PENDAHULUAN
Mual dan muntah merupakan hal yang umum dalam kehamilan. Sekitar 50%-90%
kehamilan disertai dengan mual dan muntah yang dikenal sebagai emesis gravidarum (Niebyl,
2010). Wanita yang mengalami emesis gravidarum atau morning sickness 2% mengalami mual
di pagi hari dan 80% mual sepanjang hari. Kondisi ini biasanya ringan, dapat hilang sendiri dan
puncak keluhan pada sekitar 9 minggu kehamilan. Usia kehamilan 20 minggu biasanya gejala
berhenti namun pada 13% kehamilan, mual dan muntah dapat bertahan hingga 20 minggu
kehamilan (Mylonas, 2007, Sheehan, 2007).
Sejumlah kecil wanita hamil mengalami mual dan muntah berat yang disebut hiperemesis
gravidarum. Hiperemesis gravidarum ditandai oleh muntah berat yang menyebabkan penderita
kekurangan cairan, gangguan keseimbangan elektrolit dan asam basa, defisiensi nutrisi dan
penurunan berat badan. Insidensi hiperemesis gravidarum bervariasi antara 0,3 – 1,5% kelahiran
hidup. Etiologi hiperemesis gravidarum sendiri masih belum jelas, namun insiden menigkat pada
kondisi yang berhubungan denghan konsentrasi HCG dan estrogen yang tinggi. Insiden
hiperemesis gravidarum sendiri yaitu 3,5 per 1000 kelahiran (Sheehan, 2007, Sonsukare, 2008).
Wanita hamil dengan hiperemesis gravidarum memuntahkan makanan dan minuman yang
dikonsumsi sehingga berat badannya turun, turgor kulit dan diuresis berkurang. Dapat pula
terjadi alkalosis hipokalemia, ketosis, asetonuria ptyalism dan timbul asetonuria apabila tidak
tertangani. Keadaan demikian membutuhkan perawatan di rumah sakit. Sekitar 5% dari ibu
hamil membutuhkan penanganan untuk penggantian cairan dan kroeksi ketidaksembangan
elektrolot. Prognosis pada pasien hiperemesis gravidarum pada umumnya baik, tetapi tetap
memberikan efek buruk pada pertumbuhan janin. Gejala yang timbul pada pasien mual dan
muntah serta penurunan nafsu makan membuat asupan nutrisi ibu semakin berkurang. Suplai
nutrisi pada janin tidak adekuat sehingga dapat menghambat pertumbuhan janin jika hal ini tidak
segera ditangani (Sacramento, 2008). Hal inilah yang menjadi alasan penulis mengajukan kasus
gravidarum sebagai laporan presentasi kasus kali ini.
Hiperemesis gravidarum
a. Definisi
Pasien ini didiagnosis sebagai hiperemesis gravidarum atas dasar yang pertama
adalah pasien wanita hamil dengan usia kehamilan 12 minggu 5 hari. Kedua adalah
keluhan utama pasien yaitu mual dan muntah yang memburuk sejak 2 hari yang lalu.
Adapun nyeri pada lapang perut, hilang timbul dan terasa melilit.
Ada beberapa variasi dalam literatur mengenai definisi yang tepat dari hiperemesis
gravidarum. Hal ini sering didefinisikan sebagai mual dan muntah keras selama
kehamilan cukup parah dan memerlukan rawat inap. Selain itu, kondisi muncul selama
trimester pertama dan tidak berhubungan dengan kondisi medis lainnya, seperti
kolestasis, hepatitis, preeklampsia, sindrom virus, atau influenza (Sacramento, 2008).
Definisi paling umum yang dapat diterima adalah bahwa hiperemesis gravidarum
adalah bentuk mual dan muntah yang parah dengan penurunan berat badan lebih dari
5% dari berat badan sebelum hamil, dehidrasi, asidosis karena kelaparan, alkalosis
karena kehilangan asam klorida, hipokalemia, ketosis, acetonuria, dan ptyalism (air
liurberlebihan) (Sacramento, 2008).
Dalam kebanyakan kasus, onset gejala adalah antara 4 dan 10 minggu kehamilan
dan gejala biasanya mereda pada 20 minggu kehamilan. Secara klinis, praktisi biasanya
mengobati mual dan muntah pada awal kehamilan, terlepas dari apakah pasien cocok
untuk semua kriteria diagnosis hiperemesis gravidarum (Verberg, 2005).
Hiperemesis gravidarum(HG) adalah kondisi yang menyebabkan mual dan muntah
pada awal kehamilan sering mengakibatkan masuk rumah sakit. Insiden HG adalah
sekitar0,5% dari kelahiran hidup, dikatakan lebih tinggi pada kehamilan ganda,mola
hidatidosa dan kondisi lain yang berhubungan dengan meningkatnya hormon
kehamilan. (Jueckstock,2010)
b. Faktor resiko
Faktor resiko yang terdapat pada pasien ini adalah kondisi psikologis dan usia
kehamilan kurang dari 20 minggu. Beberapa peneliti telah menemukan bahwa faktor-
faktor berikut meningkatkan resiko untuk hiperemesis gravidarum, yaitu: (Deshayne,
2006; MacGibbon, 2010)
1. Kehamilan kembar,
2. Nullipara,
3. Usia ibu hamil yang masih muda
4. Obesitas,
5. Gangguan metabolik,
6. Riwayat HG di kehamilan sebelumnya,
7. Kelainan trofoblas (contoh: kehamilan mola),
8. Psikologis (misalnya, gangguan makan seperti anoreksia nervosa atau bulimia).
9. Kelainan janin
c. Derajat hiperemesis gravidarum
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang didapatkan
bahwa pasien menderita Hiperemesis Gravidarum derajat 1. Hiperemesis gravidarum
sendiri terbagi atas beberapa derajat sesuai dengan tanda dan gejala yang dialaminya,
yaitu :
a) Tingkat 1
Muntah terus menerus (muntah> 3-4 kali/hari, dan mencegah dari masuknya
makanan atau minuman selama 24 jam) yang menyebabkan ibu menjadi lemah,
tidak ada nafsu makan, berat badan turun (2-3kg dalam 1-2 minggu), nyeri ulu hati,
nadi meningkat sampai 100x permenit, tekanan darah sistolik menurun, tekanan
kulit menurun, lidah mengering dan mata cekung (Rudis, 2011, Wiknjosastro,
2006).
b) Tingkat 2
Penderita tampak lebih lemah dan tidak peduli pada sekitarnya, turgor kulit lebih
mengurang, lidang mengering dan nampak kotor, nadi kecil dan cepat, suhu
kadang-kadang naik dan mata sedikit kuning. Berat badan turun dan mata menjadi
cekung, tekanan darah turun,pengentalan darah, urin berkurang, dan sulit BAB.
