Zainudin Ali, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 8-9
13
penyebabnya. Maka seseorang melakukan korupsi juga disebabkan oleh
beberapa faktor penyebab. Faktor penyebab itulah yang disebut sebagai motif
eksternal penyebab tindakan.13
Manusia sebagai makhluk sosial tentu ingin dipandang dan dihormati
oleh manusia lainnya, bagi sebagian besar orang, uang dapat membuatnya
dipandang dan dihormati, dengan uang pula mereka bisa mendapatkan apa yang
mereka inginkan, tak sedikit orang yang beranggapan bahwa seseorang
dikatakan berhasil bilamana orang tersebut sudah mapan dalam segi materi,
yaitu memiliki rumah mewah dikawasan elit, mobil mewah dan tak jarang para
orangtua adu gengsi untuk menyekolahkan anaknya disekolahan yang bonafit.
Atas dasar itu lah orang-orang selalu ingin menjadi kaya, maka ukurannya
adalah seberapa besar seseorang bisa mengakses kekayaan. Ketika seseorang
menempati suatu ruang untuk bisa mengakses kekayaan, maka seseorang akan
melakukannya secara maksimal.
Di dunia ini, maka banyak orang yang mudah tergoda dengan kekayaan.
Karena persepsi tentang kekayaan sebagai ukuran keberhasilan seseorang, maka
seseorang akan mengejar kekayaan itu tanpa memperhitungkan bagaimana
kekayaan tersebut diperoleh. Lebih rincinya pada faktor eksternal ini jika ada
kesempatan seseorang untuk korupsi, maka pelaku akan melakukannya untuk
memenuhi kebutuhan hidup yang menurutnya tidak pernah cukup. Hal ini
senada dengan faktor internal yang terdapat dari dalam diri orang itu sendiri
yaitu moralitas. Bila seseorang tidak memiliki moral yang baik maka pelaku
dengan mudah nya melakukan korupsi tanpa memikirkan akibat dari
perbuatannya itu.
Moralitas sendiri dalam pandangan Kant dibedakan atas moralitas
heteronom dan moralitas otonom. Moralitas heteronom diartikan sebagai sikap
dimana kewajiban ditaati dan dilaksanakan bukan karena kewajiban itu sendiri,
melainkan karena sesuatu yang berasal dari luar kehendak sipelaku. Dalam
konteks ini, dapatlah dikatakan bahwa dependensi manusia terhadap manusia
13 http://nursyam.sunan-ampel.ac.id/?p=526, Prof.DR.Nur Syam.M.Si, Penyebab korupsi
diakses pada Tanggal 5 Januari 2013.
14
menunjukkan inkonsistensi moral yang dimiliki oleh seseorang
tersebut. Moralitas otonom, disisi lain, digambarkan sebagai kesadaran manusia
akan kewajiban yang ditaatinya sebagai sesuatu yang dikehendakinya sendiri
karena diyakini sebagai baik. Seseorang menerima dan mengikuti hukum
lahiriah bukan lantaran mau mencapai tujuan yang diinginkannya atau pun
lantaran takut terhadap pemberi hukum, melainkan karena itu dijadikan
kewajibannya sendiri berkat nilainya yang baik.
Untuk memberantas korupsi tidak cukup dengan menjerat para koruptor
ke ranah hukum (pengadilan), karena dapat dilihat sejauh ini sudah berapa
banyak koruptor yang diadili dan dijatuhi hukuman penjara, tetapi tetap tidak
membuat para koruptor lainnya jera.
Menurut pendapat Gunner Myrdal yang dikutip dalam buku Andi
Hamzah “Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan
Internasional”, bahwa jalan untuk memberantas korupsi di negara-negara
berkembang ialah:14
1. Menaikan gaji pegawai rendah (dan menengah).
2. Menaikan moral pegawai tinggi.
3. Legalisasi pungutan liar menjadi pendapat resmi atau legal.
Bila keseluruhan dijalankan mungkin benar Indonesia dapat bebas dari
korupsi, tetapi menaikan gaji pegawai rendah dan menengah tidak menjamin
pegawai tersebut tidak korupsi, bila tidak dibekali moral yang baik. Jadi tidak
hanya pegawai tinggi saja yang perlu pendidikan moral, tetapi keseluruhan
moral bangsa Indonesia harus dibenahi, dan ini tidak bisa hanya
diselesaikan secara normatif saja, tetapi juga diperlukan penyelesaian secara
sosiologis agar hukum tersebut serasi dengan masyarakat.
