I. PENDAHULUAN
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : NN. Y
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 17 tahun
Pekerjaan : Pelajar (SMA)
Pendidikan Terakhir : SMP
Status Pernikahan : Belum Menikah
Alamat : Banjarwaru - Cilacap
Agama : Islam
No. CM : 29-47-16
B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama : gatal pada tangan, paha dan pipi
2. Keluhan Tambahan : muncul bercak-bercak putih didaerah tangan, paha
dan pipi.
3. Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang sendiri ke Poliklinik Penyakit Kulit dan Kelamin
RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto pada hari Senin, 23
September 2013 pukul 10.30 WIB dengan keluhan gatal pada tangan,
paha, dan pipi sejak 3 bulan yang lalu. Awalnya muncul bercak-bercak
putih hanya terdapat sedikit pada tangan kanan, namun sekarang bercak-
bercak putih semakin lama semakin meluas hingga di tangan kiri, paha
kanan dan kiri serta pipi sebelah kanan pun terdapat bercak-bercak putih.
Keluhan dirasakan terus menerus sepanjang waktu dan pasien merasakan
gatal bertambah berat terutama saat pasien berkeringat, beraktivitas dan
cuaca panas. Gatal bertambah berat apabila pasien menggaruk tangan,
paha dan pipi. Pasien suka memakai pakaian dan celana panjang yang
ketat.
4. Riwayat Penyakit Dahulu :
a. Riwayat keluhan yang sama sebelumnya disangkal
b. Riwayat alergi obat (antibiotik, dan lain-lain) disangkal
c. Terdapat riwayat alergi makanan ikan laut
d. Riwayat penyakit diabetes mellitus (kencing manis), hipertensi (darah
tinggi) disangkal
e. Riwayat pondok di rumah sakit disangkal
f. Riwayat penyakit asma disangkal
5. Riwayat Penyakit Keluarga :
a. Riwayat keluhan yang sama dengan pasien disangkal.
b. Riwayat alergi obat dan makanan disangkal
c. Riwayat penyakit asma disangkal
d. Riwayat penyakit diabetes mellitus, hipertensi disangkal
C. STATUS GENERALIS
Keadaaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Keadaan gizi : Baik, BB: 39 kg, TB: 158 cm
Vital Sign : Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 84 x/menit
Pernafasan : 20 x/menit
Suhu : 36,5°C
Kepala : Mesochepal, simetris, rambut hitam, distribusi merata
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Hidung : Simetris, deviasi septum (-), sekret (-), discharge (-)
Telinga : Simetris, sekret (-), discharge (-)
Mulut : Mukosa bibir dan mulut lembab, sianosis (-),
Tenggorokan : T1 – T1 tenang , tidak hiperemis
Leher : Dalam batas normal
Thorax : Tidak dilakukan
Jantung : Tidak dilakukan
Paru : Tidak dilakukan
Abdomen : Tidak dilakukan
Kelenjar Getah Bening : tidak teraba pembesaran.
Ekstremitas : Akral hangat, edema ( ), sianosis ( ).
2
D. STATUS DERMATOLOGIKUS
1. Lokasi : Regio facialis, regio antebrachii,
dan regio femoris
2. Efloresensi : Berupa makula hipopigmentasi disertai
skuama halus di atasnya pada regio facialis dextra, regio
antebrachii dextra dan sinistra, regio femoris dextra dan
sinistra.
Gambar 1.1. Efloresensi Regio Antebrachii
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tidak dilakukan pemeriksaan penunjang
F. RESUME
3
Pasien datang sendiri ke Poliklinik Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD
Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto pada hari Senin, 23 September 2013
pukul 10.30 WIB dengan keluhan gatal pada tangan, paha, dan pipi sejak 3
bulan yang lalu. Pada awalnya muncul bercak-bercak putih hanya terdapat
sedikit pada tangan kanan, namun sekarang bercak-bercak putih semakin lama
semakin meluas hingga di tangan kiri, paha kanan dan kiri serta pipi sebelah
kanan pun terdapat bercak-bercak putih. Keluhan dirasakan terus menerus
sepanjang waktu dan pasien merasakan gatal bertambah berat terutama saat
pasien berkeringat, beraktivitas dan cuaca panas. Gatal bertambah berat
apabila pasien menggaruk tangan, paha dan pipi. Pasien suka memakai
pakaian dan celana panjang yang ketat. Pasien belum mendapatkan
pengobatan apapun untuk keluhan penyakit kulitnya.