Aseton dapat tercium dalam hawa pernapasan, karena mempunyai aroma yang khas
dan dapat pula ditemuykan dalam kencing (Rudis, 2011, Wiknjosastro, 2006).
c) Tingkat 3
Keadan umum lebih parah, muntah berhenti, kesadaran menurun sampai koma, nadi
kecil dan cepat,suhu meningkat, dan tekanan darah turun. Komplikasi fatal terjadi
pada susunan saraf yang dikenal sebagai Ensefalopati Wernicke, dengana gejala:
nistagmus, diplopia, dan perubahan mental. Keadaan ini akibat kekurangan zat
makanan termasuk vitamin B kompleks.Jika sampai ditemukan kuning berarti
sudah ada gangguan hati (Rudis, 2011, Wiknjosastro, 2006).
d. Penegakan diagnosis
Diagnosis HG biasanya tidak sukar. Harus ditentukan adanya kehamilan muda dan
muntah yang terus menerus, sehingga mempengaruhi keadaan umum. Namun demikian
harus dipikirkan kehamilan muda dengan penyakit pielonefritis, hepatitis, ulkus
ventrikuli, dan tumor serebri yang dapat pula memberikan gejala muntah. HG yang terus
menerus dapat menyebabkan kekurangan makanan yang dapat mempengaruhi
perkembangan janin, sehingga pengobatan perlu segera diberikan (Wiknjosastro, 2005).
Beberapa hal di bawah ini harus dipenuhi untuk dapat menegakkan diagnosis HG,
yaitu muntah terus-menerus tanpa penyebab lain, tidak mampu mengkonsumsi makanan
apapun, adanya gangguan metabolik (ketonuria berat), penurunan berat badan, dan
keadaan umum yang memburuk (Buhling & David, 2008).
e. Patogenesis dan Patofisiologi
1. Fisiologi Muntah
Mual merupakan perasaan tidak nyaman subjektif di balik kerongkongan yang
merupakan sinyal terhadap muntah. Sementara muntah merupakan eliminasi paksa isi
perut melalui mulut yang dibantu oleh otot perut dan pembukaan sfingter lambung
(Shelke et al., 2004).
Muntah dengan tanda awal berupa mual terutama merupakan refleks
perlindungan. Pusat muntah terletak di medula oblongata, melalui kemoreseptor pada
area postrema di bawah ventrikel keempat (zona pencetus kemoreseptor/ CTZ)
(Silbernagl & Lang, 2007). Area ini tidak dilindungi oleh sawar darah otak, sehingga
dapat dipengaruhi oleh bahan-bahan perangsang muntah melalui cairan serebrospinal
maupun melalui darah (Shelke et al., 2004). CTZ diaktivasi oleh agonis dopamin
seperti apomorfin, oleh banyak obat atau toksin, seperti digitalis glikosida, nikotin,
enterotoksin stafilokokus serta hipoksia, uremia, dan diabetes melitus. Sel-sel CTZ
juga mengandung reseptor neurotransmitter seperti epinefrin, serotonin, GABA, serta
substansi P. Akan tetapi pusat muntah dapat juga diaktivasi tanpa perantara CTZ
seperti pada perangsangan nonfisiologis di organ keseimbangan (motion sickness) dan
penyakit vestibular seperti Meniere (Silbernagl & Lang, 2007).
Pusat muntah dapat diaktifkan melalui saluran pencernaan melalui aferen n. vagus
pada beberapa kondisi di bawah ini (Silbernagl & Lang, 2007):
a. Peregangan lambung yang berlebihan atau kerusakan mukosa lambung misalnya
akibat alkohol
b. Pengosongan lambung yang terlambat misalnya akibat makanan yang sukar
dicerna serta akibat penghambatan saluran keluar lambung misalnya pada stenosis
pilorus, atau tumor, atau pada penghambatan pada usus seperti atresia atau ileus.
c. Distensi berlebihan atau inflamasi peritoneum, saluran empedu, pankreas, dan
usus.
Pusat muntah dapat diaktivasi juga oleh serabut aferen visera dari jantung,
misalnya pada iskemia koroner. Muntah dapat juga dipicu dengan sengaja dengan
meletakkan satu jari di kerongkongan (saraf aferen dari sensor raba di faring). Selain
itu, muntah dapat diakibatkan karena pajanan terhadap radiasi (radioterapi) dan
peningkatan tekanan intrakranial (Silbernagl & Lang, 2007).
Muntah dapat disebabkan oleh rangsangan terhadap satu atau lebih dari 4 lokasi
seperti nampak pada gambar 1, yaitu: saluran pencernaan, organ vestibular, CTZ, dan
korteks dan thalamus. Ketika reseptor teraktivasi, impuls ditransmisikan baik oleh
aferen n. vagus maupun saraf simpatis ke pusat muntah bilateral di medulla, yang
terletak di dekat traktus solitarius setingkat mukleus motorik dorsalis vagus menuju
pusat muntah melalui saraf kranialis IX (glosofaringeus) dan X (vagus). Reseptor-
reseptor yang sudah diketahui diantaranya adalah H1 histamine, M1 acetylcholine, 5-
HT3 serotonine, DA2 dopamine, NK1 neurokinin, substansi P, dan mu/ kappa opioid.
Transmisi mediator pada korteks serebri dan thalamus belum diketahui dengan pasti,
namun diduga CB1 cortical cannabinoid (Becker, 2010; Guyton & Hall, 2007).
Gambar 2. 1. Rangsangan Pusat Muntah (Becker, 2010).
Impuls motorik ditransmisikan dari pusat muntah melalui saraf kranialis V, VII,
IX, X, dan XII ke saluran pencernaan bagian atas dan melalui saraf spinalis ke
diafragma dan otot abdomen. Sebelum muntah terjadi, terdapat periode antiperistaltis
yang menyebabkan kontraksi terjadi ke atas bukan ke bawah. Kemudian saat saluran
pencernaan bafian atas terutama duodenum menjadi sangat meregang, peregangan ini
menjadi faktor pencetus muntah yang sebenarnya. Pada saat muntah, kontraksi
intrinsik kuat terjadi baik pada duodenum maupun pada lambung, bersama dengan
relaksasi sebagian sfingter esofagus bagian bawah, sehingga membuat muntahan mulai
bergerak ke dalam esofagus. Dari sini, kerja muntah spesifik yang melibatkan otot-otot
abdomen mengambil alih dan mendorong muntahan ke luar (Guyton & Hall, 2007).
CHEMORESEPTOR TRIGGER
ZONE
(CTZ)
OrganVestibular
[H2, M2]
Korteks Thalamus
[Kecemasan, Nyeri]
Saluran Pencernaan
[5-HT3]
Pusat Muntah[H1, M1, NK1, 5-HT3]
Sekali pusat muntah telah cukup dirangsang dan timbul muntah, yang terjadi
adalah bernafas dalam, naiknya tulang lidah dan laring untuk menarik sfingter
esofagus bagian dalam supaya terbuka, penutupan glotis, dan pengangkatan palatum
mole untuk menutupi nares posterior. Kemudian datang kontraksi yang kuar ke bawah
diafragma bersama dengan rangsangan kontraksi semua otot dinding abdomen.
Keadaan ini memeras perut diantara diafragma dan otot-otot abdomen, membentuk
suatu tekanan intragastrik. Akhirnya sfingter esofagus bagian bawah berelaksasi secara
lengkap membuat pengeluaran isi lambung ke atas memalui esofagus (Guyton & Hall,
2007).