Peran serta masyarakat akan mempengaruhi keberhasilan
pemberantasan korupsi. Kalau masyarakat sudah mengubah budayanya dan
bersikap “antikorupsi” maka situasi ini sudah cukup kondusif untuk
memberantas korupsi. Dengan sikap demikian, diharapkan, masyarakat mau
14 Andi hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan
Internasional, Raja Grafindo Persada, Jakarta,2007, hlm. 259
15
mencegah dan melaporkan korupsi yang terjadi. Partisipasi masyarakat juga
dapat diberikan dalam bentuk “memboikot” setiap acara atau undangan dari
pejabat yang melakukan tindak pidana korupsi. Inilah hukuman masyarakat
yang benar-benar efektif dan dirasakan para pelaku korupsi. Peran serta
masyarakat di dalam Pasal 41 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
berbunyi:
1. Masyarakat dapat berperan serta membantu upaya pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana korupsi.
2. Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diwujudkan
dalam bentuk:
a. Hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan
telah terjadi tindak pidana korupsi.
b. Hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh, dan
memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana
korupsi kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana
korupsi.
c. Hak untuk menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung
jawab kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana
korupsi.
d. Hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya
yang diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30
(tiga puluh) hari.
e. Hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam hal :
f. Melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c.
g. Diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan disidang
pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli, sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
3. Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai hak dan
tanggung jawa dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
korupsi.
16
4. Hak dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3)
dilaksanakan dengan berpegang teguh pada asas-asas atau ketentuan yang
diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dengan
menaati norma agama dan norma sosial lainnya.
5. Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat dalam
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana
dimaksud dalam pasal ini, diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Untuk mengurangi angka korupsi, di samping upaya pencegahan dan
pemberantasan, juga diperlukan perubahan budaya dan dukungan masyarakat
luas.
C. Penegakan Hukum di Indonesia Dalam Memberantas Tindak Pidana
Korupsi Dikaji Melalui Sosiologi Hukum
Efektivitas hukum adalah mengkaji kaidah hukum yang harus
memenuhi syarat, yaitu berlaku secara yuridis, berlaku secara sosiologis, dan
berlaku secara filosofis. Oleh karena itu, faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi hukum itu berfungsi dalam masyarakat, yaitu kaidah hukum
atau peraturan itu sendiri, petugas atau penegak hukum, sarana atau fasilitas
yang digunakan oleh penegak hukum, kesadaran masyarakat.15 Agar hukum itu
berfungsi atau memiliki efektivitas maka suatu kaidah hukum harus berlaku
secara yuridis, sosiologis, dan filosofis. Bila kaidah hukum berlaku secara
yuridis saja, ada kemungkinan kaidah itu merupakan kaidah mati, dan jika
hanya berlaku secara sosiologis dalam arti teori kekuasaan, maka kaidah itu
menjadi aturan pemaksa, dan begitu pula jika kaidah hukum hanya berlaku
secara filosofis, maka kaidah itu hanya merupakan hukum yang dicita-
citakan.16 Sehingga jika dikaitkan dengan keberadaan Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, agar Undang-Undang tersebut berjalan
efektif maka harus memenuhi unsur-unsur yuridis, sosiologis, dan filosofis.
15 Zainudin ali, op.cit., hlm. 62 16 Ibid.
17
Dikaji melalui berlakunya secara yuridis, Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini dibuat sesuai ketentuan yang berlaku
dan tidak bertentangan dengan kaidah hukum yang lebih tinggi, undang-undang
ini dipaksakan berlakunya dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat, dan secara
filosofis undang-undang ini memiliki tujuan untuk menjamin kepastian hukum,
menghindari keragaman penafsiran hukum dan memberikan perlindungan
terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, serta perlakuan secara adil
dalam memberantas tindak pidana korupsi. Selain itu agar Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat berjalan secara efektif dilihat pula
bagaimana penegakan hukumnya. Disinilah permasalahan intinya penegakan
hukum untuk kasus korupsi sangat lemah, seringkali hukuman bagi koruptor
tidak setimpal dengan perbuatannya yang sudah merugikan keuangan negara
yang berdampak pada seluruh masyarakat negara Indonesia, bahkan ada
koruptor yang dibebaskan dengan dalih tidak cukup bukti, sedangkan kita tahu
dewasa ini banyak putusan hakim yang kental isu suap, bahkan ada hakim yang
terbukti menerima suap.
