1
PENDIDIKAN SEPANJANG HAYAT
1. Pendidikan Manusia Seutuhnya
a. Dasar Hukum
Konsepsi pendidikan seumur hidup (life long education) mulai
dimasyrakatkan melalui kebijaksanaan negara (Ketetapan MPR No. IV/MPR/1973
dan ketetapan MPR No. IV/MPR/1978, tentang GBHN) yang menetapkan prinsip-
prinsip pembangunan nasional (pembangunan bangsa dan watak bangsa).
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka kebijaksanaan negara menetapkan
prinsip-prinsip:
1) Pembangunan bangsa dan watak bagsa dimulai dengan membangun subjek
manusia Indonesia seutuhnya, sebagai perwujudan manusia Pancasila. Tipe
kepribadian ideal ini menjadi cita-cita pembangunan bangsa dan watak bangsa
yang menjadi tanggung jawab seluruh lembaga negara, bahkan tanggung
jawab semua warga negara untuk mewujudkannya.
2) Pembangunan manusia Indonesia seutuhnya secara khusus merupakan
tanggung jawab lembaga dan usaha pendidikan nasional untuk mewujudkan
melalui lembaga-lembaga pendidikan. Karena itu konsepsi manusia Indonesia
seutuhnya ini merupakan konsepsi dasar tujuan pendidikan nasional Indonesia.
Kebijaksanaan pembangunan nasional khususnya dalam bidang pendidikan
dapat dimengerti bahwa secara konstitusional ketetapan ini wajib dilaksanakan
oleh lembaga pendidikan. Artinya, menjadi landasan kebijaksanaan untuk
merencanakan pembinaan pendidikan nasional. Itu semua bila secara teoritis dan
konsepsional kita memahami latar belakang dan tujuan konsepsi pendidikan
seumur hidup ini.
Asas pendidikan seumur hidup bertitik tolak atas keyakinan bahwa proses
pendidikan dapat berlangsung selama manusia hidup, baik di dalam maupun di
luar sekolah.
Prinsip-prinsip dasar yang terkandung dalam diktum ini cukup mendasar dan
luas, yakni meliputi asas-asas:
2
1) Asas pendidikan seumur hidup berlangsung seumur hidup sehingga peranan
subjek manusia untuk mendidik dan mengembangkan diri sendiri secara wajar
merupakan kewajiban kodrati manusia.
2) Lembaga pelaksana dan wahana pendidikan meliputi:
a. Dalam lingkungan rumah tangga (keluarga), sebagai unit masyarakat
pertama dan utama;
b. Dalam lingkungan sekolah, sebagai lembaga pendidikan formal; dan
c. Dalam lingkungan masyarakat sebagai lembaga dan lingkungan
pendidikan nonformal, sebagai wujud kehidupan yang wajar.
3) Lembaga penanggung jawab pendidikan mencakup kewajiban dan kerjasama
ketiga lembaga dalam kehidupa, yaitu:
a. Lembaga keluarga (orang tua);
b. Lembaga sekolah: lembaga pendidikan formal; dan
c. Lembaga masyarakat sebagai keseluruhan tata kehidupan dalam negara
baik perseorangan maupun kolektif.
Ketiga lembaga penanggung jawab pendidikan ini disebut oleh Dr. Ki Hajar
Dewantara sebagai tripusat pendidikan. Konsepsi pendidikan manusia Indonesia
seutuhnya dan seumur hidup ini merupakan orientasi baru yang mendasar. Ini
berarti kebijaksanaan Pendidikan Nasional kita tidak lagi berorientasi kepada
sistem dan teori pendidikan Eropa kontinental yang diajarkan oleh Prof. Dr. M. J.
Langeveld. Langeveld mengajarkan adanya batas umur dan batas waktu
pendidikan, misalnya adanya batas-bawah antara 5-6 tahun dan batas atas antara
18-25 tahun yang dianggap sebagai tingkat kedewasaan (kematangan) pribadi.
Dengan kebijakan tanpa batas umur dan batas waktu untuk belajar (sekolah),
maka kita mendorong supaya tiap pribadi sebagai subjek yang bertanggung jawab
atas pendidikan diri sendiri menyadari, bahwa:
1) Proses dan waktu pendidikan berlangsung seumur hidup sejak dalam
kandungan hingga manusia meninggal. Asas ini berarti pula memberikan
tanggung jawab pedagogis-psikologis kepada orangtua, lebih-lebih ibu yang
mengandung untuk membina kandungannya secara psiko-fisis yang ideal.
2) Bahwa untuk belajar, tiada batas waktu. Artinya tidak ada istilah “terlambat”
atau “terlalu dini” untuk belajar. Ini berarti pula tidak ada konsep bahwa
“terlalu tua” untuk belajar.
3
3) Bahwa belajar atau mendidik diri sendiri adalah proses alamiah sebagai
bagian integral atau merupakan totalitas kehidupan. Jadi, manusia belajar atau
mendidik ini, bukanlah sebagai persiapan bagi kehidupan yang akan datang
dalam masyarakat, melainkan pendidikan adalah kehidupan itu sendiri.
Prinsip pendidikan demikian, memberikan makna bahwa pendidikan adalah
tanggung jawab manusia sebagai subjek atas diri sendiri lebih-lebih yang
sudah dewasa supaya meningkat terus-menerus, yakni mandiri secara sosial,
ekonomis, psikologis dan etis. Sifat dan derajat ilmiah yang dimaksud dengan
kedewasaan atau kematangan kepribadian.
b. Realisasi Pendidikan Manusia Seutuhnya
Di samping dasar (landasan) yuridis-konstitusional (kenegaraan: GBHN),
penddidikan manusia seutuhnya ini sesuai pula dengan konsepsi atau teori
kejiwaan manusia menurut teori kepribadian dan psikologi Gestalt.
Teori ilmu jiwa mengajarkan bahwa kepribadian manusia merupakan satu
kebulatan antara potensi-potensi lahir batin bahkan juga jasmani dan
penampilannya, antara lain sebagai dikatakan oleh Garret:
“Dalam kenyataan, pengertian atau definisi kepribadian menurut para ahli
ilmu jiwa bukan hanya mencakup sifat (ciri, karakteristik) bagaimana
seseorang bertingkah laku dalam kehidupan dan situasi sehari-hari, melainkan
lebih ditekankan bersamaan dengan itu juga faktor-faktor jasmaniah,
penampilan, inteligensi, bakat, dan sifat karakteristik. Semuanya ini
menyumbang/mencerminkan, walaupun dalam derajat yang berbeda-beda
terhadap keseluruhan/totalitas kualitas seorang, yaitu bagi kesan orang lain
tentang dirinya.”
Kepribadian manusia ialah suatu perwujudan keseluruhan segi manusiawinya
yang unik, lahir-batin dan dalam antar hubungannnya dengan kehidupan sosial
dan individualnya. Kepribadian, di samping satu perwujudan setiap manusia
(yang dalam proses berkembang terus menerus), juga suatu kualitas dan integritas
yang diinginkan; yakni sebagai suatu derajat atau martabat manusia. Pengertian
demikian, tersirat dalam ungkapan “ia tidak mempunyai kepribadian”. Padahal
istilah dan konsepsi kepribadian, hanyalah suatu konsep kejiwaan yang belum
diberikan persyaratan dan predikat apa pun. Dengan perkataan lain, istilah
4
kepribadian dapat mengandung makna baik, ideal ataupun buruk, jahat, dan
sebagainya.
