PENDIDIKAN MATEMATIKA SD 2
( Modul )
Oleh:M. Coesamin
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMPUNG2010
DAFTAR ISI
I. Teori Belajar Matematika ............................................................ 1
II. Strategi Pembelajaran Matematika .............................................. 9
III. Pemecahan Masalah Matematika ................................................ 15
IV. Pendekatan Keterampilan Proses ................................................ 18
V. Pendidikan Matematika Realistik ................................................ 20
VI. Merancang Pembelajaran Matematika .......................................... 22
BAB ITEORI BELAJAR MATEMATIKA
A. Teori Belajar Thorndike, Skinner, dan Gagne
1. Teori belajar Thorndike
Teori belajar Thorndike menggunakan stimulus-respon (S–R), dan disebut
koneksionisma. Menurut teori belajar S–R, belajar adalah pembentukan asosiasi (hubungan)
antara stimulus (rangsangan) dan respon (tanggapan). Terbentuknya
hubungan antara rangsangan dan tanggapan menurut Thorndike berdasarkan pada hukum
kesiapan (Law of Readiness), hukum latihan (Law of Exercise) dan hukum akibat (Law of
Effect).
Menurut hukum kesiapan, keberhasilan anak dalam mempelajari konsep atau struktur
matematika tergantung dari kesiapannya untuk mempelajari konsep atau struktur itu. Jadi
belajar akan sukses jika siswa telah siap untuk belajar. Kecenderungan anak untuk melakukan
tindakan belajar matematika beserta kesiapannya dapat dipelajari dengan membaca tabel
berikut.
Cenderung bertindak
Bertindak Puas. Tidak melakukan tindakan lain.
Cenderung bertindak
Tidak bertindak Tidak puas.Melakukan tindakan lain.
Tidak cenderung bertindak
Bertindak Tidak puas.Melakukan tindakan lain.
Menurut hukum latihan, pengulangan terhadap konsep-konsep yang dipelajari akan
menguatkan hubungan yang telah terjadi antara stimulus dan respon. Makin sering latihan
(pengulangan) diberikan makin kuatlah pemahaman anak terhadap yang dilatihkan itu.
Menurut hukum akibat, jika hubungan yang terjadi antara stimulus dan respon diikuti
oleh kondisi peristiwa yang sesuai, maka hubungan itu akan meningkat kekuatannya.
Tindakan yang diikuti akibat yang menyenangkan akan cenderung kali lain diulangi lagi, dan
sebaliknya. Ganjaran (mis. nilai baik) berakibat anak ingin melakukan kegiatan serupa, dam
hukuman (mis. nilai jelek) berakibat anak enggan mengerjakan matematika.
Mempelajari suatu materi matematika dapat efektif dan efisien jika bahan itu dibagi
menjadi beberapa bagian. Belajar bagian pertama dulu, kemudian bagian kedua, bagian
pertama dan kedua secara bersamaan, dan seterusnya. Eksperimen Watson (dalam Hudojo,
1990:18) menunjukkan adanya banyak sikap negatip peserta didik terhadap suatu mata
pelajaran karena peserta didik itu mengasosiasikan kepada suatu mata pelajaran yang tidak
menyenangkan.
2. Teori belajar Skinner
B.F Skinner berpendapat bahwa dalam belajar matematika, ganjaran atau penguatan
merupakan hal penting. Ganjaran merupakan tanggapan yang menggembirakan, sifatnya
subjektif, sedangkan penguatan merupakan sesuatu yang mengakibatkan meningkatnya
kemungkinan suatu respon, lebih mengarah ke hal-hal yang dapat diamati dan diukur. Ada
penguatan positip dan ada penguatan negatip.
Penguatan yang mengiringi perilaku siswa sehingga meningkatkan pengulangan
perilaku itu disebut penguatan positip. Penguatan dengan cara meniadakan sesuatu yang lain
dan meningkatkan hubungan stimulus-respon disebut penguatan negatip. Ganjaran dapat
diberikan dengan pujian, cemberut, nilai baik, ataupun nilai jelek, asal meningkatkan perilaku
siswa.
3. Teori belajar Gagne
Menurut Robert M. Gagne, orientasi belajar itu mengarah pada hasil belajar, bukan
pada prosesnya. Tujuan belajar menurut Gagne adalah perolehan kemampuan-kemampuan
yang telah dideskripsikan secara khusus dan dinyatakan dalam istilah tingkah laku. Menurut
Gagne, tahap belajar lebih tinggi itu berdasarkan atas tahap belajar yang lebih rendah.
Berbeda dengan pendapat Piaget, Gagne menyatakan bahwa ingatan merupakan klise realitas.
Objek belajar matematika secara langsung menurut Gagne adalah fakta, konsep,
aturan, dan keterampilan. Contoh fakta misalnya: angka, sudut, ruas garis, simbol, notasi.
Konsep yaitu ide abstrak yang memungkinkan seseorang untuk mengelompokkan objek-
objek ke dalam contoh dan bukan contoh. Dalam teori belajar Gagne dikatakan :”a concept in
mathematics is an abstract idea which enables people to classify objects or events and to
specify whether the objects and events are examples or nonexamples of the abstract
idea“(dari Teaching and Learning Mathematics by Frederick H. Bell, Iowa Wm. C.Brown
Publishers, tahun 1981, halaman 108). Aturan dalam matematika dapat berupa sifat, dalil,
teorema, dan rumus. Keterampilan yaitu kemampuan untuk menjawab atau mengerjakan
dengan cepat dan benar. Misalnya keterampilan membagi ruas garis menjadi dua sama
panjang.
Objek taklangsung yang dapat diperoleh dari belajar matematika yaitu transfer
belajar, kemampuan menyelidik dan memecahkan masalah, disiplin pribadi dan mandiri
(dalam bekerja, belajar), tahu bagaimana seharusnya belajar, bersikap positip terhadap
matematika, apresiasi pada struktur matematika, dan lain-lain.
