BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Berdasarkan pemanfaatannya pisang dikategorikan menjadi dua kelompok
yaitu pisang meja dan pisang olahan. pisang merupakan bahan makanan pokok
keempat terpenting di negara berkembang (Tripathi 2003), Indonesia merupakan
salah satu pusat penghasil pisang (Nasution & Yamada 2001). Di Indonesia
banyak terdapat kultivar pisang yang potensial dikembangkan dalam rangka
mencukupi kebutuhan buah masyarakat, bahan baku industri roti dan manfaat
sosial lainnya seperti untuk persembahan di hari keagamaan dan upacara adat
tradisional (Cahyono 1995). Buah pisang juga memiliki banyak manfaat
kesehatan dan digemari masyarakat. Kandungan gizi pisang antara lain: 70 g air,
1,2 g protein, 0,3 g lipid, 27 g karbohidrat, 400 mg kalium (Espino et al.1992),
20 mg asam askorbat (vitamin C), 0,1 mg ß-karoten (vitamin A), 10 µg asam folat
(Wills et al. 1989) serta sejumlah vitamin dan zat penting lainnya seperti thiamin
(vitamin B1), riboflavin (vitamin B2), piridoksin (vitamin B6), niacin, asam
pantotenat dan inositol (Espino et al. 1992; Simmonds 1966).
Hampir seluruh wilayah di Indonesia dapat dijadikan tempat untuk
menanam pisang termasuk di Riau. Di Provinsi Riau terdapat beberapa daerah
yang kaya akan tanaman pisang antara lain Kabupaten Kampar, Bengkalis dan
Taluk Kuantan (Kuansing). Berdasarkan survey yang telah dilakukan, Taluk
Kuantan banyak memiliki jenis tanaman pisang diantaranya pisang tanduk
kambing, pisang susu, pisang buai, pisang kape dan pisang batu.
Salah satu jenis pisang yang banyak ditemukan adalah pisang batu. Pisang
batu termasuk pisang kelas rendah. Umumnya pisang ini tidak disukai karena
bijinya yang banyak, kulitnya keras dan tebal serta buahnya tidak dapat dimakan
dalam bentuk segar. Buah pisang batu muda yang kandungan bijinya belum
berkembang sering dimanfaatkan sebagai campuran rujak. Namun buahnya yang
masak, walau tidak dapat dimakan dalam bentuk segar mempunyai rasa yang
manis dan bau yang harum (Margono 2000). Pisang batu mentah sering
digunakan sebagai obat untuk mengurangi nyeri pada perut atau dispepsia. (Best
et al. 1984).
Komposisi kimia daging buah pisang batu (Musa balbisiana Colla) hingga
saat ini belum diketahui dengan pasti. Namun Tjandrasari (1991) telah
mendeteksi adanya kandungan steroid dalamnya. Hal ini juga diperkuat oleh
Santoso et al. (1991) yang juga telah mendeteksi empat senyawa sterol dalam
serbuk pisang batu yang mempunyai kemungkinan manfaat klinik pada uji klinis
pendahuluan sebagai obat gastritis. Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa
suatu senyawa kimia sitoindosida IV yang diisolasi dari Musa paradisiaca L.
dapat memberikan efek antiulkus berupa penyembuhan luka dan resistensi
mukosa lambung (Bhattacharya & Ghosal 1987).
Pisang batu yang terlampau masak di pohonnya jarang digunakan dan
terkadang dibiarkan busuk begitu saja, dan ini sangat disayangkan sekali jika tidak
dimanfaatkan. Untuk itulah perlu dicari suatu usaha pemanfaatan pisang batu
masak guna meningkatkan daya guna buah pisang sebagai bahan pangan yang
kaya akan gizi, seperti produk makanan olahan. Namun sebelum diolah lebih
lanjut, tidak ada salahnya dilakukan pengujian terlebih dahulu terhadap
kandungan gizi dan komposisi bahan kimianya. Bila diperoleh nilai gizi yang
baik atau mungkin lebih baik dari pisang lain yang biasa dikonsumsi, barulah
perlu dicari lagi cara untuk usaha pengolahannya agar lebih berdaya guna.