Pada pemeriksaan status generalis dalam batas normal. Pada
pemeriksaan status dermatologis lokasi regio facialis dextra, regio antebrachii
dextra dan sinistra, regio femoris dextra dan sinistra terdapat efloresensi
makula hipopigmentasi dengan skuama halus diatasnya.
G. DIAGNOSA KERJA
Pitiriasis Versikolor (Panu)
H. DIAGNOSIS BANDING
1. Eritrasma
Predileksi : lipat paha bagian dalam sampai skrotum, aksila, dan
intergluteal.
Efloresensi : Eritema luas berbatas tegas, dengan skuama halus dan
terkadang erosif.
Etiologi : Corynebacterium minutissimum
Sinar wood : fluoresensi “coral red (merah bata)”
2. Vitiligo
Predileksi : Kulit jari tangan, fleksura pergelangan tangan, siku, daerah
tulang kering, lutut, pergelangan kaki, genitalia, kelopak
mata, regio perioral.
4
Efloresensi : Makula hipopigmentasi yang berbatas jelas, jika dilihat dari
tepi batasnya berbentuk konkaf. Disekitar lesi sering
dijumpai hiperpigmentasi.
Etiologi : Berhubungan dengan proses imunologik atau gangguan
neurologis atau autotoksik.
Pemeriksaan Laboratorium : Perlu diperiksa gula darah, sebab sering
berhubungan dengan penyakit diabetes melitus.
3. Pitiriasis alba
Predileksi : Sekitar mulut, dagu, pipi serta dahi. Lesi dapat dijumpai pada
ekstrimitas dan badan. Dapat simetris pada bokong, paha
atas, punggung, dan ekstensor lengan tanpa keluhan.
Efloresensi : Depigmentasi dengan skuama halus.
Etiologi : Adanya infeksi streptococcus
4. Pitiriasis Rosea
Predileksi : Dapat tersebar di seluruh tubuh, terutama pada tempat yang
tertutup pakaian.
Efloresensi : Makula eritroskuamosa anular dan soliter, bentuk lonjong
dengan tepi hampir tidak nyata meninggi dan bagian sentral
bersisik, agak berkeringat. Sumbu panjang lesi sesuai
dengan garis lipatan kulit dan kadang-kadang menyerupai
gambaran pohon cemara. Lesi inisial (herald patch =
medallion) biasanya solitar,bentuk oval, anular, berdiameter
2-6 cm. Jarang terdapat lebih dari 1 herald patch.
Kerokan Kulit : Hifa, spora negatif
Sinar Wood : Negatif
5. Morbus Hansen
Predileksi : Seluruh tubuh
Efloresensi :
a. Tipe I (Indeterminan) : Makula hipopigmentasi berbatas tegas,
anestesi, anhidrasi, pemeriksaan bakteriologi (-), tes lepromin (+)
5
b. Tipe TT (Tuberkuloid) : Makula eritematosa bulat atau lonjong,
permukaan kering, batas tegas, anestesi, bagian tengah sembuh,
bakteriologi (-), tes lepromin positif kuat.
c. Tipe BT (Borderline Tuberkuloid) : Makula eritematosa tak
teratur, batas tak tegas, kering, mula-mula ada tanda kontraktur,
anestesi, pemeriksaan bakteriologi (+/-), tes lepromin (+/-).
d. Tipe BB (Mid Borderline) : Makula eritematosa, menonjol,
bentuk tidak teratur, kasar, ada lesi satelit, penebalan saraf dan
kontraktur, pemeriksaan bakteriologi (+), tes lepromin (-).
e. Tipe BL (Borderline Lepromatosa) : Makula infiltrat merah
mengkilat, tak teratur, batas tak tegas, pembengkakan saraf,
pemeriksaan bakteriologi ditemukan banyak basil, tes lepromin
(-).
f. Tipe LL (Lepromatosa) : Infiltrat difus berupa nodula simetri,
permukaan mengkilat, saraf terasa sakit, anestesi, pemeriksaan
bakteriologi positif kuat, tes lepromin (-).
I. PEMERIKSAAN ANJURAN
1. Sinar Wood : fluoresensi kuning keemasan
2. Mikroskopik preparat KOH 10-20 % dari kerokan kulit lesi : tampak
kelompok-kelompok hifa pendek tebal 3-8 µ, di kelilingi spora
berkelompok berukuran 1-2 µ (spaghetti and meatballs).