B. Teori Belajar Piaget, Bruner, Dienes, dan Ausubel
1. Teori Belajar Piaget
Menurut Jean Piaget, struktur mental (Scheme) manusia berkembang secara bertahap dari
berpikir secara konkret ke arah berpikir secara abstrak. Ada empat tahap perkembangan
struktur mental anak, yaitu:
(a) Tahap sensori motorik
Dalam usia 0 – 2 tahun ini anak mengalami perkembangan mental yang ditandai adanya
gerakan-gerakan sebagai reaksi langsung dari rangsangan. Guru perlu menyadari bahwa
dasar-dasar pertumbuhan mental dan belajar matematika sudah mulai dikembangkan sejak
usia dalam tahap tersebut.
(b) Tahap praoperasional
Dalam usia 2 – 7 tahun ini anak sudah mulai mampu mengaitkan kata atau istilah dengan
objek yang diwakili oleh kata atau istilah itu. Periode ini juga dikenal dengan nama periode
pemberian simbol. Anak mulai menggunakan bahasa untuk menyatakan ide, tetapi ide
tersebut masih sangat tergantung pada persepsi.
(c) Tahap operasi konkret
Logika berpikir anak dalam usia 7 – 12 tahun ini masih didasarkan pada manipulasi fisik
dari objek-objek. Ide tentang konservasi dapat diterima secara baik (mantap) oleh anak pada
tahap operasional konkret ini. Guru sekolah dasar perlu mengetahui secara detail
perkembangan scheme anak pada tahap operasi konkret karena usia anak sekolah dasar
mengindikasikan bahwa mereka berada pada tahap operasi konkret.Operasi logik anak pada
tahap ini didasarkan atas manipulasi fisik dari objek-objek. Pengerjaan-pengerjaan logik
dapat dilakukan dengan berorientasi ke objek-objek atau peristiwa- peristiwa yang langsung
dialami anak, masih terikat pada pengalaman-pengalaman pribadi.
(d) Tahap operasional formal
Anak mulai berpikir secara abstrak, dapat mengaitkan hal-hal yang abstrak dengan dunia
nyata, dan tidak terlalu bergantung kepada benda-benda konkret. Anak-anak pada periode ini
sudah mampu memberikan alasan dengan menggunakan lebih banyak simbol atau gagasan
dalam cara berpikirnya, dapat mengoperasikan argumen-argumen tanpa dikaitkan dengan
benda-benda empirik. Anak-anak pada tahap ini dikelompokkan ke dalam empat taraf
berpikir, yaitu: (1) taraf berpikir konkret, (2) taraf berpikir semi konkret, (3) taraf berpikir
semi abstrak, dan (4) taraf berpikir abstrak.
Menurut Piaget, belajar merupakan proses asimilasi dan atau akomodasi informasi ke
dalam struktur mental.
Asimilasi adalah terpadunya informasi dan pengalaman baru ke dalam struktur mental
(Scheme). Asimilasi dapat terjadi jika informasi baru yang diterima anak sesuai dengan
struktur mental anak. Jika informasi atau pengalaman baru yang diterima anak tidak cocok
dengan struktur mental yang telah dimiliki anak sebelumnya, maka struktur mental dapat
mengalami akomodasi. Akomodasi yaitu perubahan pikiran sebagai suatu akibat adanya
informasi dan pengalaman baru. Ada kalanya informasi baru yang diterima anak itu
bertentangan dengan struktur mental yang telah dimiliki sebelumnya, sehingga dalam struktur
mental anak itu terjadi disekuliberasi (ketidakseimbangan). Dalam kondisi inipun perlu
adanya akomodasi dalam scheme anak, yang selanjutnya dapat diikuti dengan asimilasi.
2. Teori Belajar Bruner
Menurut Jerome S. Bruner, belajar matematika berarti belajar tentang konsep-konsep
dan struktur-struktur matematika yang terdapat pada materi matematika yang dipelajari, dan
mencari hubungan antara konsep-konsep dan struktur-struktur matematika tersebut. Menurut
Bruner, siswa lebih mudah mengingat suatu materi matematika jika materi tersebut
mempunyai pola dan struktur.
Dalam pandangan Bruner, anak belajar matematika itu melalui tiga tahap sebagai
berikut.
(1) Tahap enaktif,
(2) Tahap ikonik,
(3) Tahap simbolik.
Ketika anak belajar pada tahap enaktif, anak yang belajar matematika haruslah
memanipulasi secara langsung objek-objek yang dipelajarinya. Misalnya anak belajar tentang
konsep bilangan asli kurang dari lima, berarti anak harus mengamati secara langsung benda-
benda yang dikaitkan dengan banyak benda itu, seperti satu batang lidi, dua batang lidi, tiga
batang lidi, empat batang lidi, dan lima batang lidi.
Pada belajar tahap ikonik, anak memanipulasi gambar dari objek-objek. Misalnya
anak belajar tentang konsep bilangan asli kurang dari lima, anak tersebut tidak lagi
mengamati benda-benda secara langsung, melainkan hanya mengamati gambar atau
gambaran dari benda-benda yang dikaitkan dengan banyaknya, seperti gambar satu butir
kelereng, gambar dua butir kelereng, dan seterusnya sampai gambar lima butir kelereng.
Anak yang belajar pada tahap simbolik tidak lagi memanipulasi objek-objek fisik,
tetapi menggunakan simbol-simbol secara langsung. Misalnya anak belajar tentang konsep
perkalian bilangan asli, anak bekerja langsung dengan lambang-lambang bilangan dan
lambang-lambang operasi penjumlahan dan perkalian.