Membahas pendidikan manusia seutuhnya, sebenarnya adalah menganalisis
secara konsepsional apa dan bagaimana perwujudan manusia seutuhnya itu.
Konsepsi tradisional, seutuhnya (kebulatan) ialah kebulatan atau integritas antara
aspek jasmaniah dengan rohaniah; antara akal dengan keterampilan. Atau lebih
luas sedikit yakni konsepsi kebulatan (keseimbangan) antara 3 h’s: head (akal),
heart (hati-nurani) dan hand (keterampilan). Ada pula teori ilmu jiwa daya
(=faculty psychology dari Hebart) yang mengatakan bahwa daya jiwa seperti
ingatan, pikiran, perasaan, tanggapan dan sebagainya, saling berasosiasi.
Manusia seutuhnya sebagai satu konsepsi modern perlu kita analisis menurut
pandangan berdasarkan sistem nilai dan psikologi sosio-budaya Indonesia. Untuk
inilah pemikiran secara konsepsional perlu dirintis. Berdasarkan pikiran demikian
dapat diuraikan konsepsi manusia seutuhnya itu secara mendasar, yakni:
Keutuhan potensi subjek manusia sebagai subjek yang berkembang.
Keutuhan wawasan (orientasi) manusia sebagai subjek yang sadar nilai (yang
menghayati dan yakin akan cita-cita dan tujuan pendidikan).
Analisisnya adalah:
1) Konsepsi keutuhan potensi subjek manusia lahir-batin ialah satu kebulatan
yang utuh antara potensi-potensi hereditas (bawaan) dengan faktor-faktor
lingkungan (pendidikan, tata nilai dan antarhubungan). Potensi-potensi subjek
manusia secara universal mencakup tujuh potensi:
a. Potensi jasmaniah: fisik, badan yang sehat (normal);
b. Potensi pikir (akal, rasio, inteligensi, intelek);
c. Potensi rasa (perasaan, emosi) baik perasaan etis moral maupun perasaan
estetis;
d. Potensi karsa (kehendak, kemauan, keinginan, hasrat atau kecenderungan-
kecenderungan, nafsu; termasuk prakarsa);
e. Potensi cipta (daya cipta, kreativitas, fantasi, khayal dan imajinasi);
f. Potensi karya (kemampuan menghasilkan, kerja, amal sebagai tindak lanjut
dari a-e); dan
5
g. Potensi budi-nurani (kesadaran budi, hati-nurani, kata-hati, consciencia,
geweten, Gewessen, yang bersifat super rasional).
Ketujuh potensi ini merupakan potensi dan watak bawaan yang
potensial, artinya dalam proses berkembang dan tidak. Perkembangan atau
aktualitasnya itu akan menentukan kualitas pribadi seseorang. Inilah yang
dimaksud dengan istilah self-realization, atau self-actualization, yang menurut
istilah Indonesia dapat kita artikan realisasi kedirian, atau mandiri.
2) Konsepsi keutuhan wawancara (orientasi) manusia sebagai subjek yang sadar
nilai.
Tiap pribadi, terutama manusia yang dewasa dan berpendidikan wajar
mempunyai wawasan atas nlai-nilai dalam keidupan. Manusia sebagai subjek
nilai ialah pribadi yang menjunjung nilai. Artinya menghayati, meyakini dan
mengamalkan sistem nilai tertentu, baik secara sosial maupun secara pribadi
(individual). Bahkan sesungguhnya prestasi dan kualitas pribadi, amat
ditentukan oleh penghayatan dan pengamalan nilai-nilai yang berlaku dalam
lingkungan hidupnya.
Manusia bersikap, berpikir, bertindak dan bertingkah laku dipengaruhi oleh
wawasan dan orientasinya terhadap kehidupan dna nilai-nilai yang ada di
dalamnya. Wawasan yang dimaksud, mencakup:
a. Wawasan dunia dan akhirat: manusia yakin bahwa kehidupan di dunia akan
berakhir dengan kematian, dan pasti manusia mengalami kehidupan di akhirat.
Karena itu sikap dan tingkah lakunya diorientasikan bagi kehidupan yang baik
di akhirat;
b. Wawasan individual dan sosial, secara berkeseimbangan. Kecenderungan aku
(ego) yang berhadapan dengan realitas sosial (masyarakat, negara) mendorong
manusia untuk dapat hidup harmonis;
c. Wawasan jasmaniah dan rohaniah: kesadaran bahwa pribadi kita mempunyai
kebutuhan jasmaniah seperti kesehatan, makanan yang bergizi, olah raga,
rekreasi, istirahat, pakaian, dan sebagainya. Juga kesadaran adanya kebutuhan
rohaniah seperti menhayati nilai-nilai budaya: ilmu pengetahuan, kesenian,
sastra, filsafat, dan nilai keagamaan. Juga memberikan wawasan materiil dan
spiritual dalam kehidupan yang seimbang; dan
6
d. Wawasan masa lampau dan masa depan: kesadaran dimensi kesejahteraan,
masa lampau bangsa yang jaya dan penjajahan yang menimbulkan
penderitaan, kebodohan dan kemiskinan; semua keadaan ini memberikan
kesadaran cinta bagsa dan kemerdekaan, motivasi berjuang demi cita-cita
nasional, kesetiaan kepada bangsa, dan sebagainya.
Keempat wawasan ini akan memberikan aspirasi dan motivasi bagi
sikap dan tindakan seseorang menurut kadar kesadaran wawasannya masing-
masing. Seseorang berbuat atau tidak terhadap sesuatu hal, didasarkan atas
pertimbangan-pertimbangan yang bersumber pada ruang lingkup wawasan
tersebut. Misalnya, iri hati atau benci pada seseorang/golongan, biasanya
dengan mawas diri demi kehidupan rohani yang sehat (tulus, suci) dan demi
kehidupan di akhirat lebih baik, secara sadar kecenderungan itu kita buang.
Begitu juga penonjolan aku (ego) kita yang dapat melanggar kepentingan
bersama (masyarakat, negara), kita lakukan demi martabat kita di hadapan
kehidupan bersama itu dan demi kebenaran dan keadilan.
2. Dasar, Tujuan, dan Implikasinya
a. Dasar-dasar
Prinsip pendidikan manusia seutuhnya dan berlangsung seumur hidup
didasarkan atas berbagai landasan yang meliputi:
a) Dasar-dasar filosofis:
Secara filosofis (filsafat manusia) hakikat kodrat martabat manusia merupakan
kesatuan integrasi segi-segi/potensi-potensi (esensial):
(1) Manusia sebagai makhluk pribadi (individual being);
(2) Manusia sebagai makhluk sosial (social being); dan
(3) Manusia sebagai makhluk susila (moral being).