J. PENATALAKSANAAN
Medikamentosa
Sistemik:
Ketokonazol 200 mg selama 10 hari
Itrakonazol 100 mg/ hari selama 10 hari
Loratadine 10 mg 1x1 perhari selama 20 hari
Topikal (khusus) :
Bentuk makular : salep whitfield atau larutan natrium tiosulfit 20%
dioleskan setiap hari
6
Bentuk folikular : dapat dipakai tiosulfat natrikus 20-30%.
Obat-obat anti jamur golongan imidazole (ekonazol, mikonazol,
klotrimazol dan tolsiklat) dalam krim atau salep 1-2% juga berkhasiat.
Asam salisilat
Liquid carbonis detergent (LCD)
Shampoo ketokonazol 2% untuk mandi (didiamkan 5-15 menit sebelum
dibilas) selama 2-4 minggu.
a. Non Medikamentosa
1. Menjelaskan kepada pasien bahwa penyakit ini disebabkan oleh jamur
2. Menjelaskan pada pasien tentang pengobatan, untuk mengoleskan 2 kali
sehari pada lesi dan menyarankan untuk teratur memakai obat
3. Menyarankan pasien untuk menghindari suasana yang lembab dan
keringat berlebihan, dan memakai pakaian dari bahan yang dapat
menyerap keringat dan longgar
4. Menjaga hygiene perseorangan :
a) Mencegah garukan dan gosokan pada daerah yang gatal
b) Istirahat yang cukup
c) Menjaga kebersihan kulit dengan mandi minimal 2 kali sehari
K. PROGNOSIS
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
Quo ad cosmeticum : bonam
7
II. TINJAUAN PUSTAKA
PITIRIASIS VERSIKOLOR (PANU)
A. Definisi
Pitiriasis versikolor yang disebabkan Malassezia furfur Robin
(BAILLON 1889) adalah penyakit jamur superfisial yang kronik, biasanya
tidak memberikan keluhan subyektif, berupa bercak berskuama halus yang
berwarna putih sampai coklat hitam, terutama meliputi badan dan kadang-
kadang dapat menyerang ketiak, lipat paha, lengan, tungkai atas, leher, muka,
dan kulit kepala yang berambut (Djuanda, 2010). Pitiriasis versikolor
merupakan infeksi jamur superfisial yang ditandai dengan adanya macula
dikulit, skuama halus disertai rasa gatal (Siregar, 2004).
Pitiriasis versikolor (PV) adalah penyakit jamur superfisial yang kronik,
biasanya asimtomatik, disebabkan oleh Malassezia furfur berupa bercak
dengan pigmentasi yang bervariasi pada umumnya mengenai badan (Jhonson
and Suurmond, 2007).
B. Sinonim
Nama lain dari pitiriasis versikolor adalah tinea versikolor,
kromofitosis, dermatomikosis, liver spots, tinea flava, pitiriasis versikolor
flava dan panu (Budimulja, 2003; Djuanda, 2010).
C. Epidemiologi
Pitiriasis versikolor lebih sering terjadi di daerah tropis dan mempunyai
kelembabab tinggi. Walaupun kelainan kulit lebih terlihat pada orang berkulit
gelap, namun angka kejadian pitiriasis versikolor sama di semua ras. Beberapa
penelitian mengemukakan angka kejadian pada pria dan wanita dalam jumlah
yang seimbang. Di Amerika Serikat, penyakit ini banyak ditemukan pada usia
15-24 tahun, dimana kelenjar sebasea (kelenjar minyak) lebih aktif bekerja.
8
Angka kejadian sebelum pubertas atau setelah usia 65 tahun jarang ditemukan.
Di negara tropis, penyakit ini lebih sering terjadi pada usia 10-19 tahun.
Pitiriasis versikolor, atau tinea versikolor, atau panu termasuk mikosis
superfisialis yang sering dijumpai. Sekitar 50% penyakit kulit di masyarakat
daerah tropis adalah pitiriasis versikolor, sedang di daerah subtropis sekitar
15% dan di daerah dingin kurang dari 1%. Pitiriasis versikolor umumnya tidak
menimbulkan keluhan, paling-paling sedikit gatal, tetapi lebih sering
menyebabkan gangguan kosmetik, terutama pada penderita wanita.