Dalil-dalil teori belajar yang dikemukakan oleh Bruner yaitu: dalil konstruksi, dalil
notasi, dalil perbedaan dan variasi, dan dalil pengaitan. Menurut dalil konstruksi, anak belajar
konsep dan prinsip matematika itu dimulai dengan mengkonstruksi (menyusun) sendiri
gagasan-gagasan yang dipelajarinya. Gagasan-gagasan yang disusun oleh anak melalui
benda-benda konkret akan menimbulkan pengertian bagi anak itu sendiri sehingga anak itu
mudah mengingat gagasan tersebut.
Dalam dalil notasi, Bruner mengemukakan bahwa konstruksi permulaan belajardibuat
lebih sederhana secara kognisi dan dapat dimengerti lebih baik oleh anak jika konstruksi itu
menggunakan notasi yang sesuai dengan tingkat perkembangan mental anak.
Sesuai dengan dalil perbedaan dan variasi, Bruner mengemukakan bahwa anak lebih
mudah memahami konsep-konsep contoh dan non-contoh, serta melalui contoh-contoh yang
bervariasi.
Menurut dalil pengaitan, setiap konsep, struktur, dan keterampilan dalam matematika
selalu berhubungan atau berkaitan dengan konsep, struktur, dan keterampilan yang lain.
Konsep-konsep, struktur-struktur, dan keterampilan-keterampilan matematika yang dipelajari
siswa menjadi bermakna jika dikaitkan dengan konsep, struktur, dan keterampilan yang lain
dalam matematika.
3. Teori Belajar Dienes
Zoltan P.Dienes mengemukakan bahwa setiap konsep atau prinsip matematika dapat
dimengerti secara sempurna hanya jika pertama-tama disajikan kepada anak dalam bentuk
konkret. Dienes menekankan pentingnya memanipulasi objek-objek dalam bentuk permainan.
Konsep-konsep dalam matematika dipelajari menurut tahap-tahap bertingkat dalam bentuk
permainan.
4. Teori Belajar Ausubel
Belajar dikatakan bermakna (meaningful) menurut D.P. Ausubel bila informasi yang akan
dipelajari siswa disusun sesuai dengan struktur kognitif yang dimiliki siswa. Dengan
demikian siswa mampu untuk mengaitkan informasi baru dengan struktur kognitif yang
dimilikinya. Dengan belajar bermakna, ingatan siswa menjadi kuat dan transfer belajar
mudah dicapai.
Dalam penyajian informasi diperlukan “pengatur lanjut” (advance organizer) agar informasi
baru itu menjadi bermakna bagi siswa.
Menurut Ausubel, “pengatur” (organizer) itu lebih dahulu ada sebelum informasi baru
dipelajari. Jika hirarki belajar Gagne itu dari yang sederhana meningkat ke yang lebih
inklusif, tetapi menurut hirarki Ausubel, belajar itu dari yang inklusif ke yang sederhana.
C. Teori Belajar Van Hiele
Van Hiele pernah mengadakan penelitian tentang bagaimana belajar anak geometri. Menurut
van Hiele, siswa yang belajar geometri mengalami 5 tahap belajar, yaitu: (a) pengenalan, (b)
analisis, (c) pengurutan, (d) deduksi, dan (e) akurasi. Pada tahap pengenalan, siswa belajar
mengenal bentuk-bentuk geometri. Pada tahap ini, anak baru pada tahap mengenal bangun-
bangun geometri seperti tabung, kotak, bola, kubus, segitiga, persegi, dan lain-lain. Anak
belum dapat menyebutkan sifat-sifat. Yang perlu diperhatikan ialah bahwa, pada tahai ini
jangan sampai anak diajarkan sifat-sifat bangun-bangun geometri
Pada tahap analisis siswa belajar sifat-sifat yang dimiliki benda geometri yang diamati, dan
menyebutkan keteraturan yang terdapat pada benda geometri itu. Anak sudah dapat
memahami sifat-sifat dari bangun-bangun geometri, sudah mengenal sifat-sifat bangun
geometri, seperti banyak sisi sebuah kubus ada 6 buah, sedangkan banyak rusuknya ada 12.
Anak belum mampu mengetahui hubungan yang terkait antara suatu bangun geometri dengan
bangun geometri lainnya. (mis. belum dapat membedakan balok dengan kubus).
Pada tahap pengurutan, siswa dapat mengurutkan benda-benda geometri, termasuk
memahami bahwa persegi termasuk jajargenjang. Anak belajar sifat-sifat yang dimiliki benda
geometri yang diamati, dan menyebutkan keteraturan yang terdapat pada benda geometri itu.
Anak sudah mampu mengetahui hubungan yang terkait antara suatu bangun geometri dengan
bangun geometri lainnya. Anak dapat mengurutkan benda-benda geometri, termasuk
memahami bahwa persegi termasuk jajargenjang,memahami jajargenjang itu trapesium, belah
ketupat adalah layang-layang, kubus itu adalah balok. Penarikan kesimpulan secara deduktif
dipahami, tetapi kurang baik.
Pada tahap deduksi siswa belajar manarik simpulan secara deduktif. Siswa menyadari
pentingnya unsur-unsur yang tidak didefinisikan dan yang didefinisikan. Siswa juga mulai
mampu menggunakan aksioma atau postulat dalam pembuktian. Anak mulai mampu
menggunakan aksioma atau postulat dalam pembuktian. Anak sudah dapat memahami
deduksi, yaitu mengambil kesimpulan secara deduktif. Contoh: untuk menunjukkan bahwa
jumlah sudut-sudut dalam jajargenjang adalah 360° secara deduktif dibuktikan dengan
menggunakan prinsip kesejajaran. Anak sudah mengerti pentingnya peranan unsur-unsur
yang tidak didefinisikan, unsur-unsur yang didefinisikan, aksioma atau postulat, dan teorema.