1.2. Tujuan
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkarakterisasi,
menginventarisasi dan mendapatkan keanekaragaman jenis-jenis pisang batu yang
resisten terhadap penyakit yang ada di Taluk Kuantan berdasarkan karakter
morfologi dan kandungan nutrisinya.
1.3. Rumusan Masalah
Kabupaten Taluk Kuantan atau Kuantan Singingi merupakan salah satu
daerah di Sumatera yang menjadi sentra penghasil pisang, pada saat pisang-pisang
di daerah lain banyak terserang penyakit, pisang yang terdapat di Taluk Kuantan
mampu bertahan dari serangan penyakit tersebut. Salah satu jenis pisang yang
mampu bertahan adalah pisang batu, dengan banyaknya keanekaragaman jenis
pisang batu tersebut maka perlu dilakukannya ekplorasi, inventarisasi, identikasi
dan uji kandungan nutrisinya untuk mengetahui keanekaragaman dan kualitas
kandungan nutrisi pada pisang batu tersebut.
1.4. Manfaat penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan informasi mengenai
keanekaragaman jenis-jenis pisang batu yang ada di Taluk Kuantan dan
kandungan nutrisi yang terkandung pada pisang batu tersebut, sehingga
diharapkan nantinya akan dapat digunakan sebagai informasi dasar dalam
pemuliaan tanaman pisang yang resisten terhadap serangan penyakit.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pisang
Tanaman pisang termasuk dalam golongan Monocotyledonae, famili
Musaceae, genus Musa. Tanaman pisang merupakan tanaman herbaceous dan
berkembang biak secara vegetatif (Nakasone & Paull 1988). Widjono
(1977 dalam Nurzaizi 1986) mengatakan bahwa tanaman pisang termasuk ke
dalam Ordo Scitaminea yang meliputi tiga famili yaitu Musaceae, Canaceae dan
Zingiberaceae. Famili Musaceae terdiri atas dua genus yaitu Musa dan Ensete.
Genus Musa terdiri atas empat kelompok yaitu Australiamusa, Callimusa,
Rhodochlamys dan Eumusa. Sebagian besar tanaman pisang yang buahnya dapat
dimakan termasuk dalam kelompok Eumusa dengan spesies-spesiesnya Musa
acuminata, Musa balbisiana atau persilangan antara kedua spesies ini.
Tanaman pisang merupakan jenis tanaman pangan yang banyak dikenal
dan dikonsumsi oleh banyak orang. Menurut jenisnya, tanaman pisang yang
dapat dimakan berasal dari tiga golongan besar yaitu : (1) Musa paradisiaca var.
sapientum dan Musa nona L, atau Musa cavendishii; (2) Musa paradisiacal var.
formatika; dan (3) Musa brochycarpa. Pisang dari golongan satu, buahnya enak
dimakan dalam keadaan segar, seperti pisang ambon, pisang mas, pisang raja,
pisang susu dan lainnya. Pisang dari golongan dua buahnya enak dimakan tapi
setelah dimasak (direbus atau digoreng) terlebih dahulu, seperti pisang kepok,
pisang sobo, pisang siem dan pisang tanduk. Pisang dari golongan tiga termasuk
golongan pisang yang mempunyai biji, misalnya pisang klutuk atau pisang batu
(Soerdirdjoatmodjo 1985 & Munif 1988)
Buah pisang tersusun dalam tandan. Tiap tandan terdiri atas beberapa sisir
dan tiap sisir terdiri dari 6-22 buah pisang atau tergantung pada varietasnya. Buah
pisang pada umumnya tidak berbiji atau disebut 3n (triploid), kecuali pada pisang
batu (klutuk) bersifat diploid (2n). Proses pembuahan tanpa menghasilkan biji
disebut partenokarpi (Rukmana 1999).
Pada umumnya, tanaman pisang tumbuh dan berproduksi secara optimal di
daerah yang mempunyai ketinggian antara 400–600 m dpl (Rukmana 1999).
