BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara umum bahaya yang timbul dari pangan disebut foodborne disease
atau sering disebut keracunan pangan. Menurut World Health Organization
(WHO), kejadian luar biasa (KLB) keracunan pangan (foodborne disease
outbreak) didefinisikan sebagai suatu kejadian dimana terdapat dua orang atau
lebih yang menderita sakit setelah mengkonsumsi pangan yang secara
epidemiologi terbukti sebagai sumber penularan (Sparringa, 2002).
Menurut Altekruse et al., (1999), angka kejadian keracunan akibat
Campylobacter (campylobacteriosis) pada penderita diare lebih besar
dibandingkan dengan angka kejadian salmonellosis dan shigellosis.
Campylobacter spp. adalah salah satu mikroba patogen yang dapat
mengontaminasi makanan dan menyebabkan foodborne disease (penyakit akibat
pangan). Umumnya manusia yang terinfeksi Campylobacter spp. menderita gejala
seperti sakit perut, demam, diare seperti disentri, dan jika sudah akut dapat
menyebabkan kematian. Penyakit ini bersifat zoonosis yaitu dapat menular dari
hewan ke manusia, biasanya penularan dari hewan terhadap manusia dapat terjadi
karena kontak langsung dengan hewan yang menderita Campylobacteriosis,
mengkonsumsi dan menangani produk hasil peternakan yang terinfeksi penyakit
ini. Menurut Stern et al., (1992), Campylobacter sudah dapat menyebabkan
penyakit pada manusia dalam jumlah kecil (kurang dari 500 sel) saja. Dari semua
1
2
spesies Campylobacter, Campylobater jejuni merupakan penyebab utama diare
diseluruh dunia (Rutherford dan Klein, 2003).
Di Indonesia, dari 2.812 bakteri patogen yang diisolasi dari penderita diare
yang dirawat di rumah sakit di beberapa kota Indonesia, terdeteksi bahwa 3.6%
nya disebabkan oleh C. jejuni (Tjaniadi et al., 2003). Selain itu, beberapa kasus
infeksi C. jejuni juga telah dilaporkan di beberapa negara, misalnya di Amerika
Serikat dilaporkan sekitar 2.5 juta penderita campylobacteriosis dan 124 penderita
meninggal setiap tahunnya (Hu dan Kopecko, 2003).
Food-borne bakteri yang resisten terhadap antibiotika dapat
mengakibatkan terjadinya resistensi antibiotika terhadap manusia. Resistensi
didefinisikan sebagai tidak terhambatnya pertumbuhan bakteri dengan pemberian
antibiotik secara sistemik dengan dosis normal yang seharusnya atau kadar
hambat minimalnya (Utami, 2012).
Sebagai contoh, Shigella spp. dan Vibrio cholera resisten terhadap
ampicillin, trimethrophin, sulfamethoxazol, chloramphenicol dan tetracycline.
Resistensi Salmonella spp. terhadap antibiotika bervariasi tergantung dari spesies,
sedangkan bakteri C. jejuni menunjukkan kenaikan resistensi terhadap cetriaxone,
norfloxacin, dan ciprofloxacin (Tjaniadi et al., 2003). Sebuah hasil penelitian di
Kanada pada tahun 2005 menunjukkan bahwa, persentase resistensi C. jejuni pada
beberapa antibiotik berbeda-beda. Resistensi C. jejuni terhadap eritromisin 6.7%;
gentamisin 0.2%; asam nalidiksat 5.1%; streptomisin 13.6%; dan tetrasiklin
52.6% (Larkin et al., 2006). Untuk mencegah semakin luasnya resistensi terhadap
pengobatan, maka diperlukan suatu alternatif pengobatan. Salah satunya yaitu
mengkombinasi penggunaan antibiotik dengan tanaman obat.
3
Salah satu tumbuhan tropis Indonesia yang memiliki khasiat sebagai obat dan
cukup popular di dunia adalah manggis. Tanaman ini dikenal dengan sebutan “ratu
buah” dikarenakan memiliki rasa yang eksotik, antara manis dan sepat. Manggis
memiliki banyak manfaat dan sering digunakan dalam pengobatan tradisional untuk
mengobati sakit perut, diare, disentri, luka infeksi, nanah, bisul kronik, leucorrhoea
dan gonorrhaea (Kosem et al., 2007). Berdasarkan penelitian Dwiandono (2012)
menunjukan bahwa ekstrak kulit buah manggis mempunyai aktivitas sebagai
antibakteri dengan nilai IC50 sebesar 406,2 ppm terhadap bakteri V. cholera serta
kombinasi ekstrak kulit buah manggis dengan doksisiklin dapat meningkatkan
aktivitas antibakteri doksisiklin terhadap bakteri V. cholerae berdasarkan besar
zona hambatnya.