Ketiga esensial ini merupakan potensi-potensi dan kesadaran yang integral
(bulat dan utuh) yang dimiliki setiap manusia. Ketiganya menentukan
martabat dan kepribadian manusia. Artinya bagaimana individu itu
merealisasikan potensi-potensi tersebut secara optimal dan berkeseimbangan,
itulah wujud kepribadiannya. Mereka yang menonjol individu kualitasnya
(egonya) ialah pribadi yang individualistis atau egoistis; mereka yang
menonjolkan segi sosialnya ialah pribadi yang sosial (altruis atau pengabdi);
7
dan mereka yang menonjolkan segi moralitasnya dianggap sebagai pribadi
moralis. Sedangkan pribadi yang berkeseimbangan ialah yang dengan sadar
mengembangakan potensi-potensi itu secara wajar dan seimbang. Jika tidak
menonjolkan atau lebih mengutamakan salah satunya.
b) Dasar-dasar psikofisisnya
Yang dimaksud dasar-dasar psikofisis ialah dasar-dasar kejiwaan dan
kejasmanian manusia. Realitas psikofisis manusia menunjukan bahwa pribadi
manusia merupakan kesatuan antara:
(1) Potensi-potensi dan kesadaran rohaniah baik segi pikir, rasa, karsa, cipta,
maupun budi-nurani;
(2) Potensi-potensi dan kesadaran jasmaniah yakni jasmani yang sehat dengan
panca indra yang normal yang secara fisiologis bekerja sama dengan
sistem saraf dan kejiwaan; dan
(3) Potensi-potensi psikofisis ini juga berada di dalam suatu lingkungan
hidupnya baik alamiah (fisik) maupun sosial-budaya (manusia dan nilai-
nilai).
Ketiga kesadaran ini menampilkan watak dan kepribadian seseorang sebagai
suatu keutuhan.
c) Dasar-dasar sosiobudaya
Meskipun manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang merupakan bagian
dari umat manusia dan alam semesta, namun manusia Indonesia terbina oleh
tata-nilai sosio-budayanya sendiri. Inilah segi-segi sosiobudaya bangsa dan
sosio-psikologis manusia yang wajar diperhatikan oleh pendidikan. Tiap
warga negara dan tiap generasi bangsa Indonesia merupakan bagian dari tata
nilai dimaksud; mereka juga merupakan pewaris dan penerus tata nilai
tersebut. Kesadaran demikian akan berkembang jika manusia Indonesia
menyadari dan menghayati bahwa dirinya merupakan bagian yang bulat dari
rakyat/bangsa Indonesia dan kebudayaannya (sosiobudayanya).
Dimensi sosiobudaya bangsa itu mencakup:
(1) Tata nilai warisan budaya bangsa yang menjadi filsafat hidup rakyatnya
seperti nilai ketuhanan, kekeluargaan, musyawarah, mufakat, gotong
royong dan tenggang rasa (tepa selira);
8
(2) Nilai-nilai filsafat negaranya, yakni Pancasila;
(3) Nilai-nilai budaya dan tradisi bangsanya seperti bahasa nasional, adat
istiadat, unsur-unsur kesenian dan cita-cita yang berkembang; dan
(4) Tata kelembagaan dalam hidup kemasyarakatan dan kenegaraan baik yan
nonformal (paguyuban-paguyuban); maupun yang formal seperti
kelembagaan negara menurut Undang-Undang Dasar. Termasuk juga tata-
sosial ekonomi rakyat.
Pendidikan berkewajiban menanamkan kesadaran penghayatan untuk mampu
mengamalkan dan melestarikan tata nilai. Karena kelestarian tata nilai di atas
tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan manusia Indonesia. Ini berarti generasi
muda wajib menyadari bahwa hidupnya ada di dalam dan untuk tata nilai
tersebut. Bahkan pendidikan merupakan usaha dan lembaga untuk mewariskan
dan melestarikan keseluruhan tata nilai sosio-budaya bangsanya, di samping
menguasai nilai-nilai ilmu pengetahuan dan teknologi.
b. Tujuan
Tujuan pendidikan manusia seutuhnya dan seumur hidup ialah:
a. Untuk mengembangkan potensi kepribadian manusia sesuai dengan kodrat dan
hakikatnya, yakni seluruh aspek pembawaannya seoptimal mungkin.
b. Berlangsung selama manusia hidup seirama dengan pertumbuhan kepribadian
manusia yang bersifat dinamis.
Penjelasan:
(1) Potensi jasmani (fisiologis dan panca indra) menurut ilmu kesehatan
memerlukan gizi dan berbagai vitamin termasuk udara yang bersih dan
lingkungan yang sehat sebagai prakondisi hidupnya. Jika kebutuhan
jasmaniah ini sebagian tidak tercukupi, maka tubuh orang yang
bersangkutan akan lemah; bahkan dapat sakit. Karena itulah ilmu
kesehatan dan ilmu ekonomi berusaha meningkatkan kesejahteraan
(jasmani) manusia.
(2) Potensi rohaniah (psikologis dan budi nurani) juga membutuhkan
“makanan”. Makanan rohaniah ini terutama kesadaran cinta kasih,
kesadaran kebutuhan/keagamaan, dan nilai-nilai budaya (ilmu
pengetahuan, sastra dan filsafat). Supaya kepribadian kita sehat dan
sejahtera (mental hygiene), di samping itu juga rohani kita harus tenang,
9
sabar, optimis, mempercayai orang lain, bahkan mencintai sesama
manusia, tidak iri hati, tidak menyimpan rasa benci atau dendam, dan
sebagainya. Hidup rohani ini pangkal kebahagiaan manusia.
Dengan keseimbangan tyang wajar hidup jasmani dan rohani kita itu, berarti kita
mengembangkan keduanya secara utuh sesuai dengan kodrati kebutuhannya, akan
dapa terwujud manusia seutuhnya. Sebaliknya ada kecenderungan kadang-kadang
tanpa disadari kita lebih mengutamakan hidup jasmani dan keduniawian. Hal ini
terbukti dengan kebiasaan hidup yang melupakan kebutuhan nilai-nilai rohaniah
tersebut di atas.
Menurut ilmu kesehatan (kedokteran) modern banyak penyakit disebabkan oleh
faktor-faktor nonfisis; yakni adanya segi-segi psikosomatik. Artinya sumber-sumber
atau sebab penyakit berasal dari segi-segi kejiwaan (psikologis, sosio ataupun
ekonomi). Misalnya, remaja yang putus cinta dan sebagainya. Tegasnya, tujuan
pendidikan manusia seutuhnya ialah mengembangkan potensi-potensi kodrati
manusia secara proporsional sesuai dengan martabat kepribadiannya.
c. Implikasi
Sebagai satu kebijakan yang mendasar dalam memandang hakikat pendidikan
manusia dapat kita jelaskan segi implikasi ini sebagai berikut:
a. Pengertian implikasi
Ialah akibat langsung atau konsekuensi dari suatu keputusan. Jadi, sesuatu
yang merupakan tindak lanjut dari suatu kebijakan atau keputusan.
b. Segi-segi implikasi dari konsepsi pendidikan manusia seutuhnya dan seumur
hidup
(1) Manusia seutuhnya sebagai subjek didik atau sasaran didik;
(2) Proses berlangsungnya pendidikan; yakni waktunya seumur hidup
manusia.