Menurut Nakasone & Paull 1998, suhu yang baik untuk perkembangan buah
pisang adalah berkisar antara 15–38oC dengan suhu optimum 27oC. Tipe iklim
yang cocok adalah iklim basah sampai kering dengan curah hujan 1400–2500 mm
per tahun dan merata sepanjang tahun. Tempat penanaman pisang yang baik
adalah tempat yang mendapat sinar matahari atau terbuka. Di daerah atau tempat
yang terlindung, tanaman pisang akan terhambat pertumbuhannya. Tiupan angin
yang terlalu kencang kurang baik terhadap tanaman pisang karena dapat
menyebabkan helaian daun sobek (Rukmana 1999).
Tanaman pisang sendiri mempunyai sistem perakaran yang dangkal,
sehingga untuk pertumbuhan yang optimal dibutuhkan lapisan tanah atas (top soil)
yang subur, gembur dan mengandung bahan organik (Rukmana 1999). Tanaman
ini tahan terhadap kekeringan atau kekurangan air karena perakarannya banyak
mengandung air. Pemberian air pada waktu musim kemarau sangat diperlukan
terutama bila tanaman sedang berbuah dan berbunga. Pisang yang ditanam di
tanah yang kritis juga dapat menghasilkan. Jenis tanah yang sesuai untuk tanaman
pisang adalah tanah liat yang mengandung kapur atau tanah alluvial dengan pH
antara 4,5 – 7,5 sehingga tanaman pisang yang tumbuh di tanah berkapur sangat
baik. Di daerah yang memiliki musim kering antara 4 – 5 bulan, tanaman pisang
masih dapat tumbuh subur apabila kedalaman air tanah tidak lebih dari 150 cm di
bawah permukaan tanah. Kedalaman air tanah yang sesuai untuk tanaman pisang
adalah 50 – 200 cm di bawah permukaan tanah (Satuhu & Supriyadi 1999).
Menurut (Satuhu & Supriyadi 1999) Tanaman pisang dapat diperbanyak
dengan menggunakan dua cara yaitu dengan anakan (sucker) yang tumbuh dari
induknya dan dengan bonggol tanaman induk. Bibit anakan yang ditanam adalah
bibit tanaman yang sudah dewasa sehingga akan cepat menghasilkan buah, bibit
pisang yang digunakan adalah bibit tanaman pisang yang sehat dan baik
Pisang telah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat namun sebagai buah
meja ataupun produk makanan lain yang seperti keripik pisang, selai pisang, atau
pure pisang. Selain itu, masyarakat memanfaatkan bagian-bagian lain dari pohon
pisang seperti daun untuk pembungkus makanan atau serat dari batang sebagai
barang kerajinan seperti tas, dompet, maupun handycraft lainnya. Dengan
banyaknya manfaat dan kandungan nutrisi, pisang diharapkan mampu menjadi
alternatif untuk mencukupi kebutuhan dimasa depan.
2.2. Kandungan Nutrisi
2.2.1. Pati
Pati merupakan senyawan polisakarida yang berasal dari proses
fotosintesis tanamana hijau. Pati memiliki bentuk kristal bergranula yang tidak
larut pada temperatur ruangan yang tergantung pada jenis tanamannya (Fortuna,
Juszczak, and Palansinski, 2001). Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat
dipisahkan dengan air panas, fraksi terlarut disebut dengan amilosa dan yang tidak
larut disebut dengan amilopektin. Amilosa memiliki rantai lurus dengan ikatan
cabang α- (1,4) D- glukosa sebanyak 4-5% dari berat total (Winarno FG 2004)
Pati tersusun dari dua macam karbohidrat yaitu amilosa dan amilopektin
dalam komposisi yang berbeda-beda, amilosa memberikan sifat yang keras dan
lengket sedangkan amilopektin memberikan sifat yang lembab pada makanan.