Tentu ini membuat masyarakat tidak percaya pada penegakan hukum di
Indonesia, ditambah lagi dengan banyaknya kasus yang ditangani, tapi ketika
sampai di pengadilan banyak terdakwanya yang dibebaskan. Padahal menurut
perasaan keadilan masyarakat atau pun berdasarkan fakta yang muncul di
pengadilan, seharusnya hakim memutuskan sebagai terbukti bersalah.
Menghadapi beban penegakan hukum terhadap kejahatan korupsi yang semakin
canggih dan kompleks, lembaga kejaksaan sebagai ujung tombak penegak
hukum, mutlak perlu membenahi diri ke dalam dan mereformasi diri. Salah satu
agenda penting dalam reformasi lembaga kejaksaan adalah bagaimana lembaga
ini dapat menjadi lembaga yang bebas dari intervensi politik. Politisasi hukum
sudah berlangsung lama dan ini harus dijadikan agenda reformasi untuk
menjadikan lembaga kejaksaan steril dari pengaruh politik dan kepentingan
politik. Masyarakat kebanyakan masih menganggap suap sebagai hal yang
wajar, lumrah, dan tidak menyalahi aturan. Suap terjadi hampir di semua aspek
kehidupan dan dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat. Banyak yang belum
18
memahami bahwa suap, baik memberi maupun menerima, termasuk kedalam
tindak pidana. Suap dianggap sebagai bentuk primitif dan induk korupsi. Suap
adalah awal lahirnya budaya koruptif dalam skala luas yang terjadi saat ini.
Penegakan hukum yang tajam kepada rakyat kecil, tetapi tumpul kepada
yang berkuasa menggambarkan arogansi kekuasaan dan hukum yang
kehilangan moralitas. Agar rasa keadilan dalam masyarakat tidak mati, lembaga
dan aparat penegak hukum perlu direformasi. Masyarakat perlu meneruskan
gerakan moral untuk menolak praktik ketidakadilan. Keadilan tidak sebatas
teks, tetapi juga harus menyinggung rasa kemanusiaan. Hukum hanya jadi
perantara agar manusia bisa hidup harmonis, stabil, dan menghargai sesamanya.
Harapan itu disampaikan peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Universitas
Paramadina, Jakarta, Herdi Sahrasad, serta Direktur Newseum Taufik Rahzen
secara terpisah di Jakarta, Jumat (6/1). Keduanya menolak tindakan hukum
yang tegas kepada rakyat bawah, tetapi lemah mengungkap kasus besar,
terutama korupsi.17 Hukum yang semestinya melindungi dan menegakkan
keadilan justru terasa tak adil. Semua itu mencerminkan arogansi penguasa
yang menggunakan kekuasaannya untuk mengatur proses hukum. Tanpa
memihak pada keadilan dan rakyat, hukum hanya prosedur yang kehilangan
moralitas. Hukum menjadi permainan bagi sebagian orang. Jika kondisi ini
berlanjut, rakyat terus menjadi korban. Tanpa kekuasaan dan modal, mereka
mudah diincar jerat hukum. Akibatnya, masyarakat akan semakin kehilangan
kepercayaan terhadap hukum dan pemerintah.
Untuk menghindari hal itu sebaiknya semua elemen bangsa harus
mendorong reformasi menyeluruh terhadap kepolisian, kejaksaan, dan
kehakiman agar menjalankan hukum secara tegas, adil, dan bersih. Reformasi
ini harus dikerjakan bersama oleh legislatif, eksekutif, yudikatif, dan civil
society, Masyarakat diharapkan terus menggalang solidaritas untuk melawan
ketidakadilan yang menimpa rakyat. Hal ini perlu kerja sama dengan semua
tokoh dan memanfaatkan jaringan media sosial. Begitupun media, baik media
17 http://nasional.kompas.com, Eko Hendrawan Sofyan, Penegakan Hukum Kehilangan
Moralitas, diakses pada Tanggal 5 Januari 2013.
19
cetak maupun elektronik juga perlu untuk tetap mengawal hukum dan
mendorong penegakan keadilan.