2. Patogenesis Hiperemesis Gravidarum
Sampai saat ini, penjelasan penyebab HG yang paling banyak diterima berbagai
kalangan adalah “teori hormon”. Banyak penelitian yang menunjukkan hubungan
antara peningkatan hCG dengan muntah patologis pada kehamilan. Berbagai penyebab
fisik lain juga dikemukakan dalam berbagai diskusi namun belum terdapat penelitian
yang memuaskan. HG lebih sering terjadi pada usia kehamilan muda ketika plasenta
dan korpus luteum bersama-sama memproduksi hormon seperti progesteron dan hCG
(Verberg et al., 2005). HG diyakini juga sebagai penyakit kompleks hasil interaksi
berbagai faktor baik itu biologis, psikologis, maupun sosial-kultural (Pirimoglu et al.,
2010). Terdapat etiologi lain seperti imunologis dan infeksi bakteri serta kelainan
anatomis (Verberg et al., 2005). Buhling & David (2006) membagi patogenesis HG
menjadi 2 hipotesis, hipotesis I dengan penyebab endokrin, dan hipotesis II dengan
penyebab non-endokrin.
Gambar 2.2. Patogenesis Hiperemesis Gravidarum (Buhling & David, 2006).
a. Hipotesis Endokrin
Hormon-hormon endokrin meliputi hCG, TSH/ tiroksin, estrogen/ progesteron,
kortisol/ ACTH, prolaktin, dan leptin.
1) Human Chorionic Gonadotropin (hCG)
hCG sering disebut sebagai penyebab paling mungkin dari HG. Berbagai
penelitian menunjukkan kadar hCG diketahui lebih tinggi pada kehamilan
kembar, mola hidatidosa, kehamilan dengan janin perempuan, dan kehamilan
dengan down syndrome. Mekanisme hCG menyebabkan HG belum diketahui
dengan jelas, namun diyakini kadar hCG yang tinggi menstimulasi pengeluaran
Penyebab Psikologis
Defisiensi Vitamin
Penyebab-penyebab saraf
Defisiensi Vitamin
Penyebab anatomik
GITPerubahan GIT
Estrogen/ Progesteron
Plasenta
Penyebab-penyebab infeksiInfeksi H. pylori
hCGCorpus luteum
Penyebab-penyebab Imunologis
Overaktif sistem imun
Tirotoksikosis pada kehamilanTSH/
TiroksinKelenjar Tiroid
Overaktif HPA aksisKortisol/ ACTH
Hipotalamus/ korteks adrenal
Hipotesis II: faktor non endokrin
Hipotesis I: faktor endokrin
enzim saluran pencernaan atas dan merangsang peningkatan fungsi tiroid
karena strukturnya yang mirip dengan Thyroid Stimulating Hormone (TSH).
Berbagai penelitian lain pada pasien dengan HG menunjukkan bahwa bukan
semata-mata tingginya kadar hCG yang menyebabkan HG, namun HG
disebabkan oleh isoform spesifik hCG seperti hCG dengan rantai asialo-
carbohydrate. Berbagai pola isoform hCG yang berbeda-beda pada pasien
dapat disebabkan oleh pengaruh lingkungan jangka panjang atau faktor genetik
(Verberg et al., 2005).
Terdapat 4 varian hCG, masing-masing diproduksi oleh jenis sel yang
berbeda. Semua varian hCG tersebut memiliki subunit amino yang sama yaitu
subunit-β hCG. Keempat varian tersebut adalah hCG yang diproduksi oleh vili
sel-sel sinsitiotrofoblas, hCG-hiperglikosilat yang diproduksi oleh sel-sel
sitotrofoblas, subunit β-bebas yang diproduksi oleh sel-sel kanker non-
trofoblas, dan hCG hipofisis yang diproduksi oleh sel-sel gonadotropin pada
hipofisis anterior. hCG dan hCG-hiperglikosilat disekresikan oleh blastokista
untuk mempersiapkan implantasi pada endometrium. hCG-hiperglikosilat
kemudian memicu diferensiasi sel-sel sitotrofiblas menjadi sinsitiotrofoblas.
Sinsitiotrofoblas kemudian memproduksi hCG dan bersama-sama dengan LH
memicu produksi progesteron oleh korpus luteum sampai plasenta dapat
membuat cukup progesteron sendiri. Selain produksi progesteron, hCG
memiliki berbagai fungsi lain yang diketahui dari terdapatnya reseptor hCG
pada berbagai organ baik itu fetal maupun maternal. Diantara lokasi reseptor
hCG tersebut adalah pada otak ibu, yaitu pada hipokampus, hipotalamus, dan
batang otak, yang diyakini menjadi penyebab terjadinya HG (Cole, 2010).
Penelitian sampai saat ini menunjukkan hubungan antara HG dengan kadar
hCG, namun mekanisme patogenesisnya belum diketahui dengan pasti. Hal ini
diantaranya dikarenakan kondisi dengan kadar hCG tinggi seperti pada
choriocarcinoma atau pada pemberian HCG selama fase luteal untuk memicu
maturasi oosit tidak menimbulkan gejala mual-muntah seperti pada HG. Selain
itu terdapat banyak pasien yang memiliki kadar HCG tinggi namun tidak
menderita HG, sebaliknya terdapat pasien yang terus mengalami HG bahkan
setelah melewati trimester pertama dimana kadar HCG sudah turun (Verberg et
al., 2005).
2) TSH/ Tiroksin
Kelenjar tiroid terstimulasi selama awal kehamilan secara fisiologis.
Terkadang kadar hormon tiroid menyimpang dari nilai normal, menyebabkan
kondisi gestational transient thyrotoxicosis (GTT). GTT terdapat pada dua
pertiga wanita dengan HG. Estrogen menyebabkan produksi thyroid-binding
globulin meningkat dan metabolisme T4 menurun, menyebabkan penurunan
sementara kadar T4 bebas (Verberg et al., 2005).
Peningkatan kadar hCG menyebabkan peningkatan stimulasi kelenjar tiroid,
begitu pula dengan hipersensitifitas reseptor hormon tiroid terhadap hCG, atau
produksi salah satu jenis hCG yang lebih kuat merangsang kelenjar tiroid. Saat
kadar hCG mencapai puncak saat kehamilan normal, kadar TSH serum
menurun sementara triiodotironin bebas dan T4 bebas meningkat menunjukkan
peran hCG dalam stimulasi hormon tersebut. Hipersensitifitas reseptor TSH
didapatkan pada keluarga dengan riwayat GTT dan HG. Anggota keluarga
dengan riwayat HG berulang diketahui memiliki mutasi pada domain
ekstraseluler reseptor TSH yang menyebabkan reserptor tersebut responsif
terhadap hCG. Pasien HG dengan hipertiroid memiliki kadar elektrolit
abnormal, peningkatan kadar enzim hati, dan gejala muntah yang lebih parah
(Verberg et al., 2005).