2.2.2. Kalium
Kalium merupakan bagian essensial bagi sel hidup, kalium merupakan ion
yang bermuatan positif, kalium terutama terdapat didalam sel, sebanyak 95%
kalium berada didalam cairan intraseluler (Almatsier 2001). Peran kalium hampir
sama dengan natrium yaitu kalium bersama-sama dengan klorida membantu
menjaga tekanan osmosis dan keseimbangan asam basa sedangkan natrium
menjaga tekanan osmosis dalam cairan intraseluler (Winarno 1995)
Kalium banyak terdapat pada makanan, kebutuhan kalium diperkirakan
sebanyak 2000 mg sehari. Kalium banyak terdapat pada buah-buahan, sayuran
dan kacang-kacangan (Almatsier 2001).
2.2.3. Natrium
Natrium merupakan kation terbanyak dalam cairan ekstrasel, jumlahnya
bisa mencapai 60 mEq perkilogram berat badan dan sebagian kecil (sekitar 10-14
mEq/L) berada dalam cairan intrasel (Matfin & Porth 2009; O’Callaghan 2009).
Barasi (2009) menambahkan natrium adalah kation utama dalam darah dan cairan
ekstraselular yang mencakup 95% dari seluruh kation. Oleh karena itu, natrium
sangat berperan dalam pengaturan cairan tubuh, termasuk tekanan darah dan
keseimbangan asam basa.
Natrium berperan dalam regulasi tekanan osmotisnya, selain itu juga
berperan dalam pembentukan perbedaan potensial (listrik) yang penting bagi
kontraksi otot dan penerusan impuls di saraf (Tjay & Kirana 2007). Jumlah
natrium dalam tubuh merupakan gambaran keseimbangan antara natrium yang
masuk dan natrium yang dikeluarkan. Pemasukan natrium yang berasal dari diet
melalui epitel mukosa saluran cerna dengan proses difusi dan pengeluarannya
melalui ginjal atau saluran cerna atau keringat di kulit (Widmaier & Strang 2004).
Pemasukan dan pengeluaran natrium perhari dapat mencapai 48-144 mEq
(Darwis et al. 2009). Perubahan kadar natrium dapat mempengaruhi tekanan
darah tetapi tidak dengan sendirinya menyebabkan tekanan darah tinggi.
Meskipun demikian, telah terdapat beberapa bukti yang mendukung anggapan
bahwa mengurangi asupan natrium dapat menurunkan tekanan darah. Kadar
natrium yang dibutuhkan oleh tubuh perhari adalah 1600 mg (Barasi 2009).
2.2.4. Zink
Zink merupakan mikromineral yang berada di dalam jaringan manuasia
atau hewan dan ikut terlibat dalam fungsi berbagai enzim dalam proses
metabolisme. Tubuh manusia dewasa mengandung 2-2,5 gr zink. Zink terlibat
pada enzim yang berhubungan dengan metabolism karbohidrat dan energi,
degradasi atau sintesis protein, sintesis asam nukleat, biosintesis heme, transfor
CO2 dan reaksi-reaksi lain (Kacaribu 2008).
Kebutuhan zink pada setiap manusia berbeda-beda tergantung fisiologi,
patologi dan menu makanan sehari-hari. Pada orang dewasa daya serap usus
terhadap seng hanya sekitar 25% dan adanya variasi individual, maka jumlah zink
yang dianjurkan 15 mg/hari. Konsentrasi zink yang tinggi dapat ditemukan pada
tulang, selain itu juga ditemukan pada iris, retina, hepar, pankreas, ginjal, kulit,
otot, testis dan rambut, sehingga apabila kekurangan zink akan dapat berpengaruh
buruk pada jaringan-jaringan tersebut (Kacaribu 2008).
Menurut Kacaribu (2008), zink pada umumnya dapat diperoleh dari bahan
makanan hewani seperti daging, hati dan ayam. Zink dalam jumlah yang tinggi
juga dapat ditemukan pada bahan makanan hewani yang berasal dari laut seperti
tiram, kerang dan ikan haring. Selain itu, bahan makanan nabati seperti kacang-
kacangan dan padi-padian juga mengandung zink, namun kadar zink pada bahan
makanan nabati kadarnya rendah. Sama halnya dengan kadar zink pada makanan
nabati, kadar zink pada buah-buahan juga rendah.