D. Etiologi
Malassezia furfur (sebelumnya dikenal dengan nama Pityrosporum ovale,
P. orbiculare) adalah jamur lipofilik yang normal terdapat pada keratin kulit
dan folikel rambut. Jamur ini merupakan organisme oportunistik yang dapat
menyebabkan pitiriasis versikolor (Wolff et al, 2007). Jamur ini
membutuhkan asam lemak untuk tumbuh (Boel, 2003).
Gambar 2.1. Malassezia Furfur
Kingdom : Fungi
Phylum : Basidiomycota
Class : Hymenomycetes
Order : Tremellales
Family : Filobasidiaceae
Genus : Malassezia
Selain mengakibatkan Pitiriasis Versikolor, Malassezia Furfur juga dapat
mengakibatkan dermatitis seboroik, folikulitis, dan blefaritis. Koloni
Malassezia furfur dapat tumbuh dengan cepat dan matur dalam 5 hari dengan
9
suhu 30-37 °C. Warna koloni Malassezia Furfur adalah kuning
krem (Nasution, 2005).
Gambar 2.2. Koloni Malassezia Furfur
Malassezia furfur memiliki fragmen hifa dengan gambaran seperti
sphagetti atau meatboll saat dilihat dengan mikroskop. Sel jamur terdiri dari 2
bentuk (Nasution, 2005):
1. Bentuk Hifa (pseudo hifa) yang merupakan bentuk vegetatif
2. Bentuk spora yang merupakan bagian jamur untuk bertahan hidup
Malassezia furfur merupakan “Lipophilic yeast” (jamur yang hanya bisa
tumbuh pada jaringan lemak) berupa kelompok sel-sel bulat, bertunas,
berdinding tebal, hifanya berbatang pendek dan tidak lurus. Malassezia sp
menghasilkan konidia sangat kecil atau mikrokonidia pada hifanya, tetapi
disamping itu juga menghasilkan makrokonidia besar dan berbentuk
gelendong yang jauh lebih besar daripada mikrokonidianya. Pemeriksaan
mikroskopi menunjukkan adanya untaian jamur yang terdiri dari spora dan
hifa yang saling bergabung satu sama lainnya. Pada sediaan media SDA yang
ditambahkan olive oil, jamur Malassezia furfur terlihat seperti koloni yeast di
bawah tetesan lemak (Dhuhita, 2008).
E. Faktor Predisposisi
Suhu yang tinggi, kulit berminyak, hiperhidrosis, faktor herediter,
pengobatan dengan glukokortikoid, dan defisiensi imun. Pemakaian minyak
seperti minyak kelapa merupakan predisposisi terjadinya Pitiriasis Versikolor
pada anak-anak (Wolff, 2007).
Faktor predisposisi lain adalah (Brannon dan Fitrie, 2004) :
10
1) Pengangkatan glandula adrenal
2) Penyakit Cushing
3) Kehamilan
4) Malnutrisi
5) Luka bakar
6) Terapi steroid
7) Supresi sistem imun
8) Kontrasepsi oral
9) Suhu Panas
10) Kelembapan (Brannon dan Fitrie, 2004)
F. Patogenesis
Pada kulit terdapat flora normal yang berhubungan dengan timbulnya
Tinea versikolor ialah Pityrosporum orbiculare yang berbentuk bult atau
Pityrosporum ovale yang berbentuk oval. Keduanya merupakan organisme
yang sama, dapat berubah sesuai dengan lingkungannya, misalnya suhu,
media, dan kelembaban (Djuanda, 2010).
Malassezia furfur merupakan fase spora dan miselium. Faktor
predisposisi menjadi patogen dapat endogen maupun eksogen. Endogen dapat
disebabkan diantaranya oleh defisiensi imun. Eksogen dapat karena faktor
suhu, kelembaban udara, dan keringat (Djuanda, 2010).
G. Gejala Klinis
Kelainan kulit pitiriasis versikolor sangat superfisial dan ditemukan
terutama di badan. Kelainan ini terlihat sebagai bercak-bercak berwarna-
warni, bentuk tidak teratur sampai teratur, batas jelas sampai difus. Bercak-
bercak tersebut berfluoresensi jika dilihat dengan lampu Wood. Bentuk
papulovesikuler dapat terlihat walaupun jarang. Kelainan biasanya
asimptomatik sehingga adakalanya penderita tidak mengetahui bahwa ia
mempunyai penyakit tersebut (Djuanda, 2010).