Untuk memahami bekerjanya hukum, dapat dilihat fungsi hukum itu
dalam masyarakat. Fungsi hukum dimaksud, dapat diamati dari beberapa sudut
pandang, yaitu:18
1. Fungsi Hukum Sebagai Sosial Kontrol di Dalam Masyarakat
Mendidik, mengajak atau bahkan memaksa warga masyarakat agar
mematuhi sistem kaidah dan nilai yang berlaku.
2. Fungsi Hukum Sebagai Alat Untuk Mengubah Masyarakat
Hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat (social engineering)
berkaitan dengan fungsi dan keberadaan hukum sebagai pengatur dan
penggerak perubahan masyarakat, maka interpretasi analogi Pound
mengemukakan “hak” yang bagaimanakah seharusnya diatur oleh hukum,
dan “hak-hak” yang bagaimanakah dapat dituntut oleh individu dalam hidup
bermasyarakat.
3. Fungsi Hukum Sebagai Simbol Pengetahuan
Fungsi hukum sebagai simbol merupakan makna yang dipahami oleh
seseorang dari suatu perilaku warga nasyarakat tentang hukum.
4. Fungsi Hukum Sebagai Alat Politik
Hukum dan politik amat susah dipisahkan, karena produk hukum itu
sendiri dibuat oleh DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) dan pemerintah.
Hukum sebagai alat politik tidak dapat berlaku secara universal, sebab tidak
semua hukum diproduksi oleh DPR bersama pemerintah.
5. Fungsi Hukum Sebagai Alat Integrasi
Hukum sebagai alat integrasi, hukum berfungsi sebelum terjadi konflik dan
sesudah terjadi konflik, konflik yang dimaksud yakni akibat dari benturan
kepentingan antar masyarakat.
Penegakan hukum atau orang yang bertugas menerapkan hukum
mencakup ruang lingkup yang sangat luas, sebab menyangkut petugas pada
18 Zainudin Ali, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 39
20
strata atas, menengah dan bawah. Artinya, didalam melaksanakan tugas-tugas
penerapan hukum, petugas seharunya memiliki pedoman, diantaranya peraturan
tertulis tertentu yang mencakup ruang lingkup tugas-tugasnya. Di dalam hal
penegakan hukum dimaksud, kemungkinan petugas penegakan hukum
menghadapi hal-hal tersebut:19
1. Sampai sejauh mana petugas (penegak hukum) terikat dari peraturan-
peraturan yang ada.
2. Sampai batas-batas mana petugas berkenaan memberikan kebijakan.
3. Teladan macam apakah yang sebaiknya diberikan oleh petugas kepada
masyarakat.
4. Sampai manakah derajat sinkronisasi penugasan-penugasan yang diberikan
kepada para petugas sehingga memberikan batas-batas yang tegas pada
wewenangnya.
Sehingga dari pernyataan diatas, disebutkan bahwa penegak hukum
harus mengetahui semua hal yang menjadi kewenangannya, hak dan
kewajibannya dalam menegakan hukum, dan penegak hukum seyogyanya
memberikan suri tauladan yang baik, yang dapat menjadi contoh bagi
masyarakat dalam menegakan hukum. Jika penegak hukum memiliki moral
yang baik dan diikuti oleh masyarakat, maka hukum dan moralitas berjalan
beriringan dan terciptalah hukum yang bermanfaat. Dimana hukum yang
bermanfaat menurut teori utilitarianisme adalah hukum yang memberikan
kesenangan bagi banyak orang.