Anak belum memahami kegunaan dari suatu sistem deduktif, belum dapat menjawab
pertanyaan “mengapa sesuatu itu dijadikan teorema atau dalil.”
Pada tahap akurasi, siswa menyadari pentingnya ketepatan prinsip-prinsip dasar yang
mendasari suatu pembuktian. Anak sudah memahami betapa pentingnya ketepatan dari
prinsip-prinsip dasar yang melandasi suatu pembuktian. Anak sudah memahami mengapa
sesuatu itu dijadikan postulat atau dalil.
Menurut van Hiele, terdapat tiga unsur utama dalam pengajaran geometri, yaitu: waktu,
meteri pengajaran, dan metode pengajaran. Apabila ketiga unsur itu dikelola secara terpadu
dengan baik, maka peningkatan kemampuan berpikir anak lebih tinggi.
Bila dua orang mempunyai tahap berpikir yang berlainan, kemudian mereka bertukar pikiran,
maka keduanya tidak akan saling mengerti. Menurut Van Hiele seorang anak yang berada
pada tingkat yang lebih rendah tidak mungkin dapat mengerti atau memahami materi yang
berada pada tingkat yang lebih tinggi dari anak tersebut. Kalaupun anak itu dipaksakan untuk
memahaminya, anak itu baru bisa memahami melalui hafalan saja bukan melalui pengertian.
Untuk mendapatkan hasil yang diinginkan yaitu anak memahami geometri dengan
pengertian, kegiatan belajar anak harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak atau
disesuaikan dengan taraf berpikirnya. Menurut van Hiele, pengurutan topik-topik geometri
harus disesuaikan dengan tingkat kesukarannya.
BAB IISTRATEGI PEMBELAJARAN MATEMATIKA
A. Pembelajaran Matematika Menurut Pandangan Konstruktivisme
Sebelum membahas tentang pandangan konstruktivisme, pandanglah perbedaan aliran
tingkah laku dengan aliran perkembangan mental dalam dunia pendidikan. Terdapat
perbedaan antara pandangan tingkah laku dengan aliran perkembangan mental terhadap anak.
Menurut pandangan tingkah laku, anak merupakan organisme pasif yang bisa dikontrol dari
luar. Pembelajaran berarti membentuk perilaku anak dari luar dalam mempersiapkan anak
tersebut agar mengalami perubahan tingkah laku yang semula tidak mampu menjadi mampu
melakukan sesuatu. Pembentukan perilaku anak dilakukan melalui stimulus-respon secara
teratur, terarah, pemberian penghargaan (hadiah atau nilai), penguatan, dan sebagainya.
Keberhasilan pembelajaran berorientasi pada hasil pembelajaran, bukan pada prosesnya.
Motivasi dalam pandangan tingkah laku berasal dari luar.
Dalam aliran perkembangan mental, pembelajaran cenderung mengarah kepada pemberian
kesempatan kepada siswa untuk dapat menemukan sesuatu. Keberhasilan pembelajaran lebih
berorientasi kepada proses dengan cakupan yang luas. Dengan demikian kesiapan mental
anak sangat menentukan keberhasilan belajarnya. Motivasi dalam pandangan perkembangan
mental berasal dari dalam diri siswa. Pembelajaran berdasarkan pandangan konstruktivisme
tampaknya sejalan dengan psikologi perkembangan mental.
Belajar matematika berarti proses pemerolehan pengalaman bagi siswa melalui serangkaian
kegiatan yang telah direncanakan oleh pengajar sehingga siswa memperoleh kemampuan
(kompetensi) tentang materi matematika yang dipelajarinya.
Empat pilar belajar menurut UNESCO yaitu: (a) learning to kno, (b) learning to do, (c)
learning tobe, dan (d) learning to live together
Dalam pembelajaran, siswa dihadapkan kepada serangkaian kegiatan sehingga memiliki
pengalaman belajar yang berkaitan dengan: pengetahuan, ketermpilan, dan sikap. Proses
memperoleh pengalaman itu merupakan unsur yang sangat penting agar diperoleh hasil
belajar yang baik.
Untuk membekali siswa agar memiliki kompetensi yang memadai dengan tuntutan
perkembangan masa kini dan masa mendatang maka proses pembelajaran hendaknya
mempunyai prinsip sebagai berikut.
1. Pembelajaran berorientasi pada siswa
2. Mengembangkan strategi yang tepat dan beragam
3. Pembelajaran mengacu pada teori pendidikan dan teori belajar
4. Suasana belajarnya demokratis, partisipatif, dan kooperatif
5. Evaluasi hendaknya menyeluruh dan beragam ( selain tes, juga tugas, portofolio, karya
tulis, kinerja, dan lain lain).
6. Memperhatikan ciri pokok keilmuan dari bidang atau materi yang sedang dipelajari.
Pendekatan Konstruktivisme
Pendekatan konstruktivisme mendasarkan pada teori belajar Piaget. Menurut Piaget, manusia
memiliki struktur kognitif yang berupa skemata, yaitu kotak-kotak informasi (skema) yang
berbeda-beda. Setiap pengalaman akan dihubungkan dengan kotak-kotak informasi ini.
Struktur kognitif seseorang berkembang melalui dua cara, yaitu asimilasi dan akomodasi,
sebagai hasil interaksinya dengan lingkungan. Asimilasi adalah proses memasukkan
pengalaman baru secara langsung ke dalam kotak informasi yang sudah ada. Ini terjadi bila
pengalaman baru itu sama dengan isi kotak informasi yang tersimpan dalam struktur kognitif
seseorang. Akomodasi adalah proses memasukkan pengalaman baru secara tidak langsung ke
dalam kotak informasi yang sudah ada. Ini terjadi bila pengalaman baru tidak sesuai dengan
informasi yang sudah ada, dalam hal ini informasi yang sudah tersimpan dalam struktur
kognitif seseroang akan mengalami modifikasi. Sebagai contoh, seorang anak yang melihat
macan untuk pertama kali mungkin akan menganggapnya sebagai seekor kucing besar karena
dalam struktur kongnitif anak itu sudah ada kotak informasi mengenai kucing dan dia
berusaha memasukkan macan ke dalam kotak informasi kucing. Bila anak itu sudah mulai
mengerti bahwa macan bukan kucing, maka dia akan membentuk kotak informasi baru
mengenai macan atau memodifikasi kotak informasi kucing yang ada di dalam struktur
kognitifnya. Dengan cara inilah struktur kognitif seseorang berkembang semakin lengkap dan
rinci sesuai dengan pengalamannya.