Kadang-kadang penderita dapat merasakan gatal ringan, yang merupakan
alasan berobat. Pseudoakromia, akibat tidak terkena sinar matahari atau
11
kemungkinan pengaruh toksis jamur terhadap pembentukan pigmen, sering
dikeluhkan penderita. Penyakit ini sering terlihat pada remaja, walaupun anak-
anak dan orang dewasa tua tidak luput dari infeksi. Menurut BURKE (1961)
ada beberapa faktor yang mempengaruhi infeksi yaitu faktor herediter,
penderita yang sakit kronik atau yang mendapatkan pengobatan steroid dan
malnutrisi (Djuanda, 2010).
Biasanya tidak ada keluhan (asimtomatis), tetapi dapat dijumpai gatal
pada keluhan pasien. Pasien yang menderita pitiriasis versikolor biasanya
mengeluhkan bercak pigmentasi dengan alasan kosmetik. Predileksi pitiriasis
vesikolor yaitu pada tubuh bagian atas, lengan atas, leher, abdomen, aksila,
inguinal, paha, genitalia (Wolff, 2007).
Bentuk lesi tidak teratur, berbatas tegas sampai difus dengan ukuran lesi
dapat milier, lentikuler, numuler sampai plakat. Ada dua bentuk yang sering
dijumpai (Boel, 2003):
1. Bentuk makuler : berupa bercak yang agak lebar, dengan squama halus
diatasnya, dan tepi tidak meninggi.
2. Bentuk folikuler : seperti tetesan air, sering timbul disekitar rambut
Gejala klinis dari pitiriasis versikolor juga dapat ditentukan berdasarkan
(Murtiastutik, 2009):
1. Gatal bila berkeringat
2. Lokasi lesi pada umumnya terdapat pada badan (dada, punggung), leher,
lengan atas, selangkang, bisa ditemukan pada daerah lain termasuk muka.
3. Terdapat tiga bentuk lesi :
a. Makular : soliter dan biasanya saling bertemu (koalesen) dan tertutup
skuama
b. Papuler : bulat kecil-kecil perifolikuler, sekitar folikel rambut dan
tertutup skuama
c. Campuran lesi makular dan papular
4. Warna lesi bervariasi : putih (lesi dini), kemerahan, dan coklat (lesi lama)
bentuk kronis akan didapatkan bermacam warna
12
5. Selesai terapi biasanya didapatkan depigmentasi residual tanpa skuama di
atasnya yang akan menetap dalam beberapa bulan sebelum kembali
normal.
H. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan atas dasar gambaran klinis, pemeriksaan
fluoresensi, lesi kulit dengan lampu Wood, dan sediaan langsung. Gambaran
klinis dapat dilihat pada judul “gejala klinis”, fluoresensi lesi kulit pada
pemeriksaan lampu Wood berwarna kuning keemasan dan pada sediaan
langsung kerokan kulit dengan larutan KOH 20% terlihat campuran hifa
pendek dan spora-spora bulat yang dapat berkelompok (Djuanda, 2010).
1. Diagnosis ditegakkan dengan gejala klinis, penemuan klinis berupa
makula, berbatas tegas, bulat atau oval dengan ukuran yang bervarisasi.
2. Mikroskopi langsung.
Kerokan kulit diambil dari bercak pityriasis versikolor, atau dengan
menggunakan cellotape yang ditempel pada bercak. Setelah diambil
diletakkan di atas gelas objek kemudian ditetesi KOH 10-20% atau
campuran 9 bagian KOH 10-20% dengan 1 bagian tinta Parker blueblack
superchrome X akan lebih memperjelas pembacaan karena memberi
tampilan warna biru yang cerah pada elemen-elemen jamur. Kemudian
dipanaskan sebentar diatas lampu bunsen untuk memfiksasi, dan dilihat di
bawah mikroskop dengan pembesaran 40 kali (Nasution, 2005).
a) Hasil Positif: hifa pendek, lurus, bengkok (seperti huruf i.v.j) dan
gerombolan spora budding yeast yang berbentuk bulat mirip seperti
sphagetti with meatballs.
b) Hasil Negatif: bila tidak ada lagi hifa, maka berarti bukan pitiriasis
versicolor walaupun ada spora.
3. Pemeriksaan dengan Wood's Lamp
Penyakit kulit yang disebabkan oleh golongan Malassezia dapat
dideteksi dengan lampu wood dimana akan timbul fluoresensi berwarna
kuning keemasan (Nasution, 2005).