Karena itu lebih menekankan, tanggung jawab pendidikan:
- Oleh subjek didik sendiri (tidak terikat kepada pendidikan formal);
- Untuk mengembangkan diri sendiri sesuai dengan potensi-potensi dan
minatnya;
- Berlangsung selama ia mampu mengembangkan dirinya.
c. Materi didikannya
10
Dengan mengingat potensi-potensi manusia seutuhnya itu maka dapatlah
dikembangkan wujud manusia seutuhnya dengan membina dan
mengembangkan sikap hidup:
(1) Potensi jasmani dan panca indra:
Dengan mengembangkan sikap hidup: sehat, memelihara gizi makanan,
olahraga yang teratur, istirahat yang cukup, lingkungan hidup bersih;
(2) Potensi pikir (rasional):
Dengan mengembangkan kecerdasan, suka membaca, belajar ilmu
pengetahuan yang sesuai dengan minat, mengembangkan daya pikir yang
kritis dan objektif.
(3) Potensi perasaan
- Perasaan yang peka dan halus dalam segi moral dan kemanusiaan
(etika) dengan menghayati tata nilai Ketuhanan/keagamaan,
kemanusiaan, sosial budaya, filsafat;
- Perasaan estetika dengan mengembangkan minat kesenian dengan
berbagai seginya, sastra dan budaya.
(4) Potensi karsa atau kemauan yang keras dengan mengembangkan sikap
rajin belajar/bekerja, ulet, tabah menghadapi segala tantangan, berjiwa
perintis (kepeloporan), suka berprakarsa, termasuk hemat dan hidup
sederhana.
(5) Potensi cipta dengan mengembangkan daya kreasi dan imajinasi baik dari
segi konsepsi-konsepsi pengetahuan maupun seni-budaya (sastra, puisi,
lukisan, desain, model).
(6) Potensi karya; konsepsi dan imajinasi tidak cukup diciptakan sebagai
konsepsi; semuanya diharapkan dilaksanakan secara operasional. Inilah
tindakan, amal, atau karya yang nyata. Misalnya gagasan yang baik tidak
cukup dilontarkan; kita berkewajiban merintis penerapannya.
(7) Potensi budi-nurani: kesadaran keutuhan dan keagamaan, yakni keadaan
moral yang meningkatkan harkat dan martabat manusia menjadi manusia
yang berbudi luhur, atau insan kamil; ataupun manusia yang takwa
menurut konsepsi agama masing-masing.
3. Eksistensi Pendidikan Sepanjang Hayat
11
Pendidikan sepanjang hayat (life long education) dalam prakteknya, sudah
dilaksanakan oleh manusia sejak manusia ada di dunia ini. Namun secara
konsepsional life long education merupakan suatu konsep baru dalam pendidikan.
Secara konsepsional dan kesadaran akan segala konsekuensinya baru dirasakan dan
disadari pada dekade akhir enam puluhan.
Menurut konsep life long education, pendidikan tidak terbatas oleh ruang dan
waktu. Pendidikan akan selalu berlangsung dalam totalitas kehidupan, di dalam
keluarga, suku bangsa, melalui agama, mesjid, gereja, sekolah formal, organisasi-
organisasi kerja, organisasi pemuda dan organisasi masyarakat pada umumnya,
membaca buku, mendengarkan radio, memperhatikan televisi, dan sebagainya.
Pada abad ke-19, sekolah merupakan suatu lembaga formal yang diperuntukan
bagi anak-anak, yang harus taat pada disiplin dan ketentuan-ketentuan yang sangat
ketat dan kaku. Sekolah merupakan suatu keharusan dan dianggap sebagai penyebab
utama kemajuan masyarakat dan industri yang sangat cepat. Sekolah merupakan
tempat untuk menempa anak-anak yang dipersiapkan untuk hidup. Menurut Hummel
pada waktu itu kehidupan seseorang dibagi menjadi tiga periode yang terpisah satu
sama lain, yaitu: (1) sekolah dan belajar, (2) kehidupan yang aktif, dan (3) usia lanjut.
Di sekolah nasib seseorang itu ditentukan, dan yang dituangkan dalam angka-angka
yang ditulis pada secarik kertas. Keadaan inilah di beberapa negara di dunia ini, yang
merupakan dorongan besar dalam menuju pembaruan suatu sistem pendidikan. Dan
muncullah suatu konsep pendidikan sepanjang hayat (life long education).
a. Latar Belakang Historis
Pertumbuhan masyarakat industri di Eropa, khususnya di Inggris telah
menciptakan kebutuhan pendidikan yang baru, terutama di kalangan orang
dewasa. Pada tahun 1919, komite pendidikan orang dewasa, Kementerian
Pendidikan Kerajaan Inggris, dalam suatu laporannya menggambarkan pendidikan
orang dewasa merupakan sebagai suatu kebutuhan nasional yang tetap, dan
merupakan suatu aspek yang tak dapat dipisahkan dengan peradaban manusia.
Laporan tersebut menyimpulkan, bahwa kesempatan untuk pendidikan orang
dewasa (adult education) harus bersifat universal dan sepanjang hayat. Laporan
inilah yang merupakan pertanda lahirnya istilah pendidikan sepanjang hayat (life
long education).
Dewasa ini konsep pendidikan sepanjang hayat diterima di mana-mana.
Merupakan suatu prinsip dasar yang dijadikan titik tolak dalam pemikiran tentang
12
pendidikan, dan selalu berdiri di belakang setiap usaha reformasi (pembaruan)
pendidikan.
Konsep pendidikan sepanjang hayat, merupakan hasil kerjasama internasional.
Konsep tersebut merupakan hasil pemilihan bersama, dan tukar pendapat serta
pengalaman-pengalaman, antara pengajar, peneliti, dan administrator dari
berbagai negara, yang disponsori oleh UNESCO dan CCC ( Council for Cultural
Cooperation) yang didirikan oleh dewan Eropa.
Dalam bulan Desember 1965 Komite Internasional UNESCO
mempertimbangkan sebuah laporan yang dikemukakan oleh Paul Lengrand
mengenai konsep berkelanjutan dalam pendidikan, dan menganjurkan agar
UNESCO membenarkan asas-asas “pendidikan sepanjang hayat”. Yaitu suatu
prinsip dimana seluruh proses pendidikan dianggap sebagai suatu yang secara
terus menerus di dalam seluruh kehidupan seseorang dari semenjak kanak-kanak
sampai kepada akhir hayatnya, oleh karena itu diperlukan suatu pengelolaan
secara terpadu.
Dalam tahun1965 salah satu dewan CCC mendiskusikan pendidikan sepanjang
hayat dan menganjurkan bahwa masalah tersebut mesti dijadikan topik
pembicaraan dalam setiap diskusi. Pada tahun 1967 CCC memutuskan bahwa
pendidikan sepanjang hayat mesti dipertimbangetiap diskusi. Pada tahun 1967
CCC memutuskan bahwa pendidikan sepanjang hayat mesti dipertimbangkan
sebagai suatu “guide line” dalam seluruh pelaksanaan pendidikan.