Karakteristik utama belajar menurut pendekatan konstruktivisme adalah sebagai berikut
Belajar adalah proses aktif dan terkontrol yang maknanya dikonstruksi oleh masing-
masing individu;
Belajar adalah aktivitas sosial yang ditemukan dalam kegiatan bersama dan memiliki
sudut pandang yang berbeda; dan
Belajar melekat dalam pembangunan suatu artifak yang dilakukan dengan saling berbagi
dan dikritik oleh teman sebaya.
Beberapa prinsip pembelajaran berdasarkan pendekatan konstruktivisme adalah sebagai
berikut:
o Menciptakan lingkungan dunia nyata dengan menggunakan konteks yang relevan;
o Menekankan pendekatan realistik guna memecahkan masalah dunia nyata;
o Analisis strategi yang dipakai untuk memecahkan masalah dilakukan oleh siswa;
o Tujuan pembelajaran tidak dipaksakan tetapi dinegosiasikan bersama;
o Menekankan antar hubungan konseptual dan menyediakan perspektif ganda mengenai isi;
o Evaluasi harus merupakan alat analisis diri sendiri;
o Menyediakan alat dan lingkungan yang membantu siswa menginterpretasikan perspektif
ganda tentang dunia; dan
o Belajar harus dikontrol secara internal oleh siswa sendiri dan dimediasi oleh guru.
Prinsip-prinsip konstruktivisme yang banyak digunakan dalam pembelajaran matematika
antara lain:
Pengetahuan dibangun sendiri oleh siswa, baik secara personal maupun sosial;
Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru ke siswa;
Pengetahuan diperoleh siswa hanya dengan keaktifan sendiri;
Siswa terus aktif mengkonstruksi pengetahuannya sehingga konsep yang dimilikinya
menjadi semakin rinci, lengkap, dan ilmiah;
Guru hanya menyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi berjalan mulus.
Beberapa strategi pembelajaran matematika yang konstruktivis yaitu:
1. problems solving (pemecahan masalah)
2. problems posing
3. open-ended problems
4. mathematical investigation (penyelidikan matematis)
5. guided discovery (penemuan terbimbing)
6. contextual learning
7. cooperative learning
Dalam belajar menemukan dan menstranformasikan informasi menjadi miliknya sendiri,
siswa harus melakukan atau mengalaminya secara individu. Perubahan kognitif hanya
terjadi ketika konsepsi sebelumnya melewati suatu proses ketidakseimbangan/ disekuilibrasi.
Dalam teori belajar social, belajar melibatkan pikiran siswa dengan konsep yang bermanfaat
dan berdayaguna.
Pengetahuan dikonstruksi oleh siswa ketika siswa itu harus menjelaskan pengalamannya.
Siswa merupakan organisme aktif yang berusaha mencari makna tentang pengalaman yang
dialaminya. Proses konstruksi berlangsung secara terus menerus, dari membentuk,
mengelaborasi, dan menilai struktur mental sampai memuaskannya.
Belajar merupakan kegiatan dalam konteks yang bermakna. Tujuan utama belajar`adalah
berpikir. Dalam pembelajaran konstruktivis, guru mendorong siswa untuk dapat mengingat,
memahami konsep, menggunakan konsep, pengetahuan serta keterampilan secara aktiv untuk
memecahkan masalah. Dengan demikian, guru memfasilitasi terpenuhi kebutuhan siswa
untuk mencapai fleksibilitas kognitif.
Pembelajaran dalam pandangan konstruktivis, berarti mendorong siswa melakukan
pemecahan masalah, memiliki kemampuan menalar, berpikir kritis, menggunakan
pengetahuan yg telah dimiliki utk memecahkan masalah yg dihadapi.
Berkembangnya aliran konstruktivisme berdampak pada munculnya kesadaran tentang
pentingnya kekuatan atau tenaga matematikal (mathematical power). Kekuatan matematikal
tersebut antara lain kemampuan untuk:
Mengkaji, menduga, dan memberi alasan secara logis.
Menyelesaikan masalah-masalah yang tidak rutin
Mengkomunikasikan gagasan atau informasi melalui matematika
Mengaikan ide-ide di dalam matematika dan ide-ide antara matematika dan kegiatan
intelektual yang lain
Mengembangkan rasa percaya diri, watak atau karakter untuk mencari dan mengevaluasi
serta menggunakan informasi kuantitatif dan special dalam menyelesaikan masalah dan
membuat keputusan.
Hal-hal yang dapat menumbuhkan kesadaran tentang mathematical power
ketekunan/keuletan/kekerasan hati, minat (interest), keingintahuan (curiosity), dan daya temu
atau daya cipta (inventiness). Untuk mendukung usaha pembelajaran matematika yang
menumbuhkan mathematical power dibutuhkan guru matematika yang professional dan
kompeten. Guru matematika agar professional hendaknya menguasai berikut ini.
(1) Menguasai dan mampu melaksanakan pembelajaran matematika,
(2) Menguasai dan mampu melakukan evaluasi pembelajaran matematika
(3) Menguasai pengembangan profesional guru matematika
(4) Menguasai pendukung dan pengembang guru matematika dan pembelajaran matematika.