13
Gambaran 2.3. Spaghetti And Meatballs
I. Diagnosis Banding
1. Pitiriasis versicolor dengan lesi hiperpigmentasi yaitu : pitiriasis rosea,
Eritrasma, Dermatitis Seboroik, tinea korporis
2. Pitiriasis versicolor dengan lesi hipopigmentasi yaitu : Pitiriasis Alba,
Vitiligo, Morbus Hansen tipe Tuberkuloid, Hipopigmentasi pascainflamasi
(leukoderma) (Murtiastutik, 2009; Wolff, 2007)
J. Penatalaksanaan
1. Obat topikal (digunakan bila lesi tidak terlalu luas)
a. Krim mikonazol 2%, dioleskan 2 kali sehari selama 3-4 minggu untuk
lesi di muka dan badan yang tidak luas.
b. Solusio Natrium Tiosulfat 25%, dioleskan 2 kali sehari selama 2
minggu (kurang dianjurkan oleh karena bisa menyebabkan iritasi,
berbau tidak enak dan tidak boleh untuk daerah wajah dan leher)
c. Krim Tritenoin 0,05%-0,1% untuk lesi hiperpigmentasi dioleskan 2 kali
sehari selama 2 minggu
d. Shampo Ketokonazol 1-2% dioleskan pada lesi selama 10-15 menit
sebelum mandi 2 kali seminggu selama 2-4 minggu
e. Larutan propilen glikol 50% dalam air dioleskan seluruh tubuh 2 kali
sehari selama 2 minggu. Merupakan sediaan yang murah, efektif,
kosmetik bagus, memberikan hasil bagus dan sangat kecil efek iritasi
kulitnya (Murtiastutik, 2009).
14
2. Obat sistemik (digunakan bila lesi luas, resisten terhadap obat topikal,
sering kambuh)
a. Ketokonazol :
Dosis anak-anak 3,3-6,6 mg/kgBB/hari
Dosis dewasa 200 mg/hari (1 tablet)
Diberikan sekali sehari sesudah makan pagi
Lama pemberian 10 hari
b. Itrakonazol
Dosis 200 mg (2 kapsul)/hari selama 1 minggu (Murtiastutik, 2009)
3. Mencegah kekambuhan
Ketokonazol 2 tablet sekali minum sebulan sekali selama 1 tahun
4. Terapi hipopigmentasi (leukoderma)
a. Liquor carbonas detergent 5%, salep pagi/malam
b. Krim kortikosteroid menengah pagi/malam
c. Jemur di panas matahari +/- 10 menit antara jam 10.00-15.00
(Murtiastutik, 2009).
Pengobatan juga harus dilakukan menyeluruh, tekun dan konsisten. Obat-
obatan yang dapat dipakai antara lain suspensi selenium sulfide (selsun) dapat
dipakai sebagai sampo 2-3 kali seminggu. Obat digosokkan pada lesi dan
didiamkan 15-30 menit sebelum mandi. Obat lainnya adalah salisil spiritus
10%; derivat-derivat azol misalnya mikonazol, klotrimazol, isokonazol,
ekonazol, sulfur presipitatum dalam bedak kocok 4-20%, tolsiklat, tolnaftat,
dan haloprogin. Jika sulit disembuhkan ketokonazol dapat dipertimbangkan
dengan dosis 1 x 200 mg selama 10 hari (Djuanda, 2010).
Disamping pengobatan, penting juga memberikan edukasi atau nasehat
kepada penderita agar (Murtiastutik, 2009; Wolff, 2007):
a) Memakai pakaian yang tipis
b) Memakai pakaian yang berbahan cotton
c) Tidak memakai pakaian yang terlalu ketat
15
K. Prognosis
Prognosis baik bila pengobatan dilakukan menyeluruh, tekun, dan
konsisten. Pengobatan harus diteruskan 2 minggu setelah fluoresensi negatif
dengan pemeriksaan lampu wood dan sediaan langsung negatif (Djuanda,
2010).