Hipertiroidisme juga dapat dikaitkan dengan HG. Sementara T3 dan T4
berada di kisaran normal, ekspresi thyroid stimulating hormone (TSH)
mengalami penurunan. GTT mungkin berlaku sampai minggu ke-18 kehamilan
dan tidak memerlukan pengobatan. Kondisi untuk diagnosis THHG adalah
(Mylonas, 2007):
a) Berdasarkan hasil serologi patologis yang diambil selama HG
b) Tidak ada hipertiroidisme sebelumnya pada kehamilan
c) Tidak ada tanda-tanda klinis hipertiroidisme
d) Antibodi negatif.
Banyak bukti ilmiah yang mendukung hubungan antara kadar hCG dengan
GTT, namun perannya dalam HG masih belum jelas. Kondisi lain hipertiroid
seperti penyakit Grave tidak menunjukkan gejala mual-muntah seperti pada
HG, prevalensi hipertiroid cukup tinggi namun tidak hanya terdapat pada
pasien HG, serta banyak pasien HG yang tidak menderita hipertiroid (Verberg
et al., 2005).
3) Estrogen/ Progesteron
Prevalensi HG lebih tinggi pada pasien dengan kadar estrogen tinggi, seperti
pada indeks masa tubuh (IMT) ibu hamil yang tinggi, kehamilan pertama, dan
fetus dengan undescended testis. Didapatkan juga insidensi karsinoma testis
pada pria dengan riwayat HG saat kehamilannya. Pada pengobatan dengan
estrogen sering didapatkan efek samping berupa mual, hal ini mendukung
hipotesis bahwa estrogen mungkin merupakan penyebab HG (Verberg et al.,
2005).
Kadar estrogen tinggi memperlambat pengosongan lambung dan
menurunkan waktu transit usus halus, serta meningkatkan akumulasi cairan
(Verberg et al., 2005). Meskipun demikian, belum terdapat penjelasan pasti
mengenai hubungan langsung estrogen dengan HG, mengingat HG lebih sering
terjadi pada TM pertama sementara kadar estrogen terus meningkat seiring
bertambahnya usia kehamilan, begitu pula dengan kehamilan yang diinduksi
controlled ovarian stimulation (COS) dimana kadar estrogen sangat tinggi,
tidak menyebabkan insidensi HG meningkat (Verberg et al., 2005).
Diantara berbagai hormon pada kehamilan, pasien dengan HG memiliki
kadar progesteron yang abnormal. Sebagian besar memiliki kadar progesteron
yang lebih rendah, sebagian yang lainnya memiliki kadar progesteron yang
lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Namun demikian, tidak didapatkan
korelasi yang jelas antara HG dengan kadar progesteron, mengingat tidak
terdapat perbaikan kondisi pasien HG yang mendapatkan pengobatan dengan
progesteron. Kehamilan dengan peningkatan kadar progesteron iatrogenik
seperti kehamilan dengan korpus luteum multipel karena COS, atau kehamilan
dengan pemberian progesteron untuk mendorong fase luteal tidak
menunjukkan kejadian HG, mengindikasikan bahwa kadar progesteron tinggi
(endogen maupun eksogen) saja tidak menyebabkan HG (Verberg et al., 2005).
4) Kortisol/ ACTH
Terdapat hipotesis yang menyatakan bahwa insufisiensi korteks adrenal
berhubungan dengan HG. Dapat dikarenakan insufisiensi produksi ACTH
maupun karena ketidakmampuan aksis hipotalamus-hipofisi-adrenal untuk
merespon peningkatan kebutuhan produk adrenal pada kehamilan awal. Pasien
dengan HG memiliki kadar kortisol serum lebih rendah daripada ibu hamil
tanpa HG (Verberg et al., 2005).
b. Hipotesis Non-Endokrin
Faktor-faktor non-endokrin berupa penyebab imunologis, infeksi
gastrointestinal, kelainan anatomik saluran, dan kelainan saraf.
1) Imunologis
Selama kehamilan, terdapat perubahan sistem imun humoral dan selular
untuk melindungi janin dan desidua dari kerusakan karena sistem imun ibu.
HG diperkirakan disebabkan oleh sistem imun yang mengalami overeaktif.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pasien dengan HG memiliki kadar IL-
6, TNF-α, T-helper 2, IgG, IgM, C3, C4, limfosit, sel NK, 5’-nucleotidase,
dan atau adenosine deaminase yang lebih tinggi. Namun belum dapat
disimpulkan dari berbagai penelitian tersebut apakah aktivasi sistem imun yang
terjadi merupakan penyebab atau merupakan reaksi terhadap HG (Verberg et
al., 2005).
2) Infeksi Saluran Gastrointestinal
Terdapat penelitian yang menunjukkan bahwa pasien HG positif terinfeksi
H. Pylori 95% dibandingkan dengan kontrol sebanyak 50%. Infeksi tersebut
dapat disebabkan karena perubahan pH lambung atau perubahan sistem imun
terkait kehamilan. Peningkatan hormon steroid pada wanita hamil
menyebabkan akumulasi cairan pada lambung dan mengakibatkan penurunan
pH lambung sehingga pasien lebih suseptibel terhadap infeksi H. Pylori.
Perubahan sistem imun humoral dan seluler selama kehamilan juga
meningkatkan suseptibilitas terhadap infeksi.
Meskipun diyakini bahwa infeksi H. Pylori lebih sering terjadi pada pasien
HG, banyak wanita hamil yang terinfeksi H. Pylori tidak menunjukkan gejala-
gejala HG. Begitu pula hubungannya dengan hormon steroid, jika infeksi
tersebut berhubungan dengan peningkatan hormon steroid, seharusnya gejala
memberat pada akhir kehamilan saat imunitas pasien lebih teraktivasi.
Hipotesis yang lebih diterima adalah kerusakan saluran gastrointestinal atas
akibat muntah yang terus- menerus meningkatkan suseptibilitas pasien
terhadap infeksi H. Pylori (Verberg et al., 2005).
Studi lain menemukan genom H. pylori dalam air liur 61,8% dari pasien
dengan HG (21 dari 34 pasien), dibandingkan dengan 27,6% dari wanita hamil
tanpa gejala. Hubungan ini tampaknya dikonfirmasi oleh fakta bahwa dalam
dua studi observasional dengan total lima pasien, tidak ada perbaikan dalam
gejala terjadi setelah perawatan obat standar, sedangkan pengobatan antibiotik
untuk H. pylori menghasilkan perbaikan gejala yang jelas (Mylonas, 2007).
3) Kelainan Anatomis
Verberg et al. (2005) mengemukakan bahwa terdapat kelainan anatomis
pada penderita HG. Diantaranya adalah terdapatnya perubahan bentuk pada
korteks adrenal pada pasien HG seperti pada penderita penyakit Addison,
selain itu ditemukan pula bahwa secara statistik HG terjadi pada penderita
dengan corpus luteum dari ovarium sebelah kanan.