B. Pembelajaran Matematika Berbasis Kompetensi
Seiring dengan perkembangan paradigma tentang strategi pembelajaran dari berpusat pada
guru (teacher centered) menjadi berpusat pada siswa (student centered), cara pandang tentang
bagaimana siswa belajar dan memperoleh pengetahuan juga mengalami perkembangan.
Siswa merupakan makhluk hidup yang mempunyai kemampuan berpikir, maka siswa juga
mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya baik lingkungan
belajar maupun lingkungan hidupnya. Secara individual maupun kelompok mampu
membangun sendiri pengetahuannya melalui berbagai sumber belajar di sekitarnya, tidak
hanya bahan yang berasal dari guru.
Pembelajaran matematika berarti pemberian pengalaman belajar kepada siswa melalui
serangkaian kegiatan yang telah direncanakan sehingga siswa memperoleh kompetensi
tentang materi matematika yang dipelajari.
Strategi pembelajaran matematika merupakan salah satu komponen yang menentukan dalam
pencapaian kompetensi yang diharapkan. Strategi tersebut perlu menyesuaikan dengan:
(1) topik yang sedang dibahas atau dipelajari
(2) tingkat perkembangan siswa
(3) prinsip dan teori belajar
(4) keterlibatan aktif siswa
(5) keterkaitan dengan kehidupan siswa sehari-hari
(6) pengembangan dan pemahaman penalaran matematis
BAB IIIPEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA
A. Pengertian Masalah matematika
Masa depan siswa penuh dengan masalah yang tidak bias diprediksi semuanya dari sekarang.
Di pihak lain, guru berkewajiban untuk menyiapkan siswa agar di kelak kemudioan hari
dapat memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya. Guru perlu menyadari betul bahwa
di masa depan kelak banyak masalah-masalah yang akan dihadapi oleh siswanya.
Kemampuan memecahkan masalah di masa depan perlu disiapkan dari sekarang. Siswa perlu
memiliki kompetensi untuk memecahkan atau menyelesaikan masalah. Kompetensi untuk
memecahkan masalah akan dimiliki jika siswa membiasakan diri dengan latihan memecahkan
masalah
Sesuatu itu merupakan masalah atau tidak bergantung dari pengetahuan yang dimiliki si
penjawab. Suatu pertanyaan merupakan masalah jika dalam menjawabnya siswa perlu atau
harus mengorganisasikan pengetahuan-pengetahuan yang dimilikinya untuk menemukan
jawabannya. Suatu pertanyaan merupakan masalah jika orang tersebut belum mempunyai
prosedur rutin yang segera dapat dipergunakan untuk menjawab pertanyaan itu. Pertanyaan
merupakan masalah jika dapat dimengerti tetapi tidak dapat dijawab dengan prosedur yang
rutin. Pertanyaan merupakan masalah jika dapat dimengerti tetapi tidak dapat dijawab dengan
prosedur yang rutin.
Pemecahan masalah pada dasarnya adalah proses yang ditempuh oleh seseorang untuk
menyelesaikan masalah yang dihadapinya sampai masalah itu tidak lagi menjadi masalah
baginya. Suatu soal cerita berbentuk pemecahan masalah jika keberadaannya bukan
merupakan hal yang rutin. Suatu soal cerita berbentuk pemecahan masalah jika
keberadaannya bukan merupakan hal yang rutin. Latihan memecahkan masalah untuk
mengembangkan keterampilan memecahkan masalah perlu diberikan kepada anak sejak di
sekolah dasar. Di dalam matematika, soal matematika nonrutin yang prosedur
penyelesaiannya tidak sejelas atau tidak sama dengan prosedur yang sudah dipelajari siswa
dapat dikatakan sebagai soal pemecahan masalah.
Pedoman mengajar yang sifatnya teoritis atau konseptual untuk melatihkan siswa
memecahkan masalah-masalah matematika dengan menggunakan berbagai strategi
pemecahan masalah yang ada disebut sebagai pendekatan pemecahan masalah (Problem
Solving Approach). Pemecahan masalah penting untuk diajarkan pada siswa Sekolah Dasar,
karena pemecahan masalah dapat melatih siswa untuk mampu menggunakan berbagai
konsep, prinsip dan keterampilan matematikan yang telah atau sedang dipelajarinya untuk
memecahkan masalah matematika bahkan untuk memecahkan masalah dalam kehidupan
sehari-hari
B. Strategi Pemecahan Masalah Matematika
Guru perlu memiliki keterampilan untuk menyusun dan memecahkan masalah yang sesuai
dengan perkembangan siswa. Di ihak lain pedoman untuk menyelesaikan masalah memang
tidak ada (tidak ada cara pasti tentang bagaimana mengajarkan matematika dengan
pendekatan pemecahan masalah). Namun demikian ada semacam petunjuk bagi guru dalam
membantu siswa agar terampil memecahkan masalah. Guru perlu berusaha membantu siswa
agar siswa mampu memecahkan masalah. Guru perlu mengaktifkan siswa untuk
menyelesaikan masalah
Strategi pemecahan masalah matematika adalah suatu teknik penyelesaian soal-soal
pemecahan masalah matematika yang bersifat praktis. Strategi ini memuat komponen materi
matematika sebagai komponen yang paling penting.
Ada sebelas strategi yang sering digunakan dalam pemecahan masalah matematika, yaitu:
(1)Beraksi
(2)Membuat gambar atau diagram
(3)Membuat pola
(4)Membuat table
(5)Menghitung semua kemungkinan secara sistematis
(6)Menebak dan menguji
(7)Bekerja mundur
(8)Mengidentifikasi Informasi yang Diinginkan dan diberikan
(9)Menulis Kalimat terbuka
(10) Menyelesaikan Masalah yang lebih sederhana atau serupa
(11) Mengubah pandangan.