Dalam bukunya Soerjono Soekanto menyebutkan bahwa gangguan
terhadap penegakan hukum mungkin terjadi, apabila ada ketidakserasian aturan
“tritunggal” yakni nilai, kaidah, dan pola perilaku. Gangguan tersebut terjadi
apabila terjadi ketidakserasian antara nilai-nilai yang berpasangan, yang
menjelma di dalam kaidah-kaidah yang simpangsiur, dan pola perilaku tidak
19 Zainudin Ali, op.cit., hlm. 63
21
terarah yang mengganggu kedamaian pergaulan hidup.20 Selanjutnya
disebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum:21
1. faktor hukum itu sendiri;
2. faktor penegak hukum;
3. faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;
4. faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau
diterapkan;
5. faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya cipta, dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Kelima faktor tersebut saling berkaitan, karena kelima faktor tersebut
merupakan esensi dari penegakan hukum, selain itu juga merupakan tolak ukur
daripada efektivitas penegakan hukum. Jika dilihat pada penegakan hukum
dalam memberantas tindak pidana korupsi, maka Undang-Undang tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Nomor 20 Tahun 2001, sudah dirasa
cukup mewakili keingininan dan kebutuhan masyarakat, hanya saja dewasa ini
menjadi perdebatan tentang hukuman mati yang ada dalam undang-undang
tersebut, karena dalam undang-undang tersebut seorang koruptor hanya dapat
dijatuhi hukuman mati dalam keadaan-keadaan tertentu, hal ini berbeda dengan
sistem hukum Cina yang langsung menghukum mati terpidana kasus korupsi,
sehingga menimbulkan rasa takut bagi masyarakat setempat untuk melakukan
korupsi. Berbeda dengan Indonesia, yang tidak pernah memberikan hukuman
mati bagi koruptor, para koruptor Indonesia kebanyakan hanya dijatuhi
hukuman empat sampai delapan tahun saja dengan hukuman denda yang tidak
sesuai dengan jumlah yang mereka korupsi dari uang negara. Tentu ini
memperlihatkan penegak hukum di Indonesia masih setengah hati dalam
memberantas tindak pidana korupsi.
Menurut Prof. Dr. Achmad Ali, S.H., M.H. bahwa salah satu alat bagi
Hakim untuk lebih mengembangkan kemampuannya dalam menciptakan
20 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm. 7 21 Ibid., hlm.8
22
hukum melalui putusan-putusannya adalah dengan cara lebih memahami
adanya 3 (tiga) jenis ilmu hukum dan juga 3 (tiga) jenis pendekatan dalam ilmu
hukum. 3 (tiga) Jenis ilmu hukum yaitu:
1. Ilmu tentang asas-asas fundamental di bidang hukum
(beggriffenwissenscheft).
2. Ilmu tetang norma hukum dan aturan hukum (normwissenschaft).
3. Ilmu tentang perilaku hukum, tindakan hukum dan realitas hukum
(tatsacherwissenschaft).
Ketiga jenis pendekatan dalam ilmu hukum dapat digambarkan dengan
dimulai dari pendekatan empiris di bidang hukum, pendekatan normatif,
pendekatan filosofis. Dimana kajian sosiologi hukum termasuk salah satu
diantara pendekatan dalam ilmu hukum tersebut. Jika menginginkan lahirnya
suatu produk hukum dan keputusan hukum yang optimal, maka ketiga
pendekatan ilmu hukum tersebut harus diimplementasikan secara proporsional
dan harmonis oleh para penegak hukum, yang pada akhirnya dapat mewujutkan
penegakan hukum yang bermartabat.
Ada beberapa upaya yang dapat ditempuh dalam memberantas tindak
korupsi di Indonesia, antara lain:
1. Upaya Pencegahan (Preventif)
Upaya pencegahan (preventif) yaitu dengan menanamkan semangat
nasional yang positif dengan mengutamakan pengabdian pada bangsa dan
negara melalui pendidikan formal, informal dan agama, melakukan
penerimaan pegawai berdasarkan prinsip keterampilan teknis, para pejabat
dihimbau untuk mematuhi pola hidup sederhana dan memiliki tanggung
jawab yang tinggi, para pegawai selalu diusahakan kesejahteraan yang
memadai dan ada jaminan masa tua, menciptakan aparatur pemerintahan
yang jujur dan disiplin kerja yang tinggi, sistem keuangan dikelola oleh para
pejabat yang memiliki tanggung jawab etis tinggi dan dibarengi sistem
kontrol yang efisien, melakukan pencatatan ulang terhadap kekayaan
pejabat yang mencolok, berusaha melakukan reorganisasi dan rasionalisasi
23
organisasi pemerintahan melalui penyederhanaan jumlah departemen
beserta jawatan di bawahnya.
2. Upaya Penindakan (Kuratif)
Upaya penindakan (kuratif) yaitu dilakukan kepada mereka yang terbukti
melanggar dengan dibe-rikan peringatan, dilakukan pemecatan tidak
terhormat dan dihukum pidana.