2.2.5. Vitamin C
Vitamin C merupakan vitamin yang termasuk dalam kelompok vitamin
yang larut di dalam air dan dikenal sebagai vitamin anti askorbut karena
berkhasiat menyembuhkan penyakit skorbut (Narins 1996). Carr dan Frei (1999)
menambahkan bahwa vitamin C merupakan vitamin yang dapat dibentuk oleh
beberapa jenis spesies tanaman dan hewan dari prekursor karbohidrat.
Vitamin C paling banyak ditemukan pada buah-buahan seperti jambu biji,
nanas, jeruk, tomat, mangga dan sirsak (Vitahealth 2004). Menurut Ausman
(1999) vitamin C dapat ditemukan pada bahan makanan nabati dan hewani. Buah-
buahan dan sayur-sayuran seperti melon, jeruk, tomat, strawberi, asparagus,
brokoli, kobis dan kembang kol merupakan sumber utama vitamin C, sedangkan
bahan makanan hewani seperti daging dan susu hanya mengandung vitamin C
dalam jumlah yang sedikit.
Menurut Sekarindah (2006) vitamin C dapat membantu metabolisme
protein, pembentukan jaringan kolagen, dan penyerapan zat besi. Levine et al.
(1995) dan Combs (1992) menambahkan bahwa vitamin C berperan dalam
sintesis kolagen, biosintesis karnitin, metabolisme histamine, sintesis
neurotransmitter dan fungsi imun, serta meningkatkan kemampuan absorbs zat
besi nonheme.
Vitamin C sering digunakan untuk melindungi sel darah putih dari enzim
yang dilepaskan saat dicerna bakteri yang telah ditelannya. Fungsi lain dari
vitamin C adalah sebagai antioksidan, penghasil senyawa transmitter saraf dan
hormon tertentu, membantu memperbaiki sel tubuh dan meningkatkan kerja
enzim (Vitahealt 2004). Almatsier (2005) menambahkan bahwa vitamin C dapat
meningkatkan daya tahan tubuh terhadap infeksi.
Keadaan kekurangan vitamin C akan mengganggu integrasi dinding
kapiler (Pudjiadi 2005). Menurut Thurnmham et al. (2000) kekurangan vitamin C
dapat menimbulkan beberapa gejala mulai dari yang ringan sampai yang berat.
Defisiensi ringan ditandai dengan mudah lelah, anoreksia, nyeri otot dan mudah
stress, sedangkan defisiensi berat menimbulkan penyakit skorbut. Apabila
pengobatan yang diberikan terlambat akan dapat menyebabkan kematian.
2.2.6. Serat
Serat merupakan bagian sel tanaman yang tidak dapat dicerna oleh enzim
pencernaan dalam tubuh manusia, komponen utama penyusun serat adalah
selulosa sedangkan senyawa lainnya adalah hemiselulosa, pektin, gum tanaman,
musilago, lignin dan polisakarida lain (Sediaoetama 2000). Menurut Winarno
(1997) serat merupakan komponen dari jaringan tanaman yang tahan terhadap
proses hidrolisis oleh enzim dalam lambung dan usus kecil, biasanya serat ini
berasal dari dinding sel buah-buhan dan sayuran. Serat ini terdiri dari selulosa,
hemiselulosa, pektin, lignin, gumi dan mucilage.
Menurut para ahli serat dibagi menjadi dua yaitu serat larut dan serat tidak
larut. Serat larut merupakan serat yang larut di dalam air, serat larut tersebut
terlibat dalam proses metabolism melalui proses fermentasi (Sediaoetama 2000).
Serat larut juga mempunya beberapa fungsi antara lain berfungsi untuk mengikat
asam lemak, memperpanjang waktu pengosongan lambung sehingga glukosa
dapat diserap dan dilepas secara perlahan-lahan, mengurangi kadar kolestrol dan
membantu regulasi kadar gula darah bagi penderita diabetes. Ada beberapa
sumber serat larut antara lain: biji atau kulit biji, kacang-kacangan, barley, buah-
buahan dan sayur-sayuran Winarno (1997).