4) Kelainan Saraf
Mual diyakini sebagai hasil dari penolakan terhadap kehamilan seorang
wannita yang belum siap menjadi seorang ibu karena imaturitas kepribadian,
masih banyak tergantung kepada orangtua, ketakutan, dan tekanan karena
kehamilan. Pendapat lain menyatakan bahwa HG merupakan kelainan seksual
yang berasal dari ketidaksukaan terhadap jenis kelamin. HG juga dijelaskan
sebagai gejala histeria konversi, neurosis, atau depresi, dan HG dapat berasal
dari stress psikososial, kemiskinan, dan konflik pernikahan.
Berbagai hipotesis biologis HG belum dapat memberikan penjelasan yang
memuaskan, faktor psikologis diyakini memiliki peranan yang dominan dalam
patofisiologis HG. Insidensi HG didapatkan lebih rendah saat masa perang,
perawatan di RS menjauhkan lingkungan pasien dari pasangan atau keluarga
menurunkan keluhan muntah, serta terdapat perbedaan insidensi HG antar
etnis. Namun ada peneliti lain yang menyatakan bahwa gejala-gejala psikologis
pasien HG merupakan hasil dari stress dan beban fisik HG bukan merupakan
penyebab (Verberg et al., 2005).
Beberapa postulat penyebab psikologis dapat dibagi menjadi 4 kategori
sebagai berikut (Cole, 2010):
a) HG merupakan ekspresi berbagai konflik, seperti penolakan terhadap
kehamilan, konflik perasaan yang bertentangan akan menjadi ibu,
kepribadian kekanak-kanakan, terlalu bergantung terhadap ibu, atau
ketakutan akan kehamilan
b) HG merupakan sebuah ekspresi dari kelainan seksual
c) HG merupakan gejala konversi, sebuah ekspresi histeria, neurosis, atau
depresi
d) HG merupakan akibat dari stress psikososial, pengalaman terhadap
kekerasan, atau konflik dalam hubungan dengan pasangan.
Dalam studi yang paling terkenal, indeks psikologis medis Cornell diukur
pada 44 pasien hamil dengan, dan 49 wanita hamil tanpa HG. Tes Minnesota
Multiphasic Personality Psychology Inventory (MMPI) diberikan hanya pada
wanita hamil dengan HG (Mylonas, 2007; Sheehan, 2007). Kedua studi dengan
skor pertanyaan yang berbeda menunjukkan bahwa pasien dengan HG
memiliki ikatan yang berlebihan dengan ibu mereka dan lebih sering bersifat
histeris dan kepribadian kekanak-kanakan. HG lebih sering terjadi pada
gangguan kepribadian dan gangguan depresif, tetapi hubungannya belum
dipelajari sampai batas yang cukup (Mylonas, 2007).
3. Patofisiologi Gejala
Hiperemesis gravidarum ini dapat mengakibatkan cadangan karbohidrat dan
lemak habis terpakai untuk keperluan energi. Karena oksidasi lemak yang tak
sempurna, terjadilah ketosis dengan tertimbunnya asam aseton asetik, asam hidroksi
butirik dan aseton dalam darah. Kekurangan cairan yang diminum dan kehilangan
cairan karena muntah menyebabkan dehidrasi, sehingga cairan ekstraseluler dan
plasma berkurang. Natrium dan khlorida darah turun, demikian pula khlorida air
kemih. Pada pasien ini terdapat penurunan kadar kalium dalam darah. Selain itu dapat
menyebabkan gangguan keseimbangan asam basa, berupa alkalosis metabolik akibat
hilangnya asam karena muntah-muntah berlebihan ataupun asidosis metabolik akibat
peningkatan asam (ketosis). Selain itu juga terjadi dehidrasi yang menyebabkan:
a. Penurunan saliva, yang berakibat mulut dan faring kering
b. Peningkatan osmolaritas darah, yang akan merangsang osmoreseptor di
hipothalamus
c. Penurunan volume darah yang berakibat penurunan tekanan darah, sehingga renin
akan meningkat, begitu juga angiotensin II.
Ketiga hal tersebut akan merangsang pusat rasa haus di hipothalamus, yang
seharusnya akan meningkatkan intake cairan, namun karena terdapat mual dan muntah
yang tidak bisa ditoleransi akibatnya cairan juga tidak dapat masuk per oral, sehingga
cairan tubuh tidak mencapai kadar normal dan dehidrasi tetap terjadi (Ogunyemi,
2007).
Karena muntah terus terjadi dan tidak ada makanan yang dapat masuk, cadangan
karbohidrat pun sangat bekurang, sehingga untuk memenuhi kebutuhan respirasi sel
dan menghasilkan ATP dipakai jalur pemecahan lemak (katabolisme lipid/lipolisis)
secara berlebihan, bukan memakai jalur glikolisis. Asam lemak dikatabolisis. Asam
lemak dikatabolisme di mitokondria melalui proses yang dinamakan beta oxidation,
yang akhirnya membentuk acetyl coA. Acetyl coA akan masuk ke dalam siklus krebs.
Hepatosit akan mengambil dua molekul acetyl coA dan terkondensasi, dan aseton
(keton bodies). Proses tersebut dinamakan ketogenesis. Keton-keton tersebut akan
mudah berdifusi ke membran plasma, meninggalkan hepatosit untuk kemudian masuk
ke dalam aliran darah. Akibatnya terjadi ketosis dalam darah, yang kemudian
dikeluarkan melalui urine, sehingga pada hiperemesis gravidarum lanjut didapatkan
keton pada urine (Ronardy, 2006).
Selain itu dehidrasi menyebabkan hemokonsentrasi, sehingga aliran darah ke
jaringan berkurang. Sehingga jumlah zat makanan dan oksigen ke jaringan berkurang
dan tertimbunnya zat metabolik yang toksik. Kekurangan kalium sebagai akibat dari
muntah dan bertambahnya ekskresi lewat ginjal, menambah frekuensi muntah-muntah
yang lebih banyak, dapat merusak hati, dan terjadilah lingkaran setan yang sulit
dipatahkan.
A. Pembahasan Permasalahan Kedua
Psikologis pasien
Penyebab hiperemesis gravidarum selama trimester pertama umumnya adalah
gangguan psikosomatik, yang dapat dijelaskan dengan takut menjadi orang tua. Wanita
hamil dengan stress dan ketegangan emosional sering memiliki kondisi ini. Permasalahan
psikologis pasien ini yaitu ketidaksiapan pasien menghadapi kehamilan ini dan trauma
persalinan sebelumnya. Mual dan muntah yang dialami seorang wanita hamil dianggap
mewakili berbagai konflik psikologis. Ketidakmatangan psikoseksual, pertentangan di
keluarga, kesulitan sosio-ekonomi, konflik rumah tangga, ketakutan akan persalinan ataupun
kehamilan yang tidak diinginkan dapat menyebabkan konflik mental terhadap keengganan
menjadi hamil atau sebagai pelarian kesukaran hidup. Namun menurut penelitian, faktor
neurogenik juga berperan, terbukti dengan membaiknya klinis pasien bila jauh dengan
rumah (di rumah sakit). Ada juga yang menyatakan bahwa efek psikologis (frustrasi,
depresi, terisolasi, dan lain-lain) adalah akibat dari hiperemesis gravidarum dan bukan
penyebabnya (Ronardy, 2006).