Secara garis besar ada empat langkah di dalam pendekatan pemecahan masalah matematika, yaitu:(1)Memahami masalah
(2)Membuat rencana untuk menyelesaikan masalah(3)Melaksanakan rencana yang dibuat pada langkah kedua(4)Memeriksa ulang jawaban yang diperoleh
Penerapan keempat langkah di atas di dalam pembelajaran pemecahan masalah di sekolah dasar dapat dilakukan secara klasikal maupun
kelompok dengan mengacu kepada empat langkah umum pembelajaran di sekolah dasar, yaitu (1) pendahuluan, (2) pengembangan, (3) penerapan, dan (4) penutup.
Agar keempat langkah pembelajaran di atas dapat dilakukan dengan baik, guru harus mempertimbangkan kemampuan siswa dalam memahami substansi materi yang ada pada permasalahan, keterampilan siswa melakukan perhitungan-perhitungan matematika, dan kemampuan guru menyiapkan soal-soal pemecahan masalah.
Guru harus mampu membantu siswa agar mampu memecahkan masalah dengan cara:
1) memberikan masalah kepada siswa setiap hari
2) menyelidiki apakah siswa sudah memahami masalah
3) merencanakan strategi penyelesaian
4) menyelesaikan masalah
5) mengecek hasil/jawaban
Cara mengaktifkan siswa untuk menyelesaikan masalah:
o Melatih siswa memahami masalah
o Menyajikan masalah tanpa bilangan
o Menyajikan masalah tanpa ada yang ditanyakan
o Menyajikan masalah dengan data yang kurang
o Menyajikan masalah dengan kelebihan data yang disyaratkan untuk memecahkan
masalah.
BAB IVPENDEKATAN KETERAMPILAN PROSES
A. Pengertian dan Prinsip Pendekatan Keterampilan Proses
Pendekatan keterampilan proses merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang sangat
relevan dengan prinsip-prinsip Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) dan pembelajaran
kontekstual (Contextual Teaching and Learning). Prinsip-prinsip yang harus muncul di dalam
CBSA ada delapan, yaitu: (1) motivasi siswa, (2) pengetahuan prasyarat, (3) tujuan yang akan
dicapai, (4) hubungan sosial, (5) belajar sambil bekerja, (6) perbedaan individu, (7)
menemukan, dan (8) pemecahan masalah.
Prinsip-prinsip pembelajaran kontekstual ada tujuh, yaitu : (1) konstruktivis (constructivism),
(2) inkuiri (inquiry), (3) bertanya (questioning),(4) masyarakat belajar (learning community),
(5) pemodelan (modeling), (6) refleksi (reflection) dan (7) penilaian yang sebenarnya
(authentic assestment).
Pendekatan keterampilan proses pada hakikatnya adalah suatu pengelolaan kegiatan belajar-
mengajar yang berfokus pada pelibatan siswa secara aktif dan kreatif dalam proses
pemerolehan hasil belajar. Secara garis besar, ada sepuluh prinsip yang harus muncul di
dalam pendekatan keterampilan proses, yaitu: (1) kemampuan mengamati, (2) kemampuan
menghitung, (3) kemampuan mengukur, (4) kemampuan mengklasifikasikan, (5) kemampuan
menemukan hubungan, (6) kemampuan membuat prediksi (ramalan), (7) kemampuan
melaksanakan penelitian, (8) kemampuan mengumpulkan dan menganalisis data, (9)
kemampuan menginterpretasikan data, dan (10) kemampuan mengkomunikasikan hasil
B. Implementasi Pendekatan Keterampilan Proses
Untuk menerapkan pendekatan keterampilan proses dalam pembelajaran matematika di Sekolah Dasar perlu mempertimbangan pengorganisasian kelas, metode/teknik pembelajaran yang sesuai, dan penilaian pembelajaran. Pengelolaan kelas dalam pembelajaran dengan pendekatan keterampilan proses dilaksanakan dengan pengaturan kelas, baik secara fisik maupun nonfisik. Pengaturan dilakukan sedemikian rupa agar siswa mempunyai keluasaan gerak, merasa aman, bergembira, dan bersemangat dalam belajar. Dengan kondisi yang demikian, hasil belajar yang diperoleh siswa akan maksimal.Penggunaan metode dalam pembelajaran dengan pendekatan keterampilan harus dirancang sedemikian rupa sehingga prinsip-prinsip keterampilan proses dapat muncul semaksimal mungkin di dalam pembelajaran. Metode-metode tersebut antara lain adalah ceramah, diskusi, dan penugasan (resitasi).
Untuk menilai kegiatan belajar dengan keterampilan proses, alat penilaian yang digunakan meliputi penilaian kognitif, afektif, dan psimotorik.
BAB VPENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK
A. Pengertian Pendidikan Matematika Realistik
Pendekatan matematika realistik merupakan sebuah teori pembelajaran matematika yang
berawal dari pandangan Hans Freudenthal. Pendidikan Matematika Realistik (PMR) atau
Realistic mathematics education (RME) ini memandang matematika sebagai kegiatan
manusia dan harus dikaitkan dengan realitas. Matematika harus dekat dan relevan dengan
kehidupan siswa sehari-hari. Selanjutnya, pembelajaran matematika dikemas sebagai proses
“penemuan kembali yang terbimbing”. Di sini siswa dapat mengalami proses yang sama
dengan proses penemuan ide dan konsep matematika. Proses penemuan kembali ide dan
konsep matematika ini dilakukan melalui matematisasi horizontal dan matematisasi vertikal.
Matematisasi horizontal adalah proses penyelesaian soal-soal kontekstual dari dunia nyata.
Dalam matematika horizontal, siswa mencoba menyelesaikan soal-soal dari dunia nyata
dengan cara mereka sendiri, dan menggunakan bahasa dan simbol mereka sendiri.