Dalam tahun 1968 suatu konferensi yang diselenggarakan UNESCO
membatasi 12 tujuan yang menjadi sasaran pendidikan secara internasional
(laporannya diterbitkan tahun1970, sebagai persembahan kepada tahun pendidikan
internasional), di antaranya adalah: “pendidikan sepanjang hayat”.
Pada tahun 1971 CCC menutup tahap pengkonsepan pendidikan sepanjang
hayat, dan pada tahun 1972 asas-asas pendidikan sepanjang hayat dikukuhkan
dalam bentuk laporan komisi internasional dalam bidang pengembangan
pendidikan, yang ketahui oleh Hdgar Faure, dan diberi judul “Learning to be: the
world of education today and tomorrow”. Komisi ini menekankan ide yang
fundamental yaitu life long education dan learning society, pendidikan sepanjang
hayat dan masyarakat belajar.
b. Makna dari Konsep
13
Pendidikan sepanjang hayat melihat jauh ke depan, berusaha untuk mencetak
manusia baru, membawa sistem nilai, merupakan suatu proyek masyarakat yang
sangat besar. Pendidikan sepanjang hayat merupakan suatu sistem pendidikan
yang cocok bagi orang-orang yang hidup dalam dunia transformasi, dan di dalam
masyarakat yang saling mempengaruhi, yaitu masyarakat modern. Manusia
tersebut harus mampu menyesuaikan dirinya secara terus menerus dengan situasi-
situasi baru.
Pendidikan sepanjang hayat merupakan jawaban terhadap kritik-kritik yang
dilontarkan terhadap sekolah. Sistem sekolah tradisional mengalami kesukaran
dalam menyesuaikan diri dengan perubahan zaman yang sangat cepat dalam abad
terakhir ini, dan tidak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan atau tuntutan-
tuntutan manusia yang makin meningkat. Kebutuhan manusia yang makin
meningkat, aneka ragam pekerjaan serta turun naiknya kesempatan kerja yang
sangat cepat, memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap masalah-masalah
pendidikan.
Pendidikan di sekolah yang hanya terbatas kepada tingkat pendidikan dari
kanak-kanak sampai dewasa tidak akan memenuhi persyaratan-persyaratan yang
dibutuhkan dunia yang berkembang. Dunia yang selalu berubah ini membutuhkan
suatu sistem pendidikan yang fleksibel. Pendidika mesti tetap bergerak dan
mengenal inovasi secara terus menerus.
Menurut konsep “pendidikan sepanjang hayat”, kegiatan-kegiatan pendidikan
dianggap sebagai suatu keseluruhan, seluruh sektor pendidikan merupakan suatu
sistem yang terpadu. Konsep ini mesti disesuaikan dengan kenyataan serta
kebutuhan masyarakat yang bersangkutan. Maka dalam hal ini suatu bangsa yang
telah maju (industri) akan memiliki kebutuhan yang berbeda dengan masyarakat
di negara berkembang. Apabila sebagian besar masyarakat suatu bangsa masih
banyak buta huruf, maka pemberantasan buta huruf di kalangan orang dewasa
memegang peranan penting dalam sistem pendidikan sepanjang hayat. Namun di
negara industri yang telah maju pesat, masalah bagaimana cara mengisi waktu
senggang akan memegang peranan penting dalam sistem ini.
4. Konsekuensi Pendidikan
a. Cara Belajar
14
Di dalam situasi dunia dimana transformasi berjalan dengan cepatnya, begitu
pula perkembangan ilmu dan teknologi, maka pendidikan tidak lagi terbatas hanya
semata-mata kepada transformasi pengetahuan saja.
Dalam belajar membutuhkan suatu standar pendidikan yang lebih fleksibel,
lebih dinamis, dan lebih terbuka terhadap dunia dan lingkungan sekitarnya. Harus
lebih menekankan pembentukan individu daripada hanya belajar semata-mata.
Guru harus mampu membangkitkan motivasi, kemauan yang kuat serta
keingintahuan dalam diri siswa. Para siswa mesti belajar kerja, belajar
menemukan dan mencipta, mengenal teori-teori serta fakta-fakta. Murid tidak
pasif, melainkan harus berpartisipasi dalam proses belajar. Para siswa mesti
dipersiapkan untuk belajar sendiri, dan berlatih sendiri.
Dalam belajar mesti dikembangkan tiga prinsip yang mencakup “self
management”, “self evaluation”, dan “self judgement”. Para siswa harus mampu
membimbing dirinya sendiri. Harus mampu menilai kemampuan, kemajuan, serta
kegagalannya sendiri. Maka dengan ini, diharapkan apabila nanti telah dewasa ia
akan mampu membuat pilihan serta keputusan sendiri secara rasional.
Dalam sistem seperti disebutkan di atas, guru bukan hanya pengajar,
melainkan harus menjadi pendorong. Kelas-kelas yang tradisional yang hanya
mengandalkan “ceramah” harus mulai ditinggalkan. Kelas harus diganti dengan
kelompok-kelompok belajar. Di mana para siswa dapat bekerja bersama-sama dan
bekerja bersama guru. Siswa tidak lagi dibebani tugas menghafal, melainkan ia
harus mampu menggunakan seluruh media informasi, dari mulai perpustakaan,
radio, televisi, sampai kepada pemanfaatan komputer. Mereka mesti belajar
bersama-sama dengan teman dan gurunya, baik di sekolah maupun di luar
sekolah.
b. Model Pendidikan
Dalam hal ini Charles Hummel mengemukakan ada empat model (bentuk)
pendidikan menurut konsep pendidikan sepanjang hayat, yaitu:
(a) Pre-school education
Bentuk ini menduduki tempat yang penting di dalam sistem
pendidikan sepanjang hayat. Pre-school education merupakan metode yang
menentukan dalam sistem pendidikan sepanjang hayat dan merupakan tempat
yang paling efektif dalam pembentukan kepribadian anak yang demokratis.
15
Yang dikembangkan dalam periode ini ialah, pertama kebebasan
psikologis (psychological independence) dan kedua sosialisasi anak
(socialization of the child), yang dibiasakan dengan permainan, pergaulan
dengan teman sebayanya (peers) serta kegiatan-kegiatan kelompok.
(b) Basic School
Setelah periode pre-school education, dilanjutkan kepada basic school
yang disebut juga “basic course of studies”. Fase ini lalu dibandingkan
dengan struktur pendidikan di negara industri bersesuaian dengan fase
kewajiban belajar (compulsary education), yaitu antara usia 6-16 tahun, yang
meliputi primary school dan tingkat pertama secondary school.
Kalau di Indonesia setaraf dengan pendidikan di sekolah dasar dan
sekolah menengah tingkat pertama (SMTP). Di Indonesia tidak menggunakan
istilah basic school karena ini akan dikacaukan dengan sekolah dasar,
melainkan menggunakan pendidikan dasar (basic education).