Tenaga kesehatan perlu meyakinkan penderita bahwa penyakit ini dapat disembuhkan.
Menghilangkan rasa takut karena kehamilan, mengurangi pekerjaan serta menghilangkan
masalah dan konflik yang menjadi latar belakang masalah ini (psikosomatis). Adapun
pendapat bahwa muntah merupakan respon bawah sadar terhadap kehamilan yang tidak
diharapkan. Pengaruh psikologi apapun harus diselesaikan dan dilakukan konseling jika
dibutukan (Jueckstock et al. 2010; Mylonas. 2007).
B. Pembahasan Permasalahan Ketiga
1. Rawat inap dan penatalaksanaan
Penatalaksanaan hiperemesis gravidarum sangat beragam tergantung dari beratnya
gejala yang terjadi. Tatalaksana dini memberikan prognosis baik pada pasien. Ketika
mengobati ibu dengan HG, pencegahan serta koreksi defisiensi nutrisi adalah prioritas
utama agar ibu dan bayi tetap dalam keadaan sehat. Perubahan pola makan dan gaya
hidup umumnya cukup untuk mengatasi gejala awal HG dan meningkatkan kualitas
hidup.
Indikasi pasien dapat dirawat inap adalah mual muntah berlebih disertai gangguan
elektrolit dan cairan. Pada rawat inap, penderita sebaiknya disendirikan (isolasi) dalam
kamar yang tenang, tetapi cerah dan peredaran udara baik. Mencatat cairan yang keluar
dan masuk. Hanya dokter dan perawat yang boleh masuk ke dalam kamar penderita,
sampai muntah berhenti dan penderita mau makan. Tidak diberikan makanan/minum
selama 24 jam. Kadang – kadang dengan isolasi saja gejala – gejala akan berkurang atau
hilang tanpa pengobatan (MacGibon, 2010). Terapi yang diberikan pada ibu yang
mengalami HG adalah :
1. Rehidrasi oral maupun parenteral
Pada kasus hiperemesis gravidarum dengan muntah yang sering hingga
menyebabkan dehidrasi dan turunnya berat badan, harus segera mendapat terapi
cairan. Langkah utama dalam terapi hiperemesis gravidarum adalah rehidrasi oral
yang cukup untuk menghindari dehidrasi. Dehidrasi akan memperburuk rasa mual.
Resusitasi cairan merupakan prioritas utama, untuk mencegah mekanisme
kompensasi yaitu vasokntriksi dan gangguan perfusi uterus. Selama terjadi gangguan
hemodinamik, uterus termasuk organ non vital sehingga pasokan darah berkurang.
Pada kasus hiperemesis gravidarum, jenis dehidrasi yang terjadi adalah dehidrasi
karena kehilangan cairan (pure dehidration), maka tindakan yang dilakukan yaitu
mengganti cairan tubuh yang hilang ke volume normal, osmolaritas yang efektif dan
komposisi cairan yang tepat untuk keseimbangan asam basa. Pemberian cairan untuk
dehidrasi harus memperhitungkan secara cermat berdasarkan berapa jumlah cairan
yang diperlukan, defisit natrium, defisit kalium, dan ada tidaknya asidosis. Ada
beberapa cara yang dapat digunakan untuk menghitung jumlah cairan rehidrasi
awalan :
1. Berdasarkan klinis dehidrasi, bila ada rasa haus dan tidak ada tanda klinis
dehidrasi maka kehilangan cairan kira – kira 2%. Jika berat badan 50kg maka
defisit air sekitar 1000ml. Bila terdapat rasa haus dan oliguria, mulut kering
diperkirakan defisit 6% atau 3000 ml. Bila ada tanda – tanda diatas ditambah
perubahan mental maka defisit sekitar 7 – 14% atau sekitar 3,5 – 7 liter.
2. Jika pasien ditimbang maka kehilangan berat badan 4 kg pada fase akut sama
dengan defisit 4 liter
Rencana rehidrasi sebaiknya dikaitkan dengan jumlah cairan yang dibutuhkan
selama 24 jam berikutnya, yaitu menjumlahkan defisit cairan dengan 2000 ml. Bila
pasien dapat menelan, air diberikan peroral. Bila kesulitan maka rehidrasi diberikan
perinfus. Jenis cairan yang diberikan hingga kini masih diperdebatkan apakah
menggunakan kristaloid atau koloid. Umumnya kehilangan cairan diganti dengan
cairan isotonik (RL, normal saline). Bila menggunakan normal saline jangan
diberikan dalam jumlah banyak karena dapat menyebabkan delusional acidosis atau
hyperchloremic acidosis. Bila diperlukan dapat ditambahkan ion kalium.
Resusitasi dikatakan adekuat bila terdapat parameter seperti tekanan darah arteri
rata – rata 70 – 80 mmHg, denyut jantung < 100x/menit, ekstremitas hangat dengan
pengisian kapiler baik, susunan saraf pusat baik, produksi urin 0,5 – 1 ml/kgBB/jam
dan tidak ada asidosis berlanjut. Setelah tercapai rehidrasi, pemberian cairan harus
terus diberikan dalam bentuk rumatan, contoh cairan yang sering dipakai adalan
Kaen Mg. Setelah tercapai rehidrasi, pasien dengan hiperemesis gravidarum secara
bertahap dapat mulai diberikan makanan dan minuman dengan jumlah sedikit namun
sering
2. Terapi nutrisi
3. Perubahan gaya hidup dan psikologi
a. Mencatat hal – hal yang dapat memicu mual dan muntah seperti makanan,
aroma khas, aktivitas. Menghindari pemicu – pemicu tersebut
b. Menghindari tempat bersuhu panas dan ventilasi buruk. Suasana panas dapat
memperburuk mual. Pastikan ruangan memiliki sirkulasi udara yang baik dan
terkena sinar matahari.
c. Duduk sejenak setelah makan dan untuk mengurangi refluks lambung
d. Menghindari tekanan psikologis (Ogunyemi dan Chelmow, 2011).