Matematisasi horizontal berarti bergerak dari dunia nyata ke dalam dunia symbol.
Matematisasi vertikal adalah proses formalisasi konsep matematika. Dalam matematisasi
vertikal, siswa mencoba menyusun prosedur umum yang dapat digunakan untuk
menyelesaikan soal-soal sejenis secara langung tanpa bantuan konteks. Matematisasi vertikal berarti bergerak di dalam dunia simbol itu sendiri
Karakteristik pembelajaran matematika realistik adalah sebagai berikut:
(1) menggunakan masalah kontekstual yang realistik;
(2) menggunakan model sebagai jembatan dunia abstrak dan dunia nyata;
(3) menghargai keanekaragaman jawaban siswa ;
(4) bersifat interaktif;
(5) berkaitan dengan bagian lain dalam matematika, mata pelajaran lain, dan kehidupan
nyata.
B. Strategi Pendidikan Matematika Realistik
Langkah-langkah pembelajaran matematika realistik adalah sebagai berikut.
1 Persiapan
a. Menentukan masalah kontekstual yang sesuai dengan pokok bahasan yang akan
diajarkan
b. Mempersiapkan model atau alat peraga yang dibutuhkan
2 Pembukaan
a. Memperkenalkan masalah kontekstual kepada siswa
b. Meminta siswa menyelesaikan masalah dengan cara mereka sendiri
3 Proses Pembelajaran
a. Memperhatikan kegiatan siswa baik secara individu ataupun kelompok
b. Memberi bantuan jika diperlukan
c. Memberi kesempatan kepada siswa untuk menyajikan hasil kerja mereka dan
mengomentari hasil kerja temannya
d. Mengarahkan siswa untuk mendapatkan strategi terbaik untuk menyelesaikan masalah
e. Mengarahkan siswa untuk menemukan aturan atau prinsip yang bersifat umum
4 Penutup
a. Mengajak siswa menarik kesimpulan tentang apa yang telah mereka lakukan dan
pelajari
b. Memberi evaluasi berupa soal matematika dan pekerjaan rumah
BAB VIMERANCANG PEMBELAJARAN MATEMATIKA
A. Rancangan Pembelajaran Matematika
Rencana pembelajaran matematika adalah rencana kegiatan operasional yang dirancang oleh
guru yang didalamnya berisi skenario tahap demi tahap tentang kegiatan matematika yang
nantinya harus dilakukan guru di kelas. Rencana pembelajaran matematika ini disusun
mengacu kepada hakikat pembelajaran matematika yang menekankan penguasaan konsep
dan algoritma di samping kemampuan memecahkan masalah, dan mengacu juga kepada
prinsip-prinsip mempelajari matematika yang harus hirarkis.
Rencana pembelajaran matematika penting untuk disusun oleh guru sebelum melaksanakan
pembelajaran, karena rencana pembelajaran inilah yang nantinya merupakan arah atau
petunjuk bagi guru dalam melaksanakan proses pembelajaran matematika yang efektif dan
efisien.
Komponen-komponen yang harus diperhatikan dalam merancang pembelajaran matematika
adalah:
(1) tujuan atau kompetensi yang harus dikuasai siswa,
(2) materi pembelajaran,
(3) metode pembelajaran,
(4) media pembelajaran, dan
(5) evaluasi pembelajaran.
Ciri-ciri rencana pembelajaran matematika yang sekaligus merupakan prinsip-prinsip dalam
menyusun Rencana pembelajarann matematika, yaitu ilmiah, relevan, sistematis, konsisten,
memadai, aktual dan kontekstual, serta fleksibel.
Penyusunan rencana pembelajaran sebaiknya dilakukan secara mandiri oleh guru yang akan
menggunakan rencana pembelajaran tersebut.
B. Langkah-langkah Penyusunan Rancangan Pembelajaran
Ada lima komponen penting dalam menyusun rencana pembelajaran yang satu sama lain
saling berkaitan secara sistematis di dalam rencana pembelajaran. Kelima komponen tersebut
yaitu:
(1) tujuan,
(2) materi,
(3) sumber belajar/media pembelajaran,
(4) strategi/langkah-langkah pembelajaran,
(5) penilaian.
Tujuan merupakan komponen yang paling penting di dalam menyusun rencana pembelajaran
dan dijabarkan dari kompetensi dasar serta dirumuskan dengan menggunakan kata kerja
operasional. Materi disusun berdasarkan tujuan dan dijabarkan ke dalam fakta, konsep,
prinsip, dan pengerjaan matematika. Sumber belajar/media pembelajaran dan
strategi/langkah-langkah pembelajaran disusun berdasarkan tujuan dan materi
pembelajaran. Begitupun penilaian pembelajaran disusun juga berdasarkan tujuan
pembelajaran.
Secara garis besar ada sembilan langkah dalam penyusunan rencana pembelajaran
matematika, yaitu:
(1) melakukan identifikasi mata pelajaran,
(2) mengkaji Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar,
(3) merumuskan tujuan pembelajaran,
(4) merumuskan indikator pencapaian kempetensi,
(5) menyusun uraian materi pembelajaran,
(6) mengembangkan kegiatan pembelajaran,
(7) menentukan sumber belajar,
(8) menentukan jenis penilaian, dan
(9) menentukan alokasi waktu.
DAFTAR PUSTAKA
Muhsetyo, Gatot. 2005. Materi Pokok Pembelajaran Matematika SD. Jakarta: Universitas terbuka.
Sa’dijah, Cholis. 1999/1998. Pendidikan Matematika II. Jakarta: Depdikbud Dirjen Dikti Proyek PGSD.
Karim, Muchtar A. dkk. 1996/1997. Pendidikan Matematika 1. Jakarta: Penerbit Depdikbud Dirjen Dikti BPPPGSD
Top Related