3. Upaya Edukasi Masyarakat/Mahasiswa
Upaya edukasi masyarakat/mahasiswa yaitu dengan memiliki tanggung
jawab guna melakukan partisipasi politik dan kontrol sosial terkait dengan
kepentingan publik, tidak bersikap apatis dan acuh tak acuh, melakukan
kontrol sosial pada setiap kebijakan mulai dari pemerintahan desa hingga ke
tingkat pusat/nasional, membuka wawasan seluas-luasnya pemahaman
tentang penyelenggaraan pemerintahan negara dan aspek-aspek hukumnya,
mampu memposisikan diri sebagai subjek pembangunan dan berperan aktif
dalam setiap pengambilan keputusan untuk kepentingan masyarakat luas.
4. Upaya Edukasi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
Upaya Edukasi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), organisasi yang
mengawasi dan melaporkan kepada publik mengenai korupsi di Indonesia
dan terdiri dari sekumpulan orang yang memiliki komitmen untuk
memberantas korupsi melalui usaha pemberdayaan rakyat untuk terlibat
melawan praktik korupsi.
24
Menurut Prof. Dr. Andi Hamzah dalam bukunya menyebutkan bahwa
kesadaran hukum masyarakat lah yang sangat berpengaruh dalam memberantas
tindak pidana korupsi ini, di negara-negara Afrika Selatan dirumuskan strategi
pemberantasan korupsi berbentuk piramida yang pada puncaknya adalah
prevensi (pencerahan), sedangkan pada kedua sisinya masing-masing
pendidikan masyarakat dan pemidanaan.22 Dalam memberantas korupsi Andi
Hamzah berpendapat, bahwa harus dicari penyebab korupsi itu dahulu,
kemudian kemudian penyebab itu dihilangkan dengan cara prevensi disusul
dengan pendidikan (peningkatan kesadaran hukum) masyarakat disertai dengan
tindakan represif (pemidanaan).23
Sebagaimana dibahas sebelumnya faktor seseorang melakukan korupsi
adalah karena ketamakannya, dan untuk membuat orang tamak jera adalah
memiskinkanya, menurut hemat penulis jika terpidana kasus korupsi
“dimiskinkan”, yakni ditarik harta kekayaannya, sudah membuat koruptor-
koruptor lainnya jera, sehingga hukum dapat berjalan sesuai dengan tujuannya.
Sarana dan fasilitas menurut hemat penulis sudah terpenuhi dengan adanya
keistimewaan dalam melakukan penyidikan dalam kasus korupsi, juga sudah
ada lembaga khusus yang menangani kasus korupsi ini yakni Komisi
Pemberantas Korupsi (KPK), Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi ini pun berlaku bagi seluruh warga Indonesia, sehingga diperlukan
kesadaran masyarakat untuk mematuhi undang-undang yang sudah ada.
Dimana untuk menumbuhkan kesadaran hukum masyarakat diperlukan
penyuluhan hukum yang teratur atas dasar perencanaan yang baik. Penyuluhan
hukum itu sendiri bertujuan agar masyarakat mengetahui dan memahami
hukum-hukum tertentu. Penyuluhan hukum tersebut harus disesuaikan dengan
masalah-masalah hukum yang ada dalam masyarakat pada suatu waktu yang
menjadi sasaran penyuluhan hukum.
22 Andi Hamzah, op.cit., hlm. 261 23 Ibid.
25
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Efektivitas hukum adalah mengkaji kaidah hukum yang harus memenuhi
syarat, yaitu berlaku secara yuridis, berlaku secara sosiologis, dan berlaku
secara filosofis. Oleh karena itu, faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
hukum itu berfungsi dalam masyarakat, yaitu kaidah hukum atau peraturan
itu sendiri, petugas atau penegak hukum, sarana atau fasilitas yang
digunakan oleh penegak hukum, kesadaran masyarakat.
2. Sosiologi hukum menurut Soejono Soekanto adalah cabang ilmu
pengetahuan yang secara analitis dan empiris menganalisis atau
mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala
sosial lainnya. Sosiologi hukum merupakan suatu ilmu yang muncul dari
perkembangan ilmu pengetahuan hukum dan dapat diketahui dengan
mempelajari fenomena sosial dalam masyarakat yang tampak aspek
hukumnya. Karakteristik kajian sosiologi hokum dapat menjadi pedoman
dalam menganalisis peranan sosiologi hukum dalam memberantas tindak
pidana korupsi di Indonesia ini.