4. Farmakologis
a. Obat – obatan pada penderita hiperemesis gravidarum diberikan jika :
Penggunaan obat pada ibu hamil harus berdasar prinsip the risk versus the
benefits. Mempertimbangkan besarnya resiko obat terhadap ibu dan janin
dibandingkan dengan resiko dehidrasi malnutrisi pada ibu dan janin. Manfaat
harus lebih besar , resiko penggunaan obat lebih kecil daripada resiko
malnutrisi penurunan berat janin serta apabila gejala tidak berkurang dengan
pengelolaan non medikamentosa.
b. Antihistamin :
Antihistamin yang digunakan adalah Antagonis reseptor H1. Suatu
penelitian randomized control trial menunjukkan bahwa antihistamin berguna
mengurangi mual muntah pada kehamilan. Kombinasi antihistamin dengan
Pyridoxine efektif sebagai profilaksis pada wanita hamil dengan riwayat HG
pada kehamilan sebelumnya. Bendectin merupakan obat kombinasi yang berisi
vitamin B6 (pyridoxine) dan antihisamin, doxylamine. Tahun 1983 Bendectin
ditarik dari pasaran karena banyaknya isu meningkatkan resiko deformitas pada
bayi. Namun isu teratogenik tersebut belum terbukti secara ilmiah. Kini banyak
praktisi kesehatan menggunakan pyridoxine dan antihistamine sebagai dua obat
sekaligus yang diberikan pada penderita Hiperemesis Gravidarum. Kombinasi
ini merupakan lini pertama terapi wanita hamil di UK. Antihistamin yang
digunakan yaitu Promethazine, Meclizine, Cyclizine. Promethazine diberikan
12,5mg peroral atau rectal setiap 4 jam. (Ogunyemi dan Chelmow, 2011,
Sheehan, 2007)
c. Vitamin :
1. Pyridoxine (Vitamin B6)
Dosis efektif Pyridoxine yaitu 30 – 75 mg/hari, dengan efek samping yang
dapat ditoleransi tubuh. Pyridoxine diberikan 3 kali sehari 10 – 25mg
dimulai dengan dosis rendah. Pyridoxine dapat mengurangi mual muntah
dan terbukti lebih efektif daripada placebo. Dosis dapat dinaikkan hingga
200 mg tanpa efek samping (Jueckstock et al. 2010).
2. Thiamine (vitamin B1)
Thiamine, dikenal juga dengan B1 atau aneurin, sangat penting dalam
metabolisme karbohidrat. Peran utama tiamin adalah sebagai bagian dari
koenzim dalam dekarboksilasi oksidatif asam alfa-keto. Gejala defisiensi
akan muncul secara spontan berupa beri-beri pada manusia. Penyakit
tersebut ditandai dengan penimbunan asam piruvat dan asam laktat,
terutama dalam darah dan otak serta kerusakan dari sistem kardiovaskuler,
syaraf dan alat pencernaan. Defisiensi thiamine ini menimbulkan rangkaian
proses dan gejala yang disebut Encephalopathy Wernick (Chiossi et al,
2006, Zempleni, et al,2007).
Defisiensi tiamin ini akan menyebabkan gangguan saraf pusat, antara lain
memori berkurang atau hilang, nistagmus, optalmoplegia, dan ataksia.
Gangguan juga terjadi pada saraf tepi, berupa neuropati perifer. Gangguan
yang lain berupa kelemahan simetrik (badan sangat lemah), kehilangan
fungsi sensorik, motorik dan reflek kaki. Timbul beri-beri jantung, dengan
gejala jantung membesar, aritma, hipertensi, odema, dan kegagalan jantung
(Zempleni, et al,2007).
Pasien dengan kecurigaan ensefalopati Wernicke, direkomendasikan
pemberian 100mg thiamin intravena atau intramuscular selama 5 hari
berturut – turut. Pemberian glukosa tanpa thiamin dapat memicu atau
memperburuk sindrom ini, sehingga thiamin harus diberikan sebelum
glukosa. Thiamin diberikan secara parenteral karena penyerapan thiamin
pada gastrointestinal tidak menentu pada pasien beralkohol dan kurang
gizi. Pemberian oral harian 100mg thiamin harus dilanjutkan setelah
pengobatan parenteral dan setelah keluar dari rumah sakit sampai pasien
tidak lagi dianggap beresiko. Magnesium dan vitamin lainnya juga
dikoreksi bersama dengan defisit gizi lainnya.
Normal asupan tiamin untuk orang dewasa adalah antara 1,0 – 1,5 mg/hari.
Jika makanan terlalu banyak mengandung karbohidrat, maka dibutuhkan
lebih banyak tiamin. Tanda-tanda defisiensi tiamin antara lain menurunnya
nafsu makan, depresi mental (Peripheral neurophaty) dan lemah. Pada
defisiensi kronis, maka muncul gejala kelainan neurologist, seperti
kebingungan (mental), dan kehilangan koordinasi mata (Ogunyemi dan
Chelmow,2011, Zempleni, et al,2007).
3. Cyanokobalamin ( vitamin B12)
Pada gastritis kronik, gastric atrophy dapat menyebabkan malabsorbsi
vitamin B12 yang berujung pada defisiensi vitamin B12. Gejala klasik
defisiensi B12 berupa anemia megaloblastik hanya terjadi pada defisiensi
vitamin B12 yang berat, tetapi manifestasi neuropsikiatrik dan
abnormalitas metabolisme dapat terjadi sebelum konsentrasi B12 dalam
serum mencapai kadar defisiensi vitamin B12. Cut off point vitamin B12
yaitu <221 pmol/L pada defisiensi ringan dan <148 pmol/L pada defisiensi
berat. Pada wanita hamil dengan hiperemesis gravidarum, resiko infeksi
Helicobacter pylori meningkat, intake vitamin B12 inadekuat. Patogen H.
pylori pada lambung dapat menginisiasi destruksi autoimun pada mukosa
lambung sehingga menyebabkan malabsorbsi vitamin B12. Pada penderita
hiperemesis gravidarum vitamin B12 dapat diberikan dengan dosis 12,5 mg
3-4 kali sehari (Zempleni, et al,2007).
d. Antiemetik untuk mengatasi mual dan muntah menggunakan :
1. serotonin agonis
Jika terdapat bebeapa pemicu emesis, medikasi harus dipusatkan pada
pusat muntah di otak (serotonin antagonists merupakan terapi yang paling
efektif). Serotonin agonis merupakan antagonis 5-HT3 receptors yang
sangat selektif bekerja di vagus, CTZ (chemotrigger zone) and
gut. Seorotnin agonist merupakan obat kelas B. Serotonin antagnists
(ondansetron, dolasetron, granisetron) merupakan dose-dependent drugs.
Semakin tinggi dosis, semakin tinggi pula manfaat dan efek sampingnya.
Penurunan dosis bertingkat serta frekuensi, penting dilakukan untuk
mencegah relaps. Ondansetron 4-8mg peroral atau intravena setiap 8 jam ,
diberikan pada HG yang sulit disembuhkan Respon individual dapat
bervariasi. Penatalaksanaan harus dipusatkan pada pemicu mual dan
muntah. Jika penderita muntah terus menerus, dosis oral tidak akan efektif.
Maka terapi diberikan dengan beberapa dosis intravena diikuti dosis oral .
Efek samping yang mungkin terjadi adalah nyeri kepala, abnormalitas
fungsi hati, konstipasi, diare (American Pregnancy Association,2006,
Ogunyemi dan Chelmow,2011)
2. dopamine (D2) receptor antagonist
metoklopramid bekerja dengan memblok reseptor dopamin pada
chemoreseptor trigger zone (CTZ), meningkatkan peristaltik dan
mempercepat pengosongan lambung. Metoklopramida dapat meningkatkan
motilitas dan tonus pada kontraksi lambung (terutama pada bagian
antrum), merelaksasi sfingter pilorus dan bulbus duodenum, serta
meningkatkan paristaltik dari duodenum dan jejunum sehingga dapat
mempercepat pengosongan lambung dan usus. Metoklopramid merupakan
first-line pharmacologic treatment untuk hiperemesis gravidarum dan telah
terbukti efektif. Terdapat dalam bentuk injeksi, oral, dan suppositoria. Efek
sampingnya berupa sindrom ekstrapiramidal dan tardive dyskinesia
Sediaan injeksi yaitu 5mg/ml. Sediaan oral yaitu 10 mg 3 – 4 kali sehari.