Pada fase ini diberikan pengetahuan yang esensial sebagai dasar dan
bekal bagi pendidikan selanjutnya. Pengetahuan dasar itu mencakup
penguasaan bahasa tertentu (nasional dan asing), matematika, dasar-dasar
metode dan teknik berpikir ilmiah, pendidikan sosial dan kewarganegaraan,
serta pendidikan artistik.
Basic education (pendidikan dasar) merupakan syarat minimum dari
pengetahuan, sikap, nilai, dan pengalaman-pengalaman yang harus dimiliki
setiap individu. Pendidikan umum harus mampu mendorong individu untuk
mengembangkan potensialitasnya, kreativitasnya pikiran kritisnya, yang akan
bermanfaat bagi dirinya maupun bagi bangsanya.
Pendidikan dasar harus mendorong para pemuda agar:
(1) Berpartisipasi secara efektif dalam kegiatan kehidupan ekonomi
negaranya;
(2) Menyumbangkan pikirannya demi kesatuan bangsa, dalam kegiatan
politik, budaya dan sosial, sebagai suatu pengabdian terhadap
masyarakatnya; dan
(3) Untuk mengembangkan kepribadiannya.
Pendidikan dasar merupakan suatu paket minimal dari pendidikan
(minimum package of education), yang menurut Coombs, disebut “minimum
16
essential learning needs” atau kebutuhan belajar yang esensial dan minimum,
yang meliputi enam unsur, yaitu:
(1) Sikap positif terhadap kerjasama dan tolong menolong dalam keluarga dan
sesama manusia, terhadap pekerjaan masyarakat dan pembangunan
nasional, dan juga terhadap belajar yang tidak pernah selesai, serta
pengembangan nilai-nilai etis.
(2) Menguasai huruf dan angka secara fungsional, yang dapat dipergunakan
untuk:
a. Membaca dan mengerti surat kabar, siaran penyuluhan pertanian, dan
petunjuk;
b. Menulis surat yang dapat dibaca oleh pembacanya; dan
c. Dapat menghitung, mengukur tanah, gedung, menghitung ongkos dan
laba pertanian, dan sebagainya.
(3) Memiliki pandangan yang ilmiah serta mengerti proses alam sekelilingnya.
(4) Pengetahuan fungsional dan keterampilan berkeluarga, termasuk di
dalamnya: melingdungi kesehatan keluarga, keluarga berencana,
memelihara bayi dan anak, dan sebagainya.
(5) Pengetahuan fungsional serta keterampilan untuk mencari nafkah.
(6) Pengetahuan fungsional serta keterampilan agar mampu berpartisipasi
dalam masyarakat, termasuk pengetahuan tentang sejarah nasional,
ideologi, struktur pemerintahan serta fungsinya, pajak, hak-hak dan
kewajiban sebagai warga negara, dan sebagainya.
Namun Coombs sendiri mengakui bahwa kebutuhan belajar yang
minimum dan esensial tersebut tidak sama untuk setiap tempat. Hal ini karena
adanya perbedaan dalam faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan
sosial, ekonomi, dan politik, serta perbedaan tujuan akhir dari masyarakat
yang bersangkutan.
(c) Vocational education (pendidikan jabatan)
Pada tingkat terakhir basic school disediakan dua pilihan di mana
individu dapat memilih pelajaran yang akan membawanya ke tingkat
pendidikan yang lebih tinggi, atau kepada vocational training.
17
Pada vocational education ini (pendidikan yang mempersiapkan
pekerjaan atau jabatan tertentu), mesti dihindarkan suatu kekhususan yang
mendetail karena tidak mungkin sekolah mampu meramalkan kebutuhan
individu di masa yang akan datang dalam hubungannya dengan pekerjaan.
Program pendidikan harus memberikan pengetahuan kecerdasan praktis dan
mengembangkan sikap serta pengetahuan yang akan menolong individu
mengin praktis dan mengembangkan sikap serta pengetahuan yang akan
menolong individu mengingatkan kembali pengajaran yang telah lalu.
(d) Adult education (pendidikan orang dewasa)
Pendidikan orang dewasa merupakan kunci dari sistem pendidikan
sepanjang hayat, sehingga menduduki tempat yang paling penting (utama)
dalam sistem pendidikan sepanjang hayat. Pendidikan orang dewasa mesti
dikembangkan secara maksimum dan berisikan program yang me“refreshing”
(penyegaran kembali yang diperoleh pada masa lampau) dan remedial
training. Dengan demikian akan dapat menolong mereka dalam menyesuaikan
diri dengan situasi-situasi pekerjaan yang baru, melibatkan diri dalam
kegiatan-kegiatan kultural, dan memanfaatkan waktu senggang seefisien
mungkin.
Selanjutnya yang perlu diketahui bahwa pendidikan sepanjang hayat
tidak berhenti setelah selesai sektor sekolah (pendidikan formal), karena kalau
demikian arti sesungguhnya dari pendidikan sepanjang hayat akan hilang.
Ciri khas pendidikan sepanjang hayat adalah tidak mengenal putus dan
istirahat, tetapi terus menerus dan terpadu, terutama antara tingkat sekolah dan
tingkat setelah sekolah, begitu juga antara sekolah dan pendidikan orang
dewasa. Sesuatu hal yang sangat penting lagi ialah, bahwa sekolah harus
membuka jalan ke arah dunia dewasa dan mempersiapkan anak-anak muda
untuk kehidupan di masa dewasanya, dalam hal ini pendidikan merupakan
bagian yang “intrinsik” dari dirinya.
5. Pembaruan Sistem Persekolahan
a. Sasaran
Dalam menentukan sasaran ada dua pendekatan, yaitu yang dikemukakan oleh
R.H. Dave, dan yang lainnya ialah pendekatan Bertrand Schvart sebagai ketua dari
CCC (Central for Cultural Cooperation).
18
Pendekatan yang dilakukan oleh Dave memusatkan kepada hal bagaimana
memulai suatu proses life long education dalam kehidupan seseorang, dalam
suatu rumusan yang ia sebut “enhancement of educability”. Maksudnya
bagaimana menjadikan seseorang supaya jadi manusia yang terdidik di seluruh
kehidupannya dan menerima pendidikan sebagai suatu dimensi yang merupakan
maha penting dalam hidupnya.
Sementara B. Schwartz tertarik akan dimensi “pendemokrasian pendidikan”
(democratization of education) yang dapat diperoleh melalui pendidikan
sepanjang hayat.