16
III. PEMBAHASAN
Pasien NN. Y datang sendiri ke poliklinik penyakit kulit dan kelamin
RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo pada tanggal 23 September 2013 dengan
keluhan utama gatal pada tangan kanan dan kiri, paha kanan dan kiri dan pipi
kanan. Pasien kemudian didiagnosis pitiriasis versikolor (panu) berdasarkan
anamnesis, dan juga pemeriksaan fisik. Berdasarkan anamnesis, di dapatkan
keluhan gatal pada tangan, paha dan pipi. Awalnya timbul bercak-bercak putih
hanya sedikit tetapi semakin lama bercak putih tersebut semakin meluas dan
banyak. Gatal terutama timbul saat berkeringat, cuaca panas dan beraktivitas. Hal
ini sesuai dengan gambaran pitiriasis versikolor yang dikarakteristikkan oleh
makulae irreguler depigmentasi berskuama, yang paling sering terjadi pada tubuh
dan ekstremitas, serta dapat disertai oleh pruritus ringan (Brannon, 2004).
Pasien merupakan seorang pelajar SMA yang sering bermain dan
memakai pakaian dan celana yang ketat. Pasien juga mengaku sejak 3 bulan ini
pasien mengeluhkan cuaca yang panas dan cepat berkeringat. Data ini juga
menguatkan dugaan dari diagnosis pitiriasis versikolor atau panu. Hal ini
disebabkan karena pasien memiliki faktor predisposisi untuk terjadinya pitiriasis
versikolor, yaitu sering memakai pakaian dan celana yang ketat, tinggal di daerah
tropis, kelembaban, dan sering berkeringat.
Ruam terletak di kedua tangan, kedua paha dan pipi kanan yang
merupakan tempat yang paling sering timbulnya pitiriasis versikolor, yaitu di
wajah, sekitar paha dan ekstremitas. Gambaran ruam pada pasien ini berupa
makula hipopigmentasi dengan skuama halus diatasnya yang berbatas tegas
menurunkan kemungkinan diagnosis pityriasis alba dan vitiligo. Pityriasis alba
biasanya berlokasi di wajah, bagian luar lengan dan bahu. Lesinya berbatas tidak
tegas dan skuama lebih kasar, lesi tampak berwarna abu-abu dan fluoresensi di
bawah lampu Wood. Vitiligo biasanya mudah dikenali dengan area-area
depigmentasi berbatas tegas dan tidak berskuama, biasanya di regio wajah,
ekstremitas dan genital (Brannon, 2004).
Selain dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, diagnosis pityriasis
versicolor ditegakkan dari pemeriksaan penunjang, yaitu pemeriksaan dengan
17
lampu Wood dan KOH. Pemeriksaan di bawah lampu Wood menunjukkan
fluoresensi kuning keemasan yang sesuai dengan gambaran pitiriasis versikolor.
Pemeriksaan dengan mikroskopik KOH 10-20% dari kerokan kulit lesi
menunjukkan hifa pendek dengan gerombolan spora budding yeast yang
berbentuk bulat seperti “spaghetti and meatballs” (Nasution, 2005).
Pitiriasis versikolor merupakan suatu infeksi kulit oportunistik. Malassezia
spp. merupakan bagian dari flora normal kulit, terdapat predominan pada area
seboroik oleh karena sifat ketergantungan lipid mereka (kecuali M.
pachydermatis). Sebagian besar kasus pitiriasis versikolor terjadi karena aktifasi
Malassezia pada tubuh penderita sendiri (autothocus flora), walaupun dilaporkan
pula adanya penularan dari individu lain. Kondisi patogen terjadi bila terdapat
perubahan keseimbangan hubungan antara hospes dengan ragi sebagai flora
normal kulit. Dalam kondisi tertentu, yakni faktor predisposisi, Malassezia akan
berkembang ke bentuk miselial, dan bersifat patogenik (Budimulja, 2007;
Radiono, 2004).
Pasien ini mendapatkan terapi loratadine 10 mg, inerson 15 mg, liquid
carbonis detergent dan asam salisilat topikal. Pasien juga diberikan edukasi untuk
menghindari faktor-faktor predisposisi timbulnya pitiriasis versikolor, dengan
menghindari kelembaban berlebihan dan tidak memakai pakaian dan celana yang
terlalu ketat. Pasien harus diberi informasi bahwa pitiriasis versikolor disebabkan
oleh jamur yang normalnya ada di permukaan kulit sehingga tidak menular.