Serat tidak larut ini tidak dapat larut di dalam air, memiliki kemampuan
pasif dalam menarik air, melunakkan dan mempersingkat waktu transit feses pada
saluran usus (Sediaoetama 2000). Serat tidak larut juga memiliki peranan penting
seperti mendorong makanan menuju usus halus, menjaga keseimbangan pH di
dalam usus halus, memntu mencegah terbentuknya senyawa karsinogen oleh
mikroba, membantu mencegah terjadinya kanker usus besar, membantu gerakan
alami pada usus halus dan membantu mengeluarkan toksik pada usus besar.
Sumber serat tidak larut adalah sayur-sayuran berdaun hijau tua, kacang hijau,
kulit akar sayuran, gandum, kacang-kacangan dan buah-buahan Winarno (1997).
BAB III
METODE
3.1. Waktu dan Tempat
Penelitian akan dilakukan pada bulan Maret-Mei yang akan dilakukan di
Kabupaten Taluk Kuantan Provinsi Riau pada kecamatan Cerenti, Inuman,
Pangean, Kuantan Hilir seberang. Pengamatan morfologi dilakukan di
laboratorium Botani, jurusan Biologi FMIPA Universitas Riau (UR), sedangkan
uji kandungan nutrisi dilakukan di ...........
3.2. Alat dan bahan
Seluruh bagian tanaman baik organ vegetative maupun generative, meteran, etiket
gantung, GPS, pisau, cutter, jangka sorong, kantong plastik, kertas label, karung,
penggaris, kamera digital, buku panduan deskriptor dan alat tulis.
3.3. Pengambilan sampel
Pengambilan sampel menggunakan metode survey jelajah dan
pengamatan, survey jelajah yaitu pengambilan sampel dengan cara menelusuri.
Sedangkan sampel tanaman pisang yang digunakan yaitu pisang yang memiliki
ciri morfologi lengkap.
3.4. Uji kandungan vitamin C
Labu erlemeyer, tabung reaksi, gelas piala, larutan HCL 3 M, indikator
amilum 2%, larutan iodium 0,01N, pipet filler (bulb), pipet volumetrik, buret dan
statif.
DAFTAR PUSTAKA
Almatsier Sa. 2002. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Almatsier Sb. 2005. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Ausman LM. 1999. Criteria and recommendation for vitamin C intake (brief critical review). Nutr. Rev. 57: 222-224.
Bhattacharya SK, Ghosal S. 1987. Concerning The Antiulserogenic Action of SitoindosidaIV, Phitotheraphy Research 1:95-96.
Barasi M. 2009. Nutrition at a Glance. Penerjemah: Hermin. 2009. At a Glance: Ilmu Gizi. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Carr AC and Frei B. 1999. Toward a new recommended dietary allowance for vitamin C based on antioxidant and health effect in humans. Am. J. Clin. Nutr. 69: 1086-1107.
Combs GF. 1992. Vitamin C dalam The vitamins, fundamental aspects in nutrition and health. 223-249. Inc. San Diego, California: Divisi academic press.
Darmono. 1995. Logam Dalam Sistem Biologi Makhluk Hidup. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press).
Darwis D, Moenajat Y, Nur BM, Madjid AS, Siregar P, Aniwidyaningsih W. 2008. Fisiologi Keseimbangan Air dan Elektrolit dalam Gangguan Keseimbangan Air Elektrolit dan Asam Basa, Fisiologi, Patofisiologi, Diagnosis dan Tatalaksana. ed. ke-2. Jakarta: FK-UI.
Ensminger AH, Ensminger ME, Konlande JE, Robson RK. 1995. The concise encyclopedia of foods and nutritions. Boca Raton: CRC Press Limited.
Espino RRC, S.H. Jamaluddin, B. Silayoi, and R.E. Nasution, 1992. Musa L (Edible Cultivars). P:225-233. In Verheij, E.W.M., and R.e. Coronel (Eds). Edible Fruits and Nuts. Plant Resources of South-East Asia No. 2. Bogor: PROSEA.