Ada empat sasaran dari sekolah sehubungan dengan asas pendidikan
sepanjang hayat, yaitu:
a) Sasaran pertama yang dikemukakan oleh Dave ialah kesadaran akan
kebutuhan pendidikan sepanjang hayat. Bagi Schwartz sasarannya ialah sikap
yang aktif terhadap pendidikan yang diarahkan dalam aktivitas kehidupan
sehari-hari.
b) Sasaran kedua yang dikemukakan oleh Dave, ialah peningkatan faktor
“educability”. Di pihak lain B. Schwartz menekankan pentingnya siswa
mengindividualkan tingkat pengetahuan dan pemahaman yang diperoleh.
c) Sasaran ketiga yang dikemukakan oleh Dave, dalam rumusan “exposure to
broad areas of learning”. Bagi Schwartz dan kelompoknya, menentang kaum
encylopedisme dari sekolah tradisional dan mencoba menggantinya dengan
mempelajari secara mendetail berbagai lapangan yang sangat terbatas, namun
dipelajari secara multidisipliner.
d) Sasaran yang keempat, keduanya (baik Dave maupun Schwartz)
menghubungkan pengalaman sekolah dengan pengalaman luar sekolah, atau
dengan kata lain mengintegrasikan situasi pendidikan yang berbeda.
Pengalaman-pengalaman yang terdapat dalam kedua sektor tersebut cenderung
saling menguatkan satu sama lainnya.
b. Isi Program
Silabus mesti fleksibel dan memuat dasar yang luas untuk belajar berikutnya.
Di sekolah dasar anak mesti mampu memperoleh bekal pengetahuan yang umum.
Mata pelajaran yang mesti ditanamkan ialah mata pelajaran yang instrumental dan
bahasa. Pengajaran mesti mulai dari pengetahuan yang khusus menuju ke arah
19
aspek-aspek disiplin yang struktural. Dengan kata lain murid mesti diberikan
landasan yang kuat, dan alat-alat yang diperlukan dalam studi berikutnya. Penting
sekali untuk menghubungkan pengalaman-pengalaman belajar dengan kehidupan
yang sesungguhnya dan lingkungan alam sekitar murid.
Masalah penting lainnya ialah berusaha menghubungkan belajar dengan kerja
praktis, yang merupakan suatu alat yang prinsipil untuk memperkaya
pengajarannya dan perkembangan kreativitasnya.
c. Metode dan Alat
Yang pertama perlu dikembangkan ialah kerja bebas (independent work).
Siswa mesti berdiri secara otonom dan percaya akan kemampuannya dalam
belajar sendiri. Seperti Dave mengemukakan “everyloaner should become his own
teacher.”
Selanjutnya mesti dikembangkan untuk belajar yang disebut “reciprocal
learning” (cara belajar saling memberi, tukar menukar pengalaman, atau
pengetahuan) sehingga murid dapat saling membantu dan saling mendorong satu
sama lain. Dalam kerja kelompok dibutuhkan bimbingan guru, sedangkan dengan
cara ini bimbingan guru mesti dikurangi secara bertahap seiring dengan
perkembangan dan kematangan murid itu sendiri.
Penggunaan hasil teknologi dalam pendidikan merupakan suatu keharusan,
supaya pendidikan berjalan secara efektif dan efisien. Penggunaan teknologi
tersebut tidak secara pasif melainkan juga secara aktif. Misalnya penting
mengetahui bagaimana menjalankan dan menguasai televisi, radio, cctv dan
sebagainya.
d. Proses Evaluasi
Tujuan evaluasi tidak lagi ditujukan sebagai proses pemilihan yang bisa
mengakibatkan pengulangan kelas dan kegagalan (bagi masyarakat hal ini adalah
mahal, sedangkan bagi individu akan menimbulkan frustasi), melainkan untuk
membimbing dan menolong anak didik ke arah kemajuan.
Evaluasi mesti mempunyai fungsi formatif. Dalam hal ini evaluasi mesti
fleksibel dan mesti dihubungkan dengan self evaluation, sehingga murid itu
sendiri akan berpartisipasi dalam membimbing dan mengarahkan dirinya sendiri.
20
Evaluasi yang baik didasarkan atas sistem kredit, dan dilakukan secara terus
menerus.
e. Struktur
Sekolah berdasarkan konsep pendidikan sepanjang hayat, tidak boleh
merupakan suatu lembaga yang terisolasi, yang terpisah dari lingkungan dan
masyarakatnya. Sekolah harus terpadu secara vertikal maupun secara horizontal.
Secara vertikal, sekolah harus merupakan suatu kesatuan dengan tingkat-tingkat
yang lainnya, baik di bawahnya maupun di atasnya. Misalnya SMP harus terpadu
dengan sekolah dasar maupun dengan SMA yang berada di atasnya. Sekolah harus
memberikan pendidikan dasar (basic education) terutama pada tingkat sekolah
dasar (tingkat permulaan), yang akan diperkaya pada tingkat pendidikan yang
lebih tinggi ataupun pada berbagai macam lembaga pendidikan setelah sekolah.
Integrasi secara horizontal dapat dilakukan dengan mendorong mobilitas di
antara tingkat-tingkat pendidikan, antara situasi-situasi dalam pendidikan, waktu
kerja dan waktu senggang, dan dengan mengintegrasikan pendidikan dengan
kehidupan pekerjaan.
6. Pendidikan Recurrent (Recurrent Education)
Recurrent education merupakan sistem yang terutama akan menyangkut
orang-orang dewasa dan mendapat tempat yang layak dalam konsep pendidikan
sepanjang hayat. Ide ini diperkirakan lahir di Swedia, di mana Komisi Pendidikan
Swedia yang didirikan tahun 1968 mengeluarkan suatu analisis tentang recurrent
education dengan titel (dalam bahasa Swedia): Higher education, its function and
structures (1969). Kemudian pada tahun yang sama (1969) Menteri Pendidikan
Swedia Olof Palme mengemukakan asas-asas recurrent education dalam Konferensi
Menteri-Menteri Pendidikan Eropa di Versailles.
Para ahli mengemukakan pandangan-pandangan yang berbeda tentang
recurrent education ini, namun pada prinsipnya dapat dikemukakan sebagai berikut:
Recurrent education adalah untuk memperkenalkan suatu sistem “sandwich”, dengan
sistem tersebut setiap individu akan memiliki kesempatan untuk melanjutkan kembali
belajar atau pendidikannya dengan sistem ini yang akan mengubah waktu kerja atau
waktu senggang dengan waktu/periode pendidikan seumur hidup (OCED dan Stoikov,
olahan, Hummel, 1977).
21
Dengan sistem tradisional seorang siswa yang belajarnya terhambat karena
berbagai alasan, akan mendapat kesukaran-kesukaran untuk melanjutkan belajarnya,
seperti seseorang yang loncat dari kereta api yang sedang laju, maka akan sulit untuk
menaikinya kembali. Dengan recurrent education hal tersebut dapat diatasi dengan
mudah.
Ada beberapa alasan yang mendorong penerimaan terhadap recurrent
education, diantaranya:
1) Prinsip keadilan-persamaan (equity). Dengan memberikan kesempatan yang kedua
atau ketiga kalinya untuk belajar, tidak disangkal lagi sistem ini dapat
memberikan sumbangan yang efektif bagi keadilan dan persamaan dalam
pendidikan.
2) Sistem ini juga dapat menciptakan ikatan yang lebih erat antara pendidikan
dengan dunia kerja. Mendorong generasi muda untuk memasuki dunia aktif
secepatnya (dunia aktif-periode kerja) dan memungkinkan pendidikan untuk dapat
menyesuaikan dengan berbagai lapangan kerja.
a. Contoh Recurrent Education
Di Yugoslavia, di beberapa fakultas negeri diperkenalkan sistem diploma.