Terapi oral juga efektif untuk pitiriasis versikolor dan seringkali lebih dipilih pada
pasien karena lebih mudah dan tidak memakan waktu. Obat-obatan yang dapat
dipakai antara lain suspensi selenium sulfide (selsun) dapat dipakai sebagai sampo
2-3 kali seminggu. Obat digosokkan pada lesi dan didiamkan 15-30 menit
sebelum mandi. Obat lainnya adalah salisil spiritus 10%; derivat-derivat azol
misalnya mikonazol, klotrimazol, isokonazol, ekonazol, sulfur presipitatum dalam
bedak kocok 4-20%, tolsiklat, tolnaftat, dan haloprogin. Jika sulit disembuhkan
ketokonazol dapat dipertimbangkan dengan dosis 1 x 200 mg selama 10 hari
(Djuanda, 2010).
18
IV. KESIMPULAN
1. Pasien seorang perempuan berusia 17 tahun datang dengan keluhan gatal
pada kedua tangan, kedua paha, dan pipi kanan sejak 3 bulan yang lalu
2. Ujud kelainan kulit yang ditemukan pada pasien berupa makula
hipopigmentasi disertai skuama halus di atasnya pada regio facialis dextra,
regio antebrachii dextra dan sinistra, regio femoris dextra dan sinistra
3. Terapi pada pasien secara medikamentosa dengan pemberian obat sistemik
(itrakonazol, loratadin, inerson, ketokonazol), dan obat topikal (asam salisilat,
liquid carbonis detergent, shampoo ketokonazol 2% untuk mandi). Sedangkan
terapi secara non medikamentosa yaitu untuk menghindari suasana yang
lembab dan keringat berlebihan, memakai pakaian yang berbahan cotton,
tidak memakai pakaian yang terlalu ketat dan menjaga higiene perorangan
4. Prognosis baik bila pengobatan dilakukan menyeluruh, tekun, dan konsisten.
Pengobatan harus diteruskan 2 minggu setelah fluoresensi negatif dengan
pemeriksaan lampu wood dan sediaan langsung negatif
19
DAFTAR PUSTAKA
Boel, T. 2003. Mikosis Superfisial. Fakultas kedokteran Gigi USU. Diambil dari
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1174/1/fkg-trelia1.pdf.
Diakses tanggal 29 September 2013.
Brannon, H. 2004. Tinea Versicolor. Diambil dari www.about.com/Dermatology.
Diakses tanggal 28 September 2013.
Brooks,F Geo. 2006. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta : EGC
Budimulja, U. 2003. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin, Edisi Ketiga. Jakarta :
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Budimulja U. 2007. Mikosis. Dalam buku: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S,
editor. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin, Edisi Ke-5. Jakarta: FKUI. Hal
100-101
Dhuhita, Ayuningtiyas. 2008. Aktivitas Minyak Atsiri Rimpang Bengle (Zingiber
Cassumunar Roxb.) Terhadap Pertumbuhan Malassezia Furfur In Vitro.
Semarang : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro
Djuanda, A., Hamzah M., Aisah S. 2010. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi
Keenam. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal 100-101
Fitrie, A.A. 2004. Histologi dari Melanosit. Fakultas Kedokteran Bagian Histologi
Universitas Sumatera Utara. Diambil
dari http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1929/1/histologi-
alya2.pdf. Diakses pada tanggal 27 September 2013
Johnson. R.A, Suurmond, D. 2007. Fitzpatrick’s, The Color Atlas And Synopsis
Of Clinical Dermatology, Fifth Edition. E-book : The McGraw-Hill
Companies
Murtiastutik, D., Ervianti, E., Agusni, I., Suyoso, S,. 2009. Atlas Penyakit Kulit
Dan Kelamin. Ed. II. Surabaya: Airlangga University Press
Nasution, M.A. 2005. Mikologi dan Mikologi kedokteran, Beberapa Pandangan
Dermatologis, Pidato jabatan pengukuhan guru besar tetap USU. Medan
Radiono S. 2004. Pitiriasis Versikolor. Dalam: Budimulja U, Kuswadji, Bramono
K, Menaldi SL, Dwihastuti P, Widaty S. Dermatomikosis Superfisialis.
Jakarta : Balai Penerbit FKUI. Hal : 19-23
20
Siregar, S R. 2004. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit Edisi 2. Jakarta : EGC.
Hal 10-12
Wolff K, Johnson RA, Suurmond, D. 2007. Fitzpatrick’s, The Color Atlas and
Synopsis of Clinical Dermatology, fifth edition. E-book : The McGraw-Hill
Companies
21
Top Related