Merupakan obat dengan kategori A pada kehamilan. (MacGibbon, 2010,
Ogunyemi dan Chelmow, 2011, Sheehan, 2007).
e. Obat yang bekerja pada saluran pencernaan.
Obat – obatan ini bertujuan untuk mengurangi produksi asam lambung dan
mengatasi refluks (isi lambung yang kembali menuju esophagus) : Ranitidine,
Famotidine, Lansoprazole. Infeksi H pylori terjadi pada 90% penderita
hiperemesis gravidarum dan dapat memperburuk mual dan muntah pada
kehamilan dengan pembentukan ulkus peptikum. Terapi yang dapat diberikan
yaitu sesuai dengan guideline pada penderita tidak hamil yaitu triple therapy.
triple therapy yaitu PPI(proton pump inhibitor) dan dua dari tiga antibiotic berikut
clarithromycin, amoksisilin atau metronidazol selama 7-10 hari. Triple therapy sebagai
terapi standar lini pertama karena memiliki tolerabilitas tinggi dan mudah dalam
pemberiannya. Kesukesan eradikasi H.pylori dengan terapi ini bervariasi antara 70%-
95% (Ghany,2005, Ogunyemi dan Chelmow,2011)
f. Kortikosteroid
Kortikosteroiod diberikan pada hiperemesis gravidarum berat yang kurang
berespon baik terhadap terapi antiemetic. Efek samping yang mungkin terjadi
adalah penurunan berat badan, mual dan muntah. Steroid digunakan untuk
hiperemesis gravidarum yang sulit disembuhkan. Penggunaan steroid jangka
panjang dan dosis tinggi pada trimester pertama dicurigai dapat mempengaruhi
perkembangan otak janin. Wanita dengan hipotiroid berespon lebih aktif
terhadap kortikosterod. Penderita dengan DM tipe 1 akan mengalami 40%
peningkatan insulin jika steroid diawali dengan dosis tinggi. Kortikosteroid
dapat melewati plasenta. Komplikasi seperti penurunan berat badan,
peningkatan resiko preeklamsi dan peningkatan resiko bibir sumbing telah
dilaporkan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan the Collaborative Perinatal
Project pada 50,282 pasangan ibu dan anak, 34 ibu terpapar cortisone pada
trimester I dan tidak terbukti adanya hubungan antara defek congenital dengan
pemakaian cortisone. Methylprednisolone dalam kehamilan masuk dalam obat
kategori C. Prednisone dalam kategori B dan cortisone dalam kategori D.
Metilprednisolon diberikan 16mg peroral setiap 8 jam selama 3 hari dengan tapering
sampai dosis efektif terendah. Metilprednisolon dikabatkan meningkatkan
resiko bibir sumbing pada 10 minggu pertama kehamilan (Mac Gibbon, 2010,
Ogunyemi dan Chelmow, 2011).
Dietary advice lifestyle advise
preeclamsiaDrug intoxicationhiperemesis gravidarumEmesis gravidarumIron substitutionFood poisoning
Differential diagnosis
Nausea and vomitting during pregnancy
hospitalisationAmbulatory setting
MedicationPsychosomatic care
aggravation
monitoring Weight controls
Laboratory controls
aggravationRecoveryAggravation Recovery
Symptoms
Other diseaseFluid balanceParenteral nutrition
Psychosomatic caremedicationinfusionDietary
Psychosomatic counseling
DimenhydrinateMidazolam
MetoclopramideH2 bloker/PPI
Fluid substitionFood abstinence
2. Terapi nutrisi
Pada kasus hiperemesis gravidarum jalur nutrisi tergantung pada derajat muntah,
berat ringannya deplesi nutrisi dan penerimaan penderita terhadap rencana pemberian
makanan. Pada prinsipnya, bila memungkinkan saluran cerna harus digunakan. Bila
dicoba peroral menemui hambatan dicoba untuk menggunakan nasogastric tube
(NGT). Penggunaan saluran cerna banyak keuntungan yaitu dapat mengabsorbsi lebih
banyak nutrient daripada parenteral, adanya mekanisme defensif untuk menaggulangi
infeksi dan toksin.
a. Nutrisi enteral dan parenteral
Jika terjadi dehidrasi atau penderita tidak dapat mentoleransi terapi oral, maka
terapi cairan dan nutrisi enteral atau parenteral dapat diberikan. Nutrisi enteral dan
parenteral diberikan pada penderita hiperemesis gravidarum yang berada dalam
derajat muntah yang hebat, terus mengalami penurunan berat badan atau gagal
dengan terapi konservatif dan biasanya gejala – gejala tersebut dapat ditemukan
pada penderita prolonged hyperemesis gravidarum.
1. Terapi nutrisi parenteral
NPT mensuplai nutrisi ibu sehari hari, menggunakan sebuah kateter yang
disebut PICC (peripherally inserted central catheter) line yang dipasang di vena
perifer pada tangan, bahu atau leher (vena sentral pada arteri carotis). Kateter
Gambar 2.3. manajemen penatalaksanaan hiperemesis gravidarum (Mylonas et al 2007)
dimasukkan hingga mencapai vena cava superior. Jalur ini memungkinkan
masuknya nutrisi yang terkonsentrasi tanpa merusak pembuluh darah.
Nutrisi vena sentral (NVS) dianggap lebih baik karena volume darah pada
vena sentral secara cepat mendilusi cairan nutrien yang hipertonik sehingga
dapat mencegah flebitis dan trombosis. Selain itu NVS dapat menyalurkan
nutrisi dalam jumlah yang adekuat. Nutrisi vena perifer tidak dapat memberikan
kapasitas yang sama. Namun nutrisi parenteral yang menggunakan vena perifer
dapat pula menimbulkan sepsis dan komplikasi metabolik. Selain itu tidak
digunakannya saluran cerna untuk waktu lama dapat menimbulkan atrofi
mukosa dan sepsis enterogenik. Sehingga nutrisi parenteral digunakan sebagai
jalan terakhir pemberian makan.
NPT tidak dapat memberi nutrisi yang lengkap dan harus mengevaluasi
kalori yang dibutuhkan seperti kadar vitamin dan mineral berdasar usia
gestasinya. Pemberian NPT memiliki resiko yang cukup besar karena ia
memotong jalur mekanisme regulasi dan proteksi dan komplikasi pemasangaan
yang menggunakan kateter vena sentral. Komplikasi dapat terjadi pada sebagian
penerima terapi NPT, antara lain yang dapat terjadi antara lain komplikasi
metabolic, infeksi, pancreatitis, hiperkalemi dan syok septic gram negative. NPT
harus diberikan pada wanita yang tidak berespon baik pada terapi medis dan
beresiko kekurangan gizi.