3. Penegakan hukum di Indonesia dalam memberantas tindak pidana korupsi
dikaji melalui sosiologi hokum dapat dilakukan dengan beberapa upaya
yaitu upaya pencegahan (preventif), upaya penindakan (kuratif), upaya
edukasi masyarakat/mahasiswa, dan upaya edukasi lembaga swadaya
masyarakat (LSM).
26
B. Saran
1. Dalam memberantas tindak pidana korupsi perlu diketahui sebelumnya
faktor penyebab dari korupsi itu sendiri, faktor penyebab orang melakukan
korupsi disebabkan dua faktor yaitu faktor ekstern dan faktor intern, dimana
faktor ekstern berasal dari ketidakpuasan orang tersebut atas harta yang
dimiliknya juga karena kebutuhan ekonomi, dan faktor intern yaitu moral
dari orang itu sendiri. Sehingga yang perlu dibenahi adalah moral dari
pejabat negara Indonesia khususnya dan masyarakat Indonesia pada
umumnya, karena hukum sudah mengatur sedemikian rupa mengenai tindak
pidana korupsi, hanya saja dalam penegakannya, pemberantasan tindak
pidana korupsi tidak ditegakan secara adil, melainkan penegakan hukum
disini masih tembang pilih, sehingga terkesan hukum itu tumpul untuk
kalangan atas.
2. Keadilan merupakan sesuatu yang bersifat subjektif, sehingga dalam
menegakan keadilan tidak hanya membutuhkan hukum secara yuridis,
melainkan juga melihat sisi sosiologisnya. Sanksi yang lemah dan
penerapan hukum yang tidak konsisten masih mewarnai penegakan hukum
dalam memberantas korupsi di Indonesia ini. Jika Indonesia benar-benar
ingin memberantas korupsi maka dimulai dari moral yang baik bagi setiap
masyarakat Indonesia, terutama moral para pejabat negara yang menjadi
panutan bagi masyarakat.
3. Keseriusan penegak hukum dalam menegakan hukum yang adil bagi
seluruh masyarakat, kesadaran hukum masyarakat, dan peran serta
masyarakat itu sendiri untuk memberantas korupsi, dan untuk tindakan
represif bagi koruptor, perlu adanya sanksi yang “memiskinkan” koruptor
serta sanksi dari masyarakat bagi para koruptor. Agar diharapkan
pemberantasan korupsi di Indonesia ini dapat berjalan secara efektif.
27
DAFTAR PUSTAKA
A. Sumber Dari Buku
Ali, Zainudin. 2010. Filsafat Hukum. Jakarta: Sinar Grafika
Ali, Zainudin. 2010. Sosiologi Hukum. Jakarta: Sinar Grafika
Atmasasmita, Romli. 2001. Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia &
Penegakan Hukum. Bandung: Mandar Maju
Hamzah, Andi. 2007. Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana
Nasional dan Internasional. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Mertokusumo, Soedikno. 2012. Teori Hukum. Yogyakarta: Cahaya Atma
Pustaka
Muladi. 2002. Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana.
Semarang: Cetakan Kedua, Universitas Diponegoro
Rahardjo, Satjipto. 2006. Membedah Hukum Progresif. Jakarta: Buku
Kompas
Rahardjo, Satjipto. 2006. Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia. Jakarta:
Cetakan Kedua, Buku Kompas
Rahardjo, Satjipto. 2008. Lapisan-Lapisan Dalam Studi Hukum.
Malang: Bayumedia
Soekanto, Soerjono. 1989. Mengenal Sosiologi Hukum. Bandung: Citra
Aditya Bakti
Soekanto, Soerjono. 2007. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan
Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Soekanto, Soerjono. 2008. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan
Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Soemitro, Ronny Hanitijo. 1989. Perspektif Sosial dalam Pemahaman
Masalah-Masalah Hukum. Semarang: CV Agung
28
B. Sumber Dari Internet
Prof. DR. Nur Syam M.Si, 2013 Penyebab Korupsi, http://nursyam.sunan-
ampel.ac.id/?p=526
Eko Hendrawan Sofyan, 2013 Penegakan Hukum Kehilangan Moralitas,
http://nasional.kompas.com
Top Related