Berdasarkan penelitian fitokimia diketahui bahwa manggis mengandung
berbagai macam metabolit sekunder seperti tannin, triterpen, antosianin, saponin,
kinon, xanthone, dan senyawa fenolik (Kosem et al., 2007). Buah manggis muda juga
memiliki efek speriniostatik dan spermisida (Kastaman, 2007).
Berdasarkan uraian tersebut, perlu untuk dilakukan penelitian uji aktivitas
antibakteri ekstrak etanol kulit buah manggis yang dikombinasi dengan antibiotic
eritromisin terhadap C. jejuni.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas dapat dituliskan masalah
sebagai berikut :
1. Apakah ekstrak etanol kulit buah manggis memiliki aktivitas antibakteri
terhadap C. jejuni yang dinyatakan dengan IC50?
4
2. Apakah aktivitas antibiotik eritromisin yang dikombinasi dengan IC50 ekstrak
etanol kulit buah manggis terhadap bakteri C. jejuni?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Mengetahui adanya aktivitas antibakteri ekstrak etanol kulit buah manggis
terhadap C. jejuni yang dinyatakan dengan IC50.
2. Mengetahui potensi kombinasi antibiotik eritromisin dengan IC50 ekstrak kulit
buah manggis terhadap bakteri C. jejuni.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini bermanfaat sebagai sumber informasi bahwa kulit buah
manggis berpotensi sebagai antibakteri terhadap C. jejuni dan memberi informasi
yang dapat dimanfaatkan sebagai pertimbangan terhadap penelitian lain yang
terkait dengan penggunaan obat tradisional, serta dapat memperkaya data ilmiah
mengenai senyawa kimia yang terkandung dalam tanaman yang memiliki aktivitas
antibakteri.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan atas data empiris yang telah dikumpulkan dan diteliti,
berkaitan dengan aktivitas antibakteri ekstrak kulit buah manggis ( Garcinia
mangostana ) diantaranya adalah :
5
1. Ekstrak kulit buah manggis (Garcinia mangostana) mempunyai aktivitas
anti bakteri terhadap bakteri Salmonella typhmurium, Escherichia coli,
Staphylococcus aureus ATCC 25922 dan Staphylococcus epidermidis.
Hasil yang diperoleh ekstrak etanol kulit buah manggis dapat menghambat
pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus dan Staphylococcus
epidermidis dengan KHM 2%. Penelitian ini telah dilakukan oleh Masniari
Poeloengan, dan Praptiwi (2010).
2. Priya et al (2010) melakukan penelitian tentang aktivitas antimikroba
esktrak kulit manggis pada bakteri Staphylococcus aureus dengan
konsentrasi hambat minimum 200 μg / ml , Micrococcus lutus dan
Staphlylococcus albus dengan konsentrasi hambat minimum 50μg/ml.
3. Miksusanti, Fitrya, Nike Marfinda (2011) melakukan penelitian tentang
aktivitas campuran ekstrak kulit manggis (Garcinia mangostana L.) dan
kayu secang (Caesalpina sappan L.) yang dapat menghambat
pertumbuhan Bacillus cereus dengan KHM 0,075% (750 ppm).
4. Dwiandono (2012) melakukan penelitian tentang aktivitas antibakteri ekstrak
etanol kulit buah manggis (Garcinia mangostana) dan kombinasinya
dengan doksisiklin terhadap Vibrio cholera menunjukan bahwa ekstrak
kulit buah manggis mempunyai aktivitas sebagai antibakteri dengan nilai
IC50 sebesar 406,2 ppm serta kombinasi ekstrak kulit buah manggis dengan
doksisiklin dapat meningkatkan aktivitas antibakteri doksisiklin terhadap
bakteri Vibrio cholerae berdasarkan besar zona hambatnya.
Penelitian yang akan dilakukan “Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Kuit
Buah Manggis (Garcinia mangostana) dan Kombinasinya dengan Eritromisin
6
terhadap Campylobacter jejuni” dapat ditentukan dan dipastikan bahwa penelitian
ini dapat dilakukan karena belum ada data empiris yang menerangkan dan
menjelaskan bahwa penelitian ini sudah dilakukan sebelumnya.
Top Related