Program empat tahun dibagi menjadi empat bagian yang masing-masing
mengarahkan kepada pencapaian diploma.
Di Indonesia juga sejak tahun 1979 sudah diperkenalkan dan dilaksanakan
sistem diploma di perguruan tinggi. Perguruan tinggi di samping
menyelenggarakan program gelar, yaitu program S1, S2, dan program S3, juga
menyelenggarakan program D1 (Diploma satu), D2, dan D3, dengan
menggunakan sistem kredit. Seseorang yang sudah menyelesaikan program D1
(Diploma satu), yang lamanya satu tahun, ia dapat bekerja dahulu, kemudian bisa
masuk lagi ke D2, dan seterusnya ke D3. Bahkan mereka yang mendapatkan
program D3 (Diploma tiga), dengan alih kredit setelah mendapatkan penilaian dari
pimpina universitas dapat melanjutkan ke program S1 (sarjana satu-program
gelar).
Di RRC, mereka yang telah tamat sekolah menengah atas harus bekerja
terlebih dahulu sekurang-kurangnya selama dua tahun. Setelah itu, ia dapat
melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi.
22
Di negara-negara Eropa Timur ada program “Part Time study”. Program ini
merupakan bagian penting dalam pendidikan tinggi dan menengah, yang terutama
diperuntukkan bagi para pekerja. Dalam program ada yang menyelenggarakan
sekolah malam (high course); belajar dengan surat menyurat; belajar luaran (out
side study). Dalam studi luaran murid-murid atau para mahasiswa tidak
mempunyai hubungan dengan sekolah-sekolah atau universitas, kecuali pada
waktu memilih atau mengambil program dan melaksanakan ujian.
b. Kritik terhadap Recurrent Education
Mark Blaug dan Vladimir Stoikov memberikan kritik dan evaluasi terhadap
recurrent education, terutama keefektifan dari segi ekonomi dan sistem. Mereka
memperingatkan agar hati-hati untuk melaksanakan recurrent education.
Dipandang dari sudut ekonomi, penangguhan atau perpanjangan (lebih dari
lima tahun) suatu studi bukan merupakan suatu prosedur yang sehat. Mark Blaug
juga meragukan tentang kemungkinan berkurangnya ketidaksamaan dan
ketidakadilan dengan diselenggarakannya recurrent education itu. Karena
pengalaman menunjukan bahwa orang-orang yang telah mencapai suatu tingkat
yang tinggi akan jauh berbeda di tingkat rendah. Maka dengan sistem ini
ketidaksamaan dan ketidakadilan dalam pendidikan menurut Blaug akan semakin
jelas.
Bahaya lain dari recurrent education ini, sama halnya seperti pendidikan
sepanjang hayat secara keseluruhan. Dalam hal ini akan meningkatkan
sekelompok orang kepada suatu tingkat teratas secara terus menerus yang
akhirnya akan mengarah kepada tingkat sosial dan tingkat pendidikan yang lebih
tinggi. Akibat yang lebih jauh ialah bahwa suatu kesenjangan sosial maupun
pendidikan akan tetap makin melebar. Padahal sasaran utama pendidikan
sepanjang hayat tersebut justru untuk mengurangi bahkan kalau mungkin
menghilangkan kesenjangan tersebut.
Vladimir Stoikov menyimpulkan studinya tentang recurrent education sebagai
berikut: “Jika tidak dimulai dengan perencanaan dan persiapan yang matang,
recurrent education itu hanya akan menjadikan seluruh sistem pendidikan
manjadi lebih susah diatur daripada sebelumnya.”
7. Peranan Media Komunikasi Massa
23
Pendidikan sepanjang hayat berusaha menghilangkan rintangan-rintangan
sektor pendidikan yang beraneka ragam dan mencoba mengintegrasikan sistem yang
beraneka ragam tersebut, untuk mencapai suatu sasaran yang sama, tujuan yang akan
dicapai oleh masyarakat/bangsa yang bersangkutan dalam usaha pembangunannya. Di
samping itu pula pendidikan sepanjang hayat berusaha membebaskan seseorang atau
warga masyarakat dari tekanan struktur pendidikan yang ketat. Untuk mencapai
sasaran tersebut kiranya pendidikan sangat perlu untuk mencari dan menggunakan
teknik-teknik serta alat-alat baru, yang memungkinkan dapat menjangkau sasarannya
secara cepat dan tepat.
Untuk menjawab tantangan di atas, kiranya media komunikasi massa, akan
mampu diandalkan untuk memenuhinya. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan
apabila media komunikasi massa dipergunakan secara meluas dalam menunjang
kegiatan-kegiatan pendidikan yang berasaskan pendidikan sepanjang hayat.
Di bawah ini beberapa contoh, di mana media komunikasi massa memegang
peranan yang sangat penting dalam pelaksanaan pendidikan sepanjang hayat.
1) Di Inggris sejak tahun 1970 diperkenalkan Universitas Terbuka (Open
University). Dari namanya saja kita dapat menduga bahwa lembaga tersebut
terbuka bagi siapa saja, dengan suatu syarat sudah mencapai usia minimal 21
tahun. Program universitas terbuka ini hanya sampai tingkat sarjana muda
(bachelor), dan memperoleh ijazah.
2) Di negara Pantai Gading (Afrika), televisi sering dipergunakan di sekolah-
sekolah, di mana seluruh sistem pendidikan di transformasikan lewat televisi,
sehingga sekolah harus dilengkapi dengan pesawat televisi.
3) Radio dan televisi memegang peranan yang sangat penting dalam pelaksanaan
pendidikan luar sekolah, khususnya pendidikan orang dewasa. Radio akan
memberi pelayanan terhadap penduduk di pedesaan dalam meningkatkan
pengetahuan, keterampilan dasar (kebutuhan dasar yang minimum menurut
Coombs), dan memberi dorongan untuk ikut serta secara aktif dalam usaha
pembangunan bangsanya.
Diseluruh dunia dewasa ini kira-kira 400 program siaran pedesaan yang ditujukan
kepada para petani dan produser-produser primer lainnya. Di beberapa negara
terdapat juga kelompok-kelompok pendengar radio, yang diorganisasi terdiri dari
24
kira-kira 30 orang anggota (di Indonesia sudah dirintis sejak tahun 1968). Sistem ini
banyak diterapkan di banyak negara-negara Afrika.
Di Indonesia dewasa ini, bukan hanya radio, televisi pun sudah mulai menjangkau
pedesaan, terutama setelah listrik masuk desa. Bukan hanya radio yang sudah menjadi
milik rakyat, televisi pun kiranya sudah menjadi milik rakyat, dalam arti rakyat sudah
dapat menikmati siaran televisi. Sehingga untuk menjalankan asas pendidikan
sepanjang hayat tidak akan menghadapi kesulitan yang serius kalau dilihat dari sudut
media komunikasi. Terutama dalam mendorong warga masyarakat untuk belajar
secara terus-menerus.
Top Related