Fortuna T, Juszczak L and Palasiński M. 2001. Properties of Corn and Wheat Starch Phosphates Obtained from Granules Segregated According to Their Size, , EJPAU, Vol. 4.
Gobinathan P, Murali PV, Panneerselvam R. 2009. Interactive effects of calcium metabolism in pennisetum typoidies. Advances in Biological Research 3(5-6), 168-173.
Kacaribu K. 2008. Kandungan Kadar Seng (Zn) Dan Besi (Fe) Dalam Air Minum Dari Depot Air Minum Isi Ulang Air Pegunungan Sibolangit Di Kota Medan [Tesis]. Medan: Universitas Sumatera Utara.
Levine M, Dhariwal KR, Welch RW, Wang Y, Park JB. 1995. Determination of optimal vitamin C requirements in humans. Am. J. Clin. Nutr. 62: 1347-1356.
Matfin G, Porth CM. 2009. Disorders of Fluid and Electrolyte Balanc, In: Pathophysiology Concepts of Altered Health States, 8 th Edition, McGraw Hill Companies USA.
Narins DMC. 1996. Vitamin dalam Krause’s Food, Nutrition and Diet Therapy (Mahlan LK and Stumps SE) 9th ed. hal 110.
O’Callaghan C. 2009. Sains Dasar Ginjal dan Gangguan Fungsi Metabolik Ginjal, At a Glance Sistem Ginjal, Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Pudjiadi S. 2005. Ilmu Gizi Klinis Pada Anak. Jakarta: Gaya Baru.
Robert KM. 1990. Biokimia, Harpers Review of Brochemestry, Edisi 20. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteram EGC.
Satuhu, S., dan A. Supriyadi. 1999. Pisang (Budidaya, Pengolahan dan ProspekPasar). Jakarta: Penebar Swadaya.
Sediaoetama AD. 2000. Ilmu Gizi. Jld 1. Cet 4. Jakarta: Dian Rakyat.
Sekarindah T. 2006. Terapi Jus Buah Dan Sayur. Jakarta: Puspa Swara.
Simmonds NW. 1966. Banana. 2ndEd. London: Longman.
Sjofjan JI. 2009. Pemberian kalium pada beberapa kelembaban tanah terhadap pertumbuhan dan produksi jagung manis (Zea mays saccharata sturt). Universitas Riau. 8(1): 17-22.
Thurnham DI, Bender DA, Scott J dan Halseted CH. 2000. Water soluble vitamins, dalam Human Nutritions and Dietatics (Garrow JS, James WPT and Ralph A) hal 249-257. United Kingdom: Harcourt Publishers Limited.
Tjandrasari S. 1991. Pengaruh ekstrak pisang klutuk (Musa bracycarpa Back) terhadap ulkus lambung tikus karena salisilat [skripsi]. Yogyakarta: Fakultas Farmasi,Universitas Gajah Mada.
Tjay TH, Kirana R. 2007. Obat-Obat Penting. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Tjitrosoepomo G. 2000. Taksonomi Tumbuhan Spermathophyta. Cetakan ke-9,
Yogyakarta: UGM Press.
Tripathi L. 2003. Genetic engineering for improvement of Musa production in
Africa. African J Biotechnol 12: 503-508.
Vitahealth. 2004. Seluk–Beluk Food Suplemen. Jakarta: PT. Gramedia.
White PJ. 2000. Calcium channels in higher plants. 15. Rengel, Z., The role of calcium in salt toxicity Plant.
Widmaier EP, Raff H, Strang KT. 2004. The Kidney and Regulation of Water and Inorganic Ions In: Vander Human Physiology: The Mechanisms of Body Function, 9th Edition, McGraw Hill Publishing, pp. 513-557.
Wilson LM. 1995. Keseimbangan Cairan dan Elektrolit serta Penilaiannya, dalam: Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, Edisi ke-4. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Winarno FGa. 1982. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Winarno FGb. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Winarno FGc. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama.
Top Related